Anda di halaman 1dari 14

PERAN NALAR ATAU AKAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok


Mata Kuliah : Filsafat Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : Nurul Jannah, S.E.I, M.E

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Afdillah Nur Aisyah Sinaga 0506191104
Dwi Franadita 0506193212
Grace Amalia Tondang 0506192006
Irfan Fadhilah 0506192018
Sem. V/MANAJEMEN-B

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, atas perkenan-Nya penyusun dapat
menyelesaikan makalah Filsafat Ekonomi Islam yang berjudul “Peran Nalar Atau Akal” tepat
pada waktunya. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Makalah Peran Nalar ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Filsafat Ekonomi
Islam pada salah satu program studi Manajemen di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Tak luput makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan Dosen Pengampu, teman-teman, dan
pihak-pihak yang terkait.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah Peran Nalar ini
masih jauh dari kesempurnaan, karena seperti yang kita ketahui bahwa kesempurnaan hanya
milik Allah SWT. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan guna perbaikan selanjutnya. Serta penyusun berharap kiranya makalah Peran Nalar ini
mampu memberikan tambahan wawasan pengetahuan dan pemahaman bagi para pembaca.

Medan, 17 Oktober 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................................1


B. Rumusan Masalah......................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................3

A. Pengertian Nalar.........................................................................................................3
B. Qiyas dan Ijima..........................................................................................................5
C. Peran Nalar yang Berkaitan dengan Qiyas dan Ijma.................................................7

BAB III PENUTUP...............................................................................................................10

A. Kesimpulan................................................................................................................10
B. Saran..........................................................................................................................10

DAFTRA PUSTAKA............................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nalar memberi peran yang besar dalam kehidupan manusia, tanpa nalar manusia tidak
berguna, tidak bisa berpikir dan tidak bisa merencanakan sesuatu, justru dengan adanya nalarlah
manusia bisa beraktifitas, dan berkerja untuk menata hidup secara terarah dan terukur. Dengan
hidup benar maka manusia bisa hidup damai dan sejahtera dalam kebersamaannya dengan
keluarga, saudara dan sesamanya dalam membangun persaudaraan yang harmonis dan ideal.

Lebih dalam lagi, dengan adanya nalar manusia bisa melahirkan karya besar untuk
membangun peradaban yang bersejarah, dengan membangun negara yang kuat, melahirkan
teknologi, menciptakan perusahaan-perusahaan besar, membangun gedung dan tempattempat
kehidupan moral manusia di dunia ini agar manusia bisa hidup benar dan sadar terhadap apa
yang telah dilakukan bahwasemua itu adalah bukanlah sekedar untuk kesenangan duniawi saja,
tetapi manusia dengan unsur pemikirannya akan menggugah terhadap eksistensi dirinya bahwa
manusia berpikir itu bukan nalar tanpa pengendali, tanpa pencipta, akan tetapi manusia lahir dan
eksis di dunia ini adalah berkat kerahmatan Tuhan yang Maha Kuasa.

Semua makhluk ciptaan Tuhan manusialah yang mampu melakukan berbagai hal
pendekatan untuk mencerminkan keseluruhan sifat Tuhan, dengan unsur pemikirannya manusia
dapat mengimani sang penciptanya bahwa Tuhan memberikan akal, Tuhan memberikan
kesempurnaan dan Tuhan yang memberikan semua karunia pada manusia. Mengakui Tuhan
sebagai pemberi karunia akan berdampak terhadap prilaku, ketaatan dan ketegasan manusia di
dalam aktivitasnya. Jika manusia mengingkarinya maka akan terjadi krisis moral, krisis
keagamaan dalam berbagai bentuk pekerjaan manusia. Oleh karena itu, akan dibahas dalam
makalah ini mengenai Peran Nalar atau Akal sehingga dapat menjadi bekal dan ilmu bagi kita
semua.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nalar atau akal ?
2. Apa yang dimaksud dengan Qiyas dan Ijma
3. Peran nalar yg berkaitan dengan qiyas dan ijma

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas Peran Nalar atau Akal yang
berkaitan dengan qiyas dan ijma, dan juga untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Filsafat
Ekonomi Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nalar atau Akal

Nalar di dalam kamus Bahasa Indonesia bermakna: pertimbangan tentang baik buruk,
akal budi; setiap keputusan harus didasarkan pada nalar yang sehat. Nalar yaitu: aktivitas yang
memungkinkan seseorang berpikir logis, jangkauan pikir, atau kekuatan pikir. Jadi nalar dapat
dijelaskan tentang cara bagaimana menggunakan nalar pemikiran, cara berpikir logis atau
sesuatu hal dikembangkan dan dikendalikan dengan nalar yang benar berdasarkan fakta atau
prinsip tapi bukan dengan menggunakan perasaan atau pengalaman.

