Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH :

NAMA : DICKY SANDY PRAMANA

STAMBUK : D10119478

KELAS : A

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2020
SOAL :

1. sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam


Tahap –tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam :
1. Masa nabi muhammad (di buatkan tugas contoh” kasus hukum di zaman
nabi muhammad SAW )
2. Masa khuklafa rasyidin dan latarblakang perbedaan dalam menyikapi
pristiwa hukum dan sebab perbedaan nya
3. Masa pembinaan .pengembangan dan pembukuan faktor-faktor yang
mendorong kmajuan pradaban umat islam
4. Masa kelesuan dan masa kebangkitan
2. hubungan dan perbandingan hukum islam dengan hukum adat di
indonesia
3. kedudukan hukum islam dalam tata hukum dan pembinaan hukum
nasional di indonesia
1. Hukum islam dalam tata hukum di indonesia
2. Hukum islam dan pembinaan hukum nasional di indonesia

JAWABAN

1. sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam


Tahap –tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam

1) masa nabi muhammad

Masa Nabi Muhammad (610-632 M)

Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung Arab, di


suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan lautan
pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di
tengah-tengah gurun pasir yang amat sangat luas yang mempengaruhi cara
hidup dan cara berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk
memperoleh air bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk
manusia-manusia individualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang
rumput merupakan sumber-sumber perselisihan antar mereka. Dan karena
itu pula mereka hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis
patrilineal, yang saling bertentangan. Kedudukan anak laki-laki sangat
penting dalam sebuah keluarga karena melalui anak laki-laki inilah garis
keturunan ditarik dan dia pulalah di dalam keluarga yang dianggap akan
meneruskan keturnan dan membawa nama baik keluarganya. Dan karena
statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai kekuasaan yang amat
besar dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang sangat rendah, wanita
hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali.Karena itu pula,
jika lahir anak perempuan dalam satu rumah tangga, seluruh keluarga
menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya.
Karena itu keluarga bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi
wanita atau membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.
Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan
tanggal 20 April tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya
(Aminah) diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan
Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab
berarti terpuji atau yang dipuji.

Setelah ibunya meninggal Muhammad dipelihara oleh kakeknya yang bernama


Abdul Muthalib dan setelah kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad masih
diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat
tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di kalangan mereka yang
berkuasa di Mekah. Pada usia 25 tahun beliau kawin dengan seorang janda yang
bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih
mempunyai hubungan kekerabatan. Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan
yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama
bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610
Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai
Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah
Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia.

Namun selain itu Nabi Muhammad juga membawa wahyu-wahyu Allah


tentang ayat-ayat hukum. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar
Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah
jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal
shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah
jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam
l Qur’an. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu menurut
penelitian Prof. Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut:

1. Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan


sebanyak 70 ayat.

2. Hukum Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat


70 ayat.

3. Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10


ayat.

4. Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat

5. Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat

6. Hukum Internasional terdapat 25 ayat


7. Hukum Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat.

Ayat-ayat tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja yang harus


dikembangkan lebih lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas untuk
mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri beliau
sendiri melalui ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau yang disebut sunnah yang
kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.

 Contoh kasus hukum di zaman nabi muhammad


Sejak masa Nabi Muhammad telah terjadi perbedaan hukum fikih atau fikih
ikhtilaf di tengah-tengah umat Islam. Di antaranya adalah terkait pelaksanaan
ibadah shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah. Salah satu ahli fikih,
Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, dalam peristiwa shalat Ashar di
perkampungan Bani Quraidhah tersebut umat Islam dapat mendapat pelajaran
yang berharga dalam menyikapi perbedaan dalam fikih Islam. Saat itu para
sahabat nabi terpecah menjadi dua. Sebagian sahabat melakukan shalat Ashar
di perkampungan tersebut meskipun telah lewat Maghrib. Mereka
melakukannya berdasarkan sabda nabi yang berbunyi:"Janganlah kalian
Shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah."Sementara,
sebagaian sahabat lainnya memandang tidak boleh melakukan shalat Ashar
setelah lewat waktu Maghrib. Lalu, bagaimana Nabi menyikapi adanya dua
perbedaan pendangan tersebut?
Ternyata nabi tidak menyalahkan kelompok manapun karena kedua
kelompok tersebut telah melakukan ijtihad dan taat terhadap perintah Allah.
Mereka hanya berbeda dalam meemahami teks sabda nabi.
Dari hadis tersebut, jumhur atau mayoritas mengambil kesimpulan bahwa
tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad karena Rasulullah tidak
mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut
Ibnu Qayyim, mengatakan bahwa para ahli fikih berselisih pendapat tentang
pendapat kedua kelompok yang berbeda pendapat tersebut. Satu kelompok
menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menunda melakukan
shalat ashar dan melakukannya di perkampungan Bani Quraidhah.
Sementara, kelompok ahli fikih lainnya berpendapat bahwa yang benar
adalah yang melakukan shalat ashar pada waktunya ketika dalam perjalanan
menuju perkampungan Bani Quraidhah. Jadi, tidak ada yang salah dari
pendapat kedua kelompok tersebut.
Sementara, dalam tata cara ibadah shalat sendiri juga terdapat perbedaan.
Ustaz Sarwat mengatakan ketika nabi takbiratul ihram ada dua riwayat yang
menyebutkan. Satu hadis menyebutkan bahwa nabi mrngangkat tangan
sampai sebatas telinga, ada juga hadis yang menjelaskan bahwa nabi
mengangkat tangan hanya sebatas pundak atau dada.

"Jadi kalau dalam kasus ibadah kayak shalat dan sebagainya, memang nabi
shalatnya itu juga beda-beda," kata Ustaz Sarwat.
Jadi, menurut Ustaz Sarwat, banyak sekali peristiwa di mana khilafiyah itu
terjadi, termasuk dalam membaca Alquran. Bahkan, kata dia, Umar pernah
mau mencekik seorang imam shalat gara-gara menganggap imam tersebut
salah membaca Alquran.

"Tapi untungnya sebekum dia cekik, dia bawa dulu kepada nabi. Kemudian
dikonfirmasi oleh nabi bahwa itu adalah bacaan yang turun lewat jibril dan
mutawatir juga, dalam arti itu bacaannya benar. Cuma qiraatnya itu berbeda,"
jelasnya.

2) masa khulafa rasyid

Masa Khulafa Rasyidin (632-662 M)

Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22


tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat Jibril baik waktu
beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian
juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah.

Kedudukan nabi sebagai utusan Allah tidak mungkin diganti, tetapi tugas
beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala negara berpindah
kepada Khulafa Rasyidin (khalifah). Pengganti nabi sebagai khalifah dipilih
dari kalangan sahabat nabi sendiri. (Sahabat artinya: teman,rekan, kawan.
Sahabat nabi adalah orang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau
kawan Nabi Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran Islam). Pada masa
Khulafaur Rasyidin ini perkembangan hukum islam dibagi menjadi empat
periode:

1) Khalifah Abu Bakar As-Siddiq

Setelah nabi wafat, Abu Bakar As-Siddiq diangkat sebagai khalifah


pertama. Khalifah adalah pimpinan yang diangkat setelah nabi wafat untuk
menggantikan nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama
dan pemerintah. Abu bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia
memerintah selama dua tahun (632-634 M). Sebelum masuk Islam, dia
terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan
dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang
terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai
pahlawan-pahlawan Islam yang ternama. Dan karena hubungannya yang
sangat dekat dengan Nabi muhammad, beliau mempunyai pengertian yang
dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula
pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.[5] Berikut
adalah hal-hal penting dalam masa pemerintahannya:

a). Pidato pelantikannya dijadikan dasar dalam menentukan hubungan


antara rakyat dengan penguasa juga antara pemerintah dengan warga
negara.
b).Cara penyelasaiannya jika timbul masalah di dalam masyarakat mula-
mula pemecahan masalahnya dicari dalam wahyu Allah. Kalu tidak
terdapat disana, dicarinya dalam sunnah nabi. Kalau dalam sunnah
Rasulullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya
kepada para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu majlis. Mereka
yang duduk dalam majlis itu melakukan ijtihad bersama (jam’i) atau ijtihad
kolektif. Timbullah keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijmak
mengenai masalah tertentu. Sehingga dalam masa pemerintahan ini sering
disebut Ijmak Sahabat.

c) .Atas anjuran Umar, dibentuklah panitia khusus yang bertugas


mengumpulkan catatan ayat-ayat Al Qur’an yang telah ditulis pada
zaman nabi. Setelah Abu Bakar wafat himpunan naskah Al Qur’an
disimpan oleh Umar Bin Khattab dan diberikan kepada Hafsah (janda
Nabi Muhammad).

2) Khalifah Umar Bin-Khatab

Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan


kedudukannya sebagai khalifah II. Beliau memerintah dari tahun 634-
644 Masehi. Semasa pemerintahan Saidina Umar, kekuasaan Islam
berkembang dengan pesat ia selalu:

a).Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu


Bakar meluaskan daerah Islam hingga menguasai Mesopotamia dan
sebagian kawasan Parsi dari pada kekuasaan Persia (berjaya
menamatkan kekuasaan persia), dan menguasai Mesir, Palestina,
Baitulmaqdis, Syria, Afrika Utara, dan Armenia dari pada Byzantine
(Romawi Timur).

b).Menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah


berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah)

c).Membiasakan melakukan shalat at-tarawih, yaitu shalat sunnat malam


yang dilakukan setelah shalat isya pada bulan Ramadhan.Saidina Umar
banyak melakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan Islam
seperti mengangkat gubernur-gubernur di kawasan yang baru ditakluk
dan melantik panglima-panglima perang yang berkebolehan. Semasa
pemerintahannya juga kota Basra dan Kufah dibina. Saidina Umar juga
amat dikenali karena kehidupannya yang sederhana. Beliau juga
melakukan banyak sekali tindakan di lapangan hukum:

a). Tentang talak tiga diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu
ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali)
sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas
istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain.
b).Al Qur’an telah menetapkan golongan-golongan yang berhak
menerima zakat, termasuk muallaf (orang-orang yang baru
memeluk agama islam) ditetapkan sebagai Mustahib (orang yang
menerima zakat).

c).Menurut Al Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri


diancam dengan hukuman potong tangan

d).Di dalam Al Qur’an (QS 5:5) terdapat ketentuan yang membolehkan


pria muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita Yahudi dan Nasrani).

Saidina Umar wafat pada tahun 644 selepas dibunuh oleh seorang hamba
Parsi yang bernama Abu Lu’lu’ah. Dia menikam Saidina Umar sebanyak
enam kali sewaktu Saidina Umar menjadi imam di Masjid al-Nabawi,
Madinah. Saidina Umar meninggal dunia dua hari kemudian dan
dikebumikan di sebelah makam Nabi Muhammad SAW dan makam
Saidina Abu Bakar.

3) Kholifah Utsman Bin Affan

Selanjutnya masuk ke dalam masa pemerintahan Utsman Bin Affan yang


berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih, Usman telah tua berusia 70
tahun dengan kepribadian yang agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh
orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan
dan kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri dari
golongan Umayyah.

Kemudian perluasan daerah Islam diteruskan ke India, Maroko dan


Konstantinopel. Jasanya yang paling besar dan yang paling penting yaitu
tindakannya telah membuat Al Qur’an standar (kodifikasi Al Qur’an).
Standarisasi Al Qur’an dilakukannya karena pada masa pemerintahannya,
wilayah Islam telah sangat luas di diami oleh berbagai suku dengan bahasa
dan dialek yang berbeda. Karena itu, dikalangan pemeluk agama Islam, terjadi
perbedaan ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayaat Al Qur’an yang
disebarkan mealui hafalan.

4) Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Setelah Usman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali Bin


Abi Thalib menjadi khalifah ke-4. Ia memerintah dari tahun 656-662 M. Ali
tidak dapat berbuat banyak dalam mengembangkan agama Islam karena
keadaan negara tidak stabil. Di sana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius
dalam tubuh umat Islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian
menimbulkan kelompok-kelompok. Di antaranya dua kelompok besar yakni,
kelompok Ahlussunah Wal Jama’ah, yaitu kelompok atau jamaah umat Islam
yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu
pengikut Ali Bin Abi Thalib.
Penyebab perpecahan diantara dua kelompok ini adalah perbedaan pendapat
mengenai “masalah politik” yakni siapa yang berhak menjadi khalifah,
kemudian disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah,
sistem hukum dan kekeluargaan. Golongan syi’ah sekarang banyak terdapat di
Libanon, Iran, Irak, Pakistan, India dan Afrika Timur. Sumber hukum Islam di
masa Khulafa Rasyidin ini adalah Al Qur’an, Ijma’ sahabat dan Qiyas.

3) masa pembinaan, pengembangan

Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII-X M)Periode ini


berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan
khalifah “Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa
inilah (1) Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan
garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang
masih digunakan sampai sekarangAdapun faktor-faktor yang mendorong orang
menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah :

1.Wilayah Islam sudah sangat luas dari Hindia, Tiongkok sampai ke Spanyol
maka tinggal berbagai suku bangsa dengan adat istiadat, cara hidup kepentingan
yang berbeda oleh karena itu diperlukan pedoman hukum yang jelas yang dapat
mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai bidang kehidupan

2.Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai
landasan untuk membangun serta mengembangkan fikih islam.

3.Telah tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan
berbagai masalah hukum dalam masyarakat Pada periode inilah muncul para
mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti
oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu diantaranya adalah:

1. Imam Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M

Ia lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H.
Sebagaimana ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan
untuk berdiskusi berbagai ilmu agama. Semula materi yang sering di
diskusikan adalah tentang ilmu kalam yang meliputi al-Qada dan Qadar.
Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan
bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi tentang ilmu kalam.
Sebagaimana ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an
dan Al-Snnah, akan tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang
diterimanya. Lahannya menerima hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari
jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh fuqaha di suatu negeri dan
diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah
yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di pertentangkan.Abu Hanifah
dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan
al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2. Malik Bin Anas: 713-795 M

Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik bin Anas
tinggal di Madinah dan tidak pernah kemana-mana kecuali beribadah Haji ke
Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum
pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang mutawatir atau
masyhur.

3. Muhammad Idris Al-Syafi’i: 767-820 M

Ia lahir di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam
Malik di Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan
nyantri di tempat sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam
Syafi’i pernah juga berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di
Bagdad selama dua tahun, kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak
lama kemudian ia kembali ke Irak pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.
Dalam pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu
dan ahl al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik
diambil sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan
tetapi menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir
mereka masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap
salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara
kedua metode berpikir yang ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan
metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus. Menurut
Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:

1).Al Qur’an dan Al-Sunnah

2).Bila tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, ia berpindah ke Ijma.

4).Ahmad Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M

Ia lahir di Bagdad pada tahun 164 H. Ia tinggal di Bagdad sampai


akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi untuk
belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah, Syam dan Yaman. Ia
pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi murid Imam
Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri. Menurut Imam
Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al
Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas
tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode
ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka
Imam akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al
Sunnah.

4) masa kelesuan dan masa kebangkitan

Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XIX M)


Sejak abad kesepuluh dan kesebelas Masehi, ilmu hukum Islam mulai berhenti
berkembang. Para ahli hukum pada masa ini hanya membatasi diri, mempelajari
pikiran-pikiran para ahli hukum sebelumnya yang telah dituangkan dalam
berbagai madzab.

Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli
hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al Sunnah, tetapi pikiran-
pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran
hukum para imam-imamnya. Dinamika yang terus-menerus tidak lagi ditampung
dengan pemikiran hukum pula. Pada saat itu masyarakat yang terus berkembang
tidak diiringi dengan pengembangan pemikiran hukum Islam bahkan pemikiran
hukum Islam berhenti. Keadaan ini dalam sejarah dikenal dengan periode
“kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Yang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:

1. Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa
negara baru baik di Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia.

2. Ketidak stabilan politik yang menyebabkan ketidak stabilan berfikir.

3. Pecahnya kesatuan kenegaraan/ pemerintahan itu menyebabkan merosotnya


kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.

4. Dengan demikian timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana dan para


ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan
mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggungjawab. Dengan
demikian perkembangan hukum Islam menjadi lesu dan tidak berdaya
menghadapi tantangan zaman.

2. hubungan dan perbandingan hukum islam dengan hukum adat di


indonesia....
Hukum Adat dan Hukum Islam
A. Pengertian Hukum AdatMenurut pakar dan ahli hukum, definisi hukum adat
adalah sebagai berikut,a) Van VollenhovenHukum adat adalah keseluruhan
aturan tingkah laku positif yang disatu pihak memiliki sanksi dan dipihak
lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan.
B) Reolef Van Dijk Hukum adat adalah istilah untuk menunjukan hukum yang
tidak dikodifikasikan dikalangan orang-orangindonesia asli dan kalangan
orang Timur Asing(Cina, Arab, dan lain-lain)Menurut definisi-definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa hukum adat adalah :
1. Hukum yg tidak di kondifikasikan
2. Memiliki akibat hukum
3. Hidup dalam masyarakat indonesia
4. Bersifat pasti atau tidak pasti
C. Sejarah Hukum Adat pada tahun 1783 buku karangan Marseden yang
berjudul The History Of Sumatra terbit di London,Inggris. Intisari dari
buku tersebut adalah,Laporan tentang pemerintahan, hukum dan lain-
lain. Pembahasan hukum adat kurang mendapat perhatian karena
keterangan yang diperoleh hanya melalui
3. kedudukan hukum islam dalam tata hukum dan pembinaan hukum
nasional di indonesia
1. Hukum islam dalam tata hukum di indonesia
Kedudukan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia:
Tinjauan Filosofis - Ideologis dan Yuridis
Berbicara tentang kedudukan dan tata hukum, maka kita akan terlebih
dahulu mengetahui bahwa kedudukan hukum Islam dalam tata hukum
Indonesia berarti tempat dan keadaan hukum Islam dalam susunan atau
sistem hukum yang berlaku di Indonesia. kedudukan dan tata hukum Islam
di Indonesia dapat diketahui dalam prespektif filosifis-ideologis dan yuridis
sebagaimana berikut:
Secara Filosofis,
Dalam tinjauan filosofis, hukum Islam telah berada di Indonesia jauh
sebelum kaum imperialis datang. Hukum Islam telah diterapkan di berbagai
bidang diantaranya, hukum waris, hukum pernikahan, hukum dagang dan
hukum kerajaan. Dalam perkembangannya hukum Islam yang ada di
berbagai kerajaan di nusantara telah banyak menerapkan syari’at-syari’at
Islam atau hukum-hukum Islam bagi rakyatnya. Sistem hukum yang telah
berkembang di Indonesia telah dipengaruhi oleh tiga sistem hukum yang
telah berkembang secara majemuk di Indonesia. hukum adat, hukum islam,
dan hukum kolonial atau hukum barat telah berkembang secara
berdampingan dalam tata hukum nasional Indonesia.
Kedudukan hukum islam dalam sistem tata hukum nasional bersifat
majemu, ini dapat diisyaratkan dalam proses islamisasi kepulauan Indonesia
yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan,
sangat dipengaruhi juga oleh hukum Islam. Dalam tinjauan filosofis ini,
hukum islam menjadi sebuah hukum yang telah ada sejak abad ke VII M,
jauh sebelum belanda masuk. Dalam perkembangannya, islam yang terus
mengalami peradaban yang pesat telah memiliki beberapa aturan yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara tidak langsung, melakukan
perdagangan dan perkawinan terhadap masyarakat pribumi juga menjadi
salah satu faktor filosofis pembentukan hukum Islam. Secara tradisional,
masyarakat mulai mengenal hukum-hukum islam melalui ilmu kalam, ilmu
fiqih dan ilmu tasawwuf. Dari media pembelajaran yang dilakukan, tentu
kedudukan dan posisi hukum Islam daam masyarakat juga mampu terjaga
dan berkembang dengan baik.
Hukum islam juga telah digunakan oleh para pemuluk Islam pada masa
kerajaan-kerajaan Islam terdahulu. Hukum Islam pada masa penjajahan
belanda dan inggris juga mengalami pasang surut. Dalam
perkembangannya, jepang melalui salah satu putusannya mengatakan bahwa
hukum yang telah ada di Indonesia secara langsung berlaku dan mengikat
kepada semua orang. Konsep ini juga sama ketika hukum Islam dimasa
belanda juga memiliki pengaruh sebagai penetration pasifique, tolerante et
constructive atau penetrasi secara damai, dan sebagai toleran dan
membangun. Dalam statuta Batavia menjelaskan bahwa mengenai
permsalahan kewarisan bagi orang indonesia yang beragama islam harus
menggunakan hukum islam yakni hukum yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari
Secara Ideologis,
Kedudukan hukum Islam dalam tat hukum Indonesia secara ideologis dapat
diartikan sebagai suatu ide daras pembentuk suatu negara. Konsep tatanan
negara agama sempat tercetus dalam sidang BPUPKI untuk memnentukan
dasar negara Indonesia merdeka. Para pemimpin Islam yang menjadi
anggota dalam BPUPKI tersebut berusaha mendudukkan Hukum Islam
dalam Negara Republik Indonesia kelak. Tetapi setelah bertukar pendapat
diantara para ahli dan para tokoh nasional kemudian merumuskan undang-
undang dasar republik indonesia atau UUD yang dituangkan kedalam
Piagam Djakarta (22-6-1945). Didalam piagam tersebut, secara tegas
dijelaskan bahwa ideologi pancasila memuat hukum Islam yang tercermin
dalam sila ke-1 “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat
Islam bagi para pemeluknya”.
Dalam perumusan dasar negara yang dilakukan pada sidang PPKI tanggal
18-8-1945 menyatakan bahwa adanya perubahan atas salah satu sila tersebut
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedudukan hukum Islam sebagai
ideologi tersirat pada hal tersebut, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara kesatuan yang berketuhanan yang maha esa.

Secara Yuridis,
Ditinjau dalam segi yuridis, kedudukan Hukum Islam dalam tata hukum
Indonesia telah tercermin dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
Sebagai bagian yang utuh dari NKRI, UUD NRI 1945 menjadi salah satu
sumber hukum nasional tertinggi. Pasal 29 (1) menurut Prof. Harizin dari UI
menyatakan bahwa (1) dalam Negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi para
pemeluknya, kaidah-kaidah Hindu bagi para pemeluknya, dll (2) Negara RI
wajib menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya, syariat nasrani bagi
para pemeluknya, dll (3) syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan
negara untuk menjalankannya karena itu semua dapat dijalankan sendiri
oleh para pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi
kepada Allah bagi setiap orang itu, yang menjalankannya sendiri menurut
agama dan keyakinan masing-masing.
Dengan merujuk pada dekrit presiden 5 juli 1959, menurut notonegoro
bahwasannya kata-kata Ketuhanna Yang Maha Esa mempunyai makna
“(ber)kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiba
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengakuan dokumen Piagam Jakarta
sebagai dokumen historis yang mempunyai pengaruh pada UUD 1945
terutama pasal 29 (1) UUD NRI 1945 menjadi dasar hukum bagi kehidupan
keagamaan.
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia menyeruak pada
konferensi kehakiman pada 1950. Kedudukan hukum agama bagi rakyat
Islam dirasakan sebagai bagian dari imannya. Jika hukum agama itu berhasil
melepaskan persandarannya pada hukum adat, maka hukum agama tersebut
akan mencari persandaran pada undang-undang. Merujuk pada ketetapan
MPRS 1960/II yang mengatakan bahwa dalam menyempurnakan
undangundang perkawinan, dan waris supaya memperhatikan aspek atau
faktor agama dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui sekarang, aktualisasi
hukum islam bagi UU di Indonesia cukup banyak mulai dari perkawnan,
waris, jual beli, perbangkan syariah, dan lain-lain.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum Islam dalam
tata hukum Indonesia adalah (1) huum Islam yang disebut dan ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus
melalui hukum adat, (2) RI dapat mengatur suatu masalah sesuai hukum
Islam , sepanjang peraturan itu hanya berlaku pada pemeluk agama Islam,
(3) Kedudukan hukum islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama
sederajat dengan hukum adat dan hukum barat, karena itu (4) hukum Islam
juga menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang,
disamping hukum adat dan hukum barat serta hukum lainnya yang
berkembang dalam wadah NKRI.
2) hukum islam dan pembinaan hukum nasional di indonesia
hukum Islam dan pembinaan hukum Nasional di indonesia
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam proses pembinaan hukum nasional,
baru jelas perumusannya dalam pidato pengarahan Menteri Kehakiman Ali
Said pada upacara pembukaan Simposium Pembaharuan Hukum Per- data
Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981. Menurut beliau,di samping
hukum adat dan hukum perdata ex Barat, hukum Islam yang merupakan salah
satu komponen tata- hukum Indonesia, menjadi salah satu sumber bahan baku
bagi pembentuk- an hukum nasional. Penegasan Menteri Kehakiman ini
merupakan pengukuhan kesimpulan Team Pengkajian Hukum Badan
Pembinaan Hukum Nasional yang dibentuk dua tahun sebelum- nya, yang
menyatakan bahwa hukum Islam menjadi salah satu sumber penyusunan dan
pembentukan hukum serta peraturan perundang-undangan yang sedang
dilakukan di Indonesia.Sesuai dengan kedudukannya seba- gai salah satu
sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional, hukum Islam dapat
berperan aktif dalam proses pembinaan hukum nasio- nal sesuai dengan
kemampuan dan kemauan yang ada padanya. Kemauan dan kemampuan
hukum Islam itu ha-. rus ditunjukkan oleh setiap orang Is- lam, baik pribadi
maupun kelompok, yang mempunyai komitmen terhadap Islam dan ingin
hukum Islam berlaku di kalangan ummat Islam dalam Negara Republik
Indonesia ini.Dalam tahap perkembangan pembi- - naan hukum nasional
sekarang yang diperlukan oleh badan yang berwe- nang merancang dan
menyusun hukumnasional yang akan datang itu adalah asas-asas dan kaidah-
kaidah hukum Is- lam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun
yang bersifat khusus. Yang bersifat umum adalah misalnya ketentuan-
ketentuan umum mengenai peraturan perundang-un- dangan yang akan berlaku
di tanah air kita, sedang. yang bersifat khusus, misalnya untuk menyebut .
sekedar contoh , adalah asas-asas hukum per- data Islam terutama mengenai
hukum kewarisan, asas-asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik,
perjanjian dan hutang-piutang, asas-asas hukum pidana Islam, asas-asas hukum
tatanegara dan administrasi pemerintahan, asas-asas hukum acara dalam Islam ,
asas-asas hukum internasional dan hubungan antar bangsa dalam Islam. Yang
dimaksud dengan asas da- lam pembicaraan ini adalah kebenaran yang menjadi
dasar atau tumpuan berfikir.Kita yakin, bahwa asas yang diperlukan itu ada
dalam hukum syari'at Islam. Namun, yang menjadi masalah utama adalah
merumuskan asas-asas tersebut dalam kata-kata yang dapat diterima, baik oleh
golongan yang bukan Islam maupun oleh golongan yang beragama Islam
sendiri. Merumuskan asas-asas tersebut ke dalam bahasa atau kata-kata yang
dapat di- pahami, merupakah suatu masalah.Team Pengkajian Hukum Islam
Ba- dan Pembinaan Hukum Nasional ter sebut di atas telah berusaha
menemukan asas-asas dimaksud dan merumus- kannya ke dalam kaidah-kaidah
untukdijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Caranya adalah dengan
meng undang tokoh-tokoh yang ahli dalam hukum Islam semua aliran, baik
dari kalangan ulama maupun dari kalangan sarjana untuk mengemukakan
pendapatnya mengenai suatu masalah tertentu dalam suatu forum ilmiah yang
sengaja diadakan untuk itu. Di samping pertemuan-pertemuan ilmiyah ini,
diadakan juga penelitian serta penulisan makalah yang dilakukan oleh sarjana
atau ulama yang dianggap da pat menyumbangkan sesuatu menge- nai hukum
Islam yang menjadi bidang keahliannya. Karena bangsa Indonesia ini mayo-
ritas ber.agama Islam, maka ada penda- pat yang mengatakan seyogianya kai-
dah-kaidah hukum Islamlah yang menjadi norma-norma hukum nasional. Di-
lihat dari segi normatif, sebagai kon- sekuensi pengucapan dua kalimah sya-
hadat, demikianlah hendaknya. Na- mun dipandang dari sudut kenyataan,
tidaklah begitu. Menurut politik hukum yang dilaksanakan oleh peme- rintah di
Indonesia, tidaklah karena mayoritas rakyat Indob.esia beragama Islam, norma-
norma hukum Islam se- cara otomatis menjadi norma-norma hukum nasional.
Norma-norma hukum Islam baru dapat dijadikan norma hukum nasional,
menurut politik hukum itu, apabila norma-norma hukum Islam itu sesuai dan
dapat menampung kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ketetapan
tersebut .dalam kali- mat terakhir ini berlaku juga bagi hukum adat dan hukum
barat yang juga menjadi bahan baku dalam proses pembinaan hukum
nasional.Disamping apa yang telah dikemukakan di atas, dalam mengolah asas-
asas dan kaidah-kaidah hukum Islam menjadi asas-asas dan norma-norma
hukum nasional, ada masalah lain yakni masalah yang melekat pada "hukum
Islam" itu sendiri dan pada sikap terhadap hukum fikih Islam yang ada
sekarang. Ada yang berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum Islam itu harus
diikuti semua dari A sampai Z, ada pula yang beranggapan bahwa dalam
mengkaji dan mengolah asas-asas serta kaidah-kaidah hukum Islam, harus di-
bedakan antara asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam yang abadi sifat-nya
yakni asas-asas dan kaidah-kaidah yang terdapat , dalam hukum syari'at Islam
dan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum Islam yang tidak abadi sifat- nya
yang terdapat dalam hukum fikih Islam. Yang pertama harus diikuti dari A
sampai Z, sedang yang kedua, menurut A. Zaki Yamani (1978) tidak wajib
diikuti dari A sampai Z, karena mung- kin ada di antara asas-asas dan kaidah-
kaidah itu sangat sesuai untuk keada- an masa lampau , tetilpi tidak cocok lagi
untuk masa sekarang atau khusus misalnya untuk keadaan dan tempat tertentu
seperti Indonesia ini.

Anda mungkin juga menyukai