Anda di halaman 1dari 29

Alasan-Alasan Pokok Menolak Khilafah di

Indonesia
Published on January 25, 2016 in Celoteh by Edi AH Iyubenu
khilafaharts.net

Ide khilafah menyala kian terang kembali di Indonesia seiring lahirnya reformasi 1998. Jika
reformasi menandai berlayarnya kapal demokrasi Pancasila Indonesia yang penuh keterbukaan
itu, aktivis khilafah dengan jitu memanfaatkan pintu kapal yang terbuka bagi siapa pun itu,
menumpanginya, bukan untuk bersama-sama mengarungi samudra demokrasi, melainkan
khilafah. Khilafah Islamiyah. Pemerintahan Islam. Soal khilafah jelas-jelas head to head dengan
demokrasi, siapa yang bisa membantahnya.

Baiklah, secara historis, gagasan khilafah ini aslinya telah sangat usang dan tuntas di era awal
pembentukan NKRI. Perdebatan M. Natsir yang mewakili kubu religius dengan Soekarno yang
mewakili kubu nasionalis telah mengerucut purna. Hasilnya adalah kubu Islam menerima
Pancasila sebagai telah sesuai dengan prinsip amar makruf nahi munkar dan hiratsah al-din wa
siyasah al-dunya. Indonesia diterima sebagai negeri islami.

Ya, memang, akan selalu ada riak di telaga setenang apa pun. Riak itu bernama khilafah.

Ada satu peristiwa sejarah di awal pembentukan NKRI yang selalu diungkit oleh para pejuang
teokrasi, yakni penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta: dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tentu, dengan nada penuh penyesalan. Impian pun
tersulur ke langit Indonesia, kalau saja 7 kata itu tidak dihapus, pastilah Indonesia akan menjadi
bangsa yang sesuai dengan syariat Islam. Menjadi negara Islam. Tanpa ampun, tudingan dosa
digebukkan kepada lima anggota PPKI yang dianggap paling bertanggung jawab.

Kita tahu, penghapusan 7 kata yang amat dirindukan itu bermula pada tanggal 17 Agustus 1945
petang, kala beberapa elemen Indonesia Timur mengajukan keberatan kepada para founding
fathers atas 7 kata di sila pertama Piagam Jakarta itu. Esoknya, Moh. Hatta, K.H. Wachid
Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimejo, dan Teuku M. Hasan membahas hal
tersebut dan bersepakat mengubah sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Siapakah
yang tega meragukan kapasitas ilmu dan kecintaan mereka kepada Islam dan bangsa Indonesia?
Spirit mereka cuma satu: merangkul seluruh elemen bangsa dalam NKRI. Pretensi halal/haram,
dosa/pahala, atau religius/sekular, diletakkan di bawah spirit besar itu.

Apakah sejarah penghapusan 7 kata itu layak untuk selalu disebut tragedi sejarah bagi umat
Islam Indonesia sehingga perlu disesalkan sampai kiamat?

Anda pasti tahu Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian antara Nabi Muhammad dan kaum Quraisy
Mekkah itu terjadi di bulan Maret 628 M. Dalam negosisasi itu, Suhail bin Amr (wakil Quraisy)
meminta dihapuskan 7 kata pula. Ya, 7 kata, persis penghapusan 7 kata Piagam Jakarta. Nabi
memenuhi keinginan Suhail dan menghapuskan 7 kata dari perjanjian itu, yakni bi, ismi, Allah,
ar-rahman, ar-rahim, rasul, dan Allah.

Usai gentleman agreement yang ditulis Ali bin Abi Thalib itu, yang sedari awal ditentang tegas
oleh Umar bin Khattab, Rasulullah menjelaskan kepada para sahabat bahwa sikap komprominya
dimaksudkan untuk meraih tujuan yang lebih besar: (1) Diakuinya keberadaan kaum muslimin
Madinah oleh kaum Quraisy Makkah, dan (2) Menjaga umat Islam yang hendak berhaji dari
gangguan kaum Quraisy.

Mari garis bawahi satu pesan moralnya di sini: mencapai tujuan yang lebih agung dan luhur
berwajah perdamaian, persatuan, dan persaudaraan jauh lebih diutamakan oleh Rasulullah Saw.

Hari ini, kita bisa melihat getolnya kawan-kawan HTI, Tarbiyah, hingga PKS yang dengan
perspektif dan strategi berbeda, kultural dan struktural, bergerak efektif ke arah khilafah. PKS
memang menerima demokrasi Pancasila, tetapi jelas itu bukan sikap ideologis, melainkan politis,
sebuah strategi perjuangan ideologis jangka panjang. Persis penumpang kapal demokrasi
Pancasila tadi.

Jagat virtual, utamanya sosial media, menjadi wadah promosi paling empuk bagi gerakan
khilafah ini: berkampanye demi mengeduk simpatisan, dengan cara getol memanggungkan
narasi-narasi tekstual-dogmatis hingga mementaskan romantika-romantika sejarah kekhalifahan
di masa lalu. Nama khalifah Umar bin Abdul Aziz, Abdurrahman III, dan Al-Fatih, selalu
dijadikan ikon romantik terkudusnya. Tentu, sembari mengabaikan sosok Yazid bin Muawiyah
bin Abu Sufyan dan Al-Qadir Billah. Pula sejarah pembantaian para pangeran Umayyah di era
akhir kekuasaan khalifah Hisyam bin Abdul Malik oleh penguasa baru, kekhalifahan Abbasiyah,
yang memaksa salah satu pangeran Umayyah yang selamat, Abdurrahman, melarikan diri dengan
berjalan kaki dan menumpang kapal hingga ke Afrika Utara.

Namanya kampanye, kita mafhumlah, yang baik-baik yang memang ada dalam sejarah
kekhalifahan diberi panggung seluas-luasnya dan yang buruk-buruk yang memang ada dalam
sejarah kekhalifahan ditimbun sedalam-dalamnya. Baitul Hikmah karya khalifah Harun Ar-
Rasyid di Baghdad dan Madinah az-Zahra karya khalifah Abdurrahman III di Kordoba
dihikayatkan sembari tragedi Karballa dan pertikaian mengerikan dua putra mahkota Harun Ar-
Rasyid (Al-Amin dan Al-Mamun yang disokong Mutashim) dihanyutkan sejauh-jauhnya.

Sekali lagi, mafhumilah.

