Anda di halaman 1dari 5

MEMBANGUN MASYARAKAT BARU DI MADINAH

Nama: Bilbina Audy Syahrani


Mila Safrilia
Istilah Masyarakat Madani tiba-tiba menjadi populer dalam masyarakat kita. Tidak tahu dari
mana asal-usulnya, siapa yang pertama kali melansir istilah tersebut sulit untuk dilacak. Tapi
Komaruddin Hidayat menganggap istilah itu dipopulerkan oleh Nurcholish Majid dengan Paramadina-
nya. Sementara ada yang mengatakan, istilah tersebut diperkanalkan oleh Anwar Ibrahim tokoh
reformis dari Malaysia.

Gerakan Emil Salim dan kawan-kawan pada awal-awal reformasi untuk bersama-sama
mengecam rezim Orde Baru juga menamakan diri dengan Gerakan Madani. Apakah Masyarakat Madani
diterjemahkan dari Civil Society? Inipun masih debatable. Yang jelas dapat dipastikan, bahwa istilah
tersebut adalah khas Indonesia.

Tidak diketemukan dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun ensiklopedianya. Dalam literatur
Arab istilah al-Mujtama’ al-Madany juga tidak dijumpai, yang lazim digunakan adalah al-Mujtama’ al-
Islamy, masyarakat Islam. Kata Madany yang diderivasi dari kata Madinah yang lantas melahirkan kata
Tamaddun, berarti peradaban. Dengan demikian yang digunakan dari Masyarakat Madani adalah
masyarakat yang memiliki peradaban vis a vis Badawah, penduduk desa yang masih primitif, badui.

M.A. Jabbar Beg (1980) dalam Islamic and Western Concept of Civilization menjelaskan, bahwa
term Madani (Madaniyah) yang berarti peradaban (civilization) digunakan pertama kali pada akhir abad
19 dan abad 20 oleh sarjana muslim, Farid Wajdi dengan karyanya Al-Madaniyyah wal-Islam dan Abduh
dengan karyanya Al-Islam wal-Nashraniyyah Ma al-’Ilmy wal-Madaniyyah.

Lebih lanjut Beg menjelaskan bahwa sebelum Abduh kata Madaniyyah sudah digunakan oleh Al-
Farabi (w.339 H) dalam judul karyanya, Al-Siyasah wal-Madaniyyah. Hanya kata ini oleh Al-Farabi
diartikan urban, kehidupan kota, sementara Abduh secara kongkrit mengartikan peradaban (civilization).
Kaitan antara kata latin civitas dan civilization adalah sangat mirip dengan kata Madinah dan
Madaniyyah. Ini merupakan kenyataan bahwa orang-orang kota pada umumnya mengutamakan
peradaban atau lebih dulu memiliki peradaban dan peradaban tumbuh dan muncul di kota.

Kemudian istilah tamaddun digunakan oleh penulis sejarah Arab kenamaan, Jurji Zaidan dengan
karyanya Tarikh al-Tamaddun al-Islamy. Sementara Ibn Khaldun menggunakan istilah ‘umran dan
hadharah. Dengan demikian istilah ‘umran, hadharah, madani dan tamaddun memiliki kedekatan dan
akar kata yang sama. Dari sudut historis tidak terlalu sulit untuk melacak terjadinya akulturasi budaya,
termasuk bidang bahasa-politik dalam masyarakat Islam. Fenomena ini tak terkecuali merembes ke
dalam istilah-istilah sosial kemasyarakatan Islam.

Perkembangan masyarakat Eropa (Barat) dengan kemampuan teknologi mutakhirnya di


berbagai bidang, termasuk jargon-jargon dan idiom bahasa yang digunakan secara langsung atau tidak
berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan masyarakat Islam, terutama dalam interaksi sosialnya.
Seperti yang dijelaskan Azra (1995) bahwa sebelum masa modern dalam pengalaman banyak
masyarakat, sebenarnya tidak pernah terdapat keterputusan substansial antara bahasa agama dan
politik. Bahkan didapati terjadinya tarik-menarik dan adanya semacam hubungan dialektis antara
keduanya. Berbeda dengan Azra, Lewis (1994) menyimpulkan bahwa dalam tradisi Islam agak kesulitan
untuk menyebut istilah masyarakat atau “warga negara” dalam konotasi yang sepadan dengan tradisi di
Eropa (Barat).

Penggunaan istilah-istilah politik yang diadopsi oleh Islam dari istilah-istilah Yunani pada puncak
abad pertengahan merupakan akar historis istilah-istilah politik yang ada dalam tradisi bahasa politik
Islam dewasa ini. Kota atau madinah diterjemahkan dari bahasa Yunani, polis, sementara kata polites,
warga negara, tidak ada padanan yang tepat, meskipun biasanya kata madani digunakan sebagai
padanannya. Lepas dari adanya sikap apologi atau tidak oleh umat Islam dalam penggunaan istilah
masyarakat madani ini, yang jelas munculnya istilah ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk
kembali membentuk suatu struktur atau tatanan masyarakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip
masyarakat madinah yang telah dibangun oleh Nabi.

