Anda di halaman 1dari 16

D.

hukum islam di tengah perdebatan faham liberal, fundementalisme, dan moderatisme

1. perdebatan hukum islam di tengah faham liberal

Liberalisme secara etimologi berasal dari bahasa latin “Liber”, yang artinya bebas atau
merdeka. Hingga akhir abad ke-18 Masehi. Istilah ini masih terkait dengan konsep manusia
merdeka sejak lahir, ataupun setelah dibebaskan dari perbudakan.1 Liberalisme adalah satu
paket dengan ideologi kapitalisme. Liberalisme sendiri lahir dari masyarakat sakitEropa pada
abad kegelapan. Belenggu dominasi para raja yang mengatasnamakan Tuhan mengancam
perkembangan, sains dan teknologi. Raja pun berkolaborasi dengan para agamawan untuk
menindas rakyat. Solusinya, belenggu ini harus dihilangkan dengan memberikan manusia
kebebasan, sebebas-bebasnya.

Dalam persepektif filsafat, liberalisme berarti system atau aliran yang menjunjung tinggi
kebebasan dan kemerdekaan individual dan memberikan perlindungan dari segala bentuk
penindasan. Lawan aliran ini adalah absolutisme kekuasaan, depotisme atau aliran otoriter.
Liberalisme dalam bidang ekonomi adalah aliran yang memberikan kepada individu secara
bebas untuk melakukan aktifitas ekonomi tanpa ada infiltrasi negara dalam kehidupan
kehidupan ekonomi. Diantara pendukung aliran ini adalah Adam Smith pada abad XVIII. Aliran
ini adalah lawan dari aliran sosialisme dan komunisme.

a. Liberalisme menghujat Al-Qur’an

Jika dalam Kristen metode kritik Bible sudah mapan, kaum liberal pun ingin
menerapkannya ke dalam Al-Qur’an. Bagi Kristen, Bible sudah lama diragukan
otentisitasnya, maka mereka pun meragukan kebenaran kitab suci mereka.

Orang semacam Arkoun, misalnya, menyayangkan umat islam yang tak mau
‘mengekor’ kepada sikap dan usaha umat Kristen dalam mengkritisi kitab suci mereka.
Dengan nada menyesal, Arkoun menulis, “Sayang sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang
teks-teks suci yang telah digunakan kepada Bible Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa
mengahsilkan konsekuensi negative untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat
kesarjanaan Muslim.

Di Indonesia, ide orientalis dan liberal diadopsi tanpa kritik. Anehnya lagi, kaum liberal
merasa bangga dengan apa yang ia kutip. Luthi Assyaukanie, misalnya menulis dengan
penuh semangat disitus Jaringan Islam Liberal (JIL) seperti dibawah ini:

“Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa Al-Qura’an dari halaman pertama
hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw
secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim
juga meyakini bahwa Al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti
yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus silam. Keyakinan semacam itu
sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al khayal al dini) yang
dibuat oleh para ulama sebagai bagian formalisasi doktrin-doktrin islam. Hakikat dan sejarah
penulisan Al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate
(rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa”.

Ini jelas murni ide dan kajian orientalis. Ini sangat berbahaya, karena dapat merusak
konsep wahyu. Karena di dalam islam Al-Qur’an diturunkan oleh Allah secara tanzil (lafadz
dan ma’nanaya murni dari Allah). Itu sebabnya meragukan otentisitas mushaf utsmani
dihukumi “kafir”. Meskipun begitu, bagi kaum liberal tidak berarti apa-apa. Karena Al-Qur’an
bukan hal yang sakral. Di samping keyakinan terhadap sakralitas Al-qur’an merupakan al-
khayal al-dini (angan-angan teologis), juga Al-Qur’an rigid, delicate (rumit), sarat perdebatan
bahkan penuh rekayasa.

Oleh karena itu, penghujatan kepada Al-Qur’an tak berhenti pada tulisan Luthfi. Anak-
anak ‘nakal’ dari fakultas syariah IAIN wali songo melanjutkan perjuangan mereka. Tak
segan-segan mereka untuk melakukan “desakralisasi” historisitas Al-Qur’an. Al-Qur’an
menurut mereka adalah “perangkat quraisy”. Usaha kodifikasi Al-Qur’an oleh khalifah III,
“utsman bin ‘affan, adalah sebuah fakta kecelakaan sejarah”. Untuk mendukug studi mereka
diadopsilah pemikiran John Wansbrough dan Ricard Bell. Maka tak heran jika seorang
liberalis semacam Sumanto AlQurtuby menyimpulkan bahwa kesucian AlQur’an adalah
palsu.

Masih dengan Sumanto AlQurtuby, karena ruang kritik terbatas dan singkat dalam
jurnal JUSTISIA, dia “tumpahkan” kegeramannya kepada sakralitas Al-Qur’an dalam bukunya
Lubang Hitam Agama.

“Di sinilah maka tidak terlalu melesat jika dikatakan, Al-Qur’an dalam batas tertentu,
adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy). Artinya, proses awal
“turunnya” ayat-ayat Al-Qur’an tidak lepas dari jaringan-jaringan kekuasaan Quraisy yang
dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku Arab lain”. Dia juga
menambahkan, “Kita tahu, Al-Qur’an yang dibaca oleh jutaan umat islam sekarang adalah
teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman
(644-656 M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin Zaid ibn Tsabit, sehingga teks ini
disebut Mushaf Usmani”

Jadi, ada jalur “kesepakatan” antara orientalis, Arkoun hingga kaum liberal di
Indonesia untuk meruntuhkan otentisitas Al-Qur’an ini. Mereka bahumembahu dalam
merusak konsep Kitab Suci umat Islam. Mereka tak sadar bahwa kritisisme mereka terjebak
dalam jaringan-jaringan pemikiran orientalisme Barat yang liberal-sekular.

b. Beberapa Kritikan Liberal Terhadap Syari’at Islam

Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolak penerapan syariat Islam dapat
dikategorikan menjadi tiga. Pertama, argumentasi historis. Kedua, berdasarkan
pertimbangan maqasid syari’at. Dan ketiga, atas pertimbangan Hak Asasi Manusia.

1. Argumentasi Historis

Argumen ini berbunyi bahwa hukum Islam yang ada sekarang adalah produk
abad pertengahan. Ia dibentuk berdasarkan latar belakang sosial dan politik
masyarakat ketika itu. Ia merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan
kepentingan masyarakat saat itu.

Hukum pra-Islam yang telah diadopsi Islam bahkan dalam bidang ibadah.
Para pengkritik hukum Islam selalu mengatakan banyak produk hukum Islam
khususnya yang terkait dengan perempuan terinspirasi oleh budaya patriarki Arab
abad ke tujuh.

