MUSLIIN
DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAMPU:
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
dengan judul “Teologi jabariyah dan qadariyah dalam konteks kemajuan dan kemunduran kaum
muslimin" ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Pemikiran
modern dalam Islam . Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan
dan wawasan bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat berguna bagi para pembaca.
Kata Pengantar....................................................................................................( i )
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................( 1 )
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fakta sejarah membuktikan bahwa lahirnya mazhab-mazhab besar teologi klasik tidak terlepas
dari dinamika politik yang terjadi pada masa-masa awal perjalanan sejarah umat Islam. Pada titik-titik
tertentu dinamika ini kemudian melahirkan persoalan-persoalan yang sekaligus merupakan isu-isu
sentral dalam ranah teologi, sehingga pertikaian teologis pun menjadi tidak terelakkan. Salah satu
klimaks yang mengundang beragam persepsi adalah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Respon
terhadap konspirasi ini menimbulkan perdebatan teologis seputar kualitas keimanan atau bahkan status
keislaman pelakunya, yang jelas sudah melakukan dosa besar. Pada gilirannya perdebatan teologis ini
kemudian menyebabkan munculnya berbagai aliran atau mazhab dalam teologi, antara lain seperti
Mu’tazilah.
Mu’tazilah dikenal sebagai mazhab rasional, sehingga dalam metode berpikirnya memberikan porsi
yang sangat besar terhadap akal manusia,1 dan mendiskusikan ajaran-ajaran agama secara filosofis,
sehingga ajaran-ajaran yang dikembangkan ada yang bertentangan dengan keyakinan masyarakat pada
masanya, khususnya ahli hadis. Pengikut-pengikut Mu’tazilah memaksakan ajarannya agar dianut oleh
semua umat Islam pada masanya, untuk mengetahui sikap masyarakat, maka mereka melakukan
mihnah.
Teologi Jabariyah dan Qadariyah mempunyai landasan dalam al-Qur’an dan mempunyai manfaat
bagi kehidupan umat manusia sebagai umat beragama, karena teologi Qadariah membawa kepada
kemajuan, sementara Jabariah tergantung pada kehendak Allah swt yang jauh dari sikap sombong dan
takabur, sehingga manfaat tersebut jika digunakan akan membawa kepada kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari$aktor historis yang menjadi
landasan kajian. %ermula ketika Nabi Muhammadsaw wa$at, riak!riak perpecahan di antara kaum
Muslim timbul kepermukaan.Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa pengganti
pemimpin setelah&asul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. 'emua terbungkus dalam isu!isu
yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan keyakinantentang tuhan dengan
mengikutsertakan kelompok!kelompok mereka sebagai pemegang predikat kebenarannya.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagiamana konsep aliran jabariyah
2. Bagaimana konsep aliran Qadariyah
TUJUAN
Untuk mengetahui bagiamana konsep dari aliran jabariyah
Untuk mengetahui bagiamana konsep dari aliran Qadariyah
Untuk mengetahui bagiamana kemajuan dan kemunduran terhadap kaum muslimin
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Teologi Jabariah
Dari segi makna Jabariah berarti memaksa. Dihubungkan dengan perbuatan manusia, maka
manusia terpaks dalam melakukan perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan kebebasan, terikat
paa kekuasaan mutlak Tuhan. Apapun yang dilakukan mnusia, semua telah ditentukan oleh Tuhan.
Tuhan telah menetapkan bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan menetapkan pahala baginya,
begitu pula sebaliknya Tuhan telah menetapkan manusia berbuat kejelekan dan menetapkan siksaan
bagi pelakunya. Dengan kata lain, pahala, siksa dan kewajiban merupakan keterpaksaan, sehingga
manusia bagaikan bulu yang bergerak karena ditiup angin, diam karena anginnya tidak bertiup.
Paham ini pada mulanya dianut oleh kaum Yahudi kemudin diajarkan kepada sekelompok kaum
muslimin, sehingga cepat tersebar. Orang yang pertama menyebrkan paham ini dari kalangan umat
Islam adalah Ja’ad ibn Dirham dari Syam. Basrah adalah tempat menyebarkan paham tersebut dan
diantara pengikutnya adalahJahm bin Sharwan (w. 131 H) yang mengembangkan ajaran ini di Khurasan.
Selain itu, ia juga mengembangkan beberapa paham, seperti:
1. Surga dan neraka akan fana, tidak ada sesuatupun yang kekal selamanya. Kekekalan yang disebut
dalam al-Qur’an adalah masa yang panjang, tetapi setelah itu akan binasa, bukan kekal mutlak.
