Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MORALITAS IDEAL DAN MANUSIA SEMPURNA PERSPEKTIF


AGAMA DAN BUDAYA

Dosen Pengampu: Dr. H. Burhanuddin., M.A.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
 Lisdawati (200208013)
 Syahrul Mubarak (200208012)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN KOMUNIKASI ISLAM
IAI MUHAMMADIYAH SINJAI
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puja dan Puji
syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah ilmiah Akhlak Tasawuf ini,
dengan judul "Moralitas Ideal dan Manusia Sempurna Perspektif Agama dan Budaya" tepat pada
waktunya.

Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang berkaitan pada makalah-makalah selanjutnya.

Sinjai, 30 Maret 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI.....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Moralitas..............................................................................................6
B. Pengertian Manusia Sempurna..............................................................................6
C. Manusia Sempurna Perspektif Agama dan Budaya...............................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................11
B. Saran....................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................12

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Insan Kamil (Manusia Sempurna), sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada
hidup di permukaan bumi ini adalah Muhammad SAW. Sumber pandangan Islam adalah
Al-Qur’an dan Hadist. Al-qur’an memandang bahwa khalifah manusia itu adalah ciptaan
Ilahi dan menyebut Insan Kamil sebagai imam. Jadi, Al-qur’an dan isyarat yang terdapat
dalam kutab Nabjul Balagbab, karya Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan hadis-hadis yabg
diriwayatkan oleh para imam Syiah dimana hal ini memerlukan penelitian tersendiri, juga
Muhammad bin Ali al Hakim at Turmudzi (wafat 255 H), Abu Yazid Busthami (wafat 264
H), dan Husain bin Manshur al Hallaj (wafat 309 H) adalah orang-orang yang pertama kali
mempopularkan teori insan kamil.
Dalam perspektif ilmu tasawuf Falsafi bahwa manusia sebagai insan kamil memiliki
dua unsur, yaitu karakter kemanusiaan dan ketuhanan. Dua karakter ini yang notabene
tampak dualis namun dua-duanya sejatinya saling menyatu dan bercampur. Jika sifat
ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam
diri Tuhan, maka terjadilah bulul. Untuk sampai kepada tahap seperti itu insan kamil harus
terlebih dahulu dapat menghilangkan sifat. Kemanusiannya melalui proses al-fana. Al-hulul
dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia sebagai insan kamil dan tuhan telah
bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, hul pada hakikatnya bertujuan mencapai persatuan
secara batin. Untuk itu, al-Hulul adalah ketuhanan menjelma ke dalam diri insan, hal ini
terjadi pada saat kebatian seseorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan
hidup kebatinan.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, penyusun merumuskan beberapa masalah yaitu:
1. Apa itu Moralitas?
2. Apa itu Manusia Sempurna (Insan Kamil)?
3. Seperti Apakah Manusia Sempurna Perspektif Agama dan Budaya?

C. TUJUAN

4
Adapun tujuan yang ingin dicapai yaitu:
1. Untuk Mengetahui Apa itu Moralitas.
2. Untuk Mengetahui Pengertian Manusia Sempurna.
3. Untuk Mengetahui Manusia Sempurna Perspektif Agama dan Budaya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moralitas
Makna moral dalam ajaran Islam tidak sama dengan yang diartikan oleh para ilmuan di
Barat. Bila moral Barat lebih menitikberatkan pada teori antroposentrik, tetapi dalam moral
Islam bersifat teosentrik. Dalam moral Islam suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan
amal saleh atau dosa dengan pahala atau soksa, dengan surga atau neraka. Moral dalam Islam
adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja berisikan
sikap, tindakan, perilaku secara normatif, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan
Tuhan (Iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan yang maha Esa.
Pengertian moral dijumpai dalam “The advanced leaners dictionary of current English”.
Dalam kamus ini dikemukakan, ada beberapa pengertian moral yaitu moral adalah prinsip-
prinsip yang berkenaan dengan benar, salah, baik dan buruk, moral berkaitan dengan
kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah, serta moral berkaitan erat
dengan suatu ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.1
B. Pengertian Manusia Sempurna (Insan Kamil)
Kedalaman dimensi esoterik di kalangan sufi, melahirkan konsep Insan Kamil (The
Perfext Man). Insan Kamil berasal dari gabungan kata bahasa Arab, insan berarti manusia,
kamil berarti sempurna. Jadi secara bahasa insan kamil mengandung makna manusia
sempurna yaitu manusia yang dekat dengan Allah dan terbina potensi ruhaniahnya sehingga
dapat berfungai secara optimal. Inilah manusia seutuhnya yang mempunyai ketinggian
derajat di hadapan Tuhannya, sehingga mencapai tingkat kesempurnaan tauhid dan
akhlaknya.
Manusia sempurna (insan kamil) menurut Abdul Karim al-Jilli (wafat 1428 M),
sebagaimana dikutip oleh A. Mustofa adalah manusia cerminan Tuhan, dengan kata lain
manusia yang sudah mengenal eksistensi dirinya sendiri dan memiliki sifat-sifat yang mulia.
Insan kamil ialah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang

1
Dr. Syukri, M.A, Insan Kamil dan Moralitas Ideal menurut Tasawuf Falsafi, Jurnal Multikulturalisme dan
multireligius, Volume III No.3 jan-Des 2015, hal. 106.

6
dianggap mutlak, yang mutlak tersebut dianggap memiliki sifat-sifat tertentu yakni yang
baik dan sempurna. Sifat sempurna ialah sifat yabg patut ditiru oleh manusia. Makin
seseorang memiripkan diri kepada sifat sempurna dari yang mutlak tersebut, makin
sempurnalah dirinya. Dalam pengertian awam, insan kamil berfungsi sebagai penguasa alam
dan mediator yang mendatangkan syafaat. 2
Insan kamil adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan,
perbuatan dan kebijaksanaan. Sifat-sifat lubur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar
dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil adalah sang mukmin yang merupakan makhluk
moralis, yang dianugrahi kemamluan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan
dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi. Insan kamil
lebih ditujukan pada manusia yang sempurna, baik dari segi pengembangan potensi
intelektual, rohami, spiritual, intuisi, kata hati, akal sehat dan fitrahnya maupun segi fisik
jasmahniahnya yang sehat dan segar bugar. Insan kamil juga nerarti manusia yang sehat dan
terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan
dengan Allah Swt, dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Insan
kamil yang demikian inilah yang akan selamat dan berbahagiah hidupnya do dunia dan
akhirat.3
Menurut Mohsen Miri, manusia sempurna akan selalu ada di dunia ini, karena dia adalah
seorang wali. Manusia sempurna akan menumbuhkan kembali nilai-nilai spiritual dalam
kehidupan bermasyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dari modernisme.
Manusia sempurna ibarat air hujan yang membersihkan kotoran-kotoran. Hal ini
menunjukkan bahwa, manusia sempurna tidak mengasingkan diri dari keramaian manusia
dan hiruk pikuk dunia., melainkan dia hidup di tengah-tengah manusia dan menerima segala
yang baik dan buruk serta melahirkan kebahagiaan dan perdamaian.
Dalam pandangan Al-Ghazali, manusia sempurna hanya akan diraih oleh manusia yang
telah mencapai ma’rifat. Ma’rifat merupakan tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh
manusia. Kebahagiaan sebenarnya manusia dalam mencapai kesempurnaan paling tinggi
terutama bagi manusia adalah mengenal zat yang maha agung, hal itu tidak dapat tercapai

2
Dr. Lalu Muhammad Nurul Wathoni, Akhlak Tasawuf menyelami kesucian diri, (cet.1, NTB: Forum Pemuda
Aswaja), hal. 174.
3
Dr. Syukri, M.A, Insan Kamil dan Moralitas Ideal menurut Tasawuf Falsafi, Jurnal Multikulturalisme dan
multireligius, Volume III No.3 jan-Des 2015, hal. 105.

