Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

POSISI AKAL DAN WAHYU DALAM ILMU KALAM


(Pendapat Mutakalimin dalam Ayat-Ayat Mutasyabihat)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester Pendek Mata Kuliah Ilmu Kalam
Diampu oleh Dosen Ahmad Dhiyaa Ul Haqq, M. Pd.

Oleh:
Nama : Ari Sri Rahayu
NIM : T20181143
Kelas : PAI A3
Semester :7

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER

NOVEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Posisi Akal Dan Wahyu Dalam Ilmu Kalam (Pendapat Mutakalimin
Dalam Ayat-Ayat Mutasyabihat)” dengan tepat waktu. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW pembawa umat dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.
Dalam penyusunan makalah ini pun kami menyadari bahwa banyak sekali
kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
penyusunan di masa yang akan datang sangat kami harapkan.
Kami pun menghaturkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Dhiyaa Ul
Haqq, M. Pd. sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Ilmu Kalam yang tak pernah
lelah dan bosan memberikan bimbingannya dan arahannya, yang selalu
membangunkan semangat kepada para mahasiswanya.
Dengan adanya pembuatan makalah ini, diharapkan dapat membantu
mahasiswa dalam menguasai materi pelajaran. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan senantiasa membawa kemudahan kita dalam belajar untuk meraih
prestasi yang kita inginkan.

Jember, 12 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI ....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan Masalah ..................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal ......................................................................................3


B. Pengertian Wahyu ..................................................................................4
C. Posisi Akal dan Wahyu Dalam Ilmu Kalam ............................................5
D. Pendapat Mutakalimin Tentang Akal dan Wahyu Dalam Ayat-Ayat
Mutasyabihat ..........................................................................................9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................15
B. Saran ......................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kedudukan akal dan wahyu dalam menjadi perbincangan yang tiada
hentinya. Dalam Islam kedudukan akal menempati posisi yang sangat
terhormat, karena akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk
manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat
ketaqwaan kepada Sang Kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu
sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar
sumber kehidupan dan juga tujuan dari Baginda Rasulullah SAW. Tidak
hanaya itu dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah
amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan
wahyu, dia adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk
membimbing manusia pada jalan yang lurus. Peranan akal dan wahyu dalam
Islam, mengajarkan bahwa untuk bisa sampai pada Allah, terlebih dahulu
manusia harus mengetahui siapa dirinya, mengapa dia hidup, untuk apa dia
hidup, dalam istilah lain adalah pencapaian diri (mengenal dirinya sendiri).
Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan akal. Dengan
akal manusia belajar mempelajari jati dirinya, untuk tujuan mencari atau
menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah pada dirinya. Usaha manusia dalam
mencari jati dirinya untuk mencapai Tuhan tidak akan bisa sempurna tanpa
tata cara- tata cara, metode khusus, atau langkah-langkah yang benar. Sebab
kemampuan akal tidak lebih dari menganalisis apakah perbuatan ini buruk
atau baik. Untuk mengetahui bagaimana perbuatan ini dapat dikatan baik atau
buruk, maka diperlukan wahyu. Karena hanya Tuhan-lah yang dapat
menentukan perkara ini baik atau buruk. Sebagaimana contoh, manusia tidak
akan sempurna Ibadahnya pada Tuha atas dasar rasa terimakasihnya pada
Tuhan, kecuali dengan menjalankan syariat yang sampaikan oleh Tuhan.
Karena peranan akal yang terbatas, sehingga ia membutuhkan pertolongan
wahyu sebagai pembimbingya, maka sebagai manusia seharusnya
mempelajari bagaimana kedudukan akal dan wahyu itu sendiri dalam

