Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“SIKAP TERHADAP TAKDIR MENURUT ALIRAN/PAHAM


JABARIYAH, QODARIYAH, AL-ASY’ARIYAH.”

Disusun Oleh:

Rika Trigina Marlan

Niken Alifani

Dea Nindi Lestari

Siti Rahmawati

Ajang Akmaludin

Ramzi Ramadhan

Ramanda Maulana

PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

DINAS PENDIDIKAN

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 1 PURWAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., yang mana berkat limpahan rahmat-Nya kami
selaku penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “Sikap terhadap takdir
menurut aliran/paham Jabariyah,Qadariyah,Al-asy’ariyah.”

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan


hambatan akan tetapi kami selalu berusaha sebaik mungkin untuk kerjasama.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik kontrusif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk menyempurnakan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………….4

1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 5

1.3. Tujuan ................................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 6

2.1. Pengertian Jabariyah,Qadariyah Dan Al-asy’ariyah…………………………….6

2.2. Perbedaan Jabariyah, Qodariyah Dan Al-asy’ariyah …………………………...9

2.3. Sejarah Naqli Jabariyah, Qadariyah Dan Al-asy’ariyah………………………...11

2.4. Dalil Jabariyah, Qodariyah Dan Al-asy’ariyah…………………………………12

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………….13

3.1. Kesimpulan……………………………………………………………………..13

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..14

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Persoalan aman (aqidah) merupakan aspek utama dalam ajaran islam yang didakwahkan
oleh Nabi Muhammad. Pentingnya masalah aqidah ini dalam ajaran islam tampak jelas pada misi
pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah
memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari
ayat-ayat al-quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada
masalah keimanan.

Munculnya berbagai kelompok teologi dalam islam tidak terlepas dari factor historis yang
menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-riak perpercahan di
antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa
pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. semua
terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan
keyakinantentang tuhan dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok mereka
sebagai pemegang predikat kebenaran. Ada beberapa kelompok besar yang pemahamannya
sangat ekstrim (berlebihan) dan saling bertolak belakang. kelompok ini muncul di akhir era
parasahabat. Diantara kelompok tersebut adalah adariyah dan jabariyah. Pemikiran qadariyah ini
bercorak liberal, sedangkan jabariyah mempunyai corak pemikiran tradisional. Munculnya corak
pemikiran yang beragam dalam Islam disebabkan karena semakin luasnya wilayah Islam ke
Timur dan ke Barat. Umat Islam mulai bersentuhan dengan keyakinan dan pemikiran dari
ajaran!ajaran lain, terutama Filsafat Yunani. Seperti diketahui wilayah-wilayah yang bergabung
dengan Islam, terutama di bagian Barat adalah wilayah-wilayah yang penuh diduduki oleh
bangsa Romawi (Yunani).

Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah, Qadariyah Dan Al-asy’ariyah.
Dalam makalah ini kami hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran
Jabariyah,Qadariyah Dan Al-asy’ariyah. Mencangkup di dalamnya adalah latar belakang
lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

4
1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasar dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas mengenai pendidikan
Islam dengan pandangan Qadariyah, Jabariyah dan Asyariyah maka penulis merumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendidikan Islam dalam pandangan Qadariyah?