Lanjut. Secara tekstual, sudah jamak diketahui dan diteliti para akademisi muslim, dan saya
pernah terlibat intensif dalam riset demikian selama 3 tahun, bahwa di Alquran tidak ada satu
pun ayat yang secara muhkamat (terang, tekstual, mutlak maknanya) memerintahkan umat Islam
mendirikan kekhalifahan.

Bahwa di Alquran memang ada ayat tentang perintah mengangkat imam (pemimpin), itu tabik
benar. Namun, pertama, bila lantas definisi imam disekatkan hanya sebagai khalifah, ini jelas
hanya sebuah tafsir yang problematis, tendensius. Para ulama terdahulu, sebutlah Ibu Khaldun,
An, Nawawi, Imam Al-Juwayni, hingga Imam Ghazali, tidak menyatakan imam dimaksud
sebagai khalifah seperti yang Anda definisikan kini.

Imam sama sekali bukan hanya untuk makna konkret khilafah, hanya khalifah. Imam hanya
adalah pemimpin dan kepemimpinan, yang di depan, fil amam. Demikian saja episteme asalnya.
Menjadi problematis benar saat kini tafsir imam dicokokkan hanya pada kata khilafah seperti
kekhalifahan Umayyah atau Abbasiyah.

Saya perjelas sebuah contoh di sini. Imam Al-Juwayni dalam kitab Ghiyats al-Umam, misal,
ketika mengatakan telah menjadi ijma ulama untuk mengangkat khalifah yang mengatur
kehidupan manusia., kata khalifah di situ sama sekali tidak relevan dan otoritatif untuk
dicangkokkan sebagai hanya berformat kekhalifahan macam khalifah Muawiyah bin Abu
Sufyan. Konteks kata khalifah Al-Juwayni itu hanyalah pemimpin atau kepemimpinan. Dan
khalifah adalah salah satu belaka dari keragaman format kepemimpinan yang dikenal dan bisa
kita ambil, seperti presiden, raja, perdana menteri, dan sebagainya.

Kedua, karenanya, perintah mengangkat imam itu sama sekali tidak memadai untuk direngkuh
dalam penyimpulan kewajiban menegakkan kekhalifahan Islam. Perintah ini sama sekali tidak
bicara apa-apa tentang sistem pemerintahan. Dan Alquran memang tak menyediakan sama
sekali formulasi tata pemerintahan Islam, sehingga aktualisasinya diberikan kepada manusia
secara bebas. Alquran hanya menyediakan pesan-pesan moral-etiknya, yakni menegakkan
adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan taawun (tolong-
menolong). Sudah, itu saja.

Oleh karenanya, berdasar fakta Alquran tersebut, menjadikan ayat (misal) Siapa yang tidak
menghukum dengan hukum Allah dan Umpama penduduk negeri beriman dan bertakwa, maka
Kami akan bukakan kepada mereka pintu berkah dari langit dan bumi (QS. 7: 96), dua ayat
yang gemar sekali disitir oleh aktivis khilafah, sebagai landasan kewajiban menegakkan khilafah
sangat rentan ikhtilaf. Penyebabnya tak lain karena dua ayat tersebut bersifat dzanniyah (samar,
multi-tafsir), bukan muhkamat. Segala ayat yang tidak muhkamat, kata ijma ulama tafsir,
mensahihkan multi tafsir. Dari tafsir yang relevan-otoritatif hingga tafsir yang sangat dipaksakan
karena politis, macam pandangan para pejuang khilafah itu. Demikian pula dalam teks hadits
Nabi dan Piagam Madinah.

Dalam literatur fiqh siyasah (politik), konsep khilafah dimulai sejak terbitnya kitab Al-Ahkam al-
Sulthaniyyah karangan Al-Mawardi, yang hidup di era Abbasiyah. Al-Mawardi menyatakan
bahwa khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi; sistem politik
yang dirancang oleh Tuhan demi menjaga fondasi agama (qawaid al-millah) dan kemaslahatan
umat (mashalih al-ummah).

Tetapi harap dicatat segera bahwa konteks kelahiran kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah itu, yang
diposisikan sebagai kitab utama oleh para pejuang khilafah, tak lepas dari posisi Al-Mawardi
sebagai ulama penasihat Khalifah Al-Qadir Billah. Al-Mawardi adalah ulama istana. Logis bila
karyanya mempersembahkan legitimasi afektif kepada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah untuk
mengail ketaatan rakyat kepada sang sultan. Sebuah kitab indoktrinasi tentunya.
Beberapa tahun berselang, lahir kritik kepada kitab Al-Mawardi dari Imam al-Juwayni, guru
Imam Ghazali, yang bergelar Imam Haramain, dalam kitabnya, Ghiyats al-Umam. Al-Juwayni
menekankan bahwa urusan politik/kepemimpinan Islam hanya berlandas pada perkara prinsip
kifayah (kapasitas), sehingga siapa pun pemimpinnya, apa pun formulasinya, asalkan mampu
memelihara agama dan mengatur dunia (hiratsah al-din wa siyasah al-dunya), maka ia sudah
islami. Ini sekaligus berarti bahwa apa pun sistem politik dan pemerintahan yang diambil sebuah
negara, sepanjang berasas pada prinsip-prinsip moral-etik yang diajarkan Alquran tadi, ia sudah
sesuai dengan spirit Alquran. Termasuk di Indonesia dengan demokrasi Pancasila-nya.

Perkara di Indonesia, misal, prinsip adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura


(musyawarah), dan taawun (tolong-menolong) belum sepenuhnya tegak perkasa, hal itu tidak
sahih diklaim serentak dan general sebagai bukti buruknya sistem non-khilafah, sebutlah
demokrasi Pancasila. Kecompang-campingan itu jelas sepenuhnya problem manusia yang
melaksanakan sistem politik tersebut. Argumen ini serupa benar dengan argumentasi para
pejuang khilafah bahwa noda-noda hitam sejarah kekhalifahan yang ada tidaklah sahih dijadikan
alasan menolak sistem khilafah. Itu problem manusia yang menjalankannya.

Ternyata, jika di sini saja sudut pandangnya, pembelaan para pejuang khilafah juga relevan
dijadikan argumen oleh para pembela demokrasi Pancasila.

Pembedanya kemudian bergeser kepada nalar kritis ini: Jika compang-campingnya praktik
demokrasi Pancasila adalah pure problem manusia pelaksananya, setamsil khilafah, lalu logika
macam apa yang mendorong Anda berani memilih menanggung tumbal-tumbal politik yang
niscaya tumpah serta merta akibat memaksakan sistem khilafah menggantikan sistem demokrasi
Pancasila yang telah dipilih secara kolektif oleh para founding father bangsa ini sejak lama?

Begini analogi sederhananya agar Anda lebih benderang. Apa alasan logis untuk berani
menanggung risiko tenggelam di sebuah sungai yang pasti terjadi lantaran tak bisa berenang
hanya demi menangkap ikan yang berenang di permukaan yang Anda pikir sangat lezat untuk
disantap nanti malam?

Inilah penalaran proficiat yang sulit dibantah oleh mereka yang mendesak mengganti demokrasi
Pancasila dengan khilafah, setangguh apa pun mereka berkampanye bahwa hanya khilafahlah
yang bisa menegakkan adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan
taawun (tolong-menolong).

Sejarah mengisahkan, sebutan Khalifatullah baru muncul di era Muawiyah bin Abu Sufyan dari
Dinasti Umayah yang sekaligus menandai lahirnya sistem monarki. Khulafaur Rasyidin tidak
pernah menggunakan sistem monarki ini. Khulafaur Rasyidin pun tidak pernah menggunakan
pangkat Khalifatullah, tetapi Khalifatu Rasulillahpengganti Rasulullah di luar risalah
kenabiannya.

Muawiyah lalu digantikan putranya, Yazid bin Muawiyah, yang kita tahu memiliki jejak rekam
yang buruk sekali. Jangan harapkan di era itu tegak prinsip kepemimpinan Islam; adalah
(keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan taawun (tolong-menolong).
Kekhalifahan berjalan secara tiranistik.
Kekhalifahan Umayah mencapai masa emasnya di tangan khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang
sayangnya berusia pintas. Gebrakan pertama beliau ialah memangkas anggaran birokrasi yang
boros, menjual asset-aset mewah istana yang tidak diperlukan, dan mengembalikan semua
hasilnya kepada kas negara. Di era ini, prinsip adalah (keadilan), musawah (persamaan), syura
(musyawarah), dan taawun (tolong-menolong) ditegakkan sepenuh hati.

Kita kemudian tahu bahwa dinasti Umayah diakhiri melalui kudeta oleh dinasti baru, Abbasiyah.
Harap dicatat baik-baik bahwa di era Abbasiyah yang menganut teologi Mutazilah, banyak alim
ulama yang berbeda paham dan ajaran diintimidasi dan dipenjara. Di antaranya adalah imam
mazhab yang agung, Imam Hanbali. Di era ini pulalah kitab Al-Mawardi, al-Ahkam al-
Sulthaniyyah, dibuat dan melegitimasi kekuasaan itu. Biar adil, di era Abbasiyah pula berdiri
tegak Baitul Hikmah yang kesohor, yang digagas khalifah Harun Ar-Rasyid.

Kini mari kritisi masalah berikut ini: rule model sistem pemerintahan khilafah macam apa dan
dari mana yang bisa kita terapkan di Indonesia jika khilafah diumbulkan sebagai solusi
compang-campingnya demokrasi Pancasila?

Anda akan kesulitan sekali untuk menunjukkannya dengan lugas, tegas, dan benderang. Sebab
memang tidak pernah ada rule model konkret apa pun yang kita warisi.

Mau kitab warisan Al-Mawardi ataupun Abul Ala al-Maududi, semuanya sekadar hasil tafsir
yang kebak latar politis yang melingkupi masa terkait. Demikian pula konsep politik Ibnu
Taimiyah sangat dilingkupi faktor sosial-politik masa itu yang kita tahu diselubungi awan gelap
perang berkepanjangan dengan pasukan Salib. Kita boleh setuju atau tidak terhadap sebuah tafsir,
wacana, persis ketidaksetujuan Al-Juwayni yang rapat kepada latar Seljuk kepada Al-Mawardi
yang karib dengan latar Abbasiyah.

Tegasnya, sama sekali tidak ada panduan teknis-manajerial dari Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin tentang bagaimana pemerintahan dan birokrasi islami itu mestinya dijalankan, aspirasi
rakyat diakomodir, atau ahlul halli wal aqdi (majelis syura) didudukkan. Sejarah panjang
kekhalifahan Islam ala dinasti Umayah, Abbasiyah, hingga Turki Ustmani, yang Anda
perjuangkan di Indonesia kini, adalah sejarah praktik monarki, yang juga pernah dijalankan di
Romawi, Persia, atau Mongolia.

Demikianlah problematika sejarah dan doktrin khilafah untuk ditampilkan di masa kini, di
Indonesia. Sekali lagi, secara doktrin tekstual, khilafah tidak memiliki landasan absolut
(muhkamat) dalam Alquran dan hadits, sehingga ia secara hukum Islam (syariat) boleh
berkembang dikreasikan, ditafsirkan, dan diformulasikan dalam ragam praktik.

Perintah syariat untuk menegakkan keimaman (kepemimpinan) sepenuhnya mengaras pada


penegakan prinsip-prinsip moral politik Islam itu. Ia secara proficiat tidaklah otoritatif sama
sekali untuk disimpulkan sebagai kewajiban menegakkan khilafah secara legal-formal. Tetapi
jikapun khilafah yang legal-formal itu bisa ditegakkan, hal itu sahih saja dilakukan. Karenanya,
mau berbentuk demokrasi, monarki, khilafah, federasi, dan lainnya, sepanjang prinsip adalah
(keadilan), musawah (persamaan), syura (musyawarah), dan taawun (tolong-menolong) bisa
diembuskan, ia sudah islami; sudah sesuai ajaran Alquran.
Sekarang mari cek situasi bangsa ini. Di Indonesia yang plural, jelas sangat sensitif untuk
mengganti Pancasila dengan kekhalifahan. Istilah jizyah, misal, dalam praktik khilafah dulu,
yakni mengutip dana dari kelompok nonmuslim untuk jaminan rasa aman, niscaya akan
memantik kemelut sosial-politik-ekonomis yang sangat mahal ongkosnya. Tak sanggup
dibayangkan hal-hal diskriminatif demikian diangkut ke negeri ini. Disintegrasi bangsa niscaya
tak terbendung. NKRI sungguh terlalu agung untuk dipertaruhkan koyak lagi moyak oleh
sekadar sebuah ekspektasi pada sebuah sistem politik. Apa pun itu. Dan inilah yang sedari dulu
diantisipasi oleh para founding father, dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, demi
merawat pluralitas bangsa ini, demi terpiaranya keutuhan NKRI.

Demi keutuhan bangsa itu, sesuai kaidah Ushul Fiqh menghindarkan terjadinya keburukan
harus lebih diutamakan daripada menyerukan kebaikan, Anda bisa membacanya menyerukan
khilafah yang Anda nilai baik harus ditinggalkan demi menghindarkan retaknya NKRI, segala
bentuk perjuangan khilafah di Indonesia sahih untuk difatwa subversif. Segala yang subversif
adalah bughat. Segala yang bughat adalah tercela.

Mau landasannya? Ini satu contoh ayat: Patuhlah kalian kepada Allah dan rasulNya dan ulil
amri di antara kalian. Ulil amri adalah pemimpin, presiden, dan pemerintahan yang sah. Ini
satu haditsnya: Barang siapa yang meninggalkan ketaatan dan keluar dari jamaah, lalu mati,
maka jenazahnya adalah jenazah jahiliyah.

Penolakan khilafah ini harus dimaklumi bukan sebagai antidot Alquran, hadits, dan sejarah
agung para sahabat Nabi. Tidak. Penolakan khlafah ini menjadi relevan, urgen, dan kontekstual
bagi Indonesia dengan semata melihat betapa agungnya kewajiban semua kita untuk memelihara
NKRI sampai mati. Dan NKRI telah diakomodir, dijamin, dan diuji sejak lama oleh demokrasi
Pancasila, bukan khilafah.

Inilah situasi riil terbaik bangsa yang bisa kita miliki. Saya ingin memperjelas posisi saya di sini
bahwa saya bukanlah pembela buta demokrasi, antek Amrika, sebab sangatlah sering saya
mengkritisi sebagian ambiguitas demokrasi dan standar ganda Amerika. Saya pun bukanlah
antidot khilafah. Sebab saya sangat mengagumi Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid, dan
Muhammad Al-Fatih. Saya hanyalah segerbong sama jutaan rakyat Indonesia yang bangga
mewarisi keutuhan dan kedamaian bangsa ini dengan memekik bahwa NKRI adalah harga mati.
Secara rasional saya membanggakan NKRI dan secara dogmatis saya meneguhkan bahwa
merawat nasionalisme itu berpahala besar.

Sekali lagi, perkara praktik demokrasi Pancasila di NKRI tercinta ini masih compang-camping,
saya tidak perlu menutup mata; justru itu menjadi tugas kita bersama untuk memperbaikinya dari
waktu ke waktu. Bukan segrusa-grusu menggantinya dengan sistem khilafah yang belum tentu
pula tidak lebih compang-camping dan sudah pasti bakal meremukkan persatuan dan
persaudaraan bangsa. Nangkanya belum tentu didapat, getahnya sudah pasti menyambut.
Masihkah logis untuk diperjuangkan?

Lur, almarhum Abah saya pernah berpesan begini: Cong, jika kamu kelak menikah, lalu suatu
hari bertengkar hebat sama istrimu, bukan pernikahan itu yang harus kamu hancurkan, sebab
pernikahan tak pernah salah, atau mengganti istrimu dengan perempuan lain yang kamu pikir
takkan pernah membuatmu kecewa, tetapi suami-istri itulah yang harus berbenah bersama-sama.
Pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah harus dibenahi bersama-sama segala masalah
dan kekurangannya.

Mengendalikan perasaan cinta pada seorang gadis cantik yang asing di malam buta jauh lebih
baik daripada Anda memburunya dengan meyakininya lebih istimewa dari pasangan yang ada di
sebelah Anda sehingga sejak saat itu pula Anda kehilangannya untuk kemudian gadis cantik itu
menoleh pada Anda sembari berkata: Mas, saya sundel bolong, lho.

Khalifah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Khalifah (Arab: Khalfah) adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW (570632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amr al-
Mu'minn ( ) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin orang-orang
mukmin", yang kadang-kadang disingkat menjadi "amir".

Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani
Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa negara kecil di bawah kekhilafahan,
berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir.

Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama.
Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan majelis Syura'
yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan
mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara
bai'at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.

Khalifah memimpin sebuah Khilafah, yaitu sebuah sistem kepemimpinan umat, dengan
menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran,
Hadist, Ijma dan Qiyas.

Jabatan dan pemerintahan kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan Utsmani berakhir dan
dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan
pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang
kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of Religious
Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.
Etimologi

Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Dalam Al-
Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan
memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah
pengganti Nabi Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga
menggantikannya sebagai penguasa sebuah entitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana
diketahui bahwa Muhammad saw selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa,
Panglima Perang, dan lain sebagainya.

Kelahiran Kekhalifahan Islam

Kekhalifahan Islam, 622-750

Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan
atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang
dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa
kekuasaan yang akan didapatkannya?

Pengganti Nabi Muhammad

Fred M. Donner, dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981), berpendapat bahwa
kebiasaan bangsa Arab ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu
keluarga (bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari
salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro atau musyawarah ini. Para
kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya
merupakan keluarga jauh.

Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa
yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini
apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum
Muslim, namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang hadir dalam musyawarah
saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah penerus kepemimpinan Islam yang akan
menggantikan rasul karena sebelum Nabi Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk
menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai imam shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun
terpilih menjadi Khalifah pertama dalam sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad.

Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Mekkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa
Nabi Muhammad telah memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa Ali bin Abi
Thalib, sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya. Mereka mengatakan bahwa
Ab Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan[butuh rujukan]. Semua Khalifah
sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama oleh kalangan ini, hal inilah yang memicu
munculnya kaum Syiah belakangan pada masa kekhalifahan Muawiyah, lebih tepatnya setelah
masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan khalifah

"Siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang
dihadapi umat Islam saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan
pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai
pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua
hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad.
Musyawarah dilakukan pada persoalan ini untuk menentukan seberapa besar kekuasaan seorang
Khalifah.

Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad
adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang
menyebut diri mereka sendiri sebagai nab atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-quran,
dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam.
Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan
kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis.

Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa
mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-
Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan
mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern
Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta
tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu.
Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring
dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan
bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat,
sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika
mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat
para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara
para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan
perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut
menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun
akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[butuh rujukan] Kekuasaan Khalifah
selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap
menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[butuh rujukan]
Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang
berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua
ilmuwan setuju akan hal ini.

Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya
menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah
spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama
sebagai Khulafaur Rasyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan
berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala
hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang
hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.

Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam

Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas
dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan
bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadist yang berbunyi:

"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and
humiliation except for those who were deserving of it and did well."

Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu di mana kekuasaan raja sangat absolut dan
mutlak.[1]

Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm
al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:

"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat
memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan,
memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk
kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari
jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi
dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk
terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari
rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan
untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan
bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki
kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan
dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan
mampu memimpin dengan arif dan demokratif.

Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan
kekhahalifah secara lebih singkat:

"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam
dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang
(dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua
kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat.
Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta
sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."
Pencabutan gelar Khalifah

Kebanyakan ulama menolak pencabutan gelar Khalifah apabila sudah terpilih. Tetapi fakta yang
terjadi adalah sebaliknya, banyak pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam Husain
yang melakukan revolusi di Karbala melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu al-Zubayr
kepada Yazid, untuk kebanyakan bagian telah terbatas keberadaannya.[2]

Dr. Abdul Aziz Islahi berpendapat dalam masalah ini:

Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga menggunakan sudut pandang ini,
William Archibald Dunning berkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi individual dalam
menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa lebih sering orang jahat
melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik. Karena orang-orang jahat berpendapat
bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas),
pengakuan hak-hak pribadi warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya
peluang untuk kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."

Sejarah

Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, kaum Muslim
menerima hal ini tanpa terjadi perdebatan. Pengganti Umar, Utsman bin Affan, dipilih oleh
dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian, Utsman dianggap memimpin seperti seorang
"raja" dibandingkan sebagai seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya
dibunuh oleh seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian
besar Muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak diterima oleh
beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa pemberontakan dan akhirnya terbunuh
setelah memimpin selama lima tahun. Periode ini disebut sebagai "Fitna", atau perang sipil islam
pertama.

Bani Umayyah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bani Umayyah

Salah satu kelompok penentang Al adalah kelompok yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu
itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah
mengambil alih kekuasaan kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muwiyya,
pendiri Bani Umayyah. Dibawah kekuasaan Muwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-
menurun.

Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium, bani Umayyah
menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi
umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda
perang selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah
barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara sampai ke Spanyol. Di arah timur,
kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan
Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.

Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa
Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa
hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali
(yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul
beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya,
pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah
pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika
ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan keturunan
dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi
kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.

Bani Abbasyiah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bani Abbasiyah

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad,


mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan
dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan
menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh
orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol
yang menyatukan dunia Islam.

Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat
disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang
mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya
sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada
awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai
memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani
Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya
menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian
runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin
komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun
929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.

Kekhalifahan "bayangan"

Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai
Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun
kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah
perlindungan Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini
dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada masa-
masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".

Kekaisaran Usmaniyah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kesultanan Usmaniyah

Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para pemimpinnya mulai


mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian bertambah kuat ketika
mereka berhasil mengalahkan Kesultanan Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian
besar tanah Arab. Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan
dikirim ke Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.

Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang
menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.

Kekaisaran Usmaniyah

Menurut Barthold, saat di mana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada
sekadar simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat
perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran
Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan
sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah
Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, di bawah
kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam
yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya
Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.

Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan
diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II
menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme
Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India,
yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada Perang Dunia I, Kekhalifahan
Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa,
menjadi negara Islam yang paling besar dan paling kuat di dunia.
Keruntuhan kekhalifahan

Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki
Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam
masalah kemunduran ekonomi Turki.

Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman


politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa
sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri,
sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan
memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk
Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua
pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan
Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani
membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang
memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan
Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan
Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah
memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa
Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.

Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah
sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu.
Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun
ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi,
terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus
berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal
Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut
bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan
beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya,
Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.

Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan
Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut
dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan
sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian
dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.

Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1].
Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di
dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.

Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan
dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah
runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga
memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti
kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal
ini sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan
negara.

Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah
runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang
gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa
Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul,
mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya
tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir
Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah
di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun
1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim
yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.

Gerakan Khilafat

Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan
kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini sangat
kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian
diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang,
sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk
mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini. Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja
Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan
Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Saat ini banyak pecahan
negara-negara muslim yang membentuk Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah
organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969
beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.

Argumentasi Relevansi Khalifah


Dalil al-Qur'an

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-
Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri)
dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah
SWT berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-
Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa).
Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat
Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita
untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita
untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.

Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah
memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk
mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan
hukum syara, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya
hukum syara. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan
menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara (tadhyii al
hukm asy syariy).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum
muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. (Qs. Al-Maaidah [5]: 48).

Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan
janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs.
Al-Maaidah [5]: 49).

Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga
merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini
hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil
yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya
kepada Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan
menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali
menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-
hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini
menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu
negara Khilafah.

Dalil as-Sunnah tentang Khalifah

1. Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, Barangsiapa


melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari
Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada baiat
(kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].

2. Nabi SAW mewajibkan adanya baiat pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati
dalam keadaan tidak berbaiat seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal baiat hanya
dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban
mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud baiat di leher setiap muslim.
Sebab baiat baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin
Khilafah.

3. Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat
berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]

4. Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi
diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan
jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi
menjawab,Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka.
Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR.
Muslim].

5. Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya
(pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa
(pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR.
Muslim].

Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa
seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang
memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana
perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam,
dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah
dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan
untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila
mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan
perbuatan (thalab al fili). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan
tegaknya hukum syara atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara, maka
tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan
kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara akan
terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari
penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak
mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari
Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum
muslimin statusnya adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu
memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya
semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah
leher orang itu." [HR. Muslim].

Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para
Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini
berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan
cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan
tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau
tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk
memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan
Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi
kaum muslimin.

Dalil Ijma Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang
Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat
mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib,
ridlwanullah alaihim.

Ijma Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam
kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan
mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti dia. Padahal menguburkan mayat
secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan
pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun,
para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di
antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada
menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan
mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan
jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu
mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma)
mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan
jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah
adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai
kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa
yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih
pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya
Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu
Ijma Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.

Dalil Dari Kaidah Syariyah

Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah
syariyah yang disepakati para ulama:

"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula
keberadaannya."[butuh rujukan] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam
segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna
tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan
kaidah syariyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah
merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan
wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam
kitabnya Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arbaah, jilid V, hal. 416:

"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat
bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang
imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang
tertindas dari yang menindasnya..."

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan
Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mutazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang
wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan
Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara
yang telah jelas.

Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah,
minoritas Mutazilah, dan Asy Ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara." Ibnu Hazm
dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh
Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syiah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya
Imamah (Khilafah)."

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram apalagi bidah)
dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit
saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush
Shulthaniyah, hal. 5, Abu Yala Al Farraa, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah,
As Siyasah Asy Syariyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmuul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al
Ghazali, Al Iqtishaad fil Itiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al
Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawaiqul Muhriqah,
hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah
Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiyauddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman
Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audlauna As Siyasiyah, hal.
124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji,
Al Imamah Al Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan
masih banyak lagi yang lainnya.

Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al
Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul
Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Faktor-Faktor Penghalang Tegaknya
Khilafah Islamiyah
Jum'at, 5 Mei 2017 07:00 0 Komentar

Foto: Ilustrasi

KIBLAT.NET Sekitar 14 abad yang lalu, telah berdiri sebuah negara yang menjadikan Al-
Quran sebagai landasan undang-undangnya. Sebuah negara yang mampu menyatukan seluruh
umat Islam dalam satu ikatan, yaitu ikatan ukhuwah Islamiyah. Itulah Negara Islam yang
diproklamirkan oleh Nabi SAW di kota Madinah Munawarah. Agar syariat Islam bisa ditegakkan
secara kaffah, di samping perannya seorang rasul yang menyampaikan risalah wahyu, Nabi SAW
juga mendedikasikan dirinya sebagai kepala negara yang mengatur seluruh tatanan hidup
masyarakat.

Setelah Rasulullah SAW wafat, pemerintahan ini kemudian diteruskan oleh para penerus estafet
kepemimpinan kepala negara tersebut. Dimulai dari masa Khulafaur Rasyidin, Umayiwah,
Abbasiyah hingga berakhir pada masa Khilafah Turki Ustmani pada tanggal 3 maret 1924 silam.

Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1342 H (1924 M), Umat Islam ibarat anak ayam
yang kehilangan induknya. Tercerai berai, semuanya bergerak sesuai dengan minat, dan
hasratnya masing-masing tanpa ada kepemimpinan yang mengarahkan. Syariat Islam banyak
terabaikan, petunjuk hukum yang Allah turunkan tak mampu lagi diamalkan secara kaffah.
Akibatnya, kehidupan umat Islam pun terus dikuasai oleh kezaliman dan ketidakadilan.

Kondisi ini kemudian menggerakkan umat Islam bangkit berjuang mengembalikan kejayaan
yang pernah tegak itu. Namun seiring berjalannya waktu, walaupun beragam cara telah tempuh
namun hingga hari ini belum juga memperlihatkan hasil yang menggembirakan.

Dr. Saad Abdullah Asyur dalam sebuah tulisannya yang berjudul Muawiqot Al-Khilafah Al-
Islamiyah Wa Subulu Iadatiha, mengungkapkan beberapa faktor mengapa umat Islam sulit
memperjuangkan tegaknya kembali kepemimpianan Islam. Menurut beliau, setidaknya ada
delapan faktor penghambat tegaknya khilafah yang harus mendapat perhatian umat, yaitu:

1. Penyelewengan Akidah dan Rusaknya Keyakinan Umat.

Penyelewengan akidah yang terjadi di tengah-tengah umat Islam menjadi faktor utama yang
menghambat upaya mengembalikan khilafah. Aqidah yang lurus merupakan motivator utama
yang menggerakkan umat Islam. Maka upaya menyelewengkan akidah merupakan kunci bagi
musuh untuk menguasai umat Islam.
Salah satu cara menghadapi fenomena ini adalah dengan memperbanyak majlis-majlis ilmu.
Usaha ini menjadi tombak utama dalam melawan pemikiran sesat. Namun demikian, realitas
yang terjadi di masyarakat justru berkata lain. Meskipun majlis taklim semakin banyak, namun
kelompok sesat, dengan segalam macam penyimpanganya, masih saja bermunculan. Bahkan
penyebaran pemikiran sekuler terus meluas masuk ke dalam ranah sistem pendidikan.
Penyebabnya, banyak generasi muda umat Islam yang tidak lagi mengenal dasar-dasar agama

Syaikh Mana Al-Qahtan Dalam kitab Muawiqat Tatbiqus Syariah berkata, Pemikiran sesat
yang mempengaruhi pikiran kaum intelektual itu lebih berbahaya daripada pemikiran sesat yang
dianut oleh masyarakat awam, kemudian beliau melanjutkan, Awam terhadap ilmu agama
lebih berbahaya daripada pemikiran sesat yang diwariskan zaman dulu. Awam terhadap agama
adalah tidak mengerti persoalan agama walaupun seluruh jenjang pendidikan sudah
ditempuhnya.

BACA JUGA Serangan Terulang di Pusat Kota London, 9 Tewas Termasuk Penyerang

Tidak sedikit di antara kaum intelektual yang sudah bertitel doktor atau bahkan professor
sekalipun namun pemikirannya bergaya sekuler. Islam hanya dipahami pada batas-batas tertentu
saja. Syariat Islam hanya dimaknai sebatas ritual shalat, zakat, shaum, haji, membaca Al-Quran,
zikir dan seterusnya. Sementara aktivitas ibadah yang berdimensi sosial, amar makruf nahi
munkar, jihad fi sabilillah, pendidikan, ekonomi, politik, sosial budaya dan seterusnya tidak lagi
dianggap sesuatu yang harus diamalkan. Walhasil, pelan namun pasti, secara tidak sadar usaha
untuk mengembalikan tegaknya syariat menjadi terhambat dan Islam seolah-olah hanya hanyalah
kumpulan syariat mengatur persoalan seputar masjid saja.

2. Memisahkan Agama dari Panggung Politik

Di antara penyebab sulitnya perjuangan untuk mengembalikan kepemimpinan Islam (khilafah)


adalah derasnya pemikiran sekuler yang menyebar di tengah-tengah umat Islam. Fenomena yang
terjadi hari ini, Upaya sekulerisasi (pemisahan agama dari kehidupan) yang dilakukan musuh
hampir bisa dirasakan di semua sistem hidup masyarakat. Mulai dari politik, pendidikan,
ekonomi, sosial dan sebagainya.

Problematika tersebut diperparah dengan mereka yang menakuti muslim tapi menghiasi konsep
sekuler seolah-olah terlihat logis dan benar. Slogan yang sering mereka yakinkan kepada
masyarakat adalah Biarkanlah apa yang menjadi Hak Allah kepada Allah dan apa yang menjadi
hak raja kepada raja. Padahal dalam konsep Islam, semua aturan hidup itu adalah milik Allah
semata.

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS. Yusuf: 40)
Namun demikian musuh juga sadar bahwa memisahkan agama dari panggung politik bukanlah
yang mudah diterapkan di tengah-tengah umat Islam. Mereka tahu bahwa al-Quran sebagai
dasar hukum umat Islam adalah musuh utama yang harus dihadapi. Karena itu, butuh upaya
keras untuk menjauhkan kaum muslimin dari al-Quran. Tanpa disadari, pelan-pelan ternyata
usaha tersebut berhasil mereka lakukan. Dampaknya pun cukup luar biasa, hari ini banyak kaum
muslimin yang tidak memahami lagi urgensi al-Quran sebagai sumber undang-undang. Mereka
lebih memilih untuk berhukum kepada undang-undang buatan manusia dari pada hukum Allah.
Padahal menolak hukum Allah merupakan salah satu bentuk kekufuran.

BACA JUGA Mari Berzakat kepada Keluarga Muallaf, Mujahidin dan Yatim Syuhada

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44)

3. Mengingkari Kewajiban Jihad Fi Sabilillah

Tidak ada kewajiban agama yang paling ditakuti musuh melebihi kewajiban jihad. Sebab, satu-
satunya cara yang mempersatukan kaum muslimin untuk menghadapi musuh adalah syariat jihad
fi sabilillah. Karena itu, mereka pun berupaya semaksimal mungkin untuk menyelewangkan
makna jihad yang sesungguhnya.

Terutama di kalangan generasi muda, proyek yang sering mereka lakukan adalah menyebarkan
opini negatif tentang Islam serta menanamkan gambaran bahwa Islam tidak tersebar kecuali
dengan pedang. Seandainya itu benar dari Allah, maka cukup disampaikan dengan hujjah dan
pembuktian saja, tidak perlu dipaksakan dengan pedang. Demikian salah satu contoh opini
yang mereka bentuk

Upaya musuh menjauhkan umat dari syariat jihad seakan tidak pernah berhenti. Berbagai macam
cara mereka tempuh. Mulai dari tuduhan radikal, teroris, fundamental, hingga memberi
dukungan kepada pihak-pihak yang aktif menyebarkan syubhat tentang syariat jihad.

Selain syubhat penyelewengan definisi jihad, sebagian kalangan juga ada yang berusaha
menyelewengkan makna jihad secara lembut, yaitu menganggap bahwa perintah jihad hanya
diwajibkan untuk mebela diri semata. Jihad bukan dalam rangka mendakwahkan Islam.
Pemikiran ini termasuk syubhat yang berhasil mempengaruhi kaum muslimin. Padahal membela
diri saat musuh menyerang itu sebuah bentuk dari fitrah manusia.

Melawan serangan musuh memang sebuah kewajiban. Namun bukan berarti jihad hanya berhenti
pada pada tingkat pembelaan diri semata. Islam juga mensyariatkan adanya jihad hujumi
(menyerang).
Sebab, di antara efek yang ditimbulkan ketika umat Islam meninggalkan jihad justru adalah
tersebarnya kesyirikan dan orang-orang kafir akan leluasa berkuasa atas orang-orang mukmin.

Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. (QS. Al Haj: 40)

Rasulullah saw bersabda, Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau
bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Mengerjakan
shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka mau mengerjakannya maka terjagalah darah dan
harta-harta mereka. Kecuali dengan hak-hak Islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah.
(HR. Bukhari)

Baca halaman selanjutnya: Perpecahan yang Terjadi di...

engertian Syariah
20 Sep 2008 in Syari'ah 8 Comments

Apa Pengertian Syariat Islam itu?

HTI-Press. Kata syariah yang sering kita dengar adalah pengindonesiaan dari kata Arab, yakni as-
Syarah al-Islmiyyah. Karena asalnya dari kata Arab maka pengertiannya harus kita pahami sesuai
dengan pengertian orang-orang Arab sebagai pemilik bahasa itu. Tentu tidak boleh kita pahami menurut
selera orang Indonesia. Karena yang lebih mengetahui pengertian bahasa itu adalah pemilik bahasa itu
sendiri. Jadi orang non arab untuk memahami istilah syariah itu harus merujuk kepada pengertian orang
arab.

Menurut Ibn al-Manzhur yang telah mengumpulkan pengertian dari ungkapan dalam bahasa arab asli
dalam bukunya Lisn alArab .[1] secara bahasa syariah itu punya beberapa arti. Diantara artinya adalah
masyraah al-m (sumber air). Hanya saja sumbr air tidak mereka sebut syarah kecuali sumber itu
airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis (kering). Kata syarah itu asalnya dari kata kerja syaraa.
kata ini menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtr-us Shihah,[2] bisa berarti nahaja (menempuh),
awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al maslik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syaraa
lahum yasyrau syaran artinya adalah sanna (menetapkan). Sedang menurut Al-Jurjani, syarah bisa
juga artnya mazhab dan tharqah mustaqmah /jalan yang lurus.[3] Jadi arti kata syarah secara bahasa
banyak artinya. Ungkapan syariah Islamiyyah yang kita bicarakan maksudnya bukanlah semua arti
secara bahasa itu.
Suatu istilah, sering dipakai untuk menyebut pengertian tertentu yang berbeda dari arti bahasanya. Lalu
arti baru itu biasa dipakai dan mentradisi. Akhirnya setiap kali disebut istilah itu, ia langsung dipahami
dengan arti baru yang berbeda dengan arti bahasanya. Contohnya kata shalat, secara bahasa artinya
doa. Kemudian syariat menggunakan istilah shalat untuk menyebut serangkaian aktivitas mulai dari
takbirat-ul ihram dan diakhiri salam, atau shalat yang kita kenal. Maka setiap disebut kata shalat,
langsung kita pahami dengan aktivitas shalat, bukan lagi kita pahami sebagai doa.

Kata syarah juga seperti itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah syarah dengan arti selain arti
bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syarah, langsung dipahami dengan artinya secara
tradisi itu. Imam al-Qurthubi menyebut bahwa syarah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah
Swt untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan.[4] Hukum dan ketentuan
Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber
kehidupan bagi makhluk hidup. Makanya menurut Ibn-ul Manzhur syariat itu artinya sama dengan agama.
[5]

Pengertian syariat Islam bisa kita peroleh dengan menggabungkan pengertian syariat dan Islam. Untuk
kata Islam, secara bahasa artinya inqiyd (tunduk) dan istislm li Allah (berserah diri kepada Alah).
Hanya saja al-Quran menggunakan kata Islam untuk menyebut agama yang diturunkan oleh Allah
kepada nabi Muhammad saw. Firman Allah menyatakan :


]

[
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (TQS. al-Midah [05]: 3)

[1] Ibn al-Manzhur, Lisn al-Arab, juz I hal.175

[2] Ar-Razi, Mukhtr ash-Shihah, hal. 294

[3] Al-Jurjani, at-Tarift, hal. 167

[4] Imam al-Qurthubi, Tafsr al-Qurthubi, juz XVI hal. 163

[5] Ibn al-Manzhur, Lisn al-Arab, juz XI, hal. 631

Pengertian Hukum: Syariah Menurut Para


Ahli
Advertisement

Ini adalah musuh terbesar lemak! Untuk turunkan 9kg dalam 7 hari Anda perlu...

Penurun berat untuk pemalas! Minus 32kg LEMAK! Sebelum tidur minum...

Berat berlebih lenyap dengan sendirinya. Saya hanya meminum...

7 hari lemak PERUT, PINGGUL lenyap! Rahasia langsing: sebelum tidur, kuminum..

Apa itu Hukum Syariah, Pengertian syariah menurut para ahli


Pengertian Syariah oleh beberapa ahli dan penulis hukum islam:

1. Menurut Fyzee (1965), pengertian syariah sama dengan Canon of law, yaitu keseluruhan
perintah Tuhan. Tiap tiap perintah Tuhan dinamakan hukum. Hukum Allah SWT tidak mudah
dipahami dan syariah itu meliputi semua tingkah laku manusia.

2. Agnides memberikan definisi syariah sebagai sesuatu yang tidak akan diketahui adanya,
seandainya tidak ada wahyu Ilahi.

3. Hanafi (1984) memberikan pengertian syariah yaitu hukum shukum yang diadakan oleh Tuhan
untuk hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya, baik hukum-hukum
tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan, yaitu yang disebut sebagai , hukum
hukum cabang dan amalan/ Dan untuk itu maka kepercayaan (itikad) yaitu yang disebut
sebagai hukum hukum pokok atau keimanan, yang terhimpun dalam kajian ilmu kalam.

4. Ashshiddieqy, pengertian syariah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para
hamba-Nya dengan perantaraan Rasulullah, agar setiap hamba melaksanakan dengan dasar
imam, baik hukum itu mengenai amaliyah lahiriyah maupun mengenai akhlak dan aqidah
kepercayaan yang bersifat batiniah.

5. Rosyada, definisi syariah adalah menetapkan norma norma hukum untuk menata kehidupan
manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan umat manusia lainnya.

6. Zuhdi (1987), pengertian syariah adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya untuk
hamba-Nya agar mereka menaati hukum itu atas dasar imam, baik yang berkaitan dengan
aqidah, amaliyah, dan yang berkaitan dengan akhlak.

Syariat Islam
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Syariat Islam (Arab: Kata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang bisa di
tempuh air", maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju allah. Syariat
Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
Islam. Selain berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan, syariat Islam juga berisi kunci
penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Daftar isi

1 Sumber Hukum Islam

o 1.1 Al-Quran

o 1.2 Al-Hadis

o 1.3 Ijtihad

2 Referensi

3 Lihat pula

Sumber Hukum Islam

Mahkamah Syariat Negara Bagian Johor di Malaysia.

Al-Quran

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.[1] Selain
sebagai sumber ajaran Islam, Al Quran disebut juga sebagai sumber pertama atau asas pertama
syarak.

Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang
pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari waktu ke waktu telah
berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

Al-Hadis

Hadits terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, di antaranya adalah:

Sahih

Hasan

Daif (lemah)

Maudu' (palsu)

Hadis yang dijadikan acuan hukum hanya hadis dengan derajat sahih dan hasan, kemudian hadis
daif menurut kesepakatan ulama salaf (generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu
gairah beramal (fadilah amal) masih diperbolehkan untuk digunakan oleh umat Islam. Adapun
hadis dengan derajat maudu dan derajat hadis yang di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap
perlu dipelajari dalam ranah ilmu pengetahuan.

Perbedaan al-Quran dan al-Hadis adalah al-Quran, merupakan kitab suci yang berisikan
kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi satu bundel,
untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadis, merupakan kumpulan yang khusus memuat
sumber hukum Islam setelah al Quran berisikan aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, akhlak,
ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun ada beberapa perbedaan
ulama ahli fiqih dan ahli hadist dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut
tetapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat , namun
hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang
bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.

Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam,
berdasarkan al Quran dan al Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat sehingga
tidak bisa langsung menanyakan pada dia tentang sesuatu hukum maupun perihal peribadatan.
Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :

Ijma', kesepakatan para ulama

Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat

'Urf, kebiasaan

Terkait dengan susunan tertib syariat, al Quran dalam surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa
sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak
diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa
jika terdapat suatu perkara yang Allah dan rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka
umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh
ayat al Qur'an dalam Surat Al Maidah[2] yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan
ketentuannya sudah dimaafkan Allah.

Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya
kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai
perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syarak (ibadah Mahdah) dan perkara yang masuk
dalam kategori Furuk Syarak (Gairu Mahdah).

Asas Syarak (Mahdah)

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al Quran atau al Hadis.
Kedudukannya sebagai Pokok Syariat Islam di mana al Qur'an itu asas pertama Syara` dan al
Hadis itu asas kedua syarak. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di mana
pun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan
darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan
umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang
membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau
tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak
berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang
berlaku.

Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh)

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadist.
Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh
umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan /
perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk
dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

Referensi

1. ^ "...dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui." (Saba' 34:28)
2. ^ "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-
hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di
waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu)
tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Midah 5:101)

Pengertian syariah

Berdasarkan beberapa pengertian dan definisi syariah diatas yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli
hukum Islam, dapat di ambil kesimpulan awal bahwa syariah adalah hukum yang telah diciptakan oleh
Allah SWT untuk seluruh makhluknya utamanya manusia.
Sekian ulasan tentang pengertian hukum: Syariah menurut para ahli, baca juga pengertian lainnya di apa
pengertian ahli

Referensi:

Hukum Islam, perspektif Keindonesiaan, oleh Prof. Dr. H.M. Arfin Hamid, SH., MH, 2011, UMITOHA
UKHUWAH GRAFIKA, Makassar.

baca juga pengertian tentang

Anda mungkin juga menyukai