Membangun Masyarakat Beradab Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap
masyarakat terdapat pemimpin dan yang dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasi sosial
yang berbeda. Demikian pula pada zaman pra-Islam (Jahiliyyah) muncul kelas sosial yang timpang, yaitu
kelas elit-penguasa dan kelas bawah yang tertindas. Kelas bawah ini seringkali menjadi ajang
penindasan dari kelompok elit.

Pada masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik penguasa. Konsentrasi kekuasaan
dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkan terjadinya manipulasi nilai untuk
memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligus menindas yang lemah. Proses seperti ini
berlangsung cukup lama tanpa ada perubahan yang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua
stratifikasi sosial yang berbeda, yaitu maysarakat kelas atas (elit) yang hegemonik, baik sosial maupun
ekonomi bahkan kekerasan fisik sekalipun dan kelas bawah (subordinate) yang tak berdaya. Demikianlah
setting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab (Makkah-Madinah) pra-Islam.

Dan seperti kata Guillaume (1956:11), komunitas Yahudilah yang telah mendominasi kekuasaan
politik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang merombak struktur masyarakat
yang korup tersebut. Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan
membebaskan. Karena ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segala ketundukan dan
kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena kebenaran datang dari Allah,
maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada raja. Secara empirik
kemudian nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja
(kelompok elit) kepada kekuasaan Allah melalui sistem musyawarah.

Kehadiran nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yang mendambakan
sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yang dibawa nabi sebetulnya
sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial: persamaan hak, persamaan derajat di antara sesama
manusia, kejujuran dan keadilan (akhlaq hasanah). Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa
rahmat, nabi terus berjuang merombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab,
atau dalam bahasa al-Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur (lihat QS. Al-Baqarah:257, al-Maidah:15,
al-Hadid: 9, al-Thalaq:10-11 dan al-Ahzab:41-43).

Selama kurang lebih 23 tahun (dari periode Makkah ke Madinah) nabi telah melakukan
reformasi secara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian
besar terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun nabi saat itu adalah
masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan. Masyarakat seperti yang
dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah adalah masyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan
ingin menciptakan masyarakat muslim yang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar
manusia maupun dengan Tuhan. Kasih sayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis,
para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat
yang plural.

Dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah, beliau berpesan kepada para
pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka.
“Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan
pintas masuk surga. Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi
yang luar biasa adalah tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam
kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan pahlawan perang yang
terhormat.

Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernah memaafkan seorang
Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga-duga ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang
Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itu pada akhirnya dimaafkan. Melihat sikap nabi yang
begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya
menyatakan, bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia biasa. Tidak hanya itu saja,
sikap politik nabi yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian
amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi
dengan sikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu justru membuat mereka tertarik dengan Islam,
sebagai agama rahmatan lil-’alamin. Seperti yang dicatat oleh Akbar S. Ahmed (1992) seorang penulis
sejarah Islam kenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelan korban
kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang paling sedikit menelan korban
jiwa di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusi besar lainnya seperti Perancis, Rusia,
Cina dan seterusnya.

Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik dengan penindasan,
pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaum orientalis selama ini, melainkan
lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itu secara tegas nabi pernah menyatakan: “Harta
rampasan perang tidak lebih baik dari pada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak
membunuh kaum perempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yang
tercermin dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dan sektarianisme memberikan
rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang pluralistik.

Perkawinan nabi dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadap Bilal,
seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonya pada kesempatan haji
wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telah membuktikan sikap arif dan bijak
kepemimpinannya. Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Ashgar Ali (1993), bahwa konsep jihad
(berjuang) dalam perspektif Islam tidak memaksa orang untuk memeluk Islam sebagai sebuah agama,
melainkan berjuang untuk memerangi kemungkaran dan mengakhiri penindasan oleh orang kuat (al-
mustakbirin) terhadap orang lemah (al-mustadh’afin).

Semua utusan Tuhan (nabi) digambarkan dalam al-Qur’an sebagai pembela al-mustadh’afin
untuk menghadapi al- mustakbirin, seperti Musa yang digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel
dari penindasan raja Fir’aun, sebagaimana frman Allah: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-
orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi bumi”. (Q.S.28:5). Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah ke dunia untuk
membebaskan masyarakat Arab dari krisis moral dan sosial. Secara tegas beliau berani memberantas
praktek-praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh secara ilegal oleh konglomerat Arab saat itu.

Dan gerakan reformasi nabi itulah yang kemudian membuat mereka berang dan merasa
terancam kepentingannya. Sampai-sampai beliau dan keluarganya diboikot dari hubungan kerja dan
pergaulan. Oleh sebab itu seperti penilaian Ashgar maupun Ahmad Amin, bahwa pada hekikatnya
kelompok hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran tauhid yang dibawa nabi, atau
penentangannya terhadap penyembahan berhala, melainkan yang sangat dirisaukan oleh mereka
adalah gerakannya yang mengarah kepada “ancaman” praktek monopolistik dan eksploitatif yang
mereka lakukan. Pengaruh reformasi nabi Muhammad betul-betul mengguncang dunia dan dengan
waktu yang relatif singkat (kurang lebih 23 tahun) mampu mewujudkan sebuah masyarakat ideal,
masyarakat yang secara sosiologis berada dalam kelas kesejajaran atau kalau menurut Ashgar Ali,
“masyarakat tanpa kelas”.

Status manusia tidak diukur oleh kekayaan maupun jabatan, melainkan diukur oleh
kesalehannya. Peristiwa hijrah nabi dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M juga merupakan
peristiwa monumental bagi lahirnya sebuah nation state . Peristiwa tersebut pada hakikatnya
merupakah sebuah perjalanan panjang menuju pembentukan masyarakat Islam yang demokratis dan
terbuka. Jika periode Makkah adalah periode penanaman akidah dan etika Islam, maka periode Madinah
sebagai periode pembentukan sistem kehidupan masyarakat secara luas. Setidaknya ada empat langkah
yang ditempuh nabi dalam membentuk masyarakat Islam saat itu:

Pertama, mendirikan masjid yang diberi nama Baitullah (rumah Allah). Masjid inilah yang
kemudian menjadi sentral kegiatan umat Islam, mulai dari praktek ritual (beribadah), mengadili perkara,
majlis ta’lim, bahkan jual-beli pernah dilakukan di kawasan masjid tersebut. Hanya mengingat kondisi
yang tak memungkinkan, maka pada akhirnya harus dipindahkan. Masjid tersebut juga merupakan pusat
pertemuan kaum muslimin dari seluruh wilayah Islam.

Kedua, mempersatukan kelompok Anshar dan Muhajirin yang berselisih. Ali ra. dipilih sebagai
saudara beliau sendiri, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah Ibn Zuhair dan Ja’far Ibn Abi Thalib
dipersaudarakan dengan Muaz Ibn Jabbal. Demikianlah nabi telah mempersatukan tali persaudaraan
mereka. Dengan demikian terciptalah persaudaraan yang berdasarkan agama, sebagai pengganti dari
persaudaraan yang berdasarkan ras dan suku sebagaimana yang telah dipraktekan orang-orang
Jahiliyyah sebelumnya.

Ketiga, perjanjian saling membantu antara kaum muslimin dengan non-muslim. Penduduk
Madinah saat itu terdiri dari tiga golongan: kaum muslimin, Yahudi (yang terdiri dari Bani Nadhir dan
Quraidhah) dan bangsa Arab yang masih pagan (penyembah berhala). Karena itu nabi mempersatukan
mereka dalam satu masyarakat yang terlindung, sebagaimana yang terumuskan dalam Piagam Madinah.

Keempat, meletakkan dasar politik, ekonomi dan sosial bagi terbentuknya “masyarakat baru”.
Hijrah nabi pada tahun 622 M menunjukkan permulaan kegiatan politiknya. Namun beliau tidak dengan
tiba-tiba mendapatkan kekuatan poltik yang begitu besar itu, melainkan tumbuh dengan perlahan-
perlahan. Konsesi-konsesi dengan warga Madinah yang akan beliau masuki (ketika beliau masih berada
di Makkah) berarti pendirian badan politik baru, yang didalamnya terdapat kelonggaran untuk
merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an.

Itulah sosok Muhammad, orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam
masyaralat Makkah secara serius, radikal dan humanistik. Beliau tidak sekadar menyeru orang untuk
men-tauhid-kan Allah, melainkan juga membangun masyarakat baru yang demokratis, berperadaban,
dan tidak korup. Tidak berlebihan jika Michael Hart dalam laporan penelitiannya: The 100: A Ranking of
Most Influential in History, menempatkan beliau sebagai tokoh peringkat pertama yang paling
berpengaruh di dunia. “Islam (yang dibawa Muhammad) memang tidak menciptakan dunia moderen,
tetapi Islam merupakan agama yang mungkin paling tepat dan cocok untuk dunia moderen”. Demikian
ungkap Gellner.

Note:
*Drs. M. Zainuddin, MA. adalah dosen STAIN Malang

Anda mungkin juga menyukai