Anda di halaman 1dari 9

Konsep Wahyu Ahmadiyah

Written by Fahmi Salim Jika kita membedah konsep wahyu dalam ruang lingkup Aliran Ahmadiyah, maka tersedia dua sumber epistemologi mereka yaitu: Kitab TAZKIRAH dan Al-Quran yang telah ditakwilkan oleh kelompok ini. Kita tinjau dua sumber aliran Pertama, Kitab Tazkirah adalah kitab suci aliran ini, namun jarang diangkat atau digunakan untuk pengikutnya yang awam. Kitab ini memuat wahyu-wahyu atau ilham dari Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad (MGA). Selain dalam Tazkirah, kumpulan wahyu versi Ahmadiyah juga ada dalam kitab yang ditulis MGA sendiri, yaitu Barahin Ahmadiyah. Ciri-ciri Tazkirah secara umum yaitu: 1) Tazkirah tidak terbagi dalam surat-surat, tetapi sekaligus satu surat. 2) Tidak ada juga pembagian ayat demi ayat yang jelas. 3) Tidak semua wahyu itu dalam bahasa Arab, tetapi sebagian kalimat masih ada yang berbahasa Urdu. 4) Apa yang diklaim sebagai wahyu itu diawali dengan mimpi bertemu dengan nabi Muhammad saw, baru kemudian wahyu turun. 5) Disusunnya bukan berdasarkan urutan wahyu yang diklaim, sebab wahyu yang pertama turun adalah Was-samaai wat-Thaariq lalu AlaisaLlahu bi kaafin abdah. 6) Dan ayat yang diklaim sebagai ayat pertama dan kedua tadi, justru lupa dimasukkan dalam kumpulan wahyu ini.Bagi umat Islam yang sudah terbiasa membaca Al-Qurn apalagi mengerti artinya, akan dengan mudah memahami bahwa Tazkirah adalah bajakan Al-Qurn. Tentu saja kelompok Ahmadiyah membantahnya. Sebab mereka dapat saja mengelak dan mengatakan bahwa di dalam Al-Qurn pun terdapat beberapa ayat serta cerita yang sama dengan kitab suci yang sebelumnya. Namun bantahan tersebut tidak benar, disebabkan hal-hal berikut: 1. Allah tidak menurunkan wahyu kepada seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya. (QS Ibrahim: 4) Karena itulah Al-Qurn diturunkan dalam bahasa Arab, Injil dalam bahasa Suryani, dan Taurat dalam bahasa Ibrani. Kalaulah wahyu turun kepada Mirza yang orang Pakistan-India dan berbahasa Urdu, maka kenapa wahyunya berbahasa Arab? 2. Bagi mereka wajar kalau di Tazkirah pun terdapat kosakata Arab, sebab di dalam Al-Qurn juga terdapat beberapa kata non-Arab. Faktanya bahwa Al-Quran juga mengandung kosakata non-Arab, meski itu ditentang oleh banyak ulama, akan tetapi itu hanya kata, bukan dalam bentuk kalimat. Sedangkan yang terjadi di dalam Tazkirah adalah bentuk kalimat Arab yang sama persis dengan Al-Qurn, hanya dipotong dan disambung dengan ayat lain sesuai dengan kebutuhan. 3. Jika Al-Qurn adalah mukjizat, lalu jin dan manusia ditantang untuk membuat yang sama dengan Al-Qurn, ternyata tidak ada yang mampu, maka seharusnya Tazkirah (yang katanya wahyu) juga sama seperti Al-Qurn, semua orang ditantang untuk membuat yang seperti itu. Namun tantangan ini akan sangat janggal untuk Tazkirah. Sebab, bagaimana akan menantang jika Tazkirah itu tak lebih dari sekedar daur ulang Al-Qurn? 4. Setiap ayat Al-Qurn mempunyai nilai susastera yang luar biasa indahnya. Adakah itu dalam Tazkirah? Kalau ada, hal itu karena bajakan dari Al-Qurn. Hasil bajakan itu sangat buruk, sebab ayat-ayat Al-Qurnnya banyak diubah, bukan hanya dipindah Bandingkan denganAl-Qurn yang sedemikian indah dan tinggi balaghahnya. Bukankah aneh, Allah menurunkan wahyu dengan bahasa yang semakin jelek, tidak tersusun, tidak teratur? Jelas, hal semacam ini adalah suatu kebohongan. Kedua, Kitab "AL-QUR'AN DENGAN TERJEMAHAN DAN TAFSIR SINGKAT" editor: Malik Ghulam Farid, alih bahasa: Dewan Naskah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dengan restu Hadhrat Mirza Tahir Ahmad KHALIFATUL MASIH IV, edisi kedua, diterbitkan oleh JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA 1987.

Sejumlah hal bias disorot dengan tajam dalam Kitab tafsir versi Ahmadiyah tersebut: seperti mukjizat para nabi, kemungkinan adanya rasul baru pasca Muhammad saw, dan nubuatan atau kasyaf dari Al-Quran sebagai pembenaran doktrin Ahmadiyah. Misalnya, penggunaan ayat 35 surah Al-Araf yang selalu dijadikan preferensi bagi Ahmadiyah untuk menjustifikasi kenabian MGA. Menurut mereka, ayat ini menyatakan kemungkinan pengutusan rasul-rasul setelah Nabi Muhammad saw. Khitab ayat ini memang ditujukan kepada umat Rasulullah saw, bukannya umat-umat terdahulu, sehingga dimungkinkan datangnya rasulrasul baru Nabi Muhammad saw. (lihat hlm.571 Tafsir Ahmadiyah). Takwil ini tertolak dengan dalil dan madlul ayat 40 surah al-Ahzab. Juga, seluruh ulama tafsir sepakat bahwa khitab ayat ini ditujukan untuk umat-umat terdahulu yang kepada mereka telah diutus masing-masing rasul sesuai waktu dan tempatnya. Ini telah dipaparkan oleh pakar tafsir terkemuka al-Razi, al-Alusi, dan al-Thahir ibn 'Asyur. Soal pekabaran dan nubuatan dalam Al-Quran yang jelas-jelas merujuk kepada Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir, pun tak luput dari penodaan Ahmadiyah. Nubuatan itu misalnya termaktub dalam Q.s al-Jumuah: 3 dan as-Shoff: 6. Mengomentari ayat al-Jumuah ditulis: Jadi, Al-Qur'an dan hadis kedua-duanya sepakat bahwa ayat ini menunjuk kepada kedatangan kedua kali Rasulullah saw dalam wujud Hadhrat Masih Mau'ud as, MGA." (hlm. 1919-1920). Padahal, ayat ini berbicara tentang universalitas Islam yang akan dipeluk oleh manusia dari berbagai macam suku bangsa dan ras. Jadi, tak ada sangkut pautnya dengan pembenaran atas MGA sebagai rasul dan al-Masih al-Mau'ud, hanya karena kebetulan ia juga keturunan Persia. Hadis Bukhari yang menjadi sebab turunnya ayat itu juga tidak secara diskriminatif hendak membatasi kemuliaan Islam pada orang-orang keturunan Persia saja seperti Salman al-Farisi. Banyak pula sahabat Rasulullah saw yang berjuang untuk Islam berasal dari suku bangsa dan ras yang berbeda-beda.Sama halnya dengan takwil ayat as-Shaff (hlm. 1914). Dakwaan Ahmadiyah hanyalah sebatas pendomplengan dan pencatutan nama, atau lebih tepatnya kemiripan nama si pendusta dengan nama Rasulullah Muhammad SAW. Apalagi pemanggilan si pendusta dengan nama Ahmad itu pun dikarang olehnya dalam wahyu ilusif yang terangkum dalam Barahin Ahmadiyah. Kesimpulannya, dilihat dari 2 sumber doktrin Ahmadiyah baik kitab Tazkirah maupun Al-Quran yang ditakwil sesuai versinya, keduanya telah menunjukkan dengan telanjang kebusukan misi mereka untuk melakukan langkah subversif; mendirikan Negara asing Ahmadiyah dalam Negara yang sah Islam dengan pelbagai cara.

Deprivatization
Ketika Ahmadiyah ditolak oleh umat Islam Indonesia dan ketika Saksi Jehovah ditolak oleh umat Katholik dan Protestan, negara ikut campur menjadi wasit. Ketika gelombang penistiaan agama menyeruak di Amerika, pemerintah negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang yang menghukum dan mendenda penista agama. Pada saat Taslima Nasrin di Bangladesh menulis di koran The Statesman (tahun 1994) al-Quran harus direvisi secara menyeluruh negara memfonis hukuman mati. Empat tahun kemudian, Ghulam Akbar, menghina Nabi Muhammad dan segera dihukum mati. Tahun 2000 kelakuan Ghulam Akbar ditiru oleh Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali pengadilan pemerintah propinsi Lahore memutuskan pun hukuman mati. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi langsung dihukum mati dan selesai. Disini kisah-kisah itu membuktikan peran negara dalam menyelesaikan konflik agama mutlak perlu dan terus berjalan. Bagi penganut sekularisme dan liberalisme kaaffah, negara tidak boleh ngurusi agama dan sebaliknya. Ini harga mati. Sebab agama dianggap sebagai domain pribadi. Privatisasi agama adalah sekularisasi. Sekularisasi telah menjadi tren sosial politik di Barat Eropah sejak abad Pencerahan (1720-1880). Setengah abad yang lalu Smith (1970-76) mendeklarasikan sekularisasi sebagai perubahan struktur dan ideologi yang sangat mendasar dalam proses pengembangan politik dan tren global modernisasi. Acuannya adalah figur-figur ilmuwan sosial abad 19 seperti Marx, Durkheim, Weber dsb. Jadi desakralisasi agama adalah satu paket dengan sekularisasi dan modernisasi masyarakat. Ketika itu memang agama telah kehilangan relevansi sosial dan politiknya. Sebab politisi dari para pemuka agama semakin tidak cakap dan malah semakin tiranik. Kekuasaan tidak lagi ditangan agama, tapi ilmu. Dari situlah keluar jargon knowledge is power, ilmu adalah kekuasaan. Lebihlebih kalangan gereja menganggap pemisahan itu hampir seperti keniscayaan. Doktrin gereja itu sudah dichotomis berikan hak kaisar kepada kaisar dan hak tuhan kepada tuhan (Luke 21-25). Ditambah lagi suasana reformasi politik Eropah pada waktu itu begitu dominan sehingga ketegangan antara gereja dan negara adalah warna sejarah Eropah yang kelam. Tapi tahun 1979 setelah terjadi revolusi Iran orang baru sadar bahwa tafsir modernisasi ternyata tidak tunggal dan kaku. Sejak saat itu agama dan politik yang sempat talak tiga di Eropah dan negara-negara jajahannya, rujuk kembali. Tapi masih dalam status nikah sirri. Orang mengakui tapi tidak berani terbuka. Tapi kenyataan sosial seperti mendorong kearah sentralisasi agama ke ruang publik. Orang, misalnya bertanya-tanya mengapa Perdana Menteri Inggeris, David Cameron mesti sowan Paus Benedict ke XVI. Disitu ia mengungkapkan penyesalannya atas berkembangnya kultur relativisme dan sekularisme di Barat. Ia juga menghargai sikap Paus yang menurutnya telah menggugah semua negara untuk bangkit dan berfikir melawan itu. Di Amerika tahun 60 an JF Kennedy menyatakan bahwa agama dan keyakinan Presiden adalah urusan pribadi dan tidak bisa diberlakukan kepada bangsa dan sebaliknya. 50 tahun kemudian senator Pennsylvania Rick Santorum menyanggahnya. Dalam kuliahnya di the University of St. Thomas, ia tegaskan pemisahan gereja dan negara secara mutlak bukan dan tidak pernah menjadi model Amerika. Itu hanya model yang dipakai oleh negara-negara seperti Perancis dan Turkey, tapi tidak laku di Amerika, kecuali setelah Hakim Hugo Black melempar hal ini kedalam wacana publik.

Jeff Haynes, professor pada Department of Politics and Modern History di University of London, mencoba menganalisa. Ormas keagamaan menjadi aktor politik karena agama merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan sekuler. Fenomena ini tersebar luas dan perlu kajian secara kasus per kasus. Konsekuensi dari intervensi itu bisa bermacam-macam. Agama terkadang menjadi sangat berperan dalam rekayasa politik. Demokrasi di Amerika Latin dan Eropah Timur tahun 80 an tidak lepas dari peran gereja Katholik. Jika Jeff diminta komentar revolusi di Mesir baru-baru ini, ia pasti melihat peran agamawan Islam maupun Kristen Coptic sangat besar. Salat Jamaah para pendemo dan doa para pemimpin Coptic di Lapangan Tahrir adalah no comment new. Kesuksesan menumbangkan Hosni Mubarak dirayakan dengan sujud syukur, bukan dengan minum-minum atau dansa-dansi. Disitu agama menjadi etos kerja pendemo. Fenomena yang disebut Jeff terjadi di Inggeris. Disana agama mulai menolak menjadi urusan pribadi. Gereja-gereja Katholik muncul kembali membawa suara moral, sosial dan bahkan politik. Pada tahun 1996 misalnya mereka menyebarkan pamflet berjudul The Common Good and the Catholic Churchs Social Teaching. Pamflet itu adalah intervensi gereja terhadap konflek antara partai Buruh dan Konservatif. Menurut klaim mereka ini adalah kekuatan spiritual agama dan juga relevansi agama Katholik dengan demokrasi liberal, pluralisme, dan ekonomi pasar. Memang dalam soal hubungan negara dan gereja Kristen berbeda dari Islam. Dalam Islam masjid bukan gereja dan tidak punya otoritas. Maka, sebenarnya, menurut P. J. Vatikiotis, (Lihat Islam and the State) apa yang dituntut gereja sebagai komunitas moral, penjaga hukum Tuhan, institusi kependetaan dan sekaligus komunitas politik lebih cocok dituntut oleh orang Islam. Hidup dalam worldview Islam sebagai realitas fisik adalah ekspresi kehendak Tuhan. H. Dabashi (dalam T. Robbins & R. Robertson (eds.), Church-State Relations), bahkan tegas menyatakan tidak ada dalilnya dalam Islam yang memisahkan kesalehan dengan politik, keduanya adalah perintah Tuhan. Meskipun dalam Islam otoritas agama dan politik dapat dipisahkan menjadi dua institusi sosial yang berdiri sendiri-sendiri, namun keduanya selalu berhuhungan. Jadi yang masih membela privatisasi agama jelas set back setengah abad atau bahkan tiga abad. Kini agama telah berubah dari interest pribadi menjadi publik, dari urusan institusi menjadi konstitusi. Itulah makna deprivatisasi agama yang akan terus dilawan oleh liberalisasi dan postmodernisasi. Wallahu alam

Ahmadiyah dan Hadis Nabi


Written by Husein Zaenal Muttaqien Sebagaimana sikapnya terhadap al-Quran, Ahmadiyah juga banyak mencari pembenaran paham-pahamnya pada hadits Nabi Muhammad saw. Dalam Tesis yang saya tulis di Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, saya menemukan banyak kejanggalan tentang penggunaan hadits Nabi oleh Ahmadiyah. Dalam tiga doktrin pokok Ahmadiyah, tepatnya masalah Isa Al-Masih, al-Mahdi dan Kenabian, saya menemukan 31 hadis dengan rincian: (a) 20 hadis itsbt, yaitu hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk membangun doktrin-doktrin mereka, dan (b) 11 hadis radd, atau bantahan-bantahan terhadap para pengkritik yang menggunakan hadis-hadis tersebut. Setelah diteliti, ternyata terdapat kekeliruan mendasar, yang tidak lagi masuk pada wilayah ijtihdi yang masih bisa ditoleransi, namun sudah masuk pada wilayah iftira (mengada-ada), sehingga tergolong sesat dan menyesatkan. Berikut contoh kekeliruan tersebut: Pertama, Kesalahan Metodologis. Ahmadiyyah sering keliru dalam merujuk sumber dan metode pengambilan rujukan. Contoh, hadis tentang keutamaan Isa a.s.. Mereka sebutkan ada dalam riwayat Ibnu Majah, tapi ternyata tidak ada dalam riwayat Ibnu Majah, melainkan ada dalam riwayat Ibnu Asakir dan Abu Nuaim. Contoh lain, hadis Imam Zaman. Mereka menyebutkan riwayat Abu Daud dan Kanz al-Umal, padahal tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Juga tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits lainnya yang mutabar (otoritatif). Ketidakakuratan dalam mengutip hadis berakibat pada kesalahan memahami hadis, seperti kalimat ya ammi (wahai pamanku) menjadi ya Umar (wahai Umar), terkait hadits khatamul muhajirin (orang yang yang terakhir hijrah). Ini sengaja disandarkan pada Umar, untuk membuktikan bahwa istilah khatam, bukan bermakna terakhir, karena Umar memang bukan orang terakhir yang berhijrah. Padahal, dalam hadits tersebut, jelas disebutkan ammi yang berarti merujuk pada paman Nabi Saw, Abbas, yang justru paling akhir hijrah. Ada juga hadits yang dikutip secara tidak lengkap. Seperti yang mereka lakukan terhadap hadis mengenai sifat Al-Mahdi. Mereka hanya mengutip perintah baiat kepadanya tanpa mengutip ciri dan sifat Al-Mahdi. Hal itu dilakukan karena sifat dan ciri al-Mahdi dalam hadits tersebut sangat jauh berbeda dengan MGA. Parahnya lagi, mereka mengklaim hadis l nabiyya badi (tidak ada nabi setelahku) sebagai hadis lemah menurut penilaian Imam Tirmidzi. Padahal jika dibaca secara keseluruhan, Imam Tirmidzi menyimpulkan hadis tersebut masuk pada kategori hasan (bagus). Selain salah dalam hal pengutipan, Ahmadiyyah juga sering salah dalam penggunaan istilah-istilah hadis. Ditemukan beberapa kekeliruan dalam memahami dan menggunakan istilah-istilah ilmu hadis. Contohnya, mendaifkan sebuah hadis gara-gara Imam Tirmidzi mengatakan hadis itu gharib (asing). Padahal istilah gharib bukan untuk menjelaskan derajat hadis. Demikian juga tentang hadis munculnya gerhana bulan sebagai tanda munculya Imam Mahdi, dianggap ucapan Nabi padahal itu ucapan seorang tabiin, generasi sesudah para shahabat Nabi. Ada juga kekeliruan dalam memahami kesimpulan ulama, seperti tentang munculnya 30 nabi palsu yang dianggap daif oleh Ibnu Hajar. Padahal Ibnu Hajar men-dhaif-kan riwayat yang lainnya.

Karena itu, Ahmadiyah memang secara sengaja tidak memperhatikan validitas sebuah hadis yang dijadikan hujjah. Ini terbukti dari 20 hadis yang mereka gunakan, terdapat 16 hadis yang tidak layak dijadikan hujjah. Sebagai contoh, hadis yang dijadikan argumentasi Ahmadiyah bahwa Imam Mahdi itu identik dengan MGA, adalah hadis terkait tanda munculnya Imam Mahdi itu adanya gerhana bulan dan matahari pada bulan Ramadhan. Adapun hadisnya adalah sebagai berikut, Sesungguhnya untuk mahdi kita ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak saat langit dan bumi diciptakan. Gerhana bulan akan terjadi pada malam pertama bulan ramadhan dan gerhana matahari akan terjadi pada pertengahannya (HR Al-Daruquthn,V hlm 11, No:1816). Setelah diteliti, ditemukan tiga perawi yang bernama Amr bin Syamr, Jabir Bin Yazid Al-Jufi AlKufi, dan Muhammad Bin Ali. Ketiganya dipandang cacat oleh para ulama Ahli Hadis karena sering membuat hadis palsu. Secara sanad, hadits yang digunakan Ahmadiyah sebagai landasan doktrinnya adalah termasuk hadis maudhu (palsu) yang jelas-jelas tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi sebagai hujjah sebuah doktrin aqidah. Lebih-lebih, dalam matan (isi) hadits, terdapat pernyataan yang tidak logis, yaitu gerhana bulan di awal bulan, karena semestinya pada pertengahan bulan. Kedua, Kesalahan dalam Menakwilkan Hadits . Kesalahan lainnya adalah pemahaman hadits oleh Ahmadiyah dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah. Hal ini terjadi karena Ahmadiyah tidak menempuh tahapan-tahapan yang semestinya dilakukan, yaitu: (1) Mengumpulkan semua jalur periwayatan, (2) membandingkannya, karena sebaik-baiknya penafisran hadis adalah sabda Nabi itu sendiri, (3) melihat pemahaman dan pengamalan para sahabat dan tabiin, (4) memperhatikan penafsiran para ulama dalam berbagai bidang spesialisasinya, seperti para ulama tafsir, hadis, fiqih dan lughah. Akibatnya, takwil hadits yang dihasilkan sangat rancu. Hal itu tampak jelas saat kaum Ahmadiyah berusaha mentakwilkan semua sifat-sifat Al-Masih yang akan turun pada akhir zaman agar semua sifat itu dipaksakan identik dengan MGA. Padahal sifat-sifat Al-masih itu sangat banyak dan rinci, karena haditsnya mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, akan didapatkan takwil-takwil yang aneh dan lucu misalnya, memakai dua kain yang berwarna kuning ditakwil dengan dua penyakit yang diderita oleh MGA, yakni epilepsi dan beser. MGA mengatakan : Terdapat dalam hadits bahwa al-Masih itu turun dengan memakai dua kain yang berwarna kuning, kedua kain itu adalah penyakitku, pertama, pusing kepala yang saking beratnya terkadang membuat aku jatuh ke tanah, dan kedua, beser yang terkadang aku mesti kencing seratus kali dalam sehari. (Dhamimah Barahin Ahmadiyah , hlm. 213). Seorang propagandis Ahmadiyah yaitu Nadzir dalam al-Qaul al-Sharih (hlm.105) menjelaskan bahwa kain kuning dipahami sebagai penyakit adalah berdasarkan kitab takwil mimpi yaitu Tathirul al-Anm, disana disebutkan, Kain berwarna kuning menunjukan penyakit, dan lemahnya orang yang memiliki baju tersebut. Untuk mendapatkan takwil seperti itu mereka tidak merujuk sumber otoritatif seperti kitab maajim (kamus-kamus bahasa Arab), malah menggunakan kitab tabir mimpi. Sejumlah contoh tersebut menunjukkan, bahwa sejatinya, meskipun Ahmadiyah mengutip hadis Nabi Muhammad saw sebagai sandaran pendapatnya, sejatinya mereka telah melakukan pembajakan dan penodaan terhadap hadis Nabi yang mulia.

Solusi Problem Ahmadiyah


Written by Syamsuddin Arif Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid [pembaharu], tulis Ir. Soekarno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. Mantan Presiden RI pertama itu bukan pertama dan bukan pula satu-satunya yang berpendapat demikian. Jauh sebelumnya, filsuf dan pujangga terkenal Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam ( Islam and Ahmadism, cetakanDawah Academy Islamabad, 1990hlm. 8). Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakanAhmadiyah di India dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi. Menurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik belahbambu kolonialis Inggris -yang waktu itu masih bercokol di India- dan wayang imperialis Russia yang sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah kepasrahan pada penguasa (political servility), jelas Iqbal (hlm. 13). Jika pemerintah Russia mengijinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking, wilayah tenggara England. Bag iIqbal, doktrin-doktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme demikian Iqbal lebih suka menyebutnya- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet.(hlm. 2). Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi telah meneliti secara intensif dan objektif riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad, bagaimana MGA berubah dari seorang santri sederhana menjadi pembela agama (1880) lalumengklaim dirinya imam mahdi alias masihmawud (1891) dan akhirnya mengaku jadi nabi (1901). Kesimpulannya, gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan-rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah umat kian rumit (Lihat: Qadianism: A Critical Study, cetakan Lucknow 1980, hlm. 155). Ajaran sesat Ahmadiyah dibawa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925 oleh beberapa pemuda asal Sumatera yang pernah dididik di Qadian, India selama beberapa tahun.Demi menyebarkan pahamnya, misionaris Ahmadiyah telah menerbitkan majalah Sinar Islam ( sic!), Studi Islam dan Fathi Islam. Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan penyesatan umat ini sempat menyeret mereka beberapa kali ke dalam debat terbuka pada 1933 di Bandung (Lihat: Fawzy S. Thaha, AhmadiyahdalamPersoalan, cetakan Singapura, 1982). Meski telah dinyatakan sesat dan kafir (murtad) oleh tokoh-tokoh Islam pada Muktamar ke-5 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1930 di Pekalongan dan musyawarah Ulama Sumatera Timur tahun 1935 serta oleh Lajnah Radd asSyubuhat Madrasah Indonesia Islamiyah Mekkah yang dipimpin oleh Syekh Janan Muhammad Tayyib asal Minangkabau, kasus Ahmadiyah kembali mencuat pada 1974 setelah parlemen Pakistan dengan tegas menyatakan penganut Ahmadiyah bukan orang Islam (not Muslim) di mata hokum dan undang-undang negara. Padatahun 1980 MajelisUlama Indonesia (MUI) yang waktu itu dipimpin Buya Hamka telah pun

menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat lagi menyesatkan, dan orang Islam yang menganutnya adalah murtad alias keluar dari Islam (No.05/Kep/Munas/II/MUI/1980). Ketetapan tersebut ditegaskan kembali pada bulan Juli 2005 dalam fatwa resmi MUI yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Umar Shihab dan Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin. Kemudian DirjenBimas Islam Departemen Agama melalui surat edarannya tahun 1984 telah menyeru seluruh umat Islam agar mewaspadai gerakan Ahmadiyah. Terakhir, 16 April 2008 lalu Bakorpakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) menyatakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai kelompok sesat dan oleh karenanya merekomendasikan perlunya diberi peringatan keras lewat suatu keputusan bersama Menteri Agama, JaksaAgung, dan Menteri Dalam Negeri (sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965) agar Ahmadiyah menghentikan segala aktivitasnya. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga Ahmadiyah. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap dipercayai sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini kitab Tadzkirah sebagai kumpulan wahyu kepada MGA. Para penganut dan penyokong Ahmadiyah kerap berkelit dengan tiga dalih mengelirukan. Pertama, dalih bahwa orang Ahmadiyah itu sama dengan orang Islam karena syahadat mereka sama. Padahal, yang esensial bukanlah kesamaan, akan tetapi perbedaan. Orang Ahmadiyah itu berbeda dengan orang Islam bukan karena syahadat atau cara ibadahnya, tetapi karena akidahnya yang meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sebagaimana disimpulkan olehYohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem: The core of Ahmadi[yah] thought is its prophetology (Lihat Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, terbitan University of California Press Berkeley 1989, hlm. 131 dan 181). Dengan begitu, Ahmadiyah tidak sama dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama atau Persatuan Islam yang tokoh-tokohnya sejak KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, dan A. Hassan tidak satupun pernah mengaku dirinya nabi. Kedua, dalih bahwa sebagai warga negara penganut Ahmadiyah dijamin kebebasannya oleh konstitusi, dan melarang Ahmadiyah sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM) dan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Di sini terselip kealpaan dan ketidakmengertian. Alpa dan tidak paham bahwa dalam menikmati kebebasannya setiap warganegara wajib tunduk kepada batasan undang-undang demi terjaminnya penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan keadilan sesuai pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Artinya, penyalahgunaan kebebasan (abuse of freedom) ataupun tindakan merusak tata susila, agama, dan lain sebagainya walau atas nama HAM sekalipun tidak bisa dibenarkan. Apa yang diperbuat MGA dengan Ahmadiyahnya ibarat membangun rumah baru di dalam rumah orang lain. Yang dipersoalkan bukanlah hak dan kebebasannya mendirikan rumah, akan tetapi lokasi (di dalam rumah orang lain) dan konsekuensinya (merusak rumah yang sedia ada). Dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, warga Ahmadiyah telah melakukan penodaan, penghinaan dan perusakan terhadap agama Islam, dimana tidak ada nabi dan rasul lagi pasca wafatnya Muhammad Rasulullah saw. Lebih dari itu, propaganda Ahmadiyah terbukti menimbulkan keresahan dan perpecahan tidak hanya di dunia Islam, seperti temuan Dr Tony P.Chi dalam disertasinya tentang misi mereka di Amerika (1973), hlm. 134-5: Ahmadiyya preaching and propagation have instigated unrest and dissension in the Muslim World. Oleh karena itu, solusinya ialah melarang Ahmadiyah atau mengeluarkannya dari rumah Islam. Hanya dengan jalan itu Ahmadisme dengan nabinya (MGA) bisa bebas dan menjadi agama baru seperti halnya ajaran Mormon di Utah, Amerika. Ketiga, dalih bahwa kaum Muslim harus mengedepankan kasih sayang daripada kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Saran ini lebih tepat disampaikan kepada Pemerintah Amerika dan Israel

agar menunjukkan kasih-sayang dan menghentikan kekerasan (violence)terhadap kaum Muslim di Irak dan Palestina. Abu Bakr as-Shiddiq ra adalah orang yang paling penyayang di kalangan umatku (arhamu ummati), sabda Rasulullah saw. Namun manakala muncul sekelompok orang yang durhaka kepada Allah dan Rasulullah, beliau tidak segan-segan bertindak atas mereka. Muhammad utusan Allah dan orang-orang beriman bersamanya bersikap tegas terhadap orang kafir tetapi berkasih-sayang kepada sesama, firman Allah dalam al-Quran (48:29). Perkara Ahmadiyah bukan soal kebebasan beragama. Islam menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk bukan merusak- agama apapun, sesuai dengan firman Allah: Tidak ada paksaan dalam urusan agama (al-Baqarah 256) serta Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (al-Kfirn 6). Ayat-ayat ini ditujukan kepada agama lain di luar Islam, bukan terhadap agama dalam agama. Oleh karena itu, Rasulullah saw sebagai kepala negara bersikap tegas kepada para nabi palsu semacam Musaylamah dan Tulayhah: bertobat atau diperangi (Lihat: Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 13:109).Nah, Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya telah durhaka kepada Allah dan RasulNya serta melukai Umat Islam. Jika statusnya Muslim, maka sudah semestinya tunduk pada ketetapan hukum Islam yang berlaku. Namun jika statusnya non-Muslim, maka terpulang kepada negara apakah akan mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai sebuah agama baru selain Hindu, Buddha, Islam, Katholik dan Protestan ataukah sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai