Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


(Spritualitas dalam Pendidikan Islam)

Disusun Oleh:

Iswardi
NIM. 2020090001

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Syaiful Akhyar Lubis, M.A


Dr. H. Gusril Kenedi, M.Pd
Dr. Afnibar, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih kahadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang tiada henti,
sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah ini. Tiada daya
dan upaya tanpa pertolongan-Mu ya Allah. Semoga rahmat ini akan selalu hadir untuk
kita.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya sekalin, yang telah membawa kita dari alam kegelapan
kepada alam yang terang benderang.
Makalah ini berjudul “Spritualitas dalam Pendidikan Islam”, penulis buat untuk
memenuhi tugas pribadi pada mata kuliah “Konseling Pendidikan Islam”, pada program
S3 UIN Imam Bonjol Padang yang dibimbing oleh Bapak Prof. Dr. Syaiful Akhyar
Lubis, M.A, Bapak Dr. H. Gusril Kenedi, M.Pd dan Ibu Dr. Afnibar, M.Pd.
Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan,
masih jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis
harapkan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk-Nya terhadap upaya
yang dilakukan demi peningkatan mutu pendidikan.
Akhirnya semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya Rabbal
alamiin.

Padang, September 2021


Penyusun

Iswardi

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Permasalahan .............................................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Gagasan tentang spritualisasi pendidikan (prinsip dan konsep dasar) ....... 3
B. Spritualisasi tujuan pendidikan ................................................................... 8
C. Integrasi ilmu pengetahuan (spritualisasi kurikulum) .............................. 12
D. Spritualisasi subyek pendidikan (pendidik dan peserta didik) ................. 15
E. Spritualisasi kepemimpinan pendidikan ................................................... 21
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 26
B. Kritik dan Saran ........................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kegagalan penanaman nilai-nilai (ajaran moral) serta pembangunan mental
manusia dan lain-lainnya saat ini dalam konteks keindonesiaan telah banyak
menjadi bahan diskursus para praktisi pendidikan. Krisis ekonomi yang terus
berkepanjangan, merajalelanya korupsi di semua level (dari guru sampai pada
pemimpin pendidikan), tawuran antar pelajar serta yang lebih parah, maraknya
perilaku seksual di tingkatan remaja, merupakan potret dari kegagalan pendidikan
dalam memtransformasikan nilai-nilai sebagai pusat pemberdayaan manusia.1
Perkembangan dan kemajuan peradaban yang telah dicapai manusia modern
saat ini, telah mencapai titik optimal yang berujung pada kejenuhan sehingga
menimbulkan kekhawatiran bagi kelangsungan peradaban. Akan tetapi secara psikis
manusia modern telah mengalami kemunduran akibat hilangnya nilai-nilai chonos
ilahiyah dalam dirinya, sebagai nilai kontrol setiap aktivitas yang dilakukan,
sekaligus pembawa ketenangan jiwa.2
Lemahnya bekal moral keagamaan semacam itu pada gilirannya akan
melahirkan individu-individu lemah moral yang kehilangan eksistensinya sebagai
manusia sejati yang selalu dilandasi oleh semangat kejujuran.
Untuk itu, makalah yang sederhana ini berupaya memaparkan tentang apa
sesungguhnya spritualitas dalam pendidikan itu terutama yang terkait dengan
komponen utama dalam pendidikan yang meliputi: tujuan pendidikan, kurikulum,
pendidik dan peserta didik serta kepemimpinan pendidikan.

1
. A. Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses
Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 2-3
2
. Lihat Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh
Astuti, (Bandung: Risalah, 1969), h. 8-12

1
B. Permasalahan
Untuk itu, makalah yang sederhana ini berupaya memaparkan tentang apa
sesungguhnya spritualitas dalam pendidikan Islam itu terutama yang terkait dengan
komponen utama dalam pendidikan yang meliputi:
1. Gagasan tentang spritualisasi pendidikan (prinsip dan konsep dasar).
2. Spritualisasi tujuan pendidikan.
3. Integrasi ilmu pengetahuan (spritualisasi kurikulum).
4. Spritualisasi subyek pendidikan (pendidik dan peserta didik).
5. Spritualisasi kepemimpinan pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gagasan tentang Spritualisasi Pendidikan (Prinsip dan Konsep Dasar)


Acuan utama spritualitas pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Ajuan pelengkap lainnya seperti Ijtihad yakti kesepakatan-kesepakatan dari para
ulama yang diambil berdasarkan metode Ijma’ (konsensus). qiyas (alasan melalui
analogi), istihsan (preferensi), masalih mursalah (prinsip kegunaan) dan lain
sebagainya.3
Menurut perspektif bahasa ‘spiritualitas’ berasal dari kata ‘spirit’ yang
berarti ‘jiwa’.4 Menurut Kamus Bahasa Salim’s Ninth Collegiate English-
Indonesian Dictionary,5 kata spirit memiliki arti etimologis sebagai kata benda, kata
kerja atau kata sifat. Dari keseluruhan arti itu, dapat dipersempit menjadi tiga arti,
yaitu: yang berkaitan dengan moral, semangat, dan sukma.
Istilah “sipiritual” juga dapat didefinisikan sebagai pengalaman manusia
secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas.6 Menurut
sebagian ahli tasawuf ‘jiwa’ adalah ‘ruh’ setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan
ruh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh.
Sebab dari pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang
dibangun oleh ruh.7 Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan subjek
dari kegiatan “spiritual”.
Penyatuan jiwa dan ruh itulah untuk mencapai kebutuhan akan Tuhan.
Dalam rangka untuk mencerminkan sifat-sifat Tuhan, dibutuhkan standarisasi
pengosongan jiwa, sehingga eksistensi jiwa dapat memberikan keseimbangan dalam
menyatu dengan ruh. Jiwa sebagaimana yang telah digambarkan oleh seorang tokoh

