DOSEN PENGAMPUH
NUR HALIMA, S.Pd.I., M.Pd
UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2023
KATA PEGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Pendidikan Agama Islam dengan tema “Akhlak dalam islam” ini tepat pada waktu
yang telah ditentukan. Yang akan digunakan untuk memenuhi salah satu tugas
Pendidikan Agama Islam.
Makalah ini mengulas tentang Akhlak dalam islam mulai dari pengenalan
pengertian akhlak, sumber ajaran akhlak, objek kajian dan ruang lingkup studi
akhlak. Kami sadar bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan atau
kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran selalu kami harapkan agar makalah ini
dapat menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi semua
usaha kita, Amin.
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 .Tujuan..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
3.1.Kesimpulan............................................................................................. 17
3.2.Saran........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.3. Tujuan
PEMBAHASAN
Kata “akhlak”, secara etimologi berasal dari bahasa Arab (bentuk tunggal)
lalu menjadi (bentuk jamaknya) yang berarti perbuatan atau tingkah laku.
a. Ibnu Maskawaih
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibnu Miskawaih di atas merupakan kondisi
jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga
tindakantindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan
melakukannya secara sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.
b. Al-Ghazali
“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah
daging yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi
gampang tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-
Muhlikat, 2005; 890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah
daging yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan
yang bersifat spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan
sebagai akhlak. Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan
dahulu, apa untung ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum
dikatakan sebagai akhlak.
Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya
Kitab al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang
dibiasakan, bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas,
denyut jantung, kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012;
10). Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik
dengan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya
mengetahui baik atau buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan
akhlak juga termasuk perbuatan yang kelak akan dipertanggung-jabawkan di
hadapan Allah Swt. Dengan demikian jelaslah bahwa akhlak adalah daya
kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa
dipikir dan direnungkan lagi. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan
agama, maka perbuatan tersebut disebut akhlak al-karimah. Sebaliknya apabila
perbuatan spontan tersebut buruk, maka disebut akhlak al- mazmumah.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa sesungguhnya “aku diutus hanyalah
pekerti)” umat manusia yang sudah rusak, menunjukkan bahwa manusia yang
hidup sebelum kedatangan Rasul Allah bukan tidak berakhlak sama sekali
melainkan akhlaknya sudah dirusak oleh adat kebiasaan atau tradisi kaum jahiliah
karena mereka tidak mendapat petunjuk dari wahyu Allah. Mereka ibarat orang
buta yang meraba-raba di tengah-tengah kegelapan malam yang tidak ada sinar
atau cahaya penerang. Kadatangan Nabi Muhammad ibarat bulan purnama atau
matahari yang memberikan sinar penerang bagi seluruh jagat raya. Sumber ajaran
akhlak yang dibawa oleh Rasulullah tiada lain adalah Al-Qur`an. Sebagaimana
disebutkan dalam suatu riwayat bahwa ketika Aisyah, isteri Rasulullah, ditanya
tentang ihwal akhlak Rasulullah dia menjawab, “akhlak dia (Rasulullah itu)
adalah Al-Qur`an”. Maksudnya yang menjadi barometer akhlak Rasulullah itu
ialah semua nilai kebaikan yang terkandung di dalam Al-Qur`an. Sedangkan
Rasulullah sendiri merupakan model atau percontohan tehadap nilai-nilai luhur
dimaksud. Dengan kata lain, tingkah laku Rasulullah itu merupakan
pengejawantahan dari nilai-nilai Al-Qur`an. Penjelasan di atas memberikan
pemahaman bahwa pengertian akhlak lebih tinggi dibandingkan dengan istilah-
istillah lain yang digunakan dalam konsep perilaku atau budi pekerti atau karakter.
Akhlak berpangkal dari jiwa sedangkan jiwa adalah pusat kendali hidup manusia
yang mampu menerima wahyu dan hidayah dari Allah SWT. Selain itu,
munculnya akhlak merupakan reaksi spontan tanpa ada pemikiran sebelumnya,
sehingga akhlak mewakili hakekat jiwa yang sesungguhnya. Sementara dalam
konsep moral, etika, adat dan susila bersumberkan dari manusia yang memiliki
berbagai keterbatasan dan perbedaan seperti budaya, tingkat peradaban dan
pemikiran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sikap
seseorang yang dimanifestasikan ke dalam perbuatan dan tingkah laku.Ketinggian
akhlak dengan berbagai karakteristiknya seperti disebutkan di atas semakin
memperjelas kemuliaan tujuan dari agama Islam. Karena akhlak mulia merupakan
tujuan utama dari misi Rasullullah dalam mengemban risalah Islam. Dari
penjelasan di atas tergambar bahwa akhlak secara substansial adalah sifat hati
(kondisi hati) bisa baik bisa burukyang tercermin dalam prilaku.
Jika hatinya baik, maka akan tercermin akhlak yang baik. Sebaliknya jika hatinya
kotor, maka akan tercermin pula akhlak yang jelek.
Lalu muncul pertanyaan,apa yang menyebab hati manusia kotor dan jelek, dan apa
pula yang menyebabkan hati manusia baik dan bersih? Menurut Ibn Miskawaih,
hati manusia bisa jelek dan rusak atau baik dan suci adalah faktor dirinya. Di
dalam diri manusiaada tiga nafsu:
1. Nafsu “syahawaniyah”. Nafsu ini ada pada manusia dan ada pada binatang,
yaitu nafsu yang cenderung kepada kelezatan, misalnya makan, minum dan
syahwat kepada lawan jenis. Jika nafsu ini tidak bisa dikendalikan, maka manusia
tak obahnya seperti binatang, sikap hidupnya menjadi hedonisme.
2. Nafsu “ghadabiyah”, nafsu ini juga ada pada manusia dan binatang, yaitu nafsu
yang cenderung marah, merusak, ambisi, senang menguasai dan mengalahkan
yang lain. Nafsu ini lebih kuat dari nafsu syahwaniyah dan lebih berbahaya bagi
pemiliknya jika tidak dikendalikan.
(Buku pendidikan agama islam hal.126-130. Penulis Dr. Hj. Nurhasanah Bakhtiar,
M.Ag.) (Buku Studi Akhlak hal. 9-10, penulis Dr. Suhayin, M.Ag)
2.2. Karakteristik Akhlak dalam Islam
1. Alqur’an dan Hadis sebagai sumber Jika etika menjadikan akal sebagai
sumbernya dan moral menjadikan adat istiadat sebagai sumbernya, tetapi akhlak
dalam Islam menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber. Al-qur’an adalah
Firman Allah SWT yang kebenarannya bersifat mutlak. Tidak ada satu kata pun
yang diragukan di dalamnya. Demikian hadis Rasullah juga merupakan sumber
hukum Islam yang kedua. Dengan demikian kebenaran aturan akhlak bersifat
mutlak. Bukan berarti dalam melaksanakan akhlak tidak perlu akal, justru peran
akal sangat urgen dalam membedakan mana yang baik dan yang buruk. Namun
bimbingan wahyu mutlak dibutuhkan agar dalam pencariannya akal dapat
menemukan kebenaran yang sesungguhnya.
Ajaran akhlak yang terdapat dalam Al-Qur’an bersifat umum dan universal,
artinya dimana pun dan kapan pun masih berlaku dan up to date. Hal ini
disebabkan aturan yang ada bersifat umu dan prinsipil, antara lain tentang
keadilan, berbuat kebajikan, melarang perbuatan keji, munkar dan permusuhan.
(Q.S al-Nahl: 90), seruan untuk memenuhi janji dan mengalokasikan harta anak
yatim secara benar.(Q.S Al-Isra’:34). Ada juga larangan untuk saling mencela,
saling memberi gelar yang buruk (Q.S al-Hujarat). Demikian juga larangan
berlaku sombong dan angkuh (Q.S Luqman: 18-19).
34. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S al-Isra’ 34)
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
3. Bersifat Menyeluruh
Akhlak dalam Islam menyangkut seluruh sisi kehidupan muslim meliputi akhlak
kepada Allah, Rasul, sesama manusia dan terhadap lingkungan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri; manusia perlu
berinteraksi dengan sesamanya dengan akhlak yang baik. Di antara akhlak
terhadap sesama itu ialah:
- Akhlak terhadap kedua orang tua. Mencintai mereka melebihi cintanya kepada
kerabat lainnya. Menyayangi mereka dengan kasih sayang yang tulus.Berbicara
secara ramah,dengan kata-kata yang lemah lembut.Mendoakan mereka untuk
keselamatan dan ampunan kendati pun mereka telah meninggal dunia.
Islam sebagai agama universal mengajarkan tata cara peribadatan dan interaksi
tidak hanya dengan Allah SWT dan sesama manusia tetapi juga dengan
lingkungan alam sekitarnya. Hubungan segitiga ini sejalan dengan misi Islam
yang dikenal sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Hal ini juga menjadi misi
profetik diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagaimana firman Allah SWT (QS.
Al-Anbiya, [21]: 107).
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam hanya dapat diwujudkan jika
manusia secara sadar mengetahui, memahami,dan melaksanakan misinya sebagai
khalifah-Nya yang bertugas untuk memakmurkan bumi dan segala isinya,
menjalin relasi yang baik dengan sesama manusia dan dengan-Nya(vertikal dan
horizontal).