2. Bagaimana pendidikan Islam dalam pandangan Jabariyah?

3. Bagaimana pendidikan Islam dalam pandangan Asy‘ariyah?

1.3. TUJUAN

1. Untuk mengetahui perbedaan Qodariyah Dan Jabariyah

2. Untuk mengetahui sejarah Qodariyah Dan Jabariyah

3. Untuk mengetahui pokok pemikiran aliran Qodariyah Dan Jabariyah

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Jabariyah

Paham Jabariyah dalam sejarah teologi Islam pertama kali dikemukakan oleh alJa’d bin Dirham.
Tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm bin Safwan. Jahm bin Safwan adalah tokoh yang
paling terkenal sebagai pelopor atau pendiri paham Jabariyah. Paham ini juga identik dengan
paham Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah sesuai dengan namanya. Jahm bin Safwan terkenal
pandai berbicara dan berpidato menyeru manusia ke jalan Allah dan berbakti kepada-Nya
sehingga banyak sekali orang yang tertarik kepadanya. Adapun corak pemikiran paham
Jabariyah menganggap bahwa perbuatan manusia dilakukan oleh Tuhan dan manusia hanya
menerima. Hal ini juga dikenal dengan istilah kasb yang secara literal berarti usaha. Tetapi kasb
di sini mengandung pengertian bahwa pelaku perbuatan manusia adalah Tuhan sendiri dan usaha
manusia tidaklah efektif. Manusia hanya menerima perbuatan bagaikan gerak tak sadar yang
dialaminya. Menurut paham ini bahwa perbuatan manusia mesti ada pelakunya secara hakiki,
karena perbuatan membutuhkan adanya pelaku jika manusia bukan pelaku secara hakiki maka
tentu Tuhan pelaku secara hakiki (bukan secara majazi). Ada dua kelompok yang terdapat dalam
paham Jabariyah, yaitu Jabariyah murni dan Jabariyah moderat. Jabariyah murni menolak
adanya perbuatan yang berasal dari manusia dan memandang menusia tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat. Adapun Jabariyah moderat mengakui adanya perbuatan dari manusia
namun perbuatannya tidak membatasi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Jabariyah
menempatkan akal pada porsi yang rendah karena semua tindakan dan ketentuan alam di bawah
kekuasaan atau kehendak Tuhan. Sehingga membuat pemikiran dalam segala aspek kehidupan
tidak berkembang, bahkan terhenti. Pemikiran diikat oleh dogma, tidak berkembang dan
mempersempit wawasan yang mengakibatkan tidak adanya pemikiran yang mendalam seperti
yang dikehendaki oleh filsafat. Salah satu argumen yang memperkuat paham Jabariyah adalah
QS Ash-Shaffat/37: 96. ‫ و‬٦٩) ‫عا ت َ َم و م كَ قَ َل خ هَّال َل‬
َ ‫ ( َون َل م‬Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu.

Harun Nasution menetapkan beberapa ciri paham Jabariyah antara lain:

a. Kedudukan akal rendah

b. Ketidakbiasaan manusia dalam kemauan dan perbuatan

c. Kebebasan berpikir yang diikat oleh dogma

d. Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas

e. Terikat pada arti tekstual al-Qur’an dan hadis

f. Statis dalam sikap dan perbuatan

6
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat dipahami bahwa paham ini lebih menekankan perbuatan
manusia atas kehendak Tuhan, sehingga manusia bagaikan benda yang hanya mengikuti gerakan
orang yang menggerakkannya. Kebebasan manusia sangat dibatasi dengan kehendak mutlak
tuhan.

Pendidikan Islam dalam Pandangan Jabariyah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Jabariyah adalah paham yang menganggap bahwa segala
perbuatan manusia tunduk pada kehendak Tuhan semata. Dengan demikian jika dikaitkan
dengan pendidikan Islam maka pendidikan sama sekali tidak mempunyai daya atau kekuatan
untuk mempengaruhi anak. Pendidikan hanya dapat memberi polesan luar dari tingkah laku
sosial anak, sedangkan bagian internal dari kepribadian anak didik tidak dapat ditentukan,
sehingga akan melahirkan sikap pesimisme karena tidak adanya kepercayaan akan nilai-nilai dari
pendidikan sehingga anak itu diterima apa adanya.19 Di samping itu, dalam Islam juga dikenal
dengan teori fitrah yang salah satunya dapat diartikan sebagai potensi dasar dimiliki oleh
manusia. Dalam salah satu hadis, Nabi saw. bersabda:

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib
berkata, Ibnu Syihab: "Setiap anak yang wafat wajib dishalatkan sekalipun anak hasil zina
karena dia dilahirkan dalam keadaan fithrah Islam, jika kedua orangnya mengaku beragama
Islam atau hanya bapaknya yang mengaku beragama Islam meskipun ibunya tidak beragama
Islam selama anak itu ketika dilahirkan mengeluarkan suara (menangis) dan tidak dishalatkan
bila ketika dilahirkan anak itu tidak sempat mengeluarkan suara (menangis) karena dianggap
keguguran sebelum sempurna, berdasarkan perkataan Abu Hurairah radliallahu 'anhu yang
menceritakan bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak ada seorang anakpun
yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah
yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang
ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat
padanya?". Kemudian Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, (mengutip firman Allah QS Ar-
Ruum: 30 yang artinya: ('Sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu"

Bila diinterpretasikan lebih lanjut dari istilah fitrah sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
dapat mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham nativisme. Oleh
karena itu, fitrah mengandung makna “kejadian” yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama
yang benar dan lurus, yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh apa pun karena fitrah
itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan, baik isi maupun bentuknya
dalam tiap pribadi manusia.

