D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 1
Ketua : Fadlia Al Mahdali
Anggota : Gefira Nurfatimah Kue
: Masita Laraba
: Mawu'izatul Fitriah Antu
: Nindi Murniati Tumayahu
: Novita Mihari
: Rahma Busura
: Rahmatia Gobel
Kritik dan saran yang membangun dari setiap pembaca agar perbaikan dapat
dilakukan sangat diharapkan. Dan semoga makalah ini dapat ber-manfaat bagi para
siswa umumnya dan kami sebagai pembuat makalah khususnya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................................................ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muktazilah adalah aliran yang di pelopori oleh washil bin atho karena terbiasa
berfikir secara rasional, melakukan berbagai penelitian, maka menghasilkan beberapa
penemuan Asyariah yang merupakan anti tesis dari muktazilah, mendapat sambutan
baik dari umat islam. Pencerahaannya mampu mengobati dahaga kaum muslimin.
terutama setelah pembantaian para ulama oleh pemerintah (yang waktu itu di
pengaruhi paham muktazilah) kemudian lahirlah maturidiyah, yamg di gagas oleh abu
mansur al maturidi beliau yang sama-sama mengutamakan waktu, dengan sedikit
perbedaan istilah dan perbedaan dalam rincian permasalahan yang cabang yang tidak
banyak jumlahnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan akal dan wahyu dalam islam?
2. Apakah landasan hukum akal dan wahyu?
3. Bagaimana Akal dan Wahyu Menurut Aliran Kalam?
C. Tujuan Penulisan
1. Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena islam tak
akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini
sangat berpengaruh dalam segala hal dalam Islam.
2. Dalam Islam kedudukan wahyu adalah sebagai dalil naqliy (nash) dan
kedudukan akal adalah sebagai dalil 'aqly (aqly), maka dalam penempatannya
akal haruslah tunduk dan bisa menalarkan wahyu dengan indera dan intuisi.
3. Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti,
seperti contohnya, Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya, Mengetahui adanya
hidup akhirat, Dan Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung
pada mengenaltuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada
tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perspektif Mu'tazilah
Dr. Mustafa as-Syak’ah, mengatakan bahwa, akidah Muktazilah berdiri di atas
pondasi akal dan perdebatan. Bahkan di antara kaum Muktazilah -yakni sekte
Jahidiyah-, mencela para fukaha dan Muhaddiṡin, seraya mengatakan bahwa mereka
termasuk orang awwam, karena mereka melakukan taklid dan tidak berinovasi. Dalam
posisi atau kedudukan akal -sebagaimana dikatakan oleh al-Syahrastani-, Mereka
(Muktazilah) sepakat bahwa meskipun wahyu belum diturunkan, manusia pasti
mampu mengetahui pokok-pokok makrifat (mengetahui Tuhan) dan syukur atas
anugerah nikmat yang Tuhan berikan (kedua hal tersebut bisa diketahui melalui akal).
Begitupun dengan keburukan dan kebajikan, mengikuti kebajikan dan
menjauhi keburukan, merupakan hal-hal yang pasti bisa diketahui melalui akal (tidak
mesti melalui wahyu). Adapun diutusnya para Nabi, tidak lebih hanya sebagai ujian
dan cobaan.Abu Hudzail Hamdan, salah satu tokoh Muktazilah bahkan menegaskan :
”wajib bagi seorang Mukallaf (yang sudah balig), mengetahui Allah SWT beserta
alasannya, -meskipun belum datang wahyu- (tentang Allah SWT ) kepadanya. Dan
jika ia membatasi diri mengenaipengetahuan tentang Allah SWT (bahwa Allah SWT
hanya bisa diketahui melalui wahyu),maka ia akan menerima sangsi dari keyakinan
nya tersebut, selama-lamanya.
Selain itu, seorang Mukallaf –meski sebelum datangnya wahyu- juga wajib
mengetahui manfaat sebuah kebaikan dan mudhorot sebuah keburukan, maka ia wajib
condong kepada kebaikan (seperti jujur dan adil), dan menjauhi keburukan (seperti
dusta dan aniaya). Sementara itu, Ibrahim bin Yasar, mengatakan:” Bagi orang yang
berpikir, jika ia berakal dan me-mungkinkan untuk berpendapat, -meskipun wahyu
belum diturunkan- semestinya ia mampu meng-hasilkan pengetahuan tentang Allah
SWT, dengan pertimbangan baik dan buruk berdasarkan akal pikiran terhadap segala
sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah SWT.
