Anda di halaman 1dari 197

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/372510375

Urip Dioyak-Oyak Banyu

Book · July 2023

CITATIONS READS

0 9

4 authors, including:

Eka Handriana
Koalisi Maleh Dadi Segoro
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Eka Handriana on 22 July 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Urip
Dioyak-Oyak
Banyu:
Perjumpaan Manusia,
Abrasi, Rob, dan
Infrastruktur di Sayung

Mila Karmilah • Eka Handriana • Syarifah Atia • Umdatin Nihayah I


“Oh dulunya sawah. Sawah jadi tambak,
tambak sekarang jadi lautan.
Belakang rumah ini sudah lautan semua.”

Rongpuluh, Pemilik Warung Kelontong di Desa Bedono

II
MILA KARMILAH, EKA HANDRIANA,
SYARIFAH ATIA, UMDATIN NIHAYAH

Urip
Dioyak-Oyak
Banyu:
Perjumpaan Manusia,
Abrasi, Rob, dan
Infrastruktur di Sayung

III
Urip Dioyak-Oyak Banyu:
Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

© Mil a Ka rmil a h , dkk ., 202 3


H ak C ip ta D il in du ng i Un dang -Und a ng
xx + 17 4 h a l ama n, 1 4,8 x 21 cm
I SB N :9 78 -6 23 -80 08 -7 1-1
C eta kan Pertama , Jul i 2 023

Penulis:
Mila Karmilah
Eka Handriana
Syarifah Atia
Umdatin Nihayah

Penyunting:
Bagas Yusuf Kausan

Desain Sampul:
Gumpnhell

Penata Letak:
Dinijari

Penerbit:
Mata Kata Inspirasi

(Anggota IKAPI No. 146/DIY/2021)

Gampingan RT 003, Dusun Munggang, Desa Sitimulyo,

Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul

Email: matakatainspirasi@gmail.com

www.matakatainspirasi.id

IV
PENGANTAR: PERJUMPAAN DAN KEKALAHAN?
Prof. Ir. Sudaryono Sastrosasmito, M.Eng., Ph.D.
(Guru Besar Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada)

Setiap perjumpaan pasti melahirkan nilai-nilai, yang isinya tergantung dari


sudut pandang apa perjumpaan itu dimaknai. Ketika perjumpaan ditarik dalam
sudut pandang “kata benda”, maka dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sudah
selesai atau final. Nilainya terletak pada kualitas capaian relasi dan interaksi
antar elemen atau aktor perjumpaan. Sementara ketika diletakkan dalam sudut
pandang “kata kerja”, makna perjumpaan akan melibatkan unsur ruang dan
waktu yang mengantar perjumpaan pada suatu lorong tak berujung. Dengan
kata lain, perjumpaan merupakan suatu perjalanan dialektika teater alam yang
melibatkan peran dari rangkaian aktor ke aktor; kepentingan ke kepentingan;
keserakahan ke keserakahan; dan dari generasi ke generasi. Nampaknya, buku
ini ditulis dalam cara pandang kedua: perjumpaan sebagai “kata kerja”.
Ada dua pangkal berpikir tentang “perjumpaan alam dan manusia” yang
selama ini tercatat sebagai mata rantai perkembangan peradaban manusia.
Pangkal berpikir pertama dibangun dengan landasan alam berpikir rasionalisme
(deduktif). Alam berpikir ini memiliki pemahaman bahwa manusia punya posisi
superior dalam relasinya dengan alam, sehingga alam direduksi hanya sebagai
fasilitas bagi praktikum pikiran yang sudah ada dalam benak manusia. Dengan
kata lain, alam hanya sekadar karpet hijau yang terbentang memanjang untuk
dilewati dan diukir oleh yang mulia pikiran manusia atas nama peradaban.
Pangkal berpikir kedua dibangun di bawah payung pemikiran fenomenologi
(induktif). Alam berpikir ini punya pemahaman bahwa life world telah membawa
relasi historis manusia dengan alam secara berlapis (Husserl 1964, 1965, 1970;
Sudaryono, 2012). Pertama, lapis empiris inderawi perjumpaan manusia dengan
alam secara wadag dan teraba. Pada lapis ini perjumpaan memicu terjadinya
interaksi simbolik (Charon, 1989) antara manusia dan alam. Lapis kedua adalah
perjumpaan intensi, maksud, tujuan, dan konsep sebagai landasan hubungan
keduanya di lapis pertama. Lapis ketiga, kesadaran ideal atau transendental
yang menjadi inti atau hakekat dari perjumpaan lapis pertama dan kedua. Lapis
transendental ialah “ada esensial” atau “ada sesungguhnya”, yang “mengada”
secara intensional (lapis kedua) dan mengujung pada “berada” di lapis pertama.
Substansi buku ini selaras dengan pilihan sudut pandang “kata kerja” dan
fenomenologi. Bahkan pangkal berpikir fenomenologi (perjumpaan) muncul
secara eksplisit sebagai anak judul dari buku. Sebagai penulis pengantar buku,

V
saya mengambil posisi sebagai “juru gosok”. Artinya, temuan-temuan lokal
substantif, unik, dan yang telah menjadi harta karun dari pesisir Sayung, sangat
penting ditonjolkan dan dibahas kembali secara kritis dalam pengantar ini.

Ragam kisah perjumpaan Sayung


Daerah Sayung bukan daerah berdimensi tunggal berupa daerah nelayan
saja, melainkan daerah berdimensi gado-gado. Perjumpaan Sayung dengan
abrasi, tidak mengerdilkan dan melemparnya keluar dari percaturan sejarah.
Tidak pula menghentikan Sayung untuk membuka perjumpaan-perjumpaan
dengan aktor maupun peristiwa yang satu persatu bemunculan menyapanya.
Berikut ini adalah kisah-kisah unik yang dapat menjadi sumber kesadaran dan
penyadaran baru tentang perjumpaan tanpa kesetaraan.

1. Tentang Kekalahan

Secara kultural, etos kerja dan mata pencaharian warga Sayung ialah petani.
Perjumpaan warga Sayung dengan abrasi telah membuat mereka gagap, baik
secara eksistensi maupun substansi. Abrasi telah membetot masyarakat Sayung
turun dari eksistensinya di digit-1 sebagai petani yang otonom, menjadi digit-
2 berupa buruh tani, buruh industri, buruh bangunan, atau pemilik warung.
Bahkan eksistensinya terus merosot ke digit-3 yakni sebagai pemulung plastik
dan sampah-sampah laut, yang dapat diubah menjadi benda bernilai ekonomi.
Di daerah Sayung, bagi orang yang punya nyali dan sedikit etos kelautan,
mereka biasa mengais penghasilan dari kerang darah di pinggiran laut. Kalau
punya nyali lebih besar lagi, bisa makin maju ke laut untuk mendapat kerang
hijau yang bernilai jual lebih tinggi. Semua dilakukan dengan tangan kosong,
tanpa alat bantu teknologi yang memadai. Perjumpaan semacam itu tidak
membawa perubahan vertikal ke arah kelas menengah, karena mereka seakan
dikunci dalam status sosial ekonominya lewat alat produksi yang sederhana.
Karena itu, tidak ada transformasi ke tingkat masyarakat kapitalis kelautan.
Mereka, warga Sayung, hanya sekadar diantar menjadi buruh kelautan.
Penggunaan alat produksi agak canggih adalah bambu-bambu pembatas bekas
tambak yang kini tidak lagi digunakan. Di bambu-bambu itu pula kerang hijau
bermukim untuk menunggu perjumpaan dengan mantan petani yang beruntung.
Bagi yang sedikit beruntung, mereka bisa mengalami pergerakan ke atas
sebagai “juragan kecil” (petit bourgeois) atau pengumpul (kolektor) kerang
hijau. Barangkali inilah puncak karir mereka dalam konteks sosial-ekonomi
kelautan di pesisir Sayung. Pada kedudukan ini, posisi mereka bisa sangat

VI
superior, karena akan didatangi oleh para “petani-nelayan” untuk menyetor
kerang hijau. Juragan kecil tidak datang merengek kepada “petani-nelayan”
agar kerang mereka dijual kepadanya. Secara sosiologis, posisi juragan kecil
gagah sekali. Posisi yang sangat penting dalam mata rantai alur perdagangan
kerang hijau, karena posisi ini akan merangkai mata rantai berikutnya.
Namun dari posisi tawar harga kerang, keadaanya sangat berbeda. Pihak
yang menjadi “bos transaksi” justru si pengepul besar atau pedagang
berikutnya. Sebab yang menentukan harga adalah si pengepul besar, bukan si
juragan kecil. Mereka, si pengepul besar, selalu siap dengan todongan harga;
ibarat senjata tajam yang selalu ditodongkan kepada para pengumpul kerang
(bondho opo nyowo, kerang tak jupuk kanti rega sakkarepku, milih duwit
opo milih ngelih, gelem sakmene ora gelem yo wis, nek ora gelem aku bisa
golek liyane sing gelem manut karo rega tabelku iki). Perjumpaan tanpa
kesetaraan, tanpa keadilan, melahirkan tekanan halus yang selalu mengalahkan
masyarakat Sayung. Mereka tidak hanya dikalahkan abrasi laut saja, tetapi juga
oleh struktur sosial di atasnya. Mereka “ditekan” lalu “dikunci” hidupnya dalam
lingkaran hidup yang tak berpilihan.
Secara spasial, perjumpaan warga Sayung dengan rob telah memerosotkan
nilai lahan yang secara historis menjadi daya hidup mereka. Ketika lahan sawah
berjumpa, dan kemudian terjadi kawin paksa dengan air laut, maka lahir anak
kandung bernama “tambak”. Namun tambak tidak berusia panjang, karena
volume genangan air laut dari hari ke hari meningkat dan membuat tambak
kehilangan pematang. Alhasil tambak tidak bisa digunakan lagi atau tidak bisa
diakses untuk kegiatan pengelolaan dan pemeliharaan. Dengan demikian, sawah
tidak dapat ditanami dan bekas tambak juga tidak dapat menghasilkan produk-
produk kelautan yang punya nilai ekonomi.
Rob mengalahkan warga Sayung dalam hal silaturahmi spasial. Jembatan
putus, telah memaksa warga Sayung berjalan memutar sekitar 10 kilometer
untuk dapat melakukan perjumpaan-perjumpaan sosial dan pelayanan publik.
Abrasi dan banjir rob memutus silaturahmi anak-anak sekolah dasar dengan
sekolahnya. Memutus jaringan eksistensi dan keterhubungan warga dengan
ruang spiritualnya berupa masjid. Lengkap sudah kekalahan warga Sayung oleh
abrasi, rob, dan struktur sosial yang menggelayut di sekitarnya. Rob menguras
secara sia-sia sumber daya institusi lain yang bahkan tidak ada kaitan langsung
dengan masyarakat setempat. Kesia-siaan ini tercermin dari proyek amal yang
dijalankan suatu lembaga militer dalam rangka program pengabdian kepada
masyarakat berupa peninggian jalan setebal 0.6 meter. Namun hanya dalam
waktu 19 bulan saja, jalan tersebut telah kembali terampas dan tenggelam.

VII
Kisah Suwarni dari Dukuh Mondoliko mungkin akan “memperperih” dan
“memperparah” gambaran kekalahan warga Sayung. Sepanjang jalan saat
berangkat kerja menuju kantornya di Semarang, dia selalu menangis karena
harus melintasi jalan yang tertutup rob. Hidup Suwarni terkunci: mau pindah
tak punya kekuatan finansial, sedangkan tetap tinggal di situ penuh tangis dan
penderitaan. Tentu saja ketika masuk kantor di Semarang, pakaian Suwarni
harus rapi dan dia tidak boleh menyisakan sembab di mata karena menangis.
Karena itu, setiap hari dia harus memiliki dua wajah: wajah bersemangat untuk
disajikan di hadapan rekan atau atasan kantor dan wajah kusut murung sebagai
wajah sesungguhnya.
Ketika perjalanan pulang dari kantor, bisa dibayangkan bahwa perasaan
galau dan perih nyaris selalu menyertai Suwarni. Mungkin saja dia berpikir
untuk tidak pulang, tapi tidak ada pula tempat pulang lain selain ke Mondoliko.
Rumahnya di Mondoliko adalah rumah satu-satunya. Namun dengan pulang ke
rumah, maka kepedihan dan penderitaan yang dia rasakan bakal terus terulang.
Banjir rob telah menciptakan dua wajah bagi Suwarni: wajah penderitaan di
satu sisi dan wajah fighter di tempat kerja—meski penghasilan yang diterima
hanya cukup mengunci hidupnya pada posisi seperti saat ini—di sisi lainnya.
Suwarni terkunci dalam rutinitas sehari-hari dan sulit menggerakkan diri untuk
melompat dari kubangan rob. Dengan kata lain, sukar bagi Suwarni melakukan
mobilitas vertikal ke arah status sosial ekonomi yang lebih baik.

2. Keserakahan Di Atas Kekalahan

Reklamasi di Kota Semarang telah membelokkan arus ombak laut Pantura


bagian tengah. Buku ini menuduh hal tersebut sebagai sumber petaka abrasi
yang terjadi di pesisir Demak. Pelan-pelan, reklamasi telah mengantar hunian-
hunian yang terbentang di kawasan pesisir Demak untuk melakukan bunuh diri
secara spasial. Proses perjalanannya sangat halus dan lembut sekali. Bermula
dari munculnya perumahan skala menengah di pesisir Kota Semarang, kemudian
disusul perumahan berskala besar. Pelan-pelan industri dan pergudangan juga
makin menjamur—baik itu di pesisir Semarang maupun Demak—yang menjadi
tetangga spasial hunian vernakular masyarakat Sayung.
Hari ini daerah Sayung makin dikepung pabrik, gudang, dan perumahan.
Para tetangga baru (pabrik, gudang, atau perumahan) tersebut mengajak hunian
warga Sayung untuk sama-sama rukun dan secara sadar melakukan bunuh diri
massal secara spasial. Pelan-pelan mereka, para tetangga itu, menyeret warga
Sayung untuk sama-sama tenggelam dan menenggelamkan diri dalam kecipuk

VIII
air laut. Atau dalam bahasa Jawa, ”ajak-ajak ambles bareng, seperti tokoh
pewayangan Ontorejo ambles bumi”.
Episode berikutnya sudah bisa ditebak. Warga Sayung yang tidak mampu
bertahan dan mempertahankan diri dalam kecipuk air laut, dengan berat hati,
harus meninggalkan hunian lengkap beserta kenangan yang terukir di benak
mereka. Sebagian pergi dengan mengantongi sertifikat “hak milik tanah”, tetapi
“minus” kemampuan pemanfaatan. Ini adalah titik awal yang mengubah Sayung
menjadi panggung ajang tari-tarian riuh kapitalisme besar. Kawasan Sayung,
ternyata telah dinantikan sebagai sasaran bidik kapitalisme dan para spekulan
tanah. Lahan-lahan yang telah ditinggalkan warga, ditawar dan dibeli dengan
harga yang tidak pantas—baik secara etis apalagi ekonomis (dua ribu sampai
tujuh ribu per meter persegi). Di tangan para kapitalis besar, lahan-lahan warga
yang punya nilai “kenangan” telah diubah menjadi “alat produksi” dan/atau
“alat tukar” yang punya nilai ekonomi berlipat-lipat lebih banyak.
Para kapitalis besar memeroleh alat produksi (tanah) dengan sangat murah
di Sayung. Tentu saja, ketika lahan-lahan tersebut sudah ditimbun dan diubah
menjadi lahan industri dan/atau komersial lainnya, maka harganya akan berlipat
ganda. Dengan kata lain, bencana rob yang diderita warga Sayung, ternyata
telah menjadi barokah bagi para kapitalis dan pemilik modal besar. Kalau luas
lahan yang didapat pemilik modal dengan harga yang tidak patut itu mencapai
900 hektar, bisa dibayangkan kelak berapa rupiah atau dollar keuntungan yang
bakal diraih setelah menjadi area komersial dan industri? Smart and cool.

3. Paradigma Baru yang Melampaui Kekalahan

Daerah Sayung sangat unik. Di sana memang terpampang wajah-wajah


kekalahan akibat abrasi dan rob. Namun pada sisi yang lain, ternyata muncul
juga wajah-wajah optimis penuh semangat dan perspektif baru dalam melihat
ruang sosio-ekonomi-spasial Sayung hari ini. Bagi banyak warga Sayung,
perjumpaan mereka dengan bencana rob bukan merupakan titik berhentinya
kehidupan. Rob telah diubah dari semula bencana menjadi ruang dan (sebagai
bagian dari) alat produksi baru bagi penghidupan mereka, melalui sebuah
sistem ekonomi baru yang mereka bangun sendiri.
Warga yang tetap tinggal adalah warga yang membangun perspektif baru
atas Sayung. Kategori pertama dari mereka yang tetap tinggal adalah
membangun sistem jejaring ekonomi filantropis. Mereka mengundang simpati
dan uluran pemberdayaan dari lembaga dan/atau individu yang peduli
lingkungan dan penderitaan masyarakat. Beragam lembaga dan individu banyak

IX
memberikan bantuan daya hidup bagi warga yang memutuskan tetap tinggal
di sana. Dengan kata lain, kematian ruang dan penghidupan warga akibat abrasi
dan rob, melahirkan pula daya hidup baru bagi warga. Bencana rob adalah
aset dan alat produksi baru untuk menjadi jembatan rejeki bagi mereka. Banjir
rob telah mengundang pundi-pundi harta karun untuk datang dan hadir sendiri
menyapa masyarakat Sayung.
Kehadiran perspektif baru tersebut, menyingkap keunikan Sayung tentang
“relativitas antara mati dan hidup”. Sayung telah dibunuh dan mati oleh abrasi
dan rob, tetapi Sayung juga dihidupkan dan diberdayakan oleh abrasi dan rob.
Hidup dan mati adalah satu keping uang yang sama bagi warga Sayung yang
masih tinggal di sana. Ini adalah ajaran dan warisan “filsafat empiris-ekologis”
warga Sayung untuk dunia. Sebagai guru, Sayung mengajarkan bahwa tidak
ada sesuatu menyangkut materi dan ruang bersifat absolut. Di antara bencana
dan barokah, mati dan hidup, adalah kesatuan dan tidak dapat dibuat dikotomis.
Mirip dengan apa yang diajarkan Gempa Jogja 2006 dan Erupsi Merapi 2010.
Kategori kedua, menggambarkan mereka yang membangun cara pandang
baru. Mereka mengubah air dari “penenggelam kehidupan”, jadi ruang hidup
dan alat produksi baru dalam sistem ekonomi berbasis “sumber daya air”.
Selain produk-produk sumber daya air seperti ikan, kerang, dan udang, tata
ruang air juga telah menjadi lahan baru bagi pertanian mangrove. Tata ruang
keairan telah menjadi alat produksi baru dalam menghasilkan olahan mangrove
berupa makanan dan minuman yang dijual melalui jejaring pemasaran mereka
sendiri. Mangrove telah menyeret mereka ke dalam sejarah baru pembentukan
lingkaran jaringan LSM lingkungan hidup, mahasiswa, akademisi, dan jaringan
pemasaran hasil produk olahan mangrove.
Satu hal yang sangat mengejutkan dan tak terduga berikutnya di Sayung
adalah tentang terbangunnya jaringan alam baru. Jaringan tersebut berupa
jaringan burung-burung besar, burung-burung kecil, dan burung-burung
berwarna warni yang berdatangan mengelilingi ruang hidup yang sepi dan
hening. Mereka, burung-burung yang hadir dan menyapa itu, telah membangun
puisi-puisi baru nan indah. Puisi-puisi itu dipersembahkan kepada warga
Sayung yang masih tinggal di sana. Salah satu kata-kata puitis dari burung-
burung tersebut adalah ”Do not worry gues, … we raise you up, you are strong
when you are on our shoulder”. Mereka telah menjadi pahlawan lingkungan
dan sekaligus keluarga. Bencana telah diubah menjadi barokah dan tangga
mobilitas vertikal sosial ekonomi yang luar biasa.

X
4. Kekalahan yang Melahirkan Kreatifitas

Perjumpaan warga dengan abrasi atau rob, tidak selalu melahirkan


perjalanan baru dalam bentuk perasaan terpuruk dan putus asa. Perjumpaan
tersebut dapat terpecah ke dalam banyak jalur perjalanan baru yang beragam
dan penuh alternatif. Salah satu contohnya adalah Dukuh Timbulsloko, yang
telah melahirkan mahakarya kejeniusan baru berwujud arsitektur gladag—
sebuah rumah panggung versi arsitek-arsitek lokal Timbulsoko. Ini adalah
bentuk kreatifitas yang dipicu rob yang menenggelamkan desa mereka. Dalam
benak warga Timbulsloko, air laut yang telah menihilkan desa mereka, akhirnya
tidak dipandang sebagai bencana belaka. Ia juga merupakan sebuah pesan untuk
berubah dan melahirkan karya arsitektur sebagai ruang hidup yang baru.
Warga Timbulsoko sampai pada satu taraf kesadaran holistis (menyeluruh).
Bencana dan barokah bukan dua hal dikotomik, melainkan dua sisi keping mata
uang yang sama. Tergantung melihatnya dari sisi mana dan akan melanjutkan
perjalanan hidup berlandaskan sisi yang mana. Ini adalah suatu transformasi
karakter dan capaian mental, intelektual, sekaligus spiritual luar biasa. Mirip
capaian bangsa-bangsa yang ditempa kondisi alam ekstrim, sehingga tumbuh
menjadi bangsa kuat dan menang sebagai bangsa yang besar, berharkat, dan
bermartabat. Nampaknya transformasi mental, intelektual, serta spiritual warga
Timbulsoko dapat diperluas menjadi model pendidikan karakter bangsa. Sesuai
namanya, “Timbulsoko”, timbul artinya muncul dan soko artinya tiang atau pilar.
Suatu bangsa kuat dan bermartabat, harus berani “memunculkan pilar-pilar kebangsaan”.

5. Panggung yang Tak Pernah Selesai

Sayung bukan sebuah ruang kosong. Ketika ditutup air rob, Sayung telah
menjelmakan dirinya menjadi ruang bagi terjadinya perjumpaan-perjumpaan
yang sangat kaya dan beragam. Namun uniknya Sayung tidak sekadar membuka
diri menjadi ruang perjumpaan saja, tetapi sekaligus “sebuah perjalanan”. Suatu
perjalanan yang kita tidak tahu dan masih menjadi misteri di mana letak terminal akhirnya.
Buku ini menunjukkan aneka bentuk perjalanan dan perjumpaan di Sayung.
Dari buku ini, tampak bahwa Sayung adalah suatu kuala yang menyimpan harta
karun fenomena, peristiwa, pengetahuan, topik, dan sekaligus tema yang sangat
luar biasa. Sayung telah mengundang secara terbuka setiap peneliti dari bidang
apapun dan dari kampus atau lembaga manapun. Peneliti dapat mengangkat
teori apa saja dengan berangkat dari hasil belajar memahami Sayung. Sayung
tak ubahnya seperti sosok begawan yang siap berkisah apapun kepada para
cantrik yang datang dan bertanya kepadanya.

XI
Para kapitalis yang menindas warga Sayung telah menabuh genderang
teater raksasa. Kini genderang itu masih bergema dan mengisyaratkan bahwa
pertunjukan besar sedang berjalan. Sebuah teater sedang berpentas di atas
panggung dengan kapasitas luar biasa, untuk mengubah Sayung menjadi ruang
produksi raksasa berupa industri dan pergudangan besar. Pertanyaannya,
bagaimana nasib dan peran warga Sayung yang masih tersisa? Apakah mereka
menjadi bagian dari labour production bagi raksasa-raksasa kapitalis di sana?
Apakah mereka akan terpental dan tersingkir semakin jauh dari desanya? Atau
apakah akan muncul bentuk-bentuk adaptasi baru warga Sayung?
Nampaknya, Sayung yang kita saksikan hari ini bukan suatu halaman akhir
dari buku besar berjudul Sayung. Pada halaman-halaman berikutnya, Sayung
tetap akan selalu punya kisah-kisah baru. Sayung adalah sebuah panggung yang
selalu siap menampilkan segala skenario dan aktor. Dan buku ini menjadi sangat
penting, karena telah membuka celah dari tirai tebal Sayung sehingga kita
dapat mengintip pertunjukan besar apa yang telah dan/atau sedang
berpanggung di altar teater raksasa pesisir Sayung itu.

Yogyakarta, 26 Juni 2023

Daftar Rujukan
Charon, JOEL M. (1989, 1985, 1979). Symbolic Interactionism: An Introduction, An
Interpretation, An Integration, A Division of Simon & Schuster, Englewood Cliffs,
New Jersey 07632.
Husserl, Edmund. (1964). The Phenomenology of Internal Time Consciousness,
translated from Germany Edition (1905) by Churchill, James S (1964), Indiana
University Press.
Husserl, Edmund. (1965). Phenomenology and the Crisis of Philosophy, translated from
Germany Edition (1905) by Laurer, Quentin (1965), Harper Torchbooks, New York.
Husserl, Edmund. (1970). The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology: An Introduction to Phenomenological Philosophy, translated
from Germany Edition (1954) by Carr, David (1970), Northwestern University Press,
Evanston.
Sudaryono. (2012). “Fenomenologi Sebagai Epistemologi Baru dalam Perencanaan Kota
dan Permukiman”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada, disampaikan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada pada tanggal 8 Maret 2012 di Yogyakarta.

XII
PENGANTAR PENULIS

Buku “Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan


Infrastruktur di Sayung” yang sedang berada d- tangan anda ini merupakan
hasil kerja bersama antara tim periset dan penulis dari Universitas Islam Sultan
Agung (Unissula) dengan Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS). Mila Karmilah,
Syarifah Atia, Umdatin Nihaya, dan para pewawancara dalam buku ini merupakan tim
periset dan penulis dari Unissula. Mila Karmilah sendiri sekaligus merupakan
anggota Koalisi MDS. Sedangkan Eka Handriana merupakan anggota Koalisi
MDS, yang juga melakukan riset dan penulisan dalam buku ini.
Sebelumnya Koalisi MDS telah menerbitkan dua buku. Pertama, “Maleh Dadi
Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang Demak” yang terbit
pada 2020. Kedua, “Banjir Sudah Naik Seleher; Ekologi Politis Urbanisasi DAS-
DAS di Semarang” yang terbit pada 2022. Penulisan buku “Banjir Sudah Naik
Seleher” sendiri dilakukan dengan memobilisasi dana publik dan sumber
pendanaan lainnya, di mana sisa dana penulisan tersebut digunakan sebagai
dana tambahan dalam penulisan buku ini. Porsi pendanaan terbesar dalam
penulisan buku ini berasal dari tim Unissula.
Buku ini disusun selama kurang-lebih satu setengah tahun. Waktu yang
relatif lama untuk penyusunan buku ini disebabkan karena kendala teknis dan
non-teknis. Dalam bagian ini kami, Tim Penulis, mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Direktorat Penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM)
melalui skema program post-doctoral; pembimbing program post-doctoral Prof. Ir.
Sudaryono, M.Eng., Ph.D; Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unissula;
warga Desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, Gemulak, Sidogemah, Purwosari,
dan umumnya warga pesisir Kecamatan Sayung yang dengan sabar memberikan
informasi seluas-luasnya kapanpun kami hadir; dan kepada kawan-kawan Koalisi
Maleh Dadi Segoro (MDS) sebagai partner berdiskusi.
Secara khusus, Mila Karmilah mengucapkan terima kasih kepada Mak Jah
di Desa Bedono yang menginspirasi untuk terus berjuang tanpa kenal lelah dan
memberi pemahaman bahwa hasil bukanlah sesuatu yang instan, melainkan
proses panjang yang perlu dirawat. Terima kasih pula kepada Masnuah yang
telah memperantarai perjumpaan Tim Penulis dengan semua warga Sayung,
terutama dengan Pak Ashar beserta kawan-kawan di Dukuh Timbulsloko dan
Mak Jah di Dukuh Senik Lama. Ucapan terima kasih perlu disampaikan juga
kepada para mahasiswa program studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas
Teknik, Unissula—baik yang hadir dalam kegiatan skripsi maupun yang secara
langsung membantu dalam menggali data, yang karena keterbatasan, tidak dapat

XIII
disebutkan satu per satu di sini. Kemudian secara khusus, Eka Handriana juga
menyampaikan terima kasih kepada tim kerja buku “Banjir Sudah Naik Seleher”:
kepada Bosman Batubara untuk segala gagasan, dorongan, diskusi, dukungan sumber
bacaan, dan kerja lapangan; kepada Bagas Yusuf Kausan untuk diskusi, dukungan
kerja lapangan, kesediaan untuk menyunting naskah buku ini, serta bantuan-
bantuan teknis lain; kepada Syukron Salam dan Umi Ma’rufah untuk motivasi
dan kesediaan berdiskusi; dan juga kepada Dwi Cipta atas dukungan kerja lapangan
dan kesediaan mendiskusikan sumber-sumber bacaan. Pada kesempatan ini, Syarifah
Atia dan Umdatin Nihayah juga berterima kasih kepada rekan-rekan tim survei
yakni Ardian Aji W, Rizki Binar P, Nandita Agung Budi W, Betty Listyaningrum,
dan Ulfi Maulana.
Terakhir, namun tidak kalah penting, Tim Penulis mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan buku dari mulai
proses meriset, menulis, sampai kemudian terbit. Jika ada yang luput kami
sebutkan dalam lembaran ini, kami memohon maaf. Selamat membaca.

Semarang, 24 Juni 2023


Tim Penulis

XIV
DAFTAR ISI
V Pengantar: Perjumpaan dan Kekalahan?
XIII Pengantar Penulis
XVI Daftar Isi
XVIII Daftar Gambar
XXI Daftar Tabel

1 Pendahuluan

7 Bermula dari Perjumpaan

7 1. Perjumpaan
10 2. Kapital-hidup dan Komoditas-hidup
11 3. Nilai Perjumpaan
13 4. Perjumpaan Asimetris
17 5. Ekofeminisme, Tanggung Jawab yang Sopan

21 Perjumpaan I : Tanam Bambu Tumbuh Kerang

23 1. Melimpah Beras dan Palawija


31 2. Nelayan Tradisional dan Petambak Sampingan
37 3. Kemerosotan Hidup Membututi Ledakan Sushi

51 Perjumpaan II : Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah


Ambles

55 1. Banjir Akibat Tanggul Jebol


57 2. Dari Pelabuhan di Semarang ke Sriwulan di Demak
61 3. Cerita Penghuni Terakhir Dukuh Rejosari (Senik) di Bedono
71 4. Rumah di Timbulsloko Digladak Supaya tetap Muncul

81 Perjumpaan III : Beton-Beton Raksasa

83 1. Sebelum Abrasi
98 2. Sejak Abrasi Bermula hingga Saat Ini

XV
133 Perjumpaan IV : Pengisapan terhadap Manusia dan Non Manusia

136 1. Dulu Petambak, Sekarang Buruh Industri


139 2. Kesulitan dan Kehilangan
144 3. Rawan Digusur dan Sulit Menjangkau Bantuan Pemerintah
147 4. Sumber Penghidupan Menghilang

155 Perjumpaan V : Ekofeminisme, Memandang Sayung dengan Sopan

161 1. Reproduksi Subsisten dalam Reproduksi Ekologi dan Reproduksi


Sosial

167 Daftar Pustaka

173 Tim Penulis

XVI
DAFTAR GAMBAR
21 Gambar 1: Peta administrasi Kecamatan Sayung.
29 Gambar 2: Suasana Kampung Rejosari sebelum tenggelam.
51 Gambar 3: Peta Sebaran Banjir Rob di Pesisir Semarang-Demak.
52 Gambar 4: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
1985.
53 Gambar 5: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
2003.
54 Gambar 6: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
2012.
55 Gambar 7: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun
2022.
56 Gambar 8: Banjir di Desa Sriwulan dan antrean air bersih di tengah
banjir Desa Sriwulan.
60 Gambar 9: Permukiman yang terendam rob di Desa Bedono dan
banjir rob di Desa Sriwulan.
62 Gambar 10: Kondisi rumah di Rejosari Senik sudah tidak berpenghuni.
66 Gambar 11: Perahu sebagai alat transportasi di Dukuh Rejosari Senik.
69 Gambar 12: Kondisi burung-burung yang hidup di hutan mangrove
Senik.
70 Gambar 13: Teh mangrove sebelum dan setelah dikemas.
70 Gambar 14: Kondisi mangrove di Dukuh Rejosari Senik.
71 Gambar 15: Rumah gladak di Dukuh Timbulsloko.
72 Gambar 16: Jembatan/jalan kayu di Dukuh Timbulsloko.
73 Gambar 17: Infrastruktur Pamsimas di Dukuh Timbulsloko.
74 Gambar 18: Warga mencari kerang liar di Dukuh Timbulsloko.
76 Gambar 19: Kondisi rob di permukiman Desa Timbulsloko.
77 Gambar 20: Peta perubahan pesisir Kecamatan Sayung dari tahun
1985-2022.

XVII
78 Gambar 21: Pekerja mengangkut buis beton yang digunakan untuk
membangun sabuk pantai di Desa Timbulsloko.
79 Gambar 22: Peta ketinggian banjir hujan dan banjir rob di wilayah
pesisir Kecamatan Sayung.
81 Gambar 23: Posisi Kecamatan Sayung berada di arah timur laut Pantai
Marina dan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
96 Gambar 24: Letak Sungai Babon yang mengalir dari kawasan industri
di Kaligawe (Kota Semarang) menuju Desa Sriwulan
102 Gambar 25: Letak PT Arkof, di mana lahan di seberangnya (berbatas
jalan) ditawarkan sebagai Kawasan Industri Demak.
104 Gambar 26: Peta rencana Kawasan Industri Demak di Desa
Sidogemah, Desa Bedono, dan Desa Purwosari.
105 Gambar 27: Posisi lokasi industri di Sidogemah yang ditawarkan
Bumimas Group terhadap pelabuhan, bangunan pabrik,
dan gudang yang sudah lebih dulu eksis.
107 Gambar 28: Posisi kawasan industri di Sidogemah yang ditawarkan
Bumimas Group terhadap sungai.
108 Gambar 29: Letak JIPS terhadap Makam Syekh Mudzakir yang kini jadi
titik paling ujung di Kampung Tambaksari, Desa Bedono.
123 Gambar 30: Pembagian seksi pengerjaan proyek TTLSD.
125 Gambar 31: Perubahan desain di bawah timbunan setelah serangkaian
pengujian.
126 Gambar 32: Paket insfrastruktur TTLSD Seksi I.
129 Gambar 33: Tangkapan layar percakapan warganet tentang dampak
proyek pembangunan TTLSD.
130 Gambar 34: Aliran sungai yang darinya pasang air laut mengalir masuk
dan meluber ke daratan.
133 Gambar 35: Bedol desa penduduk Kampung Tambaksari (A) ke
Kampung Tambaksari Baru (B) berlangsung pada 2000.
136 Gambar 36: Jalan keluar masuk Kampung Mondoliko, difoto pada
2018.

XVIII
137 Gambar 37: Tambak di Kampung Timbulsloko, Desa Timbulsloko.
141 Gambar 38: Murid-murid dan para buruh dari Kampung Timbulsloko
berangkat menuju sekolah dan tempat kerja secara
bergiliran menggunakan perahu.
142 Gambar 39: Akses menuju Dukuh Timbulsloko dengan cara jalan kaki.
Akses menuju Dukuh Timbulsloko menggunakan perahu.
146 Gambar 40: Perjanjian antara warga Gemulak dengan pemerintah.
148 Gambar 41: Kondisi Pemukiman di Dukuh Timbulsloko.
151 Gambar 42: Gambar Peta Kurva TTLSD.
155 Gambar 43: Deretan pabrik-pabrik di tepi Jalan Raya Semarang-
Demak (jalan nasional) di Sayung.
172 Gambar 44: Gedung Sekolah Dasar yang rusak di Desa Bedono.

XIX
DAFTAR TABEL
39 Tabel 1: Tiga pasar utama udang di dunia.
44 Tabel 2: Perubahan Luas Tambak di Kecamatan Sayung 1990-
2000.
47 Tabel 3: Ekspor udang windu pada 1980an ke berbagai negara.
80 Tabel 4: Aneka perbedaan yang muncul di ketiga desa pesisir di
Kecamatan Sayung.
92 Tabel 5: Daftar sebagian pabrik yang ada di Sayung, terutama
yang beralamat di Jalan Raya Semarang-Demak.
109 Tabel 6: Kawasan peruntukan industri di Kabupaten Demak.
112 Tabel 7: Tahapan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas
Semarang 2012-2031.

139 Tabel 8: Jenis pekerjaan penduduk Kecamatan Sayung.

148 Tabel 9: Perubahan Tinggi Pasang Air Laut .

XX
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

PENDAHULUAN

Perjumpaan dengan publikasi terdahulu, di antaranya soal abrasi di pesisir


utara Jawa, mendorong kami menjumpai jembatan pedot di Desa Sriwulan.
Desa ini merupakan salah satu dari deretan desa di pesisir utara Kecamatan
Sayung, Kabupaten Demak. Letak Kecamatan Sayung lebih dekat dengan Kota
Semarang dibanding pusat Kabupaten Demak. Dari Genuk, kecamatan ujung
timur pesisir Semarang, kami hanya butuh berkendara menggunakan sepeda
motor tidak lebih dari 10 menit. Sedangkan orang-orang Sayung, biasanya
membutuhkan setengah jam perjalanan dengan sepeda motor untuk sampai ke
Masjid Agung Demak, di Simpang Enam pusat Kabupaten Demak.1
Salah satu publikasi, Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak (2020), menyebut jembatan pedot sebagai penanda
pernah terhubungnya dua tempat di Kecamatan Sayung: Dukuh Nyangkringan
di Desa Sriwulan dengan Dukuh Tonosari di Desa Bedono. 2 Namun karena
adanya abrasi, jembatan di atas Sungai Guyuran itu pedot atau putus. Kini yang
tersisa hanya satu sisi sambungan jalan ke Tonosari saja. Sisi lain menuju
Nyangkringan sudah malih dadi segara (Bahasa Jawa), yang berarti berubah
menjadi lautan. Alhasil Desa Sriwulan tidak bisa lagi dijangkau dari daratan
Desa Bedono dan begitu pun sebaliknya.
Dahulu, Sungai Guyuran mendapat julukan kali cethik atau sungai yang
sangat dangkal. Dasar Sungai Guyuran diendapi lapisan lumpur, sementara
muka airnya hanya setinggi mata kaki orang dewasa. Keadaan itu memudahkan
warga menangkap ikan, udang, atau kepiting. 3 Namun kini Sungai Guyuran
sudah hilang, berubah menjadi laut. Meski begitu, area jembatan dan sekitarnya
tetap menjadi titik favorit para pencari ikan. Alasannya, karena di tempat itu
banyak ikan berkumpul. Dengan alat sederhana seperti pancing, mereka dapat
menangkap ikan jenis belanak, sembilang, kapasan, atau tigawaja.
Pada akhir Januari 2022, kami menyusuri jalan dari Desa Tonosari menuju
jembatan pedot. Jalan itu berbatu, berlumpur, dan dicor beton di sepanjang
pinggir kanan dan kirinya. Sisi luar lapisan beton berimpitan langsung dengan

1
Salah satu masjid tertua di Indonesia.
2
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak ; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
3
Wawancara dengan Patlikur, warga Dukuh Morosari, Desa Bedono pada 6 April 2022.

1
Pendahuluan

perairan Laut Jawa.4 Di sana, dari kejauhan, kami melihat lelaki paruh baya
sedang mencari ikan. Ketika mendekat, kami melihat tangan lelaki itu mengorek
lumpur di antara batu memakai potongan bilah bambu usang. Dua botol bekas
pengemas minuman berukuran 1,5 liter yang dimodifikasi menjadi kepis,5 dengan
mulut botol menghadap ke dalam, ada di sampingnya. Di dalam botol sudah
ada hasil tangkapan; ikan gelodok, udang, dan kepiting muda seukuran setengah
telapak tangan. Dalam perjumpaan itu kami bercakap-cakap.
Lelaki itu bernama Telungpuluhlimo. Mencari ikan, kepiting, udang, atau
apapun yang bisa ditemui merupakan kebiasaan lelaki itu sejak kecil. Tidak
untuk dia jual, melainkan untuk diolah di rumah sebagai lauk makan bagi
keluarganya. “Ini kan sumber protein gratis, tidak usah beli,” begitu katanya.
Telungpuluhlimo tinggal di Terboyo Wetan, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
Jika ditarik garis lurus ke arah timur laut, jarak rumah Telungpuluhlimo di
Terboyo Wetan dengan jembatan pedot hanya empat kilometer. Pada dekade
1990-an, untuk mencapai jembatan pedot, Telungpuluhlimo cukup berjalan kaki
atau naik sepeda persis ke arah timur laut sejauh kurang lebih empat kilometer
melewati jalan kampung di Kelurahan Trimulyo (Kota Semarang) dan Dukuh
Nyangkringan (Kabupaten Demak).
Lain dulu, lain pula dengan sekarang. Oleh karena jembatan telah terputus,
kini Telungpuluhlimo harus memutar jauh jika hendak ke jembatan pedot. Kini,
dari rumah, Telungpuluhlimo perlu mengarah ke selatan menuju jalan nasional
(Jalan Raya Semarang-Demak) terlebih dahulu. Kemudian Telungpuluhlimo
perlu berkendara ke arah timur di sela bus-bus besar hingga truk pengangkut
container di jalanan Pantura (Pantai Utara). Setelah perbatasan Semarang-
Demak, yang disebut Bates, Telungpuluhlimo harus berbelok ke utara, lalu ke
barat, untuk sampai di Jembatan pedot. Kini total jarak yang harus ditempuh
Telungpuluhlimo menjadi sekitar 10 kilometer. Perubahan yang dialami
Telungpuluhlimo baru satu contoh. Selain Telungpuluhlimo, masih ada ribuan
warga lain yang sama-sama mengalami perubahan kehidupan dan penghidupan
di ujung utara Kecamatan Sayung.
Riyana Damayanti (2019) menggolongkan bagian Kecamatan Sayung yang
berbatasan dengan pantai dengan sebutan “desa pantai Sayung.” Daerah itu
meliputi Desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, dan Surodadi. Selain itu, dahulu
ada pula desa-desa yang termasuk “desa bukan pantai”. Misalnya Desa Dombo,

4
Pada pertengahan Mei 2022, Dwi Cipta, salah satu dari kami, kembali ke Tonosari dan mendapati
jalan menuju jembatan pedot tidak lagi tampak karena terendam air laut.
5
Tempat menyimpan ikan hasil memancing, biasanya terbuat dari anyaman bambu atau rotan.

2
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Jetaksari, Bulusari, Prampelan, Karangasem, Kalisari, Tambakroto, Pilangsari,


Sayung, Banjarsari, Loireng, Gemulak, Sidogemah, Purwosari, Tugu, dan Sidorejo.6
Abrasi membuat banyak warga di “desa pantai Sayung” terpaksa pindah.
Misalnya, pada 1999, sekitar 65 keluarga terpaksa pindah serentak dari Dukuh
Tambaksari (Desa Bedono) ke Desa Purwosari. Pada 2006-2007, sekitar 201
keluarga di Dukuh Rejosari, sebelah timur Tambaksari, pindah ke Desa
Sidogemah.7 Di desa asal, banyak warga Tambaksari dan Rejosari kehilangan
sawah, tambak, dan rumah. Sampai 2010, abrasi di Desa Bedono melenyapkan
331,31 hektare pekarangan dan tambak.8 Bersamaan dengan itu, warga Sriwulan,
sebelah barat Tambaksari, terus kehilangan sawah hingga pekarangan rumah.
Pasalnya, kompleks perumahan Pondok Raden Patah di Desa Sriwulan terus
terendam banjir rob. Alhasil, lambat laun, perumahan yang dibangun sejak 1988
itu pun banyak ditinggalkan para penghuni.
Perubahan demi perubahan akibat abrasi terus berlangsung sampai saat ini.
Bahkan makin merembet ke arah timur laut, timur, tenggara, hingga selatan
Sayung. Belum lama ini, satu per satu keluarga keluar dari Dukuh Mondoliko
yang ada di timur laut Rejosari, Desa Bedono. Penyebabnya karena kian hari,
desa itu makin tenggelam—menyusul Desa Tambaksari dan Rejosari. Kondisi
Desa Timbulsloko juga demikian. Di sana terjadi adu cepat antara penduduk
yang mengumpulkan uang untuk meninggikan rumah dengan ketinggian air
pasang yang menggenangi kampung. Di Sayung bagian selatan, air pasang dari
bibir pantai seakan mengikuti ke mana orang-orang berpindah tempat tinggal.
Nahasnya lagi, rob kini makin membanjiri beberapa “desa bukan pantai” seperti
Purwosari, Sidogemah, hingga Gemulak. Padahal ketiga desa itu merupakan
tempat baru bagi warga Bedono yang pindah karena abrasi.
Dari situ, kami merasa ungkapan “Urip Dioyak-Oyak Banyu” (Bahasa Jawa)
yang berarti “hidup dikejar-kejar air”, benar-benar menggambarkan kehidupan
dan penghidupan penduduk Sayung. Dalam arti, baik itu meninggikan rumah
maupun pindah tempat tinggal, air laut seakan tetap mengejar. Ungkapan itu
kami tangkap dari hasil menjumpai dua orang warga. Pertama, dari seorang
perempuan yang turut tergulung dalam gelombang perpindahan dari Rejosari
ke Sidogemah. Kedua, dari seorang kakek yang terpaksa membawa keluarganya,
dengan biaya sendiri yang tidak murah, pindah dari Mondoliko ke Desa Gemulak.

6
Damayanti R. Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
dalam Pusaran Abrasi dan Industrialisasi Tahun 1990-2010. Skripsi. Universitas Diponegoro; 2019.
7
Damayanti menggolongkan Desa Purwosari dan Sidogemah sebagai “desa bukan pantai” berbasis pertanian.
8
Damayanti R. Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
dalam Pusaran Abrasi dan Industrialisasi Tahun 1990-2010. Skripsi. Universitas Diponegoro; 2019.

3
Pendahuluan

Perjumpaan kami dengan kedua orang itu merupakan bagian dari proses kami
menghimpun cerita perubahan dari utara Sayung.
Perubahan yang dimaksud meliputi perubahan spasial dan kehidupan
seluruh makhluk hidup di dalamnya; ikan, udang, bakau, dan manusia. Atau,
dengan kata lain, perubahan-perubahan yang mengandung relasi antara
manusia dengan non-manusia dan antar sesama manusia dalam sebuah ruang
spasial bernama pesisir Sayung. Aneka cerita perubahan itu pula yang kami
himpun, lalu kami tulis menjadi buku. Dalam proses itu, kami berusaha mencatat
apa dan siapa saja yang mengalami perubahan; kapan dan sejak kapan perubahan
berlangsung; di mana dan dari mana datangnya perubahan tersebut; serta
bagaimana perubahan itu terjadi.
Kami menghimpun cerita perubahan dari serangkaian proses perjumpaan
dan percakapan dengan warga Bedono, Purwosari, Sidogemah, Sriwulan, dan
Timbulsloko. Selain itu, kami juga banyak menggunakan berbagai informasi
yang tertera di jurnal penelitian dan media massa. Pada saat melakukan proses
wawancara, seluruh penulis buku ikut terlibat dan dibantu oleh beberapa
pewawancara lain. Misalnya, sejak Februari sampai November 2021, ada Rizky
Binar Patria, Nandita Agung Budi Wicaksono, Betty Listyaningrum, Hasti
Widyasamratri, Boby Rahman, Roni Triseptian, dan Ardian Aji Wirawan yang
melakukan wawancara. Kemudian sejak Januari sampai Juli 2022, giliran
pewawancara lain, Dwi Cipta yang melakukan wawancara.
Sebagian besar nama responden atau interlokutor (teman bercakap-cakap)
yang kami wawancarai, terutama narasumber yang merupakan penduduk di
desa-desa pesisir Kecamatan Sayung, kami tuliskan dengan nama samaran. Hal
itu ditujukan untuk, pertama, mematuhi etika relasional dalam penelitian dan
penulisan buku ini. Kedua, untuk menjaga dan berhati-hati supaya setidaknya
penulisan buku ini tidak menimbulkan kerugian pada diri narasumber. Meski
demikian, dalam upaya tersebut, kami berusaha untuk tidak mereduksi atau
tetap menjaga isi pesan yang disampaikan. Semoga tujuan tersebut tercapai.

4
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Hasil wawancara kami tulis menjadi beberapa bagian berikut ini:

Judul Penulis
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang Eka Handriana
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang,
Syarifah Atia dan Umdatin Nihayah
Rumah Ambles
Eka Handriana, Umdatin Nihayah, dan Syarifah
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa
Atia
Perjumpaan IV: Pengisapan terhadap Manusia dan
Mila Karmilah
Non-Manusia
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung
Mila Karmilah, Eka Handriana
dengan Sopan

i. Bagian “Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang” menceritakan


aneka bentuk perjumpaan yang mengubah sawah menjadi tambak.
Perubahan itu mensyaratkan adanya relasi manusia dengan beragam
jenis ikan, udang, tanah, sedimentasi lumpur, air laut, air tawar, air
payau, dan hutan bakau dalam kerangka natur-kultur.
ii. Bagian “Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah
Ambles” mengisahkan tentang perjumpaan orang-orang pesisir Sayung
dengan rob. Dalam hal ini, termasuk soal (1) bagaimana kehidupan dan
penghidupan di pesisir Sayung berubah; dan (2) bagaimana rob
membentuk kebutuhan hidup baru bagi warga Sayung berupa tanah
uruk dan tempat penitipan sepeda motor.
iii. Bagian “Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa” membahas perjumpaan
rob, pemerintah, dan pengusaha infrastruktur. Rob menjadi nilai
perjumpaan tersendiri, karena menjadi kapital-hidup bagi pengusaha
infrastruktur yang didukung oleh pemerintah. Misalnya saja ketika
pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur skala besar sebagai
solusi mengatasi banjir rob. Bersamaan dengan itu, pemodal atau
pengusaha masuk ke Sayung untuk mendirikan pabrik. Dari kacamata
pemodal, barangkali Sayung memang sangat strategis; tidak jauh dari
pelabuhan dan harga tanah di Sayung tidak semahal tanah di Semarang.
iv. Bagian “Perjumpaan IV: Pengisapan terhadap Manusia dan Non-Manusia”
menceritakan kisah “pengisapan” dari perjumpaan pemodal dengan
orang-orang Sayung yang tercerabut alat produksinya melalui proses
akumulasi primitif. Orang-orang itu pula yang hampir seluruh aspek
kehidupannya telah dihisap habis; mereka kehilangan pekerjaan, alat
produksi (tanah), dan ladang penghidupan. Kemudian orang-orang itu

5
Pendahuluan

masuk ke dalam pabrik dan kembali dihisap/dieksploitasi tenaganya


untuk membentuk nilai lebih bagi pemodal. Bab ini menuliskan
bagaimana pemodal mengapropriasi begitu saja tanah-tanah “yang-
termurah” di pesisir Sayung. Para pemodal tersebut banyak membeli
tanah-tanah yang sudah tenggelam dan/atau dilepas pemiliknya dengan
harga sangat murah.
v. Bagian “Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung dengan
Sopan”, kami letakkan sebagai ruang mempercakapkan empat bab
sebelumnya dan sekaligus menjadi penutup buku.

Sebelum memasuki kisah perubahan dan perjumpaan pada masing-masing


bab tersebut, kami perlu mengantarkan pembaca melalui bagian “Pendahuluan”
terlebih dahulu. Kemudian kami juga harus menjelaskan teori perjumpaan
(encounter) dan nilai perjumpaan (encounter value) pada bagian “Bermula dari
Perjumpaan”. Kedua teori tersebut kami jadikan kerangka untuk menyatukan
kepingan-kepingan cerita perubahan di pesisir utara Kecamatan Sayung.

6
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

BERMULA DARI PERJUMPAAN

“Jika aku bercerita tentang gold rush9 dan Civil War10, maka
barangkali dapat kuingat pula kisah di balik itu, tentang anjing-anjing
beserta orang-orangnya — cerita tentang imigrasi, keaslian,
pekerjaan, harapan, cinta, permainan, dan kemungkinan hidup
bersama dengan menimbang ulang kekuasaan dan perkembangan
natur-kultur secara ekologis.”

Donna Jeane Haraway, When Species Meet (2008) 11

1. Per jumpaa n
Perjumpaan, menurut feminis Donna Haraway (2008), membentuk natur-
kultur (keterikatan tidak terpisahkan antara budaya manusia dengan lingkungan
alam sekitarnya) dari mereka yang berjumpa. Sepanjang waktu, perjumpaan
bakal mengikat hubungan timbal-balik antarspesies yang saling mempengaruhi,
membentuk, dalam sebuah kehidupan bersama yang kompleks.
Lebih spesifik, Barua (2016) menyebut domestikasi juga bentuk perjumpaan
(encounter) dua arah yang saling memengaruhi. Dalam konteks itu, Barua
menggarisbawahi frasa dua-arah-yang-saling-memengaruhi. Tampaknya, hal
itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa peran subyek dan objek bukan sesuatu
yang pasti dan tetap. Dengan kata lain, manusia tidak senantiasa berperan
sebagai subyek dan non-manusia tidak selalu menjadi objek.12
Misalnya saja pada kasus perjumpaan manusia dengan anjing seperti uraian
Haraway (2008). Sebelum didomestikasi, anjing bukan bagian dari lingkungan
yang bergantung pada manusia. Anjing memiliki kehidupannya sendiri dan telah
menjalani berbagai macam peran. Dengan kata lain, anjing bukan makhluk

9
Demam emas. Peristiwa penemuan emas atau kandungan emas itu telah membuat banyak orang
dari berbagai penjuru negara berbondong-bondong berebut menambang emas di suatu tempat.
Misalnya saja demam gold rush Australia pada 1823, gold rush California pada 1848, dan gold rush
Afrika Selatan pada 1883.
10
Perang saudara di Amerika Serikat yang bermula pada 1861. Perang tersebut terjadi setelah beberapa
dekade muncul ketegangan antara negara bagian utara dengan bagian selatan. Terutama mengenai
persoalan perbudakan, hak negara bagian, dan ekspansi ke barat.
11
Haraway DJ. When Species Meet. University of Minnesota Press; 2008.
12
Barua M. Encounter. Environmental Humanities. 2016; 7 (1): 265–270. Doi: https://doi.org/10.1215/22011919-
3616479.

7
Bermula dari Perjumpaan

terbatas dan ahistoris. Setelah manusia mendomestifikasi anjing, baru manusia


dan anjing hidup saling berdampingan (situated companion species).
Anjing dan manusia berpilin dan saling berbagi peran sebagai subyek-objek.
Keduanya muncul sebagai mitra yang saling beradaptasi dalam natur-kultur.
Meski begitu, anjing bukan pula makhluk yang tidak dapat diubah. Sebagaimana
manusia, anjing muncul dengan perubahan-perubahan yang dihasilkan dari
interaksi. Sebagaimana anjing, manusia adalah makhluk yang di dalam tubuhnya
mengandung riwayat hidup.
Setelah didomestifikasi, anjing mendapat label “sahabat terbaik manusia
yang paling setia.” Label tersebut jelas merupakan pemaknaan sosial, yang
kemudian memproduksi peran tertentu pada anjing: berperan sebagai anggota
keluarga manusia, sebagai kawan para lansia pensiunan, sebagai pelacak
narkoba dan benda terlarang lain di bandara, sebagai penjaga hewan ternak,
hingga sebagai pasien dokter hewan.
Beragam peran anjing seperti yang dijelaskan di atas mengesankan; anjing
bekerja untuk manusia. Namun Haraway (2008) dengan tegas mengingatkan,
kerja upahan atau perbudakan tidak dapat dianalogikan pada kerja-kerja yang
dilakukan anjing. Dengan kata lain, kerja-kerja yang dapat dilakukan anjing
bukan layaknya buruh bagi manusia.
Kasus perjumpaan manusia dengan spesies lain, dapat disimak dari meme
“Kita tidak mendomestikasi gandum, gandum yang mendomestikasi kita.” Meme
tersebut banyak berseliweran di internet dan berasal dari buku terkenal karya
Youval Noah Harari, Sapiens (2017). Mari berasumsi bahwa kata “kita” dalam
kalimat tersebut memang berarti para manusia.
Sebelum berjumpa dengan gandum, manusia adalah spesies yang hidup
berpindah-pindah. Sebagaimana anjing, gandum memiliki peran yang secara
historis telah terbentuk sejak lama. Sebelum berjumpa dengan manusia, gandum
bisa saja berjumpa dengan belalang, kelinci, dan cacing. Belalang dan kelinci
memakan bunga, daun, dan batang gandum. Sementara cacing bakal memakan
akar gandum. Perjumpaan manusia dengan gandum memunculkan pemaknaan
sosial yang memberi peran tertentu pada gandum.
Sebagai contoh, peran gandum untuk menghasilkan bulir berzat tepung
untuk bahan makanan. Revolusi pertanian mendorong manusia untuk hidup
menetap dan menanam gandum. Manusia lalu bekerja keras menyingkirkan
batu, kerikil, cacing, belalang, dan kelinci agar gandum tumbuh sehat. Semakin
sehat gandum, makin banyak bulir tepung yang dihasilkan. Makin banyak bulir
tepung, makin banyak sumber energi untuk mencukupi kebutuhan tenaga bagi
manusia. Sampai di sini, relasi manusia dengan gandum berpilin dalam natur-kultur.

8
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Sebagaimana domestikasi, menurut Barua (2016), simbiosis pun merupakan


bentuk perjumpaan. Dalam arti, simbiosis adalah kekuatan evolusioner yang
mendefinisikan ulang makhluk yang terikat di dalamnya. Misalnya kawanan
belalang, cacing, dan kelinci. Bagi para petani, belalang, cacing, atau kelinci bisa
jadi dianggap parasit yang merugikan, sehingga pantas untuk dimusnahkan.
Sedangkan gandum cenderung berperan sebaliknya; gandum menjadi mutual
dengan petani, sehingga pantas dipelihara. Manusia mengupayakan hidup sehat
dan subur untuk gandum, sementara gandum membuahkan bulir-bulir tepung
yang digunakan manusia untuk bahan pangan.
Penjelasaan soal perjumpaan anjing-manusia atau gandum-manusia memang
terkesan niscaya belaka. Namun persis di situ cara pandang “perjumpaan”
menjadi menarik. Cara pandang “perjumpaan” sangat berbeda dengan Cartesian
yang memandang relasi manusia dengan alam secara biner. Cartesian melihat
manusia sebagai entitas terpisah dan/atau bukan bagian dari alam. Kultur hasil
cipta manusia dikesankan berdiri sendiri dan terpisah dari natur (keadaan
alamiah). Sedangkan cara pandang “perjumpaan” justru melihat kemenyatuan
budaya manusia dengan alam; budaya manusia adalah juga alamiah.
Pandangan Cartesian bermula dari konsep dualisme Rene Descartes (1586-
1650). Pandangan tersebut memosisikan manusia lahir dengan gagasan/konsepsi
bawaan yang sudah jadi dan tidak berasal dari alam. Karena dianggap sudah
jadi, maka untuk mewujudkan gagasan/konsepsi bawaan, manusia tidak butuh
hubungan timbal-balik dengan alam. Dengan kata lain, gagasan/konsepsi
bawaan dapat terwujud hanya dengan memakai persepsi inderawi belaka.
Mari kembali memakai contoh tanaman gandum. Dari pandangan Cartesian,
manusia punya konsepsi bahwa tanaman gandum tercipta untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Oleh karena itu, ketika manusia berjumpa dengan tanaman
gandum, maka dianggap sangat wajar jika manusia memakan bulirnya dan/atau
mengolahnya. Dengan kata lain, tanaman gandum seakan hanya tercipta untuk
manusia semata, tidak ada yang lain.
Dualisme dalam pandangan Cartesian membentuk hierarki yang menjadi ciri
khas maskulinitas. Hierarki dalam cara pandang Cartesian membuat manusia
memandang non-manusia sebagai subordinat dan/atau berada di luar dirinya.
Bahkan manusia dipersepsikan dapat sepenuhnya mengontrol, memetakan,
mendominasi, memelihara, memusnahkan, dan mengeksploitasi non-manusia
untuk kelangsungan hidup dan sumber kekayaan manusia.
Sementara itu Haraway, dengan femininitas “perjumpaan”, coba membuka
hierarki tersebut dengan merinci suatu hubungan antar-spesies secara historis.
Tujuan Haraway adalah untuk belajar menjadi “sopan” dan bertanggungjawab.

9
Bermula dari Perjumpaan

Selain itu, untuk kembali mengingatkan bahwa setiap perjumpaan mengandung


hubungan hidup-mati yang asimetris dan hubungan antara memelihara atau membunuh.

2. Kap ital-h idup da n Ko modita s-h idup


Haraway (2008) mengingatkan, hasil perjumpaan tidak akan dan/atau tidak
dapat selalu baik. Dia sendiri, dengan teori perjumpaan, masih mencari secara
lebih jelas dan rinci apa yang diperbuat oleh masing-masing spesies yang hidup
saling berdampingan (situated companion species). Dalam perjumpaan, menurut
Haraway, ada pemanfaatan makna sosial dari “mitra” untuk membuahkan nilai
tertentu pada lively capital atau kapital-hidup.13 Nilai tertentu di sini berbeda
dengan nilai suatu komoditi yang dijabarkan Karl Marx: di dalam nilai komoditi,
terkandung penghitungan kerja manusia dalam proses produksi.
Dalam proses produksi kapitalis, Marx (2007) membagi kapital menjadi dua:
kapital tetap dan kapital variabel.14 Dalam proses produksi, kapitalis menguasai
serta menggunakan kapital tetap yang di antaranya adalah mesin-mesin dan
bahan mentah. Sementara kapital variabel merupakan tenaga kerja manusia
yang diupah kapitalis dalam proses produksi. Dalam konteks ini, Haraway,
melalui teori perjumpaan, menyodorkan konsep kapital-hidup untuk mengidentifikasi
kerja non-manusia.
Haraway mengambil contoh pada kasus anjing. Banyak dari anjing bekerja
keras untuk menjadi pelacak di bandara, menjaga ternak, atau menemani lansia.
Kerja-kerja anjing tersebut merupakan sebuah kapital-hidup. Haraway membedakan
kerja anjing sebagai kapital-hidup dengan kerja manusia sebagai buruh upahan.
Dengan kerja seperti itu, anjing adalah kapital bagi industri besar. Sebut saja
industri produksi makanan anjing, obat-obatan, vaksin, kasur untuk anjing, tali
kekang, pemotong kuku, sampo khusus bulu anjing, hingga industri layanan
hewan peliharaan seperti hotel, salon, dan tempat latihan anjing.
Anjing punya nilai tambah, namun bukan semata saat ia menjadi rekan kerja
atau kawan konsumtif manusia. Ditinjau dari tubuh (bulu, daging, atau mata)
dan gelagatnya, anjing dapat menjadi komoditas itu sendiri. Sebagai contoh,
seekor anjing dengan ras murni tertentu, langka, lebih mengandung nilai tambah
yang dapat membuat harga jual anjing naik. Pada saat yang sama, anjing dapat
menjadi kapital-hidup dalam bisnis layanan kriopreservasi (pengawetan
jaringan) yang mahal dan bisnis penelitian kloning anjing untuk pelestarian ras.

13
Haraway DJ. When Species Meet. University of Minnesota Press; 2008.
14
Marx K. Das Kapital Volume 1. Hasta Mitra; 2007.

10
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Barua (2017) memberi contoh kasus lain: singa sebagai kapital-hidup.15 Singa
bekerja seharian sebagai suatu tontonan di dalam kerangkeng sebuah wahana
ekowisata di daratan India. Menurut Barua, sebagai kapital-hidup, singa tidak
menghasilkan nilai guna dari kerjanya tersebut. Karena itu, kerja singa tidak
seperti kerja manusia yang merupakan kapital variabel.
Namun sebagai kapital-hidup, singa mengandung asal-usul produksinya
sendiri. Hal itulah yang menjadi syarat bagi akumulasi kapital. Pada saat yang
sama, pesona singa menjadi komoditas untuk ditonton pengunjung ekowisata.
Lebih spesifik, Barua menyebutnya sebagai lively commodity (komoditas-hidup).
Nilai komoditas-hidup itu berasal dari statusnya sebagai “makhluk hidup” pada
era di mana kehidupan itu sendiri telah menjadi lokus akumulasi para kapitalis.
Barua melacak bagaimana komoditas-hidup dan kapital-hidup memengaruhi
akumulasi. Namun bukan semata sebagai bahan mentah (raw material) pasif,
melainkan memiliki peran aktif dalam rangkaian ekonomi-politik. Pendapat
Barua membuka kemungkinan untuk lebih maju berpikir; alam bukan semata
bahan mentah pasif. Alam bukan semata hasil kerja lampau manusia yang secara
maskulin dapat begitu saja dipelihara, dipetakan, atau diekploitasi. Dalam
konteks ini, Barua mengajukan tiga konsep relasional untuk memahami potensi
ekonomi politik dalam komoditas-hidup: kerja non-manusia, nilai perjumpaan, dan
akumulasi spektakuler.

3. Nila i Per jumpaa n


Menurut Haraway (2008), evolusi, perdagangan, bioteknologi, kesadaran,
etika, dan utilitas berperan dalam membentuk relasi di antara makhluk hidup
yang beraneka ragam. Relasi itulah yang diperkenalkan Haraway sebagai nilai
perjumpaan antar-spesies. Haraway mencirikan hubungan antarspesies itu
dalam konteks historis yang spesifik dari kapital-hidup (lively capital).
Membersamai konsepsi Haraway, Barua (2017) mengajukan satu proposal: nilai
perjumpaan perlu dipertimbangkan dalam proses pembentukan nilai. Barua
memulainya dari teori akumulasi primitif yang diintrodusir Karl Marx.
Barua (2017) menekankan, akumulasi primitif bukan terjadi hanya pada masa
lalu. Akumulasi primitif merupakan akumulasi asali yang sedang berlangsung
secara terus menerus. Proses akumulasi tersebut menuntut manusia untuk

15
Barua M. Nonhuman labour, encounter value, spectacular accumulation: the geographies of a lively
commodity. Transactions of the Institute of British Geographers. 2017; 42 (2): 274-288. Doi:
https://doi.org/10.1111/tran.12170.

11
Bermula dari Perjumpaan

bercerai dari alat-alat produksinya. Apabila manusia tidak lagi memiliki alat
produksi, maka yang dapat digunakan untuk bertahan hidup hanya tenaga.
Sebagai contoh adalah para petani yang dirampas tanahnya. Karena tidak
lagi punya tanah (alat produksi), para petani hanya dapat menjual tenaga untuk
menjadi buruh pabrik—kapital variabel. Buruh menciptakan nilai lebih (surplus
value) yang terkandung dalam komoditas keluaran pabrik. Rumusan Karl Marx
tentang produksi kapitalis bertumpu pada tenaga kerja (buruh) manusia sebagai
pencipta nilai lebih (surplus value) yang kelak bertransformasi menjadi laba.
Sebagai bagian dari proses pembentukan nilai, Barua mengajukan kerangka
pendukung untuk rumusan ekonomi-politik Karl Marx. Menurut Barua, bentuk
akumulasi primitif bukan semata pemisahan manusia dari alat produksi.
Pemisahan non-manusia dari cara hidup subsisten pun adalah bentuk akumulasi
primitif. Begitu pula dengan mengerangkeng hewan (non-manusia) sehingga
terlepas dari ikatan reproduktif dan ekologisnya. Dengan demikian, akumulasi
primitif menjadi alat penting untuk mengubah “seluruh isi dunia” (bukan saja
menyangkut kerja manusia) menjadi komoditas—tempat di mana nilai lebih terkandung.
Apabila konsepsi Barua tersebut diterima, maka dalam ekonomi kapitalisme
kontemporer, aktivitas produktif menjadi tidak terbatas semata-mata pada
kerja manusia dalam produksi komoditas. Kerja manusia hanya menjadi salah
satu bagian saja, di samping kerja-kerja non-manusia. Misalnya dalam aktivitas
produktif di sebuah peternakan lebah.
Kerja manusia dalam peternakan lebah hanya salah satu bagian dari proses
produksi madu. Pada bagian lain, ada lebah-lebah (non-manusia) yang ikut
berkontribusi dalam proses produksi. Namun, kerja lebah bukan untuk menciptakan
nilai guna sosial. Karena itu, berbeda dengan kerja manusia (buruh) saat
membuat komoditi yang bernilai guna bagi orang lain dan dapat dipertukarkan.
Kerja non-manusia dalam konsepsi kapital-hidup (anjing, singa, lebah, dan
gandum) sangat berbeda dengan kerja buruh (manusia) sebagai kapital variabel.
Misalnya di sebuah pabrik madu, buruh (manusia) memang diupah untuk
memproduksi madu kemasan yang dapat dikonsumsi orang lain. Sedangkan
dalam siklus produksi, reproduksi, dan subsistensi lebah, dia tidak bermaksud
memproduksi madu untuk dapat dikonsumsi manusia. Dengan demikian, kerja
kapital-hidup merupakan kegunaan yang secara historis memang dipupuk oleh
aktivitas non-manusia itu sendiri. Baru setelah adanya perjumpaan (manusia
dengan non-manusia), kegunaan kapital-hidup menjadi seolah-olah memang untuk
manusia. Nilai perjumpaan manusia dan non-manusia itu pula yang kelak dipertukarkan.
Nilai perjumpaan mengandung hubungan historis yang spesifik dari kapital-
hidup. Barua memandang hal itu sebagai bentuk perjumpaan produktif dalam

12
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

hubungan antara manusia dengan kekuatan yang bukan milik manusia.16 Dengan
demikian, nilai perjumpaan yang (1) melibatkan kerja etologis organisme non-
manusia; dan (2) mengandung aktivitas produktif, perlu dipertimbangkan dalam
setiap proses pembentukan nilai. Dengan memperhitungkan nilai perjumpaan,
Haraway bertujuan untuk membuat lebih maju karakterisasi hubungan
antarsubyek spesies biologis yang berbeda dalam konteks kapital-hidup yang
spesifik secara historis.17

4. Per jumpaa n Asime tris


Haraway (2008) mengatakan, perjumpaan mengandung hubungan hidup dan
mati yang asimetris. Sebelum Haraway, sebenarnya Gilles Deleuze dan Claire
Parnet sempat mengutarakan hal serupa. Dalam Dialogues II, mereka menulis
bahwa berjumpa (to encounter) adalah untuk menemukan, mencuri, dan
menangkap. Dalam konteks itu, tidak ada metode “menemukan” yang memadai
selain melalui proses yang sangat panjang. Misalnya, untuk menemukan bulir
gandum sebagai sumber makanan bagi tenaga manusia, butuh waktu lama dan
melalui proses yang tidak sekali jadi.18
Sementara itu, “mencuri” dalam konsepsi Gilles Deleuze dan Claire Parnet
tidak dapat diartikan hanya sekadar bentuk menjiplak, menyalin, atau meniru.
Maksud “mencuri” di sini adalah sebuah proses menangkap. Namun bukan untuk
menciptakan sesuatu yang saling menguntungkan, melainkan membentuk blok
asimetris tempat berlangsungnya evolusi pararel.
Sebagai ilustrasi, setelah menemukan bahwa bulir gandum dapat menjadi
makanan, manusia baru mulai mengambil bulir gandum dari pohon. Karena itu,
di satu sisi, manusia diuntungkan karena mendapat energi untuk tubuh dari
bulir gandum. Sedangkan di sisi lain, pohon gandum tersebut justru kehilangan
bulir. Kondisi demikian yang disebut dengan relasi asimetris.
Dalam kondisi asimetris semacam itu, gandum—seperti halnya anjing, singa,
atau lebah—acap dipandang sebagai karunia atau pemberian alam. Dalam arti,
disebut karunia alam karena seolah ada bagian dari gandum, anjing, singa, atau
lebah madu yang tidak mengandung kerja manusia. Hal ini sama dengan apa
yang disampaikan Marx. Karena tidak ada waktu kerja manusia yang dikeluarkan,
elemen seperti air, udara, dan tanah yang belum diolah manusia dianggap tidak

16
Barua M. Encounter. Environmental Humanities. 2016; 7 (1): 265–270. Doi: https://doi.org/10.1215/22011919-
3616479.
17
Haraway DJ. When Species Meet. University of Minnesota Press; 2008.
18
Deleuze G, Parnet C. Dialogues II. Colombia University Press; 2007.

13
Bermula dari Perjumpaan

mengandung nilai. Menurut Marx, karena tidak memiliki nilai, maka tanah, air,
dan udara tidak dapat dipertukarkan atau tidak memiliki nilai tukar.19
Dalam perkembangannya, perjumpaan demi perjumpaan tampak semakin
memperuncing relasi asimetris. Misalnya saja pada kasus lebah madu. Semula
seorang manusia menjumpai lebah di dekat sarangnya, di hutan belantara.
Kemudian, dalam proses yang tidak sekali jadi dan memakan waktu sangat
panjang, manusia itu pun akhirnya menjumpai cairan kental dan manis di dalam
sarang lebah. Lalu manusia tersebut mengambil, menangkap, dan memeras
sarang lebah untuk mendapatkan cairan kental dan manis. Akhirnya cairan itu
diminum untuk digunakan sebagai sumber tenaga bagi tubuh manusia. Sampai
di sini, terjadi perjumpaan asimetris antara lebah dan manusia.
Bersamaan dengan itu, kebutuhan hidup manusia makin bertambah banyak.
Manusia jadi tidak hanya membutuhkan madu untuk tenaga. Manusia juga
membutuhkan pakaian, alas kaki, dan beragam kebutuhan lainnya. Sampai
akhirnya madu pun dipertukarkan untuk mendapat barang kebutuhan lain. Pada
saat dipertukarkan, madu membawa nilai perjumpaan yang mengandung kerja
manusia dan non-manusia. Dalam konteks ini, kerja manusia yang dimaksud
adalah aktivitas menangkap dan memeras madu. Sementara kerja non-manusia
berkaitan dengan kerja etologis lebah berupa aktivitas produktif menghasilkan
madu. Dengan demikian, seperti yang ditekankan Haraway dan Barua, nilai
perjumpaan perlu diperhitungkan dalam proses pembentukan nilai komoditi.
Jason W Moore juga punya pemikiran sejalan dengan Haraway dan Barua.
Wabil khususnya, pada konsepsi “perjumpaan” yang membedakannya dengan
cara pandang biner Cartesian; memisahkan manusia dengan alam. Menurut
Moore, aspek pembentuk kapital bukan hanya eksploitasi manusia, melainkan
apropriasi kerja non-manusia. Karena itu, dalam produksi nilai lebih kapitalis,
selalu ada momen ganda: eksploitasi dan sekaligus apropriasi.
Dalam momen eksplotasi, pemodal mengisap nilai lebih yang diciptakan
buruh melalui waktu kerja lebih. Sementara dalam momen apropriasi, pemodal
mencomot begitu saja (Deleuze dan Parnet membahasakannya dengan istilah
“mencuri”) yang-termurah (the cheaps). Moore menyebut “yang-termurah”,
karena pemodal tidak punya andil dalam proses pembuatannya. Misalnya saja tanah,
tenaga buruh, kerja perempuan, makanan, energi, dan bahan mentah.20

19
Marx K. Das Kapital Volume 1. Hasta Mitra; 2007.
20
Batubara B. Swyngedouw’s puzzle: Surplus-value production in socionature. Human Geography.
2021; 14(2): 292–295. Doi: https://doi.org/10.1177/19427786211012663.

14
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Dalam konsepsi Moore, para kapitalis tidak turut membesarkan anak yang
kelak, ketika dewasa, diambil kapitalis untuk dijadikan buruh. Kapitalis tidak
pula membayar kerja perempuan di rumah saat menyiapkan makanan, mencuci
baju, atau membersihkan tempat tidur milik anggota keluarga yang menjadi
buruh. Kapitalis tidak menciptakan batu bara, air, tanah, minyak, dan panas
bumi, melainkan mencomotnya begitu saja.
Batubara (2021) menggunakan konsep Moore untuk membuka apa yang Marx
konsepsikan dalam Capital I sebagai kapital tetap: bahan mentah dan alat-alat
produksi. Dengan kata lain, Batubara (2021) makin memperjelas lagi bahan
mentah yang dimaksud yakni material “yang-termurah” dan ongkos apropriasi.
Pada kasus madu, cairan kental dan manis ialah material “yang-termurah”,
sementara ongkos apropriasinya adalah kerja produktif lebah menghasilkan madu.
Lewat perjumpaan, madu dipertukarkan melalui proses reproduksi yang
berturut-turut: ditangkapnya sarang lebah dari hutan, diperasnya sarang untuk
mengeluarkan cairan pekat manis, dan dipertukarkan dengan kebutuhan lain.
Jika seseorang pencari sarang lebah kembali ke hutan secara terus menerus,
maka terjadi dua hal sekaligus: reproduksi madu terus berlangsung dan
pertukaran terus berjalan.
Namun Luxemburg (2003) mengingatkan, pertukaran tidak akan langgeng
jika reproduksinya hanya repetisi belaka.21 Dengan kata lain, produksi kapitalis
dapat terus menerus berjalan (bereproduksi), berkembang, dan berkelanjutan
jika pertukaran komoditi menemukan pasar-pasar baru untuk beroperasi.
Maksud pasar-pasar baru di sini adalah pasar-pasar non-kapitalis atau subsisten
yang memproduksi dan mereproduksi barang untuk kebutuhan sendiri.
Pada kasus gandum, distribusi tepung pun terus meluas secara geografis.
Kini peredaran tepung gandum sudah menjangkau wilayah sangat luas. Bahkan
sampai mencapai wilayah-wilayah yang tidak dapat menumbuhkan batang
gandum. Akan tetapi, Haraway (2008) mengingatkan bahwa yang dimaksud perluasan
tidak semata-mata terjadi pada aspek geografis belaka. Menurut Haraway,
lewat perjumpaan, perluasan dapat terjadi dalam kultur-alamiah. Misalnya pada
kasus lebah madu.
Dari waktu ke waktu, ada perjumpaan lebih lanjut antara manusia dengan
madu. Perjumpaan lebih lanjut itu pula yang disebut Haraway membentuk
kultur-alamiah berupa penemuan kegunaan lain dari madu. Dalam perjumpaan
lebih lanjut, kegunaan madu bukan lagi hanya diminum menjadi sumber tenaga,
melainkan termasuk untuk kesehatan tubuh manusia.

21
Luxemburg R. The Accumulation of Capital. Routledge Classics; 2003.

15
Bermula dari Perjumpaan

Perjumpaan lebih lanjut membuat pertukaran madu berjalan makin kencang.


Bersamaan dengan itu, relasi asimetris antara manusia dengan lebah juga lebih
meruncing lagi. Misalnya, seseorang yang menangkap sarang lebah tidak lagi
langsung memeras madu, melainkan membiakkan. Orang itu makin menambah waktu
kerjanya; dari semula hanya menangkap sarang dan memeras madu, bertambah
menjadi membiakkan lebah dalam beberapa sarang. Pada saat yang sama, orang
tersebut menambah kapital tetap (bahan mentah); dari semula sarang lebah di
hutan belantara, bertambah menjadi (lebih banyak) sarang lebah di lahan pembiakan.
Perjumpaan lebih lanjut memungkinkan adanya peningkatan alat produksi.
Mari mengambil contoh pada kasus madu. Semula alat produksi yang
dibutuhkan hanya pelindung kaki dan alat penangkap sarang. Kemudian
bertambah menjadi kandang-kandang untuk menempatkan sarang. Semakin
banyak sarang, berarti makin banyak lebah dan makin banyak pula kapital-
hidup yang bekerja produktif menghasilkan madu.
Ketika manusia berjumpa dengan lebah secara lebih lanjut, maka hubungan
asimetris di antara keduanya juga makin tajam. Kondisi itu terjadi dalam proses
produksi yang sudah tidak lagi sederhana, karena madu telah bersinggungan
dengan proses produksi komoditas lain. Sebut saja produksi kandang untuk
menempatkan sarang, botol pengemas madu, hormon, serta obat-obatan untuk
mempercepat dan sekaligus memperbanyak produksi madu oleh lebah.
Dengan demikian, proses produksi dan reproduksi kapitalis memang terus
mengalami perluasan. Proses produksi kapitalis melalui perjumpaan pemilik
modal dengan kapital-hidup seperti lebah dapat berkembang sampai layaknya
industri agribisnis skala besar. Hal serupa terjadi pada kasus kapital-hidup lain,
tidak terkecuali dengan gandum.
Kini perjumpaan manusia dengan gandum berkembang sampai memunculkan
industri bioteknologi. Salah satunya, industri pencipta benih gandum yang bisa
tumbuh lebih cepat dan lebat. Sebagai cara memperluas area baru, banyak pula
industri bioteknologi yang berupaya membuat benih gandum cocok pada iklim
tropis.22 Pada waktu yang sama, produksi massal pestisida pembunuh belalang,
racun pembasmi cacing, atau penghalau kelinci terus bermunculan. Ketika itu semua
terjadi, maka cukup memberikan alasan mengapa ladang-ladang gandum kian
hari kian banyak dan luas.

22
Shodiq A. Bisakah Gandum Tumbuh di Indonesia yang Beriklim Tropis? Diakses pada 24 Oktober 2022.
https://pangan.sariagri.id/95049/bisakah-gandum-tumbuh-di-indonesia-yang-beriklim-tropis.

16
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

5. Ekof eminisme, Ta ngg ung Jawab ya ng Sopa n


Perluasan terus menerus dalam produksi dan reproduksi kapitalis, berarti
pengisapan secara terus menerus pada non-manusia (non-buruh) dan manusia
(buruh). Bentuk pengisapan terhadap non-manusia (non-buruh) terejawantah
dalam bentuk: (1) apropriasi tanah, air, dan udara secara massif; (2) “mencuri”
kerja non-manusia (non-buruh) berupa bahan mentah atau kapital-hidup secara
cuma-cuma; dan (3) mengambil begitu saja kerja keseharian (reproduksi) perempuan.
Sementara pengisapan terhadap manusia (buruh) mewujud dalam bentuk: (1)
di satu sisi, manusia (buruh) dieksploitasi sebagai kapital variabel berbentuk
pengisapan nilai lebih dari kerja lebih para buruh-upahan; dan (2) di sisi lain,
manusia (buruh) diisap sebagai pasar bagi komoditi kapitalis agar reproduksi
kapitalis dapat terus berkelanjutan.
Produksi dan reproduksi kapitalis secara terus menerus membuat hubungan
asimetris (perjumpaan manusia dengan non-manusia) semakin tajam. Vandana
Shiva dan Maria Mies (2014) membahasakan hal itu sebagai bentuk ketimpangan
(inequality).23 Dalam arti, sumber daya untuk bereproduksi secara subsisten
makin terkikis. Misalnya pada kasus reproduksi gandum untuk pertumbuhan
pohon gandum dan reproduksi lebah untuk pertahanan hidup lebah. Begitu pula
dengan proses reproduksi petani (peasant) untuk kebutuhan hidup (survival)
petani. Baik itu gandum, lebah, maupun petani sama-sama kesulitan
mereproduksi secara subsisten, karena kerusakan ekologis kian parah.
Namun persoalannya, permintaan atas sumber daya untuk ekonomi pasar
terus bertambah. Semua demi produksi dan reproduksi kapitalis agar tetap
berkelanjutan. Pada akhirnya, konsumsi bahan mentah ditentukan semata-mata
atas pertimbangan kekuatan pasar, tanpa pertimbangan dampak sosial maupun
ekologi. Menurut Shiva, ongkos konsumsi bahan mentah, yang tak lain adalah
ongkos apropriasi, adalah bentuk biaya penghancuran dari proses produksi kapitalis.
Nahasnya, ongkos penghancuran tersebut dibagi secara timpang (inequal) di
antara berbagai kelas ekonomi yang ada. Bahkan ongkos terbesar justru bukan
ditanggung para kapitalis, melainkan oleh (1) para perempuan; (2) mereka yang
kekurangan daya beli atas barang atau jasa dalam sistem produksi kapitalis;
dan (3) mereka yang mencukupi kebutuhan dasar langsung dari material alam.
Dalam Ecofeminism (ekofeminisme), ketimpangan melalui aktivitas ekonomi
yang merusak ekologi muncul dengan dua cara. Pertama, ketimpangan dalam
distribusi hak istimewa (secara politik dan ekonomi) dan ketimpangan kekuatan
dalam mengakses sumber daya alam. Kedua, kebijakan pemerintah mendorong

23
Mies M, Shiva V. Ecofeminism . Zed Books; 2014.

17
Bermula dari Perjumpaan

produksi sumber daya alam, yang menjadi bahan mentah produksi kapitalis,
secara intensif. Sedangkan sumber daya alam itu sejak lama telah digunakan
oleh kelompok ekonomi kurang mampu. Tidak jarang, kelangsungan hidup
kelompok ekonomi kurang mampu sangat bergantung pada keberadaan sumber
daya alam tersebut.
Ekofeminisme kerap dimaknai sebatas soal perempuan yang merawat alam.
Bahkan kerap diidentikan bahwa peran alam layaknya peran seorang ibu,
“hanya memberi tak harap kembali”.24 Padahal menurut Shiva dan Mies, ekofeminisme
bukan semata-mata perkara tanggung jawab perempuan untuk membersihkan
kekacauan ekologis yang disebabkan sistem produksi kapitalis yang sangat
maskulin. Maskulinitas tersebut tercermin dari hasrat untuk terus membangun,
mengapropriasi, dan mengeksploitasi sembari tanpa pernah melakukan kerja
perawatan dan/atau menyerahkan begitu saja kerja perawatan kepada perempuan,
tanpa dibayar. “Perempuan tidak akan selamanya menjadi Trümmerfrauen (perempuan
yang membersihkan reruntuhan setelah perang patriarki),” kata Shiva.
Perspektif ekofeminisme subsisten dari Shiva dan Mies cukup jelas. Mereka
sangat mempertimbangkan aspek kesejarahan yang spesifik untuk setiap entitas
di muka bumi. Misalnya, di dalam madu, ada kerja reproduksi subsisten lebah;
di dalam peran anjing sebagai penjaga, ada kerja subsisten pembentukan
tubuhnya; di dalam bulir tepung gandum, ada kerja akar, batang, dan daun
gandum yang berfotosintesis setiap hari; di dalam kesuburan tanah, ada proses
penguraian unsur hara yang tidak bisa dijangkau manusia; dan di dalam tubuh
para buruh murah, ada kerja perempuan (masyarakat) yang tidak dibayar.
Keberadaan kerja perempuan (atau masyarakat) dalam tubuh buruh murah
dibicarakan pula oleh Nancy Fraser. Menurutnya, kerja-kerja tersebut merupakan
bentuk reproduksi sosial untuk menciptakan manusia. Lebih lanjut, Fraser menyebut
bahwa ekonomi yang merupakan latar depan (foreground), sebenarnya sangat
bergantung pada non-ekonomi yang jadi latar belakang (background). Latar
depan meliputi kepemilikan, akumulasi nilai, pasar tenaga kerja (yang terbebas
dari alat produksi dan unsur lain), dan pasar untuk surplus masyarakat.
Menurut Fraser, latar depan dibentuk oleh tiga kondisi yang terjadi pada
latar belakang: reproduksi sosial, reproduksi ekologi, dan kekuatan politik.25
Dengan demikian, proses produksi dan reproduksi kapitalis (latar depan)—
sebagaimana dikatakan Luxemburg—bergantung pada reproduksi sosial dan
ekologi yang menjadi latar belakangnya. Persoalannya, dalam suatu produksi

24
Cuplikan syair lagu “Kasih Ibu” karya Mochtar Embut.
25
Fraser N. Behind Marx’s Hidden Abode: For an Expanded Conception of Capitalism. New Left
Review . 2014; Vol. 86. Hlm. 55-72.

18
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

kapitalis untuk menciptakan akumulasi keuntungan, kerja reproduksi sosial dan


ekologi mengalami subordinasi. Dalam arti, kerja reproduksi sosial dan ekologi
dianggap tidak memiliki andil dalam proses pembentukan nilai suatu komoditi.26
Fraser menekankan, sebelum menjadi buruh yang siap dipakai oleh suatu
perusahaan, buruh itu memiliki proses kesejarahan yang spesifik. Misalnya,
buruh itu dikandung, dilahirkan, dan dirawat oleh seorang ibu. Buruh itu dididik
di sekolah agar pintar dengan ongkos biaya dari orang tua dan ongkos tenaga
dari guru. Sementara ibunya, di rumah, terus menyediakan makanan, mencucikan
pakaian, atau membersihkan tempat tidur. Para Pemodal tidak punya andil
menciptakan buruh. Pemodal mencomot begitu saja, tanpa mempertimbangkan
kerja-kerja (reproduksi sosial) yang tersimpan di tubuh buruh. Dengan kata
lain, kerja menciptakan manusia dipandang sebagai kerja subsisten yang tidak
berkontribusi dalam proses produksi. Subordinasi semacam itu, menurut Fraser,
adalah akar penindasan gender (penindasan perempuan) dalam masyarakat kapitalis.
Kondisi serupa terjadi pada reproduksi ekologi. Kerja-kerja subsisten dari
non-manusia subordinat dalam produksi kapitalis. Kerja subsisten non-manusia
tidak secara rinci dilihat sebagai unsur pembentuk nilai suatu komoditi. Alhasil
bahan mentah, sebagai komponen pembentuk produksi kapitalis, sering tidak
dilihat secara historis dan spesifik. Contoh lainnya adalah kerja subsisten pohon
gandum (non-manusia) saat membuahkan bulir gandum yang memungkinkan
produksi tepung gandum. Kerja pohon gandum sebagai bahan mentah, sering
tidak dipertimbangkan sebagai unsur pembentuk produksi tepung gandum.
Relasi asimetris semacam itu yang banyak dipersoalkan Haraway (2008).
Penyebab adanya relasi tidak simetris, kata Haraway, tidak lain karena nilai
perjumpaan tidak menjadi pertimbangan dalam proses pembentukan nilai suatu
komoditi. Dari situ Haraway menggagas dorongan untuk mengakui keberadaan
reproduksi subsisten dalam pembentukan sebuah komoditi atau spesies sebagai
sebuah sikap yang sopan.

Hal senada disampaikan Shiva dan Mies. Menurut mereka, untuk memulihkan
ekologi yang telah rusak, kerja-kerja subsisten yang tidak dibayar harus dibagi
menjadi bentuk produksi subsisten baru. Dengan begitu, sumber daya alam,
bahan mentah, atau tenaga buruh murah tidak lagi dipandang sebagai “karunia”,
pemberian, atau kemurahan alam semesta. Pandangan semacam itu, menuntut
kesopanan untuk mengakui adanya kerja-kerja subsisten dan tanggung jawab
yang lebih besar.

26
Arruzza C, Fraser N, Bhattacharya T. Feminisme Untuk 99%: Sebuah Manifesto. Penerbit Independen;
2020.

19
Bermula dari Perjumpaan

“Kalau ditutup seperti itu,


apalagi kalau nanti ada tanggul di laut sana,
lalu pembuangan air dari ini larinya ke mana?”

Wolu, Warga Desa Purwosari

20
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

PERJUM PAAN I:
Tanam Bambu Tumbuh Kerang

“Dulu tahun 80-an, zaman saya belum menikah, di belakang kampung


ini belum ada tambak. Dulu semua ditanami padi dari sini sampai ke
Morosari sana. Jadi ini sawah, itu sawah, di tengah sini sungai. Di
belakang sini dulu masih bisa ditanami lombok (cabai), masih bagus.”

Sewelas, Warga Desa Purwosari

Gambar 1: Peta administrasi Kecamatan Sayung. Bagian berwarna merupakan desa yang menjadi fokus
utama buku ini. Sementara bagian berwarna putih merupakan desa-desa lain di Kecamatan Sayung yang
tetap dipertimbangkan dalam riset. Sumber: data diolah oleh Syarifah Atia.

Kami menjumpai Patlikur di rumahnya pada pertengahan Januari 2022. Hari


masih pagi, lelaki berumur 49 tahun itu keluar dari rumah sambil menenteng
botol bekas berisi bensin. Lelaki dengan perawakan tinggi itu tampak seperti

21
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

orang yang siap berangkat kerja; memakai sepatu karet dan celana panjang
yang digulung selutut. “Ombak lagi gede ini,” kata Patlikur sembari berjalan
beriringan dengan kami, tiga calon penumpangnya, menuju perahu kayu yang
bersandar di tepi Sungai Kanal. Sungai ini bermuara di Pantai Morosari,
Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Tidak sampai sepuluh menit setelah
mesin dihidupkan, lalu perahu dijalankan, kami sudah berada di perairan pantai.
Sejak awal naik perahu, kami tidak punya tempat spesifik untuk dituju.
Kesepakatan dengan Patlikur adalah mengantar kami berputar-putar dengan
perahu di perairan pantai dengan tarif pergi-pulang Rp20 ribu per penumpang.
Sebenarnya kami cukup bingung dengan tarif tersebut. Kami khawatir Patlikur
malah rugi, karena penumpangnya hanya kami bertiga. Saya sendiri mengira,
biaya bahan bakar mesin perahu untuk berkeliling lebih mahal dari ongkos
gabungan kami bertiga. Di perjalanan, Patlikur menawarkan kami berkunjung
ke makam Syekh Mudzakir di Kampung Tambaksari. Kami setuju, karena
memang pasrah saja kemana Patlikur bakal membawa kami.
Dari pantai, kami mengarah ke tengah laut menuju Kampung Tambaksari di
Desa Bedono. Benar kata Patlikur, angin memang bertiup cukup kencang.
Ombak mengayun kuat perahu kayu yang kami tumpangi. “Dulu di sini sawah
luas, ada tambaknya juga. Dulu saya SD main-main ya ke sini,” kata Patlikur
sembari menunjuk laut yang kami lewati.27 Jika dihitung-hitung berdasarkan
usianya, Patlikur tampak sedang memutar memori ke dekade 1970-1980an.
Beberapa bulan kemudian kami kembali ke Sayung. Kali ini kami mengunjungi
Kampung Tonosari yang terletak sekitar 800 meter di barat daya Kampung
Morosari—tempat Patlikur bermukim. Kampung Tonosari dan Morosari masih
berada dalam satu desa yang sama: Bedono.
Di Tonosari, salah seorang dari kami berjumpa dengan seorang nenek
berusia 64 tahun, Limalas. Dia lahir dan tumbuh remaja di Tambaksari—sebuah
perkampungan yang diceritakan Patlikur pernah memiliki hamparan sawah
cukup luas. Limalas masih berusia 15 tahun pada dekade 1970an. Akan tetapi,
pada usia sangat muda, Limalas sudah sibuk bekerja sebagai buruh pabrik jamu
Sido Muncul di Kecamatan Genuk, Kota Semarang. Dahulu, setiap hari, dia
berjalan dari Tambaksari ke Genuk. Di sela kesibukan sehari-hari, Limalas suka
pergi nonton-bareng bersama kawan-kawan sekampung.

27
Wawancara dengan Patlikur, 27 Januari 2022.

22
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

“Riyin nek wonten sing mantu, ajeng teng Pandansari, teng Nyangkringan,
napa teng pundi mawon diparani. Wonten tanggapane, dadose nonton
sareng-sareng. Mlaku lewat dalan-dalan tesih saget. Dalane garing,” kenang Limalas.28

Pada dekade itu, kata Limalas, perkampungan Tambaksari masih utuh,


sawah masih luas, dan jarak ke laut masih jauh sekali. Bahkan selain sawah,
tambak, dan jalanan yang kering, kala itu masih banyak terdapat pohon kelapa
di pekarangan rumah.29 Seperti Limalas, Rongpuluh punya ingatan serupa soal
Kampung Tambaksari. Di warung kelontong miliknya di sisi timur bibir Pantai
Sayung, Desa Bedono, Rongpuluh bercerita, pada masa kecil dia masih menjumpai jarak
rumah jauh dari laut. “Batas laut tadinya ya jauh, ada lebih dari satu kilometer.
(Saat) kecilnya saya lo itu,” kata Rongpuluh pada akhir Oktober 2021.30

1. M elimpah Bera s da n Pa la wija


Di antara rumah Rongpuluh (Desa Bedono) dengan bibir pantai, sejauh lebih
dari satu kilometer, terbentang hamparan sawah dan sedikit tambak. Pada
dekade 1970an, bentang lahan semacam itu merupakan wajah umum desa-desa
di pesisir Sayung. Pada saat itu, kepadatan di desa-desa pinggir pantai acap
terpusat di beberapa titik. Rumah-rumah penduduk saling berdekatan di setiap
titik itu. Lahan sawah mengelilingi setiap titik permukiman, lengkap dengan
jalan penghubung antar titik kepadatan. Seperti cerita Limalas, jalan penghubung itu
kerap berada di antara lahan sawah. Penduduk kampung sering melewati jalan
itu untuk menonton acara televisi atau mendengarkan radio di balai desa.31
Wajah desa-desa di pesisir Sayung yang digambarkan Patlikur, Rongpuluh,
dan Limalas telah eksis jauh sebelum mereka lahir. Setidaknya bermula sejak
kedatangan Ahmad Abdulloh Mudzakir pada 1900an. 32 Menurut Damayanti
(2019), Kyai Mudzakir adalah pembuka lahan pertanian di Bedono, tepatnya di
Dukuh Tambaksari. Letak kampung ini, dibanding dengan kampung-kampung

28
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Dahulu kalau ada yang hajatan, mau ke Pandansari, ke
Nyangkringan, ke mana saja didatangi. Ada hiburannya, karena itu nonton bareng-bareng. Jalan kaki
lewat jalan masih bisa. Jalanan kering.”
29
Wawancara dengan Limalas, 15 Mei 2022.
30
Wawancara dengan Rongpuluh, 28 Oktober 2021.
31
Kala itu radio, televisi, dan termasuk sepeda onthel, tergolong barang mewah. Dalam arti, tidak
semua orang bisa memiliki barang-barang tersebut. Lihat: Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju
Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta .
32
Dinas Pariwisata. 2020. “Makam Terapung Syekh Mudzakir.” Pariwisata.Demakkab.Go.Id. Retrieved
July 2, 2022 (https://pariwisata.demakkab.go.id/makam-terapung-syekh-mudzakir/).

23
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

lain di Bedono, paling dekat dengan laut. Karena itu, tidak heran jika jenis tanah
di Tambaksari banyak berupa pasir dan lumpur. Kyai Mudzakir menggunakan
endapan yang dibawa arus sungai dari Sayung menuju laut untuk menutup
rawa-rawa berlumpur. Selanjutnya, ketika rawa-rawa telah tertutup endapan
sungai, Kyai Mudzakir mengubahnya menjadi lahan persawahan.33
Seiring berjalannya waktu, lahan sawah di Tambaksari terus berkembang.
Kondisi tersebut menarik orang-orang untuk datang bermukim dan memulai
penghidupan sebagai petani di Kampung Tambaksari. Bahkan, perkembangan
pertanian dan permukiman di Tambaksari merembet ke kampung-kampung di
dekatnya seperti Dukuh Bedono, Pandansari, dan Tonosari. Lahan persawahan
kemudian meluas lagi ke Kampung Rejosari—sebuah perkampungan kosong di
sebelah Tambaksari. Semula di Rejosari memang tidak ada permukiman
penduduk, karena itu disebut kampung kosong. Sawah-sawah di Rejosari pun
banyak dimiliki orang Dukuh Tambaksari dan Dukuh Bedono.
Lahan sawah di Rejosari terus meluas. Kondisi itu memicu kedatangan lebih
banyak orang untuk bekerja sebagai buruh tani. Agar dekat dan memudahkan
pemantauan hama, para buruh membangun banyak gubuk di Rejosari sebagai
tempat tinggal sementara. Perlahan gubuk-gubuk tersebut berubah menjadi
permukiman permanen. Pada dekade 1980an, Desa Bedono—termasuk di
dalamnya adalah Dukuh Rejosari dan Tambaksari—merupakan kawasan
pertanian terbaik di Kabupaten Demak.
Penelitian Rifqi Jamali (2012) menunjukkan, sekitar tahun 1970an, mayoritas
masyarakat pesisir Sayung memang hidup mengandalkan hasil pertanian.
Bahkan hingga awal 1980an, jumlah petani di desa-desa pesisir masih jauh lebih
banyak ketimbang nelayan. Ketika itu, berdasarkan laporan Kantor Statistik
Kabupaten Demak tahun 1980, jumlah petani di Kecamatan Sayung mencapai
24.241 orang, sedangkan jumlah nelayan hanya 306 orang. Jumlah penduduk
dengan profesi petambak tidak banyak; pada setiap desa di Sayung, hanya
dijumpai lima sampai tujuh keluarga petambak.
Bergeser sedikit dari Bedono, Desa Purwosari punya cerita sama mengenai
kejayaan dunia pertanian. Seorang pedagang berumur 60 tahun, Sewelas menceritakan,

“Dulu tahun 80-an, zaman saya belum menikah, di belakang kampung ini
belum ada tambak. Dulu semua ditanami padi dari sini sampai ke Morosari

33
Substansi dalam sebagian besar teks pada halaman ini disarikan dari: Damayanti, Riyana. 2019.
“Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam
Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.

24
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

sana. Jadi ini sawah, itu sawah, di tengah sini sungai. Di belakang sini dulu
masih bisa ditanami lombok (cabai), masih bagus.”34

Sewelas lahir dan bermukim di Dukuh Deles, Desa Purwosari. Sewelas


sangat mengingat betul, ketika dirinya muda, aktivitas pertanian di Sayung
masih berjaya dan dilakukan dengan cara-cara tradisional. Misalnya, para
petani masih memakai cangkul, bajak, garu, sabit, parang, dan ani-ani. Saat
itu, kotoran hewan ternak masih biasa digunakan untuk memupuk tanaman.
Dalam ingatan Sewelas, ada dua cara menumbuhkan padi di persawahan
Sayung: sistem sawah tadah hujan dan sistem irigasi semi teknis.
Pada sistem sawah tadah hujan, karena tidak membutuhkan banyak air,
varietas padi yang paling banyak digunakan adalah Padi Cempo dan Umbuk.
Sistem ini hanya dapat dikerjakan sekali dalam satu tahun: musim hujan, sekitar
bulan Oktober. Dalam satu musim tanam padi, para petani tadah hujan
menghabiskan waktu 5-6 bulan. Sementara pada musim kemarau, para petani
lebih banyak menanam palawija, sayuran, cabai, dan terong. Lain hal dengan
sistem sawah irigasi semi teknis. Sistem ini banyak dilakukan di daerah yang
memiliki banyak sumber air. Di daerah tersebut, karena banyak tersedia air,
para petani dapat panen sebanyak dua kali dalam satu tahun. Adapun varietas
yang paling cocok untuk sistem irigasi adalah Padi Ciherang.35
Dalam catatan Kantor Statistik Kabupaten Demak (1980), luas sawah tadah
hujan di Sayung mencapai 1.588 hektare.36 Sementara luas sawah irigasi semi
teknis adalah 2.112 hektare. 37 Penduduk Kampung Tambaksari dan Rejosari
(Desa Bedono) termasuk yang paling banyak menggunakan sistem tadah hujan.
Di sebagian kecil wilayah Desa Bedono, ada pula yang menggunakan sistem
sawah irigasi. Namun kebanyakan, sistem sawah irigasi dikerjakan di desa-desa
yang tidak dekat pantai seperti Desa Purwosari dan Desa Sidogemah.38

34
Wawancara dengan Sewelas, 27 Oktober 2021.
35
Palawija adalah aneka tanaman selain padi yang lebih tahan cuaca dan mampu tumbuh di lahan
kering. Beberapa contohnya adalah kacang, ubi, dan jagung. Lihat: Riyana Damayanti, 2019,
Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak dalam Pusaran
Abrasi dan Industrialisasi Tahun 1990-2010, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro Semarang.
36
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
37
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
38
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.

25
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Clara Rondonuwu (2010) menyebutkan, pada 1970-1980an, Kecamatan


Sayung memang makmur sebagai daerah pertanian (beras dan palawija)
terbaik.39 Namun sayangnya, tidak ada data pasti soal berapa sebenarnya total
padi yang dihasilkan di Sayung. Oleh sebab itu, mari membuat sebuah
perhitungan sederhana. Dari penelitian Rifqi Jamali (2012) diketahui; satu hektar
sawah dapat menghasilkan gabah sebanyak 14 kwintal dalam satu kali panen.
Sementara dari Kantor Statistik Kabupaten Demak (1980) tercatat ada 11.027
petani pemilik lahan dengan luas sawah rata-rata dua hektar. 40 Dengan
demikian, secara perhitungan matematis, lahan pertanian di Sayung dapat
menghasilkan sekitar 30 ribu ton gabah dalam sekali panen.41
Jumlah produksi gabah sebanyak 30 ribu ton baru dalam waktu satu kali
musim panen. Dalam arti, itu belum termasuk dengan jumlah produksi gabah
pada musim panen kedua yang dihasilkan dari sawah irigasi semi teknis.
Bahkan hasil panen palawija pun belum masuk ke dalam perhitungan. Dengan
hasil panen sebanyak itu, tidak heran jika warga Desa Purwosari, Telu,
menganggap Sayung merupakan lahan pertanian subur dengan hasil yang melimpah.

“Mbiyen nek pingin uwi nduduk uwi, pingin ganyong nduduk ganyong,
pinggiran ditanduri pelem. Maune kene iki tanduran gedang, lirut, wit-
witan. Ono sirsat tandurane bapakku barang. Sak dadah kene, sak
ngarep pol mburi ki tanduran. Sing kono kuwi tanduran kabeh,”42 papar
Telu yang kini berumur 66 tahun.

Cerita petani Desa Bedono pada 1970an, Muntaha, makin memperjelas


keberlimpahan hasil pertanian di Sayung. Dalam perbincangannya dengan Rifqi
Jamali pada 2012, Muntaha menjelaskan bahwa saat proses penjemuran,
biasanya gabah basah dapat menyusut 18%. Pada saat itu, harga satu kilogram

39
Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).
40
Jumlah buruh tani lebih banyak yakni mencapai 13.214 orang. Lihat: Rifqi Jamali, 2012, Dari Sawah
Menuju Tambak: Budidaya Tambak di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-an-2000,
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
41
Perhitungan tersebut berasal dari perkalian antara; jumlah petani berlahan (11.027); rata-rata
kepemilikan lahan petani berlahan (2 hektare); dan estimasi panen gabah per hektar sekali musim
panen (14 kwintal). Jumlah produksi gabah tersebut belum mempertimbangkan adanya faktor lain
seperti serangan hama, cuaca ekstrim, dan sebagainya.
42
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Dulu kalau pingin uwi (jenis umbi-umbian-
penulis) menggali uwi, pingin ganyong (jenis umbi-umbian - penulis) menggali ganyong, pinggiran
ditanami manga. Semula di sini ini tanaman pisang, garut, pepohonan. Ada juga pohon sirsak
tanaman bapak saya, tanah di sini dari depan sampai habis ke belakang sana dulu tanaman. Di situ
itu tanaman semua.” Lihat: Wawancara dengan Telu, 27 Oktober 2021.

26
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

gabah kering adalah Rp800. Rata-rata keluarga petani memiliki lahan seluas
dua hektar. Dengan demikian, dalam satu kali masa panen, satu hektar sawah
dapat memproduksi sebanyak 28 kwintal gabah basah. Seandainya beban gabah
basah memang menyusut 18%, maka Muntaha tetap untung karena mampu
menghasilkan 24 kwintal gabah kering. Dengan kata lain, dalam satu kali
periode panen, Muntaha dapat mengantongi sekitar Rp1,9 juta.
Muntaha memiliki sawah seluas dua hektar. Muntaha mengerjakan sawah
tidak seorang diri, melainkan mempekerjakan beberapa buruh tani. Pada saat
itu, biaya untuk membayar buruh tani adalah Rp120 ribu. Sementara untuk
biaya operasional dalam satu kali panen adalah Rp100 ribu. Pada umumnya,
biaya operasional digunakan untuk membeli benih padi, pupuk, dan
mengongkosi penyusutan alat yang dipakai. Pada akhirnya, meski perlu
mengeluarkan ongkos operasional dan mengupah buruh, Muntaha tetap bisa
mendapat sekurangnya Rp1,6 juta. Jumlah itu baru gambaran pendapatan satu
keluarga petani dalam sekali panen padi saja.43
Selain Muntaha, ada pula pasangan keluarga petani di Dusun Rejosari
(belakangan dijuluki Dusun Senik) yakni Pak Sepuluh dan Bu Rolikur. Warga
Desa Bedono tersebut pernah pula merasakan hidup berkecukupan dengan
mengandalkan kesuburan tanah pesisir Sayung. Dari lahan sawah seluas tiga
hektare, mereka mampu mendirikan rumah keluarga menjelang 1980an.44 Tidak
beda dengan keluarga Rolikur, keluarga kakaknya, Selawe, mengalami juga
kemakmuran hidup bertani di pesisir utara Sayung. Di Rejosari, Selawe pernah
memiliki rumah besar, lengkap dengan kursi dan lemari bufet buatan Jepara
yang terkenal bagus dan mahal. Menurut Selawe, dulu kampung masa kecilnya
di Rejosari sangat ramai dan menyediakan segala macam kebutuhan warga.45

“Desa asline Rejosari, ora Senik. Kok isa Desa Senik ki mbuh piye. Rejosari
ndek zaman kae ki kan rejo. Nek sore jare nelayan kebak ngono, dadi
rejo. Yo rejo, yo sari. Sari kui sembarang dengah ana kabeh, gemah ripah
ngono critane…. Wah biyen ya ana sembarang dengah, uwit brayo, bongko,
zaman iseh apik-apike, iseh koyo teng kota. Waru, turi, kudo, werno-
werno zaman biyen-biyene. Wong biyen dadahku pinggir ratan kae,
kelopoku gampangane awit pol kali lor kene sampai kali kidul kono,
kerep, parik-parik pinggir ratan. Lumayan dingo masak enake pol. Kiro-

43
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
44
Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).
45
Wawancara dengan Bu Selawe, 7 Oktober 2021.

27
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

kiro dingo masak anakku pitu kui mulo iso cukup. Pari landhung-
landhung iku umpomo ngge masak ya wis turah-turah, mbek masak urang
iku mau,”46 tutur Bu Selawe dari Dukuh Sodong, Desa Sidogemah.

Lain dulu, lain sekarang. Kini hidup dan kampung masa kecil Selawe sudah
banyak berubah. Bahkan sembilan tahun lalu, Bu Selawe (kini berusia 60 tahun)
memutuskan pindah ke Dukuh Sodong, Desa Sidogemah. Dukuh itu terletak di
sebelah timur Dukuh Rejosari, Desa Bedono. Kini Selawe dan suami tinggal satu
rumah dengan keluarga anaknya. Letak Sodong lebih jauh dari bibir pantai
ketimbang Rejosari. Menurut Selawe, ketika mulai tinggal di Sodong, dia masih
mendapati banyak sawah di daerah tersebut. Namun kini, banyak sawah yang
telah berubah menjadi tambak.
Warga Sidogemah lain, Pak Sangalas (49 tahun), punya ingatan yang sama
dengan Bu Selawe. Menurut pria yang bekerja sebagai pemasok hasil laut asli
Sidogemah itu, lebih dari 30 tahun lalu, dia sering pergi main bola sampai ke
Morosari (Desa Bedono) melewati Dukuh Rejosari. Ketika usianya menginjak 20
tahun, dia mulai sering mencangkul di sawah-sawah dekat rumah. Sebelum
ditinggali orang-orang dari Rejosari, termasuk keluarga Selawe, area belakang
rumah Sangalas di Sidogemah masih sawah. Namun seiring berjalannya waktu,
tambah Sangalas, sebagian besar sawah tersebut mulai berganti tambak.47

Kesuburan Sayung tidak sampai di Bedono atau Sidogemah saja, melainkan


sampai ke Desa Timbulsloko di timur laut Bedono. Pada 1970-1980an, banyak
orang-orang dari Desa Trengguli, Kecamatan Wonosalam (Kabupaten Demak)
yang bekerja di kebun-kebun Desa Timbulsloko. Padahal jarak antara Trengguli
sampai Timbulsloko mencapai sekitar 27 kilometer ke arah barat.

46
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Nama asli desanya Rejosari, bukan Senik. Tidak
tahu kok bisa jadi Senik itu bagaimana. Rejosari zaman dulu kan rejo. Kalau sore ceritanya penuh
nelayan, jadi ramai (rejo). Ya rejo, ya sari. Sari itu artinya segala macam ada, gemah ripah begitu
ceritanya…. Wah dulu ya ada bermacam-macam pohon mangrove, bakau, zaman masih bagus-
bagusnya, masih seperti di kota. Pohon waru, turi, pohon kudo, warna-warni zaman dulu-dulunya.
Dulu saja tempat lahan saya pinggir jalan begitu. Pohon kelapa milik saya, ibaratnya dari sungai
sebelah utara sini sampai ujung sungai selatan sana, penuh berjajar-jajar di pinggir jalan. Lumayan
dipakai memasak enak sekali. Kira-kira dipakai masak tujuh anak saya juga bisa mencukupi. Padi
berlimpah-limpah, itu seumpama untuk masak juga sudah lebih-lebih, sama masak udang juga.”
Lihat: Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
47
Wawancara dengan Pak Sangalas, 28 Oktober 2021.

28
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

“Mbiyen mriki makmur. Sampai ono wong-wong Trengguli boro teng


mriki. Samping mriki ndadah kebun, mriko sawah,” terang Pak Sangalikur
yang kami jumpai di atas perahu.48

Akan tetapi, kendati wilayahnya subur dan makmur, tidak semua warga di
Sayung dapat hidup dari pertanian sawah dan ladang. Apalagi upah buruh tani
cukup rendah: Rp600/hari untuk buruh tani perempuan dan Rp800/hari untuk
buruh laki-laki. Alhasil beberapa rumah tangga di Sayung mencari penghidupan
tambahan dengan cara lain. Salah satunya, menjualkan hasil panen petani
pemilik lahan seperti beras dan palawija ke Pasar Sayung yang berada di tepi
Jalan Raya Semarang-Demak. Ada pula yang berdagang, dengan terlebih dulu
membeli atau mengulak beras dan palawija, lalu menjualnya kembali ke pasar.

Gambar 2: Suasana Kampung Rejosari sebelum tenggelam. Tampak masih terdapat banyak pohon kelapa
yang dipanen dan dijual warga. Foto diambil dari penelitian Damayanti (2019), yang bersumber dari
dokumentasi warga Rejosari (Senik). Kini dokumentasi lama seperti ini sangat jarang ditemukan. Apalagi
foto bukan barang vital bagi warga pesisir Sayung untuk diselamatkan saat permukiman mulai tenggelam.

Para pedagang Sayung tidak hanya melakukan aktivitas jual-beli hasil


pertanian berupa beras dan palawija. Beberapa pedagang melakukan pula

48
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut: “Dulu di sini makmur. Sampai ada
orang Trenngguli merantau ke sini. Samping ini untuk kerja kebun, yang di sana sawah.”

29
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

aktivitas jual-beli hasil tangkapan laut seperti ikan, udang, cumi, dan kepiting.
Selain itu, mereka juga memperjual-belikan hasil panen tambak udang dan ikan
bandeng. Umumnya, para pedagang itu tinggal di desa-desa yang tidak
langsung berimpitan dengan laut. Salah satu pedagang tersebut adalah Sangalas
(49 tahun), warga Desa Sidogemah. Dari dulu sampai saat ini, Sangalas
merupakan generasi pedagang yang masih memasok hasil laut ke pasar-pasar
dan/atau kepada tengkulak lain.49
Pedagang lainnya adalah Telu (66 tahun), warga Desa Purwosari. Bahkan
Telu termasuk generasi pedagang yang lebih lawas lagi. Telu sudah mulai
berjualan ikan laut yang dibeli dari para nelayan sejak 1970an. Biasanya, Telu
bakal menjual lagi hasil laut tersebut ke Pasar Sayung. Aktivitas tersebut terus
Telu lakukan hampir selama empat puluh tahun. Baru sekitar 10 tahun lalu
(2010an), Telu mulai pensiun dari aktivitas berdagang tersebut.50
Bentuk penghidupan warga Sayung lainnya adalah memelihara ternak
seperti ayam, itik, dan kambing. Selain itu, seperti Limalas, banyak pula warga
yang hidup menjadi buruh pabrik dan sekaligus buruh bangunan di Kota
Semarang.51 Apalagi pada masa itu, aktivitas sektor industri dan perdagangan
di Semarang sedang meningkat, karena didorong adanya Pelabuhan Tanjung
Emas.52 Sampai awal 1980, berdasar catatan Jamali Rifqi (2012), jumlah buruh
industri dan buruh bangunan dari Sayung mencapai 1.521 orang. Jumlah itu
paling banyak kedua setelah petani (baik berlahan maupun buruh tani) dalam
urutan mata pencaharian yang paling banyak dilakukan penduduk Sayung.

49
Wawancara dengan Sangalas, 28 Oktober 2021.
50
Wawancara dengan Telu, 27 Oktober 2021.
51
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
52
Sepanjang 1970an, Kota Semarang memang sedang giat melakukan banyak pembangunan fisik.
Adapun sejarah perencanaan aktivitas perdagangan dan perindustrian di Kota Semarang itu sendiri
sudah mencuat dalam kurun waktu 1900-1970. Awalnya Kota Semarang dijadikan sebagai
eksperimen perencanaan kota modern di Eropa. Alun-alun sebagai pusat administrasi pemerintah
kolonial Belanda dan pusat perdagangan terus menunjukkan perubahan—baik secara intensitas
kegiatan maupun secara fisik. Pada 1976, Pemerintah Kota Semarang mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No.16 tentang Pemekaran Wilayah Kota Semarang. Sejak saat itu wilayah Kota
Semarang meluas sampai wilayah Kecamatan Mijen, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan
Tembalang, Kecamatan Tugu, dan Kecamatan Genuk—dekat Kecamatan Sayung di Demak. Lihat:
Kurniawati, Feri Ema. 2010. “Perkembangan Struktur Ruang Kota Semarang Periode 1960-2007
(Studi Pengembangan Struktur Ruang Dari Masa Pasca Kolonial Sampai 2007).” Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

30
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

2. Nelayan T radisional da n Peta mbak Samp inga n


Gerbang tempat wisata pantai di ujung Dukuh Morosari masih tutup. Saat itu
masih sekitar pukul 07.00 pagi, barangkali terlalu pagi bagi orang untuk berwisata.
Di atas pintu gerbang terdapat tulisan “Perseroda Demak Aneka Wirausaha –
Wisata Bahari Morosari”. Dari situ kami mengetahui tempat wisata ini dikelola PT
Demak Aneka Wira Usaha (Perseroda)—sebuah perusahaan perseroan milik Pemerintah
Kabupaten Demak.53
Kira-kira 20 menit setelah kami tiba, seorang penjaga wisata datang
membuka gerbang. Dari sang penjaga kami mengetahui, saat itu (Januari 2022),
tempat wisata “mati suri”. Dalam arti, tempat itu tak sepenuhnya mati atau
tutup, melainkan masih terbuka jika ada yang hendak berkunjung. Akan tetapi,
sekalipun ada kunjungan, tempat itu tak sepenuhnya hidup. Pasalnya, seluruh
warung—termasuk restoran apung—telah lama tutup. Tampak satu unit jetski
teronggok di depan loket persewaan. Sebagian besi ayunan, perosotan, dan
wahana permainan lain juga sudah berkarat. Beberapa bagian dermaga beton
menuju restoran telah hancur, licin, dan berlumpur akibat genangan air laut.
Awalnya tidak ada lagi pengunjung setelah kami. Sampai akhirnya, datang
seorang perempuan berumur 62 tahun. Perempuan itu tampak sedang sibuk di
atas tumpukan sampah, di samping dermaga. Perempuan tersebut tinggal di
Morosari dan biasanya ikut berjualan di salah satu warung sekitar tempat
wisata. Namun lantaran tempat wisata itu sepi, warung perempuan tersebut
pun ikut tutup. Alhasil untuk menyambung hidup, perempuan itu mengumpulkan
sampah botol plastik dan apa saja yang bisa dijual. Belakangan kami tahu,
semula perempuan tersebut merupakan bagian dari warga Sayung yang
menjalani hidup sehari-hari sebagai nelayan. “Nek ndisik aku seh enom yo
njegur pinggir laut, golek kerang,” katanya.54
Di sepanjang pesisir utara Kecamatan Sayung, salah satu sumber
penghidupan penduduk adalah bekerja sebagai nelayan. Namun jumlah nelayan
tidak pernah banyak. Misalnya, pada 1970an, jumlah nelayan Sayung hanya
ratusan. Jumlah nelayan kalah jauh dari jumlah petani yang mencapai lebih dari
dua puluh ribuan. Sampai awal 1980an, jumlah nelayan Sayung masih 306 orang,
sedangkan jumlah petani melebihi 24 ribu. Pada masa itu, jumlah nelayan

53
Perseroda merupakan akronim dari Perusahaan Perseroan Daerah. Lihat: Anon. 2022. “PT Demak Aneka Wira
Usaha (Perseroda).” Anwusa.Demakkab.Go.Id. Retrieved April 12, 2022 (https://anwusa.demakkab.go.id/).
54
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Kalau dulu saat saya masih muda ya mencebur ke
tepi laut mencari kerang.” Lihat: perbincangan dengan warga Morosari, 22 Januari 2022.

31
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

bahkan lebih sedikit ketimbang jumlah pedagang—termasuk pedagang


tangkapan nelayan—yang mencapai 391 orang.55
Dalam catatan Damayanti (2019), kebanyakan nelayan dan petani di Sayung
bermukim di daerah tepian pantai seperti Dukuh Tambaksari dan Rejosari.
Selain itu, ada pula yang bermukim di Dukuh Bedono, Morosari, dan Tonosari.
Umumnya, rumah nelayan terletak di sepanjang tepian sungai yang bermuara
di laut. Sungai menjadi sarana lalu lintas dan sekaligus tempat parkir bagi
perahu nelayan. Setiap mencari tangkapan nelayan masih kerap menggunakan
cara-cara tradisional. Seorang perempuan dari Morosari yang kami jumpai pun
demikian. Sebagai contoh adalah aktivitas mencari kerang.
Perempuan asal Morosari tidak berbekal alat tertentu, hanya menggunakan
tangan kosong. Dia langsung merogoh endapan lumpur di tepi laut untuk
mendapat kerang. Dengan cara itu, biasanya dia bisa menangkap beberapa
kilogram kerang darah. Sementara untuk kerang hijau, seringkali didapat dari
tempat yang agak jauh; lebih maju ke arah laut, yang berarti sedikit lebih dalam
dari tempat hidup kerang darah. Biasanya kerang hijau hidup menempel pada
bambu, kayu, lumpur, atau bebatuan. Pada sebagian desa-desa di Sayung, banyak
penduduk sejak dulu hanya memanen kerang yang tumbuh liar. Karena itu,
kerang dapat dibilang merupakan hasil tangkapan laut. Seperti kata Pak Sangalas,

“Kalau kerang ndak pernah ditambak. Sebenarnya itu ndak ditanami gitu,
liar. Malah kayak muncul sendiri gitu lo.”56

Setiap hari aktivitas Pak Sangalas tidak hanya berdagang. Dia masih kerap
pula mengumpulkan kerang hijau yang tumbuh di bambu-bambu pembatas
tambak. Utamanya, tambak-tambak yang sudah tidak digarap pemiliknya dan
terletak persis di belakang rumahnya di Desa Sidogemah. Kerang yang didapat
Sangalas bakal dibeli para pengepul. Biasanya, para pengepul langsung datang
dan mangkal di dekat rumah Sangalas. Alhasil dia tidak repot menjual kerang
ke pasar, tapi langsung kepada para pengepul.
Sejak paruh kedua 1980an, area tambak sudah semakin banyak di desa-desa
sepanjang pesisir Sayung. Sejak saat itu, kerang tidak hanya dipanen “liar” dari
laut, melainkan dibudidayakan di tambak. Salah satu pelaku budidaya kerang
tambak adalah keluarga Bu Pitulikur, warga Dukuh Wonorejo Pasir di Desa
Timbulsloko. Tidak beda dengan alur tangkapan kerang Sangalas, kerang
panenan keluarga Pitulikur juga dijual kepada pengepul. Para pengepul di

55
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
56
Wawancara dengan Pak Sangalas, 28 Oktober 2021.

32
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

Wonorejo Pasir kerap mangkal di perempatan jalan dukuh. Bahkan tidak


jarang, para pengepul tersebut langsung mendatangi tambak Pitulikur. Setiap
kali datang, para pengepul acap berbekal daftar harga kerang yang sewaktu-
waktu dapat naik atau turun.

“Bapak-bapak ngingoni kerang, mengko panen nek wis pirang sasi, kan
wis dadi gedi. Bapak iki yo ngingoni kerang, tapi ora kaya biyen, mungkin
bibite kurang apik,” kata Pitulikur, yang kini berumur 59 tahun, saat
menceritakan aktivitas bertambak bersama suaminya.57

Sebetulnya, sumber penghidupan masing-masing penduduk Sayung tidak


tunggal. Sebab dalam kenyataannya, angka jumlah penduduk (berdasarkan mata
pencaharian) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (dulu Kantor Statistik)
Kabupaten Demak merupakan angka dinamis, bukan statis. Menurut Rifqi Jamali
(2012), kemunculan pekerjaan tambahan sebagai sumber penghidupan warga
pesisir Sayung didorong oleh meningkatnya kebutuhan hidup penduduk. Sebut
saja kebutuhan untuk biaya sekolah, membeli kendaraan, televisi, dan lain-lain.
Tak ayal, penduduk Sayung dapat beralih pekerjaan dengan cepat, sangat
bergantung keadaan. Bahkan ada pula warga yang mampu melakoni dua sampai
tiga pekerjaan sekaligus.
Misalnya saja warga Desa Sidogemah, Sangalas. Dia merupakan pedagang
pemasok hasil laut. Namun pada musim panen kerang, dia bekerja pula sebagai
nelayan. Warga Dukuh Bogorame, Desa Timbulsloko, bernama Pitu (perempuan
45 tahun) punya cerita serupa. Menurut Bu Pitu, ketika dia kecil, orang-orang
dewasa di kampung hidup sebagai petani, petambak, dan sekaligus nelayan. Dia
juga mengingat rupa kampungnya dahulu dan bagaimana lahan-lahan di sana digunakan.

“Pertaniane kan sebelah mriko. Niku kan ngeten, niki sungai, niki tambak,
la niki terus griya, sebagian enten sing damel pertanian padi,”58 kata Bu
Pitu sembari menunjukkan letak sawah dan tambak.

57
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Bapak-bapak memelihara kerrang, nanti panen
kalau sudah beberapa bulan, kan sudah besar. Bapak (suami Bu Pitulikur – penulis) ini juga sedang
memelihara kerrang, tapi tidak seperti dulu, mungkin bibitnya kurang bagus.” Menurut Bu Pitulikur,
hasil panen kerang dari tambak kini menurun jauh dibanding ketika kerang mula-mula
dibudidayakan di tambak. Keluarga Bu Pitulikur tidak mendapatkan keuntungan dari periode
penambakan kerang yang baru saja berakhir, lantaran tambak terendam banjir rob. Saat wawancara
dilakukan, harga kerang sedang berangsur-angsur turun dari Rp19ribu/kg menjadi Rp 17ribu/kg dan
bahkan Rp14ribu/kg. Lihat: Wawancara dengan Bu Pitulikur, 07 Oktober 2021.
58
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Pertaniannya di sebelah sana. Itu begini, ini sungai,
ini tambak, ini rumah. Sebagian ada yang digunakan untuk pertanian padi.” Lihat: Wawancara dengan
Bu Pitu. 07 Oktober 2021.

33
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Ingatan Bu Pitu cocok dengan penjelasan Riyana Damayanti (2019). Pada


1970-1980, struktur penggunaan lahan di Bedono—secara berurutan dari tepi
luar—adalah laut, tambak, mangrove, sawah, dan kemudian rumah. Komposisi
penggunaan lahan berupa tambak belum banyak, hanya beberapa saja di dekat
laut. Sementara sebagian besar lahan lainnya masih digunakan untuk pertanian
sawah. Menurut Damayanti (2019), lokasi rumah memang banyak terletak di
dekat area persawahan.
Ketika sawah masih mendominasi penggunaan lahan di Bedono, keluarga Bu
Selawe tinggal di Dukuh Rejosari. Di sana keluarga Selawe hidup dari sawah
dan juga laut. Suami Bu Selawe kerap melaut untuk menjaring ikan. Aktivitas
melaut dilakukan di sela-sela merawat tanaman musiman (padi dan palawija)
dan tanaman tahunan (kelapa). Menurut Bu Selawe, perahu milik sang suami
termasuk besar dan bermesin. Suami Bu Selawe acap melaut di sebelah utara
Dukuh Tambaksari. Di sana banyak terdapat ikan, sehingga memungkinkan
untuk mendapat hasil tangkapan yang melimpah. Sebelum dijual, Selawe bakal
memilah dan mengolah hasil tangkapan dari laut itu.59
Beberapa keluarga lain melakukan hal serupa dengan keluarga Bu Selawe.
Namun, seperti kata Rifqi Jamali (2012) dan Riyana Damayanti (2019), sebelum
1980an, minat penduduk Sayung terhadap pekerjaan di sektor perikanan tidak
terlalu besar. Sebab, hasil tangkapan nelayan acap sedikit dan cenderung tidak
tetap. Apalagi saat itu pekerjaan menangkap ikan di laut masih dilakukan
dengan alat sederhana dan sangat bergantung pada musim.60 Alhasil banyak
warga menjadi nelayan hanya pada musim kemarau dan/atau di sela musim
tanam saja. Misalnya saat musim menanam palawija, yang memang tidak terlalu
membutuhkan tenaga perawatan.
Demikian pula dalam aktivitas bertambak. Pada saat itu, bertambak juga
masih dilakukan sebagai pekerjaan sampingan. Aktivitas bertambak biasanya
dilakukan dengan tradisi saling memberi tahu. Dalam arti, ketika ada satu orang
telah belajar dan mempraktikan aktivitas bertambak, dia bakal menyebarkan
pengetahuan dan keterampilan itu kepada orang lain. Bersamaan dengan itu,
para petani di pesisir Kecamatan Sayung mulai mengubah sebagian sawah
menjadi tambak. Pembuatan tambak dilakukan dengan cara menggali tanah
untuk memperdalam petak, lalu menumpuk tanah galian di pinggir petak

59
Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
60
Beberapa di antaranya mendapat kerang dengan begogoh (merogoh perairan tepi laut dengan
tangan kosong); menangkap ikan dan udang dengan menebar jaring di laut; dan dalam memperoleh
kepiting juga dilakukan dengan cara nyebak (menebar jebakan di pinggir laut di antara pohon bakau,
terutama pada saat air pasang). Lihat: Wawancara dengan Pak Sangalikur, 13 November 2021.

34
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

menjadi pematang. Banyak pematang yang diperkuat lagi oleh bambu-bambu


sebagai galar atau penyangga.
Banyak warga menyebut anyaman atau gedek bambu penyangga sebagai
lokho. Selain sebagai penyangga, lokho yang dipasang di pintu petak tambak
juga berfungsi untuk mengontrol keluar masuk air dan menghalangi ikan keluar
dari tambak. Lokho di pintu tambak bakal dibuka saat mengawali periode awal
bertambak. Tujuannya untuk sengaja membiarkan air laut masuk membawa
bibit ikan, udang, dan renik ke tambak. Dengan demikian, pada saat itu,
keberadaan rob bukan sebuah ancaman, tapi bagian dari proses bertambak itu
sendiri. Adapun bibit yang paling banyak dipelihara di tambak-tambak pesisir
Sayung adalah nener (bibit ikan bandeng) dan benur (bibit udang putih).61
Kebutuhan air tawar para petambak berasal dari sungai. Di Tambaksari,
orang-orang menyebut air tawar dengan sebutan sier. Adapun sier yang
dimaksud merupakan saluran tersier yang mengalirkan air sungai. Teknisnya,
ketika rob mulai surut dan air sungai sudah masuk, pintu petak tandon (Lokho)
bakal ditutup. Alhasil air laut dan air sungai bercampur menjadi satu. Perlu
sekitar dua pekan untuk melakukan proses salinitas air (mencampur air tawar
dengan air laut) tersebut. Setelah selesai, air yang sudah berubah payau
dialirkan ke petak-petak di sebelah tandon untuk pembesaran bibit-bibit ikan.62
Di Kecamatan Sayung, aktivitas pertambakan memang telah dilakukan sejak
lama. Namun tetap saja, tidak banyak warga yang benar-benar menggeluti
pekerjaan sebagai petambak sepenuhnya. Bahkan pemerintah belum melakukan
pencatatan terhadap mata pencaharian warga sebagai petambak. Sebagai
contoh, dalam melakukan pencatatan, Kantor Statistik Kabupaten Demak hanya
mendasarkan pada jenis pekerjaan yang dikenal warga secara luas. Sedangkan
bertambak dilakukan oleh beberapa petani di pesisir Sayung saja. Hal itu pun

61
Kedatangan air laut (rob) tidak hanya membawa nener, benur, dan renik-renik. Rob kerap pula
membawa ikan dan udang yang sudah siap dikonsumsi. Adapun untuk menangkap ikan dan udang
siap konsumsi itu, para petambak memasang impes—semacam jebakan udang dan ikan—di setiap
sudut petak tambak. Dalam satu hari, para petambak dapat menangkap sekitar 1–2 kg udang siap
konsumsi. Hasil tangkapan itu kemudian dijual sebagai pendapatan sampingan. Lihat: (1) Wawancara
dengan Pak Wolu, 07 Agustus 2022; (2) Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir
Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi
Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 39; dan (3) Jamali, Rifqi. 2012.
“Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-
an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
62
Setelah panen, petak-petak tambak bakal dikosongkan dan dikeruk endapannya. Kemudian kerukan
endapan tersebut bakal ditumpuk ke atas pematang. Hal itu dilakukan untuk memperbarui dan
sekaligus menjaga ketinggian pematang tambak agar tetap sesuai kebutuhan.

35
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

dilakukan sebatas untuk menambah pendapatan dengan cara memanfaatkan


lahan yang tidak dipakai bercocok tanam, di dekat pantai.63
Tidak semua petani memiliki lahan kosong di dekat pantai. Alhasil beberapa
di antaranya perlu menyewa untuk dapat bertambak. Bagi para petani (pemilik
dan penyewa), aktivitas bertambak di tepi pantai lebih memungkinkan untuk
pekerjaan tambahan, bahkan ketimbang menjadi nelayan. Tidak heran, pada
1970-1980, seperti yang dicatat Rifqi Jamali (2012), pekerjaan nelayan masih
menjadi sampingan dari pekerjaan bertambak atau bertani. Ada beberapa sebab
mengapa pekerjaan nelayan kurang diminati. Salah satunya, karena untuk
menangkap ikan ke laut, warga membutuhkan perahu dan peralatan tangkap
yang tidak murah. Di samping itu, warga memerlukan pula keterampilan yang
tidak mudah untuk menangkap ikan.
Warga Desa Sriwulan, Pitulas (perempuan 51 tahun) juga punya cerita soal
aktivitas pekerjaan warga pesisir Sayung. Dia menceritakan, para petambak
perlu menunggu waktu panen cukup lama, sekitar enam bulan. Hal itu dilakukan
untuk mendapatkan hasil budidaya tambak seperti udang dan bandeng dengan
ukuran besar. Apalagi semakin besar ukuran udang atau bandeng, makin besar
pula pendapatan diperoleh. Oleh sebab itu, sembari menunggu waktu panen,
banyak warga yang memilih sumber pendapatan lain dari aktivitas nelayan.
Selain itu, ada pula yang memilih bekerja sampingan sebagai buruh tidak tetap
di pabrik konveksi atau buruh bangunan.

“(Tambak – penulis) penghasilane enam bulan sekali, nek tiga bulan sekali
during gede nek bandeng. Mriki cocoke bandeng. Terus ditinggal nelayan.
Nelayan kan corone ning laut golek-golek hasil sing luar, langsung dijual
ke pasar. Ana sing ning pabrik, pabrik mebel, pabrik kimia, bahan roti,

63
Dalam penelitiannya, Rifqi Jamali menuliskan; “Di wilayah Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak,
budidaya tambak telah berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Hal tersebut dapat dilihat pada
surat yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda mengenai pajak yang khusus dibebankan
atas lahan budidaya tambaj di wilayah pantai utara Jawa. Pada masa itu lahan budidaya tambak
merupakan milik desa yang dikelola penduduk secara gotong-royong dan hasilnya dipergunakan
untuk kepentingan desa. Kondisi tersebut mengalami perubahan setelah kemerdekaan Indonesia,
kepemilikan lahan tambak menjadi milik individu seperti sekarang ini. Namun hasil produksi tambak
hingga dekade 1980an, tidak mengalami peningkatan yang signifikan.”

36
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

bahan busa, bahan cat. Ya ana sing melu proyek, ya ana pabrik konveksi,”
tutur Pitulas.64

3. Kemero so ta n H idup Me mbuntuti Ledakan S ushi


a . Le d a k a n S u s h i
Pada dekade 1970an, nelayan Sayung masih menangkap ikan dengan cara
tradisional. Aktivitas bertambak masih menjadi kerja sampingan. Namun di
Jepang, tempat yang berjarak lebih dari lima ribu kilometer di sebelah timur
laut Sayung, terjadi ledakan makanan (Japanese food boom) sampai ke Amerika
Serikat (AS) dan berlanjut ke Eropa. Awal mulanya, karena “ledakan sushi”
(sushi boom) yang menjadi tren pilihan makanan sehat di AS. Pemicu ledakan
itu adalah kondisi kesehatan warga AS, pada paruh kedua dekade 1960an. Saat
itu, kesehatan warga AS memburuk akibat gaya hidup. Saking buruknya, biaya
perawatan kesehatan secara nasional melonjak signifikan dan mengakibatkan
defisit fiskal cukup tinggi.65
Pemerintah AS berupaya mengurangi biaya perawatan kesehatan pada 1977.
Salah satunya dengan mengeluarkan rekomendasi diet lewat dokumen berjudul
“Dietary Goals for The United States”. Dokumen itu tenar dengan sebutan
“Laporan McGovern”.66 Dalam laporan itu, pemerintah AS merekomendasikan
warga untuk mengurangi makanan tinggi lemak hewani, gula, dan garam.
Sebagai gantinya, pemerintah merekomendasikan untuk mengonsumsi
karbohidrat (zat tepung) berbentuk biji-bijian mentah sebagai makanan pokok,
bersama dengan sayuran musiman, rumput laut, ikan, dan kerang. Salah satu
jenis makanan yang cocok dengan program diet tersebut adalah sushi, makanan
Jepang. Sebab bahan utama sushi adalah nasi (short-grain), rumput laut, daging
mentah, ikan laut mentah, dan udang merah.67

64
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “(Tambak – penulis) penghasilannya enam bulan
sekali, kalau tiga bulan belum besar kalau bandeng. Di sini cocoknya bandeng. Terus ditinggal
nelayan. Nelayan kan istilahnya di laut mencari-cari hasil dari luar, langsung dijual ke pasar. Ada juga yang
(sambil – penulis) kerja di pabrik mebel, pabrik kimia, bahan roti, bahan busa, bahan cat. Juga ada yang ikut
proyek, ada pula yang di pabrik konveksi.” Lihat: Wawancara dengan Pitulas, 07 Agustus 2022.
65
Special Report: The Health Consiious Boom. 2013. Serving Japanese Food to the World. Japan.
66
Laporan McGovern merupakan dokumen resmi pertama yang menyebut bahwa diet yang tidak
seimbang dapat menyebabkan penyakit. Lihat: Ibid.
67
Penambahan isian daging, ikan laut, hingga udang merah, dalam bentuk mentah, menjadi pembeda
sushi dengan sashimi. Walau sushi boom cenderung tidak membedakan keduanya. Lihat: Ibid.

37
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Sejak adanya rekomendasi tersebut, kesadaran warga AS soal kesehatan


mulai berkembang. Bersamaan dengan itu, minat terhadap makanan sehat a la
Jepang tumbuh pesat. Bahkan, buku-buku resep masakan Jepang sangat laris
dan umum berada di toko-toko buku seluruh AS. Para pesohor Hollywood dan
orang-orang kaya di Los Angeles ikut memuja sushi sebagai makanan asing
kekinian. Ditambah lagi, sejak 1970-1980an, orang-orang AS sedang giat
membangun citra kecantikan berbadan “langsing”. Supaya “langsing”, orang-
orang AS memerlukan makanan rendah kalori seperti sushi. Sejak saat itulah
sushi boom mulai menggema ke seantero negara AS, negara-negara Eropa, dan
bahkan seluruh dunia.68
Keberadaan sushi boom, mengatrol ketenaran makanan Jepang lain yang
berbahan dasar pangan laut. Salah satunya adalah tempura—sebuah gorengan
makanan dalam minyak penuh (deep fried) dan berbahan dasar sayuran atau
hewan laut seperti udang. Tempura sangat mendunia dan memengaruhi jumlah
produksi dan harga udang. Andreas Kamoey (2015) mencatat, sejak 1990an, ada
peningkatan permintaan pangan laut—dalam hal ini termasuk udang—dari
seluruh dunia.69 Namun Jepang sendiri tidak mengeksplorasi fenomena tersebut.
Salah satu penyebabnya, karena penerapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh
200 mil yang membuat area tangkapan tradisional di laut Jepang terbatas.
Menghadapi keterbatasan itu, Jepang mengubah haluan sejak akhir 1970an:
dari pengekspor, menjadi pengimpor ikan laut beserta produk turunan lainnya.
Impor pangan laut ke Jepang banyak berasal dari negara berkembang. Bagi
Jepang, impor dari negara-negara berkembang lebih menguntungkan daripada
memproduksi sendiri. Salah satu penyebabnya, karena upah buruh di negara
berkembang memang lebih murah. Bersamaan dengan itu, pemerintah Jepang
juga mengeluarkan kebijakan pengurangan tarif impor. Hal itu makin membuat
impor-pangan-laut merupakan pilihan yang sangat “masuk akal” bagi Jepang.
Semula konsumen di negara Jepang terkenal lebih suka membeli produk
pangan dalam negeri. Namun karena harga pangan impor lebih murah, tentu
saja itu menggiurkan para konsumen. Akhirnya mereka lebih terbuka dengan
pangan impor seperti udang. Saat itu, udang merupakan pangan laut impor
terbanyak kedua, setelah ikan tuna. Sebelum Jepang meliberalisasi dan/atau
menerapkan kebijakan pengurangan tarif impor, belanja udang Jepang dari luar
negeri dibatasi sistem kuota. Tidah heran, setelah adanya kebijakan itu, jumlah

68
Jika kini Anda menemui menu California Roll di restoran atau gerai sushi, maka itu berasal dari sushi
boom gelombang pertama. Saat itu, orang-orang AS belum begitu menyukai makanan mentah,
sehingga perlu dibuat penyesuaian. Lihat: Ibid.
69
Kamoey, Andreas. 2015. “The Japanese Market for Seafood.” Globefish Research Programme 117.

38
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

impor udang ke Jepang naik berlipat-lipat. Bahkan mulai tahun 1973, Jepang selalu
konsisten mengimpor sebesar 100 ribu ton udang/tahun.70

Tabel 1: Tiga pasar utama udang di dunia. Sumber: NOAA, 1991.

Awal 1970an pemasok udang ke Jepang adalah Meksiko dan Tiongkok.


Namun sejak pertengahan 1970an, India dan Indonesia mulai menggantikan
kedua negara tersebut.71 Pada saat itu, Indonesia menjadi pengekspor (1) udang
windu (black tiger) yang telah dikupas, namun masih menyisakan ekor (peeled
tail-on); dan (2) udang windu bersalut tepung roti dan berbahan baku udang
tambak non-antibiotik. Jenis udang kedua memang banyak diproduksi pabrik-
pabrik di Indonesia. Pada 1975-1980, ekspor udang Indonesia ke Jepang masih
didominasi udang hasil tangkapan di laut.72 Namun sejak 1980an, udang yang
diekspor sudah berupa udang-udang hasil budidaya di tambak.73

70
Jonker, Theo H., Hiroshi Ito, and Hiroji Fujishima. 2005. Food Safety and Quality Standards in Japan:
Compliance of Suppliers from Developing Countries. 47842. Japan.
71
Foreign Fishery Developments. 1981. Japanese Shrimp Import Trends for 1963-80 Told. 6. Japan.
72
Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production in Indonesia.” in Proceedings of The Shrimp
Culture Industry Workshop , edited by W. G. Yap. Jakarta: Direktorat Bina Produksi.
73
Pada awalnya, budidaya udang tambak hanya berlaku di Negara Taiwan. Namun pada 1988, banyak
tambak-tambak udang di Taiwan terserang virus. Nahasnya, virus itu terus menyebar ke tambak-
tambak di daerah lain. Bahkan sampai membuat para pebisnis tambak udang di Taiwan bangkrut.
Fenomena tersebut ikut mendorong pergeseran tempat produksi udang windu ke Indonesia, Filipina,
dan Thailand. Lihat: Jonker, Theo H., Hiroshi Ito, and Hiroji Fujishima. 2005. Food Safety and Quality
Standards in Japan: Compliance of Suppliers from Developing Countries. 47842. Japan.

39
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Mari kembali ke Amerika Serikat (AS) pada masa “demam sushi” melanda
(1970-1980an). Pada masa itu, sebenarnya negara AS sedang dalam kondisi serba
sulit. Keadaan itu ikut berimbas pada industri udang di negara AS. Resesi yang
terjadi di AS pada 1980 telah menurunkan permintaan udang, sehingga harga
udang jatuh. Padahal saat itu, ongkos operasional meningkat tajam, seiring
dengan harga bahan bakar dan tingkat bunga yang menyentuh angka tertinggi.
Tak ayal, harga udang di tingkat nelayan dan grosir udang merosot tajam.
Sejak saat itulah impor udang ke AS mulai turun.
Namun karena adanya sushi boom, harga udang yang rendah malah
membantu menumbuhkan konsumsi udang—khususnya udang tanpa kepala
yang disukai warga AS. Tidak heran, pada kuarter keempat 1980, konsumsi
udang tanpa kepala di AS meningkat 10% menjadi 440 juta pounds. Hal itu turut
memicu peningkatan pasokan udang untuk konsumsi. Alhasil pada 1980, meski
total angka impor udang AS menurun, khusus untuk impor udang tanpa kepala,
justru meningkat 12% menjadi 139 juta pounds. Persis pada momen itu, negara
AS, Jepang, dan Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE (yang terdiri dari 12 negara)
menjadi tiga pengimpor udang terbesar di dunia.74
Ketiga pasar utama udang dunia itu, tercatat menjadi pengonsumsi 45% dari
seluruh panen udang dunia pada 1982. Enam tahun kemudian (1988), jumlah
konsumsi tersebut meningkat lagi menjadi 49% dari seluruh panen udang dunia
(lihat Tabel 1). Dari total 49%, AS dan Jepang mengimpor sebanyak 90,3 kiloton
udang black tiger, sementara MEE sebesar 271,3 kiloton.75 Dengan kata lain,
aktivitas perdagangan udang di ketiga pasar itu telah mendongkrak kenaikan
jumlah produksi udang itu sendiri—baik itu untuk udang tangkapan laut
maupun udang tambak. Adanya kenaikan produksi dan perdagangan udang,
telah memberi peluang negara berkembang untuk menambah pendapatan dan
sekaligus lapangan kerja.76

74
Substansi dua paragraf ini diambil dari: NOAA/NMFS Developments. 1981. Shrimp 1980: Consumption Is Up in a
Difficult Year . 6. Japan.
75
Vondruska, John. 1991. “World Shrimp Situation 1990: Effect on Southeast Harvesting.” NOAA
Technical Memorandum NMFS-SEFC 294.
76
Keithly Jr., Walter R., and Y. Song. 2004. “A Review of World Shrimp Production and Trade: 1980-93.” Pp. 499–
525 in Proceedings of the 48th Gulf and Caribbean Fisheries Institute. Lousiana: Aqua Docs.

40
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

b . T a m b a k Ya n g D i p e r l u a s , T a m b a k Ya n g “ D i p e r d a l a m ”
Sebagai negara berkembang, Indonesia ikut berupaya untuk meningkatkan
produksi udang. Pada 1980, produksi udang—baik itu hasil tangkapan maupun
tambak—di Indonesia telah menghasilkan 314 juta pounds. Kemudian produksi
ditingkatkan lagi, sehingga hasilnya mengalami total penambahan hingga 736
juta pounds pada 1993. Sebagian besar peningkatan tersebut ditopang dengan
cara mambangun budidaya tambak pada awal 1980. 77 Apalagi pemerintah
sempat mengeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 39 Tahun 1980 tentang
larangan penggunaan trawl di perairan Indonesia. Keputusan itu membuat
peningkatan produksi udang dari tangkapan laut menjadi tidak memungkinkan.
Setelah adanya KEPPRES, hasil tangkapan laut di Indonesia, termasuk udang,
merosot drastis pada 1982. Persis pada momen itu pula pemerintah mendorong
sektor swasta untuk menanamkan modal di sektor pertambakan udang. Momen
ini dikenal sebagai fase ekstensifikasi dan intensifikasi tambak. Ekstensifikasi
dilakukan untuk mengeksploitasi area baru, terutama area sawah tadah hujan
yang dianggap memiliki produktivitas rendah. Sementara intensifikasi dilakukan
di wilayah yang industri tambaknya telah berkembang. Pemerintah kemudian
mendorong intensifikasi melalui program Intensifikasi Tambak (INTAM) yang
diterapkan di 11 provinsi.78
Pada periode 1984-1989, pemerintah Indonesia memasukkan INTAM ke dalam
program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) IV. Fokus program tersebut adalah
memaksimalkan budidaya tambak untuk menutup kekurangan produksi udang
windu (Black Tiger) secara nasional. Apalagi dari tahun ke tahun, permintaan ekspor
udang windu memang makin meningkat pesat. Dalam catatan Rifqi Jamali (2012),
Persis pada masa INTAM banyak petambak di Sayung mulai mengganti komoditas
mereka. Semula mereka melakukan budidaya ikan bandeng, kemudian diubah menjadi
budidaya udang windu.
Pengembangan tambak butuh banyak infrastruktur penunjang. Karena itu,
pemerintah membangun beberapa infrastruktur—baik itu yang menggunakan
anggaran negara maupun dana dari luar negeri. Contoh dana luar negeri adalah
kredit Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) untuk proyek
pengembangan budidaya ikan air payau atau The Brackishwater Aquaculture

77
Keithly Jr., Walter R., and Y. Song. 2004. “A Review of World Shrimp Production and Trade: 1980-93.” Pp. 499–
525 in Proceedings of the 48th Gulf and Caribbean Fisheries Institute. Lousiana: Aqua Docs.
78
Meliputi Provinsi Aceh, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Lihat:
Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production in Indonesia.” in Proceedings Of The Shrimp
Culture Industry Workshop , edited by W. G. Yap. Jakarta: Direktorat Bina Produksi.

41
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Development Project (BADP). Selain itu, ada pendanaan dari Bank Dunia untuk
proyek layanan dukungan perikanan atau Fisheries Support Services Project (FSPP).
Tahap pertama BADP berlangsung pada 1983-1984 dan berakhir pada 1989-1990.
Dana BADP digunakan untuk (1) pembangunan dan rehabilitasi irigasi saluran
suplai air untuk 12,140 hektare tambak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur; (2) pembangunan lima tempat pembenihan udang berkapasitas masing-
masing 40 juta benih/tahun; (3) perluasan tambak; dan (4) pemberian kredit. Tahap
kedua, BADP fokus untuk esktensifikasi tambak di Aceh, Sumatera Utara, Riau,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahap kedua,
mulai terdapat pelibatan swasta berupa Perusahaan Inti Rakyat (PIR): Perusahaan
diposisikan sebagai inti, sedangkan para petambak adalah plasma.79
Skema pendanan FSSP dikerjakan mulai 1987/1988 dan berakhir pada 1994/1995.
Ada beberapa bentuk kegiatan dalam skama FSSP. Pertama, intensifikasi produksi
udang pada 18.000 hektare lahan tambak. Dalam kegiatan ini, pemerintah tidak
lagi membangun fasilitas komersial, tapi membuat dan memperbaiki saluran
irigasi, melakukan penyuluhan, dan membentuk perusahaan inti.80 Bentuk kedua
program FSSP ialah motorisasi 26 unit kapal nelayan untuk menangkap ikan cakalang.
Bentuk kedua mengambil konsep PIR di daerah Maumere, Nusa Tenggara Timur
(NTT). Bentuk Ketiga adalah pembuatan zona pesisir percontohan di wilayah
pantai utara Jawa Tengah.
Program INTAM berbuntut panjang di daerah Sayung. Yang persis mengikuti
di belakang pelaksanaan program tersebut adalah soal pergeseran penghidupan
warga. Ada perubahan dari semula bertambak sebagai pekerjaan sampingan,
menjadi ladang penghidupan utama pada 1980an. Perubahan itu didorong pula
oleh fakta, sebagian petani di Sayung pernah menjadi buruh tambak di desa
lain. Mereka sudah punya pengetahuan soal budidaya tambak. Alhasil tidak
terlalu sulit bagi mereka untuk mengubah penghidupan dari bertani menjadi
bertambak. Sementara bagi para pemilik sawah, keberadaan INTAM mendorong

79
Satu unit tempat pembenihan udang terletak di Jawa Barat, dua unit di Jawa Timur, satu unit di Aceh,
dan satu unit lagi di Sulawesi Selatan. Lihat: Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production
in Indonesia.” in Proceedings Of The Shrimp Culture Industry Workshop, edited by W. G. Yap.
Jakarta: Direktorat Bina Produksi.
80
Pada tahap pertama, program intensifikasi produksi udang dikerjakan di Aceh seluas 5.000 hektare,
di Sulawesi Selatan seluas 11.000 hektare, dan di Sulawesi Tenggara seluas 2.000 hektare. Dalam
pelaksanaannya, skema FSSP memungkinkan pula adanya pendanaan bagi perusahaan swasta yang
bersedia menjadi perusahaan inti. Tugas perusahaan inti ialah menyediakan bimbingan, masukan
teknis, dan menjadi penjamin (50%) dari pinjaman bank kepada petambak untuk disalurkan melalui
Bank Rakyat Indonesia (BRI). Lihat: Ibid.

42
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

mereka untuk mengubah sawah menjadi tambak. Kondisi itu terekam dalam
catatan Ahmad Asrofi (2017).
Menurut Asrofi (2017), sepanjang tahun 1990-1993, banyak sekali penduduk
Desa Bedono mengubah sawah menjadi tambak.81 Namun menurut Asrofi, program
INTAM bukan satu-satunya alasan warga. Pasalnya, beberapa warga juga menilai
kesuburan sawah sudah menurun, karena faktor masuknya (infiltrasi) air asin ke
sawah. Ada pula yang merasa tambak jauh lebih menjanjikan secara ekonomi.
Namun demikian, walau terdapat beberapa alasan, tampak bahwa keberadaan
program INTAM memang menjadi salah satu pemicu perubahan sawah menjadi
tambak di Desa Bedono.
Kondisi serupa terjadi pula di Desa Sriwulan. Sejak adanya INTAM, beberapa
petani acap menambah sumber penghidupan dari aktivitas tambak udang windu
dan ikan bandeng. Bahkan tidak sedikit pula warga yang langsung mengubah
sepenuhnya sumber penghidupan: dari sawah (pertanian) menjadi tambak
udang windu (udang bago). Banyak dari mereka yang belajar bertambak kepada
petambak lain terlebih dahulu. Apalagi dalam program INTAM, terdapat konsep
PIR yang memungkinkan adanya petambak inti (biasanya perusahaan) sebagai
pemberi masukan teknis kepada petambak plasma. Menurut Asrofi (2017), persis
pada kurun waktu ini, sebagian warga Sayung mulai melakoni penghidupannya
secara turun-temurun menjadi petambak.
Pergeseran berikutnya tentang migrasi orang ke Sayung. Sebagian dari
mereka bekerja sebagai buruh tambak. Ada pula yang datang untuk sekadar
menyewa petak tambak di Sayung. Kemudian ada juga yang datang untuk
menyewa petak tambak dan sekaligus bermukim di Sayung. Salah satu contoh
keluarga yang datang dan kemudian bermukim adalah Kasmadi dan Sukati.
Mereka memboyong seluruh keluarga sejauh 18 kilometer dari pusat Kabupaten
Demak ke Desa Bedono. Kasmadi mengikuti jejak kakak dan adiknya yang sudah
lebih dulu pindah. “Saking senangnya, kepincut, karena dulu daerah ini (Bedono–
penulis) makmur bukan main,” kata Kasmadi kepada Clara Rondonuwu pada 2010.82

81
Asrofi, Akhmad, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko. 2017. “Strategi Adaptasi Masyarakat
Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah
(Studi di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah).” Jurnal Ketahanan
Nasional 23(2): 125–44.
82
Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).

43
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Tabel 2: Perubahan Luas Tambak di Kecamatan Sayung 1990-2000.


Sumber: Kecamatan Sayung Dalam Angka

Luas Lahan Tambak (Ha)


Desa di Kecamatan Sayung Perubahan Luas Tambak
1990 2000

Sidogemah 30,03 80 49,97

Sriwulan 125,36 197,2 71,84

Bedono 452,78 544 91,22

Timbulsloko 174,16 147,2 0,04

Tugu 85,14 85,1 -0,04

Sidorejo 30,14 60 29,86

Banjarsari 138,78 138,8 0,02

Surodadi 235,04 235,1 0,06

Jumlah 1271,43 1514,4 242,97

Tujuan utama program INTAM di Jawa Tengah adalah intensifikasi. Namun


dalam praktiknya, meliputi pula ekstensifikasi (perluasan) tambak di daerah
pesisir Sayung. Karena itu, program INTAM telah mendorong pula pembukaan
secara besar-besaran lahan tambak di wilayah pesisir Sayung. Alhasil luas
lahan-lahan tambak terus bertambah, termasuk di wilayah yang semula sawah.
Misalnya saja di Desa Sriwulan. Semula di Desa Sriwulan tidak banyak terdapat
tambak. Jika pun ada, tambak di Sriwulan lebih spesifik untuk tambak bandeng.
Namun sejak adanya program INTAM, tambak-tambak udang terus bermunculan
di Desa Sriwulan (lihat tabel di atas).
Menurut Rondonuwu (2010), kondisi berbeda terjadi di Desa Sidogemah.
Sejak 1980an, beberapa petak sawah di Sidogemah telah tercemar air laut.
Kondisi itu membuat para petani sering gagal panen padi dan palawija. Oleh
sebab itu, sebagian penduduk Sidogemah tak punya pilihan lagi selain
mengubah lahan sawah menjadi tambak bandeng. Setelah adanya program
INTAM, tambak-tambak bandeng tersebut banyak yang berubah menjadi
tambak udang. Nahasnya, seperti di Desa Sidogemah, perluasan tambak acap
tidak hanya mengorbankan sawah, tapi termasuk hutan mangrove. Padahal di
dalam hutan mangrove, terdapat habitat udang, kepiting, ikan kecil, dan biota
lain yang hidup di daratan berlumpur.

44
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

Peralihan mangrove menjadi tambak, terjadi bersamaan dengan peralihan


sawah menjadi tambak. Pada saat itu, harga jual udang windu memang sangat
tinggi. Hal itu membuat banyak pihak berkeinginan untuk memperluas tambak
udang ke arah darat (mengubah sawah) dan sekaligus ke arah laut (mengubah
hutan mangrove). Di pesisir Sayung, perubahan hutan mangrove menjadi
tambak mulai berlangsung sejak 1990an. Beruntung, kehilangan banyak hutan
mangrove dapat segera dihentikan dan banyak dilakukan upaya penanaman
kembali. Tidak heran, pada 2015, delapan desa di Kecamatan Sayung masih
tercatat memiliki sumberdaya mangrove.
Luasan wilayah mangrove di Kecamatan Sayung cukup beragam. Desa
pemilik hutan mangrove terbanyak adalah Desa Bedono, seluas 154,46 hektare.
Kemudian disusul oleh Desa Surodadi sebanyak 111,96 hektare, Desa Timbulsloko
seluas 99,42 hektare, Desa Sidogemah seluas 32,75 hektare, Desa Banjarsari
seluas 32,32 hektare, Desa Purwosari 16,46 hektare, Desa Sidorejo 7,91 hektare,
dan Desa Sriwulan sebanyak 0,51 hektare. Bahkan sepanjang tahun 2009-2019,
area mangrove di Desa Bedono justru mengalami penambahan sebanyak 74,76
hektare: dari semula 122,58 hektare menjadi 197,19 hektare.

c . M e n j a di P e m a s o k U t a m a
Suntikan dana utang ADB dan Bank Dunia “mujarab”. Tidak menunggu lama,
produksi udang tambak di Indonesia melesat cepat dari 27.600 ton pada 1983,
menjadi 82.573 ton pada 1988. Bersamaan dengan itu, perolehan udang
tangkapan laut juga meningkat dari 149.800 ton pada 1983, menjadi 236.255 pada
1988. Alhasil, ketika petambak Taiwan bangkrut akibat virus yang menyerang
tambak pada 1988, pemerintah Jepang mantap untuk menggeser permintaan
impor udang ke Indonesia. Tak ayal, pada 1987, capaian ekspor udang Indonesia
meningkat sampai sekitar 44.270 ton atau senilai USD 352,4 juta. Angka tersebut
menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 31,5% dari tahun 1983.
Peningkatan ekspor udang ialah keuntungan besar bagi negara dalam bentuk
devisa. Apalagi pada 1987, ekspor udang merupakan 74,2% dari total ekspor
perikanan (140.390 ton) Indonesia. Dari situ negara mendulang kekayaan senilai
USD 475,2 juta. Sejak saat itu Indonesia merupakan salah satu pemasok utama
udang ke Jepang. Capaian itu dimungkinkan oleh beberapa keadaan: seperti (1)
sumber daya alam Indonesia luas; (2) ketersediaan buruh murah melimpah; (3)
iklim Indonesia kondusif (bisa dilakukan sepanjang tahun) untuk budidaya udang;
dan (4) kemudahan membuat pembenihan skala rumahan.
Indonesia banyak mengekspor dalam bentuk pengolahan udang beku dan
tanpa kepala. Bentuk udang semacam itu kesukaan orang-orang AS, sehingga

45
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

di sana udang dari Indonesia sangat diminati. Oleh sebab itu, meski ekspor
udang Indonesia ke AS relatif kecil pada 1980an, namun trennya tetap meningkat
dengan rata-rata mencapai 41%/ tahun. Keadaan itu terus berlanjut hingga
dekade 1990an. Pada 1990, total produksi udang Indonesia mencapai 120.000
ton, dari sebelumnya hanya 27.600 ton pada 1983. Tidak heran, di tataran
dunia, saat itu Indonesia memang termasuk pemasok terbesar udang tambak.83
Di Rejosari, seorang bayi tumbuh bersamaan dengan waktu ketika udang
windu dari Indonesia mengalir ke Jepang dan AS. Bayi itu bernama Wolulikur,
anak Haji Fulan. Keluarga Haji Fulan hidup serba berkecukupan dari hasil
bertambak. Dari situ pula keluarga Fulan mampu pergi haji ke tanah suci. Di
Rejosari, Haji Fulan cukup terkenal sebagai pemilik tambak udang cukup luas.
Tambak Haji Fulan ada dua petak, masing-masing seluas 2-3 hektare.
Pada dekade 1990an, ketika Wolulikur masih anak-anak, memang sudah ada
banyak tambak udang di Rejosari. Wolulikur bilang, banyak saudara ayahnya
ikut bertambak di sana. Orang-orang di Dukuh Pandansari, tempat di mana
perahu Wolulikur mangkal, mengenal Haji Fulan sebagai petambak kaya.
Sementara sang Ibu, lahir dan besar di Dukuh Tambaksari. Menurut Wolulikur,
tak beda dengan saudara ayahnya, paman dan bibi Wolulikur dari pihak ibu
juga petambak. Bedanya, jika saudara dari ayah bertambak di Rejosari, saudara
dari ibu di Tambaksari.84
“Nek ndisik ya tambake ana galengane, ora mung waring-waring tok
ngono kuwi,” kata Wolulikur sembari menunjuk tambak dari atas perahu,
sepulang kami dari Rejosari dengan cara menumpang perahu miliknya.85

Keluarga Haji Fulan merupakan potret kehidupan sukses dari aktivitas


bertambak udang. Dia mapan secara ekonomi dan mampu pergi naik haji. Potret
semacam itu, cukup menarik minat penduduk Sayung lainnya ikut bertambak
udang windu. Minat tersebut, didukung kondisi tanah pesisir Sayung yang
subur untuk tambak. Bahkan menurut penggolongan kesuburan tambak, lahan
tambak di pesisir Sayung termasuk kelas I.86 Jenis tambak kelas I terdiri dari

83
Vondruska, John. 1991. “World Shrimp Situation 1990: Effect on Southeast Harvesting.” NOAA
Technical Memorandum NMFS-SEFC 294.
84
Wawancara dengan Wolulikur, 25 Januari 2022.
85
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis; “Kalau dulu tambaknya ada pematangnya, bukan hanya
jaring-jaring seperti itu.” Pematang tambak yang disebut Wolulikur telah hilang akibat abrasi.
86
Aditjondro, George Yunus, Eris Sabti Rahmawati, Euis Laelasari, and Mathori A. Elwa. 2003.
Kebohongan-Kebohongan Negara Perihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup Nusantara. Vol. 412.
17th ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

46
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

tambak yang berada di tepi pantai. Tambak kelas II berada di antara pantai
dan kampung. Sementara tambak kelas III berada persis di dekat kampung.

Tabel 3: Ekspor udang windu pada 1980an ke berbagai negara. Sumber: Untung Wahyono, 1990.

Negara Tujuan 1983 1984 1985 1986 1987 1988 Rata-rata ekspor per tahun

Jepang 20.963 21.608 23.965 26.360 29.665 40.387 14,54

Hongkong 2.197 2.085 1.627 1.885 2.548 2.416 3,75

Singapura 1.978 2.875 3.959 3.939 4.558 4.859 20,97

Malaysia 78 392 210 447 988 655 111,37

Australia 12 130 87 183 200 509 244,81

Amerika Serikat 429 519 481 546 1.091 1.724 36,99

United Kingdom 39 35 60 304 338 350 97,16

Belanda 346 228 189 798 1.327 1.886 76,16

Perancis 15 28 131 372 675 1.493 167,37

Jerman 79 67 105 182 360 312 39,85

Belgia dan
20 56 127 608 1.375 1.570 156,03
Luxemburg

Lainnya 10 1 39 476 1.140 383 738,47

Total 26.166 28.025 30.980 36.101 44.267 56.552 16,91

Kualitas ikan bandeng dan udang bago dari tambak kelas I memang lebih
baik daripada kelas II dan kelas III. Dari segi rasa, ikan dan udang dari tambak
kelas I lebih segar, tidak terlalu amis, dan tidak berbau lumpur. Berbeda dengan
ikan dari tambak kelas III yang sering berbau lumpur. Bersamaan dengan itu,
permintaan ekspor udang windu terus meningkat sejak 1980an (Lihat Tabel 3).
Tak ayal, kurun waktu 1980–1990an, dikenal sebagai “booming udang windu”.

d. P e r g e r a k a n P e n du k u n g T a m b a k
Program INTAM pada PELITA IV telah memicu “Booming udang windu”.
Kondisi tersebut menyulut penanaman modal swasta pada sektor pendukung

47
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

budidaya tambak. Sejak saat itu bermunculan berbagai fasilitas pembenihan,


pabrik pakan udang, penjualan pestisida, gudang pembekuan udang, hingga
suplai peralatan tambak. Pada 1990, ada sekitar 350 perusahaan di Indonesia
yang terdaftar sebagai perusahaan produksi tambak. Luas lahan yang digarap
mencapai kurang lebih 25.900 hektare. Perusahaan pertambakan skala besar
sangat mudah diidentifikasi. Mereka biasanya menggunakan teknologi intensif,
sehingga mampu memproduksi hasil tambak rata-rata 5 ton/hektare per tahun.
Pada waktu yang sama (1990), ada 92 perusahaan pembenihan udang swasta
yang terdaftar. Jumlah tersebut belum termasuk 15 fasilitas pembenihan milik
pemerintah. Tempat pembenihan swasta dan pemerintah mampu memproduksi
2,6 miliar benih per tahun. Pada sektor bisnis pakan udang, saat itu (1990)
terdapat paling tidak 19 pabrik yang mampu memproduksi pelet udang dalam
berbagai jenis. Di samping itu, masih ada beberapa bentuk industri pendukung
pertambakan lain seperti industri atau pabrik pompa air, tempat pembekuan,
dan kincir air. Semua sektor usaha dalam bisnis pertambakan tersebut tumbuh
bersamaan dengan “Booming udang windu.”87
Di Kecamatan Sayung, “Booming udang windu” tidak hanya soal kedatangan
investor atau pertumbuhan infrastruktur penunjang bisnis. Adanya “Booming
udang windu”, yang berarti berlipatnya jumlah produksi udang, ikut mengubah
pola penjualan. Semula para petambak di Sayung hanya menjual hasil tambak
seperti bandeng ke pasar terdekat. Namun sejak mencuatnya “Booming udang
windu”, para petambak mulai menjual hasil tambak sampai ke Kota Semarang.
Perubahan pola penjualan tersebut turut menumbuhkan sektor transportasi
pengangkutan hasil tambak di pesisir Sayung.

e . K e h i du p a n M e r o s o t
Beberapa bagian sebelumnya merupakan potret menyenangkan dari adanya
“Booming udang windu.” Namun kini, cerita menyenangkan semacam itu telah
berakhir. Yang sekarang tersisa adalah cerita tidak menyenangkan tentang
kehidupan dan penghidupan warga. Adanya perluasan tambak untuk memenuhi
kebutuhan udang dunia, punya konsekuensi tersendiri di Sayung. Misalnya,
perluasan tambak menjadi pintu masuk air laut ke daratan. Lahan sawah yang
pernah menjadi sumber kemakmuran, kini banyak yang tidak bisa ditanami
karena infiltrasi air laut. Lahan tambak yang pernah menjadi kejayaan, kini
sudah kehilangan pematang. Akibatnya, lahan tambak sudah sulit untuk digunakan lagi.

87
Wahyono, Untung. 1989. “Status of Shrimp Production in Indonesia.” in Proceedings of The Shrimp
Culture Industry Workshop , edited by W. G. Yap. Jakarta: Direktorat Bina Produksi.

48
Perjumpaan I: Tanam Bambu Tumbuh Kerang

Kami singgah di kampung kelahiran Wolulikur, Dukuh Rejosari. Saat itu,


Wolulikur berdiri di dekat mesin perahu yang sudah dia matikan. “Rumahku
dulu di situ,” telunjuk Wolulikur menuding ke sisi utara perahu, ke arah yang
sulit kami pahami. Yang ditunjuk Wolulikur adalah perairan yang permukaannya
dipenuhi ranting-ranting mangrove yang mengering. Di sekitar perahu, pohon
mangrove tampak berjajar rapat. Di tengah kepungan mangrove tersebut, kami
mendengar gemuruh dari arah laut. Kata Wolulikur, gemuruh itu adalah angin
yang datang membawa ombak. Kami coba menenangkan diri.
Wolulikur lanjut bercerita, “di sini dulu jalan, di bawah perahu ini.” Pelan-
pelan, kami mulai mendapat gambaran situasi kampung masa kecil Wolulikur.
“Kalau sore saya ngaji di masjid ini,” kata Wolulikur sembari ganti menunjuk
ke arah sisi selatan perahu. Kini masjid sudah setengah tenggelam, hanya tersisa
bentuk jendela kayu yang masih sedikit terlihat. Rumah atau bangunan lain di
sekitar masjid sudah tidak tampak. Semakin banyak Wolulikur bercerita, makin
jelas kami mendapat gambaran atas kampung yang pernah rejo dan sari itu.88
Kini Wolulikur bekerja sebagai ojek perahu. Dia banyak mengantar para
pemancing dan peziarah ke makam Syekh Mudzakir. Sesekali Wolulikur kerap
mengantar peneliti yang butuh mendatangi kampung masa kecilnya. Pendidikan
formal Wolulikur terputus selepas SD, setelah Haji Fulan tidak lagi mampu
membiayai sekolah anak-anaknya. Tambak keluarga dan rumah Haji Fulan
tenggelam akibat abrasi. Meski begitu, sampai hari ini keluarga Wolulikur masih
memegang sertifikat rumah dan tambak. “Tidak akan kami jual tanahnya. Tapi
sebenarnya dipegang juga sertifikatnya, tetap tidak ada gunanya,” kata
Wolulikur sembari tergelak. Sekarang keluarga Wolulikur bermukim di Desa
Sidogemah—sebuah daerah yang sering disebut Senik Baru.89
Di Desa Sriwulan, Telungpuluhsiji dan Telungpuluh punya cerita soal abrasi.
Kata mereka, di Sriwulan ada sekitar tiga kilometer daratan berupa sawah dan
ladang yang hilang, berubah menjadi laut. Dulu daratan tersebut merupakan
pemisah antara bibir pantai dengan kampung. Sebelum menjadi lautan, sawah
dan ladang tersebut sempat lebih dulu berubah menjadi tambak. “Kene ndisik
dadah sawah, dados tambak kabeh (Di sini dulu tempat kerja sawah, jadi
tambak semua – terjemahan penulis),” kata Telungpuluh.90

88
Wawancara dengan Wolulikur, 25 Januari 2022.
89
Substansi dua paragraf Wawancara dengan Wolulikur, 25 Januari 2022.
90
Wawancara dengan Telungpuluhsiji dan Telungpuluh, 20 Oktober 2021.

49
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Kami memeroleh cerita serupa ketika Patlikur mengantar kami berkeliling


perairan Sayung. Patlikur juga banyak bercerita tentang daratan yang berubah
menjadi laut, termasuk ketika tiba di daerah Tambaksari. Ketika sampai sana,
Patlikur kesulitan memarkir perahunya di sisi barat dermaga. Beberapa tembok
bekas bak mandi yang dilapisi keramik masih berdiri di bawah permukaan air.
Patlikur harus ekstra hati-hati. Jika tidak, baling-baling mesin perahu bisa
patah tersangkut puing-puing tembok di bawah sana. Sudah tidak ada lagi
daratan tempat untuk berpijak, selain dermaga yang memanjang dari ujung
Dukuh Pandansari. Ujung dermaga itu adalah Makam Syekh Mudzakir, ulama
yang dulu bersyiar di wilayah ini. (*)

50
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

PERJUM PAAN II:


Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

“Itu siklus (meninggikan rumah) ... Yang samping itu rata-rata 5 tahun sampai
7 tahun naik. Roto-roto 5 tahun sudah akan hilang (rumahnya). Roto-roto 5
tahun sudah tenggelam. Itu saya naikkan yang sana bulan 5 tahun kemarin.
Tahun 2020 sudah naik. Ini aja udah naik di sepatu-sepatu itu, pas rob itu.”
Telungpuluhtelu, warga Desa Sriwulan

Gambar 3: Peta Sebaran Banjir Rob di Pesisir Semarang-Demak. Sumber: Laporan Investigasi Banjir 23-25
Mei 2022, Maleh Dadi Segoro (2022).

Peristiwa banjir rob pada 23 Mei 2022 termasuk salah satu momen banjir
paling besar dalam sejarah Kota Semarang, bahkan di Provinsi Jawa Tengah.
Momen banjir rob tersebut, tidak hanya menggenangi Kota Semarang, tapi

51
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

termasuk daerah-daerah lain seperti pesisir Sayung, Kabupaten Demak. Berikut


ini sebaran banjir rob di Kota Semarang dan Kabupaten Demak pada Mei 2022.
Banjir rob Mei 2022 mengakibatkan tanggul di Kawasan PT Lamicitra
Nusantara jebol pada pukul 14.30 WIB. Akibat tanggul jebol, ketinggian banjir
rob di salah satu daerah kawasan Industri Semarang tersebut makin parah lagi.
Beberapa jam kemudian, air laut mulai merangsek masuk ke permukiman warga
di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Menurut laporan
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Agus Nugroho Luhur P,
penyebab banjir rob di pesisir Demak ialah karena ketinggian air pasang dan
adanya gelombang laut berkategori sedang (1,25–2,5 m).

Gambar 4: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 1985. Sumber: Diolah oleh Tim
penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (1985).

Banjir rob bukan hal baru bagi warga Sayung, Kabupaten Demak. Mereka
sudah sering mengalami penderitaan akibat rob, paling tidak sejak pertengahan
tahun 1980. Warga Sayung punya anggapan, air mulai naik semenjak adanya
pembangunan di Tanjung Mas Semarang. Sejak saat itu, daratan di pesisir
Sayung mulai terkikis: jarak antara pantai dengan permukiman berubah drastis.

52
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

Semula jarak permukiman ke bibir pantai adalah 3,5-4 kilometer. Namun saat
ini, permukiman sudah menjadi bibir pantai itu sendiri. Perubahan pesisir
Demak tahun 1985-2022, bisa disimak dari peta-peta yang tertera di bab ini.

Gambar 5: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 2003. Sumber: Diolah oleh tim
penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (2003).

Pada tahun 2000, sebuah dusun bernama Senik di Desa Bedono tenggelam
akibat tergerus abrasi. Bahkan pada 2005, warga di Senik sampai bedol desa
(relokasi) ke Dukuh Badong di Desa Sidogemah dan Dukuh Daleman di Desa
Gemulak. Nahasnya, cerita tenggelamnya desa di Sayung tidak berhenti di
Dukuh Senik. Dukuh Timbulsloko yang berada di Desa Timbulsloko juga mulai
tenggelam. Hari ini kondisi Dukuh Timbulsloko sudah tidak memiliki akses jalur
darat. Warga Timbulsloko hidup di atas laut dengan meng-gladak rumah dan
membangun jembatan dari papan kayu sebagai jalan desa.

53
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 6: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 2012. Sumber: Diolah oleh Tim
Penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (2012).

Namun sayangnya, penderitaan warga Sayung yang tergerus abrasi seakan


terus terlupakan. Banyak pemberitaan media cenderung lebih suka menyorot
momen-momen lain. Misalnya saja momen banjir rob di Semarang, proyek
pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD), atau peristiwa
tanggul jebol di daerah Semarang (yang setiap tahun terjadi). Sedangkan porsi
pemberitaaan tentang kehidupan warga Sayung cenderung sedikit. Padahal hari
ini, sudah banyak kampung dan pekerjaan warga Sayung yang hilang.

54
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

Gambar 7: Peta penggunaan lahan pesisir Kecamatan Sayung tahun 2022. Sumber: Diolah oleh Tim
Penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (2022).

1. Banjir A kiba t Tanggul Jeb ol


Pada 23 Mei 2022, sekitar pukul 14.30 WIB, ruas tanggul di area Pelabuhan
Tanjung Emas Semarang jebol. Ruas tanggul jebol itu berada di belakang
kawasan pabrik PT Lamicitra Nusantara. Dua wilayah, Kelurahan Tanjung Mas
dan Kelurahan Bandarharjo, terendam banjir setinggi pinggang orang dewasa.
Menurut salah satu buruh PT La Citra Frindo, air datang berangsur-angsur
menjadi deras dan lama-lama menjadi sepinggang. Sejumlah video viral beredar
di berbagai media sosial; memperihatkan ratusan atau barangkali ribuan buruh
pabrik berbondong-bondong meninggalkan area kerja mereka. Para buruh itu
tampak berjalan menembus genangan air, sembari menyunggi tas dan sepatu.
Beberapa di antaranya tampak menuntun sepeda motor yang sudah mogok.
Seluruh RW di Kelurahan Tanjung Mas terendam air laut. Bahkan rumah-
rumah yang belum pernah kebanjiran juga tergenang. Bahkan di RW 16, tinggi
air melebihi jok sepeda motor. Air mulai datang pada pukul 11.00 WIB, mulai
meninggi pada pukul 13.00, hingga puncaknya paling tinggi pada pukul 15.00
WIB. Biasanya, kata warga, jika ada rob (banjir dari pasang naik air laut), paling

55
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

tinggi hanya sekitar 30 sentimeter. Tetapi pada momen itu, ketinggian banjir
mencapai 50-70 sentimeter. Beberapa anak tampak bermain air, tetapi para
orang tua khawatir akan ancaman penyakit.91
Beberapa jam setelah kejadian tanggul jebol di Pelabuhan Tanjung Mas, air
laut mulai masuk ke permukiman warga Desa Sriwulan. Warga yang terdampak
banjir rob mengungsi di dua tempat: Masjid Sriwulan sebanyak kurang lebih
25 jiwa dan di panti asuhan sejumlah kurang lebih 45 jiwa. Di Balai Desa
Sriwulan, terdapat dapur umum yang diinisiasi BPBD Demak dan Palang Merah
Indonesia (PMI). Selain itu, ada pula dapur umum mandiri di tiga tempat yakni
RW 02, RW 03, dan RW 05.