7
2.2. PENGERTIAN QADARIYAH

Qadariyah adalah paham yang lebih condong kepada penggunaan akal pikiran yang sangat
dominan, sehingga menganggap bahwa perbuatan yang dihasilkan manusia itu atas dasar
kehendaknya sendiri tanpa adanya campur tangan Tuhan. Sejalan dengan hal tersebut mengenai
pendidikan Islam, seorang tokoh filosof muslim bernama Ibnu Sina mengatakan bahwa seorang
anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan alamiah, akan tetapi mengandalkan kemampuan
tersebut tidak cukup untuk mendidik seseorang, harus ada faktor-faktor lain yang turut
mempengaruhinya. Ini berarti bahwa manusia diberikan kebebasan dengan menggunakan akal
pikirannya dalam menentukan jalan hidupnya. Jadi, paham Qadariyah memberikan peran yang
sangat besar kepada manusia dalam memilih, berpikir, menentukan atau memutuskan
perbuatannnya. Kebebasan yang dimaksud bukan berarti kebebasan tak terbatas, melainkan
kebebasan dalam determinisme. Di sinilah peran pendidikan Islam dalam mengajarkan berbagai
hal agar menjadi suatu kebiasaan yang tentunya dalam hal ini faktor lingkungan sosial dapat
memberikan pengaruh pada kebebasan diri atau pikiran manusia dalam memilih atau
memperbuat sesuatu. Faktor lingkungan pendidikan Islam berfungsi menunjang terjadinya
kegiatan proses pembelajaran secara aman, tertib, dan berkelanjutan. Salah satu lingkungan yang
berperan adalah lingkungan masyarakat. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah swt.
yang keberadaan hidupnya tidak dapat menyendiri. Manusia membutuhkan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Kebutuhan manusia yang diperlukan dari lingkungan
masyarakatnya tidak hanya yang menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual,
termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sebagainya. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia membutuhkan adanya
lingkungan sosial masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang terbuka dan
dapat menerima yang baik dari manapun datangnya, tanpa terlepas dari ruh Ilahiyah. Masyarakat
muslim juga adalah masyarakat yang kuat fisik dan mentalnya. Dengan demikian, pendidikan
Islam sangat membuka peluang kepada manusia agar senantiasa berusaha mananamkan nilai-
nilai yang baik dalam kehidupannya dengan mengerahkan seluruh kemampuan akalnya dan

pemahamannya terhadap wahyu (ruh ilahiyah), karena dua hal tersebut selalu berdampingan satu
sama lain dan saling melengkapi.

8
2.3. Pengertian AL-ASY’ARIYAH

Dalam suasana kemuktazilahan yang keruh, muncullah al-Asy‘ari, dibesarkan dan didik
serta berguru pada al-Jubbai, seorang tokoh Muktazilah sampai mencapai umur lanjut. Ia telah
membela aliran Muktazilah sebaik-baiknya. Akan tetapi aliran tersebut kemudian
ditinggalkannya bahkan memberinya pukulan-pukulan hebat dan menganggapnya lawan yang
berbahaya. Sebab utama ia meninggalkan aliran Muktazilah karena terjadinya perpecahan antara
kaum muslimin yang dapat menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri, ia sangat
mengkhawatirkan Qur’an dan hadis menjadi korban paham-paham Muktazilah, yang menurut
pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran. Sebagaimana
juga dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli hadis antrhopomorphis yang hanya memegangi
nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret Islam kepada kelemahan,
kebekuan yang tidak dapat dibenarkan agama. Oleh karena itu, Asy‘ariyah mengambil jalan
tengah antara golongan rasionalis dan golongan tekstualis, ternyata jalan tersebut dapat diterima
oleh mayoritas kaum muslimin. Adapun corak pemikiran Asy‘ariyah mengenai perbuatan
manusia hubungannya dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan ia namai dengan istilah kasb
(perolehan/perbuatan). Menurutnya, kasb adalah ciptaan Allah. Dapat disimpulkan bahwa Tuhan
pencipta semua perkara manusia berarti Tuhanlah pembuat semuanya pula. Perbuatan yang
timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan adalah berarti manusia sebenarnya
merupakan tempat bagi perbuatan Tuhan.