4. Konsisten dalam cara dan tujuan Antara satu ajaran dengan ajaran lainnya tetap
ada konsistensi. Sekali perkara itu baik, pada ayat-ayat berikutnya akan dikatakan
baik. Demikian juga sebaliknya sekali perkara itu dikatakan buruk, tetap akan
buruk.
5. Berpangkal pada iman dan taqwa kepada Allah SWT. Seorang muslim dalam
melaksanakan akhlak berdasarkan atas iman dan taqwa kepada Allah SWT. Iman
yang kuat akan melahirkan akhlak yang mulia. Kebobrokan akhlak yang terjadi
merupakan pertanda kerapuhan iman.
Karena akhlak mulia dilandasi dengan keiman kepada Allah, maka semua yang
dilakukan akan mendapat balasan dari Allah. Kebaikan yang ditanam, akan
menghasilkan kebaikan disisi Allah SWT.
Taswuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan (Al-lah) dengan cara
mensucikan hati. Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Tuhan malah bisa
melihat Tuhan (al-ma’rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa Allah Yang Maha
Suci tidak bisa didekati kecuali oleh hati yang suci. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa akhlak adalah gambaran hati (al-qalb) yang dari padanya timbul perbuatan-
perbuatan. Jika hatinya suci dan bersih, maka yang akan keluar adalah perbuatan-
perbuatan yang baik (akhlak mahmudah). Sebaliknya jika hatinya kotor dan penuh
dosa, maka yang akan muncul adalah perbuatan-perbuatan yang buruk (akhlak
mazmumah). Kalau ilmu akhlak menjelaskan mana nilai yang baik dan mana yang
buruk serta bagaimana mengubah akhlak buruk agar menjadi baik secara
zahiriyah, maka ilmu tasawuf menerangkan bagaimana cara mensucikan hati
(tasfiat al-qalb), agar setelah hatinya bersih dan suci maka akan timbul prilaku dan
akhlak yang baik. Perbaikan akhlak harus diawali dengan penyucian hati.
Tanda-tanda orang yang baik akhlaknya menurut para sufi antara lain: memiliki
budaya malu, tidak menyakiti orang lain, banyak kebaikannya, benar dan jujur
dalam ucapannya, tidak banyak bicara tapi banyak bekerja, penyabar, hatinya
selalu bersama Allah, tenang, suka berterima kasih, ridha terhadap ketentuan
Tuhan, bijaksana, hati-hati dalam bertindak, disenangi teman dan lawan, tidak
pendendam, tidak suka mengadu domba, sedikit makan dan tidur, tidak pelit dan
hasad, cinta karena Allah dan benci karena Allah. Dengan demikian jelaslah
bahwa kondisi hati dan tingkat keimanan sangat menentukan cerminan akhlak
seseorang. (Buku Pendidikan Agama Isla hal.133-135, penulis Dr. Hj.
Nurhasanah Bakhtiar, M.Ag.)
2.4 Aktualisasi Akhlak Dalam Kehidupan Sehari-hari
c. Berzikir, yaitu selalu mengingat Allah dalam semua kondisi dan situasi, baik
diucapkan dengan mulut maupun dalamhati.
d. Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan
inti ibadah dan merupakan mengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan
manusia.
d. Suka memaafkan Apabila semua itu terwujud, maka akan tercipta suatu
masyarakat yang aman dan makmur.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Akhlak merupakan refleksi dari tindakan nyata atau pelaksanaan akidah dan
syariat. Kata akhlak secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata khulukun
yang berarti budi pekerti, perangai,tabiat,adat, tingkah laku, atau sistem perilaku
yang dibuat. Sedangkan secara terminologis akhlak adalah ilmu yang menentukan
batas antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela, baik itu berupa
perkataan maupun perbuatan manusia, lahir dan batin.
Akhlak berarti budi pekerti atau perangai. Dalam berbagai literatur Islam, akhlak
diartikan sebagai (1) pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, tujuan
perbuatan, serta pedoman yang harus diikuti (Amin, 1975: 3); (2) pengetahuan
yang menyelidiki perjalanan hidup manusia sebagai parameter perbuatan,
perkataan, dan ihwal kehidupannya; (3) sifat permanen dalam diri seseorang yang
melahirkan perbuatan secara mudah tanpa membutuhkan proses berpikir (Al-
Gazali :52 [t.t]);(4) sekumpulan nilai yang menjadi pedoman berperilaku dan
berbuat.
3.2. Saran
Buku Pendidikan Agama Islam, penulis Dr. Hj. Nurhasanah Bakhtiar, M.Ag.