7
seluruhnya di dunia. Bagi manusia yang bersungguh-sungguh untuk meraihnya maka akan
mencapainya di akhirat kelak. Karena dunia sebagai sarana untuk mendapatkaj ma’rifat
selalu memperoleh cobaan, dan hal itu akan berakhir setelah hidup kembali di akhirat.4
Menurut Ibn Arabi, manusia sempurna adalah penyebabd ari penciptaan, karena di dalam
manusia sempurna tersebut obyek penciptaan itu disadari. Andaikata bukan karena dia
(manusia sempurna), maka penciptaan itu tentu saja tidak akan berarti apa-apa, karena
Tuhan tentunya tidak akan dikenal. Jadi karena dia maka seluruh penciptaan itu dibuat,
yakni Tuhan memanifestasikan dirinya di dalam dunia dan di dalam manusia sempurna itu.
Oleh karena itu, dia menduduki tempat mulia, dan karena itu seluruh isi alam dikuasakan
padanya, dan alam ini akan dipelihara terus-menerus selama dia masih ada di dalamnya.5
C. Manusia Sempurna Perspektif Agama dan Budaya

Arti budaya telah diangkat kembali oleh reneisans dengan karakter naturalistik, yaitu
budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai
pembentukan yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana dan lebih
sempurna dalam dunia. Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan penting.
Agama dimengerti sebagai unsur integrasi dari budaya, terutama karena mengajarkan
bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya.
Dalam agama terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan yang dapat mengarahkan manusia
kepada hidup yang lebih baik. Dengan demikian,hidup yang lebih baik dalam perspektif
filsafat budaya adalah pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia
melalui ajaran-ajaran agama. Melalui agama, manusia dapat menjadi bijaksana untuk
mencapai realisasi dirinya yang lengkap sehingga menjadi suatu microcosmos yang
sempurna dalam macrocosmos. Setiap agama umumnya mengajarkan kepada para penganut
atau pengikutnya untuk hidup sebagai orang yang saleh, baik dihadapan manusia maupun di
hadapan Ilahi. Dengan demikian, agama dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang
lebih baik.6

4
Ahmad Samsudin, Skripsi: Konsep Manusia Sempurna dalam Pandangan Lao Tze dan Al-Ghazali, (Yogyakarta:
UINSKY), hal. 7.
5
Dr. Lalu Muhammad Nurul Wathoni, Akhlak Tasawuf menyelami kesucian diri, (cet.1, NTB: Forum Pemuda
Aswaja), hal. 176.
6
Soetyono Iskandar, Mardi Syahir, Filsafat Pendidikan Vokasi, (cet.I, Yogyakarta: Budi Utama, 2018), hal. 24.

8
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan
pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah
makhluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu, manusia juga
mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi yang dapat
memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan
dirinya.

Dengan karunia akal, manusia mampu menggali dan mengelaborasi seluruh potensi dan
bakat yang dimiliki untuk mengelola alam raya ini. dengan sumber-sumber kemampuan daya
manusia tersebut, nyatalah bahwa manusia mampu menciptakan kebudayaan, dimana
terwujudnya budaya tersebut merupakan hasil interaksi manusia dengan segala isi alam raya
ini. penegas mengenai kesempurnaan manusia tersebut tercantum pada Al-Qur’an surah At-
Tin ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. Al- Qurtubi menginterpretasikan ayat tersebut dengan tegas bahwa manusia
adalah sebaik-baiknya sesuatu yang diciptakan Allah dan tidak ada sesuatu pun yang lebih
baik dari manusia. Shihab juga menegaskan bahwa penggunaankata ahsana taqwim
mengisyaratkan keistimewaan manusia yaitu akal, pemahaman dan bentuk fisik. Jadi, secara
fisik dan psikis manusia diciptakan sebaik-baiknya agar dapat melaksanakan fungsinya
sebaik mungkin, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah. Fungsi sebagai khalifah
adalah mengamanahkan manusia sebagai pengelola, pemelihara, serta pemakmur bumi, dan
salah satu bentuk usaha manusia dalam mencapai tujuan dari tugas tersebut ialah dengan
menciptakan budaya.