Salah satu contoh yang selalu diangkat dalam konteks ini adalah hukum
waris. Menurut kaum liberalis, laki-laki diberikan porsi yang lebih banyak dari
perempuan karena ketika itu mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar,
baik terhadap keluarga maupun kelompok sukunya. Akan tetapi corak kehidupan
masyarakat hari ini sudah berubah. Wanita bukan lagi sekedar beban kepada
keluarga tapi juga menjadi tonggak penyangga utama dalam kehidupan rumah
tangga.

Persoalan ‘iddah pun dikatakan sebagai konstruk budaya Arab ketujuh. Salah
seorang penulis menyatakan “’Iddah sebagai konsep keagamaan lebih merupakan
konstruk budaya dari pada ajaran agama. Sebagai konsep agama, ‘iddah berfungsi
mengecek ada tidaknya kehamilan. Di sisi lain, ‘iddah merupakan penahanan istri
pada wilayah domestik yang berakar dari konsep budaya yang dipakai sebagai
alasan keagamaan.” Oleh sebab itu, maka konsep ‘iddah pun harus direvisi. Secara
ringkas argumen di atas ingin menegaskan bahwa syariat Islam tidak mungkin
diaplikasikan untuk saat ini karena ia tidak merefleksikan kepentingan masyarakat
hari ini.

Argumen semacam ini menyisakan beberapa persoalan. Pertama, argumen


ini telah menghilangkan nilai universalitas hukum Islam, karena ia dianggap hanya
berlaku untuk masyarakat Arab abad ketujuh. Dan kedua, argumen ini telah
mereduksi Islam menjadi sekedar budaya Arab. Kelompok ini bagaimana pun
menolak kesimpulan ini, karena bagi mereka yang universal dan permanen itu
bukan bentuk legal formalnya tapi objektif yang ingin ditujunya.

2. Argumentasi Berdasarkan Maqasid al-Syari’ah

Argumen ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai objek/maqasid


utamanya sendiri. Objek utama syariat Islam secara umum adalah menciptakan
kemaslahatan bagi umat manusia. Riba diharamkan untuk menjaga kepentingan
golongan lemah dan miskin dari eksploitasi kelompok kapitalis. Hudud disyariatkan
untuk menciptakan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat di samping untuk
menciptakan rasa adil di tengah masyarakat. Akan tetapi menurut kelompok
liberal konsep maslahah itu sendiri berubah seiring dengan berputarnya waktu.
Apa yang dianggap maslahah pada saat tertentu dan oleh masyarakat tertentu
belum tentu dianggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktu yang
lain. Jadi, apa yang dianggap masyarakat Arab abad ketujuh sebagai maslahah,
belum tentu demikian bagi masyarakat hari ini. Misalnya hukum potong tangan
bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, hukum waris dan lain sebagainya
meskipun sesuai dengan masyarakat Arab ketika itu, belum tentu dapat
menimbulkan maslahah bagi masyarakat hari ini. Kajian maqasid al-syari’ah dalam
pemikiran Islam, sama sekali bukan merupakan topic baru. Konsep ini dengan
membaginya kepada tiga kategori: daruruyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat atau
tazyiniyyat.

uk dijadikan landasan hukum? Atas nama maqas}id juga seorang


cendikiawan di Indonesia membolehkan salat dengan menggunakan dwi bahasa
(bahasa Arab dan Indonesia) karena “Inti salat adalah bagaimana orang bisa
berkomunikasi dengan Tuhan secara mesra. Dan itu biasanya diungkapkan dalam
bentuk bahasa yang merupakan ungkapan hati. Inti dari ibadah sebetulnya hati.”
Atas alasan maqasi} d juga, akhirnya hukum hudud, qisas, rajam, waris, ‘iddah, dan
lain sebagainya tidak lagi penting selagi objektif yang dimaksudkan dari hukum
tersebut dapat dicapai. Padalah kebanyakan studi dan riset yang dilakukan para
peniliti lebih dari enam tahun yang lalu menyatakan bahwa hukum mati dapat
memberikan efek jera kepada pembunuh. Mereka menghitung bahwa antara tiga
hingga delapan nyawa dapat diselamatkan dengan mengeksekusi setiap
pembunuh yang ditetap- kan bersalah. Kalau demikian, benarkah hukum pidana
Islam tidak dapat menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat hari ini?

Persoalannya adalah apakah sesungguhnya yang di maksud- kan dengan


maslahah oleh para kelompok liberal ini? Apakah maslahah merupakan konsep
relatif? Bagaimana bila terjadi konflik di tengah masyarakat dalam
mempersepsikan maslahah? Para liberalis perlu menjawab persoalan ini sebelum
mereka menggunakan konsep ini sebagi bumper menjustifikasikan ide-ide
‘nyeleneh’ mereka.

Sesungguhnya bila konsep maslahah ini diaplikasikan menurut hawa nafsu


saja, seperti yang selalu mengemuka dalam pelbagai pembahasan, maka bukan
hanya hukum Islam yang akan runtuh, agama pun akan menjadi absurd dan tidak
berarti lagi. Orang akan mengatakan bahwa tujuan beragama adalah untuk
menciptakan kebaikan, kemaslahatan, kesejahteraan bagi manusia dan juga untuk
mencapai ketenangan dan kebahagia- an, bila seseorang dapat mencapai tujuan
ini tanpa melalui agama, maka dia tidak perlu lagi beragama. Musdah Mulia,
aktivis perempuan yang mengetuai Tim Pengarusutamaan Gender, Depag RI dan
juga pemegang gelar Doktor dari UIN Jakarta ini, tampaknya membenarkan seperti
ini.

2. Landasan Historis Modernisme dan Fundamentalisme islam

Sebagaimana di ketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama,
tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya sebagai agama di
Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi “negara-agama”, selanjutnya
membesar pada masa khalifah, dan menjadi kekuatan politik internasional yang tidak kecil
pengaruhnya pada masa Dinasti Umayah, dan Abasiyah. Dalam proses perkembangannya itu,
Islam membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai
pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat tasawuf, dan
lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam
dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi
peradaban dunia dengan cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad 12-13 M. Di masa
inilah khususnya Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan ke-Islam-an berkembang sampai
puncaknya, baik dalam bidang kajian agama, science, dan arsitektur. Di jaman itu pula para
pemikir muslim dihasilkan, sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai kebudayaan
Islam. Masa keemasan ini kemudian hancur, setelah jatuhnya Kota Baghdad (Ibukota Dinasti
Abbasiyah) pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa Mongol, yang bukan saja mengakhiri
kekuasaan khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan
peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang
sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Setelah Khilafah Abbasiyah di Baghdad
runtuh akibat serangan tentara mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran
secara drastic.

3. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundamentalisme Islam


Dalam menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan keagamaan aliran modernis dan
fundamentalis Islam, penulis mendasarkannya pada buku Yusril Ihza Mahendra “Modernisme
Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”. Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama berdasarkan kepada


Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat
Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu”. 1

Perbedaan kecenderungan corak penafsiran doktrin agama antara modernisme dan


fundamentalisme Islam, kemudian menghasilkan perbedaan pula dalam memahami berbagai
masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden
zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan) dan (e)
hikmah.”

a. Ijtihat

Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan hadis.
Namun, hasil ijtihad tetap tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Hadis
yang menunjukkan bolehnya berijtihad adalah hadis nabi yang mengisahkan tentang
sahabat Mu‟adz bin Jabal ketika di utus ke Yaman . 2

Artinya :“Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz ke Yaman,


beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi
keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka
dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.”
“Aku berusaha dengan ra‟yu ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk
dadanya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah”

Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan


segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya
bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Adapun menurut istilah, al-ijtihad
adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau beberapa orang ulama tertentu
yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu untuk
merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu atau beberapa perkara
yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan positif, baik dalam Al-Qur‟an
maupun al-Hadis45 . Dan secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap
kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.

1
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
2
Abu Yasid, Islam Akomodatif “Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal”,
(Yogyakarta, LKIS, 2004), h. 64.
b. Preseden (Teladan) Tradisi Zaman Awal Islam

Kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara modernisme dan


fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam berijtihad, hal ini juga
mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah zaman awal, serta sejarah
dan tradisi Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi
Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah
mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci.
Sedangkan kaum fundamentalis memandang bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan
Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak
hanya mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya.
Mengenai hal ini, menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhamma dan
para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal
prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada
umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis.
Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa
seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang berhubungan
dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu, seperti norma-norma
tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya tidak berubah. Tetapi perincian-
perinciannyalah yang terus berkembang dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal
Islam di zaman Nabi dan para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-
perincian berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.” 3

“Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah “sunnah


Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau demikian, apalagi dengan
warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman sesudah itu – yaitu generasi sesudah
sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin – yang menurut pandangan kaum modernis, lebih
banyak mencemaskan aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi di
zaman ini pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum muslim
yang hidup di jaman kenudian. Kaum modernis juga kurang membrikan aspirasi yang
tinggi terhadap warisan tradisi pemikiran Islam dari zaman yang lampau.” 4

Sedangkan dalam memaknai preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam
kaum fundamentalis, menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah mengikat


secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip,
melainkan juga dalam perincian-perinciannya. Fundamentalisme memandang orang-
orang yang hidup dizaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman Islam
awal itu, yaitu zaman nabi dan para sahabat, adalah zaman yang ideal yang wajib
diwujudkan di segala zaman.”5

3
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal
4
Ibid., hal. 30
5
Ibid., hal. 32
c. Ima’

Dalam ensiklopedia umum, apabila ada kejadian atau peristiwa yang hukumnya
tidak terdapat dalam Al-Quran atau hadis. Dalam hal demikian para alim ulama
terkemuka mengambil suatu ketetapan atas kata sepakat. Cara penentuan hukum ini
disebut ijma6. Ijma' adalah mashdar (bentuk) dari ajma' yang memiliki dua makna:

"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam
masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula" .

d. Pluralis dan Hikmah

Kecenderungan penafsiran modernisme yang bersifat elastis dan fleksibel dan


fundamentalisme Islam yang rigid dan literalis dalam menghadapi doktrin agama,
menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya
masalah-masalah yang berhubungan dengan cara beritjihad yang, modernisme lebih
menekankan pada kritisisme historis yang dilandasi oleh semangat perkembangan
zaman, sedangkan fundamentalisme lebih pada keterangan dari teks doktrin agama.
Selain itu, kecenderungan penafsiran ini juga mengakibatkan perbedaan dalam
memaknai masalah preseden tradisi zaman awal nabi dan para sahabat, apakah
mengikat secara keseluruhan atau hanya prinsipprinsipnya saja. Menurut Yusril Ihza
Mahendra ada dua pandangan modernis dan fundamentalis Islam yang saling
berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu dalam memaknai masalah
pluralisme dan hikmah. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan dasar
modernis yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya
yang positif dalam melihat pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah
(kebijaksanaan) darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra:

“Kaum modernis yakin selama dunia itu ada, selama itu pula pluralisme tetap ada.
Modernisme juga berkeyakinan bahwa kaum muslim adalah umat pertengahan dan
umat terbaik yang ditonjolkan Allah kepada seluruh manusia. Mereka menjadi penengah
antara kecenderungan- kecenderungan ekstrim yang terdapat pada umat-umat yang
lain.”7
6
Ada pendapat bahwa pada hakekatnya ijma ialah ijtihad dengan dasar yang lebih luas. Ijtihad mengenai
(hasil) pemikiran oleh satu orang. Ijma mengenai kegiatan yang sama, tetapi oleh lebih dari satu orang. Karena
ijtihadlah yang sebenarnya yaang menjadi sumber hukum. Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1973), h.
478
7
Ibid., hal. 31
“Sikap yang positif dan optimis ini terhadap pluralisme ini selanjutnya mendorong
modernis cenderung bersikap terbuka dan toleran. Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan)
akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dengan
berpegang teguh kepada salah satu hadis mengenai “hikmah” (kebijaksanaan),
modernisme cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi
prnsipprinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-
masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan mencari hikmah itu adalah
seiring dengan kecenderungan kaum modernis yang lebih berorientasi pada
penyelesaian masalah yang dihadapi secara konkret, dengan pendekatan yang bercorak
pragmatis dan kompromistis. Mereka bebas mencari hikmah, karena mereka percaya
bahwa evolusi kebudayaan manusia sebenarnya bergerak menuju nilai-nilai yang
ditunjukkan Islam. Sedangkan nilai-nilai Islam, menurut mereka, adalah nilai-nilai
universal yang sesuai dengan the human nature (watak manusia), sungguhpun secara
formal tentulah tidak semua manusia memeluk agama Islam.” 8

Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa kalangan modernisme Islam
memandang positif dan optimis ini terhadap pluralisme yang mendorong bersikap
terbuka dan toleran. Hal ini kemudian membuat mereka berkeyakinan bahwa hikmah
atau kebijaksanaan dapat ditemukan dimana saja tanpa terkecuali teemasuk masyarakat
Barat. Sedangkan kalangan fundamentalisme Islam cenderung memandang negatif dan
pesimis kepada pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu
antara masyarakat Islam-i yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara kafah
(menyeluruh) dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkannya

E. Konstruksi Epistimologi Pengembangan Hukum Islam Kontemporer : Dialektika Kompromistik


Antara Teks dan Konteks

Epistemologi, dari episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah


cabang “filsafat” yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis “pengetahuan”. Topik ini
termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya
tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya
dengan kebenaran dan keyakinan. Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan
dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode
kontemplatis dan metode dialektis. Bagaimana dengan epistemologi hukum Islam sekarang ini,
sehinga hukum Islam perlu didekatkan dengan teori sistem, dan metologi guna menjawab
terhadap perkembangan masyarakat global sekarang ini.

Perjalanan dan perkembangan hukum Islam tidak hanya terjadi pada masa awal-awal Islam,
tetapi dinamika dan pembaharuan hukum Islam masih berlanjut sampai sekarang. Salah salah
faktor yang memungkinkan terjadinya pembaharuan hukum Islam adalah pengaruh kemajuan
dan pluralitas sosial-budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan negara. Semenjak umat
Islam memasuki dunia modern – seiring dengan munculnya masalah-masalah baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi – para pemikir hukum Islam
berpendapat bahwa memegangi doktrin dari satu mazhab hukum saja tidak lagi memadahi.
Karena itu kemudian mereka melakukan takhayyur dalam menjawab suatu masalah hukum yang

8
Ibid., hal. 31
dihadapi, yaitu proses seleksi terhadap pendapat-pendapat ulama dari berbagai mazhab untuk
mendapatkan jawaban yang paling sesuai dengan konteks zaman. Namun demikian, takhayyur
bukan ijtihad, tetapi sebagai proses awal umat Islam meninggalkan masa jumud dan fanatik
mazhab yang hampir delapan setengah abad (dari pertengahan abad 4 H sampai dengan akhir
abad 13 H).9

Langkah yang agak maju dari proses takhayyur adalah melakukan interpretasi khusus
terhadap perintah-perintah tertentu dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai antisipasi dalam
jawaban terhadap dinamika dan perkembangan masyarakat modern. Interpretasi terhadap ayat-
ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi pada dasarnya hanyalah quasi-ijtihad, karena belum
menggunakan metode, pendekatan yang sistematis dan konsisten. Prinsip takhayyur dan quasi-
ijtihad berusaha untuk menghasilkan ketetapan hukum yang sesuai dengan kebutuhan zaman
modern, namun keduanya tidak ditopang oleh metodologi yang sistematis dan terpadu, 10
sehingga sering menimbulkan inkonsistensi penalaran dan memberi kesan oportunis yang
merupakan hanya sifat sementara atau tumbal sulam bagi masalah hukum Islam yang dibutuhkan
oleh masyarakat.

umbal sulam bagi masalah hukum Islam yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tawaran
metodologi dari berbagai ulama dan para pemikir hukum Islam yang berbeda dari metodologi
ulama klasik baru muncul pasca Muhammad Abduh (w. 1905 M). Atas pengaruh pemikiran
Muhammad Abduh yang rasional dan liberal yang kemudian muncul tawaran-tawaran
metodologi baru yang berusaha menggali hukum Islam dari sumber-sumbernya (al-Qur’an dan
asSunnah) untuk menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan kemajuan zaman.
Perumusan tafsir dan kajian terhadap al-Qur’an selalu mengalami perkembangan yang dinamis
seiring dengan ekselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia. Hal ini
terbukti dengan mnculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik hingga kontemporer, dengan
berbagai corak, metode, dan pendekatan yang digunakan.

Beberapa tawaran metodologi baru dalam mengkaji al-Qur’an terutama dari kelompok
Liberalisme Religius yang lebih menekankan pada hubungan dialektis antara perintah-perintah
teks wahyu dan realitas masyarakat modern; pendekatan yang digunakan adalah memahami
wahyu baik dari sisi teks maupun konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dan masyarakat
modern tidak disusun melalui interpretasi literalis, melainkan melalui interpretasi terhadap jiwa
dan pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Tawaran beberapa metodologi dalam
melakukan istimbath hukum Islam sebagai pengejawantahan dari pembaharuan hukum Islam
akan menambah semakin terbukanya hukum Islam dalam memberikan solusi-solusi pemecahan
masalah hukum Islam para era-global sekarang ini.

Kalau dicermati secara historis pembentukan hukum Islam (fiqh) banyak dipengaruhi oleh
kondisi ruang/tempat dan kondisi umat Islam dengan mengambil contoh wilayah yang sekaligus
dianggap sebagai mazhab, yakni Hijaz , Kufah, dan Mesir, maka jelas sekali peran dan
pengaruhnya dari elemen-elemen sosial-budaya dan politik terhadap para fuqaha’ (para ahli
hukum Islam) dalam merumuskan dan melakukan istimbath hukum Islam. Mereka sering kali
merumuskan tafsiran ayatayat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam konteks sosial budaya, ekonomi

9
Awal munculnya pemikiran hukum Islam pada masa modern ini, menurut Abdul Wahhab Khallaf dimulai pada
akhir abad 13 H di Turki Usmani dan kemudian di Mesir. Abd al-Wahhab Khallaf, Khulashah Tarikh at-Tasyri’ al-
lamiy (Jakarta : al-Majlis al-A’la al-Indunisi li ad-Da’wah al-Islamiyyah, 1968), hlm. 103-105.
10
Agus Moh. Najib, Evolusi Syari’ah : Ikhtiar Mahmoud Taha bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer,
(Yogjakarta, Pesantren Nawasea Press, 2007), hlm. 4
dan politik.11 Meskipun demikian, rumusan sistematika tafsiran itu – dalam teori hukum Islam
(Ushul Fiqh) – baru muncul sejak Asy-Syafi’i (w. 204/820) dengan karyanya Ar-Risallah, yang
menawarkan teori qiyas. Perkembangan berikutnya, pembaharuan hukum Islam dirumuskan oleh
Al-Ghazali (w. 505/1111) yang mengembangkan teori mashlahah, yang kemudian dilanjutkan oleh
Asy-Syathibi (w. 90/1138). Demikian juga muhammad ‘Abduh (w.1903) sebagai saah satu
pembaharu (awal modern) telah merekonstruksi rasionalisme klasik. 12

Pembaharuan hukum Islam tersebut terus dikembangkan dan sekaligus telah mendorong
para pemikir muslim kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Abdullah Ahmed
an-a’im, Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Nash Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Syahrur
untuk mendekonstruksikan dan sekaligus merekonstruksi metodologi hukum Islam dan
menafsirkan kembali al-Qur’an yang lebih sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. Adapun
untuk mengurai kembali dalam gerakan pembaharuan hukum Islam dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok : Pertama, yakni kelompok yang menganut paham legal theorists 13 yang
berpendapat bahwa untuk membenahi ketertinggalan hukum Islam dan untuk menyesuaikan
dengan keadaan aktual harus membuka pintu ijtihad secara bebas tanpa terikat dengan aturan
yang lebih dikenal di kalangan para mujtahid tradisional. Kelompok ini menghendaki perubahan
total, dan tidak peduli teks itu adalah al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Untuk sampai kepada
maksud tersebut, mereka sering kali menciptakan berbagai kaidah-kaidah baru. Akan tetapi,
upaya penafsirannya sering dianggap sesat – walaupun telah memunculkan corak baru dalam
pemikiran hukum Islam – karena telah mampu memberikan tawaran yang meyakinkan, baik dari
segi sumber, metode maupun aplikasinya. 14

Kedua, kelompok ahli hukum Islam yang menempatkan teks al-Qur’an dan as-Sunnah
sebagai pijakan utama dalam menemukan segala aktivitas kehidupannya. Ketentuan-ketentuan
teks al- Qur’an dan as-Sunnah yang jelas dan rinci dan kitab-kitab karya ahli hukum Islam
tradisional diterima tanpa dilakukan interpretasi ulang. Karena cara berpikirnya tekstual dan
ukuran kebenarannya hanya disesuikan dengan kehendak Allah (Will of God), kelompok ini
dikategorikan sebagai pemikir “tekstual-teosentris” atau “tekstual-tradisional”. Cara berpikir

11
A. Qodri A.Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional : Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum
(Yogjakarta : Gema Media, 2002). Hlm., 32-33
12
Pendapat yang menyebutkan bahwa As-Syafi’i sebagai pendiri ilmu ushul al-fiqh adalah berkembang di
kalangan pengikut mazhab Asy-Syafi’i, sedangkan dikalangan pengikut mazhab Hanafi, Syabani, dan Abu Yusuf
justru cenderung memperoalkan hal tersebut dan telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
pengembangan ilmu ushul al-fiqh, jauh sebelum rumusan ilmu ushul al-fiqh dikembangkan oleh Asy-Syafi’i.
Pendapat ini hanyalah dalam penyusunan ilmu ushul al-fiqh mana yang lebih sistematis sebagai rujukan dalam
melakukan istimabth (Ijtihad) hukum Islam. Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara tradisonalis dan Modernis
( Jakarta, P3M, 1986), hlm, 1-10
13
7 Kelompok yang ahli dalam ilmu ushul al-fiqh. Kecenderungan kelompok ini mengutamakan akan daripada
wahyu. Dalam ilmu ushul al-fiqh, tradisi berpikir ini telah dipelopori oleh ‘Umar, Abu Hanifah, Rasyid Ridla,
Muhammad ‘Abduh, Ahmad Khan, dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq. Leonard Binder, Islamic Liberalism : A Critique of
Development Ideologies (London ; The University of Chicago Press, 1988), hlm., 24-25; HasanAt-Turabi, Fiqh
Demokratis; Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am
(Bandung: Arasy, 2003), hlm. 51-73
14
Satria Effendi M, “Ijitihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K.H. Ali Yafie”, dalam Jamal D.
Rahmad, (ed), Wacana Baru Fiqih Sosial : 70 Tahun KH. Ali Yafie (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 154; Asy-Syafi’i
mengatakan bahwa tekslah yang harus dijadikan pedoman (baca; al-qiyas), bukan istihsan (atau maslahah)
yang merupakan prosuk akal. Muhammad bin Idri Asy-Syafi’I, Ar-Risalah, Ahmad Muhammad Sakir (ed.) (Bairut
: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 507.
inilah yang diyakini tidak akan mampu memberikan solusi yang memadahi dalam menjawab
realitas konkret saat ini.15

Berangkat dari latar belakangan pemikiran di atas, penulis hendak memetakan kembali
pemikiran-pemikiran hukum Islam kontemporer dalam rangka menemukan kembali epistemologi
hukum Islam kontemporer dalam menjawab persoalan-persoalan modern, sehingga cara untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan dalam rangka menemukan kebenaran hukum Islam yang sesuai
dengan realitas kekikinian.

F. Epistemologi, Pendekatan dan Metode Kajian

Istilah epistemologi yang digunakan dalam tulisan makalah ini, seperti yang sering dipahami
banyak kalangan, adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengkaji teori ilmu
pengetahuan (hukum Islam), yang meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumber-sumber ilmu
(sources og knowledge), metode (method), dan uji kebenaran suatu ilmu pengetahuan
(verifikasi).16 edangkan “hukum Islam”, adalah mencakup semua aspek dan secara integral dari
cakupan istilah dan pengertian dari “syari’ah”, “fiqh”, dan “ushul al-fiqh” sebagai metode dalam
melakukan istimbath (ijtihad) sehingga menghasilkan hukum Islam (fiqh) yang meliputi hampir
semua aspek kehidupan umat manusia, maupun hal-hal yang masuk kategori habl min Allah
(hubungan umat manusia dengan Allah). 17

Menurut Noel J. Coulson,18 “hukum Islam” terbagi menjadi dua bagian : hukum Tuhan
(divine law) dan hukum para faqih (jurist law). Yang pertama berkaitan dengan hukum-hukum
yang telah ditetapkan oleh Allah dan bersifat absolute, sedangkan yang kedua adalah hukum-
hukum yang diperoleh dari hasil pemahaman manusia yang bersifat historis dan tidak sakral. 19
Dengan demikian, epistemologi hukum Islam pada dasarnya meliputi pembahasan “sumber
pengambilan hukum, metode yang digunakan untuk mencetuskan atau menghasilkan hukum,
dan aplikasinya dengan tujuan mentransfromasikan ketentuan-ketentuan teks al-Qur’an dan as-
Sunnah menjadi sebuah sistem norma-norma yang dapat ditegakkan di masa kini. Adapun upaya
transformatif ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan (kontemporer)
yang telah berkembang dan dikembangkan oleh para pemikir Islam, termasuk teori dari
hermeneutika fenomnologi.

Sedangkan istilah kontemporer dalam pembahasan tulisan ini berarti era masa kini, zaman
sekarang, atau yang bersifat kekinian. Kontemporer lahir dari modernitas sehingga istilah modern
dan kontemporer, mekipun merujuk para dua era, kedunya tidak memiliki penggalan waktu yang
pasti.20 Adapun batasan pemikiran kontemporer (terutama di dunia Arab) dimulai pada tahun
1967, yakni sejak kekalahan dunia Arab oleh Israel. Saat itu pula Arab mulai sadar akan dirinya,
15
Dalam kelompok ini garis utama ulama tardisional yang telah menyusun metodologi untuk menafsirkan Al-
Qur’an As-Sunnah. Dan ulama pertama yang meletakkan dasar metodologi pembacaan teks adalah Asy-Syafi’i
melalui kitabnya, Ar-Risalah. Bangunan ushul al-fiqh ini mencapai fase kematangannya dari para pengikutnya.
Sebab, teori interpretasi hukum ini memiliki kesamaan dengan teori interpretasi para ahli hukum Islam
(fuqaha’/mujtahid) tradisional, walaupun mereka juga telah menerapkan teori nasikh dan mansukh, dan
membedakan teks AlQur’an dan Sunnah yang qath’i dengan yang zahnni, serta ‘amm dengan yang khashsh.
16
Lhat Paul Edward (ed.), The Encyclopedia f Phiosophy, II, (New York : Mac-millan Publishing Co. 1972), hlm.
6; Harold H. Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang 1984), hlm. 87-188.
17
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional …., hlm. 1-4
18
Coulson, Conflicts and Tensions….., hlm. 3
19
Menurut Mohammed Arkoun, ajaran Islam terbagi dua bagian : at-Turast dengan T besar yang dianggap
sakral, wahyu Allah, absolute, dan at-Turast dngan t kecil yang tidak sakral dan bersifat historis karena produk
sejarah manusia. Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islami Qura’ah ‘Ilmiyyah, terj, Hasyim Shaleh (Bairut : Markaz
al-Inma al-Qaumi, 1987) hlm., 17 dan 18.
lalu muncul berbagai kritik diri (an-naqd adz-dzati) di sana-sini untuk melakukan reformasi diri,
antara lain dengan menjelaskan faktor-faktor penyebab kekalahannya atas Israel. 21

Berdasarkan uraian di atas pendekatan dan metode kajian terhadap epistemologi hukum
Islam kontemporer adalah menjelaskan secara komparatif tentang hakekat hukum Islam, serta
bagaimana metode dan hasil (validitas) ijtihad hukum Islam yang muncul di era kontemporer. Jadi
problem inti dalam penulisan makalah ini adalah masalah pemberian makna, produksi makna,
dan keabsahan dalam melakukan ijtihad dan penafsiran (hermeneutika) terhadap al-Qur’an dan
as-Sunnah.

G. Epistimologi Hukum Islam Kontemporer

Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa pembahasan epistemologi terhadap hukum


Islam (fiqh) adalah tentang struktur ilmu pengetahuan (hukum Islam) yang menelaah aspek
sumber (al-Qur’an, as-Sunnah), metode dan aplikasinya. Untuk itu, ilmu pengetahuan tidak dapat
dilepaskan dari sebuah paradigma dalam setiap disiplin ilmu diniscayakan adanya asumsi
metodologis25, sehingga teori dan sains bergantung pada paradigmanya. Demikian juga
perkembangan sebuah ilmu sangat dipengaruhi oleh perkembangan dari sebuah paradigma.
Ilmuilmu sosial, termasuk di dalamnya hukum Islam (al-fiqh) yang dikembangkan proses ijtihad26
di era modern atau kontemporer, dengan menggunakan metodologi (ushul al-fiqh) sebagai
bentuk penemuan hukum Islam yang sesuai dengan konteksnya. al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam dan teks atau ayat al-Qur’an yang terbatas dengan konteks yang tidak terbatas
selalu dilakukan upaya oleh mujtahid atau mufassir sehingga proses menemukan hukum Islam
dan/ atau tafsir merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai sampai hari kiamat. Proses
menemukan (istimbath) hukum Islam atau ijitihad, baik sebagai produk maupun proses ijtihad
terus berkembang seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman. Demikian pula, proses
ijtihad melalui penafsiran al-Qur’an diupayakan terus berkembang seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan perkembangan paradigma ilmu pengetahuan untuk
menemukan kebenaran sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah melalui al-Qur’an. Ada
beberapa konstruk dalam melakukan ijtihad dalam rangka menemukan hukum Islam (fiqh) dan
tafsir al-Qur’an pada era kontemporer ini, antara lain :

a. Ijtihad dan Metode Tafsir Kontemporer

Epistemologi sebagai cara memperoleh pengetahuan hukum Islam memiliki fokus


pembahasan tentang aspek sumber, metode dan aplikasi. 22 Jujun S. Suriasumantri mengatakan
bahwa epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam seluruh proses yang
terlihat dalam usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan. Karena ilmu merupakan
sebagaian dari pengetahuan, yaitu pengetahuan yang memiliki karakter tertentu, maka ilmu juga
dapat disebut pengetahuan keilmuan. Sehingga istilah yang digunakan adalah science (ilmu)
untuk membedakannya dengan knowledge (pengetahuan). 23

20
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Britain: Oxford University Press,
1987), hlm. 184.
21
Issa J. Boulatta, Trends and Issues in Contemporary Thought,(T.tp. : SUNY, 1990), hlm. x
22
Yusdani, “Kata Penganar Penerjemah”, dalam Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam….., hlm. xivxv :
maka istilah “Epistemologi” sebagai cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengkaji teori ilmu pengetahuan,
yang meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumber-sumber ilmu (sources of knowledge), metode (method), dan
uji kebenaran suatu ilmu pengetahuan (verifikasi).
23
Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu : Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri
(peny), Ilmu dalam Perspektif…., hlm. 9; Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”
dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja…., hlm. 152
Dari segi pengetahuan, ilmu lebih bersifat kegiatan daripada sekadar produk yang siap
dikonsumsi. Kata sifat “keilmuan” lebih mencerminkan hakikat ilmu daripada istilah ilmu sebagai
kata benda. Kegiatan ilmu adalah dinamis, demokratis dan tidak statis – walaupun biasanya
memiliki aksentuasi pada persoalan empiris.29 Demikian juga kegiatan keilmuan dalam bidang
ijtihad hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi dalam
menetapkan sumber, teknik/metode dan aplikasinya, baik dalam teori hukum Islam (ushul al-fiqh)
maupun hukum Islam (fiqh).

Kalangan ulama tradisional telah memunculkan pembahasan seputar tiga hal, yaitu aspek
sumber, metode dan aplikasi dengan pendekatan pada penekanan problem yang lebih tekstual
artikular-teosentris ketimbang realitas-empiris-rasional. Bahwa sumber hukum Islam adalah teks
al-Qur’an sebagai sumber pertama dan Sunnah sebagai sumber kedua, khususnya terhadap teks
rinci dan jelas sebagai pijakan dasar di dalam menghadapi teks yang umum. 24 Ulama tradisional
dalam mengkaji dan melakukan istimbath (mengeluarkan hukum Islam) dengan cara
menggunakan keumuman teks (al-Qur’an dan Sunnah), tetapi selama teks yang ‘amm itu tidak
ada yang mengkhususkan.

Konsep qath’i al-dilalah dan zhanni al-dilalah yakni pembatasan atas teks (ayat) yang rinci
dan jelas tidak memerlukan penafsiran dan atau ijtihad lagi, sedangkan teks (ayat) yang bersifat
umum seperti ayat-ayat yang diasumsikan zhanni al-dilalahnya diperlukan ijtihad. Kalau ruang
lingkup ijtihad dibatasi pada teks rinci dan jelas, sehingga pada perkembangan berikutnya tidak
ada keterbukaan dalam melakukan ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan baru dan
kontemporer. Maka dalam bangunan pemahaman dan paradigma ijtihad kontemporer perlu
menempatkan alQur’an sebagai, Pertama : Shalih li Kulli Zaman wa Makan, sehingga prinsip-
prinsip universal alQur’an akan senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat (shalih li kulli
zaman wa makan). Asumsi ini membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di
era kontemporer tetap akan dapat dijawab oleh al-Qur’an dengan cara melakukan
kontekstualisasi penafsiran al-Qur’an secara terus menerus, seiring dengan semangat dan
tuntutan problem kontemporer. Pada sisi lain, al-Qur’an sebagai petunjuk dan sumber hukum
Islam tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Arab saja, tetapi bagi orang-orang sekarang dan
untuk dimasa yang akan datang, sehingga prinsipprinsip universal al-Qur’an dapat dijadikan
pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang bersifat temporal dan partikular.

Kedua, dengan adanya kodifikasi al-Qur’an maka teks kitab suci ini menjadi korpus tertutup
dan terbatas (teks yang statis dan konteks yang dinamis). Padahal, problem umat manusia begitu
kompleks dan tidak terbatas. Maka untuk mengantarkan hukum Islam dapat diterapkan dalam
situasi dan kondisi yang ada diperlukan ijtihad dan penafsiran al-Qur’an ke dalam konteks
partikular era kontemporer yang sesuai dengan semangat zamannya. Dalam hal ini Fazlur
Rahman menegaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan pada waktu tertentu dalam
sejarah – dengan keadaan umum dan khusus yang menyertainya - seringkali menggunakan
ungkapanungkapan yang sesuai dengan situasi yang mengelilinginya. Menurut ayat-ayat tersebut
tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan. Oleh karena ini,
Rahman kemudian mengajukan model hermeneutika double movement. 25
24
Contoh dalam membicarakan tentang keadilan dalam masalah waris, maka konsep keadilan yang dimaksud
adalah berdasarkan teks al-Qur’an (QS. An-Nisa’ [4] : 11), meskipun keadilan bersifat universal sebagai pesan
permanennya, maka ketika berbicara tentang kewarisan, konsep keadilannya berdasarkan pada teks (ayat)
yang universal.
25
Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 4-9 ; double movement dimaksudkan adalah
seseorang dalam memahami atau menafsirkan Al-Qur’an disamping dapat menangkap makna teks, juga harus
memperhatikan situasi sosio-historis masa lalu di saat teks itu turun, untuk kemudian di tarik lagi ke dalam
Ketiga, memposisikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, menurut Muhammad Abduh,
produkproduk tafsir masa lalu telah kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat
manusia dan tidak lebih sekedar pemaparan atas berbagai pendapat para ulama yang saling
berbeda dan pada akhirnya menjauhkan dari tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi umat manusia (hudan li an-nas). 32 Kecuali beberapa kitab tafsir yang baik dan dapat
dipercaya.33 Tafsir harus berfungsi menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pentunjuk (mashdar al-
hidayah), bukan untuk membela ideologi tertentu dan beberapa mufassir kontemporer sedikit
banyak telah terpengaruh oleh gagasan Abduh dalam hal keinginannya untuk mengembalikan al-
Qur’an sebagai petunjuk.

Keempat, bahwa secara normatif al-Qur’an diyakini memiliki kebenaran mutlak, namun
kebenaran produk ijtihad berupa fiqh maupun penafsiran al-Qur’an bersifat relatif dan tentatif.
Sebab ketika melakukan ijtihad atau menafsirkan al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari situasi,
kondisi, dan problem sosial yang dihadapinya, sehingga ada jarak antara al-Qur’an dan
penafsirnya. Oleh karena itu, tidak jarang hasil ijtihad ulama fiqh banyak dipengaruhi oleh situasi
subjektif, problem sosial, kultur, budaya dan adat istiadat setempat. Hukum Islam sebagai hasil
ijtihad (fiqh) atau hasil penafsiran tidak hanya memproduksi makna pemahaman baru dan/atau
memproduksi makna baru teks. Meskipun teks itu tunggal, tetapi jika dibaca, dipahami dan
ditafsirkan oleh banyak pembaca maka hasilnya pun bisa bervariasi. Dengan demikian hasil ijtihad
maupun penafsiran al-Qur’an bersifat relatif dan tentatif, akan membuka peluang untuk
melakukan rekonstruksi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an sesuai dengan konteks dan
perkembangan zamannya.

b. Hermeneutika

Meminjam pemikiran Fazlur Rahman dalam menggunakan dua alat analisis hukum Islam
untuk menghadapi perkembangan dan perubahan masa modern, yaitu : Pertama, critrical history
adalah sebuah pendekatan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta objektif
secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Yang ditekankan
metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan
peristiwa sejarah itu sendiri. 26 Kedua, hermeneutika, khususnya hermeneutika Betti, yang
berpendapat bahwa proses penciptaan yang asal, bentuk-bentuk pemahaman atau penafsiran
terhadap karya tulis harus dibawa kembali pada pikiran yang menciptakannya, sebagai satu
kesatuan yang koheren, dan dihidupkan kembali dalam pikiran subjek yang menafsirkan karya
tulis.27

situasi sekarang ini.


26
Meminjam pemikiran Fazlur Rahman dalam menggunakan dua alat analisis hukum Islam untuk menghadapi
perkembangan dan perubahan masa modern, yaitu : Pertama, critrical history adalah sebuah pendekatan yang
pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang
terkandung di dalamnya. Yang ditekankan metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam
sejumlah data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri.34 Kedua, hermeneutika, khususnya hermeneutika
Betti, yang berpendapat bahwa proses penciptaan yang asal, bentuk-bentuk pemahaman atau penafsiran
terhadap karya tulis harus dibawa
27
Mas’adi A. Ghufron, Pemikiran Fazlur Rahman…., hlm. 70
Hermeneutika28 sebagai metodologi dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an
merupakan bagian terpenting dalam epistemologi hukum Islam kontemporer. 29 Terkait dengan
hal ini, Roger Trigg menyatakan bahwa hermeneutika merupakan suatu model penafsiran
terhadap teks tradisional (klasik), di mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan supaya teks
selalu dapat dipahami dalamn konteks kekinian yang situasinya berbeda. 30 Nuansa hermeneutik
yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer meniscayakan bahwa setiap teks (baca;
penafsiran) perlu dicurigai; ada kepentingan atau ideologi apa dibalik penafsiran teks tersebut.

Model pendekatan31 hermeneutika menjadi menu alternatif dalam memahami dan


menafsirkan al-Qur’an pada era kontemporer sekarang ini, sehingga metode hermeneutika
sebagai bagian dari rekonstruksi atas pendekatan pemahaman atau dalam melakukan istimbath
hukum Islam dianggap memadahi dan mampu menjawab persoalan-persoalan hukum Islam
kontemporer. Maka konsekuensi dari digunakannya model pembacaan dan pemahaman
menggunakan hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an tidak hanya mengandalkan perangkat
keilmuan klasik seperti yang digunakan oleh para ulama fiqh (fuqaha’) dan mufassir dahulu,
seperti ilmu nahwu-sharaf, ushul fiqh, dan balaghah, tetapi diperlukan juga perangkat ilmu-ilmu
lain, seperti sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, dan sejarah. Dengan demikian meminjam istilah
Amin Abdullah – paradigma interkoneksi-integrasi antara disiplin keilmuan dalam memahami dan
menafsirkan al-Qur’an menjadikan suatu hal yang niscaya.

Meski demikian, metode hermeneutika yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam dan
mufassir kontemporer sebenarnya tidaklah tunggal, melainkan beragam. Keberagaman ini
muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang
berasal dari luar, melainkan juga karena adanya dinamika dan kesadaran para ahli hukum Islam
dan mufassir akan kekurangan-kekurangan metode dan pedekatan yang selama ini telah ada dan
dikembangkan. Dengan kentalnya nuansa hermeneutik maka peran teks pengarang, dan
pembaca menjadi berimbang sehingga kesewenang-wenangan dan pemaksaan penafsiran relatif
dapat dihindari. Dengan demikian, meminjam istilah Abou el-Fadl, otoritarianisme lebih otoritatif,
tidak otoriter dan juga tidak despotic.40 Inilah satu implikasi dari digunakannya metode
hermeneutika dalam memahami teks Al-Qur’an maupun teks-teks lainnya.

Dalam tradisi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an yang menggunakan metode


hermeneutika selalu terjadi dialog komunikatif yang berimbang antara dunia teks (the world of
text), dunia penulis (the world of outher), dan dunia pembaca (the world of reader). Artinya,
antara teks, konteks, dan kontekstualisasi selalu berdialektika secara sirkular. Paradigma
hermeneutika selalu melihat teks secara kritis dan memosisikan sebagai sesuatu yang harus
dibaca secara produktif, bukan hanya reproduktif-repetitif. Inilah yang oleh Nashr Hamid disebut
dengan harakah banduliyah (gerak pendulum), di mana seorang faqih dan mufassir berangkat

28
Hermeneutika sebagai metode memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi sebagai
metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften). Penggunaan hermeneutika sebagai metode ini
ditekankan pada upaya pencapaian objektivitas. Dalam kategori hermeneutika metode ini yang paling
mendekati adalah hermeneutika F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
29
7 Jika era klasik lebih menekankan pada praktik eksegetik yang cenderung linier-atomistic dalam menafsirkan
Al-ur’an, serta menjadikan kitab suci tersebut sebagai subjek maka tidak demikian halnya pada era modern
dan kontemporer. Paradigma pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an pada era kontemporer cenderung
bernuansa hermeneutik dan lebih menekankan pada aspek epistemologi-metodologis.
30
Dikutif dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta : Paramadina, 1996) hlm, 161.
31
ode dikembangkan oleh F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti; 2) hermeneutika filosofis yang
dianut oleh Martin Heidegger, Gadamer; 3) hermeneutika kritis yang dikembangkan oleh Nietzsche, Jurgen
Habermas
dari realitas (al-waqi) untuk mengungkap apa yang ditunjukkan oleh teks (dalalah an-nashsh)
masa lalu, untuk kemudian kembali untuk membangun signifikansi (maghza). 32

Dilihat dari sisi sumber pemahaman dan penafsiran di era kontemporer bersumber ada teks
alQur’an, akal (ijtihad), dan realitas empiris. Secara paradigmatik, posisi teks, akal, dan realitas ini
berposisi sebagai objek dan subjek sekaligus. Ketiganya selalu berdialektik secara sirkular dan
triadic. Ada peran yang berimbang antara teks, pengarang, dan pembaca. Paradigma yang dipakai
dalam memandang teks, akal, dan realitas adalah paradigma fungsional bukan paradigma
struktural yang cenderung saling menghegemoni satu sama lain.

Posisi teks, akal, dan realitas dalam paradigma pemahaman dan tafsir kontemporer bisa
digambarkan sebagai berikut:

Hal ini berbeda dengan model paradigma pemahaman dan tafsir klasik-tradisional yang pada
umumnya cenderung bersifat struktural dalam memosisikan teks, akal, dan realitas. Sebagi
perbandingan, posisi teks, akal, dan realitas dalam paradigma pemahaman hukum Islam dan tafsir
klasik-tradisional dapat digambarkan sebagai berikut :

Paradigma struktural ini bersifat deduktif, berbeda dengan paradigma fungsional yang
bersifat dialektik. Paradigma fungsional ini mengasumsikan bahwa sebuah pemahaman dan
penafsiran harus terus menerus dilakukan dan tidak pernah mengenal titik final atau selesai.

Daftar Pustaka

file:///C:/Users/SHAUKY/Downloads/1586-Article%20Text-4019-1-10-20211215.pdf

https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24104/1/DEDE.pdf

32
Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khithab ad-Diniy, (Kairo : Sina li an Nasyr, 1994), hlm. 144

Anda mungkin juga menyukai