Anda di halaman 1dari 12

Indonesia cocok dengan sistem khilafah

Khilafah Adalah Sistim Pemerintahan, Ini Sejarahnya


Pecihitam.org – Beberapa waktu Isu khilafah kembali santer jadi perbincangan publik.
Terutama setelah banyak munculnya Hizbut Tahrir Indonesia yang akhirnya dibekukan oleh
pemerintah. Khilafah adalah suatu sistem kepemimpinan yang ada di Islam. Pada masa lalu,
khilafah pernah menjadi sistem pemerintahan, yakni setelah masa Nabi Muhammad SAW wafat.
Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan
penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi
Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau
bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

Apa Itu Khilafah?


Pada dasarnya khilafah adalah sebuah sistem kepemimpinan umum bagi umat islam di seluruh
dunia. Tapuk kepemimpinan Khilafah dipimpin oleh Khalifah atau dapat juga disebut Imam atau
Amirul Mukminin.
Khilafah berasal dari kata ‫خلف‬ (kha-la-fa), yang berarti menggantikan. Definisi Khilafah sendiri
adalah preposisi dari kata Khalifah yang diambil berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
30
ٰٓ
ِ ‫َوِإ ْذ قَا َل َربُّ َك لِ ْل َملَِئ َك ِة ِإنِّى َجا ِع ٌل فِى ٱَأْل ْر‬
ً‫ض َخلِيفَة‬
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”
Pada dasarnya, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila dalam
menjalankan pemerintahannya menerapkan Islam sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum,
dan mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad Saw serta Khulafaur Rasyidin.
Walaupun dengan penamaan atau struktur yang berbeda, kepemimpinan ini tetap berada pada
prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia.
Gambaran penerapan khilafah itu sendiri adalah ketika sebuah Negara berdiri atas persetujuan
seluruh umat Islam, kemudian dibai’at-lah seorang Khalifah secara sah. Jika pembaatan khalifah
sudah sah, maka pendirian Negara Khilafah maupun pembai’atan Khalifah lagi setelahnya
menjadi tidak sah.
Struktur Pemerintahan Khilafah
Pimpinan Khilafah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan
kekuasaan dan penerapan syariah, atau yang disebut khalifah. Bukan seperti teori Teokrasi,
dimana aturan yang diterapkan adalah aturan Tuhan yaitu dari aturan agama tertentu. Kekuasaan
Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi.

Khalifah bukanlah manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa, karena ia diangkat
oleh umat melalui bai’at. Khalifah bisa dikoreksi, diprotes dan diturunkan oleh umat apabila
kebijakannya menyimpang dari aturan dan ketentuan syariat Islam.
Selain itu, jika khalifah salah bisa dihukum (dalam struktur Khilafah fungsi ini dilakukan oleh
mahkamah madzalim) yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam.
Sedangkan dalam sistem teokrasi kekuasaan, pemimpin dianggap “takdir” atau ditunjuk atau
penunjukan Tuhan. Sehingga pemimpinnya dianggap atau menganggap diri sebagai wakil
Tuhan, menjadi manusia suci, terbebas dari salah maupun dosa.
Dalam menjalankan kebijakannya, Khalifah juga dibantu oleh para pembantu di berbagai bidang
seperti pemerintahan, administrasi, kota, keamanan, perindustrian, peradilan, kesehatan,
keuangan, penerangan, dan majelis umat.
Sekte Islam Sunni menetapkan bahwa, sebagai kepala negara, seorang khalifah dapat
berkuasa dengan salah satu dari empat cara baik melalui pemilihan, melalui pencalonan atau
melalui seleksi oleh komite. Sedangkan bagi para pengikut Islam Syiah percaya bahwa seorang
khalifah haruslah seorang imam yang dipilih oleh Tuhan dari Ahl al-Bayt (merujuk pada
keluarga nabi Muhammad Saw).

