Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

AKAL DAN WAHYU

MATA KULIAH
ILMU KALAM

DISUSUN OLEH
Adi Saputra
Agus Martin Abidin
Apid Zaenalfiqri
Rokhili
Muhamad Yusup Hasan Albanna

PROGRAM STUDI ILMU AL – QURAN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ASY - SYUKRIYYAH TANGERANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Ilahi Rabbi Allah SWT, karena atas
berkat rahmat, karunia, serta izin-Nya lah makalah yang berjudul “Akal dan Wahyu” ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya, untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam di Sekolah
Tinggi Agama Islam Asy-Syukriyyah Tangerang.
Penyusunan makalah ini bertujuan agar mengetahui bagaimanakah posisi akal dan wahyu
itu khususnya dalam agama islam, hal ini menjadi penting untuk di kaji untuk menambah wawasan
kita tentang keislaman khususnya dalam lapangan ilmu tauhid dalam hal ini adalah mengenai
pokok bahasan mengenai akal dan wahyu.
Kami menyampaikan terimakasih atas segala dukungan, saran, motivasi kepada semua
pihak terutama dalam kelompok yang telah memberikan saran dalam pembuatan makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat agar menjadi salah satu referensi dan bermanfaat bagi
kami dan kalian semua yang membacanya. Kami menyadari banyak kekurangan dari pembuatan
makalah ini. Maka dari itu untuk kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran yang dapat
membangun dari pembaca sangat kami harapkan.

Tangerang, 25 December 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2

C. Tujuan ........................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3

A. Akal dan Wahyu Menurut Alquran dan Sunnah ......................................................... 3

1. Akal Menurut Alquran dan Sunnah ...................................................................... 3

2. Wahyu Menurut Alquran dan Sunnah................................................................... 5

B. Akal dan Wahyu Menurut Beberapa Aliran Teologi .................................................. 5

1. Muktazilah ............................................................................................................ 5

2. Asy’ariyah ............................................................................................................. 6

3. Maturidiyah ........................................................................................................... 6

C. Akal dan Wahyu dalam Pandangan Al Ghazali ......................................................... 7

1. Akal....................................................................................................................... 7

2. Wahyu ................................................................................................................... 9

D. Akal dan Wahyu dalam Pandangan Harun Nasution ................................................. 9

1. Akal....................................................................................................................... 9

2. Wahyu .................................................................................................................. 14

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 18

A. Kesimpulan dan Saran................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teologi sebagai ilmu yang membahas tentang soal-soal ke-Tuhanan dan


kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, sedang akal dan wahyu dipakai
untuk memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya
berfikir yang ada pada diri manusia, berusaha keras untuk mencapai pengetahuan
Tuhan. Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia
dengan keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan. Konsepsi ini dapat dijelaskan bahwa Tuhan berdiri di puncak alam wujud
dan manusia di kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan,
dan Tuhan sendiri dengan belas kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia,
diperbandingkan dengan ke Maha Kuasaan Tuhan, menolong manusia dengan
menurunkan wahyu melalui Nabi-nabi dan Rasul-rasul.1
Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang terdapat dalam aliran-aliran
teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada Tuhan.
Yang menjadi bahan perdebatan selanjutnya adalah sampai dimanakah
kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban
manusia? Juga sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal tersebut?
Penelusuran secara teliti dalam buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan
dijumpai bahwa persoalan kekuataan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan
dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua, yaitu masalah
mengetahui Tuhan dan masalah baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua,
menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Masalah kedua
bercabang menjadi mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan
perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat.2

1
Harun Nasution, Teologi Islam’Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
Cet 5, 1986), hlm. 79
2
Ibid., hlm. 79-80

1
Berawal dari masalah di atas banyak di kalangan ulama, pemikir Islam,
dan di kalangan aliran-aliran teologi Islam dahulu yang berbondong-bondong
mengeluarkan pendapatnya masing-masing.3 Perdebatan yang semacam itu,
dizaman sekarang ini sudah bisa diselesaikan yaitu dengan perkembangan
teknologi dan perkembangan zaman yang semakin modern.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami membuat beberapa rumusan masalah untuk
memudahkan kami dalam menyususn makalah, rumusan masalah yang kami buat
ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang di maksud dengan akal dan wahyu itu?
2. Bagaimanakah aliran-aliran dalam ilmu kalam memandang posisi akal dan
wahyu?

C. Tujuan
Tujuan di susunnya makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
posisi akal dan wahyu itu khususnya dalam agama islam, hal ini menjadi penting
untuk di kaji untuk menambah wawasan kita tentang keislaman khususnya dalam
lapangan ilmu tauhid dalam hal ini adalah mengenai pokok bahasan mengenai
akal dan wahyu.

3
Ibid., hlm. 82-89

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akal dan Wahyu Menurut Alquran dan Sunnah


1. Akal Menurut Alquran dan Sunnah
Aql (akal) adalah salah satu unsur penting dalam diri manusia yang ada
kaitannya dengan akidah. Kata akal berasal dari kata Arab al’- aql ) ‫ ( العقل‬Kata ini
dalam Alquran terdapat dalam bentuk kata kerja ‘aqaluh (1 ayat), ta’qilun (24
ayat), na’qil (1 ayat), ya’qiluha (1 ayat), dan ya’qilun (22 ayat).
Kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Al-‘aql juga dapat diartikan
sebagai al-hijr (menahan) dan al-‘aqil adalah orang-orang yang menahan diri dan
mengekang hawa nafsu. Pada sisi lain al-‘aql juga dapat berarti kebijaksanaan,
sebagai lawan dari lemah pikiran, al-‘aql juga dapat berarti kalbu.4 Padanannya
dari bahasa latin adalah ratio atau rasio, atau budhi dalam bahasa sangsekerta.5
Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran menempatkan akal posisi yang
amat tinggi. Terdapat banyak ayat yang menyerukan agar manusia menggunakan
akalnya secara benar, dan menyebutkan kata-kata al-‘aql (akal) didalam Alquran
senantiasa dikaitkan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia.
Ayat-ayat yang mengandung kata al-’aql memiliki kaitan dengan manusia
atau orang-orang beriman kepada Allah, misalnya orang-orang yang berakal yang
menggunakan akalnya untuk menerangkan ayat-ayat Allah.6 Tidak sedikit ayat-
ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan
memepergunakan akalnya. Alquran menyebutkan kurang lebih 49 kata ‘aql yang
muncul secara variatif. Semua kata tersebut diungkapkan dalam bentuk kata kerja
(fi’il) dan tak pernah disebut dalam bentuk masdar.
Berdasarkan penggunaan kata ‘aql dalam berbagai susunannya dapat
dijelaskan beberapa penggunaannya, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

4
Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam, (Bandung: Kencana), p. 62.
5
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah, (Jakarta: UI Press, 1987),
p. 44.
6
Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam , op.cit., p. 63.

3
a. Digunakan untuk memikirkan dalil-dalil dan dasar keimanan.7
b. Digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta, serta hukum-
hukumnya (sunatullah).8
c. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan Wahyu Allah.9
d. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaban
umat manusia didunia.10
e. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah.11
f. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan
dengan moral.12
g. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah, semacam
shalat.13
Dari 49 ayat menggunakan kata ‘aql tersebut di atas dapat ditarik
pengertian bahwa ‘aql dipakai untuk memahami berbagai obyek yang riil maupun
abstrak, dan yang bersifat empiris sensual sampai empiris transendental. ‘Aql
digunakan untuk memikirkan hal-hal yang kongkrit seperti sejarah manusia,
hukum-hukum alam (sunnatullāh). Juga digunakan untuk memikirkan hal yang
abstrak seperti kehidupan di akhirat, proses menghidupkan orang yang sudah
mati, kebenaran ibadah, wahyu, dan lain-lain.14
Selain itu terdapat pula dalam Alquran sebutan-sebutan yang memberi
sifat berfikir bagi seorang muslim, yaitu ulu al-albab (orang berfikiran), ulu-al-
‘ilm (orang berilmu), ulu al-absar (orang yang mempunyai pandangan, ulu al-
nuha (orang bijaksana).

7
Lihat : QS. Baqarah: 76; QS. al-Baqarah : 75, 170, 171; QS. Yūnus: 100; QS. Yāasīn: 62;QS. al-
Mā’idah: 103; QS. Hūd: 51; QS. al-Anbiyā’: 67; QS. al-Furqān: 44; QS. al-Qahsash: 60;
QS.al-Zumar: 43; QS. al-Hujurāt 4; dan al-Hasyr: 14
8
Lihat: QS. al-Baqarah: 164; QS. al-Nahl: 12, 67; QS. al-Mu’minūn: 78; QS. al-Ra’ad: 4;QS. al-
Syu’arā’: 28; QS. al-‘Ankabūt: 26; QS. al-Rūm: 24; QS. al-Shaffāt: 138; QS. al-Hadīd: 170;dan
QS. al-Mulk: 10; dan QS. al Qashāsh: 60
9
Lihat QS. Yūsuf : 2; QS.:al-Baqarah: 32, 44; QS. Ali ‘Imrān: 65; QS. Yūnus: 16; QS. al-
Anbiyā’ : 10; QS. al-Zukhruf11.: 3; QS. al-Mulk: 10
10
Lihat: QS. al-Hajj: 46; QS. Yūsuf: 109; QS. Hūd: 51; QS. al-Anfāl: 22, QS. Yūnus: 10;
11
Lihat : QS. al-Baqarah: 73, 242; QS. al-An’ām: 32; QS. al-Syu’arā’: 28; QS. al-Ankabūt:35;
QS. al-Rūm: 28
12
Lihat: QS. al-An’ām: 151
13
Lihat: QS. al-Mā’idah: 58
14
Makhrus, op.cit., p. 43.

4
2. Wahyu menurut Alquran dan Sunnah
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy, yang berarti suara, api,
kecepatan, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Menurut ilmu Bahasa wahyu berarti
isyarat yang cepat denga tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan
tangan. Menurut istilah kata wahyu mengandung arti pemberitahuan secara
tersembunyi dan dengan cepat. Wahyu juga berarti nama bagi sesuatu yang
dituangkan dengan cepat dari Allah ke dalam15 dada Nabi-nabi-Nya, sebagaimana
digunakan juga untuk lafadz Alquran. Kemudian kata wahyu lebih dikenal dalam
arti “apa yang disampaikan Allah kepada para Nabi.16 Al-Why atau wahyu adalah
kata masdar (infinitive); dan materi kata menunjukkan dua pengertian dasar,
yaitu: tersembunyi dan cepat.
Oleh sebab itu, maka dikatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara
tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa
diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya.17 Wahyu adalah sabda Tuhan
yang mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia
dalam perjalanan hidupnya baik di dunia maupun akhirat. Dalam Islam wahyu
atau sabda yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, terkumpul semuanya
dalam Alquran.18

B. Akal dan Wahyu Menurut Beberapa Aliran Teologi


1. Muktazilah
Muktazilah adalah aliran teologi yang mengutamakan penggunaan akal
daripada wahyu, sehingga kelompok ini dikenal juga dengan nama “Kaum
Rasionalisme Islam”.19 Dengan akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan,
mengetahui baik dan buruk, melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan

15
Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam, op.cit., p. 667.
16
Ibid., p. 668.
17
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumil Qur’an; Mudzakir/ Studi Ilmuilmu Alquran,
(Jakarta: Litera AntarNusa, 1973), p. 36.
18
Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam, op.cit., p. 15.
19
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dalam Islam, (Teologi/ Ilmu Kalam), (Jakarta: PT.
Pustaka Antara, 1996).

5
secara garis besar meskipun wahyu belum sampai kepadanya.20 Sedangkan wahyu
berperan menetapkan perbuatan itu baik atau jahat secara terperinci. Dengan
demikian daya akal kuat tetapi fungsi wahyu penting yaitu memperkuat apa yang
telah diketahui oleh akal. Bagi kaum Muktazilah fungsi wahyu lebih banyak
bersifat konfirmasi daripada informasi.21

2. Asy’ariyah
Berbeda dari Muktazilah, dari aliran Asy’ariah memberikan porsi yang lebih besar
kepada wahyu ketimbang akal. Menurut aliran ini segala kewajiban manusia
hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tanpa bimbingan wahyu tidak dapat
mengetahui sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui kewajiban
mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk adalah wajib bagi manusia.
Meskipun akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang
mengetahui-Nya dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyulah manusia
dapat mengetahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan
yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman.22 Sehingga jika sekiranya
wahyu tidak sampai kepada manusia, maka ia tidak akan tahu
kewajibankewajibannya.

3. Maturidiyah
Secara umum Maturidiyah sama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran
pemikiran kalam ini sedikit berbeda dalam hal penempatan kedudukan akal dan
wahyu. Secara umum kalangan Maturidiyah berpendapat bahwa akal dapat
mengetahui baik dan buruk, mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada
Tuhan. Sedang kewajiban berbuat baik dan menjahui yang buruk terdapat
perbedaaan antara Maturidiyah Samarkand dan Bukhoro.23 Bagi Maturidiyah
Samarkand akal mampu dan wajib mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat,
hanya saja kewajiban mengetahui baik dan jahat adalah berdasarkan wahyu,

20
Ibid., p. 80.
21
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dalam Islam, (Teologi/ Ilmu Kalam), op.cit., p. 68-69.
22
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, loc.cit.
23
Ibid., p. 87.

6
bukan pada kemampuan akal. Adapun Maturidiyah Bukhara akal dapat
mengetahui adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan, namun akal tidak wajib
mengatahui Tuhan dan mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan
meninggalkan kejahatan.
Jika dibuat perbandingan mengenai kemampuan akal manusia dan fungsi
wahyu dalam hal mengetahui Tuhan (MT), mengetahui baik dan buruk/ jahat
(BJ), kewajiban mengetahui Tuhan (KMT), dan kewajiban mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan buruk (KMBJ) dapat dilihat dalam
table berikut :

Aliran MT MBJ KMT KMBJ


Muktazilah Akal Akal Akal Akal
Asy’ariyah Akal Wahyu Wahyu Wahyu
M. Samarkand Akal Akal Akal Wahyu
M. Bukhara Akal Akal Wahyu Wahyu

C. Akal dan Wahyu dalam Pandangan Al Ghazali


1. Akal
Akal memiliki makna yang lebih tinggi dan metafisis. Akal dalam
terminologi filsafat Islam memiliki persamaan pengertian dengan intellect atau
nous. Dalam filsafat Platonisme dan Neoplatonisme, akal merupakan sebuah
potensi yang terpendam di dalam mikrokosmos manusia, dan yang terwujud
dalam bentuk jiwa (spirit).24 Kehadiran akal dalam diri manusia menyebabkannya
berbeda dari makhluk lain. Keberadaan akal dimaksudkan juga sebagai alat untuk
memahami dan mengatur alam, sehingga dengan demikian manusia menduduki
posisi sebagai “center” di antara semua makhluk Allah. Nabi Adam mulanya
diberi intellect oleh Allah sehingga ia tahu nama-nama dari objek alam,
sedangkan malaikat tidak karena memang tidak dibutuhkannya untuk memahami
alam lingkungan. Dengan modal ini Adam (manusia) memiliki posisi lebih tinggi

24
Abdul Mujieb dan Ahmad Ismail, Dkk, Ensiklopedia TaSawuf Imam al-Ghazali, (Jakarta:
MMU, 2009), p. 59.

7
daripada malaikat, karenanya malaikat diperintahkan bersujud memberi
penghormatan kepada Adam.25
Hakikat akal pada manusia mempunyai empat pengertian, yaitu: Pertama,
akal adalah sifat yang mampu membedakan eksistensi manusia dari binatang.
Akal yang difungsikan dengan baik akan membawa manusia pada pemikiran
praktis maupun teoretis dan bahkan abstrak. Kedua, akal adalah hikmah atau
kebijaksanaan yang berkembang pada diri manusia seiring dengan pertambahan
pengalamannya. Ketiga, akal adalah pengetahuan yang didapat melalui
pengalaman yang berjalan. Orang yang menemukan pengalaman baru dan
mendapatkan pelajaran dari pengalaman tersebut, lalu dididik oleh waktu yang
berjalan, maka melalui semua proses dimaksud ia akan disebut sebagai orang
yang berakal. Sebaliknya, orang yang kurang kemampuannya dalam masalah ini
disebut sebagai bodoh (jahil).26 Keempat, daya alamiah, yakni manakala
seseorang mencapai suatu tahap dimana ia bisa mengetahui akibat atau hasil dari
tindakan-tindakannya, maka ia dikatakan sebagai manusia berakal.
Pengertian akal yang pertama merupakan dasar, yang kedua merupakan
cabang akal dan mendekati pengertian pertama, yang ketiga adalah ranting dari
pengertian pertama dan kedua, sedangkan pengertian yang keempat merupakan
hasil tertinggi dari fungsi akal, dan menjadi tujuan akhir darinya (fungsi akal).
Dua pengertian pertama timbul disebabkan oleh faktor alamiah. Adapun dua
pengertian yang terakhir harus diupayakan dan dicari untuk bisamencapainya.27
Unsur lain hakikat akal adalah naluri, yang dipersiapkan untuk menerima
informasi yang memerlukan penalaran, seakan-akan akal itu adalah cahaya yang
dilemparkan ke dalam hati. Sehingga berkat akal, hati mempunyai kemampuan
untuk menangkap segala sesuatu. Naluri tampak dalam wujud apabila sebab yang
mengeluarkannya kepada wujud itu telah berjalan sehingga seolah-olah ilmu-ilmu
ini bukanlah sesuatu yang dating kepadanya dari luar, dan seolah-olah ilmu-ilmu

25
Ibid., p. 60. Baca Alquran surat al-Baqarah ayat 30-34.
26
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin 1; Ibnu Ibrahim Ba’adillah/ Ihya’ Ulumiddin Menghidpkan
Kembali Ilmu-ilmu Agama 1 Ilmu dan Keyakinan, op.cit., p.200.
27
Ibid., p. 201.

8
itu tersembunyi di dalamnya lalu ilmu-ilmu itu tampak.28 Kemampuan akal
dengan demikian menjadi berbeda-beda menurut perbedaan ketajaman insting
masing-masing.29
Akal itu terbagi menjadi dua macam, yaitu akal gharizi (insting atau
naluri) dan akal muktasab (yang diusahakan). Akal gharizi ialah daya kekuatan
yang bersedia untuk menerima ilmu. Adanya akal gharizi dalam diri anak kecil
adalah laksana adanya bakal pohon kurma dalam biji kurma. Adapun akal
muktasab ialah akal yang apat menghasilkan ilmu-ilmu dari arah yang tidak
diketahui, sebagaimana ilmu yang datang tanpa pemikiran bagi anak-anak kecil
setelah ia mencapai usia tamyiz, walaupun tanpa belajar, maupun dari arah yang
diketahui sumbernya, yaitu belajar.30

2. Wahyu
Wahyu adalah apa yang dibisikkan ke dalam sukma, yang diilhamkan, dan
merupakan isyarat yang cepat yang lebih mirip pada sesuatu yang dirahasiakan
daripada dilahirkan; sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah Swt.
Ke dalam dada para nabi-Nya.31 Wahyu pada haikatnya tidak dapat diketahui oleh
manusia biasa, selain oleh Nabi dan Rasul yang mendapat wahyu itu sendiri.
Wahyu merupakan pembicaraan tersembunyi yang dapat ditangkap dengan cepat.
Wahyu tidak tersusun dari huruf yang memerlukan gelombang suara.32

D. Akal dan Wahyu dalam Pandangan Harun Nasution


1. Akal
Menurut Harun Nasution, yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam
bukan akal dan wahyu itu sendiri, tetapi penafsiran tentang teks wahyu dengan

28
Imam Al-Ghazali, ihya’ Ulumuddin; Mohamad Zuhri/Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-
ilmu Agama Islam), (Semarang: CV. Asy Syifa’, 2003), p. 276.
29
Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin; Bahrun Abu Bakar/ Ringkasan Ihya’ Ulumuddin,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), p. 38.
30
Imam Al-Ghazali, Mizanul Amal; Mustofa/ Neraca Beramal, (Solo:Rineka Cipta, 1994), 186.
31
Abdul Mujieb dan Ahmad Ismail, Dkk, Ensiklopedia TaSawuf Imam Al-Ghazali, op.cit., p.
562.
32
Ibid., p. 563-564.

