Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TAUHID

AKAL DAN WAHYU

Disusun Oleh:
1. NEFRI MELA UNIA (20232023)
2. FANI RAHMA MAULANI (20232012)

Dosen Pengampu:
Syofrianisda, S.ThI, M.A
NIDN. 2125069802

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM YAYASAN PERGURUAN


TINGGI ISLAM PASAMAN BARAT STAI-YAPTIP PASAMAN
BARAT TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan lancar. Dalam penyusunan makalah ini, selain memenuhi tugas dari
dosen pembimbing juga untuk menjelaskan tentang “ Akal dan Wahyu ” Serta
dengan tersusunnya makalah ini dapat menambahwawasan bagi pembaca pada
umumnya dan bagi teman-teman mahasiswa pada khususnya. Kami sadari meski
makalah ini telah selesai tapi masih jauh dari kesempurnaan,untuk itu kami
mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca maupun pendengar,
demi kelancaran dan kesempurnaan tugas kami yang selanjutnya.

Simpang Empat, 28 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3


A. Pengetian wahyu ......................................................................................................... 3
B. Pengertian akal ............................................................................................................ 4
C. Hubungan akal dan wahyu ....................................................................................... 7

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 12


A. Kesimpulan ................................................................................................................... 12
B. Saran ............................................................................................................................... 13
DAFTAR KEPUSTAKAAN

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk


memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari
Tuhan kepada manusia, dan kedua, melalui jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera
sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar,
sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar
dan mungkin salah.
Allah telah menciptakan manusia dengan banyak hidayah dan
anugerah, beberapa di antaranya yang menjadi pembeda antara manusia dengan
makhluk lainnya adalah akal dan wahyu dimana hanya manusialah yang memiliki
hal tersebut, berbeda dengan hewan yang hanya memiliki nafsu saja. Jika manusia
menerima wahyu tersebut maka ia akan mendapatkan bimbingan untuk akal atau
rasionya yang terkadang ragu-ragu dan mengalami kekacauan.
Islam juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab
semisal Al-Qur’an. Diharapkan dengan ketidak kemampuan akal mendatangkan
kitab semisal Al-Qur’an, manusia mau mengakui bahwa Al-Qur’an benar-benar
datang dari sisi Allah SWT. Oleh karena itu, timbullah permasalahan-
permasalahan dari adanya dua sumber pengetahuan yang berlainan sifat ini.
Pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya, pengetahuan melalui akal atau
pengetahuan melalui wahyu?. Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam
makalah ini saya akan mencoba menguraikannya.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian akal dan wahyu ?
2. Apa Hubungan akal dan wahyu ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Memperoleh pemahaman mengenai akal dan wahyu.
2. Memperoleh pemahaman mengenai hubungan akal dan wahyu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab dan al-wahyu adalah kata asli
arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan
kecepatan. Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu
tersembunyi dan cepat.1 Oleh sebab itu, wahyu sering disebut sebuah
pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul, wahyu
Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan
kepada Nabi
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat
bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam
dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT,
baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara
yang masuk dalam telinga ataupun lainnya. Dalam Islam wahyu atau sabda
Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhaammad SAW terkumpul
semuanya dalam Al-Qur’an.2

1. Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi
informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara
berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik
dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di
terima manusia kelak di akhirat.

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press), Hal. 14.
2
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press), Hal. 14.
3
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan
Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari
ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaannya. Dan sebagai bukti
bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah SWT.

2. Kekuatan wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita
tidak akan mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karena itu wahyu
diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor, antara lain:
1. Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian
Allah.
2. Wahyu lebih condong melalui dua mu’jizat yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
3. Wahyu yang membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
4. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam
ghaib.

B. Pengertian Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata
Arab al-‘aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy,
tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata
kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat
dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala berarti
mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna hitam
dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dll, disebut ‘iqal,
dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala dan tempat tahanan
mu’taqal .3
Akal secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al
‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki
banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab Al-munjid Fii Al-lughah Wa’al
A’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai,
mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan
berfikir).

3
Harun Nasution., Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Pres), hal. 5.
4
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti “nurun
nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas”, yaitu cahaya
ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang
tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau
hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyah digunakan
dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence), yang dalam istilah
psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving
capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang
dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih
lanjut menurutnya, kata ‘aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke
dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang
masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan Nous yang
mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman
dan pemikiran tidak lagi melalui di dada (Al-qalb) akan tetapi melalui Al-
‘aql di kepala.4
Menurut Imam Al-ghazali didalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin
mendefinisikan bahwa akal adalah sumber ilmu, tempat terbit dan dasar ilmu.
Ilmu itu berjalan dari padanya seperti jalannya buah dari pohon, cahaya dari
matahari, dan penglihatan dari mata.5

1. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
a. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
b. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
c. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang
benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai
mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan
dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari
hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan Akal adalah jalan untuk memperoleh
iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus

4
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press) Hal, 7-8.
5
Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ Ulumuddin oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-
Syifa’, 1990), Hal. 262.
5
berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akal lah yang menjadi
sumber keyakinan pada tuhan.

2. Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti,
seperti contoh:
a. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
b. Mengetahui adanya hidup akhirat.
c. Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung
pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
f. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
g. Hakikat Akal dan Bagian-bagiannya.6
Ketahuilah bahwa manusia itu berbeda-beda dalam memberi batasan (definisi)
akal dan hakikatnya. Kebanyakan manusia lupa tentang keadaan nama ini
dipergunakan untuk menyebut terhadap beberapa makna yang berbeda-beda.
Maka hal itu menjadi sebab perbedaan pendapat dikalangan mereka. Apa yang
berjalan dengan jalan ini, maka tidak tidak seyogyanya untuk menuntut
seluruh bagiannya dengan satu batasan. Namun, setiap bagian
dibuka/disingkap dengan sendiri.
a. Sifat yang membedakan antara manusia dengan binatang.
b. Ilmu-ilmu yang keluar kepada wujud dalam diri anak kecil yang
mumayyiz (sudah dapat membedakan) terhadap bolehnya
(mungkinnya) barang-barang yang mungkin dan kemustahilannya
barang-barang yang mustahil.
c. Ilmu-ilmu yang diperoleh dengan pengalaman dengan berjalannya
keadaan-keadaan.
d. Kekuatan naluri itu berakhir sampai mengetahui kesudahan berbagai
urusan dan menahan syahwat (keinginan)yang segera dan memaksanya

6
Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV.
Asy-Syifa’, 1990), Hal. 271-273.
6
C. Hubungan antara Wahyu dan Akal
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-
kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam
memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya
berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada
diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun
kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia terhadap Tuhan. Konsepsi ini dapat digambarkan bahwa
Tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan
akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Dan Tuhan sendiri dengan belas
kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan
kemahakuasaan Tuhan. Menolong manusia dengan menurunkan wahyu
melalui para Nabi dan para Rasul.
Konsepsi ini merupakan system teologi yang dapat digunakan terhadap
aliran-aliran teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia biasa sampai
kepada Tuhan.7 Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah: “sampai di
manakah kemampuan akal manusia dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia?” Dan juga “sampai manakah besarnya fungsi wahyu
dalam kedua hal ini?’’.
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang Ilmu Kalam akan kita
jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan
dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah
pertama adalah soal mengetahui Tuhan dan masalah yang kedua soal baik dan
jahat. Masalah yang pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah ‘Arab disebut husul ma’rifah
Allah dan wujud ma’rifah Allah.8 Cabang dari masalah yang kedua ialah:
mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah al-husn wa al-
qubh dan wujub I’tinaq al-hasan wa iljinab al-qabih, yang disebut al-tahsin
wa al-taqbih.
Jika kamu bertanya : “Bagaimanakah keadaan kaum-kaum dari ahli
tasawwuf yang mencela akal dan apa yang digarap akal?”. Maka ketahuilah
bahwa sebabnya adalah manusia itu memindahkan nama akal dan apa yang

7
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 81
8
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 82.
Mengutip dari Al-Syahrastani, kitab Nihayah Al-Iqdam Fii ‘Ilm Al-kalam, London: 1934, Hal. 371.
7
digarap oleh akal kepada sebuah perdebatan dan mendiskusikan pertentangan-
pertentangan dan hal-hal yang pasti (lazim), yaitu perbuatan Ilmu Kalam.
Mereka tidak mampu untuk menetapkan di sisi mereka bahwa kamu sekalian
salah dalam pemberian nama itu karena hal itu tidak terhapus dari hati mereka
setelah penguasaan lidah, dan meresap di dalam hati. Lalu mereka mencela
akal dan apa yang di garap oleh akal. Yaitu lah akal yang disebut dari sisi
mereka. 9
Kita ketahui Ibnu Taymiyyah hidup saat imperium Islam di Timur
Tengah dan sekitarnya mengalami krisis multidimensi. Serangan kaum Salib
ancaman tentara Tatar, perang saudara dan konflik antar madzhab serta
maraknya aliran-aliran sesat, jelas banyak mempengaruhi pemikiran dan
perjalanan hidup beliau. Ibnu Taymiyyah berusaha menerobos melawan arus.
Tecermin dalam karya-karyanya seperti Al-Furqan Bayna Awliya’ar-Rahman
Wa Awliya’ as-Syaythan (Perbedaan antara wali Tuhan dan wali setan), Ibnu
Taymiyyah mengecam keras sakralisasi madzhab dan pengkudusan tokoh. Ia
juga menolak dikotomi yang mempertentangkan akal dengan wahyu atau
menceraikan politik dari agama.10
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya
terhadap indera penglihatan manusia. Karena wahyu itu akan difungsikan bila
akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami
Islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil
pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak
boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu. Oleh karena
itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar
tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 1-
2:
Artinya: “Alif Laam Miim, Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(QS. Al-Baqarah: 1-2)
Keadaan akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban
berterima kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara tepatnya untuk menyatakan
terima kasih itu. Digambarkan oleh Ibn Tufail dalam cerita Hayy Ibn Yaqzan.