Kemudian Isa bin Ṣobih lebih jauh menjelaskan, bahwa akal mampu
mewajibkan mengetahui Allah SWT, dengan seluruh hukum dan sifatnya (sebelum
syari’at diturunkan), dan seseorang wajib mengetahui bahwa jika ia membatasi
pengetahuan tentang Allah SWT (Allah SWT hanya diketahui melalui wahyu), dan ia
juga belum mengetahui Allah SWT, dan belum bersyukur kepada Allah SWT
(padahal ia berakal), maka ia akan mendapatkan hukuman yang kekal, dan
menetapkan kekelan hukuman bagi orang tersebut adalah hal yang wajib ber-dasarkan
pertimbangan akal. Bahkan lebih jauh lagi, Amr bin Bahr mengatakan, bahwa seluruh
Makhluk berakal mengetahui bahwa Allah SWT lah yang telah men-ciptakan mereka,
dan merak mengetahui bahwa mereka membutuhkan Nabi, dan mereka dapat
membuktikan pengetahuan mereka.
2
Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam, yang menggunakan
pemikiran rasional untuk menjelaskan masalah ketuhanan. Secara epistemologi
pemikiran rasional Mu’tazilah terpengaruh oleh pemikiran filsafat.Mu’tazilah
menggunakan metoda berfikir filsafat untuk memnjelaskan dan menetapkan persolan
Ketuhanan. Mu’tazilah berpandangan bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan
dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, karena
Tuhan tidak absolute dalam kehendak-Nya, dan Tuhan mempunyai kewajiban berlaku
adil, berkewajiban menempati janji, berkewajiban memberi rizki.
Dalam hubungannya dengan perbuatan manusia , kehendak mutlak Tuhan jadi
terbatas karena kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam menentukan
kemauan dan kehendaknya. Menurut mu’tazilah posisi manusia dalam tatanan alam
semesta memiliki pandangan tersendiri. Manusia harus berhubngan dengan alam, dan
tidak dapat menghindarkan diri dari ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan
hukum alamiah. Jika dikaitkan dengan paham free will dan free act, sudah menjadi
perdebatan panjang dikalangan teologi Islam. Penelitan ini ingin menemukan
pemikiran rasional mu’tazilah yang tentunya berkaitan erat dengan beberapa
permasalahan, yakni hakikat pemikiran rasionalis mu’tazilah dan cara mengemukakan
pendapatnya, serta pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam yang
tercermin pada pemikiran tokoh-tokoh Islam di Indonesia.
Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah Sejarah munculnya aliran
mu‟tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliranmu‟ tazilah tersebut muncul di kota
Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105-110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dankhalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrahmantan murid Al-Hasan Al-
Bashri yang bernama Washil bin Atha‟ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini
adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awalkemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan
mu‟tazi lah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu‟tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian paradedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifahAl-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhajahli kalam
(yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur‟an dan As
Sunnah). Secara harfiah kata Mu‟tazilah berasal dari I‟tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis,istilah
Mu‟tazilah menunjuk ada dua golongan.Golongan pertama, (disebut Mu‟ tazilah I)
muncul sebagai respon politik murni.Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral
politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara
Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah
bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula- mula disebut kaum
Mu‟tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaianmasalah khilafah.
Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum
Mu‟tazilah yang tumbuh dikemud ian hari.Golongan kedua, (disebut Mu‟tazilah II)
muncul sebagai respon persoalanteologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan
Mur‟jiah akibat adanya peristiwa tahkim.
3
B. Perspektif Asy'ariah
Asyariah pada dasarnya mengakui pentingnya akal dan wahyu. Bagi mereka,
dengan akal seseorang dapat mengetahui adanya Tuhan, sedangkan pengetahuan
tentang baik dan jahat dan kewajiban-kewajiban manusia dapat diketahui melalui
wahyu dan akal adalah bukti kebenaran wahyu. Menurut al-Ghazali, sebagaimana
dikutip oleh Afraniati Affan bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban
bagi manusia, kewajiban-kewajiban bagi manusia ditentukan oleh wahyu.Al-
Syahrastani juga mengatakan bahwa menurut Asyariah kewajiban seluruhnya
berdasarkan wahyu, akal tidak mewajibkan apapun, dan tidak menentukan baik dan
buruk. Mengetahui Allah SWT dapat diketahui melalui akal, tetapi kewajiban
mengetahui Allah SWT, diketahui melalui wahyu. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT dalam Q.S al-Isra {17}: 15.
