MUFASSIRIN AL-QUR'AN
Disusun oleh :
Sabrina Aulia Lestari (11200110000115)
Zakiyah (11200110000124)
Muhammad Syah Naufal (11200110000134)
Sri Gusti Wahyuni (11200110000143)
Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Tafsir Tarbawi dengan tema: “Kedudukan
Belajar Mengajar menurut Para Mufassirin al-Qur'an". Semoga makalah ini dapat membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah, sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Penyusun mengakui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan
yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun,
Jakarta, 7 Maret 2021
1
DAFTAR ISI
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara sekian banyak isu mendasar dalam peradaban umat manusia yang
direvolusi oleh Islam adalah kedudukan ilmu dan belajar. Dalam Islam,
kedudukan ilmu dan belajar dilepaskan dari segala unsur mitos, magis, prasangka
tak berdasar, dan hal-hal yang bersifat pseudo-sains lainnya. Contoh pseudosains
adalah astrologi. Selain mengakui pencapaian ilmu melalui upaya-upaya
eksperimental dan empiris, Islam juga menegaskan bahwa ada sumber otoritas
mutlak dalam ilmu, yakni wahyu dan kenabian. Sejak wahyu pertama turun,
perintah pertama adalah iqra’, yang memiliki makna dasar darasa (mengkaji),
faqiha (memahami), jama’a (mengumpulkan), dan hafizha (menghafal).Para
ulama’ generasi terdahulu pun telah mengisyaratkan pen-tingnya ilmu dalam
karya-karya mereka. Imam al-Bukhari memulai kitab al-Jâmi’ al-Shahîh dengan
Kitab Bad’i al-Wahy (awal mula turunnya wahyu). Ini adalah pengakuan terhadap
otoritas tertinggi wahyu sebagai sumber ilmu. Dapat dimaklumi pula, wahyu
pertama adalah surat al-’Alaq ayat 1-5, di mana di dalamnya Allah berfirman
“alladzî‘allama bi al-qalam, ‘allama al-insâna mâ lam ya’lam”. Hampir seluruh
tafsir akan mencantumkan riwayat detail dan panjang tentang al-qalam(pena) dan
peran sentralnya dalam peradaban. Bahwa al-qalam adalah ramz al-’ilm wa
al-ta’lîm (simbol ilmu dan pengajaran). Ilmu adalah ruh Islam. Tanpanya, Islam
akan mati.
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penyusunan
4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Etimologi kata pendidikan itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare,
berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan e, berarti “keluar”.
Jadi, pendidikan berarti kegiatan “menuntun ke luar”. Setiap pengalaman yang
memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat
dianggap pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan
berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan
pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ditinjau dari
sudut hukum, definisi pendidikan berdasarkan Undang-Undang RI No. 20/2003
tentang Sisdiknas, Pasal 1 ayat (1) dalam artikel Hikmawati (20130, bahwa
“pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat.
5
peran ilmu. Ilmu jelas merupakan modal dasar bagi seseorang dalam memahami
berbagai hal baik terkait urusan duniawi maupun ukhrawi. Salah satu bukti nyata
kemuliaan ilmu dalam Islam adalah ayat yang pertama diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad berhubungan dengan ilmu. Allah swt. berfirman dalam
QS. Al-'Alaq 3-5 yang intinya,
“Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia)
dengan perantara qalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.”
Allah juga bersumpah atas nama salah satu sarana ilmu, qalam alias pena. Allah
swt. berfirman, “Nûn. Demi qalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat
Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Sesungguhnya bagi
kamu benar-benar pahala yang besar yang tiada putusnya. Sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam : 1-4)
Dari sekian banyak manusia yang ada di muka bumi ini, para ilmuwanlah yang
dinilai paling banyak memiliki pengetahuan, pemahaman, dan keimanan pada
segala hal yang berasal dari Allah. Mereka juga dinilai paling mampu dalam
menyebarkan dakwah. Mengenai posisi istimewa ini, Allah swt. berfirman dalam
QS. Saba : 6 yang artinya “Orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab)
berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah yang
benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji.”.
Selain itu, al-Qur’an juga menyebutkan kedudukan dan keutamaan para ilmuwan.
“Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman di antara
6
kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah :11)
QS. Al-Mujadalah : 11
۟ ُوا يَرْ فَ ِعٱللَّهُٱلَّ ِذينَ َءامن۟ وا فَٱن ُش ُز ۟ ُوا يَ ْف َس ِحٱللَّهُلَ ُك ْم ۖ و َذاقِيٱَلن ُش ُز
۟ ىٱلم ٰ َجلِ ِسفَٱ ْف َسح ۟ ۟ ٓ
وا َ َِإ َ ْ ِٰيََأيُّهَاٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓوا ِإ َذاقِيلَلَ ُك ْمتَفَ َّسحُوا ف
۟ ُِمن ُك ْم َوٱلَّ ِذينَُأوت
ٍ وا ْٱل ِع ْل َم َد َر ٰ َج
ت ۚ َوٱللَّهُبِ َماتَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر
Artinya :
Hai orang orang yang beriman apabila di katakan kepadamu berlapanglapanglah
dalam majlis maka lapangkanlah niscaya Allah memberi kelapangan untukmu,
dan apabila di katakan Berdirilah berdirilah kamu maka berdirilah niscaya Allah
akan meninggikan orang orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang
yang berilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan (Q.S Al-Mujadalah : 11).
7
mendekat kepada beliau maka Allah SWT menurunkan ayat yakni berikanlah
keluasan.
Sebuah riwayat lain menyebutkan sebab turun ayat lagi diriwayatkan pula Ibnu
Abbas, bahwa turunnya ayat itu berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas.
Yaitu bahwa: dia masuk kedalam masjid kemudian, didapatinya orang telah ramai.
Sedang dia ingin sekali duduk di dekat Rasulullah ialah karena dia agak pekak,
tetapi kawan ini tidak memberinya peluang untuk duduk. Maka turunlah ayat ini,
kata Ibnu Abbas; Disuruh orang memperlapang tempat buat temannya dengan
terutama sekali memperlapang hati! Dan jangan sampai seseorang menyuruh
orang lain berdiri karena dia ingin hendak menduduki tempatnya tadi.
Dari pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa proses turunnya Surat Al
Mujadalah ayat 11dikarenakan banyak para sahabat dari kalangan muhajirin yang
datang ke rumah Rasulullah secara beramai-ramai untuk mendengarkan nasihat
dari rasul tetapi dengan datangnya sahabat dari kalangan muhajirin itu
mengganggu sahabat rasul yang sebelumnya sudah datang lebih dahulu dan
banyak dari para sahabat yang datang lebih dahulu tidak mau untuk memberikan
kelapangan tempat duduknya untuk sahabat muhajirin maka kemudian turunlah
Surat Al-Mujadalah ayat 11.
Tafsiran Kosakata
Kata ) )تفسحواtafassahu dan ( ) افسحواifsahu- menurut Quraish Shihab terambil
dari kata fasaha yakni lapang. Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh
Ahmad Mustafa al-Maragi dalam kitab tafsirnya (Tafsir al-Maragi) bahwa kata
tafassahu maknanya ialah “lapangkanlah dan hendaklah sebagia kamu
melapangkan (tempat duduknya) kepada sebagian yang lain. Kata tafassahu pada
ayat tersebut maksudnya adalah tawassa’u yaitu saling meluaskan dan
mempersilahkan. Sedangkan kata yafsahillahu lakum maksudnya Allah akan
melapangkan rahmat dan rezeki bagi mereka. Ini adalah pendapat Abuddin Nata
dalam bukunya, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan.
Ibnu Katsir mengangkat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari Nafi r.a bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
8
duduknya, lalu dia menempati tempat duduk itu, tetapi hendaklah kalian
melapangkan dan meluaskannya.” (HR. Al-Bukhari).
Hadis ini menginformasikan bahwa tidak selayaknya seseorang meminta orang
lain pindah dari tempat duduknya untuk ia tempati. Selain itu, ada juga riwayat
yang melarang seseorang mempersilahkan orang lain untuk menempati tempat
duduknya didalam suatu majlis, sebagimana dikutip Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, dari Syuraih bin Yunus dan Yunus bin Muhammad al-Mu’addib dari
Falih, dengan lafaz:
Artinya: “Janganlah seseorang bangun dari tempat duduknya untuk diberikan
kepada orang lain, tetapi hendaklah kalian melapangkan diri, niscaya Allah akan
memberikan kelapangan kepada kalian.” (HR. Imam Ahmad).
Kata ( ) اوشزواunsyuzu terambil dari kata ( ) ن ش زnusyuzu. Yakni tempat
yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti “beralih ke tempat yang
tinggi”. Yang dimaksud disini pindah ke tempat lain untuk member kesempatan
kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau
bangkit melakukan satu aktivitaas positif. Demikian pendapat M. Quraish Shihab.
Kata ( ) مجالسmajalis menurut Quraish Shihab adalah bentuk jamak dari kata (
9
) مجلسmajlis. Pada mulanya berarti “tempat duduk”. Dalam konteks ayat ini
adalah tempat duduk Nabi saw memberi tuntunan agama ketika itu. Tujuan
perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah
kepada orang-orang yang selayaknya dihormati. Yarfa’illahihul lazina amanuu,
maksudnya menurut Abuddin Nata Allah akan mengangkat derajat mereka yang
telah memuliakan dan memiliki ilmu di akhirat tempat khusus sesuai dengan
kemuliaan dan ketinggian derajatnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat
al-Maragi menuerutnya Yarfa’illahu al-lazina aamanuu, maksudnya ialah Allah
meninggikan mereka (yang berilmu pengetahuan) pada hari kiamat.
Jadi maksud dari firman Allah tersebut adalah. Bahwa Allah akan mengangkat
derajat orang-orang mukmin yang melaksanakan segala perintahnya dan perintah
rasulnya dengan memberikan kedudukan yang khusus, baik dari segi pahala
maupun keridhaannya. Singkatnya bahwa setiap orang mukmin dianjurkan agar
member kelapangan kepada sesame kawannya itu datang belakangan: atau apabila
dianjurkan agar keluar meninggalkan majelis, maka segera tinggalkannlah tempat
itu, dan jangan ada prasangka bahwa perintah tersebut akan menghilangkan
heknya, melainkan merupakan kesempatan yang dapat menambah kedekatan pada
tuhannya, karena Allah tidak akan menyia-yiakan setiap perbuatan yang dilakukan
hambanya melainkan akan diberikan balasan yang setimpal di dunia dan di
akhirat.
Kata ‘ilm dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran. Kata
ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.
‘ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai cirri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera),
‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung, ‘alamat (alamat), dan
sebagainnya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun
demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), ‘arif (mengetahui), dan
ma’rifah (pengetahuan). Allah swt tidak dinamakan ‘arif tetapi ‘alim yang berkata
kerja ya ‘lam (Dia mengetahui), dan biasanya al-Quran menggunakan kata itu
untuk Allah dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau
dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan
kepada Allah: ya ‘lamu ma yusirruun, “Allah mengetahui apa yang mereka
rahasiakan”. Demikian juga ‘ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya
10
megandung kejelasan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Ibnu Zakaria dalam
Mu’jam Maqayis al-Lugah sebagaimana dikutip Abuddin Nata bahwa kata ‘ilm
mempunyai arti denotative “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan
sesuatu dari yang lainnya.. sedangkan menurut l-Asfahani dan al-Anbari, ilmu
adalah mengetahui hakikat sesuatu.
11
beliau keluarkan. Allah SWT Memulai Surat Al Mujadalah ayat 11 dengan seruan
“wahai orang- orang yang beriman” sebab orang orang-orang yang beriman itu
memiliki hati yang lapang, dia pun mencintai saudaranya yang terlambat masuk.
Kadang-kadang dipanggilnya dan dipersilahkan duduk ke dekatnya. Lanjutan ayat
mengatakan “niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu”.
“Dan jika dikatakan kepada kamu; “berdirilah!”, maka berdirilah!” Menurut
Ar-Razi dalam Hamka dalam tafsirnya mengatakan maksud dari kata-kata ini
adalah dua hal: (1) Jika disuruh orang kamu berdiri untuk memberikan tempat
kepada yang lain yang lebih patut duduk di tempat yang kamu duduki itu,
segeralah berdiri! (2) Yaitu jika disuruh berdiri karena kamu sudah lama duduk
supaya orang lain yang belum mendapat kesempatan diberi peluang pula maka
segeralah kamu berdiri! Kalau sudah ada saran menyuruh berdiri, janganlah
merasa berat seakan-akan terpaku pinggulmu ditempat itu dengan tidak memberi
kesempatan kepada orang lain.
c. Ahmad Maraghi
Ahmad Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi menafsikan bahwa berdasarkan
Surat Al Mujadalah Ayat 11 tersebut dapat diketahui setidaknya tiga hal sebagai
berikut : (1) bahwa para sahabat berupaya ingin saling mendekat pada saat berada
di majelis Rasulullah SAW, dengan tujuan agar ia dapat mudah mendengar
wejangan dari Rasulullah SAW yang diyakini bahwa dalam wejangannya itu
terdapat kebaikan yang amat dalam serta keistimewaan yang agung. (2) bahwa
perintah untuk saling meluangkan dan meluaskan tempat ketika berada di majlis,
tidak saling berdesakan dan berhimpitan dapat dilakukan sepanjang
dimungkinkan, karena cara demikian dapat menimbulkan keakraban diantara
sesama orang yang berada di dalam majlis dan bersama-sama dapat mendengar
wejangan Rasulullah SAW. (3) bahwa pada setiap orang yang memberikan
kemudahan kepada hamba Allah yang ingin menuju pintu kebaikan dan
kedamaian, Allah akan memberikan keluasan kebaikan di dunia dan di akhirat.
d. Shafwa At-Tafaasir
Dalam Surat Al Mujadalah ayat 11 menjelaskan untuk saling mamberi kelapangan
yaitu pada apa- apa yang dibutuhkan manusia pada tempat, rizki, hati dan juga
menunjukan bahwa setiap orang yang meluaskan majlis untuk beribadah kepada
Allah SWT, maka Allah akan membuka pintu-pintu kebaikan dan kebahagiaan
dan Allah akan meluaskan baginya di dunia dan akherat. Allah SWT akan
12
mengangkat orang-orang mukmin dengan perumpamaan dan perintah- Nya dan
perintah Rasul-Nya, orang-orang yang pandai di antara mereka pada khususnya
tingkatan yang tinggi. Allah SWT memberi derajat yang tinggi sampai dengan
surga. Surat Al-Mujadalah ayat 11 sebagai pujian kepada para ulama yang
mempunyai kelebihan dengan ilmunya, dalam arti Allah SWT mengangkat orang
yang beriman dan berilmu di antara orang mukmin. Sebagaimana safaat kepada
tiga orang yaitu para Nabi, ulama, syuhada. Keutamaan ilmu dalam keimanan
sebagai simbol manusia yang mendapat derajat yang tinggi di sisi AllahSWT.
e. Fahrur Razi
Ayat ini menunjukan pada setiap orang yang meluaskan majlis untuk beribadah
kepada Allah SWT dan dibukakan beberapa pintu kebaikan dan kebahagiaan,
berupa kebaikan di dunia dan akhirat. Allah SWT mengangkat orang yang
beriman dengan perumpamaan perintah Rasul- Nya dan orang-orang alim di
antara mereka khususnya dalam hal derajat. Karena keutamaan ilmu adalah Dalam
Al-Qur'an dan tafsirnya. Dalam ayat ini menerangkan bahwa jika disuruh
Rasulullah SAW berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu
agar ia dapat duduk, atau kamu disuruh pergi dahulu hendaknya kamu pergi,
karena Rasul ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang atau beliau
ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan
tugas-tugas yang perlu diselesaikan. Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah
SWT akan mengangkat derajat-derajat orang yang beriman, yang taat dan patuh
kepada- Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan berusaha
menciptakan suasana damai, aman dan tentram dalam masyarakat, demikian pula
orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakan kalimat Allah
SWT. Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang
paling tinggi di sisi Allah SWT ialah orang yang beriman, berilmu dan ilmunya itu
yang diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya.