Sejarah Khilafah
Khilafah Pertama
Sistem Khilafah berkembang setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 M.
Terjadi kekosongan pemimpin umat Islam setelahnya. Posisi khalifah kemudian diduduki oleh
para sahabat nabi.
Masa kekhalifahan pertama di mulai oleh Sayyidina Abu bakar (632-634), dilanjutkan
Umar bin Khattab (634-644), Utsman bin ‘Affan (644-656), dan Ali bin Abi Thalib (656-661).
Masa inilah yang kemudian disebut sebagai masa Khulafaur Rasyidin. Khalifah keempat,
Sayyyidina Ali, tidak seperti tiga sebelumnya. Ia berasal dari klan yang sama dengan Nabi
Muhammad Saw yaitu Bani Hasyim, yang mana bagi Muslim Syiah dianggap sebagai khalifah
dan imam sah pertama setelah Rasulullah Muhammad Saw.
Ali memerintah antara (656-661 M), perang saudara terjadi antara para pendukung Ali dan para
pendukung khalifah sebelumnya, serta terjadinya para pemberontak di Mesir. Khalifah Ali wafat
setelah dibunuh oleh kelompok Khawarij yaitu Abdurrahman bin Mujam. Dari perang yang
tak berkesudahan menyebabkan pembentukan Kekhalifahan Umayyah di bawah Muawiyah I
pada tahun 661.

Khilafah kedua
Kekhalifahan kedua, yaitu Dinasti Umayyah, diperintah oleh Bani Umayya, klan Mekah
yang diturunkan dari Umayyah bin Abd Shams. Khilafah melanjutkan penaklukan Arab,
menggabungkan Kaukasus, Transoxiana, Sindh, Maghreb dan Semenanjung Iberia (Al-Andalus)
ke dalam dunia Muslim. Karena berbagai persoalan dan pemberontakan akhirnya timbullah
Revolusi Abbasiyah dari 746-750 M. Kemudian kekhalifahan Abbasiyah didirikan pada 750 M.

Khilafah ketiga
Kekhalifahan ketiga, yaitu Khilafah Abbasiyah diperintah oleh Abbasiyah, sebuah
dinasti asal Mekah yang diturunkan dari Hasyim, kakek buyut Nabi Muhammad.
Pada masa ini, Khalifah al-Mansur mendirikan ibu kota kedua Baghdad pada tahun 762 yang
menjadi pusat study ilmiah, budaya dan seni. Dalam periode iniilah yang kemudian dikenal
sebagai Zaman Keemasan Islam.
Dari abad ke-10, pemerintahan Abbasiyah menjadi terbatas di daerah sekitar Baghdad. Dari 945
hingga 1157, kekhalifahan Abbasiyah berada di bawah
kekuasaan Buyid dan kemudian Seljuk. Pada 1250, pasukan non-Arab yang diciptakan oleh
Abbasiyah yang disebut Mamluk berkuasa di Mesir.
Dan akhirnya pada 1258, Kerajaan Mongol menguasai Baghdad dan mengakhiri kekhalifahan
Abbasiyah. Namun pada 1261 Kerajaan Mamluk di Mesir mendirikan kembali Kekhalifahan
Abbasiyah di Kairo. Meskipun kurang dalam kekuatan politik, Dinasti Abbasiyah terus
mengklaim otoritas dalam urusan agama, sampai terjadilah penaklukan Ottoman (Utsmaniyah)
atas Mamluk Mesir pada 1517.
Khilafah keempat
Kekhalifahan besar keempat, yaitu Dinasti Utsmaniyah, didirikan setelah penaklukan
mereka atas Mamluk Mesir pada tahun 1517. Penaklukan tersebut memberikan kontrol kepada
Ottoman atas kota-kota suci Mekah dan Madinah, yang sebelumnya dikendalikan oleh Mamluk.
Utsmani secara bertahap mulai dipandang sebagai pemimpin de facto dan perwakilan dari dunia
Muslim. Setelah kekalahan mereka dalam Perang Dunia I, kekaisaran mereka dipartisi oleh
Inggris dan Republik Ketiga Prancis, dan pada 3 Maret 1924.
Presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk, sebagai bagian dari
reformasinya, secara konstitusional menghapuskan institusi negara kekhalifahan.
Selain itu dalam sepanjang sejarah, ada pula beberapa negara lain yang menyebut diri mereka
sebagai kekhalifahan, termasuk kekhalifahan Isma’ili Fatimid di Afrika Timur Laut (909–1171),
Kekhalifahan Umayyah dari Córdova (929-1031), kekhalifahan Berber Almohad di Maroko
(1121) –1269) dan Kekhalifahan Fula Sokoto di Nigeria utara saat ini (1804–1903).

Mungkinkah Berdiri Khilafah dengan Khalifah Tunggal?


