net/publication/372510375
CITATIONS READS
0 9
4 authors, including:
Eka Handriana
Koalisi Maleh Dadi Segoro
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Eka Handriana on 22 July 2023.
II
MILA KARMILAH, EKA HANDRIANA,
SYARIFAH ATIA, UMDATIN NIHAYAH
Urip
Dioyak-Oyak
Banyu:
Perjumpaan Manusia,
Abrasi, Rob, dan
Infrastruktur di Sayung
III
Urip Dioyak-Oyak Banyu:
Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Penulis:
Mila Karmilah
Eka Handriana
Syarifah Atia
Umdatin Nihayah
Penyunting:
Bagas Yusuf Kausan
Desain Sampul:
Gumpnhell
Penata Letak:
Dinijari
Penerbit:
Mata Kata Inspirasi
Email: matakatainspirasi@gmail.com
www.matakatainspirasi.id
IV
PENGANTAR: PERJUMPAAN DAN KEKALAHAN?
Prof. Ir. Sudaryono Sastrosasmito, M.Eng., Ph.D.
(Guru Besar Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada)
V
saya mengambil posisi sebagai “juru gosok”. Artinya, temuan-temuan lokal
substantif, unik, dan yang telah menjadi harta karun dari pesisir Sayung, sangat
penting ditonjolkan dan dibahas kembali secara kritis dalam pengantar ini.
1. Tentang Kekalahan
Secara kultural, etos kerja dan mata pencaharian warga Sayung ialah petani.
Perjumpaan warga Sayung dengan abrasi telah membuat mereka gagap, baik
secara eksistensi maupun substansi. Abrasi telah membetot masyarakat Sayung
turun dari eksistensinya di digit-1 sebagai petani yang otonom, menjadi digit-
2 berupa buruh tani, buruh industri, buruh bangunan, atau pemilik warung.
Bahkan eksistensinya terus merosot ke digit-3 yakni sebagai pemulung plastik
dan sampah-sampah laut, yang dapat diubah menjadi benda bernilai ekonomi.
Di daerah Sayung, bagi orang yang punya nyali dan sedikit etos kelautan,
mereka biasa mengais penghasilan dari kerang darah di pinggiran laut. Kalau
punya nyali lebih besar lagi, bisa makin maju ke laut untuk mendapat kerang
hijau yang bernilai jual lebih tinggi. Semua dilakukan dengan tangan kosong,
tanpa alat bantu teknologi yang memadai. Perjumpaan semacam itu tidak
membawa perubahan vertikal ke arah kelas menengah, karena mereka seakan
dikunci dalam status sosial ekonominya lewat alat produksi yang sederhana.
Karena itu, tidak ada transformasi ke tingkat masyarakat kapitalis kelautan.
Mereka, warga Sayung, hanya sekadar diantar menjadi buruh kelautan.
Penggunaan alat produksi agak canggih adalah bambu-bambu pembatas bekas
tambak yang kini tidak lagi digunakan. Di bambu-bambu itu pula kerang hijau
bermukim untuk menunggu perjumpaan dengan mantan petani yang beruntung.
Bagi yang sedikit beruntung, mereka bisa mengalami pergerakan ke atas
sebagai “juragan kecil” (petit bourgeois) atau pengumpul (kolektor) kerang
hijau. Barangkali inilah puncak karir mereka dalam konteks sosial-ekonomi
kelautan di pesisir Sayung. Pada kedudukan ini, posisi mereka bisa sangat
VI
superior, karena akan didatangi oleh para “petani-nelayan” untuk menyetor
kerang hijau. Juragan kecil tidak datang merengek kepada “petani-nelayan”
agar kerang mereka dijual kepadanya. Secara sosiologis, posisi juragan kecil
gagah sekali. Posisi yang sangat penting dalam mata rantai alur perdagangan
kerang hijau, karena posisi ini akan merangkai mata rantai berikutnya.
Namun dari posisi tawar harga kerang, keadaanya sangat berbeda. Pihak
yang menjadi “bos transaksi” justru si pengepul besar atau pedagang
berikutnya. Sebab yang menentukan harga adalah si pengepul besar, bukan si
juragan kecil. Mereka, si pengepul besar, selalu siap dengan todongan harga;
ibarat senjata tajam yang selalu ditodongkan kepada para pengumpul kerang
(bondho opo nyowo, kerang tak jupuk kanti rega sakkarepku, milih duwit
opo milih ngelih, gelem sakmene ora gelem yo wis, nek ora gelem aku bisa
golek liyane sing gelem manut karo rega tabelku iki). Perjumpaan tanpa
kesetaraan, tanpa keadilan, melahirkan tekanan halus yang selalu mengalahkan
masyarakat Sayung. Mereka tidak hanya dikalahkan abrasi laut saja, tetapi juga
oleh struktur sosial di atasnya. Mereka “ditekan” lalu “dikunci” hidupnya dalam
lingkaran hidup yang tak berpilihan.
Secara spasial, perjumpaan warga Sayung dengan rob telah memerosotkan
nilai lahan yang secara historis menjadi daya hidup mereka. Ketika lahan sawah
berjumpa, dan kemudian terjadi kawin paksa dengan air laut, maka lahir anak
kandung bernama “tambak”. Namun tambak tidak berusia panjang, karena
volume genangan air laut dari hari ke hari meningkat dan membuat tambak
kehilangan pematang. Alhasil tambak tidak bisa digunakan lagi atau tidak bisa
diakses untuk kegiatan pengelolaan dan pemeliharaan. Dengan demikian, sawah
tidak dapat ditanami dan bekas tambak juga tidak dapat menghasilkan produk-
produk kelautan yang punya nilai ekonomi.
Rob mengalahkan warga Sayung dalam hal silaturahmi spasial. Jembatan
putus, telah memaksa warga Sayung berjalan memutar sekitar 10 kilometer
untuk dapat melakukan perjumpaan-perjumpaan sosial dan pelayanan publik.
Abrasi dan banjir rob memutus silaturahmi anak-anak sekolah dasar dengan
sekolahnya. Memutus jaringan eksistensi dan keterhubungan warga dengan
ruang spiritualnya berupa masjid. Lengkap sudah kekalahan warga Sayung oleh
abrasi, rob, dan struktur sosial yang menggelayut di sekitarnya. Rob menguras
secara sia-sia sumber daya institusi lain yang bahkan tidak ada kaitan langsung
dengan masyarakat setempat. Kesia-siaan ini tercermin dari proyek amal yang
dijalankan suatu lembaga militer dalam rangka program pengabdian kepada
masyarakat berupa peninggian jalan setebal 0.6 meter. Namun hanya dalam
waktu 19 bulan saja, jalan tersebut telah kembali terampas dan tenggelam.
VII
Kisah Suwarni dari Dukuh Mondoliko mungkin akan “memperperih” dan
“memperparah” gambaran kekalahan warga Sayung. Sepanjang jalan saat
berangkat kerja menuju kantornya di Semarang, dia selalu menangis karena
harus melintasi jalan yang tertutup rob. Hidup Suwarni terkunci: mau pindah
tak punya kekuatan finansial, sedangkan tetap tinggal di situ penuh tangis dan
penderitaan. Tentu saja ketika masuk kantor di Semarang, pakaian Suwarni
harus rapi dan dia tidak boleh menyisakan sembab di mata karena menangis.
Karena itu, setiap hari dia harus memiliki dua wajah: wajah bersemangat untuk
disajikan di hadapan rekan atau atasan kantor dan wajah kusut murung sebagai
wajah sesungguhnya.
Ketika perjalanan pulang dari kantor, bisa dibayangkan bahwa perasaan
galau dan perih nyaris selalu menyertai Suwarni. Mungkin saja dia berpikir
untuk tidak pulang, tapi tidak ada pula tempat pulang lain selain ke Mondoliko.
Rumahnya di Mondoliko adalah rumah satu-satunya. Namun dengan pulang ke
rumah, maka kepedihan dan penderitaan yang dia rasakan bakal terus terulang.
Banjir rob telah menciptakan dua wajah bagi Suwarni: wajah penderitaan di
satu sisi dan wajah fighter di tempat kerja—meski penghasilan yang diterima
hanya cukup mengunci hidupnya pada posisi seperti saat ini—di sisi lainnya.
Suwarni terkunci dalam rutinitas sehari-hari dan sulit menggerakkan diri untuk
melompat dari kubangan rob. Dengan kata lain, sukar bagi Suwarni melakukan
mobilitas vertikal ke arah status sosial ekonomi yang lebih baik.
VIII
air laut. Atau dalam bahasa Jawa, ”ajak-ajak ambles bareng, seperti tokoh
pewayangan Ontorejo ambles bumi”.
Episode berikutnya sudah bisa ditebak. Warga Sayung yang tidak mampu
bertahan dan mempertahankan diri dalam kecipuk air laut, dengan berat hati,
harus meninggalkan hunian lengkap beserta kenangan yang terukir di benak
mereka. Sebagian pergi dengan mengantongi sertifikat “hak milik tanah”, tetapi
“minus” kemampuan pemanfaatan. Ini adalah titik awal yang mengubah Sayung
menjadi panggung ajang tari-tarian riuh kapitalisme besar. Kawasan Sayung,
ternyata telah dinantikan sebagai sasaran bidik kapitalisme dan para spekulan
tanah. Lahan-lahan yang telah ditinggalkan warga, ditawar dan dibeli dengan
harga yang tidak pantas—baik secara etis apalagi ekonomis (dua ribu sampai
tujuh ribu per meter persegi). Di tangan para kapitalis besar, lahan-lahan warga
yang punya nilai “kenangan” telah diubah menjadi “alat produksi” dan/atau
“alat tukar” yang punya nilai ekonomi berlipat-lipat lebih banyak.
Para kapitalis besar memeroleh alat produksi (tanah) dengan sangat murah
di Sayung. Tentu saja, ketika lahan-lahan tersebut sudah ditimbun dan diubah
menjadi lahan industri dan/atau komersial lainnya, maka harganya akan berlipat
ganda. Dengan kata lain, bencana rob yang diderita warga Sayung, ternyata
telah menjadi barokah bagi para kapitalis dan pemilik modal besar. Kalau luas
lahan yang didapat pemilik modal dengan harga yang tidak patut itu mencapai
900 hektar, bisa dibayangkan kelak berapa rupiah atau dollar keuntungan yang
bakal diraih setelah menjadi area komersial dan industri? Smart and cool.
IX
memberikan bantuan daya hidup bagi warga yang memutuskan tetap tinggal
di sana. Dengan kata lain, kematian ruang dan penghidupan warga akibat abrasi
dan rob, melahirkan pula daya hidup baru bagi warga. Bencana rob adalah
aset dan alat produksi baru untuk menjadi jembatan rejeki bagi mereka. Banjir
rob telah mengundang pundi-pundi harta karun untuk datang dan hadir sendiri
menyapa masyarakat Sayung.
Kehadiran perspektif baru tersebut, menyingkap keunikan Sayung tentang
“relativitas antara mati dan hidup”. Sayung telah dibunuh dan mati oleh abrasi
dan rob, tetapi Sayung juga dihidupkan dan diberdayakan oleh abrasi dan rob.
Hidup dan mati adalah satu keping uang yang sama bagi warga Sayung yang
masih tinggal di sana. Ini adalah ajaran dan warisan “filsafat empiris-ekologis”
warga Sayung untuk dunia. Sebagai guru, Sayung mengajarkan bahwa tidak
ada sesuatu menyangkut materi dan ruang bersifat absolut. Di antara bencana
dan barokah, mati dan hidup, adalah kesatuan dan tidak dapat dibuat dikotomis.
Mirip dengan apa yang diajarkan Gempa Jogja 2006 dan Erupsi Merapi 2010.
Kategori kedua, menggambarkan mereka yang membangun cara pandang
baru. Mereka mengubah air dari “penenggelam kehidupan”, jadi ruang hidup
dan alat produksi baru dalam sistem ekonomi berbasis “sumber daya air”.
Selain produk-produk sumber daya air seperti ikan, kerang, dan udang, tata
ruang air juga telah menjadi lahan baru bagi pertanian mangrove. Tata ruang
keairan telah menjadi alat produksi baru dalam menghasilkan olahan mangrove
berupa makanan dan minuman yang dijual melalui jejaring pemasaran mereka
sendiri. Mangrove telah menyeret mereka ke dalam sejarah baru pembentukan
lingkaran jaringan LSM lingkungan hidup, mahasiswa, akademisi, dan jaringan
pemasaran hasil produk olahan mangrove.
Satu hal yang sangat mengejutkan dan tak terduga berikutnya di Sayung
adalah tentang terbangunnya jaringan alam baru. Jaringan tersebut berupa
jaringan burung-burung besar, burung-burung kecil, dan burung-burung
berwarna warni yang berdatangan mengelilingi ruang hidup yang sepi dan
hening. Mereka, burung-burung yang hadir dan menyapa itu, telah membangun
puisi-puisi baru nan indah. Puisi-puisi itu dipersembahkan kepada warga
Sayung yang masih tinggal di sana. Salah satu kata-kata puitis dari burung-
burung tersebut adalah ”Do not worry gues, … we raise you up, you are strong
when you are on our shoulder”. Mereka telah menjadi pahlawan lingkungan
dan sekaligus keluarga. Bencana telah diubah menjadi barokah dan tangga
mobilitas vertikal sosial ekonomi yang luar biasa.
X
4. Kekalahan yang Melahirkan Kreatifitas
Sayung bukan sebuah ruang kosong. Ketika ditutup air rob, Sayung telah
menjelmakan dirinya menjadi ruang bagi terjadinya perjumpaan-perjumpaan
yang sangat kaya dan beragam. Namun uniknya Sayung tidak sekadar membuka
diri menjadi ruang perjumpaan saja, tetapi sekaligus “sebuah perjalanan”. Suatu
perjalanan yang kita tidak tahu dan masih menjadi misteri di mana letak terminal akhirnya.
Buku ini menunjukkan aneka bentuk perjalanan dan perjumpaan di Sayung.
Dari buku ini, tampak bahwa Sayung adalah suatu kuala yang menyimpan harta
karun fenomena, peristiwa, pengetahuan, topik, dan sekaligus tema yang sangat
luar biasa. Sayung telah mengundang secara terbuka setiap peneliti dari bidang
apapun dan dari kampus atau lembaga manapun. Peneliti dapat mengangkat
teori apa saja dengan berangkat dari hasil belajar memahami Sayung. Sayung
tak ubahnya seperti sosok begawan yang siap berkisah apapun kepada para
cantrik yang datang dan bertanya kepadanya.
XI
Para kapitalis yang menindas warga Sayung telah menabuh genderang
teater raksasa. Kini genderang itu masih bergema dan mengisyaratkan bahwa
pertunjukan besar sedang berjalan. Sebuah teater sedang berpentas di atas
panggung dengan kapasitas luar biasa, untuk mengubah Sayung menjadi ruang
produksi raksasa berupa industri dan pergudangan besar. Pertanyaannya,
bagaimana nasib dan peran warga Sayung yang masih tersisa? Apakah mereka
menjadi bagian dari labour production bagi raksasa-raksasa kapitalis di sana?
Apakah mereka akan terpental dan tersingkir semakin jauh dari desanya? Atau
apakah akan muncul bentuk-bentuk adaptasi baru warga Sayung?
Nampaknya, Sayung yang kita saksikan hari ini bukan suatu halaman akhir
dari buku besar berjudul Sayung. Pada halaman-halaman berikutnya, Sayung
tetap akan selalu punya kisah-kisah baru. Sayung adalah sebuah panggung yang
selalu siap menampilkan segala skenario dan aktor. Dan buku ini menjadi sangat
penting, karena telah membuka celah dari tirai tebal Sayung sehingga kita
dapat mengintip pertunjukan besar apa yang telah dan/atau sedang
berpanggung di altar teater raksasa pesisir Sayung itu.
Daftar Rujukan
Charon, JOEL M. (1989, 1985, 1979). Symbolic Interactionism: An Introduction, An
Interpretation, An Integration, A Division of Simon & Schuster, Englewood Cliffs,
New Jersey 07632.
Husserl, Edmund. (1964). The Phenomenology of Internal Time Consciousness,
translated from Germany Edition (1905) by Churchill, James S (1964), Indiana
University Press.
Husserl, Edmund. (1965). Phenomenology and the Crisis of Philosophy, translated from
Germany Edition (1905) by Laurer, Quentin (1965), Harper Torchbooks, New York.
Husserl, Edmund. (1970). The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology: An Introduction to Phenomenological Philosophy, translated
from Germany Edition (1954) by Carr, David (1970), Northwestern University Press,
Evanston.
Sudaryono. (2012). “Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru dalam Perencanaan Kota
dan Permukiman”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, disampaikan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada pada tanggal 8 Maret 2012 di Yogyakarta.
XII
PENGANTAR PENULIS
XIII
disebutkan satu per satu di sini. Kemudian secara khusus, Eka Handriana juga
menyampaikan terima kasih kepada tim kerja buku “Banjir Sudah Naik Seleher”:
kepada Bosman Batubara untuk segala gagasan, dorongan, diskusi, dukungan sumber
bacaan, dan kerja lapangan; kepada Bagas Yusuf Kausan untuk diskusi, dukungan
kerja lapangan, kesediaan untuk menyunting naskah buku ini, serta bantuan-
bantuan teknis lain; kepada Syukron Salam dan Umi Ma’rufah untuk motivasi
dan kesediaan berdiskusi; dan juga kepada Dwi Cipta atas dukungan kerja lapangan
dan kesediaan mendiskusikan sumber-sumber bacaan. Pada kesempatan ini, Syarifah
Atia dan Umdatin Nihayah juga berterima kasih kepada rekan-rekan tim survei
yakni Ardian Aji W, Rizki Binar P, Nandita Agung Budi W, Betty Listyaningrum,
dan Ulfi Maulana.
Terakhir, namun tidak kalah penting, Tim Penulis mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan buku dari mulai
proses meriset, menulis, sampai kemudian terbit. Jika ada yang luput kami
sebutkan dalam lembaran ini, kami memohon maaf. Selamat membaca.
XIV
DAFTAR ISI
V Pengantar: Perjumpaan dan Kekalahan?
XIII Pengantar Penulis
XVI Daftar Isi
XVIII Daftar Gambar
XXI Daftar Tabel
1 Pendahuluan
7 1. Perjumpaan
10 2. Kapital-hidup dan Komoditas-hidup
11 3. Nilai Perjumpaan
13 4. Perjumpaan Asimetris
17 5. Ekofeminisme, Tanggung Jawab yang Sopan
83 1. Sebelum Abrasi
98 2. Sejak Abrasi Bermula hingga Saat Ini
XV
133 Perjumpaan IV : Pengisapan terhadap Manusia dan Non Manusia
XVI
DAFTAR GAMBAR
21 Gambar 1: Peta administrasi Kecamatan Sayung.
29 Gambar 2: Suasana Kampung Rejosari sebelum tenggelam.
51 Gambar 3: Peta Sebaran Banjir Rob di Pesisir Semarang-Demak.
52 Gambar 4: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
1985.
53 Gambar 5: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
2003.
54 Gambar 6: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
2012.
55 Gambar 7: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
2022.
56 Gambar 8: Banjir di Desa Sriwulan dan antrean air bersih di tengah
banjir Desa Sriwulan.
60 Gambar 9: Permukiman yang terendam rob di Desa Bedono dan
banjir rob di Desa Sriwulan.
62 Gambar 10: Kondisi rumah di Rejosari Senik sudah tidak berpenghuni.
66 Gambar 11: Perahu sebagai alat transportasi di Dukuh Rejosari Senik.
69 Gambar 12: Kondisi burung-burung yang hidup di hutan mangrove
Senik.
70 Gambar 13: Teh mangrove sebelum dan setelah dikemas.
70 Gambar 14: Kondisi mangrove di Dukuh Rejosari Senik.
71 Gambar 15: Rumah gladak di Dukuh Timbulsloko.
72 Gambar 16: Jembatan/jalan kayu di Dukuh Timbulsloko.
73 Gambar 17: Infrastruktur Pamsimas di Dukuh Timbulsloko.
74 Gambar 18: Warga mencari kerang liar di Dukuh Timbulsloko.
76 Gambar 19: Kondisi rob di permukiman Desa Timbulsloko.
77 Gambar 20: Peta perubahan pesisir Kecamatan Sayung dari tahun
1985-2022.
XVII
78 Gambar 21: Pekerja mengangkut buis beton yang digunakan untuk
membangun sabuk pantai di Desa Timbulsloko.
79 Gambar 22: Peta ketinggian banjir hujan dan banjir rob di wilayah
pesisir Kecamatan Sayung.
81 Gambar 23: Posisi Kecamatan Sayung berada di arah timur laut Pantai
Marina dan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
96 Gambar 24: Letak Sungai Babon yang mengalir dari kawasan industri
di Kaligawe (Kota Semarang) menuju Desa Sriwulan
102 Gambar 25: Letak PT Arkof, di mana lahan di seberangnya (berbatas
jalan) ditawarkan sebagai Kawasan Industri Demak.
104 Gambar 26: Peta rencana Kawasan Industri Demak di Desa
Sidogemah, Desa Bedono, dan Desa Purwosari.
105 Gambar 27: Posisi lokasi industri di Sidogemah yang ditawarkan
Bumimas Group terhadap pelabuhan, bangunan pabrik,
dan gudang yang sudah lebih dulu eksis.
107 Gambar 28: Posisi kawasan industri di Sidogemah yang ditawarkan
Bumimas Group terhadap sungai.
108 Gambar 29: Letak JIPS terhadap Makam Syekh Mudzakir yang kini jadi
titik paling ujung di Kampung Tambaksari, Desa Bedono.
123 Gambar 30: Pembagian seksi pengerjaan proyek TTLSD.
125 Gambar 31: Perubahan desain di bawah timbunan setelah serangkaian
pengujian.
126 Gambar 32: Paket insfrastruktur TTLSD Seksi I.
129 Gambar 33: Tangkapan layar percakapan warganet tentang dampak
proyek pembangunan TTLSD.
130 Gambar 34: Aliran sungai yang darinya pasang air laut mengalir masuk
dan meluber ke daratan.
133 Gambar 35: Bedol desa penduduk Kampung Tambaksari (A) ke
Kampung Tambaksari Baru (B) berlangsung pada 2000.
136 Gambar 36: Jalan keluar masuk Kampung Mondoliko, difoto pada
2018.
XVIII
137 Gambar 37: Tambak di Kampung Timbulsloko, Desa Timbulsloko.
141 Gambar 38: Murid-murid dan para buruh dari Kampung Timbulsloko
berangkat menuju sekolah dan tempat kerja secara
bergiliran menggunakan perahu.
142 Gambar 39: Akses menuju Dukuh Timbulsloko dengan cara jalan kaki.
Akses menuju Dukuh Timbulsloko menggunakan perahu.
146 Gambar 40: Perjanjian antara warga Gemulak dengan pemerintah.
148 Gambar 41: Kondisi Pemukiman di Dukuh Timbulsloko.
151 Gambar 42: Gambar Peta Kurva TTLSD.
155 Gambar 43: Deretan pabrik-pabrik di tepi Jalan Raya Semarang-
Demak (jalan nasional) di Sayung.
172 Gambar 44: Gedung Sekolah Dasar yang rusak di Desa Bedono.
XIX
DAFTAR TABEL
39 Tabel 1: Tiga pasar utama udang di dunia.
44 Tabel 2: Perubahan Luas Tambak di Kecamatan Sayung 1990-
2000.
47 Tabel 3: Ekspor udang windu pada 1980an ke berbagai negara.
80 Tabel 4: Aneka perbedaan yang muncul di ketiga desa pesisir di
Kecamatan Sayung.
92 Tabel 5: Daftar sebagian pabrik yang ada di Sayung, terutama
yang beralamat di Jalan Raya Semarang-Demak.
109 Tabel 6: Kawasan peruntukan industri di Kabupaten Demak.
112 Tabel 7: Tahapan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas
Semarang 2012-2031.
XX
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
PENDAHULUAN
1
Salah satu masjid tertua di Indonesia.
2
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak ; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
3
Wawancara dengan Patlikur, warga Dukuh Morosari, Desa Bedono pada 6 April 2022.
1
Pendahuluan
perairan Laut Jawa.4 Di sana, dari kejauhan, kami melihat lelaki paruh baya
sedang mencari ikan. Ketika mendekat, kami melihat tangan lelaki itu mengorek
lumpur di antara batu memakai potongan bilah bambu usang. Dua botol bekas
pengemas minuman berukuran 1,5 liter yang dimodifikasi menjadi kepis,5 dengan
mulut botol menghadap ke dalam, ada di sampingnya. Di dalam botol sudah
ada hasil tangkapan; ikan gelodok, udang, dan kepiting muda seukuran setengah
telapak tangan. Dalam perjumpaan itu kami bercakap-cakap.
Lelaki itu bernama Telungpuluhlimo. Mencari ikan, kepiting, udang, atau
apapun yang bisa ditemui merupakan kebiasaan lelaki itu sejak kecil. Tidak
untuk dia jual, melainkan untuk diolah di rumah sebagai lauk makan bagi
keluarganya. “Ini kan sumber protein gratis, tidak usah beli,” begitu katanya.
Telungpuluhlimo tinggal di Terboyo Wetan, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
Jika ditarik garis lurus ke arah timur laut, jarak rumah Telungpuluhlimo di
Terboyo Wetan dengan jembatan pedot hanya empat kilometer. Pada dekade
1990-an, untuk mencapai jembatan pedot, Telungpuluhlimo cukup berjalan kaki
atau naik sepeda persis ke arah timur laut sejauh kurang lebih empat kilometer
melewati jalan kampung di Kelurahan Trimulyo (Kota Semarang) dan Dukuh
Nyangkringan (Kabupaten Demak).
Lain dulu, lain pula dengan sekarang. Oleh karena jembatan telah terputus,
kini Telungpuluhlimo harus memutar jauh jika hendak ke jembatan pedot. Kini,
dari rumah, Telungpuluhlimo perlu mengarah ke selatan menuju jalan nasional
(Jalan Raya Semarang-Demak) terlebih dahulu. Kemudian Telungpuluhlimo
perlu berkendara ke arah timur di sela bus-bus besar hingga truk pengangkut
container di jalanan Pantura (Pantai Utara). Setelah perbatasan Semarang-
Demak, yang disebut Bates, Telungpuluhlimo harus berbelok ke utara, lalu ke
barat, untuk sampai di Jembatan pedot. Kini total jarak yang harus ditempuh
Telungpuluhlimo menjadi sekitar 10 kilometer. Perubahan yang dialami
Telungpuluhlimo baru satu contoh. Selain Telungpuluhlimo, masih ada ribuan
warga lain yang sama-sama mengalami perubahan kehidupan dan penghidupan
di ujung utara Kecamatan Sayung.
Riyana Damayanti (2019) menggolongkan bagian Kecamatan Sayung yang
berbatasan dengan pantai dengan sebutan “desa pantai Sayung.” Daerah itu
meliputi Desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, dan Surodadi. Selain itu, dahulu
ada pula desa-desa yang termasuk “desa bukan pantai”. Misalnya Desa Dombo,
4
Pada pertengahan Mei 2022, Dwi Cipta, salah satu dari kami, kembali ke Tonosari dan mendapati
jalan menuju jembatan pedot tidak lagi tampak karena terendam air laut.
5
Tempat menyimpan ikan hasil memancing, biasanya terbuat dari anyaman bambu atau rotan.
2
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
6
Damayanti R. Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
dalam Pusaran Abrasi dan Industrialisasi Tahun 1990-2010. Skripsi. Universitas Diponegoro; 2019.
7
Damayanti menggolongkan Desa Purwosari dan Sidogemah sebagai “desa bukan pantai” berbasis pertanian.
8
Damayanti R. Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
dalam Pusaran Abrasi dan Industrialisasi Tahun 1990-2010. Skripsi. Universitas Diponegoro; 2019.
3
Pendahuluan
Perjumpaan kami dengan kedua orang itu merupakan bagian dari proses kami
menghimpun cerita perubahan dari utara Sayung.
Perubahan yang dimaksud meliputi perubahan spasial dan kehidupan
seluruh makhluk hidup di dalamnya; ikan, udang, bakau, dan manusia. Atau,
dengan kata lain, perubahan-perubahan yang mengandung relasi antara
manusia dengan non-manusia dan antar sesama manusia dalam sebuah ruang
spasial bernama pesisir Sayung. Aneka cerita perubahan itu pula yang kami
himpun, lalu kami tulis menjadi buku. Dalam proses itu, kami berusaha mencatat
apa dan siapa saja yang mengalami perubahan; kapan dan sejak kapan perubahan
berlangsung; di mana dan dari mana datangnya perubahan tersebut; serta
bagaimana perubahan itu terjadi.
Kami menghimpun cerita perubahan dari serangkaian proses perjumpaan
dan percakapan dengan warga Bedono, Purwosari, Sidogemah, Sriwulan, dan
Timbulsloko. Selain itu, kami juga banyak menggunakan berbagai informasi
yang tertera di jurnal penelitian dan media massa. Pada saat melakukan proses
wawancara, seluruh penulis buku ikut terlibat dan dibantu oleh beberapa
pewawancara lain. Misalnya, sejak Februari sampai November 2021, ada Rizky
Binar Patria, Nandita Agung Budi Wicaksono, Betty Listyaningrum, Hasti
Widyasamratri, Boby Rahman, Roni Triseptian, dan Ardian Aji Wirawan yang
melakukan wawancara. Kemudian sejak Januari sampai Juli 2022, giliran
pewawancara lain, Dwi Cipta yang melakukan wawancara.
Sebagian besar nama responden atau interlokutor (teman bercakap-cakap)
yang kami wawancarai, terutama narasumber yang merupakan penduduk di
desa-desa pesisir Kecamatan Sayung, kami tuliskan dengan nama samaran. Hal
itu ditujukan untuk, pertama, mematuhi etika relasional dalam penelitian dan
penulisan buku ini. Kedua, untuk menjaga dan berhati-hati supaya setidaknya
penulisan buku ini tidak menimbulkan kerugian pada diri narasumber. Meski
demikian, dalam upaya tersebut, kami berusaha untuk tidak mereduksi atau
tetap menjaga isi pesan yang disampaikan. Semoga tujuan tersebut tercapai.
4
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Judul Penulis
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang Eka Handriana
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang,
Syarifah Atia dan Umdatin Nihayah
Rumah Ambles
Eka Handriana, Umdatin Nihayah, dan Syarifah
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Atia
Perjumpaan IV: Pengisapan terhadap Manusia dan
Mila Karmilah
Non-Manusia
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung
Mila Karmilah, Eka Handriana
dengan Sopan
5
Pendahuluan
6
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
“Jika aku bercerita tentang gold rush9 dan Civil War10, maka
barangkali dapat kuingat pula kisah di balik itu, tentang anjing-anjing
beserta orang-orangnya — cerita tentang imigrasi, keaslian,
pekerjaan, harapan, cinta, permainan, dan kemungkinan hidup
bersama dengan menimbang ulang kekuasaan dan perkembangan
natur-kultur secara ekologis.”
1. Per jumpaa n
Perjumpaan, menurut feminis Donna Haraway (2008), membentuk natur-
kultur (keterikatan tidak terpisahkan antara budaya manusia dengan lingkungan
alam sekitarnya) dari mereka yang berjumpa. Sepanjang waktu, perjumpaan
bakal mengikat hubungan timbal-balik antarspesies yang saling mempengaruhi,
membentuk, dalam sebuah kehidupan bersama yang kompleks.
Lebih spesifik, Barua (2016) menyebut domestikasi juga bentuk perjumpaan
(encounter) dua arah yang saling memengaruhi. Dalam konteks itu, Barua
menggarisbawahi frasa dua-arah-yang-saling-memengaruhi. Tampaknya, hal
itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa peran subyek dan objek bukan sesuatu
yang pasti dan tetap. Dengan kata lain, manusia tidak senantiasa berperan
sebagai subyek dan non-manusia tidak selalu menjadi objek.12
Misalnya saja pada kasus perjumpaan manusia dengan anjing seperti uraian
Haraway (2008). Sebelum didomestikasi, anjing bukan bagian dari lingkungan
yang bergantung pada manusia. Anjing memiliki kehidupannya sendiri dan telah
menjalani berbagai macam peran. Dengan kata lain, anjing bukan makhluk
9
Demam emas. Peristiwa penemuan emas atau kandungan emas itu telah membuat banyak orang
dari berbagai penjuru negara berbondong-bondong berebut menambang emas di suatu tempat.
Misalnya saja demam gold rush Australia pada 1823, gold rush California pada 1848, dan gold rush
Afrika Selatan pada 1883.
10
Perang saudara di Amerika Serikat yang bermula pada 1861. Perang tersebut terjadi setelah beberapa
dekade muncul ketegangan antara negara bagian utara dengan bagian selatan. Terutama mengenai
persoalan perbudakan, hak negara bagian, dan ekspansi ke barat.
11
Haraway DJ. When Species Meet. University of Minnesota Press; 2008.
12
Barua M. Encounter. Environmental Humanities. 2016; 7 (1): 265–270. Doi: https://doi.org/10.1215/22011919-
3616479.
7
Bermula dari Perjumpaan
8
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
9
Bermula dari Perjumpaan
13
Haraway DJ. When Species Meet. University of Minnesota Press; 2008.
14
Marx K. Das Kapital Volume 1. Hasta Mitra; 2007.
10
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Barua (2017) memberi contoh kasus lain: singa sebagai kapital-hidup.15 Singa
bekerja seharian sebagai suatu tontonan di dalam kerangkeng sebuah wahana
ekowisata di daratan India. Menurut Barua, sebagai kapital-hidup, singa tidak
menghasilkan nilai guna dari kerjanya tersebut. Karena itu, kerja singa tidak
seperti kerja manusia yang merupakan kapital variabel.
Namun sebagai kapital-hidup, singa mengandung asal-usul produksinya
sendiri. Hal itulah yang menjadi syarat bagi akumulasi kapital. Pada saat yang
sama, pesona singa menjadi komoditas untuk ditonton pengunjung ekowisata.
Lebih spesifik, Barua menyebutnya sebagai lively commodity (komoditas-hidup).
Nilai komoditas-hidup itu berasal dari statusnya sebagai “makhluk hidup” pada
era di mana kehidupan itu sendiri telah menjadi lokus akumulasi para kapitalis.
Barua melacak bagaimana komoditas-hidup dan kapital-hidup memengaruhi
akumulasi. Namun bukan semata sebagai bahan mentah (raw material) pasif,
melainkan memiliki peran aktif dalam rangkaian ekonomi-politik. Pendapat
Barua membuka kemungkinan untuk lebih maju berpikir; alam bukan semata
bahan mentah pasif. Alam bukan semata hasil kerja lampau manusia yang secara
maskulin dapat begitu saja dipelihara, dipetakan, atau diekploitasi. Dalam
konteks ini, Barua mengajukan tiga konsep relasional untuk memahami potensi
ekonomi politik dalam komoditas-hidup: kerja non-manusia, nilai perjumpaan, dan
akumulasi spektakuler.
15
Barua M. Nonhuman labour, encounter value, spectacular accumulation: the geographies of a lively
commodity. Transactions of the Institute of British Geographers. 2017; 42 (2): 274-288. Doi:
https://doi.org/10.1111/tran.12170.
11
Bermula dari Perjumpaan
bercerai dari alat-alat produksinya. Apabila manusia tidak lagi memiliki alat
produksi, maka yang dapat digunakan untuk bertahan hidup hanya tenaga.
Sebagai contoh adalah para petani yang dirampas tanahnya. Karena tidak
lagi punya tanah (alat produksi), para petani hanya dapat menjual tenaga untuk
menjadi buruh pabrik—kapital variabel. Buruh menciptakan nilai lebih (surplus
value) yang terkandung dalam komoditas keluaran pabrik. Rumusan Karl Marx
tentang produksi kapitalis bertumpu pada tenaga kerja (buruh) manusia sebagai
pencipta nilai lebih (surplus value) yang kelak bertransformasi menjadi laba.
Sebagai bagian dari proses pembentukan nilai, Barua mengajukan kerangka
pendukung untuk rumusan ekonomi-politik Karl Marx. Menurut Barua, bentuk
akumulasi primitif bukan semata pemisahan manusia dari alat produksi.
Pemisahan non-manusia dari cara hidup subsisten pun adalah bentuk akumulasi
primitif. Begitu pula dengan mengerangkeng hewan (non-manusia) sehingga
terlepas dari ikatan reproduktif dan ekologisnya. Dengan demikian, akumulasi
primitif menjadi alat penting untuk mengubah “seluruh isi dunia” (bukan saja
menyangkut kerja manusia) menjadi komoditas—tempat di mana nilai lebih terkandung.
Apabila konsepsi Barua tersebut diterima, maka dalam ekonomi kapitalisme
kontemporer, aktivitas produktif menjadi tidak terbatas semata-mata pada
kerja manusia dalam produksi komoditas. Kerja manusia hanya menjadi salah
satu bagian saja, di samping kerja-kerja non-manusia. Misalnya dalam aktivitas
produktif di sebuah peternakan lebah.
Kerja manusia dalam peternakan lebah hanya salah satu bagian dari proses
produksi madu. Pada bagian lain, ada lebah-lebah (non-manusia) yang ikut
berkontribusi dalam proses produksi. Namun, kerja lebah bukan untuk menciptakan
nilai guna sosial. Karena itu, berbeda dengan kerja manusia (buruh) saat
membuat komoditi yang bernilai guna bagi orang lain dan dapat dipertukarkan.
Kerja non-manusia dalam konsepsi kapital-hidup (anjing, singa, lebah, dan
gandum) sangat berbeda dengan kerja buruh (manusia) sebagai kapital variabel.
Misalnya di sebuah pabrik madu, buruh (manusia) memang diupah untuk
memproduksi madu kemasan yang dapat dikonsumsi orang lain. Sedangkan
dalam siklus produksi, reproduksi, dan subsistensi lebah, dia tidak bermaksud
memproduksi madu untuk dapat dikonsumsi manusia. Dengan demikian, kerja
kapital-hidup merupakan kegunaan yang secara historis memang dipupuk oleh
aktivitas non-manusia itu sendiri. Baru setelah adanya perjumpaan (manusia
dengan non-manusia), kegunaan kapital-hidup menjadi seolah-olah memang untuk
manusia. Nilai perjumpaan manusia dan non-manusia itu pula yang kelak dipertukarkan.
Nilai perjumpaan mengandung hubungan historis yang spesifik dari kapital-
hidup. Barua memandang hal itu sebagai bentuk perjumpaan produktif dalam
12
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
hubungan antara manusia dengan kekuatan yang bukan milik manusia.16 Dengan
demikian, nilai perjumpaan yang (1) melibatkan kerja etologis organisme non-
manusia; dan (2) mengandung aktivitas produktif, perlu dipertimbangkan dalam
setiap proses pembentukan nilai. Dengan memperhitungkan nilai perjumpaan,
Haraway bertujuan untuk membuat lebih maju karakterisasi hubungan
antarsubyek spesies biologis yang berbeda dalam konteks kapital-hidup yang
spesifik secara historis.17
16
Barua M. Encounter. Environmental Humanities. 2016; 7 (1): 265–270. Doi: https://doi.org/10.1215/22011919-
3616479.
17
Haraway DJ. When Species Meet. University of Minnesota Press; 2008.
18
Deleuze G, Parnet C. Dialogues II. Colombia University Press; 2007.
13
Bermula dari Perjumpaan
mengandung nilai. Menurut Marx, karena tidak memiliki nilai, maka tanah, air,
dan udara tidak dapat dipertukarkan atau tidak memiliki nilai tukar.19
Dalam perkembangannya, perjumpaan demi perjumpaan tampak semakin
memperuncing relasi asimetris. Misalnya saja pada kasus lebah madu. Semula
seorang manusia menjumpai lebah di dekat sarangnya, di hutan belantara.
Kemudian, dalam proses yang tidak sekali jadi dan memakan waktu sangat
panjang, manusia itu pun akhirnya menjumpai cairan kental dan manis di dalam
sarang lebah. Lalu manusia tersebut mengambil, menangkap, dan memeras
sarang lebah untuk mendapatkan cairan kental dan manis. Akhirnya cairan itu
diminum untuk digunakan sebagai sumber tenaga bagi tubuh manusia. Sampai
di sini, terjadi perjumpaan asimetris antara lebah dan manusia.
Bersamaan dengan itu, kebutuhan hidup manusia makin bertambah banyak.
Manusia jadi tidak hanya membutuhkan madu untuk tenaga. Manusia juga
membutuhkan pakaian, alas kaki, dan beragam kebutuhan lainnya. Sampai
akhirnya madu pun dipertukarkan untuk mendapat barang kebutuhan lain. Pada
saat dipertukarkan, madu membawa nilai perjumpaan yang mengandung kerja
manusia dan non-manusia. Dalam konteks ini, kerja manusia yang dimaksud
adalah aktivitas menangkap dan memeras madu. Sementara kerja non-manusia
berkaitan dengan kerja etologis lebah berupa aktivitas produktif menghasilkan
madu. Dengan demikian, seperti yang ditekankan Haraway dan Barua, nilai
perjumpaan perlu diperhitungkan dalam proses pembentukan nilai komoditi.
Jason W Moore juga punya pemikiran sejalan dengan Haraway dan Barua.
Wabil khususnya, pada konsepsi “perjumpaan” yang membedakannya dengan
cara pandang biner Cartesian; memisahkan manusia dengan alam. Menurut
Moore, aspek pembentuk kapital bukan hanya eksploitasi manusia, melainkan
apropriasi kerja non-manusia. Karena itu, dalam produksi nilai lebih kapitalis,
selalu ada momen ganda: eksploitasi dan sekaligus apropriasi.
Dalam momen eksplotasi, pemodal mengisap nilai lebih yang diciptakan
buruh melalui waktu kerja lebih. Sementara dalam momen apropriasi, pemodal
mencomot begitu saja (Deleuze dan Parnet membahasakannya dengan istilah
“mencuri”) yang-termurah (the cheaps). Moore menyebut “yang-termurah”,
karena pemodal tidak punya andil dalam proses pembuatannya. Misalnya saja tanah,
tenaga buruh, kerja perempuan, makanan, energi, dan bahan mentah.20
19
Marx K. Das Kapital Volume 1. Hasta Mitra; 2007.
20
Batubara B. Swyngedouw’s puzzle: Surplus-value production in socionature. Human Geography.
2021; 14(2): 292–295. Doi: https://doi.org/10.1177/19427786211012663.
14
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Dalam konsepsi Moore, para kapitalis tidak turut membesarkan anak yang
kelak, ketika dewasa, diambil kapitalis untuk dijadikan buruh. Kapitalis tidak
pula membayar kerja perempuan di rumah saat menyiapkan makanan, mencuci
baju, atau membersihkan tempat tidur milik anggota keluarga yang menjadi
buruh. Kapitalis tidak menciptakan batu bara, air, tanah, minyak, dan panas
bumi, melainkan mencomotnya begitu saja.
Batubara (2021) menggunakan konsep Moore untuk membuka apa yang Marx
konsepsikan dalam Capital I sebagai kapital tetap: bahan mentah dan alat-alat
produksi. Dengan kata lain, Batubara (2021) makin memperjelas lagi bahan
mentah yang dimaksud yakni material “yang-termurah” dan ongkos apropriasi.
Pada kasus madu, cairan kental dan manis ialah material “yang-termurah”,
sementara ongkos apropriasinya adalah kerja produktif lebah menghasilkan madu.
Lewat perjumpaan, madu dipertukarkan melalui proses reproduksi yang
berturut-turut: ditangkapnya sarang lebah dari hutan, diperasnya sarang untuk
mengeluarkan cairan pekat manis, dan dipertukarkan dengan kebutuhan lain.
Jika seseorang pencari sarang lebah kembali ke hutan secara terus menerus,
maka terjadi dua hal sekaligus: reproduksi madu terus berlangsung dan
pertukaran terus berjalan.
Namun Luxemburg (2003) mengingatkan, pertukaran tidak akan langgeng
jika reproduksinya hanya repetisi belaka.21 Dengan kata lain, produksi kapitalis
dapat terus menerus berjalan (bereproduksi), berkembang, dan berkelanjutan
jika pertukaran komoditi menemukan pasar-pasar baru untuk beroperasi.
Maksud pasar-pasar baru di sini adalah pasar-pasar non-kapitalis atau subsisten
yang memproduksi dan mereproduksi barang untuk kebutuhan sendiri.
Pada kasus gandum, distribusi tepung pun terus meluas secara geografis.
Kini peredaran tepung gandum sudah menjangkau wilayah sangat luas. Bahkan
sampai mencapai wilayah-wilayah yang tidak dapat menumbuhkan batang
gandum. Akan tetapi, Haraway (2008) mengingatkan bahwa yang dimaksud perluasan
tidak semata-mata terjadi pada aspek geografis belaka. Menurut Haraway,
lewat perjumpaan, perluasan dapat terjadi dalam kultur-alamiah. Misalnya pada
kasus lebah madu.
Dari waktu ke waktu, ada perjumpaan lebih lanjut antara manusia dengan
madu. Perjumpaan lebih lanjut itu pula yang disebut Haraway membentuk
kultur-alamiah berupa penemuan kegunaan lain dari madu. Dalam perjumpaan
lebih lanjut, kegunaan madu bukan lagi hanya diminum menjadi sumber tenaga,
melainkan termasuk untuk kesehatan tubuh manusia.
21
Luxemburg R. The Accumulation of Capital. Routledge Classics; 2003.
15
Bermula dari Perjumpaan
22
Shodiq A. Bisakah Gandum Tumbuh di Indonesia yang Beriklim Tropis? Diakses pada 24 Oktober 2022.
https://pangan.sariagri.id/95049/bisakah-gandum-tumbuh-di-indonesia-yang-beriklim-tropis.
16
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
23
Mies M, Shiva V. Ecofeminism . Zed Books; 2014.
17
Bermula dari Perjumpaan
produksi sumber daya alam, yang menjadi bahan mentah produksi kapitalis,
secara intensif. Sedangkan sumber daya alam itu sejak lama telah digunakan
oleh kelompok ekonomi kurang mampu. Tidak jarang, kelangsungan hidup
kelompok ekonomi kurang mampu sangat bergantung pada keberadaan sumber
daya alam tersebut.
Ekofeminisme kerap dimaknai sebatas soal perempuan yang merawat alam.
Bahkan kerap diidentikan bahwa peran alam layaknya peran seorang ibu,
“hanya memberi tak harap kembali”.24 Padahal menurut Shiva dan Mies, ekofeminisme
bukan semata-mata perkara tanggung jawab perempuan untuk membersihkan
kekacauan ekologis yang disebabkan sistem produksi kapitalis yang sangat
maskulin. Maskulinitas tersebut tercermin dari hasrat untuk terus membangun,
mengapropriasi, dan mengeksploitasi sembari tanpa pernah melakukan kerja
perawatan dan/atau menyerahkan begitu saja kerja perawatan kepada perempuan,
tanpa dibayar. “Perempuan tidak akan selamanya menjadi Trümmerfrauen (perempuan
yang membersihkan reruntuhan setelah perang patriarki),” kata Shiva.
Perspektif ekofeminisme subsisten dari Shiva dan Mies cukup jelas. Mereka
sangat mempertimbangkan aspek kesejarahan yang spesifik untuk setiap entitas
di muka bumi. Misalnya, di dalam madu, ada kerja reproduksi subsisten lebah;
di dalam peran anjing sebagai penjaga, ada kerja subsisten pembentukan
tubuhnya; di dalam bulir tepung gandum, ada kerja akar, batang, dan daun
gandum yang berfotosintesis setiap hari; di dalam kesuburan tanah, ada proses
penguraian unsur hara yang tidak bisa dijangkau manusia; dan di dalam tubuh
para buruh murah, ada kerja perempuan (masyarakat) yang tidak dibayar.
Keberadaan kerja perempuan (atau masyarakat) dalam tubuh buruh murah
dibicarakan pula oleh Nancy Fraser. Menurutnya, kerja-kerja tersebut merupakan
bentuk reproduksi sosial untuk menciptakan manusia. Lebih lanjut, Fraser menyebut
bahwa ekonomi yang merupakan latar depan (foreground), sebenarnya sangat
bergantung pada non-ekonomi yang jadi latar belakang (background). Latar
depan meliputi kepemilikan, akumulasi nilai, pasar tenaga kerja (yang terbebas
dari alat produksi dan unsur lain), dan pasar untuk surplus masyarakat.
Menurut Fraser, latar depan dibentuk oleh tiga kondisi yang terjadi pada
latar belakang: reproduksi sosial, reproduksi ekologi, dan kekuatan politik.25
Dengan demikian, proses produksi dan reproduksi kapitalis (latar depan)—
sebagaimana dikatakan Luxemburg—bergantung pada reproduksi sosial dan
ekologi yang menjadi latar belakangnya. Persoalannya, dalam suatu produksi
24
Cuplikan syair lagu “Kasih Ibu” karya Mochtar Embut.
25
Fraser N. Behind Marx’s Hidden Abode: For an Expanded Conception of Capitalism. New Left
Review . 2014; Vol. 86. Hlm. 55-72.
18
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Hal senada disampaikan Shiva dan Mies. Menurut mereka, untuk memulihkan
ekologi yang telah rusak, kerja-kerja subsisten yang tidak dibayar harus dibagi
menjadi bentuk produksi subsisten baru. Dengan begitu, sumber daya alam,
bahan mentah, atau tenaga buruh murah tidak lagi dipandang sebagai “karunia”,
pemberian, atau kemurahan alam semesta. Pandangan semacam itu, menuntut
kesopanan untuk mengakui adanya kerja-kerja subsisten dan tanggung jawab
yang lebih besar.
26
Arruzza C, Fraser N, Bhattacharya T. Feminisme Untuk 99%: Sebuah Manifesto. Penerbit Independen;
2020.
19
Bermula dari Perjumpaan
20
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
PERJUM PAAN I:
Tanam Bambu Tumbuh Kerang
Gambar 1: Peta administrasi Kecamatan Sayung. Bagian berwarna merupakan desa yang menjadi fokus
utama buku ini. Sementara bagian berwarna putih merupakan desa-desa lain di Kecamatan Sayung yang
tetap dipertimbangkan dalam riset. Sumber: data diolah oleh Syarifah Atia.
21
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
orang yang siap berangkat kerja; memakai sepatu karet dan celana panjang
yang digulung selutut. “Ombak lagi gede ini,” kata Patlikur sembari berjalan
beriringan dengan kami, tiga calon penumpangnya, menuju perahu kayu yang
bersandar di tepi Sungai Kanal. Sungai ini bermuara di Pantai Morosari,
Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Tidak sampai sepuluh menit setelah
mesin dihidupkan, lalu perahu dijalankan, kami sudah berada di perairan pantai.
Sejak awal naik perahu, kami tidak punya tempat spesifik untuk dituju.
Kesepakatan dengan Patlikur adalah mengantar kami berputar-putar dengan
perahu di perairan pantai dengan tarif pergi-pulang Rp20 ribu per penumpang.
Sebenarnya kami cukup bingung dengan tarif tersebut. Kami khawatir Patlikur
malah rugi, karena penumpangnya hanya kami bertiga. Saya sendiri mengira,
biaya bahan bakar mesin perahu untuk berkeliling lebih mahal dari ongkos
gabungan kami bertiga. Di perjalanan, Patlikur menawarkan kami berkunjung
ke makam Syekh Mudzakir di Kampung Tambaksari. Kami setuju, karena
memang pasrah saja kemana Patlikur bakal membawa kami.
Dari pantai, kami mengarah ke tengah laut menuju Kampung Tambaksari di
Desa Bedono. Benar kata Patlikur, angin memang bertiup cukup kencang.
Ombak mengayun kuat perahu kayu yang kami tumpangi. “Dulu di sini sawah
luas, ada tambaknya juga. Dulu saya SD main-main ya ke sini,” kata Patlikur
sembari menunjuk laut yang kami lewati.27 Jika dihitung-hitung berdasarkan
usianya, Patlikur tampak sedang memutar memori ke dekade 1970-1980an.
Beberapa bulan kemudian kami kembali ke Sayung. Kali ini kami mengunjungi
Kampung Tonosari yang terletak sekitar 800 meter di barat daya Kampung
Morosari—tempat Patlikur bermukim. Kampung Tonosari dan Morosari masih
berada dalam satu desa yang sama: Bedono.
Di Tonosari, salah seorang dari kami berjumpa dengan seorang nenek
berusia 64 tahun, Limalas. Dia lahir dan tumbuh remaja di Tambaksari—sebuah
perkampungan yang diceritakan Patlikur pernah memiliki hamparan sawah
cukup luas. Limalas masih berusia 15 tahun pada dekade 1970an. Akan tetapi,
pada usia sangat muda, Limalas sudah sibuk bekerja sebagai buruh pabrik jamu
Sido Muncul di Kecamatan Genuk, Kota Semarang. Dahulu, setiap hari, dia
berjalan dari Tambaksari ke Genuk. Di sela kesibukan sehari-hari, Limalas suka
pergi nonton-bareng bersama kawan-kawan sekampung.
27
Wawancara dengan Patlikur, 27 Januari 2022.
22
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
“Riyin nek wonten sing mantu, ajeng teng Pandansari, teng Nyangkringan,
napa teng pundi mawon diparani. Wonten tanggapane, dadose nonton
sareng-sareng. Mlaku lewat dalan-dalan tesih saget. Dalane garing,” kenang Limalas.28
28
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Dahulu kalau ada yang hajatan, mau ke Pandansari, ke
Nyangkringan, ke mana saja didatangi. Ada hiburannya, karena itu nonton bareng-bareng. Jalan kaki
lewat jalan masih bisa. Jalanan kering.”
29
Wawancara dengan Limalas, 15 Mei 2022.
30
Wawancara dengan Rongpuluh, 28 Oktober 2021.
31
Kala itu radio, televisi, dan termasuk sepeda onthel, tergolong barang mewah. Dalam arti, tidak
semua orang bisa memiliki barang-barang tersebut. Lihat: Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju
Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta .
32
Dinas Pariwisata. 2020. “Makam Terapung Syekh Mudzakir.” Pariwisata.Demakkab.Go.Id. Retrieved
July 2, 2022 (https://pariwisata.demakkab.go.id/makam-terapung-syekh-mudzakir/).
23
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
lain di Bedono, paling dekat dengan laut. Karena itu, tidak heran jika jenis tanah
di Tambaksari banyak berupa pasir dan lumpur. Kyai Mudzakir menggunakan
endapan yang dibawa arus sungai dari Sayung menuju laut untuk menutup
rawa-rawa berlumpur. Selanjutnya, ketika rawa-rawa telah tertutup endapan
sungai, Kyai Mudzakir mengubahnya menjadi lahan persawahan.33
Seiring berjalannya waktu, lahan sawah di Tambaksari terus berkembang.
Kondisi tersebut menarik orang-orang untuk datang bermukim dan memulai
penghidupan sebagai petani di Kampung Tambaksari. Bahkan, perkembangan
pertanian dan permukiman di Tambaksari merembet ke kampung-kampung di
dekatnya seperti Dukuh Bedono, Pandansari, dan Tonosari. Lahan persawahan
kemudian meluas lagi ke Kampung Rejosari—sebuah perkampungan kosong di
sebelah Tambaksari. Semula di Rejosari memang tidak ada permukiman
penduduk, karena itu disebut kampung kosong. Sawah-sawah di Rejosari pun
banyak dimiliki orang Dukuh Tambaksari dan Dukuh Bedono.
Lahan sawah di Rejosari terus meluas. Kondisi itu memicu kedatangan lebih
banyak orang untuk bekerja sebagai buruh tani. Agar dekat dan memudahkan
pemantauan hama, para buruh membangun banyak gubuk di Rejosari sebagai
tempat tinggal sementara. Perlahan gubuk-gubuk tersebut berubah menjadi
permukiman permanen. Pada dekade 1980an, Desa Bedono—termasuk di
dalamnya adalah Dukuh Rejosari dan Tambaksari—merupakan kawasan
pertanian terbaik di Kabupaten Demak.
Penelitian Rifqi Jamali (2012) menunjukkan, sekitar tahun 1970an, mayoritas
masyarakat pesisir Sayung memang hidup mengandalkan hasil pertanian.
Bahkan hingga awal 1980an, jumlah petani di desa-desa pesisir masih jauh lebih
banyak ketimbang nelayan. Ketika itu, berdasarkan laporan Kantor Statistik
Kabupaten Demak tahun 1980, jumlah petani di Kecamatan Sayung mencapai
24.241 orang, sedangkan jumlah nelayan hanya 306 orang. Jumlah penduduk
dengan profesi petambak tidak banyak; pada setiap desa di Sayung, hanya
dijumpai lima sampai tujuh keluarga petambak.
Bergeser sedikit dari Bedono, Desa Purwosari punya cerita sama mengenai
kejayaan dunia pertanian. Seorang pedagang berumur 60 tahun, Sewelas menceritakan,
“Dulu tahun 80-an, zaman saya belum menikah, di belakang kampung ini
belum ada tambak. Dulu semua ditanami padi dari sini sampai ke Morosari
33
Substansi dalam sebagian besar teks pada halaman ini disarikan dari: Damayanti, Riyana. 2019.
“Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam
Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
24
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
sana. Jadi ini sawah, itu sawah, di tengah sini sungai. Di belakang sini dulu
masih bisa ditanami lombok (cabai), masih bagus.”34
34
Wawancara dengan Sewelas, 27 Oktober 2021.
35
Palawija adalah aneka tanaman selain padi yang lebih tahan cuaca dan mampu tumbuh di lahan
kering. Beberapa contohnya adalah kacang, ubi, dan jagung. Lihat: Riyana Damayanti, 2019,
Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak dalam Pusaran
Abrasi dan Industrialisasi Tahun 1990-2010, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro Semarang.
36
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
37
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
38
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
25
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
“Mbiyen nek pingin uwi nduduk uwi, pingin ganyong nduduk ganyong,
pinggiran ditanduri pelem. Maune kene iki tanduran gedang, lirut, wit-
witan. Ono sirsat tandurane bapakku barang. Sak dadah kene, sak
ngarep pol mburi ki tanduran. Sing kono kuwi tanduran kabeh,”42 papar
Telu yang kini berumur 66 tahun.
39
Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).
40
Jumlah buruh tani lebih banyak yakni mencapai 13.214 orang. Lihat: Rifqi Jamali, 2012, Dari Sawah
Menuju Tambak: Budidaya Tambak di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-an-2000,
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
41
Perhitungan tersebut berasal dari perkalian antara; jumlah petani berlahan (11.027); rata-rata
kepemilikan lahan petani berlahan (2 hektare); dan estimasi panen gabah per hektar sekali musim
panen (14 kwintal). Jumlah produksi gabah tersebut belum mempertimbangkan adanya faktor lain
seperti serangan hama, cuaca ekstrim, dan sebagainya.
42
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Dulu kalau pingin uwi (jenis umbi-umbian-
penulis) menggali uwi, pingin ganyong (jenis umbi-umbian - penulis) menggali ganyong, pinggiran
ditanami manga. Semula di sini ini tanaman pisang, garut, pepohonan. Ada juga pohon sirsak
tanaman bapak saya, tanah di sini dari depan sampai habis ke belakang sana dulu tanaman. Di situ
itu tanaman semua.” Lihat: Wawancara dengan Telu, 27 Oktober 2021.
26
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
gabah kering adalah Rp800. Rata-rata keluarga petani memiliki lahan seluas
dua hektar. Dengan demikian, dalam satu kali masa panen, satu hektar sawah
dapat memproduksi sebanyak 28 kwintal gabah basah. Seandainya beban gabah
basah memang menyusut 18%, maka Muntaha tetap untung karena mampu
menghasilkan 24 kwintal gabah kering. Dengan kata lain, dalam satu kali
periode panen, Muntaha dapat mengantongi sekitar Rp1,9 juta.
Muntaha memiliki sawah seluas dua hektar. Muntaha mengerjakan sawah
tidak seorang diri, melainkan mempekerjakan beberapa buruh tani. Pada saat
itu, biaya untuk membayar buruh tani adalah Rp120 ribu. Sementara untuk
biaya operasional dalam satu kali panen adalah Rp100 ribu. Pada umumnya,
biaya operasional digunakan untuk membeli benih padi, pupuk, dan
mengongkosi penyusutan alat yang dipakai. Pada akhirnya, meski perlu
mengeluarkan ongkos operasional dan mengupah buruh, Muntaha tetap bisa
mendapat sekurangnya Rp1,6 juta. Jumlah itu baru gambaran pendapatan satu
keluarga petani dalam sekali panen padi saja.43
Selain Muntaha, ada pula pasangan keluarga petani di Dusun Rejosari
(belakangan dijuluki Dusun Senik) yakni Pak Sepuluh dan Bu Rolikur. Warga
Desa Bedono tersebut pernah pula merasakan hidup berkecukupan dengan
mengandalkan kesuburan tanah pesisir Sayung. Dari lahan sawah seluas tiga
hektare, mereka mampu mendirikan rumah keluarga menjelang 1980an.44 Tidak
beda dengan keluarga Rolikur, keluarga kakaknya, Selawe, mengalami juga
kemakmuran hidup bertani di pesisir utara Sayung. Di Rejosari, Selawe pernah
memiliki rumah besar, lengkap dengan kursi dan lemari bufet buatan Jepara
yang terkenal bagus dan mahal. Menurut Selawe, dulu kampung masa kecilnya
di Rejosari sangat ramai dan menyediakan segala macam kebutuhan warga.45
“Desa asline Rejosari, ora Senik. Kok isa Desa Senik ki mbuh piye. Rejosari
ndek zaman kae ki kan rejo. Nek sore jare nelayan kebak ngono, dadi
rejo. Yo rejo, yo sari. Sari kui sembarang dengah ana kabeh, gemah ripah
ngono critane…. Wah biyen ya ana sembarang dengah, uwit brayo, bongko,
zaman iseh apik-apike, iseh koyo teng kota. Waru, turi, kudo, werno-
werno zaman biyen-biyene. Wong biyen dadahku pinggir ratan kae,
kelopoku gampangane awit pol kali lor kene sampai kali kidul kono,
kerep, parik-parik pinggir ratan. Lumayan dingo masak enake pol. Kiro-
43
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
44
Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).
45
Wawancara dengan Bu Selawe, 7 Oktober 2021.
27
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
kiro dingo masak anakku pitu kui mulo iso cukup. Pari landhung-
landhung iku umpomo ngge masak ya wis turah-turah, mbek masak urang
iku mau,”46 tutur Bu Selawe dari Dukuh Sodong, Desa Sidogemah.
Lain dulu, lain sekarang. Kini hidup dan kampung masa kecil Selawe sudah
banyak berubah. Bahkan sembilan tahun lalu, Bu Selawe (kini berusia 60 tahun)
memutuskan pindah ke Dukuh Sodong, Desa Sidogemah. Dukuh itu terletak di
sebelah timur Dukuh Rejosari, Desa Bedono. Kini Selawe dan suami tinggal satu
rumah dengan keluarga anaknya. Letak Sodong lebih jauh dari bibir pantai
ketimbang Rejosari. Menurut Selawe, ketika mulai tinggal di Sodong, dia masih
mendapati banyak sawah di daerah tersebut. Namun kini, banyak sawah yang
telah berubah menjadi tambak.
Warga Sidogemah lain, Pak Sangalas (49 tahun), punya ingatan yang sama
dengan Bu Selawe. Menurut pria yang bekerja sebagai pemasok hasil laut asli
Sidogemah itu, lebih dari 30 tahun lalu, dia sering pergi main bola sampai ke
Morosari (Desa Bedono) melewati Dukuh Rejosari. Ketika usianya menginjak 20
tahun, dia mulai sering mencangkul di sawah-sawah dekat rumah. Sebelum
ditinggali orang-orang dari Rejosari, termasuk keluarga Selawe, area belakang
rumah Sangalas di Sidogemah masih sawah. Namun seiring berjalannya waktu,
tambah Sangalas, sebagian besar sawah tersebut mulai berganti tambak.47
46
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Nama asli desanya Rejosari, bukan Senik. Tidak
tahu kok bisa jadi Senik itu bagaimana. Rejosari zaman dulu kan rejo. Kalau sore ceritanya penuh
nelayan, jadi ramai (rejo). Ya rejo, ya sari. Sari itu artinya segala macam ada, gemah ripah begitu
ceritanya…. Wah dulu ya ada bermacam-macam pohon mangrove, bakau, zaman masih bagus-
bagusnya, masih seperti di kota. Pohon waru, turi, pohon kudo, warna-warni zaman dulu-dulunya.
Dulu saja tempat lahan saya pinggir jalan begitu. Pohon kelapa milik saya, ibaratnya dari sungai
sebelah utara sini sampai ujung sungai selatan sana, penuh berjajar-jajar di pinggir jalan. Lumayan
dipakai memasak enak sekali. Kira-kira dipakai masak tujuh anak saya juga bisa mencukupi. Padi
berlimpah-limpah, itu seumpama untuk masak juga sudah lebih-lebih, sama masak udang juga.”
Lihat: Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
47
Wawancara dengan Pak Sangalas, 28 Oktober 2021.
28
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
Akan tetapi, kendati wilayahnya subur dan makmur, tidak semua warga di
Sayung dapat hidup dari pertanian sawah dan ladang. Apalagi upah buruh tani
cukup rendah: Rp600/hari untuk buruh tani perempuan dan Rp800/hari untuk
buruh laki-laki. Alhasil beberapa rumah tangga di Sayung mencari penghidupan
tambahan dengan cara lain. Salah satunya, menjualkan hasil panen petani
pemilik lahan seperti beras dan palawija ke Pasar Sayung yang berada di tepi
Jalan Raya Semarang-Demak. Ada pula yang berdagang, dengan terlebih dulu
membeli atau mengulak beras dan palawija, lalu menjualnya kembali ke pasar.
Gambar 2: Suasana Kampung Rejosari sebelum tenggelam. Tampak masih terdapat banyak pohon kelapa
yang dipanen dan dijual warga. Foto diambil dari penelitian Damayanti (2019), yang bersumber dari
dokumentasi warga Rejosari (Senik). Kini dokumentasi lama seperti ini sangat jarang ditemukan. Apalagi
foto bukan barang vital bagi warga pesisir Sayung untuk diselamatkan saat permukiman mulai tenggelam.
48
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut: “Dulu di sini makmur. Sampai ada
orang Trenngguli merantau ke sini. Samping ini untuk kerja kebun, yang di sana sawah.”
29
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
aktivitas jual-beli hasil tangkapan laut seperti ikan, udang, cumi, dan kepiting.
Selain itu, mereka juga memperjual-belikan hasil panen tambak udang dan ikan
bandeng. Umumnya, para pedagang itu tinggal di desa-desa yang tidak
langsung berimpitan dengan laut. Salah satu pedagang tersebut adalah Sangalas
(49 tahun), warga Desa Sidogemah. Dari dulu sampai saat ini, Sangalas
merupakan generasi pedagang yang masih memasok hasil laut ke pasar-pasar
dan/atau kepada tengkulak lain.49
Pedagang lainnya adalah Telu (66 tahun), warga Desa Purwosari. Bahkan
Telu termasuk generasi pedagang yang lebih lawas lagi. Telu sudah mulai
berjualan ikan laut yang dibeli dari para nelayan sejak 1970an. Biasanya, Telu
bakal menjual lagi hasil laut tersebut ke Pasar Sayung. Aktivitas tersebut terus
Telu lakukan hampir selama empat puluh tahun. Baru sekitar 10 tahun lalu
(2010an), Telu mulai pensiun dari aktivitas berdagang tersebut.50
Bentuk penghidupan warga Sayung lainnya adalah memelihara ternak
seperti ayam, itik, dan kambing. Selain itu, seperti Limalas, banyak pula warga
yang hidup menjadi buruh pabrik dan sekaligus buruh bangunan di Kota
Semarang.51 Apalagi pada masa itu, aktivitas sektor industri dan perdagangan
di Semarang sedang meningkat, karena didorong adanya Pelabuhan Tanjung
Emas.52 Sampai awal 1980, berdasar catatan Jamali Rifqi (2012), jumlah buruh
industri dan buruh bangunan dari Sayung mencapai 1.521 orang. Jumlah itu
paling banyak kedua setelah petani (baik berlahan maupun buruh tani) dalam
urutan mata pencaharian yang paling banyak dilakukan penduduk Sayung.
49
Wawancara dengan Sangalas, 28 Oktober 2021.
50
Wawancara dengan Telu, 27 Oktober 2021.
51
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
52
Sepanjang 1970an, Kota Semarang memang sedang giat melakukan banyak pembangunan fisik.
Adapun sejarah perencanaan aktivitas perdagangan dan perindustrian di Kota Semarang itu sendiri
sudah mencuat dalam kurun waktu 1900-1970. Awalnya Kota Semarang dijadikan sebagai
eksperimen perencanaan kota modern di Eropa. Alun-alun sebagai pusat administrasi pemerintah
kolonial Belanda dan pusat perdagangan terus menunjukkan perubahan—baik secara intensitas
kegiatan maupun secara fisik. Pada 1976, Pemerintah Kota Semarang mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No.16 tentang Pemekaran Wilayah Kota Semarang. Sejak saat itu wilayah Kota
Semarang meluas sampai wilayah Kecamatan Mijen, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan
Tembalang, Kecamatan Tugu, dan Kecamatan Genuk—dekat Kecamatan Sayung di Demak. Lihat:
Kurniawati, Feri Ema. 2010. “Perkembangan Struktur Ruang Kota Semarang Periode 1960-2007
(Studi Pengembangan Struktur Ruang Dari Masa Pasca Kolonial Sampai 2007).” Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
30
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
53
Perseroda merupakan akronim dari Perusahaan Perseroan Daerah. Lihat: Anon. 2022. “PT Demak Aneka Wira
Usaha (Perseroda).” Anwusa.Demakkab.Go.Id. Retrieved April 12, 2022 (https://anwusa.demakkab.go.id/).
54
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Kalau dulu saat saya masih muda ya mencebur ke
tepi laut mencari kerang.” Lihat: perbincangan dengan warga Morosari, 22 Januari 2022.
31
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
“Kalau kerang ndak pernah ditambak. Sebenarnya itu ndak ditanami gitu,
liar. Malah kayak muncul sendiri gitu lo.”56
Setiap hari aktivitas Pak Sangalas tidak hanya berdagang. Dia masih kerap
pula mengumpulkan kerang hijau yang tumbuh di bambu-bambu pembatas
tambak. Utamanya, tambak-tambak yang sudah tidak digarap pemiliknya dan
terletak persis di belakang rumahnya di Desa Sidogemah. Kerang yang didapat
Sangalas bakal dibeli para pengepul. Biasanya, para pengepul langsung datang
dan mangkal di dekat rumah Sangalas. Alhasil dia tidak repot menjual kerang
ke pasar, tapi langsung kepada para pengepul.
Sejak paruh kedua 1980an, area tambak sudah semakin banyak di desa-desa
sepanjang pesisir Sayung. Sejak saat itu, kerang tidak hanya dipanen “liar” dari
laut, melainkan dibudidayakan di tambak. Salah satu pelaku budidaya kerang
tambak adalah keluarga Bu Pitulikur, warga Dukuh Wonorejo Pasir di Desa
Timbulsloko. Tidak beda dengan alur tangkapan kerang Sangalas, kerang
panenan keluarga Pitulikur juga dijual kepada pengepul. Para pengepul di
55
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
56
Wawancara dengan Pak Sangalas, 28 Oktober 2021.
