Pendahulua
A. Latar Belakang
Hukum dan peradilan merupakan hal yang sangat fundamental dalam
peradaban masyarakat, tak terkecuali masyarakat Islam. Tegaknya hukum dan
proses peradilan yang tidak tebang pilih akan sangat menjamin rasa keadilan di
tengah-tengah masyarakat. Dengan terjaminnya rasa keadilan, maka ketertiban
dan kedamaian pun akan tercipta. Masyarakat yang tertib dan damai tentunya
akan berdampak baik bagi suatu peradaban, karena pembangunan dibidang sosial,
ekonomi, pendidikan serta teknologi akan berjalan dengan lancar.
Proses-proses hukum didalam Islam sejatinya sudah berjalan ketika
Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, namun saat itu lembaga hukum dan
kekuasaan belum ada pemisahan belum dipisahkan satu sama lainnya seperti
halnya lembaga yang mandiri, dan bahkan dalam praktiknya cenderung dipegang
oleh satu tangan, yakni penguasa atau pemerintah. Nabi Muhammad saat itu
bertugas menyelesaikan perselisihan yang timbul di kalangan masyarakat
Madinah dan menetapkan hukuman terhadap pelanggar perjanjian, seperti beliau
pernah melakukannya ketika kaum yahudi melakukan pelanggaran sebanyak tiga
kali terhadap isi Piagam Madinah, dua kali beliau bertindak sebagai hakimnya,
dan sekali beliau wakilkan kepada sahabatnya.
Berangkat dari proses hukum yang masih sederhana pada masa Nabi
Muhammad, maka secara kelembagaan proses hukum dalam peradaban Islam
mencapai puncaknya saat masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah
umat Islam mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Dinasti ini
mengalami masa kejayaan intelektual, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah
Islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai
masa kejayaannya antara khalifah ketiga, al-Mahdi (775-785 M), dan kesembilan,
al- Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid (786-809
M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena dua khalifah yang
hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan publik, dan menjadi
dinasti
hebat dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan istilah “the golden age of
Islam”.1 Kemajuan lain yang tak kala penting adalah dalam bidang hukum dan
peradilan di mana pada masa Abbasiyah sistem administrasi peradilan pada masa
itu sudah tersusun dengan rapi. Disamping itu, kemajuan yang paling fundamental
tentunya adalah sudah diberlakukannya pemisahan lembaga kekuasaan dan
lembaga hukum. Hukum secara kelembagaan telah berdiri secara independen dan
tidak bisa diintervensi pada saat itu.
Pada tulisan kali ini, penulis hendak mendalami bagaimana perkembangan
hukum dan peradilan islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Pendekatan yang
dilakukan tentunya adalah dengan menelurusi fakta-fakta sejarah pada masa itu
melalui berbagai macam literatur-literatur terkait.
B. Rumusan Masalah
1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), 52.
Sebagai bentuk sumbangsih pengetahuan dan wawasan dalam bidang
keilmuan sejarah peradaban Islam.
2. Manfaat Praktis
Dapat menjadi salah satu sumbangan ide atau pemikiran untuk
perbaikan proses penegakkan hukum ataupun proses peradilan di masa
sekarang berdasarkan Islam.
Bab II
Pembahasan
2
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), 358
konsep sejati kekhalifahan.3 Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani
Abbasiyah merupakan suatu revolusi. 4
Menurut Crane Brinton, ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat
kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang
di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya
menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan
dan tuntutan zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang
berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh
orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa
oleh karena halhal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada .5
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi
pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai
kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan
kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari
namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan
Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim
bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga
Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota
yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia
bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian
pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia
mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi,
teguh pendirian tidak mudah
3
ibid
4
Abdullah Manshur, Perkembangan Politik Dan Ilmu Pengetahuan
Pada Dinasti Abbasiyah, dalam: http://jim.stimednp.ac.id/wp-
content/uploads/2014/03/Perkembangan-Politik-dan-Ilmu-Pengetahuan-pada-Dinasti-
Abbasiyah.pdf (9 november 2016),16
5
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 144.
terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang
menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan
dukungan. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut
yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari
golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Pergerakan pun bahkan
mendapatkan sambutan yang semakin luas, terutama di wilayah Khurasan yang
mayoritas penduduknya muslim non-Arab, dan setelah masuknya seorang
Jenderal cekatan ke dalam gerakan ini, yaitu Abu Muslim.6
Setelah gerakan Abbasiyah dipimpin oleh Ibrahim ibn Muhammad, maka
seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-
Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah
gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran.7 Akhirnya
bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir, Marwan ibn
Muhammad terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi
berdiri.8 Setelah itu, mesin propaganda digunakan untuk menjatuhkan
kepercayaan publik terhadap Dinasti Umayah dan menjaga kepercayaan publik
terhadap Dinasti Abbasiyah.9
6
Syamruddin Nasution, “Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abu Muslim al-Khusarany
di Masa Daulah Umayah dan Abbasiyah”, Asy-Syir’ah Vol.47 No.2 (Desember 2013), 570
7
Ibid, 563
8
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono
Hadikusumo (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 186.
9
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), 359
kekuasaan dan pengaruh Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus masih
tetap eksis dibawah pemerintahan khalifah-nya, Marwan II. Pada 18 masa awal
berdirinya Dinasti Abbasiyah ini, terjadi dualisme kekuasaan yaitu kekuasaan
Dinasti Umayyah yang sedang berada dalam keadaan lemah namun tetap
dipandang sebagai ancaman serius bagi kedaulatan Dinasti Abbasiyah yang baru
muncul dan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang sedang bangkit. Untuk
menghadapi kekuatan Dinasti Umayyah tersebut, Abu al-Abbas menyiapkan
pasukan dibawah komando Abdullah bin Ali. Akhirnya terjadilah pertempuran
yang dahsyat antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Umayyah di lembah
sungai Az-Zab. Dalam pertempuran ini, pasukan Umayyah mengalami kekalahan
dan khalifah Marwan II berhasil melarikan diri. Peristiwa ini terjadi pada tahun
123 H. /750 M. Dengan demikian, berarti Dinasti Abbasiyah telah berhasil
menguasai daerahdaerah Syam termasuk pusat pemerintahan Dinasti Umayyah.
Upaya pembersihan keturunan Dinasti Umayyah serta pengejaran terhadap
khalifah Marwan II terus dilakukan. Akhirnya, pada tahun 123 H./750 M. pasukan
Abbasiyah dibawah pimpinan Shaleh bin Ali berhasil membunuh khalifah
Marwan II. Dengan terbunuhnya khalifah Marwan II, maka berakhirlah kekuasaan
Dinasti Umayyah dalam panggung sejarah peradaban ummat Islam. Orang
Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,
sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih
dekat dengan Nabi.10
Kemajuan politik yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah masuknya
orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah memberikan peluang
yang cukup besar kepada orang-orang Mawali keturunan Persia untuk menduduki
jabatan-jabatan penting dan strategis seperti jabatan Wazir. 11
Dengan demikian,
pengaruh Persia semakin signifikan dalam tatanan kehidupan politik pada masa
itu. Kehidupan ala Persia menjadi trend-setter, baik pemikiran maupun gaya
hidup. Hal ini berlaku tidak hanya pada kalangan masyarakat awam, akan tetapi
juga terjadi di kalangan elit pemerintahan. Masuknya orang-orang Persia ke
dalam jajaran
10
Serli Mahroes, “Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah Pendidikan Islam”,
Jurnal Tarbiya Volume: 1 No: 1 2015 (77-108), 79
11
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), 397
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, tidak dapat dipungkiri karena mereka juga telah
memainkan peranan yang sangat penting dalam menegakkan eksistensi Dinasti
Abbasiyah pada periode awal berdirinya Dinasti ini. Disamping politik balas budi,
masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran penting pemerintahan Dinasti
Abbasiyah dimungkinkan karena Dinasti ini mengedepankan politik terbuka. Hal
ini sangatlah berbeda dengan apa yang selalu dipraktekkan oleh Dinasti Umayyah
yang bersifat Arab-Sentris. Pada awalnya, ibu kota pemerintahan Dinasti
Abbasiyah terdapat di al-Hasyimiah dekat Kuffah. Akan tetapi untuk menjaga
stabilitas Negara yang baru berdiri tersebut, khalifah Al-Manshur (754-775M)
memindahkan ibu kota atau pusat pemerintahannya ke Baghdad yang berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kotanya yang baru inilah, khalifah al-
Manshur mengadakan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Ia
mengangkat sejumlah personil untuk menduduki jabatan-jabatan di lembaga
eksekutif dan yudikatif. Dalam menjalankan pemerintahannya, disamping
membenahi angkatan bersenjata, membentuk lembaga protokol negara dan
mengangkat hakim di lembaga kehakiman Negara, Khalifah al-Manshur pada
waktu itu menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir (perdana menteri)
sebagai kordinator departemen, atau yang jabatannya disebut dengan wizarat.
Wizarat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
1) Wizaaratut Tanfiz (sistem pemerintahan presidensiil) yaitu wazir hanya
sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet) yaitu wazirnya berkuasa penuh
untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. 12
Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal
sebagai gubernurnya. Kemudian, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan
tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitabah
(sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara).
Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul
diwan (menteri departemen-departemen).
12
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan bintang, 1979), 263
Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-
markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan
perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.13
Pada zaman al-Manshur ini pula, konsep kekhalifahan berkembang sebagai
sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan
yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari
rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman
khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur
―Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya. Di samping itu, berbeda dari daulat
Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai gelar tahta, seperti al-
Manshur adalah gelar tahta dari Abu Ja‘far. Dalam sejarah pemerintahan Bani
Abbasiyah tercatat ada 38 khalifah yang menjabat yaitu :
1. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
2. Abu Ja‘far al-mansyur (754 – 775 M)
3. Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
4. Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
5. Abu Ja‘far Harun Ar-Rasyid (786- 809 M)
6. Abu Musa Muhammad bin Harun Al Amin (809-813 M)
7. Abu Ja‘far Abdullah Al Ma‘mun (813-833 M)
8. Abu Ishak M. Al Muta‘shim (833- 842 M)
9. Abu Ja‘far Harun Al Watsiq (842-847 M)
10. Abul Fadhl Ja‘far Al Mutawakkil (847-861)
11. Al muntashir bin mutawakkil (861 - 862 M)
12. al-Musta'in (862-866 M)
13. Al-Mu'tazz (866-869)
14. Al Muhtadi bin Al Watsiq (869 hingga 870)
15. Abul 'Abbas Ahmad Al-Mu'tamid 'Alallah al-Mutawakkil (870-892)
13
Ibid, 263-264
16. Al-Mu'tadhid Billah (892-902)
17. Abu Muhammad Ali bin al-Mu'tadhid al-Muktafi Bin al-Mu'tadhid (902-
908)
18. Al-Muqtadir Bin al-Mu'tadhid (908– 932).
19. Al-Qahir Billah (932 - 934)
20. Abu al-Abbas Muhammad Ar-Radhi Billah bin al-Muqtadir bin
alMu'tadhid bin Thalhah bin alMutawakkil, ( 934 - 940)
21. Abu Ishaq Al-Muttaqi Billah, Ibrahim bin al-Muqtadir bin al-Mu'tadhid
bin al-Muwaffaq Thalhah bin alMutawakkil ( 940 - 944)
22. Abu al-Qasim Al-Mustakfi, Abdullah bin al-Muktafi bin al-Mu'tadhid (944
- 946)
23. Abu al-Qasim Al-Muthi' Lillahi , alFadhl bin al-Muqtadir bin alMu'tadhid
(946 - 974)
24. Abu Bakar Ath-Tha'i Lillah, AbdulKarim bin al-Muthi' (974 -991)
25. Abu al-'Abbas Al-Qadir Billah, Ahmad bin Ishaq bin al-Muqtadir (991-
1031)
26. Abu Ja'far Al-Qa'im Biamrillah, Abdullah bin al-Qadir (1031 - 1075)
27. Abu al-'Abbas Al-Mustazhir, Ahmad bin al-Muqtadi Billah (1094 - 1118)
28. Abu Manshur Al-Mustarsyid Billah, al-Fadhl bin al-Mustazhir Billah (1118
- 1135)
29. Abu Ja'far Ar-Rasyid Billah , Manshur bin al-Mustarsyid (1135 - 1136)
30. Abu Abdullah Al-Muqtafi Liamrillah, Muhammad bin al-Mustazhir (1136
- 1160)
31. Abu al-Muzhaffar Al-Mustanjid, Yusuf bin al-Muqtafi (1160 - 1170)
32. Abu Muhammad Al-Mustadhi' Liamrillah , al-Hasan bin alMustanjid
Billah adalah (1170 1180)
33. Abu al-Abbas An-Nashir Lidinillah, Ahmad bin al-Mustadhi' Biamrillah
(1180 - 1225.)
34. Abu Nashr Azh-Zhahir Biamrillah , Muhammad bin an-Nashir Lidinillah
(1225 -1226)
35. Al-Mustanshir bin Azh-Zhahir bi Amrillah bin An-Nashir ((1226 - 1242)
36. Abu Ahmad Al-Musta'shim Billah , Abdullah bin al-Mustanshir Billah
(1242 -1258)
37. Al-Mustanshir II, Abu al-Qasim AlMustanshir Billah, Ahmad bin
AzhZhahir Biamrillah (1261 - 1262)
38. Al-Hakim (1262-1302)14
1. Perkembangan Rezim Dalam Politik dan Pemerintahan
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem
politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada
pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat
sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman
khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur
“Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah,
pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani
Abbasiyah I antara lain :
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .
d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah.15
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah
mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan
negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan
pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah
berkuasa di daerahnya
,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja
14
A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 3, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Zikra,
2000), 5
15
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan bintang, 1979), 214
munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau
Spanyol, Daulah Fatimiyah . Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2
tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk
mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau
timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah .
dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persia.
2. Kemunduran Rezim Dinasti Abbasiyah
Pada pemerintahan bani Abbasiyah di atas, masa keemasan hanya
berlangsung sampai Khalifah Al-Wasith (842-847 M). Secara politis, para
Khalifah betul-betul tokoh yang sangat kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai
tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam islam. Namun, setelah periode
ini berakhir, pemerimtahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik,
meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Selanjutnya kekuasaan
politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik
sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah
tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di
daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau
membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil,
contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah.
Setelah mengalami masa kejayaan, Dinasti Abbasiyah akhirnya mengalami
kemunduran dan kehancuran. Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad
menjadikan Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuaasaan suatu
dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Adapun faktor
penyebab kehancuran Abbasiyah, diantaranya karena semasa Abbasiyah wilayah
kekuasaannnya meliputi barat sampai samudera Atlantik, disebelah timur sampai
India dan perbatasan China, dan diutara dari laut Kaspia sampai ke selatan, teluk
Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan wilayah
kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para Khalifah yang
lemah. Sementara itu jauhnya wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua
tersebut, dan kemudian hari
didorong oleh para Khalifah yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh
kelompokkelompok yang tidak terkendali bagi Khalifah. Selain agama juga faktor
ekonomi cukup dominan atas lemahnya sendisendi kekhalifahan Abbasiyah.
Beban pajak yang berlebihan dan pengaturan wilayah-wilayah (Provinsi) demi
keuntungan kelas penguasa telah menghancurkan bidang pertanian dan industri.
Saat para Wali, Amir, dan lain-lain termasuk kalangan istana makin kaya, rakyat
justru makin lemah dan miskin. Dengan adanya independensi dinasti-dinasti
tersebut perekonomian pusat menurun karena mereka tidak lagi membayar upeti
kepada pemerintahan pusat. 16
Sementara itu, disisi lain meningkatnya
ketergantungan pada tentara bayaran. Disamping itu, faktor yang penting yaitu
merosotnya moral para Khalifah Abbasiyah pada zaman kemunduran, serta
melalaikan salah satu sendi Islam, yaitu jihad. Faktor-faktor intern yang membuat
Daulah Abasiyah lemah kekudian hancur antara lain :
(1) adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun
dalam Daulah Abasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki.
(2) terjadinya perselisihan pendapat diantara kelompok pemikiran agama
yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah.
(3) munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan social yang
berkepanjangan.
(4) akhirnya terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai akibat dari
bentrokan politik.
Disamping faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern yang membawa
nasib dinasti ini terjun kejurang kehancuran total. Yaitu serangan Bangsa Mongol.
Latar belakang penghancuran dan penghapusan pusat Islam di Baghdad, salah satu
faktor utama adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn
Sabbah (1256 M) di pegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi‘ah
Isma‘iliyah ini sangat mengganggu di wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di
wilayah Islam maupun di wilayah Mongol tersebut. Setelah beberapakali
penyerangan terhadap Assasin akhirnya Hullagu, cucu Ghengis Khan dapat
berhasil melumpuhkan pusat
Kiki Muhammad Hakiki, “Mengkaji Ulang Sejarah Politik Kekuasaan Dinasti Abbasiyah”,
16
17
A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam 3, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Zikra,
2000), 345
18
Darmawati H., “Hukum Islam Pada Masa Imam-Imam Mujtahid”, Sulesana Vol. 7 No.2 (2012),
22
(ilmu fiqh). Ditandai dengan lahirnya kitab al-Muwaththa’ karya imam Malik di
Madinah.19
Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam
memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang
empat atau mazhab yang lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid
sudah ditiadakan. Kemudian, organisasi kehakiman juga mengalami perubahan,
antara lain telah diadakan jabatan penuntut umum (kejaksaan) di samping telah di
bentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut:
Adapun badan-badan Peradilan pada zaman Abasiyah ada tiga macam 22, yaitu
sebagai berikut:
19
Hendri K, “Pergumulan Politik Dan Hukum: Pasang Surut Perjalanan Peradilan Agama di
Indonesia”, Hukum Islam Vol. XV No. 1 (Juni 2015), 111
20
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5,
234-235.
21
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 159.
22
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 231
berfungsi memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara
sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf. Pada masa Abbasiyah setiap perkara
diselesaikan dengan berpedoman pada mazhab masing-masing yang dianut oleh
masyarakat. 23
23
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), 130
24
Ibid, 128
25
Ibid, 136
tidak dapat disamakan secara 100%.26 Dalam memeriksa perkara, hakim boleh
berijtihad walaupun secara administratif para hakim diperintahkan oleh khalifah
untuk menyelesaikan perkara dengan berpegang pada mazhab yang ada. Abu
Yusuf, misalnya, walaupun bermazhab Hanafi tetapi dia masih berijtihad dan
dalam hal tertentu ia berbeda pendapat dengan gurunya. Ini berarti bahwa terdapat
campur tangan para khalifah. Misalnya, qadhi di Irak menggunakan mazhab
Hanafi, di Syam dan Maghribi menganut mazhab Maliki, dan di Mesir menganut
Mazhab Syafi‟i. Apabila yang berperkara tidak satu mazhab dengan qadhi maka
diangkatlah qadhi yang satu mazhab dengan yang berperkara. 27
26
Ibid, 160
27
Ibid, 161
28
Hasbi Ash-shiddiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997), 27
tidak bisa dibendung. Dengan demikian sistem peradilan pun bertransformasi dari
yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik.
29
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), 163.
30
Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012, 159
b. Yahya bin Aksam (lahir tahun 159 H/755 M - wafat tahun 242 H/857 M)
beliau adalah qadhi qudah al-Makmun.
c. Ahmad bin Abu Daud (lahir tahun 160 H/777 M - wafat tahun 240 H/ 854
M) beliau adalah qadhi al-Mu‟tashim.
d. Sahnun al-Maliki (lahir tahun 160 H/ 777 M - wafat tahun 240 H/ 854 M)
beliau adalah qadhi Maghrib.
e. Al-‘Izz bin Abd. Al-Salam (lahir 578 H/ 1181 M – wafat tahun 660 H/
1262 M) beliau adalah qadhi Mesir.
f. Ibnu Khillikaan (lahir tahun 608 H/ 1211 M – wafat tahun 660 H/ 1282 M)
beliau adalah qadhi Damaskus.
Itulah sebagian qadhi qudhah dan qadhi yang banyak mendapatkan perhatian
umum terkenal dalam masyarakat fikih dan di pandang sebagai pebimbing ilmu
al- furu’ dalam periode kedua dari bani Abbasiyah.31
b. Wilayah Hisbah
Secara etimologi al-hisbah merupakan kata benda yang berasal dari kata al-
ihtisab artinya “menahan upah” kemudian maksud meluas menjadi ”pengawasan
yang baik”. Sedangkan secara terminologi, al-Mawardi mendefinisikan dengan
“suatu perintah terhadap kebaikan (Ma’ruf) bila terjadi penyelewengan terhadap
kebenaran dan mencegah kemungkaran”. Kriteria kebaikan yaitu segala perkataan,
perbuatan, atau niat yang baik yang diperintahkan oleh syariat. Sedangkan
perbuatan mungkar yang dilarang oleh syariat.32
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam
Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman.
Pejabat badan hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang
penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum
seperti mencegah penduduk yang mengakibatkan sempitnya jalan-jalan umum,
mengganggu kelancaran lalu lintas, dan melanggar hak-hak tetangga serta
31
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), 136.
32
Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012, 125
menghukum orang yang mempermainkan hukum syara‟. 33Misalnya menghukum
orang yang melakukan hal-hal keji seperti berzina, mengkonsumsi minuman
keras, berbuat curang dalam muamalah melakukan jual beli yang di larang syariat,
penipuan dalam takaran dan timbangan dan lain sebagainya.
Sebenarnya wilayah al-hisbah sudah ada pada masa Rasulullah saw., sebagai
emberio dan dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tetapi nanti
berkembang pada masa Bani Umayyah, terutama pada masa pemerintahan
Khalifah Umar bin Abdul Azis. Upaya ini digolongkan pada usaha untuk
memberikan penekanan terhadap ketentuan hukum, agar dapat terealisir dalam
masyarakat secara maksimal. Di samping itu, wilayah al-hisbah dapat
memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran. Di sini terlihat, betapa urgen keberadaan wilayah al-hisbah dalam
membina masyarakat untuk menaati aturan-aturan yang telah ditetapkannya.
Dengan demikian, kewenangan wilayah al-hisbah lebih banyak kasus-kasus yang
berkaitan dengan pelanggaran moral, baik bidang muamalah dan kemasyarakatan,
maupun dalam bidang hukum dan politik.34
Pada masa Abbasiyah wilayah hisbah terlaksana dengan baik, lembaga ini
berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-
perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal ini dijelaskan oleh
Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan menghadapi
perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib.
Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga
seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah
lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan mengangkat muhtasib
sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-
qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya. Lembaga ini bahkan
mempunyai tugas lebih besar dari kepolisian, yakni diadakan untuk mengawasi
semua aktivitas manusia, khususnya umat Islam, baik yang berkaitan dengan
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), 130
33
Lomba Sultan, “Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia”, Jurnal Al-
34
35
Ibid, 440
36
Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), 128.
umum, sedangkan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan
tidak termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu, muhtasib juga
berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam
kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan
hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah
kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian, dan lain-lain.
c. Wilayah Al-Mazalim
Kata wilayah al-Mazalim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah dan
al-Mazalim. Kata wilayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan
pemerintahan. Sedangkan kata al-Mazalim adalah bentuk jamak dari mazlimah
yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.37
37
ibid, 125.
38
Muhammad Salam Madzkur, Peradilam Dalam Islam, terj. Imran A.M. (Surabaya: Bina Ilmu,
1982), 171
menyidang kasus tersebut di depan sang Khalifah. Di tengah perdebatan, tiba-
tiba wanita tersebut mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al-
Abbas sehingga para pengawal istana mencelanya. Kemudian Al-Makmun
berkata, “Dakwaannya benar, kebenaran membuatnya berani berbicara dan
kebatilan membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak si
wanita dan hukuman kepada sang anak khalifah. Kedudukan badan ini lebih
tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-mazhalim
bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan
muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim
tersebut, atau menyelesaikan perkara banding. Dapat dikatakan pula bahwa
lembaga ini memeriksa perkara- perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang
hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan
oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa.
Sebagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-
perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.39
d. Al-Mahkamah Al-Askariyah
39
Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), 64
40
Lomba Sultan, “Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam dan Aplikasinya di Indonesia”, Jurnal Al-
Ulum Vol.13 No.2 (Desember 2013), 447
Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl,
terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.41
e. Badan Arbitrase
41
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), 166.
42
Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), 164.
“sesungguhnya sahabat Nabi SAW berbeda dalam furu’ dan berserakan di
berbagai negeri dan masing-masing dari mereka adalah benar.”
Uraian di atas menunjukkan bahwa Ibnu Muqawwafa menginginkan ada
satu peraturan yang terkodifikasi yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah,
dan perkara yang tidak ada ketentuan nashnya maka di ambil dari pendapat yang
memenuhi tuntutan keadilan dan kemashlahatan umat, namun ide pembuatan
undang-undang tersebut di tolak oleh iman Malik. Ini menunjukkan bahwa
setiap perkara yang ada harus merujuk pada Al-Quran dan sunnah dan perkara
yang tidak ada ketentuan nashnya maka di ambil dari ijtihad para ulama dari
masing-masing imam mazhab.43
5. Manajemen Kehakiman
a. Pengangkatan Hakim
43
Muhammad Salam Madzkur, Peradilam Dalam Islam, terj. Imran A.M. (Surabaya: Bina Ilmu,
1982)
44
Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), 26.
Qadhi Qudhat juga diberikan wewenang memecat pejabat bawahannya. Dengan
demikian juga, setiap hakim diberikan hak mengundurkan diri dari jabatan yang
dipangkunya apabila hal itu dipandang membawa maslahat.45
b. Kewenangan Hakim
Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa
Khulafa‟ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan
Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam
urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa
perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara
yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah lah
yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa
pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan
politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki
kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang
terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian
dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa‟ al-
Rasyidin yang disamping
45
Ibid, 29.
46
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta: Al Husna, 1998),
24.
sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.47 Pada awalnya khalifah
Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh
peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur
tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi
yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim
daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otoritas dan independenitas
yang tinggi.48 Jika di masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu
luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu
disamping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan
urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah
umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan
kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas,
hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim
yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat
oleh al-Makmun. Perkembangan kekuasaan kehakiman pada masa dinasti
49
a. Mengangkat qadhi.
b. Memecat qadhi.
c. Menyelesaikan qadhi yang mengundurkan diri.
d. Mengurusi hal ihwal qadhi.
e. Meneliti putusan-putusan qadhi dan meninjau kembali putusan-putusan
tersebut.
f. Mengawasi tingkah laku qadhi di tengah-tengah masyarakat.
47
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), 123
48
Ibid, 121
49
Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) 64.
g. Mengawasi administrasi dan pengawasan terhadap fatwa.
h. Membatalkan suatu putusan hakim.50
Hakim agung juga memiliki kewenangan untuk mengangkat hakim-hakim
yang ditetapkan di seluruh provinsi. Demikian juga pada masa pemerintahan
Sultan az-Zahir Bibars (665 H/1267 M), di mana ia membentuk sistem peradilan
yang menggabungkan empat mazhab besar yang dikepalai oleh masing-masing
hakim agung. Untuk hakim agung mazhab Syafi‟i mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dari yang lainnya. Karena selain menangani urusan yurisdiksinya,
juga diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan anak yatim piatu,
perwakafan, dan menangani masalah baitul mal. Sedangkan hakim agung yang
lain mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat dari masing-masing
mazhabnya.51
c. Pemecatan dan Penggantian Hakim
Pada masa Abbasiyah pemecatan dan penggantian hakim tiap mazhab saling
berbeda pendapat, menurut mazhab Syafi’i, pemerintah mempunyai hak
memberhentikan hakim yang ia angkat apabila ada sebab yang
mengkehendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemberhentian tanpa ada
sebab. Hal itu dikaitkan dengan kemaslahatan kaum muslim dan hak umat, tidak
dibenarkan tindakan pemecatan terhadap hakim yang tidak bersalah karena hal
itu disamakan dengan wakalah (perwakilan) apabila berhubungan dengan hak
orang lain.52
Ada pendapat bahwa pemerintah boleh memecat hakim tanpa ada
kesalahan, berdasarkan satu riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib pernah
mengangkat Abu al- Aswad (sebagai hakim) kemudian dipecat. Lalu Abu al-
Aswad bertanya, “mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan
tidak melakukan tindakan kesalahan?” Ali menjawab, “sesungguhnya aku
melihat ketinggian ucapanmu pada pihak yang berperkara.” Karena penguasa
berhak memecat pejabat bawahannya, termasuk juga para hakim. Waktu
berlakunya pemecatan
50
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, terj. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna, 1998),
29.
51
Amany Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005), 138.
52
Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), 28.
adalah sejak ia (hakim yang dipecat) mengetahui pemecatan dirinya. Abu Yusuf
berkata, “berlakunya pemecatan itu adalah sejak penggantinya diangkat.”
Sebagaimana hakim boleh mengundurkan diri, waktu berlakunya pengunduran
diri itu sejak ia meninggalkan tugasnya.53
Menurut pendapat Jumhur, hakim yang mengundurkan diri tidak langsung
lepas dari tugasnya sampai diangkat pejabat baru. Sebab, tidak seorang pun
dapat membatalkan suatu hak dan menurut satu pendapat dikatakan bahwa
hakim yang demikian itu belum lepas kewajibannya selama hal pengunduran
dirinya belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya. Hal ini bila qiyaskan
dengan pendapat Abu Yusuf. Selama surat pemcatan itu belum disampaikan,
segala putusan yang pernah ia putuskan tetap sah, dan dapat dilaksanakan
selama pengunduran dirinya itu belum diterima (secara resmi). Dan bila seorang
hakim meninggal dunia atau dipecat oleh yang tidak berhak memecatnya, tidak
diperlukan pengangkatan baru sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan
umum dibidang peradilan dari umat dan mengadili atas nama umat.54
53
Ibid
54
Ibid, 29
BAB III
Kesimpulan
Ash-shiddiqi, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997.
Hitti, Philip K. History Of The Arabs. terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011
Lubis, Amany. Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam. Jakarta: UIN
Madzkur, Muhammad Salam. Peradilam Dalam Islam. terj. Imran A.M. Surabaya:
Bina Ilmu, 198.
Ma’’arif, Ahmad Syafi’i dan Amin Abdullah. Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007
Syalabi, A.. Sejarah Dan Kebudayaan Islam 3. terj. Mukhtar Yahya. Jakarta: Al
Husna Zikra, 2000
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. terj.
Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Darmawati H., “Hukum Islam Pada Masa Imam-Imam Mujtahid”, Sulesana, Vol.
7 No.2, 2012.