3
Saiful Akhyar Lubis, Konseling Pendidikan Islam, (Medan: Perdana Publising, 2021), h.91
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), ed. III, cet.ke2, h. 963
5
Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English-Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern English
Press, 2000), h. 1423
6
Charles H. Zastrow, The Practice Work, (t.t: an International Thompson Publishing Company,
Whiter Water, 1999), h. 317
7
Said Hawa, Jalan Ruhaniah, alih bahasa: Khairul Rafi’e M dan Ibnu Tha Ali, (Bandung: Mizan,
1995), h. 63

3
sufi adalah suatu alam yang tak terukur besarnya, ia adalah keseluruhan alam
semesta, karena ia adalah salinan dari-Nya segala hal yang ada di dalam alam
semesta terjumpai di dalam jiwa, hal yang sama segala apa yang terdapat di dalam
jiwa ada di alam semesta, oleh sebab inilah, maka ia yang telah menguasai alam
semesta, sebagaimana juga ia yang telah diperintah oleh jiwanya pasti diperintah
oleh seluruh alam semesta.8
Dalam dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan pusat
vital organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus, merupakan
“tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk pribadi.9 Para sufi
mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat dekat kepada apa
yang ada dalam al-Quran dan ekspresi ringkas terpadu mereka yang telah mencakup
seluruh esensi ajaran. Kebenaran-kebenaran ajarannya mudah mengarah pada
perkembangan tanpa batas dan karena peradaban Islam telah menyerap warisan
budaya pra Islam tertentu, para guru sufi dapat mengajarkan warisannya dalam
bentuk lisan atau tulisan. Mereka menggunakan gagasan-gagasan pinjaman yang
telah ada dari warisan- warisan masa lalu cukup memadai guna menyatakan
kebenaran-kebenaran yang harus dapat diterima jangkauan akal manusia waktu itu
dan yang telah tersirat dalam simbolisme sufi yang ketat dalam bentuk praktek yang
singkat.
Dari warisan-warisan yang telah ada yaitu kebenaran-kebenaran hakiki dari
para kaum sufi, maka terciptalah perilaku-perilaku yang memiliki tujuan objektif
(Tuhan) tidak lain. Seperti halnya esoterisme dalam agama-agama tertentu, langkah
awal untuk menjadikan umatnya mencari tujuan yang objektif, mereka memiliki
metode-metode khusus untuk menggali tingkat spiritualitasnya.
Sementara itu, kegersangan spiritual semakin meluas, hal itu terdapat pada
masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan semakin didambakan orang
untuk mendapatkan manisnya spiritualitas (the taste of spirituality).10 The taste of

8
Sayyed Hossien Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, alih bahasa Badul Hadi, mengutip dari
Syeikh al-Arabiy al-Darqwi, Letter of Sufi, h. 4
9
Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 17
10
Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-
Diba’ Giri Kusuma, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Walisongo Press Semarang, 2003),
h. 17

4
spirituality, bukanlah diskursus pemikiran, melainkan ia merupakan diskursus rasa
dan pengalaman yang erat kaitannya dengan makna hidup.11 Dalam khazanah Islam,
pengalaman keagamaan tertinggi yang pernah berhasil dicapai oleh manusia adalah
peristiwa “mi’raj” Nabi Muhammad SAW., sehingga peristiwa ini menjadi inspirasi
yang selalu dirindukan hampir semua orang, apapun agamanya.
Di sinilah muncul salah satu alasan bahwa pengalaman spiritualitas sangat
didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan bentuknya. Untuk
menggapai pengalaman-pengalaman spiritualits itu, maka diperlukan upacara-
upacara khusus. Sebab dari pengalaman keagamaan itu, umumnya muncul hati yang
mencintai yang ditandai dengan kelembutan dan kepekaan.12 Sehingga sifat cinta itu
akan melahirkan “kasih” kepada sesama makhluk tanpa membedakan ras serta
keberagamaan yang berbeda.
Jika dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam
pandangan Islam hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk terlibat jihad
setiap saat dan dalam berbagai tingkat. Model analisis klasik tentang jiwa manusia
meletakkan ‘hati’ manusia sebagai pusat perjuangan, yakni tarik menarik yang ketat
antara “spirit” (kebaikan) dan “ego” (kejahatan).13 Kebutuhan manusia akan Tuhan-
nya merupakan fitrah yang tidak bisa dinisbatkan manusia. Jika manusia
menisbatkan fitrahnya itu berarti manusia tersebut telah memarjinalkan potensi
beragamanya atau spiritualnya. Seperti halnya firman Allah SWT dalam surat al-
Ruum ayat 30:

Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”.