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan diatas maka setidaknya terdapat tiga
poin penting bahasan, diantaranya adalah:
1. Para sahabat saling berlomba lomba berupaya mendekatkan dirinya kepada
Rasulullah SAW ketika berada di majelis dengan tujuan agar dapat dengan mudah
mendengar pengajaran-pengajaran dari Rasulullah yang diyakini bahwa dalam
ajarannya tersebut terdapat niali-nilai kebaikan yang amat dalam serta
13
keistimewaan yang agung.
2. Perintah untuk saling melapangkan tempat ketika berada di majelis tidak saling
berdesakkan dan berhimpitan. Hal ini dapat dilakukan sepanjang dimungkinkan
karena cara demikian dapat menimbulkan keakraban di antara sesama peserta
yang berada di dalam majelis dan bersama sama dapat mendengar ajaran-ajaran
yang disampaiakan di majelis tersebut dalam hal ini ajaran Rasulullah SAW.
3. Pada setiap orang yang memberikan kemudahan kepada hamba Allah yang
ingin menuju pintu kebaikkan dan kedamaian, Allah akan memberikan keluasan
kebaikkan di dunia dan di akhirat. Karena ayat diatas berisi perintah untuk
memberikan kelapangan dalam mendatangkan setiap kebaikan dan memberikan
rasa kebahagiaan kepada setiap orang disekitar atas dasar inilah Rasulullah
menegaskan bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba
tersebut selalu menolong sesamanya.
۞ َو َما َكانَ ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ لِيَ ْنفِرُوْ ا َك ۤافَّ ۗةً فَلَوْ اَل نَفَ َر ِم ْن ُكلِّ فِرْ قَ ٍة ِّم ْنهُ ْم طَ ۤا ِٕىفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْ ا فِى ال ِّدي ِْن َولِيُ ْن ِذرُوْ ا قَوْ َمهُ ْم اِ َذا
. ََر َجع ُْٓوا اِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّهُ ْم يَحْ َذرُوْ ن
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuanmereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.‛(QS. at-Taubah : 122)
Menurut riwayat Abdullah bin Ubaid bin Umair dikemukakan bahwa kaum
Mukminin, karena kesungguhannya ingin berjihad, apabila diseru oleh
Rasulullah saw. untuk berangkat ke medan perang, mereka serta merta
berangkat meninggalkan Nabi saw. beserta orang-orang yang lemah. Ayat ini
(surat at-Taubah ayat 122) turun sebagai larangan kepada kaum Mukminin
untuk serta merta berangkat seluruhnya, tapi harus ada yang menetap
untuk memperdalam pengetahuan
Pada surat At-Taubah ayat 122 di atas menjelaskan tentang suatu kaum
yang sebagian dari kaum tersebut diperintahkan untuk mencari ilmu dan
14
sebagian yang lain diperintahkan untuk berjihad di jalan Allah, karena
sesungguhnya perang (berjihad) itu merupakan fardhu kifayah.Makna dari
fardhu kifayah tersebut adalah apabila dalam sebuah kaum atau Negara yang
mana sebagian di antara mereka pergi melaksanakan jihad, maka dosa yang
lainnya akan hilang, salah satunya adalah jihad tadi, menegakkan
kebenaran, menegakan hukum, memisahkan yang berseteru dan sebagainya. Dan
fardhu 'ainadalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim yang
baligh dan berakal, seperti : shalat, zakat dan puasa.
15
BAB 3
PENUTUP
16
DAFTAR PUSTAKA
17