Budaya yang diciptakan oleh manusia mendeskripsikan cara manusia melakukan segala
sesuatu. Budaya dalam hal ini merupakan semua tingkah laku dan gejala sosial yang
menggambarkan identitas dan citra suatu masyarakat. Manusia merupakan makhluk sosial
yang hidup berinteraksi dengan lingkungannya. Saling mengenal dan memahami, saling
membutuhkan dan bekerja sama, yang semuanya itu bermuara pada pemenuhan kebutuhan
hidup manusia, baik cecara zahir maupun batin. 7

Agama dan budaya sempurna dalam diri manusia. Agama adalah alat komunikasi
manusia dengan Allah sekaligus mencerminkan kekuasaan yang ber-Illah. Manusia yang

7
Ahmad Hariandi, dkk, Budaya Pesantren, (Klaten: Lakeisha, 2021), hal. 25-26.

9
berpotensi agama sangat menikmati hubungan khususnya dengan Allah yang hidup. Tidak
ada yang lebih memahami tujuan hidup yang dikehendaki Allah. Dalam relasinya dengan
Allah manusia belajar membangun relasinya dengan sesama. Manusia tidak boleh saling
meniadakan, melainkan saling melengkapi. Bukan konfrontasi melainkan saling mengasihi,
bersama mengemban tugas Allah dan menjalaninya. Adakah makhluk yang sesempurna ini
dengan potensi yang berlimpah.

Sebagai makhluk budaya dan agama, manusia dipercayakan sebagai pengelola bumi
berdasarkan wilayah kekuasaan yang diberikan Allah. Berkarya, mengelola dunia, adalah
kemanusiaan yang harus terus-menerus ditumbuh-kembangkan selama perjalanan hidup
manusia. Beragama dan berbudaya membuat manusia berada jauh secara kualitas dan unggul
dari ciptaan lainnya. Dari sini terpancar seni hidup manusia yang sangat kaya dengan estetika
tertinggi. Hidup saling melengkapi, dengan belajar menyatu dalam keperbedaan. Ini adalah
benih yang Allah taruh dalam kehidupan manusia. Budaya adalah seni hidup yang sangat
indah, menmjadi prjalanan waktu yang menggairahkan, dan menjadi kemampuan manusia
dalam menikmati kehidupan anugerah Ilahi. Hidup bersama bukan untuk sendiri itu
falsafahnya. Bisa dibayangkan tenangnya kehidupan dan indahnya perbedaan. Dunia adalah
sebuah keluarga, semua perbedaan yang amat kontras di kekinian masa di mana manusia
mengeksploitasi segalanya termasuk sesamanya. Agama bisa berubah menjadi alat pemecah
belah yang mengerikan, budaya bisa dipakai justru untuk meniadakan yang lain.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Moral dalam Islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan
agung yang bukan saja berisikan sikap, tindakan, perilaku secara normatif,
yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Tuhan (Iman), melainkan
wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan yang maha Esa.
2. Menurut Ibn Arabi, manusia sempurna adalah penyebabd ari penciptaan,
karena di dalam manusia sempurna tersebut obyek penciptaan itu disadari.
Andaikata bukan karena dia (manusia sempurna), maka penciptaan itu tentu
saja tidak akan berarti apa-apa, karena Tuhan tentunya tidak akan dikenal.
3. Arti budaya telah diangkat kembali oleh reneisans dengan karakter
naturalistik, yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam
dunianya, yakni sebagai pembentukan yang memperkenankan manusia hidup
atas cara yang lebih bijaksana dan lebih sempurna dalam dunia. Dalam
konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan penting. Agama dimengerti
sebagai unsur integrasi dari budaya, terutama karena mengajarkan bagaimana
hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya.
B. SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut penulis meminta
kritik yang membangun dari pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Hariandi, Ahmad. 2021. Bidaya Pesantren. Klaten: Lakeisha.

Iskandar Soetyono, Mardi Syahir. 2018. Filsafat Pendidikan Vokal. Yogyakarta: Budi Utama.

Syukri. Insan Kamil dan Molaritas Ideal Menurut Tasawuf Falsafi. Jurnal Multikulturalisme dan
Multireligius. Volume III No. 3 Jan-Des 2015.

Samsudin, Ahmad. Skripsi: Konsep Manusia Sempurna dalam Pandangan Lao Tze dan Al-
Ghazali. Yogyakarta: UINSKY.

Wathoni, Muhammad Nurul. 2020. Akhlak Tasawuf Menyelami Kesucian Diri. NTB: Forum
Pemuda Aswaja.

12

Anda mungkin juga menyukai