11
Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik:…, h. 17
12
Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik:…, h. 23
13
M. W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000), h. 7

5
Pendidikan spritualitas dalam Islam merupakan pembersihan jiwa atau
perjalanan menuju Allah SWT, perpindahan dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang
bersih, dari akal yang belum tunduk kepada syari’at menuju akal yang sesuai dengan
syari’at, dari hati yang keras dan berpenyakit menuju hati yang tenang dan sehat,
dari ruh yang jauh dari pintu Allah SWT, lalai dalam beribadahdan tidak sungguh-
sungguh dalam melakukannya, menuju ruh yang mengenal Allah SWT, senantiasa
melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk beribah kepada-Nya, dari fisik yang tidak
menaati aturan syari’at menuju fisik yang senantiasa memegang aturan-aturan
syri’at Allah SWT, dari yang kurang sempurna menuju yang lebih sempurna dalam
kebaikan dan mengikuti Rasulullah SAW baik perkataan, tingkah laku, dan
keadaannya.14
Dasar spritualitas pendidikan dalam Islam adalah al Quran dan Hadis. Dalam
al Quran menyebutkan bahwa spritualitas merupakan misi atau tugas pokok dari
risalah para Nabi dan Rasul dengan tujuan utama bagi orang yang bertaqwa
sehingga manusia akan selamat dari kesengsaraan di dunia dan akhirat dalam
pandangan Allah SWT.15
B. Spritualisasi Tujuan Pendidikan
Spritualitas tujuan pendidikan utamanya adalah memadukan nilai-nilai sains
dan teknologi dengan keyakinan dan keshalehan dalam diri anak didik mencapai
waladun shalih. Anak yang shalih digambarkan sebagai orang memiliki kemantapan
aqidah, kedalaman spritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu dan kematangan
profesional.16
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pendidikan Islam yang
maksimal akan melahirkan manusia yang seimbang, selain manusia tersebut
mempunyai kemampuan intelektual, ia juga memiliki kesadaran moral dan spiritual
yang selalu membimbingnya dalam setiap aktivitas kehidupan. Dalam aktivitas
pendidikan, aspek moral spiritual ini mempunyai signifikansi bila dijadikan sebagai
konsep dasar dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam atau dijadikan sebagai
core dalam mengembangkan pendidikan Islam. Karena lulusan pendidikan yang
14
Said Hawa, Tarbiyatuna al Ruhiyyah, Kairo: Maktabah al Wahbah, 1992, h. 69
15
Yahya Jaya, Spritualitas Islam, Jakarta: Ruhama, 1994, h. 7
16
Saiful Akhyar Lubis, op.cit, h.92

6
kurang memiliki nilai-nilai moral, keimanan dan ketakwaan yang kuat, pada
gilirannya dapat menimbulkan krisis multidimensional sebagaimana keadaan bangsa
saat ini yang intinya terletak pada krisis moral atau akhlak.
Pendidikan diarahkan kepada upaya membantu peserta didik memahami
tujuan penciptaannya sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah Allah
SWT di muka bumi. Lahirnya kesadaran ber-Tuhan dan tercapainya rahmat Allah
SWT sehingga lahirlah kemampuan manusia melakukan pertemuan dengan
Tuhannya merupakan tujuan utama spritualitas.17
Spiritualitas tujuan pendidikan berdasarkan perspektif Sunnah Nabawiyah
setidaknya memuat beberapa aspek berikut:
1. Menanamkan dalam diri seseorang akidah yang benar dan keimanan yang
sungguh-sungguh kepada Allah SWT yang tiada Tuhan selain Dia, Dialah Maha
pemilik segala sesuatu yang tiada sekutu bagi-Nya, Yang Maha Pencipta dan
Pengatur yang Bijaksana, Pemilik kesempurnaan yang mutlak tiada yang serupa
dengan-Nya, tiada yang mendampingi-Nya, Dialah sumber petunjuk dan sifat-
sifat yang mulia serta kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan, dengan hal tersebut
maka dirinya terlindungi sejak kecilnya dari segala bentuk keraguan, kekufuran,
kesesatan, dan kemusyrikan.
2. Mengarahkan manusia untuk mengesakan Allah SWT dalam hal ubudiyah dan
ibadahnya, dengan cara menyerahkan hatinya kepada Tuhannya, Tuhan seluruh
Alam semesta, dan menjadikan seluruh amal perbuatannya ikhlas untuk Allah
SWT, tidak menyekutukan-Nya, meminta keridhaan-Nya, memohon hidayah-
Nya, kepada-Nya ia meminta pertolongan, kepada-Nya ia bertawakkal dan
meminta perlindungan, dan percaya dengan penuh keyakinan yang pasti bahwa
tak ada yang dapat memanfaatkannya dan membahayakannya meskipun semua
manusia berupaya untuk hal tersebut padanya kecuali dengan izin Allah SWT.
3. Menanamkan keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab samawi, para rasul
dan para nabi, hari akhir dan taqdir baik buruknya dalam diri priadi seseorang
setelah keimanan kepada Allah SWT, sebagai penyempurna dari akidahnya yang

Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis Spritual:Telaah Pemikiran Pendidikan Spritualitas


17

Abdurrauf Singkel dalam kitab Tanbihal Masyi, Tesis, Padang: PPs IAIN Imam Bonjol, 2007, h. 102

7
benar dalam satu sisi, dan juga karena keimanan ini merupakan sumber dari
sifat-sifat akhlak yang mulia dan hati yang hidup yang mengharuskannya
mengikuti jalan ketakwaan, kebaikan, dan petunjuk, yang menjaga perilaku
individu dari keburukan, kejelekan, kerusakan dan kesesatan pada sisi lain.
4. Menyucikan jiwa seorang mukmin, dan membersihkan dirinya yang itu dengan
mencukupi kecenderungannya dalam beragama, dan fitrahnya yang asli yakni
tauhid, dengan iman yang sempurna kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta
segala sesuatu, Dialah yang Awal dan Akhir, Yang Tampak dan Yang
Tersembunyi, Pengawas setiap hati manusia, yang Maha Mengetahui segala
rahasia-rahasia, Mengetahui segala perbuatan, Ia Melihat hamba-hambanya
namun hamba-Nya tak mampu melihat-Nya, sedang Dia selalu bersamanya
dimana pun mereka berada. Keimanan yang sempurna ini menjadikan setiap
individu itu ikhlas dalam berniat dan berbuat, mematuhi Allah SWT dalam
segala gerakan dan kondisi, selalu berbuat baik dalam segala hal yang ia lakukan
tidak mencari hal lain kecuali keridhoaan Allah SWT.
5. Menanamkan kecintaan seorang mukmin kepada Rasulullah SAW penutup para
nabi dan rasul dan meniru segala contohnya, mengikuti sunnah-sunnah yang
suci, dialah yang telah Allah utus sebagai rahmat bagi alam semesta, sebagai
pemberi kabar baik dan pemberi peringatan, pemberi petunjuk dan penolong dari
kesesatan, jalan keluar dari kesesatan menuju kebenaran, dan penyeru mereka
ke jalan menuju surga, yang menjadi gambaran hidup bagi (contoh yang nyata)
dari sifat-sifat mulia yang berdasar pada petunjuk, kebenaran, kebaikan,
ketakwaan dan akhlak-akhlak yang terpuji.
6. Mendorong setiap individu untuk mencari keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai
akhlak (moral), rasa kasih sayang, dan menguatkannya dalam diri pribadinya,
sampai menjadi kebiasaan (tabiat) bagi dirinya yang ia kerjakan dengan tanpa
ada paksaan atau riya serta keinginan untuk didengar, dan itulah yang terbaik
bagi dirinya, sebagai timbal baliknya akan mendatangkan kebaikan dan manfaat
bagi masyarakat.
7. Membiasakan seseorang sejak kecil dengan jiwa pengorbanan, ketekunan, dan
suka memberi, mementingkan kepentingan orang lain dan cinta kepada sesama,

8
suka membantu kepada orang lain dan suka menolong dalam kebaikan dan
ketakwaaan, itulah hal yang membantu dirinya untuk membangun hubungan
sosial yang erat dan kuat yang dikaitkan dengan rasa saling mencintai,
mengasihi, saling toleransi, dan rasa saling menyayangi, sehingga dengan hal
tersebut maka bahagialah dan baiklah kehidupannya seluruhnya, mereka saling
bekerjasama, seperti bangunan yang kokoh, dalam mencapai/mewujudkan
tujuan-tujuan dan target-target akhir mereka, dan menjaga bangunan moral dan
aturan sosial mereka dari kehancuran dan penyelewangan.
8. Penjagaan bagi setiap individu dengan imannya yang kuat, dari terjerumus
dalam keinginan syahwat (hawa nafsu), cinta materi, dan pemenuhan tuntutan
dorongan dan hawa nafsu, dimana hal-hal tersebut menyebabkan berlebih-
lebihan dan ketamakan dalam pemenuhannya sehigga tidak sesuai dengan yang
disyariatkan dan diatur oleh hukum-hukum agama yang benar, hal-hal itu
merupakan bahaya yang sangat merusak bagi kesehatan fikiran seseorang, yang
disebabkan oleh penyakit dan kekacauan fikiran, dan bagi kesehatan jiwa
dikarenakan menyebabkan kemelencengan, frustasi, dan benturan, bagi
kesehatan raga menyebabkan terjangkitnya penyakit-penyakit yang menyerang
seluruh bagian tubuh, dan dengan kondisi seperti itu, maka akan memberikan
pengaruh timbal balik kepada dirinya sendiri dan masyarakat, dengan akibat
yang sangat besar. Allah SWT berfirman dalam surat Muhammad ayat 17:


Artinya:
“dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk
kepada mereka dan memberikan Balasan ketaqwaannya”.