2.4. Perbedaan jabariyah

Jabariyah berasal dari kata ja-ba-ra, yang memiliki arti keterpaksaan. Sebuah paham teologi
dalam Islam yang meyakini bahwa alur hidup manusia merupakan ketentuan Tuhan yang
memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan garis hidup manusia. Dalam hal ini, manusia
tidak berdaya, segala tindakan manusia merupakan ketentuan Tuhan. Meskipun paham ini
mengajarkan kepasrahan tetapi sesungguhnya paham ini banyak dimanfaatkan oleh para
penguasa. Pada aliran ini, kekuasaan Muawiyah pertama mencari legitimasi dari kalangan
pemberontak, terutama orang-orang Syi’ah. Ucapan Muawiyah yang cukup terkenal, “Apa yang
terjadi pada diriku sudah ditentukan oleh Tuhan.” Paham demikian merupakan paham yang
menyebabkan timbulnya banyak korupsi yang dilakukan oleh banyak para pemegang jabatan.

9
2.5. Qadariyah

qa-da-ra, yang memiliki arti kehendak. Sebuah paham teologi yang mengatakan bahwa apa yang terjadi
pada diri manusia merupakan kehendak pribadi. Aliran ini dipegang oleh kalangan Mu’tazilah yang
menempatkan akal pada posisi tertinggi, lebih tinggi dari wahyu. Menurut paham ini perbuatan manusia
sepenuhnya merupakan tanggung jawab. Pada paham ini, dalam politik menganjurkan sebuah kontrol
terhadap jalannya sebuah kepemimpinan, melalui kontrak sosial. Bahkan, paham ini meyakini bahwa
Tuhan tidak bertanggung jawab sama sekali terhadap perbuatan manusia karena Tuhan sepenuhnya
telah memberikan akal kepada manusia. Paham ini dipegang oleh aliran rasional, Mu’tazilah.

2.6. Al-Asy’ariyah

Aliran ini berkeyakinan bahwa apa kehendak manusia dan Tuhan terdapat porsinya tersendiri. Aliran
yang dicetuskan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, seorang murid Wasil bin Atha’ seorang ulama dari kalangan
Mu’tazilah. Secara sederhana, aliran ini memiliki adagium yang cukup sederhana tetapi cukup mewakili,
yakni, “Manusia berencana tetapi Tuhan yang menentukan.” Paham ini berusaha menempuh jalan
tengah dari dua keyakinan yang berseteru: Qadariyah dan Jabariyah. Penganut paham ini menyebut diri
mereka sebagai Asy’ariy, sebuah nama yang dinisbahkan kepada al-Asya’ari. Meski menghargai
kehendak bebas manusia, paham ini dinilai oleh banyak pemikir kontemporer sebagai paham yang tidak
jauh beda dengan Qadariyah, bahkan disebutkan sebagai pemikiran subvarian Qadariyah. Karena,
meskipun manusia berkehendak bebas tetap saja Tuhan yang menentukan.

10
2.7. Sejarah Jabariyah, Qadariyah Dan Al-asy’ariyah

• Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Bisri
dan Ja’ad bin dirham,pada masa pemerintahan Khalifah abdul malik bin marwan (685-705 M).
• Latar belakang timbulnya qadariyah ini sebagai isyarat menantang kebijksanaan poliik bani
umayah yang di anggapnya kejam.
• Sebagian orang-orang qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu
berasal dari Allah SWT,sedangkan perbuaan manusia yang buruk itu manusia sendiri yang
menciptakannya, tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah SWT.
• Firqoh jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya firqoh qabariyah,dan tampaknya
merupakan reaksi dari padanya.firqoh qadariyah timbul di irak,sedangkan firqoh jabariyah
timbul di Khurasan Persia. Pemimpinnya yang pertama adalah jaham bin sofwan.karna itu,
firqoh ini kadang-kadang disebut Al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengan
aliran Qurro’ agama Yahudi dan aliran Ya’cubiyah agama Kristen.
• Dalam segi tertentu,Jabariyah dan Mu’tazilah mempunyai kesamaan pendapat,misalnya tentang
sifat Allah SWT. Surga dan neraka tidak kekal,Allah SWT. Tidak bisa dilihat diakhirat kelak,
Al-Qur’an itu makhluk dan lain sebagainya. Jaham bin Sofwan mati terbunuh oeh pasukan Bani
Umayah pada 131 H.
• Sebagian pengikut jabariyah beranggapan telah bersatu pada tuhan. Disini menibulkan paham
wihdatul wujud, yaitu Manunggaling Kawulo Lan Gusti,bersatunya hamba dengan dia
• Terhadap pelaku dosa besar,Al-ariyah sebagai wakil Ahl As-Sunnah menyatakan pendiriannya
denagn tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (Ahl Al-Qiblah) walaupun
melakukan dosa besar seperti berzinah dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai
orang beriman dengan keimanan yang mereka miliki,sekalipun berbuat dosa besar itu
dilakukanya dengan menanggap bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini
keharamannya, ia dipandang telah kafir.

11
2.8. DALIL NAQLI JABARIYAH
QS. Al-Insan 30 :
ً ‫علِيما ً َحكِيما‬ َّ ‫َو َما تَشَاؤونَ ِإ ََّّل أَن َيشَا َء‬
َ َّ َّ‫َّللا ِإن‬
َ َ‫َّللا كَان‬
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

DALIL NAQLI QADARIYAH


QS Ar- Ra`du ayat 11 :
‫َّللا َّلَ يغَيِهر َما بِقَو ٍم َحتَّى يغَيِهروا َما بِأَنفسِ ِهم‬
َ ‫إِنَّ ه‬
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri..

DALIL NAQLI AL-ASY’ARIYAH


‫مصدر التلقي عند األشاعرة هو العقل وقد صرح الجويني والرازي والبغدادي والغزالي واآلمدي واإليجي وابن فورك‬
‫والسنوسي وشراح الجوهرة وسائر أئمتهم بتقديم العقل على النقل عند التعارض مخالفين بذلك ما كان عليه سلفنا الصالح من‬
‫تقديم النقل على العقل عند التعارض‬

“Sumber validitas menurut ulama Asy'ariyah adalah akal. Ar-Razi, al-Baghdadi, al-Ghazali al-
Amudi, al-Iji, Ibnu Furak, as-Sanusi dan para pensyarah kitab Jauharah at-Tauhid dan seluruh
imam-imam mereka menyatakan agar mendahulukan akal dari teks ketika ada pertentangan.
Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh salafush shalih yang mendahulukan teks daripada akal
ketika ada pertentangan.” (Sa’id Abdul Adhim, Manhaj Ibnu Taymiyah at-Tajdîdî as-Salafî wa
Da‘watihi al-Ishlâhiyyah, halaman 139).

Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/benarkah-asyariyah-mendahulukan-akal-daripada-
teks-al-quran-dan-hadits-XeTz1

12
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, kami menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Paham Qadariyah memandang proses pendidikan Islam dapat berlangsung dengan baik jika
manusia bersungguh-sungguh berusaha dalam menanamkan nilai-nilai islami dalam
kehidupannya. Paham ini memandang bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh dirinya
sendiri, sehingga apa yang dialami manusia dalam hidupnya adalah hasil dari perbuatannya
sendiri.

2. Paham Jabariyah memandang bahwa segala perbuatan yang dihasilkan manusia merupakan
manifestasi dari kehendak Tuhan, sehingga dalam pandangannya mengenai pendidikan Islam
bahwa proses pendidikan tidak begitu berpengaruh sebab berhasil tidaknya sebuah proses
pendidikan tersebut akan ditentukan oleh Allah.

3. Paham Asy’ariyah memandang pendidikan Islam merupakan proses yang dinamis, dalam
artian manusia di samping telah memiliki potensi dasar untuk menerima proses pendidikan ia
juga bergantung pada lingkungan sekitar yang turut mempengaruhi kepribadian seseorang.
Meskipun paham ini lebih meyakini bahwa apapun hasil dari proses pendidikan Islam itu adalah
tidak lain dari kehendak Tuhan, manusia hanya tunduk pada kehendak tersebut.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. AB Hadariansyah, pemikiran – pemikiran teknologi dalam sejarah pemikiran islam.2008.


Banjarmasin : Antasari Press.

2. Ahmad amin, Fajr islam. 1965. Kairo: al- Nahdhah.

3. Ali musthafa al-ghurabi, Tarikh al-firaq al-islamiyah.1958. Kairo:t.t.

14

Anda mungkin juga menyukai