Anda di halaman 1dari 33

“PERBANDINGAN PEMIKIRAN”

(Fungsi Akal Dan Wahyu, Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia)”

Tugas Makalah
Dibuat dengan tujuan memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Genealogi Pemikiran Islam
Program Studi Pendidikan Agama Islam berbasis
Dakwah dan Komunikasi pada Pascasarjana
Institut Agama Islam As‟adiyah

Disusun oleh:

Alias
Nim : 09220200209

DOSEN PENGAMPU:
Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.A

PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AS’ADIYAH SENGKANG
2022
KATA PENGANTAR

Puja dan pujian dengan tulus senantiasa dipanjatkan kehadirat yang Maha
terppuji Allah SWT, berkat limpahan taufiq dan hidayah, serta dengan bekal
secercah ilmupemahaman_Nya, Makalah tugas mata kuliah Genealogi Pemikiran
Islam, dengan judul Perbandingan Pemikiran dapat kami selesaikan dan paparkan
ketengah-tengah pembaca yang budiman.
Selawat dan salam semogah senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan
diringi upayah meneladani akhlaknya yang mulia.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Genealogi
Pemikiran Islam Gurutta Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.A. yang telah
memberikan tugas makalah ini sehingga penulis terdorong untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai “Perbandingan Pemikiran”.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kami pribadi dan teman
mahasiswa untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
Kami menyadari makalah ini masih belum sepenuhnya sempurna. Oleh karena itu,
kami sangat berharap saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan
makalah selanjutnya.at memenuhi tugas kuliah yang telah diberikan kepada kami.
Nunukan, 14 November 2022

Alias
Nim : 09220200209

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
C. Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ... ............................. ........................ 3
A. Pengertian akal dan wahyu................................................................... 3
B. Pemikiran tiap aliran mengenai Fungsi akal dan wahyu ..................... 6
C. Pemikiran tiap aliran mengenai perbuatan-perbuatan tuhan ............... 12
D. Pemikiran tiap aliran mengenai perbuatan-perbuatan manusia .......... 21

BAB III PENUTUP


A. Simpulan ................................................................................................... 26
B. Saran................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuhan menciptakan alam semesta (langit dan bumi beserta isinya) ini

dengan maksud diperuntukkan kepada manusia, dimana manusia merupakan satu–

satunya makhluk yang diberi akal. Hal ini pula yang membedakan dengan seluruh

makhluk di alam semesta ini, baik itu hewan (binatang) , tumbuh-tumbuhan

maupun makhluk yang ada di alam gaib. Manusia dengan akalnya dapat

membedakan antara yang baik dengan buruk, antara perintah dengan larangan,

antara yang hak dengan yang batil, dengan jalan demikian manusia diberi tugas

dan tanggung jawab sebagai khalifah, pemeliahara, pemakai dan pengelola

lingkungannya sebagai hamba Allah SWT.

Dalam Islam sesudah wafatnya Nabi Muhammad Saw mulai timbul

pertentangan yang mempersoalkan kekhalifaan kemudian merambat pada

persoalan aqidah, sehingga melahirkan beberapa aliran dalam Teologi Islam. Ada

yang mempersoalkan akibat perbuatan manusia dalam posisinya tetap mukmin

atau menjadi kafir, ada yang menempatkan akal lebih tinggi kedudukannya dari

pada wahyu dan sebaliknya menempatkan wahyu lebih tinggi dari akal, sehingga

dapat dikatakan bahwa diantara mereka ada berfaham rasionalis dan ada berfaham

tradisionil.

Dengan melihat uraian latar belakang masalah tersebut, maka

Makalah ini akan membicarakan mengenai (1) pengertian akal, (2) pengertian

1
2

Wahyu, (3) Fungsi Akal Dan Wahyu, (4) Pemikiran Tiap Aliran Mengenai

Fungsi Akal Dan Wahyu, (5) pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-

perbuatan Tuhan, (6) pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan

Manusia

B. Rumusan masalah

1. Apakah pengertian akal dan wahyu ?

2. Bagaimanakah pemikiran tiap aliran mengenai Fungsi akal dan wahyu ?

3. Bagaimanakah pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan

Tuhan ?

4. Bagaimanakah pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan

Manusia?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi akal dan wahyu

2. Untuk menjelaskan pemikiran tiap aliran mengenai fungsi akal dan wahyu

3. Untuk menjelaskan pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan

Tuhan

4. Untuk menjelaskan pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan


Manusia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal Dan Wahyu


1. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab „aqala-ya‟qilu‟ yang secara lughawi

memiliki banyak makna, sehingga kata al „aql sering disebut sebagai lafazh

musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa

Arab al-munjid fi al-lughah wa al a‟lam, dijelaskan bahwa „aqala memiliki

makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa

tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-„aqlu sebagai mashdar (akar kata)

juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi

al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai,

mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-„aql juga

diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.

Menurut pemahaman Izutzu, kata „aql di zaman jahiliah digunakan

dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah

psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving

capacity). Lebih lanjut menurutnya, kata „aql mengalami perubahan arti

setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh

filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan „aql

sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam

3
4

jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada

akan tetapi melalui al-aql di kepala1

Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai

daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal

adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang

dapat membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan

benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu‟tazilah akal

memiliki fungsi dan tugas moral, yakni di samping untuk memperoleh

pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan

dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang

membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri2

Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur‟an surat Al-Hajj (22) ayat 46,

yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi

mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami

(dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan

telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta

mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”

Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan

tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk

memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam

1 Harun Nasution.. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. (Jakarta: UI Press, 1986), h. 7-8.

2 Harun Nasution.. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. (Jakarta: UI Press , 1986), h. 12
5

pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa

pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.

2. Wahyu

Kata al-wahy yang berarti suara, kecepatan, api, bisikan, isyarat,

tulisan dan kitab adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing.

Selanjutnya al-wahy mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan

dengan cepat. Namun arti yang paling terkenal adalah “apa yang disampaikan

Tuhan kepada nabi-nabi”. Yakni sabda Tuhan yang disampaikan kepada

orang pilihanNya agar diteruskan kepada manusia untuk dijadikan pegangan

hidup3

Firman Allah itu mengandung petunjuk dan pedoman yang memang

diperlukan oleh umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat

kelak. Dalam Islam wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi Muhammad

saw yang terkumpul semuanya dalam al-Qur‟an. Wahyu dalam arrti firman

Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya, misalnya: Artinya: “

sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami

telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan

kami telah memberikan wahyu (pula) kepada ibrahim, ismail, ishaq, ya‟qub,

dan anak cucuny, isa, ayyub,Yunus, Harun, dan sulaiman. Dan kami berikan

zabur kepada Dawud”

Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan

nabi-nabi melalui tiga cara: (1) Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk

3 Harun Nasution.. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. (Jakarta: UI Press, 1986), h. 15
6

ilham; (2) Dari belakang tabir, seperti yang terjadi pada Nabi Musa dan (3)

Melalui utusan yang dikirimkan Tuhan dalam bentuk malaikat.

B. Pemikiran Tiap Aliran Mengenai Fungsi Akal Dan Wahyu

Persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan

empat masalah pokok yaitu :

1. Mengetahui Tuhan

2. Kewajiban mengetahui Tuhan

3. Mengetahui baik dan buruk

4. Kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk.

Dari keempat persoalan ini manakah yang bisa diketahui lewat akal dan

mana yang bisa diketahui dengan menggunakan wahyu. Masing-masing aliran

memberikan jawaban terhadap persoalan ini.4

1. Aliran Mu’tazilah

Dalam pandangannya mengenai peranan akal dan wahyu untuk

mengetahui keempat hal tersebut di atas, tokoh-tokoh aliran Mu„tazilah

sependapat, bahwa pokok-pokok pengetahuan (tentang Tuhan serta baik dan

buruk) dan mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum turunnya wahyu. Hal ini

berarti, bahwa mengetahui Tuhan; mengetahui baik dan buruk; kewajiban

bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan; serta mengetahui kewajiban

mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk dapat diketahui oleh

akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada wahyu pun, manusia tetap dapat

4 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 80


7

mengtahuinya. Dengan penalaran akalnya, manusia bisa berkesimpulan bahwa

berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib sebelum datangnya wahyu.

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa Mu„tazilah menafikan

peranan wahyu. Wahyu menurut mereka tetap memiliki peranan yang sangat

penting dalam keempat masalah tersebut. Dalam kaitan ini, wahyu memiliki

fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang telah diketahui akal

dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal.5 Hanya saja, menurut

Mu„tazilah, wahyu tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa

yang buruk, karena akal, bagi Mu„tazilah dapat mengetahui sebagian yang

baik dan sebagian dari yang buruk. Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-

garis besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu. Misalnya,

sungguhpun akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak dapat

menentukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan

oleh akal itu dapat saja berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan

baik dan buruk, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya,

penyembelihan binatang untuk keperluan tertentu.

Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum

Mu„tazilah membedakan antara perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut

akal dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Begitu pula

dibedakan antara kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh akal serta dengan

kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh wahyu. Dalam kaitan ini,

akal hanya dapat mengetahui garis-garis besarnya saja dari kewajiban-

5 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 99


8

kewajiban manusia, sedangkan perinciannya - sebagaimana pendapat Abdul

Jabbar – hanya dapat diketahui melalui wahyu.6

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa meskipun aliran Mu„tazilah

memberikan peranan yang besar kepada akal, namun, tetap dalam

keterbatasannya sebagai akal manusia, yang hanya mampu mengetahui baik

dan buruknya sesuatu secara universal. Sedangkan kebaikan yang bersifat

lokal dan varsial hanya dapat diketahui melalui wahyu. Selanjutnya, wahyu

menurut Mu„tazilah, di samping sangat berperan untuk mengetahui perincian

dari apa yang baik dan buruk, juga dimaksudkan sebagai dasar pembenaran

bagi Tuhan untuk memberikan ganjaran terhadap manusia di hari kemudian.

2. Aliran Asy’ariah

Berbeda dengan aliran Mu„tazilah, aliran Asy„ariyah yang termasuk

dalam golongan Ahlus Sunnah Wal Jama„ah memberikan peranan yang lebih

besar kepada wahyu dalam mengetahui keempat persoalan tersebut di atas.

Menurut al-Asy„ari, segala kewajiban (yang harus dilakukan oleh)

manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuatu

sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui, bahwa mengerjakan yang

baik dan meninggalkan yang jahat (buruk) itu adalah wajib bagi manusia.

Memang betul, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan perlunya berterima

kasih kepadaNya. Namun, melalui wahyulah manusia dapat mengetahui,

bahwa orang yang taat kepada Tuhan akan mendapat pahala (balasan baik)

dan orang yang berbuat maksiat kepada-Nya akan mendapat hukuman (siksa).

6 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), H.99


9

Akal menurut Asy„ari, tidak mampu mengetahui kewajiban manusia. Untuk

itulah wahyu diperlukan, yakni untuk menetapkan mana yang wajib dan mana

yang tidak, mana perintah dan mana larangan dari Tuhan.

Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak akan

tahu kewajiban-kewajibannya, bahkan – kata al-Gazali – sekiranya syari„at

tidak ada, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak

wajib pula berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan

kepada manusia. Demikian juga soal baik dan buruk, ia hanya diketahui

melalui perintah dan larangan Tuhan.7

Al-Taftazani menjelaskan, bahwa (bagi Asy„ariyah) sanksi hukum

untuk perbuatan orang yang berakal belum ada, sebelum datangnya syara„.

Jadi tetapnya suatu hukum adalah atas landasan syara„, bukan dengan akal.

Akal dalam hal ini, hanyalah merupakan alat untuk memahami khitab syara„.

Pendapat ini juga didukung oleh al-Gazali, bahkan ia menegaskan, bahwa al-

Hakim (pembuat hukum) adalah Allah swt., dan tidak ada sanksi hukum

sebelum datangnya ketentuan syara„.8

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa akal bagi Asya„ariyah

hanya dapat mengetahui Tuhan. Namun, akal tidak punya otoritas (wewenang)

untuk menetapkan kewajiban. Yang menetapkan adalah al-Hakim (pembuat

hukum) yakni Allah swt. Berbeda dengan Mu„tazilah yang menjadikan akal

sebagai al-Hakim. Dengan kata lain, Asy„ariyah memberikan fungsi yang

7 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 99

8 Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Ujung pandang: Yayasan AHKAM, 1995), h. 20
10

lebih kecil kepada akal, sedangkan Mu„tazilah wewenang akal lebih banyak.

Dalam hal ini, akal menurut Asy„ariyah kemampuannya terbatas dalam hal

mengetahui eksistensi Tuhan. Akal diperlukan untuk memahami wahyu.

3. Maturidiah

Nama paham ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur

Muhammad Ibnu Mahmud al-Maturidy. Dalam faham teologinya, al-Maturidy

banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yang juga banyak

menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya.Meski demikian, sistem

pemikiran teologinya masih dalam kategori Ahlu Sunnah.

Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini

aliran Maturidiyah terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah

Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.

a. Maturidiyah Samarkand

Paham ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak

pemikirannya kepada Mu„tazilah dalam bidang teologi dari pada ke

Asy„ariyah.9

Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya

dengan keempat masalah pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand berpendapat

bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan, oleh karena Allah sendiri yang

memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini. Hal ini

menunjukkan bahwa akal manusia dapat mencapai ma„rifatullah. Oleh karena

9 Harun Nasution, Islam Rasionalis (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 115.
11

itu, akal sudah mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sebelum

datangnya wahyu. Sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan

sebelum datangnya wahyu.

Demikian halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan,

menurut Maturidiyah Samarkand, akal dapat mengetahui keawajiban menusia

untuk berterima kasih kepada Tuhan, meski tanpa bantuan wahyu.

Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat

baik yang terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang

buruk. Akal selanjutnya akan membawa kepada kemuliaan dan melarang

manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada

kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan

kemestian akal.

Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran Maturidiyah

Samarkand berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari empat

persoalan pokok tersebut, yakni: Mengetahui Tuhan; kewajiban mengetahui

Tuhan (berterima kasih kepada Tuhan); serta mengetahui baik dan buruk.

Sedangkan yang terakhir, kewajiban mengerjakan yang baik dan

meninggalkan yang jahat adalah wewenang wahyu atau Tuhan.

b. Maturidiyah Bukhara

Jika Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al-Maturidy

sendiri, maka Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr Muhammad

al-Bazdawy. Pemikiran teologi dari kedua tokoh ini sedikit berbeda dan tidak
12

terlalu mendasar. Perbedaannya hanya pada sekitar masalah kewajiban-

kewajiban manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.

Al-Bazdawy mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui

kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal

hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan yang menentukan

kewajiban mengenai yang baik dan buruk itu adalah Tuhan sendiri. Demikian

halnya dengan kewajiban mengetahui Tuhan. Akal hanya mampu mengetahui

Tuhan, tetapi ia tidak dapat mengetahui dan menentukan kewajiban

mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang mengetahui dan menentukannya

adalah wahyu.

Pada prinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah Bukhara,

tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat

mengetahui sebab-sebab dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh

karenanya, mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan,

sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Bahkan mereka (para

alim ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum datangnya Rasul, percaya

kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah suatu

dosa. Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih mendekati faham

Asy„ariyah yang lebih mempungsikan wahyu ketimbang akal.

C. Pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan Tuhan

Semua aliran dalam suatu pemikiran kalam berpendapat bahwasannya

tuhan sebagai pencipta, melaksanakan kehendaknya, Tuhan pasti melakukan

berbagai perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari


13

dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Diantara perbuatan tuhan

menurut aliran Mu‟tazilah, Asy‟ariyah dan Maturidiyah sebagai berikut.

1. Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu‟tazilah merupakan aliran kalam yang bercorak rasional.

Aliran Mu‟tazilah ini berpendapat bahwa perbuatan tuhan yaitu :

a. Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.

Dilihat dari uraian tentang kekuasaan mutlak tuhan dan keadilan

tuhan, kaum Mu‟tazilah berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-

kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan

dalam satu kewajiban. Yaitu kewajiban berbuat baik. Namun, tidak berarti

bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak

melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari

perbuatan buruk itu. 10 Didalam al-Qur‟an telah jelas dikatakan bahwa

tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang dijadikan dalil

oleh aliran Mu‟tazilah untuk mendukung pendapatnya adalah Q.S. Al-

Anbiya ayat ke 23 yang berbunyi :

َ‫الَ يُسْأ ُل عَما َ يَ ْف َع ُل َوهُ ْم يُسْا لُىْ ن‬


Artinya : “Ia tidak boleh ditanya tentang apa yang ia lakukan, sedang
merekalah yang akan ditanya kelak”.

Dan Surat Ar-Rum 30:8 yang berbunyi :


‫ض َو َما بَ ْينَهُ َما اِ الَّ بِا ْل َحق‬
َ ْ‫ت َواألَر‬ َ َ‫َما خَ ل‬
ِ ‫ق السَّمى‬

Artinya : “ Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya, melainkan dengan tujuan yang benar “

10 Anwar Rosihon, ILMU KALAM, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), h. 154.


14

Seorang tokoh yang bernama , Qadi Abd Al-Jabar berpendapat

bahwa ayat yang diatas memberi petunjuk bahwa tuhan hanya berbuat

baik. Dengan demikian, tuhan tidak perlu ditanya. Maksudnya yaitu :

ketika seseorang yang dikenal baik, dan secara nyata berbuat baik, maka

tidak perlu ditanya mengapa berbuat baik ?. Sedangkan, ayat yang kedua

menurut Al-Jabar , bahwasanya mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak

pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata

tuhan melakukan perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa tuhan

menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak

benar atau berita bohong.

b. Berbuat Baik dan Terbaik.

Adanya konsep tentang keadilan tuhan, mendorong kelompok

mu‟tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban berbuat

baik dan terbaik terhadap manusia. Dalam istilah arabnya berbuat baik dan

terbaik bagi manusia disebut ( Al- salah wa al-aslah).11

Maksudnya yaitu kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang

terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan

yang penting bagi kaum Mu‟tazilah.

c. Beban di Luar Kemampuan Manusia.

Memberi beban di luar kemampuan manusia ( Taklif ma la yutaq )

adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena

11 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 129


15

itu kaum Mu‟tazilah tidak dapat menerima faham bahwa tuhan dapat

memberikan manusia beban yang tak dapat dipikul. Hal ini juga bertentang

dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak

adil, kalau ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.

d. Pengiriman Rasul-rasul.

Bagi aliran Mu‟tazilah , dengan kepercayaan mereka bahwasannya

akal dapat mengetahui hal-hal gaib, sehingga menurutnya pengiriman

rasul-rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan

pengiriman rasul-rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban

tuhan.

e. Janji dan Ancaman.

Dalam pebuatan-perbuatan tuhan termasuk perbuatan menepati

janji dan menjalankan ancaman ( Al-wa‟d wa al-waid ). 12 Janji dan

ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran

Mu‟tazilah, hal ini erat hubungannya dengan dasar kedua , yaitu keadilan.

Tuhan tidak akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk

memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan

ancaman terhadap orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, menepati

janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi tuhan.

2. Asy’ariyah

a. Kewajiban-Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia.

12 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta:UI-Press, 1986), h. 132


16

Menurur aliran Asy‟ariyah, faham kewajiban tuhan yang

dikatakan oleh aliran Mu‟tazilah, tidak dapat diterima karena

bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan yang

mereka anut. Faham yang mengatakan bahwa tuhan dapat berbuat

sekehendak hatinya terhadap makhluk mengandung arti bahwa tuhan

tidak mempunyai kewajiban apa-apa.

b. Berbuat Baik dan Terbaik.

Hal ini ditegaskan oleh Al-Gazali,13 ketika mengatakan bahwa

tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.

Dengan demikian, aliran Asy‟ariyah tidak menerima faham tuhan

mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hatinya

terhadap makhluknya.

c. Beban di Luar Kemampuan Manusia.

Aliran Asy‟ariyah percaya pada kekuasaan mutlak tuhan dan

berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Aliran

Asy‟ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan

manusia. Asy‟ariyah sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-

Luma‟, 14 bahwa tuhan dapat meletakkan pada manusia beban yang

tidak dapat dipikul.

d. Pengiriman Rasul-rasul.

13 Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: Setia Pustaka, 1998), h. 183

14 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 132


17

Walaupun pengiriman rasul memiliki arti penting dalam teologi.

Namun Aliran Asy‟ariyah menolak sebagai kewajiban tuhan. Karena

hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa tuhan tidak

mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat

membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul

kepada umat manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan.

e. Janji dan Ancaman.

Bagi kaum Asy‟ariyah faham ini tidak dapat berjalan sejajar

dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak

tuhan, dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan.

Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan

ancaman yang tersebut dalam al-Qur‟an dan Hadits.

Tetapi disini timbul persoalan bagi kaum Asy‟ariyah, 15 karena

dalam al-Qur‟an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik

akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka.

Untuk mengatasi hal ini, kata-kata arab man, allazina dan

sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh Asy‟ariyah sendiri

diberi interpretasi “bukan semua orang, tetapi sebagian “.dengan demikian

kata “ siapa” dalam ayat “ Barang siapa menelan harta anak yatim piatu

dengan cara tidak adil, maka ia sebenarnya menelan api masuk kedalam

perutnya”. Mengandung arti bukan seluruh tetapi sebagian orang yang

menelan harta yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas

15 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 133


18

dasar kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan interpretasi

demikianlah Asy‟ariyah mengatasi persoalan wajibnya tuhan menepati

janji dan menjalankan ancaman.

3. Maturidiah
Dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran kalam, dikenal dua subsekte

aliran Maturidiyah, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.

Subsekte yang pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansur

Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Adapun subsekte

yang kedua lahir Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasr Muhammad

Al-Basdawi.

a. Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.

Dalam pandangan kewajiban-kewajiban tuhan , menurut Maturidiyah

Samarkand dan Maturidiyah Bukhara ada perbedaan pendapat yaitu :

Menurut Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada

kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, berpendapat bahwa perbuatan

tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian ,

tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia.

Sedangkan menurut, Maturidiyah Bukhara dimana memiliki

pandangan yang sama dengan Asy‟ariyah mengenai faham bahwa tuhan

tidak mempunyai kewajiban . Namun, sebagaimana dijelaskan oleh

Badzawi, tuhan pasti menepati janjinya, seperti memberi upah kepada

orang yang berbuat baik. Walaupun mungkin saja membatalkan ancaman

bagi orang yang berdosa besar.


19

b. Berbuat Baik dan Terbaik.


16
Kaum Maturidiyah dengan kedua golongannya, tidak sefaham

dengan kaum Mu‟tazilah. Dimana kaum Mu‟tazilah berpendapat

bahwasannya tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik

terhadap manusia.

c. Beban di Luar Kemampuan Manusia.

Menurut Maturidiyah Bukhara Tuhan tidak mempunyai tujuan dan

tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan

berbuat sekehendak-Nya sendiri. Tidak ada yang dapat menentang atau

memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.

Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand, mengambil posisi yang

dekat dengan aliran Mu‟tazilah. Menurut Syarh al-Fiqh al Akbar, al-

Maturidi Samarkand tidak setuju dengan pendapat kaum Asy‟ariyah dalam

hal ini, karena al-Qur‟an mengatakan bahwa tuhan tidak membebani

manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak terpikul. Pemberian

beban yang tidak terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan

Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-

perbuatannya dan bukan tuhan.

d. Pengiriman Rasul-rasul.

Pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai

kewajiban tuhan, kewajiban menepati janji dan pemberian ancaman.

16 Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: Setia Pustaka, 1998), h. 183
20

Aliran Maturidiyah golongan Bukhara sefaham dengan aliran

Asy‟ariyah. Menurut mereka pengiriman rasul tidaklah bersifat wajib dan

hanya bersifat mungkin.

e. Janji dan Ancaman.

Kaum Maturidiyah Bukhara dalam hal ini tidak seluruhnya

sefaham dengan kaum Asy‟ariyah. Dalam pendapat mereka, sebagai

dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin tuhan melanggar janjinya untuk

memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan

tidak mungkin tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman

kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu nasib orang yang berdosa

besar ditentukan oleh kehendak mutlak tuhan.

Uraian al-Bazdawi di atas mengandung arti bahwa tuhan wajib

menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan

demikian, tuhan, dalam faham al-Bazdawi mempunyai kewajiban terhadap

manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan

sebelumnya, bahwa tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa

terhadap manusia. Dari sini dapat diketahui bahwa menurut paham al-

Bazdawi tuhan boleh saja melanggar janji-janjinya.

Bagi Maturidiyah golongan Bukhara 17 . , tuhan tidak mungkin

melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.

Kontradiksi yang terdapat dalam pendapat al-Bazdawi ini mungkin timbul

dari keinginannya untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak

17 Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung : Setia Pustaka, 1998), h. 184
21

tuhan, tetapi dalam hal itu ingin pula mempertahankan keadilan tuhan.

Mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat baik

kedalam neraka, adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi

mengatakan bahwa tuhan dapat memasukkan orang yang berbuat jahat

kedalam surga , tidaklah bertentangan dengan rahmat tuhan.

D. Pemikiran tiap aliran mengenai Perbuatan-perbuatan Manusia

1. Jabariyah

Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim

dan Jabariah Moderat dalam masalah perbuatan manusia.

Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan

manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya

sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya Misalnya, kalau

seseorang mencuri, perbuatnya mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak

sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki

demikian. Bahkan, Jahm bin S hafwan, salah seorang tokoh Jabariyah

ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia

tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak

memunyai pilihan.

Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan

perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi

manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan

dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.

Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab


22

manusia tidaklah majbur (di paksa oleh Tuhan). Tidak seperti wayang yang

dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi

manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.

2. Qadariyah

Paham Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia

dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan

untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu

berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan

pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh

hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat. Dalam kaitan ini bila

seseorang di beri ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat

dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat.18

Adapun menurut paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan

Allah yang di ciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh isinya,

semenjak ajal, yaitu hukum yang di dalam isitlah Al-Qur‟an adalah

sunatullah.

Paham Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat

menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-

doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak

ayat Al-qur‟an yang mendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi

ayat ke-29.

18 Yusran Asmuri, Ilmu Tauhid, (PT. Raja Grafindo Persada, Ed I, Cet. II; Jakarta:
1994), h. 110
23

3. Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu‟tazilah memandang manusia mempunyai daya yang

besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu‟tazilah menganut faham Qadariyah

atau free will. Menurut al-juba‟i dan abd al-jubraa (tokoh Mu‟tazilah),

manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah

yang berbuat baik dan buruk kepada Tuhan dan ketaatan seseorang kepada

Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-sititha‟ah)

yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan.

Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia19.

Dengan faham ini, aliran Mu‟tazilah mengaku Tuhan sebagai

pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi

untuk mengubah bentuknya.

Disamping argumentasi di atas, aliran Mu‟tazilah

mengemukakan argumentasi rasional berikut ini:

a. Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan menusia

sendiri tidak mempunyai perbuatan. Hal ini karena syariat

adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab.

Tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.

b. Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya,

runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham

al-wa‟d wa al-wa‟id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan

ini menjaditidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak

19 Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986), h. 102


24

sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.

c. Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan,

pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama sekali.

Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus

dibarengi kebebasan pilihan

4. Asy’Ariyah

Dalam faham Asy‟Ariyah, manusia ditempatkan pada posisi yang

lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam

hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah

daripada dengan faham Mu‟tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya

Asy‟ari, pendiri aliran Asy‟ariyah memakai teori al-kasb (acquisition,

perolehan).

Pada prinsipnya, aliran Asy‟ariyah berpendapat bahwa perbuatan

manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek

untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan

menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan

tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb

(perolehan) bagi manusia.20

Dengan demikian, kasb mempunyai pengertian bersamanya atau

berbarengan kodrat dan iradat pada manusia dengan yang ada pada

Allah, artinya apabila seseorang itu menghendaki sesuatu perbuatan, maka

pada saat ia menghendaki itu sesuatu dengan kehendak Allah, maka

20 Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), h. 166.


25

terwujudlah perbuatan manusia itu21

5. Maturidiah

Ada perdebatan antara maturidiyah samarkand dan maturidiyah

bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok samarkand lebih dekat

dengan faham Mu‟tazilah, sedangkan kelompok bukhara lebih dekat dengan

faham asy‟ariyah. Kehedak dan daya berbuat pada diri manusia menurut

maturidiyah samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata

sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu‟tazilah

adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi

bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian porsinya lebih

kecil dari pada daya yang terdapat dalam faham Mu‟tazilah. Oleh karena itu,

manusia dalam faham al-marturidi, tidaklah sebebas manusia dalam

Mu‟tazilah.

Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan

maturidiyah samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan

dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua

daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya

Tuhanlah yang dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuhan

baginya.

21 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), h. 175


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan :

1. Akal merupakan hidayah Allah yang diberikan kepada menusia berfungsi

sebagai alat untuk mencari kebenaran, akal mampu merumuskan yang bersifat

kognitif dan manajerial. Sedangkan Wahyu merupakan firman Allah yang

berfungsi sebagai pedoman hidup manusia. Wahyu baik yang langsung (al-

Qur‟an) maupun tidak langsung (al-Sunnah) sebagi sumber ajaran Islam

2. Aliran Mu„tazilah memberikan peranan yang besar kepada akal, namun,

Tetap dalam keterbatasannya sebagai akal manusia, yang hanya mampu

mengetahui baik dan buruknya sesuatu secara universal. Sedangkan kebaikan

yang bersifat lokal dan varsial hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sedangakan

akal bagi Paham Asya„ariyah hanya dapat mengetahui Tuhan. Namun, akal tidak

punya otoritas (wewenang) untuk menetapkan kewajiban.Yang menetapkan

adalah al-Hakim (pembuat hukum) yakni Allah swt., dan akal menurut Asy„ariyah

kemampuannya terbatas dalam hal mengetahui eksistensi Tuhan. Akal diperlukan

untuk memahami wahyu. Paham Maturidiyah Samarkand berpendapat, bahwa

akal dapat mengetahui tiga dari empat persoalan pokok tersebut, yakni:

Mengetahui Tuhan; kewajiban mengetahui Tuhan (berterima kasih kepada

Tuhan); serta mengetahui baik dan buruk. Sedangkan yang terakhir, kewajiban

mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat adalah wewenang wahyu

atau Tuhan. Sedangkan akal menurut paham Paham Maturidiyah Bukhara, tidak

dapat mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui

26
27

sebab-sebab dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh karenanya, mengetahui

Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu

tidaklah wajib bagi manusia.

3. Mengenai tentang Perbuatan Tuhan Aliran Mu‟tazilah; berpendapat

bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal- hal yang sama dikatakan

baik.. Ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu malakukan perbuatan buruk.

Perbuatan buruk tidak dilakukan-Nya karena ia mengetahui keburukan perbuatan

buruk itu. Bahkan, didalam Al-Q uran jelas dikatakan bahwa Tuhan tidak berbuat

zalim. Paham Asy‟ariah, b e r p e n d a p a t bahwa Tuhan dapat berbuat

sekehendak hati-N ya terhadap mahkluk, mengandung arti bahwa Tuhan tidak

mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-

perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja‟iz) dan tidak satupun darinya yang

mempunyai sifat wajib. Paham Maturidiah Samarkand : berpendapat bahwa

perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik. Dengan demikian,

Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia.

Demikian juga pengiriman Rasul dipandang Maturidiah Samarkand sebagai

kewajiban Tuhan.. Maturidiah Bukhara sejalan dengan pandangan Asy‟ariah

mengenai paham bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban. Akan tetapi, Tuhan

harus memenuhi janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat

baik, meskipun Tuhan mungkin membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa

besar. Adapun pandangan Maturidiah Bukhara tentang pengiriman Rasul,

sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dari kehendak mutlak Tuhan,

tidak bersifat wajib hanya bersifat mungkin.


28

4. Mengenai Perbuatan Manusia Paham Jabariah ekstrem berpendapat :

bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul

dari kemauannya, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Demikian.

Jabariah Moderat mengatakan: bahwa Tuhan mencipkan perbuatan manusia,

baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian

di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek

untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab

(acquisition). Paham Qadariah: menyatakan bahwa segala tingkah laku

manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan

untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat

baik maupun berbuat jahat. Aliran Mu‟tazilah: memandang manusia mempunyai

daya yang besar dan bebas. O leh karena itu, manusialah yang menciptakan

perbuatan-perbuatannya. Manusia yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan

dan ketaatan seseoramg kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya

sendiri. Paham Asy‟ariah: menurut paham ini manusia ditempatkan pada

posisi yang lemah, ia diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan

dalam hidupnya. Pada hakikatnya perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan,

karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang

terbatas, tetapi daya tuhan yang tidak terbatas. Paham Maturidiah: terdapat

perbedaan antara Maturidiah Samarkand dengan Maturidiah Bukhara. Jika yang

pertama lebih dekat dengan paham Mu‟tazilah, yang kedua lebih dekat dengan

paham Asy‟ariah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut

Maturidiah Samarkand adalah kehe ndak dan daya manusia dalam arti kata
29

sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Maturidiah Bukhara dalam banyak hal

sependapat dengan Maturidiah Samarkaand. Hanya, untuk perwujudan perbuatan

perlu ada dua daya. Manusia tidak dapat mencipta, dan manusia hanya dapat

melakukan perbuatan yang telah Tuhan ciptakan baginya

B. Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan

arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan

makalah berikutnya
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 1986

Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986

Nasution, Harun Islam Rasionalis :Cet. IV: Bandung: Mizan, 1996

Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam : Ujung pandang: Yayasan AHKAM, 1995

Anwar, Rosihon. Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009

Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Setia Pustaka, 1998

Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996

30

Anda mungkin juga menyukai