C. Integrasi Ilmu Pengetahuan (Spritualisasi Kurikulum)


Dikotomi ilmu pengetahuan (ilmu agama dan non agama) sebenarnya
bukanlah hal yang baru. Islam telah membahas tentang dikotomi ini lebih dari seribu

9
tahun yang silam. Menariknya dikotomi dimaksud tidak menimbulkan problem
dalam sistem pendidikan yang ditawarkan dalam kurikulum18
Kurikulum Islam harus memuat prinsip: mengandung nilai kesatuan dasar
bagi persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat, mengandung nilai
kesatuan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran Islam, mengandung
materi yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual, dan jasmaniah.19
Hal ini mengisyaratkan bahwa implementasi kurikulum pendidikan Islami
mendapatkan porsi yang strategis dalam melengkapi kurikulum pendidkan umum
artinya proses pembelajaran antara pendidkan umum dan agama menjadi proses
utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang berwawasan imtak dan iptek,
sehingga nilai tambah yang didapatkan siswa dengan diterapkannya pembelajaran
yang Islami, mengarahkan siswa pada moral, akhlak dan perilaku yang lebih baik,
dan dapat menumbuhkan minat dan kesadaran siswa yang menghasilkan kecerdasan
secara integrated.
D. Spritualisasi Subyek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Secara umum pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk
mendidik. Secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang
yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif,
kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.20
Dalam terminologi pendidikan modern, para pendidik disebut orang yang
memberikan pelajaran kepada anak didik dengan memegang satu disiplin ilmu di
sekolah.21
Guru merupakan orang yang sangat penting dalam proses pembelajaran
tertentunya mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam melaksanakan
tugasnya. Strategi spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses
penyampaian dan penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan

18
. Saiful Akhyar Lubis, op.cit, h.97
19
Ali. M. dan Luluk, Y. R, Paradigma Pendidikan Universal di Era Moderen dan Post- Moderen:
Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, h. 273
20
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), h. 41
21
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:…, h. 43

10
suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam
kerangka pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek
model pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan
anak didiknya. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta
menempatkan guru sebagai sosok yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa
semangat dan senang dalam belajar. Dalam konsep mengajar seorang pendidik
bahwa tolak ukur peranan guru bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai
pembimbing belajar atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar. Seorang guru
yang dikatakan cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya memberikan atau
menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga mampu
menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap dan perilaku
peserta didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang pendidik
hanya mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan materi
pelajaran, sehingga tak jarang ditemukan seorang pendidik yang tidak bertindak
tidak patut dan semestinya. Maka dari itu sangat penting bagi para guru untuk mulai
menyadari bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih
dari itu mendidik merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, nilai-
nilai religius.
Guru yang bekerja (mengajar dan mendidik) seharusnya dilakukan karena
Allah SWTdan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT yang didasari rasa ikhlas
akan menjadi barokah dalam setiap pengabdiannya. Nilai-nilai spritualitas antara
guru dan peserta didik akan mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini adalah berusaha
mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui
upaya belajar/learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ)
dan learning to be (SQ) serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi
secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan
prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement). Dalam mewujudkan diri
sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaannya adalah
berusaha membelajarkan peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap
potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses

11
pembelajaran yang menantang atau problematis (Problematical Learning/IQ),
menyenangkan (Joyful Learning/EQ) dan bermakna (Meaningful Learning/ SQ).
Seorang pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh
kepada anak didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak
ada celah bagi si anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan
perilaku peserta didik akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi
dan hansip. Dengan pribadi yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan
secara otomatis memberi pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Sebagai komponen pendidikan, spritualitas peserta didik juga merupakan hal
yang sangat penting diperhatikan. Mengingat spiritual juga mengandung makna
moral, maka dalam hal ini akan dibicarakan beberapa teori perkembangan moral
peserta didik.
Setiap aspek perkembangan peserta didik memiliki tahapan atau proses
hingga mencapai suatu tahapan atau tingkatan yang matang. Perkembangan moral
pada peserta didik dapat berlangsung melalui beberapa cara yaitu:
1. Pendidikan langsung, melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang
benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa
lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral ini,
adalah keteladanan dari orangtua, guru atau orang dewasa lainnya dalam
melakukan nilai-nilai moral.
2. Identifikasi, dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah
laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, artis atau
orang dewasa lainnya).
3. Proses coba-coba (trial & error), dengan cara mengembangkan tingkah laku
moral secara coba-coba. Jika tingkah laku tersebut men-datangkan pujian atau
penghargaan maka akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang
mendatangkan hukuman atau celaan maka akan dihentikan.
Selain itu, berdasarkan hasil penyelidikan Kohlberg mengemukakan 6 tahap
(stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan
tertentu. Masing-masing tingkat terdiri dari 2 tahap, sehingga keseluruhan ada 6
tahapan yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Dalam

12
stadium nol, anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan
keinginannya.
Ada 3 tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu:
1. Prakonvensional
Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak
menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak
hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang
tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh
hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relaivistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak
tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau
ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian
mempunyai berbagai segi. Jadi, ada Relativisme. Relativisme ini artinya
bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan sesorang. Misalnya mencuri
kambing karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi
kebutuhanya, maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral,
meskipun perbuatan mencuri itu diketahui sebagai perbuatan yang salah karena
ada akibatnya, yaitu hukuman.
2. Konvensional
Stadium 3, meliputi orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini,
anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan
orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain dan
masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan sesorang baik
atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dari otoritas.
Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar
dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat
ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan
baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada,
agar tidak timbul kekacauan.