32
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
“Bapak-bapak ngingoni kerang, mengko panen nek wis pirang sasi, kan
wis dadi gedi. Bapak iki yo ngingoni kerang, tapi ora kaya biyen, mungkin
bibite kurang apik,” kata Pitulikur, yang kini berumur 59 tahun, saat
menceritakan aktivitas bertambak bersama suaminya.57
“Pertaniane kan sebelah mriko. Niku kan ngeten, niki sungai, niki tambak,
la niki terus griya, sebagian enten sing damel pertanian padi,”58 kata Bu
Pitu sembari menunjukkan letak sawah dan tambak.
57
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Bapak-bapak memelihara kerrang, nanti panen
kalau sudah beberapa bulan, kan sudah besar. Bapak (suami Bu Pitulikur – penulis) ini juga sedang
memelihara kerrang, tapi tidak seperti dulu, mungkin bibitnya kurang bagus.” Menurut Bu Pitulikur,
hasil panen kerang dari tambak kini menurun jauh dibanding ketika kerang mula-mula
dibudidayakan di tambak. Keluarga Bu Pitulikur tidak mendapatkan keuntungan dari periode
penambakan kerang yang baru saja berakhir, lantaran tambak terendam banjir rob. Saat wawancara
dilakukan, harga kerang sedang berangsur-angsur turun dari Rp19ribu/kg menjadi Rp 17ribu/kg dan
bahkan Rp14ribu/kg. Lihat: Wawancara dengan Bu Pitulikur, 07 Oktober 2021.
58
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Pertaniannya di sebelah sana. Itu begini, ini sungai,
ini tambak, ini rumah. Sebagian ada yang digunakan untuk pertanian padi.” Lihat: Wawancara dengan
Bu Pitu. 07 Oktober 2021.
33
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
59
Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
60
Beberapa di antaranya mendapat kerang dengan begogoh (merogoh perairan tepi laut dengan
tangan kosong); menangkap ikan dan udang dengan menebar jaring di laut; dan dalam memperoleh
kepiting juga dilakukan dengan cara nyebak (menebar jebakan di pinggir laut di antara pohon bakau,
terutama pada saat air pasang). Lihat: Wawancara dengan Pak Sangalikur, 13 November 2021.
34
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
61
Kedatangan air laut (rob) tidak hanya membawa nener, benur, dan renik-renik. Rob kerap pula
membawa ikan dan udang yang sudah siap dikonsumsi. Adapun untuk menangkap ikan dan udang
siap konsumsi itu, para petambak memasang impes—semacam jebakan udang dan ikan—di setiap
sudut petak tambak. Dalam satu hari, para petambak dapat menangkap sekitar 1–2 kg udang siap
konsumsi. Hasil tangkapan itu kemudian dijual sebagai pendapatan sampingan. Lihat: (1) Wawancara
dengan Pak Wolu, 07 Agustus 2022; (2) Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir
Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi
Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 39; dan (3) Jamali, Rifqi. 2012.
“Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-
an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
62
Setelah panen, petak-petak tambak bakal dikosongkan dan dikeruk endapannya. Kemudian kerukan
endapan tersebut bakal ditumpuk ke atas pematang. Hal itu dilakukan untuk memperbarui dan
sekaligus menjaga ketinggian pematang tambak agar tetap sesuai kebutuhan.
35
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
“(Tambak – penulis) penghasilane enam bulan sekali, nek tiga bulan sekali
during gede nek bandeng. Mriki cocoke bandeng. Terus ditinggal nelayan.
Nelayan kan corone ning laut golek-golek hasil sing luar, langsung dijual
ke pasar. Ana sing ning pabrik, pabrik mebel, pabrik kimia, bahan roti,
63
Dalam penelitiannya, Rifqi Jamali menuliskan; “Di wilayah Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak,
budidaya tambak telah berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Hal tersebut dapat dilihat pada
surat yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda mengenai pajak yang khusus dibebankan
atas lahan budidaya tambaj di wilayah pantai utara Jawa. Pada masa itu lahan budidaya tambak
merupakan milik desa yang dikelola penduduk secara gotong-royong dan hasilnya dipergunakan
untuk kepentingan desa. Kondisi tersebut mengalami perubahan setelah kemerdekaan Indonesia,
kepemilikan lahan tambak menjadi milik individu seperti sekarang ini. Namun hasil produksi tambak
hingga dekade 1980an, tidak mengalami peningkatan yang signifikan.”
36
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
bahan busa, bahan cat. Ya ana sing melu proyek, ya ana pabrik konveksi,”
tutur Pitulas.64
64
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “(Tambak – penulis) penghasilannya enam bulan
sekali, kalau tiga bulan belum besar kalau bandeng. Di sini cocoknya bandeng. Terus ditinggal
nelayan. Nelayan kan istilahnya di laut mencari-cari hasil dari luar, langsung dijual ke pasar. Ada juga yang
(sambil – penulis) kerja di pabrik mebel, pabrik kimia, bahan roti, bahan busa, bahan cat. Juga ada yang ikut
proyek, ada pula yang di pabrik konveksi.” Lihat: Wawancara dengan Pitulas, 07 Agustus 2022.
65
Special Report: The Health Consiious Boom. 2013. Serving Japanese Food to the World. Japan.
66
Laporan McGovern merupakan dokumen resmi pertama yang menyebut bahwa diet yang tidak
seimbang dapat menyebabkan penyakit. Lihat: Ibid.
67
Penambahan isian daging, ikan laut, hingga udang merah, dalam bentuk mentah, menjadi pembeda
sushi dengan sashimi. Walau sushi boom cenderung tidak membedakan keduanya. Lihat: Ibid.
37
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
68
Jika kini Anda menemui menu California Roll di restoran atau gerai sushi, maka itu berasal dari sushi
boom gelombang pertama. Saat itu, orang-orang AS belum begitu menyukai makanan mentah,
sehingga perlu dibuat penyesuaian. Lihat: Ibid.
69
Kamoey, Andreas. 2015. “The Japanese Market for Seafood.” Globefish Research Programme 117.
38
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
impor udang ke Jepang naik berlipat-lipat. Bahkan mulai tahun 1973, Jepang selalu
konsisten mengimpor sebesar 100 ribu ton udang/tahun.70
70
Jonker, Theo H., Hiroshi Ito, and Hiroji Fujishima. 2005. Food Safety and Quality Standards in Japan:
Compliance of Suppliers from Developing Countries. 47842. Japan.
71
Foreign Fishery Developments. 1981. Japanese Shrimp Import Trends for 1963-80 Told. 6. Japan.
72
Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production in Indonesia.” in Proceedings of The Shrimp
Culture Industry Workshop , edited by W. G. Yap. Jakarta: Direktorat Bina Produksi.
73
Pada awalnya, budidaya udang tambak hanya berlaku di Negara Taiwan. Namun pada 1988, banyak
tambak-tambak udang di Taiwan terserang virus. Nahasnya, virus itu terus menyebar ke tambak-
tambak di daerah lain. Bahkan sampai membuat para pebisnis tambak udang di Taiwan bangkrut.
Fenomena tersebut ikut mendorong pergeseran tempat produksi udang windu ke Indonesia, Filipina,
dan Thailand. Lihat: Jonker, Theo H., Hiroshi Ito, and Hiroji Fujishima. 2005. Food Safety and Quality
Standards in Japan: Compliance of Suppliers from Developing Countries. 47842. Japan.
39
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Mari kembali ke Amerika Serikat (AS) pada masa “demam sushi” melanda
(1970-1980an). Pada masa itu, sebenarnya negara AS sedang dalam kondisi serba
sulit. Keadaan itu ikut berimbas pada industri udang di negara AS. Resesi yang
terjadi di AS pada 1980 telah menurunkan permintaan udang, sehingga harga
udang jatuh. Padahal saat itu, ongkos operasional meningkat tajam, seiring
dengan harga bahan bakar dan tingkat bunga yang menyentuh angka tertinggi.
Tak ayal, harga udang di tingkat nelayan dan grosir udang merosot tajam.
Sejak saat itulah impor udang ke AS mulai turun.
Namun karena adanya sushi boom, harga udang yang rendah malah
membantu menumbuhkan konsumsi udang—khususnya udang tanpa kepala
yang disukai warga AS. Tidak heran, pada kuarter keempat 1980, konsumsi
udang tanpa kepala di AS meningkat 10% menjadi 440 juta pounds. Hal itu turut
memicu peningkatan pasokan udang untuk konsumsi. Alhasil pada 1980, meski
total angka impor udang AS menurun, khusus untuk impor udang tanpa kepala,
justru meningkat 12% menjadi 139 juta pounds. Persis pada momen itu, negara
AS, Jepang, dan Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE (yang terdiri dari 12 negara)
menjadi tiga pengimpor udang terbesar di dunia.74
Ketiga pasar utama udang dunia itu, tercatat menjadi pengonsumsi 45% dari
seluruh panen udang dunia pada 1982. Enam tahun kemudian (1988), jumlah
konsumsi tersebut meningkat lagi menjadi 49% dari seluruh panen udang dunia
(lihat Tabel 1). Dari total 49%, AS dan Jepang mengimpor sebanyak 90,3 kiloton
udang black tiger, sementara MEE sebesar 271,3 kiloton.75 Dengan kata lain,
aktivitas perdagangan udang di ketiga pasar itu telah mendongkrak kenaikan
jumlah produksi udang itu sendiri—baik itu untuk udang tangkapan laut
maupun udang tambak. Adanya kenaikan produksi dan perdagangan udang,
telah memberi peluang negara berkembang untuk menambah pendapatan dan
sekaligus lapangan kerja.76
74
Substansi dua paragraf ini diambil dari: NOAA/NMFS Developments. 1981. Shrimp 1980: Consumption Is Up in a
Difficult Year . 6. Japan.
75
Vondruska, John. 1991. “World Shrimp Situation 1990: Effect on Southeast Harvesting.” NOAA
Technical Memorandum NMFS-SEFC 294.
76
Keithly Jr., Walter R., and Y. Song. 2004. “A Review of World Shrimp Production and Trade: 1980-93.” Pp. 499–
525 in Proceedings of the 48th Gulf and Caribbean Fisheries Institute. Lousiana: Aqua Docs.
40
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
b . T a m b a k Ya n g D i p e r l u a s , T a m b a k Ya n g “ D i p e r d a l a m ”
Sebagai negara berkembang, Indonesia ikut berupaya untuk meningkatkan
produksi udang. Pada 1980, produksi udang—baik itu hasil tangkapan maupun
tambak—di Indonesia telah menghasilkan 314 juta pounds. Kemudian produksi
ditingkatkan lagi, sehingga hasilnya mengalami total penambahan hingga 736
juta pounds pada 1993. Sebagian besar peningkatan tersebut ditopang dengan
cara mambangun budidaya tambak pada awal 1980. 77 Apalagi pemerintah
sempat mengeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 39 Tahun 1980 tentang
larangan penggunaan trawl di perairan Indonesia. Keputusan itu membuat
peningkatan produksi udang dari tangkapan laut menjadi tidak memungkinkan.
Setelah adanya KEPPRES, hasil tangkapan laut di Indonesia, termasuk udang,
merosot drastis pada 1982. Persis pada momen itu pula pemerintah mendorong
sektor swasta untuk menanamkan modal di sektor pertambakan udang. Momen
ini dikenal sebagai fase ekstensifikasi dan intensifikasi tambak. Ekstensifikasi
dilakukan untuk mengeksploitasi area baru, terutama area sawah tadah hujan
yang dianggap memiliki produktivitas rendah. Sementara intensifikasi dilakukan
di wilayah yang industri tambaknya telah berkembang. Pemerintah kemudian
mendorong intensifikasi melalui program Intensifikasi Tambak (INTAM) yang
diterapkan di 11 provinsi.78
Pada periode 1984-1989, pemerintah Indonesia memasukkan INTAM ke dalam
program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) IV. Fokus program tersebut adalah
memaksimalkan budidaya tambak untuk menutup kekurangan produksi udang
windu (Black Tiger) secara nasional. Apalagi dari tahun ke tahun, permintaan ekspor
udang windu memang makin meningkat pesat. Dalam catatan Rifqi Jamali (2012),
Persis pada masa INTAM banyak petambak di Sayung mulai mengganti komoditas
mereka. Semula mereka melakukan budidaya ikan bandeng, kemudian diubah menjadi
budidaya udang windu.
Pengembangan tambak butuh banyak infrastruktur penunjang. Karena itu,
pemerintah membangun beberapa infrastruktur—baik itu yang menggunakan
anggaran negara maupun dana dari luar negeri. Contoh dana luar negeri adalah
kredit Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) untuk proyek
pengembangan budidaya ikan air payau atau The Brackishwater Aquaculture
77
Keithly Jr., Walter R., and Y. Song. 2004. “A Review of World Shrimp Production and Trade: 1980-93.” Pp. 499–
525 in Proceedings of the 48th Gulf and Caribbean Fisheries Institute. Lousiana: Aqua Docs.
78
Meliputi Provinsi Aceh, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Lihat:
Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production in Indonesia.” in Proceedings Of The Shrimp
Culture Industry Workshop , edited by W. G. Yap. Jakarta: Direktorat Bina Produksi.
41
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Development Project (BADP). Selain itu, ada pendanaan dari Bank Dunia untuk
proyek layanan dukungan perikanan atau Fisheries Support Services Project (FSPP).
Tahap pertama BADP berlangsung pada 1983-1984 dan berakhir pada 1989-1990.
Dana BADP digunakan untuk (1) pembangunan dan rehabilitasi irigasi saluran
suplai air untuk 12,140 hektare tambak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur; (2) pembangunan lima tempat pembenihan udang berkapasitas masing-
masing 40 juta benih/tahun; (3) perluasan tambak; dan (4) pemberian kredit. Tahap
kedua, BADP fokus untuk esktensifikasi tambak di Aceh, Sumatera Utara, Riau,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahap kedua,
mulai terdapat pelibatan swasta berupa Perusahaan Inti Rakyat (PIR): Perusahaan
diposisikan sebagai inti, sedangkan para petambak adalah plasma.79
Skema pendanan FSSP dikerjakan mulai 1987/1988 dan berakhir pada 1994/1995.
Ada beberapa bentuk kegiatan dalam skama FSSP. Pertama, intensifikasi produksi
udang pada 18.000 hektare lahan tambak. Dalam kegiatan ini, pemerintah tidak
lagi membangun fasilitas komersial, tapi membuat dan memperbaiki saluran
irigasi, melakukan penyuluhan, dan membentuk perusahaan inti.80 Bentuk kedua
program FSSP ialah motorisasi 26 unit kapal nelayan untuk menangkap ikan cakalang.
Bentuk kedua mengambil konsep PIR di daerah Maumere, Nusa Tenggara Timur
(NTT). Bentuk Ketiga adalah pembuatan zona pesisir percontohan di wilayah
pantai utara Jawa Tengah.
Program INTAM berbuntut panjang di daerah Sayung. Yang persis mengikuti
di belakang pelaksanaan program tersebut adalah soal pergeseran penghidupan
warga. Ada perubahan dari semula bertambak sebagai pekerjaan sampingan,
menjadi ladang penghidupan utama pada 1980an. Perubahan itu didorong pula
oleh fakta, sebagian petani di Sayung pernah menjadi buruh tambak di desa
lain. Mereka sudah punya pengetahuan soal budidaya tambak. Alhasil tidak
terlalu sulit bagi mereka untuk mengubah penghidupan dari bertani menjadi
bertambak. Sementara bagi para pemilik sawah, keberadaan INTAM mendorong
79
Satu unit tempat pembenihan udang terletak di Jawa Barat, dua unit di Jawa Timur, satu unit di Aceh,
dan satu unit lagi di Sulawesi Selatan. Lihat: Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production
in Indonesia.” in Proceedings Of The Shrimp Culture Industry Workshop, edited by W. G. Yap.
Jakarta: Direktorat Bina Produksi.
80
Pada tahap pertama, program intensifikasi produksi udang dikerjakan di Aceh seluas 5.000 hektare,
di Sulawesi Selatan seluas 11.000 hektare, dan di Sulawesi Tenggara seluas 2.000 hektare. Dalam
pelaksanaannya, skema FSSP memungkinkan pula adanya pendanaan bagi perusahaan swasta yang
bersedia menjadi perusahaan inti. Tugas perusahaan inti ialah menyediakan bimbingan, masukan
teknis, dan menjadi penjamin (50%) dari pinjaman bank kepada petambak untuk disalurkan melalui
Bank Rakyat Indonesia (BRI). Lihat: Ibid.
42
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
mereka untuk mengubah sawah menjadi tambak. Kondisi itu terekam dalam
catatan Ahmad Asrofi (2017).
Menurut Asrofi (2017), sepanjang tahun 1990-1993, banyak sekali penduduk
Desa Bedono mengubah sawah menjadi tambak.81 Namun menurut Asrofi, program
INTAM bukan satu-satunya alasan warga. Pasalnya, beberapa warga juga menilai
kesuburan sawah sudah menurun, karena faktor masuknya (infiltrasi) air asin ke
sawah. Ada pula yang merasa tambak jauh lebih menjanjikan secara ekonomi.
Namun demikian, walau terdapat beberapa alasan, tampak bahwa keberadaan
program INTAM memang menjadi salah satu pemicu perubahan sawah menjadi
tambak di Desa Bedono.
Kondisi serupa terjadi pula di Desa Sriwulan. Sejak adanya INTAM, beberapa
petani acap menambah sumber penghidupan dari aktivitas tambak udang windu
dan ikan bandeng. Bahkan tidak sedikit pula warga yang langsung mengubah
sepenuhnya sumber penghidupan: dari sawah (pertanian) menjadi tambak
udang windu (udang bago). Banyak dari mereka yang belajar bertambak kepada
petambak lain terlebih dahulu. Apalagi dalam program INTAM, terdapat konsep
PIR yang memungkinkan adanya petambak inti (biasanya perusahaan) sebagai
pemberi masukan teknis kepada petambak plasma. Menurut Asrofi (2017), persis
pada kurun waktu ini, sebagian warga Sayung mulai melakoni penghidupannya
secara turun-temurun menjadi petambak.
Pergeseran berikutnya tentang migrasi orang ke Sayung. Sebagian dari
mereka bekerja sebagai buruh tambak. Ada pula yang datang untuk sekadar
menyewa petak tambak di Sayung. Kemudian ada juga yang datang untuk
menyewa petak tambak dan sekaligus bermukim di Sayung. Salah satu contoh
keluarga yang datang dan kemudian bermukim adalah Kasmadi dan Sukati.
Mereka memboyong seluruh keluarga sejauh 18 kilometer dari pusat Kabupaten
Demak ke Desa Bedono. Kasmadi mengikuti jejak kakak dan adiknya yang sudah
lebih dulu pindah. “Saking senangnya, kepincut, karena dulu daerah ini (Bedono–
penulis) makmur bukan main,” kata Kasmadi kepada Clara Rondonuwu pada 2010.82
81
Asrofi, Akhmad, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko. 2017. “Strategi Adaptasi Masyarakat
Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah
(Studi di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah).” Jurnal Ketahanan
Nasional 23(2): 125–44.
82
Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).
43
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
44
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
c . M e n j a di P e m a s o k U t a m a
Suntikan dana utang ADB dan Bank Dunia “mujarab”. Tidak menunggu lama,
produksi udang tambak di Indonesia melesat cepat dari 27.600 ton pada 1983,
menjadi 82.573 ton pada 1988. Bersamaan dengan itu, perolehan udang
tangkapan laut juga meningkat dari 149.800 ton pada 1983, menjadi 236.255 pada
1988. Alhasil, ketika petambak Taiwan bangkrut akibat virus yang menyerang
tambak pada 1988, pemerintah Jepang mantap untuk menggeser permintaan
impor udang ke Indonesia. Tak ayal, pada 1987, capaian ekspor udang Indonesia
meningkat sampai sekitar 44.270 ton atau senilai USD 352,4 juta. Angka tersebut
menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 31,5% dari tahun 1983.
Peningkatan ekspor udang ialah keuntungan besar bagi negara dalam bentuk
devisa. Apalagi pada 1987, ekspor udang merupakan 74,2% dari total ekspor
perikanan (140.390 ton) Indonesia. Dari situ negara mendulang kekayaan senilai
USD 475,2 juta. Sejak saat itu Indonesia merupakan salah satu pemasok utama
udang ke Jepang. Capaian itu dimungkinkan oleh beberapa keadaan: seperti (1)
sumber daya alam Indonesia luas; (2) ketersediaan buruh murah melimpah; (3)
iklim Indonesia kondusif (bisa dilakukan sepanjang tahun) untuk budidaya udang;
dan (4) kemudahan membuat pembenihan skala rumahan.
Indonesia banyak mengekspor dalam bentuk pengolahan udang beku dan
tanpa kepala. Bentuk udang semacam itu kesukaan orang-orang AS, sehingga
45
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
di sana udang dari Indonesia sangat diminati. Oleh sebab itu, meski ekspor
udang Indonesia ke AS relatif kecil pada 1980an, namun trennya tetap meningkat
dengan rata-rata mencapai 41%/ tahun. Keadaan itu terus berlanjut hingga
dekade 1990an. Pada 1990, total produksi udang Indonesia mencapai 120.000
ton, dari sebelumnya hanya 27.600 ton pada 1983. Tidak heran, di tataran
dunia, saat itu Indonesia memang termasuk pemasok terbesar udang tambak.83
Di Rejosari, seorang bayi tumbuh bersamaan dengan waktu ketika udang
windu dari Indonesia mengalir ke Jepang dan AS. Bayi itu bernama Wolulikur,
anak Haji Fulan. Keluarga Haji Fulan hidup serba berkecukupan dari hasil
bertambak. Dari situ pula keluarga Fulan mampu pergi haji ke tanah suci. Di
Rejosari, Haji Fulan cukup terkenal sebagai pemilik tambak udang cukup luas.
Tambak Haji Fulan ada dua petak, masing-masing seluas 2-3 hektare.
Pada dekade 1990an, ketika Wolulikur masih anak-anak, memang sudah ada
banyak tambak udang di Rejosari. Wolulikur bilang, banyak saudara ayahnya
ikut bertambak di sana. Orang-orang di Dukuh Pandansari, tempat di mana
perahu Wolulikur mangkal, mengenal Haji Fulan sebagai petambak kaya.
Sementara sang Ibu, lahir dan besar di Dukuh Tambaksari. Menurut Wolulikur,
tak beda dengan saudara ayahnya, paman dan bibi Wolulikur dari pihak ibu
juga petambak. Bedanya, jika saudara dari ayah bertambak di Rejosari, saudara
dari ibu di Tambaksari.84
“Nek ndisik ya tambake ana galengane, ora mung waring-waring tok
ngono kuwi,” kata Wolulikur sembari menunjuk tambak dari atas perahu,
sepulang kami dari Rejosari dengan cara menumpang perahu miliknya.85
83
Vondruska, John. 1991. “World Shrimp Situation 1990: Effect on Southeast Harvesting.” NOAA
Technical Memorandum NMFS-SEFC 294.
84
Wawancara dengan Wolulikur, 25 Januari 2022.
85
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Kalau dulu tambaknya ada pematangnya, bukan hanya
jaring-jaring seperti itu.” Pematang tambak yang disebut Wolulikur telah hilang akibat abrasi.
86
Aditjondro, George Yunus, Eris Sabti Rahmawati, Euis Laelasari, and Mathori A. Elwa. 2003.
Kebohongan-Kebohongan Negara Perihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup Nusantara. Vol. 412.
17th ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
46
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
tambak yang berada di tepi pantai. Tambak kelas II berada di antara pantai
dan kampung. Sementara tambak kelas III berada persis di dekat kampung.
Tabel 3: Ekspor udang windu pada 1980an ke berbagai negara. Sumber: Untung Wahyono, 1990.
Negara Tujuan 1983 1984 1985 1986 1987 1988 Rata-rata ekspor per tahun
Belgia dan
20 56 127 608 1.375 1.570 156,03
Luxemburg
Kualitas ikan bandeng dan udang bago dari tambak kelas I memang lebih
baik daripada kelas II dan kelas III. Dari segi rasa, ikan dan udang dari tambak
kelas I lebih segar, tidak terlalu amis, dan tidak berbau lumpur. Berbeda dengan
ikan dari tambak kelas III yang sering berbau lumpur. Bersamaan dengan itu,
permintaan ekspor udang windu terus meningkat sejak 1980an (Lihat Tabel 3).
Tak ayal, kurun waktu 1980–1990an, dikenal sebagai “booming udang windu”.
d. P e r g e r a k a n P e n du k u n g T a m b a k
Program INTAM pada PELITA IV telah memicu “Booming udang windu”.
Kondisi tersebut menyulut penanaman modal swasta pada sektor pendukung
47
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
e . K e h i du p a n M e r o s o t
Beberapa bagian sebelumnya merupakan potret menyenangkan dari adanya
“Booming udang windu.” Namun kini, cerita menyenangkan semacam itu telah
berakhir. Yang sekarang tersisa adalah cerita tidak menyenangkan tentang
kehidupan dan penghidupan warga. Adanya perluasan tambak untuk memenuhi
kebutuhan udang dunia, punya konsekuensi tersendiri di Sayung. Misalnya,
perluasan tambak menjadi pintu masuk air laut ke daratan. Lahan sawah yang
pernah menjadi sumber kemakmuran, kini banyak yang tidak bisa ditanami
karena infiltrasi air laut. Lahan tambak yang pernah menjadi kejayaan, kini
sudah kehilangan pematang. Akibatnya, lahan tambak sudah sulit untuk digunakan lagi.
87
Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production in Indonesia.” in Proceedings of The Shrimp
Culture Industry Workshop , edited by W. G. Yap. Jakarta: Direktorat Bina Produksi.
48
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang
88
Wawancara dengan Wolulikur, 25 Januari 2022.
89
Substansi dua paragraf Wawancara dengan Wolulikur, 25 Januari 2022.
90
Wawancara dengan Telungpuluhsiji dan Telungpuluh, 20 Oktober 2021.
49
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
50
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
“Itu siklus (meninggikan rumah) ... Yang samping itu rata-rata 5 tahun sampai
7 tahun naik. Roto-roto 5 tahun sudah akan hilang (rumahnya). Roto-roto 5
tahun sudah tenggelam. Itu saya naikkan yang sana bulan 5 tahun kemarin.
Tahun 2020 sudah naik. Ini aja udah naik di sepatu-sepatu itu, pas rob itu.”
Telungpuluhtelu, warga Desa Sriwulan
Gambar 3: Peta Sebaran Banjir Rob di Pesisir Semarang-Demak. Sumber: Laporan Investigasi Banjir 23-25
Mei 2022, Maleh Dadi Segoro (2022).
Peristiwa banjir rob pada 23 Mei 2022 termasuk salah satu momen banjir
paling besar dalam sejarah Kota Semarang, bahkan di Provinsi Jawa Tengah.
Momen banjir rob tersebut, tidak hanya menggenangi Kota Semarang, tapi
51
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 4: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 1985. Sumber: Diolah oleh Tim
penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (1985).
Banjir rob bukan hal baru bagi warga Sayung, Kabupaten Demak. Mereka
sudah sering mengalami penderitaan akibat rob, paling tidak sejak pertengahan
tahun 1980. Warga Sayung punya anggapan, air mulai naik semenjak adanya
pembangunan di Tanjung Mas Semarang. Sejak saat itu, daratan di pesisir
Sayung mulai terkikis: jarak antara pantai dengan permukiman berubah drastis.
52
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
Semula jarak permukiman ke bibir pantai adalah 3,5-4 kilometer. Namun saat
ini, permukiman sudah menjadi bibir pantai itu sendiri. Perubahan pesisir
Demak tahun 1985-2022, bisa disimak dari peta-peta yang tertera di bab ini.
Gambar 5: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 2003. Sumber: Diolah oleh tim
penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (2003).
Pada tahun 2000, sebuah dusun bernama Senik di Desa Bedono tenggelam
akibat tergerus abrasi. Bahkan pada 2005, warga di Senik sampai bedol desa
(relokasi) ke Dukuh Badong di Desa Sidogemah dan Dukuh Daleman di Desa
Gemulak. Nahasnya, cerita tenggelamnya desa di Sayung tidak berhenti di
Dukuh Senik. Dukuh Timbulsloko yang berada di Desa Timbulsloko juga mulai
tenggelam. Hari ini kondisi Dukuh Timbulsloko sudah tidak memiliki akses jalur
darat. Warga Timbulsloko hidup di atas laut dengan meng-gladak rumah dan
membangun jembatan dari papan kayu sebagai jalan desa.
53
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 6: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 2012. Sumber: Diolah oleh Tim
Penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (2012).
54
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
Gambar 7: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 2022. Sumber: Diolah oleh Tim
Penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (2022).
55
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
tinggi hanya sekitar 30 sentimeter. Tetapi pada momen itu, ketinggian banjir
mencapai 50-70 sentimeter. Beberapa anak tampak bermain air, tetapi para
orang tua khawatir akan ancaman penyakit.91
Beberapa jam setelah kejadian tanggul jebol di Pelabuhan Tanjung Mas, air
laut mulai masuk ke permukiman warga Desa Sriwulan. Warga yang terdampak
banjir rob mengungsi di dua tempat: Masjid Sriwulan sebanyak kurang lebih
25 jiwa dan di panti asuhan sejumlah kurang lebih 45 jiwa. Di Balai Desa
Sriwulan, terdapat dapur umum yang diinisiasi BPBD Demak dan Palang Merah
Indonesia (PMI). Selain itu, ada pula dapur umum mandiri di tiga tempat yakni
RW 02, RW 03, dan RW 05.
Gambar 8: Banjir di Desa Sriwulan (kiri) dan antrean air bersih di tengah kondisi banjir di Desa Sriwulan.
Sumber: demakkab.go.id.
Dinas Kesehatan Kabupaten Demak ikut membantu saat rob menerjang Desa
Sriwulan. Dinas tersebut menyalurkan bantuan air bersih, pelayanan kesehatan,
dan logistik. Menurut Agus Nugroho Luhur P, Kepala BPBD, penyebab banjir
rob di pesisir Demak adalah tingginya air pasang dan adanya gelombang laut
dalam kategori sedang (1,25–2,5 meter). 92 Belum selesai dengan rob akibat
91
Rob setinggi 20 Sentimeter juga menerjang RW 01, Kelurahan Bandarharjo. Lurah Bandarharjo, Emi
Setiana Estu Handayani mengatakan “Ini memang tinggi-tingginya dari RT 01 sampai RT 09, mas.”
Lihat: Septiadi, Baskoro. 2022. “Tanggul Jebol Karena Rob, Kawasan Tanjung Emas Semarang
Dikepung Banjir Artikel Ini Telah Terbit Di: https://Radarsemarang.Jawapos.Com/Berita/Jateng/
Semarang/2022/05/23/Tanggul-Jebol-Karena-Rob-Kawasan-Tanjung-Emas-Semarang-Dikepung
-Banjir/Copyright © RADARSEMARANG.ID.” Radarsemarang.Jawapos.Com. Retrieved June 24, 2022
(https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/semarang/2022/05/23/tanggul-jebol-karena-rob-
kawasan-tanjung-emas-semarang-dikepung-banjir/).
92
Kominfo. 2022b. “Dampak Tanggul Jebol Dan Rob Genangi Wilayah Sayung.” Diskominfo.Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://dinkominfo.demakkab.go.id/berita/detail/dampak-tanggul-jebol-
dan-rob-genangi-wilayah-sayung).
56
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
tanggul jebol di Pelabuhan Tanjung Mas, warga Sriwulan dikagetkan lagi dengan
banjir rob akibat dua tanggul jebol di Kali Menyong.
Dua tanggul jebol memicu banjir setinggi pinggang orang dewasa atau 1,5
meter. Imbasnya, banyak rumah dan kendaraan warga terendam. Pada waktu
bersamaan, listrik juga padam sehingga menyulitkan warga beraktivitas dan
mendapat air bersih. Warga Sriwulan mengungsi di rumah-rumah warga yang
kondisinya tinggi dan di tempat ibadah. Daerah paling parah adalah RW 08,
meliputi 76 RT dengan jumlah penduduk sekitar 2.700 KK atau 10.000 jiwa.93
Salah satu keluhan korban banjir rob di Sriwulan adalah sulit mendapat air
bersih. BPBD Kabupaten Demak sempat memberikan bantuan air bersih bagi
warga terdampak. BPBD mengirimkan sebanyak enam truk tangki (satu tangki
di antaranya sumbangan PDAM Demak) air bersih berkapasitas masing-masing
5.000 liter. Warga mengambil air dari truk tangki menggunakan galon, jerigen,
dan ember besar. Hanya dalam hitungan menit, air bersih dari truk tangki ludes
dibawa pulang warga.94
93
Anon. 2022a. “10.000 Warga Desa Sriwulan Mengungsi Akibat Tanggul Jebol.” Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://demakkab.go.id/news/10000-warga-desa-sriwulan-mengungsi-
akibat-tanggul-jebol).
94
Kominfo. 2022a. “Air Bersih Susah Di Dapat Akibat Terkena Banjir Di Desa Sriwulan Sayung.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved May 27, 2022 (https://dinkominfo.demakkab.go.id/
berita/detail/air-bersih-susah-di-dapat-akibat-terkena-banjir-di-desa-sriwulan-sayung).
95
Lihat: (1) Sanjoto, Tjaturahono Budi, Sunarko, and Satyanta Parman. 2016. “Tanggap Diri Masyarakat
Pesisir Dalam Menghadapi Bencana Erosi Pantai (Studi Kasus Masyarakat Desa Bedono Kabupaten
Demak).” Jurnal Geografi 13(1):90–100; dan (2) Roswaty, Sefanya, Max Rudolf Muskananfola, and
Pujiono Wahyu Purnomo. 2014. “Tingkat Sedimentasi Di Muara Sungai Wedung Kecamatan
Wedung, Demak.” Diponegoro Journal of Maquares 3(2):129–37.
57
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
“1991 itu saya lihat di sini tu senang bu. Daerah pertanian depan itu padi,
trus tanaman sayuran masih hidup. Saya karna asli dari Jogja melihat
pertanian senang.”98
96
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
97
Ghaffar, Abdul. 2019. “Menelusuri Pesisir Zona Dalam Tanggul Tol Laut Semarang-Demak.”
Takselesai.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://takselesai.com/2019/09/04/menelusuri-pesisir-
zona-dalam-tanggul-tol-laut-semarang-demak/).
98
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, 20 Oktober 2021.
58
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
“Itu siklus (meninggikan rumah) itu saya lupa. Yang samping itu rata-rata
5 tahun sampai 7 tahun naik. Roto-roto 5 tahun sudah akan hilang
(rumahnya). Roto-roto 5 tahun sudah tenggelam. Itu saya naikkan yang
sana bulan 5 tahun kemarin. Tahun 2020 sudah naik. Ini aja udah naik
di sepatu-sepatu itu, pas rob itu.”100
99
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
100
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, 20 Oktober 2021.
59
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Kondisi serupa terjadi pula di desa-desa yang terletak lebih jauh dari Kota
Semarang. Misalnya saja Desa Timbulsloko dan Desa Surodadi—dua desa yang
berada di timur laut Desa Bedono. Kedua desa tersebut, secara berangsur-
angsur, juga ikut terkena abrasi. Pada awal 2000, terdapat 25,5 hektare daratan
di Desa Timbulsloko yang berubah menjadi laut, sementara di Desa Surodadi
mencapai 10 hektare.101
Gambar 9: Permukiman yang terendam rob di Desa Bedono (kiri) dan banjir rob di Desa Sriwulan (kanan).
Sumber: Survei primer, 2021.
101
Setyati, Ari Wilis, Arya Rezagama, Tri Winarni Agustini, Yusup Hidayat, Narendra Prasidya Wishnu,
and Dyah Ayu Wulandary. 2018. “Inovasi Penanganan Mitigasi Bencana Desa Bedono Kecamatan
Sayung Demak Akibat Efek Abrasi.” Pp. 198–200 in Proceeding SNK-PPM. Vol. 1. Semarang.
60
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
“Oh dulunya sawah, daerah situ kan sawah, sawah jadi tambak, tambak
sekarang jadi lautan. Belakang ini kan sudah lautan semua.”104
102
Suara Merdeka, 18 Desember 2014.
103
Asrofi, Akhmad, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko. 2017. “Strategi Adaptasi Masyarakat
Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah
(Studi Di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah).” Jurnal Ketahanan
Nasional 23(2):125–44.
104
Wawancara dengan Rongpuluh, 28 Oktober 2021.
61
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Pada 2004, intensitas pasang air laut di Bedono makin tinggi lagi. Pelan-
pelan, Dukuh Rejosari Senik pun makin digenangi air laut; tenggelam. Dua tahun
kemudian, karena sudah benar-benar tenggelam, semua warga terpaksa pindah
ke tempat lebih aman (relokasi).105 Menurut Bu Rolikur, satu-satunya keluarga
terakhir yang tinggal di Dukuh Rejosari (Senik), pada 2005 warga melakukan
unjuk rasa menuntut Pemerintah Kabupaten Demak untuk melakukan relokasi.
Pada 2006, satu per satu keluarga mulai pindah, hingga pada 2010, kampung
nyaris kosong dan hanya meninggalkan keluarga Bu Rolikur saja.106
Gambar 10: Kondisi rumah di Rejosari Senik sudah tidak berpenghuni. Sumber: Survey Primer, 2022.
“Oh 2000 pun enten rob e. Paling parah ngeh niki. Wes tambah temen. Iya
semakin naik semakin, naiknya cuma sakmenten sakmenten niki (sekitar 10 cm).”107
105
Amindoni, Ayomi. 2020. “Perubahan Iklim: Kisah Keluarga Yang Bertahan Sendirian Di Tengah Desa
Yang Tenggelam.” Www.Bbc.Com. Retrieved June 8, 2022 (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
51354895).
106
Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
107
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “2000 sudah ada robnya. Paling parah ya ini. Sudah tambah parah.
Iya semakin naik semakin, naiknya cuma segini (sekitar 10 cm).” Lihat: Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
62
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
kehilangan sumber pendapatan. Belum lagi rasa khawatir karena tanah terus
ambles dan itu berarti rob bakal masuk ke rumah. Lambat laun, apa yang
mereka khawatirkan menjadi kenyataan. Rob makin parah dan seluruh warga
Dukuh Rejosari Senik terpaksa pindah.
a . B e do l D e s a D u k u h R e j o s a r i S e n i k , D e s a B e do n o
Proses relokasi warga Dukuh Rejosari Senik dilakukan pada tahun 2005.
Pemerintah mulai ikut membantu relokasi, setelah sebagian besar rumah milik
sejumlah 206 KK makin terendam air. Sebagian besar warga direlokasi ke
Dukuh Badong (Desa Sidogemah) dan Dukuh Daleman (Desa Gemulak). Kedua
desa tempat relokasi masih masuk wilayah Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Pemerintah menyediakan tempat relokasi warga di Dukuh Badong (Desa
Sidogemah) di lahan irigasi. Status lahan tersebut adalah pinjaman pemerintah,
sehingga sewaktu-waktu pemerintah dapat memintanya kembali. Alhasil sampai
saat ini, warga Dukuh Rejosari yang pindah ke Dukuh Badong tidak memiliki
kejelasan status kepemilikan tanah. Banyak dari warga sangat khawatir dengan
ketiadaan status kepemilikan tersebut.
“Anu (relokasi) awit bupatine Bu Endang, awit tahun 2005. Niko disukani
omah ngeten kaleh disukani pasir ketoke sak trek nopo pinten nggeh,
108
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Padahal dulu katanya DPR, yang jabat Bu Endang (Endang
Setyaningdyah), katanya bisa HM, Tapi Pak Yani tidak berani (maksudnya adalah Tafta Zaini, Bupati
Demak yang menjabat setelah Endang Setyaningsyah). Bupati sekarang gimana ya tidak berani,
milik BBWS, Pak Tata Yani dengan saya dekat, tapi tidak berani. Tanah di Senik Lama masih HM, per
meter 2000 di Senik Lama, nyari batasnya dari mana dari sertifikat, kelihatan dari batasnya.” Lihat:
Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
63
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
pasire sak trek kaleh watu niku watu padas niko sak trek. Sak mene
ketoke 15 sak ketoke karo dibantu duwit sak juta kae jaman-jamane
mbiyen niko. Iki tanah irigasi coro dene. Rumahe bangun piyambak
disukani lemahe kaleh pasire ngoten. Hak milik e niki nak jaman niko yo
turene irigasi-irigasi ngoten.”109
Hampir seluruh warga telah pindah dari Dukuh Rejosari Senik pada 2010.
Sampai buku ini ditulis, tersisa satu keluarga yang memutuskan bertahan:
keluarga Bu Rolikur. Alasan keluarga Rolikur bertahan ialah karena ingin
merawat Dukuh Senik sedikit demi sedikit dengan cara menanam mangrove.
“Lha kulo niku to bu pokok e seng ngerawat Dusun Rejosari Senik lah.
Lha niki umpomo ora tak rawat yo mpun telas. Wong kulo ngerawate
mpun dangu kok bu. Mpun awit tahun 2000 kok. Kulo tanam kedik-kedik,
lhawong dek niku dereng kulo tanemi to bu, griyone kulo niki to angger
enten jawoh, udan angin niku banjir sepalih saking meriko toyone do
mlebet. Nek sakniki kan alhamdulillah aman. Awit mriki mangrove e
ageng-ageng keterak abrasi sak katah e.”110
109
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Dari Bupatinya Bu Endang, dari tahun 2005. Dulu dikasih
rumah gini dan dikasih pasir kayaknya 1 truk apa berapa ya, pasirnya 1 truk dan batu itu batu padas
itu 1 truk. Segini sepertinya 15 karung kayaknya sama dibantu uang 1 juta jaman dulu. Ini tanah irigasi.
Rumahnya bangun sendiri dikasih tanah sama pasirnya itu. Hak miliknya ini sekarang ya katanya
irigasi irigasi gitu.” Lihat: Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
110
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Saya itu pokoknya yang merawat Dusun Rejosari Senik
ini bu. Misalnya tidak saya rawat ya sudah habis. Saya merawatnya sudah lama kok bu. Sudah dari
tahun 2000. Saya tanam sedikit-sedikit, soalnya dulu belum saya tanami bu, rumah saya ini kalau
ada hujan, hujan angin itu banjir setengah dari sana airnya masuk. Kalau sekarang alhamdulillah
aman. Dari sini mangrovenya besar-besar terkena abrasi banyak sekali.” Lihat: Wawancara dengan
Bu Rolikur, Oktober 2021.
111
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “…Pokoknya istighfarnya bu. Sudah saya niatkan di sini bu,
sebisanya lah, kalau ada angina da hujan deras ya sebisanya saya. Supaya bisa selamat.” Lihat:
Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
64
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
“Yo kerokan mawon pokoke wong tilem e teng duwur air kok. Yowes
angger sirah e ngelu yo pokok e kerik an ngoten. Obat e nggih kulo cawis-
cawis kulo sok balsam, masker kui nopo lah segala cawis kulo. Obat-
obatan tapi mboten nate obat-obatan kulo bu.”112
“Toyone nganu nek mboten enten jawoh kulo mbeto ngangsu teng
Pandansari. Mbeto jirigen. Lha nek jawoh niki katah liyane. Seng damel
masak nggih taseh ngangsu teng pandeansari. Niki damel umbah-umbah
kaliyan damel pakpung.Sing 15-20 literan niku. Langsung dipake selang
kok. Lha mangke nek tekan griyo disedot mriki (Bu Rolikur menunjukan
mesin pompa untuk menyedok air dari jirigen). Aki niki kaleh niki dadi
mboten sah njunjungi. Nek ngangsu terus yo saget seminggu peng kaleh bu.”113
112
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Ya kerokan saja pokoknya, tidurnya juga di atas air kok.
Ya sudah kalau kepalanya pusing ya pokoknya kerokan gitu. Obatnya ya saya sediakan seperti
balsam, masker itu semuanya saya sediakan. Obat-obatan tapi tidak pernah pakai obat saya bu.”
Lihat: Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
113
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Airnya kalau tidak ada hujan saya ngangsu di Pandeansari.
Bawa jirigen. Lha kalau hujan banyak. Yang untuk masak ya masih ngangsu di Pandeansari. Ini untuk
nyuci baju dan mandi. Yang 15-20 literan itu. langsung pake selang kok. Nanti kalau sampai rumah
saya disedot di sini (Bu Rolikur menunjukan mesin pompa untuk menyedok air dari jirigen). Ini sama
ini jadinya tidak perlu angkat-angkat. Kalau ngangsu bisa satu minggu 2 kali bu.” Lihat: Wawancara
dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
65
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 11: Perahu sebagai alat transportasi di Dukuh Rejosari Senik. Sumber: survei primer, 2021.
“Seneng teng mriko. Teng mriko kan angsal bantuan katah coro dene.
Niku pindahe teng mriki, nggeh gadah teng mriki di dol. Di dol terus balik
mriko malih. Di dol jaman iko jeh murah. Pajeng 5 juta duko pinten ngoten
jaman niko nak sak niki nggeh 30 nggeh pajeng sak perumahan niki. Niki
piyambake mpun damel griyo teng Lengkong teng Donorejo mriko
Buyaran, teng mriko mpun damel omah, nggeh mpun sae griyane tapi
manggone tasih teng Senik. Tasih piyambake dadi wong mriko, tua-tuan
teng mriko teng Deso Senik.”114
114
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Senang di sana. Di sana dapat bantuan banyak. Itu
pindahnya di sini, ya punya rumah di sini dijual. Dijual terus balik lagi ke sana. Dijual pada saat dulu
itu masih murah. Laku 5 juta apa berapa gitu jaman dulu, kalau sekarang ya 30 juta laku perumahan
sekarang. Ini dia sudah bangun rumah di Lengkong di Donorejo sana Buyaran, di sana sudah bangun
rumah, ya sudah bagus rumahnya tapi tinggalnya masih di Senik. Dia masih jadi orang sana, jadi
sesepuh di Desa Senik.” Lihat: Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
115
Ernawati, Jenny. 2011. “Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Suatu Tempat.” Local Wisdom - Jurnal
Ilmiah Online 3(2):1–9.
66
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
b . P e n g h i du p a n P e n g h u n i T e r a k h i r di A r e a T e n g g e l a m
Sumber penghidupan keluarga Bu Rolikur berasal dari aktivitas nelayan dan
tambak dengan penghasilan tidak menentu. Terkadang hasil memanen ikan atau
kerang mencapai Rp50.000-Rp70.000. Namun sering pula keluarga Bu Rolikur
sama sekali tidak mendapat penghasilan, karena tambak makin tergerus air
laut. Padahal Rolikur perlu menyewa tambak seluas dua hektar yang sudah
tenggelam seharga satu juta/tahun. Bu Rolikur juga ikut mencari tambahan
penghasilan lewat berbagai macam cara.
“Kulo nek niki yo nelayan. Kulo nggih nderek gagap-gagap ngoten kersane
kangge damel sangu anak. Mboten cukup bu ngandalke nelayan bapak.
Ra cukup nek wayah sepi. Masalahe Cuma 50 Cuma 70 neng angsal nek
mboten nggih mboten kok. Niki wonten nek seminggu mboten onten. Kulo
nggih gagap-gagap. Biasane nggih angsal 5 kg nggih ikan nggih kerang,
kerang ijo ngeten niku.” 117
116
Ernawati, Jenny. 2011. “Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Suatu Tempat.” Local Wisdom - Jurnal
Ilmiah Online 3(2):1–9.
117
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Saya itu ya nelayan. Saya ikut cari-cari gitu supaya bisa
untuk uang saku anak. Tidak cukup bu mengandalkan nelayan bapak. Tidak cukup kalau lagi sepi.
Masalahnya cuma 50, cuma 70 kalau dapat, kalau tidak dapat ya tidak dapat apa-apa. Ini ada
mungkin seminggu sudah tidak dapat apa-apa. Saya juga ikut cari-cari. Biasanya dapat 5 kg ikan apa
kerang, kerang ijo gitu.” Lihat: Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
67
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Salah satu sumber pemasukan Rolikur berasal dari usaha bibit mangrove.
Dia menjual bibit mangrove kepada mahasiswa, wartawan, atau instansi pemerintah
yang membutuhkan. Dia juga menawarkan jasa tanam mangrove di sekitar
Dukuh Rejosari Senik. Satu bibit mangrove dijual Rp2.000, sudah termasuk
jasa tanam. Dari pekerjaan nelayan dan menjual bibit mangrove keluarga Rolikur
mencukupi kehidupan sehari-hari dan membiayai sekolah anak-anaknya.
“Yo nganu mas asale kulo yo akal-akal dewe. Lha terus kok dijunjung-
junjung yo alhamdulillah. Asline kulo yo akal-akal piyambak. Carane
mboten wonten seng ngajari lah pelatihan dewe lah. Asale nggih nandur-
nandur niku. Asale onten kulo billean onten bibit-bibit kulo titili.”119
Mangrove punya banyak sekali manfaat. Mangrove bisa dijadikan salah satu
bentuk upaya mengatasi abrasi. Mangrove merupakan tempat tinggal berbagai
macam jenis burung, ikan-ikan, dan bahkan kepiting. Jenis burung yang tinggal
di “Taman Mangrove” beraneka ragam. Mulai dari burung kecil sampai burung
besar seperti derkuku, blekok, untul, dan masih banyak lagi. Sementara ikan
dan kepiting dapat diambil dan dijual, sehingga menguntungkan para nelayan.
118
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “kan itu bu, anak-anak kuliahan cari bantuan ke saya. Bibit
saya dibeli disuruh tanam, saya dikasih uang. Saya kalau buat bibit banyak bu. Ada kalau 50 ribu.
Nanti dibeli wartawan-wartawan. Ya alhamdulillah dari anak kuliahan itu anak saya mau sekolah SD
bisa untuk tambah-tambah bu alhamdulillah bu dapat bantuan bu.” Lihat: Wawancara dengan Bu
Rolikur, Oktober 2021.
119
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Asalnya saya mengakali sendiri mas. Terus akhirnya
alhamdulillah. Aslinya akal-akalan saya sendiri. Caranya tidak ada yang ngajari, pelatihan sendiri.
Asalnya ya tanam-tanam itu. asalnya itu ada bibit saya punguti.” Sumber: Wawancara dengan Bu
Rolikur, Oktober 2021.
68
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
“Burung e yo wes jutaan mriki. Iya damel griyo burung niku sak mriko. Sak
sekitar daerah niki lah senik mriki burung e manggone. Katah derkuku nggih
enten. Terusan nopo kui, manuk blekok, untul, terus manuk seng ireng-ireng niku
mboten paham. Seng katah wes manuk nger mbarang niku. Wes sak enten e
pokok e segala manuk enten pokok e seng alit seng ageng. Mboten saget ngarani
kulo. Niku ngen ulam bu, ngen ulam kerang piting….”120
Gambar 12: Kondisi burung-burung yang hidup di hutan mangrove Senik. Sumber: Survei primer, 2021.
“Ooh saget (damel sirup). Kulo tak damel kripik, kulo damel teh mbarang
niku. Ooh nggih kulo wayah woh (brayo) nggih kulo unduhi kulo sadeni
teng tambaksaari sak wakul berkat niku Rp. 15.000 nek sedinten nggih
angsal yotro 70 lah 100 lah. Kulo pendeti bibitan mangrove nggih kulo
pendeti, brayo nggih kulo pendeti.”121
120
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Burungnya ya sudah jutaan di sini. Buat sarang di sana. Di
sekitar Senik sini burungnya tinggal. Banyak burung derkuku ya ada. Lalu burung blekok, untul, lalu
burung yang hitam-hitam itu saya tidak faham. Pokoknya banyak macam-macam burung. Segala
jenis burung ada pokoknya dari yang besar sampai besar. Tidak bisa jelaskan saya. Itu tempat ikan
bu, tempat ikan, kerrang, kepiting.” Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
121
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Bisa (dibuat sirup). Saya buat keripik, the juga itu. Kalau
waktu ada buahnya saya panen lalu saya jual di Tambaksari satu bakul untuk selametan itu Rp.
15.000, sehari dapat uang 70 atau 100. Saya punguti bibit mangrove, brayo juga saya ambil.”
Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
69
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 13: Teh mangrove sebelum (kiri) dan setelah dikemas (kanan). Sumber: Survei primer, 2021.
Gambar 14: Kondisi mangrove di Dukuh Rejosari Senik. Sumber: Survei primer, 2022.
70
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
menjadi laut. Jalan menuju Dukuh Timbulsloko juga sudah terputus. Kini satu-
satunya akses menuju Timbulsloko hanya menggunakan perahu.
Gambar 15: Rumah gladak di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survey Primer, 2021.
Kini semua wilayah Dukuh Timbulsloko sudah terendam air laut. Oleh sebab
itu, warga Dukuh Timbulsloko berinovasi meninggikan bangunan rumah dengan
cara “dipanggung” seadanya memaki material bambu dan papan kayu. Warga
menyebut konsep “dipanggung” dengan istilah gladak. Tentu saja, pilihan untuk
membuat rumah gladak tidak datang dari langit. Konsep tersebut justru bentuk
siasat warga, karena meninggikan rumah memakai tembok ongkosnya mahal.
122
Wawancara dengan warga Timbusloko, 13 November 2021.
71
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Biaya untuk membuat rumah gladak kurang lebih Rp10 juta. Biaya tersebut
lebih murah dibanding meninggikan rumah dengan tembok. Apalagi, ongkos
mengangkut material seperti pasir dan semen ke Dukuh Timbulsloko saja sudah
lebih mahal dibandingkan harga kayu. Di samping itu, material bambu atau
kayu lebih mudah untuk diangkut menggunakan perahu. Momen pertama ketika
perahu menjadi alat transportasi utama terjadi sejak 2017. Penyebabnya, karena
jalanan menuju Dukuh Timbulsloko terus terendam air laut.
Gambar 16: Jembatan/jalan kayu di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survey Primer, 2021.
Nahasnya lagi, air laut tidak hanya merendam jalan menuju dukuh. Air laut
juga merendam jalan perkampungan yang menghubungkan antar rumah. Kondisi
demikian mendorong warga untuk iuran membangun jalan pada Maret 2021.
Material utama jalan panggung di perkampungan adalah bambu dan papan kayu.
Meski cenderung seadanya, jalan panggung tersebut cukup membantu warga
untuk tetap melanjutkan aktivitas sehari-hari.
Jalan panggung di perkampungan tidak bisa dilewati kendaraan. Jalan itu
setapak; penghubung antar rumah. Karena berbahan kayu, bambu, dan dibuat
seadanya, jalan itu tidak begitu layak dari segi keamanan. Sudah ada beberapa
kasus warga terjatuh dari atas jalan hingga menimbulkan cedera. Kasus warga
jatuh banyak terjadi pada malam hari, saat penerangan minim dan tidak ada
pembatas jalan yang memadai. Seperti kata salah seorang warga Timbulsloko,
72
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
“Nggih, niku lunyu. Sekali tibo niku catu. Niku kan wonten kerange lancip-
lancip, sekali tibo ono seng patah ono seng suwek tangane.”123
Gambar 17: Infrastruktur Pamsimas di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survei Primer, 2022.
Kebutuhan air bersih warga Dukuh Timbulsloko berasal dari dua sumur
Pamsimas—sebuah skema bantuan pemerintah untuk penyediaan air bersih
berbasis masyarakat. Dari kedua sumur itu, air kemudian disalurkan ke setiap
rumah warga. Setiap rumah perlu membayar iuran air sebesar Rp3.000/meter
kubik. Iuran warga hanya cukup membayar biaya listrik (pompa air), belum
123
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Iya itu licin. Sekali jatuh langsung luka. Itu kan ada
karangnya tajam tajam, sekali jatuh ada yang patah ada yang sobek tangannya.” Lihat: Wawancara
dengan warga Timbulskolo, 13 November 2021.
73
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
termasuk biaya perbaikan (apabila ada kerusakan) dan pemeliharaan. Tak ayal,
ketika mesin pompa air rusak, warga terpaksa menggunakan air galon.
“Ini air bersih aja repotnya itu di pembayaran listriknya, nggak ketemu. Jadi
selalu nombok-nombok. kalau pulsa 1 juta ini nggak ada 2 minggu udah habis
kok, sibelnya aja 3,5 pk. Ya kalau setrum 500.000 yo berapa hari habis. Soalnya
penduduknya sudah nggak banyak. Rumah kan pada kosong. …... Ini warganya
dulu 100 cuman kalau dikumpulin paling pas hari ini, paling nggak ada. 100 itu
sudah melebar keluar. Kayak aku emang masih KK sini. Dari dulu memang 100
KK, cuma yang tinggal 50% di sini.”124
Gambar 18: Warga mencari kerang liar di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survei primer, 2021.
124
Wawancara dengan warga Timbulsloko, 13 November 2021.
74
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
“Yang (kerja) di tambak itu sedikit. Ada yang proyek ada yang pabrik. Dikit.
Yo 40% nan. Nelayan itu nelayan tambak lho bu. Tapi tambaknya kan nggak
dikelola, liar.”125
Kian hari kondisi tambak makin memprihatinkan. Air laut terus masuk dan
bahkan makin tinggi. Kondisi tersebut membuat tambak-tambak warga menjadi
tidak bisa lagi digunakan. Akibatnya, banyak warga memutuskan untuk mencari
kerang liar, itu pun hanya ketika ada pesanan. Warga hanya menerima berdasar
pesanan, karena jika harus menjual ke luar, biaya transportasi di Timbulsloko
lebih mahal daripada harga kerang itu sendiri.
Beberapa warga memutuskan tetap bertahan di Dukuh Timbulsloko karena
alasan ekonomi. Mereka tidak punya cukup biaya untuk ongkos pindah, apalagi
untuk membeli rumah baru. Namun tidak sedikit pula yang pada akhirnya
memutuskan pindah. Sebagian ada yang pindah untuk kontrak rumah di tempat
lain, sebagian lagi hanya mampu menyewa kos. Walau begitu, pada acara-acara
tertentu, mereka biasanya kembali lagi ke Dukuh Timbulsloko.126
Merujuk teori place identity, warga Timbulsloko yang sudah pindah tetap
saja kembali ke sana. Meski hanya pada momen tertentu, tapi itu menunjukkan
bahwa mereka masih punya keterikatan dengan tempat asalnya. Mereka masih
memiliki hubungan identitas masa lalu dengan masa kini, berupa keluarga yang
masih bermukim di Dukuh Timbulsloko. Barangkali bagi mereka, identitas dan
nilai seperti itu yang tidak dan/atau sulit ditemukan di tempat lain.
“Kembali. Kaya mau ada acara ini kan orang-orang luar semua to.
Swadaya orang sini semua yang di luar. Jadilah kegiatan ini. Setiap
tahun.”127
Mari sejenak mundur ke belakang. Sebenarnya momen banjir rob dan abrasi
di Desa Timbulsloko tidak bisa dilepaskan dari perilaku warga itu sendiri. Salah
satunya terkait perilaku menebang pohon di kawasan mangrove yang terletak
di pesisir pantai Timbulsloko. Namun warga juga punya alasan mengapa perlu
menebang pohon. Semula banyak limbah kayu pabrik di Pelabuhan Semarang
yang hanyut hingga ke daerah pesisir Timbulsloko. Warga acap mengambil dan
memanfaatkan limbah kayu tersebut untuk kebutuhan kayu bakar.
125
Wawancara dengan Papat, 13 November 2021.
126
Ada beberapa momen acara yang kerap dihadiri warga yang sudah pindah. Misalnya saat nyadran
menjelang bulan puasa, acara silaturahmi, acara arwah jama’ saat lebaran, dan ketika acara santunan
anak yatim pada bulan Suro.
127
Wawancara dengan warga Timbulsloko, 13 November 2021.
75
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 19: Kondisi rob di permukiman Desa Timbulsloko. Sumber: Survei primer, 2021.
76
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
Gambar 20: Peta perubahan pesisir Kecamatan Sayung dari tahun 1985-2022. Sumber: Diolah oleh Tim
Penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (1985,
2003, 2012, dan 2022).
Momen abrasi di Desa Timbulsloko bermula sejak tahun 2003. Pada saat
itu, abrasi di Desa Timbulsloko termasuk salah satu yang terparah di pesisir
Kecamatan Sayung. Setelah tahun 2003, abrasi di Desa Timbulsloko cenderung
makin parah lagi. Sampai akhirnya, kini warga Dukuh Timbulsloko sudah hidup
di atas air. Daratan warga sudah hilang, berubah menjadi laut.
Pemerintah dari level pusat, provinsi, sampai kabupaten sudah melakukan
berbagai macam upaya mengatasi abrasi di Timbulsloko. Misalnya, pemerintah
acap mengajak masyarakat untuk menanam mangrove sebagai usaha untuk
mencegah terjadinya abrasi. Selain itu, pemerintah juga membangun sabuk
pantai di berbagai daerah, salah satunya di Desa Timbulsloko. Sabuk pantai di
Timbulsloko dibangun di batas permukiman warga yang sering diterjang air
laut: sekitar 10-15 meter dari permukiman.128
128
Sinambor, Sonya Helen. 2012. “Abrasi Mengancam Permukiman, Sabuk Pantai Dibangun.”
Regional.Kompas.Com.
77
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 21: Pekerja mengangkut buis beton yang digunakan untuk membangun sabuk pantai di Desa
Timbulsloko. Sumber: Kompas, 20 Juli 2012.
Ada begitu banyak cerita warga dari berbagai desa di Kecamatan Sayung.
Hampir semua, punya cerita memilukan yang sama seputar momen banjir rob
dan abrasi. Namun bukan berarti, masing-masing desa tidak punya perbedaan
yang khas. Perbedaan tersebut dapat disimak melalui, meski tidak terbatas
pada, perkara perkembangan rob, ketinggian air rob, kondisi permukiman, dan
bagaimana masyarakat merespon persoalan. Gambar peta dan tabel berikut ini
coba untuk merangkum perbedaan-perbedaan yang terjadi di daerah Sriwulan,
Bedono, dan Timbulsloko.
78
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles
Gambar 22: Peta ketinggian banjir hujan dan banjir rob di wilayah pesisir Kecamatan Sayung. Sumber: Diolah oleh Tim Penulis dari Rencana
79
Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022), Google Earth (2022), dan Survey Primer (2022).
80
Tabel 4: Aneka perbedaan yang muncul di ketiga desa pesisir di Kecamatan Sayung. Sumber: Hasil analisis Tim Penulis, 2022.
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Lokasi Di daratan Di daratan Di daratan yang sudah rata dengan laut
Mulai
Terendam Tahun 1996 Tahun 1980 Tahun 2017
Rob
Waktu
Mulai Digladak dari tahun 2017 sampai
Peninggian Setidaknya 5-7 tahun sekali Setidaknya setiap 10 tahun sekali
sekarang
Rumah
Kondisi
Permukiman
80
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Gambar 23: Posisi Kecamatan Sayung berada di arah timur laut Pantai Marina dan Pelabuhan Tanjung
Emas. Reklamasi dan pembangunan tanggul di pesisir Semarang mengubah arah arus laut menjadi
berbelok ke timur dan menabrak daratan pesisir Sayung. Sumber: Diolah oleh Syarifah Atia, 2022.
Puncak musim kemarau telah tiba. Sudah nyaris tiga minggu tidak turun
hujan sama sekali. Angin terasa lebih kencang bertiup, dibanding beberapa
minggu-minggu sebelumnya. Teras rumah Pak Wolu di Kampung Tambaksari
Baru terus berdebu, meski sudah berulang kali disapu. Kami datang pada hari
81
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Minggu. Dari seberang rumah Pak Wolu, sejurus dengan titik jalan tol, riuh
terdengar suara anak-anak. Rupanya sedang ada perlombaan untuk anak-anak
dalam rangka menyambut kemerdekaan Indonesia (Agustusan).
Sekitar 200 meter dari rumah Pak Wolu, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT)
PT Pembangunan Perumahan (PP) Semarang-Demak sedang merampungkan
jalan layang yang melintang di atas Jalan Raya Semarang-Demak-Kudus. Jalan
layang tersebut merupakan bagian dari proyek pembangunan jalan tol
Semarang-Demak seksi II. Tiga bulan sebelumnya, PT PP Semarang-Demak
mengumumkan bahwa pengerjaan konstruksi jalan tol Semarang-Demak seksi
II telah mencapai 80,63%. Jalan tol seksi II memiliki panjang 16,31 kilometer,
memanjang dari daerah Sayung sampai ke Demak.129
Dari teras rumah Pak Wolu konstruksi jalan tol tampak sangat terlihat dan
terasa. Dari bawah jalan dekat rumah Pak Wolu, beton-beton precast tampak
terpasang rapi dan menjulang tinggi.130 “Ya begini setiap hari. Panas, debu, saya
tidak kuat kalau tidak pakai kipas angin. Tapi itu jalan tolnya sudah hampir
selesai, sebentar lagi jadi,” kata Pak Wolu.131
Pak Wolu bukan orang asli Desa Purwosari. Kampung Tambaksari Baru di
Desa Purwosari, di mana keluarga Pak Wolu sekarang tinggal, baru ada pada
1999. Sebelumnya kampung itu merupakan lahan pertanian yang dijuluki “sawah
bendera”, lantaran hasil pertanian dari sana dikenal sangat bagus. Keluarga Pak
Wolu, bersama 64 keluarga lain dari Kampung Tambaksari (lama) yang ada di
Desa Bedono, merupakan warga pindahan di Desa Purwosari. Puluhan keluarga
itu, mendirikan rumah di atas tanah irigasi yang secara administratif dimiliki
Dinas Pengairan Kabupaten Demak.132
Kampung Pak Wolu di Tambaksari Lama (Desa Bedono) termasuk kampung
paling awal yang tergerus abrasi. Kepindahan ratusan orang dari Tambaksari
Lama ke Tambaksari Baru berkaitan dengan adanya “tsunami kecil” pada 16
November 1998. Rumah Pak Wolu berada 30 meter dari laut. Namun pada malam
itu, Wolu melihat ombak bergerak dari tengah laut, menghantam bibir pantai,
129
Cakti, Aji. 2022. “Konstruksi Tol Semarang-Demak Seksi 2 Capai 80,63 Persen.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 13, 2022 (https://jateng.antaranews.com/berita/448385/konstruksi-tol-semarang-
demak-seksi-2-capai-8063-persen).
130
Beton precast (dicetak di pabrik) tersebut dibuat oleh PT Wijaya Karya (WIKA) Beton Precast
(Persero) Tbk.
131
Wawancara dengan Pak Wolu, pada 7 Agustus 2022.
132
Total ada 71 keluarga di Kampung Tambaksari (lama). Namun pada saat itu, berdasarkan catatan
Damayanti (2019), ada enam keluarga yang bertahan di Tambaksari dan tidak ikut pindah ke
Purwosari. Saat buku ini ditulis, terdapat sembilan keluarga yang masih tinggal di Tambaksari (lama),
di kanan dan kiri jalan jembatan kayu menuju makam Syekh Mudzakir.
82
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
lalu masuk ke daratan, hingga merendam seluruh rumah warga. Sesaat setelah
peristiwa itu, penduduk Tambaksari mengungsi karena rumah rusak parah.
Satu tahun sebelum momen “tsunami kecil”, rob atau pasang air laut sudah
mulai menggenangi permukiman di Tambaksari. Tidak jarang, ombak dengan
skala kecil sekalipun dapat menjangkau permukiman penduduk. Sejak tahun
1997 pula, beberapa penduduk Tambaksari mulai meninggikan lantai rumah
dengan memasang geladak kayu di atas tanah. Sementara beberapa warga lain
memilih menguruk lantai menggunakan tanah.133
Penduduk di luar Tambaksari punya gejala yang mirip dengan Pak Wolu.
Misalnya saja Patlikur, yang kini berumur 49 tahun. Saat itu, Patlikur merupakan
pemuda Kampung Morosari—sebuah kampung yang terletak bersebelahan
dengan Tambaksari. Patlikur merasa ombak mulai terasa membesar sejak
pertengahan dekade 1990an.
“Dulu saya sering main ke Tambaksari juga. Ya bisa merasakan, ombak
menjadi besar kira-kira tahun sembilan enam - sembilan tujuhan. Pokoknya
sejak pelabuhan sana itu dibangun, dibuat tanggul,” kata Patlikur sambil
menunjuk arah Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dari atas perahu yang
sedang disetirnya di perairan Morosari menuju Tambaksari.134
133
Substansi dua paragraf ini didapat dari: Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir
Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi
Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
134
Wawancara dengan Patlikur, pada 17 Januari 2022.
83
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
135
Pemilahan secara administratif dilakukan untuk menunjukkan di wilayah administratif mana, dan di
bawah kewenangan administratif siapa, pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan. Sedangkan
mengenai dampak seperti ombak yang membesar, rob, dan abrasi, tidak mengenal batas imajiner
semacam batas administratif tersebut.
136
Lihat: (1) Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum BPK RI. Indonesia: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/49513/uu-no-1-tahun-1967; (2)
Poesoro, Awan Wibowo Laksono. 2005. “Membangkitkan Investasi Di Indonesia.” The Indonesia Institute 1–41.
137
Pernyataan Irawan Sadiman tersebut disampaikan dalam pertemuan dengan Kepala Daerah se-
Wilayah Kerja Pembantu Gubernur (eks-Karesidenan) Semarang dan Surakarta.
138
Lihat: (1) Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah.
2021. Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by
W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019.
“Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran
Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
84
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
139
Menariknya, Tanah Mas justru termasuk dalam zona I kawasan ambles dengan ketebalan material urug antara
3-4,5 meter, tebal lempung lunak 25-30 meter, ketebalan pasir 15-17 meter. Lihat: (1) Batubara, Bosman,
Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah. 2021. Banjir Sudah Naik Seleher:
Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta
Prima Nusantara.; dan (2) Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis
Kawasan Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
140
Desa-desa di Kecamatan Genuk Kabupaten Demak yang masuk dalam perluasan Kota Semarang
meliputi; Desa Tambakrejo; Desa Trimulyo; Desa Muktiharjo; Desa Gebangsari; Desa Genuksari; Desa
Karangroto; Desa Banjardowo; Desa Sambirejo; Tlogosari; Desa Bangetayu; Desa Kudu; Desa
Sembungrejo; Desa Tlogosari; Desa Penggaron; Desa Plamongansari; Desa Sendangmulyo.
Perluasan Kota Semarang ke penjuru lain meliputi; sebagian dari wilayah Kabupaten Kendal yang
terdiri dari sebagian desa di Kecamatan Tugu dan sebagian desa di Kecamatan Mijen; sebagian dari
wilayah Kabupaten Semarang yang terdiri dari sebagian desa di Kecamatan Gunungpati dan
sebagian desa di Kecamatan Ungaran. Republik Indonesia. 1976. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 1976 Tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Indonesia.
85
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
PRPP bermula dari terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah saat itu,
Muhammad Ismail, pada 26 Januari 1985. Setelah itu, pemerintah membentuk
Yayasan PRPP yang berperan sebagai pengelola tanah. Yayasan PRPP kemudian
ditugaskan untuk bekerja sama dengan PT Uber Vista Indah melalui Surat
Perintah Kerja nomor 510.1/02442/1985.141
Dalam proyek PRPP, PT Uber Vista Indah memiliki beberapa tugas khusus.
Mulai dari proses menyusun gambar rencana, menjadi kontraktor pembangunan
Semarang Square, sampai menjadi investor pembangunan PRPP itu sendiri.
Presiden Soeharto meresmikan bangunan Semarang Square tahap I pada 1986.
Namun lantaran PT Uber Vista tidak mampu lagi melanjutkan proyek, setelah
peresmian, lantas Gubernur Ismail meminta pemilik PT Puri Sakti Indah untuk
ikut berinvestasi dalam proyek PRPP.
Pemilik PT Puri Sakti Indah cepat merespon permintaan dari gubernur. Dia
langsung mendirikan PT Indo Perkasa Usahatama—belakangan berganti nama
menjadi PT Indo Permata Usahatama (IPU). Kemudian PT IPU diminta segera
mempersiapkan penyelenggaraan PRPP pada 1987. Dalam hal ini, termasuk
membuat desain rencana induk Taman Mini Jawa Tengah, desain rencana induk
PRPP, dan sekaligus melakukan pembebasan tanah seluas 108 hektare. Dalam
perkembangannya luas tanah 108 hektar dirasa tidak cukup. Akhirnya PT IPU
menambah daratan dengan cara mereklamasi laut, sehingga total keseluruhan
area proyek PRPP menjadi 237 hektare.142
Proses pembebasan tanah yang dikerjakan PT IPU tidak berjalan mulus.
Saat itu sempat muncul ketegangan antara PT IPU dengan warga Tawang Mas.
Warga di sana sampai membentuk sebuah organisasi advokasi bernama Forum
Komunikasi Masyarakat Tawang Mas (FKMTM). Dari catatan FKMTM, sepanjang
1984-1987, PT IPU memang membebaskan lahan dan kemudian menguruk sawah,
tambak, hingga Sungai Tawang Mas.143 Semula warga menganggap pembebasan
141
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
142
Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah. 2021.
Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by W.
Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara.
143
Tawang Mas masuk dalam kawasan ambles zona II, dengan ketebalan material urug terdeteksi 2-3
meter, tebal lempung lunak 20-25 meter dan ketebalan pasir 10-15 meter. Batubara B, Wagner I,
Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak;
2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
86
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
dan pengurukan itu untuk PRPP semata. Namun belakangan warga menyadari
bahwa itu justru untuk reklamasi Pantai Marina Tahap I.144
Lambat laun warga Tawang Mas mulai merasakan dampak buruk reklamasi.
Misalnya, warga merasa ketinggian genangan banjir rob di rumah menjadi lebih
tinggi (sampai setengah meter). Genangan air rob acap berwarna hitam pekat,
karena mengandung sampah dan lumpur. Akibatnya, para penduduk, terutama
perempuan, harus mengeluarkan tenaga ekstra pada saat membersihkan rumah.
Anak-anak menjadi lebih rentan pula terserang penyakit, terutama gatal-gatal.145
Nahasnya, pengembangan permukiman baru di pesisir Semarang tersebut
banyak dilakukan pada 1980an. Ketika itu, dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) belum menjadi dokumen wajib yang perlu dipegang para
pengembang.146 Sekitar 40 tahun kemudian, seorang penduduk di Perumahan
Raden Patah, Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, tegas menyebut bahwa ada
dampak lingkungan dari reklamasi Tanah Mas, Puri Anjasmoro, Semarang Indah,
dan PRPP. Salah satu dampak tersebut adalah membeloknya arus laut ke arah
timur dan sedikit demi sedikit menggerus wilayah pesisir Sayung.147
Pada 1990an, Pemerintah Indonesia sedang berada dalam tahap Pembangunan
Lima Tahun (Pelita) V (1989-1994). Salah satu target Pelita V adalah pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 6%. Karena adanya target itu, Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah mensiasatinya dengan cara membuka lebih lebar keran investasi.
144
Menurut FKMTM, pengurugan Sungai Tawang Mas merupakan perbuatan sewenang-wenang yang
tidak mempedulikan lingkungan dan hak-hak masyarakat. Forum Komunikasi Masyarakat Tawang
Mas. 2016. “Sekilas Tentang Reklamasi Pantai Marina Semarang Yang Menggilas Hak Asazi Warga
Tawang Mas, Nelayan Tawang Mas Dan Sekitarnya.” Fkmtm.Blogspot.Com. Retrieved August 18,
2022 (http://fkmtm.blogspot.com/2016/08/sekilas-tentang-reklamasi-pantai.html).
145
Pada 2004, karena dampak tersebut semakin parah, FKMTM mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Semarang. Selain menyoal reklamasi Pantai Marina, FKMTM juga menandai reklamasi untuk
pembangunan Puri Anjasmoro (di dekat PRPP dan Pantai Marina), Perumahan Semarang Indah, dan
PRPP. Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah.
2021. Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by
W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara.
146
Hampir seluruh pengembangan permukiman baru tersebut dilengkapi aneka fasilitas. Mulai dari
penyediaan jasa layanan sosial, jasa transportasi lokal maupun regional, infrastruktur, utilitas yang
berkualitas, hingga lingkungan hijau. Bahkan di Kawasan Puri Marina, dilengkapi pula adanya
kompleks pendidikan, olahraga, kesehatan, dan rekreasi. Lihat: (1) Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah
Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-an-2000.”
Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta; dan (2) Yakub,
Hisyam. 2004. “Hasil Penelitian Kajian Daya Tarik Dunia Pada Perumahan Kawasan Tepi Pantai
(Water Front City) Di Kota Semarang.” Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.
147
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
87
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Ketika itu, pola investasi yang diterapkan sangat berdasarkan potensi masing-masing
wilayah. Ada beberapa sektor investasi yang coba dikerjakan di Jawa Tengah, mulai dari
pertanian, air payau, pertambangan, industri, dan pariwisata.
Sepanjang pantai utara (Pantura) dipandang potensial untuk pengembangan
sektor industri. Akhirnya di Kota Semarang disediakan lahan untuk membangun
pabrik, kawasan perumahan, dan kawasan pariwisata bagi pengembangan usaha
para investor. Ada dua daerah yang dikonsentrasikan sebagai kawasan industri
di Kota Semarang: Kawasan Industri Tugu seluas 1.200 hektare di Kecamatan
Tugu (berada di bagian utara-barat kota) dan Kawasan Industri Genuk seluas
800 hektare di Kecamatan Genuk (berada di bagian utara-timur kota).148
Kawasan industri membutuhkan Pelabuhan Tanjung Mas untuk distribusi barang.
Oleh sebab itu, pembenahan di pelabuhan pun perlu dilakukan untuk menunjang
industri. Salah satu bentuk pembenahan adalah dengan membangun pemecah
ombak (breakwater) untuk melindungi wilayah pelabuhan dari gangguan gelombang.
Panjang pemecah ombak tersebut mencapai 4.970 meter yang dilengkapi jalan masuk
kapal sepanjang empat kilometer (lebar 150 meter dan kedalaman tujuh meter).
Adanya pembangunan pemecah ombak (breakwater) memungkinkan kapal
besar pembawa barang ekspor dan impor merapat langsung di pelabuhan.149
Pembangunan breakwater merupakan bagian dari rencana induk (masterplan)
pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas tahap II. Selain pemecah ombak,
dibangun pula dermaga peti kelas dengan panjang 345 meter, dilengkapi empat
unit gantry crane dan delapan unit rubber tyred gantry (RTG) sebagai alat
bongkar muat kontainer. Pengembangan pelabuhan tahap II selesai tahun 1997.150
Tahap 1 pengembangan pelabuhan dikerjakan pada 1980an. Pada tahap I
nama “Pelabuhan Tanjung Mas” mulai dipakai secara resmi. Penyematan nama
tersebut diresmikan Presiden Soeharto pada 23 November 1985. Pada tahap I,
pertumbuhan distribusi barang-barang industri memang sedang meroket. Pada
1970-1983, arus barang di pelabuhan rata-rata naik 10% setiap tahun.
148
Banyak lahan yang dijadikan kawasan industri, semula merupakan area sawah dan tambak yang
masih produktif. Lihat: Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.”
Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
149
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang..
150
Ardhani, Hani Rahma. 2018. “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Operator Terminal Petikemas Semarang.”
Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
88
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Awal 1980an Pelabuhan Tanjung Emas baru bisa dimasuki kapal berbobot
5.000 deadweight tonnage (DWT)151. Mensiasati itu, pada 1986, pihak pelabuhan
mereklamasi laut seluas 24 hektare untuk pembuatan dermaga utama. Panjang
dermaga tersebut mencapai 495 meter dengan kedalaman sekitar sembilan
meter. Pembangunan dermaga ditujukkan agar kapal dengan kapasitas angkut
barang lebih besar (10.000 DWT) dapat masuk.152
Proyek tahap II bukan pengembangan pelabuhan yang terakhir. Pasalnya,
masterplan pelabuhan memuat sampai tiga tahap pembangunan. Pada tahap III,
pemerintah memproyeksikan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang sebagai salah
satu pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia. Seakan belum cukup, kini
pengembangan Tanjung Emas masih terus berjalan, bahkan masuk dalam Master
Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).153
Awal 1990an pengembangan pelabuhan dan pertumbuhan industri di Genuk
sedang bergeliat. Pada waktu yang sama, secara berangsur-angsur, tambak-
tambak di pesisir Sayung mulai tenggelam. Alhasil banyak keluarga petambak
kehilangan sumber penghidupan sehari-hari. Dari situ beberapa warga Sayung
punya penanda sejak kapan air laut makin naik dan menenggelamkan tambak,
sawah, dan rumah. Hampir semua menandainya sejak pembangunan di Pantai
Marina, Pelabuhan Tanjung Emas, dan kawasan Industri Terboyo di Genuk.154
151
Satuan bobot mati kapal.
152
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
153
Kelanjutan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas ada pada sub-bab berikutnya.
154
Pantai Marina termasuk dalam zona I kawasan ambles dengan ketebalan material urug antara
3-4,5 meter, tebal lempung lunak 25-30 meter, dan ketebalan pasir 15-17 meter. Lihat: Batubara B,
Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir
Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
155
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, Oktober 2021.
89
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Warga Desa Bedono punya penanda yang sama dengan warga Tawang Mas
dan warga Desa Sriwulan. Warga Desa Bedono pun berkata, pembangunan di
Pelabuhan Tanjung Mas pada 1985 menyebabkan adanya peningkatan intensitas
rob dan pada gilirannya menciptakan abrasi di Desa Bedono sejak 1990.
Sebelum adanya pengembangan pelabuhan, banjir rob memang sudah sering
muncul di Desa Bedono. Namun, seperti kata warga yang dulu bermukim di
Tambaksari, Pak Wolu, semula rob justru menjadi bagian dari penghidupannya
sebagai petambak. Sebab, para petambak tradisional seperti Pak Wolu memang
membutuhkan air rob untuk mendapat benih udang, ikan, dan sekaligus untuk
menciptakan air payau. Semua berubah ketika intensitas rob yang masuk ke
daratan makin sering dan tinggi. Peningkatan intensitas itulah yang disebabkan
oleh adanya aneka pembangunan di Kota Semarang.157
Ada benang merah dari cerita warga Tawang Mas, Sriwulan, dan Bedono.
Apa yang warga tandai menunjukkan bahwa pembangunan yang menjorok ke
laut, seperti reklamasi, memang menyebabkan air laut melimpas ke area pesisir
terdekat.158 Menurut Damayanti (2013), pembangunan yang menjorok itu pula
yang memicu perubahan arus laut dan pada gilirannya menimbulkan abrasi.
Dengan kata lain, limpasan air laut dari hasil ombak yang dipecah di kawasan
pelabuhan, sebagian mengarah ke timur dan mengikis daratan Pantai Bedono.159
Ilham Aulia Nur Fuady (2016) dalam Riyana Damayanti (2019) mencatat hal
serupa. Pembangunan tanggul untuk memecah ombak (break water) dengan
pola tertutup di pelabuhan memang mengubah arah dan besaran kekuatan arus
laut. Di pelabuhan kekuatan dan kecepatan arus laut cenderung mengalami
penurunan. Sedangkan di luar kawasan pelabuhan cenderung meningkat dari
0,012 meter/detik menjadi 0,022 meter/detik.
156
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Pelabuhan itu kan diurug-urug, jadi dampaknya ke
sini. Dulu di sini tidak ada rob, sekarang ada rob.” Lihat: Wawancara dengan Sewelas, Oktober 2021.
157
Struktur Kampung Tambaksari era 1980-an berturut-turut dari pantai adalah pantai - tambak -
rumpun mangrove - sawah - permukiman. Lihat: Wawancara dengan Pak Wolu, Agustus 2022.
158
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
159
Damaywanti, Kurnia. 2013. “Dampak Abrasi Pantai Terhadap Lingkungan Sosial (Studi Kasus Di Desa
Bedono Sayung Demak).” dalam Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Semarang: Universitas Diponegoro.
90
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Sebelum break water dibangun, saat pasang air tertinggi, gelombang arus
laut mengarah ke selatan dengan ketinggian 0,5-1,5 meter. Namun setelah break
water dibangun, gelombang arah arus laut bergerak ke utara. Sementara saat
surut terendah, gelombang arus laut dari Pelabuhan Tanjung Emas langsung
mengarah ke timur dan utara—tempat di mana sawah, tambak, dan rumah
orang-orang desa pesisir Sayung berada.
Kendati demikian, tidak semua penduduk sampai pada penandaan semacam
itu. Misalnya, beberapa warga Desa Bedono lebih percaya rob dan abrasi
merupakan pemberian Tuhan. Anggapan tersebut, menurut Damayanti (2019),
disebabkan oleh jarak pengembangan pelabuhan dan terjadinya abrasi terpaut
waktu cukup panjang.160 Selain itu, momen abrasi terjadi bersamaan dengan
peningkatan laju amblesan tanah dan kenaikan ketinggian rob. Momen-momen
tersebut tidak terjadi dalam waktu sehari, melainkan selama bertahun-tahun.
Oleh sebab itu, momen abrasi tidak mudah diamati dan dicari penyebabnya.
b. Pembangunan di Sayung
Pada 08 Agustus 2021, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Demak, Arso
Budiyatno menyatakan, pesisir Kecamatan Sayung mengalami penurunan tanah
(land subsidence) sebesar 4-12 cm/tahun. Angka tersebut diingat Arso dari rapat
sebuah konsorsium pada bulan Juni 2021. Rapat itu dihadiri Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas ESDM Provinsi
Jawa Tengah, Universitas Diponegoro Semarang, dan Wetlands International—
sebuah organisasi asal Belanda.161
Menurut Arso, rapat lintas lembaga tersebut menyimpulkan beberapa hal
menarik. Pertama, land subsidence di wilayah pesisir Demak merupakan satu-
kesatuan dengan apa yang terjadi di Kota Semarang. Kedua, wilayah Sayung
merupakan pesisir utara Demak yang memiliki lapisan tanah yang relatif muda,
sehingga tidak cukup kuat untuk menahan beban berat seperti bangunan besar.
Apabila dipaksakan, maka itu dapat memperparah laju penurunan muka tanah.
Ketiga, ada indikasi bahwa pabrik-pabrik di Kecamatan Sayung mengambil air
tanah (sumur artesis/bor) secara berlebihan, sehingga memicu amblesan tanah.
160
Substansi dua paragraf ini didapat dari: Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi,
Universitas Diponegoro, Semarang.
161
Kerja-kerja Wetlands International berada di seputaran isu mempertahankan dan merestorasi tanah
basah, sumber daya masyarakat, dan keragaman hayati.
91
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Tabel 5: Daftar sebagian pabrik di Sayung, terutama yang beralamat di Jalan Raya Semarang-Demak.
Sumber: Diolah dari https://www.alamatelpon.com/2018/10/daftar-pabrik-industri-di-demak-jateng.html.
PT Karya Cipta Unggul Nusantara Jasa moulding (dekorasi dinding dengan kayu)
92
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
162
Kominfo. 2021. “Kontur Tanah Muda Dan Kawasan Industri, Penyebab Penurunan Tanah Di Demak.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022 (dinkominfo.demakkab.go.id).
163
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
164
Tri, Rosida. 2018. “Daftar Pabrik Industri Di Demak Jateng.” Alamatelpon.Com. Retrieved August 18,
2022 (https://www.alamatelpon.com/2018/10/daftar-pabrik-industri-di-demak-jateng.html).
165
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
93
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
94
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
itu banjir hujan maupun banjir rob. Ketika itu, area belakang rumah mereka
masih berupa sawah dan kebun. Apabila hujan tiba, air langsung meresap ke
tanah yang ditumbuhi pohon pisang, garut, dan mangga.
Pabrik datang dan banyak menggantikan lahan kebun dan sawah di Desa
Purwosari. Akibatnya, ketika hujan datang, air tidak bisa lagi langsung meresap
ke tanah. Kini jika hujan turun begitu lebat, air bakal bertahan, menggenang,
bahkan selama hampir sepekan. Sejak ada pabrik pula, Desa Purwosari mulai
merasakan banjir rob. Kini hampir setiap hari Nemlikur dan Telu, di tengah
usia mereka yang sudah lanjut, harus selalu berjumpa dengan banjir rob.169
“Rumahe pendek banget, mesti kena (banjir). Kalau hujan ya sini jalane banjir.
Terus hilangnya (air) juga lama, nunggu disedot dulu. Soale kan pembuangannya
mungkin sulit ya. Larinya airnya (sulit), itu ada pabrik di belakang rumah.
Belakang sini pabrik kayu, mampet gotnya gitu. Depannya sana pabrik Tango,
sebelah gudangnya Alfamart. Nek dulu kan ndak ada pabrik (hilangnya air) cepet.
Sawah-sawah semua,” kata Nemlikur.170
169
Wawancara dengan Nemlikur dan Telu, pada 27 Oktober 2021.
170
Wawancara dengan Nemlikur, 27 Oktober 2022.
95
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 24: Letak Sungai Babon yang mengalir dari kawasan industri di Kaligawe (Kota Semarang)
menuju Desa Sriwulan—tempat tambak-tambak warga. Sumber: Diolah oleh Syarifah Atia, 2022.
Salah satu jenis limbah yang dibuang ke sungai adalah sisa pengolahan kulit
yang telah disamak. Dalam proses pengolahan kulit, pabrik menggunakan cairan
zat kimia. Limbah tersebut masuk ke aliran Sungai Babon, menciptakan bau
busuk dan membuat sungai berwarna kemerahan. Padahal di Desa Sriwulan,
beberapa petambak masih memakai Sungai Babon untuk pengairan. Akibatnya,
udang dan bandeng yang siap panen mati. Begitu pula dengan makanan alami
bagi benur (bibit udang) dan nener (bibit bandeng) yang ikut mati.171
Di Desa Bedono, sejak 1992, para petambak sering menjumpai air Sungai
Babon berwarna putih dan berbau tidak sedap. Pada Oktober 1994 tingkat
pencemaran makin memuncak. Bahkan Desember 1994 sampai Januari 1995,
warga sering mendapati ribuan udang windu mengambang dalam keadaan mati
membusuk. Tentu saja, karena udang tersebut mati, maka itu berarti tak bisa
171
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta .
96
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
dimakan dan tidak laku dijual. Warga Desa Bedono yakin yang memicu kerugian
tersebut adalah pencemaran di Sungai Babon.172
Pemecahan persoalan pencemaran Sungai Babon selalu saja berlarut-larut.
Salah satu penyebabnya, karena menyangkut dua wilayah administrasi yang
berbeda: Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Padahal pencemaran sungai
yang berimbas pada tambak warga sudah sedemikian jelas dan nyata. Bahkan
keluhan para petambak telah divalidasi Balai Budidaya Air Payau Jepara. Penelitian
balai tersebut menunjukkan, air Sungai Babon memang tercemar limbah industri.
Setidaknya ada 300an hektare tambak di Desa Bedono dan Desa Sriwulan
yang tercemar limbah pabrik. Baik itu yang tercemar langsung dari Sungai
Babon atau dari Sungai Babon yang dibawa kembali ke daratan oleh banjir
rob. Pencemaran tersebut berdampak kepada sekitar 615 petambak yang
merugi sampai Rp400 ribu/hektare. Dengan kata lain, saat itu, total kerugian
dari pencemaran tambak di Sayung mencapai Rp120 juta.
Para petambak Sayung sempat mengadu ke DPRD Kota Semarang. Namun
itu tidak berbuah hasil, lantaran Desa Bedono dan Desa Sriwulan berada di
luar wilayah administrasi DPRD Kota Semarang. Pada 1994, Wali Kota Semarang
sempat menerbitkan Surat Keputusan Nomor 660.2/993/1994 tentang Program
Kali Bersih. Surat itu menyebutkan, perusahaan-perusahaan yang pabriknya
berada di tepi Sungai Babon, bertanggungjawab untuk mengurangi pencemaran
limbah dan mengembalikan fungsi utama sungai.173 Namun demikian, surat itu
tetap tidak banyak membawa perubahan bagi para petambak di Sayung.
Para petambak Sayung sempat menghadiri acara dengar pendapat dengan
DPRD Provinsi Jawa Tengah. Acara itu menghadirkan beberapa pihak seperti
anggota DPRD Jawa Tengah, perwakilan pabrik-pabrik pembuang limbah, dan
ratusan petambak. Namun lagi-lagi, hasil dengar pendapat sangat jauh dari apa
yang diharapkan warga. Pasalnya, dari total kerugian petambak sebesar Rp120
juta, para pemilik pabrik pembuang limbah hanya mau memberikan Rp15 juta.
Artinya, setiap petambak hanya dihitung rugi sebesar Rp25 ribu saja.174
172
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
173
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta .
174
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
97
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Semula para petambak sepakat menolak uang Rp15 juta yang dibahasakan
dengan istilah “tali asih”. Akan tetapi, Camat Sayung, Komandan Rayon Militer
(Koramil) Sayung, dan Kepala Kepolisian Sektor Sayung bantu mendesak warga
untuk menerima. Karena tidak ada pilihan lain, para petambak menerima uang
tersebut, namun tidak dibagi secara merata. Warga justru menggunakan uang
Rp15 juta tersebut untuk memperbaiki jalan.
Walau menerima, sebagian petambak tetap menuntut penggantian kerugian
ke Pengadilan Negeri Semarang. Para petambak didampingi Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Jawa Tengah. Tuntutan warga menang pada pengadilan tingkat
pertama. Namun pada tingkat banding, keadaan mulai berbalik arah; pabrik-
pabrik pembuang limbah justru memenangkan perkara. Dalam hukum, putusan
banding merupakan putusan terakhir yang berarti ratusan juta kerugian para
petambak akibat pencemaran tidak mendapat penggantian.
Kerugian warga terus berlanjut. Sebelumnya ribuan udang mati, sehingga
membuat para petambak tidak berani menebar benur (benih udang) lagi. Mereka
coba menunggu hingga dua periode pembudidayaan (kurang lebih satu tahun)
supaya kondisi tambak lebih memungkinkan. Persoalannya, ketika petambak
tidak beraktivitas, tagihan pajak atas lahan-lahan tambak tetap harus dibayar.
Keterdesakan oleh tagihan pajak membuat petambak perlu terus bergerak dan
melakukan banyak cara.
Di tengah keterdesakan, sebagian orang memutuskan untuk nekat kembali
bertambak. Orang-orang tersebut jelas tahu bahwa tambak belum benar-benar
bersih dari limbah. Tapi apa daya, mereka terdesak keadaan. Karena itu, alih-
alih menebar benur seperti biasanya, mereka justru lebih memilih nener (benih
ikan bandeng). Salah satu pertimbangannya, ikan bandeng dianggap lebih tahan
penyakit. Sementara petambak lain ada yang memutuskan tidak bertambak
lagi. Mereka berganti penghidupan menjadi nelayan, sembari mengandalkan
pendapatan anak-anak mereka yang bekerja menjadi buruh pabrik.175
175
Lihat: (1) Wawancara dengan Pak Wolu, pada 7 Agustus 2022; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019.
“Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam
Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
98
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Hal itu menjadi salah satu pertimbangan Telungpuluhtelu untuk membeli rumah
dan kemudian bermukim di Pondok Raden Patah. Sejak awal, Telungpuluhtelu
sudah mengetahui pemilik perumahan tersebut adalah Wali Kota Semarang saat
itu, Sukawi Sutarip.176
“Dulu pemasarannya dari Pak Kawi, Pak Sukawi. Sama istrinya Bu Endang,
Bupati Demak.177 Tahap I ini punyanya Pak Kawi. Yang tahap II, tahap III, itu
miliknya Bu Endang. Tahap I lokasinya dari depan masuk, RW 3, RW, 4, RW
5. Tahap II, RW 6, RW 7. Tahap III satu RW, RW 8, paling ujung sana, tepi
laut,” terang Telungpuluhtelu.178
176
Sukawi Sutarip merupakan Wali Kota Semarang dua periode jabatan, 2000-2010. Sejak dilantik
sebagai Wali Kota periode I, pada 19 Juli 2000, dia tidak mengurus bisnisnya, lalu kembali mengurus
bisnisnya pada 2010 ketika sudah tidak menjabat Wali Kota. Dengan bendera “Sukawi Jaya”, dia
mengembangkan bisnis perumahan di Semarang dan Temanggung. Dia juga memiliki bisnis Bank
Perkreditan Rakyat serta stasiun pengisian bulk elpiji yang dijalankan bersama bungsunya. Pada saat
menjabat sebagai Wali Kota Semarang, Sukawi tercatat sebagai salah satu pejabat negara di Jawa
Tengah dengan kekayaan tertinggi, sekitar Rp 65miliar. Sukawi juga tercatat pernah memimpin DPD
Partai Demokrat Jawa Tengah. Lihat: Sohirin. 2010. “Sukawi Kembali Jadi Pengusaha.”
Nasional.Tempo.Co. Retrieved July 14, 2022 (https://nasional.tempo.co/read/264279/sukawi-
kembali-jadi-pengusaha).
177
Endang bernama lengkap Endang Setyaningdyah, yang menjabat Bupati Demak pada periode 2001-
2006. Pada 2014, Endang dipenjara karena kasus korupsi dana bantuan desa. Berdasar catatan
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Tengah, APBD Kabupaten Demak 2006
mengalami kerugian Rp2 miliar atas pemotongan dana yang dialirkan ke desa-desa se-Kabupaten
Demak. Kasus tersebut diusut di bawah penyidikan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian
Daerah Jawa Tengah dan di bawah penuntutan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Pada Februari 2007,
ketika kasus tersebut masih dalam penyempurnaan berkas, Endang telah berstatus sebagai mantan
istri Sukawi. Lihat: (1) Batubara, Bosman, and Ivan Wagner. 2020. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-
Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak ; dan (2) BPKP. 2007. “Korupsi Bandes, Mantan Bupati
Demak Menjadi Tersangka.” Bpkp.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://www.bpkp.go.id/berita/
read/2051/14510/Korupsi-Bandes-Mantan-Bupati-Demak-Menjadi-Tersangka).
178
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, Oktober 2021.
99
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Rakyat (BPR) Karti Centra Artha,179 di mana Sukawi Sutarip tercatat sebagai
Komisaris Utama, ada paling tidak 500 unit rumah.180
Tiga tahap pembangunan perumahan Pondok Raden Patah berlangsung sejak
1989 hingga 1995. Sejak adanya perumahan itu, penduduk di Desa Sriwulan
bertambah lebih dari 10.000 orang. Keadaan tersebut mempermulus perubahan
pesat dari kehidupan pertanian menjadi non-pertanian (industrial).181 Sebelum
dibangun, lahan tempat Pondok Raden Patah berada memang berupa sawah
dan tambak. Pembangunan perumahan dilaksanakan atas kerja sama dengan
Bank Tabungan Negara (BTN). Namun pengembang mengalami kebangkrutan,
lantaran pembayaran kredit pembelian rumah macet dan akhirnya berstatus
gagal bayar. Penyebab kemacetan pembayaran kredit, karena rob terus datang
dan merusak rumah. Para penghuni memutuskan pindah begitu saja, tanpa
lanjut mengangsur bayaran.182
a . P a b r i k - P a b r i k S e m a k i n B a n y a k , P e l a b u h a n S e m a k i n Lu a s
Rumah Nemlikur terletak di Desa Purwosari. Rumah Nemlikur termasuk satu
di antara sekian rumah yang terkepung bangunan pabrik dan pergudangan.
Nemlikur acap mengamati selokan dekat rumah, di belakang pabrik. Lama-
kelamaan ukuran selokan menciut dan tidak barfungsi dengan baik, karena
terus terdesak bangunan. Nemlikur mulai bermukim di sana sejak 2007. Saat
itu masih ada kebun pisang di belakang rumah Nemlikur. Ada pula tanah lapang
untuk bermain sepak bola di dekatnya. Namun kurang dari setahun dia tinggal,
tanah lapang dan kebun telah berubah menjadi pabrik. Sejak saat itu, air hujan
dan rob kerap masuk ke daratan. Bahkan di sekitar rumah Nemlikur, air hujan
dan rob sangat susah sekali surut.
179
BPR Karti Centra Artha memiliki kantor pusat di Kota Semarang. Bank tersebut merupakan hasil
merger dari tiga BPR; Kawi Centra Artha, Karti Centra Artha, dan Adhi Centra Artha pada 1998. Ketiga
bank tersebut didirikan Sukawi pada 1993. Lihat URL: BPR KCA. n.d. “Sukawi Sutarip.” Bprkca.Com.
Retrieved July 14, 2022 (https://bprkca.com/tentang-kami/manajemen/sukawi-sutarip/).
180
Selain Pondok Raden Patah, Sukawi juga mengembangkan perumahan bernama Wijaya Kusuma 1
dan 2 dan Pondok Mojopahit 1 dan 2, yang berlokasi di Pati, Temanggung, Pekalongan, Pemalang,
dan beberapa daerah lain. Sukawi juga memiliki bisnis rumah makan dan hotel. Lihat: BPR KCA. n.d.
“Sukawi Sutarip.” Bprkca.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://bprkca.com/tentang-
kami/manajemen/sukawi-sutarip/).
181
Hidayati, Nur Astiti Fahmi. 2005. “Pengaruh Pembangunan Perumahan Pondok Raden Patah
Terhadap Perubahan Kondisi Desa Sriwulan Kecamatan Sayung Demak.” Tugas Akhir: Universitas
Diponegoro, Semarang.
182
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
100
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
“Ya ngalir, tapi lama. Dulu kan lebar, bisa kemana-mana karena ada sawah.
Sekarang sempit, sudah dipakai pabrik. Jadi larinya (air) lama, minta
disedot. Disedot saja juga lama. Hujan saja (belum bertambah rob – penulis)
begitu, di sini satu minggu masih encek-encek (becek bekas genangan –
penulis). Selokannya mampet, setiap banjir banyak kotoran,” kata Nemlikur.
Perkataan Nemlikur tidak jauh beda dengan pendapat Selikur (60 tahun),
penduduk Pondok Raden Patah Tahap II, Desa Sriwulan.183 Dia menandai tahun
2007 sebagai awal rob masuk ke tempat dia tinggal. Sejak saat itu, setiap tahun
dia merasa rob terus bertambah tinggi. Semula, kata Selikur, ada lapangan di
dekat rumah untuk berolahraga dan berkegiatan lain. Namun pada 2007,
lapangan itu berubah menjadi tambak (jaring), karena terus tergenang air laut.
Menurutnya, hal itu terjadi sejak pertambahan jumlah pabrik di dekat desanya.
Pada 2010, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Demak mencatat,
ada peningkatan alih fungsi lahan di Demak sejak 2002-2007. Sebagian besar
alih fungsi lahan terjadi dalam bentuk perubahan lahan pertanian menjadi
kawasan permukiman, kawasan industri, dan pembangunan infrastruktur—di
wilayah bertopografi datar. Pada 2002, sebanyak 83.363 m² lahan pertanian
berubah menjadi kawasan industri, permukiman, dan infrastruktur. Luasan itu
melonjak drastis pada 2007: seluas 567.864 m² lahan pertanian berubah menjadi
kawasan pabrik, rumah-rumah, dan pembangunan infrastruktur.
Keberadaan kawasan industri membebani lapisan tanah, karena termasuk
bangunan dengan bobot sangat berat. Beban bangunan berat, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, merupakan salah satu penyebab amblesan tanah. Selain
itu, keberadaan kawasan industri menambah pula aktivitas pengambilan air
bawah tanah. Apalagi jumlah kebutuhan air industri jauh lebih besar daripada
rumah tangga, sehingga menyebabkan terjadinya overpumping (pemompaan air
berlebihan). Menurut Suryanti dan Marfai (2016), pemompaan air untuk industri
mencapai kedalaman 110-120 meter.
Pengambilan air bawah tanah secara berlebihan menimbulkan rongga di
dalam tanah. Keberadaan rongga bakal menurunkan tingkat muka air tanah dan
pada gilirannya membuat tanah ambles. Dengan demikian, kombinasi antara
penyedotan air bawah tanah secara berlebihan dan pembebanan bangunan
merupakan dua faktor yang ikut mendorong tingginya laju amblesan tanah di
Sayung. Menurut Suryanti dan Marfai (2016), laju amblesan di Sayung mencapai
183
Kami berjumpa dengan Selikur dalam pengajian Suluk Senin Pahingan ke-12 di Pondok Pesantren
Al-Itqon, Pedurungan, Kota Semarang, pada Minggu, 28 Agustus 2022. Selikur merupakan salah satu
narasumber dalam pengajian bertajuk “Rob: Ketika Daratan Menjadi Lautan”.
101
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 25: Letak PT Arkof, di mana lahan di seberangnya (berbatas jalan) ditawarkan sebagai Kawasan
Industri Demak. Sumber: Diolah dari Google Maps, 2022.
Pada 2010, sekitar 300 hektare lahan (petak 1) di seberang PT Arkof mulai
banyak ditawarkan kepada pemilik modal. Lahan (petak 1) tersebut ditawarkan
sebagai bakal Kawasan Industri Demak lewat laman zonaindustrialpark.com.
Pengelola bakal kawasan industri tersebut adalah Bumimas Group. Lahan itu
berada di Desa Sidogemah; sekitar empat kilometer dari Gerbang Jalan Tol
Sayung dan dan sekitar tujuh kilometer dari Makam Syekh Mudzakir.
184
Suryanti, Ni Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah Pesisir
Kabupaten Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).
102
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Dalam dua petak rencana kawasan industri, ada sejumlah 52 hektare tanah
bengkok Desa Sidogemah dan 50 hektare tanah bengkok Desa Bedono. Sampai
tahun 2017, tanah bengkok Desa Bedono telah diganti sebesar 30 hektare. Dari
petak rencana kawasan industri di Desa Sidogemah, sebanyak 150 hektare di
antaranya telah dibebaskan. Sementara dari petak rencana kawasan industri di
Desa Bedono, pembebasan lahan sudah mencapai sekitar 250 hektare.
Pembebasan lahan di sini artinya pelepasan hak atas lahan dari pemiliknya.
Cerita pelepasan hak tersebut diketahui dan dialami orang-orang yang kami
temui di Sayung. Misalnya saja cerita Patlikur, warga Kampung Morosari, Desa
Bedono. Dari dalam ruang dapurnya yang berbatasan langsung dengan laut,
Patlikur menunjuk ke arah perairan di sebelah dermaga. Kata Patlikur, lahan-
lahan yang sudah tenggelam, berubah menjadi laut, sudah dibeli orang-orang
kaya seharga Rp5.000-Rp7.000/meter persegi.187
185
Bumimas Group. n.d. “Perjalanan Bumimas Group Sebagai One Stop Service.” Bumimasgroup.Co.Id.
Retrieved August 28, 2022 (https://bumimasgroup.co.id/our-history/).
186
Perusahaan ini didirikan pada 1986 dengan nama PT MAS, yang semula berbisnis ekspor kulit wet
blue dan kulit semifinished. Pada 1993, PT MAS mengakuisisi perusahaan ekspedisi muatan kapal
laut PT Ruktimukti Bawana. Bumimas Group (setelah PT MAS mengakuisisi PT Ruktimukti Bawana)
menghubungi Kawasan Industri Wijayakusuma untuk bekerja sama mengelola 20 hektare lahan di
Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Berbekal pengalaman di Tanjung Emas Export Processing Zone
(TEPZ), Bumimas Group bersama KIW pada 1998 membentuk 20 hektare lahan tersebut menjadi
kawasan berikat bernama Kawasan Industri Tugu Wijaya Kusuma (KITW) Technopark Semarang,
dengan perjanjian No. 02/S-P/PT.KIC-PK/10/1998. Bumimas Group bersama PT Ruktimuksi Bawana
kemudian ditetapkan menjadi pengelola kawasan berikat, sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No.151/KMK.05/1999 yang diperbarui dengan keputusan
No.1758/KMK.4/2012. Lihat. KPI. n.d. “Milestone, Tahun 1986 – 1997 Merintis Karir.” Zonaindustrialpark.Com.
Retrieved August 28, 2022 (https://zonaindustrialpark.com/about/sejarah-singkat/).
187
Lahan-lahan yang sudah tenggelam tersebut bermula dari sekitar area Wisata Bahari Morosari yang
dikelola Perseroda Aneka Wirausaha (Anwusa) Demak sampai sekitar area Makam Syekh Mudzakir
di Tambaksari (lama). Lihat: Wawancara dengan Patlikur, pada 17 Januari 2022.
103
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 26: Peta rencana Kawasan Industri Demak di Desa Sidogemah, Bedono, dan Purwosari. Sumber:
https://bumimasgroup.co.id/kawasan-industri-sayung/, diakses pada 28 Agustus 2022.
“Kami sekeluarga ndak mau. Ben lemahe wis ora ono, wis kelem, tapi
sertifikat tetep tak cekel. Wong kuwi hak keluargaku. Nek gur dibayar
rongewu utowo telungewu semester yo mung dadi opo,” tutur Wolulikur
saat kami berhenti di dekat musala di bekas kampung masa kecilnya.188
188
Wawancara dengan Wolulikur dalam Bahasa Jawa, pada 25 Januari 2022. Diterjemahkan oleh
penulis, “Kami sekeluarga tidak mau. Biarpun tanahnya sudah tidak ada, sudah tenggelam, tapi
sertifikatnya tetap saya peganng. Itu hak keluarga saya. Kalau hanya dibayar dua tibu atau tiga ribu
semester, ya cuma jadi apa?”
104
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Gambar 27: Posisi lokasi industri di Sidogemah yang ditawarkan Bumimas Group terhadap pelabuhan,
bangunan pabrik, dan gudang yang sudah lebih dulu eksis. Sumber:
https://zonaindustrialpark.com/demak-kpi-sayung/#, diunduh pada 28 Agustus 2022.
105
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
189
Kata “menyingkir” di sini ditulis berdasarkan apa yang diungkapkan Pak Wolu pada wawancara 17
Januari 2022. Wawancara tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh Bosman Batubara, Dwi
Cipta, dan Eka Handriana. Dalam wawancara tersebut, Pak Wolu menyebut penduduk yang pindah
dari Tambaksari dengan sumingkir, yang artinya menyingkir, keluar dari kampung halaman yang
telah tenggelam, berubah menjadi laut.
190
Dalam masterplan Bumimas Group ditawarkan kavling standar 50x100 m² untuk industri besar,
kavling 50x70 m² untuk industri sedang, dan kavling 25x60 m²untuk industri kecil. Lihat URL:
Bumimas Group. n.d.-a. “Kawasan Industri Demak.” Bumimasgroup.Co.Id. Retrieved August 22,
2022 (https://bumimasgroup.co.id/kawasan-industri-sayung/).
106
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Gambar 28: Posisi kawasan industri di Sidogemah yang ditawarkan Bumimas Group terhadap sungai.
Sumber: https://zonaindustrialpark.com/demak-kpi-sayung/#, diunduh pada 28 Agustus 2022.
Bumimas Group bukan pemain tunggal. Di Kampung Batu Krajan, Desa Batu,
Kecamatan Karangtengah, sedang dibangun kawasan industri baru bernama
Jatengland Industrial Park Sayung (JIPS) seluas 300 hektare.191 Menariknya,
meski terletak di Kecamatan Karangtengah, kawasan industri tersebut memakai
nama Sayung. Barangkali hal itu dilakukan, karena lokasi kawasan industri
tersebut memang berimpitan dengan batas paling timur Kecamatan Sayung.
191
Sebagaimana Bumimas Group yang memegang izin pengelolaan kawasan berikat, PT Jatengland
juga memegang izin-izin serupa. Misalnya; Izin Prinsip No.13/33/IP/PMDN/2013 yang diterbitkan
oleh Badan Penanaman Modal Jawa Tengah pada tanggal 25 September 2013; Izin Lokasi
No.503.02/01642/III/2014 tentang kisi-kisi Izin Lokasi Pengembangan Kawasan Industri yang
diterbitkan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Demak pada tanggal 18 Maret 2014;
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) No.660.1/361/2015 tentang Izin Lingkungan yang
diterbitkan oleh Kabupaten Demak pada tanggal 5 Mei 2015; Surat Izin Usaha Kawasan Industri
(SIUKI) No.21/3321/IU/PMDN/2015 tentang Izin Usaha Kawasan Industri Jatengland Industrial Park
Sayung yang diterbitkan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Demak
pada tanggal 31 Desember 2015; dan Izin Kemudahan Layanan Investasi Langsung Konstruksi/ KLIK
No 17/2017 yang diterbitkan oleh Badan Penanaman Modal Indonesia.
107
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Jika ditarik garis lurus ke arah barat daya, titik kawasan JIPS bakal bertemu
dengan titik Makam Syekh Mudzakir dengan jarak sekitar enam kilometer saja.
Gambar 29: Letak JIPS terhadap Makam Syekh Mudzakir yang kini jadi titik paling ujung di Kampung
Tambaksari, Desa Bedono. Sumber: Google maps, diolah kembali oleh Tim Penulis, Agustus 2022.
192
PT Jatengland merupakan anak perusahaan Mugan Group. Anak perusahaan dari Mugan Group
lainnya adalah IKEDO TV, Advan, Evercoss, PT Pataya Raya, PT Russelindo Putra Prima, dll. Lihat
URL: https://cjip.jatengprov.go.id/detail-kawasan-industri/21, diakses pada 22 Agustus 2022.
108
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
dan PT Lesso Technology Indonesia. Sebagian lagi merupakan plot yang bakal
ditawarkan untuk dijual dan telah dilengkapi fasilitas jalan beton.193
Pemerintah mengetahui dua kawasan industri di bagian selatan Kecamatan
Sayung (dan/atau yang berimpit dengannya) tersebut. Pasalnya, kedua kawasan
industri itu tertera dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Demak. Dalam Perda tersebut (Pasal 64 ayat
5) disebutkan adanya kawasan peruntukan industri seluas 1.800 hektare di
Kecamatan Sayung, Karangtengah, Demak, Mijen, Karanganyar, Mranggen,
Karangawen, dan Wonosalam.194
Pada 2020 terbit Perda baru untuk mengubah Perda tahun 2011.195 Dalam
Perda baru, luas kawasan industri makin diperluas lagi dari semula 1.800
hektare menjadi 7.646 hektare. Dari 7.646 hektare, 5.313 hektare di antaranya
terletak di Kecamatan Sayung. Luasan kawasan industri yang cukup fantastis?
Tentu saja. Sekarang, mari kembali bergeser untuk menengok apa yang terjadi
di Kota Semarang, ketika rob dan abrasi terus menggerus Kecamatan Sayung.
Tabel 6: Kawasan peruntukan industri di Kabupaten Demak. Sumber: Perda No. 1 Tahun 2020.
193
JIPS menyediakan layanan untuk kebutuhan bisnis dengan konsep integrated cyber techno eco,
yang diklaim sebagai layanan terintegrasi berbasis teknologi yang ramah lingkungan. Lihat URL:
Jatengland. n.d. “Desciption About Product.” Jatengland.Com. Retrieved August 22, 2022
(http://jatengland.com/sample-page/).
194
Kabupaten Demak. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak Tahun 2011-2031. Kabupaten Demak.
195
Pemerintah Kabupaten Demak. 2020. Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Demak Tahun 2011-2031.
Kabupaten Demak.
109
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
196
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
197
Lihat: (1) Rossanty, Emy. 2008. “Dampak Reklamasi Pantai Marina Kota Semarang.” Skripsi,
Universitas Dipoegoro, Semarang; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung
Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan
Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
198
Dalam MP3EI, Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak menjadi pelabuhan utama Internasional.
Dua pelabuhan ini melayani jalur pelayaran domestik dan luar negeri. Sementara Pelabuhan Tanjung
110
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Emas melayani jalur pelayaran domestik yang menghubungkan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Pelabuhan Tanjung Emas ditugaskan pula untuk menyediakan pelayaran menuju Banjarmasin dan
Kalimantan Selatan. Lihat: Peraturan Presiden 48 Tahun 2014, Lampiran II MP3EI Koridor Ekonomi
Jawa, Peta Kawasan Perhatian Investasi (KPI) Prioritas Koridor Ekonomi Jawa, halaman 49. Diunduh
pada 28 Agustus 2022.
199
Rencana tersebut termaktub di dalam daftar Investasi Manufaktur 2011-2025. Lihat: Deputi Bidang
Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, 2011, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Halaman 201.
200
Dalam laman Dinas Penanaman Modal dan Pelayanana Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Tengah
disebutkan, Pelabuhan Tanjung Emas memiliki beberapa fasilitas dermaga, diantaranya Dermaga
Samudera, Dermaga Pelabuhan Dalam, Dermaga Nusantara, Dermaga Curah Cair dan Demaga
Petikemas. Lihat: DPMPTSP. n.d. “Sejarah Tanjung Emas Semarang.” Web.Dpmptsp.Jatengprov.Go.Id.
Retrieved August 23, 2022 (https://web.dpmptsp.jatengprov.go.id/sarpras/3/29).
111
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
untuk pengembangan pelabuhan itu sendiri bakal dilakukan dalam tiga tahapan.
Bentuk program pada masing-masing tahapan dapat disimak pada Tabel 7.
Tabel 7: Tahapan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang 2012-2031. Sumber: Lampiran
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18/2013.
Volume
Tahap Program
(dalam m²)
Tahap II
Pengembangan terminal penumpang Tanjung Emas Semarang tahap I 362
(2017-2021)
Pembangunan akses road pada sisi timur Pelabuhan Tanjung Emas 600
Pada 23 November 2021, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick
Tohir mengatakan, pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas merupakan bagian
dari pengembangan infrastruktur logistik di Jawa Tengah. Pengembangan itu
perlu dilakukan untuk menghadapi masa depan poros maritim dunia dan masa
112
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
201
Menurut Erick, Indonesia berpotensi menjadi poros maritim dunia dengan membangun budaya
maritim seperti pengelolaan sumber daya laut, pengembangan infrastruktur, dan konektivitas
maritim. Selain di Semarang, pemerintah bakal mengembangkan pula beberapa pelabuhan lain di
Jawa Tengah yakni Pelabuhan Tanjung Intan di Cilacap dan Pelabuhan Tegal. Lihat: Cakti, Aji. 2021.
“Erick Thohir Pastikan Pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 22, 2022 (https://jateng.antaranews.com/berita/417605/erick-thohir-pastikan-
pengembangan-pelabuhan-tanjung-emas).
202
Mahya, Mila, Sien Kok, and Amrit Cado van der Lelij. 2021. Economic Assessment of Subsidence in
Semarang and Demak, Indonesia . Netherlands.
113
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
tidak terdapat di setiap rumah, melainkan hanya ada di beberapa titik melalui
skema sumur artesis kolektif (Pamsimas) dengan kedalaman 110-120 cm.203
Persoalannya, masalah amblesan tanah sering tidak masuk pertimbangan
pemerintah dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Padahal sudah begitu
nyata adanya kerugian ekonomi warga ketika amblesan terus terjadi. Misalnya
peningkatan ongkos perawatan jalan, kerusakan bangunan, ongkos menguruk
lantai rumah, musnah dan/atau tenggelamnya lahan, atau peningkatan risiko
banjir. Menurut banyak perkiraan, tanpa adanya bentuk kebijakan tegas untuk
mengurangi amblesan, maka laju amblesan bakal makin parah.
Menurut perhitungan Mahya Dkk (2021), 20 tahun ke depan, kerugian
ekonomi akibat amblesan tanah di Kabupaten Demak (terutama di Sayung) bakal
mencapai Rp39 triliun. Di Kota Semarang jumlah kerugiannya lebih besar lagi:
Rp79 triliun. Angka tersebut baru perhitungan paling minimum, karena belum
termasuk menghitung potensi kerugian akibat kerusakan permukiman, risiko
banjir (hujan dan rob), penurunan hasil panen untuk tambak atau sawah, dan
penurunan kualitas hidup.204
203
Bersamaan dengan itu, kondisi pasang air laut cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya
saja dari tahun 2002-2012, diperkirakan ada kenaikan mencapai 18 cm. Suryanti dan Marfai (2016)
pun memprediksikan, pada 2025 ketinggian pasang air laut dapat mencapai 1,63 m, dengan
penambahan luas area genangan sebesari 3.861 ha dari luas genangan pada 2015. Lihat: Suryanti, Ni
Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah Pesisir Kabupaten
Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).
204
Mahya, Mila, Sien Kok, and Amrit Cado van der Lelij. 2021. Economic Assessment of Subsidence in
Semarang and Demak, Indonesia . Netherlands.
114
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
di belakang pagar teras yang diduduki Pak Loro, tampak pemandangan area
perairan yang sangat luas. Di beberapa bagian tampak deretan bakau dan jaring
pembatas tambak sudah banyak doyong, karena bambu penyangga ambruk.
“Yen ningali ngoten niku nggih rasane ketar ketir. Sithik melih kan pun
peres kalih lantai. Mongko niki lantaine nembe mawon diduwurke. Ning
nggih tetep kalah duwur kalih dalan. Dalane diduwurke terus, supoyone
mboten keno rob. Ning nek ken nututi kalih duwure dalan terus-terusan
nggih mboten mampu, mboten kuat,” kata Enem sembari menunjuk rob di
depan teras rumahnya. Enem menjelaskan posisi antara teras rumah dengan
permukaan rob dan antara teras rumah dengan jalan beton.205
Ketinggian air pasang sore itu, menurut Enem, tidak terlalu tinggi. Kata dia,
kalau pasang air laut tinggi, teras rumah pasti sudah terendam.
“Lha nggih ngeten niki, urip sak niki dioyak-oyak banyu terus. Kerjo, sing
dipikir ora kerjone, ning malah mikir dalan ngomah, mikir piye carane
nduwurke omah ben ora keno banyu. Balik kerjo, kesel, durung mangan,
banyune wis teko,” kata Pak Loro, menimpali istrinya.206
Pak Loro dan Enem lahir di Kampung Mondoliko, Desa Bedono, Kecamatan
Sayung. Pada pertengahan 2000an, menurut Pak Loro, setelah tidak ada lagi
“penghalang” di sebelah barat, kampungnya langsung berhadapan dengan arus
dari Pelabuhan Tanjung Emas dan kawasan industri di Terboyo. Sejak saat itu
Kampung Mondoliko mulai tergenang air laut (rob). Kampung Mondoliko
menyusul Kampung Rejosari (Desa Bedono), Tambaksari (Desa Bedono), dan
Desa Sriwulan yang lebih dulu dihantam arus laut dari arah pelabuhan dan
kawasan industri di Kota Semarang.
Rumah Enem dan Pak Loro berada di dekat area sawah dan tambak. Rumah
mereka termasuk salah satu rumah paling awal tergenang dan rusak akibat rob
di Mondoliko. Sejak rob menggenangi rumah, dari hari ke hari, keluarga Pak
Loro makin sulit untuk hidup. Dahulu dia mengelola tambak, namun tambaknya
205
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis. “Kalau melihat (air rob - penulis) seperti itu rasanya
was-was juga. Sedikit lagi kan sudah setara dengan lantai. Padahal ini lantainya baru saja ditinggikan.
Tapi tetap kalah dengan tingginya jalan. Jalannya ditinggikan terus, supaya tidak terkena rob. Tapi
kalau harus (membangun meninggikan lantai rumah - penulis) mengikuti ketinggian jalan terus-
terusan ya tidak mampu, tidak kuat.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari
2022.
206
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis. “Ya sudah seperti ini, hidup sekarang dikejar-kejar
air terus. Kerja, yang dipikir bukan pekerjaannya, tapi malah mikir jalan di rumah, mikir bagaimana
caranya meninggikan rumah supaya tidak terkena air. Pulang kerja, capek, belum makan, airnya (rob
– penulis) sudah datang.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari 2022.
115
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
terus terendam air laut. Karena terendam, tambak tidak bisa lagi digunakan.
Alhasil sejak awal tahun 2000, Pak Loro beralih profesi menjadi tukang batu
di Kota Semarang untuk menghidupi keluarganya.
Pak Loro sering menjadi tukang batu di lahan-lahan baru untuk kompleks
perumahan—mulai dari Kecamatan Tembalang hingga Kecamatan Gunungpati,
Kota Semarang. Kadang-kadang, Pak Loro mengerjakan proyek renovasi rumah
di perumahan yang sudah lama berdiri di Semarang, seperti perumahan Bukit
Sari di Kecamatan Banyumanik. Namun dia acap merasa kesulitan ketika hendak
berangkat ke Semarang. Pasalnya, setiap hari, jalanan dari Kampung Mondoliko
menuju Sodong selalu terendam rob.
Konsekuensi dari jalan yang terus terkena rob adalah keberadaan banyak
lumpur. Akibat banyak lumpur, permukaan jalan menjadi licin dan berbahaya.
Kondisi lebih parah terjadi ketika dibarengi momen rob tinggi. Tidak jarang,
ketika momen puncak rob, ketinggiannya bisa mencapai perut orang dewasa.
Akibatnya orang-orang perlu melewati jalanan itu secara perlahan, karena rob
tinggi menyulitkan kaki untuk bergerak.
116
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
sepeda motor menuju tempat praktik dokter atau rumah sakit. Sebetulnya,
pada 2002, pernah dilakukan perbaikan jalan dari Kampung Mondoliko menuju
Rejosari (Senik). Namun itu tidak bertahan lama; tanah di bawah jalan terus
terkikis abrasi, sehingga jalan pun tenggelam.208
Satu tahun sejak jalan terputus (2010) keluarga Pak Loro memutuskan
pindah dari Mondoliko. Mereka pindah ke Desa Gemulak dengan hanya berbekal
uang Rp6 juta. Mereka menempati sepetak tanah di tepi saluran irigasi yang
ditinggalkan pemegang hak gunanya. Pemegang hak guna tanah itu merupakan
warga Rejosari (Senik) yang direlokasi (2006) Pemerintah Kabupaten Demak.
Pak Loro enggan menceritakan bagaimana hak guna itu bisa beralih kepadanya.
Yang jelas, Pak Loro membuat rumah di petak tanah itu secara bertahap.
“Sak niki nek ajeng pindah mbangun omah niku, nek mboten nyekel duit
satus punjul nggih mboten cukup. Lemah roto ukuran 6x20 meter ngoten
misale, teng Karangroto mriko pun 80 juta. Niku nembe lemahe, dereng
mbangun omahe. Ajeng pripun melih,” kata Pak Loro.209
208
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
209
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis “ Sekarang kalau mau pindah membangun rumah
itu, kalau tidak pegang uang seratus (seratus juta – penulis) lebih, tidak akan cukup. Tanah datar
(yang dimaksud Pak Loro adalah tanah datar dan kering – penulis) ukuran 6x20 meter misalnya, di
Karangroto sana sudah Rp 80 juta. Itu baru tanahnya, belum biaya membangun rumahnya. Mau
bagaimana lagi.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari 2022,
210
Berdasar informasi yang diterima Pak Loro, penduduk Rejosari yang dipindah ke tanah di tepi jalur
irigasi di Desa Gemulak, pada 2006-2007, mendapat bantuan material bangunan berupa: 3 rit batu,
2 rit pasir, 10 sak semen, dan uang Rp1 juta yang diberikan pada saat kepindahan.
117
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
akses menuju tempat kerja. Sebab, bagaimana pun, kerja merupakan jalan untuk
melanjutkan hidup setelah “dipaksa” pindah ke tempat baru.
Keluarga Loro sudah dua kali meninggikan lantai sejak pertama bermukim
di Desa Gemulak. Sedangkan jalan di depan rumah Loro, hampir setiap tahun
ditinggikan. Bagi Pak Loro, biaya peninggian rumah sebesar Rp15–Rp20 juta
merupakan jumlah sangat besar. Padahal itu baru mencakup biaya pengurukan
tanah dan memplester lantai. Bahkan kini dia merasa kian sulit mengumpulkan
uang sebanyak itu. Karena itu, Pak Loro dan banyak warga Gemulak lain sangat
berharap “bantuan bedah rumah.”211 Apalagi setelah dia mendengar beberapa
warga Gemulak ada yang mendapat bantuan semacam itu.
“Duit seko ngendi nek dikon mbangun nduwurke omah terus. Kados kulo niki gur
iso njagakne nek ono bantuan-bantuan bedah rumah,” kata Pak Loro.212
Bantuan seperti yang dikatakan Pak Loro memang ada. Salah satunya,
termaktub dalam paket dana desa untuk Desa Gemulak tahun anggaran 2019.
Pemerintah desa bakal mencairkan dana semacam itu secara bertahap untuk
peninggian jalan dan perbaikan rumah tidak layak huni. Anggaran untuk
perbaikan infrastruktur di desa pesisir Sayung punya kesituasian tersendiri.
Misalnya, anggaran perbaikan infrastruktur bisa terus ada setiap tahun, karena
kerusakan akibat rob dan abrasi terus “mengejar” setiap hari. Namun karena
bakal terus ada, dana tersebut rawan untuk diselewengkan.
Kasus penyelewengan dana desa terjadi di Desa Gemulak. Pada Agustus dan
September 2019, ada pencairan dana desa tahap dua sebesar Rp50 juta untuk
perbaikan 25 rumah tidak layak huni. Kemudian ada pencairan tahap tiga
sebesar Rp418 juta untuk pembangunan infrastruktur (peninggian jalan). Kepala
Desa Gemulak saat itu, Abas Nastain, malah menggunakan uang pencairan dana
desa itu untuk keperluan investasi pribadi. Kasus tersebut ditangani Kejaksaan
Negeri Demak dan disidangkan di Pengadilan Tipikor Semarang.213
Sebenarnya sudah banyak sekali warga yang mempertanyakan penggunaan
dana pemerintah untuk aneka bentuk infrastuktur. Dalam konteks ini, termasuk
infrastruktur yang didalihkan untuk solusi mengatasi banjir rob dan abrasi di
211
Istilah yang disebut Pak Loro dan dikenal oleh penduduk Gemulak, untuk anggaran infrastruktur desa
dalam APBD Kabupaten Demak.
212
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis. “Uang dari mana kalau diminta membangun
peninggian rumah terus menerus. Orang seperti say aini cuma bisa mengharapkan kalau-kalau ada
bantuan bedah rumah.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari 2022.
213
Pribadi, Wahib. 2020. “Dana Desa Dipakai Investasi, Kades Gemulak Ditahan.” Radarsemarang.Jawapos.Com.
Retrieved August 21, 2022 (https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/03/04/dana-
desa-dipakai-investasi-kades-gemulak-ditahan/).
118
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Sayung. Misalnya saja Loro, Warga Desa Gemulak. Dia bercerita, sebelum 2004,
pernah ada pembangunan tanggul buis dari Desa Sriwulan sampai Kampung
Mondoliko. Namun nyatanya, Kampung Morosari dan Kampung Bedono tetap
saja tenggelam. Bahkan pada 2007 tanggul buis tersebut roboh, karena tidak
mampu mengadang kekuatan air laut.
Dalam ingatan Loro, tanggul buis itu memiliki fungsi khusus lain: melindungi
Pondok Raden Patah agar dapat “kering”. Tanggul itu dibangun persis ketika
Endang Setyaningdyah menjabat Bupati Demak pada 2001-2006. Warga seperti
Pak Loro membaca hal itu sebagai aji mumpung. Pasalnya, Endang merupakan
pemilik Perumahan Pondok Raden Patah. Ketika kompleks hunian itu “kering”
karena terlindung tanggul, maka rumah-rumah di sana bakal lebih cepat untuk
terjual.214 Namun kenyataannya, tanggul yang berfungsi sebagai jalan itu tetap
saja termakan abrasi. Bahkan pada 2009, jalan itu sudah benar-benar terputus,
berubah menjadi laut.215
Tidak beda dengan Pak Loro, Selikur juga meragukan infrastruktur untuk
penanggulangan rob dan abrasi. Misalnya, jalan di depan rumah Selikur telah
berkali-kali ditinggikan—baik itu dengan dana bantuan pemerintah maupun
iuran warga. Namun, kata Selikur, tetap saja warga Sriwulan hidup dengan air
asin di sekeliling rumah.216 Selain jalan di depan rumah Selikur, jalanan di area
RT05/RW07 (Tahap II Pondok Raden Patah) juga terus ditinggikan. Bahkan sejak
1998 sampai 2020, jalan di sana telah 15 kali mengalami peninggian.217
Jalanan di Sriwulan yang juga pernah ditinggikan ada di RT04/RW05. Di
lingkungan tersebut, biaya peninggian jalan pada 2008 berasal dari Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM)—bagian dari Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan (P2KP). Dana tersebut menjadi sumber “dana abadi” untuk peninggian
jalan di banyak tempat. Sebab, dana awal BLM sebesar Rp84,5 juta memang dipakai
untuk peninggian jalan di tiga RW. Kelompok warga yang pertama memakai dana,
perlu mengembalikan dana pokok beserta bunga sebesar 0,5-1% untuk dipakai
kelompok warga di RW lain. Begitu pola seterusnya.
Secara total, sampai akhir 2008, dana (BLM) yang sudah bergulir mencapai
Rp146,9 juta. Dana tersebut perlu dipakai, sehingga terus muncul pembangunan
214
Wawancara dengan Pak Loro, pada 25 Januari 2022.
215
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
216
Wawancara dengan Selikur di Pondok Pesantren Al-Itqon Pedurungan Semarang, pada 28 Agustus 2022.
217
Pribadi, Wahib. 2020. “Jalan Sudah Ditinggikan 15 Kali, Pintu Berubah Jadi Jendela.” Radarsemarang.Jawapos.Com.
Retrieved August 21, 2022 (https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/06/01/jalan-
sudah-ditinggikan-15-kali-pintu-berubah-jadi-jendela/).
119
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
120
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
2022, Tim Teknis BKK Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten Demak
melakukan verifikasi ke Desa Bedono, Sidogemah, Tugu, Surodadi, dan
Banjarsari. Pemerintah masih tampak percaya bahwa peninggian jalan dapat
mengatasi persoalan rob dan abrasi di Sayung.221
Dana BKK digunakan untuk meninggikan empat titik jalan di Desa Bedono;
RT 05 dan RT 03, RW 01 Kampung Bedono, Desa Bedono; dan di RT 05, RW
04 Kampung Pandansari, Desa Bedono. Selain itu, peninggian dikerjakan juga
untuk segmen jalan penghubung antara Kampung Mondoliko dengan Kampung
Sodong.222 Menariknya, titik peninggian yang terakhir disebut, merupakan titik
jalan yang diceritakan Pak Loro pada 25 Januari 2022. Dalam cerita Pak Loro,
jalan itu berlumpur, licin, dan berbahaya. Cerita Pak Loro makin memperjelas,
peninggian jalan acap tidak ada hubungannya dengan solusi banjir rob.
Solusi rob dalam bentuk peninggian jalan tidak hanya berlaku di desa-desa
Sayung. Jalan Raya Semarang-Demak juga ditinggikan dengan konstruksi beton
pada 2015. Betonisasi di ruas tersebut merupakan bagian dari proyek betonisasi
Jalan Pantura Jawa Tengah. Pada waktu itu, seorang anggota Komisi V DPR
RI, Sigit Sosiantomo, sempat mengusulkan audit untuk melihat efisiensi dan
efektifitas proyek tersebut. Sebab menurut Sigit, betonisasi—termasuk di ruas
jalan Sayung—dilakukan pada saat kondisi jalan masih bagus.223
Pada 2020, giliran Pemerintah Kota Semarang yang sibuk meninggikan jalan.
Ketika itu, karena sering terendam rob, Pemkot Semarang meninggikan Jalan
Lingkar Utara—bagian dari Jalan Pantura Jawa Tengah—sepanjang 400 meter.
Jalan itu ditinggikan dengan cor beton setebal 90 sentimeter. Sedangkan
Pemkab Demak tidak memiliki anggaran untuk meninggikan Jalan Pantura di
wilayahnya. Alhasil jalan hasil betonisasi sebelumnya tetap terendam rob.224
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah turun tangan untuk membantu
Pemkab Demak. Pada Mei 2020, Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan
Penataan Ruang (Pusdataru) Jawa Tengah membuat tanggul darurat di Kali
Menyong, Desa Sriwulan. Tanggul tersebut berfungsi sebagai saluran air yang
221
Devina. 2022. “Keluhkan Banjir Dan Rob, Desa Usulkan Peningkatan Jalan Melalui Program BKK.”
Dinperkim.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://dinperkim.demakkab.go.id/?p=21115).
222
Nizar. 2021. “Akses Jalan Sering Terkena Rob, Lewat Dana BKK Pemerintah Desa Bedono Lakukan Peninggian
Jalan.” Jatengnews.Id. Retrieved August 21, 2022 (https://www.jatengnews.id/2021/11/19/akses-jalan-sering-
terkena-rob-lewat-dana-bkk-pemerintah-desa-bedono-lakukan-peninggian-jalan/).
223
Sari, Dimas Novita. 2015. “DPR Minta Proyek Betonisasi Jalan Pantura Diaudit.” Ekonomi.Bisnis.Com. Retrieved
August 20, 2022 (https://ekonomi.bisnis.com/read/20150909/45/470690/dpr-minta-proyek-betonisasi-jalan-
pantura-diaudit).
224
Safuan, Akhmad. 2020. “Banjir Rob Masih Rendam Kawasan Pantura.” Mediaindonesia.Com. Retrieved August
20, 2022 (https://mediaindonesia.com/nusantara/321231/banjir-rob-masih-rendam-kawasan-pantura).
121
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
dapat mengisolasi air laut, supaya terpisah dari daratan. Sebuah mobil dengan
dua mesin pompa digunakan untuk menyedor air laut, agar kerja peninggian
saluran air dapat cepat selesai.225
Jalan Pantura di ruas Sayung—khususnya di Sidogemah—baru ditinggikan
pada 2022 (selesai Juni 2022). Peninggian jalan itu menjadi bagian dari proyek
Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). PT Wijaya Karya melakukan
peninggian jalan dengan beton sepanjang 800 meter dan 300 meter. Peninggian
itu merupakan permintaan Dinas Bina Marga yang berkeinginan menyediakan
akses jalan penghubung yang lebih baik; dari TTLSD ke Jalan Raya Semarang-
Demak (Pantura) dan begitu sebaliknya.226
Pada saat yang sama, PT Pembangunan Perumahan (PP) Semarang Demak
terus mengebut proyek TTLSD.227 Menurut target, seksi II proyek TTLSD bakal
selesai 28 Oktober 2022. Proyek TTLSD terbagi menjadi dua seksi pengerjaan
dan secara keseluruhan ditargetkan rampung pada 2024. Total nilai proyek
TTLSD cukup besar, mencapai Rp15,3 triliun. Seksi II pembangunan TTLSD
digarap lebih dulu dengan nilai proyek Rp5,7 triliun. Seksi II memiliki panjang
16,31 kilometer, mulai dari Kecamatan Sayung sampai ke Demak. Pengerjaan
Seksi I tol Kaligawe–Sayung sepanjang 10,39 kilometer dilakukan belakangan.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyebut pengerjaan proyek TTLSD
cukup sulit, lantaran konstruksi tol melintasi rawa-rawa. Namun pengerjaan
proyek tetap harus dilakukan dengan dalih, kata Ganjar, untuk menyelesaikan
persoalan kemacetan dan sekaligus mengatasi rob di pesisir Semarang-Demak.
Pada saat buku ini ditulis, perkembangan Seksi I masih terkendala beberapa
hal. Salah satu kendala yang paling mengemuka adalah soal pembebasan lahan.
Pasalnya, lahan yang diperlukan untuk mambangun trase proyek Seksi I banyak
tertutup air laut, tenggelam. Kementerian PUPR sebagai penyelenggara proyek,
225
Humas Jateng. 2020. “Atasi Rob Di Sayung, Ganjar Minta Proyek Peninggian Saluran Dikebut Dalam 3 Hari.”
Jatengprov.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/publik/atasi-rob-di-sayung-ganjar-minta-
proyek-peninggian-saluran-dikebut-dalam-3-hari/).
226
Pribadi, Wahib. 2022. “Peninggian Jalan Pantura Sayung Selesai.” Jawa Pos – Radar Semarang, June 11.
227
Proyek TTLSD dilaksanakan dengan pembebasan lahan seluas kurang lebih 539,7 hektare yang
berada di 24 desa/kelurahan pada 8 kecamatan di Kabupaten Demak dan Kota Semarang. Lelang
proyek ini dimenangkan oleh konsorsium PT Pembangunan Perumahan/PP (Persero) Tbk, PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk, dan PT Mulia Metrical, yang kemudian membentuk PT Pembangunan
Perumahan Semarnag-Demak, lewat surat keputusan PB.02.01-Mn/1347 tertanggal 17 Juli 2019
tentang penetapan pemenang pada pelelangan pengusahaan Jalan Tol Semarang - Demak yang
terintegrasi dengan pembangunan tanggul laut di Kota Semarang. Lebih lanjut tentang tiga
perusahaan yang mengerjakan proyek TTLSD, dapat dilihat pada Batubara B, Wagner I, Salam S,
Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak; 2020.
https://www.researchgate.net/publication/344804419.
122
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
perlu menunggu payung hukum yang mengatur pembebasan lahan milik warga
dan/atau pihak lain yang kini sudah berubah menjadi laut.228
Gambar 30: Pembagian seksi pengerjaan proyek TTLSD. Seksi I sepanjang 10,39 kilometer dari Kaligawe
(Kota Semarang) sampai Sayung (Kabupaten Demak). Seksi II sepanjang 16,31 kilometer dari Kecamatan
Sayung sampai Demak. Sumber: Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Mei 2022.
Di sisi lain, pada 26 November 2021, Ganjar sempat mendatangi salah satu
titik proyek TTLSD di Desa Loireng, Kecamatan Sayung. Dalam kunjungannya
itu Ganjar mengatakan, untuk menjamin kualitas tol agar aman digunakan dalam
jangka panjang, tidak hanya 10-20 tahun saja, pihaknya menggunakan teknik
terbaru. 229 Namun sayangnya, Ganjar tidak menjelaskan apa maksud teknik
terbaru tersebut. Sebelum mencari tahu lebih lanjut soal itu, mari menengok
terlebih dahulu hasil bedah dokumen ANDAL proyek TTLSD—salah satu Proyek
Strategis Nasional (PSN) di kawasan pesisir Semarang-Demak.
Bedah ANDAL TTLSD dikerjakan Koalisi Maleh Dadi Segoro atau MDS—
sebuah perkumpulan perorangan dan organisasi yang memperhatikan persoalan
228
Setiawan, Hendra. 2022. “Tanah Musnah Hambat Proyek Tol Semarang-Demak.” Suara
Merdeka.Com . Retrieved September 17, 2022 (https://www.suaramerdeka.com/jawa-tengah/pr-
044775103/tanah-musnah-hambat-proyek-tol-semarang-demak).
229
Humas Jateng. 2022. “Proyek Tol Semarang-Demak Seksi II Ditarget Selesai 28 Oktober 2022.”
Jatengprov.Go.Id.Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/publik/proyek-tol-
semarang-demak-seksi-ii-ditarget-selesai-28-oktober-2022/).
123
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
pesisir utara Jawa pada 2019. MDS menilai, dari dokumen izin lingkungan dan
ANDAL, proyek itu berpotensi menciptakan dampak ekologi.230 Salah satunya,
soal potensi adanya perubahan arus laut. Sebelumnya telah dijelaskan, aneka
pembangunan atau reklamasi di pesisir Semarang telah mengubah arus laut.
Perubahan arus laut, pada gilirannya, mengakibatkan abrasi di pesisir Sayung.
Dengan kata lain, TTLSD juga berpotensi memperparah abrasi di Sayung.
MDS menyorot pula potensi pembebanan material bangunan dalam proyek
TTLSD. Pembebanan bangunan berpotensi meningkatkan risiko bencana
amblesan tanah—baik itu di utara Semarang maupun di Sayung. Belakangan
diketahui, tebal timbunan urukan proyek TTLSD Seksi I minimal 13,6 meter.231
Timbunan itu bakal diletakkan di atas konstruksi cerucuk bambu dan 17 lapis
matras bambu.232 Material bambu itu dikombinasikan dengan 40 meter prefabricated
vertical drain (PVD) atau sumbu penguras untuk memampatkan lapisan tanah lunak.233
Informasi mengenai penggunaan material bambu kami dapat dari presentasi
Ketua Tim Rencana Teknik Akhir (RTA) Jalan Tol Semarang-Demak Seksi I234
230
Izin lingkungan dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah, lewat Surat Keputusan Nomor 660.1/32
tahun 2018. Lihat: Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-
Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
231
Informasi tersebut didapat dari acara Kuliah Pakar pada 21 Mei 2022. Acara itu digelar secara daring oleh
Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang.
232
Cerucuk bambu yang dimaksud di sini, berdasarkan kuliah Ir Andi Kartawira yang juga diikuti oleh
penulis, merupakan ikatan 7 bambu berdiameter 8-10 cm, dengan penampang lintang ikatan
berbentuk heksagonal. Panjang cerucuk adalah 8 meter, dikarenakan secara umum rata-rata panjang
bambu di Indonesia sulit melebihi ukuran tersebut.
233
PVD berbentuk lembaran kantung plastik panjang, kombinasi antara core polypropylene
berkekuatan mekanik tinggi dan lapisan pembungkus dan bahan geotextile. Berfungsi untuk drainase
vertikal, mempersingkat jarak tempuh air pada pori-pori tanah sehingga mengurangi waktu yang
diperlukan untuk memadatkan tanah, karena air mengalir secara lateral ke saluran terdekat, lebih
cepat daripada tanpa PVD. Dinperkim Demak. 2020. “PVD Sebagai Penguat Konstruksi Tanah.”
Dinperkim.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022 (https://dinperkim.demakkab.go.id/?p=10269).
234
Dari Kuliah Pakar yang digelar pascasarjana Fakultas Teknik Unissula diperoleh informasi dasar
pelaksanaan proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak seksi I, adalah Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 355/KPTS/M/2017 tentang Pengintegrasian Pembangunan
Tanggul Laut Kota Semarang dengan Pembangunan Tol Semarang Demak. Proyek dilaksanakan oleh
Badan Usaha Jalan Tol, PT Pembangunan Perumahan Semarang Demak, dengan konsultan Rencana
Teknis Akhir PT LAPI ITB. Panjang proyek tol kurnag lebih 10 km. Proyek terbagi menjadi tiga paket;
Paket A – Elevated Toll Road STA 0+000 – STA 1+950 dan Elevated Slab on Pile STA 8+250 – STA
10+394.437; Paket B – Main Road (Tanggul Laut) STA 1+950 – STA 8+250; Paket C – Kolam Retensi
Terboyo dan Sriwulan serta Saluran Pembawa.
124
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
dan sekaligus tenaga ahli di PT LAPI ITB235, Ir Andi KS Kartawira ST, MT. Andi
merupakan narasumber dalam kuliah bertajuk “Penerapan Cerucuk Matras
Bambu pada Konstruksi Jalan Tol Semarang Demak yang Terintegrasi dengan
Tanggul Laut di Atas Tanah Lunak.”
Gambar 31: Perubahan desain di bawah timbunan setelah serangkaian pengujian. Sumber: Presentasi Ir.
Andi KS di Unissula pada Mei 2022.
235
PT LAPI ITB PT merupakan salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Institut Teknologi Bandung yang
didirikan sejak 2004. PT LAPI ITB memiliki tenaga ahli nasional dan internasional, serta fasilitas
laboratorium dan jaringan nasional serta internasional. Perusahaan ini telah melayani Pemerintah
Indonesia, Badan Usaha Milik Daerah dan Nasional Indonesia serta Perusahaan Swasta Nasional &
Internasional. Lihat: PT LAPI ITB. 2022. “Tentang PT LAPI ITB.” Lapi-Itb.Com . Retrieved August 18,
2022 (https://www.lapi-itb.com/id/about).
125
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 32: Paket insfrastruktur TTLSD Seksi I. Sumber: Presentasi Ir. Andi KS di Unissula pada Mei 2022.
Kembali soal timbunan urukan. Tentu saja butuh tanah uruk sangat banyak
untuk memenuhi ketebalan timbunan hingga belasan meter. Semula, dari ANDAL
yang dibedah MDS, sumber urukan untuk timbunan berasal dari galian kolam
retensi. Mengingat, pembangunan TTLSD Seksi I, satu paket dengan pembangunan dua
kolam retensi: di Terboyo dan Sriwulan. Dari ANDAL diketahui total kebutuhan
material urukan mencapai 4.161.688 m³ untuk tanggul, badan jalan, dan bahu
jalan. Bahkan masih dibutuhkan lagi setidaknya 124.184 m³ urukan untuk jalan.
Jutaan kubik material urukan tersebut, sesuai ANDAL yang dibedah MDS,
bakal didatangkan dari berbagai daerah. Mulai dari Kecamatan Pabelan dan
Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang; Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten
126
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
127
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
“Mangke tirosne nek pun enten tanggul kalih tol mriko, toyane mriki dados anyep.
Lha kulo malah bingung nek toya mriki anyep. Bojone kulo mboten saget kerjo
ngucali ulam, ajeng nggoto teng pundi nek mriki anyep. Kerjo liyane nggih
kiambake mboten purun, wong pancen kawit ndisik nggih ngucali ulam.”240
Kekhawatiran Sus selaras dengan hasil analisis MDS. Dalam analisisnya MDS
mencatat, keberadaan tanggul bakal memblokade akses warga menuju pantai,
sehingga berdampak bagi para nelayan tradisional atau nelayan kecil yang
penghidupannya sangat bergantung pada wilayah pantai.241 Dengan demikian,
kini analisis dampak yang dikerjakan MDS sudah bukan lagi sekadar analisis
hipotetik. Analisis itu makin menjadi sebuah kenyataan riil di lapangan. Bahkan
itu terjadi ketika; Seksi I TTLSD masih terkendala urusan pembebasan lahan
dan Seksi II baru selesai 91 persen.
Pada Oktober 2021, kami berjumpa dengan warga Perumahan Raden Patah,
Desa Sriwulan. Perjumpaan itu makin menguatkan analisis MDS soal proyek
TTLSD. Salah seorang warga mengatakan bahwa sejak ada pembangunan tol-
tanggul (sebagaimana istilah yang dia dengar), rob di sekitar rumahnya justru
makin tinggi. Warga lain, Selikur, mengungkapkan hal serupa. Jalan menuju
RW08 di makin terendam rob. Bahkan ketika COVID-19 sedang mengganas, ada
satu keluarga meninggal bersamaan di tengah kepungan rob.
239
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
240
Wawancara dengan Telungpuluhloro, pada 25 Januari 2022.
241
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
128
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
“Itu karena jalan sepanjang 1,5 km terendam rob sampai di atas lutut. Kami
kesulitan mengantar obat, makanan, dan lain-lain. Jadi program jaga
tangga242 tidak berlaku di tempat kami,” kata Selikur.243
Gambar 33: Tangkapan layar percakapan warganet tentang dampak proyek pembangunan TTLSD.
Sumber: https://www.instagram.com/p/CinG1jVp9mW/, diambil pada 19 September 2022.
242
Program solidaritas untuk bagi pasien COVID-19 dengan saling mengirim makanan dan kebutuhan
lain. Program itu diserukan Gubernur Ganjar Pranowo selama Pandemi COVID-19 berkecamuk di
Jawa Tengah.
243
Selikur. 2022. “Pengajian Suluk Senin Pahingan Ke-12 Di Pondok Pesantren Al-Itqon, Pedurungan,”
August 28.
129
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
jadi terendam air. Warganet lain menyebut, pembangunan TTLSD tidak sesuai
harapan. Misalnya, seperti komentar akun @nurkhamid, “Tdk sesuai expetasi..
Air rob malah berimbas ke desa desa sebelahnya..” Bahkan akun bernama
@miftah_kuinsi sampai berkomentar, “Rob bergeser ke wilayah Utara batas
demak-jepara. Lahan tambak garam tahun ini terendam rob.”
Ada satu hal menarik lagi dari bedah ANDAL TTLSD yang dikerjakan MDS.
Di sana disebutkan, tanggul laut yang diintegrasikan dengan jalan tol dibuat
mulai dari sisi timur Banjir Kanal Timur (Kota Semarang) hingga Sungai Sayung
(Kabupaten Demak). Dengan tanggul tersebut, setidaknya akan ada lima muara
sungai yang dibendung: Sungai Sringin, Tenggang, Sriwulan, Kaidin, dan Menyong.244
Gambar 34: Aliran sungai yang darinya pasang air laut mengalir masuk dan meluber ke daratan. Sumber:
Presentasi Ir. Andi KS di Unissula pada Mei 2022.
244
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
130
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
245
Muhlisin, Ahmad. 2022. “Pemerintah Akan Bangun Tanggul Laut 15 Km Untuk Atasi Rob Di Demak.”
Betanews.Id. Retrieved September 25, 2022 (https://betanews.id/2022/06/pemerintah-akan-
bangun-tanggul-laut-15-km-untuk-ata-si-rob-di-demak.html).
246
Pemerintah Kabupaten Demak. 2020. Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Demak Tahun 2011-2031.
Kabupaten Demak.
131
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Dari dalam ruang tamu tanpa kursi, Wolu mengkhawatirkan risiko lain jika
laut ditanggul. Pada 1999 dia harus menyingkir dari Tambaksari, karena rumah
dan tambak habis diterjang air laut. Kemudian dia membangun lagi kehidupan
di Kampung Tambaksari Baru dengan kembali bertambak dan sedikit mengolah
sawah. Namun kini, sejak rob mulai kembali mengejarnya di Desa Purwosari,
Wolu kembali harus berurusan dengan pengurukan lantai rumah. Awal tahun
2022, dia baru saja melakukan itu.
Belum selesai dengan rob, kini Pak Wolu berjumpa pembangunan Jalan Tol
Semarang-Demak di depan rumahnya. Dia juga menjual sawah dan tambak di
Purwosari, karena lahannya masuk ke dalam area pembangunan tol. Tidak lagi
bertambak, kini Wolu dan istri berdagang di pasar. Saat kami menjumpainya
pada awal Agustus 2022, Pak Wolu mengatakan hal memilukan lain. Belakangan,
kata Wolu, ketika tiang jalan tol ditancapkan, air hujan menggenang lebih lama.
Penyebabnya, karena area yang biasanya dituju aliran air hujan, kini terhalang
timbunan tanah dan tiang bangunan tol.
“Kalau ditutup seperti itu, apalagi kalau nanti ada tanggul di laut sana, lalu
pembuangan air dari ini larinya ke mana?” kata Wolu, mempertanyakan.247
(*)
247
Wawancara dengan Pak Wolu pada 7 Agustus 2022.
132
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
PERJUM PAAN IV
Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
“Kampungnya sudah tenggelam. Kalau musim hujan, dari arah barat datang
ombak dan angin. Sampai air asin datang tidak karuan, ombaknya naik. Kalau
malam, laahhh… datang bergerombol mengerikan, air datang, rob datang,
angin datang, kasihan. Mau lari kemana kalau begini? Di sana itu penuh air.
Yang di jalan itu, yang bisa dilewati saja tenggelam.”
Telungpuluhpapat, Warga Dukuh Tonosari
Gambar 35: Bedol desa penduduk Kampung Tambaksari (A) ke Kampung Tambaksari Baru (B)
berlangsung pada 2000. Dalam gambar terlihat pada 2016, Kampung Tambaksari (lama) sudah menjadi
laut. Sementara pada 2021, Kampung Tambaksari Baru pun tampak telah digenangi rob. Dalam gambar
juga tampak konstruksi tiang jalan tol (bagian dari Tol Tanggul Laut Semarang Demak) sangat dekat
dengan kampung. Sumber: diolah penulis dari Google., Oktober 2022.
Suara Masnuah berubah parau saat berbicara dalam Focus Group Discussion
(FGD) Diamond in The Delta Project. Acara yang digelar secara daring pada 18
April 2022 tersebut dihadiri akademisi, pejabat pemerintah (Kabupaten Demak
133
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
dan Kota Semarang), dan aktivis.248 Suara parau Masnuah muncul ketika dia
menceritakan bagaimana orang-orang di Kampung Tambaksari dan Rejosari
(senik) bedol desa. Kenyataannya, kata Masnuah, bedol desa sebagai usaha
merelokasi atau memindah penduduk dari kawasan tenggelam tidak berhasil.
Masnuah merupakan warga Demak. Dia adalah ketua Persaudaraan
Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Karena itu, Masnuah jelas punya alasan
dan informasi mengapa relokasi tidak berhasil. Menurut Masnuah, beberapa
tahun setelah relokasi, warga Tambaksari dan Rejosari (Senik) tetap saja hidup
berkalang penderitaan. Hampir setiap hari, banjir rob tetap saja menggenangi
permukiman baru warga Tambaksari dan Rejosari. Karena terus rob, mereka
harus mengumpulkan uang tambahan untuk menguruk rumah. Nahasnya lagi,
beberapa ada juga yang harus (kembali) pindah, karena rumah di kampung
relokasi digusur pembangunan tol.
“Rasanya saya ngempet tangis batin. Bedono, Mondoliko, Timbulsloko, itu
ada di luar tol (di sebelah utara kurva tol). Saat ini tol belum sepenuhnya
jadi, sudah susah sekali hidup. Bagaimana nanti kalau sudah ada tol?” kata
Masnuah. Tenggorokan Masnuah seakan tercekat saat meneruskan kalimatnya.
Masnuah membeberkan bahwa dia mendengar pula adanya rencana relokasi
bagi penduduk Kampung Mondoliko, Desa Bedono. Ini adalah kampung ketiga
di Desa Bedono yang nyaris habis terkikis abrasi. Akan tetapi, nasib Kampung
Mondoliko berbeda dengan dua kampung sebelumnya yakni Tambaksari dan
Rejosari. Pada saat merekolasi warga Tambaksari dan Rejosari, pemerintah
menyediakan lahan untuk dijadikan permukiman baru. Namun untuk Kampung
Mondoliko, pemerintah tidak menyediakan lahan bagi warga yang ingin pindah.
Ketiadaan bantuan menyeluruh dari pemerintah jelas menyulitkan warga
Mondoliko. Dari informasi yang diterima Masnuah, Pemkab Demak hanya akan
membantu kepindahan penduduk Mondoliko dengan syarat tertentu. Misalnya,
pemerintah hanya akan membantu warga Mondoliko yang telah memiliki lahan
pengganti di luar Kampung Mondoliko. Bahkan lahan pengganti itu sudah harus
bersertifikat. Ketika syarat sudah terpenuhi, pemerintah bakal memberikan
fasilitas kepindahan senilai Rp50 juta dalam bentuk material bangunan. Dengan
248
Forum ini dihadiri di antaranya oleh pejabat Dinas Permukiman Kabupaten Demak, Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Demak, Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juwana, Dinas Pekerjaan
Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan
Kota Semarang, Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang, PPNI, BINTARI, LBH Semarang, dan
beberapa akademisi dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan Universitas Diponegoro (UNDIP).
134
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
kata lain, pemerintah hanya mau membantu warga yang telah memiliki tanah
bersertifikat hak-milik di luar Kampung Mondoliko.
Keberadaan syarat itu memberatkan warga Mondoliko. kebanyakan warga
tidak punya lahan selain rumah di Mondoliko. Jika pun ada, lahan itu tetap
berada di Kampung Mondoliko berupa pekarangan, sawah, atau tambak. Namun
sekarang, lahan-lahan itu sudah tidak ada, karena telah tenggelam dan berubah
menjadi lautan. Persoalannya, membeli lahan di luar kampung membutuhkan
biaya tidak sedikit. Sementara sumber pendapatan warga kian merosot seiring
dengan tenggelamnya banyak sumber penghidupan.
Perangkat desa setempat pernah menawarkan sebuah kesepakatan dengan
warga Mondoliko. Tawaran itu berupa fasilitas pembelian lahan dengan cara
dicicil di Desa Dombo, Kecamatan Sayung. Lahan di Desa Dombo cukup luas,
karena itu digadang-gadang bakal menjadi sebuah permukiman baru. Beberapa
warga Mondoliko sudah berminat dengan tawaran tersebut. Namun hingga saat
ini, proses mencicil lahan supaya dapat menerima bantuan belum jelas. Alhasil
belum ada pula warga Mondoliko yang bisa memenuhi syarat dari pemerintah.
Penduduk Mondoliko tetap harus menyambung hidup. Karena itu, sekalipun
belum memenuhi syarat, kebanyakan warga Mondoliko tetap memilih pindah
tanpa bantuan pemerintah. Sebagian pindah dengan cara menyewa kamar kos,
mengontrak rumah, mengungsi ke tempat sanak saudara, dan berbagai macam
cara lainnya. Di tempat baru, mereka membangun dan menata kembali secara
mandiri rumah dan kehidupan baru mereka.249 Sampai buku ini disusun, di
Kampung Mondoliko tinggal tersisa tiga rumah yang masih dihuni.
Lokasi kepindahan warga Mondoliko biasanya mendekati tempat di mana
penduduk bekerja. Karena sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik, maka
mereka pindah mendekati jalan raya menuju pabrik. Selain buruh pabrik,
beberapa profesi warga Mondiloko lainnya adalah pelayan warung makan, kuli
bangunan, pegawai, dan lain-lain. Semula, ketika masih bermukim di Mondoliko,
setiap hari mereka perlu pergi dan pulang melalui medan yang cukup sulit.
Jalan keluar-masuk kampung sering terendam air laut, sehingga sulit dilewati.
Kini tersisa sedikit orang saja yang masih bekerja di Mondoliko. Mereka
mengelola sisa-sisa tambak, menangkap ikan, dan mencari kerang. Beberapa di
antaranya sudah bermukim di luar kampung, beberapa lainnya masih bertahan.
Bagi yang sudah bermukim di luar kampung, mereka acap datang menggunakan
perahu atau berjalan kaki melalui jalanan yang memprihatinkan; tenggelam,
249
Kisah warga Mondoliko yang bersusah payah membangun rumah baru dengan membeli lahan relokasi dari warga
desa lain yang mendapat jatah dari pemerintah, ada pada bagian “Perjumpaan III”.
135
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
berlumpur, dan licin. Mereka coba mensiasati itu dengan cara berjalan menggunakan
kaos kaki atau membalut kaki dengan kain bekas.
Gambar36: Jalan keluar masuk Kampung Mondoliko, difoto pada 2018. Saat ini jalan dalam gambar
tersebut telah tenggelam. Sumber: Suluh Media Online, diakses 04 Mei 2022.
Cerita warga Mondoliko adalah cerita hidup yang terus terisap sampai seisi
kampung habis. Bagian ini bercerita mengenai lapis demi lapis pengisapan di
pesisir Kecamatan Sayung, termasuk yang dialami warga Mondoliko itu sendiri.
136
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
“Pas niku nggih kathah sing nggarap sabin. Hasile nggih nyenengke. Nek
sakniki nambak niku, kula piyambak wegah,” tambah Sewelas.250
Kini Sewelas tidak lagi bertambak. Saat ini biaya menggarap tambak sudah
jauh lebih mahal daripada dulu. Sebab, kini petambak perlu membeli waring
(jaring) dan bambu untuk tuas pengikat jaring. Kondisi tersebut berbeda dengan
zaman dulu; batas tambak masih berupa pematang dari gundukan tanah. Jaring
dan bambu berfungsi sebagai pengganti pematang yang membatasi gerak udang
dan bandeng, supaya tidak lari ke laut. Kini kebutuhan jaring dan bambu tidak
sedikit, karena kedalaman perairan tidak dapat dijangkau lagi dari atas perahu.
Gambar 37: Tambak di Kampung Timbulsloko, Desa Timbulsloko. Pematang tambak-tambak di pesisir
Sayung yang sudah hilang karena tanahnya tergerus rob, digantikan dengan jaring dan bambu, supaya
ikan dan udang tidak terbawa arus laut. Sumber: Foto diambil penulis pada September 2022.
137
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
251
Di Desa Surodadi saja ada tambak yang tenggelam seluas 35 hektar. Sedangkan di Bedono, luasan
tambak yang tenggelam lebih besar lagi yakni 331,31 hektare. Lihat: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Demak. 2018. Kecamatan Sayung Dalam Angka 2018.
252
Wawancara dengan Enembelas, 7 Oktober 2021.
138
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
nggih nambak nek kulo mboten gadah tambak kaleh ngeterke teng
peken.”253
Kini jumlah profesi buruh paling besar. Pada 2019, jumlah buruh di Sayung
mencapai 15 ribu orang. Jumlah petani dan nelayan—sekalipun digabung—
belum menyentuh separuh dari jumlah buruh. Biasanya para nelayan tersebut
adalah warga penduduk yang tidak punya tambak. Kini pendapatan dari profesi
nelayan juga lebih kecil. Pangkal persoalannya, karena rob kian menggerus
pesisir Sayung. Alhasil banyak nelayan beralih profesi menjadi buruh pabrik—
baik itu di pabrik-pabrik di Sayung maupun di Kota Semarang (lihat Perjumpaan III).
2. Kesulit an da n Kehilangan
Suatu malam, warga Timbulsloko, Sanga, harus berjalan menerjang air laut
nyaris setinggi paha. Sanga harus melakukan itu untuk menyelamatkan hidup
anaknya yang sedang sakit. Anak Sanga masih balita dan suhu badannya sangat
tinggi. Sanga sangat panik. Dia takut anak pertama dan satu-satunya itu kejang-
kejang jika tidak segera dibawa ke rumah sakit. Sanga berjalan dalam gelap,
sembari menggendong anak menuju Dukuh Dempet, Desa Tugu—tempat parkir
kendaraan milik orang-orang Dukuh Timbulsloko. Sanga tidak berjalan seorang
253
Wawancara dengan Sewelas, 27 Oktober 2021.
139
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
diri. Dia berjalan bersama sang istri sejauh dua kilometer. Mereka berjalan
sambil saling menjaga keseimbangan melalui satu-satunya jalan keluar kampung
yang masih bisa digunakan, sekalipun sudah rutin tenggelam.
Jalan yang dilintasi Sanga dan istrinya bukan jalan utama. Jalan tersebut
adalah jalan bagian belakang kampung. Dulu jalan itu hanya dipakai untuk pergi
ke ladang, sawah, atau tambak. Sebelum dekade 2000-an, warga Timbulsloko
jarang melewati jalan tersebut. Mereka lebih memilih jalan utama di tengah
kampung yang tersambung dengan Jalan Raya Semarang-Demak. Jalan utama
itu berada di pinggir sungai yang membelah kampung. Namun kini, jalan utama
sudah tidak lagi tampak. Begitu pula dengan sungai yang berada di sampingnya.
Keduanya telah hilang, berubah menjadi lautan.
Lain waktu, Papat menceritakan pengalaman mengangkut orang sakit dari
Dukuh Timbulsloko. Orang sakit itu harus digendong, kemudian dinaikkan ke
perahu. Di atas perahu terdapat kasur untuk dijadikan alas. Sementara para
pengakutnya perlu mendorong perahu sambil menyelam.254 Keadaan seperti itu
membuat warga Timbulsloko yang akan melahirkan lebih memilih pindah. Salah
satunya adik kandung Papat. Dia memilih meninggalkan rumah, supaya dapat
merawat bayi yang akan dilahirkan. Keputusan adik Papat masuk akal belaka.
Fasilitas kesehatan terdekat ada di Dukuh Karanggeneng berupa praktik bidan.
Dari Timbulsloko, bidan tersebut berjarak tiga kilometer dan hanya bisa diakses
dengan cara jalan kaki menembus perairan, lalu dilanjutkan jalan darat.
Kondisi di Dukuh Timbulsloko mengingatkan kami pada Dukuh Mondoliko (Desa
Bedono) sebelum mereka pindah. Kini orang Timbulsloko juga kesulitan untuk
keluar-masuk kampung. Pasalnya, daratan Dukuh Timbulsloko sudah terpisah dari
tiga dukuh lain di Desa Timbulsloko seperti Dukuh Karanggeneng, Bogorame, dan
Wonorejopasir. Jalan menuju Dukuh Timbulsloko sudah tidak memungkinkan lagi
dilewati kendaraan darat. Jalan tersebut hanya bisa dilewati dengan jalan kaki dan,
jika sedang rob sedang tinggi, berarti berjalan kaki dengan medan yang lebih sulit;
menembus air laut setinggi paha orang dewasa. Namun warga Dukuh Timbulsloko
tetap harus menembus rob itu, utamanya untuk mengakses rumah sakit, sekolah,
pasar, dan termasuk tempat kerja. Papat menambahkan,
“Berarti ini bulan puasa, alhamdulillah poso iki dalanne pun dadi, kan
dadi mulai taun ini. Wong niku saiki jenengan dalanne niku to mbak,
wong kerjo niku kadang susah, niku kudu naik prau 10 ewu, nek jenengan
254
Wawancara dengan Papat, 23 Februari 2022.
140
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
numpak prau. Dadi ambil motor disana, ambil motor titipan 2 ribu.
Pulang lagi 10 ribu. Jadi 22 ribu perjalanan sini aja. Satu hari.”255
Gambar 38: Murid-murid dan para buruh dari Kampung Timbulsloko berangkat menuju sekolah dan
tempat kerja secara bergiliran menggunakan perahu. Sumber: survei primer Oktober 2022.
Ketika air rob tidak terlalu tinggi, pilihan warga Timbulsloko malah tidak
banyak. Mereka hanya bisa berpergian dengan berjalan kaki. Sebab warga tidak
dapat menggunakan perahu, karena mesin perahu rentan rusak. Namun ketika
rob sedang tinggi, warga dapat menggunakan perahu yang dioperasikan secara
kolektif bagi dan oleh warga. Ongkos perahu satu kali jalan adalah Rp10.000.
Sesampainya di darat, warga harus membayar biaya penitipan kendaraan di
dukuh sebelah sebesar Rp2.000/kendaraan. Warga memarkirkan kendaraan di
255
Diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut; “Berarti ini bulan puasa. Alhamdulillah puasa ini
jalannya sudah jadi, kan sudah jadi mulai tahun ini. Kalau tidak ada jalan itu, orang kerja susah, harus
naik perahu Rp 10 ribu, itu kalau naik perahu. Lalu ambil titipan motor Rp 2 ribu. Pulang lagi Rp 10
ribu. Jadi Rp 22 ribu untuk perjalanan ke sini saja, satu hari.” Lihat: Wawancara dengan Papat, 23
Februari 2022.
141
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 39: Akses menuju Dukuh Timbulsloko dengan cara jalan kaki (kiri). Akses menuju Dukuh
Timbulsloko menggunakan perahu (kanan). Sumber: Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI),
diakses pada 23 Februari 2022, tidak diketahui tanggal pengambilan gambar.
142
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
mboten mangkat, nek kesel do prei, mlampah kok,” jawab warga. “Nek do
sekolah diterke pakane kangge perahu. Niku nggih angsal silihan perahu
kok. Nopo niku sumbangan perahu,” kata warga ketika menjelaskan momen
rob setinggi satu meter.257
Penduduk Dukuh Timbulsloko kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Penyebabnya, karena akses darat menuju pasar terputus. Warga membutuhkan
perahu dan kemudian kendaraan motor untuk membawa barang dari Pasar
Sayung. Karena itu, harga kebutuhan sehari-hari di Dukuh Timbulsloko lebih
mahal ketimbang di tempat lain. Sebagai contoh adalah air minum galon isi
ulang. Di tempat lain (masih daerah Kecamatan Sayung) harga air galon isi
ulang Rp3.000–Rp5.000, sedangkan di Timbulsloko mencapai Rp12.000. Karena
harga kebutuhan mahal, tidak jarang warga sampai harus berutang. Bahkan
termasuk berutang untuk membeli beras sebagai makanan pokok di sana.258
Interaksi antar warga Dukuh Timbulsloko berubah sejak rob menggenangi
seluruh area dukuh. Pasalnya, daratan antara rumah satu dengan rumah lainnya
terputus, karena sudah terendam air laut. Sejak saat itu, orang-orang Dukuh
Timbulsloko lebih sulit berinteraksi, sampai layaknya kampung mati. Relasi
sosial antar warga berkurang dan bahkan nyaris hilang. Warga berupaya tetap
mempertahankan relasi sosial antar warga yang semula guyub, walau butuh
biaya ekstra. Pasalnya, mereka perlu membangun dulu jalan kampung berbahan
kayu dan bambu dengan konstruksi panggung. Jalan itu menjadi penghubung
antar rumah di Dukuh Timbulsloko, sampai saat ini.
Warga juga berupaya mempertahankan makam kampung. Pada tahun lalu,
Masnuah membersamai warga Dukuh Timbulsloko untuk meninggikan makam
yang sudah rata dengan air laut. Batu-batu nisan harus dicabut terlebih dahulu,
untuk kemudian dipasang kembali setelah tanah makam diuruk. Sampai saat
ini, proses pemakaman di Dukuh Timbulsloko cenderung lebih sulit dilakukan.
Butuh waktu penggalian lebih lama, sedangkan air laut seakan terus mengejar
untuk segera menggenangi lubang makam.
Cerita kesulitan semacam itu dialami warga pesisir Sayung lainnya. Setiap
hari, penduduk Dukuh Tonosari (Desa Bedono) juga merasakan aneka dampak
buruk banjir rob. Salah seorang warga, Telungpuluhpapat tidak bisa membatur
(menguruk untuk meninggikan) lantai rumah. Karena tidak mampu, setiap jam
257
Wawancara dengan warga Dukuh Timbulsloko (Papat, Sangalikur, Rolas, Telulikur, Wolulas, Telulas),
15 Maret 2022.
258
Jarak rumah warga ke tempat penitipan kendaraan mencapai sekitar 1,5 km dengan menggunakan
perahu. Sedangkan jarak dari tempat penitipan ke Pasar Sayung kurang lebih 7,5 km dengan
menggunakan kendaraan motor.
143
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
setengah tiga dini hari, air laut rutin masuk rumah. Kemudian surut sekitar
pukul 05.00 pagi. Namun terkadang, banjir rob datang pula pada siang hari
setelah zuhur, tergantung musim. Ketika rob datang menerjang pada pagi hari,
warga sering terbangun dalam keadaan kaki tergenang air. Telungpuluhpapat berkata,
“Setiap wonten rob gede, mlakune soko kulon mriki, kadang bar bedug
nek musiman ngeten. Ape turu, ning angger tangi mak kecepluk. Lha niku
wae turune mboten duwe amben. Nek jogan ngeten niki.”259
Aktivitas warga untuk kulakan di Pasar Sayung menggunakan sepeda sulit
dilakukan. Karena adanya banjir rob, warga terpaksa kulakan dengan cara
jalan kaki sejauh kurang lebih 7,5 kilometer. Walau bisa jalan kaki, sebenarnya
warga masih harus menunggu banjir rob sedikit surut untuk pergi ke pasar.
Salah seorang warga Tonosari, Telungpuluhpapat, punya gambaran mengerikan
saat terjadi banjir rob besar. Ketika rob besar datang banyak warga ketakutan,
karena banjir rob di Tonosari tampak berombak, diiringi angin kencang. Warga
kebingungan menyelamatkan diri, karena akses jalan sudah sepenuhnya terendam.
“Kampunge wis kelelep. Nek musim hujan, seko kulon ombak kalih angin niku to,
Mas. Sampai banyu asin ora karuan, mumbul ombake. Nek dalu to laahhh… sak
gerombole sampai ngeri tenanan. Banyu teko, rob teko, angin teko ngoten,
mesake. Arep mlayu ning ndi ngene ki? Kono ki kebak ngono kuwi. Sing dalan
mriku to, sing kinging dilewati, keno ombak kelep,” tambah Telungpuluhpapat. 260
259
Diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut; “Setiap ada rob besar, datangnya dari arah barat sana,
jika sedang musim begini kadang datangnya setelah tengah hari. Malam mau tidur, tapi nanti kalah
bangun mak kecepluk (menggambarkan bunyi kaki masuk ke air). Itu saja tidurnya tidak pakai tempat
tidur, di lantai seperti ini.” Lihat: Wawancara dengan Telungpuluhpapat, 28 Oktober 2021.
260
Diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut; “Kampunnya sudah tenggelam. Kalau musim hujan, dari
arah barat datang ombak dan angin. Sampai air asin datang tidak karuan, ombaknya naik. Kalau
malam, laahhh… datang bergerombol mengerikan, air datang, rob datang, angin datang, kasihan.
Mau lari kemana kalau begini? Di sana itu penuh air. Yang di jalan itu, yang bisa dilewati saja
tenggelam.” Lihat: Wawancara dengan Telungpuluhpapat, 28 Oktober 2021.
144
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
turut. Di beberapa tempat di Sayung, rob malah telah menjadi genangan permanen.
Seperti kata Enembelas,
“Mulai subuh Mbak. Sudah langganan kalau di sini. Sak undakan kuwi lo
Mbak, sekitar 15 sentimeteran. Kurang ngerti jam pira tekane rob. Paling
nek pas turu ngono ki, tangi wis surut. Yo kadang jam papat bengi. Nek
sak wengi kae yo ora. Kadang yo ora mlebu ngomah. Nek wingenane kae
gedhe-gedhe terus, engko cilik-cilik, terus gedhe meneh.””261
Warga Dukuh Tonosari (Desa Bedono) lain, Bu Lima dan Telungpuluhpapat
mengatakan hal serupa;
“Yo sering sak mene. Ngger jam tigo ki banyune sak bokong. Setengah tigo
sampun dateng. Mangke nek sampun jam gangsal niku nggih surut. Jam
kalih, jam tigo, jam sekawan, niku pun radi surut. Mangke nek nggon-
nggon nggih kelem malih, mangke asat malih.”262
Momen rob di Sayung sudah sangat parah. Bahkan saking parahnya, sudah
banyak warga Sayung sampai melakukan “bedol desa”. Warga Sayung tersebut
terpaksa pindah ke tempat yang dirasa aman dari banjir rob. Sementara rumah
mereka sebelumnya di Sayung ditinggalkan begitu saja, karena sebagian besar
sudah menjadi lautan. Salah seorang warga Sriwulan mengatakan, di sekitar
rumahnya sudah banyak rumah kosong, karena ditinggalkan pemilik. Selain itu,
banyak rumah yang makin lama, makin hancur dan hilang imbas air rob yang
makin tinggi menggenang. Banyak warga Sriwulan pindah ke rumah saudara
mereka atau mengontrak di wilayah lain yang aman dari rob.
Terkait “bedol desa’, Damayanti (2019) mencatat adanya beberapa praktik
perpindahan penduduk karena abrasi. Misalnya, pada 1999 sejumlah 65 KK dari
Kampung Tambaksari (Desa Bedono) direlokasi ke Desa Purwosari. Kemudian
pada 2006, sejumlah 201 KK dari Kampung Rejosari (Senik) di Desa Bedono
direlokasi ke dua tempat: Dukuh Badong (Desa Sidogemah) dan Dukuh Daleman
261
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “(Rob datang) mulai subuh Mbak. Sudah langganan
kalau di sini. Satu anak tangga itu lo Mbak, sekitar 15 sentimeteran. Kurang tahu jam berapa
datangnya rob. Paling kalau saat tidur ada rob, nanti bangun sudah surut. Ya terkadang jam empat
dini hari. Kalau sampai semalaman sih tidak. Kadang juga tidak sampai masuk rumah. Kalau kemarin
robnya besar-besar terus, nanti kecil-kecil lalu besar lagi.” Lihat: Wawancara dengan Enembelas, 07
Oktober 2021.
262
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penuli: “Ya sering setinggi ini. Kalau pukul tiga dini hari
airnya setinggi pantat. Pukul setengah tiga (rob) sudah datang. Nanti kalau sudah pukul lima itu surut.
Pukul dua, pukul tiga (datang), pukul empat itu sudah agak surut. Nanti kalau rob datang sudut-sudut
di rumah tergenang, lalu nanti kering lagi.”” Lihat: Wawancara dengan Lima dan Telungpuluhpapat,
28 Oktober 2021.
145
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
(Desa Gemulak). Bersamaan dengan itu, sejak 1999 sampai dengan 2006, dua
kampung di Desa Bedono tersebut telah hilang, berubah menjadi lautan.
Proses pemindahan penduduk dari Rejosari ke Sidogemah dilandasi oleh
beberapa bentuk perjanjian. Berikut ini salah satu perjanjian warga Gemulak
dengan Pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Kepala Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah Nomor 593.1/073 Tahun 2014.
Gambar 40: Perjanjian antara warga Gemulak dengan pemerintah. Sumber: Survey Primer, Maret 2022.
146
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
pindah angsal tanah, ukuran 5x10 pasir kalih rit watu 3 rit, semen 25 sak
nganti satu juta (kemudian dikoreksi bahwa tanahnya hanya 5x10) m2.”263
263
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh tim penulis: “Mondoliko, kalau mau sekolah atau kerja juga
susah, naik perahu. Kalau kata Sekda (Sekretari Daerah Kabupaten Demak), hampir satu bulan saya
dapat surat, tidak boleh pindah. Pindah itu kemauan masyarakat. Kemauan pemerintah tidak boleh
pindah. Dulu, pindah itu dapat tanah ukuran 5x10 meter persegi, pasir satu rit, batu tiga rit, semen
25 sak, sampai uang satu juta (rupiah). Lihat: Wawancara dengan warga Senik Baru, 15 Maret 2022.
264
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh tim penulis: “Ya dulu di sini malah sawah. Itu sampai ada
orang Trengguli, dulu istilahnya boro ke sini, saking makmurnya di sini. Di samping sini untuk kerja
bercocok tanam, maksudnya di kebun itu lho. Setelah kebun, di sebelah sana ada sawah. Setelah
sawah, di sebelah sana ada tambak. Di depan rumah ada kelapa.” Lihat: Wawancara dengan Papat,
23 Februari 2022.
147
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
“Kan hidup dia di atas air kan sebenernya gak nyaman. Sebenarnya itu
semua mengeluh Bu, cuma mengeluhnya sama siapa itu kan gak tau, gitu,
artinya pasrah aja.”265
Gambar 41: Kondisi Pemukiman di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survey Primer, Oktober 2021.
265
Wawancara dengan Papat, 23 Februari 2022.
266
Suryanti, Ni Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah Pesisir
Kabupaten Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).
148
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
Amblesan tanah dan kenaikan air laut merupakan dua faktor penyebab rob
dan abrasi. Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jateng (2009) menyebutkan,
pantai yang terabrasi di pantura Jawa Tengah 3.329 hektar. Sementara pada
2011, kawasan yang terabrasi di pantura naik menjadi 4.888 hektar dan terus
bertambah 1.559 hektar dalam dua tahun kemudian. Menurut Damayanti (2019),
abrasi dan rob yang menimpa wilayah pesisir Sayung disebabkan oleh, salah satunya,
kegiatan alih fungsi lahan untuk kepentingan tambak.267
Pada 1970-1980, sebagian besar warga Sayung memanfaatkan lahan untuk
aktivitas pertanian dan budidaya tambak di dekat laut. Pada saat itu struktur
penggunaan lahan di wilayah pesisir Sayung adalah laut, tambak, mangrove,
sawah, dan rumah. Pada dekade 1980, pasang air laut tertinggi di Sayung hanya
mencapai kawasan mangrove, dan sebagian kecil lahan sawah. Jarak antara
permukiman dua kampung pesisir dengan laut masih cukup jauh. Memasuki
dekade 1990-an, sedang terjadi booming udang windu di pesisir Sayung. Alhasil
banyak warga Sayung mencari sumber penghidupan dari aktivitas bertambak.
Banyak orang menyebut kurun waktu tersebut sebagai era keemasan petambak
udang windu atau udang bago.
Ketika terjadi booming udang, warga berupaya meningkatkan produksi
semaksimal mungkin melalui berbagai cara. Di samping itu, warga yang semula
bukan petambak mulai beralih menjadi petambak. Konsekuensi dari perubahan
tersebut, banyak warga mengubah lahan sawah dan mangrove menjadi tambak.
Adanya konversi mangrove menjadi tambak membuat daerah pesisir kehilangan
benteng alami dari terjangan air laut. Akhirnya pelan-pelan rob mulai mengikis
tambak dan permukiman penduduk, puncaknya terjadi sejak 1998.268
267
Lihat: (1) Sinombor, Sonya Hellen. 2012. “Abrasi: Tambak-Tambak Ikan Itu Sudah Rata Dengan Laut.”
Kompas. Diakses pada 20 Juli 2022; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir
Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi
Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
268
Dua substansi paragraf ini didapat dari: Wati, Diah Ismoyo. 2013. “Pengaruh Keberadaaan Makam
Kiai Muzakir Terhadap Kesadaran Lingkungan Masyarakat Pesisir Desa Bedono, Kecamatan Sayung,
Demak.” Jurnal Masyarakat & Budaya 15(1):157–76.
149
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
269
Sinombor, Sonya Hellen. 2012. “Abrasi: Tambak-Tambak Ikan Itu Sudah Rata Dengan Laut.” Kompas.
270
Wawancara dengan Nadhiri, Oktober 2022.
271
Wawancara dengan Pak Siji, Oktober 2022.
150
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
melimpas ke daratan di sekitar area yang direklamasi. Salah satu daratan yang
terkena dampak adalah wilayah pesisir Sayung.272
Setelah era reklamasi pelabuhan, kini muncul proyek TTLSD. Batubara Dkk
(2019) menyebutkan, proyek TTLSD bakal berdampak buruk bagi warga yang
bermukim di sebelah selatan dan sebelah utara kurva TTLSD. Warga di selatan
kurva meliputi warga Desa Sriwulan dan Purwosari. Sementara warga di utara
kurva TTLSD adalah warga Desa Bedono, Sidogemah, dan Timbulsloko. Kedua
kelompok warga tersebut bakal mendapatkan dampak TTLSD yang berbeda.
Sebelah selatan kurva bakal merasakan dampak berupa tertutupnya akses
menuju pantai dan laut. Sementara untuk sebelah utara kurva bakal merasakan
dampak berupa banjir rob dan abrasi yang makin parah.273
Gambar 42: Gambar peta kurva TTLSD. Sumber: Batubara dkk (2019), diunduh pada 30 Juli 2022.
272
Penjelasan lebih detail mengenai modernisasi Pelabuhan Semarang dengan cara reklamasi ada di
bagian “Perjumpaan II”. Lihat: (1) Wati, Diah Ismoyo. 2013. “Pengaruh Keberadaaan Makam Kiai
Muzakir Terhadap Kesadaran Lingkungan Masyarakat Pesisir Desa Bedono, Kecamatan Sayung,
Demak.” Jurnal Masyarakat & Budaya 15(1):157–76; dan (2) Tri, Kusumaning, and Feronika Sekar
Puriningsih. 2014. “Kajian Strategi Penanganan Banjir/ Rob Di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.”
Warta Penelitian Perhubungan 26(11):677–88.
273
TTLSD merupakan jalan tol yang akan menghubungkan Kawasan Industri Kendal (KIK), Jateng
Industrial Park Sayung (JIPS), dan proyek komersial berupa real estate di antara kedua kawasan
industri itu. Proyek pembangunan jalan tol tersebut akan menghubungkan Kota Semarang dengan
Kabupaten Demak. Selain menjadi tol, proyek tersebut bakal sekaligus dijadikan tanggul laut.
Menurut pemerintah, proyek TTLSD akan berfungsi sebagai: (1) solusi penanganan rob yang semakin
parah karena adanya penurunan permukaan tanah ( land subsidence); dan (2) solusi kemacetan.
Lihat: Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. 2020. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis
Kawasan Pesisir Semarang-Demak . https://www.researchgate.net/publication/344804419.
151
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
152
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia
yang disebut Yanuardi dan Swanvri (2014) merupakan penyebab krisis sosio-
ekologis.276 Dalam konteks buku ini, ekspansi kapitalisme yang dimaksud ialah
proyek TTLSD dan aneka bentuk rencana pembangunan kawasan industri baru.
Ada beberapa bentuk krisis sosial-ekologis di pesisir Kecamatan Sayung.
Misalnya krisis berupa ekstraksi air tanah, penurunan permukaan tanah, abrasi
pantai, dan banjir pasang air laut (rob). Krisis sosial-ekologis tersebut muncul
sebagai syarat keberlangsungan hidup sistem kapitalisme di sepanjang pesisir
Semarang-Demak. Salah satu dampak krisis sosial-ekologis yang paling terasa,
dari tahun ke tahun, kualitas lingkungan hidup cenderung terus menurun.277
Penurunan kualitas lingkungan itu tidak dirasakan dengan kadar yang sama—
baik itu antara manusia dan non-manusia maupun antar manusia itu sendiri.
Sebagai contoh adalah perbedaan kadar penderitaan antara manusia pemilik
pabrik dan manusia kebanyakan. Ketika penurunan lingkungan terjadi, para
pemilik pabrik/industri (di Sayung dan di Semarang) tidak kehilangan kehidupan
mereka.278 Jika pabrik/industri kebanjiran, mereka sangat mudah meninggikan
lantai dan/atau pindah ke tempat lain. Sedangkan bagi manusia kebanyakan,
momen banjir atau abrasi jelas menyulitkan kehidupan mereka—baik secara
ekonomi, pendidikan, sosial, maupun kesehatan. Bahkan tidak sedikit warga
Sayung yang dipaksa berganti pekerjaan atau bahkan kehilangan pekerjaan,
karena adanya penurunan kualitas lingkungan.
Industri di Kecamatan Sayung sudah dan bakal terus bertambah. Pemerintah
dan pengusaha mendapat keuntungan dari ekspansi kapitalisme di pesisir
Sayung itu. Sedangkan warga kebanyakan bakal terus terisap seluruh aspek
kehidupannya. Terutama lagi bagi warga yang bermukim di Desa Bedono,
Timbulsloko, Sriwulan, Purwosari, dan Sidogemah. Pengisapan yang terjadi di
Sayung tidak hanya bersifat ekonomi saja, namun juga ekologis, sosial, politik,
dan sosial-reproduktif. Berikut ini beberapa bentuk pengisapan di Sayung.
276
Batubara, Bosman. 2022. “Crisis, Injustice, and Socio-Ecological Justice.” 2(1):71.
277
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup. Dalam hal ini, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi kelangsungan
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Bahkan dari waktu ke waktu kualitas
lingkungan hidup pun cenderung terus menurun. Lihat: Munasikhah, Siti, and Putri Agus Wijayanti.
2021. “Dari Hutan Mangrove Menjadi Tambak: Krisis Ekologis Di Kawasan Sayung Kabupaten Demak
1990-1999.” Journal of Indonesian History 10(2):129–40.
278
Sampai saat ini, ada sekitar 29 unit industri manufaktur skala besar dan sedang di Kecamatan
Sayung. Berdasarkan data Direktori Industri Manufaktur Besar dan Sedang Kabupaten Demak Tahun
2021, kelompok industri di Kecamatan Sayung ialah 3 unit industri makanan; 1 unit industri tekstil; 1
unit industri pakaian jadi; 8 unit industri kayu; 2 unit industri karet/plastik; 4 unit industri furniture; 1
unit industri pengolahan lainnya; dan 9 unit industri lain-lain.
153
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
154
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan
PERJUM PAAN V
Ekofeminisme, Memandang Sayung dengan Sopan
Gambar 43: Deretan pabrik-pabrik di tepi Jalan Raya Semarang-Demak (jalan nasional) di Sayung.
Dipotret dari bekas sawah yang kemudian menjadi tambak yang sudah tenggelam di Kampung
Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung. Sumber: survei primer September 2022.
155
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
manusia yang sama-sama bagian dari alam. Seperti yang selalu diingatkan
Donna Haraway, relasi manusia dan non-manusia punya asal-usul kesejarahan
yang spesifik: reproduksi subsisten, yang membentuk suatu spesies.
Pada bagian perjumpaan I, telah terangkum cerita bagaimana orang-orang
datang ke pesisir Sayung. Utamanya, setelah Syekh Mudzakir mulai mengubah
rawa-rawa menjadi lahan pertanian. Bagian itu merangkum bagaimana rawa
yang berlumpur ditutup menggunakan endapan sungai agar dapat difungsikan
sebagai media bercocok tanam.279 Momen perjumpaan Syekh Mudzakir dengan
endapan sungai dan lahan rawa memunculkan sebuah nilai. Mengapa?
Sungai memiliki reproduksi subsistennya sendiri. Sejak awal sungai tidak
mengendapkan material subur untuk digunakan Syekh Mudzakir sebagai media
bercocok tanam. Begitu pula dengan rawa-rawa berlumpur. Rawa tersebut
tidak memunculkan air dan lumpur untuk diolah Syekh Mudzakir. Namun seiring
makin banyaknya orang datang ke Sayung, cara bercocok tanam tersebut terus
berkembang. Orang Sayung tidak lagi memakai endapan sungai, sebab tanah
Sayung dengan reproduksi subsistennya telah membaur dengan cara produksi
manusia. Pembauran itu membentuk kesuburan tanah yang dapat digunakan
warga pesisir Sayung untuk bertani, lalu dijual hasilnya.
Bagian Perjumpaan III merekam perjumpaan antara pemodal dengan tanah
rawa di pesisir Semarang. Para pemodal menutup rawa-rawa di pesisir untuk
pengembangan kawasan permukiman mewah beserta sarana pendukungnya.280
Dalam kasus ini, kesuburan tanah rawa justru diuruk (reklamasi) menggunakan
tanah yang lebih keras dan kering. Tujuan pengurukan tersebut bukan untuk
menumbuhkan tanaman, melainkan untuk menumbuhkan uang yang digunakan
sebagai modal. Di pesisir Sayung terdapat pula uang modal yang turut tumbuh
bersama tanaman. Namun tingkat pertumbuhannya, tidak sepesat pertumbuhan
uang modal di pesisir Semarang.
Sebagai contoh adalah perbandingan antara Tanah Mas dan lahan pertanian
di pesisir Sayung. Reklamasi di Tanah Mas menghasilkan uang miliaran rupiah
dari unit-unit rumah yang dijual. Sedangkan hasil pertanian dari lahan-lahan di
pesisir Sayung tidak menyentuh miliaran rupiah. Pertumbuhan lebih pesat di
Tanah Mas juga mendorong adanya perjumpaan lain. Sebut saja perjumpaan
antara para pemodal dengan lahan pesisir lain di Semarang seperti Kawasan
Pantai Marina, Pelabuhan Tanjung Emas, dan lain sebaginya.
279
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan I.
280
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan III.
156
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan
281
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Pendahuluan.
282
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan I.
157
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
283
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan II.
284
Di pesisir Sayung, selain udang, ada pula pertambakan ikan bandeng. Benih bandeng atau nener juga
datang dari tempat-tempat pembibitan.
158
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan
285
“Kecenderungan yang berlangsung dari dinamika perkembangan Kota Semarang telah menjalar ke
wilayah-wilayah di sekitar Kota Semarang, yaitu di wilayah-wilayah pinggiran yang berbatasan
dengan Kabupaten tetangganya, di antaranya Kecamatan Sayung dan Kecamatan Mranggen di
Kabupaten Demak, Ungaran di Kabupaten Semarang, dan Kaliwungu di Kabupaten Kendal.
Perkembangan di daerah perbatasan ini lebih dikarenakan adanya perluasan kegiatan perkotaan
antara lain berupa industri dan perumahan. Adapun arahan permukiman menurut RTRW Kota
Semarang (Tahun 2000-2010) menunjukkan bahwa pusat permukiman perkotaan lebih ke arah
timur (dengan pusat Terboyo), Pedurungan untuk arah tenggara, Banyumanik untuk bagian selatan
dan Mijen. Sedangkan untuk peruntukan industri, kawasan yang lebih diprioritaskan adalah kawasan
industri Genuk dan kawasan industri Tugu. Berdasar hal-hal di atas, dapat diketahui bahwa rambatan
perkembangan Kota Semarang ini terjadi ke arah Timur, Barat dan Selatan.” Dikutip seluruhnya dari
Hidayati, Nur Astiti Fahmi. 2005. “Pengaruh Pembangunan Perumahan Pondok Raden Patah Terhadap
Perubahan Kondisi Desa Sriwulan Kecamatan Sayung Demak.” Tugas Akhir, Universitas Diponegoro, Semarang.
286
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan III.
159
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
287
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
160
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan
161
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
290
Sebetulnya analisis produksi kapitalis berlaku pula dalam pengusahaan tambak, lahan pertanian,
dan aktivitas nelayan. Mengingat, reproduksi subsisten non-manusia juga digunakan warga Sayung
sebagai nilai yang dipertukarkan di pasar. Namun dalam pengusahaan tambak, sawah, dan nelayan
itu, kebanyakan warga Sayung tidak berada dalam posisi sebagai buruh. Sedangkan buku ini
mencoba menunjukkan siapa yang paling untung (paling banyak menangguk keuntungan) dan siapa
yang paling buntung (harus hidup dioyak-oyak banyu).
162
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan
291
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan IV.
163
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Gambar 44: Gedung Sekolah Dasar yang rusak di Desa Bedono. Murid-murid tidak lagi bisa bersekolah di
gedung ini. Kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke sekolah lain. Sumber: survei primer Mei 2022.
Siapa yang menanggung beban paling besar dan berat dalam krisis sosial-
ekologis di pesisir Sayung? Tentu saja bukan para pemilik modal yang punya
kontribusi memperparah banjir rob dan abrasi. Adalah kebanyakan warga yang
justru memikul beban lebih besar dan berat. Beban tersebut yang membuat
mereka makin susah memenuhi kebutuhan sehari-hari; sulit untuk beraktivitas,
bekerja, sekolah, mengakses layanan kesehatan, dan bahkan sampai harus pisah
dengan tetangga. Ragam bentuk kesulitan itulah yang disebut reproduksi sosial.
Nahasnya, pemodal justru memanen hasil dari reproduksi sosial tersebut.
Dalam konteks ini, pemodal yang dimaksud adalah pemilik industri dan/atau
perumahan di pesisir Sayung dan Kota Semarang. Para pemodal tersebut tidak
kehilangan kehidupan mereka, sedangkan kebanyakan warga malah kehilangan
segalanya. Pemodal cenderung tidak begitu merasakan krisis sosio-ekologis,
sedangkan warga merasa betul hal tersebut sampai mereka benar-benar
seperti dioyak-oyak banyu. Ketika sumber penghidupan warga Sayung habis,
industri dan perumahan di pesisir Semarang-Demak justru makin berkembang
dan meluas. Akibatnya, mereka yang semula bekerja sebagai petani, nelayan,
atau petambak, kini makin tidak punya pilihan. Kebanyakan (tidak semua) dari
mereka akhirnya beralih menjadi buruh pabrik.
164
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan
165
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
166
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Yunus, Eris Sabti Rahmawati, Euis Laelasari, and Mathori A. Elwa. 2003.
Kebohongan-Kebohongan Negara Perihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup
Nusantara. Vol. 412. 17th ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amindoni, Ayomi. 2020. “Perubahan Iklim: Kisah Keluarga Yang Bertahan Sendirian Di Tengah Desa Yang
Tenggelam.” Www.Bbc.Com. Retrieved June 8, 2022 (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
51354895).
Anon. 2022a. “10.000 Warga Desa Sriwulan Mengungsi Akibat Tanggul Jebol.” Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://demakkab.go.id/news/10000-warga-desa-sriwulan-
mengungsi-akibat-tanggul-jebol).
Anon. 2022b. “PT Demak Aneka Wira Usaha (Perseroda).” Anwusa.Demakkab.Go.Id. Retrieved April
12, 2022 (https://anwusa.demakkab.go.id/).
Ardhani, Hani Rahma. 2018. “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Operator Terminal Petikemas
Semarang.” Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
Ardhianie, Nila, dan Bagas Yusuf Kausan. (Dalam proses). Dulu dan Sekarang: Menyoal Penyediaan
Air di Kota Semarang.
Arruzza, Cinzia, Nancy Fraser, and Tithi Bhattacharya. 2020. Feminisme Untuk 99% Sebuah
Manifesto. edited by L. Sudiono. Yogyakarta: Penerbit Independen.
Asrofi, Akhmad, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko. 2017. “Strategi Adaptasi Masyarakat
Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan
Wilayah (Studi Di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah).”
Jurnal Ketahanan Nasional 23(2):125–44.
Barua, Maan. 2016. “Nonhuman Labour, Encounter Value, Spectacular Accumulation: The
Geographies of a Lively Commodity.” Royal Geographical Society 42(2):274–88.
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/ publication/344804419.
Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah. 2021.
Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited
by W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara.
BPKP. 2007. “Korupsi Bandes, Mantan Bupati Demak Menjadi Tersangka.” Bpkp.Go.Id. Retrieved
August 20, 2022 (https://www.bpkp.go.id/berita/read/2051/14510/ Korupsi-Bandes-Mantan-
Bupati-Demak-Menjadi-Tersangka).
167
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
BPR KCA. n.d. “Sukawi Sutarip.” Bprkca.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://bprkca. com/tentang-
kami/manajemen/sukawi-sutarip/).
Bumimas Group. n.d.-a. “Kawasan Industri Demak.” Bumimasgroup.Co.Id. Retrieved August 22, 2022
(https://bumimasgroup.co.id/kawasan-industri-sayung/).
Bumimas Group. n.d.-b. “Perjalanan Bumimas Group Sebagai One Stop Service.”
Bumimasgroup.Co.Id. Retrieved August 28, 2022 (https://bumimasgroup .co.id/our-history/).
Cakti, Aji. 2021. “Erick Thohir Pastikan Pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 22, 2022 (https://jateng.antaranews.com/berita/417605/erick-thohir-pastikan-
pengembangan-pelabuhan-tanjung-emas).
Cakti, Aji. 2022. “Konstruksi Tol Semarang-Demak Seksi 2 Capai 80,63 Persen.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 13, 2022 (https://jateng.antaranews .com/berita/448385/konstruksi-tol-
semarang-demak-seksi-2-capai-8063-persen).
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Damaywanti, Kurnia. 2013. “Dampak Abrasi Pantai Terhadap Lingkungan Sosial (Studi Kasus Di Desa
Bedono Sayung Demak).” in Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro.
Deleuze, GillesParnet, Claire. 2007. Dialogues II. 2nd ed. edited by B. Habberjam and H. Tomlinson.
New York: Columbia University Press.
Devina. 2022. “Keluhkan Banjir Dan Rob, Desa Usulkan Peningkatan Jalan Melalui Program BKK.”
Dinperkim.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://dinperkim.demakkab.go.id/?p=21115).
Ernawati, Jenny. 2011. “Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Suatu Tempat.” Local Wisdom - Jurnal
Ilmiah Online 3(2):1–9.
Foreign Fishery Developments. 1981. Japanese Shrimp Import Trends for 1963-80 Told. 6. Japan.
Forum Komunikasi Masyarakat Tawang Mas. 2016. “Sekilas Tentang Reklamasi Pantai Marina Semarang Yang
Menggilas Hak Asazi Warga Tawang Mas, Nelayan Tawang Mas Dan Sekitarnya.”
Fkmtm.Blogspot.Com. Retrieved August 18, 2022 (http://fkmtm.blogspot.com/2016/08/sekilas-
tentang-reklamasi-pantai.html).
Fraser, Nancy. 2014. Behind Marx’s Hidden Abode: For an Expanded Conception of Capitalism.
Vol. 86.
168
DAFTAR PUSTAKA
Ghaffar, Abdul. 2019. “Menelusuri Pesisir Zona Dalam Tanggul Tol Laut Semarang-Demak.”
Takselesai.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://takselesai.com /2019/09/04/menelusuri-
pesisir-zona-dalam-tanggul-tol-laut-semarang-demak/).
Hidayati, Nur Astiti Fahmi. 2005. “Pengaruh Pembangunan Perumahan Pondok Raden Patah
Terhadap Perubahan Kondisi Desa Sriwulan Kecamatan Sayung Demak.” Tugas Akhir,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Humas Jateng. 2020. “Atasi Rob Di Sayung, Ganjar Minta Proyek Peninggian Saluran Dikebut Dalam 3
Hari.” Jatengprov.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/publik/atasi-rob-di-
sayung-ganjar-minta-proyek-peninggian-saluran-dikebut-dalam-3-hari/).
Humas Jateng. 2022. “Proyek Tol Semarang-Demak Seksi II Ditarget Selesai 28 Oktober 2022.”
Jatengprov.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/ publik/proyek-tol-
semarang-demak-seksi-ii-ditarget-selesai-28-oktober-2022/).
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Jatengland. n.d. “Desciption About Product.” Jatengland.Com. Retrieved August 22, 2022
(http://jatengland.com/sample-page/).
Jonker, Theo H., Hiroshi Ito, and Hiroji Fujishima. 2005. Food Safety and Quality Standards in
Japan: Compliance of Suppliers from Developing Countries. 47842. Japan.
Kabupaten Demak. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak Tahun 2011-2031. Kabupaten Demak.
Kakashi, Avid. 2020. “Jalan Bedono Saat Ini Setelah Dibangun TNI.” Kodim 0716 Demak. Retrieved
August 20, 2022 (https://www.kodim0716demak.id/2020/10/jalan-bedono.html).
Kamoey, Andreas. 2015. “The Japanese Market for Seafood.” Globefish Research Programme 117.
Keithly Jr., Walter R., and Y. Song. 2004. “A Review of World Shrimp Production and Trade: 1980-
93.” Pp. 499–525 in Proceedings of The 48th Gulf and Caribbean Fisheries Institute.
Lousiana: Aqua Docs.
Kominfo. 2021a. “Kontur Tanah Muda Dan Kawasan Industri, Penyebab Penurunan Tanah Di Demak.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022 (dinkominfo.demakkab.go.id).
Kominfo. 2021b. “Kontur Tanah Muda Dan Kawasan Industri, Penyebab Penurunan Tanah Di
Demak.” Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022
(https://dinkominfo.demakkab.go.id/berita/detail/kontur-tanah-muda-dan-kawasan-
industri-penyebab-penurunan-tanah-di-demak).
Kominfo. 2022a. “Air Bersih Susah Di Dapat Akibat Terkena Banjir Di Desa Sriwulan Sayung.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved May 27, 2022 (https:// dinkominfo.demakkab.go.id/berita/detail/air-
bersih-susah-di-dapat-akibat-terkena-banjir-di-desa-sriwulan-sayung).
Kominfo. 2022b. “Dampak Tanggul Jebol Dan Rob Genangi Wilayah Sayung.” Diskominfo.Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://dinkominfo .demakkab.go.id/berita/detail/dampak-tanggul-jebol-
dan-rob-genangi-wilayah-sayung).
169
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
KPI. n.d. “Milestone, Tahun 1986 – 1997 Merintis Karir.” Zonaindustrialpark.Com. Retrieved August
28, 2022 (https://zonaindustrialpark.com/about/sejarah-singkat/).
Kurniawati, Feri Ema. 2010. “Perkembangan Struktur Ruang Kota Semarang Periode 1960-2007
(Studi Pengembangan Struktur Ruang Dari Masa Pasca Kolonial Sampai 2007).” Skripsi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Luxemburg, Rosa. 2003. The Accumulation of Capital. 1st ed. edited by A. Schwarzschild. New York:
Routledge Classics.
Mahya, Mila, Sien Kok, and Amrit Cado van der Lelij. 2021. Economic Assessment of Subsidence in
Semarang and Demak, Indonesia. Netherlands.
Marx, Karl. 1867. Das Kapital, Volume I. Vol. 1. edited by S. Moore, E. Aveling, and E. Untermann.
German: Progress Publishers.
Muhlisin, Ahmad. 2022. “Pemerintah Akan Bangun Tanggul Laut 15 Km Untuk Atasi Rob Di Demak.”
Betanews.Id. Retrieved September 25, 2022 (https://betanews.id /2022/06/pemerintah-akan-
bangun-tanggul-laut-15-km-untuk-ata-si-rob-di-demak.html).
Nizar. 2021. “Akses Jalan Sering Terkena Rob, Lewat Dana BKK Pemerintah Desa Bedono Lakukan Peninggian
Jalan.” Jatengnews.Id. Retrieved August 21, 2022 (https://www.jatengnews.id/2021/11/19/akses-jalan-
sering-terkena-rob-lewat-dana-bkk-pemerintah-desa-bedono-lakukan-peninggian-jalan/).
P2KP. 2008. “Kesadaran Partisipasi Jamin Keberlanjutan Program, Direktorat Jenderal Cipta Karya
- Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat.” Direktorat Jenderal Cipta
Karya - Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. Retrieved August 28,
2022 (https://kotaku.pu.go.id/view-/6232/kesadaran-berpartisipasi-jamin-keberlanjutan-
program).
Selikur. 2022.“Pengajian Suluk Senin Pahingan Ke-12 Di Pondok Pesantren Al-Itqon, Pedurungan,”
August 28.
Pemerintah Kabupaten Demak. 2020. Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Demak Tahun 2011-
2031. Kabupaten Demak.
Poesoro, Awan Wibowo Laksono. 2005. “Membangkitkan Investasi Di Indonesia.” The Indonesia
Institute 1–41.
Pribadi, Wahib. 2020a. “Dana Desa Dipakai Investasi, Kades Gemulak Ditahan.”
Radarsemarang.Jawapos.Com. Retrieved August 21, 2022 (https://radar
semarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/03/04/dana-desa-dipakai-investasi-
kades-gemulak-ditahan/).
170
DAFTAR PUSTAKA
Pribadi, Wahib. 2022. “Peninggian Jalan Pantura Sayung Selesai.” Jawa Pos – Radar Semarang,
June 11.
PT LAPI ITB. 2022. “Tentang PT LAPI ITB.” Lapi-Itb.Com. Retrieved August 18, 2022
(https://www.lapi-itb.com/id/about).
Puspitoningrum, Anggun. 2021. “Warga Jepara Tolak Penambangan Untuk Urugan Tol Laut Semarang Demak.”
Jateng.Idntimes.Com. Retrieved August 18, 2022 (https://jateng.idntimes.com/news/jateng/anggun-
puspitoningrum-1/warga-jepara-tolak-penambangan-untuk-urugan-tol-laut-semarang-demak).
Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Jaringan Dokumentasi
Dan Informasi Hukum BPK RI. Indonesia: https://peraturan .bpk.go.id/Home/Details/49513/uu-
no-1-tahun-1967.
Republik Indonesia. 1976. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1976
Tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Indonesia.
Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).
Rossanty, Emy. 2008. “Dampak Reklamasi Pantai Marina Kota Semarang.” Skripsi, Universitas
Dipoegoro, Semarang.
Roswaty, Sefanya, Max Rudolf Muskananfola, and Pujiono Wahyu Purnomo. 2014. “Tingkat
Sedimentasi Di Muara Sungai Wedung Kecamatan Wedung, Demak.” Diponegoro
Journal of Maquares 3(2):129–37.
Safuan, Akhmad. 2020. “Banjir Rob Masih Rendam Kawasan Pantura.” Mediaindonesia.Com.
Retrieved August 20, 2022 (https://mediaindonesia.com /nusantara/321231/banjir-rob-
masih-rendam-kawasan-pantura).
Sanjoto, Tjaturahono Budi, Sunarko, and Satyanta Parman. 2016. “Tanggap Diri Masyarakat Pesisir
Dalam Menghadapi Bencana Erosi Pantai (Studi Kasus Masyarakat Desa Bedono
Kabupaten Demak).” Jurnal Geografi 13(1):90–100.
Sari, Dimas Novita. 2015. “DPR Minta Proyek Betonisasi Jalan Pantura Diaudit.” Ekonomi.Bisnis.Com.
Retrieved August 20, 2022 (https://ekonomi.bisnis.com /read/20150909/45/470690/dpr-minta-
proyek-betonisasi-jalan-pantura-diaudit).
Septiadi, Baskoro. 2022. “Tanggul Jebol Karena Rob, Kawasan Tanjung Emas Semarang Dikepung Banjir Artikel Ini
TelahTerbit Di: Https://Radarsemarang.Jawapos.com/Berita/Jateng/Semarang/2022/05/23/Tanggul-Jebol-
Karena-Rob-Kawasan -Tanjung-Emas-Semarang-Dikepung-Banjir/Copyright © RADARSEMARANG.ID.”
Radarsemarang.Jawapos.Com. Retrieved June 24, 2022 (https://radar
semarang.jawapos.com/berita/jateng/semarang/2022/05/23/tanggul-jebol-karena-rob-kawasan-tanjung-
emas-semarang-dikepung-banjir/).
Setiawan, Hendra. 2022. “Tanah Musnah Hambat Proyek Tol Semarang-Demak.” Suara Merdeka.Com.
Retrieved September 17, 2022 (https://www.suaramerdeka.com /jawa-tengah/pr-
044775103/tanah-musnah-hambat-proyek-tol-semarang-demak).
Setyati, Ari Wilis, Arya Rezagama, Tri Winarni Agustini, Yusup Hidayat, Narendra
Prasidya Wishnu, and Dyah Ayu Wulandary. 2018. “Inovasi Penanganan Mitigasi
Bencana Desa Bedono Kecamatan Sayung Demak Akibat Efek Abrasi.” Pp. 198–
200 in Proceeding SNK-PPM. Vol. 1. Semarang.
171
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Shodiq, Arif. 2022. “Bisakah Gandum Tumbuh Di Indonesia Yang Beriklim Tropis?”
Pangan.Sariagri.Id.
Sohirin. 2010. “Sukawi Kembali Jadi Pengusaha.” Nasional.Tempo.Co. Retrieved July 14,
2022 (https://nasional.tempo.co/read/264279/sukawi-kembali-jadi-pengusaha).
Suryanti, Ni Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah
Pesisir Kabupaten Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).
The Health Consiious Boom. 2013. Serving Japanese Food to the World. Japan.
Tri, Rosida. 2018. “Daftar Pabrik Industri Di Demak Jateng.” Alamatelpon.Com. Retrieved August
18, 2022 (https://www.alamatelpon.com/2018/10/daftar-pabrik-industri-di-demak-
jateng.html).
Vondruska, John. 1991. “World Shrimp Situation 1990: Effect on Southeast Harvesting.” NOAA
Technical Memorandum NMFS-SEFC 294.
Yakub, Hisyam. 2004. “Hasil Penelitian Kajian Daya Tarik Dunia Pada Perumahan Kawasan Tepi
Pantai (Water Front City) Di Kota Semarang.” Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
172
DAFTAR PUSTAKA
TIM PENULIS
173
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Berkontribusi dalam (1) Tim AJI Indonesia (2016) Tumbuh di Era Digital (kompilasi
liputan tentang anak), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (2) Tim AJI Indonesia
(2016) Menoreh Jejak di Jalan Terjal (kompilasi liputan perburuhan dan serikat
pekerja), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (3) Tim AJI Indonesia (2017),
Menjaga Pangan Merawat Masa Depan (kompilasi liputan keadilan pangan),
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (4) Penelitian Etnografi Banjir bersama
Rujak Center for Urban Studies dan UNDP (2021); (5) Tim Kerja Koalisi Maleh Dadi
Segoro (2021) sebagai peneliti dan penulis etnografi banjir dalam buku Banjir Sudah
Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang (2021); (6) Bersama
Bosman Batubara menulis artikel “Dari Krisis Sosial-Ekologi ke Ekologi Sosial: Kasus
Suburbia Semarang” dalam Prisma (Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi) edisi Transformasi
Ruang Kota: Mencari Keadilan Sosial Ekologi (2021); (7) dan bersama Bosman Batubara
menulis artikel “Urbanisasi Sebagai Pabrik Krisis Sosial-Ekologis: Berdialektika dengan
Prisma 1971-2021” dalam Prisma (Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi) edisi Setengah
Abad Prisma (2022).
174
View publication stats