Anda di halaman 1dari 2

MENYONGSONG ABAD KE 2 NU

Ada tiga peristiwa besar dunia yang melatari kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) .
Pertama, ambruknya Kekhalifahan Islam Turki Utsmani sebagai kiblat politik umat
Islam dunia selama 600 tahun. Peristiwa ini mengguncang umat Islam di seluru
dunia. Beberapa kali para ulama dan pemimpin dunia Islam mencoba
menghidupkan kembali tetapi mengalami kebuntuan. Di Hindia Belanda aspirasi
untuk mendirikan kembali Khilafah Islamiyah diwakil Syarikat Islam melalui komite
Khilafah. Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, NU menghukumi Hindia
Belanda sebagai “darul Islam”. Darul Islam sendiri bukanlah konsep atau system
politik Islam (daulah Islamiyyah), melainkan sebuah kawasan yang dihuni oleh umat
Islam.. Darul Islam merujuk pada wilayah Islam, sementara daulah Islamiyyah lebih
pada kekuassan politik (Afifuddin Muhajir, 2020)
Kedua, kolonialisme-imperialisme yang menyapu besih negara-negara Islam. Ini
menimbulkan gelombang perlawanan berbasis agama di seluruh dunia Islam. Di
Indonesia, untuk membangkitkan nasionalisme di kalangan pesantren, Kiai Wahab
Chasbullah mngarang lagu kebangsaan “Ya Lal Wathon” sebagai syair cinta tanah
air. Dan ketiga, jatuhnya Haramain (Makkah-Madinah) sebagai pusat keilmuan
dunia Islam ke tangan wahabi. Sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Wahabi
yang memberangus kebebasan bermazhab, para kiai NU membentuk Komite Hijaz
menemui Ibnu Saud.
Ketiga peristiwa tersebut menandai runtuhnya tatanan dunia lama menuju tatanan
dunia baru. Peristiwa sejarah ini segera direspon para pendiri (muassis/founding
father) NU dengan mendirikan Jamiyyah Diniyyah Ijtimaiyyah Nahdlatul Ulama.
Jadi, sebagaimana yang sering disampaikan Kiai Yachya Cholil Staqu f (Gus Yahya)
ketua umum PBNU, visi NU adalah visi peradaban. Para masyayikh pendiri NU
waskita terhadap tanda-tanda zaman: dunia telah berubah dan secepatnya
membutuhkan respon. Salah satunya ijtihad ulama-ulama NU memilih "negara
bangsa" dibanding menghidupkan kembali Khilafah Islamiyyah yang sudah mati
terkubur reruntuhan peradaban lama.
Di bawah kepemimpinan Gus Yahya, NU ingin melanjutkan kembali visi peradaban
yang sudah dirintis oleh para muassis NU. Rangkaian Khalaqah Fikih Peradaban
yang diadakan di banyak pesantren salah satunya bertujuan menyerap, menggali,
dan mendiskusikan pikiran-pikiran para ulama merespon perubahan tatanan dunia
baru, khususnya berkaitan dengan fikih siyasah (fikih politik). Juga menjawab
pertanyaan, bagaimana teks, khususnya khazanah peradaban kitab kuning yang
dimiliki pesantren-pesantren, berhadapan dengan realitas kemanusiaan yang terus
berubah?
Menyongsong tatanan dunia baru dibutuhkan kecakapan dalam membaca dan
memahami realitas (fiqhul waqi'). Fiqhu al-waqi adalah fikih yang berangkat dan
bertolak dari realitas. Memahami realitas harus sebaik memahami teks (fiqhul wajib
lil waqi'). Ini akan membalik kebiasaan komunitas pesantren yang menjadikan teks
sebagai basis bagi realitas. Dalam tradisi bahtsul masail di pesantren-pesantren,
kitab kuning dijadikan sebagai reverensi utama menjawab realitas (waqiiyyah).
Seolah-olah semua persoalan sudah ada jawabannya dalam kitab kuning. Kitab
kuning semacam "primbon" yang bisa membaca masa depan. Akibatnya, teks yang
terbatas oleh ruang waktu harus tertatih-tatih mengejar realitas yang selalu bergerak
cepat melampaui dan meninggalkan teks. Bagaimanapun, al-Ghazali dalam al-
Munqiz min al-Dhalal sudah mengingatkan bahwa teks yang terbatas takkan dapat
merengkuh realitas yang tak terbatas (anna al-nushus mutanahiyah la tastauibu al-
waqai' al-gharu al-mutanahiyah)
Fiqhul Waqi bukan berarti melepas, menghindari, atau bahkan membuang teks.
Teks tetap dibutuhkan sebagai wasilah menuju maqasid al-syariah. Maqasid syariah
adalah tujuan-tujuan universal syariat, sebagaimana dirumuskan oleh al-Ghazali ke
dalam 5 hak dasar yang harus dilindungi dan dipenuhi setiap orang, yaitu hak hidup,
hak berkeyakinan, hek berpikir, hak kepemilikan harta, hak berkeluarga. Tentu saja
kita harus memaknai secara baru kelima hak dasar itu (dharuriyat al-khams) sesuai
kebutuhan, tantangan dan tuntutan norma dan tata nilai saat ini.
Jika dulu menganggap hukuman mati {qishos) sebagai implementasi dari maqasid
al-syariah, yaitu hak hidup (hifzu al-nafs), maka hari ini dianggap bertentangan dan
tidak sesuai dengan prinsip hak hidup. Begitu juga dengan hukum riddah (murtad)
yang dulu dianggap sebagai bagian hak berkeyakinan (hifzu al-din), saat ini sudah
tidak relevan lagi dan harus dibalik (kebebasan berkeyakinan). Inilah contoh
perubahan dalam memaknai teks seiring perubahan norma-norma pada realitas
baru.
Begitu juga perubahan dalam realitas politik internasional saat ini. Konstruksi Fikih
Siyasah lama hanya memandang dunia secara bipolar: Dar al-Harb dan Dar al-
Islam. Jika merujuk kitab kuning, status non muslim dalam “negara islam” dibagi
dalam beberapa kategori: “kafir musta’man, kafir muahad, kafir dzimmy dan kafir
harby”. Keempat kategori itu, menurut para kiai dalam Munas NU di Banjar, sudah
tidak relevan lagi dipakai dalam konteks negara bangsa seperti saat ini. NKRI
didirikan oleh segenap elemen bangsa baik muslim maupun non muslim. Karena itu,
status warga negara dalam naungan NKRI semua setara dan diakui secara
hukum.Terma “kafir” untuk menyebut warga negara non-muslim dalam konteks
negara-bangsa (nation-state) sudah tidak up to date.
Tantangan Abad ke 2 NU tentu lebih banyak dan lebih kompleks lagi ketimbang
berurusan dengan teks. Namun, harus diakui, peradaban NU adalah peradaban teks
(kitab kuning). NU kuat dan bisa bertahan hingga hari ini, salah satunya, karena
bertumpu pada tradisi, yang ditopang oleh kekuatan intelektualisme NU (kitab
kuning). Wallahu Alam bi Swab

Jamaluddin Mohammad
Peneliti Rumah KitaB

Anda mungkin juga menyukai