13
3. Pasca-konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
dengan lingkungan sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara
dirinya dengan lingkungan sosial,atau dengan masyarakat. Seseorang harus
memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma
sosial kerena sebaiknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan
perlindungan kepadanya.
Stadium 6, tahap ini disebut prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik
disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara
seseorang ada unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau
tidak. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik
dilakukan atau sebaliknya. Menjadi remaja berarti mengerti nila-nilai. Mengerti
nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga
dapat menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja
sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikanya
sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini
akan tercemin dalam sikap dan tingkah lakunya.
Berbagai aspek perkembangan pada peserta didik dipengaruhi oleh interaksi
atau gabungan dari pengruh internal dan faktor eksternal. Begitu pula dengan
perkembangan moral dan spiritual dari peserta didik. Meskipun kedua aspek
perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang hampir
sama tetapi kadar atau bentuk pengaruhnya berbeda.
Pada perkembangan moral peserta didik faktor internal meliputi faktor
genetis atau pengaruh sifat-sifat bawaan yang ada pada diri peserta didik.
Selanjutnya sifat-sifat yang mendasari adanya perkembangan moral dikembangkan
atau dibentuk oleh lingkungan. Peserta didik akan mulai melihat dan memasukkan
nilai-nilai yang ada di lingkubgan sekitarnya baik lingkungan keluarga maupun
lingkungan masyarakat yang dapat meliputi para tetua yang mungkin menjadi
teladan di masyarakat, para tetangga, teman maupun guru yang ada di lingkungan
sekolah. Semua aspek di atas memiliki peran yang penting dalam perkembangan

14
moral peserta didik yang kadarnya tau besarnya pengaruh bergantung pada usia atau
kebiasaan dari peserta didik itu sendiri.
Meskipun faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar pada
perkembangan moral peserta didik, peserta didik tetap mampu menentukan hal-hal
atau nilai-nilai yang akan dianut atau digunakan sebagai pembentuk jati diri. Hal
tersebut tentunya dipengaruhi oleh pengetahuan peserta didik akan nilai-nilai moral
yang tenyunya pertama kali akan dilihat dari sosok atau jati diri orang tua. Meskipun
terkadang orang tua tidak secara formal memberikan nilai-nilai moral tersebut,
peserta didik tetap mampu menginternalisasi atau memasukkan nilai-nilai tersebut
ke dalam jati dirinya yang diwujudkan dengan sikap dan tingkah laku peserta didik.
Oleh karena itu, para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai
peran penting dalam pembentukan moral. Dimana dalam usaha membentuk tingkah
laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu tersebut, banyak faktor yang
mempengaruhinya diantaranya yaitu:
1. Tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2. Banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang
yang terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-
gambaran ideal.
3. Lingkungan meliputi segala segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh,
yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia
yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari
nilai-nilai tertentu.
4. Tingkat penalaran, dimana perkembangan moral yang sifatnya penalaran
menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana
dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menrut
tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5. Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan
dalam pergaulan dengan orang lain.
Perkembangan spiritual juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
pula. Faktor internal pada perkembangan spiritual juga berupa faktor keturunan

15
yaitu berupa pembawaan dimana faktor ini merupakan karakteristik dari orang itu
sendiri, dasar pemikiran dari individu berdasarkan kepercayaan dan budaya yang
dimilikinya. Faktor eksternal dapat berupa keluarga yang sangat menentukan pula
dalam perkembangan spiritual anak karena orang tua memiliki peran yang sangat
penting sebagai pendidik atau penentu keyakinan yang mendasari anak. Kemudian
pendidikan keagamaan yang diterapkan di sekolah juga dapat menjadi faktor
penentu perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya pendidikan anak akan
mulai berpikir secara logika dan menentukan apa yang baik dan tidak bagi dirinya
dan kelak akan menjadi karakter dari peserta didik. Selain itu, adanya budaya yang
berkembang di masyarakat akan mempengaruhi perkembangan spiritual peserta
didik pula. Baik perkembangan yang menuju arah yang baik (positif) atau menuju
ke arah yang buruk (negatif), itu semua tergantung pada bagaimana cara anak
berinteraksi dengan masyarakat tersebut.

E. Spritualisasi Kepemimpinan Pendidikan


Banyak definisi mengenai kepemimpinan yang dikemukakan oleh para pakar
menurut sudut pandang masing-masing, tergantung pada perspektif yang digunakan.
Kepemimpinan dapat didefinisikan berdasarkan penerapan-nya pada bidang militer,
olahraga, bisnis, pendidikan, industri dan bidang-bidang lainnya. Ordway Tead
merumuskan “Leadership is the activity influencing people to cooperate some good
which they come to find desirable”. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan
mempengaruhi orang lain untuk bekerjasama guna mencapai tujuan tertentu yang
diinginkan.22 Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful
behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the
benefit of individual as well as the organization or common good".
Menurut definisi tersebut, kepemimpinan merupakan suatu perilaku dengan
tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk
mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan
organisasi. Demikian juga, Slamet santosa mendefinisikan kepemimpinan sebagai
"usaha untuk mempengaruhi anggota kelompok agar mereka bersedia

22
Wursanto, Dasar-dasar Ilmu Organisasi, (Yogyakarta: Andi, 2003), h. 196

16
menyumbangkan kemampuannya lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok
yang telah disepakati".23 Menurut Ngalim Purwanto "Kepemimpinan sebagai suatu
bentuk persuasi, suatu seni pembinaan kelompok orang-orang tertentu, biasanya
melalui 'human relations' dan motivasi yang tepat, sehingga tanpa adanya rasa takut
mereka mau bekerjasama dan membanting tulang memahami dan mencapai segala
apa yang menjadi tujuan-tujuan organisasi”24
Berdasarkan beberapa definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa
implikasi, antara lain: Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak
lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan
harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun
demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya
(his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang
memuaskan.
Dalam prespektif sejarah, kepemimpinan ini telah dicontohkan dengan
sangat sempurna oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan integritasnya yang luar biasa,
sehingga mendapat gelar al-amin (terpercaya), Nabi Muhammad SAW mampu
mengembangkan kepemimpinan yang paling ideal dan paling sukses dalam sejarah
peradaban umat manusia.25 Sifat-sifatnya yang utama yaitu sidhdhiq (integrity),
amanah (trust), fathanah (smart) dan tabligh (openly) mampu mempengaruhi orang
lain dengan cara mengilhami tanpa mengindoktrinasi, menyadarkan tanpa menyakiti,
membangkitkan tanpa memaksa dan mengajak tanpa memerintah.
Adapun ciri-ciri pemimpin yang memiliki spritualitas diantaranya:26
1. Bertuhankan Allah SWT, tidak mempertuhankan hawa nafsu, harta, tahta, dan
jabatannya.
2. Menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai pusat segala tindakan dengan
terus menerus memperbaiki dan meningkatkan kualitas akhlak dan prestasinya.

23
Slamet Santosa, Dinamika Kelompok, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 44
24
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara Sumber Bening Kecerdasan,
1993), h. 26
25
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1994), h. 27
26
Toto Tasmara, Kepemimpinan Berbasis Spritual, Jakarta: Gema Insani, 2006, h. 17

17
3. Tidak pernah kehilangan semangat karena yakin ada Allah SWT di hatinya.
4. Memiliki sifat pemaaf yang sangat besar.
5. Jujur.
6. Mengambil keputusan dengan terlebih dahulu mendengaran suara hatinya,
melakukan tafakur, merenung untuk memperoleh inspirasi dan berbagai
alternative pengambilan keputusannya.
7. Melayani tidak dengan memberi materi, tetapi dengan hati.
8. Senantiasa berdo’a.
9. Selalu berkomitmen pada apa yang telah dia ucapkan.
10. Kepribadian serta perilakunya mempunyai daya pengeruh yang luar biasa
disebabkan keberaniannya untuk selalu siap berkorban demi cita-cita yang
diyakiinya.
Kepemimpinan spiritual di antara model kepemimpinan lainnya
digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel Kepemimpinan Spiritual Di antara Model Kepemimpinan Lainnya
Uraian Kepemimpinan Kepemimpinan Kepemimpinan
Transaksional Tranformasional Spiritual
Hakikat Fasilitas, Amanat dari Ujian, amanat dari
kepemimpinan kepercayaan semua manusia Tuhan dan
manusia manusia
(bawahan)
Fungsi Untuk Untuk Untuk
kepemimpinan membebaskan diri memberdayakan memberdayakan
dan kelompoknya pengikut dengan dan mencerahkan
atas biaya orang kekuasaan, iman dan hati
lain melalui keahlian dan nurani pengikut
kekuasaan keteladanan melalui jihad
(pengorbanan) dan
amal saleh
(altruistik)
Etos Mendedikasikan Mendedikasikan Mendedikasikan
kepemimpinan usahanya kepada usahanya kepada usahanya kepada
manusia untuk sesama untuk Allah dan sesama
memperoleh kehidupan manusia (ibadah)
imbalan/posisi bersama yang tanpa pamrih
yang lebih lebih baik apapun
Sasaran tindakan Pikiran dan Pikiran dan hati Spiritualitas dan

18
kepemimpinan tindakan yang nurani hati nurani
kasat mata
Pendekatan Posisi dan Kekuasaan Hati nurani dan
kepemimpinan kekuasaan keahlian dan keteladanan
keteladanan
Dalam Kekuasaan, Kekuasaan Keteladanan,
mempengaruhi perintah, uang, keahlian dan mengilhami,
yang dipimpin sistem kekuasaan membangkitkan,
mengembangkan referensi memberdayakan,
interes, memanusiakan
transaksional
Cara Menaklukkan jiwa Menenangkan Menenangkan
mempengaruhi dan membangun jiwa dan jiwa,
kewibawaan membangun membangkitkan
melalui kekuasaan kharisma iman
Target Membangun Membangun Membangun
kepemimpinan jaringan kebersamaan kasih, menebar
kekuasaan kebajikan, dan
penyalur rahmat
Tuhan
Gaji dan Imbalan atas Imbalan atas Nikmat dari Allah
tunjangan pekerjaan dan hak pekerjaan dan hak sebagai modal
pegawai pegawai ibadah