Dalam konteks ini kekhalifahan sebenarnya bisa disamakan dengan sistem pemerintahan. Sistem
ini bisa saja berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, antara satu waktu dengan
waktu lain dan antara satu negara dengan negara lain.
Misalnya sistem pemerintahan yang digunakan oleh masing-masing Khulafaur Rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), ternyata memiliki perbedaan. Dan di berbagai negara termasuk
negara-negara Islam di Timur Tengah sekarang ini pun juga memiliki perbedaan. Indonesia
sendiri menggunakan kekhalifahan berbentuk Republik yang berasaskan Pancasila.
Sehingga pendek kata, Khilafah adalah sistem pemerintahan dan Khalifah adalah sosoknya.
Sistem pemerintahan bisa saja berbeda setiap zamannya dan sesuai kesepakatan yang dibuat oleh
mayoritas masyarakatnya
Adapun jika berbicara tentang mungkinkah ditegakkan Khilafah dengan Khalifah tunggal?
Bahwasanya sejarah telah membuktikan perjalanan umat Islam sewaktu berdirinya kekhalifahan
Utsmaniyyah ternyata tidaklah tunggal.
Pada masa itu ada Khalifah lain seperti di Maroko yaitu dari Dinasti Berber Almohad. Hal ini
menunjukkan sejak dulu sudah disadari bahwa Khalifah tunggal itu tidaklah mungkin.
Bahkan dalam berbagai usaha dan kenyataan sejarah yang konon ingin mewujudkan Khilafah
juga selalu tidak pernah terwujud dan gagal. Seperti upaya Jamaluddin Al-Afghani, Al-Jamiah
Al-Islamiyyah, OKI, dan Al-Jamiah Al-Arabiyyah yang akhirnya malah memunculkan berbagai
peperangan di Timur tengah.
Maka dari itu, umat Islam sejatinya perlu berfikir realistis dengan melihat fakta empiris bahwa
sistem Khilafah harus menyesuaikan kondisi dan zaman. Sistem pemerintahan juga harus mampu
memperkuat sebuah komunitas dan tatanan masyarakat bukan malah memunculkan perpecahan.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH


Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah  Nabi Muhammad
wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan
dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas
meneruskan misi-misinya.  Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama
kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.
Mengenai keunggulan dan kekurangan  dalam sistem kekhalifahan ini, akan dibahas pada
makalah yang sudah saya rintis ini. Pada makalah ini akan dijelaskan tentang khilafah dan
bagaimana eksistensi khilafah apabila diterapkan diindonesia .
A.    Pengertian Khilafah
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian.
Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik
(ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[1] Oleh sebab itu, sudah menjadi hal yang lazim
dalam pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik
melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem hal ini ini menyerupai
dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam dipilih bukan
merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun
Khilafah dalam terminologi politik Islam ialah sistem pemerintahan Islam yang
meneruskan sistem pemerintahan Rasul Saw. Dengan segala aspeknya yang berdasarkan Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. Sedangkan Khalifah ialah Pemimpin tertinggi umat Islam
sedunia, atau disebut juga dengan Imam A’zhom yang sekaligus menjadi pemimpin Negara
Islam sedunia atau lazim juga disebut dengan Khalifatul Muslimin
Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan
Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) . Inilah pengertiannya
pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan
untuk menyebut Negara Islam itu sendiri.
Para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan
Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan
politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang
berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham al-hukm). Sementara
sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (almazh-har ad-dini), yakni
institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang
kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan amalah (seperti perdagangan), al-
ahwal asysyakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula
yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang
menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah.
Khalifah dan khilafah itu hanya terwujud bila :
1.      Adanya seorang Khalifah saja dalam satu masa yang diangkat oleh umat Islam sedunia.
Khalifah tersebut harus diangkat dengan sistem Syura bukan dengan jalan kudeta, sistem
demokrasi atau kerajaan (warisan).
2.      Adanya wilayah yang menjadi tanah air (wathan) yang dikuasai penuh oleh umat Islam.
3.      Diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Atau dengan kata lain, semua undang-
undang dan sistem nilai hanya bersumber dari Syariat Islam yang bersumberkan dan
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw. seperti undang-undang pidana, perdata,
ekonomi, keuangan, hubungan internasional dan seterusnya.
4.      Adanya masyarakat Muslim yang mayoritasnya mendukung, berbai’ah dan tunduk pada
Khalifah (pemimpin tertinggi) dan Khilafah (sistem pemerintahan Islam).
5.      Sistem Khilafah yang dibangun bukan berdasarkan kepentingan sekeping bumi atau tanah
air tertentu, sekelompok kecil umat Islam tertentu dan tidak pula berdasarkan kepentingan
pribadi Khalifah atau kelompoknya, melainkan untuk kepentingan Islam dan umat Islam
secara keseluruhan serta tegaknya kalimat Allah (Islam) di atas bumi. Oleh sebab itu, Imam
Al-Mawardi menyebutkan dalam bukunya “Al-Ahkam As-Sulthaniyyah” bahwa objek
Imamah (kepemimpinan umat Islam) itu ialah untuk meneruskan Khilafah Nubuwwah
(kepemimpinan Nabi Saw.) dalam menjaga agama (Islam) dan mengatur semua urusan
duniawi umat Islam.

B.     Kelebihan Sistem Khilafah


Sistem politik Islam merupakan sistem politik yang khas dan diyakini merupakan sistem
politik yang unggul. Hal ini terkait dengan Islam itu sendiri. “Islam itu unggul dan tidak ada
yang dapat mengunggulinya (Al Islâmu ya’lu-wa lâ yu’la ‘alaihi),” kata Nabi. Berbicara tentang
sistem politik berarti berbicara tentang proses, struktur, dan fungsi. Proses adalah pola-pola yang
mengatur hubungan antar manusia satu sama lain. Struktur mencakup lembaga-lembaga formal
dan informal seperti majelis umat, partai politik, khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun
fungsi dalam sistem politik menyangkut pembuatan berbagai keputusan kebijakan yang mengikat
alokasi nilai. Keputusan kebijakan ini diarahkan pada tercapainya kepentingan masyarakat.
Proses, struktur, dan fungsi dalam sistem politik Islam semuanya berdasarkan pada ajaran Islam
yang bersumber dari wahyu. Karena itu, sistem politik Islam, termasuk konsep kenegaraannya,
menjadi sistem yang unggul karena bersumber dari Allah Swt., Zat Yang Mahaagung.
Di antara keunggulan sistem pemerintahan Islam  (khilafah) adalah:
1.      Istiqamah.
Sistem politik Islam memiliki karakter istiqamah; artinya bersifat langgeng, kontinu, dan
lestari di jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi, misalnya, sistem politik bergantung pada
kehendak manusia. Perubahan nilai dan inkonsistensi pun terjadi. Hal yang sama bisa berlaku
untuk orang lain, tetapi tidak untuk negara tertentu. Misalnya, Iran tidak boleh memiliki nuklir,
tetapi AS dan Israel tidak mengapa; setiap negara tidak boleh mencampuri urusan negara lain,
kecuali AS dan sekutunya yang dapat menerapkan pre emptive. Sistem seperti ini tidaklah
istiqamah. Betapa tidak; semuanya bergantung pada kehendak dan tolok ukur manusia yang
senantiasa berubah-ubah, bahkan dapat saling bertolak belakang. Sekarang benar, nanti salah;
atau sekarang terpuji lain waktu tercela.
Berbeda dengan itu, sistem politik Islam berdiri tegar tak lekang ditelan zaman. Ini karena
sistem politik Islam bukan lahir dari logika dan kepentingan sesaat manusia, namun jalan lurus
yang berasal dari Allah Swt. untuk kemaslahatan manusia. (Lihat: QS al-An’am [6]:153).
Dalam konteks kenegaraan, sistem politik Islam dibangun di atas landasan yang
istiqamah, yakni:
1.      kedaulatan ada di tangan syariah;
2.      kekuasaan ada di tangan rakyat;
3.      wajib hanya memiliki satu kepemimpinan dunia; dan
4.      hanya khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam
berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan rakyat atau antar pelaku
politik maka harus dikembalikan tolok ukurnya kepada Allah dan Rasul; kepada al-Quran dan
as-Sunnah. Inilah tolak ukur sekaligus landasan yang tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang
menjamin keistiqamahan sistem politik Islam.

2.      Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.