َمِن اْهَتٰد ى َفِاَّنَم ا َيْهَتِد ْي ِلَنْفِس ٖۚه َو َم ْن َض َّل َفِاَّنَم ا َيِض ُّل َع َلْيَهۗا َو اَل َتِزُر َو اِز َر ٌة
ِّو ْز َر ُاْخ ٰر ۗى َو َم ا ُكَّنا ُمَع ِّذ ِبْيَن َح ّٰت ى َنْبَع َث َر ُسْو اًل
Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah SWT ), maka sesungguhnya itu
untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat maka sesungguhnya
(kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul
dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang
rasul. (Q.S al-Isra {17} 15).
Salah seorang tokoh Asyariah yaitu Abu Qasim SulaIman bin Nasir al-Ansori
dalam menulis kitabnya (Gunyah fii kalam), beliau justru menyediakan sub khusus
yang membahas tentang pentingnya argumentasi akliah. Aliran Asy'airiah ini
berkembang dengan pesatnya di Irak. Kemudian, ia berkembang di Mesir pada zaman
Salahuddin al-Ayubi, di Syiria dengan sokongan Nuruddin Zanki,di Maghribi dengan
Dukungan Abdullah bin Muhammad, di Turki dengan sokongan Utsmaniah dan di
daerah-daerah yang lain. Ideologi ini juga disokong oleh sarjana-sarjana di kalangan
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
Makna dari sifat-sifat Allah yang ditetapkan oleh kaum Asy'ariyah berbeda
dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia. Kemiripan hanya pada namanya saja,
namun dalam pemaknaannya sangat berbeda. Asy'ariyah menggunakan tiga jenis
metodologi yang berbeda untuk menjelaskan akidah di dalam dakwah. Ketiga jenis
metodologi ini yaitu metodologi tekstual. metodologi rasional, dan metodologi
dialektika.
Metodologi rasional digunakan untuk mengaitkan antara akidah dengan
pemahaman yang maksimal melalui akal. Sedangkan metodologi dialektika meliputi
kegiatan diskusi dan pertukaran pikiran. Jenis metodologi dialektika secara khusus
digunakan dalam mazhab Asy'ariyah untuk memenangkan debat dengan mazhab
pemikiran yang berlawanan dengannya, yaitu Metodologi tekstual dalam mazhab
Asy'ariyah untuk menerima wahyu didasarkan kepada Al-Qur'an dan hadits.
Kemudian, metodologi rasional menerapkan ilmu logika.
4
Aliran Asy'ariyah adalah paham akidah yang mana di nisbatkan kepada Abul
Hasan Al-Asy'ari. Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Ali Ismail Bin Abi Basyar
Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Amir
Bin Abi Musa Al-Asy'ari. Kelompok Asy'ariyah menisbahkan pada Namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy'ariyah. Asy'ariyah
mengambil dasar keyakinan dari kulla bilyah,yaitu pemikiran dari Abu Muhammad
Bin Kullah dalam meyakini sifat-sifat allah. Kemudian mengedepankan akal diatas
tekstual ayat dalam memahami Al-qur'an dan Hadits.Aliran Asy'ariyah disebut juga
sebagai aliran Ahli Sunnah yang dimana kemunculannya mengatasi berbagai faham
yang berkembang di kalangan umat islam dan menjadi penengah berbagai persoalan
pemikiran umat.
A. Kesimpulan
Akal adalah wahyu alat spiritual atau rohaniah manusia yang berfungsi untuk
membedakan antars benar dan salah Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung
ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia maupun akhirat yaitu yang sudah tertulis di dalam Al-Quran
Dalam Islam wahyu atau sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw,
terkumpul semuanya dalam Al-Quran. Fungsi Akal, manusia bisa membedakan yang
baik dan yang buruk, dan bisa membedakan yang membahayakan dan menyenangkan
pada dirinya.
Karakteristik Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan
manusia baik perintah maupun larangan Karakteristik Akal karena landasannya yang
berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan
pengulangan; Pentingnya akal Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman
tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan,
bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
Kekuatan Akal, Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya. Kekuataan Wahyu Untuk
memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib. Menurut
Mu'tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka lebih memuji akal
mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi. Menurut Salafiyah,
fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal.