Anda di halaman 1dari 5

Kisah Agama Ahmadiyah

Written by Anis Malik Thaha Sejak Mirza Ghulam Ahmad (1840-1908) menyebarkan ajarannya di India, hubungan umat Islam dan pengikut Ahmadiyah selalu diwarnai ketegangan. Bahkan, beberapa kali terjadi pertumpahan darah. Ahmadiyah, ibarat duri dan fitnah yang sepertinya sengaja ditanamkan dan dipelihara oleh pihak-pihak tertentu. Menyadari dahsyatnya fitnah ini, para pemimpin dan tokoh Islam India telah lama mencoba sekuat tenaga, baik dengan pena maupun lisan, untuk meredamnya. Diantara mereka adalah Syeikh Muhammad Husein al-Battalawi, Maulana Muhammad Ali al-Monkiri (pendiri Nadwatul Ulama India), Syeikh Thanaullah al-Amritsari, Syeikh Anwar Shah al-Kashmiri, dan Seyyed Ataullah al-Bukhari al-Amritsari. Tidak ketinggalan juga filosof dan penyair Muhammad Iqbal. Tahun 1916, para ulama sudah mengeluarkan fatwa tentang kekafiran kaum Ahmadiyah/Qadiyaniyyah. Seluruh ulama, secara ijma dalam fatwa ini menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah/Qadiyaniyyah adalah kafir dan keluar dari agama Islam. Pada tahun 1926, kantor Ahlul Hadits di Amritsar juga mengeluarkan fatwa serupa dengan judul Batalnya Nikah Dua Orang Mirzais yang ditandatangani oleh ulama aliran/mazhab/kelompok/markazIslam di seluruh anak benua India (lihat: Mawqif al-Ummah alIslamiyyah min al-Qadiyaniyyah. Multan: Majlis Tahaffuz Khatm al-Nubuwwah. 76-7). Adapun Muhammad Iqbal, melalui goresan penanya menyeru pemerintahan kolonial Inggris di India untuk segera menghentikan fitnah ini dengan mendengarkan dan mengabulkan tuntutantuntutan kaum Muslimin India dalam kaitannya dengan gerakan dan/atau ajaran Ahmadiyah. Dalam salah satu risalahnya yang dikirimkan ke harian berbahasa Inggris terbesar di India, Statesman, edisi 10 Juni 1935, dia menyatakan: Ahmadiyyah/Qadiyaniyyah adalah upaya sistematis untuk mendirikan golongan baru diatas dasar kenabian yang menandingi kenabian Muhammad (s.a.w.). Iqbal juga meminta pertanggung-jawaban pemerintah kolonial Inggris atas kejadian fitnah ini seraya memperingatkan jika pemerintahan tidak memperhatikan keadaan ini dan tidak menghargai perasaan kaum Muslimin dan dunia Islam, tapi malah membiarkan fitnah bebas leluasa, maka umat Islam yang merasa kesatuannya terancam bukan tidak mungkin akan terpaksa menggunakan kekuatan untuk membela-diri (Mawqif, 88-9). Sayangnya seruan, saran, dan tuntutan ini tidak pernah didengar. Syeik Maulana Muhammad Yusuf al-Bannuri dalam kata pendahuluannya untuk buku Mawqifal-Ummah al-Islamiyyah min alQadiyaniyyah mencatat peran Zafarullah Khan, seorang politisi Qadiyani, yang pernah diangkat sebagai menteri luar negeri Pakistan yang baru merdeka itu. Menteri ini dengan menyalah-gunakan otoritas diplomasinya berhasil membangun jaringan Ahmadiyyah internasional, disamping memperkuat posisi kelompok ini di dalam negeri. Fakta inilah yang kemudian memicu demonstrasi besar-besaran oleh umat Islam pada 1953 di Pakistan. Tahun 1953, 33 tokoh dan ulama besar yang mewakili berbagai partai, kelompok dan organisasi Islam di Pakistan, mengadakan pertemuan di Karachi. Pertemuan melahirkan sebuah resolusi yang diajukan ke Majlis Nasional (National Assembly). Isinya menuntut pemerintah untuk: (i) mengumumkan bahwa pengikut Mirza Ghulam Ahmad dengan nama apa pun adalah bukan Muslim; dan (ii) mengeluarkan keputusan resmi untuk melakukan amandemen konstitusional

sebagai dasar hukum yang menjamin hak-hak pengikut Ahmadiyah/Qadiyaniyyah sebagai golongan minoritas non-Islam. Namun sekali lagi, seruan para ulama itu diabaikan pemerintah Pakistan. Umat Islam pun tak pernah surut dalam menentang Ahmadiyah. Suasana panas mencapai puncaknya setelah sekelompok pengikut Ahmadiyah menyerang pelajar sekolah negeri diatas kereta api yang melewati terminal Rabwah, kota suci kaum Ahmadiyyah, dalam perjalanan mereka untuk liburan musim panas. Peristiwa ini mengusik kesabaran umat Islam. Pada gilirannya umat Islam memaksa pemerintah untuk mengangkat masalah Ahmadiyah ini ke Majlis Nasional dan Dewan Perwakilan Rakyat. Maka dipanggillah Mirza Nasir Ahmad, pemegang pucuk pimpinan Ahmadiyah pada waktu itu (yang adalah cucu Mirza Ghulam Ahmad). Para ulama pun sudah berhasil meyusun dokumen yang menjelaskan sikap umat Islam terhadap Qadiyaniyah untuk diajukan ke persidangan Majlis Nasional, yang kemudian dibukukan dengan judul Mawqifal-Ummah al-Islamiyyah min alQadiyaniyyah (Sikap Umat Islam Terhadap Qadiyaniyyah). Setelah mendengarkan keterangan dan sikap dari kedua pihak, Majlis Nasional pada 7 September 1974 memutuskan secara bulat untuk menerima dan menyetujui tuntutan-tuntutan umat Islam berkaitan dengan Ahmadiyah. Ini dapat dilihat dalam Konstitusi Pakistan, PART XII Miscellaneous, Chapter 5. Interpretation, Article 260(3), yang antara lain menyatakan: In the Constitution and all enactments and other legal instruments, unless there is anything repugnant in the subject or context: (a) Muslim means a person who believes in the unity and oneness of Almighty Allah, in the absolute and unqualified finality of the Prophethood of Muhammad (peace be upon him), the last of the prophets, and does not believe in, or recognize as a prophet or religious reformer, any person who claimed or claims to be a prophet, in any sense of the word or of any description whatsoever, after Muhammad (peace be upon him); and (b) non-Muslim means a person who is not a Muslim and includes a person belonging to the Christian, Hindu, Sikh, Buddhist or Parsi community, a person of the Quadiani Group or the Lahori Group who call themselves Ahmadis or by any other name or a Bahai, and a person belonging to any of the Scheduled Castes. Keputusan ini disambut dengan suka-ria oleh umat Islam seluruh Pakistan. Tanggal 7 September 1974 dianggap sebagai hari kemenangan bersejarah bagi umat Islam. Umat Islam hanya menuntut hak-hak dasar mereka yang telah dirampas oleh pihak lain, dan tidak rela agama yang suci ini dikotori oleh siapa pun.

Krtitik atas Tafsir Ahmadiyah


Written by Muchlis M. Hanafi Konon, suatu ketika Imam Ali r.a. mengirim Ibnu Abbas untuk berdebat dengan kelompok Khawarij terkait pemahaman mereka yang keliru. Beliau berpesan agar Ibnu Abbas tidak mendebat mereka dengan ayat-ayat Al-Qur`an, sebab Al-Qur`an itu hammlun dz wujh, mengandung berbagai kemungkinan penafsiran, yang boleh jadi dimanfaatkan oleh mereka untuk mencari pembenaran terhadap paham tersebut. Memang, hampir semua paham dan aliran dalam Islam, termasuk yang keliru dan sesat, berlabuh pada Al-Qur`an. Tak terkecuali Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berafiliasi pada Ahmadiyah Qadianiyah internasional. Kelompok Qadian inilah yang menjadi sasaran SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tahun 2008, agar mereka menghentikan penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dari pokok ajaran Islam. Dalam menyebarluaskan pemahamannya, JAI menerbitkan Al-Quran dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat. Buku tersebut merupakan terjemahan edisi ringkas dari The English Commentary of The Holy Quran hasil suntingan Mirza Ghulam Farid atas "Tafsir Shaghir" karya Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putra Mirza Ghulam Ahmad, yang bergelar Khalifatul Masih II, dan The Holy Quran with English Translation and Commentary . Edisi ini telah diterjemahkan ke dalam 100 bahasa dunia, termasuk Indonesia. Seperti umumnya karya tafsir, Tafsir Jemaat Ahmadiyah banyak merujuk ke kitab tafsir yang populer di kalangan umat Islam seperti al-Kasysyf, al-Bahr al-Muhth dan lainnya, walaupun terkadang ditemukan kutipan yang tidak tepat atau sempurna, sehingga terkesan sekadar mencari pembenaran klaim tertentu yang sesungguhnya tidak terkandung dalam kutipan tersebut. Tafsir itu juga menggunakan hadis sebagai penjelas Al-Qur`an dengan merujuk kitab-kitab hadis yang populer di kalangan umat Islam. Demikian juga pandangan para sahabat dan tabi`in sering dikutip dalam tafsir tersebut. Selain menggunakan tafsr bi al-ma`tsr (penafsiran dengan hadis, pandangan sahabat dan tabi`in), Tafsir Ahmadiyah menggunakan pendekatan tafsir isyri, yaitu sebuah penafsiran yang berusaha menangkap isyarat yang terkandung di balik lafal/zahir ayat. Metode penafsiran ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Selain meyakini kebenaran makna zahir yang tersurat dari sebuah ayat, kaum sufi berkeyakinan ada makna lain yang tersirat di balik lafal. Berbeda dengan mereka, kelompok Bathiniyyah juga meyakini makna di balik teks, terutama yang sejalan dengan kepentingan mereka, tetapi meninggalkan makna zahir ayat. Metode penafsiran bathiniyyah biasanya didahului oleh adanya pra-konsepsi, atau kecenderungan terhadap pandangan tertentu yang kemudian dicarikan pembenarannya dari Al-Qur`an. Memang, banyak kesalahan atau penyimpangan dalam tafsir terjadi karena menjadikan Al-Qur`an sebagai alat pembenaran, bukan sumber kebenaran. Al-Qur`an tidak lagi menjadi imm yang harus diletakkan di depan, tetapi dijadikan sebagai ma`mm yang mengikuti kehendak pikiran dan hawa nafsu. Ibnu Taimiyah menyebutkan, kesalahan dalam tafsir, khususnya yang menggunakan pendekatan rasional (tafsr bi al-ra`yi) dan isyriy, terjadi karena dua faktor, pertama: seorang penafsir memiliki pandangan tertentu kemudian mencari pembenarannya dari Al-Qur`an; kedua : menafsirkan AlQur`an sesuai makna bahasa, tanpa memperhatikan konteks penyebutan dan pemahaman bangsa Arab yang menerima Al-Qur`an. Kesalahan karena faktor pertama mengambil dua bentuk, pertama : konsep makna yang akan dibangun benar (madll), tetapi argumentasi atau dalil yang digunakan tidak tepat karena tidak

mengarah ke situ. Bentuk kedua, konsep atau makna (madll) yang akan dibangun keliru, demikian pula dalil atau argumentasinya. Contoh, kelompok Syiah fanatik (rfidhah) menafsirkan QS. Al-Masad/111 : 1, tabbat yad ab lahab (celakalah kedua tangan Abu lahab), bahwa 'kedua tangan' dimaksud adalah Abu Bakar dan Umar. Penafsiran ini lahir karena mereka sangat membenci Abu Bakar dan Umar yang dianggap telah 'merampas' hak kepemimpinan Imam Ali. Kata baqarah (sapi) yang diperintahkan untuk disembelih oleh bani Israil pada QS. Al-Baqarah/2: 67 adalah berarti Aisyah. Demikian fanatisme mereka yang berlebihan terhadap Imam Ali dan keluarganya, serta kebencian mereka terhadap lawan-lawan politik mereka (para sahabat) mempengaruhi penafsiran yang mereka lakukan. Padahal tidak sedikit pun ayat-ayat tersebut mengarah pada konsep yang hendak mereka bangun. Pola penafsiran seperti ini banyak ditemukan dalam tafsir Ahmadiyah. Berangkat dari keyakinan bahwa pemimpin dan pendiri Jemaat Ahmadiah, Mirza Ghulam Ahmad (MGA), sebagai seorang nabi, sekian banyak ayat ditafsirkan untuk mendukung pandangan tersebut. Jadi persoalannya bukan sekadar beda penafsiran, tetapi yang mereka lakukan adalah menjadikan ayat-ayat Al-Qur`an sebagai pembenaran atas klaim kenabian MGA. Perhatikan misalnya ketika MGA, seperti dikemukakan dalam tafsir Ahmadiyah, mengklaim dirinya telah mendapat jaminan surga berdasarkan firman Allah QS. Ysn/36: 20 dan 26, sebab hanya dialah, bukan lainnya, yang mendapat perintah masuk surga, sehingga dia membangun pekuburan surgawi (bahisyti maqbarah) di Qadian yang dikhususkan bagi para Ahmadi (sebutan bagi pengikut Ahmadiyah). Demikian juga ketika MGA menyatakan bahwa QS. Al-Qiymah/75 : 9 sebagai isyarat kebenaran pengakuannya sebagai Masih Mau`ud (Al-Masih yang dijanjikan turun di akhir zaman) dan Imam Mahdi, sebab ketika itu matahari dan bulan kedua-duanya mengalami gerhana. Padahal ayat tersebut tidak sedang berbicara dalam konteks gerhana, apalagi yang terjadi ratusan tahun kemudian saat MGA mendeklarasikan pengakuannya, tetapi menggambarkan keadaan saat kiamat terjadi (seperti nama surah tersebut) yaitu ketika matahari dan bulan dikumpulkan sehingga hancur berantakan. Selain itu, dalam tafsir tersebut sosok MGA digambarkan sebagai Rasulullah, wakil agung Rasulullah, Masih Maw`ud sekaligus Imam Mahdi, rekan sejawat dan misal Nabi Isa as. Dalam buku yang saya tulis, Menggugat Ahmadiyah; Mengungkap Ayat-Ayat Kontroversial dalam Tafsir Ahmadiyah, terbitan Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) dan Lentera Hati, (2011), saya mengungkap tidak kurang dari 50 ayat dalam Al-Qur`an digunakan untuk membenarkan pemahaman mereka yang menyimpang. Kekeliruan penafsiran demikian bukan hanya terletak pada konsep atau makna yang akan dibangun, yaitu klaim kenabian MGA yang bertentangan dengan pokok ajaran Islam yang sudah pasti ( alma`lm min al-dn bi al-dharrah) bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, tetapi juga pada dalil atau argumen yang melandasinya, sebab secara bahasa tidak mengarah ke situ. Secara tidak langsung, Ahmadiyah telah 'membonceng', bahkan 'memerkosa' (memaksakan) ayatayat Al-Qur`an untuk membenarkan pandangan yang mereka miliki sebelumnya (pra-konsepsi), yaitu MGA sebagai nabi. Dari sini maka sangat beralasan, kalau kemudian banyak lembaga fatwa seperti MUI (1980 dan 2005), Majma` al-Fiqh al-Islamiy di bawah Rabithah al-lam al-Islmiy dan lembaga yang sama di bawah Organisasi Konferensi Islam menyatakan kelompok ini sebagai kelompok sesat, bahkan dinyatakan keluar dari Islam. Wallahua`lam.

Anda mungkin juga menyukai