9
penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Maka sesungguhnya antara akal dan
wahyu itu tidak ada pertentangan.
Harun Nasution dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam,
menjelaskan bahwa Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama,
tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai
agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi Negara,
selanjutnya berkembang di Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang
luas daerahnya dan akhirnya berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan
peradaban yang tidak kecil pengaruhnya, sebagai telah disebut di atas. pada
peradaban modern.
Dalam perkembangan Islam dalam kedua aspeknya itu, akal memainkan
peranan penting bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang
agama. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, banyak ulama yang tidak
semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi juga bergantung pada akal. Hal itu
dapat dijumpai dalam pembahasan-pembahasan bidang fiqih, teologi dan
filsafat.33
Menurut pendapat Harun, peranan akal dalam bidang fikih atau hukum
Islam itu diperlukan. Kata faqiha mengandung makna faham atau mengerti. Untuk
mengerti sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal. Dengan demikian
fikih merupakan ilmu yang membahas tentang pemahaman dan tafsiran ayat-ayat
Alquran, yang berkenaan dengan hukum. Untuk penafsiran dan pemahaman ini
diperlukan al-ijtihad.34 Ijtihad banyak dipakai dan kedudukannya penting dalam
fikih. Begitu pentingnya kedudukannya sehingga Ali Hasaballah membuat ijtihad
menjadi sumber ketiga dari hukum Islam setelah Alquran dan sunnah. Ia
mempunyai argumen yang kuat untuk ini, yaitu hadis Mu’az ibn Jabal. Dalam
hadis itu Nabi Saw. bertanya kepada Mu’az apa yang akan diperbuatnya di

33
Ibid., p. 71
34
Ijtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan
dalam istilah hukum berarti usaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan
ketentuan hukum agama dari sumber-sumbernya.

10
Yaman jika ia tidak menemui ketentuan hukum dalam Alquran dan Sunnah ketika
hendak memutuskan sesuatu perkara. Muaz menjawab akan memakai ijtihadnya.35
Dalam aliran-aliran teologi Islam terjadi polemik yang berkepanjangan
dalam masalah akal dan wahyu, terutama antara Muktazilah, Asy’ariah dan
Maturudiyah. Permasalahan utama antara lain adalah :
a. Dapatkah akal mengetahui Tuhan?
b. Kalau dapat, apakah akal mengetahui kewajiban berterima kasih
kepada Tuhan?
c. Dapatkah akal mengatahui apa yang baik dan apa yang jahat?
d. Kalau dapat, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia
berbuat baik dan wajib baginya menjauhi perbuatan buruk?

Harun sebagaimana Muktazilah berpendapat bahwa keempat masalah


tersebut dapat diketahui oleh akal. Semua pengetahuan dapat diketahui melalui
akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui denganpemikiran yang mendalam.
Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah
wajib. Baik dan buruk adalah sifat esensil bagi kebaikan dan kejahatan. Kebaikan
dan kejahatan wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang buruk.36
Harun Nasution melihat dari keempat golongan teologis (Muktazilah,
Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara), bahwa ada dua
aliran yang memberi posisi kuat pada akal yaitu aliran Muktazil1ah dan
Maturidiyah Samarkand dan dua aliran yang memandang akal manusia lemah,
yaitu Asy’ariah dan Maturidiyah Bukhara. Jika dipirinci lebih lanjut Muktazilah
memberi angka 4 kepada akal, Maturidiyah Samarkand memberi angka 3 pada
akal, Maturidiyah Bukhara memberi angka 2 pada akal, dan Asy’ariyah memberi
angka 1 pada akal.37

35
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teolog Rasional Muktazilah, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1987), cet.1, p. 71-73.
36
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teolog Rasional Muktazilah,
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), cet.1, p. 71-73.
37
Harun Nasution, Teologi Islam , (Jakarta: UI Press, 1972), p. 80.

11
Jika pendapat dua golongan pertama diikuti, maka apa jadinya fungsi
wahyu? Dalam pendapat Muktazilah akal hanya dapat mengetahui garis besar dari
keempat masalah di atas, yaitu mengetahui kewajibankewajiban secara umum,
tetapi tidak mengetahui perinciannya. Wahyu datang untuk menjelaskan perincian
garis besar itu. Umpanya akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara dan perinciannya. Wahyulah yang
menjelaskan cara dan perincian kewajiban tersebut yaitu dengan salat lima kali
sahari, zakat setahun sekali, puasa sebulan dalam setahun dan haji sekali seumur
hidup. Tidak semua kebaikan dan kejahatan diketahui oleh akal. Akal mengetahui
bahwa memotong kambing adalah perbuatan tidak baik, tetapi wahyu turun
menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk keperluan tertentu seperti
aqiqah ataupun qurban. Wahyu turun juga untuk memberi penjelasan tentang
perincian hukuman dan upah yang akan diterima kalak. Wahyu juga datang untuk
memperkuat apa yang telah diketahui akal. Maka jelas bahwa Muktazilah maupun
Maturudiyah Samarkand tidak mengabaikan wahyu.38
Menurut Harun akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain.
Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi kesanggupannya untuk
mengalahkan kekuatan-kekuatan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal
manusia bertambah rendah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain.
Dengan akallah manusia menjadi kuat, dan dengan akallah manusia mempunyai
kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatannya.39
Sesungguhnya semua aliran teologis mempergunakan akal dalam
memahami ayat-ayat Alquran. Hanya saja mereka berbeda dalam interpretasi teks,
sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda dalam memberikan porsi
keutamaan dalam menggunakan akal dan wahyu. Para filosof berkeyakinan bahwa
antara akal dan wahyu, antara falsafah dan agama tidak ada pertentangan.

38
Ibid., p. 96-97.
39
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), p.99.

12
Keduanya sejalan dan serasi, dan antara keduanya terdapat keharmonisan. Dalam
memberikan penjelasan rasional tentang adanya wahyu.40
Menurut Harun pandangan adanya pertentangan antara wahyu dan akal pada
hakekatnya adalah pertentangan antara ulama-ulama mengenai pemahaman dan
penafsiran atas nas. Pada umumnya penafsiran filosof lebih liberal dari pada yang
diberikan teolog, dan penafsiran teolog lebih liberal dari penafsiran ulama fikih.41
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern dapat dilihat dalam
pemikiran tokoh-tokoh modern. Ahmad Khan di India berpendapat bahwa hanya
Alquran lah yang bersifat absolut dan harus dipercayai, dan yang lainnya bersifat
relatif. Di samping Alquran ia menaruh kepercayaan yang kuat kepada akal dan
hukum alam. Menurutnya Islam adalah agama yang sesuai dengan kemajuan yang
dihasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebelumnya, Muhammad
Abduh di Mesir telah menegaskan bahwa kedudukan akal dalam diri manusia
adalah sama dengan kedudukan nabi bagi sesuatu umat. Akal adalah sendi
kehidupan dan dasar kelanjutan hidup manusia.42 Jika timbul kesalahpahaman
bahwa Islam adalah bersifat sempit dan tidak sesuai dengan perkembangan
zaman, karena semata-mata karena mereka melihat Islam hanya dari sat
pandangan saja.43
Bagi Harun akal di zaman modern ini mulai dipakai kembali dalam bidang
keagamaan, faham-faham lama yang tidak sesuai dengan akal dan ilmu
pengetahuan modern dan faham lama yang sejalan dengan akal mulai dipisahkan.
Akal juga mulai dipakai kembali untuk memeberi interpretasi baru kepada ayat-
ayat yang bersifat zanni artinya, interpretasi yang sesuai dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Di antara faham lama yang ditinggalkan adalah faham
fatalisme atau faham kada dan kadar, bahwa segala sesuatu yang terjadi telah
ditentukan Tuhan semenjak azali, secara perlahan berganti menjadi faham

40
Harun Nasution, Teologi Islam, op.cit.,p.75-80.
41
Ibid., p. 101-102.
42
Harun Nasution,Akal dan Wahyu dalam islam, op.cit., p. 95-97.
43
Harun Nasution,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001), p. 28.

13
ikhtiyari yang dekat dengan faham qadariah atau kebebasan manusia dalam
kemauan dan perbuatan, dari faham statis menuju faham dinamis.44

2. Wahyu
Menurut Harun,45 penggunaan akal diperintahkan oleh Alquran seperti
yang terdapat dalam ayat-ayat kawniah, yang mendorong manusia untuk meneliti
alam sekitarnya dan memperkembang ilmu pengetahuan. Penggunaan inilah yang
membuat manusia menjadi khalifah di bumi. Namun demikian akal tetap tunduk
pada wahyu. Teks wahyu tetap diangap mutlak benar. Akal hanya dipakai untuk
memahami teks wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu
sesuai dengan kecenderunan dan kesanggupan pemberi interpretasi.
Hal yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam bukanlah akal
dengan wahyu, melainkan penafsiran tertentu atas teks wahyu. Jadi yang
dipertentangkan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu
dengan pendapat akal.
Pemakaian akal dalam Islam memang tidaklah diberi kebebasan mutlak
sehingga pemikir Islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan
Alquran serta hadis, tetapi tidak pula diikat dengan ketat, sehingga pemikiran
dalam Islam tidak dapat berkembang. Pemikiran dalam Islam hanya dibatasi oleh
teks yang qat’iy al-wurud dan qat’iy aldalalah, absolut benar datangnya dari
Allah dan jelas lagi absolut artinya. Teks serupa ini sedikit jumlahnya. Kedua hal
inilah yang membuat pemikiran dapat berkembang dalam Islam dan dalam
perkembangan itu tidak keluar dari ajaran-ajaran dasar Islam. Ulama-ulama Islam
baik dalam bidang fikih, teologi dan falsafah membahagi manusia dalam dua
golongan besar, awam dan khawas atau terpelajar. Penafsira nas Wahyu bagi
kedua golongan ini berbeda, bagi orang awam banyak berarti lafzi sedang bagi
terpelajar banyak berarti metaforis.

44
Harun Nasution, op.cit., p. 99.
45
Lihat dalam buku akal dan wahyu dalam Islam karangan Harun Nasution
dalam bab penutup

14
Perbedaan inilah yang antara lain menimbulkan perbedaan faham yang
pernah meruncing dalam sejarah Islam.walaupun berbeda tapi keduanya tidak
keluar dari Alquran dan hadis.46 Dalam bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya” ia ingin memperlihatkan sifat keluasan Islam. Islam “bukanlah hanya
ibadah, fiqh, tauhid, tafsir, hadis dan akhlaq. Islam lebih luas dari itu, termasuk di
dalamnya sejarah, peradaban, falsafah, mistisisme, teologi, hukum politik dan
lain-lain. Menurutnya, Islam terbagi atas “ajaran” dan “non-ajaran”. “non-ajaran”
meliputi “hasil dari perkembangan Islam dalam sejarah”, seperti kebudayaan dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Ajaran meliputi, “ajaran dasar”, seperti yang
terdapat dalam Alquran dan hadis, dan “ajaran bukan dasar” berupa penafsiran
dan interpretasi ulama-ulama dan ahli-ahli Islam. Dari simi timbullah aliran dan
mazhab dalam teologi.47
Bagi Harun penafsiran dan pemikiran tidaklah bersifat mutlak. Oleh sebab
itulah katanya para imam besar tidak saling menyalahkan antara sesamanya.
Semua dipandang masih dalam kebenaran, selama ia tidak bertentangan dengan
ajaran dasar Islam sebagai tersebut dalam Alquran dan hadis. Dalam rangka ini
Harun menunjukkan kepada penolakan Ibn Rusyd terhadap al-Ghozali yang
mengkafirkan kaum filosof. Ia juga mengemukakan bahwa penolakan kaum
Syariah atas ajaran taSawuf bertolak pada penafsiran. Karena menurutnya
penafsiran itu terikat pada zamannya. Oleh sebab itu jika perubahan muncul, yang
hendak diubah adalah ajaran-ajaran bukan dasar, agar sesuai dengan tuntutan
zaman. Taqlid pun berarti taqlid pada ajaran bukan dasar, maka perlu ditinggalkan
dan kembali kepada Alquran dan Hadis. Menurut Harun Nasution ajaran dasar
dalam hukum sedikit sekali jumlahnya, itupun tidak bersifat qath’i (tegas),
melaikan zhanni (tidak tegas), maka bisa dirubah. Harun Nasution lebih terbuka
dalam membahas tentang halhal yang semacam itu.
Beliau berpendapat bahwa berpangkal pada soal ajaran dan nonajaran,
keluasan manusia untuk membentuk hukum terbuka lebar. Maka kembalilah
persoalan pada kemampuan manusia itu sendiri, pada usaha berfikir, akal. Maka

46
Ibid., p. 71.
47
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, op.cit., p. 17.

15
Harun Nasution pun dalam hal ini menekankan pada free-will, kemauan dan
kemampuan manusia muslim yang memungkinkan ia berlomba dengan siapapun
juga dalam mencapai kemajuan. Harun Nasution memegang prinsip bahwa
perlunya mempergunakan akal, namun tidak mempertentangkannya dengan
wahyu. Bagi mereka akal mempunyai batas dan perlu batasan, yaitu perlunya
wahyu. Arab dari Alquran.48 Jika membahas mengenai soal akal dan wahyu, yang
menjadi pegangan bagi ulama-ulama adalah teks Wahyu dalam bahasa arab dan
bukan terjemah atau penafsiran, sedangkan yang diperbandingkan adalah
pendapat akal dengan teks. Harun Nasution jika menguraikan masalah seperti
yang dilakukan para ahli barat, sehingga ada yang menuduhnya sebagai kaum
orientalis.
Harun Nasution membagi ajaran Islam dalam ajaran dan nonajaran, dan
ajaran dibagi lagi atas hal yang mendasar dan tafsiran, jelas bukan berasal dari
para orientalis. Ia terbit dari keyakinan pula, dan Harun sangat menekankan akal
dalam setiap tindakannya. Hanya saja, dengan keahliannya dalam sejarah
pemikiran Islan, Harun tidak bisa lepas dari pemikiran yang ada pasa lalu. Ia lebih
menempatkan Muhammad Abduh pada pemikiran Muktazilah sebagai orang
Muktazilah, baginya Abduh “mempunyai persamaan dengan system dan
pendapat-pendapat teologi Muktazilah, tetapi juga “di atas posisi Muktazilah” dan
lebih modern dari pada Muktazilah. Ini tergantung pada batasan yang digunakan
serta pandangan yang dibandingkan.49
Harun Nasution dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam, menjelaskan
bahwa wahyu berasal dari kata al-wahy, kata ini berarti suara, api dan kecepatan.
Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.50 Al-
wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan suara tersembunyi dan dengan
cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan
kepada Nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti
penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat
manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan ini mengandung ajaran,
48
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, p. 153-154.
49
Ibid., p. 155.
50
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, p. 15.

