Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TEKNOLOGI ISLAM

“AKAL DAN WAHYU DALAM


PANDANGAN ISLAM”

DISUSUN OLEH :
KELAS III D

M. SYARFAN ISYROQ (193110617)

DOSEN PENGAMPU :
ARY ANTONY PUTRA, S.Pd.I., MA

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2020
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT, berkat rahmat dan
nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Akal dan
Wahyu dalam Pandangan Islam. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Diharapkan makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan.
Sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini sehingga menjadi lebih baik ke depannya.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dan
membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini selalu bermanfaat.

Pekanbaru, 16 September 2020

M. Syarfan Isyroq

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Akal ........................................................................................................... 3
2.2 Pengertian Wahyu ....................................................................................................... 3
2.3 Fungsi dan Kedudukan Akal dan Wahyu ................................................................. 4
2.4 Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Islam ................................................................. 7
2.5 Fungsi Akal dan Wahyu Kaitannya dengan Tugas Manusia sebagai Hamba
Allah dan Khalifah di Muka Bumi ............................................................................. 7
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 9
3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 9
Sumber Referensi ...................................................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Allah Swt
mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk ciptaan
Allah Swt yang lainnya. Suatu hal yang membuat manusia lebih baik dari mahluk yang
lain yaitu manusia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh
Allah akal sehingga dengan akal tersebut manusia mampu memilih, mempertimbangkan,
dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi
kedudukan akal. Dengan akal manusia mampu memahami Al-Qur’an sebagai wahyu
yang diturunkan lewat Nabi Muhammad Saw, dengan akal juga manusia mampu
menelaah kembali sejarah Islam dari masa ke masa sampai dengan kondisi sekarang ini.

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam
semakin kompleks. Masalah-masalah yang muncul seperti masalah keagamaan yaitu
banyaknya umat muslim kembali menyembah berhala (murtad), politik, sosial budaya,
dan kemunduran umat Islam sampai pada saat itu. Dari permasalahan-permasalahan di
atas dapat dilihat bahwasanya umat Islam mengalami kemerosotan iman dan moral. Dan
untuk menyelasaikan masalah tersebut, maka digunakanlah cara-cara mengkaji kembali
isi Al-Qur‟an dan AsSunnah. Dan masalah-masalah yang belum memiliki tuntutan
penyelesaiannya baik dalam Al-Qur‟an maupun As-Sunnah untuk mengatasinya maka
muncullah jalan ketiga yakni dengan ijtihad. Dalam ajaran agama Islam yang diwahyukan
ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui akal dan wahyu.

Tidak dapat diragukan dan dipungkiri lagi bahwa akal memiliki kedudukan dalam
wilayah agama Islam, yang penting dalam hal ini adalah menentukan dan menjelaskan
batasan-batasan akal, sebab kita semua meyakini bahwa hampir semua kaum muslimin
berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama Islam dan
penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.

Dalam sejarah pemikiran Islam, polemik seputar akal dan wahyu pun menjadi
tema abadi. Polemik antara kalangan rasionalis versus fideis melahirkan aliran Mu’tazilah
di aras akal dan aliran Asy’ariyah serta Wahabiyah di aras teks pada ruang teologi
(kalam), ashab hadis/khabr dan ashab ra’yu pada ruang fikih. Di dunia Syiah (Imamiyah),
polemik seputar hal ini pun melahirkan dua kelompok, yaitu Ushuliyah dan Akhbariyah,
yang satu (Ushuliyah) mengapresiasi akal dan yang lainnya menegasi akal dalam wacana
keagamaan. Selain keduanya, dalam sejarah pemikiran Islam pun hadir tokoh-tokoh yang
merepresentasikan kelompok rasionalis ekstrem yang menegasi wahyu dan kenabian
dengan keyakinan akan superioritas akal. Sebut saja Abu Bakr Muhammad al-Razi, Abu
Ala’ al-Ma’arri, Ibnu al- Rawandi, sebagai pemikir yang mewakili kelompok ini.

Akhirnya, polemik seputar akal dan wahyu senantiasa menarik, karenanya itu,
tema ini menjadi tema abadi dalam diskursus pemikiran keagamaan. Polemik akal dan
wahyu tidak hanya dalam diskursus epistemologis mengenai otoritas dan posisi keduanya

1
dalam pencapaian pengetahuan, tetapi dalam sejarah pemikiran keagamaan, tentang
bagaimana keduanya digunakan dan benturan pemikiran yang dihasilkan, serta kerapkali
berpengaruh pada kondisi sosial-politik, jika salah satu kubu dibcak up oleh penguasa,
hingga menghabisi kubu yang lain.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian dari akal


2. Pengertian dari wahyu
3. Fungsi dan kedudukan akal dan wahyu
4. Akal dan wahyu dalam pemikiran Islam
5. Fungsi akal dan wahyu kaitannya dengan tugas manusia sebagai hamba Allah dan
khalifah di muka bumi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akal

Akal berasal dari bahasa Arab dari kata‘aql (‫ )عقل‬yang berarti akal, fikiran. Dalam
Lisan al-Arab disebutkan bahwa al-‘aql berarti al-bijr yang berarti menahan dan
mengekang hawa nafsu. Seterusnya diterangkan bahwa al-‘aql mengandung arti
kebijaksanaan (al-nuba), lawan dari lemah fikiran (albumq). Al-‘aql juga mengandung
arti qalbu (al-qalb), yang berarti memahami. Akal adalah daya pikir dalam diri manusia
dan salah satu daya jiwa yang mengandung arti berfikir, memahami, dan mengerti. Kata
‘aql sebagai mashdar (kata benda) dari ‘aqala tidak didapat dalam Alquran, akan tetapi
bentukan dari kata‘aqala tersebut dalam bentuk fiil mudhâri` (kata kerja) sebanyak 49 kali
dan tersebar dalam berbagai surah dalam al-Qur`an. Disamping kata `aqala, al-Qur`an
juga menggunakan kata-kata yang menunjukkan arti berfikir, seperti nazhara (melihat
secara abstrak/berfikir), tafakkara (berarti berfikir), Faqiha (memahami), tadabbara
(memahami) dan tazdakkara (mengingat).

Akal adalah suatu peralatan rohaniah sebagai kemampuan pikir manusia yang
berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuannya tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun
informal, dari manusia pemiliknya. Berpikir adalah perbuatan operasional yang
mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Jadi,
akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi
untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fungsi akal adalah untuk berfikir. Kemampuan
berfikir manusia mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah diketahui sebagai
tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya membentuk tingkah laku.

2.2 Pengertian Wahyu

Wahyu adalah kalam atau perkataan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh
makhluk-Nya dengan perantara malaikat ataupun secara langsung (tanpa perantara). Kata
"wahyu" adalah kata benda, dan bentuk kata kerjanya adalah awha-yuhi, arti kata wahyu
adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.

Wahyu turun juga untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan
balasan yang akan diterima manusia di akhirat kelak. Al-Qodi ‘Abd Al-Jabbar
menegaskan bahwa akal tidak dapat mengetahui besar kecilnya pahala di surga dan
hukuman di neraka nanti. Menurut Al-Jubba’I wahyulah yang menjelaskan semua itu.
Wahyu akan datang untuk memperkuat apa yang telah diketahu akal. Rasul-rasul datang
untuk memperkuat apa yang telah ditempatkan Tuhan dalam akal manusia dan untuk
menerangkan perincian apa yang telah diketahui akal. Jelas kiranya bahwa wahyu yang
memberi daya yang kuat kepada akal, tidak membelakangkan wahyu, tetapi tetap
berpegang dan berhajat pada wahyu yang disampaikan oleh Allah Swt.

