(Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Aqidah dan Ilmu
Kalam)
Disusun oleh:
Muhammad Ilham Fudholi (11220540000077)
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Ujian Akhir Semester
(UAS) yang berjudul “Kedudukan Wahyu dan Akal Dalam Islam” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
Ujian Akhir Semester (UAS) pada mata kuliah Aqidah dan Ilmu Kalam oleh
Bapak Rasid Ante Amirudin S.Sos.I , M.Ud. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang islam bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rasid Ante Amirudin
S.Sos.I , M.Ud selaku dosen mata kuliah Aqidah dan Ilmu Kalam yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH............................................... 1
1.3 TUJUAN PENULISAN................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wahyu dan Akal dalam Islam...................... 2
2.2 Kedudukan Wahyu dan Akal dalam Islam..................... 4
2.3 Wahyu dan Akal dalam Islam........................................ 6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA......................................................... 8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
4. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam
ghaib.
5. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.[2]
Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql ()العـقـل,
yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya
‘aqaluuh ( )عـقـلوهdalam 1 ayat, ta’qiluun ( )تعـقـلون24 ayat, na’qil ( )نعـقـل1 ayat,
ya’qiluha ( )يعـقـلها1 ayat dan ya’qiluun ( )يعـقـلون22 ayat, kata-kata itu datang dalam
arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan
manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar
serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang
berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti,
memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal
adalah: sutu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang
memperbedakan manusia dari mahluk lain.[3]
Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang
benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin
penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan
setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan
dikerjakan tersebut. Dan Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman
tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada
keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada
tuhan.
Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti,
seperti contoh:
1. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
3
2. Mengetahui adanya hidup akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal
tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak
mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam tak akan
terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat
berpengaruh dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum Islam, antar
wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam berbicara yang
identik dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil
kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum
tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang
diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu yang
mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah
bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan
berartiakal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki
aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang
sehat akan selalucocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan
Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi
Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat
penting dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum
atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan waktu, baik perintah itu
disampaikan dalam bentuk umum ataukhusus.Apa yang dibawa oleh wahyu tidak
ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun
larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara
berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring
perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah
anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan
keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya
pemikiran seseorang yang beranggapan smua itu wahyu. Seperti pendapat Abu
Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik
lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain,
4
demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk
lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya
dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang
menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam
konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr
pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih
kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban
menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam
memiliki pendapat sendiri-sendiri antra lain:
1. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat
bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
2. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran
kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik
dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
3. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional
juga berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga
hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui
manusia berdasarkan wahyu.
4. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam
pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih
kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang
buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan
mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-
sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku
ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum
sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat
pembuat hukum adalah akal manusia sendiri. dan untuk memperkuat pendapat
mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24.Sementara itu aliran kalam
tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka
memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat
al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
5
menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan potensi
akal yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya
dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut
Perbincangan menganai akal dan wahyu merupakan bagian terpenting dalam aliran
teologi Islam, yaitu masalah mengetahui Tuhan dan masalah mengetahui baik dan
jahat. Perbincangan tentang masalah ini ternyata menjadi perdebatan panjang di
kalangan ulama sejak masa klasik hingga zaman kontemporer. Di antara tokoh
ulama klasik yang pemikirannya masih dijadikan rujukan hingga kini ialah al Hujjaj
Imam Al Ghazali, sementara di kalangan ulama kontemporer, yang di Indonesia
disebut sebagai pakar filsafat Islam ialah Harun Nasution.
Tulisan ini berusaha mencari titik singgung dan titik perbedaan antara kedua tokoh
di atas, dengan fokus masalah: pengertian akal dan wahyu, pemikiran kedua
mengenai akal dan wahyu, serta perbedaan dan persamaan pemikiran keduanya
mengenai akal dan wahyu. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran dua
tokoh yang berbeda budaya dan periode, yakni Imam al-Ghazali dan Harun
Nasution mengenai akal dan wahyu serta persamaan dan perbedaan antara
keduanya. Untuk tujuan itu, tulisan ini menggunakan metode deskriptif
komparatif dengan studi kepustakaan (library research).
Pemikiran al-Ghazali lebih cenderung kepada pemikiran aliran Asy’ariyah,
berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan hal lainnya
diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu Harun Nasution sependapat
dengan pemikiran aliran Muktazilah yang lebih mengedepankan akal daripada
wahyu. Menurut beliau akal mempunyai kemampuan mengetahui Tuhan, maupun
baik dan buruk meski tanpa bimbingan agama.
Akal dan wahyu merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan dari kedua tokoh ini.
Akal merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk binatang, sedangkan
wahyu adalah petunjuk bagi akal. Keduanya sama-sama berpegang kepada wahyu,
namun berbeda dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat Alquran dan hadits.
Perbedaan dalam interpretasi inilah sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran
yang berlainan itu tentang akal dan wahyu.
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya
sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
pelantara maupun tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam
telinga ataupun lainya. Sedangkan akal adalah peralatan manusia yang memiliki
fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu
yang kemampuanya sangat luas.
Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam
tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini
sangat berpengaruh dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum
Islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam
berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan
mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang
terkena hukum tersebut.karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki
kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu
yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahu, dan akal adalah hadiah
terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
7
DAFTAR PUSTAKA