2. Iman adalah pengenalan (ma’rifah) dan kekufuran adalah ketidaktahuan (al-jahl).
3. Al-Qur’an adalah makhluk (baru), tidak Qadim.
4. Allah bukan sesuatu, tidak pula mempunyai sifat.
5. Tuhan tidak dapat dilihat di hari kemudian.
Meskipun ada beberapa paham yang diajarkan oleh Jahm bin Shafwan, akan tetapi yang besar
pengaruhnya adalah paham yang yang tidak mengakui adanya kebebasan dan kemerdekaan untuk
memilih dan melakukan perbuatan bagi manusia. Semua telah ditenetukan olh Tuhan, sehingga jika
disebut Jabariah, maka orientasinya adalah manusia terpaksa dalam melakukan perbuatannya.
Dalam tinjauan sejarah, paham ini pertama kali dikemukakan oleh seorang penduduk Irak yang
beragama Kristen. Dari dialah Ma’bad al-Juhani (w. 80 H) dan Ghailan al-Dimasyqi (105 H) menerima
paham Qadariah. Ma’bad menyebarkan paham ini di Irak sementara Ghailan menyebarkannya di Syam
dan mendapat tantangn dari khalifah Umar bin Abdul Azis.
Selain itu, Ghailan juga menganut paham bahwa iman tidak bertambah dan berkurang, sehingga
manusia tidak perlu berusaha untuk meraihnya. Ia termasuk salah seorang tokoh aliran Murji’ah aliran
sekte alSalihiah. Meskipun demikian, Qadariah hanya diidentikkan dengan manusia memiliki kebebasan
dan kemerdekaan dalam memilih dan melakukan perbuatan.
1) memahami realitas
4) memecahkan persoalan-persoalan
ekonomi
Sejalan dengan hal tersebut Harun Nasution mengemukakan bahwa Umat Islam di abad
pertengahan berada pada posisi kemajuan yang luar biasa karena menganut teologi sunnatullah yang
ciri-cirinya adalah:
1) kedudukan akal yang sangat tinggi,
3) kebebasan berpikir,
Umat Islam kemudian mengalami kemunduran karna menganut teologi kehendak mutlak yang
berciirkan sebaliknya:
Teologi sunnatullah melambangkan Qadariah dan teologi kehendak mutlak Tuhan adalah
Jabariah. Sejalan dengan hal tersebut Harun Nasution mengemukakan bahwa Umat Islam di abad
pertengahan berada pada posisi kemajuan yang luar biasa karena menganut teologi sunnatullah yang
ciri-cirinya adalah:
1) kedudukan akal yang sangat tinggi
3) kebebasan berpikir,
Umat Islam kemudian mengalami kemunduran karna menganut teologi kehendak mutlak yang
berciirkan sebaliknya:
6) statis dalam sikap dan cara berpikir. Teologi sunnatullah melambangkan Qadariah dan teologi
kehendak mutlak Tuhan adalah Jabariah.
Dengan demikian, sangat bijaksana jika keduanya (Qadariah dan Jabariah) tidak dipertentangkan
karena keduanya mempunyai landasan yang sama, akan tetapi berusaha memadukan dengan
memperhatikan asbab al-nuzul dari ayat yang dijadikan landasan untuk mengetahui maksud ayat
tersebut, sehingga tidak terkesan hanya menjadikan ayat sebagai tameng suatu pendapat.
Misalnya asbab al-nuzul surah Ali Imran ayat 165 yang dijadikan landasan oleh Qadariah terkait
dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud akibat kelalaian mereka, sehingga turunlah ayat
tersebut. Begitu juga dengan ayat 17 surah al-Anfal turun terkait dengan peperangan Badar saat
Rasulullah melempar segenggam batu dan menyebabkan musuh banyak meninggal. Ini menunjukkan
bahwa yang pertama perlu dimiliki adalah kesungguhan dan kemampuan terhadap sesuatu yang
dilakukan dan kedua adalah tidak sombong dan takabur jika berhasil.
Karena itu, implikasi paham Qadariah dan Jabariah dalam kehidupan sekarang adalah paham
Qadariah sebagai suatu dorongan untuk kreatif dan dinamis, karena itulah tuntutan perkembangan dan
kemajuan kehidupan dewasa ini, termasuk kehidupan umat Islam, sementara paham Jabariah dijadikan
dasar untuk tidak lupa akan adanya kekuatan yang lebih tinggi, sehingga tidak takabur dan sombong
dengan keberhasilan yang dicapai.
Menteri Agama mengungkapkan kajian seputar teks Al-Qur’an, tidak hanya melahirkan beraneka
corak kitab tafsir, namun telah mengilhami lahirnya berbagai disiplin ilmu keislaman. Kodifikasi Al-
Qur’an pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan yang dibarengi dengan penyatuan bacaan dan tulisan
menjadi satu teks standar telah mengilhami lahirnya tradisi penyalinan Mushaf Al-Qur’an dari masa ke
masa. “Tak dapat dipungkiri, Mushaf Al-Qur’an merupakan naskah yang paling banyak disalin sejak
zaman dahulu, baik oleh masyarakat muslim, maupun non muslim,” ujar Menteri Agama.
Menurut Menteri Agama, sebagai teks yang berbahasa Arab, kajian seputar teks Al-Qur’an juga
mendorong upaya penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain, baik di kalangan muslim maupun
orientalis, tentunya dengan tendensi berbeda. Dalam tataran praktis, penerjemahan Al-Qur’an selalu
menjadi masalah kontoversial dan isu yang sulit dalam diskursus ilmu Al-Qur’an. Kosa kata dalam Al-
Qur’an memiliki berbagai arti tergantung pada konteks, sehingga untuk membuat sebuah terjemahan
yang akurat amatlah sulit. Namun, terlepas dari problematika yang muncul, usaha penerjemahan Al-
Qur’an sedikit banyak telah membantu umat Islam memahami kitab sucinya.
Ada beberapa hal yang membuat umat Islam saat ini sedikit mengalami kemunduran. Ia menyebut
masyarakat
Imam Mudjiono berpendapat, kemunduran kaum muslim saat ini tak lain karena banyak
masyarakat yang telah meninggalkan kitab suci, yakni Al-Qur’an. Sehingga saat ini kitab suci yang
merupakan pedoman kehidupan bagi umat muslim itu hanya sebagai ajang perlombaan, hanya sedikit
orang yang mampu mengamalkan isi kandungan dari kitab suci tersebut.
Selain itu menurut Ibnu Khaldun ada dua faktor yang menbabkan yaitu internal dan eksternal.
Semenjak periode kedua dari periode Islam klasik, benih-benih kemunduran telah . terlihat
Pertama, faktor internal muncul dari menguatnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa untuk
menerapkan gaya hidup bermewah-mewahan. Sementara itu, korupsi, kolusi, nepotisme, dan
dekadensi moral tumbuh subur di badan pemerintahan.
Dan yang Kedua, faktor eksternal muncul dari ketidakpuasan tokoh dan intelektual di negaranya.
Akibatnya, mereka yang punya kapabilitas dan integritas pindah ke negara lain (braindrain) yang
mengurangi Sumber Daya Manusia (SDM) terampil di negara Islam.
“Orang Islam mundur karena meninggalkan kitab suci mereka. Al-Qur’an hanya dijadikan ajang
perlombaan dan ayat-Nya hanya dijadikan tulisan di atas kertas putih kecil,” imbuhnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari segi makna Jabariah berarti memaksa. Dihubungkan dengan perbuatan manusia, maka
manusia terpaks dalam melakukan perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan kebebasan, terikat
paa kekuasaan mutlak Tuhan. Apapun yang dilakukan mnusia, semua telah ditentukan oleh Tuhan.
Tuhan telah menetapkan bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan menetapkan pahala baginya,
begitu pula sebaliknya Tuhan telah menetapkan manusia berbuat kejelekan dan menetapkan siksaan
bagi pelakunya. Dengan kata lain, pahala, siksa dan kewajiban merupakan keterpaksaan, sehingga
manusia bagaikan bulu yang bergerak karena ditiup angin, diam karena anginnya tidak bertiup.
Dilihat dari segi bahasa qadar berarti ketetapan, hukum ketentuan, ukuran dan kekuatan. Dalam
pengertian lain adalah ketergantungan perbuatan hamba pada kekuatannya sendiri.Manusia
mempunyai kekuatan dan kebebasan mutlak untuk menentukan dan melakukan perbuatannya atas
kehendak dan pilihan sendiri.
Menteri Agama menyatakan perkembangan pemikiran dan peradaban umat Islam, tidak
terlepas dari peran penting Al-Qur’an. Oleh karena itu, menjadi wajar bila kitab suci ini disebut sebagai
sumber peradaban. Tentunya, dalam tataran praktis, teks Al-Qur’an tidak dapat membangun peradaban
secara sendirian. Perlua adanya dialektika manusia dengan realitas di satu pihak dan dengan teks Al-
Qur’an di pihak lain. Usaha mendialogkan Al-Qur’an sebagai teks yang terbatas dengan problem sosial
kemasyarakatan yang tak terbatas telah melahirkan beragam penafsiran dan pemahaman Al-Qur’an
yang terus berkembang.
Ada beberapa hal yang membuat umat Islam saat ini sedikit mengalami kemunduran. Ia menyebut
masyarakat
DAFTAR PUSTAKA