Sepanjang sejarah agama-agama wahyu, Ilmu Tauhid yang digunakan untuk menetapkan dan menerangkan segala apa yang diwahyukan Allah kepada RasulNya tumbuh bersama tumbuhnya agama ini. Para tokoh agama berusaha memelihara dan meneguhkan agama dengan berbagai macam cara dan dalil yang mampu mereka ketengahkan. Ada yang kuat, ada yang sempit, ada yang luas, sesuai dengan masa dan tempat serta hal-hal yang mempengaruhi perkembangan agama. Perkembangan Ilmu Tauhid mengalami beberapa tahapan sesuai dengan sesuai dengan perkembangan Islam, yang dimulai pada masa Rasulullah SAW,masa Khullafaurrasyidun, masa kerajaan Umayyah, masa kerajaan Abbasyiah dan masa sesudah kemunduran kerajaan Abbasyiah.
Perbezaan pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam masalah aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa). Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak menjadi isu kerana segala permasalahan akan diselesaikan oleh rasulullah sendiri
gurunya dan membela aliran Ahlussunnah wal Jamaah. Dia berpandangan jalan tengah antara pendapat Salaf dan penentangnya. Abu Hasan menggunakan dalil naqli dan aqli dalam menentang Mutazilah. Usaha ini mendapat sokongan daripada Abu al-Mansur al-Maturidy, al-Baqillani, Isfaraini, Imam haramain alJuaini, Imam al-Ghazali dan Ar-Razi yang datang sesudahnya. Usaha para mutakallimin khususnya al-Asyary dikritik oleh Ibnu Rusydi melalui bukunya Fushush al-Maqal fii ma baina al-Hikmah wa asysyarizati min al-Ittishal dan al-Kasyfu an Manahiji al-Adillah. Beliau mengatakan bahwa para mutakallimin mengambil dalil dan muqaddimah palsu yang diambil dari Mutazilah berdasarkan filsafat, tidak mampu difahami oleh akal orang awam. Sudah tentu tidak mencapai sasaran dan jauh bergeser dari garis al-Quran. Yang benar adalah mempertemukan antara syariat dan filsafat. Dalam mengambil dalil terhadap aqidah Islam jangan terlalu menggunakan filsafat kerana jalan yang diterangkan oleh al-Quran sudah cukup jelas dan sangat sesuai dengan fitrah manusia. Disnilah letaknya agama Islam itu memperlihatkan kemudahan. Dengan dimasukkan filsafat malah tambah sukar dan membingungkan.
mengembangkannya, kecuali hanya membaca kitab-kitab yang sudah ada saja. Kefakuman ini cukup lama, barulah berakhir dengan munculnya Sayid jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha di Mesir. Inilah gerakan ini disebut gerakan Salafiyah.