i
Sejarah
Perjuangan Khilafah
Sebuah Pengantar
ii
iii
i
ii
Sejar ah Per juangan Khilafah
(Sebuah Peng antar)
Pen yu s u n : S ep tian A W
Pen ata Le tak : N gaji Bu k u I D
Pe ran can g S am p u l : M . Rid wan
Pen er b it IL KI ( Bog or )
Ve r si Di gi tal , Ok tob er 2 02 3
In f or ma si La i n
Ke gi atan IL KI : c a mp sit e. b io /i lki
Narah u b u n g : 0 8 52 60 0 0 1 92 4
Don a s i : 0 8 12 22 2 2 1 45 3
iii
iv
Daftar Isi
v
vi
Pendahuluan
1
peninggalan sejarah dan lambang persatuan
mereka.2 Oleh karenanya meskipun telah
diruntuhkan, khilafah akan tetap menjadi
perhatian umat Islam.
Adanya perhatian tersebut tidaklah
mengherankan, Muhammad Bakhit al-Muthi’i,
yang menjadi pimpinan Al-Azhar saat keruntuhan
terjadi, menegaskan “...klaim runtuhnya khilafah
dalam Islam tidaklah tepat. Satu-satunya yang
hilang hanyalah keberadaan khalifah, dan
menegakkan khilafah masih tetap menjadi
kewajiban di pundak umat.”3
Meskipun institusi Khilafah sudah cukup
lama tidak ada, namun seruan penegakannya
mampu melampaui zaman sampai ke masa saat
ini. Madawi Al-Rasheed dalam laporan simposium
tentang khilafah yang diadakan di London pada
2010 menuliskan bahwa “…konsep dan visi
khilafah tetap hidup melampaui sejarah
2
keberadaanya, dan hari ini telah menghasilkan
perdebatan yang panas lebih dari ajaran Islam
yang lain.”4
Dalam konteks sejarah Indonesia, khilafah
langsung mencuri perhatian sesaat setelah
Mustafa Kemal membubarkannya di Turki.
Khilafah menjadi topik yang sering diangkat oleh
muslim Indonesia. Tjokroaminoto, sosok yang
dikenal Bapak Bangsa, berulang kali
menyebutnya dalam pidato pertemuan
organisasinya. Dia memandang bahwa
keberadaan khilafah amat dibutuhkan bagi umat
Islam. Saking pentingnya urusan ini, dia meyakini
bahwa jika umat Islam tanpa khalifah seperti
badan tanpa kepala.5
Deliar Noer menguraikan bahwa ketika itu
mereka tidak hanya berminat dalam masalah
khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban
3
membahas dan mencari penyelesaiannya.6 Saat
itulah satu periode muncul dimana antusiasme
terhadap khilafah memanas di kepulauan Hindia
Belanda. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan
Belanda, seperti dikutip Martin van Bruinessen,
periode tersebut bahkan dianggap sebagai “sebuah
tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam
di negeri ini”.7
Menelisik periode waktu dimana telah satu
abad ketiadaannya, eksistensi seruan penegakan
khilafah nampak tidaklah terlalu statis. Memang
di periode awal pernah menjadi sorotan. Namun
setelah itu, selama bebilang dekada seruannya
lenyap bak ditelan bumi. Sesaat setelah memanas,
khilafah ditinggalkan, lalu dilupakan hingga
akhirnya lenyap eksistensinya dalam wacana
politik umat Islam. Sejumlah faktor ditenggarai
telah menjadi penyebabnya.
4
Namun bersama berjalannya waktu, kondisi
tersebut perlahan berubah dimana saat ini
khilafah kembali mendapat perhatian yang intens
di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.
Khilafah telah kembali menjadi isu yang
memanas. Penelurusan terhadap titik balik
tersebut mengantarkan pada fakta bahwa
terdapat kontribusi besar dari Syaikh Taqiyuddin
An Nabhani dan partainya, Hizbut Tahrir, dalam
menyegarkan kembali (tajdid) seruan khilafah
sehingga dapat hadir dalam tantangan zaman
yang mutakhir.
Buku ini akan menelaah sejarah usaha
penegakan Khilafah sejak masa keruntuhan
Utsmani tahun 1924 sampai masa kontemporer.
Penyusunan buku ini merujuk kepada beberapa
referensi yang mengeksplorasi tema yang dibahas,
diantaranya The Inevitable Caliphate? (2013),
Longing For The Lost Caliphate (2017), dan Hizb
ut-Tahrir: The Untold History (2016).
Penulis berharap dengan terbitnya buku ini,
dapat menambah kepedulian masyarakat
terhadap persoalan literasi di tengah gempuran
5
banyaknya bacaan yang penuh dengan asumsi dan
opini serampangan. Buku sederhana ini hanya
pengantar dengan pembahasan ringkas. Adapun
pembahasan detil mengenai sejarah perjuangan
khilafah sudah tersedia dalam kelas-kelas ILKI
dan buku yang ditebitkan ILKI secara cetak.
6
Perhatian Ulama Pada
Khilafah
7
konferensi khilafah. Pada 19 Maret 1924,
sekelompok Azharī lain meminta Hayʿat Kibār al-
ʾUlamāʿ dan para pemimpin Mesir lainnya untuk
membahas masalah khilafah dan membentuk
komite khilafah yang terdiri dari empat belas
orang untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Menanggapi berbagai seruan ini, al-Hayʿah
al-ʾIlmiyyah al-Dīniyyah al-Islāmiyyah al-Kubrā
bi'l-Diyār al-Miṣriyyah atau "Badan Islam
Tertinggi Mesir", yang mecakup Syekh al-Azhar,
grand muftī, ketua Mahkamah Agung Syari'ah,
Syekh al-Mashāyikh dari tarekat Sufi, dan
direktur lembaga keagamaan al-Azhar, dan yang
lainnya, mengadakan pertemuan bersejarah dan
dihadiri banyak orang pada tanggal 25 Maret
1924, di gedung administrasi lembaga keagamaan
al-Azhar.
Proposisi bahwa mereka akan mengadakan
konferensi untuk menyelesaikan dilema
kehilangan khilafah ini memicu kesibukan di
kalangan Muslim di seluruh dunia. Komite Kairo
telah mengirimkan salinan keputusan yang
dihasilkan pertemuan tersebut untuk
8
didistribusikan kepada umat Islam di negeri lain.
Salinan seringkali dikirim dalam lebih dari satu
bahasa yang sesuai dengan tujuan masing-masing
negeri.8 Begitu luasnya penyebaran, sampai-
sampai salinan berbahasa melayu muncul dalam
surat kabar Bandera Islam yang terbit di
Yogyakarta.9
Di Indonesia, koalisi Sarekat Islam,
Muhammadiyah, dan Al-Irsyad mengadakan
pertemuan khusus di Surabaya dengan para tokoh
pergerakan dan ulama pada 4 dan 5 Oktober 1924.
Pertemuan digagas untuk membahas apakah
perlu mengirim delegasi ke konferensi di Kairo
atau tidak. Pertemuan menggugah itu sukses
membangun nuansa sentimentil dengan
Tjokroaminoto yang memberikan pidato emosional
tentang kebutuhan semua Muslim akan seorang
khalifah sebagai pemimpin mereka. Pemimpin
Muhamadiyah Haji Fakhruddin lebih lanjut
9
mengusulkan bahwa daripada mengambil
keputusan instan, komite (panitia) urusan
khilafah harus dibentuk untuk
mempertimbangkan dengan hati-hati dan
membuka jalan untuk mengirim delegasi ke Kairo.
Sebuah komite kemudian dibentuk sebagai hasil
dari saran-saran dalam pertemuan yakni Central
Comité Chilafat.
Muslim di Indonesia tidak sekedar
mengikuti tanpa inisiatif, bahkan mereka telah
mampu merumuskan khilafah yang ‘mudah’
diimplementasikan menurut penafsiran mereka.
Mereka menyarankan agar didirikan Majlis
Khilāfah, dan menekankan perlunya tanggung
jawab seluruh umat Islam agar Khilafah tidak
menjadi ‘milik’ keluarga (bani) tertentu saja
seperti di masa sebelumnya. Mereka juga
memprioritaskan agar Mekkah kelak menjadi ibu
kota khilafah.10
Adapun peran para ulama Al-Azhar tidak
hanya sebatas menginisiasi konferensi, mereka
10
juga banyak melakukan pembelaan ketika
khilafah mulai dipermasalahkan. Pada tahun
1925, guncangan pemikiran hebat terjadi di Mesir.
Penyebabnya adalah munculnya buku al-Islām
wa-Uṣūl al-Ḥukm. Buku yang ditulis Ali Abdur
Raziq ini menegaskan bahwa Islam tidak
mengatur masalah khilafah, pemerintahan dan
negara. Pandangan ini sejalan dengan doktrin Injil
dalam Matheus: 22 yang menyatakan, ”Berikan
kepada Kaisar apa yang menjadi haknya dan
berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-nya.”
Mereka berada diposisi yang tegas
menentang kemunculan buku tersebut. Raziq
kemudian disidang oleh Dewan Ulama Al-Azhar
setelah bukunya dikaji oleh dua puluh empat
ulama. Pada 12 November 1925, sebuah putusan
dikeluarkan dengan suara bulat untuk mengecam
dan mengeluarkan Raziq dari jajaran ulama.
Berbagai klaimnya dalam buku tersebut dianggap
sesat.11 Beberapa diantara mereka menerbitkan
buku bantahan. Diantaranya apa yang dilakukan
11
oleh Muhammad al-Khidr Hussein yang menulis
buku Naqḍ Kitāb al-Islām wa-Uṣūl al-Ḥukm.
Ulama asal Tunisia yang juga merupakan mentor
Taqiyuddin An-Nabhani saat di Al-Azhar ini
menjadi garda terdepan membela Islam secara
terbuka dalam menghadapi gangguan gerakan
sekuler.12
Terlepas dari munculnya dukungan para
ulama, pupusnya harapan pada konferensi
khilafah tidak dapat dielakkan. Tidak hanya
ditunda selama satu tahun, konferensi Kairo juga
disalahartikan sebagai upaya untuk menobatkan
Raja Fu'ad sebagai khalifah. Konferensi lain di
Mekah yang diadakan Sharif Hussain (1924), dan
Ibnu Saud (1926) juga tidak efektif menyelesaikan
masalah khilafah. Tidak ada keputusan apa pun
yang diambil baik dalam konferensi, maupun
dalam kegiatan apa pun yang dilaksanakan
setelahnya. Memasuki tahun 1931, sebuah
konferensi Islam diadakan di Yerusalem dimana
12
khilafah bahkan tidak lagi memiliki daya tarik
untuk dibahas.13
Kegetiran akibat gagalnya menyelesaikan
persoalan ini terlihat dari pernyatan sejumlah
ulama yang hadir dalam Kongres Kairo yang
tersandera oleh politik domestik Mesir. Syekh
Yusuf al-Dijwi, ulama Al-Azhar, menyatakan
bahwa, “satu hal yang dapat dikatakan: kongres
ini semakin memperlihatkan kehancuran total
khilafah kepada seluruh dunia.”14 Tak ingin spirit
umat Islam hilang di tengah gagalnya mereka
mengusahakan kembalinya khilafah, Syekh
Muḥammad al-Aḥmadī al-Ẓawāhirī, mengoreksi
dengan keras ketika munculnya kesimpulan
kongres tentang kemustahilan mendirikan
khilafah. Menurutnya kesimpulan semacam itu
akan mendorong umat Islam ke dalam depresi dan
menjauhkan mereka dari semua harapan. Ia
13
menambahkan bahwa untuk mencapai khilafah di
zaman mereka sesungguhnya sudah mungkin,
hanya saja cara untuk mencapainya belum
ditemukan, sehingga perlunya umat Islam kerja
siang dan malam untuk mencapainya.15
Penyataannya menyiratkan bentuk
kebijaksanaan yang luar biasa yang lahir untuk
merawat optimisme umat. Kehilangan tersebut
nampaknya baru bisa terjawab 30 tahun kemudian
saat Taqiyuddin an-Nabhani berhasil menemukan
tentang cara untuk mencapai Khilafah.
14
Era Baru Perjuangan
Khilafah
15
Kehilangan ini mengakibatkanya jauhnya realitas
khilafah dalam kehidupan mereka.
Khilafah dianggap sebatas simbol masa lalu,
sebuah gambaran politik Islam yang tidak lagi
berdaya di era modern dan mudah dimanipulasi
oleh pihak asing. Sebaliknya, Nasionalisme,
negara bangsa, dan sekularisme berdiri tegak
sebagai simbol kemerdekaan dan modernitas.
Akibat itu semua, umat Islam justru akhirnya
melirik alternatif politik lain. Alih-alih kembali
kepada khilafah justru wacana dominan tahun
1930-an hingga setelahnya menjadikan demokrasi
dan nasionalisme sebagai arah sikap politik
mereka.
Tidak hanya ditinggalkan, kemudian
khilafah juga dipahami dengan menyimpang dari
makna yang seharusnya. Dr. ʾAbd al-Razzāq al-
Sanhūrī (1895–1971) menjelaskan rincian khilafah
yang semakin jauh dari hakikatnya. Rincian
tersebut dijelaskan dalam tesis Ph.D keduanya di
Universitas Lyon & diterbitkan pada 1926 dengan
judul, Le Califat: son évolution vers une société des
16
Nations Orientale (Khilafah: evolusinya menuju
Liga Bangsa-Bangsa Timur).
Buku tersebut mempertegas gambaran
tentang dewan perwakilan internasional yang
mengambil posisi dan tugas Khilafah Islam. Al-
Sanhūrī dianggap sebagai cikal intelektual dari
organisasi kerjasama umat Islam yang didirikan
pada 1969, Organisasi Konferensi Islam.
Sekretaris Jenderal OKI, Ekmeleddin Ihsanog,
pernah menegaskan bahwa OKI adalah
refresentasi persatuan dan solidaritas yang sama
seperti di masa lalu di bawah khilafah. Dengan
demikian, OKI pada dasarnya sudah menjalankan
fungsi khilafah. Namun klaim tersebut bannyak
dipermasalahkan apakah layak OKI dianggap
sebagai model internasional dari khilafah di era
modern.17
Pada titik ini, umat sejatinya membutuhkan
tajdid ulama yang dapat mengembalikan
gambaran khilafah sebagaimana yang ditunjukan
17
oleh Syara dan kompatibel dengan kehidupan
kontemporer.18
Kata tajdid terdapat dalam hadis Nabi
s.a.w., “Sungguh Allah mengutus untuk umat ini,
pada setiap akhir seratus tahun, orang yang
memperbarui agama mereka.” (HR Abu Dawud).
Secara etimologi, tajdid berasal dari kata jaddada
yang artinya memperbarui. Jadi, makna tajdid
berkisar pada menghidupkan (al-ihya),
membangkitkan (al-ba’ats) dan mengembalikan
(al-i’adah). Definisi tajdid seperti dijelaskan Abu
Sahal al-Su’luqi yakni mengembalikan agama ke
keadaan semula sebagaimana pada masa salaf
yang pertama. Istilah yang tepat berarti “tajdid al-
fikr al-islami”, sebab yang diperbarui adalah
pemahaman, pemikiran, metode pengajaran &
pengamalan ajaran agama.
Umat sejatinya membutuhkan tajdid dalam
Islam agar mereka dapat menghidupkan Islam
secara menyeluruh (kaffah) yang tegak di atas
sumber-sumber hukum Islam sebagaimana
18
pemahaman ulama salaf ash-shalih dari kalangan
Sahabat, Tabi’in & orang yang mengikuti jejak
langkah mereka. Adapun ijtihad merupakan
sarana melakukan tajdid, yaitu pemecahan baru
yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad
saw., namun tetap berpijak pada hukum Islam.
Di tengah harapan yang sempat pupus, sinar
mentari datang di hampir tiga dekade kemudian,
ketika Syekh Taqiyuddin An-Nabhani bersama
gerakan yang dia dirikan, Hizbut Tahrir,
menyegarkan kembali makna khilafah dan
mengingatkan kembali pada umat akan kewajiban
mereka untuk menegakannya. Melejitnya daya
tarik khilafah bagi muslim kontemporer seperti
saat ini tentu tidak bisa terlepas dari keberadaan
gerakan Hizbut Tahrir yang sudah beroperasi
hampir di seluruh belahan penjuru dunia.
Hizbut Tahrir telah secara konsisten
berjuang untuk penegakan khilafah. Emmanuel
Karagiannis, seorang pakar politik Timur Tengah,
menyatakan bahwa mereka adalah satu-satunya
partai yang secara sistematis dan persisten
19
menyerukan pendirian khilafah yang kemudian
menjadi ciri khas yang melekat pada gerakannya.
Kilasan sejarah tentang seruan khilafah ini
memberikan suatu perspektif bahwa perlunya ada
cara yang khas dalam mengupayakan kembali
tegaknya khilafah. Meskipun khilafah secara
alami akan ada dalam perhatian umat Islam,
begitupun banyak kitab di masa lalu telah
menjelaskan posisi khilafah sebagai ajaran Islam,
namun hal tersebut diartikulasikan pada zaman
modern yang telah didominasi oleh arus
peradaban Barat. Oleh karenanya keberadan
ulama yang mujadid sejatinya merupakan
anugerah Allah bagi umat Islam.
20
Hizbut Tahrir dan Model
Perjuangan yang Persisten 19
21
mengartikulasikan tuntutan dan politik mereka.20
Dengan latar belakang inilah, Hizb muncul
sebagai anomali. Walaupun dianggap sebagai
ancaman keamanan sejak awal pembentukannya,
Hizb konsisten berjuang tanpa kekerasan dan
menghindari bentrokan fisik demi mendukung
dakwah. Ini merupakan bukti ketaatan Hizb
terhadap ideologi dan ijtihad mereka.
Bersamaan dengan itu, Hizb secara konsisten
berjuang untuk penegakan Khilafah. Emmanuel
Karagiannis menyatakan bahwa mereka adalah
satu-satunya partai yang secara sistematis dan
persisten menyerukan pendirian Khilafah yang
kemudian menjadi ciri khas yang melekat pada
gerakan ini.21 Betapapun pihak lain menganggap
22
seruan penegakan Khilafah sebagai alternatif
yang gagal, Hizb gigih memperjuangkannya.
Hingga hasilnya saat ini, bersamaan dengan
melemahnya legitimasi rezim penguasa, Khilafah
memungkinkan untuk dibayangkan kembali.
Sejumlah pengamat luar mengakui
karakteristik lain yang menonjol dari Hizb adalah
kegigihan untuk taat pada ide dan proses
pembinaan, yang sebagian besar tidak berubah
sejak awal. Perubahan dilakukan hanya pada
detail, bukan pada gagasan dan keyakinan utama
partai. Strateginya pun konsisten meskipun
situasi dan kondisi politik berubah-ubah.22
Padahal Hizb beraktivitas di lusinan negara dalam
berbagai kondisi, namun pesan dan metodologinya
tetap konsisten. Hizb tetap memegang fondasi
intelektual dan ideologinya yang sebagian besar
tidak berubah. Para anggotanya memahami,
mengadopsi dan mempromosikan keyakinan dan
23
ide yang sama baik di Jakarta, Tashkent,
Islamabad, Kairo ataupun Tunis. Hal ini
merupakan konsistensi ideologis yang tidak
ditemukan dalam gerakan lain.23
Didirikan sejak awak dekade 1950-an, Hizb
telah melintasi banyak persitiwa politik baik
global maupun kawasan. Berbagai perang, kudeta,
kontra-kudeta, dan revolusi, dari Perang Dingin
hingga perang melawan terorisme, Hizb tetap
mempertahankan pendiriannya, terlepas dari
berbagai tekanan dan peluang yang terbentang di
depannya andaikan Hizb ingin mengubah
posisinya. Seperti dicatat oleh Mayer, ada dimensi
tanpa kompromi dalam ideologinya.
24
its message. However, it is also true that there is an
uncompromising dimension in its ideology.24
25
Yang diinginkan partai adalah tegaknya otoritas
Islam melalui cara-cara yang mendukung Islam
dan partai, dan bukan sekadar merebut
kekuasaan dengan segala cara. Jadi Hizb tidak
ingin mengambil alih kekuasaan seperti caranya
Abdul Karim Qasim, Abdul Salam Arif dan Partai
Ba'ath di Irak, sama seperti Hizb tidak ingin
mengambilnya dengan cara Husni al-Za' im, al-
Hanawi, asy-Syisyakli dan Ba'ath di Suriah, atau
cara revolusi seperti yang dilakukan oleh
nasionalis Suriah, dua kali di Lebanon, dan Ba'ath
dua kali di Irak.
Melainkan, partai ingin mendapat kekuasaan
dengan cara tertentu yaitu: adanya dukungan
terhadap Islam, dan adanya dukungan terhadap
partai. Hizb benar-benar menolak mengambil
kekuasaan bahkan jika itu secara praktis
diserahkan kecuali melalui dukungan tersebut.
Partai tidak akan pernah menerimanya, bahkan
jika tetap [tanpa keberhasilan] selama puluhan
tahun. 26
26
Daftar Pustaka
27
Hasan, Mona. Longing For The Lost Caliphate: A
Transregional History. New Jersey:
Princeton University Press, 2017.
Karagiannis, Emmanuel. Political Islam in Central
Asia: The Challenge of Hizb Ut-Tahrir.
London: Routledge, 2009.
Karagiannis, Emmanuel. “Hizb ut-Tahrir al-
Islami: Evaluating the Threat Posed by a
Radical Islamic Group That Remains
Nonviolent”, Terrorism and Political
Violence, 2006.
Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of
the Muslim Congresses. New York:
Columbia University Press, 1986.
Mayer, Jean-François. “Hizb Ut-Tahrir—the Next
Al-Qaida, Really?” dalam PSIO Occasional
Paper, 2004.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia
1901-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
Pankhurst, Reza. The Inevitable Caliphate?: A
History Of The Struggle For Global Islamic
Union, 1924 To The Present. New York:
Oxford University Press, 2013.
Pankhurst, Reza. Hizb ut-Tahrir: The Untold
History of the Liberation Party. London:
Hurst & Company, 2016.
28
29