Anda di halaman 1dari 17

SYARI’AT ISLAM:

ANTARA KETETAPAN NAS DAN MAQASID SYARI’AH

Oleh Nirwan Syafrin Arma MA


(Kandidat PhD Bidang Pemikiran Islam di ISTAC-IIUM)

Akhir-akhir ini isu seputar penegakan Syari’at Islam menjadi salah satu tema
kontroversi yang menarik perhatian berbagai kalangan. Tak kurang dari cendikiawan Muslim
dan non-Muslim, aktivis Islam dan LSM, politisi, dan diplomat Barat ikut terlibat
memperdebatkan dan mendiskusikan isu ini. Mengingat bervariasinya latar belakang para
partisipan dalam diskursus syari’ah ini, bisa ditebak bahwa respon mereka pun juga beragam,
tapi semua bermuara pada pro dan kontra. Bagi yang kontra, nampaknya ingin memberi
makna tersendiri terhadap syariat dan bahkan nada-nadanya ingin memisahkan antara makna
syariat (sharÊ‘ah) dan obyektifnya (maqÉÎid al-sharÊ‘ah). Tulisan ini akan merespon
pandangan-pandangan yang kontra syariat dengan merujuk penjelasan para ulama klasik
dalam hal ini.
Kontrovrsi penegakan Syari’at Islam dapat dikatakan baru dan belum pernah terjadi
sepanjang sejarah peradaban Islam. Absennya topik seperti ini dalam khazanah literatur
keilmuan Islam bukan karena kurangnya perhatian ummat dan ‘ulama Islam terhadap isu ini.
Tapi lebih cenderung karena mereka – dalam kitab-kitab fiqh, tafsir, atau ‘aqidah – tidak
pernah memperdebatkan apakah melaksanakan hukum-hukum Allah itu wajib atau
sebaliknya. Hal ini merupakan indikasi yang jelas bahwa para ulama dan ummat Islam
sepakat tentang perihal wajibnya melaksanakan syari’at Islam. Kalaupun ada ketidak
sepakatan diantara mereka, hal itu hanya berkisar seputar penafsiran dan praktik-nya.
Misalnya berapakah kadar barang curian yang menjadikan seorang pencuri itu wajib dihukum
potong tangan. Apakah pemotongan itu dari dari pergelangan tangan atau bukan, tangan kiri
atau kanan dan lain sebagainya, sesungguhnya hanya bersifat teknis (furˑ) bukan prinsip
(uÎËl). Adapun tentang yang prinsipal semua sepakat.
Isu yang mengemuka sekitar beberapa dekade terakhir abad dua puluh ini bersamaan
dengan makin menguatnya hegemoni Barat atas dunia Islam, sejatinya mempunyai latar
belakang yang panjang. Sejurus dengan jatuhnya kekhalifahan ‘Uthmaniyah dunia Islam
mulai, satu persatu, jatuh ketangan penjajah, dan hukum perundangan Barat pun mulai
diperkenalkan. Mulai saat itu debat di seputar syari’ah mulai muncul kepermukaan.
Kontroversi soal ini dipicu oleh ‘Ali ‘Abd al-Raziq, salah seorang guru besar al-Azhar,

1
melalui bukunya berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm yang terbit tahun 1926. Buku ini secara
eksplisit menolak adanya hubungan antara agama dan politik (negara) dalam Islam. Baginya
Nabi Muhammad saw bukan seorang politisi atau pemimpin negara, tapi hanya seorang
pemimpin spritual. Sebagai pemimpin spritual, kata Raziq, tugas Nabi hanya sebatas pada
penyampaian risalah ilahiyah saja, bukan mendirikan agama. Dan risalah ini, lanjutnya lagi,
tidak mengatur isu-isu kedunian seperti politik, negara, perang dan seterusnya; ajarannya
hanya mencakup tentang hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Pendapat seperti inilah yang
kemudian dikembangkan oleh orang-orang seperti Faraj Fawdah, Fuad Zakaria, Muhammad
Khalafullah, dan lain-lain. Muhammad Khalafullah dalam satu debat publik dengan kelompok
Islam pernah menyatakan: “Al-Qur’an hanya menyebut nabi Muhammad sebagai rasul yang
tugasnya menyeru manusia ke jalan Allah dan memberi petunjuk kepada manusia, maksudnya
membangun masyarakat bukan memerintah manusia sebagaimana yang dilakukan oleh
seorang raja.”1 Sebagaimana Abdul Raziq yang telah mendapat kritikan keras dari kalangan
ulama, klaim Khalafullah juga mendapat kritikan pedas dari al-marhum al-Ghazali dan
Muhammad Imarah pada forum dialog tersebut. 2 ‘Imarah berharap supaya Khalafullah
kembali kejalan yang benar sebagaimana ‘Abd al-Raziq dengan berani menarik kembali ide
yang dia lontarkan dalam bukunya kontroversialnya tadi. Raziq dalam wawancara dengan
Muhammad Amin di majallah Risalah al-Islam terbitan Januari 1951 mengatakan: “ungkapan
bahwa ‘Islam adalah risalah ruhaniyyah semata’ merupakan sebuah ungkapan yang di
lemparkan syaitan kedalam lidahku.”3. Tapi RAziq harus menanggung beban atas
kesalahannya itu. Ia sendiri harus minggat dari Azhar dan harus rela diturunkan dari
jabatannya sebagai qadi. Inilah mungkin awal dari perdebatan sengit tentang hubungan Islam
dan politik atau antara kelompok yang menginginkan syari’ah Islam dan yang menentangnya.

Era Kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah)


Pro-kontra tentang penerapan Syari’ah Islam terus berlanjut seiring dengan perjalanan
waktu. Meskipun ditentang baik oleh orang Muslim sendiri maupun politisi dan intelektual
Barat, usaha-usaha untuk menegakkan Syari’at Islam di dunia Muslim tetap berjalan. Dan
pada tahun 1970an usaha ini sepertinya mendapatkan momentum. Tingkat kesadaran
keberagamaan masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia Muslim meningkat. Ini terbukti
dengan meningkatnya wanita-wanita Muslimah mengenakan jilbab; begitu dengan jumlah
1
Misr bayn al-Dawlah al-Diniyyah wa al-Madaniyyah (Kairo: Al-Dar al-Misriyyah, 1992), 27.
2
Ibid., 31-34.
3
Ibid., 32.

2
mesjid, pesantren, dan institusi-instusi keagamaan yang lain terus mengalami peningkatan.
Organisasi-organisasi internasional yang bernafaskan Islam pun. Perbankan Islam perlahan-
lahan mulai berkembang dan menjamur. Jumlah professional Muslim yang beralih arah
menjadi Muslim-Muslim yang taat beribadah juga meningkat secara signifikan.
Di belahan dunia Arab perubahan tersebut lebih drastis. Syria, sebuah negara yang
berideologikan sekuler, pada pertengahan 1970an mengambil langkah yang mengagetkan.
Negara yang berada dibawah pemerintahan Hafez al-Asad (m. 2000) merubah Konstitusi
negaranya dengan memasukkan pasal-pasal yang mensyaratkan presiden negara tersebut
beragama Islam. Mesir juga mengambil langkah yang hampir sama. Tahun 1981 Anwar Sadat
(m. 1981) harus rela mengamendemen Konstitusi negaranya dengan menyatakan Syari’ah
Islam sebagai sumber terpenting Hukum Mesir. Di Sudan presiden Numairi juga
mengkempanyekan pengimplementasian Syari’ah Islam terutama yang berkenaan dengan
Hukum Pidana.4
Melihat penomena ini banyak penulis akhirnya menyimpulkan bahwa tahun 1970an
merupakan awal dari kebangkitan Islam.5 Huntington sempat menulis begini (1996: 111),
Beginning from 1970s Islamic symbols, beliefs, practices, institutiosn, policies, and
organizations won increasing commitment and support throughout the world of 1
billion Muslims stretching from Morocco to Indonesia and from Nigeria to
Kazakahstan.”6
Ada banyak faktor dikatakan yang mendorong lahirnya fenomena ini. Philip Khoury
(l983:214) melihat faktor utama popularnya gerakan Islam adalah kegagalan pemerintah Arab
berideologi sekuler yang didukung oleh kekuatan Barat dalam memenuhi aspirasi rakyatnya
terutama dalam bidang ekonomi, yaitu peningkatan kesejahteraan hidup.7 Ini belum lagi
ditambah dengan kekalahan negara Arab Islam pada perang enam hari melawan Israel yang
digambarkan oleh banyak kalangan sebagai kekalahan yang memalukan dan mengaibkan.
Dimata rakyat banyak kegagalan dan kekalahan ini sama saja artinya dengan kegagalan
ideologi penopang pemerintah. Pada saat ini ideologi sekuler mulai ditinggalkan dan Islam
mulai dilirik karena diyakini dapat menawarkan jalan alternatif.
4
Najib Ghadbian, Democratization and the Islamist Challenge in the Arab World (Boulder, Colorado:
Westview, 1997), 67.
5
John L. Esposito, Islamic Threat: Myth or Reality? (New York: Oxford University Press, 1996), 11; Ira M.
Lapidus, Contemporary Islamic Movements in Historical Perspective (Berkeley: University of California, 1983),
6;
6
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remarking of World Order (New York: Simon &
Schuster, 1996), 111.
7
Philip S. Khoury, “ Islamic Revivalism and the Crisis of the Secular State in the Arab World: A Historical
Appraisal,” dalam Ibrahim Ibrahim (penyunting), Arab Resourrces; The Transformation of a Society
(Washinton: D. C. :Center for Contemporary Arab Studies, and London: Croom Helm, 1983), 214.

3
Namun demikian Najib Ghadbian (1997:64) menolak pendapat Critical Theorists
Khury diatas. Alasannya karena Khury telah mereduksi gerakan kebangkitan Islam
kontemporer kepada respon terhadap hancurnya kehidupan sosial dan ekonomi ummah
semata. Baginya pendapat ini seolah-olah menafikan kenyataan sejarah bahwa gerakan
Islamisasi ini adalah sebuah proses yang telah berjalan cukup lama. Bagi Ghadbian pendapat
yang berimplikasi bahwa “If economic problems are solved, the implication is Islamists will
fade away,” adalah tidak benar sama sekali.
Khursid Ahmad sependapat dengan Ghadbian. Kata Khurshid, gerakan kebangkitan
Islam hari ini merupakan bagian proses panjang sejarah tajdid (pembaharuan) dalam
peradaban Islam; ia sudah bermula sejak permulaan sejarah Islam dan berlangusng hingga
sekarang. Jadi ia bukan baru, tandas Khurshid. 8 Ahmad Aziz bahkan menekankan “Islah is
deeply rooted in the basic soil of Islam.”9 Fazlur Rahman juga bersetuju dengan pendapat ini.
Katanya: “...not all reforms in Islam in recent centuries date from the dawn of modernity.”10
Menurut Ibrahim Abu Rabi’ kedua faktor, internal dan eksternal, berperan penting dalam
proses Kebangkitan Islam kontemporer. “The point to be made here is that both the external
factors-the West, capitalism, and social and economic forces- and internal factors - Islamic
tajdid and the like - have produced this phenomenon, and that both sets of factors are modern
themselves.”11 Apapun faktor pendorongnya, fakta hari ini menunjukkan bahwa Islam sedang
kembali memainkan peran pentingnya dalam kehidupan. Dihampir seluruh belahan dunia
Islam tuntutan penerapan Syari’at Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat hari ini terutama sekali ditengah morat-moratnya pranata sosial, budaya, politik,
dan ekonomi ummah.

Argumentasi penolakan Syari’at Islam


Semakin gencar gerakan menutut pelaksaan Syari’at Islam, semakin kuat pula suara-
suara penantangan terhadapnya. Apa yang menyedihkan sebenarnya adalah bahwa penolakan
itu dilakuakan oleh kalangan Muslim sendiri yang bukan dari golongan awam tapi mereka
yang terdidik dan terpelajar. Faraj Fawdah, misalnya, dalam suatu debat secara terus terang
pernah menyatakan: “ringkasnya saya menolak penerapan Syari’at Islam, apakah ia dilakukan

8
Khurshid Ahmad, “The Nature of the Islamic Resurgence,” dalam John L. Esposito (penyunting), Voices of
Resurgent Islam (New York: Oxford University Press, 1983), 220.
9
Ahmad Aziz, “Islah,” dalam E. van Donzel, Bernard Lewis, CH. Pellat at al (penyunting), The Encyclopedia of
Islam (Leiden: E.J. Brill, 1978), 4:141.
10
Fazlur Rahman, “The Impact of Modernity on Islam,” Islamic Studies, Vol. 5, No. 2, 1996, hal. 113.
11
Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Arab World (Albany: State University of
New York Press, 1996), 54.

4
sekaligus atau step by step... karena saya melihat dalam penerapan Syari’at Islam terkandung
(konsep) negara agama (dawlah diniyah)... barang siapa menerima negara agama maka ia
dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syari’ah Islam... dan barangsiapa menolaknya
maka dia meolak penerapan Syari’at Islam.” 12 Gaya penolakan seperti Fawdah ini sangat
umum dikalangan cendekiawan Muslim modern. Argumentasi yang mereka ajukan untuk
menjustifikasi sikap penolakan mereka kebanyakan bernuansa politis dan berkedok ilmiah.
Keduanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan. Yang menolak atas nama politik selalunya
berlindung dibalik prinsip demokrasi, dan yang berkedok ilmiah akan menggunakan prinsip
maslahah atau yang populer dengan prinsip Maqasid syari’ah.
Bagi mereka yang menentang syari’ah Islam, hukum Islam yang terkandung didalam
al-Qur’an dan di elaborasi oleh para faqih dan mufassir sudah outdate alias ketinggalan
zaman; ia sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan karena gagal meciptakan kebaikan dan
kemaslahatan bagi ummat manusia hari ini. Padahal kata mereka kemaslahatan itulah yang
merupakan obyektif prima dari di Syari’atkan hukum itu sendiri. Apabila sesuatu hukum itu
tidak lagi dapat menciptakan kemaslahatan maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan
diganti dengan hukum lain yang dapat merealisasikan obyektif tadi.
Pendapat ini dianut oleh para penganut liberal. Bagi mereka apa yang terpenting bukan
formal legalistik dari ajaran Islam itu, tapi substansi dari ditetapkannya hukum-hukum itu.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Leonard Binder bahwa (1988:4) “for Islamic liberals
the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and
meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust
the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the
words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed
langauge.”13
Yusuf Qaradawi menamakan kelompok liberalis sebagai neo-Mu’attilah (orang yang
mengabaikan nas-nas al-Qur’an). Kelompok ini kata Qaradawi telah menyalah gunakan
prinsip maqÉsid syari’ah dengan menjadikannya sebagai dalih lepas dari ikatan nas al-Qur’an
yang oleh para ‘ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid
dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangka berpikir inilah para kaum liberalis
akhirnya menolak hukum hudud, qisas, jilbab, hukum waris, piligami dan seterusnya.
Nampaknya, kerangka berpikir kaum liberalis ini dibangun atas dua argumen.
Pertama, bahwa al-Qur’an adalah respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu, dan
12
Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990), 14.
13
Leonard Binder, Islamic Liberalism: Critique of Development Ideologies (Chicago: The University of
Chicago Pres, 1988), 4.

5
bahwa hukum-hukum fiqh seperti yang disebutkan diatas adalah produk ijtihad ulama abad
pertengahan; Kedua, bahwa tujuan ditetapkannya hukum Islam itu bukan sekedar untuk
memenuhi formal legalistiknya saja tapi lebih jauh dari pada itu yaitu untuk menciptakan
maslahah kepada ummat manusia. Untuk memahami kedua argumentasi tesebut, sebaiknya
kita elaborasi penjelasan argumentasi mereka lebih lanjut.
Kaum liberalis menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah ditengah
semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu dimana struktur sosial-budayanya
patriarki, sistem ekonominya opresif, politiknya despotik dan juga koruptif. Ditengah sistem
yang sedemikian rupa kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan merajalela, perempuan
dimarginalkan dan dijadikan barang mainan, para kapitalis berkuasa sementara yang akan
terus hidup menderita. Al-Qur’an turun untuk menguraikan semua kesusutan itu. Ia hadir
untuk kembali mengangkat jati diri manusia yang telah terhinakan. Ia ingin membebaskan
manusia dari penindasan dan kesengsaraan dan mencipatkan sebuah masyarakat yang adil (al-
adÉlah), egaliter (musawah), merdeka (al-hurriyah), serta damai dan rukun (as-salamah, al-
maslahah). Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan riba haram sementara
jual beli halal, poligami halal tapi gonta-ganti pasangan haram, tabarruj haram akan tetapi
jilbab wajib bagi wanita, hudud dikenakan kepada pelaku tindak kriminalitas dan rajam bagi
penzina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam perkembangan selanjutnya
dielaborasi secara terperinci oleh Fuqaha dan Mufassirun sehingga melahirkan disiplin ilmu
yang dikenal dengan fiqh, usul fiqh dan tafsir. Inilah yang dimaksudkan Fazlur Rahman
dalam pernyataannya bahwa:
“The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to
the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the
commercial Meccan society of his day.”14
Dengan nada yang sama dilontarkan oleh pemikir Arab liberal Abdullah Ahmad an-
Na’im. Ketika mengomentari hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti
hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya ia mengatakan bahwa: “the public law of Shari’a
was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and
consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern
nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no
longer politically tenable.” 15 Nasr Hamid Abu Zayd meringkas dengan mengatakan bahwa
al-Qur’an adalah muntaj thaqafi (produk budaya). Apa yang tersirat dari pandangan-

14
Fazlur Rahman, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979), 2.
15
Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse University Press, 1990) 59.

6
pandangan ini adalah bahwa hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an penuh dengan
nuansa tatanan sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab abad ketujuh. Oleh sebab
itu maka bukanlah suatu tindakan bijak untuk mengadopsi hukum-hukum yang ditetapkan
dalam al-Qur’an tadi secara literal dan formal legalistik tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan
serta hikmah terdalam dari hukum tersebut.
Argumen kedua mereka, masih berhubungan dengan argumen pertama, dibangun atas
prinsip Maqasid Syari’ah (obyektif Shari’ah). Prinsip ini menyatakan bahwa setiap hukum
mempunyai obyektif /maqasid utama. Adapun obyektif utama syari’at Islam adalah
menciptakan kemaslahatan (kebaikan) bagi ummat manusia. Riba diharamkan untuk menjaga
kepentingan golongan lemah dan miskin dari terus diekspoitasi oleh kelompok kapitaslis.
Hudud disyari’atkan untuk menciptakan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat dari
keberutalan dan kebengisan para kriminal, disamping untuk menciptakan rasa adil ditengah
masyarakat.
Akan tetapi, lanjut mereka, maslahah itu sendiri dapat berubah sesuai dengan
peredaran waktu dan tempat. Apa yang dianggap maslahah hari ini dan ditempat belum tentu
menjadi maslahah pada masa lalu atau akan datang dan ditempat yang lain. Jadi apa yang
dianggap maslahah bagi masyarakat Arab abad ketujuh belum tentu menjadi maslahah bagi
masyarakat hari ini. Misalnya hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina.
Mendukung pandangan liberal ini Nurcholish Majid mengatakan bahwa kedua hukum ini
sangat sesuai untuk dilaksanakan pada saat itu mengingat lingkungan dan tabi’at masyarakat
Arab yang kasar dan ganas ketika itu. Dalam kondisi ini sudah tentu hukuman seperti itulah
sangat plausible, pantas, dan layak untuk dilaksanakan. 16 Pendapat Nurchlosih ini mendapat
pembenaran dari Muhammad ‘Abid al-Jabiri, pemikir Muslim Magribi. Katanya “(hukum)
potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi
padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.”17
Jadi berangkat dari perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat kita hari
ini, baik itu pada dataran sosial budayanya, atau sistem ekonomi dan politiknya, atau juga
lingkungan masyarakatnya, para Muslim liberal menarik beberapa kesimpulan mengenai
syariat. Diantaranya adalah bahwa hukum hudud sudah dianggap tidak relevan; hukum ini
sudah tidak lagi dapat menciptakan kemaslahatan bagi ummat manusia, yang merupakan
obyektif hukum itu sendiri; hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum bunuh bagi

16
Abdullah Saeed, “Ijtihad and Innovation in Neo-Modernist Islamic Thought in Indonesia,” Islam and
Christian - Muslim Relation, vol.8, no. 3, 1997, 286.
17
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Din wa al-Dawlah wa Tatbiq al-Shari’ah (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah
al-‘Arabiyyah, 1996), 171.

7
pembunuh dianggap tidak akan dapat menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Bahkan ada
pula pendapat yang jelas-jelas menggunakan standar Barat bahwa hukuman tersebut
melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Potong tangan, hukum bunuh, rajam bagi penzina
dianggap bringas dan brutal, dan ia tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat hari ini.
Qasim Haj Hamad, pendukung ide anti asal Sudan menjelaskan bahwa makna al-
Maidah ayat 48 (likullin minkum shir’atan wa minhaja) bermakna bahwa Allah telah
menetapkan suatu syari’ah sesuai dengan karakteristik, kejadian, dan adat kebiasaan kamu.
Dengan ayat ini, lanjutnya, Allah sesungguhnya menginginkan kita ummat manusia untuk
memperhatikan kenisbian (kerelatifan) syari’ah yang diturunkannya. Ia sesuai dengan konteks
historis dan masyarakat yang beragama. Berdasarkan argumenas ini dia kemudian
menyimpulkan: “bahwa hukum potong tangan, rajam, dan cambuk hanya berlaku pada zaman
dahulu.” Artinya untuk saat sekarang ini hukum tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Menurutnya hal ini bukan berarti kita telah merubah hukum Tuhan, sebab, katanya
“sesungguhnya yang tidak berubah dalam tasyri’ ini adalah prinsip hukuman hudud atau
balasan itu sendiri. Adapun mekanisme pelaksanaan prinsip itu sendiri diserahkan kepada
peredaran sesuai dengan kondisi, adat kebiasaan, dan nilai-nilai (yang berlaku).”18
Hamad Farhan Nur Farhat, professor dan dekan di fakultas hukum universitas
Zaqaziq, juga melontarkan ide yang sama. Dia mengakui bahwa hukum Islam itu ada yang
berubah dan ada yang absolute. Yang absolute baginya adalah prinsip, ide pokok hukum-
hukum tersebut. Adapun ukuran dan bentuk hukum itu sendiri termasuk kategori
mutaghayyirat (berubah). Berdasarkan argumen ini, seperti Jabiri Nur Farhat juga menolak
hukum potong tangan. Baginya hukum ini tidak relevan dengan norma dan nilai hidup
masyarakat hari ini.19 Bahkan menurut Ahmad Na’im hukum Islam yang kita ketahui dalam
al-Qur’an bertentangan dengan standard hukum International. “current international law,
including human rights standards established thereunder, cannot coexist with corresponding
principles of Shari’a.”20 Dibahagian lain dia juga menuliskan “Shari’a violates some of the
most fundamental international human rights standard.”21
Sesungguhnya ide-ide inilah yang telah di boyong dan diusung oleh kelompok Liberal
di Indonesia. Gerakan ini nampaknya sudah sangat terpengaruh sekali dengan ide-ide diatas
seperti yang dapat dibaca dengan jelas dari artikel tokohnya yang berjudul “Menyegarkan
18
Muhammad Abu al-Qasim Haj Hamad, Al-‘Alamiyyah al-Islamiyyah al-Thaniyyah (British West Indies:
International Studies and Research Bureau, 1996), 496-497.
19
Yusuf al-Qaradawi, Al-Siyasah al-Shar’iyyah fi daw’ nusus al-shari’ah wa maqasidiha (Bayrut: Muassasah al-
Risalah, 2000), 232 dan 234.
20
Abudullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation, 6.
21
Ibid., 9.

8
Kembali Pemahaman Islam” (Kompas, 18/11/2002). Wajar kalau banyak pihak menilai
bahwa artikel itu tidak membawa ide yang baru, apalagi menyegarkan. Ia hanyalah artikulasi
baru atau bahkan “carbon copy” dari kesimpulan-kesimpulan para penulis yang disebut diatas
yang tanpa menyebut argumentasi dan metodologi yang lengkap.
Bahkan sebenarnya apa yang diangkat oleh pemikir Muslim liberal sudah banyak
direspon dan dikritisi oleh banyak ‘ulama dan cendikiawan Muslim kontemporer. Sayang,
mereka tidak mengkaji dan memahami secara obyektif respon para ulaman itu. Selain itu
mereka juga tidak serius dalam merujuk pendapat ulama klasik apalagi memahaminya dalam
konteks kekinian. Untuk membuktikan klaim ini marilah kita tinjau bagaima pandangan
cendekiawan Muslim liberal dibanding pendapat ulama klasik.

Ketetapan Nass dan Obyektif Syari’ah


Secara lexical Syari’ah berarti jalan menuju sumber air, atau air yang menjadi sumber
minuman masyarakat. Secara teknikal syari’ah adalah totalitas ajaran Islam yang diturunkan
Allah kepada Rasulnya Muhammad (saw) tentang ‘aqidah, moralitas, dan aspek praktikal
(mu’amalat) kehidupan sehari-hari. Ibn Athir mendefinsikannya sebagai ketentuan agama
yang diwajibkan Allah keatas hambanya.22 Jadi Syari’ah adalah agama Islam dan Islam adalah
syari’ah. Namun dalam perkembangannya syari’ah selalu diidentikkan dengan fiqh dan fiqh
pula dianggap produk ijtihad ‘ulama, oleh sebab itu ia harus berubah dengan perubahan
tempat dan waktu. Pernyataan ini diatu sisi benar dan disisi lain salah. Ia benar karena fiqh
memang merupakan hasil jerih payah ‘ulama menderivasi hukum-hukum dari al-Qur’an dan
Sunnah. Akan tetapi tidak semua fiqh hasil ijtihad ‘ulama. Seperti hukum solat, puasa, zakat,
dan haji. Meskipun keempat-empat perkara ini dibahas dalam kitab fiqh tapi dia bukan
merupakan ijtihad ‘ulama, tapi ketentuan Allah swt yang tertulis didalam al-Qur’an. Oleh
sebab itu adalah merupakan kekeliruan besar apabila kita mengangap seluruh fiqh produk
ijtihad ‘ulama.
Seluruh ‘ulama Islam sepakat bahwa syari’at Islam diturunkan demi untuk kebaikan
manusia, didunia ini terlebih lagi di akhirat. Imam Ibn Qayyim menuliskan seperti berikut:
“Sesungguhnya dasar dan fondasi syari’at Islam adalah hikmah dan kebaikan manusia di
dunia dan diakhirat. Syari’at Islam itu seluruhnya adil, rahmah, hikmah, dan maslahah
(kebaikan). Oleh sebab itu setiap masalah yang lari dari prinsip keadilan kepada kezaliman,
atau dari rahmah menjadi sebaliknya, atau dari kebaikan menjadi mafsadah (keburukan), atau

22
Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqasid al-‘Ammah li Shari’ah al-Islamiyyah (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-
Fikr al-Islami, 1991), 20.

9
dari hikmah kepada hal yang sia-sia bukan merupakan bagian syari’at, meskipun dimasuki
melalui ta’wil.”23
Dalam dunia pemikiran Islam kajian tentang maqasid syari’ah sama sekali bukan
merupakan topik baru. Ahmad Raysuni menelusuri akar kajian ini se-awal Imam al-Turmidhi
(w. 3 H). Turmidhi telah menggunakan perkataan maqasid sebagai judul bukunya al-Salah
wa Maqasiduha, yang menguraikan tentang rahasia salat. Ide ini kemudian dikembangkan
oleh ‘ulama-ulama berikutnya seperti Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H), Abu Bakar al-
Qaffal al-Syasyhi (w.365), Abu Bakar al-Abhari (w. 375 H), dan Imam al-Baqillani (w. 403
H). Imam Juwaini juga mamainkan peran dalam pengembangan konsep ini. Diantara
ungkapan Imam Juwayni yang terpenting dalam hal ini adalah: “barang siapa yang tidak
memahami obyektif perintah (awamir) dan larangan (nawahi) Allah, maka sesungguhnya dia
tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan sesuatu hukum.”24 Ghazali (w. 505 H), murid
Juwayni, kemudian mensistemasikan konsep ini dengan membaginya kepada tiga kategori:
daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat atau tazyiniyyat.25 Fakhruddin al-Razi (w.606 H)
-sebagaimana yang diungkapkan oleh Raysuni- tidak memberikan kontribusi banyak dalam
pengembangan ide ini. Hal ini, kata Raysuni, tidak mengherankan karena memang kitab al-
Mahsul fi Usul al-Fiqh karya al-Razi ini hanya merupakan ringkasan dari Mu’tamad-nya Abu
Husayn al-Basri, al-Burhan-nya Imam Juwayni, dan Mustasfa-nya Imam Ghazali. Demikian
pula, Razi patut dipuji karena dia telah bersungguh-sungguh mempertahankan rasionalisasi
hukum (ta’lil al-ahkam), ketika konsep ini mulai mengalami proses degradasi. 26 Kata al-Razi
“maslahah hendaklah menjadi bagian dari Syari’ah, karena tujuan utama keseluruhan hukum
yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (kepentingan
manusia).”27
Untuk beberapa lama konsep maqasid mengalami proses stagnansi seiring dengan
mandeknya wacana keilmuan di dunia Islam. Fiqh Islam menjadi kaku dan baku, dan yang
berkembang sebaliknya adalah tradisi taqlid. Ditengah-tengah kemdandekan inilah Imam al-
Syatibi tampil dengan magnu opus-nya al-Muwafaqat dimana beliau menjabarkan dengan
begitu terperinci sekali tentang konsep maqasid sl-syari’ah. Ibn ‘Asyur yang juga memainkan
peran dalam pengembangan teori ini dengan kitabnya Maqasid al-Syari’ah memuji kehebatan

23
Ibn al-Qayyim, ‘Ilam al-Muwaqi’in, 3:14-15 dikutip dari Yusuf al-Qaradawi, al-Siyasah al-Syari’iah, 215-6.
24
Abu al-‘Ma’ali al-Juwayni, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh, disunting oleh Muhammad Jasim al-Najshami (Kuwait:
Wizarah al-Awqaf, t.t), 1:295.
25
Abu Hamid al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Shubh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, disunting.
Hamad al-Kubaysi (Baghdad: Matba’ah al-Irsyad, 1971), 161-172.
26
Ahmad Raysuni, Nazariyyah al-Maqasid, 57.
27
Fakhruddin al-Razi, al-Mahsul fi Usul al-Fiqh (Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1992), 6:165.

10
buku ini dengan kata-katanya: “Sungguh dengan kitab ini Syatibi telah membangun......
peradaban Islam. Dengan buku ini ia dapat menunjukkan jalan dan cara merealisasikan
keabadian dan kesucian agama (islam). Hanya sedikit orang saja sebelumnya yang
mendapatkan jalan ini.”28 Begitu hebatnya kontribusi Syatibi tersebut sehinggakan konsep
maqasid ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum syari’ah Islam hari ini.
Para aktivis Islam, khususnya mereka yang menuntut penerapan syari’ah, sadar betul
perihal pentingnya konsep maqasid ini. Sayyid Qutb misalnya, tokoh yang selalu dituduh
sebagai penggerak fundamentalis Islam kontemporer, menjelaskan bahwa shari’ah adalah
sekumpulan hukum (peraturan) yang tidak pernah berubah; ia bersumber dari al-Qur’an dan
Sunnah. Syari’ah berbeda dengan fiqh, tandasanya. Kalau syari’ah sifatnya thabit (constant),
fiqh memberi ruang gerakn untuk beradaptasi dengan perubahan waktu dan lingkungan, tentu
saja sepanjang perubahan itu masih bisa ditolerir dalam kerangka besar prinsip Islam, yaitu
maqasid syari’ah.29 Muhammad Qutb -juga penganjur penerapan Syari’ah Islam- menegaskan
pernyataan saudara kandungnya diatas. Tulisnya: “pemimpin yang dipercayai mestilah
berbuat sesuai dengan (pinsip) masalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan
objetif akhir Syari’ah (maqasid al-Syari’ah)... pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan
berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia
hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standard hukum dalam membuat
keputusan.”30
Berdasarkan kutipan diatas maka adalah sebuah kekeliruan besar bagi pemikir Muslim
liberal yang secara tidak kritis menuduh kelompok pro Syari’ah sebagai literalis, irrasional,
yang sanggup mengorbankan prinsip maqasid. Merekalah sebenarnya pejuang yang sanggup
mati demi mempertahankan maqasid syari’ah. Ada diantara mereka yang diculik, ditahan,
disiksa, dan dibunuh. Pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin, Almarhum Hasan Hudaybi,
dalam suatu dialog tentang Misra bayn al-dawlah al-diniyyag wa dawlah al-madaniyyah,
dengan nada agak kesal merespon Faraj Fawdah yang menganggap gerakan Islam tidak
mempunyai visi dan program. Ia mengatakan
“sebaiknya kamu berbicara tentang pemerintah yang mendekam jiwa-jiwa kami,
menghalang pergerakan kami serta mencegah kami dari kerja-kerja pengkajian untuk
mendapatkan pentetahuan... bagaimana mungkin kami dapat mempunyai program
kalau melakukan kajian saja kami dilarang... kalaupun kami telah mempunyai program

28
Ahmad Raysuni, Nazariyyah al-Maqasid, 352.
29
lihat Dina Abdulkader, Social Justice in Islam (Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought,
2000), 32.
30
Muhammad Qutb, Hawl Tatbiq al-Shari’ah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1991), 39.

11
kami, kami tidak akan dibolehkan menyebarkannya dan akan dituduh mendirikan
partai lalu dimasukkan ke penjara.”31

Protes serupa juga terungkap dari mulut pemimpin gerakan Islam Tunisia, Rashid al-
Ghannushi. Katanya “kami telah coba lebih dari sekali, ketika keadaan aman, untuk
membentuk komite bahkan pusat riset untuk mempelajari bentuk negara Islam, undang-
undang syari’ah dan maslahah, ekonomi... akan tetapi dengan cepat proyek dan artikel-artikel
riset kami diberangus oleh pihak keamanan untuk dijadikan bukti bahwa kami terlibat dalam
gerakan anti pemerintah.... Riset dan usaha kami selalu dianggap sebagai ancaman kepada
keamanan.”32
Demikianlah nasib yang dialami oleh para pejuang syari’at Islam, tanpa sedikitpun ada
pembelaan. Kaum liberalis dan sekularis hanya berdiam diri ketika nilai-nilai kemanusian dan
prinsip kebebasan dinjak-injak. Mereka berdiam diri ketika kebebeasan wanita muslimah
untuk melaksanakan perintah agama mereka mengenakan jilbab diragut, tapi merasa
tersinggung bila penzina akan dihukum.
Qaradawi menilai bahwa lahirnya gerakan ekstrimisme dikalangan masyarakat Islam
hari ini, terutama dibarisan pemudanya, disebabkan oleh banyak faktor, bisa berupa ekonomi,
budaya piskologi, dan lain-lain. Tetapi ekstrimisme juga bisa didorong oleh sikap penguasa
yang seenaknya melakukan korupsi sementara rakyat banyak hidup sengsara, bersikap kuku
besi memberangus kebebasan rakyat untuk bersuara, dan prinsip keadilan diabaikan begitu
saja.33 Dalam keadaan penguasa yang seperti ini wajarlah jika ada kelompok masyarakat yang
menuntut syari’at untuk diterapkan.Sikap penguasa seperti yang disebutkan diatas sebenarnya
bertentangan dengan prinsip dasar maqasid syari’ah. Kaum liberal yang mengklaim
memperjuangkan maqasid shariah justru menentan penerapan syari’ah, sedangkan penerapan
syari’ah adalah cara untuk mengembalikan dan merealisasikan kembali prinsip maqasid. Jadi
nampaknya mereka ingin mengambil maqasid nya dan meninggalkan syariatnya. Sikap
masyarakat yang miring terhadap kaum liberalis sangat dapat diterima. Masyarakat
menganggap klaim mereka memperjuangkan maqasid hanya sekedar mencari popularitas
publik, kepentingan politik dan vested interest lainnya. Disinilah kita perlu dengan hati-hati
menyikapi solgan maupun argumen-argumen yang mereka ajukan yang meskipun seolah-olah
sangat agamis namun pada hakikatnya nihil daripada nilai.

31
Ibid., 51. Misr bayn al-Dawlah al-Diniyyah wa al-Madaniyyah, 74.
32
Salih Darwish, Hiwarat Rashid al-Ghannushi (London: Khalil Media Service, 1992), 133.
33
Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatarruf (Qatar: Dar al-Ummah, 1981), 60-
61&108-109.

12
Untuk melihat bagaimana ambigiusnya sikap kaum liberalis terhadap konsep maqasid
tadi, ada baiknya kita ambil satu contoh kasus yang selalu menjadi bahan ejekan mereka,
yaitu hukum hudud. Seperti yang diterangkan diatas kaum liberalis menolak hukum hudu
dengan alasan hukum ini sudah outdated, tidak dapat merealisasikan apa yang menjadi
obyektif utama dari turunkan hukum tersebut, yaitu memberikan ketenteraman dan keamanan
kepada harta dan jiwa, masyarakat. Benarkah demikian, kajian terperinci perlu dilakukan.
Para ‘ulama sepakat bahwa dalam al-Qur’an ada yang ayat yang disebut dengan
muhkamat dan ada yang mutsyabihat, ada yang dhan al-dalalah dan ada yang qat’i al-dalalah.
Dari keseluruhan al-Qur’an tersebut, hanya beberapa ayat saja yang masuk kategori
muhkamat dan qat’i al-dalalah, selebihnya dhan al-dalalah, maksudnya arti dan makna ayat
tertentu ambigius dan oleh sebab itu diperlukan ijtihad. Dan iktilaf dalam kasus seperti ini
bukanlah sesuatu yang aib. Adapun ijtihad dalam ayat-ayat yang qat’i al-dilalah, ‘ulama
sepakat tidak membenarkannya. Dalam kitab-kitab usul al-fiqh kita mengenal kaedah-kaedah
seperti la ijtihad fi mawrid al-nass (tidak ada ijtihad pada perkara yang mempunyai nas qat’i
dalam al-qur’an). Artinya dalam masalah-masalah yang hukumnya telah diterangkan Allah
secara jelas dan eksplisit, ijtihad yang berbentuk bayani, yaitu usaha untuk menentukan
hukum, tidak dibenarkan, dan setiap Muslim diwajibkan untuk mematuhi dan
menjalankannya sebagai tanda keimanannya kepada sang Yang Maha Penguasa, yang
membuat Undang-Undang tadi (Law giver). Menurut ‘ulama ayat seperti ini tidak mungkin
bertabrakan dengan kepentingan manusia. Karena Allah-lah yang telah menetapkan hukum
tersebut dan Dia Maha Tahu keadaan hamba-Nya. Dalam kaitan ini Yusuf al-Qaradawi
menuliskan:“nas yang qat’i dari segi transmisi dan maknanya tidak mungkin bertabrakan
dengan maslahah qat’iyah (kemaslahatan yang pasti), karena sesama qat’iyyat tidak mungkin
berlaku kontradiksi.”34
Demikianlah ‘ulama berkeyakinan bahwa setiap ayat yang mengandung makna pasti
tidak akan pernah bertentangan dengan kepentingan manusia, meskipun secara lahirnya
ataupun dalam tanggapan manusia ia mungkin mengakibatkan bahaya kepada manusia. Oleh
sebab itu hukum hudud yang disangkakan tidak memberikan kebaikan manusia hari hanyalah
sebuah khayalan semata. Adapun pendapat Najmuddin al-Tufi yang mengandaikan adanya
pertentangan tersebut- dalam bahasa Raysuni- hanya sekedar nazari iftiradi (teori belaka). Ini
terbukti dengan gagalnya al-Tufi memeberikan contoh konkrit tentang hal itu. 35 Atas dasar ini
pula tidak ada seorang ‘ulama pun di Timur dan Barat yang menolak hukum hudud, qisas,
34
Yusuf al-Qaradawi, al-Siyasah al-Shar’iyyah, 143.
35
Ahmad Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Al-Ijtihad: al-nass, al-waqi’, al-maslahah (Bayrut: Dar al-Fikr
al-Mu’asir dan Damsik: Dar al-Fikr, 2000), 38.

13
waris, jilbab, dan seterusnya, sebab ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum-hukum ini
memang dibuat secara eksplisit dan tegas, sehingga tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.
Dalam konteks inilah Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9) sampai pada
kesimpulan bahwa
‘the application of the hudud is mandatory and no one h as the right to avoid or
circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the divine attributes
mentioned above and a terrible disobedience to God.”36 .............“According to the
Shari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of
the Islamic state.”37 ............“all the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws
are not subject to change or alteration” karena pertama ia dibangun diatas ayat yang
qat’i al-thubut wa al-dilalah.38
Benarkah hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini?
Mari kita teliti lebih dalam. Setiap hukuman mempunyai tujuan ganda, pertama untuk
menciptakan keadilan bagi yang teraniyaya, dan disini diperlukan adanya prinsip retributive,
dan kedua sebagai pelajaran bagi masyarakat banyak, atau selalu disebut dengan detterance.
Apa saja hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan hanya akan
menciptakan kekacauan yang lebih hebat. Sebagai contoh, apabila keluarga yang terbunuh
tidak merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pembunuh maka akan timbul
kekecewaan, dan kekecewaan akan mendorong reaksi yang tidak rasional. Orang tersebut
mungkin akan melakukan balasan pembunuhan, mungkin terhadap sipelaku atau kepada
keluarga terdekat sipembunuh. Apabila pihak yang terbunuh juga tidak merasakan keadilan,
maka dia juga akan melakukan tindakan yang sama sehingga akan terjadilah proses cycling
pembunuhan, dan pada akhirnya akan menciptakan ketakutan ditengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi dengan hukum hudud, perasaan ketidak adilan tadi dapat dihindari, karena pihak
yang dirugikan terpuaskan dengan hukuman yang dijatuhkan. Apakah ada hukuman yang
lebih kejam bagi si orang yang menciptakan huru-hara selain hukuman bunuh itu sendiri. Jadi
dengan hukum hudud prinsip keadilan yang merupakan bagian penting dari obyektif syari’ah
telah terlaksana. Lantas kenapa golongan liberalis menolak hukuman hudud?
Disamping terpenuhinya principle of justice hukuman juga punya fungsi edukatif dan
sekaligus preventif. Hukuman dibuat bertujuan untuk mendidik (deter) publik dan si kriminal
tentang akibat (Consequence) perbuatan jahat mereka. Menurut Sa’id Ramadan al-Buti
menjelaskan bahwa salah satu unsur terpenting dari sesuatu hukuman adalah bengis, kejam,
36
Muhammad al-Sid, Hudud (Petaling Jaya: Research Centre, 1996), 9.
37
Ibid., 9-10.
38
Ibid., 72.

14
dan keras (al-qaswah). Hilangnya unsur ini berarti hilanglah makna sesuatu hukuman. 39
Semakin kejam (severe) sesuatu hukuman maka semakin effektiflah ia memberikan kesan.
Karena kekejaman akan menimbulkan rasa takut dan selanjutnya yang akan menghalang
calon kriminal untuk melakukan aksi kriminalitasnya. Apabila calon kriminal menghentikan
kejahatannya, masyarakat akan aman, nyawa dapat diselamtkan, harta, akal, serta nasal
(keturunan)pun dapat terpelihara. Inilah kemaslahatan yang ingin direalisasikan syari’ah
Islam dan semua hukum yang ada didunia ini. Kalau demikian dimanakah letaknya tidak
relevannya hukum hudud dalam menciptakan kemaslahatan manusia hari ini.
Sebenarnya tingginya tingkat kriminalitas dimasyarakat kita hari ini seperti korupsi,
perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan, disebabkan gagalnya hukum menjalankan
fungsi edukatif and preventif-nya. Tentu saja kegagalan itu disebabkan banyak faktor seperti
tidak adanya law enforcement. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kegagalan
tersebut juga disebabkan oleh hukum itu sendiri yang sama sekali gagal memberikan perasaan
jera dan takut kepada pelaku ataupun calon pelaku lainnya. Sekedar contoh saja. Akhir-akhir
ini tingkat kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan incest semakin meningkat. Hal ini telah
menimbulkan keresahan masyarakat. Beberapa pelaku kejahatan tersebut telah dijatuhi
hukuman, akan tetapi tingkat kejahatan tersebut tidak juga menurun. Artinya dari segi law
enfrocement Malaysia telah penuhi. lantas apa yang menyebabkan kejahatan ini tidak dapat
dibendung. Besar kemungkinan karena hukuman itu sendiri tidak dapat menimbulkan rasa
jera kepada calon kriminal yang lain. Mungkin menyadari kelemahan inilah akhirnya banyak
aktivis wanita di negara ini mencadangkan supaya hukuman bagi pemerkosa dan pelaku
incest ditingkatkan, seperti disebat dikhalayk ramai. Kenapa tidak tidak terapkansaja hukum
Islam, bagi mereka yang melakukan incest adalah hukum bunuh.
Mari kita lihat keadaan tanah air kita hari ini. Di negara kejahatan yang paling banyak
dilakukan dan yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara di republik ini
adalah merebaknya kejahatan korupsi. Hampir setiap instansi pemerintahan terlibat dalam
kegiatan ini. Dan mereka yang melakukan itu kebanyakan adalah pemegang tampuk
kekuasaan. Kenapa kejahatan ini tidak dibendung? Yang pertama karena tidak adanya law
enforcement, dan yang kedu dan tak kalah entingnya adalah hukuman yang dijatuhkan tidak
setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Bagaiman amungkin orang mengambil bermilion-
milion uang negara atau uang rakyat juga hanya dihukum dengan bilangan bulan atau hanya
beberapa tahun saja. Pertama, di manakah letaknya prinsip keadilan disini. Kedua,
mungkinkah dengan hukuman seringan itu akan membuat orang jera dan takut. Sudah tentu
39
Sa’id Ramadhan al-Buti, ‘Ala Tariq al-‘Awdah ila al-Islam (Bayrut: Muassasah al-Risalah, 1992), 103.

15
tidak. Itulah sebabnya akhir-akhir ini banyak kalangan yang menuntut agar hukuman bagi
kejahatan tindak pidana korupsi dinaikkan.
Kesimpulan
Di lihat dari dua perspektif tujuan hukum tadi, jelas sekali hanya hukum hudud dan
rajam yang memiliki fungsi ganda tadi. Meskipun demikian, disini kita perlu tekankan bahwa
hukum hudud bukanlah satu-satunya syari’ah Islam. Syari’ah Islam bukan hanya hudud,
rajam, waris, dan sejenisnya. Syari’ah Islam jauh lebih komprehensif dan sempurna. Syari’ah
Islam termasuk kewajiban untuk menyantuni anak yatim, memberdayakan secara ekonomi
fakir miskin, memilih pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab, bersikap jujur dan
seterusnya. Tuduhan bahwa kelompok pro syari’ah mereduksi ajaran Islam hanya kepada
hudud, qisas, jilbab, dan poligami saja, adalah sama sekali tidak berdasar. Sesungguhnya
penuduh itulah yang mereduksi hukum Islam kepada masalah-masalah tadi. Lihatlah,
kebanyakan para pengecam syariah itu biasanya mengkritik hukum-hukum seputar hudud dan
sebagainya. Bukankah buku Abdullah Ahmad an-Na’im Towards an Islamic Reformation,
didedikasikan untuk mencerca dan mengejek hukum Allah seperti hudud dan sejensinya.
Bukankah contoh-contoh yang selalu diangkat oleh Fazlur Rahman, Mohammad Arkoen,
‘Abid al-Jabiri, Syahrur dan yang seperti mereka berputar sekitar hudud, poligami, hukum
warisan, dan sejenisnya. Dengan menggunakan berbagai pendekatan mereka samapai pada
kesimpulan yang sama, yaitu menggugat hukum-hukum tersebut diatas.
Banyak kalangan di Indonesia kini menggunakan teori maqasid Syatibi sebagai
justifikasi terhadap penolakan mereka terhadap nas-nas qur’an yang qat’i seperti hudud,
jilbab, dll. Penolakan terhadap hukum wajib jilbab menggunakan alasan maqasid atau apa
yang disebutnya sebagai nilai-nilai universal. Apa yang wajib, kata mereka adalah
mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency), dan
kepantasan umum itu mereka anggap bersifat fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan
kebudayaan manusia. Implikasinya adalah apabila membuka awrat sudah menjadi kewajaran
masyarakat, maka tidak salah bagi wanita muslimah untuk membuka awratnya, karena pada
prinsipnya dia telah menjalankan makna universal pemakaian jilbab itu sendiri. Pandangan ini
sangat kontras sekali dengan apa yang diungkapkan Imam Syatibi. Kata Syatibi: “tidak ada
perubahan pada (hukum yang diperintahkan Allah secara jelas), meskipun pandangan para
mukallaf (orang dewasa) tentang hal itu bervariasi. Oleh sebab itu sesuatu yang sudah
dianggap baik tidak mungkin berubah menjadi buruk atau yang buruk sebaliknya sehingga
dikatkan misalnya: bahwa membuka awrat sekarang ini bukan lagi aib atau buruk dan oleh
sebab itu membuka awrat wajar diperbolehkan. Andaikan hal ini diterima, maka telah terjadi

16
penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh
sesudah wafatnya Rasulullah sama sekali tidak sah.”40
Menurut ‘Abdul Majid al-Najjar akar permasalahan disini sebenarnya terletak pada
kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara maqsad (obyektif ) dan hukum
yang menjadi wasilah kepada obyektif . Mereka melihat keduanya terpisah antara satu dengan
yang lain. Padahal sesungguhnya dua aspek itu adalah satu. Antara hukum dan obyektif
hukum adalah satu ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang diperintahkan Allah dengan pasti
tentulah akan mendatangkan kebaikan, dan apa yang dilarang jelas akan menimbulkan
kerusakan.41 Axiom yang mengatakan dimana ada masalahah, disitu pasti ada shari’ah, kata
Qaradawi tidak selalunya benar. Menuturnya lagi axiom itu seharunya berbunyi: haythuma
wujida al-Shar’ fa thamma al-maslahah (dimana ada hukum syara’ disana pasti ada
maslahah) Ini karena terkadang apa yang kita anggap sebagai maslahah sebenarnya bukan
maslahah, bisa jadi ia sudah menjadi maslahah yang dikategorikan mulghah (dibatalakan),
seperti khamar. Pada keadaan seperti kasus ini sudah tentu syara’ tidak hadir. Akan tetapi
ketika syari’at ada, sudah pasti maslahah akan hadir disana, karena tidak mungkin Allah
mensyari’atkan sesuatu tanpa ada maslahahanya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat
menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita
diuji, apakah kita menerima dan melaksanakanny dengan jawaban atau sebaliknya sami’na
wa ‘sayna.

Gombak
14 Januari 2004

40
Abu Ishak al-Syatibi, Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid (Kairo: Dar al-Fikr, t.t),
2:209.
41
‘Abdul Majid al-Najjar, Khilafah al-Insan bayn al-wahy wa al-‘aql (Virginia: The International Institute of
Islamic Thought, 1993), 107.

17

Anda mungkin juga menyukai