Daftar isi..............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
PENDAHULUAN.............................................................................................................iii
Latar belakang...............................................................................................................iii
Rumusan masalah.........................................................................................................iii
Tujuan............................................................................................................................iii
PEMBAHASAN....................................................................................................................1
JALAN-JALAN YANG DITEMPUH ULAMA KALAM DALAM MENETAPKAN AQIDAH.........1
a.Manhaj-manhaj pembahasan dalam Ilmu Kalam....................................................1
b. Jalan yang ditempuh Al Qur’anul Majid.................................................................2
c. Cara pembahasan yang ditempuh oleh ulama Salaf...............................................3
d.Cara pembahasan yang ditempuh oleh Ulama Khalaf............................................3
e.Cara pembahasan yang ditempuh oleh ahli Filsafat...............................................4
Kesimpulan.....................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................6
i
KATA PENGANTAR
Penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna perbaikan
penulisan makalah yang akan datang. Walaupun demikian, kami berharap makalah ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
PENDAHULUAN
Latar belakang
Istilah ilmu kalam berasal dari kata al-kalam, yang mula-mula berarti susunan
kata yang mengandung suatu maksud. Kemudian kata tersebut menunjukan salah satu
sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara atau mutakaliman. Sedangkan kata ”ilmu kalam” sendiri
mulai terpakai dimasa khalifah al-Ma’mun pada Zaman Dinasti Abbasiah. Pada masa itu
dipelajari buku-buku terjemahan filsafat Yunani oleh kaum Mu’tazilah, kemudian
meraka dipertemukanlah sistem filsafat dengan kajian agama tentang Tuhan, hasil kajian
tersebut menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan nama ilmu kalam.
Adapun di dalam ilmu kalam terdapat aqidah” yang tidak banyak kita ketahui
bagaimana jalan yang ditempuh para ulama’ dalam menetapkan aqidah. Dan di
kesempatan kali ini kami akan sedikit menjelaskan tentang jalan-jalan yang di tempuh
ulama’ dalam menetapkan aqidah dan siapa saja yang tergolomng di dalamnya.
Rumusan masalah
Pada latar belakang yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan tentang
pokok permasalahan yang akan di bahas. Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah
sebagai berikut:
Tujuan
*.Agar mengerti bagaimana jalan para ulama’ dalam menetapkan aqidah
iii
PEMBAHASAN
JALAN-JALAN YANG DITEMPUH ULAMA KALAM DALAM
MENETAPKAN AQIDAH
a.Manhaj-manhaj pembahasan dalam Ilmu Kalam
Jalan-jalan yang ditempuh seorang ulama yang mempunyai pendapat atau
mazhab dalam mengembangkan mazhab atau mengalahkan faham lawannya bermacam
rupa.Manusia berbagai macam tabiatnya,demikian pula hawa nafsunya dan ukuran
kemampuannya menerima kebenaran.Demikian pula jalan-jalan yang ditempuh untuk
sampai pada kebenaran,adalah berbada-beda.
Diantara mereka ada ayng berpengetahuan tinggi dan biasa menempuh jalan-jalan
ilmiyah,mempergunakan kecerdasan aqal.Maka jalan yang ditempuh mereka untuk
memperoleh kebenaran,ialah mendalami renungan dan menyusun cara-cara berfikir
yang dipergunakan ilmu mantiq(logika),kemudian mengambil natijahnya menurut
hukum-hukum logika itu.Mereka adalah golongan yang mempunyai kecerdasan
akal,yaitu para ulama,para hukum dan para ahli filsafat.Mereka ini mempunyai
persiapan untuk menemukan makna-makna,sedang jiwa mereka senantiasa
menerawang ke alam tinggi untuk menemukan prinsip-prinsip yang tinggi dan Mereka
berjumlah kecil.
Diantara mereka ada golongan umum yang tak dapat menemukan kebenaran melalui
ilmu logika.Mereka berpegang pada adat kebiasaan walaupun mereka bukan orang-
orang yang keras kepala. Cara mereka berfikir adalah sangat sederhana. Mereka
berpegang kepada apa yang dapat dirasakan panca indra dan menurut hukum alam dan
Mereka ini berjumlah banyak.
Golongan Pertengahan
Golongan pertengahan ini tidak mencapai derajat golongan pertama dan tidak pula
berada ditingkat bawah bersama-sama dengan golongan kedua.Mereka mempuyai
sedikit ma’rifah dan mereka mempunyai tabiat keras kepala,fanatic kepada apa yang
mereka telah mereka biasakan serta membelanya. Jalan yang harus kita tempuh untuk
mematahkan alasan-alasan mereka ini ialah cara berdebat yang dapat mematahkan
keruncingan mereka.Golongan ini lebih banyak dari golongan pertama walaupun mereka
bukan jumlah terbanyak dari sesuatu bangsa.
1
b. Jalan yang ditempuh Al Qur’anul Majid
Al Qur’an diturunkan Allah untuk membawa agama yang abadi lagi universal,tidak
khusus untuk suatu umat,bukan pula untuk sesuatu golongan manusia,atau sesuatu
masa.Maka kalau sekiranya petunjuk Al Qur’an merupakan petunjuk dari hasil daya akal
manusia,tentulah orang yang menampaikan Al Qur’an manghadapi kebingungan tidak
dapat mempertemukan keinginan-keinginan manusia yang beraneka ragam itu.Akan
tetapi Al Qur’an itu adalah sebagai yang diterangkan Allah sendiri.Oleh karena itu Allah
memerintahkan Rasulnya supaya dalam menyeru manusia menempuh jalan lemah
lembut,dan memperhatikan keadaan-keadaan manusia.
Thariqat Al-Qur’an dalam menerangkan dasar-dasar agama, adalah thariqat (jalan) yang
dapat dipakai untuk martabat manusia disegenap masa dan tempat. Karena dasar-dasar
ini dibina atas pokok-pokok dibawah ini:
Al Qur’an mengarahkan pembahasan akal kepada arah yang benar,yaitu dengan jalan
membuat aqidah-aqidah dan batasan-batasan Nadhar Aqli tidak akan menemukan
sesuatu dan tidak menyampaikan kepada maksud terkecuali apabila yang mengadakan
nadhar itu semata-mata mencari kebenaran dan menjauhi sebab-sebab penyelewengan.
2
c. Cara pembahasan yang ditempuh oleh ulama Salaf
Ulama Salaf menempuh jalan yang dibentang Al Qur’an. Mereka beriman kepada apa
yang didatangkan Al Qur’an dan mereka memahamkan apa yang diharapkan kepadanya.
Apabila mereka menghadapi ayat yang menimbulkan persangka tasybieh, mereka
mengimaninya dengan I’tiqad tanzih, mereka tidak berdaya upaya membahas ayat-ayat
itu dan mentakwilkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan akal. Mereka
menyerahkannya itu kepada Allah sendiri,karena demikian itu diluar kesanggupan akal.
Lantaran yang demikian itu berpautan dengan dzat Allah dan sifat-sifatnya,sedangkan
dzat Allah itu bukanlah materi dan tidak dapat dikiaskannya kepada materi.Diriwayatkan
oleh Al Hasan Al Basri dari ibunya Ummu Salamah,bahwasanya ibunya berkata dalam
mentafsirkan firman Allah: “Allah yang sangat banyak rahmatnya bersemayam diatas
‘Arasy”
Bahwa persemayaman itu bukanlah hal tak dapat diketahui kaifiatnya,bukan hal yang
dapat dipahamkan.Mengakui adanya yang demikian itu,itulah yang dikatakan iman
,sedang mengingkarinya dipandang kekafiran.
Pernah ditanyakan kepada Imam Malik tentang makna Istiwa’= persemayaman .Setelah
lama beliau tunduk dan mengeluarkan keringat,barulah mengangkat kepalanya lalu
berkata,”Persemayaman itu bukan sesuatu yang tidak diketahui sedang kaifiah bukanlah
hal yang tidak dipahamkan,mengimaninya adalah wajib sedang menanyakan tentang hal
itu adalah bid’ah.Inilah jalan yang ditempuh Asy Syafi’I,Muhammad Abdul Hasan Asy
Syaibani,Ahmad Ibnu Hambal dan lain-lain.Pendapat ini benar-benar dipertahankan oleh
segolongan ulama disetiap masa.Diantaranya:Al Imam Ibnu Taimiyah.
Ibnu Qaiyim berkata : “Orang-orang yang beriman terkadang berbeda faham dalam
menghadapi beberapa hukum.Dalam pada itu mereka tetap beriman.Para sahabat
berbeda pendapat dalam beberapa masalah,sedang para sahabat itu adalah umat yang
paling sempurna imannya.Akan tetapi,alhamdulillah mereka tidak pernah bertentangan
faham satu sama lain dalam menghadapi masalah-masalah nama Allah,perbuatan-
perbuatan Allah dan sifat-sifatny.Semua mereka menetapkan apa yang diutarakan Al
Qur’an dengan suara bulat.Mereka tidak mentakwilkannya.Mereka tidak memalingkan
pengertiannya.Seorangpun diantara mereka tidak ada yang mengatakan,bahwa ayat ini
harus kita takwil dari hakikatnya,kita ambil mana majazinya.Hanya mereka menyambut
ayat-ayat itu dengan penuh taslim.Mereka tidak menghadapinya seperti yang dihadapi
oleh pengikut-pengikut hawa nafsu dan penganut-penganut bid’ah.Ulama Salaf
menjuruskan himmah mereka kepada melaksanakan hukum-hukum Allah yang Amaliyah
atau melaksanakan tugas jihad.
3
puas dengan cara-cara berfikir yang ditempuh Ulama Salaf.Ciri-ciri mereka berbeda
dengan ciri-ciri Ulama Salaf,dengan ciri-ciri tersebut dibawah ini:
Ulama falsafah menyalahi Ulama Kalam dalam dua segi: Pertama, menurut ahli falsafah,
dalil harus didahulukan atas I’tiqad (sesuatu kepercayaan), mereka tidak mengi’tiqadi
sesuatu yang tidak dihasilkan dalil. Dalillah yang menyampaikan mereka kepada sesuatu
I’tiqad.Ulama Kalam mendahulukan I’tiqad atas dalil, karena mereka mengambil aqidah
itu dari agama, kemudian barulah berusaha mendirikan dalil bagi aqidah-aqidah itu.
Maka kedudukan ulama kalam merupakan kedudukan adpokat yang membela perkara,
sedang kedudukan filsuf merupakan kedudukan hakim.
4
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan beberapa poin berikut ini.
1. Aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’iy tsubut (pasti sumbernya)
dan dilalahnya (pasti penunjukkannya). Perkara-perkara aqidah yang ditetapkan
berdasarkan dalil-dalil yang qath’iy tsubut dan dilalahnya, misalnya; keberadaan Allah
swt, adanya malaikat, Rasul dan Nabi, Kitab Suci, hari akhir, taqdir, berakhirnya kenabian
setelah Mohammad saw wafat, orang kafir pasti masuk neraka, Islam adalah agama
paripurna, dan lain-lain. Dalam perkara-perkara semacam ini tidak boleh ada
perbedaan pendapat diantara kaum Muslim. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah
ditetapkan berdasarkan nash-nash yang qath’iy tsubut dan dilalah; sehingga tidak
membuka ruang bagi adanya interpretasi ganda. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan
pendapat dalam perkara-perkara tersebut. Siapa saja yang menyimpang dari perkara
itu, berarti telah keluar dari Islam alias kafir.
2. Jika dalil-dalilnya tidak qath’iy, baik sumber maupun dilaalahnya, dan para ‘ulama
berbeda pendapat di dalamnya, maka perkara-perkara tersebut tidak boleh
dikategorikan sebagai bagian dari perkara ‘aqidah yang bisa menjatuhkan seseorang ke
dalam kekafiran. Seseorang tidak boleh menyakini bahwa salah satu pendapat di antara
pendapat-pendapat tersebut pasti benarnya, sedangkan yang lain pasti salahnya.
Sebab, salah dalam perkara ‘aqidah akan menjatuhkan seseorang kepada kekafiran.
Perkara-perkara semacam ini tidak terkategori ushul ‘aqidah (pokok ‘aqidah), akan
tetapi dimasukkan dalam perkara furu’ al-‘aqidah (cabang aqidah) yang kaum Muslim
boleh berbeda pendapat. Contohnya, perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
melihat Allah kelak di surga, keberadaan surga yang ditempati Nabi Adam as dan surga
yang kelak akan dihuni oleh kaum Muslim, dan lain sebagainya. Masalah-masalah
seperti ini masih diperdebatkan oleh ulama-ulama kaum Muslim. Oleh karena itu, kaum
Muslim tidak boleh mengkafirkan atau menyesatkan saudaranya yang Muslim, karena
berbeda pendapat dalam masalah-masalah semacam ini.
5
4. Sejatinya, munculnya aktivitas saling menyesatkan dan mengkafirkan disebabkan
karena fanatisme madzhab yang berlebihan, serta adanya upaya sengaja yang dilakukan
oleh orang-orang kafir dan antek-anteknya untuk menyebarkan permusuhan dan
perpecahan di kalangan kaum Muslim melalui isyu-isyu khilafiyyah. Bahkan, mereka
dengan sengaja menyebarkan dan mengobarkan masalah-masalah khilafiyyah ini di
tengah-tengah kaum Muslim agar satu dengan yang lain saling bermusuhan dan tidak
mau bersatu. Oleh karena itu, kaum Muslim wajib waspada dan berhati-hati terhadap
upaya-upaya semacam ini, dan tidak menjadikan masalah-masalah khilafiyyah sebagai
lahan perpecahan dan permusuhan. Sebaliknya, kaum Muslim mesti mengembangkan
sikap toleransi (tasamuh) kepada saudara-saudaranya yang tidak sejalan dengan
pendapatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bintang.