Dengan konsep ini, spiritualitas yang dikembangkan dalam kepemimpinan


adalah spiritualitas asketik yaitu intensitas pengabdian kepada Tuhan yang
dijalankan dalam kegairahan kerja, sehingga dapat membuahkan kesalehan. Dengan
semangat tersebut, maka kepala sekolah dan guru akan bekerja sesuai
profesionalitasnya, dan orang tua juga tak segan menyumbang-kan dana sebagian
dari amal infaknya. Sehingga kebutuhan sekolah baik fisik, fasilitas, media
pembelajaran, peningkatan kesejahteraan guru dan karyawan dapat ditingkatkan.
Kemajuan sekolah termasuk di dalamnya prestasi anak didik adalah instrumen untuk
melipatgandakan kapital.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Spritualitas dalam pendidikan Islam maksudnya adalah bagaimana setiap
komponen dalam pendidikan tersebut, baik tujuan, kurikulum, subyek pendidikan
(pendidik dan peserta didik) maupun unsur pimpinan dapat menyadari tugas dan
tanggungjawabnya sebagai wujud penerapan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri yang
secara keseluruhan dilandasi oleh nilai-nilai Ilahiyah. Setiap aktivitas yang
dilakukan senantiasa diniatkan sebagai satu bentuk ibadah yang kelak akan dibalasi
oleh Allah SWT dengan kebaikan di sisi-Nya. Hal semacam inilah yang seyogyanya
menjadi satu spirit atau semangat dalam diri setiap individu muslim sehingga setiap
aktivitas yang dilakukan tidak kering dari nuansa religius seperti halnya yang terjadi
di negara-negara sekuler yang memisahkan agama dari setiap aspek kehidupannya,
tidak terkecuali di bidang pendidikan.

B. Kritik dan Saran


Pada akhirnya, dalam penyusunan makalah ini penulis telah berusaha dengan
kemampuan yang ada untuk menyajikan dan memaparkan tentang “Spritualitas
dalam Pendidikan Islam” dengan sebaik-baiknya. Namun penulis menyadari itu
bukanlah jaminan makalah ini tanpa kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
demi perbaikan dan kesempurnaannya, penulis mohon kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak supaya makalah ini menjadi jauh lebih baik.

20
Daftar Pustaka

Akhyar Lubis, Syaiful :Konseling Pendidikan Islam, Medan: Perdana Publising, 2021
Anas, Ahmad, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah
Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Bekerjasama
dengan Walisongo Press Semarang, 2003
Azizy, A. Qodri, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak
Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), Semarang, Aneka Ilmu, 2003
Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan
Demokratisasi, Jakarta, Kompas, 2002
Burckhardt, Titus, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984
Daud, Wan Mohd Nor Wan, The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, an Exposition of The Original Concept of
Islamization, Kuala Lumpur, ISTAC, 1998
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 2003
Doe, Mimi dan Marsha Walch, 10 Prinsip Spritual Parenting: Bagaimana
Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak-anak Anda, Bandung, Kaifa, 2001
Hawa, Said, Jalan Ruhaniah, alih bahasa: Khairul Rafi’e M dan Ibnu Tha Ali, Bandung,
Mizan, 1995
-------- Tarbiyatuna al Ruhiyyah, Kairo: Maktabah al Wahbah, 1992
Hendricks, Gay & Kate Ludeman, The Corporate Mystic: A Guidebook for Visionaries
With Their Feet on The Ground, New York, Bantam Book, 1996
Hossien, Sayyed Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, alih bahasa Badul Hadi, mengutip
dari Syeikh al-Arabiy al-Darqwi, Letter of Sufi
Husein, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh
Astuti, Bandung, Risalah, 1969
Jaya, Yahya, Spritualitas Islam, Jakarta: Ruhama, 1994
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta,
Pustaka Jaya, 1994

21
Muhaimin, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum,
Solo, Ramadhani, 1991

-----------, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
Jakarta, Rajawali Grafindo Persada, 2006
Muzani, Saiful, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad
Naquib al-Attas, dalam jurnal Hikmah, No. 3, Juli Oktober 1991
Al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj.
Shihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, 1995
Purwanto, M. Ngalim, Administrasi Pendidikan, Jakarta, Mutiara Sumber Bening
Kecerdasan, 1993
Rivauzi, Ahmad, Pendidikan Berbasis Spritual:Telaah Pemikiran Pendidikan
Spritualitas Abdurrauf Singkel dalam kitab Tanbihal Masyi, Tesis, Padang:
PPs IAIN Imam Bonjol, 2007
Salim, Peter, Salim’s Ninth Collegiate English-Indonesia Dictionary, Jakarta, Modern
English Press, 2000
Santosa, Slamet, Dinamika Kelompok, Jakarta, Bumi Aksara, 2004
Shafwan, M. W., Wacana Spiritual Timur dan Barat, Yogyakarta, Penerbit Qalam,
2000
Zastrow, Charles H., The Practice Work, t.t, an International Thompson Publishing
Company, Whiter Water, 1999
Zohar, Danah & Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence,
London, Bloomsbury, 2000
----------, Spiritual Capital: Memberdayakan SC di Dunia Bisnis, Terj. Helmi Mustofa,
Bandung, Mizan, 2005
----------, Jembatan Filosofis dan Religius, Menuju puncak spritual; antara Tuhan,
manusia dan alam

22

Anda mungkin juga menyukai