Ditinjau dari segi definisinya nalar berasal dari kata Arab yaitu ‘aql yang artinya akal
dalam Alquran, kata ini tidak muncul dalam bentuk kata benda, tapi dalam berbagai bentuk kata
kerja, seperti ta’qilu atau na’qilu, apabila kita memasukkan kata-kata yang terkait lainnya,
seperti: fakkara, faqiha, dan dabbara. Yang artinya berpikir, memahami, merenungkan. ‘Aql
dipahami saat ini sebagai nalar atau intelek, perbedaannya dalam Alquran bahwa memandang
orang yang mengingkari tanda-tanda (ayat) Allah sebagai orang yang tidak menggunakan ‘aql
meskipun mereka mampu berpikir, di samping itu Alquran memandang ‘aql terletak di hati,
bukan di otak. Seperti yang disebutkan dalam ayat Alquran sebagai berikut:

“Demikianlah Allah Swt menerangkan kepada kalian tanda-tandanya supaya kalian


menggunakan akal kalian” (Al-Baqarah: 242) “Katakanlah kepada manusia untuk
memikirkan dengan cermat dan melihat apa-apa yang terkandung dalam langit dan
bumi”. (Yunus: 101).

Selain disebutkan di dalam Alquran, nalar juga mempunyai peranan penting dalam
Hukum Islam, Dalam Mazhab Sunni, qiyas merupakan sumber hukum keempat setelah Alquran,
sunnah, dan ijma’. Mazhab Syi’ah, nalar/’aql dipandang sebagai hukum keempat setelah
Alquran dan memainkan peran yang lebih besar dibandingkan dengan Mazhab Sunni.

3
Dari penjelasan Alquran di atas mengenai nalar, kita dapat mengambil hikmah bahwa
fungsi nalar meliputi segala sesuatu dari penciptaan alam semesta hingga mengenai hal
astronomi berkaitan erat dengan pengetahuan sains modern bahkan para ilmuan modern takjub
dengan keakuratan pernyataan tersebut. Juga dapat diketahui bahwa ayat-ayat tersebut
merupakan sebagai bahan renungan pengatahuan yang diperoleh oleh indera dan menyadari
kaitannya dengan sifat-sifat Tuhan dan dengan demikian dapat memperkuat kepercayaan kepada
Tuhan. Dan dapat mengagumi apa yang dicapai indera dan akal atau nalar, dan kita manusia
harus memuji Tuhan dikarenakan dengan adanya akal kita dapat mengetahui banyak
pengetahuan.

Penjelasan tentang semua perintah-perintah agama, seorang muslim harus berpedoman


kepada Al-Quran dan Hadist, karena semua yang ada di dalam seluruh jagat raya ini semuanya
sudah diterangkan/dijelaskan semua di dalam Al-Quran, tugas kita sebagai manusia hanya
mencoba untuk menelaah dan mempelajarinya, akan tetapi di dalam Al-Quran sendiri tidak
dijelaskan bagaimana metode-metodenya untuk memperoleh pengetahuan secara rinci, itu semua
dikarenakan untuk menguji kemampuan berpikir manusia, jadi manusia harus memfungsikan
nalarnya untuk memperoleh sebuah ilmu pengetahuan.

Pada dasarnya manusia memperoleh pengetahuan dengan perangkat-perangkat sebagai


berikut:

1. Kemampuan rasional atau nalar


2. Pancaindera
3. Intuisi atau pengetahuan yang dikaitkan dengan hati dan ruh.

Jadi dengan tiga perangkat di atas manusia menggunakan kemampuan nalarnya untuk
memperoleh pengetahuan disertai pengamatan sekitar melalui panca indera sehingga manusia
dapat merasakannya dengan hati. Oleh karena itu, dalam Islam sebenarnya tidak hanya sebatas
menggunakan sebuah metode dalam melakukan penalaran artinya tidak hanya terpaku pada akal
saja akan tetapi mempunyai sebuah kesinambungan antara yang satu dengan yang lain seperti
yang telah disebutkan di atas, supaya sebuah pengetahuan dapat diterima dan sesuai.

Akal dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang tinggi, hal ini dapat dilihat dalam
beberapa ayat Alquran. Pengetahuan melalui akal disebut juga dengan pengetahuan ‘aqli, dan

4
lawanya adalah pengetahuan naqli. Jadi kedudukan di antara keduanya saling berkaitan dan tidak
dapat dipecahkan secara tajam antara satu dengan yang lainnya, keduanya saling berhubungan.
Menurut CA Van Paursen akal budi tidak dapat menyerap sesuatu dan panca indera tidak dapat
memikirkan sesuatu, hanya bila keduanya bergabung maka akan timbul sebuah pengetahuan, jadi
menurutnya menyerap sesuatu tanpa dibarengi, dengan akal budi sama saja dengan kebutaan, dan
pikiran tanpa isi sama saja dengan kehampaan.

Akal mempunyai pengertian tersendiri dan berbeda dengan otak. Akal dalam pengertian
Islam adalah bukan otak, akan tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Kemudian
menurut T.M Usman EL Muhammady dalam buku Ilmu Ketuhanan yang Maha Esa mengatakan
bahwa: “Akal itu dalam Bahasa Arab berarti ‘ikatan’ antara pikiran (al-fikr), perasaan (al-
wujdan), dan (al-iradah)”. Menurutnya bila ikatan itu tidak ada, maka tidak ada akal itu.

Dengan demikian jelas bahwa kedudukan akal dalam Islam tidak sama dengan rasio
dalam Bahasa Latin, atau reason dalam Bahasa Inggris. Akal (‘aqal) dalam Islam merupakan
ikatan dari tiga unsur yakni pikiran, perasaan, dan kemauan.

B. Qiyas dan Ijma


1. Qiyas

Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat MA dalam bukunya Qiyas
Sumber Hukum Syariah Keempat menjelaskan, Qiyas penting dibahas karena punya beberapa
keunikan yang tidak dimiliki oleh tiga sumber yang lain yaitu tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu.

Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Amir Syarifudin menjelaskan bahwa qiyas berarti qadara
yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sebagai contoh,
"Fulan Meng-qiyas-kan baju dengan lengan tangannya", artinya membandingkan antara dua hal
untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan
meng-qiyas-kan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan
minuman keras.

5
Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya
penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti
pengqiyasan dua buah buku. Atau pengqiyasan secara maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa
diqiyaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam bentuk ukuran.

Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi perdebatan ulama, antara yang mengartikan
qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash, dan yang mengartikan
qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar nash.

Qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun
nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu tugas pertama yang harus
dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari apakah ada nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar-
benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.

Menurut Imam Syafi’i, tidak boleh melakukan qiyas kecuali orang yang telah berhasil
memiliki alat-alat qiyas, yaitu; mengetahui hukum-hukum al-Qur’an yakni fardu (kewajiban),
adab (kesusasteraan), nasikh mansukh (yang menghapus dan yang dihapus), ‘amm-khas (umum-
khusus), irsyad (petunjuk) dan nadb-nya (anjurannya).1

2. Ijma

Salah satu sumber penetapan dalam hukum islam setelah Al-Qur’an dan Sunnah adalah
ijma, yang memiliki tingkatkat argumentatif dan menempati tempat ketiga dalam sumber hukum
islam. Kata ijma itu sendiri secara sistematis baru pada masa-masa mazhab awal. Seperti yang
disepakati oleh jumhur ulama sunni,bahwa ijma adalah kesepakatan para mujtahidin umatt islam
di suatu masa sesudah masa Nabi saw terhadap suatu urusan.

Menurut Al Amidi ijma seperti yang dikutip oleh Amir Syarifuddin:

1
Ridwan Karim, Ijma Dan Qiyas: Pengertian, Jenis, Dan Contoh,diakses dari
https://penerbitbukudeepublish.com/materi/ijma-dan-qiyas/,di akses pada tanggal 24 oktober 2021,pukul 13.45

6
Jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti abu zahra dan wahab khallaf merumuskan ijma
dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat muhammad pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’ mengegnai suatu kasus atau peristiwa.

Di rumusan tersebut jelaslah bahwa ijma adalah kesepakatan dan yang sepakat adalah
semua mujtahid musli yang berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafanya nabi.2

Ijma adalah salah satu sumber penetapan dalam hukum islam setelah Sunnah adalah ijma,
yang memiliki tingkat kata argumentatif dan menempati tempat ketiga dalam sumber hukum
islam.

Kata ijma itu sendiri secara sistematis baru pada masa-masa mazhab awal. Seperti yang
disepakati oleh jumhur ulama sunni, bahwa ijma adalah kesepakatan para mujtahidin umtt islam
di suatu masa sesudah masa Nabi saw terhadap suatu urusan.

Menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh yang lain seperti Abu Zahra dan Wahab Khallaf
merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad
mengenai suatu kasus atau peristiwa.

C. Peran Nalar atau Akal yang Berkaitan Dengan Qiyas dan Ijma

Eksistensi akal dan fungsinya pada prinsipnya mendapat tempat yang tinggi pada diri
manusia, bahkan akal bisa menguasai manusia sepenuhnya, seseorang akan mempunyai
kedudukan, mempunyai ilmu pengetahuan dan kepekaan sosial dikarenakan reaksi akalnya yang
aktif dan berpotensi, namun demikian akal juga menjadi kelemahan dan keterbatasan untuk
mengetahui sesuatu atau mendapatkan kebenaran pengetahuan. Dalam al-Qur'an dimintakan
pada manusia untuk berpikir dan al-Qur'an juga memperhatikan mengagungkan kebesaran akal
dan kedudukannya pada manusia. “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya
pada sisi Allah yaitu manusia yang bisu, tuli, yang tidak cakap atau tidak pandai mempergunakan
akal” (QS. al-Anfal : 22). Dan barang siapa yang kami panjangkan umurnya niscaya kami
kembalikan dia kepada kejadiannya, maka apakah mereka tidak memikirkan” (QS. Yasin : 68).

2
Hasbi Ash Shiddieqy, pokok-pokok pengangan Imam Mazhab, Edisi II (Cet.ke -1 Semarang: Pustaka Firdaus,
1997), h.161

7
Pernyataan-pernyataan ayat al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa Allah menyuruh kita
menggunakan akal sebagai alat berpikir untuk merefleksikan realitas agar dapat melahirkan
pengetahuan. Bahkan wajib bagi manusia menggunakan akal dan memberikan kedudukan yang
tinggi terhadap akal. Namun demikian ketika manusia menggunakan akal dalam implikasinya.
Akal memiliki keterbatasan dan kelemahan. Karena itu Al-Ghazali memberikan kedudukan akal
pada posisi tersendiri sehingga ia dapat menemukan titik kebenaran bukan hanya dengan akal
tapi ada bentuk lain yang bisa mempengaruhinya

Ulama Syi’ah Imamiyah dan al-Nazzam dari Mu’tazillah menyatakan qiyas tidak bisa
dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas
adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal. Wahbah Al-Zuhaili membagi pendapat
ulama tentang qiyas ke dalam dua kelompok yang menerima qiyas dan kelompok yang menolak
qiyas dengan alasannya masing-masing.

Imam Syafi’i menempatkan qiyas di urutkan keempat dalam hirarki sumber-sumber


hukum syara’, yaitu setelah al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Karena itu, bisa dikatakan bahwa ijma’
kadang ditetapkan berdasarkan qiyas. Ijma’ tidak dapat disandarkan pada qiyas, karena kekuatan
dalilnya lebih kuat daripada qiyas itu sendiri. Namun demikian, seandainya ijma’ ditetapkan
berdasarkan qiyas atau hadis ahad,, maka kedudukan ijma’ tetap bersifat pasti (qath’i), karena
banyak dalil-dalil yang menunjukkan kepastiannya.

Rosulullah melakukan dialog dengan Mu’adz seraya berkata: “Bagaimana (cara) kamu
menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: akan
aku tetapkan berdasarkan Al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam Al-Qur’an?
Mu’adz menjawab: aku akan tetapkan dengan sunnah Rosulullah. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam sunnah Rosulullah? Mu’adz menjawab: aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. Lalu Rosulullah menepuk dadanya dan
berkata : segala puji milik Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rosulullah,
karena ia berbuat sesuai dengan yang diridloi Allah dan Rosul-Nya.” (HR. Abu Daud dan at
Tirmidzi) Dari hadist diatas dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadist
yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu.
Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan qiyas. Dalam hadist tersebut menjadi

8
jumhur ulama’ ushul fiqh, Rosulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal dan qiyas
termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadist lain Rosulullah menggunakan metode
qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Pandangannya dalam istinbath al-ahkam pada dalil akal sebagai urutan pertama,sebelum
al-Quran, Sunah, dan ijma. Pandangannya yang demikian ini tidak lepas dari pandangan
menyelesaikan berbagai persoalan teologi dan memberikan corak tersendiri terhadap persoalan
hukum dan metoda istinbat al-ahkam yang digunakannya. Dasar pertimbangan mengetahui al-
Jabbar mendasar pandangan dalam istinbath al-ahkam pada dalil akal, sebagai urutan pertama,
sebelum al-quran, as-sunah dan ijma. Melihat urutan seperti ini jelas bahwa peranan akal lebih
tinggi dan penting dari dalil-dalil lainnya.
Dasar pertimbangannya, karena dengan akal manusia mengetahui al-quran, sunah dan
ijma, dengan akal manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Selain itu,
Allah SWT juga tidak akan berbicara kecuali kepad manusia berakal.
Semua pandangan di atas, menurutnya dapat dijadikan argument (hujjat) setelah manusia
terlebih setelah manusia terlebih dahulu mengetahui Allah (ma’rifat Allah)dengan kekuatan nalar
akalnya.3
Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.
Adapun argumentasi golongan mereka yang tidak menerima qiyas, dapat disebutkan sebagai
berikut:

1. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar zhan (dugaan keras), dan „illatnyapun
ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin
mengikuti sesuatu yang zhan, berdasar firman Allah SWT Qs. al-Isrâ‟ : 36.
2. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat sematamata
berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab: “Jauhilah oleh kamu
golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak
sanggup menghapal Hadis-Hadis, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja),
sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang.”4

3
Siska Lis Sulistiani, PERBANDINGAN SUMBER HUKUM ISLAM, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1
No.1 (Maret, 2018), Hal.110.
4
Ratu Haika, KONSEP QIYAS DAN AD DALIL DALAM ISTIMBAT HUKUM IBN HAZM (STUDI KOMPARATIF) Vol. IV No.
1, 2012,hal.97.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Akal dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang tinggi, hal ini dapat dilihat dalam
beberapa ayat Alquran. Pengetahuan melalui akal disebut juga dengan pengetahuan ‘aqli, dan
lawanya adalah pengetahuan naqli. Jadi kedudukan di antara keduanya saling berkaitan dan tidak
dapat dipecahkan secara tajam antara satu dengan yang lainnya, keduanya saling berhubungan.
Menurut CA Van Paursen akal budi tidak dapat menyerap sesuatu dan panca indera tidak dapat
memikirkan sesuatu, hanya bila keduanya bergabung maka akan timbul sebuah pengetahuan, jadi
menurutnya menyerap sesuatu tanpa dibarengi, dengan akal budi sama saja dengan kebutaan, dan
pikiran tanpa isi sama saja dengan kehampaan.

Dasar pertimbangan mengetahui al-Jabbar mendasar pandangan dalam istinbath al-


ahkam pada dalil akal, sebagai urutan pertama, sebelum al-quran, as-sunah dan ijma. Melihat
urutan seperti ini jelas bahwa peranan akal lebih tinggi dan penting dari dalil-dalil lainnya.
Dasar pertimbangannya, karena dengan akal manusia mengetahui al-quran, sunah dan
ijma, dengan akal manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Selain itu, Allah
SWT juga tidak akan berbicara kecuali kepad manusia berakal.Semua pandangan di atas,
menurutnya dapat dijadikan argument (hujjat) setelah manusia terlebih setelah manusia terlebih
dahulu mengetahui Allah (ma’rifat Allah)dengan kekuatan nalar akalnya
B. Saran

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam hal penyusunan makalah ini. Untuk itu,
kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca, semoga makalah ini dapat berguna bagi
kita semua. Terimakasih

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim al-Khatib. 2005. Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama.

Amir Syarifuddin. 1997. Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta:
Redaksi Pustaka Indonesia.

Fuadi. 2016. Fungsi Nalar Menurut Muhammad Arkoun. Jurnal Substantia, Volume 18 Nomor 1.

Miska Muhammad Amien. 2006. Epistimologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam,
Jakarta: UI-Press.

Muhd. Farabi Dinata. Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam.

11

Anda mungkin juga menyukai