1
manusia. Dengan belajar kedudukan itu, manusia dapat mengerti cara dia
melakukan “terimakasih” kepada sang Tuhan Yang Maha Esa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka terdapat
beberapa rumusan masalah yang akan dikaji:
1. Apa Pengertian Akal?
2. Apa Pengertian Wahyu?
3. Bagaimana Posisi Akal dan Wahyu Dalam Ilmu Kalam?
4. Bagaimana Pendapat Mutakalimin Tentang Akal dan Wahyu Dalam Ayat-
Ayat Mutasyabihat?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembahasan
masalah sebagai berikut:
1. Untuk Menjelaskan Pengertian Akal.
2. Untuk Menjelaskan Pengertian Wahyu.
3. Untuk Menjelaskan Posisi Akal dan Wahyu Dalam Ilmu Kalam.
4. Untuk Menjelaskan Pendapat Mutakalimin Tentang Akal dan Wahyu
Dalam Ayat-Ayat Mutasyabihat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal
Kata akal berasal dari bahasa Arab (‫ ) العقل‬yang berarti ikatan,
pemikiran, pemahaman dan pengertian. Kata kerja (‘aqilu) yang berarti
memahami atau mengerti. Dari pengertian tersebut maka secara terminologis,
kata akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang dianugerahkan Allah Swt
kepada manusia untuk menghasilkan pengetahuan melalui kesan-kesan yang
diperoleh pancaindera.1
Akal secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql
sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak
makna. Dalam kamus bahasa Arab Al-munjid Fii Al-lughah Wa’al A’lam,
dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui),
fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata
al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti “nurun nuhaniyyun
bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas”, yaitu cahaya ruhani yang
dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati
sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyah digunakan
dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence), yang dalam istilah
psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving
capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang
dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih
lanjut menurutnya, kata ‘aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke
dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang
masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan Nous
yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), 39.

3
Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui di dada (Al-qalb) akan tetapi
melalui Al-‘aql di kepala. 2

B. Pengertian Wahyu

Kata wahyu berasal dari kata arab ‫الوحي‬ , dan al-wahyu adalah kata
asli arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan
kecepatan. Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu
tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, wahyu sering disebut sebuah
pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul, wahyu
Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan
kepada Nabi. Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat,
pembicaraan rahasia, dan menggerakkan hati.Sedangkan menurut istilah,
wahyu adalah pemberitahuan yang datangnya dari Allah kepada para
Nabinya, yang didalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk
kepada jalan yang lurus dan benar.3
Semua agama samawi bedasarkan wahyu. Para nabi adalah seoarang
manusia yang diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah. Wahyu
diturunkan kepada nabi Muahmmad dinamakan Al-Qur’an. Adapun definisi
Al- Qur’an adalah kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang
diturunkan kepad nabi Muhammad, dan merupakan petunjuk bagi kehidupan.
Penamaan wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan Al-
Qur’an memiliki bahwa wahyu tersimpan dalam dada manusia karena nama
Al-Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan dalam arti kata
qira’ah terkandung makna agar selalu diingat.4

2
Nurrida Dhestiana, “Kedudukan Akal & Wahyu Perspektif M. Abduh Dan Harun Nasution”,
Attanwir: Jurnal Kajian Keislaman Dan Pendidikan, 1 (Maret, 2019), 14.
3
Ibid., Harun Nasution, 15.
4
Ibid., Nurrida Dhestiana, 15.

4
C. Posisi Akal dan Wahyu Dalam Ilmu Kalam
Perkataan akal dan wahyu keduanya berasal dari bahasa Arab.
Menurut bahasa Akal yang berarti mengikat maksudnya akal dapat
mempunyai kekuatan khusus yaitu dapat membatasi dan memikirkan
problema-problema yang dihadapi manusia untuk mengetahui mana yang
harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan.
Pada Umumnya akal banyak dipergunakan oleh kaum rasionalis dan
para filosof, sedangkan wahyu hanya diperuntukkan kepada para nabi dan
rasul yang selanjutnya disampaikan kepada umat manusia. Antara akal dan
wahyu keduanya sangat dipelukan dalam kehidupan umat manusia sebagai
umat yang beragama, karena keduanya dapat memahami apa yang
dihasilkannya, akal punya peranan mengkaji pesoalan-persoalan diatas dunia
ini, namun tidak dapat dipastikan apakah kebenaran yang dihasilkan adalah
kebenaran murni. Untuk itu wahyu datang menunjukkan kebenaran yang qat’i
(mutlak) sehingga menjadi kuatlah pengetahuan yang diperoleh akal dan
menjadilah kebenaran yang hakiki.
Di dalam Teologi Islam yang menjadi pembahasan polemik adalah
kemampuan akal dan fungsi wahyu dihubungkan dengan masalah pokok
dalam agama yaitu dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?, Apakah akal
dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan pencipta alam
semesta ?, Apakah akal dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk?, dan
sekaligus mengetahui kewajiban berbuat baik dan keawjiban berbuat buruk?
Berikut penjelasannya:
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini berpendapat segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
melalui perantaran akal, dan segala keawajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam, untuk itu berterima kasih kepada Tuhan
sebelum turunnya wahyu wajib, perbuatan baik dan buruk wajib diketahui
melalui akal, demikian pula memgerjakan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan yang jahat adalah wajib. Dari sini dapat dikatakan bahwa

5
manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk
meskipun tidak diberitahukan oleh wahyu (syara’).
Prinsip Mu’tazilah tersebut dijelaskan pula DR. Ahmad Mahmud
Shubhi yaitu Mu’tazilah adalah golongan yang mengandalkan akal dalam
memikirkan Islam, mereka mengeluarkan dalil-dalil yang berkaitan
dengan aqidah berdasarkan dengan dalil akal semata, dan jika seandainya
bertentangan antara keterangan wahyu dengan keterangan akal, maka
mereka memilih akal dan berusaha mena’wilkan agama yang dikhabarkan
melalui wahyu. Kaum Mu’tazilah merupakan aliran Teologi Islam yang
berfaham rasionalis, mereka lebih mengutamakan akal dari pada wahyu
dalam memecahkan setiap masalah, meskipun demikian bagi mereka tetap
mengakui keterbatasan akal, misalnya akal dapat mengetahui yang baik
tetapi tidak tahu bagaimana cara melakukan kebaikan itu, dalam hal ini
wahyu yang menjelaskan kepada akal, Aliran ini menganggap antara akal
dan wahyu saling terkait artinya wahyu melengkapi pengetahuan yang
diperoleh akal, karena akal hanya mengetahui garis besar sesuatu masalah
dan wahyulah yang menjelaskan secara terinci.
Menurut Mu’tazilah bahwa untuk mengetahui Tuhan dan sifat-
sifatNya, wahyu tidak berfungsi, tetapi untuk mengetahui cara memuja dan
menyembah Tuhan wahyu diperlukan, Akal betul dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang
menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan. Wahyu
bagi Mu’tazilah adalah berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi artinya
memperkuat apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa yang
belum diketahui akal, hanya saja fungsi konfirmasi lebih banyak dari pada
fungsi informasi, juga menjelaskan rincian hukum dan mengingatkan
manusia terhadap kewajibannya. Akal tidak berguna tanpa ada bimbingan
wahyu, demikian sebaliknya wahyu tidak bermamfaat tanpa ada akal, akal
memerlukan bantuan wahyu dalam menjelaskan ajaran-ajaran agama
supaya dapat diketahui dan difahami dengan jelas oleh akal, sebaliknya

6
jika wahyu datang dengan tidak jelas bagi akal maka akallah yang dapat
menjelaskan selama tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan agama.
2. Aliran Asy’ariah
Lain halnya aliran ini, ia menolak sebagian besar pendapat kaum
Mu’tazilah diatas. Aliran Asy’ariah berpendapat bahwa seluruh kewajiban
manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu atau ketentuan syara’, akal
tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi
manusia. Bagi aliran ini menganggap bahwa akal hanya mengetahui
adanya Tuhan. Aliran Asy’ariah memandang akal hanya dapat mengetahui
Tuhan tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana cara berterima kasih
kepada Tuhan, begitu pula akal tidak mampu memgetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, tidak tahu bagaimana berkewajiban mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang buruk itu. Untuk mengetahui hal tersebut
diperlukan wahyu. Aliran Asy’ariah ini sesungguhnya tetap mengakui dan
mempergunakan wahyu dan apabila ada ayat Mutasyabihat yang
kelihatannya bertentangan dengan akal maka mereka berusaha
menta’wilkannya sesuai yang dikehendaki akal.
Menurut al-Syahrastani ahli Sunnah yaitu kaum Asy’ariah
berpendapat bahwa segala kewajiban diketahui dengan wahyu dan
pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa
mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib, akal tidak
dapat membuat sesuatu menjadi wajib atau harus, sebaliknya wahyu tidak
pula mewujudkan pengetahuan, wahyu membawa kewajibankewajiban.
Aliran Asy’ariah identik dengan faham Ahlussunnah Wal- Jamaah, yang
membatasi kemampuan akal, mereka berpendapat bahwa akal hanya dapat
mengetahui hal-hal yang bersifat duniawi, akan tetapi untuk mengetahui
dan menetapkan apa yang baik dan buruk akal tidak mampu
mengatakannya kepada manusia, kemampuan akal hanya sampai kepada
mengetahui adanya Tuhan. Sekiranya tidak turun wahyu maka manusia
bebas berbuat karena memang tidak tahu kewajibankewajibannya dan

7
larangan-larangannya, aliran Asy’ariah ini sangat menghargai dan
mengutamakan kedudukan wahyu. Wahyu yang diperpegangi oleh
Asy’ariah adalah nas-nas Al-Qur’an dan Hadits, mereka tidak menjadikan
akal sebagai penentu terakhir untuk menakwilkan nas-nas, tidak berarti
meninggalkan akal pikiran, akan tetapi lebih dari hanya sekedar untuk
memperkuat keterangan wahyu.
3. Aliran Maturidiah
Aliran ini hidup semasa aliran Asy’ariah, menurutnya akal bisa
mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang
diperintahkan Tuhan dalam ayat-ayat al- Qur’an untuk menyelidiki
(memperhatikan) alam, langit dan bumi, akan tetapi meskipun akal
sematamata sanggup mengetahui Tuhan, namun akal tidak sanggup
mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah
Tuhan). Berbeda dengan aliran Mu’tazilah yang mengatakan bahwa
mengetahui Tuhan diwajibkan oleh akal, maka menurut aliran Maturidiah
kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui akal tetapi sebenarnya
kewajiban itu sendiri datang dari Tuhan.
Akal sanggup megetahui kebaikan dan keburukan, namun
kewajiban itu datangnya dari wahyu, karena akal semata-mata tidak dapat
bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang
mempunyai taklif (mengeluarkan perintah agama) hanyaTuhan sendiri.
Bagi aliran al-Maturidiah cendrung menseimbangkan antara akal dengan
wahyu ini berarti tidak semua perbuatan baik atau buruk dapat diketahui
lewat akal, ada perbuatan tertentu yang tidak jelas kebaikan dan
keburukannya. baru diketahui lewat wahyu, sehingga kalau ada persoalan
yang dianggap bertentangan dengan wahyu, maka akal harus tunduk
kepada ketentuan wahyu. 5
Baik aliran Asy’ariah, Maturidiah dan Mu’tazilah kesemuanya
menggunakan akal dan wahyu dalam menyelesaikan persoalan yang

5
Muhammad Dahlan Thalib, “Akal Dan Wahyu Perbuatan Manusia (Reason And Revelation Of
Human Action), Istiqra’, 1 (September, 2016), 93-95.

8
timbul dalam umat Islam. Hanya saja aliran Mu’tazilah menempatkan akal
pada derajat yang tinggi, sebaliknya Aliran Asy’ariah memposisikan
wahyu pada kedudukan tertinggi. Nampaknya corak pemikiran aliran
Maturidiah ini terletak antara corak pemikiran Mu’tazilah yang
mengedepankan akal sehat ( rasionalis ) dengan corak pemikiran Asy’ariah
yang trdisionil, sementara aliran Maturidiah ada yang cendrung pendapat
Mu’tazilah (Maturidiah Samarkan) dan ada yang cendrung pendapat
Asy’ariah (Maturidiah Bukhara).

D. Pendapat Mutakalimin Tentang Akal dan Wahyu Dalam Ayat-Ayat


Mutasyabihat
1. Muhammad Abduh
Menurut M. Abduh Al-Qur’an berbicara bukan kepada hati
manusia, tetapi kepada akalnya. Dengan akal manusia dapat mengetahui
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Kebaikan adalah dasar
kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat. Islam
memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah menunjukkan
perintah-perintah dan larangan-larangannya kepada akal. Di dalam Al-
Qur’an terdapat ayat-ayat: (tidakkah mereka merenungkan) ‫افال ئتدبرون‬
(tidakkah mereka memperhatikan) ‫( افال ئظرون‬tidakkah mereka
memikirkan) ‫ – افال ئعقلون‬dan sebagainya. Wahyu tak dapat membawa hal-
hal yang bertentangan dengan akal. Kalau dhahir ayat bertentangandengan
akal, haruslah dicari interpretasi yang membuat ayat itu sesuai dengan
pendapat akal.
M. Abduh bisa memiliki pandangan seperti ini karena berdasarkan
pemahamannya terhadap salah satu surat Al-Baqarah, ayat 164. Allah swt
berfirman:

ِ َ‫ف الل َّ يْ ِل َو ال ن َّ ه‬
‫ار‬ ِ ‫ض َو ا ْخ ت ِ َال‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ِ ‫او ا‬ َ ‫ق ال سَّ َم‬ ِ ْ‫إ ِ َّن ف ِ ي َخ ل‬
‫اس َو َم ا أ َنْ زَ َل َّللاَّ ُ ِم َن‬ َ َّ ‫ك ال َّ ت ِ ي ت َ ْج ِر ي ف ِ ي الْ ب َ ْح ِر ب ِ َم ا ي َ نْ ف َ ُع ال ن‬ ِ ْ‫َو الْ ف ُ ل‬
ِ‫ث ف ِ ي هَ ا ِم ْن كُ ل‬ َّ َ ‫ض ب َ عْ د َ َم ْو ت ِ هَ ا َو ب‬ َ ‫ال سَّ َم ا ِء ِم ْن َم ا ٍء ف َ أ َ ْح ي َ ا ب ِ هِ ْاْل َ ْر‬

9
‫الر ي َ اح ِ َو ال سَّ َح ا بِ الْ ُم سَ َّخ ِر ب َ يْ َن ال سَّ َم ا ِء‬ ِ ‫ف‬ ِ ‫ص ِر ي‬ ْ َ ‫د َ ا ب َّ ٍة َو ت‬
‫ت لِ ق َ ْو ٍم ي َ عْ قِ ل ُ و َن‬
ٍ ‫ض ََل ي َ ا‬ ِ ‫َو ْاْل َ ْر‬
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-
nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angina dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.”(QS.Al-Baqarah: 164).
Dari ayat di atas dapat diambil satu pengertian bahwa akal itu
adalah “ilmu”. Perspektif ini berangkat dari pemahaman ayat di atas,
yakni; kekuasaan Allah dapat diketahui hanya menggunakan akal dan
fikirannya. Ayat menuntut manusia dan menentukan sikap manusia dalam
bertingkah laku dan berbuat, akal sanggup membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Akal adalah suatu tongkak pertumbuhan,
kemakmuran, kehinaan, kemuliaan, kesesatan, kelemahan, dan kekuatan
bagi insan. M. Abduh mengomentari bahwa akal itu suatu daya yang
hanya dimiliki manusia sebagai sifat dasar dalam rangka mengenal dan
mengetahui sifat dan wujudnya. Oleh karena itu M. Abduh membagi
hukum akal menjadi tiga bagian:
a. Akal itu adalah sebagai alat untuk mengetahui barang yang mungkin
ada.
b. Akal itu adalah sebagai alat untuk mencapai suatu barang yang wajib
adanya.
c. Akal itu merupakan jalan dalam mencapai suatu ilmu terhadap barang
yang mustahil adanya.
M. Abduh dalam Risalah Tauhid, menyebutkan bahwa wahyu
adalah berita rahasia. Beliau menyebut wahyu sebagai pengetahuan yang
didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan penuh, bahwa

10
pengetahuan itu datangnya dari Allah baik dengan perantara ataupun tidak.
Yang pertama itu ialah dengan perantaraan suara yang dapat didengarkan
dengan telinga atau tanpa suara sama sekali. Bedanya dengan ilham adalah
bahwa ilham itu perasaan, yang meyakinkan hati, yang mendorongnya
untuk mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya. Dan ilham itu
hamper serupa dengan perasaan lapar, haus, duka dan suka. Sedangkan
wahyu adalah pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi-nabi
Nya, secara langsung maupun tidak langsung (dengan perantara malaikat)
tetap dia faham dari apa yang telah diterimanya.
Wahyu itu adalah suatu kebenaran yang datang dari Allah kepada
manusia tertentu. Wahyu itu terjadi karena adanya komunikasi yang
langsung antara Tuhan dan manusia. Tetapi dalam menerima dan
kemampuan manusia dalam memahami wahyu tersebut itu berbeda-beda.
Karena kadar kemampuan tiap manusia berbeda-beda pula1. M.Abduh
membagi wahyu dalam tiga bentuk berdasarkan kemampuan manusia
dalam menerimanya, diantaranya:
a. Wahyu diberikan kepda kaum khawas dan juga diberikan kepada kaum
awam, dan ini merupakan bagian yang paling besar.
b. Wahyu yang hanya ditujukan kepada kaum awam saja, menurut
jumlahnya hanya sedikit.
c. Wahyu yang diturunkan kepada kaum khawas saja dan jumlahnya
paling sedikit dibanding yang kedua.6
2. Harun Nasution
Menurut Harun akal melambangkan kekuatan manusia. Karena
akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan
makhluk lain. Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi
kesanggupannya untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan makhluk lain.
Bertambah lemah kekuatan akal manusia bertambah rendah
kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain. Dengan akallah
manusia menjadi kuat, dan dengan akallah manusia mempunyai kebebasan

6
Ibid., Nurrida Dhestiana, 20-24.

11
dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Sesungguhnya semua
aliran teologis mempergunakan akal dalam memahami ayat-ayat Alquran.
Hanya saja mereka berbeda dalam interpretasi teks, sehingga
menghasilkan kesimpulan yang berbeda dalam memberikan porsi
keutamaan dalam menggunakan akal dan wahyu. Para filosof
berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafah dan agama
tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi, dan antara keduanya
terdapat keharmonisan. Dalam memberikan penjelasan rasional tentang
adanya wahyu. Bagi Harun akal di zaman modern ini mulai dipakai
kembali dalam bidang keagamaan, faham-faham lama yang tidak sesuai
dengan akal dan ilmu pengetahuan modern dan faham lama yang sejalan
dengan akal mulai dipisahkan. Akal juga mulai dipakai kembali untuk
memeberi interpretasi baru kepada ayat-ayat yang bersifat zanni artinya,
interpretasi yang sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Di antara faham lama yang ditinggalkan adalah faham fatalisme atau
faham kada dan kadar, bahwa segala sesuatu yang terjadi telah ditentukan
Tuhan semenjak azali, secara perlahan berganti menjadi faham ikhtiyari
yang dekat dengan faham qadariah atau kebebasan manusia dalam
kemauan dan perbuatan, dari faham statis menuju faham dinamis.
Harun Nasution dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam,
menjelaskan bahwa wahyu berasal dari kata al-wahy, kata ini berarti suara,
api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat,
tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan
suara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam
arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi”. Dalam kata wahyu
dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang
pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan
pegangan hidup. Sabda Tuhan ini mengandung ajaran, petunjuk dan
pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik
di dunia ini maupun di akhirat nanti. Penjelasan tentang cara terjadinya

12
komunikasi antara Tuhan dan Nabi-nabi, diberikan oleh Alquran sendiri.
Salah satunya terdapat dalam surat Al-Syura (42) ayat 51 yang berbunyi:

‫َو َم ا كَ ا َن لِ ب َ ش ٍَر أ َ ْن ي ُكَ ل ِ َم ه ُ َّللاَّ ُ إ ِ ََّّل َو ْح ي ً ا أ َ ْو ِم ْن َو َر ا ِء‬


ٌّ ِ‫ي ب ِ إ ِذْ ن ِ هِ َم ا ي َ شَا ءُ ۚ إ ِ ن َّ ه ُ عَ ل‬
‫ي َح ِك يم‬ ِ ُ ‫وَّل ف َ ي‬
َ ‫وح‬ ً ُ‫ِح َج ا بٍ أ َ ْو ي ُ ْر ِس َل َر س‬
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkatakata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki.
Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Jadi ada tiga cara turunnya wahyu, yaitu: Pertama melalui jantung
hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang
terjadi dengan Nabi Musa, ketiga memalui utusan yang dikirimkan dalam
wujud malaikat. Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Saw adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat Alquran
surat Al- Syu’ara (26): 192-195.

١٩٢ – ۗ َ‫ب ْالعٰ لَ ِميْن‬


ِ ‫َواِنَّهٗ لَتَ ْن ِز ْي ُل َر‬
١٩٣ – ۙ ُ‫ح ْاَّلَ ِم ْين‬ ُ ‫الر ْو‬ُّ ‫نَزَ َل بِ ِه‬
١٩٤ - ۙ َ‫َع ٰلى قَ ْل ِبكَ ِلتَ ُك ْونَ ِمنَ ْال ُم ْنذ ِِريْن‬
١٩٥ - ۗ ‫ان َع َر ِبي ٍ ُّم ِبي ٍْن‬
ٍ ‫س‬َ ‫ِب ِل‬
“Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orangorang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas”.
Ayat di atas dengan jelas menggambarkan bahwa firman Tuhan
sampai kepada Nabi Muhammad Saw. melalui jibril sebagai utusan Tuhan,
jadi bukan melalui ilham ataupun dari belakang tabir. Sebagai yang telah
digambarkan di atas dalam konsep wahyu terkandung pengetian adanya
komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat
materi. Sedangkan teks Alquran adalah orisinil dari Nabi dan adalah

13
wahyu yang beliau terima dari Tuhan melalui Jibril dalam bentuk kata-kata
yang didengar dan dihafal, bukan dalam bentuk pengetahuan yang
dirasakan dalam hati atau yang dialami dan dilihat dalam mimpi. 7

7
Badlatul Muniroh, “Akal Dan Wahyu (Studi Komparatif Antara Pemikiran Imam Al-Ghazali Dan
Harun Nasution)”, Aqlania: Jurnal Filsafat Dan Teologi Islam, 1(Juni 2018), 51-56.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kata akal berasal dari bahasa Arab (‫ ) العقل‬yang berarti ikatan, pemikiran,
pemahaman dan pengertian.Kata kerja (‘aqilu) yang berarti memahami
atau mengerti. Dari pengertian tersebut maka secara terminologis, kata
akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang dianugerahkan Allah Swt
kepada manusia untuk menghasilkan pengetahuan melalui kesan-kesan
yang diperoleh pancaindera.
2. Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat, pembicaraan
rahasia, dan menggerakkan hati. Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah
pemberitahuan yang datangnya dari Allah kepada para Nabinya, yang
didalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk kepada jalan yang
lurus dan benar.
3. Baik aliran Asy’ariah, Maturidiah dan Mu’tazilah kesemuanya
menggunakan akal dan wahyu dalam menyelesaikan persoalan yang
timbul dalam umat Islam. Hanya saja aliran Mu’tazilah menempatkan akal
pada derajat yang tinggi, sebaliknya Aliran Asy’ariah memposisikan
wahyu pada kedudukan tertinggi. Nampaknya corak pemikiran aliran
Maturidiah ini terletak antara corak pemikiran Mu’tazilah yang
mengedepankan akal sehat (rasionalis) dengan corak pemikiran Asy’ariah
yang trdisionil, sementara aliran Maturidiah ada yang cendrung pendapat
Mu’tazilah (Maturidiah Samarkan) dan ada yang cendrung pendapat
Asy’ariah (Maturidiah Bukhara).
4. Menurut M. Abduh Al-Qur’an berbicara bukan kepada hati manusia, tetapi
kepada akalnya. Dengan akal manusia dapat mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan. M. Abduh bisa memiliki pandangan
seperti ini karena berdasarkan pemahamannya terhadap salah satu surat
Al-Baqarah, ayat 164. M. Abduh dalam Risalah Tauhid, menyebutkan

15
bahwa wahyu adalah berita rahasia. Beliau menyebut wahyu sebagai
pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan
keyakinan penuh, bahwa pengetahuan itu datangnya dari Allah baik
dengan perantara ataupun tidak.
Menurut Harun akal melambangkan kekuatan manusia. Karena
akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan
makhluk lain. Harun Nasution dalam buku Akal dan Wahyu dalam Islam,
menjelaskan bahwa wahyu berasal dari kata al-wahy, kata ini berarti suara,
api dan kecepatan. Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat
Alquran surat Al- Syu’ara (26): 192-195.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna baik dalam penulisan maupun bahasanya. Penulis
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Sehingga kritik dan
saran sangat penulis harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dhestiana, Nurrida. 2019. “Kedudukan Akal & Wahyu Perspektif M. Abduh Dan
Harun Nasution”, Attanwir: Jurnal Kajian Keislaman Dan Pendidikan, 1
(Maret, 2019), 14.
Muniroh, Badlatul. 2018. “Akal Dan Wahyu (Studi Komparatif Antara Pemikiran
Imam Al-Ghazali Dan Harun Nasution)”, Aqlania: Jurnal Filsafat Dan
Teologi Islam, 1(Juni 2018), 51-56.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
Thalib, Muhammad Dahlan. 2016. “Akal Dan Wahyu Perbuatan Manusia (Reason
And Revelation Of Human Action), Istiqra’, 1 (September, 2016), 93-95.

17

Anda mungkin juga menyukai