Di antara fungsi sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap warga negara harus
terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak akan nyaman. Ketenteraman
merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah satu ajaran penting Islam adalah mewujudkan
keamanan di tengah-tengah masyarakat. Sejarah menunjukkan bagaimana saat Islam diterapkan,
warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini terwujud
melalui pendekatan multidimensi.
Pertama: sistem politik Islam mengaitkan aspek keamanan dengan aspek ruhiah. Rasul
berkali-kali menegaskan bahwa di antara ciri Muslim yang baik adalah Muslim yang tetangganya
selamat dari lisan dan tangannya. Bahkan, siapa saja yang menyakiti kafir zimmi diibaratkannya
sebagai menyakiti beliau. Penjagaan keamanan dikaitkan dengan pahala dan siksa. Akibatnya,
muncullah dorongan takwa dalam diri individu untuk senantiasa mewujudkan keamanan, baik
bagi diri, masyarakat, maupun negara. Kekuatan internal inilah yang mengokohkan terwujudnya
keamanan. Landasan ruhiah seperti ini tidak ditemukan pada sistem lain. Sistem selain Islam
hanya menyandarkan aspek keamanan pada kepentingan.[6]
Kedua: mengharuskan masyarakat untuk menjaga keamanan dan bersikap keras kepada
perusak keamanan. Setiap kemungkaran yang ada, termasuk gangguan tehadap keamanan,
diperintahkan untuk dihilangkan oleh siapapun yang melihatnya; baik dengan kekuatan, lisan,
ataupun dengan hati melalui sikap penolakan. Bahkan, membiarkan kerusakan yang ada
diumpakan Nabi saw. sebagai menenggelam-kan seluruh masyarakat. Masyarakat diibaratkan
Rasul sebagai sekumpulan orang yang sedang menumpangi kapal di lautan. Jika sebagian
mereka melakukan kejahatan dengan melobangi kapal tersebut tanpa dicegah, maka semua
penumpangnya akan karam. Bahkan, mati mempertahankan keamanan harta, kehormatan, dan
nyawa dari para perusak keamanan dipandang sebagai syahid. Hal demikian tidak dimiliki oleh
sistem di luar Islam.
Ketiga: makna kebahagiaan yang khas. Allah Swt. telah menetapkan makna kebahagiaan
adalah tercapainya ridha Allah. Berbagai limpahan materi hanyalah kepedihan jika jauh dari
ridha Allah. Untuk apa memiliki kekuasaan jika digunakan untuk menjauhkan diri dan
masyarakat dari ridha Allah. Walhasil, mafhûm kebahagiaan demikian mendorong setiap orang
untuk mengejar ridha Allah dengan menaati-Nya. Salah satunya adalah memberikan keamanan
bagi orang lain.
Keempat: menutup pintu kriminal. Salah satu pintu datangnya gangguan keamanan adalah
tindak kriminal. Dalam konteks ini, Islam mencegahnya dengan jitu. Allah Swt. melarang tindak
kriminal dengan motif apapun, termasuk untuk kepentingan politik. Sistem politik Islam tidak
mengenal paham machiavelis (menghalalkan segala cara). Siapapun diharamkan mencuri,
merampok, membunuh, merampok harta negara, korupsi, mengintimidasi rakyat, dll. Islam juga
mengharamkan zina dan perkosaan. Tidak ada cerita dalam Islam yang mentoleransi
menggunakan perempuan sebagai umpan dan modal dalam transaksi ekonomi maupun
bargaining politik. Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem politik sekular.
3.      Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem politik Islam adalah hubungan ideologis.
Kedua belah pihak saling berakad dalam baiat untuk menerapkan syariat Islam. Penguasa
bertanggung jawab dalam penegakkannya. Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat
tenaga, taat kepadanya, selama tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan hubungan ideologis
inilah penguasa akan melakukan pengurusan (ri’âyah) terhadap umatnya melalui:
a)      penerapan sistem Islam secara baik:
b)      selalu memperhatikan kemajuan masyarakat di segala bidang;
c)      melindungi rakyat dari ancaman. Nabi saw. bersabda (yang artinya): Sesungguhnya seorang
imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir
dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam (HR al-Bukhari).
Pada sisi lain, rakyat tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka terdapat kewajiban terhadap
pemimpin dan negaranya sesuai dengan akad baiat. Karenanya, rakyat berperan untuk:
a)      melaksanakan kebijakan penguasa yang sesuai dengan syariat demi kepentingan rakyat;
b)      menjaga kelangsungan pemerintahan dan semua urusan secara syar’î (larangan keluar dari
penguasa, perintah memerangi bughât, dsb);
c)      memberikan masukan kepada penguasa; mengontrol dan mengoreksi penguasa. Dengan
adanya hak sekaligus kewajiban warga negara untuk memberikan nasihat, pelurusan (tashîh), dan
koreksi terhadap penguasa (muhâsabah al-hukkâm) akan terjamin penerapan sistem Islam secara
baik di dalam negeri.
Merujuk pada hal tersebut, hubungan rakyat dengan penguasa dalam sistem politik Islam
adalah hubungan antara sesama hamba Allah Swt. yang sama-sama menerapkan kewajibannya
dalam fungsi yang berbeda. Hubungan antara keduanya merupakan hubungan sinergis, fokus,
dan saling mengokohkan untuk penerapan syariah demi kemaslahatan rakyat. Sungguh,
pemandangan demikian amat sulit ditemukan dalam sistem politik selain selain Islam.

4.      Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan


kesejahteraan hidup.
Sejarah telah membuktikan hal ini. Kemajuan sains, teknologi, dan pemikiran merupakan
keniscayaan dalam Islam karena:
a.       Islam mendorong umat untuk terus berpikir, merenung untuk menguatkan iman dan
menambah pengetahuan tentang makhluk. Ada 43 ayat al-Quran yang memerintahkan berpikir.
b.      Melebihkan ulama daripada orang jahil (Lihat: QS al-Mujadilah: 11).
c.       Allah telah menundukkan alam untuk manusia agar diambil manfaatnya. Realitas ini
mengharuskan umat untuk mengkaji alam itu. Artinya, realitas menuntut umat untuk
mengembangkan sains dan teknologi.
d.      Islam mendorong inovasi dan penemuan. Dalam masalah jihad, misalnya, Rasulullah saw.
mengembangkan persenjataan dabâbah saat itu. Kini, berarti umat harus mengungguli sains dan
teknologi negara besar. Begitu juga ijtihad; harus terus dikembangkan. Betapa tidak, banyak
sekali perkara baru bermunculan, padahal dulu belum dibahas oleh para ulama.
Bukan hanya itu, kemajuan ekonomi pun akan tercapai karena:
a.       ada konsep kepemilikan dan pengelolaannya secara jelas;
b.      kewajiban ri’âyah mengharuskan adanya perhatian secara terus menerus atas urusan dan
kemajuan;
c.       perlindungan terhadap milik pribadi dan pemanfaatannya dalam batas syariat;
d.      adanya pengumpulan harta untuk kaum miskin dan lemah. Konsekuensi dari hal ini bukanlah
sebatas dana menetes ke bawah (tricle down effect), melainkan menggelontor ke segala penjuru.
Hal ini berbeda dengan sistem Kapitalisme yang membiarkan manusia menjadi serigala bagi
manusia lainnya (homo homini lupus)

C.    Kekurangan sistem khalifah


1.      Keberagaman agama
Indonesia terkenal dengan berbagai suku, ras dan agama. Indonesia dalam sistem keagamaan
memeluk lima agama, yaitu, Islam, Katolik, protestan, hindu dan budha. Apabila sistem
pemerintahan kekhalifahan diterapkan di indonesia, keberlangsungan dalam menetapkan sistem
hukum akan kacau balau. Contohnya saja masalah yang terjadi pada negera Syiria dan Iran.
2.      Ideologi khilafah berbeda dengan ideologi indonesia
Apabila sistem khilafah diterapkan di indonesia maka Ideologi bangsa Indonesia yang telah
menjadi empat pilar akan sia-sia kita pertahankan.
3.      Sistem hukum khilafah tidak mendukung 
Khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam
berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan rakyat atau antar pelaku
politik maka harus dikembalikan tolok ukurnya kepada Allah dan Rasul; kepada al-Quran dan
as-Sunnah. Inilah tolak ukur sekaligus landasan yang tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang
menjamin keistiqamahan sistem politik Islam. Sementara kalau sistem pemerintahan indonesia
adalah demokrasi. Dalam sistem demokrasi yang menjadi landasan hukumnya adalah UUD
1945. Dalam hal ini segala peraturan tentang kenegaraan sudah ditetapkan.

A.    Kesimpulan
Istilah “Khilafah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian.
Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik
(ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah). Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam
pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik
melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan
sistem republik daripada sistem kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan
merupakan sistem monarkhi yang bersifat turun-temurun.
Kelebihan sistem khilafah
1.      Istiqamah.
2.      Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.
3.      Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
4.      Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan kesejahteraan
hidup.
Kekurangan sistem khalifah
1.      Keberagaman agama
2.      Ideologi khilafah berbeda dengan ideologi indonesia
3.      Sistem hukum khilafah tidak mendukung 

Anda mungkin juga menyukai