Anda di halaman 1dari 3

Apa Itu Filsafat Islam?

Tuesday, 19 July 2011 14:55 Written by Syamsuddin Arif Ketika ditanya apa itu filsafat, seorang mahasiswa menjawab singkat: filsafat itu mencari kebenaran. Dengan cara berpikir dan bertanya terus-menerus.Tentang segala hal: dari persoalan gajah sampai persoalan semut, dari soal hukum dan politik hingga soal moral dan metafisika,dari soal galaksi sampai soal bakteri. Kalau begitu, berarti filsafat itu ada dimana-mana. Memang benar, filsafat ada di Barat dan di Timur. Ada filsafat Yunani, filsafat India, filsafat Cina, filsafat Kristen, dan juga filsafat Islam. Inilah makna filsafat sebagai kearifan (sophia) dan pengetahuan (sapientia) yang dicapai manusia dengan akal pikirannya. Tiga Istilah Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat. Pertama, istilah hikmah,yang tampaknya sengaja dipakai agar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, akan tetapi berasal dari dan bermuara pada al-Quran. Al-Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah (al-hukama as-sabah)yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon. Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa falsafah itu artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi l-haqaiq an-nazhariyyah wa l-amaliyyah ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai hikmah sedemikian makaiatelah mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina. Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz hikmah telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf, karena hikmah yang dimaksud dalam kitab suci al-Quran itu bukan filsafat, melainkan Syariat Islam yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul. Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karyakarya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari kebenaran, manakala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya. Demikian tulis al-Kindi. Sekelompok cendekiawan bernamaIkhwan as-Shafa menambahkan: Filsafat itu berangkat darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul-ulum ... wa akhiruha al-qawl wal-amal bi-ma yuwafiqul-ilm). Ketiga, istilah ulum al-awail yang artinya ilmu-ilmu orang zaman dulu. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk diantaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya. Tiga Perspektif Terdapat beberapa pandangan mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertama dipegang oleh

mayoritas orientalis. Filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: It is Greek philosophy in Arabic garb, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamsonyang lebih suka menyebutnya sebagai filsafat [berbahasa] Arab (Arabic Philosophy).Dibalik pandangan ini terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil danmemelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russell, filsafat Islam hanya dibahas sambil lalu,sebagai jembatan peradaban (Kulturvermittler)dari Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan. Pandangan kedua menganggap filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir Muslim dituduh telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisiYahudi-Kristen. Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides: Ketahuilah olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari golongan Mutazilah maupun Asyariyah mengenai masalahmasalah ini berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka. Dua sudut pandang tersebut di atas dikritik tajam antara lain oleh Seyyed Hossein Nasr. Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Di mata orientalis semisal Van den Bergh, Walzer dan Gutas, filsafat Islam itu ibarat sesosok mummi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Akibatnya, lanjut Nasr, para orientalis itu tidak tahu dan tak peduli akan fakta filsafat Islam sebagai kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu sampai sekarang: Islamic philosophy has remained a major intellectual activity and a living intelllectual tradition within the citadel of Islam to this day, di pusat-pusat keilmuan di Dunia Islam. Yang ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Bukankah perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan,tentang hakikat kebebasan dan tanggung-jawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat? Munculnya kelompok Khawarij, Syiah,Mutazilah dan lain-lain,yang melontarkan pelbagai argumen rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat al-Quran jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam. Contohnya sepucuk surat dari al-Hasan al-Basri kepada Khalifah perihal qadha dan qadar, dimana beliau menangkis argumen kaum fatalis maupun argumen rasionalis sekular. Perdebatan seru segera menyusul di abad-abad berikutnya seputar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta keazalian dan keabadian alam semesta. Pandangan revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver Leaman, dan Alparslan Akgen. Filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Quran yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver Leaman,filsafat Islam adalah nama generik keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkup peradaban Islam, terlepas apakah mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab, Muslim ataupun non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan,berbahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dulu sampai sekarang ini. Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu semua (framed within the language of Islam, within the cultural context of Islamic society). Artinya, filsafat Islam itu luas dan kaya. Corak Filsafat Masih menurut Oliver Leaman, filsafat Islam itu sangat filosofis dalam arti logis- analitis,terus hidup

dan penuh gejolak, tidak sekadar melanjutkan tradisi sebelumnya, akan tetapi juga memperlihatkan terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan klasik maupun modern: MuchIslamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the accretion of new technical representaions of existing issues .... new traditions of thinking about problems and resolving difficult conceptual issues(Lihat: History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 1996, hlm. 1-10). Pernyataan serupa diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir seperti Ibrahim Madkour, Musthafa Abdur Raziq, dan Syekh Abdul Halim Mahmud. Filsafat Islam itu Islami dari empat segi: pertama, dari sisi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dari sudut faktor-faktor pemicu serta tujuan-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa para pelakunya hidup di bawah naungan kekuasaan Islam (Lihat: I. Madkour, al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa tathbiquhu, hlm.19). Memang, jika ditelusuri dan diteliti karya-karyanya, para filsuf Muslim bukan semata-mata membeo atau sekadar mereproduksi apa yang mereka pelajari dari ahli pikir Yunani kuno. Mereka tidak pasifreseptif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim semisal Ibn Sina, al-Baghdadi dan ar-Razi mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan menyanggah, melontarkan kritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru pada istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan perennial dalam filsafat. Selain berhasil menelurkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran tersendiri, para filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, mereka berupaya mengislamkannya. Maka yang terjadi adalah islamisasi filsafat secara negatif (pengenyahan unsur-unsur kufur) dan positif (pemasukan unsur-unsur Islami). KontroversiFilsafat Islam Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat bukan (i) sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai barang impor yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakanakal, melecehkanNabi, dansebagainya. Di abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat: pertama, keyakinan filosof bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari qiyamat. Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn as-Sholah: Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya akan keutamaan Syariah suci yang ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan. Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda membenarkan yang benar (ihqaq alhaqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara rasional, persuasif dan elegan, maka bisa dikategorikan fardu kifayah. Seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, Apakah engkau belum percaya? Nabi Ibrahim menjawab, Aku percaya, akan tetapi[akubertanya] supaya hatiku tentram (mantap). Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan. (****)

Anda mungkin juga menyukai