Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENGANTAR STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS

Tentang

ISI KANDUNGAN AL-QUR’AN; TAUHID, IBADAH, WA’AD DAN WAID,


SABIL AL-SA’ADAH DAN QASHASH

Disusun Oleh Kelompok : 6

Sulaiman : 2214070184

Muhammad Fauzi : 2214070185

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Azhariah Fatia, S.Ag, MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (E)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Rabb Semesta Alam, atas segala rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Isi Kandungan
Al-Qur’an; Tauhid, Ibadah, Wa’ad Dan Waid, Sabil Al-Sa’adah Dan Qashash”
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Hadits.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Hj. Azhariah Fatia,
S.Ag, MA selaku dosen pengampu mata Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Hadits
yang senantiasa membimbing kami. Dan segenap pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.

Besar harapan saya semoga makalah ini dapat membantu proses perkuliahan,
menambah wawasan para pembacanya, dan mendapatkan nilai yang baik. Saya
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan. Untuk
itu, kritik dan saran dari para cerdik cendekia sangat saya harapkan untuk
perbaikan pembuatan makalah yang akan datang.

Padang, 11 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Tauhid........................................................................................................ 3
B. Ibadah......................................................................................................... 5
C. Wa’ad dan Waid.........................................................................................10
D. Sabil al-Sa’adah.........................................................................................13
E. Qashash......................................................................................................14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................19
B. Saran...........................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tauhid merupakan landasan Islam yang paling penting. Seseorang yang
benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan
akhirat. Tauhid yang tidak benar, akan menjatuhkan seseorang ke dalam
kesyirikan. Kesyirikan merupakan dosa yang akan membawa kecelakaan di
dunia serta kekekalan di dalam azab neraka. Allah SWT berfirman dalam Al
Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 48, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang
yang Allah kehendaki.
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah
kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak
ada yang ditakutinya kecuali Allah merupakan hal pokok yang harus dilakukan
seorang pendidik. Seorang pendidik harus menekankan bahwa setiap langkah
manusia selalu dalam pengawasan Allah SWT.
Penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan
menjauhi larangan-Nya. Seorang pendidik harus mampu menyesuaikan tingkah
lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Pendidikan tauhid ini
adalah pendidikan yang paling pokok di atas hal-hal penting lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tauhid?
2. Bagaimana hakikat, tujuan dan fungsi Ibadah?
3. Apa yang dimaksud Wa’ad dan Waid?
4. Bagaimana cara mencapai Sabil al-Sa’adah?
5. Apa yang dimaksud Qashash?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Tauhid.
2. Untuk mengetahui bagaimana hakikat, tujuan dan fungsi Ibadah.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Wa’ad dan Waid.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara mencapai Sabil al-Sa’adah.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Qashash.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tauhid
1. Pengertian Tauhid
Pengertian Tauhid Kata tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari
kata wahhada yuwahhidu. Secara etimologi, tauhid berarti keesaan.
Maksudnya, iktikad atau keyakinan bahwa Allah adalah Esa; Tunggal; Satu.
Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam
bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui
keesaan Allah; mengesakan Allah.”
Secara istilah syar‟i, tauhid berarti mengesakan Allah dalam hal
mencipta, menguasai, mengatur dan memurnikan (mengikhlaskan)
peribadahan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-
Nya serta menetapkan asma‟ul husna dan sifat al-„ulya bagi-Nya dan
mensucikan-Nya dari kekurangan dan cacat.
Asal makna “tauhid” ialah meyakinkan, bahwa Allah adalah “satu”,
tidak ada syarikat bagi-Nya. Oleh sebab itu, sebab dinamakan “Ilmu
Tauhid”, ialah karena bahagiannya yang terpenting, menetapkan sifat
“wahdah” (satu) bagi Allah dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya
menciptakan alam seluruhnya dan bahwa Ia sendiri-Nya pula tempat
kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan.
Misalnya Muhammad Abduh menjelaskan yang artinya: “Tauhid ialah
suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap
pada-Nya, sifat sifat yang boleh disifatkan kepada Nya, dan tentang sifat-
sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada Nya. Juga membahas tentang
rasulrasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh
dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka, dan apa yang terlarang
menghubungkannya kepada diri mereka.” Tauhid dalam kajian disebut
sebagai ilmu tauhid, yang juga dinamakan sebagai ilmu kalam, karena

3
dalam pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal yang
berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasi-argumentasi filosofis
dengan menggunakan logika atau mantik.