9
Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV.
Asy-Syifa’, 1990), Hal. 285.
10
Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema Insani, Hal. 168
8
Hayy, sungguhpun semenjak kecil tinggal sendirian disuatu pulau yang
terpencil, dengan kkuatan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan, bahkan ia
dapat sampai ke tingkat persatuan akalnya dengan Al-‘aql al-Fa’al atau Active
Intellect. Jadi, ketika Asal, seorang ulama’ dari pulau lain, pindah ke pulau
terpencil itu dan menjelaskan kepada Hayy tentang syari’at yang diwahyukan
Tuhan kepada manusia. Hayy dapat mengerti dan menerima ajaran-ajaran itu.
Tetapi Hayy tidak tahu cara sebenarnya menyembah Tuhan, dan Asal lah yang
menerangkan kepadanya shalat, zakat, puasa dan naik haji ke Mekkah. Hayy
Ibn Yaqzan dalam cerita ini menggambarkan akal sedangkan Asal
menggambarkan wahyu.11
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi
sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan
petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk
memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusia diciptakan oleh tuhan
dengan tujuan yang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan
untuk mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu
yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban
manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk,
serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:12

a. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat


diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat
diketahui dengan pemikiran yang mendalam.
b. Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui
dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak
dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang
buruk adalah wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus
atau wajib. Wahyu sebaliknya, tidak pula mewujudkan pengetahuan
melainkan wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Al-Ghazali juga
berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban

11
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 97.
12
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 82-95.
9
bagi manusia, tetapi kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu.
Dengan demikian, kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban berbuat
baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui dengan
perantaraan wahyu.
c. Aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran
kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat
diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban
berterima kasih kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik
serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
d. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam
tradisional, mengatakan bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada
pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpuji-Nya tetapi kewajiban
mengetahui Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban
berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan.

Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar
pada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai
kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan
daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran
Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam
aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran
Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia
dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam
pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka
daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar
pada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai
kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan
daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran
Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam
aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran
Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia
dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam
10
pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka
daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.13

13
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 102
11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demikianlah hubungan akal dan wahyu yang kami bahas dalam pandangan aliran
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun Maturidiyah Bukhara.
Mereka semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam memberikan
pendapat tentang hubungan akal dan wahyu, dan apabila banyak kesalahan dalam
pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami
yang sangat terbatas pada kajian kami ini. Lalu kami dapat menarik benang
merah dari kajian ini yaitu :
1. Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran
Asy’ariyah dan mempunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2. Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lebih
menguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3. Asy’ariah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam
alirannya dibanding akal.
4. Maturidiah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan
saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah
seimbang.
5. Maturidiah Samarkand bahwa akal lebih tinggi dibanding kedudukan
wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang
kedudukan wahyu dan akal.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar pada
akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai
kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan
daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran
Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam
aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran
Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia
dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam
pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka
daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.
12
B. Saran
Islam adalah agama yang universal dan sangat mutlak benar karena
datangnya dari Alloh melalui perantarannya yaitu para nabi dan rasul. Oleh
sebab itu setiap persoalan yang masih berupa issue atau kabar yang masih
belum jelas dasarnya, hendaknya dikaji juga dalam bidang keislaman (Al-
Qur’an). Karena pada dasarnya dalam al-Qur’an terdapat segala ilmu yang di
butuhkan oleh manusia untuk menjawab semua persoalan.
C. Kata Penutup
Syukur Alhamdulillah berkat rahmat,taufiq dan hidayah serta inayah dari
Allah SWT penulisan makalah yang berjudul tentang ”AKAL DAN
WAHYU” dapat terselesaikan dengan baik. Demi kesempurnaan makalah
ini,saran dan kritik yang konstruktif dari para pembaca dan pemerhati. Akhir
kata,dengan mengharap ridho dari Allah SWT sehingga makalah ini memberi
manfaat bagi penulis,para pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu pendidikan. Amiin…

13
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran-aliran sejarah analisa


perbandingan), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press), 1986. Mengutip dari Baca Buku Online.
Arif, Dr. Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema Insani,
2008.
Ghozali, Imam, Ihya’ ‘Ulumudin Juz 1 (terj. Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H.
Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990.
[1] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press), Hal. 14.
[2] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press), Hal. 15
[3] Harun Nasution., Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Pres), hal. 5.
[4] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press) Hal, 7-8.
[5] Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ Ulumuddin oleh Drs. H.
Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), Hal. 262.
[6] Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs.
H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), Hal. 271-273.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 81
[8] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 82. Mengutip dari Al-Syahrastani,
kitab Nihayah Al-Iqdam Fii ‘Ilm Al-kalam, London: 1934, Hal. 371.
[9] Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs.
H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), Hal. 285.
[10]Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema
Insani, Hal. 168
[11] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 97.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 82-95.
[13] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), Jakarta: UI Press, Hal. 102

14

Anda mungkin juga menyukai