Gambar 8: Banjir di Desa Sriwulan (kiri) dan antrean air bersih di tengah kondisi banjir di Desa Sriwulan.
Sumber: demakkab.go.id.

Dinas Kesehatan Kabupaten Demak ikut membantu saat rob menerjang Desa
Sriwulan. Dinas tersebut menyalurkan bantuan air bersih, pelayanan kesehatan,
dan logistik. Menurut Agus Nugroho Luhur P, Kepala BPBD, penyebab banjir
rob di pesisir Demak adalah tingginya air pasang dan adanya gelombang laut
dalam kategori sedang (1,25–2,5 meter). 92 Belum selesai dengan rob akibat

91
Rob setinggi 20 Sentimeter juga menerjang RW 01, Kelurahan Bandarharjo. Lurah Bandarharjo, Emi
Setiana Estu Handayani mengatakan “Ini memang tinggi-tingginya dari RT 01 sampai RT 09, mas.”
Lihat: Septiadi, Baskoro. 2022. “Tanggul Jebol Karena Rob, Kawasan Tanjung Emas Semarang
Dikepung Banjir Artikel Ini Telah Terbit Di: https://Radarsemarang.Jawapos.Com/Berita/Jateng/
Semarang/2022/05/23/Tanggul-Jebol-Karena-Rob-Kawasan-Tanjung-Emas-Semarang-Dikepung
-Banjir/Copyright © RADARSEMARANG.ID.” Radarsemarang.Jawapos.Com. Retrieved June 24, 2022
(https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/semarang/2022/05/23/tanggul-jebol-karena-rob-
kawasan-tanjung-emas-semarang-dikepung-banjir/).
92
Kominfo. 2022b. “Dampak Tanggul Jebol Dan Rob Genangi Wilayah Sayung.” Diskominfo.Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://dinkominfo.demakkab.go.id/berita/detail/dampak-tanggul-jebol-
dan-rob-genangi-wilayah-sayung).

56
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

tanggul jebol di Pelabuhan Tanjung Mas, warga Sriwulan dikagetkan lagi dengan
banjir rob akibat dua tanggul jebol di Kali Menyong.
Dua tanggul jebol memicu banjir setinggi pinggang orang dewasa atau 1,5
meter. Imbasnya, banyak rumah dan kendaraan warga terendam. Pada waktu
bersamaan, listrik juga padam sehingga menyulitkan warga beraktivitas dan
mendapat air bersih. Warga Sriwulan mengungsi di rumah-rumah warga yang
kondisinya tinggi dan di tempat ibadah. Daerah paling parah adalah RW 08,
meliputi 76 RT dengan jumlah penduduk sekitar 2.700 KK atau 10.000 jiwa.93
Salah satu keluhan korban banjir rob di Sriwulan adalah sulit mendapat air
bersih. BPBD Kabupaten Demak sempat memberikan bantuan air bersih bagi
warga terdampak. BPBD mengirimkan sebanyak enam truk tangki (satu tangki
di antaranya sumbangan PDAM Demak) air bersih berkapasitas masing-masing
5.000 liter. Warga mengambil air dari truk tangki menggunakan galon, jerigen,
dan ember besar. Hanya dalam hitungan menit, air bersih dari truk tangki ludes
dibawa pulang warga.94

2. Da ri Pe la buhan di Semara ng ke Sr iwulan di Demak


Wilayah Kabupaten Demak bagian utara langsung berbatasan dengan Laut
Jawa. Setiap tahun daratan utara Demak terus mengalami abrasi. Hal itu
membuat bentuk daratan di pesisir Demak berubah menjadi teluk kecil yang
menjorok ke daratan sejauh 1,85 km. Pada 2002, sudah terdapat 145,50 hektar
daratan yang terkikis abrasi. Tiga tahun kemudian (2005), jumlahnya meningkat
menjadi 758,30 hektar.95
Abrasi mengubah pola permukiman penduduk. Perubahan tersebut terjadi
bersamaan dengan adanya penurunan permukaan tanah atau amblesan tanah.
Misalnya saja di Desa Sriwulan. Dalam waktu 10 tahun (2003-2013), sudah
banyak rumah-rumah di Desa Sriwulan ambles. Pada 2009 tercatat sebanyak

93
Anon. 2022a. “10.000 Warga Desa Sriwulan Mengungsi Akibat Tanggul Jebol.” Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://demakkab.go.id/news/10000-warga-desa-sriwulan-mengungsi-
akibat-tanggul-jebol).
94
Kominfo. 2022a. “Air Bersih Susah Di Dapat Akibat Terkena Banjir Di Desa Sriwulan Sayung.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved May 27, 2022 (https://dinkominfo.demakkab.go.id/
berita/detail/air-bersih-susah-di-dapat-akibat-terkena-banjir-di-desa-sriwulan-sayung).
95
Lihat: (1) Sanjoto, Tjaturahono Budi, Sunarko, and Satyanta Parman. 2016. “Tanggap Diri Masyarakat
Pesisir Dalam Menghadapi Bencana Erosi Pantai (Studi Kasus Masyarakat Desa Bedono Kabupaten
Demak).” Jurnal Geografi 13(1):90–100; dan (2) Roswaty, Sefanya, Max Rudolf Muskananfola, and
Pujiono Wahyu Purnomo. 2014. “Tingkat Sedimentasi Di Muara Sungai Wedung Kecamatan
Wedung, Demak.” Diponegoro Journal of Maquares 3(2):129–37.

57
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

18 rumah dan 2013 sejumlah 17 rumah ambles. Pada gilirannya, rumah-rumah


tersebut merupakan rumah-rumah yang rutin terendam banjir rob.96
Sampai tahun 1991, Desa Sriwulan masih menjadi daerah pertanian. Banyak
orang luar datang dan bermukim di Desa Sriwulan, karena tertarik dengan
kondisinya yang masih asri. Beberapa orang tersebut tinggal di Perumahan
Pondok Raden Patah yang mulai dibangun pada 1989. Pembangunan perumahan
tersebut telah mengkonversi lahan pertanian menjadi permukiman seluas 44,68
hektare (11,11%). Pembangunan Perumahan Pondok Raden Patah berlangsung
dalam tiga tahap yakni tahap 1, tahap 2, dan tahap 3.
Lokasi tahap 1 terletak mulai dari depan Pondok Raden Patah, meliputi RW
03, 04, dan 05. Tahap 2 terdiri dari RW 06 dan RW 07. Sementara untuk tahap
3, hanya RW 08—paling ujung, di tepi laut. Lahan perumahan tersebut (tahap
1-3) merupakan bekas lahan persawahan dan tambak yang diuruk pengembang.
Semula lahan perumahan itu dimiliki Bupati Demak periode 2001-2006, Endang
Setyaningdyah. Kemudian pemilik lahan bekerja sama dengan Bank Tabungan
Negara (BTN) untuk pembangunan tahap 1 sampai 3.97
Kami mewawancarai salah satu warga Perumahan Pondok Raden Patah,
Telungpuluhtelu. Dia mengaku membeli rumah di sana melalui pemasaran Pak
Sukawi (Mantan suami Endang Setyaningdyah sekaligus Walikota Semarang). Ia
merasa senang ketika melihat perumahan itu masih asri, sehingga memutuskan
untuk langsung membeli. Telungpuluhtelu mulai tinggal di Sriwulan (Perumahan
Pondok Raden Patah) sejak 1991. Menurut penuturannya, pada saat itu kondisi
Sriwulan masih berupa daerah pertanian.

“1991 itu saya lihat di sini tu senang bu. Daerah pertanian depan itu padi,
trus tanaman sayuran masih hidup. Saya karna asli dari Jogja melihat
pertanian senang.”98

Namun, seiring berjalannya waktu, sawah-sawah di Sriwulan tergenang dan


berubah menjadi tambak. Beberapa tahun kemudian, tambak-tambak juga ikut
tergerus air laut yang semakin naik. Alhasil banyak tambak di Sriwulan hilang,
berubah menjadi laut.

96
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
97
Ghaffar, Abdul. 2019. “Menelusuri Pesisir Zona Dalam Tanggul Tol Laut Semarang-Demak.”
Takselesai.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://takselesai.com/2019/09/04/menelusuri-pesisir-
zona-dalam-tanggul-tol-laut-semarang-demak/).
98
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, 20 Oktober 2021.

58
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

Telungpuluhtelu menambahkan, sejak 5-10 tahun pertama bermukim di Desa


Sriwulan, dia sudah merasa air laut terus naik. Penyebab air laut naik, kata
Telungpuluhtelu, karena adanya pengembangan di Pelabuhan Semarang. Sejak
saat itu, banyak pohon pisang di Desa Sriwulan mati. Begitu pula yang terjadi
di Dusun Puputan dan Dusun Nyangkringan (RW 01 dan RW 02). Dahulu di
kedua dusun banyak tumbuh pohon kelapa. Namun lima tahun sejak adanya
pembangunan di pelabuhan, pohon-pohon di sana habis atau mati.
Warga Desa Sriwulan lain punya alasan sama. Menurut mereka, banjir rob
mulai menghantam daratan Sriwulan sejak adanya reklamasi di Tanah Mas,
Pantai Marina, Tanjung Emas, dan Terboyo. Semua lokasi tersebut terletak di
Kota Semarang. Sejak adanya reklamasi, lambat laun rob mulai menggerus
tanah-tanah di Sriwulan. Penggerusan tanah di Sriwulan mulai terasa sejak
1998. Imbas dari penggerusan tersebut adalah berubahnya daratan sejauh 2-5
kilometer menjadi lautan.99
Telungpuluhtelu punya ingatan cukup baik soal jarak antara perkampungan
dengan bibir pantai pada masa lalu. Menurutnya, dahulu Desa Sriwulan berjarak
sekitar 3,5-4 kilometer dari bibir pantai. Dalam jangka waktu 30 tahun, daratan
sejauh 3,5-4 kilometer itu telah hilang, berubah jadi laut. Ketika sudah banyak
daratan berubah menjadi lautan, banjir rob kian mendekat ke permukiman.
Sejak banjir rob masuk ke permukiman, warga mulai merasakan aneka
bentuk dampak buruk. Misalnya, warga Sriwulan jadi terpaksa harus terus
menaikkan lantai rumah dan jalan untuk menghindari genangan air rob. Bahkan
jangka waktu meninggikan lantai rumah dan jalan sudah mencapai 5-7 tahun
sekali. Menurut Telungpuluhtelu, warga yang tidak mampu meninggikan rumah
merasakan dampak lebih parah. Pasalnya, karena tidak mampu meninggikan
lantai rumah, maka warga tersebut dipaksa bertahan dengan kondisi rumah
yang selalu kebanjiran.

“Itu siklus (meninggikan rumah) itu saya lupa. Yang samping itu rata-rata
5 tahun sampai 7 tahun naik. Roto-roto 5 tahun sudah akan hilang
(rumahnya). Roto-roto 5 tahun sudah tenggelam. Itu saya naikkan yang
sana bulan 5 tahun kemarin. Tahun 2020 sudah naik. Ini aja udah naik
di sepatu-sepatu itu, pas rob itu.”100

Pada 1995, Kampung Tambaksari di Desa Bedono merasakan lebih dulu


momen abrasi. Bahkan pada 1999, karena terus menerus abrasi, hampir seluruh

99
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
100
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, 20 Oktober 2021.

59
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

penduduk Tambaksari terpaksa pindah ke Kampung Tambaksari Baru di Desa


Purwosari. Pada waktu itu, tak kurang dari 1.200 rumah terendam rob dan
382,8 hektare tambak hilang di Kecamatan Sayung. Di Desa Bedono saja,
terdapat paling tidak 110 hektare daratan yang tergenang air asin. Sementara
di Desa Sriwulan terdapat setidaknya 82,6 hektare daratan.

Kondisi serupa terjadi pula di desa-desa yang terletak lebih jauh dari Kota
Semarang. Misalnya saja Desa Timbulsloko dan Desa Surodadi—dua desa yang
berada di timur laut Desa Bedono. Kedua desa tersebut, secara berangsur-
angsur, juga ikut terkena abrasi. Pada awal 2000, terdapat 25,5 hektare daratan
di Desa Timbulsloko yang berubah menjadi laut, sementara di Desa Surodadi
mencapai 10 hektare.101

Gambar 9: Permukiman yang terendam rob di Desa Bedono (kiri) dan banjir rob di Desa Sriwulan (kanan).
Sumber: Survei primer, 2021.

Rob yang terus masuk ke daratan telah menyebabkan abrasi sedemikian


parah. Kondisi tersebut telah mengubah garis pantai di sepanjang pesisir
Kecamatan Sayung. Pada 1990, di Kecamatan Sayung, hanya terdapat empat
desa pantai—desa yang berbatasan langsung dengan laut—yakni Desa
Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, dan Surodadi. Namun pada 2019, desa pantai
di Kecamatan Sayung bertambah menjadi tujuh desa yaitu Desa Sriwulan,
Bedono, Timbulsloko, Surodadi, Gemulak, Purwosari, dan Sidogemah.

101
Setyati, Ari Wilis, Arya Rezagama, Tri Winarni Agustini, Yusup Hidayat, Narendra Prasidya Wishnu,
and Dyah Ayu Wulandary. 2018. “Inovasi Penanganan Mitigasi Bencana Desa Bedono Kecamatan
Sayung Demak Akibat Efek Abrasi.” Pp. 198–200 in Proceeding SNK-PPM. Vol. 1. Semarang.

60
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

Momen rob yang diceritakan Telungpuluhtelu tidak hanya terjadi di Desa


Sriwulan, tapi juga di Desa Bedono. Bahkan kondisi rob di Bedono cenderung
jauh lebih parah dibanding di Desa Sriwulan. Sebab, beberapa dukuh di Desa
Bedono sampai tenggelam karena terus tergenang banjir rob. Karena sudah
tenggelam, beberapa warga terpaksa harus bedol desa ke Desa Sidogemah dan
Gemulak. Nahasnya, di tempat baru tersebut, pemerintah hanya meminjamkan
warga lahan irigasi. Karena berbentuk pinjaman, tidak menutup kemungkinan
jika pemerintah sewaktu-waktu dapat menggusur warga.

3. Cer it a Penghuni Tera khir Dukuh Rejosar i (Se nik) di Be dono


Cerita dari desa lain yang terdampak rob datang dari Bedono. Desa Bedono
memiliki elevasi antara 0,3-2,82 meter di atas permukaan laut (mdpl). Bedono
merupakan salah satu desa di Kecamatan Sayung dengan nilai abrasi cukup
tinggi. Rata-rata laju abrasi di Bedono mencapai 19,87 meter/tahun. Awal mula
warga pesisir Desa Bedono merasakan banjir rob ialah pertengahan tahun 1980.
Sejak saat itu, frekuensi banjir rob mulai naik setiap tahun dan masyarakat
dipaksa untuk terbiasa menghadapi itu.
Rob mulai masuk ke Desa Bedono sejak 1985. Menurut koran Suara Merdeka
pada 18 Desember 2014, salah satu pemicunya adalah reklamasi di kawasan
Pantai Marina dan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas. Kedua wilayah itu
terletak di Kota Semarang—sebelah barat Desa Bedono.102 Reklamasi memicu
perubahan arus laut yang berdampak pada perubahan dinamika gelombang
pasang. Pada gilirannya, perubahan itu menyebabkan rob dengan ketinggian
0,5–1,5 meter. Selain faktor reklamasi, perubahan iklim yang memicu kenaikan
muka air laut ikut pula berkontribusi.103
Pada 1990, mulai muncul praktik intensifikasi tambak udang windu. Pada
saat itu, banyak warga mengalihfungsikan lahan sawah dan mangrove menjadi
tambak udang windu. Hal itu sesuai dengan apa yang disampakan Rongpuluh,
warga Desa Bedono.

“Oh dulunya sawah, daerah situ kan sawah, sawah jadi tambak, tambak
sekarang jadi lautan. Belakang ini kan sudah lautan semua.”104

102
Suara Merdeka, 18 Desember 2014.
103
Asrofi, Akhmad, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko. 2017. “Strategi Adaptasi Masyarakat
Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah
(Studi Di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah).” Jurnal Ketahanan
Nasional 23(2):125–44.
104
Wawancara dengan Rongpuluh, 28 Oktober 2021.

61
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Pada 2004, intensitas pasang air laut di Bedono makin tinggi lagi. Pelan-
pelan, Dukuh Rejosari Senik pun makin digenangi air laut; tenggelam. Dua tahun
kemudian, karena sudah benar-benar tenggelam, semua warga terpaksa pindah
ke tempat lebih aman (relokasi).105 Menurut Bu Rolikur, satu-satunya keluarga
terakhir yang tinggal di Dukuh Rejosari (Senik), pada 2005 warga melakukan
unjuk rasa menuntut Pemerintah Kabupaten Demak untuk melakukan relokasi.
Pada 2006, satu per satu keluarga mulai pindah, hingga pada 2010, kampung
nyaris kosong dan hanya meninggalkan keluarga Bu Rolikur saja.106

Gambar 10: Kondisi rumah di Rejosari Senik sudah tidak berpenghuni. Sumber: Survey Primer, 2022.

Menurut penuturan Bu Rolikur, awal rob menerjang Dukuh Rejosari Senik


terjadi pada tahun 2000. Rob tersebut, tambah Rolikur, berhubungan dengan
pembangunan sebuah jalan. Sebelum adanya pembangunan jalan, banjir rob
sudah terjadi di Dukuh Rejosari Senik. Namun ketinggian rob tidak terlalu besar
dan masih dapat dikategorikan wajar. Baru setelah adanya pembangunan jalan,
lambat laun air rob naik sampai setinggi + 10 cm.

“Oh 2000 pun enten rob e. Paling parah ngeh niki. Wes tambah temen. Iya
semakin naik semakin, naiknya cuma sakmenten sakmenten niki (sekitar 10 cm).”107

Bertahun-tahun warga Dukuh Rejosari Senik mengalami banjir rob. Mereka


selalu khawatir ketika terjadi hujan deras. Selain itu, mereka juga khawatir rob
terus menggerus area tambak. Sebab jika kehilangan tambak, berarti mereka

105
Amindoni, Ayomi. 2020. “Perubahan Iklim: Kisah Keluarga Yang Bertahan Sendirian Di Tengah Desa
Yang Tenggelam.” Www.Bbc.Com. Retrieved June 8, 2022 (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
51354895).
106
Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
107
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “2000 sudah ada robnya. Paling parah ya ini. Sudah tambah parah.
Iya semakin naik semakin, naiknya cuma segini (sekitar 10 cm).” Lihat: Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.

62
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

kehilangan sumber pendapatan. Belum lagi rasa khawatir karena tanah terus
ambles dan itu berarti rob bakal masuk ke rumah. Lambat laun, apa yang
mereka khawatirkan menjadi kenyataan. Rob makin parah dan seluruh warga
Dukuh Rejosari Senik terpaksa pindah.

a . B e do l D e s a D u k u h R e j o s a r i S e n i k , D e s a B e do n o
Proses relokasi warga Dukuh Rejosari Senik dilakukan pada tahun 2005.
Pemerintah mulai ikut membantu relokasi, setelah sebagian besar rumah milik
sejumlah 206 KK makin terendam air. Sebagian besar warga direlokasi ke
Dukuh Badong (Desa Sidogemah) dan Dukuh Daleman (Desa Gemulak). Kedua
desa tempat relokasi masih masuk wilayah Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Pemerintah menyediakan tempat relokasi warga di Dukuh Badong (Desa
Sidogemah) di lahan irigasi. Status lahan tersebut adalah pinjaman pemerintah,
sehingga sewaktu-waktu pemerintah dapat memintanya kembali. Alhasil sampai
saat ini, warga Dukuh Rejosari yang pindah ke Dukuh Badong tidak memiliki
kejelasan status kepemilikan tanah. Banyak dari warga sangat khawatir dengan
ketiadaan status kepemilikan tersebut.

“Padahal riyen ngendikane DPR, sing jabat Bu Endang, Ngendikae saget


HM, tapi Pak Tata Yani mboten wantun. Bupati sekarang gimana yaa
mboten wantun, milik BBWS, Pak Tata Yani kaleh kulo dekat, nanging
mboten wantun. Tanah yang di senik lama masih HM, per meter 2000 di senik
lama, madosi batasnya saking pundi saking sertifikat, ketingal saking batese.”108

Selain meminjamkan lahan, pemerintah memberi bantuan bahan bangunan


seperti pasir dan batu padas. Karena hanya bahan bangunan, warga tetap harus
mengeluarkan biaya untuk membangun rumah baru di tempat relokasi. Warga
membangun rumah secara bertahap, sesuai dengan kondisi ekonomi masing-
masing keluarga. Proses pembangunan rumah makin berat, sebab banyak mata
pencaharian warga ikut tenggelam bersama rumah, ladang, tambak, dan
daratan di tempat mereka bermukim dulu.

“Anu (relokasi) awit bupatine Bu Endang, awit tahun 2005. Niko disukani
omah ngeten kaleh disukani pasir ketoke sak trek nopo pinten nggeh,

108
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Padahal dulu katanya DPR, yang jabat Bu Endang (Endang
Setyaningdyah), katanya bisa HM, Tapi Pak Yani tidak berani (maksudnya adalah Tafta Zaini, Bupati
Demak yang menjabat setelah Endang Setyaningsyah). Bupati sekarang gimana ya tidak berani,
milik BBWS, Pak Tata Yani dengan saya dekat, tapi tidak berani. Tanah di Senik Lama masih HM, per
meter 2000 di Senik Lama, nyari batasnya dari mana dari sertifikat, kelihatan dari batasnya.” Lihat:
Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.

63
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

pasire sak trek kaleh watu niku watu padas niko sak trek. Sak mene
ketoke 15 sak ketoke karo dibantu duwit sak juta kae jaman-jamane
mbiyen niko. Iki tanah irigasi coro dene. Rumahe bangun piyambak
disukani lemahe kaleh pasire ngoten. Hak milik e niki nak jaman niko yo
turene irigasi-irigasi ngoten.”109

Hampir seluruh warga telah pindah dari Dukuh Rejosari Senik pada 2010.
Sampai buku ini ditulis, tersisa satu keluarga yang memutuskan bertahan:
keluarga Bu Rolikur. Alasan keluarga Rolikur bertahan ialah karena ingin
merawat Dukuh Senik sedikit demi sedikit dengan cara menanam mangrove.

“Lha kulo niku to bu pokok e seng ngerawat Dusun Rejosari Senik lah.
Lha niki umpomo ora tak rawat yo mpun telas. Wong kulo ngerawate
mpun dangu kok bu. Mpun awit tahun 2000 kok. Kulo tanam kedik-kedik,
lhawong dek niku dereng kulo tanemi to bu, griyone kulo niki to angger
enten jawoh, udan angin niku banjir sepalih saking meriko toyone do
mlebet. Nek sakniki kan alhamdulillah aman. Awit mriki mangrove e
ageng-ageng keterak abrasi sak katah e.”110

Bu Rolikur memilih bertahan dengan tetap bermukim di tengah hutan


mangrove yang terendam air. Ketika terjadi hujan lebat, keluarga Bu Rolikur
hanya bisa pasrah dan berdoa.
“... pokoke istifare bu. Wes tak niate teng mriki bu, sak saged e lah, nek
enten angin enten udan deres nggeh sak saged e kulo. Kersane bisane slamet.”111
Saat sakit, keluarga Bu Rolikur hanya bisa mengandalkan kerokan dengan
balsem. Pasalnya, tidak ada lagi sarana kesehatan, karena Dukuh Rejosari Senik
itu sendiri sudah tenggelam.

109
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Dari Bupatinya Bu Endang, dari tahun 2005. Dulu dikasih
rumah gini dan dikasih pasir kayaknya 1 truk apa berapa ya, pasirnya 1 truk dan batu itu batu padas
itu 1 truk. Segini sepertinya 15 karung kayaknya sama dibantu uang 1 juta jaman dulu. Ini tanah irigasi.
Rumahnya bangun sendiri dikasih tanah sama pasirnya itu. Hak miliknya ini sekarang ya katanya
irigasi irigasi gitu.” Lihat: Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
110
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Saya itu pokoknya yang merawat Dusun Rejosari Senik
ini bu. Misalnya tidak saya rawat ya sudah habis. Saya merawatnya sudah lama kok bu. Sudah dari
tahun 2000. Saya tanam sedikit-sedikit, soalnya dulu belum saya tanami bu, rumah saya ini kalau
ada hujan, hujan angin itu banjir setengah dari sana airnya masuk. Kalau sekarang alhamdulillah
aman. Dari sini mangrovenya besar-besar terkena abrasi banyak sekali.” Lihat: Wawancara dengan
Bu Rolikur, Oktober 2021.
111
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “…Pokoknya istighfarnya bu. Sudah saya niatkan di sini bu,
sebisanya lah, kalau ada angina da hujan deras ya sebisanya saya. Supaya bisa selamat.” Lihat:
Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.

64
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

“Yo kerokan mawon pokoke wong tilem e teng duwur air kok. Yowes
angger sirah e ngelu yo pokok e kerik an ngoten. Obat e nggih kulo cawis-
cawis kulo sok balsam, masker kui nopo lah segala cawis kulo. Obat-
obatan tapi mboten nate obat-obatan kulo bu.”112

Keluarga Bu Rolikur hanya dapat mengandalkan perahu untuk berpergian.


Misalnya, ketika ingin keluar area Senik, mereka bakal menggunakan perahu
dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan naik sepeda. Biasanya perjalanan
keluar Senik dilakukan untuk membeli barang atau stok bahan makanan.
Sementara untuk sumber air bersih, keluarga Bu Rolikur ngangsu seminggu
dua kali dari Desa Pandansari dengan bekal jerigen ukuran 15-20 liter. Air
tersebut digunakan untuk memasak, sementara untuk cuci dan mandi mereka
menampung air hujan.

“Toyone nganu nek mboten enten jawoh kulo mbeto ngangsu teng
Pandansari. Mbeto jirigen. Lha nek jawoh niki katah liyane. Seng damel
masak nggih taseh ngangsu teng pandeansari. Niki damel umbah-umbah
kaliyan damel pakpung.Sing 15-20 literan niku. Langsung dipake selang
kok. Lha mangke nek tekan griyo disedot mriki (Bu Rolikur menunjukan
mesin pompa untuk menyedok air dari jirigen). Aki niki kaleh niki dadi
mboten sah njunjungi. Nek ngangsu terus yo saget seminggu peng kaleh bu.”113

Dengan demikian, Bu Rolikur merasakan betul perbedaan mencolok antara


dulu dan sekarang. Dulu segala sarana prasana untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti warung, jalan, air bersih, sekolah, dan sarana kesehatan
masih tersedia. Kini semua sarana prasarana tersebut hilang, berubah menjadi
laut. Alhasil kini keluarga Bu Rolikur memerlukan waktu lebih lama untuk
mengakses segalanya. Misalnya, anak Bu Rolikur jadi harus berangkat sekolah
lebih awal. Dia harus bangun jam 5 dan berangkat jam 6 pagi menggunakan perahu.

112
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Ya kerokan saja pokoknya, tidurnya juga di atas air kok.
Ya sudah kalau kepalanya pusing ya pokoknya kerokan gitu. Obatnya ya saya sediakan seperti
balsam, masker itu semuanya saya sediakan. Obat-obatan tapi tidak pernah pakai obat saya bu.”
Lihat: Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
113
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Airnya kalau tidak ada hujan saya ngangsu di Pandeansari.
Bawa jirigen. Lha kalau hujan banyak. Yang untuk masak ya masih ngangsu di Pandeansari. Ini untuk
nyuci baju dan mandi. Yang 15-20 literan itu. langsung pake selang kok. Nanti kalau sampai rumah
saya disedot di sini (Bu Rolikur menunjukan mesin pompa untuk menyedok air dari jirigen). Ini sama
ini jadinya tidak perlu angkat-angkat. Kalau ngangsu bisa satu minggu 2 kali bu.” Lihat: Wawancara
dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.

65
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 11: Perahu sebagai alat transportasi di Dukuh Rejosari Senik. Sumber: survei primer, 2021.

Di sisi lain, menurut penuturan Bu Selawe (Kakak Bu Rolikur), selain di


Senik, sebenarnya Bu Rolikur punya rumah lagi. Hanya saja, tambah Bu Selawe,
Bu Rolikur memutuskan tetap bertahan di Senik karena ingin mendapat banyak
bantuan dan sekaligus menjadi “sesepuh” di Senik.

“Seneng teng mriko. Teng mriko kan angsal bantuan katah coro dene.
Niku pindahe teng mriki, nggeh gadah teng mriki di dol. Di dol terus balik
mriko malih. Di dol jaman iko jeh murah. Pajeng 5 juta duko pinten ngoten
jaman niko nak sak niki nggeh 30 nggeh pajeng sak perumahan niki. Niki
piyambake mpun damel griyo teng Lengkong teng Donorejo mriko
Buyaran, teng mriko mpun damel omah, nggeh mpun sae griyane tapi
manggone tasih teng Senik. Tasih piyambake dadi wong mriko, tua-tuan
teng mriko teng Deso Senik.”114

Breakwell (1986, 1992, 1993) mengembangkan “model proses identitas” dalam


cara pandang psikologi sosial. Model tersebut terdiri dari empat prinsip
identitas: self-esteem; self-efficacy; distinctiveness; dan continuity. Keempat
prinsip itu berhubungan dengan tempat (place). Dalam arti, lingkungan atau
tempat berperan dalam dinamika pembentukan identitas. Sedangkan prinsip-
prinsip yang berbeda akan diperlakukan berbeda pula oleh setiap individu.115

114
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Senang di sana. Di sana dapat bantuan banyak. Itu
pindahnya di sini, ya punya rumah di sini dijual. Dijual terus balik lagi ke sana. Dijual pada saat dulu
itu masih murah. Laku 5 juta apa berapa gitu jaman dulu, kalau sekarang ya 30 juta laku perumahan
sekarang. Ini dia sudah bangun rumah di Lengkong di Donorejo sana Buyaran, di sana sudah bangun
rumah, ya sudah bagus rumahnya tapi tinggalnya masih di Senik. Dia masih jadi orang sana, jadi
sesepuh di Desa Senik.” Lihat: Wawancara dengan Bu Selawe, 07 Oktober 2021.
115
Ernawati, Jenny. 2011. “Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Suatu Tempat.” Local Wisdom - Jurnal
Ilmiah Online 3(2):1–9.

66
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

Menurut Twigger-Ross dan Uzzell (1996), kontinuitas dalam hubungannya


dengan lingkungan punya dua bentuk. Pertama, the place-referent continuity,
yakni jika tempat berperan sebagai acuan masa lalu, karenanya menumbuhkan
hubungan identitas masa lalu dengan masa kini. Kedua, the place-congruent
continuity, yakni adanya ketidakserasian antara lingkungan, keinginan, serta
nilai-nilai masyarakat setempat.116
Berdasar “model proses identitas” Breakwell, sangat penting memahami
place attachment atau ketertarikan seseorang terhadap suatu tempat. Dalam
kasus Rolikur, dirinya terikat dalam suatu tempat, karena tempat itu adalah
acuan masa lalu yang membentuk hubungan identitas masa lalu dengan masa
kini Rolikur sebagai orang Rejosari. Rolikur tidak mau pindah, karena terikat
dengan Dukuh Rejosari—sebuah tempat di mana dia lahir, hidup, mencari
sumber penghidupan, serta mengaktualisasikan diri sebagai penjaga lingkungan
yang menghidupinya. Selain itu, bisa jadi tempat relokasi baru juga tidak punya
nilai-nilai yang sama dengan Rejosari (Senik). Alhasil Rolikur tidak ingin pindah,
sekalipun dia harus bermukim tanpa tetangga di area yang sudah tenggelam.

b . P e n g h i du p a n P e n g h u n i T e r a k h i r di A r e a T e n g g e l a m
Sumber penghidupan keluarga Bu Rolikur berasal dari aktivitas nelayan dan
tambak dengan penghasilan tidak menentu. Terkadang hasil memanen ikan atau
kerang mencapai Rp50.000-Rp70.000. Namun sering pula keluarga Bu Rolikur
sama sekali tidak mendapat penghasilan, karena tambak makin tergerus air
laut. Padahal Rolikur perlu menyewa tambak seluas dua hektar yang sudah
tenggelam seharga satu juta/tahun. Bu Rolikur juga ikut mencari tambahan
penghasilan lewat berbagai macam cara.

“Kulo nek niki yo nelayan. Kulo nggih nderek gagap-gagap ngoten kersane
kangge damel sangu anak. Mboten cukup bu ngandalke nelayan bapak.
Ra cukup nek wayah sepi. Masalahe Cuma 50 Cuma 70 neng angsal nek
mboten nggih mboten kok. Niki wonten nek seminggu mboten onten. Kulo
nggih gagap-gagap. Biasane nggih angsal 5 kg nggih ikan nggih kerang,
kerang ijo ngeten niku.” 117

116
Ernawati, Jenny. 2011. “Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Suatu Tempat.” Local Wisdom - Jurnal
Ilmiah Online 3(2):1–9.
117
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Saya itu ya nelayan. Saya ikut cari-cari gitu supaya bisa
untuk uang saku anak. Tidak cukup bu mengandalkan nelayan bapak. Tidak cukup kalau lagi sepi.
Masalahnya cuma 50, cuma 70 kalau dapat, kalau tidak dapat ya tidak dapat apa-apa. Ini ada
mungkin seminggu sudah tidak dapat apa-apa. Saya juga ikut cari-cari. Biasanya dapat 5 kg ikan apa
kerang, kerang ijo gitu.” Lihat: Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.

67
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Salah satu sumber pemasukan Rolikur berasal dari usaha bibit mangrove.
Dia menjual bibit mangrove kepada mahasiswa, wartawan, atau instansi pemerintah
yang membutuhkan. Dia juga menawarkan jasa tanam mangrove di sekitar
Dukuh Rejosari Senik. Satu bibit mangrove dijual Rp2.000, sudah termasuk
jasa tanam. Dari pekerjaan nelayan dan menjual bibit mangrove keluarga Rolikur
mencukupi kehidupan sehari-hari dan membiayai sekolah anak-anaknya.

“Kan nganu to bu corone cah kuliah-kuliah nggolekke bantuan aku.


Bibitku ditumbasi kon nandur aku terus duit e kekke aku. Yo kulo nek
ndamel katah-katah bu. Wonten 50 ewu. Mangke ditumbasi wartawan-
wartawan. Yowes alhamdulillah saking cah kuliah-kuliah niku lare kulo
ajeng sekolah sd tambah-tambah bu alhamdulillah Bu le banatuan Bu.”118

Rolikur tidak sekadar menanam mangrove, tapi ikut merawat. Terutama


merawat mangrove yang rusak, karena aktivitas nelayan saat mencari ikan.
Saat mencari ikan, seringkali jaring dan perahu nelayan nyangkut di tanaman
mangrove sehingga membuat mangrove mati. Semula Rolikur hanya berbekal
tekad dan ilmu otodidak dalam merawat mangrove. Namun sekarang, jerih
payah Bu Rolikur sudah membuahkan hasil. Kini tanaman mangrove di Senik
cukup banyak dan bahkan kerap disebut sebagai area “Taman Mangrove”.

“Yo nganu mas asale kulo yo akal-akal dewe. Lha terus kok dijunjung-
junjung yo alhamdulillah. Asline kulo yo akal-akal piyambak. Carane
mboten wonten seng ngajari lah pelatihan dewe lah. Asale nggih nandur-
nandur niku. Asale onten kulo billean onten bibit-bibit kulo titili.”119

Mangrove punya banyak sekali manfaat. Mangrove bisa dijadikan salah satu
bentuk upaya mengatasi abrasi. Mangrove merupakan tempat tinggal berbagai
macam jenis burung, ikan-ikan, dan bahkan kepiting. Jenis burung yang tinggal
di “Taman Mangrove” beraneka ragam. Mulai dari burung kecil sampai burung
besar seperti derkuku, blekok, untul, dan masih banyak lagi. Sementara ikan
dan kepiting dapat diambil dan dijual, sehingga menguntungkan para nelayan.

118
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “kan itu bu, anak-anak kuliahan cari bantuan ke saya. Bibit
saya dibeli disuruh tanam, saya dikasih uang. Saya kalau buat bibit banyak bu. Ada kalau 50 ribu.
Nanti dibeli wartawan-wartawan. Ya alhamdulillah dari anak kuliahan itu anak saya mau sekolah SD
bisa untuk tambah-tambah bu alhamdulillah bu dapat bantuan bu.” Lihat: Wawancara dengan Bu
Rolikur, Oktober 2021.
119
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Asalnya saya mengakali sendiri mas. Terus akhirnya
alhamdulillah. Aslinya akal-akalan saya sendiri. Caranya tidak ada yang ngajari, pelatihan sendiri.
Asalnya ya tanam-tanam itu. asalnya itu ada bibit saya punguti.” Sumber: Wawancara dengan Bu
Rolikur, Oktober 2021.

68
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

“Burung e yo wes jutaan mriki. Iya damel griyo burung niku sak mriko. Sak
sekitar daerah niki lah senik mriki burung e manggone. Katah derkuku nggih
enten. Terusan nopo kui, manuk blekok, untul, terus manuk seng ireng-ireng niku
mboten paham. Seng katah wes manuk nger mbarang niku. Wes sak enten e
pokok e segala manuk enten pokok e seng alit seng ageng. Mboten saget ngarani
kulo. Niku ngen ulam bu, ngen ulam kerang piting….”120

Gambar 12: Kondisi burung-burung yang hidup di hutan mangrove Senik. Sumber: Survei primer, 2021.

Mangrove dapat dijadikan bahan olahan banyak makanan atau minuman.


Sebagai contoh, mangrove bisa diolah menjadi keripik, teh, kopi, atau sirup
mangrove. Buah mangrove, atau sering pula disebut brayo, dapat dijual di
Tambaksari dengan harga Rp15.000 per satu bakul. Dalam hal ini, Bu Rolikur
termasuk orang yang membuat aneka bentuk hasil olahan mangrove.

“Ooh saget (damel sirup). Kulo tak damel kripik, kulo damel teh mbarang
niku. Ooh nggih kulo wayah woh (brayo) nggih kulo unduhi kulo sadeni
teng tambaksaari sak wakul berkat niku Rp. 15.000 nek sedinten nggih
angsal yotro 70 lah 100 lah. Kulo pendeti bibitan mangrove nggih kulo
pendeti, brayo nggih kulo pendeti.”121

120
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Burungnya ya sudah jutaan di sini. Buat sarang di sana. Di
sekitar Senik sini burungnya tinggal. Banyak burung derkuku ya ada. Lalu burung blekok, untul, lalu
burung yang hitam-hitam itu saya tidak faham. Pokoknya banyak macam-macam burung. Segala
jenis burung ada pokoknya dari yang besar sampai besar. Tidak bisa jelaskan saya. Itu tempat ikan
bu, tempat ikan, kerrang, kepiting.” Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.
121
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Bisa (dibuat sirup). Saya buat keripik, the juga itu. Kalau
waktu ada buahnya saya panen lalu saya jual di Tambaksari satu bakul untuk selametan itu Rp.
15.000, sehari dapat uang 70 atau 100. Saya punguti bibit mangrove, brayo juga saya ambil.”
Wawancara dengan Bu Rolikur, Oktober 2021.

69
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 13: Teh mangrove sebelum (kiri) dan setelah dikemas (kanan). Sumber: Survei primer, 2021.

Anak Bu Rolikur ikut membantu menjalankan usaha teh mangrove. Misalnya,


anak Rolikur yang bermukim di Karangtengah punya tugas mengemas teh agar
lebih mudah dipasarkan atau dijual. Sementara dalam proses pemasarannya,
Bu Rolikur sering menitipkannya lewat jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) bernama Mitra Lindungi Hutan.

Gambar 14: Kondisi mangrove di Dukuh Rejosari Senik. Sumber: Survei primer, 2022.

Warga Timbulsloko juga mengalami kisah pedih seperti yang dirasakan Bu


Rolikur. Desa Timbulsloko memiliki beberapa dukuh: Karanggeneng, Bogorame,
Wonorejo, dan Timbulsloko. Di antara keempat dukuh, paling parah terdampak
abrasi adalah Dukuh Timbulsloko. Kini kondisi Dukuh Timbulsloko sangat
memprihatinkan. Rumah, makam, dan fasilitas lainnya terus tenggelam, berubah

70
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

menjadi laut. Jalan menuju Dukuh Timbulsloko juga sudah terputus. Kini satu-
satunya akses menuju Timbulsloko hanya menggunakan perahu.

4. Rumah di Timbulsloko Diglada k Supay a t et ap Muncul


Menurut warga Dukuh Timbulsloko, permukaan air laut mulai terasa terus
naik sejak 1995. Perlahan-lahan, air laut mulai menggenangi lahan pertanian dan
perkebunan warga. Sampai saat ini, jumlah penduduk yang masih bertahan di
Dukuh Timbulsloko adalah 550an jiwa, dengan jumlah KK sebanyak 170 KK.

“Jumlah penduduknya sedoyo 550 an jiwa. (Yang masih bertahan) ada


170 KK, kan imbasnya tahun kemarin. Banyak warga yang kos di Onggorawe.”122

Gambar 15: Rumah gladak di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survey Primer, 2021.

Kini semua wilayah Dukuh Timbulsloko sudah terendam air laut. Oleh sebab
itu, warga Dukuh Timbulsloko berinovasi meninggikan bangunan rumah dengan
cara “dipanggung” seadanya memaki material bambu dan papan kayu. Warga
menyebut konsep “dipanggung” dengan istilah gladak. Tentu saja, pilihan untuk
membuat rumah gladak tidak datang dari langit. Konsep tersebut justru bentuk
siasat warga, karena meninggikan rumah memakai tembok ongkosnya mahal.

122
Wawancara dengan warga Timbusloko, 13 November 2021.

71
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Biaya untuk membuat rumah gladak kurang lebih Rp10 juta. Biaya tersebut
lebih murah dibanding meninggikan rumah dengan tembok. Apalagi, ongkos
mengangkut material seperti pasir dan semen ke Dukuh Timbulsloko saja sudah
lebih mahal dibandingkan harga kayu. Di samping itu, material bambu atau
kayu lebih mudah untuk diangkut menggunakan perahu. Momen pertama ketika
perahu menjadi alat transportasi utama terjadi sejak 2017. Penyebabnya, karena
jalanan menuju Dukuh Timbulsloko terus terendam air laut.

Gambar 16: Jembatan/jalan kayu di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survey Primer, 2021.

Nahasnya lagi, air laut tidak hanya merendam jalan menuju dukuh. Air laut
juga merendam jalan perkampungan yang menghubungkan antar rumah. Kondisi
demikian mendorong warga untuk iuran membangun jalan pada Maret 2021.
Material utama jalan panggung di perkampungan adalah bambu dan papan kayu.
Meski cenderung seadanya, jalan panggung tersebut cukup membantu warga
untuk tetap melanjutkan aktivitas sehari-hari.
Jalan panggung di perkampungan tidak bisa dilewati kendaraan. Jalan itu
setapak; penghubung antar rumah. Karena berbahan kayu, bambu, dan dibuat
seadanya, jalan itu tidak begitu layak dari segi keamanan. Sudah ada beberapa
kasus warga terjatuh dari atas jalan hingga menimbulkan cedera. Kasus warga
jatuh banyak terjadi pada malam hari, saat penerangan minim dan tidak ada
pembatas jalan yang memadai. Seperti kata salah seorang warga Timbulsloko,

72
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

“Nggih, niku lunyu. Sekali tibo niku catu. Niku kan wonten kerange lancip-
lancip, sekali tibo ono seng patah ono seng suwek tangane.”123

Gambar 17: Infrastruktur Pamsimas di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survei Primer, 2022.

Kebutuhan air bersih warga Dukuh Timbulsloko berasal dari dua sumur
Pamsimas—sebuah skema bantuan pemerintah untuk penyediaan air bersih
berbasis masyarakat. Dari kedua sumur itu, air kemudian disalurkan ke setiap
rumah warga. Setiap rumah perlu membayar iuran air sebesar Rp3.000/meter
kubik. Iuran warga hanya cukup membayar biaya listrik (pompa air), belum

123
Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Iya itu licin. Sekali jatuh langsung luka. Itu kan ada
karangnya tajam tajam, sekali jatuh ada yang patah ada yang sobek tangannya.” Lihat: Wawancara
dengan warga Timbulskolo, 13 November 2021.

73
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

termasuk biaya perbaikan (apabila ada kerusakan) dan pemeliharaan. Tak ayal,
ketika mesin pompa air rusak, warga terpaksa menggunakan air galon.

“Ini air bersih aja repotnya itu di pembayaran listriknya, nggak ketemu. Jadi
selalu nombok-nombok. kalau pulsa 1 juta ini nggak ada 2 minggu udah habis
kok, sibelnya aja 3,5 pk. Ya kalau setrum 500.000 yo berapa hari habis. Soalnya
penduduknya sudah nggak banyak. Rumah kan pada kosong. …... Ini warganya
dulu 100 cuman kalau dikumpulin paling pas hari ini, paling nggak ada. 100 itu
sudah melebar keluar. Kayak aku emang masih KK sini. Dari dulu memang 100
KK, cuma yang tinggal 50% di sini.”124

Sementara untuk sanitasi, warga Dukuh Timbulsloko tidak memiliki septic


tank. Pembuangan kotoran dan/atau limbah rumah tangga langsung dilepas ke
laut. Ketiadaan sanitasi di Dukuh Timbulsloko masuk akal belaka. Selain karena
alasan lingkungan (abrasi), faktor ekonomi ikut andil. Pasalnya, yang turut serta
dengan tenggelamnya permukiman adalah tenggelamnya lahan pertanian dan
tambak. Sekarang mayoritas mata pencaharian warga adalah pekerja proyek
dan buruh pabrik, sementara sisanya merupakan petambak.

Gambar 18: Warga mencari kerang liar di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survei primer, 2021.

124
Wawancara dengan warga Timbulsloko, 13 November 2021.

74
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

“Yang (kerja) di tambak itu sedikit. Ada yang proyek ada yang pabrik. Dikit.
Yo 40% nan. Nelayan itu nelayan tambak lho bu. Tapi tambaknya kan nggak
dikelola, liar.”125

Kian hari kondisi tambak makin memprihatinkan. Air laut terus masuk dan
bahkan makin tinggi. Kondisi tersebut membuat tambak-tambak warga menjadi
tidak bisa lagi digunakan. Akibatnya, banyak warga memutuskan untuk mencari
kerang liar, itu pun hanya ketika ada pesanan. Warga hanya menerima berdasar
pesanan, karena jika harus menjual ke luar, biaya transportasi di Timbulsloko
lebih mahal daripada harga kerang itu sendiri.
Beberapa warga memutuskan tetap bertahan di Dukuh Timbulsloko karena
alasan ekonomi. Mereka tidak punya cukup biaya untuk ongkos pindah, apalagi
untuk membeli rumah baru. Namun tidak sedikit pula yang pada akhirnya
memutuskan pindah. Sebagian ada yang pindah untuk kontrak rumah di tempat
lain, sebagian lagi hanya mampu menyewa kos. Walau begitu, pada acara-acara
tertentu, mereka biasanya kembali lagi ke Dukuh Timbulsloko.126
Merujuk teori place identity, warga Timbulsloko yang sudah pindah tetap
saja kembali ke sana. Meski hanya pada momen tertentu, tapi itu menunjukkan
bahwa mereka masih punya keterikatan dengan tempat asalnya. Mereka masih
memiliki hubungan identitas masa lalu dengan masa kini, berupa keluarga yang
masih bermukim di Dukuh Timbulsloko. Barangkali bagi mereka, identitas dan
nilai seperti itu yang tidak dan/atau sulit ditemukan di tempat lain.

“Kembali. Kaya mau ada acara ini kan orang-orang luar semua to.
Swadaya orang sini semua yang di luar. Jadilah kegiatan ini. Setiap
tahun.”127

Mari sejenak mundur ke belakang. Sebenarnya momen banjir rob dan abrasi
di Desa Timbulsloko tidak bisa dilepaskan dari perilaku warga itu sendiri. Salah
satunya terkait perilaku menebang pohon di kawasan mangrove yang terletak
di pesisir pantai Timbulsloko. Namun warga juga punya alasan mengapa perlu
menebang pohon. Semula banyak limbah kayu pabrik di Pelabuhan Semarang
yang hanyut hingga ke daerah pesisir Timbulsloko. Warga acap mengambil dan
memanfaatkan limbah kayu tersebut untuk kebutuhan kayu bakar.

125
Wawancara dengan Papat, 13 November 2021.
126
Ada beberapa momen acara yang kerap dihadiri warga yang sudah pindah. Misalnya saat nyadran
menjelang bulan puasa, acara silaturahmi, acara arwah jama’ saat lebaran, dan ketika acara santunan
anak yatim pada bulan Suro.
127
Wawancara dengan warga Timbulsloko, 13 November 2021.

75
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 19: Kondisi rob di permukiman Desa Timbulsloko. Sumber: Survei primer, 2021.

Pada kurun waktu tertentu, pabrik kayu di Pelabuhan Semarang mulai


mengolah kembali limbah-limbah kayu. Karena pabrik memerlukan limbah
kayu, maka mereka berusaha semaksimal mungkin untuk tidak lagi membiarkan
adanya limbah kayu yang tercecer di laut. Sejak saat itu warga Timbulsloko
kesulitan mendapat bahan baku kayu bakar. Berawal dari situ, warga terbiasa
menebang pohon di kawasan mangrove untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar.
Aneka pohon di kawasan mangrove punya beragam fungsi. Salah satunya
adalah pelindung daratan dari terjangan gelombang air laut. Karena banyak
pohon mangrove hilang, maka air laut menjadi lebih leluasa masuk ke daratan;
membanjiri tambak, sawah, dan permukiman warga. Bahkan pada 2005, sudah
mulai terasa banyak tambak di Timbulsloko berubah menjadi laut. Peta berikut
ini merekam bagaimana perubahan semacam itu terjadi di pesisir Sayung—
termasuk di Desa Timbulsloko.

76
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

Gambar 20: Peta perubahan pesisir Kecamatan Sayung dari tahun 1985-2022. Sumber: Diolah oleh Tim
Penulis dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022) dan Google Earth (1985,
2003, 2012, dan 2022).

Momen abrasi di Desa Timbulsloko bermula sejak tahun 2003. Pada saat
itu, abrasi di Desa Timbulsloko termasuk salah satu yang terparah di pesisir
Kecamatan Sayung. Setelah tahun 2003, abrasi di Desa Timbulsloko cenderung
makin parah lagi. Sampai akhirnya, kini warga Dukuh Timbulsloko sudah hidup
di atas air. Daratan warga sudah hilang, berubah menjadi laut.
Pemerintah dari level pusat, provinsi, sampai kabupaten sudah melakukan
berbagai macam upaya mengatasi abrasi di Timbulsloko. Misalnya, pemerintah
acap mengajak masyarakat untuk menanam mangrove sebagai usaha untuk
mencegah terjadinya abrasi. Selain itu, pemerintah juga membangun sabuk
pantai di berbagai daerah, salah satunya di Desa Timbulsloko. Sabuk pantai di
Timbulsloko dibangun di batas permukiman warga yang sering diterjang air
laut: sekitar 10-15 meter dari permukiman.128

128
Sinambor, Sonya Helen. 2012. “Abrasi Mengancam Permukiman, Sabuk Pantai Dibangun.”
Regional.Kompas.Com.

77
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 21: Pekerja mengangkut buis beton yang digunakan untuk membangun sabuk pantai di Desa
Timbulsloko. Sumber: Kompas, 20 Juli 2012.

Ada begitu banyak cerita warga dari berbagai desa di Kecamatan Sayung.
Hampir semua, punya cerita memilukan yang sama seputar momen banjir rob
dan abrasi. Namun bukan berarti, masing-masing desa tidak punya perbedaan
yang khas. Perbedaan tersebut dapat disimak melalui, meski tidak terbatas
pada, perkara perkembangan rob, ketinggian air rob, kondisi permukiman, dan
bagaimana masyarakat merespon persoalan. Gambar peta dan tabel berikut ini
coba untuk merangkum perbedaan-perbedaan yang terjadi di daerah Sriwulan,
Bedono, dan Timbulsloko.

78
Perjumpaan II: Tambak Tergerus, Sawah Tergenang, Rumah Ambles

Gambar 22: Peta ketinggian banjir hujan dan banjir rob di wilayah pesisir Kecamatan Sayung. Sumber: Diolah oleh Tim Penulis dari Rencana

79
Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sayung (2022), Google Earth (2022), dan Survey Primer (2022).
80

Tabel 4: Aneka perbedaan yang muncul di ketiga desa pesisir di Kecamatan Sayung. Sumber: Hasil analisis Tim Penulis, 2022.

Perbedaan Desa Sriwulan Desa Bedono Desa Timbulskolo

Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung
Lokasi Di daratan Di daratan Di daratan yang sudah rata dengan laut

Mulai
Terendam Tahun 1996 Tahun 1980 Tahun 2017
Rob

Cara Digladak menggunakan bambu dan papan


Diurug menggunakan tanah Diurug menggunakan tanah
Peninggian kayu

Waktu
Mulai Digladak dari tahun 2017 sampai
Peninggian Setidaknya 5-7 tahun sekali Setidaknya setiap 10 tahun sekali
sekarang
Rumah

Kondisi
Permukiman

80
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

PERJUM PAAN III


Beton-Beton Raksasa

“Dulu saya sering main ke Tambaksari juga. Ya bisa merasakan, ombak


menjadi besar kira-kira tahun sembilan enam - sembilan tujuhan. Pokoknya
sejak pelabuhan sana itu dibangun, dibuat tanggul,”
Patlikur, Warga Desa Bedono

Gambar 23: Posisi Kecamatan Sayung berada di arah timur laut Pantai Marina dan Pelabuhan Tanjung
Emas. Reklamasi dan pembangunan tanggul di pesisir Semarang mengubah arah arus laut menjadi
berbelok ke timur dan menabrak daratan pesisir Sayung. Sumber: Diolah oleh Syarifah Atia, 2022.

Puncak musim kemarau telah tiba. Sudah nyaris tiga minggu tidak turun
hujan sama sekali. Angin terasa lebih kencang bertiup, dibanding beberapa
minggu-minggu sebelumnya. Teras rumah Pak Wolu di Kampung Tambaksari
Baru terus berdebu, meski sudah berulang kali disapu. Kami datang pada hari

81
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Minggu. Dari seberang rumah Pak Wolu, sejurus dengan titik jalan tol, riuh
terdengar suara anak-anak. Rupanya sedang ada perlombaan untuk anak-anak
dalam rangka menyambut kemerdekaan Indonesia (Agustusan).
Sekitar 200 meter dari rumah Pak Wolu, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT)
PT Pembangunan Perumahan (PP) Semarang-Demak sedang merampungkan
jalan layang yang melintang di atas Jalan Raya Semarang-Demak-Kudus. Jalan
layang tersebut merupakan bagian dari proyek pembangunan jalan tol
Semarang-Demak seksi II. Tiga bulan sebelumnya, PT PP Semarang-Demak
mengumumkan bahwa pengerjaan konstruksi jalan tol Semarang-Demak seksi
II telah mencapai 80,63%. Jalan tol seksi II memiliki panjang 16,31 kilometer,
memanjang dari daerah Sayung sampai ke Demak.129
Dari teras rumah Pak Wolu konstruksi jalan tol tampak sangat terlihat dan
terasa. Dari bawah jalan dekat rumah Pak Wolu, beton-beton precast tampak
terpasang rapi dan menjulang tinggi.130 “Ya begini setiap hari. Panas, debu, saya
tidak kuat kalau tidak pakai kipas angin. Tapi itu jalan tolnya sudah hampir
selesai, sebentar lagi jadi,” kata Pak Wolu.131
Pak Wolu bukan orang asli Desa Purwosari. Kampung Tambaksari Baru di
Desa Purwosari, di mana keluarga Pak Wolu sekarang tinggal, baru ada pada
1999. Sebelumnya kampung itu merupakan lahan pertanian yang dijuluki “sawah
bendera”, lantaran hasil pertanian dari sana dikenal sangat bagus. Keluarga Pak
Wolu, bersama 64 keluarga lain dari Kampung Tambaksari (lama) yang ada di
Desa Bedono, merupakan warga pindahan di Desa Purwosari. Puluhan keluarga
itu, mendirikan rumah di atas tanah irigasi yang secara administratif dimiliki
Dinas Pengairan Kabupaten Demak.132
Kampung Pak Wolu di Tambaksari Lama (Desa Bedono) termasuk kampung
paling awal yang tergerus abrasi. Kepindahan ratusan orang dari Tambaksari
Lama ke Tambaksari Baru berkaitan dengan adanya “tsunami kecil” pada 16
November 1998. Rumah Pak Wolu berada 30 meter dari laut. Namun pada malam
itu, Wolu melihat ombak bergerak dari tengah laut, menghantam bibir pantai,
129
Cakti, Aji. 2022. “Konstruksi Tol Semarang-Demak Seksi 2 Capai 80,63 Persen.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 13, 2022 (https://jateng.antaranews.com/berita/448385/konstruksi-tol-semarang-
demak-seksi-2-capai-8063-persen).
130
Beton precast (dicetak di pabrik) tersebut dibuat oleh PT Wijaya Karya (WIKA) Beton Precast
(Persero) Tbk.
131
Wawancara dengan Pak Wolu, pada 7 Agustus 2022.
132
Total ada 71 keluarga di Kampung Tambaksari (lama). Namun pada saat itu, berdasarkan catatan
Damayanti (2019), ada enam keluarga yang bertahan di Tambaksari dan tidak ikut pindah ke
Purwosari. Saat buku ini ditulis, terdapat sembilan keluarga yang masih tinggal di Tambaksari (lama),
di kanan dan kiri jalan jembatan kayu menuju makam Syekh Mudzakir.

82
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

lalu masuk ke daratan, hingga merendam seluruh rumah warga. Sesaat setelah
peristiwa itu, penduduk Tambaksari mengungsi karena rumah rusak parah.
Satu tahun sebelum momen “tsunami kecil”, rob atau pasang air laut sudah
mulai menggenangi permukiman di Tambaksari. Tidak jarang, ombak dengan
skala kecil sekalipun dapat menjangkau permukiman penduduk. Sejak tahun
1997 pula, beberapa penduduk Tambaksari mulai meninggikan lantai rumah
dengan memasang geladak kayu di atas tanah. Sementara beberapa warga lain
memilih menguruk lantai menggunakan tanah.133
Penduduk di luar Tambaksari punya gejala yang mirip dengan Pak Wolu.
Misalnya saja Patlikur, yang kini berumur 49 tahun. Saat itu, Patlikur merupakan
pemuda Kampung Morosari—sebuah kampung yang terletak bersebelahan
dengan Tambaksari. Patlikur merasa ombak mulai terasa membesar sejak
pertengahan dekade 1990an.
“Dulu saya sering main ke Tambaksari juga. Ya bisa merasakan, ombak
menjadi besar kira-kira tahun sembilan enam - sembilan tujuhan. Pokoknya
sejak pelabuhan sana itu dibangun, dibuat tanggul,” kata Patlikur sambil
menunjuk arah Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dari atas perahu yang
sedang disetirnya di perairan Morosari menuju Tambaksari.134

1. Se belum Abr asi


Kami menjadikan cerita pengalaman Pak Wolu dan Patlikur sebagai bekal.
Dari bekal itu, kami menelusuri publikasi terdahulu dan menjumpai banyak
simpul yang menghubungkan keduanya. Proses tersebut membawa kami pada
kenyataan bahwa ombak besar dan air pasang yang makin tinggi di pesisir
Sayung, memang bermula sejak pembangunan infrastruktur pelabuhan dan
industri di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang.
Bagian ini menyajikan infrastruktur industri sebelum rob mengganas dan
sebelum abrasi terjadi di Sayung pada akhir dekade 1990an. Kami membaginya
menjadi dua bagian: (1) pembangunan infrastruktur atau industri di luar wilayah

133
Substansi dua paragraf ini didapat dari: Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir
Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi
Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
134
Wawancara dengan Patlikur, pada 17 Januari 2022.

83
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

administratif Kecamatan Sayung; dan (2) pembangunan infrastruktur atau


industri di dalam wilayah administratif Kecamatan Sayung.135

a. Pembangunan di Luar Sayung


Pada 10 Januari 1967 terbit sebuah lembaran negara setebal 15 halaman.
Lembaran tersebut disahkan di Jakarta oleh Presiden Soeharto sebagai
Undang-Undang (UU) Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA).
Sekretaris Negara, Mohamad Ichsan, ikut membubuhkan tanda tangan sebagai
tanda pengesahan UU tersebut. Dengan adanya UU PMA, investor asing dapat
memakai sumber daya, teknologi, dan tenaga kerja dari luar Indonesia. UU
tersebut memungkinkan investor asing mengirim keuntungan dari Indonesia ke
negara asal para investor.136
Tidak lama kemudian, banyak pemerintah daerah langsung berlomba
membuka keran investasi asing di wilayah mereka, tak terkecuali Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah. Akhir 1975, Ketua Badan Koordinator Penanaman Modal
Daerah (BKMPD) Jawa Tengah, Irawan Sadiman eksplisit menyebut ingin
menarik investasi ke Jawa Tengah dengan cara memberikan aneka fasilitas
bagi investor.137 Salah satu pemodal yang mendapat fasilitas untuk berinvestasi
di Kota Semarang adalah PT Tanah Mas.
PT Tanah Mas merupakan pengembang kompleks hunian mewah di dekat
pantai. Nilai investasi PT Tanah Mas untuk membangun hunian pada 1979
mencapai Rp2,5 miliar. Cara PT Tanah Mas mendapatkan lahan untuk hunian
adalah dengan menguruk dan/atau mereklamasi rawa, sawah, dan tambak. PT
Tanah Mas merupakan pelopor reklamasi dan sekaligus real estate pertama di
Kota Semarang pascakemerdekaan Republik Indonesia.138

135
Pemilahan secara administratif dilakukan untuk menunjukkan di wilayah administratif mana, dan di
bawah kewenangan administratif siapa, pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan. Sedangkan
mengenai dampak seperti ombak yang membesar, rob, dan abrasi, tidak mengenal batas imajiner
semacam batas administratif tersebut.
136
Lihat: (1) Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum BPK RI. Indonesia: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/49513/uu-no-1-tahun-1967; (2)
Poesoro, Awan Wibowo Laksono. 2005. “Membangkitkan Investasi Di Indonesia.” The Indonesia Institute 1–41.
137
Pernyataan Irawan Sadiman tersebut disampaikan dalam pertemuan dengan Kepala Daerah se-
Wilayah Kerja Pembantu Gubernur (eks-Karesidenan) Semarang dan Surakarta.
138
Lihat: (1) Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah.
2021. Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by
W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019.
“Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran
Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.

84
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Dalam proses pengurukan, PT Tanah Mas dikabarkan menggunakan alas


bernama Terra Firma berbahan polyethylene fiber. Alas tersebut dianggap
dapat menahan beban hingga 10 ton. Terra Firma didatangkan langung dari
Australia, dengan tujuan tidak hanya membuat alas lebih kuat. Pihak PT Tanah
Mas mengklaim, Terra Firma juga punya fungsi mengantisipasi rembesan air dan
amblesan tanah pada bagian yang kelak menjadi jalan aspal di kompleks perumahan.139
Setelah adanya Tanah Mas, makin banyak bentuk pengembangan kawasan
permukiman di utara Kota Semarang. Terutama lagi setelah terbit Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 16/1976 tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat
II Semarang. Kebijakan tersebut membuat wilayah Kota Semarang diperluas ke sisi
barat, utara, timur, dan selatan. Pada bagian utara hingga timur, sebagian wilayah
Kabupaten Demak di Kecamatan Genuk, masuk menjadi bagian Kota Semarang.
Imbasnya, pengembangan perumahan juga merembet sampai ke daerah timur
yang berdekatan dengan Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.140
PT Tanah Mas tidak bermain seorang diri. Di pesisir Kota Semarang, masih
terdapat beberapa pengembang lain yang beroperasi. Misalnya saja PT Sinar
Puri Anjasmoro yang mengembangkan kompleks perumahan mewah Puri
Anjasmoro di dekat Pantai Marina. Kemudian ada Marina Centra Cipta (PT Indo
Perkasa Usahatama/IPU Group) yang mengembangkan Puri Marina di tepi Pantai
Marina. Ada pula PT Tanah Mas Baru yang mengembangkan kawasan industri
di Semarang Utara dan PT Semarang Indah Group yang mengembangkan
perumahan mewah Semarang Indah di Semarang Barat.
Reklamasi di kawasan Pantai Marina dilakukan pada 1985. Bersamaan dengan
itu, ada pengurukan area perairan untuk kepentingan pembangunan kawasan
Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) Jawa Tengah. Reklamasi

139
Menariknya, Tanah Mas justru termasuk dalam zona I kawasan ambles dengan ketebalan material urug antara
3-4,5 meter, tebal lempung lunak 25-30 meter, ketebalan pasir 15-17 meter. Lihat: (1) Batubara, Bosman,
Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah. 2021. Banjir Sudah Naik Seleher:
Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta
Prima Nusantara.; dan (2) Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis
Kawasan Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
140
Desa-desa di Kecamatan Genuk Kabupaten Demak yang masuk dalam perluasan Kota Semarang
meliputi; Desa Tambakrejo; Desa Trimulyo; Desa Muktiharjo; Desa Gebangsari; Desa Genuksari; Desa
Karangroto; Desa Banjardowo; Desa Sambirejo; Tlogosari; Desa Bangetayu; Desa Kudu; Desa
Sembungrejo; Desa Tlogosari; Desa Penggaron; Desa Plamongansari; Desa Sendangmulyo.
Perluasan Kota Semarang ke penjuru lain meliputi; sebagian dari wilayah Kabupaten Kendal yang
terdiri dari sebagian desa di Kecamatan Tugu dan sebagian desa di Kecamatan Mijen; sebagian dari
wilayah Kabupaten Semarang yang terdiri dari sebagian desa di Kecamatan Gunungpati dan
sebagian desa di Kecamatan Ungaran. Republik Indonesia. 1976. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 1976 Tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Indonesia.

85
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

PRPP bermula dari terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah saat itu,
Muhammad Ismail, pada 26 Januari 1985. Setelah itu, pemerintah membentuk
Yayasan PRPP yang berperan sebagai pengelola tanah. Yayasan PRPP kemudian
ditugaskan untuk bekerja sama dengan PT Uber Vista Indah melalui Surat
Perintah Kerja nomor 510.1/02442/1985.141
Dalam proyek PRPP, PT Uber Vista Indah memiliki beberapa tugas khusus.
Mulai dari proses menyusun gambar rencana, menjadi kontraktor pembangunan
Semarang Square, sampai menjadi investor pembangunan PRPP itu sendiri.
Presiden Soeharto meresmikan bangunan Semarang Square tahap I pada 1986.
Namun lantaran PT Uber Vista tidak mampu lagi melanjutkan proyek, setelah
peresmian, lantas Gubernur Ismail meminta pemilik PT Puri Sakti Indah untuk
ikut berinvestasi dalam proyek PRPP.
Pemilik PT Puri Sakti Indah cepat merespon permintaan dari gubernur. Dia
langsung mendirikan PT Indo Perkasa Usahatama—belakangan berganti nama
menjadi PT Indo Permata Usahatama (IPU). Kemudian PT IPU diminta segera
mempersiapkan penyelenggaraan PRPP pada 1987. Dalam hal ini, termasuk
membuat desain rencana induk Taman Mini Jawa Tengah, desain rencana induk
PRPP, dan sekaligus melakukan pembebasan tanah seluas 108 hektare. Dalam
perkembangannya luas tanah 108 hektar dirasa tidak cukup. Akhirnya PT IPU
menambah daratan dengan cara mereklamasi laut, sehingga total keseluruhan
area proyek PRPP menjadi 237 hektare.142
Proses pembebasan tanah yang dikerjakan PT IPU tidak berjalan mulus.
Saat itu sempat muncul ketegangan antara PT IPU dengan warga Tawang Mas.
Warga di sana sampai membentuk sebuah organisasi advokasi bernama Forum
Komunikasi Masyarakat Tawang Mas (FKMTM). Dari catatan FKMTM, sepanjang
1984-1987, PT IPU memang membebaskan lahan dan kemudian menguruk sawah,
tambak, hingga Sungai Tawang Mas.143 Semula warga menganggap pembebasan

141
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
142
Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah. 2021.
Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by W.
Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara.
143
Tawang Mas masuk dalam kawasan ambles zona II, dengan ketebalan material urug terdeteksi 2-3
meter, tebal lempung lunak 20-25 meter dan ketebalan pasir 10-15 meter. Batubara B, Wagner I,
Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak;
2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.

86
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

dan pengurukan itu untuk PRPP semata. Namun belakangan warga menyadari
bahwa itu justru untuk reklamasi Pantai Marina Tahap I.144
Lambat laun warga Tawang Mas mulai merasakan dampak buruk reklamasi.
Misalnya, warga merasa ketinggian genangan banjir rob di rumah menjadi lebih
tinggi (sampai setengah meter). Genangan air rob acap berwarna hitam pekat,
karena mengandung sampah dan lumpur. Akibatnya, para penduduk, terutama
perempuan, harus mengeluarkan tenaga ekstra pada saat membersihkan rumah.
Anak-anak menjadi lebih rentan pula terserang penyakit, terutama gatal-gatal.145
Nahasnya, pengembangan permukiman baru di pesisir Semarang tersebut
banyak dilakukan pada 1980an. Ketika itu, dokumen Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) belum menjadi dokumen wajib yang perlu dipegang para
pengembang.146 Sekitar 40 tahun kemudian, seorang penduduk di Perumahan
Raden Patah, Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung, tegas menyebut bahwa ada
dampak lingkungan dari reklamasi Tanah Mas, Puri Anjasmoro, Semarang Indah,
dan PRPP. Salah satu dampak tersebut adalah membeloknya arus laut ke arah
timur dan sedikit demi sedikit menggerus wilayah pesisir Sayung.147
Pada 1990an, Pemerintah Indonesia sedang berada dalam tahap Pembangunan
Lima Tahun (Pelita) V (1989-1994). Salah satu target Pelita V adalah pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 6%. Karena adanya target itu, Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah mensiasatinya dengan cara membuka lebih lebar keran investasi.
144
Menurut FKMTM, pengurugan Sungai Tawang Mas merupakan perbuatan sewenang-wenang yang
tidak mempedulikan lingkungan dan hak-hak masyarakat. Forum Komunikasi Masyarakat Tawang
Mas. 2016. “Sekilas Tentang Reklamasi Pantai Marina Semarang Yang Menggilas Hak Asazi Warga
Tawang Mas, Nelayan Tawang Mas Dan Sekitarnya.” Fkmtm.Blogspot.Com. Retrieved August 18,
2022 (http://fkmtm.blogspot.com/2016/08/sekilas-tentang-reklamasi-pantai.html).
145
Pada 2004, karena dampak tersebut semakin parah, FKMTM mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Semarang. Selain menyoal reklamasi Pantai Marina, FKMTM juga menandai reklamasi untuk
pembangunan Puri Anjasmoro (di dekat PRPP dan Pantai Marina), Perumahan Semarang Indah, dan
PRPP. Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah.
2021. Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited by
W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara.
146
Hampir seluruh pengembangan permukiman baru tersebut dilengkapi aneka fasilitas. Mulai dari
penyediaan jasa layanan sosial, jasa transportasi lokal maupun regional, infrastruktur, utilitas yang
berkualitas, hingga lingkungan hijau. Bahkan di Kawasan Puri Marina, dilengkapi pula adanya
kompleks pendidikan, olahraga, kesehatan, dan rekreasi. Lihat: (1) Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah
Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak 1960-an-2000.”
Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta; dan (2) Yakub,
Hisyam. 2004. “Hasil Penelitian Kajian Daya Tarik Dunia Pada Perumahan Kawasan Tepi Pantai
(Water Front City) Di Kota Semarang.” Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.
147
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.

87
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Ketika itu, pola investasi yang diterapkan sangat berdasarkan potensi masing-masing
wilayah. Ada beberapa sektor investasi yang coba dikerjakan di Jawa Tengah, mulai dari
pertanian, air payau, pertambangan, industri, dan pariwisata.
Sepanjang pantai utara (Pantura) dipandang potensial untuk pengembangan
sektor industri. Akhirnya di Kota Semarang disediakan lahan untuk membangun
pabrik, kawasan perumahan, dan kawasan pariwisata bagi pengembangan usaha
para investor. Ada dua daerah yang dikonsentrasikan sebagai kawasan industri
di Kota Semarang: Kawasan Industri Tugu seluas 1.200 hektare di Kecamatan
Tugu (berada di bagian utara-barat kota) dan Kawasan Industri Genuk seluas
800 hektare di Kecamatan Genuk (berada di bagian utara-timur kota).148
Kawasan industri membutuhkan Pelabuhan Tanjung Mas untuk distribusi barang.
Oleh sebab itu, pembenahan di pelabuhan pun perlu dilakukan untuk menunjang
industri. Salah satu bentuk pembenahan adalah dengan membangun pemecah
ombak (breakwater) untuk melindungi wilayah pelabuhan dari gangguan gelombang.
Panjang pemecah ombak tersebut mencapai 4.970 meter yang dilengkapi jalan masuk
kapal sepanjang empat kilometer (lebar 150 meter dan kedalaman tujuh meter).
Adanya pembangunan pemecah ombak (breakwater) memungkinkan kapal
besar pembawa barang ekspor dan impor merapat langsung di pelabuhan.149
Pembangunan breakwater merupakan bagian dari rencana induk (masterplan)
pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas tahap II. Selain pemecah ombak,
dibangun pula dermaga peti kelas dengan panjang 345 meter, dilengkapi empat
unit gantry crane dan delapan unit rubber tyred gantry (RTG) sebagai alat
bongkar muat kontainer. Pengembangan pelabuhan tahap II selesai tahun 1997.150
Tahap 1 pengembangan pelabuhan dikerjakan pada 1980an. Pada tahap I
nama “Pelabuhan Tanjung Mas” mulai dipakai secara resmi. Penyematan nama
tersebut diresmikan Presiden Soeharto pada 23 November 1985. Pada tahap I,
pertumbuhan distribusi barang-barang industri memang sedang meroket. Pada
1970-1983, arus barang di pelabuhan rata-rata naik 10% setiap tahun.

148
Banyak lahan yang dijadikan kawasan industri, semula merupakan area sawah dan tambak yang
masih produktif. Lihat: Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.”
Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
149
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang..
150
Ardhani, Hani Rahma. 2018. “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Operator Terminal Petikemas Semarang.”
Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro, Semarang.

88
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Awal 1980an Pelabuhan Tanjung Emas baru bisa dimasuki kapal berbobot
5.000 deadweight tonnage (DWT)151. Mensiasati itu, pada 1986, pihak pelabuhan
mereklamasi laut seluas 24 hektare untuk pembuatan dermaga utama. Panjang
dermaga tersebut mencapai 495 meter dengan kedalaman sekitar sembilan
meter. Pembangunan dermaga ditujukkan agar kapal dengan kapasitas angkut
barang lebih besar (10.000 DWT) dapat masuk.152
Proyek tahap II bukan pengembangan pelabuhan yang terakhir. Pasalnya,
masterplan pelabuhan memuat sampai tiga tahap pembangunan. Pada tahap III,
pemerintah memproyeksikan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang sebagai salah
satu pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia. Seakan belum cukup, kini
pengembangan Tanjung Emas masih terus berjalan, bahkan masuk dalam Master
Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).153
Awal 1990an pengembangan pelabuhan dan pertumbuhan industri di Genuk
sedang bergeliat. Pada waktu yang sama, secara berangsur-angsur, tambak-
tambak di pesisir Sayung mulai tenggelam. Alhasil banyak keluarga petambak
kehilangan sumber penghidupan sehari-hari. Dari situ beberapa warga Sayung
punya penanda sejak kapan air laut makin naik dan menenggelamkan tambak,
sawah, dan rumah. Hampir semua menandainya sejak pembangunan di Pantai
Marina, Pelabuhan Tanjung Emas, dan kawasan Industri Terboyo di Genuk.154

Telungpuluhtelu, warga Desa Sriwulan mengatakan hal serupa. Menurutnya,


pada 1980an, jarak rumah dengan bibir pantai Sriwulan masih 3-4 kilometer.
Namun sejak adanya pengembangan Tanjung Mas, pelan-pelan air laut terus
menggerus bibir pantai Desa Sriwulan.155 Sementara warga Dukuh Deles (Desa
Purwosari), Sewelas menyebut bahwa dulu dia tidak pernah mendapati air laut
masuk ke kampung. Namun sejak pelabuhan terus diuruk, akhirnya air laut
mulai masuk ke Kampung Deles. Bahkan kini, tambah Sewelas, hampir setiap
hari dirinya selalu berjumpa dengan rob.

151
Satuan bobot mati kapal.
152
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
153
Kelanjutan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas ada pada sub-bab berikutnya.
154
Pantai Marina termasuk dalam zona I kawasan ambles dengan ketebalan material urug antara
3-4,5 meter, tebal lempung lunak 25-30 meter, dan ketebalan pasir 15-17 meter. Lihat: Batubara B,
Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir
Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
155
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, Oktober 2021.

89
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Pelabuhan niku kan diurug-diurug dadi dampake mangke teng mriki


ngonten. La riyen mriki niku mboten onten rob. La sakniki tekan mriki
rob e,” ujar Sewelas.156

Warga Desa Bedono punya penanda yang sama dengan warga Tawang Mas
dan warga Desa Sriwulan. Warga Desa Bedono pun berkata, pembangunan di
Pelabuhan Tanjung Mas pada 1985 menyebabkan adanya peningkatan intensitas
rob dan pada gilirannya menciptakan abrasi di Desa Bedono sejak 1990.
Sebelum adanya pengembangan pelabuhan, banjir rob memang sudah sering
muncul di Desa Bedono. Namun, seperti kata warga yang dulu bermukim di
Tambaksari, Pak Wolu, semula rob justru menjadi bagian dari penghidupannya
sebagai petambak. Sebab, para petambak tradisional seperti Pak Wolu memang
membutuhkan air rob untuk mendapat benih udang, ikan, dan sekaligus untuk
menciptakan air payau. Semua berubah ketika intensitas rob yang masuk ke
daratan makin sering dan tinggi. Peningkatan intensitas itulah yang disebabkan
oleh adanya aneka pembangunan di Kota Semarang.157
Ada benang merah dari cerita warga Tawang Mas, Sriwulan, dan Bedono.
Apa yang warga tandai menunjukkan bahwa pembangunan yang menjorok ke
laut, seperti reklamasi, memang menyebabkan air laut melimpas ke area pesisir
terdekat.158 Menurut Damayanti (2013), pembangunan yang menjorok itu pula
yang memicu perubahan arus laut dan pada gilirannya menimbulkan abrasi.
Dengan kata lain, limpasan air laut dari hasil ombak yang dipecah di kawasan
pelabuhan, sebagian mengarah ke timur dan mengikis daratan Pantai Bedono.159
Ilham Aulia Nur Fuady (2016) dalam Riyana Damayanti (2019) mencatat hal
serupa. Pembangunan tanggul untuk memecah ombak (break water) dengan
pola tertutup di pelabuhan memang mengubah arah dan besaran kekuatan arus
laut. Di pelabuhan kekuatan dan kecepatan arus laut cenderung mengalami
penurunan. Sedangkan di luar kawasan pelabuhan cenderung meningkat dari
0,012 meter/detik menjadi 0,022 meter/detik.

156
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “Pelabuhan itu kan diurug-urug, jadi dampaknya ke
sini. Dulu di sini tidak ada rob, sekarang ada rob.” Lihat: Wawancara dengan Sewelas, Oktober 2021.
157
Struktur Kampung Tambaksari era 1980-an berturut-turut dari pantai adalah pantai - tambak -
rumpun mangrove - sawah - permukiman. Lihat: Wawancara dengan Pak Wolu, Agustus 2022.
158
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
159
Damaywanti, Kurnia. 2013. “Dampak Abrasi Pantai Terhadap Lingkungan Sosial (Studi Kasus Di Desa
Bedono Sayung Demak).” dalam Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Semarang: Universitas Diponegoro.

90
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Sebelum break water dibangun, saat pasang air tertinggi, gelombang arus
laut mengarah ke selatan dengan ketinggian 0,5-1,5 meter. Namun setelah break
water dibangun, gelombang arah arus laut bergerak ke utara. Sementara saat
surut terendah, gelombang arus laut dari Pelabuhan Tanjung Emas langsung
mengarah ke timur dan utara—tempat di mana sawah, tambak, dan rumah
orang-orang desa pesisir Sayung berada.
Kendati demikian, tidak semua penduduk sampai pada penandaan semacam
itu. Misalnya, beberapa warga Desa Bedono lebih percaya rob dan abrasi
merupakan pemberian Tuhan. Anggapan tersebut, menurut Damayanti (2019),
disebabkan oleh jarak pengembangan pelabuhan dan terjadinya abrasi terpaut
waktu cukup panjang.160 Selain itu, momen abrasi terjadi bersamaan dengan
peningkatan laju amblesan tanah dan kenaikan ketinggian rob. Momen-momen
tersebut tidak terjadi dalam waktu sehari, melainkan selama bertahun-tahun.
Oleh sebab itu, momen abrasi tidak mudah diamati dan dicari penyebabnya.

b. Pembangunan di Sayung
Pada 08 Agustus 2021, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Demak, Arso
Budiyatno menyatakan, pesisir Kecamatan Sayung mengalami penurunan tanah
(land subsidence) sebesar 4-12 cm/tahun. Angka tersebut diingat Arso dari rapat
sebuah konsorsium pada bulan Juni 2021. Rapat itu dihadiri Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas ESDM Provinsi
Jawa Tengah, Universitas Diponegoro Semarang, dan Wetlands International—
sebuah organisasi asal Belanda.161
Menurut Arso, rapat lintas lembaga tersebut menyimpulkan beberapa hal
menarik. Pertama, land subsidence di wilayah pesisir Demak merupakan satu-
kesatuan dengan apa yang terjadi di Kota Semarang. Kedua, wilayah Sayung
merupakan pesisir utara Demak yang memiliki lapisan tanah yang relatif muda,
sehingga tidak cukup kuat untuk menahan beban berat seperti bangunan besar.
Apabila dipaksakan, maka itu dapat memperparah laju penurunan muka tanah.
Ketiga, ada indikasi bahwa pabrik-pabrik di Kecamatan Sayung mengambil air
tanah (sumur artesis/bor) secara berlebihan, sehingga memicu amblesan tanah.

160
Substansi dua paragraf ini didapat dari: Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi,
Universitas Diponegoro, Semarang.
161
Kerja-kerja Wetlands International berada di seputaran isu mempertahankan dan merestorasi tanah
basah, sumber daya masyarakat, dan keragaman hayati.

91
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Tabel 5: Daftar sebagian pabrik di Sayung, terutama yang beralamat di Jalan Raya Semarang-Demak.
Sumber: Diolah dari https://www.alamatelpon.com/2018/10/daftar-pabrik-industri-di-demak-jateng.html.

Nama Perusahaan Bidang

PT Albeta Wijaya Pengolahan kayu ( decking )

PT Artha Kayu Indonesia Pembuatan lantai kayu (parket)

PT Bahana Buana Box Pembuatan kotak karton kemasan

PT Eteron Pharma Industri farmasi/obat-obatan

PT Gaviansi Pembuatan furniture/mebel

PT Hartono Istana Teknologi Pabrik elektronik merek Polytron

PT Indo Pool Jaya Pabrik kayu olahan

PT Java Tohoku Industries Pengolahan minyak kulit mete

PT Karya Cipta Unggul Nusantara Jasa moulding (dekorasi dinding dengan kayu)

PT Lulu Indonesia Pembuatan album foto

PT Mebel Antik Dimensi Pembuatan mebel

PT Nusantara Building Industries Pembuatan asbes gelombang

PT Reckitt Benckiser Produk kesehatan, higienitas, dan rumah tangga.

PT Saniharto Enggal Hardjo Pembuatan mebel, veneer, pintu, bent wood.

PT Sayung Adhimukti Penyamakan kulit

PT Surya Karya Utama Karoseri kendaraan bermotor

PT Surya Rengo Containers Pabrik karton kemasan

PT Tanjung Mas Inti Percetakan kitab Al-Qur’an

PT Varia Usaha Beton Pabrik beton cor ready mixed

CV Aneka Ilmu Percetakan Buku

92
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Seperti kata Arso, “Sayung termasuk zona industri.” Arso memperkirakan


ada 30-40 bangunan pabrik di wilayah Sayung.162 Awal mula industri di Sayung
tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan industri di Kecamatan Genuk,
Kota Semarang. Merespon perkembangan tersebut, Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Demak menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 19
Tahun 1991 tentang batas wilayah kota Kecamatan Sayung. Dalam peraturan itu
disebutkan, ada lahan seluas 140 hektare di barat Sayung bakal dikembangkan
menjadi kawasan industri, perdagangan, dan jasa.
Sejak saat itu pabrik-pabrik semakin banyak bermunculan di lokasi industri
yang ditetapkan. Pabrik-pabrik itu terkonsentrasi di Desa Sriwulan, Purwosari,
dan Sayung.163 Ada banyak jenis pabrik di sana, mulai dari pabrik mebel, barang
cetakan, plastik, karton, obat-obatan, elektronik, sampai karoseri mobil. Semua
pabrik berdiri persis di sepanjang Jalan Raya Semarang-Demak—salah satu
bagian dari jalur utama distribusi perdagangan di Pulau Jawa. Beberapa pabrik
dapat disimak pada Tabel 5.164
Beberapa desa yang jauh dari jalan raya tidak menjadi lokasi industri. Dalam
“Perjumpaan I”, desa-desa itu disebut dengan desa pantai; terletak di pesisir
dan cukup jauh dari jalan raya. Dalam konteks ini, posisi desa-desa pantai
hanya menjadi penyangga pertumbuhan industri di Kecamatan Sayung. Dengan
begitu, sebenarnya pengembangan kawasan industri di Sayung tidak banyak
membawa dampak positif terhadap peningkatan pembangunan di desa pantai
seperti Bedono, Timbulsloko, dan Surodadi.165
Misalnya saja di Desa Bedono yang berjarak tiga kilometer dari Jalan Raya
Semarang-Demak. Di Bedono tidak terdapat bangunan industri maupun kantor
instansi. Menurut Asrofi Dkk (2017), permukiman, tambak, sekolah, dan lokasi
wisata bukan bangunan bernilai strategis bagi pemerintah daerah dan/atau
pemerintah pusat. Karena bukan bangunan strategis, setidaknya hingga 2017,

162
Kominfo. 2021. “Kontur Tanah Muda Dan Kawasan Industri, Penyebab Penurunan Tanah Di Demak.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022 (dinkominfo.demakkab.go.id).
163
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
164
Tri, Rosida. 2018. “Daftar Pabrik Industri Di Demak Jateng.” Alamatelpon.Com. Retrieved August 18,
2022 (https://www.alamatelpon.com/2018/10/daftar-pabrik-industri-di-demak-jateng.html).
165
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.

93
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

tidak ada penanganan maksimal yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi


banjir rob dan aneka dampaknya di Desa Bedono.166
Kembali ke rapat konsorsium yang dihadiri Arso Budiyatno. Dalam rapat
disebut bahwa pembebanan bangunan dan pengambilan air bawah tanah secara
berlebihan di wilayah Sayung, ikut memengaruhi amblesan tanah di Kota
Semarang—terutama di Genuk, Terboyo, dan kawasan pelabuhan. Begitu pula
sebaliknya: pembebanan bangunan dan ekstraksi air bawah tanah secara
berlebihan di Kota Semarang berkontribusi pada laju amblesan tanah di wilayah
Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.167

Arso Budiyatno menambahkan, rob bakal terasa semakin tinggi di daerah-


daerah yang mengalami amblesan tanah. Kemudian rob semakin meluas lagi ke
area yang belum terasa ambles. Ditegaskan Arso, di Kebupaten Demak area
yang ambles terletak di wilayah pesisir Kecamatan Sayung. Wilayah Kecamatan
Bonang belum ambles seperti pesisir Sayung, namun robnya telah naik.168
Banjir rob di Kecamatan Sayung memang terus meluas. Semula rob hanya
menggenangi desa-desa pantai, kemudian makin masuk lagi ke desa-desa yang
tidak berbatasan dengan pantai. Salah satunya adalah Desa Purwosari—tempat
pabrik-pabrik besar berdiri. Dua perempuan asal Desa Purwosari, Nemlikur
dan Telu mengatakan bahwa dulu di Puwosari tidak pernah ada banjir—baik
166
“Nilai strategis suatu daerah diperlukan untuk menentukan tingkat perhatian pemerintah. Adanya
sesuatu nilai yang strategis tentu menjadikan prioritas dalam penanganannya,” dikutip utuh dari
artikel yang disusun Akhmad Asrofi, seorang zeni (bagian insinyur dari pasukan militer yang bertugas
pokok menyelenggarakan rekayasa teknik dan militer) yang pada 2017 bertugas di Kodam
XVII/Cenderawasih. Lihat: Asrofi, Akhmad, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko. 2017.
“Strategi Adaptasi Masyarakat Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya
Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi Di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa
Tengah).” Jurnal Ketahanan Nasional 23(2):125–44.
167
Menurut Arso Budiyanto, Pelabuhan Tanjung Emas memang kerap melakukan pengambilan air
tanah (sumur artesis) untuk mencukupi kebutuhan kapal-kapal besar yang bersandar di sana. Riset
GroundUp (2019-2022) juga menunjukkan bahwa selain Pelabuhan Tanjung Emas, aktor yang ikut
mengekstraksi air bawah tanah adalah warga melalui Pamsimas dan/atau sumur artesis kolektif
lainnya. Namun warga di sini tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Sebab program Pamsimas pun
muncul berkat inisiasi pemerintah. Persoalannya, seperti di daerah Genuk, sumur artesis adalah
sumber air yang paling memungkinkan bagi warga karena dua alasan. Pertama, di sana jaringan air
perpipaan PDAM belum tersedia secara maksimal. Kedua, harga air PDAM lebih mahal ketimbang
air dari sumur artesis. Lihat: Ardhianie, Nila; dan Bagas Yusuf Kausan. (Dalam proses). Dulu dan
Sekarang: Menyoal Penyediaan Air di Kota Semarang .
168
Kominfo. 2021b. “Kontur Tanah Muda Dan Kawasan Industri, Penyebab Penurunan Tanah Di
Demak.” Dinkominfo.Demakkab.Go.Id . Retrieved August 18, 2022 (https://dinkominfo.demak
kab.go.id/berita/detail/kontur-tanah-muda-dan-kawasan-industri-penyebab-penurunan-tanah-
di-demak).

94
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

itu banjir hujan maupun banjir rob. Ketika itu, area belakang rumah mereka
masih berupa sawah dan kebun. Apabila hujan tiba, air langsung meresap ke
tanah yang ditumbuhi pohon pisang, garut, dan mangga.
Pabrik datang dan banyak menggantikan lahan kebun dan sawah di Desa
Purwosari. Akibatnya, ketika hujan datang, air tidak bisa lagi langsung meresap
ke tanah. Kini jika hujan turun begitu lebat, air bakal bertahan, menggenang,
bahkan selama hampir sepekan. Sejak ada pabrik pula, Desa Purwosari mulai
merasakan banjir rob. Kini hampir setiap hari Nemlikur dan Telu, di tengah
usia mereka yang sudah lanjut, harus selalu berjumpa dengan banjir rob.169

“Rumahe pendek banget, mesti kena (banjir). Kalau hujan ya sini jalane banjir.
Terus hilangnya (air) juga lama, nunggu disedot dulu. Soale kan pembuangannya
mungkin sulit ya. Larinya airnya (sulit), itu ada pabrik di belakang rumah.
Belakang sini pabrik kayu, mampet gotnya gitu. Depannya sana pabrik Tango,
sebelah gudangnya Alfamart. Nek dulu kan ndak ada pabrik (hilangnya air) cepet.
Sawah-sawah semua,” kata Nemlikur.170

Momen pertumbuhan sektor industri—baik itu di Sayung maupun di Kota


Semarang—berpaduan dengan momen banjir rob itu sendiri. Hasil daripada
perpaduan itu ialah rob yang menghantam desa-desa pesisir Sayung. Tidak hanya itu,
banjir rob kerap mendorong air limbah pabrik yang biasanya berlabuh di laut
menjadi kembali ke daratan. Misalnya saja kasus kerusakan tambak-tambak di
Desa Bedono, karena terkena limpasan rob yang mengandung limbah.
Hal serupa terjadi di Desa Sriwulan. Namun nahasnya, ketika Desa Sriwulan
diterjang banjir rob, area Pelabuhan Tanjung Emas dan sekitarnya justru tidak
mengalami apa-apa, karena dilindungi pemecah ombak. Sedangkan tambak-
tambak warga di Desa Sriwulan, tercemar limbah pabrik yang mengalir melalui
Sungai Babon, namun kembali lagi ke daratan Sriwulan karena terbawa banjir
rob. Sebelum bermuara ke laut, Sungai Babon melewati banyak lingkungan
pabrik di daerah Kaligawe dan Genuk.
Pada awal 1990an, setidaknya ada enam pabrik yang berdiri di tepi Sungai
Babon. Keenam pabrik tersebut adalah PT Condro Purnomo Cipto, PT Puspita
Abadi, PT Rodeo, Bintang Buana, CV Sumber Baru, dan Puskud Mina Baruna.
Pabrik-pabrik itu memproduksi pakaian jadi, pengolahan kulit, pengolahan
kertas, hingga pabrik pembekuan pangan. Pabrik-pabrik di tepi sungai itu
membuang limbah lewat saluran yang ada di bawah jembatan Sungai Babon.

169
Wawancara dengan Nemlikur dan Telu, pada 27 Oktober 2021.
170
Wawancara dengan Nemlikur, 27 Oktober 2022.

95
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 24: Letak Sungai Babon yang mengalir dari kawasan industri di Kaligawe (Kota Semarang)
menuju Desa Sriwulan—tempat tambak-tambak warga. Sumber: Diolah oleh Syarifah Atia, 2022.

Salah satu jenis limbah yang dibuang ke sungai adalah sisa pengolahan kulit
yang telah disamak. Dalam proses pengolahan kulit, pabrik menggunakan cairan
zat kimia. Limbah tersebut masuk ke aliran Sungai Babon, menciptakan bau
busuk dan membuat sungai berwarna kemerahan. Padahal di Desa Sriwulan,
beberapa petambak masih memakai Sungai Babon untuk pengairan. Akibatnya,
udang dan bandeng yang siap panen mati. Begitu pula dengan makanan alami
bagi benur (bibit udang) dan nener (bibit bandeng) yang ikut mati.171
Di Desa Bedono, sejak 1992, para petambak sering menjumpai air Sungai
Babon berwarna putih dan berbau tidak sedap. Pada Oktober 1994 tingkat
pencemaran makin memuncak. Bahkan Desember 1994 sampai Januari 1995,
warga sering mendapati ribuan udang windu mengambang dalam keadaan mati
membusuk. Tentu saja, karena udang tersebut mati, maka itu berarti tak bisa

171
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta .

96
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

dimakan dan tidak laku dijual. Warga Desa Bedono yakin yang memicu kerugian
tersebut adalah pencemaran di Sungai Babon.172
Pemecahan persoalan pencemaran Sungai Babon selalu saja berlarut-larut.
Salah satu penyebabnya, karena menyangkut dua wilayah administrasi yang
berbeda: Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Padahal pencemaran sungai
yang berimbas pada tambak warga sudah sedemikian jelas dan nyata. Bahkan
keluhan para petambak telah divalidasi Balai Budidaya Air Payau Jepara. Penelitian
balai tersebut menunjukkan, air Sungai Babon memang tercemar limbah industri.
Setidaknya ada 300an hektare tambak di Desa Bedono dan Desa Sriwulan
yang tercemar limbah pabrik. Baik itu yang tercemar langsung dari Sungai
Babon atau dari Sungai Babon yang dibawa kembali ke daratan oleh banjir
rob. Pencemaran tersebut berdampak kepada sekitar 615 petambak yang
merugi sampai Rp400 ribu/hektare. Dengan kata lain, saat itu, total kerugian
dari pencemaran tambak di Sayung mencapai Rp120 juta.
Para petambak Sayung sempat mengadu ke DPRD Kota Semarang. Namun
itu tidak berbuah hasil, lantaran Desa Bedono dan Desa Sriwulan berada di
luar wilayah administrasi DPRD Kota Semarang. Pada 1994, Wali Kota Semarang
sempat menerbitkan Surat Keputusan Nomor 660.2/993/1994 tentang Program
Kali Bersih. Surat itu menyebutkan, perusahaan-perusahaan yang pabriknya
berada di tepi Sungai Babon, bertanggungjawab untuk mengurangi pencemaran
limbah dan mengembalikan fungsi utama sungai.173 Namun demikian, surat itu
tetap tidak banyak membawa perubahan bagi para petambak di Sayung.
Para petambak Sayung sempat menghadiri acara dengar pendapat dengan
DPRD Provinsi Jawa Tengah. Acara itu menghadirkan beberapa pihak seperti
anggota DPRD Jawa Tengah, perwakilan pabrik-pabrik pembuang limbah, dan
ratusan petambak. Namun lagi-lagi, hasil dengar pendapat sangat jauh dari apa
yang diharapkan warga. Pasalnya, dari total kerugian petambak sebesar Rp120
juta, para pemilik pabrik pembuang limbah hanya mau memberikan Rp15 juta.
Artinya, setiap petambak hanya dihitung rugi sebesar Rp25 ribu saja.174

172
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
173
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta .
174
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.

97
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Semula para petambak sepakat menolak uang Rp15 juta yang dibahasakan
dengan istilah “tali asih”. Akan tetapi, Camat Sayung, Komandan Rayon Militer
(Koramil) Sayung, dan Kepala Kepolisian Sektor Sayung bantu mendesak warga
untuk menerima. Karena tidak ada pilihan lain, para petambak menerima uang
tersebut, namun tidak dibagi secara merata. Warga justru menggunakan uang
Rp15 juta tersebut untuk memperbaiki jalan.
Walau menerima, sebagian petambak tetap menuntut penggantian kerugian
ke Pengadilan Negeri Semarang. Para petambak didampingi Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) Jawa Tengah. Tuntutan warga menang pada pengadilan tingkat
pertama. Namun pada tingkat banding, keadaan mulai berbalik arah; pabrik-
pabrik pembuang limbah justru memenangkan perkara. Dalam hukum, putusan
banding merupakan putusan terakhir yang berarti ratusan juta kerugian para
petambak akibat pencemaran tidak mendapat penggantian.
Kerugian warga terus berlanjut. Sebelumnya ribuan udang mati, sehingga
membuat para petambak tidak berani menebar benur (benih udang) lagi. Mereka
coba menunggu hingga dua periode pembudidayaan (kurang lebih satu tahun)
supaya kondisi tambak lebih memungkinkan. Persoalannya, ketika petambak
tidak beraktivitas, tagihan pajak atas lahan-lahan tambak tetap harus dibayar.
Keterdesakan oleh tagihan pajak membuat petambak perlu terus bergerak dan
melakukan banyak cara.
Di tengah keterdesakan, sebagian orang memutuskan untuk nekat kembali
bertambak. Orang-orang tersebut jelas tahu bahwa tambak belum benar-benar
bersih dari limbah. Tapi apa daya, mereka terdesak keadaan. Karena itu, alih-
alih menebar benur seperti biasanya, mereka justru lebih memilih nener (benih
ikan bandeng). Salah satu pertimbangannya, ikan bandeng dianggap lebih tahan
penyakit. Sementara petambak lain ada yang memutuskan tidak bertambak
lagi. Mereka berganti penghidupan menjadi nelayan, sembari mengandalkan
pendapatan anak-anak mereka yang bekerja menjadi buruh pabrik.175

2. Se jak Abr asi Bermula hingga Saa t Ini


30 tahun lalu, Telungpuluhtelu membeli rumah di Perumahan Pondok Raden
Patah, Desa Sriwulan. Semula dia bermukim di pusat Kota Yogyakarta. Saat
dia membeli rumah, Pondok Raden Patah baru dua tahun dikembangkan. Waktu
itu, suasana pertanian yang melingkupi area Pondok Raden Patah masih kental.

175
Lihat: (1) Wawancara dengan Pak Wolu, pada 7 Agustus 2022; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019.
“Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam
Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.

98
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Hal itu menjadi salah satu pertimbangan Telungpuluhtelu untuk membeli rumah
dan kemudian bermukim di Pondok Raden Patah. Sejak awal, Telungpuluhtelu
sudah mengetahui pemilik perumahan tersebut adalah Wali Kota Semarang saat
itu, Sukawi Sutarip.176

“Dulu pemasarannya dari Pak Kawi, Pak Sukawi. Sama istrinya Bu Endang,
Bupati Demak.177 Tahap I ini punyanya Pak Kawi. Yang tahap II, tahap III, itu
miliknya Bu Endang. Tahap I lokasinya dari depan masuk, RW 3, RW, 4, RW
5. Tahap II, RW 6, RW 7. Tahap III satu RW, RW 8, paling ujung sana, tepi
laut,” terang Telungpuluhtelu.178

Menurut Telungpuluhtelu, pada awal dia menempati rumah, letak rumah-


rumah di Pondok Raden Patah tidak berada di tepi laut. Jarak dari rumah ke
laut masih sekitar 3-4 kilometer. Sejauh 3-4 kilometer terbentang hamparan
kebun, sawah, dan tambak. Dia tidak tahu jumlah unit rumah yang dibangun
pengembang Pondok Raden Patah. Namun berdasarkan laman Bank Perkreditan

176
Sukawi Sutarip merupakan Wali Kota Semarang dua periode jabatan, 2000-2010. Sejak dilantik
sebagai Wali Kota periode I, pada 19 Juli 2000, dia tidak mengurus bisnisnya, lalu kembali mengurus
bisnisnya pada 2010 ketika sudah tidak menjabat Wali Kota. Dengan bendera “Sukawi Jaya”, dia
mengembangkan bisnis perumahan di Semarang dan Temanggung. Dia juga memiliki bisnis Bank
Perkreditan Rakyat serta stasiun pengisian bulk elpiji yang dijalankan bersama bungsunya. Pada saat
menjabat sebagai Wali Kota Semarang, Sukawi tercatat sebagai salah satu pejabat negara di Jawa
Tengah dengan kekayaan tertinggi, sekitar Rp 65miliar. Sukawi juga tercatat pernah memimpin DPD
Partai Demokrat Jawa Tengah. Lihat: Sohirin. 2010. “Sukawi Kembali Jadi Pengusaha.”
Nasional.Tempo.Co. Retrieved July 14, 2022 (https://nasional.tempo.co/read/264279/sukawi-
kembali-jadi-pengusaha).
177
Endang bernama lengkap Endang Setyaningdyah, yang menjabat Bupati Demak pada periode 2001-
2006. Pada 2014, Endang dipenjara karena kasus korupsi dana bantuan desa. Berdasar catatan
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Tengah, APBD Kabupaten Demak 2006
mengalami kerugian Rp2 miliar atas pemotongan dana yang dialirkan ke desa-desa se-Kabupaten
Demak. Kasus tersebut diusut di bawah penyidikan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian
Daerah Jawa Tengah dan di bawah penuntutan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Pada Februari 2007,
ketika kasus tersebut masih dalam penyempurnaan berkas, Endang telah berstatus sebagai mantan
istri Sukawi. Lihat: (1) Batubara, Bosman, and Ivan Wagner. 2020. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-
Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak ; dan (2) BPKP. 2007. “Korupsi Bandes, Mantan Bupati
Demak Menjadi Tersangka.” Bpkp.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://www.bpkp.go.id/berita/
read/2051/14510/Korupsi-Bandes-Mantan-Bupati-Demak-Menjadi-Tersangka).
178
Wawancara dengan Telungpuluhtelu, Oktober 2021.

99
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Rakyat (BPR) Karti Centra Artha,179 di mana Sukawi Sutarip tercatat sebagai
Komisaris Utama, ada paling tidak 500 unit rumah.180
Tiga tahap pembangunan perumahan Pondok Raden Patah berlangsung sejak
1989 hingga 1995. Sejak adanya perumahan itu, penduduk di Desa Sriwulan
bertambah lebih dari 10.000 orang. Keadaan tersebut mempermulus perubahan
pesat dari kehidupan pertanian menjadi non-pertanian (industrial).181 Sebelum
dibangun, lahan tempat Pondok Raden Patah berada memang berupa sawah
dan tambak. Pembangunan perumahan dilaksanakan atas kerja sama dengan
Bank Tabungan Negara (BTN). Namun pengembang mengalami kebangkrutan,
lantaran pembayaran kredit pembelian rumah macet dan akhirnya berstatus
gagal bayar. Penyebab kemacetan pembayaran kredit, karena rob terus datang
dan merusak rumah. Para penghuni memutuskan pindah begitu saja, tanpa
lanjut mengangsur bayaran.182

a . P a b r i k - P a b r i k S e m a k i n B a n y a k , P e l a b u h a n S e m a k i n Lu a s
Rumah Nemlikur terletak di Desa Purwosari. Rumah Nemlikur termasuk satu
di antara sekian rumah yang terkepung bangunan pabrik dan pergudangan.
Nemlikur acap mengamati selokan dekat rumah, di belakang pabrik. Lama-
kelamaan ukuran selokan menciut dan tidak barfungsi dengan baik, karena
terus terdesak bangunan. Nemlikur mulai bermukim di sana sejak 2007. Saat
itu masih ada kebun pisang di belakang rumah Nemlikur. Ada pula tanah lapang
untuk bermain sepak bola di dekatnya. Namun kurang dari setahun dia tinggal,
tanah lapang dan kebun telah berubah menjadi pabrik. Sejak saat itu, air hujan
dan rob kerap masuk ke daratan. Bahkan di sekitar rumah Nemlikur, air hujan
dan rob sangat susah sekali surut.

179
BPR Karti Centra Artha memiliki kantor pusat di Kota Semarang. Bank tersebut merupakan hasil
merger dari tiga BPR; Kawi Centra Artha, Karti Centra Artha, dan Adhi Centra Artha pada 1998. Ketiga
bank tersebut didirikan Sukawi pada 1993. Lihat URL: BPR KCA. n.d. “Sukawi Sutarip.” Bprkca.Com.
Retrieved July 14, 2022 (https://bprkca.com/tentang-kami/manajemen/sukawi-sutarip/).
180
Selain Pondok Raden Patah, Sukawi juga mengembangkan perumahan bernama Wijaya Kusuma 1
dan 2 dan Pondok Mojopahit 1 dan 2, yang berlokasi di Pati, Temanggung, Pekalongan, Pemalang,
dan beberapa daerah lain. Sukawi juga memiliki bisnis rumah makan dan hotel. Lihat: BPR KCA. n.d.
“Sukawi Sutarip.” Bprkca.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://bprkca.com/tentang-
kami/manajemen/sukawi-sutarip/).
181
Hidayati, Nur Astiti Fahmi. 2005. “Pengaruh Pembangunan Perumahan Pondok Raden Patah
Terhadap Perubahan Kondisi Desa Sriwulan Kecamatan Sayung Demak.” Tugas Akhir: Universitas
Diponegoro, Semarang.
182
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.

100
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

“Ya ngalir, tapi lama. Dulu kan lebar, bisa kemana-mana karena ada sawah.
Sekarang sempit, sudah dipakai pabrik. Jadi larinya (air) lama, minta
disedot. Disedot saja juga lama. Hujan saja (belum bertambah rob – penulis)
begitu, di sini satu minggu masih encek-encek (becek bekas genangan –
penulis). Selokannya mampet, setiap banjir banyak kotoran,” kata Nemlikur.

Perkataan Nemlikur tidak jauh beda dengan pendapat Selikur (60 tahun),
penduduk Pondok Raden Patah Tahap II, Desa Sriwulan.183 Dia menandai tahun
2007 sebagai awal rob masuk ke tempat dia tinggal. Sejak saat itu, setiap tahun
dia merasa rob terus bertambah tinggi. Semula, kata Selikur, ada lapangan di
dekat rumah untuk berolahraga dan berkegiatan lain. Namun pada 2007,
lapangan itu berubah menjadi tambak (jaring), karena terus tergenang air laut.
Menurutnya, hal itu terjadi sejak pertambahan jumlah pabrik di dekat desanya.
Pada 2010, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Demak mencatat,
ada peningkatan alih fungsi lahan di Demak sejak 2002-2007. Sebagian besar
alih fungsi lahan terjadi dalam bentuk perubahan lahan pertanian menjadi
kawasan permukiman, kawasan industri, dan pembangunan infrastruktur—di
wilayah bertopografi datar. Pada 2002, sebanyak 83.363 m² lahan pertanian
berubah menjadi kawasan industri, permukiman, dan infrastruktur. Luasan itu
melonjak drastis pada 2007: seluas 567.864 m² lahan pertanian berubah menjadi
kawasan pabrik, rumah-rumah, dan pembangunan infrastruktur.
Keberadaan kawasan industri membebani lapisan tanah, karena termasuk
bangunan dengan bobot sangat berat. Beban bangunan berat, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, merupakan salah satu penyebab amblesan tanah. Selain
itu, keberadaan kawasan industri menambah pula aktivitas pengambilan air
bawah tanah. Apalagi jumlah kebutuhan air industri jauh lebih besar daripada
rumah tangga, sehingga menyebabkan terjadinya overpumping (pemompaan air
berlebihan). Menurut Suryanti dan Marfai (2016), pemompaan air untuk industri
mencapai kedalaman 110-120 meter.
Pengambilan air bawah tanah secara berlebihan menimbulkan rongga di
dalam tanah. Keberadaan rongga bakal menurunkan tingkat muka air tanah dan
pada gilirannya membuat tanah ambles. Dengan demikian, kombinasi antara
penyedotan air bawah tanah secara berlebihan dan pembebanan bangunan
merupakan dua faktor yang ikut mendorong tingginya laju amblesan tanah di
Sayung. Menurut Suryanti dan Marfai (2016), laju amblesan di Sayung mencapai

183
Kami berjumpa dengan Selikur dalam pengajian Suluk Senin Pahingan ke-12 di Pondok Pesantren
Al-Itqon, Pedurungan, Kota Semarang, pada Minggu, 28 Agustus 2022. Selikur merupakan salah satu
narasumber dalam pengajian bertajuk “Rob: Ketika Daratan Menjadi Lautan”.

101
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

0,06–1,15 meter/tahun. Laju amblesan terendah terletak di daerah dekat pantai,


sedangkan terparah terjadi di area padat industri.184
Laju amblesan tanah di Sayung terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun
sayangnya, fakta itu seolah-olah tidak menjadi pertimbangan bagi pemerintah
dan pemodal. Pasalnya, mereka justru terus membangun dan berencana untuk
membangun lebih banyak lagi kawasan industri di Kecamatan Sayung. Sebagai
contoh, rencana kawasan industri di seberang pabrik PT Aroma KopiKrim
(Arkof), di Jalan Raya Semarang-Demak.

Gambar 25: Letak PT Arkof, di mana lahan di seberangnya (berbatas jalan) ditawarkan sebagai Kawasan
Industri Demak. Sumber: Diolah dari Google Maps, 2022.

Pada 2010, sekitar 300 hektare lahan (petak 1) di seberang PT Arkof mulai
banyak ditawarkan kepada pemilik modal. Lahan (petak 1) tersebut ditawarkan
sebagai bakal Kawasan Industri Demak lewat laman zonaindustrialpark.com.
Pengelola bakal kawasan industri tersebut adalah Bumimas Group. Lahan itu
berada di Desa Sidogemah; sekitar empat kilometer dari Gerbang Jalan Tol
Sayung dan dan sekitar tujuh kilometer dari Makam Syekh Mudzakir.

184
Suryanti, Ni Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah Pesisir
Kabupaten Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).

102
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Bakal calon Kawasan Industri Demak terletak di area pertambakan tanpa


pematang, karena telah digenangi rob. Bertindak sebagai konsultan,185 Bumimas
Group akan membantu para pemodal untuk urusan pembebasan lahan di Desa
Sidogemah.186 Bahkan dalam perkembangannya, peta rencana yang ditawarkan
Bumimas Group untuk Kawasan Peruntukan Industri Demak terus meluas. Kini
ada pertambahan sebanyak 600 hektare lahan (petak 2) di Desa Bedono, lebih
tepatnya di sebelah barat laut hingga utara lahan (petak 1) di Desa Sidogemah.

Dalam dua petak rencana kawasan industri, ada sejumlah 52 hektare tanah
bengkok Desa Sidogemah dan 50 hektare tanah bengkok Desa Bedono. Sampai
tahun 2017, tanah bengkok Desa Bedono telah diganti sebesar 30 hektare. Dari
petak rencana kawasan industri di Desa Sidogemah, sebanyak 150 hektare di
antaranya telah dibebaskan. Sementara dari petak rencana kawasan industri di
Desa Bedono, pembebasan lahan sudah mencapai sekitar 250 hektare.

Pembebasan lahan di sini artinya pelepasan hak atas lahan dari pemiliknya.
Cerita pelepasan hak tersebut diketahui dan dialami orang-orang yang kami
temui di Sayung. Misalnya saja cerita Patlikur, warga Kampung Morosari, Desa
Bedono. Dari dalam ruang dapurnya yang berbatasan langsung dengan laut,
Patlikur menunjuk ke arah perairan di sebelah dermaga. Kata Patlikur, lahan-
lahan yang sudah tenggelam, berubah menjadi laut, sudah dibeli orang-orang
kaya seharga Rp5.000-Rp7.000/meter persegi.187

185
Bumimas Group. n.d. “Perjalanan Bumimas Group Sebagai One Stop Service.” Bumimasgroup.Co.Id.
Retrieved August 28, 2022 (https://bumimasgroup.co.id/our-history/).
186
Perusahaan ini didirikan pada 1986 dengan nama PT MAS, yang semula berbisnis ekspor kulit wet
blue dan kulit semifinished. Pada 1993, PT MAS mengakuisisi perusahaan ekspedisi muatan kapal
laut PT Ruktimukti Bawana. Bumimas Group (setelah PT MAS mengakuisisi PT Ruktimukti Bawana)
menghubungi Kawasan Industri Wijayakusuma untuk bekerja sama mengelola 20 hektare lahan di
Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Berbekal pengalaman di Tanjung Emas Export Processing Zone
(TEPZ), Bumimas Group bersama KIW pada 1998 membentuk 20 hektare lahan tersebut menjadi
kawasan berikat bernama Kawasan Industri Tugu Wijaya Kusuma (KITW) Technopark Semarang,
dengan perjanjian No. 02/S-P/PT.KIC-PK/10/1998. Bumimas Group bersama PT Ruktimuksi Bawana
kemudian ditetapkan menjadi pengelola kawasan berikat, sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No.151/KMK.05/1999 yang diperbarui dengan keputusan
No.1758/KMK.4/2012. Lihat. KPI. n.d. “Milestone, Tahun 1986 – 1997 Merintis Karir.” Zonaindustrialpark.Com.
Retrieved August 28, 2022 (https://zonaindustrialpark.com/about/sejarah-singkat/).
187
Lahan-lahan yang sudah tenggelam tersebut bermula dari sekitar area Wisata Bahari Morosari yang
dikelola Perseroda Aneka Wirausaha (Anwusa) Demak sampai sekitar area Makam Syekh Mudzakir
di Tambaksari (lama). Lihat: Wawancara dengan Patlikur, pada 17 Januari 2022.

103
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 26: Peta rencana Kawasan Industri Demak di Desa Sidogemah, Bedono, dan Purwosari. Sumber:
https://bumimasgroup.co.id/kawasan-industri-sayung/, diakses pada 28 Agustus 2022.

Cerita serupa dituturkan Wolulikur, seorang sopir perahu berusia 32 tahun.


Wolulikur adalah orang yang mengantar kami menjumpai Kampung Rejosari
(Senik) dari dermaga Kampung Bedono. Setiba di Rejosari, Wolulikur menandai
dan memberi tahu dengan telunjuknya di mana rumah dan tambak keluarganya.
Sudah tidak nampak berupa tanah, karena semua telah terendam air, berubah
menjadi laut. Tapi Wolulikur bilang, tanah keluarganya itu ditawar akan dibeli
Rp2.000-Rp3.000 per meter persegi.

“Kami sekeluarga ndak mau. Ben lemahe wis ora ono, wis kelem, tapi
sertifikat tetep tak cekel. Wong kuwi hak keluargaku. Nek gur dibayar
rongewu utowo telungewu semester yo mung dadi opo,” tutur Wolulikur
saat kami berhenti di dekat musala di bekas kampung masa kecilnya.188

Wolulikur mengingat, ada perangkat desa—yang dia sebut sebagai sarekat-


sarekat—mendatanginya ketika tanah keluarganya ditawar. Yang dia dengar,

188
Wawancara dengan Wolulikur dalam Bahasa Jawa, pada 25 Januari 2022. Diterjemahkan oleh
penulis, “Kami sekeluarga tidak mau. Biarpun tanahnya sudah tidak ada, sudah tenggelam, tapi
sertifikatnya tetap saya peganng. Itu hak keluarga saya. Kalau hanya dibayar dua tibu atau tiga ribu
semester, ya cuma jadi apa?”

104
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

sarekat-sarekat itu mengurus pula pemindahan status tanah bengkok desa.


Wolulikur dan keluarga kini tinggal di Desa Sidogemah, tempat relokasi orang
Rejosari pada 2006. Kini di belakang rumah Wolulikur sudah mulai diuruk untuk
bangunan pabrik. Wolulikur tidak tahu pabrik apa yang bakal dibangun. Namun
itu menandakan, peta rencana Kawasan Industri Demak sudah mulai berjalan.

Gambar 27: Posisi lokasi industri di Sidogemah yang ditawarkan Bumimas Group terhadap pelabuhan,
bangunan pabrik, dan gudang yang sudah lebih dulu eksis. Sumber:
https://zonaindustrialpark.com/demak-kpi-sayung/#, diunduh pada 28 Agustus 2022.

Praktik pembelian tanah-tanah yang sudah tenggelam terjadi pula di Desa


Bedono—tempat Bumimas Group memperluas bakal calon kawasan industri
menjadi 600 hektare. Informasi tersebut didapat dari mantan warga Kampung
Tambaksari yang sudah tenggelam, Wolu. Dia telah menjual tanahnya seharga
Rp2.000/meter persegi. Menurut Pak Wolu, hampir seluruh penduduk Kampung

105
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Tambaksari yang “menyingkir” juga melakukan hal serupa; menjual tanah-tanah


yang sudah tenggelam.189
Proses penjualan itu, kata Pak Wolu, atas sepengetahuan para sarekat. Baik
itu Wolulikur maupun Wolu, sama-sama menyebut istilah Sarekat dalam proses
jual-beli lahan tenggelam. Apakah ini sebuah kebetulan? Apakah ini memang
direncanakan? Yang pasti, luas lahan industri yang ditawarkan Bumimas Group
terus bertambah luas. Secara total ada 1.150 hektar tanah yang ditawarkan
kepada para pengusaha atau investor.190 Dengan luasan sebesar itu, Bumimas
mengklaim diri sebagai pengembang kawasan industri terluas di Provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Dalam proses penawaran, Bumimas sering melabeli kawasan industri di
Sayung sangat strategis. Beberapa alasannya ialah karena (1) terletak di tepi
Jalan Pantura atau Jalan nasional Semarang-Demak; (2) hanya butuh 25 menit
ke Pelabuhan Tanjung Emas; dan (3) sangat dekat dengan pintu tol Semarang-
Demak. Di samping itu, lokasi industri yang ditawarkan Bumimas berdekatan
pula dengan pabrik dan gudang yang sudah lebih dulu hadir di Sayung. Misalnya
saja pabrik PT Chareon Pokphand, PT Saniharto Enggalharjo, PT surya Rengo
Containers, dan PT Dunia Sandang Textile.
Bumimas Group menjanjikan keberadaan dermaga mandiri untuk Kawasan
Industri Demak. Menurut rencana, dermaga itu memiliki panjang 4,2 kilometer,
mencakup pelabuhan curah dan container yard. Selain itu, Bumimas menawarkan
keberadaan instalasi pengolahan limbah cair dan pengelolaan sampah. Kedua hal
itu dianggap penting bagi investor yang membutuhkan prasyarat pabrik ramah
lingkungan. Dalam laman resminya, Bumimas Group menunjukkan pula (dalam
bentuk peta) posisi kawasan industri terhadap sungai-sungai di sekitarnya.

189
Kata “menyingkir” di sini ditulis berdasarkan apa yang diungkapkan Pak Wolu pada wawancara 17
Januari 2022. Wawancara tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh Bosman Batubara, Dwi
Cipta, dan Eka Handriana. Dalam wawancara tersebut, Pak Wolu menyebut penduduk yang pindah
dari Tambaksari dengan sumingkir, yang artinya menyingkir, keluar dari kampung halaman yang
telah tenggelam, berubah menjadi laut.
190
Dalam masterplan Bumimas Group ditawarkan kavling standar 50x100 m² untuk industri besar,
kavling 50x70 m² untuk industri sedang, dan kavling 25x60 m²untuk industri kecil. Lihat URL:
Bumimas Group. n.d.-a. “Kawasan Industri Demak.” Bumimasgroup.Co.Id. Retrieved August 22,
2022 (https://bumimasgroup.co.id/kawasan-industri-sayung/).