2. Hakikat Tauhid
Berdasarkan pokok bahasan dalam kajian tauhid di atas tersebut, maka
tauhid diklasifikasikan kepada tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, dan
tauhid Ubudiyah Tauhid Rububiyah Tauhid rububiyah, rububiyah adalah
kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah, yaitu Rabb‟. Nama ini
mempunyai beberapa arti, antara lain: AlMurabbi (pemelihara), al-Nashir
(penolong), al-Malik (pemilik), alMushlih (yang memperbaiki), al-Sayyid
(tuan).
Dalam terminologi syari‟at Islam, istilah tauhid rububiyyah berarti
percaya bahwa hanya Allah satu-satunya pencipta, pemilik, pengendali alam
raya yang dengan takdirnya-Nya Ia menghidupkan dan mematikan serta
mengendalikan alam dengan sunnah-sunnah-Nya”.Dalam pengertian ini
istilah tauhid rububiyah belum terlepas dari akar makna bahasanya. Sebab
Allah adalah pemelihara makhluk, para rasul dan wali-wali-Nya dengan
segala spesifikasi yang telah diberikannya kepada mereka. Tauhid
rububiyah mencakup dimensi-dimensi keimanan berikut ini:
1) Beriman kepada perbuatan perbuatan Allah yang bersifat umum.
Misalnya, menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan,
menguasai.
2) Beriman kepada takdir Allah.
3) Beriman kepada zat Allah. Landasan tauhid rububiyah adalah dalil-dalil
berikut: Artinya: “Segala puji Bagi Allah Rabb Semesta Alam.”(QS.Al-
Fatihah: 2).

3. Pembagian Tauhid
a. Tauhid Uluhiyah

4
Tauhid uluhiyah adalah Percaya sepenuhnya bahwa Allah-lah yang
berhak menerima semua peribadatan makhluk, dan hanya Allah sajalah
yang sebenarnya yang harus disembah.Manusia bersujud kepada Allah,
Allah tempat meminta, Allah tempat mengadukan nasibnya, manusia
wajib menaati perinta dan menjauhi larangan-Nya. Semua yang berupa
kebatilan langsung kepada Allah, tanpa perantara(wasilah).Allah
melarang kita menyembah selain-Nya seperti menyembah batu,
menyembah matahari, maupun menyembah manusia. Semua itu adalah
perbuatan syirin yang sangat besar dosanya dan dibenci oleh Allah,
bahkan Allah tidak akan mengampuni dosa syirik itu.
b. Tauhid Ubudiyah
Kata ubud berasal dari kata kerja „Abada yang berarti mengabdikan
diri(Ibadah). Beribadah kepada allah dengan menyembah kepada-Nya.
Penyembahan disini bukan bermaksud Allah berhajat disembah
hambanya karena Allah tidak ingin disembahakan tetapipenyembahan
disini merupakan ketaatan,kepatuhan,ketumbuhan antara hamba dengan
Tuhannya.Antara makhluk dengan khaliknya tidak ubahnya kita atau
kepatuhan ketundukannya seorang anak terhadap orang tua. Seorang
karyawan kepada pimpinannya yang semua kewajiban dilakukan dengan
penuh rasa tanggung jawab, hanya saja didalam ketaatan menjalankan
kewajiban tidak terdapat unsur benci sedikitpun kepadanya. Dengan
selalu menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi segala larangan-
laranganNya.

B. Ibadah
1. Pengertian Ibadah
Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Dari akar kata
yang sama kita mengenal istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun
makna kekurangan, kehinaan, dan kerendahan. Karena itu, inti ibadah ialah

5
pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan dan kerendahan diri dalam bentuk
pengagungan, penyucian dan syukur atas segala nikmat. Kata ‘abd diserap
ke dalam bahasa Indonesia menjadi abdi, seorang yang mengabdi dengan
tunduk dan patuh kepada orang lain. Dengan demikian, segala bentuk sikap
pengabdian dan kepatuhan merupakan ibadah walaupun tidak dilandasi
suatu keyakinan.
Kata “Ibadah” menurut bahasa berarti “taat, tunduk, merendahkan diri
dan menghambakan diri” (Basyir, 1984:12). Adapun kata “Ibadah” menurut
istilah berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai
keridhoan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat” (Ash-Shiddiqy,
1954:4).
Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau penghambaan diri
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk
kegiatan manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan
menghamba hanya kepada Allah. Jadi, semua tindakan mukmin yang
dilandasi oleh niat tulus untuk mencapai ridha Allah dipandang sebagai
ibadah. Makna inilah yang terkandung dalam firman Allah :
َ ‫اخلَ ْقتُ ال ِجنَّ َو ْااَّل ِ ْن‬
‫س ااَّل لِيَ ْعبُد ُْو ِن‬ َ ‫َو َم‬
Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untu mengabdi
kepada-Ku, (al-Dzariyat [51]: 56).
Dengan demikian, segenap tindakan mukmin yang dilakukan sepanjang
hari dan malam tidak terlepas dari nilai ibadah, termasuk tindakan yang
dianggap sepele, seperti senyum kepada orang lain. Atau bahkan tindakan
yang dianggap kotor atau tabu jika dituturkan kepada orang lain, seperti
buang hajat, melakukan hubungan seks, dan lain-lain. Beberapa sahabat
bertanya kepada Nabi saw. tentang pahala shalat, puasa, dan sedekah.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Seseorang muslim yang menanam pohon
atau tumbuhan lain, kemudian buahnya dimakan burung, orang atau
binatang ternak, semua itu menjadi sedekah baginya.”

2. Tujuan, Hakekat, dan Fungsi Ibadah

6
a. Tujuan Ibadah
Ada lima tujuan yang dicapai melalui pelaksanaan ibadah:
1) Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak,
seperti ilmu, kekuasaan, dan kehendak-Nya. Artinya, kesempurnaan
sifat-sifat Allah tak terbatas, tak terikat syarat, dan meniscayakan-Nya
tanpa membutuhkan yang lain.
2) Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, seperti
kemungkinan untuk binasa, terbatas, bodoh, lemah, kikir, semena-
mena, dan sifat-sifat tercela lainnya,
3) Bersyukur kepada Allah sebagai sumber segala kebaikan yang kita
dapatkan berasal dari-Nya, sedangkan segala sesuatu selain kebaikan
hanyalah perantara yang Dia ciptakan.
4) Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara
mutlak. Mengakui bahwa Dialah yang layak ditaati dan dijadikan
tempat berserah diri. Dialah yang yang berhak memerintah dan
melarang kita, karena Dialah Tuhan kita. Kita semua wajib taat dan
menyerahkan diri kepada-Nya, sebab kita adalah hamba-Nya.
5) Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah apapun yang kami
sebutkan di atas, dialah satu-satunya yang Mahasempura. Dialah satu-
satunya yang Mahasuci dari segala cela dan kekurangan. Dan dialah
satu-satunya pemberi nikmat yang sebenarnya, serta pencipta segala
kenikmatan. Karena itu, segala bentuk syukur layak dipanjatkan hanya
kepada-Nya. Dialah satu-satunya yang layak ditaati dan dijadikan
tempat berserah diri secara tulus. Ketaatan kita kepada Nabi, imam,
pemimpin, agama, ayah, ibu, atau guru harus kita lakukan dalam
bingkai ketaatan kita kepada-Nya. Inilah sikap yang layak bagi
seorang hamba di hadapan Penciptanya Yang Mahaagung. Sikap
semacam itu hanya boleh dilakukan kepada Dia yang betul-betul nyat
keagungan dan kebesaran-Nya.
b. Hakikat Ibadah
Adapun hakikat ibadah yaitu :

7
1) Ibadah adalah tujuan hidup kita.
2) Melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh
ketundukkan dan perendahan diri kepada Allah SWT.
3) Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan
meniggalkan larangan-Nya.
4) Cinta, maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang
mengandung makna mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya
atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya : mengikuti sunnah
Rasulullah saw.
5) Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala
sesuatu yang dicintai Allah).
6) Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada
segala bentuk dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah
SWT.
c. Fungsi Ibadah
Ada tiga aspek fungsi ibadah dalam Islam:
1) Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya dapat
dilakukan melalui “muqorobah” dan “khudlu”. Orang yang beriman
dirinya akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Ia akan selalu
berupaya menyesuaikan segala perilakunya dengan ketentuan Allah
SWT. Dengan sikap itu seseorang muslim tidak akan melupakan
kewajibannya untuk beribadah, bertaubat, serta menyandarkan segala
kebutuhannya pada pertolongan Allah SWT. Demikianlah ikrar
seorang muslim seperti tertera dalam Al- Qur’an surat Al-Fatihah ayat
5 : “Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan.”Atas landasan itulah manusia
akan terbebas dari penghambaanterhadap manusia, harta benda dan
hawa nafsu.

2) Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya

8
Dengan sikap ini, setiap manusia tidak akan lupa bahwa dia adalah
anggota masyarakat yang mempunyai hak dan Kewajiban untuk
menerima dan memberi nasihat. Oleh karena itu, banyak ayat Al-
Qur'an ketika berbicara tentang fungsi ibadah menyebutkan juga
dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat. Contohnya:
Ketika Al Qur'an berbicara tentang sholat, ia menjelaskan fungsinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Dalam ayat ini Al-Qur'an menjelaskan bahwa fungsi sholat adalah
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.Perbuatan keji dan
mungkar adalah suatu perbuatan merugikan diri sendiri dan orang
lain. Maka dengan sholat diharapakan manusia dapat mencegah
dirinya dari perbuatan yang merugikan tersebut. Ketika Al-Qur'an
berbicara tentang zakat, Al-Qur'an juga menjelaskan fungsinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan Mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”Dan
masih banyak ibadah-ibadah lain yang tujuannya tidak hanya baik
bagi diri pelakunya tetapi juga membawa dapak sosial yang baik bagi
masyarakatnya. Karena itu Allah tidak akan menerima semua bentuk
ibadah, kecuali ibadah tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan
orang lain. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa yang sholatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan
keji dan munkar, maka dia hanya akan bertambah jauh dari Allah”
(HR. Thabrani)

9
3) Melatih diri untuk berdisiplin
Adalah suatu kenyataan bahwa segala bentuk ibadah menuntut kita
untuk berdisiplin. Kenyataan itu dapat dilihat dengajn jelas dalam
pelaksanaan sholat, mulai dari wudhu, ketentuan waktunya, berdiri,
ruku, sujud dan aturan-aturan lainnya, mengajarkan kita untuk
berdisiplin. Apabila kita menganiaya sesama muslim, menyakiti
manusia baik dengan perkataan maupun perbuatan, tidak mau
membantu kesulitan sesama manusia, menumpuk harta dan tidak
menyalurkannya kepada yang berhak. Tidak mau melakukan “amar
ma'ruf nahi munkar”, maka ibadahnya tidak bermanfaat dan tidak bisa
menyelamatkannya dari siksa Allah SWT.

C. Wa’ad dan Waid


Dalam buku Sejarah Pemikiran Islam dibahas tentang ajaran pokok
Mu’tazilah yaitu al-Ushul al-Khamsah (lima ajaran pokok). Al-Ushul al-
Khamsah terdiri dari lima ajaran: Al-Tauhid, Al-‘adl, Al-wa’ad wal al-wa’id,
al-manzilah bain al-manzilatain dan al’amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-
munkar.
Di antara ajaran ushul khamsah tersebut konsep al-wa’ad wa al-wa’id
dapat dijadikan sebagai salah satu teori dalam tulisan ini, di mana fokus
kajiannya diarahkan pada ayat-ayat tentang janji dan ancaman.
Konsep al-wa’ad wa al-wa’id mengajarkan bahwa karena Tuhan Maha
Adil dan Maha Bijaksana, maka Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya. Janji
Tuhan berupa pahala dan ancaman Tuhan berupa siksa pasti akan berlaku.
Dalam konsep ini siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan
siapa yang berbuat jahat akan disiksa dengan siksaan yang pedih.
Konsep al-wa’ad wa al-wa’id mendorong manusia bertanggung jawab
terhadap apa yang dilakukannya baik atau buruk. Ajaran ini membersihkan
Dzat Tuhan dari segala tuduhan yang tidak pantas terhadap-Nya. Tuhan itu
Maha Adil sehingga tidak mungkin Tuhan menciptakan perbuatan buruk
manusia. Tuhan hanya menciptakan segala sesuatu yang baik, sedangkan

10
manusia dapat menciptakan amalnya yang buruk. Oleh karena itu, manusia
secara hakiki menerima ancaman Tuhan dengan penderitaan disebabkan
kesalahannya sendiri. Sebaliknya Tuhan Maha Adil memberikan kebahagiaan
kepada manusia yang beramal shalih.

Ayat- ayat tentang Janji dan Ancaman


Pada bagian ini akan diuraikan tentang redaksi ayat-ayat al-Quran tentang
janji dan ancaman, dan nilai-nilai dakwah yang terdapat di dalamnya.
Selanjutnya akan dikaji tafsir ayat dengan berpedoman kepada tafsir al-Misbah.
1. Redaksi Ayat-ayat Al-Quran tentang Janji
Disebabkan ayat-ayat tentang janji dan ancaman tersebar dalam sejumlah
surah al-Quran, maka penulis memilih beberapa ayat saja sebagai contoh
yang dianggap representatif dalam kajian ini. Ayat-ayat yang dipilih
adalah ayat yang dianggap sesuai antara kandungan ayat dengan tema
pembahasan.
Jika dilihat redaksi ayat al-Quran istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan tentang janji adalah dengan huruf syarat dan jawabnya. Di
samping itu al-Quran juga menggunakan huruf tastniyah.
Kalimat syarat sering muncul dengan redaksi man ‘amila shalihan min
dzakarin aw untsa... atau wa man ya’mal min al-shalihati... (barang siapa
yang beriman dan beramal shalih...). Jika diperhatikan redaksi ayat di atas,
maka diketahui bahwa ungkapan kata janji ditandai dengan kalimat
bersyarat. Dalam dua contoh ayat di atas adat syaratnya adalah kata-kata
man, dan jawab syaratnya ditandai dengan huruf fa. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa janji Allah akan dapat dicapai oleh seorang hamba
apabila dia memenuhi syarat beriman dan beramal shalih. Berikut
dikemukakan beberapa contoh ayat yang mengandung tentang janji Allah
kepada umat manusia. QS. Al-Nahl/16: 97
ۚ
َ ‫ َر ُه ْم بِا َ ْح‬W‫ ِزيَنَّ ُه ْم اَ ْج‬W‫ةً َولَنَ ْج‬Wَ‫وةً طَيِّب‬WW‫صالِ ًحا ِّمنْ َذ َك ٍر اَ ْو اُ ْن ٰثى َوه َُو ُمْؤ ِمنٌ فَلَنُ ْحيِيَنَّ ٗه َح ٰي‬
‫ا‬WW‫ ِن َم‬W‫س‬ َ ‫َمنْ َع ِم َل‬
َ‫َكانُ ْوا يَ ْع َملُ ْون‬

11
Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan,
sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan
pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.
Imam Ibnu Katsir berkata: amal shalih adalah amalan yang mengikuti
kitab Allah (al-Quran) dan sunnah Nabi- Nya, baik laki- laki maupun
perempuan yang hatinya beriman kepada Allah dan Rasul- Nya.
Kehidupan yang baik itu mencakup seluruh bentuk ketenangan,
bagaimanapun wujudnya
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tolok ukur seorang hamba adalah
imannya kepada Allah. Setelah itu kesempurnaan iman baru terwujud jika
ia beramal shalih. Orang yang beriman dan beramal shalih dijanjikan oleh
Allah kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Ayat ini
merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan antara laki- laki
dan perempuan. Siapapun yang beramal saleh baik laki- laki maupun
perempuan akan mendapatkan janji Allah berupa kehidupan yang diliputi
dengan ketenangan, ketentraman, kesabaran, kecukupan dan rasa syukur
kepada Allah Swt.

2. Redaksi ayat al-Quran tentang ancaman


Redaksi ayat al-Quran tentang ancaman sering muncul dalam bentuk
istilah wail (celakalah). Dalam bahasa Arab Al-Wail ( ‫ ) الويل‬adalah isim
ma’rifat dikhususkan pada nama sebuah neraka yaitu neraka wail.
Sedangkan isim nakirahnya adalah wailun ( ‫ ) ويل‬yang artinya celaka. Al-
Wail ( ‫ ) الويل‬secara bahasa (etimologi) artinya celaka, binasa. Bentuk kata
lain al-Wail di antaranya ‫( ) ويل لك‬celaka kamu) artinya lembah di neraka, (
‫ ) الويلة‬bencana, musibah, cobaan.20 Menurut Abi Fadhil Jamaluddin
dalam kitabnya Lisanul Arab, al-Wail diartikan dengan siksa, datang
kejelekan, musibah, bencana21 Al-Wail diartikan juga lembah neraka
Jahannam.
Al-Qur’an surat Al-Jaatsiyah/45: 7-9

12
‫ويل لِّ ُكل اَفَّاك اَثي ۙم يسمع ٰا ٰي هّٰللا‬
‫ب اَلِ ْي ٍم‬ ِّ َ‫ َم ْع َه ۚا فَب‬W‫س‬
ٍ ‫ َذا‬W‫ ْرهُ بِ َع‬W‫ش‬ ْ َ‫ اَنْ لَّ ْم ي‬W‫تَ ْكبِ ًرا َك‬W‫س‬ ِ ُ‫ت ِ تُ ْت ٰلى َعلَ ْي ِه ثُ َّم ي‬
ْ ‫ص ُّر ُم‬ ِ ُ َ ْ َّ ٍ ْ ِ ٍ ِّ ٌ ْ َ
ۤ
ٌ‫اب ُّم ِهي ْۗن‬
ٌ ‫ول ِٕى َك لَ ُه ْم َع َذ‬ ٰ ُ‫ش ْيـًٔا ۨات ََّخ َذهَا ُه ُز ًو ۗا ا‬
َ ‫َواِ َذا َعلِ َم ِمنْ ٰا ٰيتِنَا‬
7. Celakalah setiap pembohong lagi bergelimang dosa
8. yang mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, kemudian dia
tetap menyombongkan diri seakan-akan tidak mendengarnya.
Peringatkanlah dia (wahai Nabi Muhammad) dengan azab yang amat
pedih.
9. Apabila dia mengetahui sesuatu tentang ayat-ayat Kami, dia
menjadikannya bahan olok-olok. Merekalah yang akan menerima azab
yang menghinakan.
Ayat ini menjelaskan kecelakaan yang besar dan dahsyat bagi setiap
pembohong yakni mengada-ada kebohongan terhadap Allah lagi banyak
berdosa yaitu melakukan pelanggaran. Kebohongan dan dosanya itu antara
lain adalah dia mendengar ayat-ayat Allah yang demikian jelas dan yang
selalu dibacakan kepadanya dengan lisan dan pemaparan oleh siapa dan
dengan cara apapun, namun ia enggan mempercayainya. Bahkan yang
lebih buruk lagi dia tetap dalam pengingkarannya sambil menyombongkan
diri seakan-akan dia tidak mendengarnya, maka wahai nabi Muhammad
atau siapapun yang berakal gembirakanlah dia dengan siksa yang pedih.

D. Sabil al-Sa’adah
Lafal sa’adah berasal dari kata sa’ida (‫ – )سعد‬yas’adu (‫ – )يسعد‬su’ida (‫)سعد‬
– sa’adatan (‫عادة‬WW‫)س‬, yang bermakna berbahagia. Lafal sa’adah di dalam Al-
Qur’an disebutkan sebanyak 2 kali dalam surah Hud ayat 105 dan 108. Dalam
surah Hud ayat 105 lafal sa’adah disebut dengan bentuk isim fa’il, sa’iidun:
Dalam Kamus al-Munjid dijelaskan bahwa sa’adah merupakan lawan kata
dari syaqawah: kesengsaraan. Dalam kitab Tafsir al-Jilani
makna sa’adah dibagi menjadi 2 yaitu sa’adah dhahir
dan sa’adah batin. Sa’adah dhahir saat manusia masih di dunia diartikan:
bentuk istirahat dari rasa lelah atau capek, sedangkan saat di akhirat: selamat
dari adzab. Sedangkan sa’adah batin saat di dunia diartikan: istirahat hati dari

13
jeri payah, kekhawatiran serta kesedihan, dan di akhirat yaitu selalu
menyaksikan kebenaran disisi Allah.
Dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa kebahagiaan manusia
sesungguhnya tidak hanya kebahagiaan fisik tetapi juga kebahagiaan non-fisik:
batin. Orang yang merasakan bahagia secara fisik seperti istirahat dari rasa
lelah belum tentu juga merasakan kebahagiaan batin: ketenangan hati. Lebih
jauhnya, kebahagiaan juga bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Kebahagiaan duniawi bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan ukhrawi
bersifat kekal dan abadi.
Dalam buku Tafsir Kebahagiaan yang ditulis oleh Didi Junaedi
menjelaskan bahwa lafal sa’adah yang berbentuk majhul dari redaksi aladhina
su’idu menunjukkan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya diraih oleh
manusia tidak hanya semata-mata atas hasil kerja keras dan usaha yang
dilakukannya. Akan tetapi, itu termasuk pemberian serta karunia dari Allah
SWT. Dengan kata lain, kebahagiaan itu bukan hanya berkaitan dengan proses
manusia mencarinya tapi juga proses Allah SWT memberikannya.
Kebahagiaan (al-sa’adah) tidak akan dicapai manusia secara tiba-tiba atau
apa adanya (taken for granted). Diperlukan cara-cara agar manusia mampu
mencapai kebahagiaan hakiki yang menjadi tujuannya. Jika al-Ghazali dalam
bukunya “Kimia al-Sa’adah” (2001; 2017) menjelaskan bahwa kebahagiaan
dapat diraih saat manusia mampu mengenal diri, mengenal Tuhan, mengenal
dunia, dan mengenal akhirat, maka lain halnya dengan Rahmat (2004), yang
mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai melalui empat cara yaitu:
1. Memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia bersifat sementara;
2. Penderitaan terjadi karena ada keinginan, hasrat, nafsu, yang harus
dipuaskan;
3. Untuk mengakhiri penderitaan, orang harus mengakhiri atau menghentikan
keinginan agar jalan menuju nirvana (kebahagiaan, kebebasan) menjadi
terbuka; dan
4. Nirvana dicapai dengan iman dan latihan ruhaniah.

14
E. Qashash
1. Pengertian qashash
Ilmu Qashashil Qur’an ialah ilmu yang membahas kisah-kisah yaitu
jejak-jejak umat dan Nabi terdahulu serta peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi di dalam al-Qur’an. Kata al-qashash adalah bentuk masdar seperti
firman Allah SWT pada QS. Al-Kahfi ayat 64:
‫ص ۙا‬ َ َ‫ارتَدَّا ع َٰلٓى ٰاثَا ِر ِه َما ق‬
ً ‫ص‬ ْ َ‫قَا َل ٰذلِ َك َما ُكنَّا نَ ْب ۖ ِغ ف‬
Dia (Musa) berkata “itulah (tempat) yang kita cari” Lalu keduanya
kembali mengikuti jejak mereka semula.
Maksudnya, kedua orang itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari
mana keduanya itu datang. Qashash berarti berita yang berurutan. Firman
Allah pada QS. Ali-Imran ayat 62 berbunyi:
‫ق ۚ َو َما ِمنْ اِ ٰل ٍه اِاَّل هّٰللا ُ َۗواِنَّ هّٰللا َ لَ ُه َو ا ْل َع ِز ْي ُز ا ْل َح ِك ْي ُم‬
ُّ ‫ص ا ْل َح‬ َ َ‫اِنَّ ٰه َذا لَ ُه َو ا ْلق‬
ُ ‫ص‬
Sungguh ini adalah kisah yang benar, tidak ada Tuhan selain Allah,
dan sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Qashash al-Qur’an adalah pemberitaan Qur’an ihwal umat yang telah
lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi. Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa
lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau
jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang
menarik dan memesona (mengagumkan).

2. Macam-macam qashash al-Quran


a. Ditinjau dari Segi Waktu
 Kisah hal-hal gaib pada masa lalu (al-qashashul ghuyub al-madhiyah).
Kisah yang menceritakan kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak
bisa ditangkap Panca indra yang terjadi di masa lampau.
Contohnya:
1) Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai
penciptaan khalifah Bumi (QS. Al-Baqarah ayat 30-34)

15
2) Kisah tentang penciptaan Alam Semesta (QS. Al-Furqan ayat 59;
QS. Qaf ayat 38)
3) Kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di
Surga (QS. Al-A’raf ayat 11-25)
4) Kisah nabi Nuh, nabi Musa, dan kisah Maryam seperti yang
diterangkan dalam surat Al-Imran ayat 44.
ۢ
ِ ‫ٰذلِ َك ِمنْ اَ ْنبَ ۤا ِء ا ْل َغ ْي‬
‫ َد ْي ِه ْم اِ ْذ‬W َ‫ب نُ ْو ِح ْي ِه اِلَيْكَ ۗ َو َما ُك ْنتَ لَ َد ْي ِه ْم اِ ْذ يُ ْلقُ ْونَ اَ ْقاَل َم ُه ْم اَيُّ ُه ْم يَ ْكفُ ُل َم ْريَ ۖ َم َو َما ُك ْنتَ ل‬
ِ َ‫يَ ْخت‬
َ‫ص ُم ْون‬
Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad), padahal engkau tidak bersama mereka
ketika mereka melemparkan pena (mereka untuk mengundi) siapa
di antara mereka yang akan memelihara Maryam, dan engkau pun
tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar.
 Kisah-kisah gaib pada masa kini (al-qashashul ghuyub al-hadhirah).
kisah yang menerangkan hal gaib pada masa sekarang, (meski sudah
ada sejak dulu dan masih akan tetap ada sampai masa yang akan
datang) dan menyingkap rahasia orang munafik.
Contoh:
1) Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul
Qadar (QS. Al-Qadar ayat 1-5)
2) Kisah tentang kehidupan makhluk-makhluk gaib seperti setan, jin,
atau iblis (QS. Al-A’raf ayat 13-14)
3) Kisah hal-hal gaib pada masa yang akan datang (al-qashashul
ghuyub al-mustaqbilah). Kisah-kisah yang menceritakan peristiwa
yang akan datang yang belum terjadi pada waktu turunnya al-
Qur’an, kemudian peristiwa tersebut betul-betul terjadi. Contohnya
seperti kisah nabi Muhammad bermimpi akan dapat masuk
Masjidil Haram bersama para sahabat. Pada saat perjanjian
Hudaibiyah nabi gagal masuk Makkah sehingga dihina oleh orang-
orang kafir.

16
b. Ditinjau dari Materi
 Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka,
penentang, serta pengikut mereka. Contoh:
1) Kisah Nabi Adam (QS. Al-Baqarah ayat 30-39; QS. Al-A’raf
2) ayat 11)
3) Kisah Nabi Nuh (QS. Hud ayat 25-49)
4) Kisah Nabi Hud (QS. Al-A’raf ayat 65, 72, 50, 58)
5) Kisah Nabi Idris (QS. Maryam: 56-57; QS. Al-Anbiya ayat 85-86)
6) Kisah Nabi Yunus (QS. Yunus ayat 98; QS. Al-An’am ayat 86-87)
 Kisah kesalehan orang-orang yang belum diketahui status
kenabiannya agar diteladani dan kisah tokoh-tokoh durjana masa lalu
agar dijauhi dan tidak diikuti. Contoh:
1) Kisah tentang Luqman (QS. Luqman ayat 12-13)
2) Kisah tentang Dzul Qarnain (QS. Al-Kahfi ayat 83-98)
3) Kisah tentang Ashabul Kahfi (QS. Al-Kahfi ayat 9-26)
4) Kisah tentang Thalut dan Jalut (QS. Al-Baqarah ayat 246-251)
5) Kisah tentang Maryam (QS. Maryam: 16-35)
 Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada
masa Rasulullah SAW. Contoh:
1) Perang Badr, Perang Uhud (QS. Ali-Imran)
2) Perang Hunain dan Perang Tabuk (QS. At-Taubah)
3) Perang Ahzab (QS. Al-Ahzab)
4) Hijrah dan Isra’ (QS. Al-Isra’ ayat 1) Mi’raj (QS. Al-Najm ayat 1-
18)15
5) Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul
Qadar (QS. Al-Qadar ayat 1-5)

c. Ditinjau dari Segi Pelaku


 Manusia, yaitu kisah yang pelakunya berupa manusia. Contoh: kisah
nabi Sulaiman, Fir’aun, Maryam, dan lain-lain.

17
 Malaikat, yaitu kisah yang pelakunya berupa malaikat. Contoh: kisah
malaikat yang terdapat dalam QS. Hud ayat 69-83 yaitu yang
mengisahkan bahwa malaikat datang kepada nabi Ibrahim dan nabi
Luth dengan menjelma sebagai seorang tamu.
 Jin, kisah yang digambarkan oleh jin.
 Binatang, yaitu kisah yang pelakunya adalah binatang. Contoh: kisah
burung yang terdapat pada zaman nabi Sulaiman yang diabadikan
dalam QS. An-Naml ayat 18-19.

d. Ditinjau dari Segi Panjang Pendeknya


Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah Al-Qur’an dibagi menjadi 3
yaitu:
1. Kisah Panjang. Contohnya kisah Nabi Yusuf a.s dalam QS. Yusuf
yang hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan Nabi Yusuf,
sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan memiliki kekuasaan.
2. Kisah yang Lebih Pendek dari Bagian yang Pertama (Sedang). Seperti
kisah Maryam dalam QS. Maryam, kisah Ashabul Kahfi dalam QS.
Al-Kahfi, kisah Nabi Adam dalam QS. Al-Baqarah dan QS. Thaha.
3. Kisah Pendek. Kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat,
misalnya kisah Nabi Hud a.s, Nabi Luth a.s dalam QS. Al-A’raf.

e. Ditinjau dari Jenisnya


Dilihat dari jenisnya, kisah-kisah dalam al-Qur’an dibagi dalam tiga
macam yaitu:
1. Kisah Sejarah (al-Qishash al-Tarikhiyyah). Berkisar tentang kisah-
kisah sejarah, seperti para nabi dan rasul.
2. Kisah Perumpamaan (al-Qishash al-Tamliziyah). Untuk menerangkan
atau memperjelas suatu pengertian atau keadaan, bahwa peristiwa itu
tidak benar terjadi tetapi hanya sebagai perumpamaan.

18
3. Kisah Futurolog. Kisah ini bertujuan untuk mewujudkan tujuan-tujuan
ilmiah atau menafsirkan, fenomena yang ada menguraikan masalah
yang sulit diterima akal.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengertian Tauhid Kata tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata
wahhada yuwahhidu. Secara etimologi, tauhid berarti keesaan. Asal makna
“tauhid” ialah meyakinkan, bahwa Allah adalah “satu”, tidak ada syarikat bagi-
Nya. Oleh sebab itu, sebab dinamakan “Ilmu Tauhid”, ialah karena
bahagiannya yang terpenting, menetapkan sifat “wahdah” (satu) bagi Allah
dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam seluruhnya dan
bahwa Ia sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan
segala tujuan.

Ibadah berasal dari kata Arab ‘ibadah (jamak: ‘ibadat ) yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukkan, dan kepatuhan. Ada tiga aspek fungsi
ibadah dalam Islam:

1. Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.


2. Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya.
3. Melatih diri untuk berdisiplin.

Konsep al-wa’ad wa al-wa’id mengajarkan bahwa karena Tuhan Maha


Adil dan Maha Bijaksana, maka Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya. Janji
Tuhan berupa pahala dan ancaman Tuhan berupa siksa pasti akan berlaku.
Dalam konsep ini siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan
siapa yang berbuat jahat akan disiksa dengan siksaan yang pedih.

B. Saran

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang

20
bersifat membangun dari pembaca guna perbaikan dan kelengkapan
penyusunan makalah ini. Harapan penyusun semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

21
DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran. 1996. Ilmu Tauhid. Jakarta: RakaGrafindo Persada

Abduh, Muhammad. 1996. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan

Bintang

Nurdin, M. Amin dan afifi fauzi abbas (ed). 2012. Sejarah pemikiran islam.
Jakarta: amzah

Fauziah, mira. “janji dan ancaman sebagai metode dakwah al-qur’an”. Al-
mu’ashirah vol.15, No 1 (2018): hal.16-23

Anda mungkin juga menyukai