3
2.3 Fungsi dan Kedudukan Akal dan Wahyu

❖ Fungsi Akal dan Wahyu


Fungsi Akal : 1. Syarat mempelajari ilmu pengetahuan
Akal merupakan syarat untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat
dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan
semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan
amal menjadi lengkap. Namun, (untuk mencapai itu semua), akal
bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan
kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana
kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila akal itu
terhubung dengan cahaya iman dan Al-Qur’an, maka itu ibarat
cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api.”
(Majmu’ul Fatawa, 3/338).
2. Sarana untuk memahami kebenaran
Akal merupakan sarana untuk memahami kebenaran. Tidak sedikit
ayat-ayat dalam Al-Quran yang menegaskan bahwa akal
merupakan sarana untuk memahami kebenaran mutlak dari Allah.
Umumnya kalimat yang digunakan adalah afala ta’qilun (tidakkah
kamu berpikir/tidakkah kamu memikirkannya). Salah satu ayat
yang dimaksud adalah surat Al-Baqarah ayat 44 yang artinya,
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang
kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu
membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS.
Al-Baqarah : 44).
3. Sarana untuk berpikir
Akal juga digunakan sebagai sarana untuk berpikir. Adapun yang
menjadi objek kajian adalah ayat-ayat kauniyah. Terdapat lebih
dari 750 ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan agar manusia
diminta untuk dapat memikirkan berbagai gejala alam sebagai
upaya untuk lebih mengenal Tuhan melalui tanda-tanda-Nya. Salah
satu ayat yang dimaksud adalah surat Al-Baqarah ayat 164 yang
artinya,
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan
bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi dan
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-
tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.” (QS. Al-Baqarah : 164).
4. Syarat utama taklif (pewajiban/pembebanan dalam syariat)
Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk
dapat menerima taklif (beban syari’at) dari Allah SWT. Namun,
bagi syarat ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak memiliki akal
seperti orang gila. Rasulullah SAW bersabda, “Pena diangkat

4
(dibebaskan) dari tiga golongan : (1) orang yang tidur sampai ia
bangun, (2) anak kecil sampai mimpi basah (baligh), dan (3) orang
gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud, Syaikh
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
5. Sebagai alat dan kendali bagi seorang mukmin
Fungsi akal adalah sebagai pengendali bagi seorang mukmin.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap sesuatu memiliki alat dan
kendalinya, alat dan kendali bagi seorang mukmin adalah akalnya.
Setiap sesuatu memiliki keutamaan, keutamaan seseorang ada pada
akalnya. Setiap sesuatu memiliki puncak, puncaknya ibadah adalah
akal. Setiap kaum pasti memiliki pemimpin, pemimpin para ahli
ibadah adalah akal. Setiap orang kaya pasti memiliki harta, harta
orang-orang yang bersungguh-sungguh adalah akalnya. Setiap
yang runtuh adalah bangunan, bangunan yang paling megah di
akhirat adalah akal. Setiap perjalanan yang ditempuh pasti terdapat
tempat persinggahan, tempat persinggahan para muslimin adalah
akal.”
6. Sebagai pencegah
Akal berfungsi sebagai pencegah. Dalam artian, akal mencegah
manusia mengikuti nafsunya. Hal ini merujuk pada penyebutan
akal dengan menggunakan istilah hijr dalam Al-Qur’an yang
mengandung arti pencegah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 284
SWT Allah berfirman yang artinya,
“Milik Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. Jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau
kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan
dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Dia mengampuni siapa
yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki. Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 284).
Ayat tersebut memerintahkan manusia untuk selalu mengawasi,
meneliti, dan merasakan apa yang ada di dalam hatinya. Jika sesuai
dengan perintah-Nya maka manusia diperintahkan untuk
memelihara dan menghidupkan nafs itu agar menjadi amal
perbuatan baik. Namun, jika sebaliknya maka Allah SWT
memberikan ganjaran yang setimpal.

Fungsi wahyu :
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi
informasi di sini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima
kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang
buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima
manusia di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah
kepada Nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-
orang yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah
utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.

5
❖ Kedudukan Akal dan Wahyu

Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah
satu dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia
pasti memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber
kekuatannya adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan
menghasilkan sesuatu yang ada lemahnya pula. Diantara bukti adanya titik lemah pada
akal manusia, adalah adanya banyak hakikat yang tidak bisa dijelaskan olehnya, seperti:
hakekat ruh, mimpi, jin, mukjizat, karamah, dan masih banyak lagi. Belum lagi, seringnya
kita dapati adanya perubahan pada hasil penelitiannya; dahulu berkesimpulan dunia ini
datar, lalu muncul teori bulat, lalu muncul teori lonjong. Dahulu mengatakan minyak
bumi adalah sumber energi tak terbarukan, lalu muncul teori sebaliknya. Dahulu
mengatakan matahari mengitari bumi, lalu muncul teori sebaliknya, dan begitu
seterusnya. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa akal tidak layak dijadikan sebagai
sandaran untuk menetapkan kebenaran hakiki. Apabila ada sumber kebenaran hakiki
yang diwahyukan, maka itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal diberi ruang
untuk memahami dan menerima dengan apa adanya. Oleh karenanya, Islam memberi
ruang khusus bagi akal, ia hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih dalam batasan
jangkauannya, ia tidak boleh melewati batasan tersebut, kecuali dengan petunjuk nash-
nash yang diwahyukan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qu’an. Dalam
pemikiran Islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu. Akal dipakai untuk memahami teks
wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama
tertentu dengan pendapat akal ulama lain. Karena kenyataan ini, maka hendaklah kita
mengetahui batasan-batasan akal, sehingga kita tahu, kapan kita boleh melepas akal kita
di lautan pandangan, dan kapan kita harus mengontrolnya dengan wahyu Allâh Azza wa
Jalla. Ini merupakan bentuk lain dari penghormatan Islam terhadap akal. Islam
menempatkannya pada posisi yang layak, sekaligus menjaganya agar tidak terjatuh ke
dalam jurang kesesatan yang membingungkan. Diantara beberapa hal, yang kita tidak
boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah:
• Hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti
menetapkan atau menafikan Nama dan Sifat Allâh Azza wa Jalla , surga dan
neraka, nikmat dan siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan
lain-lain.
• Dasar-dasar akhlak dan adab yang tidak bertentangan dengan syarîat, seperti adab
makan dan minum, adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan anak
kecil, dan lain-lain.
• Ajaran syarîat Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau
menafikan syariat shalat, zakat, puasa, haji, jihâd, dan lain-lain. Dalam perkara-
perkara ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan
menyimpulkan suatu hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang
ada, ia tidak boleh menentangnya, ataupun mengada-ada. Adapun yang
berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang
diberikan kepada akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus
menemukan dan mengolahnya.

6
2.4 Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Islam

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, permasalahan yang dihadapi umat Islam
semakin kompleks. Masalah-masalah yang muncul seperti masalah keagamaan yaitu
banyaknya umat muslim kembali menyembah berhala (murtad), politik, sosial budaya,
dan kemunduran umat Islam sampai pada saat itu. Dari permasalahan-permasalahan di
atas dapat dilihat bahwasanya umat Islam mengalami kemerosotan iman dan moral. Dan
untuk menyelasaikan masalah tersebut, maka digunakanlah cara-cara mengkaji kembali
isi Alqur’an dan As-Sunnah. Dan masalah-masalah yang belum memiliki tuntutan
penyelesaiannya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatasinya maka
muncullah jalan ketiga yakni dengan ijtihad. Ijtihad adalah upaya yang dilakukan guna
untuk mencapai pengetahuan tentang ajaran Nabi Muhammad Saw dengan tujuan
mengikuti ajaran beliau di samping, mengaitkan dari Alqur‟an dan As-Sunnah. Dalam
ajaran agama Islam yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan,
yaitu melalui akal dan wahyu. Akal adalah anugrah yang diberikan Allah Swt yang
mempunyai kemampuan untuk berpikir, memahami, merenungkan, dan memutuskan.
Akal ini jugalah yang membedakan manusia dengan mahkluk ciptaan Allah yang lainnya.
Sedangkan wahyu adalah penyampaian firman Allah Swt kepada orang yang menjadi
pilihannya untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan
hidupnya agar dalam perjalanan hidupnya senantiasa pada jalur yang benar. Akal dan
wahyu mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia. Wahyu
yang diturunkan Allah kepada manusia yang berakal sebagai petunjuk untuk mengarungi
lika-luku kehidupan di dunia ini. Akal tidak serta merata mampu memahami wahyu
Allah, adalah panca indera manusia yang menyertainya untuk dapat memahami wahyu
yang diturunkan Allah. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara wahyu sebagai
kebenaran mutlak karena berasal dari Tuhan dengan perjalanan hidup manusia.

