HUKUM ISLAM
DISUSUN OLEH :
STAMBUK : D10119478
KELAS : A
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
SOAL :
JAWABAN
"Jadi kalau dalam kasus ibadah kayak shalat dan sebagainya, memang nabi
shalatnya itu juga beda-beda," kata Ustaz Sarwat.
Jadi, menurut Ustaz Sarwat, banyak sekali peristiwa di mana khilafiyah itu
terjadi, termasuk dalam membaca Alquran. Bahkan, kata dia, Umar pernah
mau mencekik seorang imam shalat gara-gara menganggap imam tersebut
salah membaca Alquran.
"Tapi untungnya sebekum dia cekik, dia bawa dulu kepada nabi. Kemudian
dikonfirmasi oleh nabi bahwa itu adalah bacaan yang turun lewat jibril dan
mutawatir juga, dalam arti itu bacaannya benar. Cuma qiraatnya itu berbeda,"
jelasnya.
Kedudukan nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti, tetapi tugas
beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala negara berpindah
kepada Khulafa Rasyidin (khalifah). Pengganti nabi sebagai khalifah dipilih
dari kalangan sahabat nabi sendiri. (Sahabat artinya: teman,rekan, kawan.
Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau
kawan Nabi Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran Islam). Pada masa
Khulafaur Rasyidin ini perkembangan hukum islam dibagi menjadi empat
periode:
a). Tentang talak tiga diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu
ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali)
sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas
istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain.
b).Al Qur’an telah menetapkan golongan-golongan yang berhak
menerima zakat, termasuk muallaf (orang-orang yang baru
memeluk agama islam) ditetapkan sebagai Mustahib (orang yang
menerima zakat).
Saidina Umar wafat pada tahun 644 selepas dibunuh oleh seorang hamba
Parsi yang bernama Abu Lu’lu’ah. Dia menikam Saidina Umar sebanyak
enam kali sewaktu Saidina Umar menjadi imam di Masjid al-Nabawi,
Madinah. Saidina Umar meninggal dunia dua hari kemudian dan
dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad SAW dan makam
Saidina Abu Bakar.
1.Wilayah Islam sudah sangat luas dari Hindia, Tiongkok sampai ke Spanyol
maka tinggal berbagai suku bangsa dengan adat istiadat, cara hidup kepentingan
yang berbeda oleh karena itu diperlukan pedoman hukum yang jelas yang dapat
mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan
2.Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai
landasan untuk membangun serta mengembangkan fikih islam.
3.Telah tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan
berbagai masalah hukum dalam masyarakat Pada periode inilah muncul para
mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti
oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu diantaranya adalah:
Ia lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H.
Sebagaimana ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan
untuk berdiskusi berbagai ilmu agama. Semula materi yang sering di
diskusikan adalah tentang ilmu kalam yang meliputi al-Qada dan Qadar.
Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan
bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi tentang ilmu kalam.
Sebagaimana ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an
dan Al-Snnah, akan tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang
diterimanya. Lahannya menerima hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari
jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh fuqaha di suatu negeri dan
diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah
yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di pertentangkan.Abu Hanifah
dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan
al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2. Malik Bin Anas: 713-795 M
Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik bin Anas
tinggal di Madinah dan tidak pernah kemana-mana kecuali beribadah Haji ke
Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang mutawatir atau
masyhur.
Ia lahir di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam
Malik di Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan
nyantri di tempat sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam
Syafi’i pernah juga berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di
Bagdad selama dua tahun, kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak
lama kemudian ia kembali ke Irak pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.
Dalam pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu
dan ahl al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik
diambil sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan
tetapi menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir
mereka masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap
salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara
kedua metode berpikir yang ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan
metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus. Menurut
Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:
Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli
hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al Sunnah, tetapi pikiran-
pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran
hukum para imam-imamnya. Dinamika yang terus-menerus tidak lagi ditampung
dengan pemikiran hukum pula. Pada saat itu masyarakat yang terus berkembang
tidak diiringi dengan pengembangan pemikiran hukum Islam bahkan pemikiran
hukum Islam berhenti. Keadaan ini dalam sejarah dikenal dengan periode
“kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Yang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
1. Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa
negara baru baik di Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia.
Secara Yuridis,
Ditinjau dalam segi yuridis, kedudukan Hukum Islam dalam tata hukum
Indonesia telah tercermin dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
Sebagai bagian yang utuh dari NKRI, UUD NRI 1945 menjadi salah satu
sumber hukum nasional tertinggi. Pasal 29 (1) menurut Prof. Harizin dari UI
menyatakan bahwa (1) dalam Negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi para
pemeluknya, kaidah-kaidah Hindu bagi para pemeluknya, dll (2) Negara RI
wajib menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, syariat nasrani bagi
para pemeluknya, dll (3) syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan
negara untuk menjalankannya karena itu semua dapat dijalankan sendiri
oleh para pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi
kepada Allah bagi setiap orang itu, yang menjalankannya sendiri menurut
agama dan keyakinan masing-masing.
Dengan merujuk pada dekrit presiden 5 juli 1959, menurut notonegoro
bahwasannya kata-kata Ketuhanna Yang Maha Esa mempunyai makna
“(ber)kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiba
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengakuan dokumen Piagam Jakarta
sebagai dokumen historis yang mempunyai pengaruh pada UUD 1945
terutama pasal 29 (1) UUD NRI 1945 menjadi dasar hukum bagi kehidupan
keagamaan.
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia menyeruak pada
konferensi kehakiman pada 1950. Kedudukan hukum agama bagi rakyat
Islam dirasakan sebagai bagian dari imannya. Jika hukum agama itu berhasil
melepaskan persandarannya pada hukum adat, maka hukum agama tersebut
akan mencari persandaran pada undang-undang. Merujuk pada ketetapan
MPRS 1960/II yang mengatakan bahwa dalam menyempurnakan
undangundang perkawinan, dan waris supaya memperhatikan aspek atau
faktor agama dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui sekarang, aktualisasi
hukum islam bagi UU di Indonesia cukup banyak mulai dari perkawnan,
waris, jual beli, perbangkan syariah, dan lain-lain.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum Islam dalam
tata hukum Indonesia adalah (1) huum Islam yang disebut dan ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus
melalui hukum adat, (2) RI dapat mengatur suatu masalah sesuai hukum
Islam , sepanjang peraturan itu hanya berlaku pada pemeluk agama Islam,
(3) Kedudukan hukum islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama
sederajat dengan hukum adat dan hukum barat, karena itu (4) hukum Islam
juga menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang,
disamping hukum adat dan hukum barat serta hukum lainnya yang
berkembang dalam wadah NKRI.
2) hukum islam dan pembinaan hukum nasional di indonesia
hukum Islam dan pembinaan hukum Nasional di indonesia
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam proses pembinaan hukum nasional,
baru jelas perumusannya dalam pidato pengarahan Menteri Kehakiman Ali
Said pada upacara pembukaan Simposium Pembaharuan Hukum Per- data
Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981. Menurut beliau,di samping
hukum adat dan hukum perdata ex Barat, hukum Islam yang merupakan salah
satu komponen tata- hukum Indonesia, menjadi salah satu sumber bahan baku
bagi pembentuk- an hukum nasional. Penegasan Menteri Kehakiman ini
merupakan pengukuhan kesimpulan Team Pengkajian Hukum Badan
Pembinaan Hukum Nasional yang dibentuk dua tahun sebelum- nya, yang
menyatakan bahwa hukum Islam menjadi salah satu sumber penyusunan dan
pembentukan hukum serta peraturan perundang-undangan yang sedang
dilakukan di Indonesia.Sesuai dengan kedudukannya seba- gai salah satu
sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional, hukum Islam dapat
berperan aktif dalam proses pembinaan hukum nasio- nal sesuai dengan
kemampuan dan kemauan yang ada padanya. Kemauan dan kemampuan
hukum Islam itu ha-. rus ditunjukkan oleh setiap orang Is- lam, baik pribadi
maupun kelompok, yang mempunyai komitmen terhadap Islam dan ingin
hukum Islam berlaku di kalangan ummat Islam dalam Negara Republik
Indonesia ini.Dalam tahap perkembangan pembi- - naan hukum nasional
sekarang yang diperlukan oleh badan yang berwe- nang merancang dan
menyusun hukumnasional yang akan datang itu adalah asas-asas dan kaidah-
kaidah hukum Is- lam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun
yang bersifat khusus. Yang bersifat umum adalah misalnya ketentuan-
ketentuan umum mengenai peraturan perundang-un- dangan yang akan berlaku
di tanah air kita, sedang. yang bersifat khusus, misalnya untuk menyebut .
sekedar contoh , adalah asas-asas hukum per- data Islam terutama mengenai
hukum kewarisan, asas-asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik,
perjanjian dan hutang-piutang, asas-asas hukum pidana Islam, asas-asas hukum
tatanegara dan administrasi pemerintahan, asas-asas hukum acara dalam Islam ,
asas-asas hukum internasional dan hubungan antar bangsa dalam Islam. Yang
dimaksud dengan asas da- lam pembicaraan ini adalah kebenaran yang menjadi
dasar atau tumpuan berfikir.Kita yakin, bahwa asas yang diperlukan itu ada
dalam hukum syari'at Islam. Namun, yang menjadi masalah utama adalah
merumuskan asas-asas tersebut dalam kata-kata yang dapat diterima, baik oleh
golongan yang bukan Islam maupun oleh golongan yang beragama Islam
sendiri. Merumuskan asas-asas tersebut ke dalam bahasa atau kata-kata yang
dapat di- pahami, merupakah suatu masalah.Team Pengkajian Hukum Islam
Ba- dan Pembinaan Hukum Nasional ter sebut di atas telah berusaha
menemukan asas-asas dimaksud dan merumus- kannya ke dalam kaidah-kaidah
untukdijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Caranya adalah dengan
meng undang tokoh-tokoh yang ahli dalam hukum Islam semua aliran, baik
dari kalangan ulama maupun dari kalangan sarjana untuk mengemukakan
pendapatnya mengenai suatu masalah tertentu dalam suatu forum ilmiah yang
sengaja diadakan untuk itu. Di samping pertemuan-pertemuan ilmiyah ini,
diadakan juga penelitian serta penulisan makalah yang dilakukan oleh sarjana
atau ulama yang dianggap da pat menyumbangkan sesuatu menge- nai hukum
Islam yang menjadi bidang keahliannya. Karena bangsa Indonesia ini mayo-
ritas ber.agama Islam, maka ada penda- pat yang mengatakan seyogianya kai-
dah-kaidah hukum Islamlah yang menjadi norma-norma hukum nasional. Di-
lihat dari segi normatif, sebagai kon- sekuensi pengucapan dua kalimah sya-
hadat, demikianlah hendaknya. Na- mun dipandang dari sudut kenyataan,
tidaklah begitu. Menurut politik hukum yang dilaksanakan oleh peme- rintah di
Indonesia, tidaklah karena mayoritas rakyat Indob.esia beragama Islam, norma-
norma hukum Islam se- cara otomatis menjadi norma-norma hukum nasional.
Norma-norma hukum Islam baru dapat dijadikan norma hukum nasional,
menurut politik hukum itu, apabila norma-norma hukum Islam itu sesuai dan
dapat menampung kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ketetapan
tersebut .dalam kali- mat terakhir ini berlaku juga bagi hukum adat dan hukum
barat yang juga menjadi bahan baku dalam proses pembinaan hukum
nasional.Disamping apa yang telah dikemukakan di atas, dalam mengolah asas-
asas dan kaidah-kaidah hukum Islam menjadi asas-asas dan norma-norma
hukum nasional, ada masalah lain yakni masalah yang melekat pada "hukum
Islam" itu sendiri dan pada sikap terhadap hukum fikih Islam yang ada
sekarang. Ada yang berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum Islam itu harus
diikuti semua dari A sampai Z, ada pula yang beranggapan bahwa dalam
mengkaji dan mengolah asas-asas serta kaidah-kaidah hukum Islam, harus di-
bedakan antara asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam yang abadi sifat-nya
yakni asas-asas dan kaidah-kaidah yang terdapat , dalam hukum syari'at Islam
dan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum Islam yang tidak abadi sifat- nya
yang terdapat dalam hukum fikih Islam. Yang pertama harus diikuti dari A
sampai Z, sedang yang kedua, menurut A. Zaki Yamani (1978) tidak wajib
diikuti dari A sampai Z, karena mung- kin ada di antara asas-asas dan kaidah-
kaidah itu sangat sesuai untuk keada- an masa lampau , tetilpi tidak cocok lagi
untuk masa sekarang atau khusus misalnya untuk keadaan dan tempat tertentu
seperti Indonesia ini.