16
petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya
baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.51
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-
nabi, diberikan oleh Alquran sendiri. Salah satunya terdapat dalam surat Al-Syura
(42) : 51. “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkatakata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir52 atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lal diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana.”53 Jadi ada tiga cara turunnya wahyu, yaitu: Pertama melalui jantung
hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi
dengan Nabi Musa, ketiga memalui utusan yang dikirimkan dalam wujud
malaikat. Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw adalah
dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat Alquran surat Al- Syu’ara (26):
192-195. “Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta Alam,Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orangorang yang
memberi peringatan, Dengan bahasa Arab yang jelas”54
Ayat di atas dengan jelas menggambarkan bahwa firman Tuhan sampai
kepada Nabi Muhammad Saw. melalui jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan
melalui ilham ataupun dari belakang tabir. Sebagai yang telah digambarkan di atas
dalam konsep wahyu terkandung pengetian adanya komunikasi antara Tuhan,
yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi.55 Sedangkan teks Alquran
adalah orisinil dari Nabi dan adalah wahyu yang beliau terima dari Tuhan melalui
Jibril dalam bentuk kata-kata yang didengar dan dihafal, bukan dalam bentuk
pengetahuan yang dirasakan dalam hati atau yang dialami dan dilihat dalam
mimpi.56

51
Harun Nasution, op.cit., p. 15.
52
Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan
tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa a.s.
53
QS. Al-Syu’ara (42) : 51
54
Dalam surat Al-Syu’ara (26) : 192-195
55
Ibid., p. 15-16.
56
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, op.cit., p. 22.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seperti diketahui, sebutan ilmu kalam bermakna penggunaan nalar selain


wahyu dalam pengkajian teologi islam. Kata akal bersal dari bahasa Arab, ‘aql.
Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata ‘aql itu berarti mengikat atau menahan.
Misalnya, pengikat serban disebut ‘iqal; menahan orang yang dipenjara disebut
‘itiqal; orang yang dapat menahan yang dapat menahan amarahnya disebut ‘aqil.
Dalam Al-Qur’an, kata ‘aql hanya terdapat dalam bentuk kata kerja,
misalnya’aqalu, ta’qilun, na’qilu, ya’qilun dan ya’qiluha, yang mengandung arti
paham. Al-Qur’an tidak merujuk makna akal itu kepada otak yang berpusat di
kepala, tetapi kepada kalbu. Dengan demikian, pengertian akal versi Al-Qur’an
berbeda dengan pengertian akal menurut filsafat yunani yang di sebut nous.
Dalam pengertian nous, daya berpikir itu terdapat dalam jiwa yang berpusat di
otak. Jadi, pengertian akal yang dipakai di sini ialah akal menurut pengertian ayat-
ayat Al-Qur’an tadi, yang didukung oleh etimologis Arabnya.
Adapun kata wahyu berarti suara, bisikan, isyarat, yang merupakan
pemberitahuan terembunyi, rahasia dan selintas kilat. Penempatan akal dan wahyu
ini berbeda antar satu aliran dengan aliran lainya hal ini di pengaruhi diantaranya
karena perbedaan pemikiran atau dasar berpikir dari masing-masing aliran dalam
mengartikan dan memposisikan kedudukan akal dan wahyu tersebut.

B. Saran

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan seluruh pembaca.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari saya mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kemajuan dan kesempurnaan di masa
mendatang. Wallâhu a‘lam bi as-shawâb.

18
DAFTAR PUSTAKA

Haq Hamka, Al-Syathibi; Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab


al-Muwafaqat, Jakarta: Erlangga, 2007
Yusran Asmuni Muhammad, Drs.H, Ilmu Tauhid, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1993
Posisi Akal dan Wahyu (Makalah Tauhid dan Pembelajaranya).
http://pamungkasbirawa.blogspot.com/2011/03/posisi-akal-dan-wahyu-makalah-
tauhid.html
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI press, 1986.
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan Rasional Prof. Dr. Harun
Nasution, cet ke 5, Bandung: Mizan, 1989.
Nasution, Harun, Falsafat agama, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah,
Jakarta: UI Press, 1987.
Nasution, Harun, Sejarah Pemikiran dalam Islam (Teologi/ Ilmu Kalam),
Jakarta: PT. Pustaka Antara, 1996.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Jakarta: LSAF, 1989.
Nasution, Harun, Teologi Islam , Jakarta: UI Press, 1972.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press,
Jilid I, 2001.

19

Anda mungkin juga menyukai