2.5 Fungsi Akal dan Wahyu Kaitannya dengan Tugas Manusia sebagai
Hamba Allah dan Khalifah di Muka Bumi

Akal pikiran manusia merupakan suatu nikmat dari Allah Swt yang tiada taranya
diberikan kepada manusia. Dengan akalnya manusia bisa berpikir dan memikirkan apa
yang terjadi di alam sekitar. Akal juga yang dapat membedakan antara manusia dengan
makhluk lainnya yang juga berada di muka bumi ini. Dengan akalnya, manusia bisa
membedakan yang baik dan yang buruk, dan bisa membedakan yang membahayakan dan
menyenangkan pada dirinya. Dengan akalnya manusia bisa berusaha mengatasi setiap
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, membuat perencanaan dalam hidupnya,
melakukan pengkajian dan penelitian yang akhirnya menjadikan manusia sebagai mahluk
yang unggul di muka bumi ini. Karena akalnya dan wahyu sebagai syariatnya manusia
dapat diakui sebagai khalifah dimuka bumi ini dari sinilah bisa dirasakan betapa hebatnya
akal yang telah dianugerahkan kepada manusia meski kita tahu bahwa akal yang
dianugerahkan kepada manusia mempunyai batasan-batasan tertentu, karena ada hal yang
tidak bisa dijawab dengan akal misalnya yang berkaitan tentang masalah-masalah dengan
alam gaib seperti kehidupan sesudah mati, hari kiamat dan lain-lain.

Wahyu menurut Harun Nasution sebagai penolong bagi akal untuk mengetahui
alam akhirat dan keadaan hidup manusia nanti. Wahyu juga memberikan kepada akal

7
bagaimana kesenangan dan kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya
di sana. Sungguhpun semua itu sukar dipahami oleh akal, tetapi menurutnya akal bisa
menerima adanya hal-hal tersebut. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan bahwa
wahyu sebagai pemberi informasi kepada akal dalam mengatur masyarakat atas dasar
prinsip-prinsip yang sudah diwahyukan. Dalam mendidik manusia agar hidup dengan
damai dengan sesamanya dan membukakan rahasia cinta yang menjadi ketentraman
hidup dalam bermasyarakat. Wahyu juga membawa syari’at yang mendorong manusia
untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berbuat baik, dan lainnya. Akan tetapi,
akal pasti tunduk kepada wahyu, walaupun ada beberapa hal yang diketahui oleh akal
tidak mesti ada bantuan wahyu seperti mengetahui mana yang baik dan buruk. Tapi ada
juga dalam beberapa hal, akal tidak bisa mengetahuinya tanpa adanya wahyu seperti
pahala yang didapatkan kalau berbuat baik.

Akal bersifat teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki semua orang. Unsur
ini merupakan asal daya cipta manusia, hal-hal yang dapat di akalli secara praktis, yang
dihasilkan lewat pengalaman yang didasarkan pada perasaan dan imajinasi. Dan lewat
akal praktislah manusia mencintai dan membenci.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam kehidupan saat ini, terdapat polemik-polemik yang akan dihadapai oleh
umat muslim dan untuk menyelesaikan polemik tersebut, maka digunakanlah cara-cara
mengkaji kembali isi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan masalah-masalah yang belum
memiliki tuntutan penyelesaiannya baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk
mengatasinya maka muncullah jalan ketiga yakni dengan ijtihad. Ijtihad adalah upaya
yang dilakukan guna untuk mencapai pengetahuan tentang ajaran Nabi Muhammad Saw
dengan tujuan mengikuti ajaran beliau di samping, mengaitkan dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dalam ajaran agama Islam yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu melalui akal dan wahyu. Akal adalah anugrah yang diberikan Allah
Swt yang mempunyai kemampuan untuk berpikir, memahami, merenungkan, dan
memutuskan. Akal ini jugalah yang membedakan manusia dengan mahkluk ciptaan Allah
yang lainnya. Sedangkan wahyu adalah penyampaian firman Allah Swt kepada orang
yang menjadi pilihannya untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan
panduan hidupnya agar dalam perjalanan hidupnya senantiasa pada jalur yang benar. Akal
dan wahyu mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia.
Wahyu yang diturunkan Allah kepada manusia yang berakal sebagai petunjuk untuk
mengarungi lika-luku kehidupan di dunia ini. Akal tidak serta merata mampu memahami
wahyu Allah, adalah panca indera manusia yang menyertainya untuk dapat memahami
wahyu yang diturunkan Allah. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara wahyu
sebagai kebenaran mutlak karena berasal dari Tuhan dengan perjalanan hidup manusia.

9
Sumber Referensi
http://nandaniika.blogspot.com/2014/05/kedudukan-wahyu-dan-akal.html

https://almanhaj.or.id/4063-kedudukan-akal-dalam-islam.html

http://repository.uinsu.ac.id/6506/1/TESIS.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/269119-tafsir-alquran-tentang-akal-sebuah-
tinja-746c2b69.pdf

https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/ulunnuha/article/download/556/470

https://core.ac.uk/download/pdf/266977069.pdf

10

Anda mungkin juga menyukai