106
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Gambar 28: Posisi kawasan industri di Sidogemah yang ditawarkan Bumimas Group terhadap sungai.
Sumber: https://zonaindustrialpark.com/demak-kpi-sayung/#, diunduh pada 28 Agustus 2022.

Bumimas Group bukan pemain tunggal. Di Kampung Batu Krajan, Desa Batu,
Kecamatan Karangtengah, sedang dibangun kawasan industri baru bernama
Jatengland Industrial Park Sayung (JIPS) seluas 300 hektare.191 Menariknya,
meski terletak di Kecamatan Karangtengah, kawasan industri tersebut memakai
nama Sayung. Barangkali hal itu dilakukan, karena lokasi kawasan industri
tersebut memang berimpitan dengan batas paling timur Kecamatan Sayung.

191
Sebagaimana Bumimas Group yang memegang izin pengelolaan kawasan berikat, PT Jatengland
juga memegang izin-izin serupa. Misalnya; Izin Prinsip No.13/33/IP/PMDN/2013 yang diterbitkan
oleh Badan Penanaman Modal Jawa Tengah pada tanggal 25 September 2013; Izin Lokasi
No.503.02/01642/III/2014 tentang kisi-kisi Izin Lokasi Pengembangan Kawasan Industri yang
diterbitkan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Demak pada tanggal 18 Maret 2014;
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) No.660.1/361/2015 tentang Izin Lingkungan yang
diterbitkan oleh Kabupaten Demak pada tanggal 5 Mei 2015; Surat Izin Usaha Kawasan Industri
(SIUKI) No.21/3321/IU/PMDN/2015 tentang Izin Usaha Kawasan Industri Jatengland Industrial Park
Sayung yang diterbitkan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Demak
pada tanggal 31 Desember 2015; dan Izin Kemudahan Layanan Investasi Langsung Konstruksi/ KLIK
No 17/2017 yang diterbitkan oleh Badan Penanaman Modal Indonesia.

107
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Jika ditarik garis lurus ke arah barat daya, titik kawasan JIPS bakal bertemu
dengan titik Makam Syekh Mudzakir dengan jarak sekitar enam kilometer saja.

Gambar 29: Letak JIPS terhadap Makam Syekh Mudzakir yang kini jadi titik paling ujung di Kampung
Tambaksari, Desa Bedono. Sumber: Google maps, diolah kembali oleh Tim Penulis, Agustus 2022.

Kawasan industri JIPS berada di bawah naungan PT Jawa Tengah Lahan


Andalan (Jatengland)—sebuah perusahaan pengembang dan pengelola kawasan
industri yang berdiri pada 08 April 2013.192 Proses pembangunan JIPS terbagi
menjadi tiga: fase I (110 hektare), fase II (120 hektare), dan fase III (70 hektare).
Kini pembangunan JIPS berada pada fase I yang terdiri dari tiga bagian: Blok
A (commercial area) untuk bangunan apartemen, hotel, pusat kesehatan, gedung
pertemuan, klub olahraga, dan pujasera; Blok B untuk bangunan pergudangan tipe 300
m² dan 900 m²; dan Blok C untuk bangunan ruko dan plot untuk pabrik-pabrik.
Sebagian plot telah diisi oleh beberapa pabrik yang bakal dibangun, sedang
dibangun, atau telah dibangun. Beberapa nama pabrik dan/atau perusahaan
yang telah membeli adalah PT Pinnacle Apparels, PT Century Jaya Property
Indonesia, PT Struktur Baja Ringan Indonesia (SBRI), PT Catur Adhi Manunggal,

192
PT Jatengland merupakan anak perusahaan Mugan Group. Anak perusahaan dari Mugan Group
lainnya adalah IKEDO TV, Advan, Evercoss, PT Pataya Raya, PT Russelindo Putra Prima, dll. Lihat
URL: https://cjip.jatengprov.go.id/detail-kawasan-industri/21, diakses pada 22 Agustus 2022.

108
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

dan PT Lesso Technology Indonesia. Sebagian lagi merupakan plot yang bakal
ditawarkan untuk dijual dan telah dilengkapi fasilitas jalan beton.193
Pemerintah mengetahui dua kawasan industri di bagian selatan Kecamatan
Sayung (dan/atau yang berimpit dengannya) tersebut. Pasalnya, kedua kawasan
industri itu tertera dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Demak. Dalam Perda tersebut (Pasal 64 ayat
5) disebutkan adanya kawasan peruntukan industri seluas 1.800 hektare di
Kecamatan Sayung, Karangtengah, Demak, Mijen, Karanganyar, Mranggen,
Karangawen, dan Wonosalam.194

Pada 2020 terbit Perda baru untuk mengubah Perda tahun 2011.195 Dalam
Perda baru, luas kawasan industri makin diperluas lagi dari semula 1.800
hektare menjadi 7.646 hektare. Dari 7.646 hektare, 5.313 hektare di antaranya
terletak di Kecamatan Sayung. Luasan kawasan industri yang cukup fantastis?
Tentu saja. Sekarang, mari kembali bergeser untuk menengok apa yang terjadi
di Kota Semarang, ketika rob dan abrasi terus menggerus Kecamatan Sayung.

Tabel 6: Kawasan peruntukan industri di Kabupaten Demak. Sumber: Perda No. 1 Tahun 2020.

Kawasan Peruntukan Industri Kabupaten Demak Luas

Kecamatan Sayung 5.313 hektare

Kecamatan Karangtengah 1.050 hektare

Kecamatan Bonang 359 hektare

Kecamatan Mijen 251 hektare

Kecamatan Karangawen 203 hektare

193
JIPS menyediakan layanan untuk kebutuhan bisnis dengan konsep integrated cyber techno eco,
yang diklaim sebagai layanan terintegrasi berbasis teknologi yang ramah lingkungan. Lihat URL:
Jatengland. n.d. “Desciption About Product.” Jatengland.Com. Retrieved August 22, 2022
(http://jatengland.com/sample-page/).
194
Kabupaten Demak. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak Tahun 2011-2031. Kabupaten Demak.
195
Pemerintah Kabupaten Demak. 2020. Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Demak Tahun 2011-2031.
Kabupaten Demak.

109
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Kecamatan Mranggen 163 hektare

Kecamatan Wonosalam 116 hektare

Kecamatan Demak 92 hektare

Kecamatan Karanganyar 92 hektare

Kecamatan Gajah 6 hektare

Pada 2003, reklamasi kembali dilakukan di area pantai Tambak Lorok,


Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Tujuan reklamasi kali ini
adalah untuk Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI).196 Reklamasi tersebut memiliki
ketebalan urukan tanah antara 1-5 meter dengan menggunakan sistem layer
atau pemadatan lapis per lapis. Tujuannya, ketika reklamasi selesai, maka
pembangunan di atasnya dapat langsung dilakukan tanpa perlu menunggu tanah
urukan memadat sendiri.
Proyek pembangunan PPI Tambaklorok dikerjakan PT Bangun Makmur
sebagai pemenang lelang. Pada 2004 reklamasi di pesisir utara Kota Semarang
berlanjut. Wali Kota Semarang saat itu, melalui Surat Keputusan Nomor
590/04310, menyerahkan pengerjaan reklamasi Pantai Marina Semarang kepada
PT Indo Perkasa Utama (IPU) untuk kawasan permukiman, perindustrian, dan
wisata seluas 200 hektare.197
Bersamaan dengan itu, pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang
terus berlanjut. Tanjung Emas tumbuh menjadi pelabuhan terbesar ketiga di
Indonesia, setelah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan Tanjung Perak di
Surabaya.198 Seperti yang telah dituliskan pada bagian sebelumnya, Pelabuhan

196
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
197
Lihat: (1) Rossanty, Emy. 2008. “Dampak Reklamasi Pantai Marina Kota Semarang.” Skripsi,
Universitas Dipoegoro, Semarang; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung
Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan
Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
198
Dalam MP3EI, Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak menjadi pelabuhan utama Internasional.
Dua pelabuhan ini melayani jalur pelayaran domestik dan luar negeri. Sementara Pelabuhan Tanjung

110
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Tanjung Emas masuk dalam MP3EI—sebuah program besar dari pemerintah


pusat. MP3EI mencatat adanya rencana modernisasi Pelabuhan Tanjung Emas
Semarang periode 2010-2013 dengan nilai investasi sebesar Rp400 miliar.199
Proyek modernisasi terbagi dalam tiga tahap. Pertama (2010-2011), meliputi
pengembangan dermaga (3.000 m²), peninggian terminal kontainer di Pelabuhan
Dalam (28.000 m²),200 peninggian depo kontainer pada bekas Gudang Nusantara
(9.000 m²), dan peninggian area penumpukan barang (2,7 hektare). Pada tahap
Kedua (2011-2012), modernisasi dilakukan untuk meninggikan area penumpukan
barang di Dermaga Samudera (1,54 hektare), peninggian Dermaga Samudera (1,4
hektare), dan pembuatan sistem polder untuk mengatasi banjir rob. Sementara
tahap Ketiga (2012-2013), meliputi peningguan Dermaga Nusantara (1,15 hektare)
di lahan bekas milik PLTU Tambaklorok, peninggian lapangan penumpukan (dua
hektare), perluasan Dermaga Pelabuhan Dalam (1,05 hektare), dan meneruskan
pembangunan sistem polder.
Bersamaan dengan itu, Pelabuhan Tanjung Emas juga punya rencana induk
mereka sendiri. Rencana induk tersebut termaktub di dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 18/2013. Peraturan itu mengatur tentang pembangunan dan
pengembangan fasilitas Pelabuhan Tanjung Emas. Sebagai contoh, pada lahan
pelabuhan hari ini (639,79 hektare) bakal dilakukan perbaikan dan pembangunan
fasilitas-fasilitas baru. Selain itu, bakal ada penambahan daratan (reklamasi)
seluas 287.961 hektare untuk pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas.
Segala rencana pembangunan dan pengembangan di pelabuhan Semarang
didasarkan pada perkembangan angkutan laut. Semua rencana tersebut terbagi
menjadi beberapa kurun waktu, mulai dari rencana jangka pendek (2012-2017),
jangka menengah (2012-2023), sampai jangka panjang (2012-2030). Sementara

Emas melayani jalur pelayaran domestik yang menghubungkan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Pelabuhan Tanjung Emas ditugaskan pula untuk menyediakan pelayaran menuju Banjarmasin dan
Kalimantan Selatan. Lihat: Peraturan Presiden 48 Tahun 2014, Lampiran II MP3EI Koridor Ekonomi
Jawa, Peta Kawasan Perhatian Investasi (KPI) Prioritas Koridor Ekonomi Jawa, halaman 49. Diunduh
pada 28 Agustus 2022.
199
Rencana tersebut termaktub di dalam daftar Investasi Manufaktur 2011-2025. Lihat: Deputi Bidang
Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, 2011, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Halaman 201.
200
Dalam laman Dinas Penanaman Modal dan Pelayanana Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Tengah
disebutkan, Pelabuhan Tanjung Emas memiliki beberapa fasilitas dermaga, diantaranya Dermaga
Samudera, Dermaga Pelabuhan Dalam, Dermaga Nusantara, Dermaga Curah Cair dan Demaga
Petikemas. Lihat: DPMPTSP. n.d. “Sejarah Tanjung Emas Semarang.” Web.Dpmptsp.Jatengprov.Go.Id.
Retrieved August 23, 2022 (https://web.dpmptsp.jatengprov.go.id/sarpras/3/29).

111
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

untuk pengembangan pelabuhan itu sendiri bakal dilakukan dalam tiga tahapan.
Bentuk program pada masing-masing tahapan dapat disimak pada Tabel 7.

Tabel 7: Tahapan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang 2012-2031. Sumber: Lampiran
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18/2013.

Volume
Tahap Program
(dalam m²)

Revitaslisasi dermaga pada Pelabuhan Dalam, Samudera, dan Nusantara.


Pengembangan dermaga petikemas dan lapangan penumpukan barang. 714.882
Pengembangan terminal petikemas pada Pelabuhan Tanjung Emas

Reklamasi tahap I di sebelah barat breakwater Pelabuhan Tanjung


Tahap I (2012- 980.946
Emas Semarang
2016)
Pembongkaran breakwater untuk pengembangan sisi barat Pelabuhan
2.593
Tanjung Emas

Pembongkaran breakwater untuk pengembangan sisi barat Pelabuhan


666
Tanjung Emas

Pengembangan Dermaga Samudera sebagai terminal petikemas 1.306

Perluasan terminal petikemas tahap II 910.306,2

Tahap II
Pengembangan terminal penumpang Tanjung Emas Semarang tahap I 362
(2017-2021)

Pembangunan akses road pada sisi timur Pelabuhan Tanjung Emas 600

Pembangunan fasilitas pelra 2.101

Perluasan terminal petikemas tahap 2 di Pelabuhan Tanjung Emas 1.024.042,6


Tahap III
(2022-2031)
Perluasan zona curah dan docking di Pelabuhan Tanjung Emas 478.310

Pada 23 November 2021, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick
Tohir mengatakan, pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas merupakan bagian
dari pengembangan infrastruktur logistik di Jawa Tengah. Pengembangan itu
perlu dilakukan untuk menghadapi masa depan poros maritim dunia dan masa

112
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

depan tol laut. Erick menambahkan, pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas


dan Terminal Petikemas Semarang bakal berlangsung pada 2020-2024.201
Selama ini model rencana pembangunan, termasuk di Pelabuhan Tanjung
Emas, selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur utama.
Persoalannya, tolak ukur semacam itu kerap mendorong adanya industrialisasi
dan urbanisasi secara besar-besaran. Hal tersebut terkonfirmasi di area pesisir
Semarang-Demak, lebih khususnya lagi di pesisir Sayung. Ketika ada gerak
industrialisasi, maka yang mudah terlihat adalah menjamurnya pabrik baru.
Ketika jumlah pabrik bertambah, maka pengembangan layanan pelabuhan
sebagai salah satu infrastruktur pendukung juga bertambah. Bersamaan dengan
itu, ketika jumlah pabrik bertambah, berarti jumlah kebutuhan suplai air juga
meningkat. Nahasnya, seperti ditunjukkan Mahya Dkk (2021), kebutuhan air yang
besar untuk aktivitas industri di pesisir Semarang-Demak sangat bergantung
pada ekstraksi air bawah tanah.202 Padahal ekstraksi air bawah tanah secara
berlebihan merupakan salah satu pendorong utama adanya penurunan tanah.
Selain faktor ekstraksi air bawah tanah, ada faktor belum terkonsolidasinya
sedimen di pesisir Semarang-Demak. Secara alamiah (tanpa dipercepat faktor
aktivitas industri dan kepadatan populasi), laju amblesan tanah dalam proses
konsolidasi tanah jarang melebihi satu cm/tahun. Sementara ekstraksi air tanah
yang berlebihan dapat memperparah amblesan di bagian utara Semarang dan
Demak (Kecamatan Sayung) sampai delapan cm/tahun. Oleh karena itu, tidak
heran jika momen penurunan/amblesan tanah yang paling parah memang terjadi
di sekitar kawasan industri dengan kepadatan penduduk tinggi.
Studi Suryanti dan Marfai (2016) menyebut, laju amblesan tanah di pesisir
Kabupaten Demak mencapai antara 6-115 cm/tahun. Amblesan tertinggi terjadi
di kawasan padat industri. Sementara yang terendah (kurang dari 6 cm) terjadi
di dekat garis pantai, terutama di pesisir Kecamatan Sayung, Karang Tengah,
dan Bonang. Fakta tersebut masuk akal belaka. Sebab, sebagian besar wilayah
tersebut berupa permukiman; beban bangunan relatif kecil. Sumur artesis juga

201
Menurut Erick, Indonesia berpotensi menjadi poros maritim dunia dengan membangun budaya
maritim seperti pengelolaan sumber daya laut, pengembangan infrastruktur, dan konektivitas
maritim. Selain di Semarang, pemerintah bakal mengembangkan pula beberapa pelabuhan lain di
Jawa Tengah yakni Pelabuhan Tanjung Intan di Cilacap dan Pelabuhan Tegal. Lihat: Cakti, Aji. 2021.
“Erick Thohir Pastikan Pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 22, 2022 (https://jateng.antaranews.com/berita/417605/erick-thohir-pastikan-
pengembangan-pelabuhan-tanjung-emas).
202
Mahya, Mila, Sien Kok, and Amrit Cado van der Lelij. 2021. Economic Assessment of Subsidence in
Semarang and Demak, Indonesia . Netherlands.

113
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

tidak terdapat di setiap rumah, melainkan hanya ada di beberapa titik melalui
skema sumur artesis kolektif (Pamsimas) dengan kedalaman 110-120 cm.203
Persoalannya, masalah amblesan tanah sering tidak masuk pertimbangan
pemerintah dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Padahal sudah begitu
nyata adanya kerugian ekonomi warga ketika amblesan terus terjadi. Misalnya
peningkatan ongkos perawatan jalan, kerusakan bangunan, ongkos menguruk
lantai rumah, musnah dan/atau tenggelamnya lahan, atau peningkatan risiko
banjir. Menurut banyak perkiraan, tanpa adanya bentuk kebijakan tegas untuk
mengurangi amblesan, maka laju amblesan bakal makin parah.
Menurut perhitungan Mahya Dkk (2021), 20 tahun ke depan, kerugian
ekonomi akibat amblesan tanah di Kabupaten Demak (terutama di Sayung) bakal
mencapai Rp39 triliun. Di Kota Semarang jumlah kerugiannya lebih besar lagi:
Rp79 triliun. Angka tersebut baru perhitungan paling minimum, karena belum
termasuk menghitung potensi kerugian akibat kerusakan permukiman, risiko
banjir (hujan dan rob), penurunan hasil panen untuk tambak atau sawah, dan
penurunan kualitas hidup.204

b. Pembangunan Infrastruktur (Berdalih) Solusi Banjir Rob dan Abrasi


Pada 25 Januari 2022 kami berjumpa keluarga Bu Enem di Desa Gemulak.
Dalam perjalanan menuju rumah Enem, dari Jalan Raya Semarang-Demak, kami
perlu belok ke arah barat laut. Setelah belok, kami melewati jalan beton selebar
kurang lebih tiga meter, sejauh kurang lebih tiga kilometer. Berselang-seling,
di kanan kiri jalan beton, tampak deretan rumah dan genangan air. Rupa dari
masing-masing rumah di sana beragam; ada yang lantainya lebih tinggi, ada
yang setara dengan jalan dan, seperti rumah Enem, ada pula yang bagian pintu
rumahnya hanya terlihat separuh saja dari jalan.
Sore itu Enem (59 tahun) ada di lantai teras rumah. Bersama sang suami,
Pak Loro (62 tahun), Enem sedang duduk di pagar. Kami memarkir kendaraan
di pinggir jalan beton, lalu berjalan menurun ke arah teras rumah Enem. Sekitar
15 sentimeter dari lantai, air asin menyembul-nyembul digerakkan angin. Persis

203
Bersamaan dengan itu, kondisi pasang air laut cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya
saja dari tahun 2002-2012, diperkirakan ada kenaikan mencapai 18 cm. Suryanti dan Marfai (2016)
pun memprediksikan, pada 2025 ketinggian pasang air laut dapat mencapai 1,63 m, dengan
penambahan luas area genangan sebesari 3.861 ha dari luas genangan pada 2015. Lihat: Suryanti, Ni
Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah Pesisir Kabupaten
Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).
204
Mahya, Mila, Sien Kok, and Amrit Cado van der Lelij. 2021. Economic Assessment of Subsidence in
Semarang and Demak, Indonesia . Netherlands.

114
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

di belakang pagar teras yang diduduki Pak Loro, tampak pemandangan area
perairan yang sangat luas. Di beberapa bagian tampak deretan bakau dan jaring
pembatas tambak sudah banyak doyong, karena bambu penyangga ambruk.

“Yen ningali ngoten niku nggih rasane ketar ketir. Sithik melih kan pun
peres kalih lantai. Mongko niki lantaine nembe mawon diduwurke. Ning
nggih tetep kalah duwur kalih dalan. Dalane diduwurke terus, supoyone
mboten keno rob. Ning nek ken nututi kalih duwure dalan terus-terusan
nggih mboten mampu, mboten kuat,” kata Enem sembari menunjuk rob di
depan teras rumahnya. Enem menjelaskan posisi antara teras rumah dengan
permukaan rob dan antara teras rumah dengan jalan beton.205

Ketinggian air pasang sore itu, menurut Enem, tidak terlalu tinggi. Kata dia,
kalau pasang air laut tinggi, teras rumah pasti sudah terendam.

“Lha nggih ngeten niki, urip sak niki dioyak-oyak banyu terus. Kerjo, sing
dipikir ora kerjone, ning malah mikir dalan ngomah, mikir piye carane
nduwurke omah ben ora keno banyu. Balik kerjo, kesel, durung mangan,
banyune wis teko,” kata Pak Loro, menimpali istrinya.206

Pak Loro dan Enem lahir di Kampung Mondoliko, Desa Bedono, Kecamatan
Sayung. Pada pertengahan 2000an, menurut Pak Loro, setelah tidak ada lagi
“penghalang” di sebelah barat, kampungnya langsung berhadapan dengan arus
dari Pelabuhan Tanjung Emas dan kawasan industri di Terboyo. Sejak saat itu
Kampung Mondoliko mulai tergenang air laut (rob). Kampung Mondoliko
menyusul Kampung Rejosari (Desa Bedono), Tambaksari (Desa Bedono), dan
Desa Sriwulan yang lebih dulu dihantam arus laut dari arah pelabuhan dan
kawasan industri di Kota Semarang.
Rumah Enem dan Pak Loro berada di dekat area sawah dan tambak. Rumah
mereka termasuk salah satu rumah paling awal tergenang dan rusak akibat rob
di Mondoliko. Sejak rob menggenangi rumah, dari hari ke hari, keluarga Pak
Loro makin sulit untuk hidup. Dahulu dia mengelola tambak, namun tambaknya

205
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis. “Kalau melihat (air rob - penulis) seperti itu rasanya
was-was juga. Sedikit lagi kan sudah setara dengan lantai. Padahal ini lantainya baru saja ditinggikan.
Tapi tetap kalah dengan tingginya jalan. Jalannya ditinggikan terus, supaya tidak terkena rob. Tapi
kalau harus (membangun meninggikan lantai rumah - penulis) mengikuti ketinggian jalan terus-
terusan ya tidak mampu, tidak kuat.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari
2022.
206
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis. “Ya sudah seperti ini, hidup sekarang dikejar-kejar
air terus. Kerja, yang dipikir bukan pekerjaannya, tapi malah mikir jalan di rumah, mikir bagaimana
caranya meninggikan rumah supaya tidak terkena air. Pulang kerja, capek, belum makan, airnya (rob
– penulis) sudah datang.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari 2022.

115
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

terus terendam air laut. Karena terendam, tambak tidak bisa lagi digunakan.
Alhasil sejak awal tahun 2000, Pak Loro beralih profesi menjadi tukang batu
di Kota Semarang untuk menghidupi keluarganya.
Pak Loro sering menjadi tukang batu di lahan-lahan baru untuk kompleks
perumahan—mulai dari Kecamatan Tembalang hingga Kecamatan Gunungpati,
Kota Semarang. Kadang-kadang, Pak Loro mengerjakan proyek renovasi rumah
di perumahan yang sudah lama berdiri di Semarang, seperti perumahan Bukit
Sari di Kecamatan Banyumanik. Namun dia acap merasa kesulitan ketika hendak
berangkat ke Semarang. Pasalnya, setiap hari, jalanan dari Kampung Mondoliko
menuju Sodong selalu terendam rob.
Konsekuensi dari jalan yang terus terkena rob adalah keberadaan banyak
lumpur. Akibat banyak lumpur, permukaan jalan menjadi licin dan berbahaya.
Kondisi lebih parah terjadi ketika dibarengi momen rob tinggi. Tidak jarang,
ketika momen puncak rob, ketinggiannya bisa mencapai perut orang dewasa.
Akibatnya orang-orang perlu melewati jalanan itu secara perlahan, karena rob
tinggi menyulitkan kaki untuk bergerak.

“Nek omah ngoten tasih saged didandosi dewe-dewe, diblandar ngoten,


asal tasih saged nggoto. Teng mriko niku masalahe dalan damel nggoto
niku susah, mboten saged dilewati. Njut pripun sing arep nyambut damel?
Enten tonggone kula, jenenge Suwarni, kerjone teng Semarang. Saben
ndinten mangkat kerjo, mlaku kalih nangis sak dalan-dalan. Mergane
nggih niku, dalane kebak banyu. Pun susah pokoke urip,” kata Enem, saat
menceritakan kesulitan hidup orang-orang Mondoliko.207

Warga Mondoliko sudah sempat mengadu kepada pemerintah, mulai dari


kepala desa hingga bupati. Namun warga tidak mendapat solusi atas kesulitan
hidup mereka. Bahkan Enem sampai menganggap warga Mondoliko sudah
dilupakan pemerintah. Puncaknya terjadi pada 2009, ketika akses jalan menuju
Mondoliko terputus, berubah menjadi laut. Akibatnya orang Mondoliko tidak
dapat pergi ke kampung terdekat (Rejosari) dan begitu pula sebaliknya.
Terputusnya akses jalan mempersulit warga Mondoliko menjangkau layanan
kesehatan. Jika ada warga sakit parah, maka harus digendong untuk kemudian
dibawa menggunakan perahu. Sesampainya di darat, disambung menggunakan
207
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis. “Kalau rumah masih bisa diperbaiki sendiri-sendiri,
bisa diblandar (ditinggikan lantainya menggunakan kayu – penulis), asal masih bisa bekerja. Di sana
itu (di Mondoliko – penulis) masalahnya jalan untuk pergi kerja susah, tidak bisa dilewati. Lalu
bagaimana bisa bekerja? Ada tetangga saya, namanya Suwarni, kerjanya di Semarang. Setiap hari
berangkat kerja menangis sepanjang jalan. Ya karena itu, jalannya penuh air. Sudah susah pokoknya
hidup.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari 2022,

116
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

sepeda motor menuju tempat praktik dokter atau rumah sakit. Sebetulnya,
pada 2002, pernah dilakukan perbaikan jalan dari Kampung Mondoliko menuju
Rejosari (Senik). Namun itu tidak bertahan lama; tanah di bawah jalan terus
terkikis abrasi, sehingga jalan pun tenggelam.208
Satu tahun sejak jalan terputus (2010) keluarga Pak Loro memutuskan
pindah dari Mondoliko. Mereka pindah ke Desa Gemulak dengan hanya berbekal
uang Rp6 juta. Mereka menempati sepetak tanah di tepi saluran irigasi yang
ditinggalkan pemegang hak gunanya. Pemegang hak guna tanah itu merupakan
warga Rejosari (Senik) yang direlokasi (2006) Pemerintah Kabupaten Demak.
Pak Loro enggan menceritakan bagaimana hak guna itu bisa beralih kepadanya.
Yang jelas, Pak Loro membuat rumah di petak tanah itu secara bertahap.

“Sak niki nek ajeng pindah mbangun omah niku, nek mboten nyekel duit
satus punjul nggih mboten cukup. Lemah roto ukuran 6x20 meter ngoten
misale, teng Karangroto mriko pun 80 juta. Niku nembe lemahe, dereng
mbangun omahe. Ajeng pripun melih,” kata Pak Loro.209

Nasib warga Mondoliko berbeda dengan warga Tambaksari dan Rejosari


(Senik). Pemerintah memindahkan warga Tambaksari dan Rejosari secara
bersamaan.210 Sedangkan warga Mondoliko, seperti keluarga Pak Loro, keluar
dari kampung dengan upaya mereka sendiri. Karena itu, tidak semua warga
Mondoliko pindah dan memulai hidup baru dengan cara keluarga Pak Loro.
Bahkan ada banyak sekali bentuk dan cara warga Mondoliko untuk pindah dan
memulai kehidupan baru.
Beberapa warga Mondoliko memulai hidup baru dengan cara mengontrak
rumah seharga Rp2juta-Rp4 juta/tahun di Sodong atau Karangroto—dekat Jalan
Raya Semarang-Demak. Ada pula yang memilih menyewa kamar (kos) bulanan
seharga Rp300 ribu-Rp400 ribu. Pertimbangan memilih tempat tinggal baru
tidak semata soal ekonomi (harga kontrakan atau kos), tapi termasuk kedekatan

208
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang.
209
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis “ Sekarang kalau mau pindah membangun rumah
itu, kalau tidak pegang uang seratus (seratus juta – penulis) lebih, tidak akan cukup. Tanah datar
(yang dimaksud Pak Loro adalah tanah datar dan kering – penulis) ukuran 6x20 meter misalnya, di
Karangroto sana sudah Rp 80 juta. Itu baru tanahnya, belum biaya membangun rumahnya. Mau
bagaimana lagi.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari 2022,
210
Berdasar informasi yang diterima Pak Loro, penduduk Rejosari yang dipindah ke tanah di tepi jalur
irigasi di Desa Gemulak, pada 2006-2007, mendapat bantuan material bangunan berupa: 3 rit batu,
2 rit pasir, 10 sak semen, dan uang Rp1 juta yang diberikan pada saat kepindahan.

117
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

akses menuju tempat kerja. Sebab, bagaimana pun, kerja merupakan jalan untuk
melanjutkan hidup setelah “dipaksa” pindah ke tempat baru.
Keluarga Loro sudah dua kali meninggikan lantai sejak pertama bermukim
di Desa Gemulak. Sedangkan jalan di depan rumah Loro, hampir setiap tahun
ditinggikan. Bagi Pak Loro, biaya peninggian rumah sebesar Rp15–Rp20 juta
merupakan jumlah sangat besar. Padahal itu baru mencakup biaya pengurukan
tanah dan memplester lantai. Bahkan kini dia merasa kian sulit mengumpulkan
uang sebanyak itu. Karena itu, Pak Loro dan banyak warga Gemulak lain sangat
berharap “bantuan bedah rumah.”211 Apalagi setelah dia mendengar beberapa
warga Gemulak ada yang mendapat bantuan semacam itu.

“Duit seko ngendi nek dikon mbangun nduwurke omah terus. Kados kulo niki gur
iso njagakne nek ono bantuan-bantuan bedah rumah,” kata Pak Loro.212

Bantuan seperti yang dikatakan Pak Loro memang ada. Salah satunya,
termaktub dalam paket dana desa untuk Desa Gemulak tahun anggaran 2019.
Pemerintah desa bakal mencairkan dana semacam itu secara bertahap untuk
peninggian jalan dan perbaikan rumah tidak layak huni. Anggaran untuk
perbaikan infrastruktur di desa pesisir Sayung punya kesituasian tersendiri.
Misalnya, anggaran perbaikan infrastruktur bisa terus ada setiap tahun, karena
kerusakan akibat rob dan abrasi terus “mengejar” setiap hari. Namun karena
bakal terus ada, dana tersebut rawan untuk diselewengkan.
Kasus penyelewengan dana desa terjadi di Desa Gemulak. Pada Agustus dan
September 2019, ada pencairan dana desa tahap dua sebesar Rp50 juta untuk
perbaikan 25 rumah tidak layak huni. Kemudian ada pencairan tahap tiga
sebesar Rp418 juta untuk pembangunan infrastruktur (peninggian jalan). Kepala
Desa Gemulak saat itu, Abas Nastain, malah menggunakan uang pencairan dana
desa itu untuk keperluan investasi pribadi. Kasus tersebut ditangani Kejaksaan
Negeri Demak dan disidangkan di Pengadilan Tipikor Semarang.213
Sebenarnya sudah banyak sekali warga yang mempertanyakan penggunaan
dana pemerintah untuk aneka bentuk infrastuktur. Dalam konteks ini, termasuk
infrastruktur yang didalihkan untuk solusi mengatasi banjir rob dan abrasi di

211
Istilah yang disebut Pak Loro dan dikenal oleh penduduk Gemulak, untuk anggaran infrastruktur desa
dalam APBD Kabupaten Demak.
212
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis. “Uang dari mana kalau diminta membangun
peninggian rumah terus menerus. Orang seperti say aini cuma bisa mengharapkan kalau-kalau ada
bantuan bedah rumah.” Lihat: Wawancara dengan Enem dan Pak Loro, pada 25 Januari 2022.
213
Pribadi, Wahib. 2020. “Dana Desa Dipakai Investasi, Kades Gemulak Ditahan.” Radarsemarang.Jawapos.Com.
Retrieved August 21, 2022 (https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/03/04/dana-
desa-dipakai-investasi-kades-gemulak-ditahan/).

118
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Sayung. Misalnya saja Loro, Warga Desa Gemulak. Dia bercerita, sebelum 2004,
pernah ada pembangunan tanggul buis dari Desa Sriwulan sampai Kampung
Mondoliko. Namun nyatanya, Kampung Morosari dan Kampung Bedono tetap
saja tenggelam. Bahkan pada 2007 tanggul buis tersebut roboh, karena tidak
mampu mengadang kekuatan air laut.
Dalam ingatan Loro, tanggul buis itu memiliki fungsi khusus lain: melindungi
Pondok Raden Patah agar dapat “kering”. Tanggul itu dibangun persis ketika
Endang Setyaningdyah menjabat Bupati Demak pada 2001-2006. Warga seperti
Pak Loro membaca hal itu sebagai aji mumpung. Pasalnya, Endang merupakan
pemilik Perumahan Pondok Raden Patah. Ketika kompleks hunian itu “kering”
karena terlindung tanggul, maka rumah-rumah di sana bakal lebih cepat untuk
terjual.214 Namun kenyataannya, tanggul yang berfungsi sebagai jalan itu tetap
saja termakan abrasi. Bahkan pada 2009, jalan itu sudah benar-benar terputus,
berubah menjadi laut.215
Tidak beda dengan Pak Loro, Selikur juga meragukan infrastruktur untuk
penanggulangan rob dan abrasi. Misalnya, jalan di depan rumah Selikur telah
berkali-kali ditinggikan—baik itu dengan dana bantuan pemerintah maupun
iuran warga. Namun, kata Selikur, tetap saja warga Sriwulan hidup dengan air
asin di sekeliling rumah.216 Selain jalan di depan rumah Selikur, jalanan di area
RT05/RW07 (Tahap II Pondok Raden Patah) juga terus ditinggikan. Bahkan sejak
1998 sampai 2020, jalan di sana telah 15 kali mengalami peninggian.217
Jalanan di Sriwulan yang juga pernah ditinggikan ada di RT04/RW05. Di
lingkungan tersebut, biaya peninggian jalan pada 2008 berasal dari Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM)—bagian dari Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan (P2KP). Dana tersebut menjadi sumber “dana abadi” untuk peninggian
jalan di banyak tempat. Sebab, dana awal BLM sebesar Rp84,5 juta memang dipakai
untuk peninggian jalan di tiga RW. Kelompok warga yang pertama memakai dana,
perlu mengembalikan dana pokok beserta bunga sebesar 0,5-1% untuk dipakai
kelompok warga di RW lain. Begitu pola seterusnya.
Secara total, sampai akhir 2008, dana (BLM) yang sudah bergulir mencapai
Rp146,9 juta. Dana tersebut perlu dipakai, sehingga terus muncul pembangunan

214
Wawancara dengan Pak Loro, pada 25 Januari 2022.
215
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
216
Wawancara dengan Selikur di Pondok Pesantren Al-Itqon Pedurungan Semarang, pada 28 Agustus 2022.
217
Pribadi, Wahib. 2020. “Jalan Sudah Ditinggikan 15 Kali, Pintu Berubah Jadi Jendela.” Radarsemarang.Jawapos.Com.
Retrieved August 21, 2022 (https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/06/01/jalan-
sudah-ditinggikan-15-kali-pintu-berubah-jadi-jendela/).

119
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

infrastruktur seperti pembangunan jalan, pembangunan talud, atau pembuatan


paving blok. Namun demikian, konteks peninggian jalan sangat berbeda dengan
peninggian lantai rumah. Biaya peninggian lantai rumah ditanggung sendiri oleh
masing-masing warga. Alhasil ketika jalan sudah ditinggikan 15 kali, kebanyakan
warga baru meninggikan rumah sebanyak 4-5 kali.
Kondisi jalan yang lebih sering ditinggikan dibanding lantai rumah memicu
banyak persoalan. Tentu saja yang paling tampak adalah potret rumah-rumah
di Sriwulan yang terlihat jauh lebih pendek dari jalan. Tidak jarang, rumah
yang dulu dua lantai berubah menjadi satu. Kemudian banyak yang dulu pintu
rumah, kini tampak menjadi jendela. Kecenderungan inilah yang membuat
banyak warga merasa tak mampu lagi mengejar laju peninggian jalan.218
Walau begitu masih banyak warga yang tetap menabung biaya meninggikan
lantai rumah. Bahkan karena perlu menabung, banyak warga di Perumahan
Pondok Raden Patah yang memutuskan untuk menunda pembayaran angsuran
kredit rumah. Tak ayal, menurut Selikur, pada 1995–2000, banyak rumah di sana
ditempeli tanda “Rumah dalam Pengawasan BTN”. Namun warga tidak tinggal
diam. Pada 2005, warga berbondong-bondong mendatangi Kantor BTN untuk
menuntut penangguhan pembayaran angsuran kredit. 219
Banyak pihak meragukan peninggian jalan dapat mengatasi rob. Akan tetapi,
di banyak tempat, praktik meninggikan jalan tetap saja dilakukan. Misalnya
yang dilakukan TNI-AD dalam program karya bhakti Serbuan Teritorial Korem
073/Makutarama. Peninggian jalan itu dilakukan mulai dari Kampung Bedono
sampai Kampung Tambaksari—tempat Makam Syeckh Mudzakir berada.
Peninggian jalan selesai pada Oktober 2020 dengan material urukan setebal
0,6 meter. Di kanan dan kiri jalan dibangun talud untuk memperkuat jalan.220
Dua tahun kemudian, jalan yang baru ditinggikan tersebut tenggelam pada
rob 23 Mei 2022. Kemudian jalan itu kembali diperbaiki, ditinggikan, dengan
menggunakan dana dari Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Pemerintah Kabupaten
Demak 2021. Sebagai tanda dimulainya proyek peninggian jalan, pada April
218
Substansi dua paragraf ini didapat dari (1) P2KP. 2008. “Kesadaran Partisipasi Jamin Keberlanjutan Program,
Direktorat Jenderal Cipta Karya - Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat.” Direktorat Jenderal
Cipta Karya - Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. Retrieved August 28, 2022
(https://kotaku.pu.go.id/view-/6232/kesadaran-berpartisipasi-jamin-keberlanjutan-program); dan (2) Pribadi,
Wahib. 2020b. “Jalan Sudah Ditinggikan 15 Kali, Pintu Berubah Jadi Jendela.” Radarsemarang.Jawapos.Com.
Retrieved August 21, 2022 (https://radarsemarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/06/01/jalan-sudah-
ditinggikan-15-kali-pintu-berubah-jadi-jendela/).
219
Selikur. 2022.“Pengajian Suluk Senin Pahingan Ke-12 Di Pondok Pesantren Al-Itqon, Pedurungan,” August 28.
220
Kakashi, Avid. 2020. “Jalan Bedono Saat Ini Setelah Dibangun TNI.” Kodim 0716 Demak. Retrieved
August 20, 2022 (https://www.kodim0716demak.id/2020/10/jalan-bedono.html).

120
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

2022, Tim Teknis BKK Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten Demak
melakukan verifikasi ke Desa Bedono, Sidogemah, Tugu, Surodadi, dan
Banjarsari. Pemerintah masih tampak percaya bahwa peninggian jalan dapat
mengatasi persoalan rob dan abrasi di Sayung.221
Dana BKK digunakan untuk meninggikan empat titik jalan di Desa Bedono;
RT 05 dan RT 03, RW 01 Kampung Bedono, Desa Bedono; dan di RT 05, RW
04 Kampung Pandansari, Desa Bedono. Selain itu, peninggian dikerjakan juga
untuk segmen jalan penghubung antara Kampung Mondoliko dengan Kampung
Sodong.222 Menariknya, titik peninggian yang terakhir disebut, merupakan titik
jalan yang diceritakan Pak Loro pada 25 Januari 2022. Dalam cerita Pak Loro,
jalan itu berlumpur, licin, dan berbahaya. Cerita Pak Loro makin memperjelas,
peninggian jalan acap tidak ada hubungannya dengan solusi banjir rob.
Solusi rob dalam bentuk peninggian jalan tidak hanya berlaku di desa-desa
Sayung. Jalan Raya Semarang-Demak juga ditinggikan dengan konstruksi beton
pada 2015. Betonisasi di ruas tersebut merupakan bagian dari proyek betonisasi
Jalan Pantura Jawa Tengah. Pada waktu itu, seorang anggota Komisi V DPR
RI, Sigit Sosiantomo, sempat mengusulkan audit untuk melihat efisiensi dan
efektifitas proyek tersebut. Sebab menurut Sigit, betonisasi—termasuk di ruas
jalan Sayung—dilakukan pada saat kondisi jalan masih bagus.223
Pada 2020, giliran Pemerintah Kota Semarang yang sibuk meninggikan jalan.
Ketika itu, karena sering terendam rob, Pemkot Semarang meninggikan Jalan
Lingkar Utara—bagian dari Jalan Pantura Jawa Tengah—sepanjang 400 meter.
Jalan itu ditinggikan dengan cor beton setebal 90 sentimeter. Sedangkan
Pemkab Demak tidak memiliki anggaran untuk meninggikan Jalan Pantura di
wilayahnya. Alhasil jalan hasil betonisasi sebelumnya tetap terendam rob.224
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah turun tangan untuk membantu
Pemkab Demak. Pada Mei 2020, Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan
Penataan Ruang (Pusdataru) Jawa Tengah membuat tanggul darurat di Kali
Menyong, Desa Sriwulan. Tanggul tersebut berfungsi sebagai saluran air yang
221
Devina. 2022. “Keluhkan Banjir Dan Rob, Desa Usulkan Peningkatan Jalan Melalui Program BKK.”
Dinperkim.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://dinperkim.demakkab.go.id/?p=21115).
222
Nizar. 2021. “Akses Jalan Sering Terkena Rob, Lewat Dana BKK Pemerintah Desa Bedono Lakukan Peninggian
Jalan.” Jatengnews.Id. Retrieved August 21, 2022 (https://www.jatengnews.id/2021/11/19/akses-jalan-sering-
terkena-rob-lewat-dana-bkk-pemerintah-desa-bedono-lakukan-peninggian-jalan/).
223
Sari, Dimas Novita. 2015. “DPR Minta Proyek Betonisasi Jalan Pantura Diaudit.” Ekonomi.Bisnis.Com. Retrieved
August 20, 2022 (https://ekonomi.bisnis.com/read/20150909/45/470690/dpr-minta-proyek-betonisasi-jalan-
pantura-diaudit).
224
Safuan, Akhmad. 2020. “Banjir Rob Masih Rendam Kawasan Pantura.” Mediaindonesia.Com. Retrieved August
20, 2022 (https://mediaindonesia.com/nusantara/321231/banjir-rob-masih-rendam-kawasan-pantura).

121
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

dapat mengisolasi air laut, supaya terpisah dari daratan. Sebuah mobil dengan
dua mesin pompa digunakan untuk menyedor air laut, agar kerja peninggian
saluran air dapat cepat selesai.225
Jalan Pantura di ruas Sayung—khususnya di Sidogemah—baru ditinggikan
pada 2022 (selesai Juni 2022). Peninggian jalan itu menjadi bagian dari proyek
Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). PT Wijaya Karya melakukan
peninggian jalan dengan beton sepanjang 800 meter dan 300 meter. Peninggian
itu merupakan permintaan Dinas Bina Marga yang berkeinginan menyediakan
akses jalan penghubung yang lebih baik; dari TTLSD ke Jalan Raya Semarang-
Demak (Pantura) dan begitu sebaliknya.226
Pada saat yang sama, PT Pembangunan Perumahan (PP) Semarang Demak
terus mengebut proyek TTLSD.227 Menurut target, seksi II proyek TTLSD bakal
selesai 28 Oktober 2022. Proyek TTLSD terbagi menjadi dua seksi pengerjaan
dan secara keseluruhan ditargetkan rampung pada 2024. Total nilai proyek
TTLSD cukup besar, mencapai Rp15,3 triliun. Seksi II pembangunan TTLSD
digarap lebih dulu dengan nilai proyek Rp5,7 triliun. Seksi II memiliki panjang
16,31 kilometer, mulai dari Kecamatan Sayung sampai ke Demak. Pengerjaan
Seksi I tol Kaligawe–Sayung sepanjang 10,39 kilometer dilakukan belakangan.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyebut pengerjaan proyek TTLSD
cukup sulit, lantaran konstruksi tol melintasi rawa-rawa. Namun pengerjaan
proyek tetap harus dilakukan dengan dalih, kata Ganjar, untuk menyelesaikan
persoalan kemacetan dan sekaligus mengatasi rob di pesisir Semarang-Demak.
Pada saat buku ini ditulis, perkembangan Seksi I masih terkendala beberapa
hal. Salah satu kendala yang paling mengemuka adalah soal pembebasan lahan.
Pasalnya, lahan yang diperlukan untuk mambangun trase proyek Seksi I banyak
tertutup air laut, tenggelam. Kementerian PUPR sebagai penyelenggara proyek,
225
Humas Jateng. 2020. “Atasi Rob Di Sayung, Ganjar Minta Proyek Peninggian Saluran Dikebut Dalam 3 Hari.”
Jatengprov.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/publik/atasi-rob-di-sayung-ganjar-minta-
proyek-peninggian-saluran-dikebut-dalam-3-hari/).
226
Pribadi, Wahib. 2022. “Peninggian Jalan Pantura Sayung Selesai.” Jawa Pos – Radar Semarang, June 11.
227
Proyek TTLSD dilaksanakan dengan pembebasan lahan seluas kurang lebih 539,7 hektare yang
berada di 24 desa/kelurahan pada 8 kecamatan di Kabupaten Demak dan Kota Semarang. Lelang
proyek ini dimenangkan oleh konsorsium PT Pembangunan Perumahan/PP (Persero) Tbk, PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk, dan PT Mulia Metrical, yang kemudian membentuk PT Pembangunan
Perumahan Semarnag-Demak, lewat surat keputusan PB.02.01-Mn/1347 tertanggal 17 Juli 2019
tentang penetapan pemenang pada pelelangan pengusahaan Jalan Tol Semarang - Demak yang
terintegrasi dengan pembangunan tanggul laut di Kota Semarang. Lebih lanjut tentang tiga
perusahaan yang mengerjakan proyek TTLSD, dapat dilihat pada Batubara B, Wagner I, Salam S,
Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak; 2020.
https://www.researchgate.net/publication/344804419.

122
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

perlu menunggu payung hukum yang mengatur pembebasan lahan milik warga
dan/atau pihak lain yang kini sudah berubah menjadi laut.228

Gambar 30: Pembagian seksi pengerjaan proyek TTLSD. Seksi I sepanjang 10,39 kilometer dari Kaligawe
(Kota Semarang) sampai Sayung (Kabupaten Demak). Seksi II sepanjang 16,31 kilometer dari Kecamatan
Sayung sampai Demak. Sumber: Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Mei 2022.

Di sisi lain, pada 26 November 2021, Ganjar sempat mendatangi salah satu
titik proyek TTLSD di Desa Loireng, Kecamatan Sayung. Dalam kunjungannya
itu Ganjar mengatakan, untuk menjamin kualitas tol agar aman digunakan dalam
jangka panjang, tidak hanya 10-20 tahun saja, pihaknya menggunakan teknik
terbaru. 229 Namun sayangnya, Ganjar tidak menjelaskan apa maksud teknik
terbaru tersebut. Sebelum mencari tahu lebih lanjut soal itu, mari menengok
terlebih dahulu hasil bedah dokumen ANDAL proyek TTLSD—salah satu Proyek
Strategis Nasional (PSN) di kawasan pesisir Semarang-Demak.
Bedah ANDAL TTLSD dikerjakan Koalisi Maleh Dadi Segoro atau MDS—
sebuah perkumpulan perorangan dan organisasi yang memperhatikan persoalan
228
Setiawan, Hendra. 2022. “Tanah Musnah Hambat Proyek Tol Semarang-Demak.” Suara
Merdeka.Com . Retrieved September 17, 2022 (https://www.suaramerdeka.com/jawa-tengah/pr-
044775103/tanah-musnah-hambat-proyek-tol-semarang-demak).
229
Humas Jateng. 2022. “Proyek Tol Semarang-Demak Seksi II Ditarget Selesai 28 Oktober 2022.”
Jatengprov.Go.Id.Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/publik/proyek-tol-
semarang-demak-seksi-ii-ditarget-selesai-28-oktober-2022/).

123
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

pesisir utara Jawa pada 2019. MDS menilai, dari dokumen izin lingkungan dan
ANDAL, proyek itu berpotensi menciptakan dampak ekologi.230 Salah satunya,
soal potensi adanya perubahan arus laut. Sebelumnya telah dijelaskan, aneka
pembangunan atau reklamasi di pesisir Semarang telah mengubah arus laut.
Perubahan arus laut, pada gilirannya, mengakibatkan abrasi di pesisir Sayung.
Dengan kata lain, TTLSD juga berpotensi memperparah abrasi di Sayung.
MDS menyorot pula potensi pembebanan material bangunan dalam proyek
TTLSD. Pembebanan bangunan berpotensi meningkatkan risiko bencana
amblesan tanah—baik itu di utara Semarang maupun di Sayung. Belakangan
diketahui, tebal timbunan urukan proyek TTLSD Seksi I minimal 13,6 meter.231
Timbunan itu bakal diletakkan di atas konstruksi cerucuk bambu dan 17 lapis
matras bambu.232 Material bambu itu dikombinasikan dengan 40 meter prefabricated
vertical drain (PVD) atau sumbu penguras untuk memampatkan lapisan tanah lunak.233
Informasi mengenai penggunaan material bambu kami dapat dari presentasi
Ketua Tim Rencana Teknik Akhir (RTA) Jalan Tol Semarang-Demak Seksi I234

230
Izin lingkungan dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah, lewat Surat Keputusan Nomor 660.1/32
tahun 2018. Lihat: Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-
Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
231
Informasi tersebut didapat dari acara Kuliah Pakar pada 21 Mei 2022. Acara itu digelar secara daring oleh
Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang.
232
Cerucuk bambu yang dimaksud di sini, berdasarkan kuliah Ir Andi Kartawira yang juga diikuti oleh
penulis, merupakan ikatan 7 bambu berdiameter 8-10 cm, dengan penampang lintang ikatan
berbentuk heksagonal. Panjang cerucuk adalah 8 meter, dikarenakan secara umum rata-rata panjang
bambu di Indonesia sulit melebihi ukuran tersebut.
233
PVD berbentuk lembaran kantung plastik panjang, kombinasi antara core polypropylene
berkekuatan mekanik tinggi dan lapisan pembungkus dan bahan geotextile. Berfungsi untuk drainase
vertikal, mempersingkat jarak tempuh air pada pori-pori tanah sehingga mengurangi waktu yang
diperlukan untuk memadatkan tanah, karena air mengalir secara lateral ke saluran terdekat, lebih
cepat daripada tanpa PVD. Dinperkim Demak. 2020. “PVD Sebagai Penguat Konstruksi Tanah.”
Dinperkim.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022 (https://dinperkim.demakkab.go.id/?p=10269).
234
Dari Kuliah Pakar yang digelar pascasarjana Fakultas Teknik Unissula diperoleh informasi dasar
pelaksanaan proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak seksi I, adalah Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 355/KPTS/M/2017 tentang Pengintegrasian Pembangunan
Tanggul Laut Kota Semarang dengan Pembangunan Tol Semarang Demak. Proyek dilaksanakan oleh
Badan Usaha Jalan Tol, PT Pembangunan Perumahan Semarang Demak, dengan konsultan Rencana
Teknis Akhir PT LAPI ITB. Panjang proyek tol kurnag lebih 10 km. Proyek terbagi menjadi tiga paket;
Paket A – Elevated Toll Road STA 0+000 – STA 1+950 dan Elevated Slab on Pile STA 8+250 – STA
10+394.437; Paket B – Main Road (Tanggul Laut) STA 1+950 – STA 8+250; Paket C – Kolam Retensi
Terboyo dan Sriwulan serta Saluran Pembawa.

124
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

dan sekaligus tenaga ahli di PT LAPI ITB235, Ir Andi KS Kartawira ST, MT. Andi
merupakan narasumber dalam kuliah bertajuk “Penerapan Cerucuk Matras
Bambu pada Konstruksi Jalan Tol Semarang Demak yang Terintegrasi dengan
Tanggul Laut di Atas Tanah Lunak.”

Gambar 31: Perubahan desain di bawah timbunan setelah serangkaian pengujian. Sumber: Presentasi Ir.
Andi KS di Unissula pada Mei 2022.

Menariknya, penggunaan konstruksi cerucuk-matras bambu muncul dari


pertimbangan untuk mengurangi risiko amblesan tanah di lokasi proyek.
Apalagi proyek TTLSD Seksi I memang berada di atas tanah lunak dengan
ketebalan lapisan 30-50 meter. Setelah dipublikasikan, konstruksi itu pun perlu
melewati serangkaian tahapan pengujian. Salah satu bentuk pengujian tersebut
adalah trial embankment (pengujian tanggul) lapisan kedua yang dilakukan di
muara Sungai Babon. Dari hasil pengujian, diketahui bahwa konstruksi cerucuk-
matras bambu mengalami beberapa perubahan desain.

235
PT LAPI ITB PT merupakan salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Institut Teknologi Bandung yang
didirikan sejak 2004. PT LAPI ITB memiliki tenaga ahli nasional dan internasional, serta fasilitas
laboratorium dan jaringan nasional serta internasional. Perusahaan ini telah melayani Pemerintah
Indonesia, Badan Usaha Milik Daerah dan Nasional Indonesia serta Perusahaan Swasta Nasional &
Internasional. Lihat: PT LAPI ITB. 2022. “Tentang PT LAPI ITB.” Lapi-Itb.Com . Retrieved August 18,
2022 (https://www.lapi-itb.com/id/about).

125
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Teknologi cerucuk-matras bambu untuk mengurangi risiko amblesan tanah


baru pertama kali dipakai untuk proyek TTLSD. Namun dalam paparannya, Ir
Andi tetap yakin teknologi tersebut bakal berhasil. Selain untuk mengatasi
amblesan tanah, sebelumnya cerucuk-matras bambu pernah digunakan untuk
beberapa kepentingan. Misalnya, pembangunan PLTGU Tambaklorok pada 1995
dan pembuatan double track Kereta Api di Stasiun Tawang pada 2013. Apalagi,
tambah Ir Andi, semula lokasi proyek Seksi I adalah daratan, sehingga peluang
berhasil menjadi lebih besar lagi.

Gambar 32: Paket insfrastruktur TTLSD Seksi I. Sumber: Presentasi Ir. Andi KS di Unissula pada Mei 2022.

Kembali soal timbunan urukan. Tentu saja butuh tanah uruk sangat banyak
untuk memenuhi ketebalan timbunan hingga belasan meter. Semula, dari ANDAL
yang dibedah MDS, sumber urukan untuk timbunan berasal dari galian kolam
retensi. Mengingat, pembangunan TTLSD Seksi I, satu paket dengan pembangunan dua
kolam retensi: di Terboyo dan Sriwulan. Dari ANDAL diketahui total kebutuhan
material urukan mencapai 4.161.688 m³ untuk tanggul, badan jalan, dan bahu
jalan. Bahkan masih dibutuhkan lagi setidaknya 124.184 m³ urukan untuk jalan.
Jutaan kubik material urukan tersebut, sesuai ANDAL yang dibedah MDS,
bakal didatangkan dari berbagai daerah. Mulai dari Kecamatan Pabelan dan
Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang; Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten

126
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Kendal; dan Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan.236 Belakangan diketahui,


material urukan justru berasal dari hasil menambang pasir di pesisir Desa
balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara. Dua perusahaan penambang
di sana adalah PT Bumi Tambang Indonesia dan PT Energi Alam Lestari.237
Timbunan berkubik-kubik material urukan potensial ikut membebani tanah.
Padahal pembebanan material justru dapat menimbulkan amblesan tanah—salah
satu perkara yang coba dihindari dengan cara membuat konstruksi cerucuk-
matras bambu. Belum lagi dalam proyek TTLSD Seksi I itu sendiri, terdapat
paling tidak 115 titik bor cukup dalam. Sebanyak 78 titik bor di antaranya
memiliki kedalaman 60-100 meter, 34 titik bor sedalam 80-100 meter, dan 3
titik bor sisanya sedalam 60 meter.238
Mari mengingat kembali simpulan dari hasil rapat konsorsium Juni 2021.
Hasil rapat itu disampaikan pegawai DLH Kabupaten Demak, Arso Budiyatno.
Arso menjelaskan, pesisir utara Semarang-Demak satu kesatuan. Pesisir Semarang-
Demak sama-sama tersusun dari tanah muda nan lunak. Tanah muda nan lunak,
ketika dibebani bangunan berat di atasnya, berpotensi memicu amblesan tanah.
Begitu pula ketika dibor sangat dalam di banyak titik. Dengan kata lain, rencana
teknis akhir TTLSD Seksi 1 bertolak arah dengan hasil rapat konsorsium.
Bedah ANDAL MDS menyoroti kelemahan lain proyek TTLSD: hilangnya
mata pencaharian petambak udang. Temuan itu berlawanan dengan isi ANDAL
yang menyebut adanya peningkatan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat,
dan peningkatan peluang usaha. Dari temuan MDS diketahui, proyek TTLSD
berpotensi mengganggu habitat udang putih di pesisir Sayung. Padahal udang
merupakan salah satu sumber penghidupan warga. Misalnya warga Kampung
Morosari (Desa Bedono) yang berada di dalam dan/atau selatan TTLSD.
Di Kampung Morosari, banyak tambak warga tersambung langsung dengan
laut. Namun dengan adanya TTLSD, maka tambak warga bakal dipisahkan dari
air laut. Di luar usaha pertambakan, sejak lama warga Morosari kerap membuat
jaring ayun untuk menangkap udang putih. Kampung itu tenar pula di kalangan
236
PT Bumi Tambang Indonesia mengeruk pasir di area seluas 2.339 hektare dan PT Energi Alam Lestari
mengeruk di area seluas 1.050 hektare. Keduanya mengeruk pada kedalaman 30 sentimeter. Lihat:
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
237
Puspitoningrum, Anggun. 2021. “Warga Jepara Tolak Penambangan Untuk Urugan Tol Laut
Semarang Demak.” Jateng.Idntimes.Com. Retrieved August 18, 2022 (https://jateng.idntimes.com/
news/jateng/anggun-puspitoningrum-1/warga-jepara-tolak-penambangan-untuk-urugan-tol-laut-
semarang-demak).
238
Informasi tersebut didapat dari acara Kuliah Pakar pada 21 Mei 2022. Acara itu digelar secara daring
oleh Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang.

127
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

para pemancing. Sebelum memancing di rumpon-rumpon milik warga atau


memancing di atas pemecah ombak, biasanya para pemancing membeli terlebih
dahulu udang putih dari para petambak untuk umpan. Harga udang putih adalah
Rp20 ribu untuk 10-20 ekor.239
Kehidupan nelayan berpotensi ikut terkena imbas proyek TTLSD. Hal itu
terkonfirmasi dari cerita Bu Telungpuluhloro (38 tahun). Setiap hari dia bekerja
membersihkan dan menjual ikan hasil tangkapan sang suami. Hasil tangkapan
sang suami biasanya langsung diolah menjadi lauk untuk dijual di warung
pinggir jalan menuju Jembatan Pedot. Pemancing sering mampir ke warungnya
untuk minum dan makan. Saat kami makan siang di warungnya, dia bercerita

“Mangke tirosne nek pun enten tanggul kalih tol mriko, toyane mriki dados anyep.
Lha kulo malah bingung nek toya mriki anyep. Bojone kulo mboten saget kerjo
ngucali ulam, ajeng nggoto teng pundi nek mriki anyep. Kerjo liyane nggih
kiambake mboten purun, wong pancen kawit ndisik nggih ngucali ulam.”240

Kekhawatiran Sus selaras dengan hasil analisis MDS. Dalam analisisnya MDS
mencatat, keberadaan tanggul bakal memblokade akses warga menuju pantai,
sehingga berdampak bagi para nelayan tradisional atau nelayan kecil yang
penghidupannya sangat bergantung pada wilayah pantai.241 Dengan demikian,
kini analisis dampak yang dikerjakan MDS sudah bukan lagi sekadar analisis
hipotetik. Analisis itu makin menjadi sebuah kenyataan riil di lapangan. Bahkan
itu terjadi ketika; Seksi I TTLSD masih terkendala urusan pembebasan lahan
dan Seksi II baru selesai 91 persen.
Pada Oktober 2021, kami berjumpa dengan warga Perumahan Raden Patah,
Desa Sriwulan. Perjumpaan itu makin menguatkan analisis MDS soal proyek
TTLSD. Salah seorang warga mengatakan bahwa sejak ada pembangunan tol-
tanggul (sebagaimana istilah yang dia dengar), rob di sekitar rumahnya justru
makin tinggi. Warga lain, Selikur, mengungkapkan hal serupa. Jalan menuju
RW08 di makin terendam rob. Bahkan ketika COVID-19 sedang mengganas, ada
satu keluarga meninggal bersamaan di tengah kepungan rob.

239
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.
240
Wawancara dengan Telungpuluhloro, pada 25 Januari 2022.
241
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.

128
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

“Itu karena jalan sepanjang 1,5 km terendam rob sampai di atas lutut. Kami
kesulitan mengantar obat, makanan, dan lain-lain. Jadi program jaga
tangga242 tidak berlaku di tempat kami,” kata Selikur.243

Gambar 33: Tangkapan layar percakapan warganet tentang dampak proyek pembangunan TTLSD.
Sumber: https://www.instagram.com/p/CinG1jVp9mW/, diambil pada 19 September 2022.

Dampak TTLSD tidak hanya kami dapat dari perbincangan langsung,


melainkan termasuk dari media sosial. Misalnya komentar warganet di kolom
komentar akun Instagram @demakhariini. Dalam satu unggahan (18 September
2022) tentang perkembangan proyek TTLSD, beberapa warganet menyebut
para petani di sekitar proyek mengalami gagal panen. Bahkan para petani tidak
bisa menanam, karena saat pembangunan tol berlangsung, sawah mereka malah

242
Program solidaritas untuk bagi pasien COVID-19 dengan saling mengirim makanan dan kebutuhan
lain. Program itu diserukan Gubernur Ganjar Pranowo selama Pandemi COVID-19 berkecamuk di
Jawa Tengah.
243
Selikur. 2022. “Pengajian Suluk Senin Pahingan Ke-12 Di Pondok Pesantren Al-Itqon, Pedurungan,”
August 28.

129
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

jadi terendam air. Warganet lain menyebut, pembangunan TTLSD tidak sesuai
harapan. Misalnya, seperti komentar akun @nurkhamid, “Tdk sesuai expetasi..
Air rob malah berimbas ke desa desa sebelahnya..” Bahkan akun bernama
@miftah_kuinsi sampai berkomentar, “Rob bergeser ke wilayah Utara batas
demak-jepara. Lahan tambak garam tahun ini terendam rob.”
Ada satu hal menarik lagi dari bedah ANDAL TTLSD yang dikerjakan MDS.
Di sana disebutkan, tanggul laut yang diintegrasikan dengan jalan tol dibuat
mulai dari sisi timur Banjir Kanal Timur (Kota Semarang) hingga Sungai Sayung
(Kabupaten Demak). Dengan tanggul tersebut, setidaknya akan ada lima muara
sungai yang dibendung: Sungai Sringin, Tenggang, Sriwulan, Kaidin, dan Menyong.244

Gambar 34: Aliran sungai yang darinya pasang air laut mengalir masuk dan meluber ke daratan. Sumber:
Presentasi Ir. Andi KS di Unissula pada Mei 2022.

Sementara dalam kuliah pakar di Unissula, Ir Andi Kartawira memaparkan


pula latar belakang pembuatan tanggul. Salah satu alasannya, karena melihat
detail desain tanggul laut rob Semarang yang disusun BBWS Pemali-Juana
pada 2017. Desain tersebut menggambarkan sungai-sungai besar, yang darinya
pasang air laut (rob) mengalir masuk dan meluber ke jalan nasional (Jalan Raya

244
Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/publication/344804419.

130
Perjumpaan III: Beton-Beton Raksasa

Semarang-Demak). Sungai-sungai tersebut adalah Banjir Kanal Timur, Sungai


Tenggang, Sringin, dan Babon.
Dengan demikian, dari mengelaborasi data-data tersebut, tampak bahwa
aliran Banjir Kanal Timur tidak akan ditanggul. Sementara aliran Sungai Sringin
dan Sungai Tenggang bakal ditanggul dan kemudian ditampung di kolam retensi
Sistem Terboyo. Aliran dari Kali Sriwulan, Kali Kaidin, Kali Menyong, dan Sungai
Babon akan ditampung di kolam retensi Sistem Sriwulan. Kemudian dari kedua
kolam retensi tersebut, air bakal dipompa menuju ke Laut Jawa.
Rencana penanggulan tidak terputus sampai di situ saja. Kementerian PUPR
punya rencana membangun tanggul laut (15 kilometer) yang menghubungkan
Kecamatan Sayung, Karangtengah, Bonang, serta Wedung. Bupati Demak,
Eisti’anah menyebutkan perkiraan biaya untuk membuat tanggul itu: Rp150
miliar dan bakal direalisasikan pada 2023. Menurut rencana, jalan kabupaten
yang melewati empat kecamatan itu bakal kembali dihidupkan, sehingga dapat
sekaligus berfungsi sebagai tanggul laut bagi desa-desa di dalamnya.
Bupati Eisti’anah mengatakan, solusi tanggul muncul karena peninggian jalan
beton, sudah tidak lagi dianggap solusi jangka panjang dalam mengatasi banjir
rob. Pasalnya, setelah jalan ditinggikan, satu atau dua tahun kemudian sudah
kembali terendam rob yang terus bertambah tinggi.245 Rencana pembangunan
tanggul itu telah masuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten Demak No 1/2020
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak 2011–2031.
Dalam peraturan itu, tercantum bahwa rencana pembangunan tanggul
penahan abrasi di Kecamatan Sayung, Karangtengah, Bonang, dan Wedung bakal
dilaksanakan pada 2020-2031. Sumber dana berasal dari APBN, APBD Provinsi,
dan APBD Kabupaten Demak. Pelaksana proyek tersebut adalah Kementerian
PUPR, Dinas Pusdataru Provinsi Jawa Tengah, Dinas Putaru Kabupaten Demak,
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Demak, dan BPBD Kabupaten Demak.246
Rencana pembangunan tanggul bagian dari program utama perwujudan pola
ruang kawasan lindung untuk bencana alam dan perlindungan kawasan rawan
gelombang pasang serta abrasi. Namun pertanyaannya, apakah dengan proyek
penanggulan dan proyek-proyek infrastruktur sejenisnya, persoalan-persoalan
di pesisir Kecamatan Sayung bakal teratasi?

245
Muhlisin, Ahmad. 2022. “Pemerintah Akan Bangun Tanggul Laut 15 Km Untuk Atasi Rob Di Demak.”
Betanews.Id. Retrieved September 25, 2022 (https://betanews.id/2022/06/pemerintah-akan-
bangun-tanggul-laut-15-km-untuk-ata-si-rob-di-demak.html).
246
Pemerintah Kabupaten Demak. 2020. Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Demak Tahun 2011-2031.
Kabupaten Demak.

131
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Dari dalam ruang tamu tanpa kursi, Wolu mengkhawatirkan risiko lain jika
laut ditanggul. Pada 1999 dia harus menyingkir dari Tambaksari, karena rumah
dan tambak habis diterjang air laut. Kemudian dia membangun lagi kehidupan
di Kampung Tambaksari Baru dengan kembali bertambak dan sedikit mengolah
sawah. Namun kini, sejak rob mulai kembali mengejarnya di Desa Purwosari,
Wolu kembali harus berurusan dengan pengurukan lantai rumah. Awal tahun
2022, dia baru saja melakukan itu.
Belum selesai dengan rob, kini Pak Wolu berjumpa pembangunan Jalan Tol
Semarang-Demak di depan rumahnya. Dia juga menjual sawah dan tambak di
Purwosari, karena lahannya masuk ke dalam area pembangunan tol. Tidak lagi
bertambak, kini Wolu dan istri berdagang di pasar. Saat kami menjumpainya
pada awal Agustus 2022, Pak Wolu mengatakan hal memilukan lain. Belakangan,
kata Wolu, ketika tiang jalan tol ditancapkan, air hujan menggenang lebih lama.
Penyebabnya, karena area yang biasanya dituju aliran air hujan, kini terhalang
timbunan tanah dan tiang bangunan tol.

“Kalau ditutup seperti itu, apalagi kalau nanti ada tanggul di laut sana, lalu
pembuangan air dari ini larinya ke mana?” kata Wolu, mempertanyakan.247
(*)

247
Wawancara dengan Pak Wolu pada 7 Agustus 2022.

132
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

PERJUM PAAN IV
Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

“Kampungnya sudah tenggelam. Kalau musim hujan, dari arah barat datang
ombak dan angin. Sampai air asin datang tidak karuan, ombaknya naik. Kalau
malam, laahhh… datang bergerombol mengerikan, air datang, rob datang,
angin datang, kasihan. Mau lari kemana kalau begini? Di sana itu penuh air.
Yang di jalan itu, yang bisa dilewati saja tenggelam.”
Telungpuluhpapat, Warga Dukuh Tonosari

Gambar 35: Bedol desa penduduk Kampung Tambaksari (A) ke Kampung Tambaksari Baru (B)
berlangsung pada 2000. Dalam gambar terlihat pada 2016, Kampung Tambaksari (lama) sudah menjadi
laut. Sementara pada 2021, Kampung Tambaksari Baru pun tampak telah digenangi rob. Dalam gambar
juga tampak konstruksi tiang jalan tol (bagian dari Tol Tanggul Laut Semarang Demak) sangat dekat
dengan kampung. Sumber: diolah penulis dari Google., Oktober 2022.

Suara Masnuah berubah parau saat berbicara dalam Focus Group Discussion
(FGD) Diamond in The Delta Project. Acara yang digelar secara daring pada 18
April 2022 tersebut dihadiri akademisi, pejabat pemerintah (Kabupaten Demak

133
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

dan Kota Semarang), dan aktivis.248 Suara parau Masnuah muncul ketika dia
menceritakan bagaimana orang-orang di Kampung Tambaksari dan Rejosari
(senik) bedol desa. Kenyataannya, kata Masnuah, bedol desa sebagai usaha
merelokasi atau memindah penduduk dari kawasan tenggelam tidak berhasil.
Masnuah merupakan warga Demak. Dia adalah ketua Persaudaraan
Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Karena itu, Masnuah jelas punya alasan
dan informasi mengapa relokasi tidak berhasil. Menurut Masnuah, beberapa
tahun setelah relokasi, warga Tambaksari dan Rejosari (Senik) tetap saja hidup
berkalang penderitaan. Hampir setiap hari, banjir rob tetap saja menggenangi
permukiman baru warga Tambaksari dan Rejosari. Karena terus rob, mereka
harus mengumpulkan uang tambahan untuk menguruk rumah. Nahasnya lagi,
beberapa ada juga yang harus (kembali) pindah, karena rumah di kampung
relokasi digusur pembangunan tol.
“Rasanya saya ngempet tangis batin. Bedono, Mondoliko, Timbulsloko, itu
ada di luar tol (di sebelah utara kurva tol). Saat ini tol belum sepenuhnya
jadi, sudah susah sekali hidup. Bagaimana nanti kalau sudah ada tol?” kata
Masnuah. Tenggorokan Masnuah seakan tercekat saat meneruskan kalimatnya.
Masnuah membeberkan bahwa dia mendengar pula adanya rencana relokasi
bagi penduduk Kampung Mondoliko, Desa Bedono. Ini adalah kampung ketiga
di Desa Bedono yang nyaris habis terkikis abrasi. Akan tetapi, nasib Kampung
Mondoliko berbeda dengan dua kampung sebelumnya yakni Tambaksari dan
Rejosari. Pada saat merekolasi warga Tambaksari dan Rejosari, pemerintah
menyediakan lahan untuk dijadikan permukiman baru. Namun untuk Kampung
Mondoliko, pemerintah tidak menyediakan lahan bagi warga yang ingin pindah.
Ketiadaan bantuan menyeluruh dari pemerintah jelas menyulitkan warga
Mondoliko. Dari informasi yang diterima Masnuah, Pemkab Demak hanya akan
membantu kepindahan penduduk Mondoliko dengan syarat tertentu. Misalnya,
pemerintah hanya akan membantu warga Mondoliko yang telah memiliki lahan
pengganti di luar Kampung Mondoliko. Bahkan lahan pengganti itu sudah harus
bersertifikat. Ketika syarat sudah terpenuhi, pemerintah bakal memberikan
fasilitas kepindahan senilai Rp50 juta dalam bentuk material bangunan. Dengan

248
Forum ini dihadiri di antaranya oleh pejabat Dinas Permukiman Kabupaten Demak, Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Demak, Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juwana, Dinas Pekerjaan
Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan
Kota Semarang, Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang, PPNI, BINTARI, LBH Semarang, dan
beberapa akademisi dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan Universitas Diponegoro (UNDIP).

134
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

kata lain, pemerintah hanya mau membantu warga yang telah memiliki tanah
bersertifikat hak-milik di luar Kampung Mondoliko.
Keberadaan syarat itu memberatkan warga Mondoliko. kebanyakan warga
tidak punya lahan selain rumah di Mondoliko. Jika pun ada, lahan itu tetap
berada di Kampung Mondoliko berupa pekarangan, sawah, atau tambak. Namun
sekarang, lahan-lahan itu sudah tidak ada, karena telah tenggelam dan berubah
menjadi lautan. Persoalannya, membeli lahan di luar kampung membutuhkan
biaya tidak sedikit. Sementara sumber pendapatan warga kian merosot seiring
dengan tenggelamnya banyak sumber penghidupan.
Perangkat desa setempat pernah menawarkan sebuah kesepakatan dengan
warga Mondoliko. Tawaran itu berupa fasilitas pembelian lahan dengan cara
dicicil di Desa Dombo, Kecamatan Sayung. Lahan di Desa Dombo cukup luas,
karena itu digadang-gadang bakal menjadi sebuah permukiman baru. Beberapa
warga Mondoliko sudah berminat dengan tawaran tersebut. Namun hingga saat
ini, proses mencicil lahan supaya dapat menerima bantuan belum jelas. Alhasil
belum ada pula warga Mondoliko yang bisa memenuhi syarat dari pemerintah.
Penduduk Mondoliko tetap harus menyambung hidup. Karena itu, sekalipun
belum memenuhi syarat, kebanyakan warga Mondoliko tetap memilih pindah
tanpa bantuan pemerintah. Sebagian pindah dengan cara menyewa kamar kos,
mengontrak rumah, mengungsi ke tempat sanak saudara, dan berbagai macam
cara lainnya. Di tempat baru, mereka membangun dan menata kembali secara
mandiri rumah dan kehidupan baru mereka.249 Sampai buku ini disusun, di
Kampung Mondoliko tinggal tersisa tiga rumah yang masih dihuni.
Lokasi kepindahan warga Mondoliko biasanya mendekati tempat di mana
penduduk bekerja. Karena sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik, maka
mereka pindah mendekati jalan raya menuju pabrik. Selain buruh pabrik,
beberapa profesi warga Mondiloko lainnya adalah pelayan warung makan, kuli
bangunan, pegawai, dan lain-lain. Semula, ketika masih bermukim di Mondoliko,
setiap hari mereka perlu pergi dan pulang melalui medan yang cukup sulit.
Jalan keluar-masuk kampung sering terendam air laut, sehingga sulit dilewati.
Kini tersisa sedikit orang saja yang masih bekerja di Mondoliko. Mereka
mengelola sisa-sisa tambak, menangkap ikan, dan mencari kerang. Beberapa di
antaranya sudah bermukim di luar kampung, beberapa lainnya masih bertahan.
Bagi yang sudah bermukim di luar kampung, mereka acap datang menggunakan
perahu atau berjalan kaki melalui jalanan yang memprihatinkan; tenggelam,

249
Kisah warga Mondoliko yang bersusah payah membangun rumah baru dengan membeli lahan relokasi dari warga
desa lain yang mendapat jatah dari pemerintah, ada pada bagian “Perjumpaan III”.

135
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

berlumpur, dan licin. Mereka coba mensiasati itu dengan cara berjalan menggunakan
kaos kaki atau membalut kaki dengan kain bekas.

Gambar36: Jalan keluar masuk Kampung Mondoliko, difoto pada 2018. Saat ini jalan dalam gambar
tersebut telah tenggelam. Sumber: Suluh Media Online, diakses 04 Mei 2022.

Cerita warga Mondoliko adalah cerita hidup yang terus terisap sampai seisi
kampung habis. Bagian ini bercerita mengenai lapis demi lapis pengisapan di
pesisir Kecamatan Sayung, termasuk yang dialami warga Mondoliko itu sendiri.

1. D ulu Petamba k, S ekarang Buruh Indust ri


Dulu Sewelas adalah petambak di Dukuh Deles, Desa Purwosari. Semasa kanak-
kanak, orang tua Sewelas bekerja sebagai petani. Saat dia bertambak, Sewelas
menyewa lahan per dua meter untuk ditebari benih udang dan bandeng. Menurut
Sewelas, dulu hasil tambak sangat memuaskan.

136
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

“Pas niku nggih kathah sing nggarap sabin. Hasile nggih nyenengke. Nek
sakniki nambak niku, kula piyambak wegah,” tambah Sewelas.250

Kini Sewelas tidak lagi bertambak. Saat ini biaya menggarap tambak sudah
jauh lebih mahal daripada dulu. Sebab, kini petambak perlu membeli waring
(jaring) dan bambu untuk tuas pengikat jaring. Kondisi tersebut berbeda dengan
zaman dulu; batas tambak masih berupa pematang dari gundukan tanah. Jaring
dan bambu berfungsi sebagai pengganti pematang yang membatasi gerak udang
dan bandeng, supaya tidak lari ke laut. Kini kebutuhan jaring dan bambu tidak
sedikit, karena kedalaman perairan tidak dapat dijangkau lagi dari atas perahu.

Gambar 37: Tambak di Kampung Timbulsloko, Desa Timbulsloko. Pematang tambak-tambak di pesisir
Sayung yang sudah hilang karena tanahnya tergerus rob, digantikan dengan jaring dan bambu, supaya
ikan dan udang tidak terbawa arus laut. Sumber: Foto diambil penulis pada September 2022.

Telungpuluhloro merupakan warga Kampung Tonosari, Desa Bedono. Dia dan


sang suami bertambak memakai jaring dan bambu di tanah yang sudah ambles.
Awal bertambak, keluarga Sus perlu merogoh kocek sebesar Rp25 juta untuk
modal membangun tambak. Modal tersebut digunakan untuk membeli bambu dan
jaring. Ongkos itu baru untuk membangun satu petak tambak, belum termasuk
250
Diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut; “Waktu itu banyak juga yang mengerjakan tambak.
Hasilnya pun menyenangkan. Tetapi kalau sekarang ini bertambak, saya sendiri pun tidak mau.”
Lihat: Wawancara dengan Sewelas, 27 Oktober 2021.

137
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

harga menyewa. Menurut Telungpuluhloro, kini bertambak memang lebih mahal


daripada zaman dulu. Perubahan itu dimulai sejak tambak-tambak di pesisir
Sayung mulai banyak yang tenggelam.
Momen tambak tenggelam ditandai oleh makin menyusutnya luasan tambak.
Penyusutan itu berlangsung dari tahun ke tahun. Ambil saja kurun waktu acak
untuk menelusuri penyusutan tersebut. Menurut data BPS Kabupaten Demak,
pada 2010, luasan tambak di pesisir Sayung adalah 2.348,8 hektare. Luasan itu
tersebar di Desa Sidogemah, Purwosari, Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, Tugu,
Sidorejo, Banjarsari, dan Surodadi. Namun pada 2018, luasan tambak di pesisir
Sayung menyusut menjadi 1.962,8 hektare.251
Kini hanya sebagian kecil warga Sayung yang masih bertambak. Umumnya,
para petambak yang masih bertahan adalah mereka yang sudah berumur cukup
tua. Mereka tergolong nekat, karena berani mengeluarkan biaya pengerjaan
yang mahal. Walau begitu, mereka tetap bersiasat dengan cara, salah satunya,
mengganti bibit tambak. Misalnya seperti yang dilakukan Enembelas, petambak
di Dukuh Wonorejopasir, Desa Timbulsloko.
Seperti para pendahulu, semula Enembelas juga menebar bibit bandeng.
Akan tetapi, bibit bandeng acap terlalu mudah terbawa hanyut banjir rob.
Padahal terbawa hanyutnya bibit, berarti kerugian besar untuk para petambak.
Belum lagi ditambah kondisi tambak-tambak di Wonorejopasir hari ini sudah
banyak berubah menjadi lautan. Oleh sebab itu, Enembelas mengganti bibit
bandeng dengan bibit udang. Enembelas menjelaskan,
“Nek mbiyen bandeng, nek saiki ki malah ning ndarat-ndarat iku dikei urang
panami. Nek ng kene urang yo alami. Saiki wis rusak og tambake, diparingi
waring yo kelem. Dikei bandeng yo podo wae kadang nek kelem yo ilang. Ra ono
tambak, rusak tambake. Tambak ki wetan kono jek diparingi waring-waring.
Yo ijeh Timbulsloko tapi sing sebelah desa etan kono mau.”252
Sementara itu, warga Sayung yang masih muda kebanyakan tidak bekerja
di tambak. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh pabrik dan buruh
bangunan. Seperti kata Sewelas,
“Mriki nganu mbak nggih Sebagian wonten seng bangunan pabrik tapi
seng taseh muda-muda la seng tua-tua niku nggih seng gadah tambak

251
Di Desa Surodadi saja ada tambak yang tenggelam seluas 35 hektar. Sedangkan di Bedono, luasan
tambak yang tenggelam lebih besar lagi yakni 331,31 hektare. Lihat: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Demak. 2018. Kecamatan Sayung Dalam Angka 2018.
252
Wawancara dengan Enembelas, 7 Oktober 2021.

138
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

nggih nambak nek kulo mboten gadah tambak kaleh ngeterke teng
peken.”253
Kini jumlah profesi buruh paling besar. Pada 2019, jumlah buruh di Sayung
mencapai 15 ribu orang. Jumlah petani dan nelayan—sekalipun digabung—
belum menyentuh separuh dari jumlah buruh. Biasanya para nelayan tersebut
adalah warga penduduk yang tidak punya tambak. Kini pendapatan dari profesi
nelayan juga lebih kecil. Pangkal persoalannya, karena rob kian menggerus
pesisir Sayung. Alhasil banyak nelayan beralih profesi menjadi buruh pabrik—
baik itu di pabrik-pabrik di Sayung maupun di Kota Semarang (lihat Perjumpaan III).

Tabel 8: Jenis pekerjaan penduduk Kecamatan Sayung

Desa Petani Buruh Nelayan Wiraswasta Pedagang ABRI/PNS Lain-Lain

Gemulak 670 1.710 292 15 228 38 258

Sriwulan 833 3.681 22 24 1.065 639 1.291

Sidogemah 941 2.316 46 16 708 119 287

Purwosari 630 1.853 43 21 829 138 408

Timbulsloko 545 2.291 206 4 276 35 302

Bedono 200 2.015 716 5 466 57 257

Surodadi 348 1.408 198 10 225 36 206

Jumlah 4.167 15.274 1.523 95 3.797 1.062 3.009

Sumber: Kecamatan Sayung Dalam Angka 2019.

2. Kesulit an da n Kehilangan
Suatu malam, warga Timbulsloko, Sanga, harus berjalan menerjang air laut
nyaris setinggi paha. Sanga harus melakukan itu untuk menyelamatkan hidup
anaknya yang sedang sakit. Anak Sanga masih balita dan suhu badannya sangat
tinggi. Sanga sangat panik. Dia takut anak pertama dan satu-satunya itu kejang-
kejang jika tidak segera dibawa ke rumah sakit. Sanga berjalan dalam gelap,
sembari menggendong anak menuju Dukuh Dempet, Desa Tugu—tempat parkir
kendaraan milik orang-orang Dukuh Timbulsloko. Sanga tidak berjalan seorang

253
Wawancara dengan Sewelas, 27 Oktober 2021.

139
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

diri. Dia berjalan bersama sang istri sejauh dua kilometer. Mereka berjalan
sambil saling menjaga keseimbangan melalui satu-satunya jalan keluar kampung
yang masih bisa digunakan, sekalipun sudah rutin tenggelam.
Jalan yang dilintasi Sanga dan istrinya bukan jalan utama. Jalan tersebut
adalah jalan bagian belakang kampung. Dulu jalan itu hanya dipakai untuk pergi
ke ladang, sawah, atau tambak. Sebelum dekade 2000-an, warga Timbulsloko
jarang melewati jalan tersebut. Mereka lebih memilih jalan utama di tengah
kampung yang tersambung dengan Jalan Raya Semarang-Demak. Jalan utama
itu berada di pinggir sungai yang membelah kampung. Namun kini, jalan utama
sudah tidak lagi tampak. Begitu pula dengan sungai yang berada di sampingnya.
Keduanya telah hilang, berubah menjadi lautan.
Lain waktu, Papat menceritakan pengalaman mengangkut orang sakit dari
Dukuh Timbulsloko. Orang sakit itu harus digendong, kemudian dinaikkan ke
perahu. Di atas perahu terdapat kasur untuk dijadikan alas. Sementara para
pengakutnya perlu mendorong perahu sambil menyelam.254 Keadaan seperti itu
membuat warga Timbulsloko yang akan melahirkan lebih memilih pindah. Salah
satunya adik kandung Papat. Dia memilih meninggalkan rumah, supaya dapat
merawat bayi yang akan dilahirkan. Keputusan adik Papat masuk akal belaka.
Fasilitas kesehatan terdekat ada di Dukuh Karanggeneng berupa praktik bidan.
Dari Timbulsloko, bidan tersebut berjarak tiga kilometer dan hanya bisa diakses
dengan cara jalan kaki menembus perairan, lalu dilanjutkan jalan darat.
Kondisi di Dukuh Timbulsloko mengingatkan kami pada Dukuh Mondoliko (Desa
Bedono) sebelum mereka pindah. Kini orang Timbulsloko juga kesulitan untuk
keluar-masuk kampung. Pasalnya, daratan Dukuh Timbulsloko sudah terpisah dari
tiga dukuh lain di Desa Timbulsloko seperti Dukuh Karanggeneng, Bogorame, dan
Wonorejopasir. Jalan menuju Dukuh Timbulsloko sudah tidak memungkinkan lagi
dilewati kendaraan darat. Jalan tersebut hanya bisa dilewati dengan jalan kaki dan,
jika sedang rob sedang tinggi, berarti berjalan kaki dengan medan yang lebih sulit;
menembus air laut setinggi paha orang dewasa. Namun warga Dukuh Timbulsloko
tetap harus menembus rob itu, utamanya untuk mengakses rumah sakit, sekolah,
pasar, dan termasuk tempat kerja. Papat menambahkan,
“Berarti ini bulan puasa, alhamdulillah poso iki dalanne pun dadi, kan
dadi mulai taun ini. Wong niku saiki jenengan dalanne niku to mbak,
wong kerjo niku kadang susah, niku kudu naik prau 10 ewu, nek jenengan

254
Wawancara dengan Papat, 23 Februari 2022.

140
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

numpak prau. Dadi ambil motor disana, ambil motor titipan 2 ribu.
Pulang lagi 10 ribu. Jadi 22 ribu perjalanan sini aja. Satu hari.”255

Gambar 38: Murid-murid dan para buruh dari Kampung Timbulsloko berangkat menuju sekolah dan
tempat kerja secara bergiliran menggunakan perahu. Sumber: survei primer Oktober 2022.

Ketika air rob tidak terlalu tinggi, pilihan warga Timbulsloko malah tidak
banyak. Mereka hanya bisa berpergian dengan berjalan kaki. Sebab warga tidak
dapat menggunakan perahu, karena mesin perahu rentan rusak. Namun ketika
rob sedang tinggi, warga dapat menggunakan perahu yang dioperasikan secara
kolektif bagi dan oleh warga. Ongkos perahu satu kali jalan adalah Rp10.000.
Sesampainya di darat, warga harus membayar biaya penitipan kendaraan di
dukuh sebelah sebesar Rp2.000/kendaraan. Warga memarkirkan kendaraan di

255
Diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut; “Berarti ini bulan puasa. Alhamdulillah puasa ini
jalannya sudah jadi, kan sudah jadi mulai tahun ini. Kalau tidak ada jalan itu, orang kerja susah, harus
naik perahu Rp 10 ribu, itu kalau naik perahu. Lalu ambil titipan motor Rp 2 ribu. Pulang lagi Rp 10
ribu. Jadi Rp 22 ribu untuk perjalanan ke sini saja, satu hari.” Lihat: Wawancara dengan Papat, 23
Februari 2022.

141
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

dukuh seberang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mulai dari kebutuhan


akomodasi menuju tempat kerja, sekolah, atau fasilitas kesehatan.256
Tidak ada fasilitas sekolah di Dukuh Timbulsloko. Karena itu, anak-anak di Dukuh
Timbulsloko bersekolah di dukuh sebelah. Setiap hari mereka harus berjalan sejauh
2,5 kilometer ke Dukuh Karanggeneng. Ketika rob sedang tinggi, orang tua murid
kerap mengantar ke sekolah menggunakan perahu. Namun karena keterbatasan
perahu, tidak sedikit orang tua yang memanggul anaknya dengan berjalan kaki.
Sementara jika rob makin tinggi lagi, maka anak-anak di Dukuh Timbulsloko sering
tidak sekolah. Selain karena akses jalan susah dilewati, hal itu disebabkan oleh
terendamnya sekolah di Dukuh Karanggeneng itu sendiri.

Gambar 39: Akses menuju Dukuh Timbulsloko dengan cara jalan kaki (kiri). Akses menuju Dukuh
Timbulsloko menggunakan perahu (kanan). Sumber: Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI),
diakses pada 23 Februari 2022, tidak diketahui tanggal pengambilan gambar.

“Niki bocah-bocah sekolah teng pundi?” tanya kami saat mewawancarai


warga Dukuh Timbulsloko, “teng karanggeneng do mlampah 2,5 km, kulo
pas sekolah mlampah terus (7 tahun) mboten sehat naming kesel, nek kesel
256
BPS Kabupaten Demak (2021) mencatat, penduduk Desa Timbulsloko secara umum masuk kategori
sulit menjangkau Puskesmas, rumah sakit, poliklinik, dan apotek. Penduduk Timbulsloko juga
dikategorikan sulit menjangkau fasilitas pendidikan dari tingkat SD dan sederajat, hingga perguruan
tinggi. Lihat: Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak. 2021. Kecamatan Sayung Dalam Angka 2021.

142
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

mboten mangkat, nek kesel do prei, mlampah kok,” jawab warga. “Nek do
sekolah diterke pakane kangge perahu. Niku nggih angsal silihan perahu
kok. Nopo niku sumbangan perahu,” kata warga ketika menjelaskan momen
rob setinggi satu meter.257
Penduduk Dukuh Timbulsloko kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Penyebabnya, karena akses darat menuju pasar terputus. Warga membutuhkan
perahu dan kemudian kendaraan motor untuk membawa barang dari Pasar
Sayung. Karena itu, harga kebutuhan sehari-hari di Dukuh Timbulsloko lebih
mahal ketimbang di tempat lain. Sebagai contoh adalah air minum galon isi
ulang. Di tempat lain (masih daerah Kecamatan Sayung) harga air galon isi
ulang Rp3.000–Rp5.000, sedangkan di Timbulsloko mencapai Rp12.000. Karena
harga kebutuhan mahal, tidak jarang warga sampai harus berutang. Bahkan
termasuk berutang untuk membeli beras sebagai makanan pokok di sana.258
Interaksi antar warga Dukuh Timbulsloko berubah sejak rob menggenangi
seluruh area dukuh. Pasalnya, daratan antara rumah satu dengan rumah lainnya
terputus, karena sudah terendam air laut. Sejak saat itu, orang-orang Dukuh
Timbulsloko lebih sulit berinteraksi, sampai layaknya kampung mati. Relasi
sosial antar warga berkurang dan bahkan nyaris hilang. Warga berupaya tetap
mempertahankan relasi sosial antar warga yang semula guyub, walau butuh
biaya ekstra. Pasalnya, mereka perlu membangun dulu jalan kampung berbahan
kayu dan bambu dengan konstruksi panggung. Jalan itu menjadi penghubung
antar rumah di Dukuh Timbulsloko, sampai saat ini.
Warga juga berupaya mempertahankan makam kampung. Pada tahun lalu,
Masnuah membersamai warga Dukuh Timbulsloko untuk meninggikan makam
yang sudah rata dengan air laut. Batu-batu nisan harus dicabut terlebih dahulu,
untuk kemudian dipasang kembali setelah tanah makam diuruk. Sampai saat
ini, proses pemakaman di Dukuh Timbulsloko cenderung lebih sulit dilakukan.
Butuh waktu penggalian lebih lama, sedangkan air laut seakan terus mengejar
untuk segera menggenangi lubang makam.
Cerita kesulitan semacam itu dialami warga pesisir Sayung lainnya. Setiap
hari, penduduk Dukuh Tonosari (Desa Bedono) juga merasakan aneka dampak
buruk banjir rob. Salah seorang warga, Telungpuluhpapat tidak bisa membatur
(menguruk untuk meninggikan) lantai rumah. Karena tidak mampu, setiap jam

257
Wawancara dengan warga Dukuh Timbulsloko (Papat, Sangalikur, Rolas, Telulikur, Wolulas, Telulas),
15 Maret 2022.
258
Jarak rumah warga ke tempat penitipan kendaraan mencapai sekitar 1,5 km dengan menggunakan
perahu. Sedangkan jarak dari tempat penitipan ke Pasar Sayung kurang lebih 7,5 km dengan
menggunakan kendaraan motor.

143
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

setengah tiga dini hari, air laut rutin masuk rumah. Kemudian surut sekitar
pukul 05.00 pagi. Namun terkadang, banjir rob datang pula pada siang hari
setelah zuhur, tergantung musim. Ketika rob datang menerjang pada pagi hari,
warga sering terbangun dalam keadaan kaki tergenang air. Telungpuluhpapat berkata,
“Setiap wonten rob gede, mlakune soko kulon mriki, kadang bar bedug
nek musiman ngeten. Ape turu, ning angger tangi mak kecepluk. Lha niku
wae turune mboten duwe amben. Nek jogan ngeten niki.”259
Aktivitas warga untuk kulakan di Pasar Sayung menggunakan sepeda sulit
dilakukan. Karena adanya banjir rob, warga terpaksa kulakan dengan cara
jalan kaki sejauh kurang lebih 7,5 kilometer. Walau bisa jalan kaki, sebenarnya
warga masih harus menunggu banjir rob sedikit surut untuk pergi ke pasar.
Salah seorang warga Tonosari, Telungpuluhpapat, punya gambaran mengerikan
saat terjadi banjir rob besar. Ketika rob besar datang banyak warga ketakutan,
karena banjir rob di Tonosari tampak berombak, diiringi angin kencang. Warga
kebingungan menyelamatkan diri, karena akses jalan sudah sepenuhnya terendam.
“Kampunge wis kelelep. Nek musim hujan, seko kulon ombak kalih angin niku to,
Mas. Sampai banyu asin ora karuan, mumbul ombake. Nek dalu to laahhh… sak
gerombole sampai ngeri tenanan. Banyu teko, rob teko, angin teko ngoten,
mesake. Arep mlayu ning ndi ngene ki? Kono ki kebak ngono kuwi. Sing dalan
mriku to, sing kinging dilewati, keno ombak kelep,” tambah Telungpuluhpapat. 260

3. Ra wan Digusur da n Sulit M enja ngkau Ba ntuan Pemerintah


Waktu rob masuk ke permukiman warga Sayung tidak menentu. Terkadang
pagi, terkadang siang atau sore, dan terkadang malam hari saat para penduduk
tertidur pulas. Jika sudah memasuki permukiman, biasanya rob akan bertahan
menggenang selama 1-6 jam, dengan ketinggian rata-rata 15-40 cm. Tetapi tidak
jarang terjadi rob besar pada bulan-bulan ganjil antara Agustus hingga Oktober,
yang tingginya mencapai 80 cm dan bertahan menggenang dalam 3-4 hari berturut-

259
Diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut; “Setiap ada rob besar, datangnya dari arah barat sana,
jika sedang musim begini kadang datangnya setelah tengah hari. Malam mau tidur, tapi nanti kalah
bangun mak kecepluk (menggambarkan bunyi kaki masuk ke air). Itu saja tidurnya tidak pakai tempat
tidur, di lantai seperti ini.” Lihat: Wawancara dengan Telungpuluhpapat, 28 Oktober 2021.
260
Diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut; “Kampunnya sudah tenggelam. Kalau musim hujan, dari
arah barat datang ombak dan angin. Sampai air asin datang tidak karuan, ombaknya naik. Kalau
malam, laahhh… datang bergerombol mengerikan, air datang, rob datang, angin datang, kasihan.
Mau lari kemana kalau begini? Di sana itu penuh air. Yang di jalan itu, yang bisa dilewati saja
tenggelam.” Lihat: Wawancara dengan Telungpuluhpapat, 28 Oktober 2021.

144
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

turut. Di beberapa tempat di Sayung, rob malah telah menjadi genangan permanen.
Seperti kata Enembelas,
“Mulai subuh Mbak. Sudah langganan kalau di sini. Sak undakan kuwi lo
Mbak, sekitar 15 sentimeteran. Kurang ngerti jam pira tekane rob. Paling
nek pas turu ngono ki, tangi wis surut. Yo kadang jam papat bengi. Nek
sak wengi kae yo ora. Kadang yo ora mlebu ngomah. Nek wingenane kae
gedhe-gedhe terus, engko cilik-cilik, terus gedhe meneh.””261
Warga Dukuh Tonosari (Desa Bedono) lain, Bu Lima dan Telungpuluhpapat
mengatakan hal serupa;
“Yo sering sak mene. Ngger jam tigo ki banyune sak bokong. Setengah tigo
sampun dateng. Mangke nek sampun jam gangsal niku nggih surut. Jam
kalih, jam tigo, jam sekawan, niku pun radi surut. Mangke nek nggon-
nggon nggih kelem malih, mangke asat malih.”262
Momen rob di Sayung sudah sangat parah. Bahkan saking parahnya, sudah
banyak warga Sayung sampai melakukan “bedol desa”. Warga Sayung tersebut
terpaksa pindah ke tempat yang dirasa aman dari banjir rob. Sementara rumah
mereka sebelumnya di Sayung ditinggalkan begitu saja, karena sebagian besar
sudah menjadi lautan. Salah seorang warga Sriwulan mengatakan, di sekitar
rumahnya sudah banyak rumah kosong, karena ditinggalkan pemilik. Selain itu,
banyak rumah yang makin lama, makin hancur dan hilang imbas air rob yang
makin tinggi menggenang. Banyak warga Sriwulan pindah ke rumah saudara
mereka atau mengontrak di wilayah lain yang aman dari rob.
Terkait “bedol desa’, Damayanti (2019) mencatat adanya beberapa praktik
perpindahan penduduk karena abrasi. Misalnya, pada 1999 sejumlah 65 KK dari
Kampung Tambaksari (Desa Bedono) direlokasi ke Desa Purwosari. Kemudian
pada 2006, sejumlah 201 KK dari Kampung Rejosari (Senik) di Desa Bedono
direlokasi ke dua tempat: Dukuh Badong (Desa Sidogemah) dan Dukuh Daleman

261
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penulis: “(Rob datang) mulai subuh Mbak. Sudah langganan
kalau di sini. Satu anak tangga itu lo Mbak, sekitar 15 sentimeteran. Kurang tahu jam berapa
datangnya rob. Paling kalau saat tidur ada rob, nanti bangun sudah surut. Ya terkadang jam empat
dini hari. Kalau sampai semalaman sih tidak. Kadang juga tidak sampai masuk rumah. Kalau kemarin
robnya besar-besar terus, nanti kecil-kecil lalu besar lagi.” Lihat: Wawancara dengan Enembelas, 07
Oktober 2021.
262
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh penuli: “Ya sering setinggi ini. Kalau pukul tiga dini hari
airnya setinggi pantat. Pukul setengah tiga (rob) sudah datang. Nanti kalau sudah pukul lima itu surut.
Pukul dua, pukul tiga (datang), pukul empat itu sudah agak surut. Nanti kalau rob datang sudut-sudut
di rumah tergenang, lalu nanti kering lagi.”” Lihat: Wawancara dengan Lima dan Telungpuluhpapat,
28 Oktober 2021.

145
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

(Desa Gemulak). Bersamaan dengan itu, sejak 1999 sampai dengan 2006, dua
kampung di Desa Bedono tersebut telah hilang, berubah menjadi lautan.
Proses pemindahan penduduk dari Rejosari ke Sidogemah dilandasi oleh
beberapa bentuk perjanjian. Berikut ini salah satu perjanjian warga Gemulak
dengan Pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Kepala Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah Nomor 593.1/073 Tahun 2014.

Gambar 40: Perjanjian antara warga Gemulak dengan pemerintah. Sumber: Survey Primer, Maret 2022.

Menyusul Kampung Tambaksari dan Rejosari, giliran warga Mondoliko yang


terpaksa pindah, karena semakin sulit mengakses kebutuhan sehari-hari. Namun
kepindahan warga Mondoliko tidak dibarengi dengan bantuan pemerintah yang
memadai. Alih-alih langsung membantu, pemerintah justru memberikan syarat
terlebih dahulu jika warga Mondoliko ingin mendapat bantuan. Alhasil banyak
warga Mondoliko pindah secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah. Beberapa
warga Mondoliko pindah ke Senik Baru—tempat relokasi warga Kampung
Rejosari. Salah seorang warga mengatakan,
“Mondoliko, ning arep sekolah/kerjo ya rekoso, numpak baito, arepipun
sekda ampir satu bulan kulo enthuk surat, rak enthuk pindah, pindah
niku karepe masyarakat, (pemerintah mboten arep angsal pindah), rumiyin

146
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

pindah angsal tanah, ukuran 5x10 pasir kalih rit watu 3 rit, semen 25 sak
nganti satu juta (kemudian dikoreksi bahwa tanahnya hanya 5x10) m2.”263

4. Sumber Pengh idupa n M eng hila ng


Kini Dukuh Timbulsloko dikenal warga sekitar sebagai “Desa Tenggelam”.
Padahal dulu di Dukuh Timbulsloko masih terdapat sawah, kebun, dan tambak.
Salah seorang warga Dukuh Timbulsloko, Papat mengenang,
“Nggih riyine malah sawah mriki. Samping niki kan ndadah, bahasane
kebun niku lo, Bu. Bar kebun niku sawah, baw sawah tambak. Depan
rumah itu kelapa. Sampai enten wong Trengguli, bahasane biyen niku
boro teng mriki, saking makmure.”264
Hari ini kebanyakan rumah warga Timbulsloko digladak di atas air. Sudah
tidak ada lagi permukaan tanah, hanya jembatan kayu penghubung antar rumah
dan jalan. Namun tidak semua warga memutuskan untuk membuat rumah
gladak. Saat rob makin menenggelamkan wilayah dukuh, beberapa warga lain
langsung memutuskan pindah, alih-alih membuat rumah gladak. Beberapa
pindah ke rumah saudara, beberapa mengontrak rumah di daerah yang kering.
Keputusan pindah punya konsekuensi tersendiri. Misalnya, karena memutuskan
pindah, mereka terpaksa berpisah dengan sanak keluarga yang sudah meninggal
dan dimakamkan di Timbulsloko. Walau begitu, pada waktu tertentu, mereka
acap kembali ke Timbulsloko untuk “tilik makam”.

Semula ada 150 rumah di Dukuh Timbulsloko. Namun sekarang, 30 rumah


di antaranya sudah ditinggalkan dan dibiarkan kosong. Alhasil kini hanya tersisa
sekitar 130 rumah saja. Rumah-rumah itu masih dihuni warga yang memutuskan
bertahan, sekalipun sudah hidup bak di atas air. Papat menambahkan,

263
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh tim penulis: “Mondoliko, kalau mau sekolah atau kerja juga
susah, naik perahu. Kalau kata Sekda (Sekretari Daerah Kabupaten Demak), hampir satu bulan saya
dapat surat, tidak boleh pindah. Pindah itu kemauan masyarakat. Kemauan pemerintah tidak boleh
pindah. Dulu, pindah itu dapat tanah ukuran 5x10 meter persegi, pasir satu rit, batu tiga rit, semen
25 sak, sampai uang satu juta (rupiah). Lihat: Wawancara dengan warga Senik Baru, 15 Maret 2022.
264
Dalam Bahasa Jawa, diterjemahkan oleh tim penulis: “Ya dulu di sini malah sawah. Itu sampai ada
orang Trengguli, dulu istilahnya boro ke sini, saking makmurnya di sini. Di samping sini untuk kerja
bercocok tanam, maksudnya di kebun itu lho. Setelah kebun, di sebelah sana ada sawah. Setelah
sawah, di sebelah sana ada tambak. Di depan rumah ada kelapa.” Lihat: Wawancara dengan Papat,
23 Februari 2022.

147
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

“Kan hidup dia di atas air kan sebenernya gak nyaman. Sebenarnya itu
semua mengeluh Bu, cuma mengeluhnya sama siapa itu kan gak tau, gitu,
artinya pasrah aja.”265

Gambar 41: Kondisi Pemukiman di Dukuh Timbulsloko. Sumber: Survey Primer, Oktober 2021.

Air laut terus menerobos masuk ke pesisir Sayung hingga ke rumah-rumah


warga. Setiap tahun, intensitas dan luasan rob dan abrasi selalu naik. Hal itu
tidak bisa dilepaskan dari konteks ekspansi kapitalisme berupa pembangunan
industri dan permukiman di wilayah pesisir Semarang-Demak. Dalam kurun
2002-2010, rata-rata angka ketinggian banjir rob cenderung meningkat tajam.
Peningkatan itu berkaitan dengan peningkatan angka amblesan tanah, sekaligus
angka kenaikan air laut. Peningkatan muka air laut tertinggi dalam kurun 2002-
2010 terjadi pada 2005, mencapai 1,5 meter.266
Dalam Perjumpaan III telah dijelaskan, kurun waktu 2002-2010 merupakan
waktu di mana pembangunan pabrik banyak dilakukan di Sayung, khususnya
tahun 2007. Adapun perubahan tinggi pasang air laut sejak 2015 hingga proyeksi
tahun 2035 dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9: Perubahan Tinggi Pasang Air Laut

Tahun Tinggi Pasang (cm) Peningkatan (cm)

2015 127,34 5,95


2020 145,42 15,87
2025 163,5 25,78

265
Wawancara dengan Papat, 23 Februari 2022.
266
Suryanti, Ni Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah Pesisir
Kabupaten Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).

148
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

Tahun Tinggi Pasang (cm) Peningkatan (cm)

2030 181,58 35,7


2035 199,66 45,62

Sumber: Suryanti dan Marfai (2016), diakses pada 21 Juni 2022.

Amblesan tanah dan kenaikan air laut merupakan dua faktor penyebab rob
dan abrasi. Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jateng (2009) menyebutkan,
pantai yang terabrasi di pantura Jawa Tengah 3.329 hektar. Sementara pada
2011, kawasan yang terabrasi di pantura naik menjadi 4.888 hektar dan terus
bertambah 1.559 hektar dalam dua tahun kemudian. Menurut Damayanti (2019),
abrasi dan rob yang menimpa wilayah pesisir Sayung disebabkan oleh, salah satunya,
kegiatan alih fungsi lahan untuk kepentingan tambak.267
Pada 1970-1980, sebagian besar warga Sayung memanfaatkan lahan untuk
aktivitas pertanian dan budidaya tambak di dekat laut. Pada saat itu struktur
penggunaan lahan di wilayah pesisir Sayung adalah laut, tambak, mangrove,
sawah, dan rumah. Pada dekade 1980, pasang air laut tertinggi di Sayung hanya
mencapai kawasan mangrove, dan sebagian kecil lahan sawah. Jarak antara
permukiman dua kampung pesisir dengan laut masih cukup jauh. Memasuki
dekade 1990-an, sedang terjadi booming udang windu di pesisir Sayung. Alhasil
banyak warga Sayung mencari sumber penghidupan dari aktivitas bertambak.
Banyak orang menyebut kurun waktu tersebut sebagai era keemasan petambak
udang windu atau udang bago.
Ketika terjadi booming udang, warga berupaya meningkatkan produksi
semaksimal mungkin melalui berbagai cara. Di samping itu, warga yang semula
bukan petambak mulai beralih menjadi petambak. Konsekuensi dari perubahan
tersebut, banyak warga mengubah lahan sawah dan mangrove menjadi tambak.
Adanya konversi mangrove menjadi tambak membuat daerah pesisir kehilangan
benteng alami dari terjangan air laut. Akhirnya pelan-pelan rob mulai mengikis
tambak dan permukiman penduduk, puncaknya terjadi sejak 1998.268

267
Lihat: (1) Sinombor, Sonya Hellen. 2012. “Abrasi: Tambak-Tambak Ikan Itu Sudah Rata Dengan Laut.”
Kompas. Diakses pada 20 Juli 2022; dan (2) Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir
Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi
Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
268
Dua substansi paragraf ini didapat dari: Wati, Diah Ismoyo. 2013. “Pengaruh Keberadaaan Makam
Kiai Muzakir Terhadap Kesadaran Lingkungan Masyarakat Pesisir Desa Bedono, Kecamatan Sayung,
Demak.” Jurnal Masyarakat & Budaya 15(1):157–76.

149
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Memasuki awal 2000-an, banyak lahan sawah di wilayah pesisir Sayung


telah beralih rupa menjadi tambak dan bangunan. Misalnya saja di Desa Bedono.
Di sana terdapat paling tidak 89,6 hektare sawah yang berubah menjadi tambak
dan 1,7 hektare sawah menjadi tegalan dan bangunan. Laju penurunan jumlah
luas lahan pertanian di Desa Bedono terjadi antara tahun 2004-2005. Dalam
catatan Sinombor (2012), sejak 2005 satu per satu tambak warga Timbulsloko
mulai tenggelam.269 Hal itu diakui Kepala Desa Timbulsloko pada 2012, Nadhiri;
“Kalau dihitung-hitung, ada sekitar 80 hektar tambak yang hilang. Sebanyak
50 hektar di antaranya adalah tambak produktif. Setiap malam kami bisa
menangkap udang paling sedikit 20 kilogram. Kalau dijual, saat itu harganya
Rp 30.000 per kilogram.”270
Seiring hancurnya tambak-tambak ikan akibat abrasi, jumlah warga yang
bekerja sebagai petambak terus berkurang. Bahkan kini warga yang berprofesi
sebagai petambak bisa dihitung dengan jari. Karena tambak terkena abrasi,
maka warga makin sulit untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi
demikian mempermulus tren perubahan profesi warga dari petambak menjadi
nelayan, buruh pabrik, maupun pekerja serabutan. “Mulai tahun 2008, tambak-
tambak hilang. Satu tahun rata-rata enam sampai tujuh tambak hilang, sampai
akhirnya habis diterjang gelombang,” tutur Pak Siji, warga Timbulsloko.271
Sekitar tiga sampai empat tahun terakhir garis pantai pesisir Sayung telah
bergeser sejauh 1,5 kilometer. Pergeseran itu kerap disebut sebagai bukti nyata
bahwa abrasi di Sayung semakin parah. Namun demikian, abrasi dan rob tidak
semata disebabkan oleh praktik perubahan ruang yang dilakukan warga. Abrasi
dan rob di Sayung juga berkaitan dengan adanya aneka pembangunan di pesisir
Semarang-Demak. Salah satu bentuk terbarunya adalah proyek TTLSD.
Beberapa dekade ke belakang, ada beberapa bentuk pembangunan di pesisir
Semarang-Demak yang berkontribusi menciptakan abrasi dan rob di Sayung.
Yang paling sering disorot ialah reklamasi di pesisir Semarang untuk kepentingan
industri, pelabuhan, dan perumahan. Reklamasi adalah bentuk mengurangi luas
lautan. Air yang semula menempati ruang tertentu, tidak lagi tertampung, lalu

269
Sinombor, Sonya Hellen. 2012. “Abrasi: Tambak-Tambak Ikan Itu Sudah Rata Dengan Laut.” Kompas.
270
Wawancara dengan Nadhiri, Oktober 2022.
271
Wawancara dengan Pak Siji, Oktober 2022.

150
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

melimpas ke daratan di sekitar area yang direklamasi. Salah satu daratan yang
terkena dampak adalah wilayah pesisir Sayung.272
Setelah era reklamasi pelabuhan, kini muncul proyek TTLSD. Batubara Dkk
(2019) menyebutkan, proyek TTLSD bakal berdampak buruk bagi warga yang
bermukim di sebelah selatan dan sebelah utara kurva TTLSD. Warga di selatan
kurva meliputi warga Desa Sriwulan dan Purwosari. Sementara warga di utara
kurva TTLSD adalah warga Desa Bedono, Sidogemah, dan Timbulsloko. Kedua
kelompok warga tersebut bakal mendapatkan dampak TTLSD yang berbeda.
Sebelah selatan kurva bakal merasakan dampak berupa tertutupnya akses
menuju pantai dan laut. Sementara untuk sebelah utara kurva bakal merasakan
dampak berupa banjir rob dan abrasi yang makin parah.273

Gambar 42: Gambar peta kurva TTLSD. Sumber: Batubara dkk (2019), diunduh pada 30 Juli 2022.

272
Penjelasan lebih detail mengenai modernisasi Pelabuhan Semarang dengan cara reklamasi ada di
bagian “Perjumpaan II”. Lihat: (1) Wati, Diah Ismoyo. 2013. “Pengaruh Keberadaaan Makam Kiai
Muzakir Terhadap Kesadaran Lingkungan Masyarakat Pesisir Desa Bedono, Kecamatan Sayung,
Demak.” Jurnal Masyarakat & Budaya 15(1):157–76; dan (2) Tri, Kusumaning, and Feronika Sekar
Puriningsih. 2014. “Kajian Strategi Penanganan Banjir/ Rob Di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.”
Warta Penelitian Perhubungan 26(11):677–88.
273
TTLSD merupakan jalan tol yang akan menghubungkan Kawasan Industri Kendal (KIK), Jateng
Industrial Park Sayung (JIPS), dan proyek komersial berupa real estate di antara kedua kawasan
industri itu. Proyek pembangunan jalan tol tersebut akan menghubungkan Kota Semarang dengan
Kabupaten Demak. Selain menjadi tol, proyek tersebut bakal sekaligus dijadikan tanggul laut.
Menurut pemerintah, proyek TTLSD akan berfungsi sebagai: (1) solusi penanganan rob yang semakin
parah karena adanya penurunan permukaan tanah ( land subsidence); dan (2) solusi kemacetan.
Lihat: Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. 2020. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis
Kawasan Pesisir Semarang-Demak . https://www.researchgate.net/publication/344804419.

151
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Model pembangunan seperti TTLSD berpotensi memicu dan memperparah


ketimpangan. Dalam arti, di satu sisi ada daerah untung, karena terlindungi
dari rob di Semarang. Namun di sisi lain, ada daerah yang justru merugi, karena
terkena limpasan air laut. Di samping itu, proyek kapitalisme semacam TTLSD
juga memperjelas satu hal: proyek tersebut bukan hanya mengeksploitasi buruh
(eksploitasi manusia), namun juga mengapropriasi non manusia (air tanah). Hal
itu berpotensi menciptakan krisis sosio-ekologis lebih parah di sepanjang
pesisir Sayung.274 Namun seperti yang diingatkan Fraser (2019), krisis itu tidak
hanya bersifat ekonomi, namun juga ekologis, politik, dan sosial-reproduktif.275
Di dalam sistem kapitalisme, ada dorongan inheren untuk terus mengambil
keuntungan. Bahkan hanya dengan cara itu pula sistem kapitalisme dapat terus
eksis dan/atau beroperasi. Momen tersebut terjadi bersamaan dengan adanya
kontradiksi ekologis berupa kecenderungan inheren untuk mereduksi alam
sebatas “keran” dan “wastafel”. Sebagai “keran’, di satu sisi alam diposisikan
sebagai sumber energi dan bahan mentah. Tapi di sisi lainnya, alam sebagai
“wastafel” diposisikan sebagai penyerap limbah. Ketika menjadi “keran”, alam
diambil begitu saja oleh kapitalis tanpa tindakan pembaharuan kembali.
Sederhananya, syarat berlangsungnya kapitalisme adalah kerusakan alam dan
sekaligus kerusakan manusia yang hidup di dalamnya.
Demikian pula dalam politik. Kapitalisme cenderung membatasi urusan
politis dan menyerahkan semua hal mendasar dalam hidup (yang politis itu)
kepada “pasar”. Bersamaan dengan itu, kapitalisme juga cenderung mengubah
pemerintahan yang seharusnya melayani publik, menjadi semata-mata melayani
pemodal. Dengan kata lain, kapitalisme adalah faktor penggagal demokrasi itu
sendiri. Namun tidak cukup sampai di situ. Sistem kapitalisme menyimpan pula
kontradiksi pada aspek reproduksi sosial. Dalam arti, kapitalisme cenderung
hanya mengambil manfaat sebanyak mungkin dari kerja reproduktif yang
“gratis”, tanpa mempedulikan kebutuhan pemenuhan kembali dan pembaharuannya.
Luxemburg (2003) mengingatkan, agar tetap hidup, kapitalisme perlu terus
mencaplok wilayah yang bukan dan/atau belum terintegrasi sepenuhnya dengan
sistem kapitalisme. Karena itu, lewat kekuatan ekspansinya, kapitalisme tidak
akan membiarkan wilayah non-kapitalistis hidup berdampingan dengannya.
Agar tetap hidup, mau tidak mau kapitalisme harus mencaplok wilayah-wilayah
non-kapitalistis tersebut. Ekspansi terus-menerus dari sistem kapitalisme itu
274
Apalagi pada dasarnya, model pembangunan kapitalistik memang merupakan penggerak utama
yang mengendalikan berbagai krisis yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Lihat: Batubara B,
Wagner I, Salam S, Warsilah H. 2020. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir
Semarang-Demak . https://www.researchgate.net/publication/344804419.
275
Fraser, Nancy. 2014. Behind Marx’s Hidden Abode: For an Expanded Conception of Capitalism. Vol. 86.

152
Perjumpaan IV: Pengisapan Terhadap Manusia dan non-Manusia

yang disebut Yanuardi dan Swanvri (2014) merupakan penyebab krisis sosio-
ekologis.276 Dalam konteks buku ini, ekspansi kapitalisme yang dimaksud ialah
proyek TTLSD dan aneka bentuk rencana pembangunan kawasan industri baru.
Ada beberapa bentuk krisis sosial-ekologis di pesisir Kecamatan Sayung.
Misalnya krisis berupa ekstraksi air tanah, penurunan permukaan tanah, abrasi
pantai, dan banjir pasang air laut (rob). Krisis sosial-ekologis tersebut muncul
sebagai syarat keberlangsungan hidup sistem kapitalisme di sepanjang pesisir
Semarang-Demak. Salah satu dampak krisis sosial-ekologis yang paling terasa,
dari tahun ke tahun, kualitas lingkungan hidup cenderung terus menurun.277
Penurunan kualitas lingkungan itu tidak dirasakan dengan kadar yang sama—
baik itu antara manusia dan non-manusia maupun antar manusia itu sendiri.
Sebagai contoh adalah perbedaan kadar penderitaan antara manusia pemilik
pabrik dan manusia kebanyakan. Ketika penurunan lingkungan terjadi, para
pemilik pabrik/industri (di Sayung dan di Semarang) tidak kehilangan kehidupan
mereka.278 Jika pabrik/industri kebanjiran, mereka sangat mudah meninggikan
lantai dan/atau pindah ke tempat lain. Sedangkan bagi manusia kebanyakan,
momen banjir atau abrasi jelas menyulitkan kehidupan mereka—baik secara
ekonomi, pendidikan, sosial, maupun kesehatan. Bahkan tidak sedikit warga
Sayung yang dipaksa berganti pekerjaan atau bahkan kehilangan pekerjaan,
karena adanya penurunan kualitas lingkungan.
Industri di Kecamatan Sayung sudah dan bakal terus bertambah. Pemerintah
dan pengusaha mendapat keuntungan dari ekspansi kapitalisme di pesisir
Sayung itu. Sedangkan warga kebanyakan bakal terus terisap seluruh aspek
kehidupannya. Terutama lagi bagi warga yang bermukim di Desa Bedono,
Timbulsloko, Sriwulan, Purwosari, dan Sidogemah. Pengisapan yang terjadi di
Sayung tidak hanya bersifat ekonomi saja, namun juga ekologis, sosial, politik,
dan sosial-reproduktif. Berikut ini beberapa bentuk pengisapan di Sayung.

276
Batubara, Bosman. 2022. “Crisis, Injustice, and Socio-Ecological Justice.” 2(1):71.
277
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup. Dalam hal ini, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi kelangsungan
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Bahkan dari waktu ke waktu kualitas
lingkungan hidup pun cenderung terus menurun. Lihat: Munasikhah, Siti, and Putri Agus Wijayanti.
2021. “Dari Hutan Mangrove Menjadi Tambak: Krisis Ekologis Di Kawasan Sayung Kabupaten Demak
1990-1999.” Journal of Indonesian History 10(2):129–40.
278
Sampai saat ini, ada sekitar 29 unit industri manufaktur skala besar dan sedang di Kecamatan
Sayung. Berdasarkan data Direktori Industri Manufaktur Besar dan Sedang Kabupaten Demak Tahun
2021, kelompok industri di Kecamatan Sayung ialah 3 unit industri makanan; 1 unit industri tekstil; 1
unit industri pakaian jadi; 8 unit industri kayu; 2 unit industri karet/plastik; 4 unit industri furniture; 1
unit industri pengolahan lainnya; dan 9 unit industri lain-lain.

153
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Pertama, pengisapan ekonomi warga Sayung yang kehilangan kepemilikan


sawah, tambak, rumah, dan sebagian penghidupan dari laut. Kedua, pengisapan
(sosial reproduktif) warga yang dulu menjadi petambak atau nelayan, namun
sekarang berganti pekerjaan menjadi buruh industri dan bahkan hanya sebagai
pengantar jemput istri. Secara ekonomi, semula warga punya penghasilan besar
(dari tambak dan nelayan), kini turun dan bahkan tidak punya penghasilan sama
sekali. Ketiga, secara sosial, warga Sayung kehilangan relasi dengan sesama
warga, karena adanya kebijakan pembangunan infrastruktur dan kehilangan
relasi dengan tempat-tempat tertentu di lingkungan mereka.
Kemudian Keempat, secara politis, warga yang dulunya berstatus pemilik
tempat tinggal, kini menjadi penumpang di lahan irigasi yang rawan digusur
dan tidak bisa mendapat bantuan. Selain itu, warga yang dulu banyak bekerja
di lahan tambak milik sendiri, generasi berikutnya kini sudah menjadi buruh di
lahan milik orang lain. Kelima, warga kesulitan untuk ke WC, memasak, sekolah,
dan mendapat akses kesehatan. Karena harus pindah, warga juga menjadi hidup
terpisah dari para tetangga di tempat dahulu. Hal itu bagian dari dampak
terhadap reproduksi sosial. Sementara terakhir, Keenam, secara ekologis, ruang
hidup warga Sayung telah berubah drastis.

154
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan

PERJUM PAAN V
Ekofeminisme, Memandang Sayung dengan Sopan

“Para pemodal … tidak kehilangan kehidupan mereka, sedangkan kebanyakan


warga malah kehilangan segalanya. Pemodal cenderung tidak begitu
merasakan krisis sosio-ekologis, sedangkan warga merasa betul hal tersebut
sampai mereka benar-benar seperti dioyak-oyak banyu. Ketika sumber
penghidupan warga Sayung habis, industri dan perumahan di pesisir
Semarang-Demak justru makin berkembang dan meluas…”

Gambar 43: Deretan pabrik-pabrik di tepi Jalan Raya Semarang-Demak (jalan nasional) di Sayung.
Dipotret dari bekas sawah yang kemudian menjadi tambak yang sudah tenggelam di Kampung
Timbulsloko, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung. Sumber: survei primer September 2022.

Bagian ini mempertemukan seluruh cerita perubahan pada Perjumpaan I, II,


III, dan IV. Kemudian bagian ini bakal mempertemukan pula keempat bagian itu
dengan nilai perjumpaan—sebuah nilai yang dibentuk oleh hubungan antara
kekuatan manusia dan non-manusia. Momen perjumpaan I, II, III, dan IV tidak
terjadi secara berurutan dan bergantian, melainkan simultan; saling berbauran,
berkelindan, dan beririsan. Setiap unsur dalam perjumpaan saling berhubungan.
Dalam relasi natur-kultur, kekuatan manusia berpilin dengan kekuatan non-

155
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

manusia yang sama-sama bagian dari alam. Seperti yang selalu diingatkan
Donna Haraway, relasi manusia dan non-manusia punya asal-usul kesejarahan
yang spesifik: reproduksi subsisten, yang membentuk suatu spesies.
Pada bagian perjumpaan I, telah terangkum cerita bagaimana orang-orang
datang ke pesisir Sayung. Utamanya, setelah Syekh Mudzakir mulai mengubah
rawa-rawa menjadi lahan pertanian. Bagian itu merangkum bagaimana rawa
yang berlumpur ditutup menggunakan endapan sungai agar dapat difungsikan
sebagai media bercocok tanam.279 Momen perjumpaan Syekh Mudzakir dengan
endapan sungai dan lahan rawa memunculkan sebuah nilai. Mengapa?
Sungai memiliki reproduksi subsistennya sendiri. Sejak awal sungai tidak
mengendapkan material subur untuk digunakan Syekh Mudzakir sebagai media
bercocok tanam. Begitu pula dengan rawa-rawa berlumpur. Rawa tersebut
tidak memunculkan air dan lumpur untuk diolah Syekh Mudzakir. Namun seiring
makin banyaknya orang datang ke Sayung, cara bercocok tanam tersebut terus
berkembang. Orang Sayung tidak lagi memakai endapan sungai, sebab tanah
Sayung dengan reproduksi subsistennya telah membaur dengan cara produksi
manusia. Pembauran itu membentuk kesuburan tanah yang dapat digunakan
warga pesisir Sayung untuk bertani, lalu dijual hasilnya.
Bagian Perjumpaan III merekam perjumpaan antara pemodal dengan tanah
rawa di pesisir Semarang. Para pemodal menutup rawa-rawa di pesisir untuk
pengembangan kawasan permukiman mewah beserta sarana pendukungnya.280
Dalam kasus ini, kesuburan tanah rawa justru diuruk (reklamasi) menggunakan
tanah yang lebih keras dan kering. Tujuan pengurukan tersebut bukan untuk
menumbuhkan tanaman, melainkan untuk menumbuhkan uang yang digunakan
sebagai modal. Di pesisir Sayung terdapat pula uang modal yang turut tumbuh
bersama tanaman. Namun tingkat pertumbuhannya, tidak sepesat pertumbuhan
uang modal di pesisir Semarang.
Sebagai contoh adalah perbandingan antara Tanah Mas dan lahan pertanian
di pesisir Sayung. Reklamasi di Tanah Mas menghasilkan uang miliaran rupiah
dari unit-unit rumah yang dijual. Sedangkan hasil pertanian dari lahan-lahan di
pesisir Sayung tidak menyentuh miliaran rupiah. Pertumbuhan lebih pesat di
Tanah Mas juga mendorong adanya perjumpaan lain. Sebut saja perjumpaan
antara para pemodal dengan lahan pesisir lain di Semarang seperti Kawasan
Pantai Marina, Pelabuhan Tanjung Emas, dan lain sebaginya.

279
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan I.
280
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan III.

156
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan

Mari kembali ke daerah Sayung. Ketika Kota Semarang terus berkembang,


sumber-sumber penghidupan di Sayung juga makin bertambah. Karena banyak
sumber penghidupan, maka kebutuhan sehari-hari di sana juga ikut bertambah.
Sebagai contoh, semula anak-anak tidak sekolah atau hanya sekolah sampai
SD. Kemudian muncul kebutuhan biaya lebih banyak untuk menyekolahkan anak
sampai jenjang lebih tinggi. Semula orang-orang terbiasa memakai sepeda atau
berjalan kaki. Agar mempercepat aktivitas harian, mereka mulai membutuhkan
pula kendaraan bermotor. Contoh berikutnya, semula warga menonton televisi
di kelurahan, kemudian berupaya membeli televisi di rumah sendiri.
Kebutuhan hidup yang terus bertambah punya konsekuensi tersendiri. Salah
satunya, warga Sayung yang bermukim sekitar 4-7 kilometer dari bibir pantai
mulai membuka sumber penghidupan baru. Tentu saja, perjumpaan dengan laut
dan aneka biota di dalamnya juga memiliki nilai. Misalnya nilai dari ikan, udang,
atau kepiting yang berasal dari reproduksi diri mereka secara subsisten. Lalu
para nelayan Sayung mengambil, mempertukarkannya di pasar, dan kemudian
mentransformasikannya menjadi uang. Bersamaan dengan itu, warga Sayung
juga berjumpa dengan air pasang atau banjir rob. Perjumpaan itu membawa
biota laut ke tanah-tanah kosong di pinggiran pantai. Air rob terjebak di tanah-
tanah tersebut untuk membantu menumbuhkan ikan, udang, atau kepiting.
Seperti kata Gilles Deleuze dan Claire Parnet, berjumpa adalah menemukan,
mencuri, dan menangkap.281 Namun Haraway menegaskan, momen perjumpaan
selalu bernuansa asimetris. Dalam konteks perjumpaan manusia dengan rob
pun demikian. Rob yang melimpas ke tanah-tanah tepi pantai telah mendorong
aktivitas pertambakan. Sebab, lahan di mana rob terjebak bakal digali dan hasil
galiannya ditumpuk di tepian untuk dijadikan pematang. Proses itulah yang
menjadikan petak tambak menyerupai kolam besar yang punya dua pintu untuk
keluar dan masuk air rob.282
Ketika rob sudah masuk ke dalam petak-petak tambak, proses reproduksi
subsisten ikan, udang, dan biota lain dimulai. Di petak tambak itu pula ikan,
udang, dan biota laut hidup dan berkembang. Dengan demikian, bertambak
adalah hasil perjumpaan manusia dengan non-manusia. Perjumpaan semacam
itu terjadi pula dalam konteks aktivitas nelayan. Bedanya, waktu kerja bagi
petambak lebih sedikit ketimbang nelayan di laut. Penyebabnya, karena jarak
tambak ke permukiman lebih dekat daripada jarak laut ke permukiman. Apalagi
struktur penggunaan lahan di pesisir Sayung secara berurutan memang laut,
pantai, tambak, mangrove, sungai, sawah, dan permukiman.

281
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Pendahuluan.
282
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan I.

157
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Di Sayung budidaya tambak sudah bermula sejak zaman Belanda. Namun


saat itu hasilnya tidak signifikan, sebelum akhirnya berkembang drastis pada
pertengahan 1980-an. Bahkan awal 1980-an, banyak warga Sayung yang masih
berprofesi ganda: sebagai petani dan petambak. Baru pada pertengahan 1980-
an warga mulai sepenuhnya beralih menjadi petambak. Hal itu didorong fakta
bahwa penghasilan dari tambak lebih besar dibanding sawah. Kondisi tersebut
didukung kondisi geografis Sayung yang cocok untuk budidaya tambak. Di
samping itu, ikan dan pakan alami berupa benur atau bibit udang juga masih
mudah ditemukan, karena sering terbawa rob ke petak tambak.
Persoalannya, pembangunan di pesisir Semarang punya sederet dampak
buruk. Reklamasi di pesisir utara Kota Semarang telah membelokkan arus laut
ke arah timur dan menghantam pesisir Sayung yang menghadap barat laut.
Dengan kata lain, menjamurnya pembangunan di pesisir Semarang memang
tumbuh bersamaan dengan meningkatnya air laut yang bergerak ke arah pesisir
Sayung. Akibatnya, perlahan-lahan air laut melimpas ke arah tambak-tambak
warga di pesisir Sayung. Kemudian makin melimpas lagi ke area persawahan
dan membuat kesuburan lahan menurun drastis. Sejak saat itu, tanaman padi
tumbuh kurang maksimal dan bahkan menciptakan gagal panen. Perjumpaan
kedua antara penduduk Sayung dengan rob yang membesar ikut mendorong
pula alih profesi dari bertani menjadi petambak.283
Pertambakan makin meluas lagi sejak adanya program Intensifikasi Tambak
(INTAM) pada pertengahan 1980-an. Keberadaan program tersebut berhubungan
dengan adanya peningkatan permintaan udang dari Amerika Serikat, Jepang,
dan negara-negara di Eropa. Keberadaan program itu turut mengubah asal usul
benih. Semula benur datang ke petak tambak dari tepi laut dan kemudian
ditangkap menggunakan balabar atau panther. Berubah menjadi didatangkan
dari balai dan/atau perusahaan pembibitan di Jepara, Pati, atau Gresik. Jenis
benih dalam program ini mengikuti permintaan pasar dunia yakni udang windu
(black tiger), yang oleh penduduk Sayung disebut udang bago.284
Pada masa tertentu, harga udang sangat bagus dan membuat penghasilan
petambak membesar. Sebagian petambak memakai penghasilan itu untuk makin
memperluas area tambak—baik itu dengan cara menyewa maupun membeli.
Sebagian lagi menggunakannya pergi haji, membangun rumah, atau membeli
perabotan mahal dari Jepara. Potret kejayaan itu mendorong warga yang
semula tidak bertambak menjadi ikut bertambak. Keadaan itu juga mendorong

283
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan II.
284
Di pesisir Sayung, selain udang, ada pula pertambakan ikan bandeng. Benih bandeng atau nener juga
datang dari tempat-tempat pembibitan.

158
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan

kedatangan orang-orang dari luar Sayung. Sampai pertengahan 1990-an,


sebagian besar warga Sayung bekerja sebagai petambak atau buruh tambak.
Udang bago dan lahan tambak punya produksi subsistennya sendiri. Namun
karena adanya perjumpaan, manusia mengambil hasil dari produksi subsisten
udang dan lahan itu. Walau begitu, dalam konteks pertukaran hasil udang, para
petambak di Sayung tidak berhubungan langsung dengan pembeli di Amerika
Serikat, Jepang, atau Eropa. Perjumpaan orang Sayung dengan pembeli di luar
negeri diperantarai perusahaan pembekuan dan pengekspor udang. Perusahaan
itu pula yang untung lebih banyak dari rantai distribusi udang windu/bago.
Pola pembangunan infrastruktur skala besar, pabrik, dan layanan pelabuhan
di Semarang ikut merembet ke pesisir Sayung. Di Sayung para pengusaha ikut
membebani tanah dengan membangun pabrik atau perumahan baru. Sebagian
besar pabrik dan perumahan itu mencukupi kebutuhan air dari sumur artesis.285
Banyak pihak menilai, sumur artesis ialah salah satu penyebab amblesan tanah.
Padahal ketika makin ambles, maka makin besar risiko suatu daerah dalam
menghadapi banjir dan rob. Dalam arti, karena di pesisir Sayung sudah ambles,
maka air laut lebih mudah merangsek ke tambak, sawah, dan permukiman warga.286
Momen amblesan tanah di Sayung terjadi bersamaan dengan meningkatnya
kiriman arus laut dari Semarang. Alhasil air laut seolah tidak henti-hentinya
menghantam pesisir Sayung yang sedang giat melakukan intensifikasi dan
eksistensifikasi tambak. Praktik intensifikasi dan eksistensifikasi dilakukan guna
memenuhi permintaan ekspor udang. Semakin banyak ekspor udang ke pasar
dunia, maka makin besar pula hasil pertukaran dari komoditi udang menjadi
uang. Dengan demikian, perluasan tambak di Sayung memang didorong oleh
dua hal yakni (1) hasil bertambak lebih menguntungkan secara ekonomi; dan (2)
area persawahan makin terinfiltrasi air laut, sehingga tidak lagi produktif.

285
“Kecenderungan yang berlangsung dari dinamika perkembangan Kota Semarang telah menjalar ke
wilayah-wilayah di sekitar Kota Semarang, yaitu di wilayah-wilayah pinggiran yang berbatasan
dengan Kabupaten tetangganya, di antaranya Kecamatan Sayung dan Kecamatan Mranggen di
Kabupaten Demak, Ungaran di Kabupaten Semarang, dan Kaliwungu di Kabupaten Kendal.
Perkembangan di daerah perbatasan ini lebih dikarenakan adanya perluasan kegiatan perkotaan
antara lain berupa industri dan perumahan. Adapun arahan permukiman menurut RTRW Kota
Semarang (Tahun 2000-2010) menunjukkan bahwa pusat permukiman perkotaan lebih ke arah
timur (dengan pusat Terboyo), Pedurungan untuk arah tenggara, Banyumanik untuk bagian selatan
dan Mijen. Sedangkan untuk peruntukan industri, kawasan yang lebih diprioritaskan adalah kawasan
industri Genuk dan kawasan industri Tugu. Berdasar hal-hal di atas, dapat diketahui bahwa rambatan
perkembangan Kota Semarang ini terjadi ke arah Timur, Barat dan Selatan.” Dikutip seluruhnya dari
Hidayati, Nur Astiti Fahmi. 2005. “Pengaruh Pembangunan Perumahan Pondok Raden Patah Terhadap
Perubahan Kondisi Desa Sriwulan Kecamatan Sayung Demak.” Tugas Akhir, Universitas Diponegoro, Semarang.
286
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan III.

159
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Perluasan tambak terus berlanjut, bahkan sampai seluruh area persawahan


di pesisir Sayung habis. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan arus laut makin
jauh menghantam pesisir Sayung. Sejak saat itu, abrasi kian parah mengikis
bibir pantai Sayung dan menenggelamkan banyak area tambak di bibir pantai.
Setelah tambak di pesisir habis, giliran hutan bakau dan mangrove yang rutin
terendam air laut. Saking derasnya hantaman air laut, akar-akar mangrove
dam bakau tumbang, terangkat dari tanah di dasar pantai, lalu kemudian mati.
Kematian tanaman mangrove dan bakau merupakan momen krusial. Sebab,
ketika sudah tidak ada kedua tanaman itu, maka tidak ada lagi benteng alam
untuk menahan laju gelombang air laut menuju daratan. Hal itu makin membuka
pintu lebih lebar bagi banjir rob yang bertambah besar untuk merangsek masuk
ke daratan Sayung. Imbasnya, semula Kecamatan Sayung hanya punya empat
desa yang berbatasan dengan laut. Namun karena abrasi, jumlah desa yang
berbatasan dengan laut bertambah menjadi tujuh. Di tengah kecenderungan
abrasi yang makin parah, maka tidak menutup kemungkinan jika ke depan akan
ada lebih banyak lagi desa yang berbatasan langsung dengan laut.
Pertengahan 1990-an, jumlah produksi tambak di Sayung sempat menurun
tajam. Hal itu terjadi beriringan dengan peristiwa (1) merebaknya pencemaran
limbah industri di Desa Sriwulan; dan (2) semakin parahnya abrasi di pesisir
Sayung. Sungai yang tercemar ikut memengaruhi kesuburan tambak. Sementara
abrasi yang makin parah membuat pematang-pematang tambak kian terkikis.
Abrasi yang makin parah tersebut berkaitan dengan adanya pembangunan di
pesisir Semarang. Adapun petambak yang paling dirugikan ialah petambak yang
menggunakan Sungai Babon sebagai pengairan. Pencemaran di Sungai Babon
mematikan nener dan benur, sehingga petambak rugi hingga jutaan rupiah.287
Abrasi tidak hanya merusak tambak, tapi termasuk mengancam permukiman
warga. Misalnya, karena abrasi, perlahan-lahan air laut dapat masuk ke rumah-
rumah warga Desa Sriwulan dan Bedono. Sampai akhirnya, pada 1999, momen
rob dan abrasi telah benar-benar menenggelamkan Dukuh Tambaksari di Desa
Bedono. Akibatnya, hampir seluruh warga Tambaksari harus bedol desa. Pada
2000, Pemkab Demak menyediakan tempat relokasi bagi 260 keluarga—
berjarak sekitar lima kilometer dari Tambaksari Lama. Hari ini, tempat di mana
lokasi relokasi berada, kerap disebut sebagai Kampung Tambaksari Baru.

287
Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

160
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan

Tidak semua warga Tambaksari ikut bedol desa. Di Kampung Tambaksari


(lama), masih terdapat enam keluarga yang masih bertahan. Misalnya keluarga
Fulan, keluarga Makmun, keluarga Habib, keluarga Rockim, keluarga Kanan, dan
keluarga Wachid. Keenam keluarga tersebut merupakan keturunan langsung
dari Syekh Mudzakir. Mereka lebih memilih bertahan, karena ingin meneruskan
tradisi merawat makam Syekh Mudzakir. Tradisi itu sudah berlangsung sejak
lama dan menjadi tradisi khusus bagi warga Tambaksari.288
Pada 2006 giliran warga Dukuh Rejosari (Senik) yang melakukan bedol
desa. Sejumlah 201 KK dari Desa Bedono itu direlokasi ke Dukuh Badong (Desa
Sidogemah) dan Dukuh Daleman (Desa Gemulak), masih di Kecamatan Sayung.
Hanya ada satu keluarga penghuni Rejosari (Senik) yang tidak ikut relokasi
yakni keluarga Bu Rolikur. Alasan keluarga Bu Rolikur bertahan adalah hendak
menjaga Senik lama. Bisa dibilang, perjumpaan keluarga Bu Rolikur dengan rob
justru sebuah kehidupan dan sekaligus penghidupan. Bu Rolikur beradaptasi
dengan cara merawat mangrove untuk melindungi tempat tinggalnya. Di sisi
lain, perjumpaan Bu Rolikur dengan rob telah membawanya ke perjumpaan
kedua: mangrove sebagai kapital hidup dan komoditas hidup.
Bu Rolikur menjual bibit mangrove (komoditas hidup) yang dia rawat. Dari
hasil menjual itu, Bu Rolikur mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Bu
Rolikur juga mengolah mangrove yang punya berbagai potensi untuk dijadikan
kapital hidup. Bu Rolikur memberi pelajaran bahwa jika dirawat secara baik,
mangrove dapat menunjang perekonomian. Misalnya untuk kegiatan pariwisata,
penangkapan dan budidaya ikan, atau pemanfaatan hasil hutan. Ambil contoh
mangrove di Morosari (Desa Bedono). Kini, selain menjadi sabuk pantai bagi
pesisir Sayung, mangrove di Morosari juga berfungsi sebagai tempat wisata
yang dikelola Pemkab Demak dan Perusahaan Aneka Wirausaha Demak.289

1. Reproduksi Subsisten dalam Reproduksi Ekologi dan Reproduksi


Sosial
Ada tiga aktivitas yang berhubungan dengan banjir rob dan abrasi di pesisir
Sayung. Pertama, kegiatan alih fungsi lahan yang dilakukan warga untuk
mencukupi kebutuhan harian mereka. Kedua, aneka kegiatan pembangunan di
pesisir Kota Semarang seperti reklamasi pelabuhan dan Tanah Mas. Ketiga,
aktivitas pembangunan proyek TTLSD. Model pembangunan semacam TTLSD
288
Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak
Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
289
Apriyanti, Anisa Dwi, Suradi Wijaya Saputra, and Churun A’in. 2021. “Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove Di
Dusun Bedono Dan Dusun Morosari, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.” Maspari Journal 13(1):51–64.

161
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

menyebabkan adanya ketimpangan dan sekaligus krisis sosio-ekologis di pesisir


Demak. Reproduksi kapitalisme melalui proyek seperti TTLSD membutuhkan
ketersediaan dua alat produksi: tenaga buruh yang bersumber dari manusia
dan bahan mentah yang bersumber dari non-manusia.
Pada bagian awal, Rosa Luxemburg telah mengingatkan bahwa reproduksi
kapitalisme bukan sekadar sebuah repetisi belaka. Agar dapat berkelanjutan,
kapitalisme memerlukan pasar-pasar baru. Dalam cerita perjumpaan di Sayung,
“pasar-pasar baru” tersebut terekspresikan dari penambahan kebutuhan hidup
seperti sekolah lebih tinggi, televisi, kendaraan, dan lain-lain. Semula semua
kebutuhan itu tidak ada, lalu menjadi ada ketika pembangunan semakin marak
di pesisir Semarang dan Demak (Sayung). Penambahan kebutuhan hidup, turut
memperluas penggunaan alat produksi yang bersumber dari manusia: semula
hanya petani, berubah petani dan nelayan, dan kemudian petambak.
Reproduksi kapitalis juga menuntut ekspansi ke pasar-pasar non-kapitalis.
Perluasan itu tidak hanya dari aspek spasial lewat aneka proyek pembangunan
di pesisir Semarang yang merembet ke pesisir Sayung. Perluasan tersebut
menyangkut pula perluasan dalam reproduksi subsisten—dari manusia maupun
non-manusia. Cerita perjumpaan di Sayung telah menunjukkan, aktivitas seperti
bersekolah, mengaji, makan, minum, atau melahirkan anak tidak ditujukan untuk
bekal menjadi buruh pabrik. Nancy Fraser menyebut hal ini sebagai reproduksi
sosial—sebuah proses menciptakan manusia sebagai bagian dari kondisi non-
ekonomi yang menjadi latar-belakang (background) dalam produksi kapitalis.
Persoalannya, kondisi aktual pesisir Sayung itu sendiri makin mempermulus
jalan menjadi buruh pabrik. Hari ini banyak sawah sudah hilang. Petak-petak
tambak yang semula membawa kejayaan telah banyak rusak. Nelayan makin
sulit melaut, karena terancam arus besar kiriman dari pesisir Semarang. Belum
lagi harga bahan bakar perahu yang terus melonjak. Aliran sungai makin sulit
dimanfaatkan, karena banyak sudah banyak tercemar limbah pabrik. Dalam
kondisi semacam ini, warga Sayung tergiring untuk bekerja menjadi buruh di
pabrik-pabrik—baik itu yang terletak di Sayung maupun di Kota Semarang.
Dengan demikian, di pesisir Sayung, hasil reproduksi sosial yang subsisten itu
mengalir ke dalam reproduksi kapitalis di pabrik-pabrik.290

290
Sebetulnya analisis produksi kapitalis berlaku pula dalam pengusahaan tambak, lahan pertanian,
dan aktivitas nelayan. Mengingat, reproduksi subsisten non-manusia juga digunakan warga Sayung
sebagai nilai yang dipertukarkan di pasar. Namun dalam pengusahaan tambak, sawah, dan nelayan
itu, kebanyakan warga Sayung tidak berada dalam posisi sebagai buruh. Sedangkan buku ini
mencoba menunjukkan siapa yang paling untung (paling banyak menangguk keuntungan) dan siapa
yang paling buntung (harus hidup dioyak-oyak banyu).

162
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan

Ada beberapa contoh reproduksi subsisten non-manusia di Sayung. Sebagai


contoh, sedimentasi di pesisir yang memungkinkan pengembang mereklamasi
rawa dan laut. Kemudian ada air tanah yang memiliki siklus pembaruan yang
kelak menjadi cadangan air bawah tanah. Ada pula tubuh bakau dan mangrove
yang tumbuh besar, sehingga dapat menjadi pagar alami bagi warga pesisir
dari terjangan air laut. Selain itu, ada biota laut di dalam petak-petak tambak
dan aneka tanaman pertanian yang sama-sama dapat dipanen manusia. Nancy
Fraser menyebut seluruh contoh tersebut sebagai reproduksi ekologi. Dalam
sistem produksi kapitalisme, reproduksi ekologi merupakan bagian dari kondisi
non-ekonomi yang menjadi latar-belakang (background) sistem tersebut.
Hasil reproduksi sosial dan reproduksi ekologi—yang sama-sama punya
corak subsistensi—mengalir ke lingkaran sistem produksi-reproduksi kapitalis.
Dengan demikian, cara kerja reproduksi kapital tidak semata mengeksploitasi
buruh (pengisapan manusia), tapi juga mengapropriasi lingkungan (pengisapan
non-manusia).291 Haraway (2008) mengingatkan, apabila nilai perjumpaan tidak
menjadi bahan pertimbangan, maka reproduksi kapital bisa lebih dari sekadar
reproduksi untuk kembali memunculkan kapital yang sama: logika eksploitasi
yang berlangsung melalui apa yang dia sebut “perkawanan”. Arti “Perkawanan”
ialah pemahaman bahwa non-manusia tersedia bagi manusia dan saling menguntungkan.
Kacamata “perkawanan” membantu untuk melihat bahwa tanpa mempertimbangkan
nilai perjumpaan, logika eksploitasi bakal menyusup dalam hubungan kapitalis
dan buruh yang dipandang saling menguntungkan. Logika eksploitasi tersebut
bahaya dan terbukti menyebabkan krisis sosial-ekologis di sepanjang pesisir
Sayung. Warga Kampung Tambaksari jadi harus pindah ke Tambaksari Baru
(di Desa Purwosari), walau tetap saja dikejar banjir rob. Demikian pula warga
Rejosari (Senik); harus menyingkir ke Sidogemah dan kini tetap terendam air.
Warga Mondoliko harus meninggalkan rumah, berutang, untuk mendapat rumah
baru yang tetap saja tergenang rob. Warga Sriwulan berkali-kali meninggikan
rumah, tapi banjir rob tetap mengejar. Saat ini, warga Timbulsloko juga harus
hidup di atas kampung yang sudah menjadi laut.

291
Penjelasan lebih detail ada dalam Bab Perjumpaan IV.

163
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Gambar 44: Gedung Sekolah Dasar yang rusak di Desa Bedono. Murid-murid tidak lagi bisa bersekolah di
gedung ini. Kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke sekolah lain. Sumber: survei primer Mei 2022.

Siapa yang menanggung beban paling besar dan berat dalam krisis sosial-
ekologis di pesisir Sayung? Tentu saja bukan para pemilik modal yang punya
kontribusi memperparah banjir rob dan abrasi. Adalah kebanyakan warga yang
justru memikul beban lebih besar dan berat. Beban tersebut yang membuat
mereka makin susah memenuhi kebutuhan sehari-hari; sulit untuk beraktivitas,
bekerja, sekolah, mengakses layanan kesehatan, dan bahkan sampai harus pisah
dengan tetangga. Ragam bentuk kesulitan itulah yang disebut reproduksi sosial.
Nahasnya, pemodal justru memanen hasil dari reproduksi sosial tersebut.
Dalam konteks ini, pemodal yang dimaksud adalah pemilik industri dan/atau
perumahan di pesisir Sayung dan Kota Semarang. Para pemodal tersebut tidak
kehilangan kehidupan mereka, sedangkan kebanyakan warga malah kehilangan
segalanya. Pemodal cenderung tidak begitu merasakan krisis sosio-ekologis,
sedangkan warga merasa betul hal tersebut sampai mereka benar-benar
seperti dioyak-oyak banyu. Ketika sumber penghidupan warga Sayung habis,
industri dan perumahan di pesisir Semarang-Demak justru makin berkembang
dan meluas. Akibatnya, mereka yang semula bekerja sebagai petani, nelayan,
atau petambak, kini makin tidak punya pilihan. Kebanyakan (tidak semua) dari
mereka akhirnya beralih menjadi buruh pabrik.

164
Perjumpaan V: Ekofeminisme, Memandang Sayung Dengan Sopan

Krisis sosial-ekologis di pesisir Sayung telah sedemikian parah. Kondisi itu


menjadi salah satu pemicu perubahan mata pencaharian warga. Sebagian besar
berganti pekerjaan menjadi buruh pabrik, sebagian lagi memutuskan bertahan
menjadi petambak. Krisis sosial-ekologis adalah reproduksi ekologi itu sendiri.
Mengapa? Semula lahan di Sayung merupakan sawah, kebun, hutan mangrove,
dan tambak. Kemudian beberapa di antaranya berubah bentuk menjadi tambak
dan laut. Perubahan tersebut merupakan dampak dari terjangan banjir rob dan
abrasi yang kian parah menggusur lahan milik warga Sayung.
Kian hari lahan milik warga kian tenggelam, berubah menjadi lautan. Karena
menjadi laut, warga kehilangan mata pencaharian dan kehilangan kesempatan
untuk menghuni rumah mereka sendiri. Namun belakangan, lahan-lahan yang
sudah tenggelam tersebut mulai menjadi incaran para pemodal. Mereka banyak
membeli lahan-lahan yang sudah tenggelam dengan harga sangat murah: sekitar
Rp2.000–Rp3.000/ meter persegi. Pemodal memakai alasan “sudah tenggelam”,
agar mendapat harga yang murah. Warga pemilik tanah tidak punya pilihan;
daripada dibiarkan tenggelam, lebih baik menjualnya. Tidak seperti pemodal,
warga tidak punya cukup uang untuk menguruk tanah yang sudah tenggelam.
Ladang mata pencaharian dan perkampungan warga sudah tenggelam.
Warga tergusur dari tempat mereka lahir, tumbuh, dan mengais pendapatan.
Mereka pindah ke daerah yang lebih aman dari terjangan banjir rob. Misalnya,
warga Bedono pindah ke bantaran sungai di Desa Sidogemah. Mereka pindah,
karena iming-iming pemerintah yang menjanjikan tempat tinggal layak. Namun
kenyataannya, mereka bermukim di saluran irigasi hanya berbekal perjanjian
pemerintah. Perjanjian itu mengharuskan warga membayar Rp35.000/tahun,
tapi warga tidak diberikan hak kepemilikan. Kondisi itu jelas mengkhawatirkan
warga, karena pemerintah dapat sewaktu-waktu menggusur mereka.
Ketimpangan tampak jelas dalam momen krisis sosial-ekologi di Sayung.
Nahasnya, seperti kata Shiva dan Mies (2014), pihak yang menanggung beban
paling banyak dari reproduksi kapital justru warga kebanyakan. Dalam hal ini
adalah warga pesisir Sayung yang ditenggelamkan pembangunan kapitalistik di
pesisir Semarang-Demak. Oleh sebab itu, di tengah krisis sosial-ekologis yang
makin parah, tanggung jawab pemulihan ekologi dan kerja-kerja subsisten lain
(yang tidak dibayar) harus dibagi. Pemulihan tersebut bukan semata tanggung
jawab kebanyakan orang yang justru paling dirugikan, tapi termasuk tanggung
jawab orang-orang yang paling diuntungkan seperti para pemilik perumahan
dan pabrik di sepanjang pesisir Semarang-Demak.

165
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Reproduksi kapital telah, sedang, dan akan terus berlangsung di Sayung.


Pandangan Haraway membantu untuk senantiasa mempertimbangkan adanya
nilai perjumpaan pada setiap epos reproduksi kapital. Sementara pandangan
Shiva dan Mies memperjelas adanya subsistensi dalam momen penciptaan dan
pelestarian kehidupan. Konsep subsistensi menuntut cara pandang yang sopan
atas kerja-kerja subsisten. Kesopanan semacam itu dapat diekspresikan dengan
cara mengakui peran non-manusia dan mengakui siapa yang paling bertanggung
jawab atas kekacauan ini: bukan kebanyakan warga Sayung yang terus hidup
bak dioyak-oyak banyu, melainkan para kapitalis. Mereka (kapitalis) itulah yang
paling diuntungkan dari momen perjumpaan manusia dengan banjir rob, abrasi,
dan aneka pembangunan infrastruktur di Sayung. Siapa saja kah mereka? Buku
ini sudah mencoba untuk membuka percakapan itu. (*)

166
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Aditjondro, George Yunus, Eris Sabti Rahmawati, Euis Laelasari, and Mathori A. Elwa. 2003.
Kebohongan-Kebohongan Negara Perihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup
Nusantara. Vol. 412. 17th ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amindoni, Ayomi. 2020. “Perubahan Iklim: Kisah Keluarga Yang Bertahan Sendirian Di Tengah Desa Yang
Tenggelam.” Www.Bbc.Com. Retrieved June 8, 2022 (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
51354895).

Anon. 2022a. “10.000 Warga Desa Sriwulan Mengungsi Akibat Tanggul Jebol.” Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://demakkab.go.id/news/10000-warga-desa-sriwulan-
mengungsi-akibat-tanggul-jebol).

Anon. 2022b. “PT Demak Aneka Wira Usaha (Perseroda).” Anwusa.Demakkab.Go.Id. Retrieved April
12, 2022 (https://anwusa.demakkab.go.id/).

Ardhani, Hani Rahma. 2018. “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan Pada PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Operator Terminal Petikemas
Semarang.” Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro, Semarang.

Ardhianie, Nila, dan Bagas Yusuf Kausan. (Dalam proses). Dulu dan Sekarang: Menyoal Penyediaan
Air di Kota Semarang.

Arruzza, Cinzia, Nancy Fraser, and Tithi Bhattacharya. 2020. Feminisme Untuk 99% Sebuah
Manifesto. edited by L. Sudiono. Yogyakarta: Penerbit Independen.

Asrofi, Akhmad, Su Rito Hardoyo, and Danang Sri Hadmoko. 2017. “Strategi Adaptasi Masyarakat
Pesisir Dalam Penanganan Bencana Banjir Rob Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan
Wilayah (Studi Di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah).”
Jurnal Ketahanan Nasional 23(2):125–44.

Barua, Maan. 2015. “Ecounter.” Environmental Humanities 7:265–70.

Barua, Maan. 2016. “Nonhuman Labour, Encounter Value, Spectacular Accumulation: The
Geographies of a Lively Commodity.” Royal Geographical Society 42(2):274–88.

Batubara B, Wagner I, Salam S, Warsilah H. Maleh Dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan
Pesisir Semarang-Demak; 2020. https://www.researchgate.net/ publication/344804419.

Batubara, Bosman, Bagas Yusuf Kausan, Eka Handriana, Syukron Salam, and Umi Ma’rufah. 2021.
Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS Di Semarang. 1st ed. edited
by W. Hadipuro and D. Cipta. Semarang: Cipta Prima Nusantara.

Batubara, Bosman. 2021. “Swyngedouw’s Puzzle: Surplus-Value Production in Socionature.” Human


Geography 14(2):292–95.

BPKP. 2007. “Korupsi Bandes, Mantan Bupati Demak Menjadi Tersangka.” Bpkp.Go.Id. Retrieved
August 20, 2022 (https://www.bpkp.go.id/berita/read/2051/14510/ Korupsi-Bandes-Mantan-
Bupati-Demak-Menjadi-Tersangka).

167
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

BPR KCA. n.d. “Sukawi Sutarip.” Bprkca.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://bprkca. com/tentang-
kami/manajemen/sukawi-sutarip/).

Bumimas Group. n.d.-a. “Kawasan Industri Demak.” Bumimasgroup.Co.Id. Retrieved August 22, 2022
(https://bumimasgroup.co.id/kawasan-industri-sayung/).

Bumimas Group. n.d.-b. “Perjalanan Bumimas Group Sebagai One Stop Service.”
Bumimasgroup.Co.Id. Retrieved August 28, 2022 (https://bumimasgroup .co.id/our-history/).

Cakti, Aji. 2021. “Erick Thohir Pastikan Pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 22, 2022 (https://jateng.antaranews.com/berita/417605/erick-thohir-pastikan-
pengembangan-pelabuhan-tanjung-emas).

Cakti, Aji. 2022. “Konstruksi Tol Semarang-Demak Seksi 2 Capai 80,63 Persen.” Jateng.Antaranews.Com.
Retrieved August 13, 2022 (https://jateng.antaranews .com/berita/448385/konstruksi-tol-
semarang-demak-seksi-2-capai-8063-persen).

Damayanti, Riyana. 2019. “Hilangnya Dua Kampung Pesisir Desa Bedono Kecamatan Sayung
Kabupaten Demak Dalam Pusaran Abrasi Dan Industrialisasi Tahun 1990-2010.” Skripsi,
Universitas Diponegoro, Semarang.

Damaywanti, Kurnia. 2013. “Dampak Abrasi Pantai Terhadap Lingkungan Sosial (Studi Kasus Di Desa
Bedono Sayung Demak).” in Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Deleuze, GillesParnet, Claire. 2007. Dialogues II. 2nd ed. edited by B. Habberjam and H. Tomlinson.
New York: Columbia University Press.

Devina. 2022. “Keluhkan Banjir Dan Rob, Desa Usulkan Peningkatan Jalan Melalui Program BKK.”
Dinperkim.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://dinperkim.demakkab.go.id/?p=21115).

Dinas Pariwisata. 2020. “Makam Terapung Syekh Mudzakir.” Pariwisata.Demakkab.Go.Id. Retrieved


July 2, 2022 (https://pariwisata.demak kab.go.id/makam-terapung-syekh-mudzakir/).

Dinperkim Demak. 2020. “PVD Sebagai Penguat Konstruksi Tanah.” Dinperkim.Demakkab.Go.Id.


Retrieved August 18, 2022 (https://dinperkim .demakkab.go.id/?p=10269).

DPMPTSP. n.d. “Sejarah Tanjung Emas Semarang.” Web.Dpmptsp.Jatengprov.Go.Id. Retrieved


August 23, 2022 (https://web.dpmptsp.jatengprov.go.id/sarpras/3/29).

Ernawati, Jenny. 2011. “Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Suatu Tempat.” Local Wisdom - Jurnal
Ilmiah Online 3(2):1–9.

Foreign Fishery Developments. 1981. Japanese Shrimp Import Trends for 1963-80 Told. 6. Japan.

Forum Komunikasi Masyarakat Tawang Mas. 2016. “Sekilas Tentang Reklamasi Pantai Marina Semarang Yang
Menggilas Hak Asazi Warga Tawang Mas, Nelayan Tawang Mas Dan Sekitarnya.”
Fkmtm.Blogspot.Com. Retrieved August 18, 2022 (http://fkmtm.blogspot.com/2016/08/sekilas-
tentang-reklamasi-pantai.html).

Fraser, Nancy. 2014. Behind Marx’s Hidden Abode: For an Expanded Conception of Capitalism.
Vol. 86.

168
DAFTAR PUSTAKA

Ghaffar, Abdul. 2019. “Menelusuri Pesisir Zona Dalam Tanggul Tol Laut Semarang-Demak.”
Takselesai.Com. Retrieved July 14, 2022 (https://takselesai.com /2019/09/04/menelusuri-
pesisir-zona-dalam-tanggul-tol-laut-semarang-demak/).

Haraway, Donna J. 2008. When Species Meet. University of Minnesota Press.

Hidayati, Nur Astiti Fahmi. 2005. “Pengaruh Pembangunan Perumahan Pondok Raden Patah
Terhadap Perubahan Kondisi Desa Sriwulan Kecamatan Sayung Demak.” Tugas Akhir,
Universitas Diponegoro, Semarang.

Humas Jateng. 2020. “Atasi Rob Di Sayung, Ganjar Minta Proyek Peninggian Saluran Dikebut Dalam 3
Hari.” Jatengprov.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/publik/atasi-rob-di-
sayung-ganjar-minta-proyek-peninggian-saluran-dikebut-dalam-3-hari/).

Humas Jateng. 2022. “Proyek Tol Semarang-Demak Seksi II Ditarget Selesai 28 Oktober 2022.”
Jatengprov.Go.Id. Retrieved August 20, 2022 (https://jatengprov.go.id/ publik/proyek-tol-
semarang-demak-seksi-ii-ditarget-selesai-28-oktober-2022/).

Jamali, Rifqi. 2012. “Dari Sawah Menuju Tambak: Budidaya Tambak Di Kecamatan Sayung,
Kabupaten Demak 1960-an-2000.” Jurnal Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Jatengland. n.d. “Desciption About Product.” Jatengland.Com. Retrieved August 22, 2022
(http://jatengland.com/sample-page/).

Jonker, Theo H., Hiroshi Ito, and Hiroji Fujishima. 2005. Food Safety and Quality Standards in
Japan: Compliance of Suppliers from Developing Countries. 47842. Japan.

Kabupaten Demak. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Demak Tahun 2011-2031. Kabupaten Demak.

Kakashi, Avid. 2020. “Jalan Bedono Saat Ini Setelah Dibangun TNI.” Kodim 0716 Demak. Retrieved
August 20, 2022 (https://www.kodim0716demak.id/2020/10/jalan-bedono.html).

Kamoey, Andreas. 2015. “The Japanese Market for Seafood.” Globefish Research Programme 117.

Keithly Jr., Walter R., and Y. Song. 2004. “A Review of World Shrimp Production and Trade: 1980-
93.” Pp. 499–525 in Proceedings of The 48th Gulf and Caribbean Fisheries Institute.
Lousiana: Aqua Docs.

Kominfo. 2021a. “Kontur Tanah Muda Dan Kawasan Industri, Penyebab Penurunan Tanah Di Demak.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022 (dinkominfo.demakkab.go.id).

Kominfo. 2021b. “Kontur Tanah Muda Dan Kawasan Industri, Penyebab Penurunan Tanah Di
Demak.” Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved August 18, 2022
(https://dinkominfo.demakkab.go.id/berita/detail/kontur-tanah-muda-dan-kawasan-
industri-penyebab-penurunan-tanah-di-demak).

Kominfo. 2022a. “Air Bersih Susah Di Dapat Akibat Terkena Banjir Di Desa Sriwulan Sayung.”
Dinkominfo.Demakkab.Go.Id. Retrieved May 27, 2022 (https:// dinkominfo.demakkab.go.id/berita/detail/air-
bersih-susah-di-dapat-akibat-terkena-banjir-di-desa-sriwulan-sayung).

Kominfo. 2022b. “Dampak Tanggul Jebol Dan Rob Genangi Wilayah Sayung.” Diskominfo.Demakkab.Go.Id.
Retrieved May 27, 2022 (https://dinkominfo .demakkab.go.id/berita/detail/dampak-tanggul-jebol-
dan-rob-genangi-wilayah-sayung).

169
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

KPI. n.d. “Milestone, Tahun 1986 – 1997 Merintis Karir.” Zonaindustrialpark.Com. Retrieved August
28, 2022 (https://zonaindustrialpark.com/about/sejarah-singkat/).

Kurniawati, Feri Ema. 2010. “Perkembangan Struktur Ruang Kota Semarang Periode 1960-2007
(Studi Pengembangan Struktur Ruang Dari Masa Pasca Kolonial Sampai 2007).” Skripsi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Luxemburg, Rosa. 2003. The Accumulation of Capital. 1st ed. edited by A. Schwarzschild. New York:
Routledge Classics.

Mahya, Mila, Sien Kok, and Amrit Cado van der Lelij. 2021. Economic Assessment of Subsidence in
Semarang and Demak, Indonesia. Netherlands.

Marx, Karl. 1867. Das Kapital, Volume I. Vol. 1. edited by S. Moore, E. Aveling, and E. Untermann.
German: Progress Publishers.

Menteri Perhubungan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18


Tahun 2013 Tentang Rencana Induk Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Indonesia.

Muhlisin, Ahmad. 2022. “Pemerintah Akan Bangun Tanggul Laut 15 Km Untuk Atasi Rob Di Demak.”
Betanews.Id. Retrieved September 25, 2022 (https://betanews.id /2022/06/pemerintah-akan-
bangun-tanggul-laut-15-km-untuk-ata-si-rob-di-demak.html).

Nizar. 2021. “Akses Jalan Sering Terkena Rob, Lewat Dana BKK Pemerintah Desa Bedono Lakukan Peninggian
Jalan.” Jatengnews.Id. Retrieved August 21, 2022 (https://www.jatengnews.id/2021/11/19/akses-jalan-
sering-terkena-rob-lewat-dana-bkk-pemerintah-desa-bedono-lakukan-peninggian-jalan/).

NOAA/NMFS Developments. 1981. Shrimp 1980: Consumption Is Up in a Difficult Year. 6. Japan.

P2KP. 2008. “Kesadaran Partisipasi Jamin Keberlanjutan Program, Direktorat Jenderal Cipta Karya
- Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat.” Direktorat Jenderal Cipta
Karya - Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. Retrieved August 28,
2022 (https://kotaku.pu.go.id/view-/6232/kesadaran-berpartisipasi-jamin-keberlanjutan-
program).

Selikur. 2022.“Pengajian Suluk Senin Pahingan Ke-12 Di Pondok Pesantren Al-Itqon, Pedurungan,”
August 28.

Pemerintah Kabupaten Demak. 2020. Peraturan Daerah No 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Demak Tahun 2011-
2031. Kabupaten Demak.

Poesoro, Awan Wibowo Laksono. 2005. “Membangkitkan Investasi Di Indonesia.” The Indonesia
Institute 1–41.

Pribadi, Wahib. 2020a. “Dana Desa Dipakai Investasi, Kades Gemulak Ditahan.”
Radarsemarang.Jawapos.Com. Retrieved August 21, 2022 (https://radar
semarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/03/04/dana-desa-dipakai-investasi-
kades-gemulak-ditahan/).

Pribadi,Wahib.2020b.“Jalan SudahDitinggikan15 Kali,PintuBerubahJadiJendela.” Radarsemarang.Jawapos.Com.


Retrieved August 21, 2022 (https://radar semarang.jawapos.com/berita/jateng/demak/2020/06/01/jalan-
sudah-ditinggikan-15-kali-pintu-berubah-jadi-jendela/).

170
DAFTAR PUSTAKA

Pribadi, Wahib. 2022. “Peninggian Jalan Pantura Sayung Selesai.” Jawa Pos – Radar Semarang,
June 11.

PT LAPI ITB. 2022. “Tentang PT LAPI ITB.” Lapi-Itb.Com. Retrieved August 18, 2022
(https://www.lapi-itb.com/id/about).

Puspitoningrum, Anggun. 2021. “Warga Jepara Tolak Penambangan Untuk Urugan Tol Laut Semarang Demak.”
Jateng.Idntimes.Com. Retrieved August 18, 2022 (https://jateng.idntimes.com/news/jateng/anggun-
puspitoningrum-1/warga-jepara-tolak-penambangan-untuk-urugan-tol-laut-semarang-demak).

Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Jaringan Dokumentasi
Dan Informasi Hukum BPK RI. Indonesia: https://peraturan .bpk.go.id/Home/Details/49513/uu-
no-1-tahun-1967.

Republik Indonesia. 1976. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1976
Tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang. Indonesia.

Rondonuwu, Clara. 2010. “Bedono Tenggelam.” Ekuatorial.Com. Retrieved May 23, 2022
(https://www.ekuatorial.com/2010/11/the-sinking-of-bedono/).

Rossanty, Emy. 2008. “Dampak Reklamasi Pantai Marina Kota Semarang.” Skripsi, Universitas
Dipoegoro, Semarang.

Roswaty, Sefanya, Max Rudolf Muskananfola, and Pujiono Wahyu Purnomo. 2014. “Tingkat
Sedimentasi Di Muara Sungai Wedung Kecamatan Wedung, Demak.” Diponegoro
Journal of Maquares 3(2):129–37.

Safuan, Akhmad. 2020. “Banjir Rob Masih Rendam Kawasan Pantura.” Mediaindonesia.Com.
Retrieved August 20, 2022 (https://mediaindonesia.com /nusantara/321231/banjir-rob-
masih-rendam-kawasan-pantura).

Sanjoto, Tjaturahono Budi, Sunarko, and Satyanta Parman. 2016. “Tanggap Diri Masyarakat Pesisir
Dalam Menghadapi Bencana Erosi Pantai (Studi Kasus Masyarakat Desa Bedono
Kabupaten Demak).” Jurnal Geografi 13(1):90–100.

Sari, Dimas Novita. 2015. “DPR Minta Proyek Betonisasi Jalan Pantura Diaudit.” Ekonomi.Bisnis.Com.
Retrieved August 20, 2022 (https://ekonomi.bisnis.com /read/20150909/45/470690/dpr-minta-
proyek-betonisasi-jalan-pantura-diaudit).

Septiadi, Baskoro. 2022. “Tanggul Jebol Karena Rob, Kawasan Tanjung Emas Semarang Dikepung Banjir Artikel Ini
TelahTerbit Di: Https://Radarsemarang.Jawapos.com/Berita/Jateng/Semarang/2022/05/23/Tanggul-Jebol-
Karena-Rob-Kawasan -Tanjung-Emas-Semarang-Dikepung-Banjir/Copyright © RADARSEMARANG.ID.”
Radarsemarang.Jawapos.Com. Retrieved June 24, 2022 (https://radar
semarang.jawapos.com/berita/jateng/semarang/2022/05/23/tanggul-jebol-karena-rob-kawasan-tanjung-
emas-semarang-dikepung-banjir/).

Setiawan, Hendra. 2022. “Tanah Musnah Hambat Proyek Tol Semarang-Demak.” Suara Merdeka.Com.
Retrieved September 17, 2022 (https://www.suaramerdeka.com /jawa-tengah/pr-
044775103/tanah-musnah-hambat-proyek-tol-semarang-demak).

Setyati, Ari Wilis, Arya Rezagama, Tri Winarni Agustini, Yusup Hidayat, Narendra
Prasidya Wishnu, and Dyah Ayu Wulandary. 2018. “Inovasi Penanganan Mitigasi
Bencana Desa Bedono Kecamatan Sayung Demak Akibat Efek Abrasi.” Pp. 198–
200 in Proceeding SNK-PPM. Vol. 1. Semarang.

171
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Shiva, Vandana, and M. Mies. 2014. Ecofeminism. Zed Books.

Shodiq, Arif. 2022. “Bisakah Gandum Tumbuh Di Indonesia Yang Beriklim Tropis?”
Pangan.Sariagri.Id.

Sinambor, Sonya Helen. 2012. “Abrasi Mengancam Permukiman, Sabuk Pantai


Dibangun.” Regional.Kompas.Com.

Sohirin. 2010. “Sukawi Kembali Jadi Pengusaha.” Nasional.Tempo.Co. Retrieved July 14,
2022 (https://nasional.tempo.co/read/264279/sukawi-kembali-jadi-pengusaha).

Suryanti, Ni Md. Widya A., and Muh Aris Marfai. 2016. “Analisis Multibahaya Di Wilayah
Pesisir Kabupaten Demak.” Jurnal Bumi Indonesia 5(2).

The Health Consiious Boom. 2013. Serving Japanese Food to the World. Japan.

Tri, Rosida. 2018. “Daftar Pabrik Industri Di Demak Jateng.” Alamatelpon.Com. Retrieved August
18, 2022 (https://www.alamatelpon.com/2018/10/daftar-pabrik-industri-di-demak-
jateng.html).

Vondruska, John. 1991. “World Shrimp Situation 1990: Effect on Southeast Harvesting.” NOAA
Technical Memorandum NMFS-SEFC 294.

Wahyono, Untung. 1989. “Status Of Shrimp Production in Indonesia.” in Proceedings Of The


Shrimp Culture Industry Workshop, edited by W. G. Yap. Jakarta: Direktorat Bina
Produksi.

Yakub, Hisyam. 2004. “Hasil Penelitian Kajian Daya Tarik Dunia Pada Perumahan Kawasan Tepi
Pantai (Water Front City) Di Kota Semarang.” Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.

172
DAFTAR PUSTAKA

TIM PENULIS

Mila Karmilah; e: mila.k@unissula.ac.id. Mila menyelesaikan S1 di Fakultas Teknik


Sipil UII Yogyakarta; S2 pada Magister Perencanaan Kota dan Dærah (MPKD) UGM
Yogyakarta; dan S3 pada Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM Yogyakarta.
Sejak 1998 hingga saat ini menjadi staf pengajar di Prodi Perencanaan Wilayah dan
Kota (PWK) Unissula. Pernah menjadi Sekwil KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) Jawa
Tengah periode 2008-2012; Tim Kerja Koalisi Malih Dadi Segoro (MDS) 2020 sebagai
peneliti dan dipublikasikan dalam buku Malih Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis
Pesisir Semarang-Demak (2020); Menulis bersama Hysteria dalam Udan Salah
Mongso (2021); Penelitian Post Doc UGM, “Rob dan Penurunan Muka Tanah Dilihat dari
Pespektif Ekofeminis: Studi Kasus Pesisir Semarang Demak” (2021); Penelitian bersama
UGM-UNISSULA-UNDIP dalam Konsorsium Diamonds in Delta (DiD) Belanda-Indonesia,
“Grassroots ref lections and Practices related to land subsidence and f looding in urban
and rural deltas: Case studies from Semarang City and Demak Regency, Indonesia” (2021);
Penelitian Riset Unggulan Dærah (RUD) Provinsi Jawa Tengah, “Akses Air Bersih dan Sanitasi
di Kawasan Rawan Rob dan Banjir” (2022); Program Intesif Pengabdian Masyarakat Terintegrasi
dengan MBKM Berbasis Kinerja Utama, “Implementasi Sistem Pemanenan Air Hujan
(PAH) dan Floating Sanitation pada Kawasan Rawan Bencana Rob di Dukuh Timbulsloko Kec Sayung
Kab Demak” (2022); Pembicara (invited speaker) pada forum international di San Pedro College
2021, “ASEAN Perspective in Gender with Theme: We Care, We Prepare and We Proper 31st
August” (2021); Pembicara (invited speaker) dalam WINNER (Week of Indonesian-Netherland
Education and Research) Gender and Climate Change) berjudul “Flood/Tidal Flood and
Land Subsidence on Gender Perspective Gender and Climate Change” (2022); Menulis
bersama Hasti Widyasamratri, “Coastal Urban Community Knowledge of Coastal Hazard
and Conservation in Semarang towards Sustainable Development Region” dalam The Indonesian
Journal of Planning and Development (IJPD) Vol 1 No 1 (2019); Menulis artikel “The Impact
of MCK++ Prangkuti Luhur towards the Improvement of Community Life Quality in
Bustaman Village” dalam Journal of Urban Contemporarry Affairs Vol 4 No 2 (2020);
dan menulis artikel bersama Boby Rahman, “The Tidal Flooding Causes in North Coast
of Central Java: A Systemic Literature Review” dalam Journal of Southwest Jiaotong
University Vol 56 No 6 (2021).

Eka Handriana; e: handrianæ@gmail.com; t: @ekahand. Eka adalah anggota Koalisi


Maleh Dadi Segoro (MDS). Alumnus Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya.
Pernah bekerja sebagai reporter tetap untuk harian Jateng Pos (Jawa Pos Group) dan
harian Suara Merdeka. Pernah menjadi kontributor Rappler Indonesia dan Panajournal.

173
Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung

Berkontribusi dalam (1) Tim AJI Indonesia (2016) Tumbuh di Era Digital (kompilasi
liputan tentang anak), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (2) Tim AJI Indonesia
(2016) Menoreh Jejak di Jalan Terjal (kompilasi liputan perburuhan dan serikat
pekerja), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (3) Tim AJI Indonesia (2017),
Menjaga Pangan Merawat Masa Depan (kompilasi liputan keadilan pangan),
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia; (4) Penelitian Etnografi Banjir bersama
Rujak Center for Urban Studies dan UNDP (2021); (5) Tim Kerja Koalisi Maleh Dadi
Segoro (2021) sebagai peneliti dan penulis etnografi banjir dalam buku Banjir Sudah
Naik Seleher: Ekologi Politis Urbanisasi DAS-DAS di Semarang (2021); (6) Bersama
Bosman Batubara menulis artikel “Dari Krisis Sosial-Ekologi ke Ekologi Sosial: Kasus
Suburbia Semarang” dalam Prisma (Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi) edisi Transformasi
Ruang Kota: Mencari Keadilan Sosial Ekologi (2021); (7) dan bersama Bosman Batubara
menulis artikel “Urbanisasi Sebagai Pabrik Krisis Sosial-Ekologis: Berdialektika dengan
Prisma 1971-2021” dalam Prisma (Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi) edisi Setengah
Abad Prisma (2022).

Syarifah Atia; e: syarifahatia@gmail.com; i: @syarifatia. Sayrifah merupakan alumnus


Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula). Saat ini
bekerja sebagai konsultan perencanaan wilayah dan kota. Berkontribusi bersama
Mila Karmilah dan Ardiana Yuli Puspitasari menulis penelitian “Kajian Gentrifikasi
Dalam Upaya Pelestarian Kawasan Kota Lama Semarang” (2021).

Umdatin Nihayah; e: umdatin@gmail.com; i: @nihaya_umda. Umdatin merupakan


alumnus Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).
Saat ini bekerja sebagai Tenaga Fasilitator Lapangan program SANIMAS (Sanitasi
Berbasis Masyarakat). Pernah bekerja di Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati sebagai
petugas entri-data dan olah-peta Wilkerstat. Berkontribusi bersama Eppy Yuliani dan
Ardiana Yuli Puspitasari menulis penelitian “Pola Adaptasi Masyarakat Terhadap
Banjir dan Rob di Sekitar Kawasan Industri Terboyo: Studi Kasus Kelurahan Trimulyo,
Kecamatan Sayung, Kota Semarang” (2021).

174
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai