Anda di halaman 1dari 66

KONSEP PENDIDIKAN BADIUZZAMAN SAID NURSI TEORI DAN PRAKTEK

Posted by Risalah Nur Press Posted on Dec - 29 - 2015 0 Comment

 KONSEP PENDIDIKAN BADIUZZAMAN SAID NURSI TEORI DAN PRAKTEK


Oleh:

Afriantoni, M.Pd.I

Bab 1
PENDAHULUAN
 

Latar Belakang Masalah


Sepanjang sejarah umat manusia masalah akhlak selalu menjadi pokok persoalan. Karena pada dasarnya,
pembicaraan tentang akhlak selalu berhubungan dengan persoalan perilaku manusia dan menjadi permasalahan
utama manusia terutama dalam rangka pembentukan peradaban. Perilaku manusia secara langsung ataupun tidak
langsung masib menjadi tolok ukur untuk mengetahui perbuatan atau sikap mereka. Wajar kiranya persoalan akhlak
selalu dikaitkan dengan persoalan sosial masyarakat, karena akhlak menjadi simbol bagi peradaban suatu bangsa.

Fakta sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang diabadikan dalam al-Qur’an seperti kaum ‘Ad, Samud,
Madyan dan Saba’ maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah menunjukkan bahwa “suatu bangsa yang kokoh
akan runtuh apabila akhlaknya rusak” (Suwito 1995, hlm. 1). Dalam sejarah dunia mencatat misalnya pada masa
kaum ‘Ad, Madyan dan Saba’ dicatat oleh al-Qur’an sebagai kaum yang memiliki kualitas akhlak yang rendah. Al-
Qur’an senantiasa merujuk kaum ini untuk menunjukkan rendahnya kualitas akhlak manusia di beberapa bagian
dekade sejarah. Pada dekade selanjutnya, akumulasi simbol kebobrokan akhlak adalah kaum Fir’aun dan Namrud
yang hidup pada masa nabi Musa dan Ibrahim. Simbol selanjutnya yang disebut oleh al-Qur’an adalah Abu Jahal dan
kaumnya yang hidup pada masa Nabi Muhammad Saw. Pada awal abad ke-20 yakni setelah Perang Dunia I simbol
itu dialamatkan kepada Mustafa Kemal Attatruk (Ihsan Kasim 2003, hlm. 42). Dalam konteks dunia Barat simbol-
simbol lain itu bisa dialamatkan kepada Sigmud Freud, Nietzsche, Lenin, Kalr Marx, dan Hitler. Bahkan tatanan yang
lebih serius adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh negara Adi Daya seperti Amerika Serikat, Inggris atau Perancis.
Pengaruh meraka berada pada tataran pemikiran yang secara langsung ataupun tidak langsung dalam merusak
akidah, yang berarti dapat merusak akhlak manusia dalam bertuhan. Mereka yang menjadi simbol ini memiliki
peranan penting dalam bidang pemikiran dan kelompok-kelompok sosial. Sehingga, muncul tokoh-tokoh yang dapat
mempengaruhi secara halus merasuk ke dalam alam pemikiran para pemikir-pemikir muslim. Pengaruh tersebut
sangat penting dalam membangun “persepsi” manusia dalam memahami sesuatu. Misalnya Sigmud Freud
“menyebut ide-ide agama tentang Tuhan dan alam gaib sebagai ilusi karena konsep-konsep tersebut muncul dari
keinginan manusia (human wishes) dan bukan dari realitas” (Lihat Erich 1950, hlm.12).
Sebenarnya Allah Swt menciptakan manusia hanyalah bertujuan supaya manusia itu beribadah kepada-Nya semata,
yakni menjadi manusia pengabdi (Al-Dzariat : 56). Titik tekan pengabdian adalah akhlak Islam yang sangat
menekankan kepada penganut-penganutnya untuk berakhlak mulia. Dalam hadis disebutkan “inama bu’istu li
utammima markim al-akhlak” (Sesungguhnya Aku diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak).
Penjelasan hadis ini berartinya bahwa diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai rasul untuk menyampaikan risalah
Allah sejak awal abad ke-7 Masehi secara tegas adalah tugas pokoknya sebagai penyempurna akhlak manusia.
Akhlak dalam Islam bertitik tolak dari pengabdian seorang kepada Allah Swt dengan mengikuti sunnah Nabi
Muhammad Saw yang menjadi teladan pribadi terbaik. Semua sifat dari perilaku, pikir dan sikap yang bertentangan
dengan akhlak Nabi Muhammad Saw dianggap tidak berakhlak. Siti Aisyah r.a bila ditanya tentang akhlak Nabi
Muhammad Saw beliau berkata : “Akhlak Rasulullah itu adalah al-Qur’an”. Allah Swt berfirman : “Wa innaka la’ala
khuluq ‘azhim” (“Sesungguhnya engkau (wahai  Muhammad) mempunyai akhlak yang paling mulia”) (QS. al-Qalam :
4). Karena itu, ia patut dijadikan contoh “laqad kana lakum fi rasulullah uswatun hasanah…” (“Sesungguhnya telah
ada dalam diri Rasulullah itu surf tauladan yang baik bagimu…”) (QS al-Ahzab : 21).
Bukti-bukti kemuliaan akhlak Nabi Muhammad Saw di atas adalah nyata. Bahkan menurut seorang non muslim
Michael H. Hart dalam bukunya berjudul The 1000 a ranking of the Most influential Persons in History memberikan
pengakuan bahwa “Nabi Muhammad Saw memperoleh pengakuan sebagai tokoh urutan pertama yang paling
berpengaruh dalam sejarah” (Suwito 1995, hlm. 3). Kebesaran Nabi Muhammad harus diakui disebabkan oleh
ketinggian dan kemuliaan akhlak yang dimilikinya.
Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendidikan akhlak Islam pun pada hakekatnya diarahkan kepada
terciptanya manusia yang berakhlak agung dan mulia seperti Nabi Muhammad Saw. Namun setiap orang memiliki
pemahaman dan cara berbeda untuk mencapai akhlak agung dan mulia sebagaimana yang dimiliki Nabi Muhammad
tersebut.

Kemuliaan akhlak Nabi Muhammad dalam sejarah membuktikan bahwa umat Islam dalam binaan Nabi Muhammad
Saw pernah mengalami masa keemasan yang mencapai 1300 tahun lamanya. Masa keemasan ini adalah masa
periode Madinah yakni pada masa Nabi Muhammad sendiri sampai wafatnya. Masa ini yang paling monumental
adalah dirumuskannya “Piagam Madinah” yang memuat perjanjian antara golongan-golongan Muhajirin, Ansar dan
Yahudi serta sekutunya yang mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak
mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan mereka bersama dalam
kehidupan sosial politik (Suyuthi 1993, hlm. 22). Kenyataan dalam sejarah bahwa pada periode ini benar-benar
tercipta sebuah peradaban gemilang.

Pasca wafatnya Nabi Muhammad tahap selanjutnya melahirkan 4 (empat) khalifah yang benar – khulqfaurrasyiddin
–  Abu Bakar As Sidhiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang merupakan sebuah tahap
revitalisasi ajaran dan penguatan akidah serta meneruskan proses yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.
Integritas para sahabat penerus Nabi ini sangat diakui dalam berbagai perspektif. Seperti ditegaskan oleh
C.E.Bosworth bahwa “Periode empat khalifah dipandang sebagai zaman emas, suatu zaman ketika kebijakan-
kebijakan Islam yang murni berkembang pesat, dan karena itulah gelar ‘yang mendapatkan bimbingan di jalan lurus’
diberikan kepada mereka” (C.E. Bosworth 1993, h1m. 24).
Tahapan selanjutnya adalah masa klasik yang pesat perkembangan terjadi periode 650-1250 M, masa ini oleh para
ahli sejarah disebut masa klasik dalam sejarah perkembangan Islam. Umat Islam pada periode ini disebut “super
power” yang berkuasa di sebagian besar negara-negara di tiga benua : Asia, Afrika dan Eropa. Wilayah kekuasaanya
mencapai Spanyol di sebelah Barat dan India di sebelah Timur, daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, Jazirah Arabiah, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut
Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia tenggara (Murodi dkk 1995, h1m. 33).
Masa ini merupakan masa kemajuan pertama yang dimulai dari tahun (550-1000 M, dan sekaligus mengalami masa
disintegrasi kekuatan Islam yang terjadi sejak tahun 1000-1250 M. Zaman keemasan Islam terjadi dalam berbagai
aspeknya yakni masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah lahir 750 M- 1250 M. Pada kedua periode ini menghasilkan para
ahli bidang ilmu yang sangat berpengaruh antara lain : Washil ibn Atha’, Zunnun al-Mishri, Abu Yazid al Busthami,
Ibn Miskawaih, Ibn Bajjah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, Imam Al Ghazali, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafii, Ibn
Hanbal, al Asyari, al Kindi, al Razi, al Farabi, al Maturidi dan Ibn Sina. Tokoh-tokoh ini menjadi simpul sejarah dunia
Islam yang secara komprehensif bergerak dalam bidang dakwah Islam dan kehidupan nyata secara totalitas. Tokoh-
tokoh ini benar-benar signifikan terutama membangun keseimbangan antara rasionalitas dan spritualitas. Tokoh-
tokoh ini selain kuat dalam bidang pemikiran, juga kuat di bidang rasa, sehingga tidak dapat diragukan lagi bahwa
mereka juga tergolong orang yang memiliki akhlak yang tinggi.

Namun sesudah masa ini, umat Islam dilanda perpecahan dan kejumudan membawa kemunduran. Kondisi ini
disebabkan selain daerah-daerah yang tadinya berada ditangan umat Islam menjadi jajahan Barat, pada masa ini
tidak banyak diketemukan lagi tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti masa sebelumnya yang memiliki akhlak tinggi.

Walau setelah masa ini, sempat memunculkan ide-ide kebangkitan dan tokoh-tokoh pembaharu yang membawa
persatuan umat pada masa tiga Dinasti Besar (Disnati Turki Usmani, Safawi dan Mughol), namun pada awal abad
ke-19 kekuasaan, wibawa dan kemakmuran tiga dinasti Islam tersebut berangsur menurun dan mundur. Beriringan
dengan itu, banyak wilayah dunia Islam seperti benua Afrika, Timur Tengah dan India muncul pemikir-pemikir
pembaharuan seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Hasan al Bana dan Bediuzzaman Said Nursi1.
Memang kebangkitan itu begitu sulit dicapai karena sampai sekarang diakui langsung atau tidak langsung, mereka
yang berusaha keluar dari dominasi Barat masih menemui kesulitan yang sangat mendalam (Bandingkan uraian
Harun, 1990, hlm. 12-14). Disamping gagasan pembaharuan, para tokoh ini secara konsisten menjelaskan mengenai
“hari akhir” dan penguatan akidah islamiah. 2
Salah seorang tokoh yang konsisten terhadap permasalahan umat di atas adalah Said Nursi dari Turki salah satu
tokoh penting pada akhir abad ke-19. Said Nursi hadir untuk menjadikan umat ini beriman dan berakhlak mulia dan
kembali berjaya sebagaimana jayanya umat Islam dahulu dan dapat mengamalkan agama sebagaimana para
sahabat, Imam Malik mengatakan: “Tidak akan  pernah menjadi baik umat pada kurun  (abad) terakhir ini kecuali
dengan cara perbaikan pada kurun umat yang terdahulu, yakni cara yang dibuat oleh Rasulullah SAW yang
diteruskan oleh para sahabat“ (Hasan 2004, hlm.735). Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda: “Sebaik-baik
manusia adalah pada abadku (sahabat) kemudian setelahnya (tabi’in) kemudian setelahnya (tabi’ut tabi’in)” (HR.
Bukhari, Muslim). Ahmad dan Al-Makki (1998, hlm. 38) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masa sahabat
adalah kurang lebih 120 tahun setelah bi’tsah atau wafatnya sahabat terakhir yaitu Abi Thufan ra. Kemudian orang-
orang setelahnya, yaitu masa setelah sahabat adalah tabi’in masanya sekitar 70-80 tahun. Kemudian orang-orang
setelah tabi’in adalah pengikut tabi’in, masanya sekitar 50-220 tahun.
Said Nursi muncul sebagai pembaharu yang ingin mengadakan perbaikan untuk “menyelamatkan iman dan Islam”.
Said Nursi memiliki karakter pemikiran yang memihak kepada keimanan, pemahaman al-Qur’an, hari akhir dan
integralitas keilmuan. Said Nursi adalah sosok pemberani dan gigih memperjuangkan umat Islam di Turki pada masa
akhir kerajaan Turki Usmani yang mencetuskan gagasan pembelaan terhadap agama dan kehidupan sosial-
kemasyarakatan. Said Nursi merupakan salah satu orang besar yang berani menghadapi dan menyelamatkan umat
manusia dari berbagai peristiwa berdarah dan penyimpangan terhadap fitrah manusia. Said Nursi juga menghalangi
manusia agar tidak terjatuh ke dalam atmosfir kehancuran dalam kebudayaan mereka (Ihsan Kasim 2003, hlm. v).
Said Nursi adalah salah satu tokoh yang mampu bertahan dari berbagai upaya Barat “menghancurkan” umat Islam
dan akhlak umat. Bahkan sampai muncul Republik Turki, ia tetap konsisten berjuang menentang sekuleriasasi di
Turki hingga menghasilkan sebuah karya “Risale-i Nur”  yakni tulisan setebal 6000 halaman yang memuat
pemikiran-pemikiran tentang esensi keimanan dan nilai-nilai akhlak di abad ini. Said Nursi menginginkan adanya
pembaharuan di Turki pada bidang pendidikan dan moralitas umat, yang waktu itu sudah mulai dirusak oleh Mustafa
Kemal Attaruk (Wawancara Fatih, 2005). Karena itu, Said Nursi tampil dengan model sufi modern yang memadukan
antara rasionalitas dan spritualitas, dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai rangkaian proses pendidikan akhlak.
Said Nursi dalam berbagai tekanan tersebut tidak kenal menyerah dengan tantangan dan penderitaan yang
dialaminya dari penjara ke penjara, berbagai musuh menghadang. Walaupun otoritas negara yang kuat dan
mekanisme pendidikan Islam yang ada di Turki saat itu dipengaruhi oleh sekulerisme yang disosialisasikan oleh
Mustafa Kemal Atatruk, tapi Said Nursi tetap melakukan usaha menumbuhsuburkan ajaran Islam dan perbaikan
dalam bidang pendidikan Islam, terutama upaya membumikan nilai-nilai akhlak di Turki.

Media Said Nursi dalam berdakwah adalah Risale-i Nur dan mengelola pengajianpengajian. Sebab bagi Said Nursi
meminjam istilah Syafii Anwar penyebaran Risale-i Nur merupakan “realisasi menyeluruh bagi para pemikir dan
praktisi pendidikan yang handal yang mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal,
serta anggun dalam moral dan kebijakan” (Syafii 1995, hlm. 153-154). Karenanya, Said Nursi berkeyakinan bahwa
penyebaran Risale-i Nur merupakan realisasi menyeluruh bagi umat manusia dalam rangka membentuk kepribadian
manusia yang seimbang rasionalitas, spritualitas dan kaya akan amal.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa periode kemunduran menyebabkan para pemikir untuk tampil
mencarikan pemecahannya secara mendalam. Namun pada akhirnya, diagnosa awal dapat dikatakan bahwa
penyakit umat terlalu kompleks dan beragam. Pada kondisi ini tampillah Said Nursi yang menjawab seluruh
permasalahan umat. Pendidikan merupakan kunci utama untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat
yang ada saat ini, khususnya pendidikan akhlak yang merupakan inti dari proses pendidikan.

Dalam kerangka pembinaan generasi muda Said Nursi merealisasikan ide pendidikan akhlak melalui Dershane yang
dilakukan oleh Nur Jamaah3.  Perkumpulan ini memuat beberapa garis besar kegiatan sebagai berikut :
1. Mengkaji konsep interaksi kemodernan dan relegius;
2. Berniat menegakkan kembali keruntuhan kerajaan Usmani dengan kembali kepada tradisi keilmuwan yang
integralistik;
3. Mengadakan kegiatan conversation (perbincangan), dan reading (membaca) tulisan Risale-i Nur;
4. Menyebarluaskan ajaran Risale-i Nur kepada masyarakat;
5. Mendirikan asrama yang menjadi pusat pendidikan. (Hakan, ilmi com.).
 

Secara garis besar kutipan di atas, kegiatan ini memiliki relevansi terhadap pengembangan pendidikan akhlak
generasi muda yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Harus diakui bahwa pendidikan akhlak sebagai
salah satu inti dari proses pendidikan dan bagi kemajuan suatu bangsa, maka pembaharuan di bidang pendidikan
mutlak untuk diadakan karena maju mundurnya suatu negara diukur dari pendidikan dan out putnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka kami mencoba mempelajari pemikiran Said Nursi yang hidup abad ke-20
yang juga dipandang sebagai pendidik bagi generasi penerus yakni Said Nursi. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui pemikirannya dalam bidang akhlak, khususnya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip pendidikan akhlak
untuk menyongsong kebangkitan Islam di era persaingan global saat ini3. Dan juga bertujuan untuk mengetahui
beberapa alternatif yang ditawarkan dalam membangun kerangka pemikiran pendidikan akhlak dan implementasinya
yang menjadi “obat penawar” bagi penyakit yang diderita oleh umat Islam sampai saat ini.
Dalam kajian ini muncul pertanyaan mendasar yakni apakah ada prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda
menurut Bediuzzaman Said Nursi ?. Peneliti berasumsi bahwa prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda
menurut Said Nursi ada, walau harus diakui bahwa pemikirannya tersebut tidak dirumuskan secara sistematis yang
dapat dilihat dan dianalisis dari kitab tafsirnya Risale-i Nur. Untuk memperkuat asumsi ini, maka dirumuskan 5 (lima)
faktor yang melatarbelakanginya yakni :
Pertama, faktor personal.  Sebuah karya tidak akan terlepas dari penulisnya. Baik dalam alur pikir maupun sikap
sehari-harinya. Maka sesuai dengan kajian mengenai pendidikan akhlak, diasumsikan bahwa ditulisnya Risale-i Nur
tidak terlepas dari pengalaman pribadi penulisnya dan pergulatan pemikirannya. Secara personal menurut peneliti
dalam Risale-i Nur tak terlepas dari nilai-nilai akhlak yang akan ditegaskan dalam defenisi operasional. Berdasarkan
kategori dalam aliran pendidikan akhlak yakni pendidikan akhlak rasional dan mistik, diasumsikan bahwa penulisnya
senantiasa mempraktekkan akhlak mulia dan juga diasumsikan beliau menerapkan kedua konsep tersebut sekaligus
yakni rasional dan mistik. Secara rasional dapat dipahami kedalaman ilmu penulisnya ketika peneliti membaca
Risale-i Nur secara. teliti. Secara mistik ilmu yang didapat tidak sekedar dengan akal tapi dengan intuisi yang dalam
epistimologi Islam dan Aristotelian merupakan bagian dari metode ilmiah (Lihat Mulyadhi 2003, hlm.63). Maka dapat
dikatakan berdasarkan faktor personal bahwa Risale-i Nur ditulis karena Said Nusri adalah seorang moralis dan
rasionalis.
Kedua, faktor tekstual.  Pada penelitian pertama dapat dijelaskan bahwa keunikan Risale-i Nur terlelak pada :
a) Faktor bahasa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Turki yang dipengaruhi oleh kondisi kenegaraan, yang
berubah secara drastis, ketika “kekhalifahan Turki Usmani” dinyatakan runtuh. Secara keseluruhan bahasa yang
digunakan adalah bahasa Turki Modern Mustafa Kemal Attatruk, tapi patut dijelaskan keunikan bahasa dalam Risala-
i Nur melibatkan banyak bahasa. Selain bahasa Turki, bahasa dalam Risala-i Nur di antaranya, bahasa Persia,
Prancis, Jerman, Inggris, Kurdi, Arab dan khususnya bahasa Ottoman (bahasa pada masa Turki Usmani). b) Faktor
mantik  atau analogi4. Mantik disini bisa diartikan secara filosofis dan hikmah. Dalam Risale-i Nur banyak terdapat
kata-kata dan kalimat-kalimat mantik yang memiliki banyak penafsiran, sehingga peneliti harus memiliki pemahaman
terhadap bahasa mantik. c) Faktor sistematika penulisan.  Penulisan Risala-i Nur ada sebagian dimulai
dengan bismihi subhanahu wan inminsyain illah yusabbihu bihamdihi kalimat yang mengawali bab dalam Risala-i
Nur dan mengakhirinya dengan subhanaka laa ilma lana illa maa alamtana innaka antal  alimul hakim,  dan terkadang
paling akhir ditulikan al-Baqi Huwalbaqi. Hal ini mengindikasikan kesucian diri penulisnya dan paham ketuhanan
yang dalam. Di samping itu, sistematika penulisan yang sangat mengandung makna terhadap realitas sejarah umat
manusia.
Ketiga, faktor ideologis5  ditulisnya Risale-i Nur adalah untuk melawan ideologi modernisme yang digusung oleh
Barat yang membawa umat manusia kepada materialis, sekuleris, liberalis, komunis bahkan ateis. Faktor ideologis
inilah yang mendorong Said Nursi menulis Risela-i Nur. Jalan yang ditempuh adalah “kembali ke al-Qur’an dan as-
Sunah” tapi tidak seperti aliran wahabi6 ataupun pan islamisme yang didengungkan oleh Jamaluddin al-Afgani7.
Keempat, faktor politis, ditulisnya Risale-i Nur adalah dalam konteks masyarakat Turki yang Islam untuk menentang
pemerintahan sekuler yang dibentuk oleh Inggris yakni sebuah revolusi politik dari sistem kekhalifahan diubah
menjadi sistem demokrasi republik yang menerapkan hukum-hukum Prancis, Inggris dan khususnya banyak
mengadopsi hukum-hukum sekuler Swiss. Dampaknya adalah secara sosial-kultural terjadi revolusi sosial besar-
besar di Turki. Jalan yang ditempuh Said Nursi adalah “menjauhi politik” (Said Nursi 2003b, hlm. 71).
Kelima, faktor sosial-kultural,  munculnya Risale-i Nur untuk menyelamatkan masyarakat Turki yang muslim dengan
menentang revolusi sosial yang berasal dari revolusi politik oleh Mustafa Kemal Attaruk. Revolusi sosial itu sangat
tampak misalnya : memberikan keluasan posisi perempuan di antara laki-laki (fenimisme, yang mengadopsi
kebebasan di Barat), modernisasi cara berpakaian khususnya perempuan, melarang penggunaan peci, pelarangan
jubah, pelarangan sorban (sarek), pelarangan azan (harus dengan bahasa Turki), penutupan madrasah, pelarangan
jilbab, penggunaan nickname (lakap atau gelar), mengadaptasi kalender internasional (kalender Masehi) dan
mengadopsi hukum-hukum sekuler. Tidak ketinggalan juga perubahan bahasa Arab ke bahasa Turki. Bahkan yang
paling tragis adalah “pembantaian 100 ribuan ulama dan alimin”. Jalan yang ditempuh Said Nursi adalah
mempertahankan prinsip-prisip dasar ajaran Islam dari trend materialistik dan ateistik.
Kelima alasan di atas inilah yang menjadi dasar penelitian ini, yakni pembicaraan mengenai prinsip-prinsip
pendidikan akhlak generasi muda Said Nursi dalam membentuk manusia yang mulia, berakhlak mulia. Persoalan ini
akan terkait secara langsung dengan persoalan politik dan sosial-kultur Said Nursi dalam membentuk pandangan
dasar yang menjadi gagasan dasar atau ideologi menjelma menjadi doktrin-doktrin dari Risale-i Nur. Pembahasan ini
juga berupaya menjelaskan relevansinya dengan pembinaan akhlak generasi muda yang dapat diterapkan secara,
teoritik dan praktek di masa sekarang dan masa depan.

Adapun di antara alasan pentingnya pemikiran Said Nursi di bidang pendidikan akhlak dapat diungkapkan beberapa
pertimbangan sebagai berikut : Pertama,  Risale-i Nur karya Said Nursi merupakan tafsir al-Qur’an yang secara
konsisten membicarakan penguatan iman dan al-Qur’an dengan jalan ikhlas, takwa dan sedekah. Karya ini juga
membahas secara mendalam mengenai akhlak Rasulullah dalam berbagai tulisannya Risale-i Nur yang berorientasi
kepada perubahan pola pikir dan laku untuk memahami dan mengimani secara mendalam tanda-tanda hari kiamat
dan keberadaan hari kiamat.
Kedua, masalah etika secara khusus dibahas pada Simposium Internasional di Turki yang ke-6 tahun 2002 yang
dikoordinir oleh The Istanbul Foundation for Sciance and  Culture.  Di samping itu dalam sepanjang pelaksanaan
Simposium dan diskusi panel oleh The Istanbul Foundation for Sciance and Culture ini selalu menyertakan tema
etika. Satu buku kumpulan Simposium Internasional yang ke-6 mendorong perlunya membahas mengenai akhlak
dan juga tulisan Faris Kaya yang mengungkapkan mengenai etika dalam Risalei-Nur. Etika yang dimaksud oleh Faris
Kaya mengungkapkan bahwa akhlak dalam sejarah dunia memang sangat penting. (Faris, 2004, hlm. 8-10).
Ketiga, diasumsikan bahwa pemikiran akhlak Said Nursi memberikan peranan signifikan dalam aktivitas
kehidupannya. Pemikiran semacam ini merupakan hasil refleksi dan pemahaman terhadap suatu teologi yang
mendalam mengenai Asma Allah dan sifat-sifat-Nya yang membentuk kerangka pikir dan sikap perilaku. Diyakini
bahwa Said Nursi adalah sosok pemikir sekaligus sufi yang memadukan konteks teologi, tasawuf dan akhlak dalam
realitas kehidupan. Paham ini diilhami kemutlakan Tuhan dalam diri manusia dengan catatan bahwa akal memiliki
peran penting dalam refleksi untuk menyempurnakan keyakinan dari refleksi hati. Artinya paham yang dianut Said
Nursi berdekatan dengan upaya ma’rifatullah  dalam perspektif yang luas. Sementara itu dapat diasumsikan bahwa
teologi Said Nursi adalah rasional-spritual. Maka, dalam konteks pendidikan akhlak selalu memadukan akal dan hati
untuk melakukan pendekatan ajaran Islam secara universal.
Keempat, perkembangan ilmu dan teknologi. Yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan zaman saat ini adalah
perkembangan ilmu, teknologi, komunikasi dan informasi. Kebutuhan-kebutuhan ini yang menyebabkan dunia
semakin global. Selain berdampak positif juga berdampak negatif. Di antara dampak negatif globalisasi ini antara lain
adalah semakin banyaknya alternatif bagi ukuran akhlak manusia yang cenderung bermuatan materialistik dan
intelektualistik semata. Akibatnya, hal-hal yang bersifat spritualistik cenderung diabaikan. Dengan demikian,
kemampuan memilih berbagai alternatif secara kritis melalui pemahaman, teologi rasional dan spritual semakin dinilai
penting dan mendesak.
Kelima,  tanda-tanda akhir zaman, pentingnya pengkajian ini juga disebabkan titik nadir masyarakat global
berdasarkan paham keagamaan menunjukkan tanda-tanda akhir zaman. Dalam konteks itulah sebagai makhluk
beragama harus mewaspadai itu dan berupaya mengantisipasi dan merubah pola pandangan hidup. Karena
persoalan “krisis moral” merupakan entry point dari munculnya pembaharu (mujadid) untuk menyelamatkan umat
dari “melupakan” Tuhan.
Berdasarkan pertimbangan beberapa pemikiran dan urgensi penelitian di atas maka dapat diambil pemahaman
bahwa prinsip-prinsip pendidikan akhlak menurut Said Nursi layak untuk dibahas, dikaji dan diungkap.

Rumusan Masalah
Sesuai latar belakang masalah sebagaimana di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda menurut Bediuzzaman Said Nursi?
2. Bagaimana relevansi prinsip-prinsip pendidikan akhlak menurut Bediuzzaman Said Nursi dengan
pembinaan akhlak generasi muda ?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pendidikan akhlak menurut Bediuzzaman Said Nursi.


2. Untuk mengetahui relevansi prinsip-prinsip pendidikan akhlak Bediuzzaman Said Nursi dengan pembinaan
generasi muda.
 
Kegunaan Penelitian
Setidaknya ada 2 (dua) kegunaan dari penelitian ini yaitu secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, untuk
memberikan informasi kepada peneliti tokoh Said Nursi lanjutan dalam mengkaji dan mengetahui tentang konsep
pendidikan akhlak yang pernah dihasilkan oleh Said Nursi sebagai tokoh filosof sufi modern yakni sebagai upaya
pengungkapan khazanah intelektual muslim abad ke-20an yang dapat dijadikan inspirasi dan motivasi bagi
munculnya kejayaan Islam kembali.
Kemudian dalam kaitannya dengan ilmu pendidikan akhlak upaya penelitian ini akan bermanfaat untuk memberikan
motivasi bagi diadakannya pembahasan-pembahasan lebih lanjut tentang akhlak Islam secara filosofis untuk
menemukan teori baru di bidang pendidikan akhlak. Penelitian ini juga berguna sebagai salah satu bahan pemikiran
untuk mengantisipasi bentuk pendidikan akhlak yang terintegrasi dalam semua disiplin bidang pendidikan.

Secara praktis, dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka ilmu pendidikan akhlak dapat memberikan manfaat
untuk memberikan motivasi bagi pembahas-pembahas lanjutan yang berfungsi untuk memberikan informasi kepada
masyarakat, mahasiswa, pelajar dan lain sebagainya, terkhusus bagi masyarakat luas yang ingin mengetahui
tentang prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda menurut Said Nursi. Penelitian ini dapat pula dijadikan
sebagai salah satu bahan pemikiran untuk mengantisipasi bentuk pendidikan akhlak yang terintegrasi dalam semua
bidang ilmu dan pendidikan.
 
 

Definisi Operasional
Guna mencapai pemahaman arah dari penelitian ini, maka ada beberapa istilah yang perlu diuraikan sebagai
defenisi operasional di antaranya :

Istilah “Prinsip-prinsip” berasal dari bahasa Inggris principle  secara leksikal berarti : 1) Dasar kebenaran; hukum-
hukum sebab akibat; 2) tuntunan peraturan untuk tingkah laku moral (Hornby 1974, hlm. 664). Dalam kamus besar
bahasa Indonesia kata itu berarti “dasar, asas (kebenaran yang menjadi dasar berpikir, bertindak dan sebagainya)”
(Departemen P dan K 1991, hlm. 788). Secara filosofis kata itu mengandung arti kebenaran-kebenaran yang
fundamental dari suatu kandungan doktrin atau dasar apa saja yang berkaitan dengan tingkah laku manusia (Hasting
t.th., 336). Pengulangan istilah prinsip dalam judul yaitu prinsip-prinsip dalam bahasa Inggris principles  (dalam
bentuk jamak) mengandung arti ada beberapa dasar, asas adalah jamak dari prinsip. Prinsip adalah suatu komitmen
yang mendalam terhadap sesuatu yang diyakini kebenarannya.
Istilah “Pendidikan Akhlak” terdiri dari 2 (dua) kata yaitu pendidikan dan akhlak. Kedua kata ini memiliki pengertian
yang berbeda, namun istilah pendidikan akhlak menunjukkan adanya proses pembentukan seorang manusia agar
memiliki akhlak. Untuk memahami istilah ini, maka perlu memahami terlebih dahulu kata “Pendidikan”.
Dalam bahasa Arab istilah pendidikan digunakan untuk berbagai pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib, ta’lim,
ta’dib, siyasat, mawa’izh, ‘ada ta’awwud dan tadrib.  Sedangkan untuk istilah tarbiyah, tahzib  dan ta’dib sering
diartikan pendidikan. Ta’lim  diartikan pengajaran, siyasat diartikan siasat, pemerintahan, politik atau
pengaturan. Muwa’izh  diartikan pengajaran atau peringan. ‘Ada ta’awwud  diartikan pembiasaan dan tadrib diartikan
pelatihan.
Di antara mereka yang menjadikan istilah-istilah di atas untuk tujuan pendidikan yakni Ibn Miskawaih dalam tahzibul
akhlak, Ibn Sina memberi judul salah satu bukunya kitab al siyasat,  Ibn al-Jazzar al-Qairawani membuat judul salah
satu bukunya berjudul siyasat al-shibyan wa tadribuhum,  dan Burhan al-Islam al-Zarnuji memberikan judul salah satu
karyanya Ta’lim al-Mula’allim tharik at-ta’alum. Pada dasarnya para ahli tidak mempersoalkan penggunaan istilah ini.
Al-Attas mendefinisikan pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Suatu proses
“penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan”
mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap
“sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan; dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan
kandungan itu (Al Attas 1994, hlm. 35).
Istilah yang dikemukakan di atas mengandung tiga unsur dasar yang membentuk pendidikan, yaitu proses,
kandungan, dan penerima. Tetapi semuanya itu belum lagi suatu definisi, karena unsur-unsur tersebut masih begitu
saja dibiarkan tidak jelas. Lagi pula cara merumuskan kalimat yang dimaksudkan untuk dikembangkan menjadi suatu
definisi sebagaimana di atas, memberikan kesan bahwa yang ditonjolkan adalah prosesnya (Al Attas 1994, hlm. 36).
Jadi dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam manusia.
Sedangkan kata “akhlak” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan akhlak, moral, etika, watak, budi pekerti,
tingkah laku, perangai dan kesusilaan. Akhlak jamak dari khuluq yang berarti adat kebiasaan (al-‘adat),  perangi,
tabi’at (at-jiyyat), watak (at-thab ), adab atau sopan santun (al-muru’at),  dan agama (al-din). Istilah-istilah akhlak juga
sering disetarakan dengan istilah etika. Sedangkan kata yang dekat dengan etika adalah moral.
Jadi dapat dipahami bahwa akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan,
tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas
dorongan jiwa berupa perbuatan baik dan  buruk.
Dengan demikian yang dimaksud dengan istilah “Pendidikan Akhlak” dalam penelitian ini adalah “suatu proses
menuju arah tertentu yang dikehendaki sesuai dengan landasan  akhlak yang mengarahkan pada terciptanya
perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang (seperti Nabi) dalam arti terhadap dirinya
maupun terhadap luar dirinya”.
Istilah “Generasi Muda” secara etimologi berasal dari dua kata, yaitu generasi dan muda. Kata “generasi” berarti
angkatan atau turunan (Dep P dan K 1999, hlm. 309); dan kata “muda” yang berarti belum lama ada (Dep P dan K
1999, hlm. 667). Generasi muda berarti angkatan atau turunan yang belum lama hidup. Dalam pengertian pertama
ini nampaknya belum begitu jelas apa esensi generasi muda yang dimaksud dalam pembahasan ini.
Kata generasi muda tidak cukup diartikan berdasarkan ilmu kebahasaan (etimologi) saja, tetapi perlu dilihat arti
secara terminologi (istilah). Menurut Suraiya, generasi muda adalah bagian suatu generasi yang sedang menjalani
giliran mengelola kehidupan masyaranat dan kenegaraan (Suraiya 1985, hlm. 2). Suryono Sukanto mengartikan
generasi muda adalah sekelompok orang muda yang lahir dalam jangka waktu tertentu (Suryono 1993, hlm. 201).
Selanjutnya Hartini dan Kartasapoetra menamakan generasi muda sebagai angkatan kaum muda (Hartini dan
Kartasapoetra 1992, hlm. 166).
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa generasi muda adalah
kelompok, golongan, angkatan, kaum muda yang hidup dalam jangka waktu tertentu, di mana mereka memiliki tugas
untuk melanjutkan pembangunan bangsanya sebagaimana tugas-tugas para angkatan yang hidup sebelum mereka.

Dari beberapa defenisi operasional di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian judul tesis ini adalah “Suatu
komitmen yang mendalam mengenai kehidupan menuju arah terciptanya perilaku lahir dan batin yang seimbang
(seperti Nabi) bagi generasi muda menurut pemahaman Bediuzzaman Said Nursi”.
 
Tinjauan Pustaka
Berdasarkan kajian dan pemeriksaan kepustakaan yang ada tentang Said Nursi, diakui bahwa ada beberapa peneliti
yang telah menulis dan mengkaji sebagian pemikiran Said Nursi, khususnya dalam berbagai aspek. Dalam bentuk
kajian tesis terdapat sekitar 8 negara yang membahas mengenai Said Nursi.11 Terkait penelitian ini peneliti akan
meninjau beberapa pustaka sebagai berikut :
1. Kajian “Model-model Pendidikan Bediuzzaman” oleh Halit Ertugrul (1994), telah memperkenalkan karya
tentang Bediuzzaman Said Nursi berjudul ; “Egitimde Bediuzzaman Modeli”. Dalam karya berbahasa Turki ini,
Ertugrul membuat suatu kesimpulan, bahwa Said Nursi meliliki model tersendiri dalam pendidikan Islam, yaitu
penekanan terhadap aspek akidah, menggunakan metode pengulangan, pendalaman, dan pemahaman.
Keutamaan model pendidikan Said Nursi adalah terletak pada kemampuan ia menggunakan argumentasi
rasional untuk menunjukkan hakikat kebenaran.
2. Tulisan karya Adem Tatli, 1992 dalam sebuah makalah yang berjudul : “Badiuzzanian Education
Method”. Makalah ini dipersentasikan pada seminar Simposium ke II tentang Bediuzzaman Said Nursi pada 27-
29 September 1992 di Istambul. Suatu catatan penting dari makalah ini memuat tentang 13 tawaran Said Nursi
untuk dijadikan basis epistemologis penegakkan sistem pengajaran.
3. Sementara Sakir Gozutok (2000, hal. 404-412), dalam makalahmya yang berjudul; “The Risale-i Nur in The
Context of Educational Principles and Methods”, menemukan beberapa metode pendidikan yang dipakai Said
Nursi dalam Risale-i Nur,  yaitu The Direct Lecturing Method, The Question and Answer Method, The Active
Learning Method,  dan Observational Method (External Observation and Inward Observation).
Walaupun dua karya tersebut cukup signifikan untuk melengkapi data penulisan tesis ini, namun sisi kelemahannya
mungkin terletak pada titik tekan Said Nursi dalam membentuk berkepribadian berakhlak mulia tidak dilakukan oleh
para peugkaji-pengkaji Said Nursi secara detail, baik dalam kegiatan pendidikan informal, maupun dalam bentuk
formal. Ertugrul dan Tatli masih dalam tataran umum mengkaji pola pendidikan dihubungkan dengan basis
penegakan sistem pengajaran, meliputi landasan filosofis, kurikulum, guru, metode, siswa, pengelolaan kelas, dan
aktifitas pergerakan siswa. Sedangkan pada tahap konseptualisasi nilai-nilai akhlak, realisasi nilai-nilai tersebut
belum dilakukan secara maksimal, atau pengkajian tentang akhlak belum dilakukan secara mendalam.

Pemetaan kajian di atas, dimaksudkan ingin melihat penelitian-penelitian yang sudah dilakukan untuk mendukung
dan diharapkan menjelaskan posisi penulis dalam mengambil fokus kajian penulis. Semua kajian di atas, jika diteliti
secara langsung atau tidak langsung menyinggung persoalan keimanan, akhlak dan ibadah yang menjadi fokus dari
kajian penulis dalam membangun prinsip-prinsip pendidikan akhlak secara teologis.

Dari beberapa literatur dan tulisan mengenai pemikiran Said Nursi di atas, dapat penulis tegaskan bahwa sejauh
pengamatan kami pembahasan tentang prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda menurut Said Nursi belum
ada. Karena itu, penelitian kepustakaan yang akan kami lakukan ini adalah suatu usaha untuk mengkaji secara
mendalam mengenai prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi tersebut.

Penelitian dan karya ilmiyah yang dikemukakan diatas tidak sama dengan penelitian yang akan penulis lakukan.
Perbedaan penelitian dan karya ilmiyah tersebut dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah pada materi
pembahasannya. Penelitian sebelumnya pada umumnya membahas masalah mosel-model pendidikan, metodologi
pendidikan, dan prinsip metode pendidikan, sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan adalah
mengenai prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi.
 

Kerangka Teori
Dalam rangka memperjelas arah dari penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan “prinsip-prinsip pendidikan
akhlak”, jika dikaji secara teoritis, maka dalam penelitian ini secara spesifik peneliti mengemukakan teori-teori yang
berhubungan dengan pendidikan akhlak sebagai berikut :
“Teori pendidikan akhlak” secara teoritis pendidikan akhlak pada dasarnya bertitik tolak dari urgensi akhlak dalam
kehidupan. Tokoh yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Oemar Bakry, menurutnya “ilmu akhlak
akan menjadikan seseorang lebih sadar lagi dalam tindak tanduknya. Mengerti dan memaklumi dengan sempurna
faedah berlaku baik dan bahaya berbuat salah” (Bakry 1993, hlm. 13-14). Mempelajari akhlak setidaknya dapat
menjadikan orang baik. Kemudian dapat berjuang di jalan Allah demi agama, bangsa dan negara. Berbudi pekerti
yang mulia dan terhindar dari sifat-sifat tercela dan berbahaya.
Tokoh lain yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Syed Muhammad Nauquib al-Attas dengan
menggunakan kata adab atau ta’dib. Al-Attas mengatakan bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai
Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta’dib.  Al-Attas
menganggap bahwa proses pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses yang tidak dapat
diperoleh melalui suatu metode khusus. (Lihat Wan Daud 2003, hlm. 77-79).
Selain itu, menurut Ibn Miskawaih akhlak merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak
tanpa berpikir atau pertimbangan secara mendalam. Keadaan seperti ini dapat disebut sebagai karekter. Menurutnya
keadaan ini ada dua jenis. Pertama,  alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan kedua jenis keadaan ini cendikiawan klasik sering berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa
karakter dimiliki oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berpendapat karakter itu dimiliki oleh
jiwa berpikir (rasional).
Berdasarkan kedua jenis karakter dan kedua pendapat di atas Ibn Miskawaih menegaskan bahwa akhlak yang
alamiah dan sudah menjadi watak dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasehat-nasehat mulia.
Karena menurutnya pendapat pertama menyebabkan tidak berlakunya fakultas nalar, tertolaknya segala bentuk
norma dan bimbingan, kecenderungan orang kepada kekejaman dan kelalaian serta banyak remaja dan anak-anak
berkembang liar tanpa nasehat dan pendidikan. Ini tentu saja sangat negatif (Ibn Miskawaih 1997, him. 56-57).
Berdasarkan inilah Ibn Miskawaih menganggap perlu adanya pembinaan jiwa secara intentif dengan daya-daya akal.
Pembinaan inilah yang dapat dikatakan sebagai (tahzih al-Akhlaq) pendidikan akhlak.
Menurut Suwito yang mengutip pendapat M. Amin Abdullah bahwa kalau dibandingkan dengan mahzab pemikiran di
bidang pendidikan akhlak maka secara umum pendidikan akhlak dapat dibagi dua, pendidikan akhlak mistik dan
pendidikan akhlak rasional. Pembedaan pendidikan akhlak kepada mistik dan rasional bukannya tidak memiliki
konsekuensi. Sebagaimana dalam teologi rasional, akhlak rasional dapat membawa konsekuensi bagi pertumbuhan
kreatifitas dan inisiatif, sedangkan akhlak mistik kurung mendorong manusia untuk dinamis (Suwito 1995, hlm.10).

Oleh sebab itulah, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional yang memberi lebih kuat kepada pendidikan
daya pikir (rasio) manusia, sedangkan pendidikan akhlak mistik memberikan porsi lebih kuat kepada pendidikan daya
rasa pada diri manusia. Distingsi ini bermanfaat bagi konsekuensi yang ditimbulkan. Konsekuensi pada pendidikan
akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia dinamis. Adapun konsekuensi yang diperoleh
dari pendidikan akhlak mistik kurang memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia yang dinamis.

Namun, pendidikan akhlak tidak masuk dalam kategori institusi sebagaimana di atas, karena hakekat pendidikan
akhlak adalah inti semua jenis pendidikan. Pendidikan akhlak mengarah pada terciptanya perilaku lahir dan batin
manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu
mata pelajaran atau lembaga melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga.

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pendidikan akhlak dalam penelitian ini ditinjau melalui 2 (dua)
aliran, yakni rasional dan mistik (Abdullah 1997, hlm. 125). Akhlak termasuk unsur immaterial, yakni unsur rasio dan
rasa. Oleh sebab itulah, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional yang memberi lebih kuat kepada
pendidikan daya pikir (rasio) manusia, sedangkan pendidikan akhlak mistik memberikan porsi lebih kuat kepada
pendidikan daya rasa pada diri manusia. Distingsi ini bermanfaat bagi konsekuensi yang ditimbulkan terhadap
perlaku manusia.
Karena itu, maka konsekuensi pada pendidikan akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia
dinamis. Adapun konsekuensi yang diperoleh dari pendidikan akhlak mistik kurang memberikan dorongan kuat bagi
terciptanya manusia yang dinamis.

Namun, dalam kajian penelitian ini justru keduanya dipadukan untuk melengkapi satu dengan yang lainnya. Secara
teoritis dapat dikatakan bahwa pendapat Amin Abdullah menjadi landasan kajian ini dalam memadukan aspek-aspek
akhlak dalam diri manusia.

 
 
Metodologi Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan, mengolah dan menganalisis data, maka langkah-langkah yang perlu
dijelaskan terkait dengan hal-hal teknis dalam metodologi penelitian ini, sebagai berikut :

 
Jenis Penelitian
Penelitian ini dari segi objeknya adalah penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research).
Disebut penelitian pustaka karena objeknya adalah pemikiran yang tertuang dalam bahan-bahan pustaka berupa
buku-buku, arsip-arsip, dokumen-dolumen, jurnal dan majalah ilmiah. Disebut penelitian lapangan karena objeknya
adalah pengamatan secara langsung aktivitas keagamaan generasi muda Turki yang mengarah kepada model kajian
generasi muda.
Penelitian ini dari segi objek dan tujuannya adalah deskriptif kualitatif. Disebut deskriptif karena tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis dan mendiskripsikan pemikiran-pemikiran yang terdapat di dalam buku-buku dan
dokumen-dokumen, menjelaskan dan menggambarkan hasil penelitian yang dilakukan pada objek tertentu secara
jelas dan sistematis. Disebut kualitatif adalah karena di dalam penjelasan dan uraian-uraiannya tidak menggunakan
angka statistik tetapi dengan fakta dan argumentasi.

 
Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini meliputi data primer  dan data sekunder. Adapun data primer adalah data yang
langsung dari sumber pertamanya, yaitu pengkajian kitab Risale-i Nur sejumlah lebih kurang 6000 halaman.
Penelitian ini mengambil sumber asli yakni dalam bahasa Turki dan Arab. Adapun sumber pemikiran Said Nursi yang
dijadikan rujukan adalah 2 (dua) karya dari kumpulan Risale-i Nur. Kedua karya tersebut :
1. “Lemaalar” (kumpulan cahaya) memuat sebanyak 33 kumpulan cahaya. Berisi ajakan untuk merasakan
tetesan cahaya Ilahi yang memantul di setiap aspek kehidupan baik yang profan maupun yang sakral, lahir
maupun bathin dan menerangkan bahwa ada hikmah dibalik peristiwa, entah itu anugerah atau bencana yang
mana hikmah tersebut akan menyempurnakan kehidupan (spiritual) manusia. (Said Nursi, 2003a). Buku ini
mengandung 33 cahaya, membahas peristiwa yang menimpa para Nabi Allah SWT, mengenai kemukjizatan
Rasulullah, keutamaan munajat (doa), tentang kabar ghaib dari ayat al-Quran, minhaj as-Sunnah,
ma’rifat  terhadap Allah dan Rasulullah, pembahasan tentang akhlak, dan lain-lainnya.
2. “Mektubat” (kumpulan surat-surat) merupakan kumpulan surat-surat 1928-1932 memuat jawaban dan
penjelasannya seputar isu-isu penting dalam, Islam tentang isu-isu teologis, dan kehidupan spiritual yang mana
dijelaskan dengan penjelasan yang sangat argumentatif dengan dalil yang menguatkan (Said Nursi, 2003b).
Buku ini memuat tentang tingkat kehidupan, rahmat dalam kematian dan kemalangan, Asma Allah SWT,
mukjizat Rasulullah SAW, makna mimpi, hikmah penciptaan setan, mengapa harus ada mukjizat dan lain
sebagainya. Penyajian buku ini menjawab dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dengan dalil naqli  dan
argumentasi serta pendekatan analogi yang aktual dan relevan.
Kedua kitab di atas adalah bagian dan koleksi Risale-i Nur merupakan tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh Said Nursi
dalam bahasa Turki dan Arab. Fokusnya kedua kitab ini, walau nanti juga akan diikuti dengan 12 kitab lainnya dalam
pembahasan kajian penelitian ini.
Di samping Risale-i Nur, sebagai sumber sekunder digunakan sebagai pendukung ayat-ayat Al-Qur’an dalam kajian
ini, dan bila dipandang perlu dilakukan penafsiran untuk mendukung analisa dan pemahaman yang lebih mendalam.
Selain itu, yang dapat dijadikan sumber sekunder adalah tulisan-tulisan yang membicarakannya tentang pendidikan
akhlak. Adapun yang dapat digunakan sebagai sumber sekundernya berupa buku, majalah, koran, enseklopedia,
monograf, jurnal ilmiah, makalah-makalah hasil simposium Internasional dan seminar Internasional hasil-hasil
penelitian dan media elektronik (program komputer, CD-ROM atau internet) yang berhubungan dengan penelitian ini
sebagai data pendukung fokus penelitian ini.

 
Teknik Penulisan
Teknis penulisan tesis ini berpedoman pada buku tuntutan PPS IAIN Raden Fatah Palembang yang ditulis oleh M.
Sirozi dan kawan-kawan (Edisi Revisi) Pedoman Penulisan Tesis, Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah
Palembang, 2005. Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap, selanjutnya data tersebut dianalisa. Analisa
merupakan tahap yang penting dan menentukan, karena dalam tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan
sedemikian rupa sampai berhasil dalam menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalan-persoalan dalam penelitian. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif
Dalam penelitian ini data yang sudah dikumpulkan diolah untuk diklasifikasikan sesuai dengan jenis datanya. Apakah
data-data tersebut termasuk sumber primer atau sumber sekunder.
Adapun teknis penulisan tesis ini melalui langkah-langkah yang ditempuh dalam pengumpulan datanya dimulai
dengan proses pengumpulan kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan Risale-i Nur dalam konteks
pendidikan akhlak. Setelah data-data terkumpul maka data diteliti untuk mencari fakta yang relevan mengenai
pendidikan akhlak menurut Said Nursi. Selanjutnya membaca data-data tersebut sebagai langkah identifikasi
konsep-konsep dasar dari pemikiran pendidikan akhlak Said Nursi.

Data kemudian dikelola secara mendalam, pengelolaan analisa ini dimaksudkan untuk menganalisa secara
mendalam pemikiran-pemikiran Said Nursi tentang konsep pendidikan akhlak, menganalisa apa-apa saja pemikiran
Said Nursi. Kemudian pemikiran Said Nursi yang dijadikan objek direkonstruksi secara sistematis dan objektif,
dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, verifikasi, serta menganalisa bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan
memperoleh kesimpulan yang kuat.

Sebagaimana dalam disebutkan bahwa data primer penelitian ini adalah Risale-i Nur orisinil adalah bahasa Turki dan
Arab, maka perlu dijelaskan secara teknis penganalisaan bahan-bahan dilakukan dengan cara komperasi bahasa
yakni digunakan kombinasi Risale-i Nur yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris,
– yang dalam penelitian ini diposisikan data sekunder – hal ini dimaksudkan untuk mempermudah verifikasl dan
menarik konklusi.
 

Keterbatasan Penelitian
Sebagal kajian pustaka penelitian ini tetap memiliki keterbatasan yang patut disampaikan di sini, keterbatasan
penelitian ini ada faktor bahasa dari segi teks Risale-i Nur, karena Risalei Nur orisinil adalah bahasa Turki. Sehingga
pembahasan penelitian ini digunakan kombinasi Risale-i Nur sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, Arab
dan Inggris. Faktor Tebalnya  Risale-i Nur, faktor ini juga menyebabkan kesulitan dalam penelitian ini karena jumlah
halaman mencapai 6000 halaman yang terdiri dari 14 jilid. Untuk itu, penelitian ini hanya menggunakan sebagian dari
Risale-i Nur yakni 2 kitab saja. Hal ini juga disebabkan faktor keterbatasan waktu studi,  keterbatasan waktu studi ini
lebih disebabkan adanya keinginan mengkaji risalah nur ini dari bahasa aslinya, yakni bahasa Turki. Namun, waktu
satu tahun yang digunakan tidaklah mencukupi. Karena 6 bulan pertama digunakan untuk belajar bahasa Turki dan 6
bulan mulai merancang penelitian dan penulisan, situasi itu pun tidaklah dapat dilakukan secara optimal, karena
banyak waktu yang digunakan untuk mengikuti berbagai kegiatan yang diprogramkan oleh The IstanbuFoundation
for Sciance and Culture.  Keterbatasan penelitian ini perlu dijelaskan untuk menghindari faktor-faktor yang mungkin
mengancam objektivitas atau validitas penelitian dan generalisasinya.
 

Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan tesis ini terdiri dari beberapa bab, dari tiap-tiap bab juga terdiri dari beberapa kerangka-kerangka
pembahasan, maka untuk mengetahui masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :

Bab Pertama, bab ini merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari Latar belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Penelitian, Defenisi Operasional, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua, bab ini membahas mengenai pendidikan akhlak dan pembinaan generasi muda. Adapun kajiannya
tentang pendidikan akhlak mencakup ; pengertian dan tujuan, ruang lingkup, dan signifikansinya.  Sedangkan kajian
pembinaan generasi muda mencakup ; pengertian dan batasan, karakteristik, dinamika kehidupan, dan kedudukan
akhlak dalam kehidupan generasi muda.
Bab Ketiga, bab ini membahas mengenai biografi singkat Said Nursi. Kajiannya meliputi masa kecil dan pendidikan
Said Nursi mencakup ; latar belakang keluarga dan riwayat pendidikan, selanjutan kegiatan keagamaan, kegiatan
politik dan terakhir diuraikan tentang karya tulis Said Nursi.
Bab Keempat, bab ini membahas mengenai prinsip-prinsip pendidikan akhlak mencakup ; menguatkan keimanan,
berpegang teguh pada al-Qur’an, memahami hakekat penciptaan manusia, memahami alam semesta, memahami
asma’ al-husna, mengetahui tanda-tanda hari kiamat, meyakini hari kiamat, meneladani Nabi Muhammad Saw., dan
menanamkan ikhlas, takwa dan sedekah. Bagian selanjutnya difokuskan bahasan pada prinsip-prinsip pendidikan
akhlak dengan pembinaan generasi muda yang mencakup ; relevansi dengan akidah, pandangan hidup, tujuan
hidup, ibadah, tingkah laku, situasi kejiwaan, lingkungan, dan tahapan perkembangan kepribadian generasi muda.
Bab Kelima, membahas penutupan berisikan kesimpulan, saran-saran, implikasi dan rekomendasi.
 

Bab 2
TINJAUAN TEORITIS
 PENDIDIKAN AKHLAK DAN GENERASI MUDA
 

Kajian ini dibagi menjadi 2 (dua) fokus yaitu mengenai pendidikan akhlak dan pembinaan generasi muda yang
memiliki cakupan yang luas, jika ditinjau dari berbagai perspektif kajian. Namun pada kajian tentang pendidikan
akhlak mencakup ; pengertian dan tujuan, ruang lingkup, dan signifikansinya. Sedangkan kajian pembinaan generasi
muda mencakup ; pengertian dan batasan, karakteristik, dinamika kehidupan, dan kedudukan akhlak dalam
kehidupan generasi muda.

Pengertian dan Tujuan Pendidikan Akhlak


 

Pengertian Pendidikan Akhlak


Dalam bahasa Arab istilah pendidikan digunakan untuk berbagai pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib, ta’lim,
ta’dib, siyasat, mawa’izh, ‘ada ta’awwud dan tadrib.  Sedangkan untuk istilah tarbiyah, tahzib  dan ta’dib sering
diartikan pendidikan. Ta’lim  diartikan pengajaran, siyasat diartikan siasat, pemerintahan, politik atau
pengaturan. Muwa’izh  diartikan pengajaran atau peringan. ‘Ada ta’awwud  diartikan pembiasaan dan tadrib diartikan
pelatihan.
Di antara mereka yang menjadikan istilah-istilah di atas untuk tujuan pendidikan yakni Ibn Miskawaih dalam bukunya
berjudul tahzibul akhlak,  Ibn Sina memberi judul salah satu bukunya kitab al siyasat, Ibn al-Jazzar al-Qairawani
membuat judul salah satu bukunya berjudul siyasat al-shibyan wa tadribuhum,  dan Burhan al-Islam al-Zarnuji
memberikan judul salah satu karyanya Ta’lim al-Mula’allim tharik at-ta’alum. Walau terjadi berbagai perbedaan,
namun para ahli tidak mempersoalkan penggunaan istilah di atas. Karena, pada dasarnya semua pandangan yang
berbeda itu bertemu dalam suatu kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan
generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih baik.
Memang secara fakta bahwa istilah “pendidikan” telah menempati banyak tempat dan didefinisikan secara berbeda-
beda oleh berbagai pakar, yang banyak dipengaruhi pandangan dunia masing-masing. Para pakar sependapat
bahwa Pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran. Kalau pengajaran dapat dikatakan sebagai “suatu proses
transfer ilmu belaka”, namun pendidikan merupakan “transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala
aspek yang dicakupnya”. Dengan demikian, pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang” atau
para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, karena itu, perhatian dan minatnya lebih
bersifat teknis. Artinya, perbedaan pendidikan dengan pengajaran terletak pada “penekanan pendidikan terhadap
pembentukan kesadaran clan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian” (Azra 2000, hlm. 3-4).

Mengambil makna dari pandangan Azra di atas, artinya pendidikan secara umum memuat sebuah usaha dan cara-
cara yang dipersiapkan oleh pelaku pendidikan (Baca ; guru, pendidik) dengan persiapan yang matang dan
penekanan-penekanan menuju ke arah proses transformasi nilai dan pembentukan kepribadian yang sesungguhnya
tidak mudah dilaksanakan.

Jika kita melihat sejarah, “pendidikan” secara istilah, seperti yang lazim dipahami sekarang belum dikenal pada
zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan
berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih keterampilan berbuat, memberi motivasi dan
menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup
arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Orang Arab Mekkah yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir,
kasar dan sombong maka dengan usaha dan kegiatan Nabi mengislamkan mereka, lalu tingkah laku mereka
berubah menjadi menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa, mukmin, muslim, lemah lembut dan hormat pada orang
lain.

Dari kegigihan usaha Rasulullah SAW tersebut, mereka telah berkepribadian muslim sebagaimana yang dicita-
citakan oleh ajaran Islam dengan itu berarti Nabi telah mendidik, membentuk kepribadian yaitu kepribadian muslim
dan sekaligus berarti bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendidik yang berhasil. Sehingga jelaslah
kegigihan tersebut mencerminkan upaya menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia (Arifin 1993, hlm.
ix), yaitu potensi untuk selalu cenderung kepada kebaikan dan ridha Allah SWT sebagai jalan yang dapat
membahagiakan kehidupan mereka di dunia dan akhirat.

Al-Attas mendefinisikan pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Suatu proses
“penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan”
mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap
“sesuatu” mengacu pada kandungan yang ditanamkan; dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan
kandungan itu (Al-Attas 1994, hlm. 35).
Istilah yang dikemukakan di atas mengandung tiga unsur dasar yang membentuk pendidikan, yaitu proses,
kandungan, dan penerima. Tetapi semuanya itu belum lagi suatu definisi, karena unsur-unsur tersebut masih begitu
saja dibiarkan tidak jelas. Lagi pula cara merumuskan kalimat yang dimaksudkan untuk dikembangkan menjadi suatu
definisi sebagaimana di atas, memberikan kesan bahwa yang ditonjolkan adalah prosesnya (Al-Attas 1994, hlm. 35-
36). Jadi dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam manusia.
Sedangkan kata “Akhlak” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan akhlak, moral, etika, watak, budi pekerti,
tingkah laku, perangai dan kesusilaan. Akhlak jamak dari khuluq yang berarti adat kebiasaan (al-‘adat),  perangi,
tabi’at (at-jiyyat), watak (at-thab), adab atau sopan santun (al-muru’at),  dan agama (al-din). Istilah-istilah akhlak juga
sering disetarakan dengan istilah etika. Sedangkan kata yang dekat dengan etika adalah moral.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti  atau kelakuan.
Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan,  bahkan agama),
namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut
yaitu khuluq yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat: 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans
pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul: “Sesungguhnya engkau [Muhammad] berada di atas budi
pekerti yang agung”  (QS. Al-Qalam [68]: 4). Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi SAW, dan
salah satunya yang paling populer adalah : “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan, kita selanjutnya dapat berkata bahwa
akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu
argumen keanekaragaman tersebut, dalam al-Qur’an : “Sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti  amat
beragam” (QS. Al-Lail [92]: 4). Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai
kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.
Sedangkan kata etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti, tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap,
dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha)  artinya adat kebiasaan (Bertens, 2004, him. 4). Kata yang dekat
dengan etika adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos  dan jamaknya mores  yang berarti kebiasaan
atau adat. Jadi menurut Bertens kata “etika” sama dengan etimologi “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang
berarti adat kebiasaaan. Hanya bedanya “etika” dari bahasa Yunani dan “moral” dari bahasa Latin. Dalam bahasa
Inggris dan juga bahasa Indonesia kata etika dan moral sangat berdekatan dengan istilah akhlak dari bahasa Arab.
Terkait masalah istilah dalam bahasa Indonesia dikenal istilah “etika dan etiket”. Etika disini berati moral. Etiket
berarti sopan santun. Etiket juga berarti secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang. Jika dari
asal usulnya, kedua istilah ini tidak ada hubungannya. Etika dalam bahasa Inggris adalah ethics  sedangkan etika
adalah etiquette.  Kedua istilah ini memiki persamaan dan perbedaan. Dari segi persamaan. Pertama,  sama-sama
menyangkut perilaku manusia. Kedua, sama-sama mengatur perilaku manusia secara normatif.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  kata Etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti 1) Ilmu
tentang yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2) Kumpulan asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak; 3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut para ahli masa lalu (al-qudama). Akhlak adalah kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara
spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sering pula yang dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir
atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik dan buruk.
Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku atau perangai (‘ilm al-suluk), atau tahzib alakhlaq (falsafat akhlak) atau al
hikmah al-amaliyat atau al hikmat al khuluqiyyat. Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang
keutamaan-keutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa
untuk mensucikannya.
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan
lebih lama” (Mahyuddin 1996, hlm. 4). Sedangkan Asmaran cenderung melihat akhlak merupakan bawahan sejak
lahir yang tertanam di dalam jiwa manusia. Asmaran (1994), mendefinisikan “akhlak itu adalah sifat-sifat yang
dibawah manusia sejak lahir, yang tertanam di dalam jiwanya dan selalu ada pada dirinya. Sifat itu dapat dilihat dari
perbuatannya. Perbuatannya yang baik disebut akhlak mulia, dan perbuatan yang buruk disebut akhlak yang buruk
atau tercela. Baik atau buruknya suatu akhlak tergantung pda pembinaannya” (Asmaran 1994, hlm.1).
Ditinjau dari segi sifatnya, akhlak terbagi dua macam, yakni akhlak yang baik, disebut akhlaqul mahmudah; dan
akhlak yang tercela, disebut akhlaqul mazmumah (Barmawie 2001, hlm.22). Kemudian dilihat dari segi sasarannya,
akhlak kepada sesama manusia dan akhlak kepada lingkungan. Akhlaqul mahmudah juga terbagi lagi beberapa
macam, diantaranya adalah:
1. Al-Amanah, artinya jujur
2. Al-Afwu, artinya pema’af
3. Al-khusu’, artinya menghormati tamu
4. Al-Hilmu, artinya tidak melakukan maksiat
5. Al-Adli, artinya bersifat adil
6. Al-Hifafah, artinya memelihara kesucian
7. Al-Hifafah, artinya memelihara kesucian
8. Ar-Rahman, artinya bersifat belas kasih
9. At-Ta’awun, artinya suka menolong (Barmawie 2001, hlm.23).
 

                 Dari pengertian di atas, pada hakikatnya akhlak menurut al-Ghazali harus mencakup dua syarat,
yaitu:  Pertama, Perbuatan itu harus konstan yaitu dilakukan berulang kali (kontinu) dalam bentuk yang sama
sehingga dapat menjadi suatu kebiasaan yang meresap dalam jiwa.  Kedua, Perbuatan yang konstan itu harus
tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran yaitu bukan karena
adanya tekanan-tekanan atau paksaan dan pengaruh dari orang lain.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa akhlak merupakan suatu cerminan atau tolak ukur terhadap setiap
sikap, tindakan, cara berbicara atau pola tingkah laku seseorang itu baik atau buruk, baik yang berhubungan dengan
diri sendiri, terhadap sesama manusia, akhlak terhadap Allah Swt, maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Jadi
akhlak merupakan fondasi atau dasar yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang seutuhnya, agar setiap
umat Islam mempunyai budi pekerti yang baik (berakhlak mulia), bertingkah laku dan berperangai yang baik sesuai
dengan ajaran Islam.

Berdasarkan penjelasan di atas dalam penelitian ini arti kata akhlak bisa disamakan dengan kata etika,
moral  dan etiket.  Namun hanya kata akhlak dan etika yang mempunyai maksud sama ketika menyangkut perilaku
lahir dan batin manusia. Karena, itu dalam penelitian ini, akhlak yang dimaksud adalah “pengetahuan menyangkut
perilaku lahir dan  batin manusia”.
Penjelasan di atas menggiring pemahaman bahwa istilah pendidikan akhlak dimaksud dalam penelitian ini adalah
“suatu kegiatan pendidikan yang disengaja untuk perilaku lahir dan batin manusia menuju arah tertentu yang
dikehendaki“.
 
Tujuan Pendidikan Akhlak
Berbicara masalah tujuan pendidikan akhlak sama dengan berbicara tentang pembentukan akhlak, karena banyak
sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan
pendidikan Islam (al-Abrasyi 1974, hlm. 15). Demikian pula Ahmad D Marimba berpendapat bahwa tujuan utama
pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah yakni hamba
yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk Islam (Marimba 1980, hlm.48-49).

Akan tetapi, sebelum kita lanjutkan tentang tujuan pendidikan akhlak ada masalah yang perlu kita jawab terlebih
dahulu dengan seksama, yaitu apakah akhlak itu dapat dibentuk atau tidak?. Menurut sebagian ahli mengatakan
bahwa akhlak itu tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah instinct (Gharizah) yang dibawa manusia sejak lahir
(Mansyur 1961, hlm. 91). Bagi golongan ini bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, dan
dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Dengan pandangan seperti ini,
maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut
menduga bahwa akhlak adalah gambaran bathin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini
tidak akan sanggup mengubah perbuatan bathin. Orang yang bakatnya pendek tidak dapat dengan sendirinya
meninggikan dirinya, demikian pula sebaliknya (Al Ghazali t.t., hlm. 54).
Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan,
dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh (Al Ghazali t.t., hlm. 90). Kelompok yang mendukung pendapat yang
kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang cenderung kepada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, al-
Ghazali dan lain-lain termasuk pada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah).
Imam al-Ghazali misalnya mengatakan bahwa: “Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka
batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan. Dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan
“perbaikilah akhlak kamu sekalian” (Al Ghazali t.t., hlm. 54). Pada kenyataannya di lapangan usaha-usaha
pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan.
Ini menunjukkan bahwa akhlak memang peril dibina dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya
pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-NYa, hormat kepada ibu bapak, saying
kepada makhluk Tuhan dan seterusnya.

Akan tetapi keadaan sebaliknya juga menyatakan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya atau dibiarkan
tanpa bimbingan, arahan, dan pendidikan, terntaya menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat,
melakukan berbagai perbuatan tercela, dan seterusnya. Ini semua menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina
agar akhlak generasi penerus kedepan menjadi lebih baik dan terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan.

Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan
godaan sebagai sebagai dampak dari kemajuan teknologi. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah
berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia ini, baik itu berupa yang baik atau pun yang buruk, karena adanya
alat telekomunikasi. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat televis,
internet, faximile, dan seterusnya. Film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan adegan maksiat jujga
banyak. Demikian pula dengan obat-obat terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistic dan hedonistik
semakin menggejola. Semua itu jelas membutuhkan pembinaan akhlak (Nata 2002).

Jadi untuk membina agar anak mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin dengan penjelasan pengertian saja,
akan tetapi memerlukan membiasakannya melakukan perbuatan yang baik, dan diharakan nantinya dia mempunyai
sifat-sifat tersebut dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan latihan itulah yang membuat ia cenderung kepada
melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Pembinaan moral, pembentukan  sikap dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik
atau Pembina pertama adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak sewaktu kecilnya,
akan merupakan unsur pentingdalam pribadinya. Sikap anak terhadap agamanya dibentuk pertama kali oleh orang
tuanya, kemudian disempurnakan atau diperbaiki oleh guru di sekolah.

Latihan-latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, doa, membaca al-quran, sembahyang
berjamaah di sekolah, masjid atau langgar, harus dibiasakan sejak kecil, sehingga akan tumbuh rasa senang
melakukanibadah tersebut. Latihan keagamaan, yang menyangkut akhlak dan ibadah sosial atau hubungan dengan
sesama manusia sesuai dengan ajaran agama jauh lebih penting daripada hanya sekedar kata-kata.

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada
umumnya, ada 3 (tiga) aliran yang sangat popular, yaitu aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi
(Abudin Nata, 2002). Menurut aliran nativisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang adalah factor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan kepada yang baik,
maka dengan sendirinya orang tersebut akan menjadi baik.

Aliran nativisme ini nampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini erat
kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan di atas. Aliran ini
tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan.

Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa factor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang
adalah factor dari luar, yaitu lingkungan social termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan
dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini
tampak lebih percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.

Sementara aliran konvergensi berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu factor
pembawaan anak dan factor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui
berbagai metode (Arifin 1991, hlm. 13).

Aliran ketiga ini sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah dalam al-quran yang berbunyi: “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikan kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki
potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan
cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan. Hal ini juga sesuai dengan yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim
terhadap anak-anaknya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah yang berbunyi:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anak-anaknya di waktu ia memberika pelajaran kepadanya. `hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya:
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam  dua tahun,
bersyukurlah kepadaKU dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-KUlah kembalimu (QS : Luqman :13-14).
 

Ayat tersebut selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan yang dilakukan Lukman Hakim, juga berisi
materi pelajaran yang utama diantaranya adalah pendidikan tauhid atau keimanan, karena keimananlah yang
menjadi salah satu dasar yang kokoh bagi pembentukan akhlak.

Kesesuaian teori konvergensi di atas, juga sejalan dengan hadits Nabi yang berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan membawa  fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah
yang membentuk anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi” (HR. Bukhari)
Dari ayat dan hadits tersebut di atas jelas sekali bahwa pelaksanaan utama dalam pendidikan adalah kedua orang
tua. Itulah sebabnya orang tua terutaman ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat berlangsung kegiatan
pendidikan.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa faktor yang paling dominan terhadap pembentukan
akhlak anak didik adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu potensi fisik, intelektual dan hati
(rohaniah) yang dibawa anak dari sejak lahir, sementara faktor eksternal yang dalam hal ini adalah dipengaruhi
kedua orang tua, guru di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat. Melalui kerja sama yang baik antara 3 lembaga
pendidikan tersebut, maka aspek kognitif (pengetahuan), apektif (penghayatan), dan psikomotorik (pengalaman)
ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak.

Dari berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak sejalan dengan tujuan pendidikan seperti
yang disinggung dalam al-Qur’an yaitu membina manusia baik secara pribadi kelompok agar mampu menjalankan
fungsinya sebagai khalifah Allah maupun sebagai hamba Allah. Tugas khalifah sendiri harus memenuhi empat sisi
yang saling berkaitan yaitu pemberi tugas (Allah), penerima tugas (manusia), tempat atau lingkungan di mana
manusia berada, dan materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan. Dan keempat hal ini saling berkaitan,
itulah sebabnya sering terjadi perbedaan dan tujuan pendidikan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya,
karena mereka harus memperhatikan faktor lingkungan di mana manusia itu berada (Mahmudah, tt., hlm. 56).
Berdasarkan penjelasan di atas, wajar kiranya Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany menyatakan bahwa dasar
pendidikan Islam identik dengan dasar tujuan Islam. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan
Hadits, pemikiran yang serupa juga dianut oleh para pemikir pendidikan Islam, atas dasar pemikiran tersebut maka
para ahli pendidikan dan pemuka pendidikan Muslim mengembangkan pemikiran mengenai pendidikan Islam
dengan merujuk kedua sumber utama ini (Jalaluddin 2001, hlm. 8).

Secara teoritis pendidikan akhlak pada dasarnya bertitik tolak dari urgensi akhlak dalam kehidupan. Tokoh yang
menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Oemar Bakry, menurutnya “ilmu akhlak akan menjadikan
seseorang lebih sadar lagi dalam tindak tanduknya. Mengerti dan memaklumi dengan sempurna faedah berlaku baik
dan bahaya berbuat salah” (Bakry 1993, hlm. 13-14). Mempelajari akhlak setidaknya dapat menjadikan orang baik.
Kemudian dapat berjuang di jalan Allah demi agama, bangsa dan negara. Berbudi pekerti yang mulia dan terhindar
dari sifat-sifat tercela dan berbahaya.

Tokoh lain yang menganggap pentingnya pendidikan akhlak adalah Syed Muhammad Nauquib al-Attas dengan
menggunakan kata adab atau ta’dib. Al-Attas mengatakan bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai
Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan pendidikan sebagai ta’dib.  Al-Attas
menganggap bahwa proses pendidikan sebagai penanaman adab ke dalam diri, sebuah proses yang tidak dapat
diperoleh melalui suatu metode khusus. (Lihat Wan Daud 2003, hlm. 77-79). Penjelasan al-Attas ini menggambarkan
bahwa potensi akhlak berada pada Realitas Tertinggi yang merupakan titik sentral dalam kehidupan manusia.
Berdasarkan kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia itulah, maka mengatakan Ibn Miskawaih bahwa tujuan
pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua
perbuatan atau bernilai baik (Badawi 1963, hlm. 478). , sehingga mencapai kesempurnaan dan
memperoleh sa’adat  (kebahagiaan sejati/kebahagiaan yang sempurna). Pendapatan ini beralasan bahwa kebaikan
itu merupakan tujuan setiap orang, factor anugerah Allah yang dapat mencapai kebaikan, disamping adanya
kesungguhan berusaha dan berkelakuan baik (Miskawaih 1982, hlm. 41-45). Seperti yang disimpulkan oleh Suwito
bahwa tujuan pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibn Miskawaih adalah terciptanya manusia berperilaku
ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan (Suwito
1992, hlm. 157).
Rumusan tujuan pendidikan akhlak seperti ini hakekatnya dapat dilakukan melalui membangun motivasi pribadi dan
orang lain untuk mencontoh akhlak Nabi. Artinya, bahwa berbagai aktivitas kehidupannya selalu melakukan sesuatu
dengan mengikuti akhlak nabi, baik dalam rangka pembentukan sebagai seorang pribadi maupun terhadap orang
lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya manusia yang beriman
perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) berdasarkan pemahaman Bediuzzaman Said Nursi“.
 

Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak


Pembicaraan tentang pendidikan akhlak harus diakui banyak sekali persoalan yang akan muncul ketika masalah ini
diangkat dan dikaji. Karena memang banyak hal yang dapat mempengaruhi proses pendidikan akhlak. Diantaranya
adalah menyangkut jumlah dan nama sumber karya tulis mengenai pendidikan akhlak. Prinsip-prinsip pendidikan
akhlak Said Nursi akan sangat berbeda jika ditinjau dari sudut pandang situasi sosial pada saat Risale-i Nur ditulis.
Juga akan sangat berbeda kalau konsep itu berdasarkan kontekstualisasi pemahaman nilai-nilai keimanan atau
ketauhidan yang menjadi filosofi dalam membentuk karekteristik insan manusia secara intergratif, universal dan
kekinian.

Kemudian perbedaan juga akan muncul bila pendidikan akhlak ditinjau dari segi pelaksanaannya, seperti efektifitas
pendidikan akhlak yang dilakukan dengan pendekatan monolitik (diajarkan sebagai suatu bidang studi tersendiri)
dengan pendekatan integratif (terintegrasi dengan bidang studi) pada lembaga pendidikan. Jika pendekatan
integratif, maka masih ada pertanyaan yakni bidang studi manakah yang sesuai dengan pengintegrasian?. Di
samping itu, yang dapat berpengaruh pada konsep pendidikan akhlak adalah cara mengevaluasi pendidikan akhlak,
dari kurikulumnya, alat dan atau media yang digunakan. Faktor lain seperti lingkungan, jenis kelamin, tingkat
kecerdasan anak didik, teologi pendidik, dan sebagainya, dapat pula berpengaruh terhadap hasil penelusuran
konsep seseorang mengenai pendidikan akhlak.
Beberapa identifikasi di atas merupakan berbagai persoalan yang akan muncul dalam dinamika pemikiran mengenai
prinsip-prinsip pendidikan akhlak. Dalam penelitian ini selain tujuan teknis yang diarahkan menjawab persoalan
pokok maka dirumuskan tujuan pendidikan akhlak menurut pandangan Said Nursi yang dapat dipahami dari Risale-i
Nur bahwa tujuan pendidikan akhlak diarahkan terciptanya manusia yang beriman perilaku lahir dan batin yang
seimbang (seperti Nabi) berdasarkan pemahaman Bediuzzaman Said Nursi.
Maka dapat dipahami bahwa pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik yang harus menjadi mata pelajaran atau
lembaga, melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga. Akhlak dalam dasar-dasar
pendidikan selalu berawal dari upaya prinsip menguatkan iman dan mengkokohkan akidah secara integratif yang
pembahasannya akan mempengaruhi terbentuknya doktin-doktrin akhlak secara aplikatif.

Selain itu, menurut Ibn Miskawaih akhlak merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak
tanpa berpikir atau pertimbangan secara mendalam. Keadaan seperti ini dapat disebut sebagai karekter. Menurutnya
keadaan ini ada dua jenis. Pertama,  alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan kedua jenis keadaan ini cendikiawan klasik sering berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa
karakter dimiliki oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berpendapat karakter itu dimiliki oleh
jiwa berpikir (rasional).
Berdasarkan kedua jenis karakter dan kedua pendapat di atas Ibn Miskawaih menegaskan bahwa akhlak yang
alamiah dan sudah menjadi watak dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasehat-nasehat mulia.
Karena menurutnya pendapat pertama menyebabkan tidak berlakunya fakultas nalar, tertolaknya segala bentuk
norma dan bimbingan, kecenderungan orang kepada kekejaman dan kelalaian serta banyak remaja dan anak-anak
berkembang liar tanpa nasehat dan pendidikan. Ini tentu saja sangat negatif (Ibn Miskawaih 1997, hlm. 56-57).
Berdasarkan inilah Ibn Miskawaih menganggap perlu adanya pembinaan jiwa secara intentif dengan daya-daya akal.
Pembinaan inilah yang dapat dikatakan sebagai (tahzih al-Akhlaq) pendidikan akhlak.
Menurut Suwito yang mengutip pendapat M. Amin Abdullah bahwa kalau dibandingkan dengan mahzab pemikiran di
bidang pendidikan akhlak maka secara umum pendidikan akhlak dapat dibagi dua, pendidikan akhlak mistik dan
pendidikan akhlak rasional. Pembedaan pendidikan akhlak kepada mistik dan rasional bukannya tidak memiliki
konsekuensi. Sebagaimana dalam teologi rasional, akhlak rasional dapat membawa konsekuensi bagi pertumbuhan
kreatifitas dan inisiatif, sedangkan akhlak mistik kurung mendorong manusia untuk dinamis (Suwito 1995, hlm.10).

Oleh sebab itulah, yang dimaksud dengan pendidikan akhlak rasional yang memberi lebih kuat kepada pendidikan
daya pikir (rasio) manusia, sedangkan pendidikan akhlak mistik memberikan porsi lebih kuat kepada pendidikan daya
rasa pada diri manusia. Distingsi ini bermanfaat bagi konsekuensi yang ditimbulkan. Konsekuensi pada pendidikan
akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia dinamis. Adapun konsekuensi yang diperoleh
dari pendidikan akhlak mistik kurang memberikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia yang dinamis.
Namun, pendidikan akhlak tidak masuk dalam kategori institusi sebagaimana di atas, karena hakekat pendidikan
akhlak adalah inti semua jenis pendidikan. Jadi pada dasarnya ruang lingkup Pendidikan akhlak yang dimaksud pada
penelitian ini yaitu ; mengarah pada terciptanya perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang
seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu
mata pelajaran atau lembaga melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga.

 
Signifikansi Pendidikan Akhlak
Adapun di antara alasan pentingnya pemikiran Said Nursi di bidang pendidikan akhlak dapat diungkapkan beberapa
pertimbangan sebagai berikut :

Pertama, Risale-i Nur karya Said Nursi merupakan tafsir a]-Qur’an yang secara konsisten membicarakan penguatan
iman dan al-Qur’an dengan jalan ikhlas, takwa dan sedekah. Karya ini juga membahas secara mendalam mengenai
akhlak Rasulullah dalam berbagai tulisannya Risale-i Nur yang berorientasi kepada perubahan pola pikir dan laku
untuk memahami dan mengimani secara mendalam tanda-tanda hari kiamat dan keberadaan hari kiamat.
Kedua, masalah etika secara khusus dibahas pads Simpusium Internasional di Turki yang ke-6 tahun 2002 yang
dikoordinir oleh The Istanbul Foundation for Sciance and  Culture.  Di samping itu dalam sepanjang pelaksanaan
Simposium dan diskusi panel oleh The Istanbul Foundation for Sciance and Culture ini selalu menyertakan tema
etika. Satu buku kumpulan Simposium Internasional yang ke-6 mendorong perlunya membahas mengenai akhlak
dan juga tulisan Faris Kaya yang mengungkapkan mengenai etika dalam Risalei-Nur. Etika yang dimaksud oleh Faris
Kaya mengungkapkan bahwa akhlak dalam sejarah dunia memang sangat penting. (Faris, 2004, him. 8-10).
Ketiga, diasumsikan bahwa pemikiran akhlak Said Nursi memberikan peranan signifikan dalam aktivitas
kehidupannya. Pemikiran semacam ini merupakan hasil refleksi dan pemahaman terhadap suatu teologi yang
mendalam mengenai Asma Allah dan sifat-sifat-Nya yang membentuk kerangka pikir dan sikap perilaku. Diyakini
bahwa Said Nursi adalah sosok pemikir sekaligus sufi yang memadukan konteks teologi dan realitas kehidupan.
Paham ini diilhami kemutlakan Tuhan dalam diri manusia dengan catatan bahwa akal memiliki peran penting dalam
refleksi untuk menyempurnakan keyakinan dari refleksi hati. Artinya paham yang dianut Said Nursi berdekatan
dengan upaya ma’rifatullah dalam perspektif yang luas. Sementara itu dapat diasumsikan bahwa teologi Said Nursi
adalah rasional-spritual.  Maka, dalam konteks pendidikan akhlak selalu memadukan akal dan hati untuk melakukan
pendekatan ajaran Islam secara universal.
Keempat, perkembangan ilmu dan teknologi. Yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan zaman saat ini adalah
perkembangan ilmu, teknologi, komunikasi dan informasi. Kebutuhan-kebutuhan ini yang menyebabkan dunia
semakin global. Selain berdampak positif juga berdampak negatif. Di antara dampak negatif globalisasi ini antara lain
adalah semakin banyaknya alternatif bagi ukuran akhlak manusia yang cenderung bermuatan materialistik dan
intelektualistik semata. Akibatnya, hal-hal yang bersifat spritualistik cenderung diabaikan. Dengan demikian,
kemampuan memilih berbagai alternatif secara kritis melalui pemahaman, teologi rasional dan spritual semakin dinilai
penting dan mendesak.
Kelima,  tanda-tanda akhir zaman, pentingnya pengkajian ini juga disebabkan titik nadir masyarakat global
berdasarkan paham keagamaan menunjukkan tanda-tanda akhir zaman. Dalam konteks itulah sebagai makhluk
beragama harus mewaspadai itu dan berupaya mengantisipasi dan merubah pola pandangan hidup. Karena
persoalan “krisis moral” merupakan entry point dari munculnya pembaharu (mujadid) untuk menyelamatkan umat
dari “melupakan” Tuhan.

Pendidikan Akhlak Generasi Muda


 

Pengertian Generasi Muda


 

Generasi muda secara etimologi berasal dari dua kata, yaitu generasi yang berarti angkatan atau turunan (Dep P
dan K 1999, hlm.309); dan muda yang berarti belum lama ada (Dep P dan K 1999, hlm.667). Generasi muda berarti
angkatan atau turunan yang belum lama hidup. Dalam pengertian pertama ini nampaknya belum begitu jelas apa
esensi generasi muda yang dimaksud dalam pembahasan ini.
Kata generasi muda tidak cukup diartikan berdasarkan ilmu kebahasaan (etimologi) saja, tetapi perlu dilihat arti
secara terminologi (istilah). Menurut Suraiya, generasi muda adalah bagian suatu generasi yang sedang menjalani
giliran mengelola kehidupan masyaranat dan kenegaraan (Suraiya 1985, hlm. 2). Suryono Sukanto mengartikan
generasi muda adalah sekelompok orang muda yang lahir dalam jangka waktu tertentu (Suryono 1993, hlm. 201).
Selanjutnya Hartini dan Kartasapoetra menamakan generasi muda sebagai angkatan kaum muda (Hartini dan
Kartasapoetra 1992, hlm. 166).

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa generasi muda adalah
kelompok, golongan, angkatan, kaum muda yang hidup dalam jangka waktu tertentu, di mana mereka memiliki tugas
untuk melanjutkan pembangunan bangsanya sebagaimana tugas-tugas para angkatan yang hidup sebelum mereka.
Dapat dipahami pula bahwa generasi muda sesungguhnya menjadi tumpuhan harapan masyarakat dalam
merealisasikan idiologi dan tujuan pembangunan, baik material, maupun spiritual.

Batasan Generasi Muda


Walaupun beberapa pakar sering berselisih pendapat mengenai perbedaan tentang batasan usia generasi muda,
namun hal itu tidak perlu dijadikan hambatan kita untuk memahami aspek usia generasi muda, apalagi jika usia itu
relatif dan tidak menjadi ukuran baku bagi generasi muda; produktif atau tidak. Di masyarakat sering kita lihat orang
muda yang berusia antara 15-30 tahun yang seharusnya giat bekerja tetapi hidup bermalas-malasan, tetapi orang
tua yang umurnya di atas 50 tahun masih aktif bekerja. Ini berarti umur tidak menjadi jaminan mutlak bagi suatu
generasi, giat bekerja atau tidak.

Di antara sekian banyak pakar, di sini hanya dikemukakan tiga pendapat mengenai batasan usia generasi muda,
yaitu:

1. Menurut Suraiya, usia generasi muda ialah berkisar dar dari 0–30 tahun (Suraiya 1985, hlm. 5).Generasi
muda identik dengan kaum muda.
2. Menurut Ruslan Abdul Gani, usia generasi muda (kaum muda) berkisar antara 15-25 tahun (Ghufron 1986,
hlm. 13).
3. Menurut Sujanto generasi muda, dapat dibatasi usia antara 23,0-45,0 (pria) dan 17,0-40,0 (wanita) (Sujanto
1996, hlm. 160).
Dari ketiga pengertian di atas nampaknya memiliki perbedaan, yaitu: Pengertian pertama nampaknya memasukkan
golongan anak-anak sebagai generasi muda. Hal ini jika didasarkan kepada potensi kemanusiaannya tentu
beralasan, tetapi pada realitanya anak-anak belum sepenuhnya dapat bertanggung jawab terhadap kemajuan
pembangunan. Hanya orang yang lebih tua dari mereka yang mampu mengemban tugas tersebut.
Pengertian kedua nampaknya membatasi usia generasi muda rendah (hanya sampai usia 25 tahun), pada hal
kenyataannya banyak organisasi pemuda yang dimotori oleh angkatan usia rata-rata 45 tahun ke atas.
Pengertian ketiga menjelaskan bahwa generasi muda sebagian terdiri dari kelompok orang dewasa yang berumur
17-40 tahun.
Dari tiga pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa usia generasi muda tidak bisa ditentukan dalam batas yang
mutlak. Artinya usia generasi muda relatif dan dapat ditinjau secara berlainan sesuai dengan sudut pandang kita
melihatnya. Jadi, dari tiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa usia generasi muda dapat dibatasi antara 15-
40 tahun. Dalam penelitian ini generasi muda dibatasi umur 15-40 tahun, mengingat di usia tersebut kehidupan
generasi muda dalam kondisi stabil.

Karakteristik Generasi Muda


Karakteristik diartikan sebagai ciri-ciri khusus (Dep P dan K 1999, hlm. 445). Ciri atau indikator berfungsi untuk
menjelaskan secara detil tentang makna sesuatu. Sebagaimana telah kita pahami bahwa generasi muda adalah
angkatan kaum muda yang hidup dalam masa tertentu, artinya generasi muda itu sangat luas cakupan maknanya
dan tentu memiliki karakteristik tertentu yang perlu dijelaskan agar kita bener-benar memahami siapa generasi muda
sesungguhnya.

Untuk menjelaskan generasi muda secara lengkap perlu dilihat dari berbagai aspek, seperti aspek fisikal, psikis,
soaial, intelektual, emosional, dan moralnya. Mengingat penjelasan tersebut begitu luas, di sini akan dijelaskan
karakteristik generasi muda secara globalnya saja, berdasarkan pendapat fakar, yaitu:
1. Berdasarkan pendapat Andi Mappiare, salah satu ciri dari generasi muda pada masa awalnya (memasuki
usia remaja) adalah meraka sedang mengalami masa pubertas yaitu perubahan yang cepat secara fisik (organ-
organ tubuhnya) dan perubahan sikap serta sifat ke arah kedewasaan (Sudarsono 1993, hlm. 12-13).
2. Menurut Agus Sujanto, masa pemuda adalah masa ujian, penuh tantangan, dan masa bergelora yang harus
diselami. Pada masa ini pemuda dapat menentukan masa tuanya dan kedewasaannya untuk banyak berkarya
(Sujanto 1996, hlm. 161-162).
3. Menurut Sudarsono, suatu ciri kehidupan generasi muda pada masa awalnya mengalami ketidakstabilan
perasaan dan emosi, terutama dalam bersikap dan menentukan masa depan mereka. Berikutnya dalam proses
menuju kedewasaan mereka dapat mengatasi masalahnya dengan baik (Sudarsono 1993, hlm. 15).
4. Menurut Kartini Kartono, secara kejiwaan pemuda memiliki ciri-ciri khas, yaitu: belajar berdiri sendiri dalam
suasana kebebasan, berusaha melepaskan ikatan-ikatan afektif lama dengan orang tua dan objek-objek
cintanya, berusaha membangun hubungan perasaan/afektif yang baru, dan menemukan indentifikasi dengan
obyek-obyek baru yang dianggap lebih bernilai atau lebih berarti daripada obyek yang lama. Generasi muda
yang terdiri dari golongan orang dewasa yang lazimnya ia telah mencapai umur 21 tahun, dianggap sanggup
berdiri sendiri, dan bisa bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas hidupnya (Kartono 1990, hlm.33
dan hlm.184).
5. Berdasarkan Halem Lubis, dkk., generasi muda memiliki ciri-ciri yaitu di samping mengalami keadaan yang
tidak menentu di masa remaja, memasuki usia dewasa ia sudah dapat bertanggung jawab dalam segala
tindakan dan perbuatannya (Halem 2001, hlm. 149-150).
Berdasarkan ciri psikologis di atas dapat disimpulkan, bahwa generasi muda mempunyai karakteristik yang meliputi
banyak hal, yaitu pada masa remaja generasi muda akan mengalami perkembangan fisik dan kejiwaan menuju
kedewasaan seperti perkembangan tubuh, pemikiran, dan emosional. Pada karakter ini generasi muda perlu berhati-
hati dalam menyikapi masa perubahan yang terjadi agar mereka dapat berkembang secara wajar dan terarah sesuai
dengan tujuannya. Di samping itu generasi muda di masa dewasanya memiliki beban psikologis dan tanggung jawab
dalam segala perilaku dan perbuatan mereka. Generasi muda akan selalu berusaha mandiri dalam mengatasi semua
kebutuhan hidupnya.

Melihat karakteristik generasi muda di atas, secara psikologis beban yang diemban generasi muda tidak lain untuk
memberdayakan potensi diri mereka dan masyarakat, walaupun usaha itu dalam pelaksanaannya belum berhasil,
ciri-ciri yang demikian harus melekat dalam diri generasi muda, mereka harus mampu mengenal dan memahami
hakikat dan kedudukan generasi muda sebagai wujud dari mengenal diri dan peran-perannya dalam kehidupan
keluarga, bermasyarakat, dan beragama.

Pada karakteristik psikologis ini sesungguhnya genaerasi muda perlu memahami bahwa kematangan pikiran, pola
sikap, dan tindakan semata-mata dikembangkan kemaslahatan ummat, yaitu suatu tugas yang diparduhkan oleh
agama, sebagai pengabdian diri kepada Allah, dengan iktikad pengabdian yang telah dijelaskan dalam firman-Nya:
“Tidak aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepadaKu”. (Alqur’an, 51 : 56).

Dari ayat di atas juga dapat disimpulkan, bahwa generasi muda yang tergolong kelompok manusia yang beriman
diharapkan memiliki ciri mutlak yang ditentukan oleh Allah, yaitu memiliki naluri sebagai hamba (pengabdi) kepada
Allah dan mampu menjalankan perintah-perintah-Nya dalam kehidupan pribadinya, keluarga, masyarakat, negara,
dan agama.

Dinamika Kehidupan Generasi Muda


 

Globalisasi saat ini benar-benar menjadi tanpa batas, lintas suku, budaya, bangsa dan agama. Peradaban global
memberikan tantangan besar bagi dunia pendidikan. Tantangan itu, tidak hanya timbul dalam kaitannya dengan
pengembangan potensi dan aktualisasi diri sumberdaya manusia, dan bukan pula hanya sebagai pendukung
globalisasi, tetapi juga sebagai pengendali arus globalisasi yang secara gencar mempengaruhi, bahkan terkadang
merusak sendi-sendi kehidupan kita. Namun, globalisasi bukanlah momok dan tak perlu kita takuti, karena globalisasi
merupakan kenyataan dunia kekinian. Tantangan masa depan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
informasi, komunikasi dan juga seni telah memberikan warna baru terhadap pembentukan generasi muda. Kondisi ini
memang sangat memprihatinkan, dan menuntut perhatian bersama, khususnya bagi bangsa Indonesia berbagai
aspek kehidupan.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sisi negatif yang merupakan dampak dari kemajuan teknologi dan komunikasi,
seperti dari media elektronika, informatika, dan media cetak, telah membuat kehidupan generasi muda menjadi
kasus yang sering dipermasalahkan dan banyak mengundang perhatian, misalnya pemerkosaan, penggunaan obat-
obat terlarang, dan sebagainya. Dari kehadiran kemajuan ilmu dan teknologi itu cukup banyak membuat generasi
muda berhasil untuk meniti jejak karir dan mampu memberikan yang terbaik untuk masyarakat, bangsa, dan
agamanya. Namun kita menyadari karena banyak sekali produk-produk tersebut berasal dari Barat, maka pengaruh
budaya mereka menjadi lebih dominan dan hampir dapat dikatakan merusak budaya secara Islam.

Harapan kita sesungguhnya generasi muda dapat mengambil yang baik-baik dan meniggalkan yang buruknya.
Namun tidak menutup kemungkinan hal sebaliknya, seperti lebih banyak generasi muda yang tertarik dengan gaya
serta cara yang kurang baik. Maka itu perlu dibatasi tontonan atau bacaan yang bernada kekejaman atau pun
kekerasan, apalagi tontonan atau bacaan itu disebarkan diseluruh wilayah, tak perduli di kota mau pun di desa-desa,
karenanya hampir seluruh remaja Indonesia banyak yang terpengaruh.

Didalam kehidupan sekarang ini, baik di kota maupun di desa banyak kita jumpai berbagai permasalahan yang
dilakukan oleh generasi muda. Permasalahan ini timbul dikarenakan kurangnya nilai-nilai agama di kalangan
kehidupan generasi muda, sehingga seringkali meresahkan lingkungan masyarakat sekitarnya. Generasi muda
sekarang ini telah merosot moralnya, sehingga mereka seringkali melakukan perbuatan yang dapat mengganggu
ketenangan masyarakat. Gejala-gejala semacam ini mulai timbul akibat dari perubahan arus informasi dan arus
globalisasi budaya yang datangnya dari luar yang diserap oleh generasi muda melalui berbagai media massa.
Sebaliknya generasi muda ini belum punya filter untuk menangkal kedua arus tersebut, sehingga budaya-budaya
yang menyesatkan mudah mempengaruhi jalan hidup mereka.

Pengembangan sumber daya manusia merupakan bagian dari ajaran Islam yang dari semula telah mengarahkan
manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari perkembangan budaya kecerdasan. Ini
berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia menjadi makhluk individual yang
bertanggungjawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan kehidupan yang
damai, tentram, tertib, maju dan kasih sayang lahir dan batin yang dapat dinikmati bersama secara merata dalam
kehidupan ini.

 
Kedudukan Akhlak dalam Kehidupan Generasi Muda
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang sangat penting, baik secara individu maupun
sebagai masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera-rusaknya suatu bangsa,
masyarakat dan negara tergantung bagaimana keadaan akhlaknya. Dalam kaitan ini pula, kita melihat bahwa tidak
pernah suatu bangsa yang jatuh karena krisis intelektual, tetapi suatu bangsa jatuh karena krisis akhlak.
Tolak ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh
kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya.
Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan
esensinya buruk.

Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Qur’an yang suci
menegaskan bahwa (Dialah) Allah, tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai Sifat-sifat yang terpuji (al-Asma’ Al-
Husna (Q.S. Thaha (20): 8). Rasulullah Saw juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan
kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah Swt dalam semua sifat-sifatnya-Nya. Untuk mencontoh
akhlak Rasulullah tersebut, maka al-Qur’anlah yang menjadi tuntunan kita, mengingat akhlak Rasulullah adalah al-
Quran “…Budi pekerti Nabi SAW, adalah al-Qur’an…”.  Dalam konteks ini, maka prinsip asma’ al-husna semaksimal
mungkin dapat ditanamkan dalam diri manusia.
Penjelasan berikut meliputi pembahasan aplikasi akhlak pada manusia, Allah dan Alam yang memahami prinsip-
prinsip akhlak yang mulia dan terpuji harus dimiliki oleh setiap muslim. Pertama,  Akhlak terhadap Allah SWT
(Khaliq). Allah adalah pencipta alam beserta isinya termasuk manusia, yang diciptakan dengan bentuk yang sebaik-
baiknya dan berbeda dengan makhluk ciptaan lainnya. Allah berfirman dalam surat At-Tiin ayat 4, “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At-Tiin: 4).
Dengan demikian manusia harus wajib atau wajib beriman, dan bertaqwa serta tunduk dan patuh terhadap perintah
dan larangan Allah Swt yang dijadikan landasan prinsip ma’rifatullah dengan asma’ al-husna. Prinsip ma’rifatullah
harus ditanamkan untuk menghindari pengingkara terhadap Sang Pencipta. Sementara dengan menyakini asma-
asam Allah dengan akal, maka manusia yang menggunakan  akalnya  selalu berusaha  sesuai dengan kemampuan
guna memperoleh  ridha  Allah  dan selalu berserah diri kepada-Nya karena segala sesuatu merupakan kehendak
Allah. Manusia harus selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada-Nya serta ikhlas menerima
segala keputusan, dengan selalu berdoa mohon ampun atas segala kesalahan yang telah diperbuatnya.
Kedua, akhlak dengan sesama manusia, sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri pasti
membutuhkaan bantuan orang lain, karena itu manusia harus berbuat baik dan mempunyai akhlak yang tinggi
terhadap sesamanya. Menyakini kehidupan sosial merupakan bagian dari yang fana, maka menuju kekekalan hidup
adalah prinsip akan adanya hari kiamat. Prinsip eskatologi ini merupakan akhlak yang tinggi terhadap sesamanya.
Akhlak itu antara lain adalah akhlak terhadap teman sebaya, akhlak terhadap tetangga dan akhlak terhadap guru,
terhadap orang tua, dan lainnya baik yang berhubungan dengan sikap, cara berbicara, perdebatan dan pola
hidupnya harus mencerminkan dan berlandaskan prinsip tauhid ma’rifatullah, menyadari sepenuhnya asma’ al-husna
dan prinsip eskatologis.
Ketiga, akhlak terhadap diri sendiri, prinsip ma’rifatullah dengan cara menyucikan diri dan berupaya mendekatkan
diri kepada Allah menggambarkan bahwa dalam diri pribadi manusia memiliki hak untuk diperlukan dengan baik,
dijaga dan dipelihara, harus dibersihkan dari segala kotoran baik itu jasmani dan ruhani, yaitu dengan berjalan
bersuci atau dengan bertaubat. Salah satu contoh akhlak terhadap diri pribadi adalah dengan menghindari perbuatan
yang dilarang oleh agama seperti minuman alkohol, memakan makanan yang diharamkan, terlibat narkoba dan
perbuatan tercela lainnya.
                 Oleh karena itulah, prinsip akhlak terhadap diri sendiri sangatlah penting sekali bagi manusia, karena
semua itu demi kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat, yaitu dengan jalan menghindari hal-hal
yang dapat merusak jasmani dan rohani, hidup sederhana dan memperbanyak amal saleh. Dalam proses
menumbuh kembangkan potensi dasar yang dimiliki oleh manusia, untuk mencapai kepribadian yang sempurna dan
utuh hanya mungkin dapat dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan baik pendidikan
keluarga dan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
                                   Karena pada dasarnya tujuan atau sasaran dalam pembentukan kepribadian adalah terciptanya
akhlak yang mulia. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kemuliaan akhlak erat kaitannya dengan tingkat
keimanan. Sesuai dengan sabda Nabi bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin
yang paling baik akhlaknya (Jalaluddin dan Usman, 1994).
Keempat, akhlak terhadap alam, keyakinan selain akhlak di atas juga akhlak terhadap alam atau lingkungan.
Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun
benda-benda tak bernyawa, sebagaimana dalam al-Quran:  Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau
kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah…(QS. Al-Hasyr [59]: 5).  M.
Quraish Syihab menafsirkan ayat tersebut, jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau
menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah SWT, dalam arti harus
sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar (Quraish 1998, 259-270).
Dari penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi merupakan salah satu
materi sekaligus tujuan pendidikan Islam yang didasarkan kepada apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, baik
secara teoritis berdasarkan al-Qur’an maupun secara praktis melalui perilaku kehidupannya sehari-hari. Prinsip-
prinsip pendidikan akhlak ini perlu dipahami dan diaplikasikan secara komprehensif (luas) dan tidak sebatas
berakhlak terhadap Khaliq dan manusia saja, tetapi lebih dari itu, sedapat mungkin kita mampu berakhlak dengan
alam semesta ini.
 

 
Bab 3
BIOGRAFI SINGKAT BEDIUZZAMAN SAID NURSI

 
Sebelum mengkaji mengenai prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi, maka perlu dikaji terlebih dahulu
mengenai tokoh yang diteliti. Maka dari itu, kajian berikut berfokus pada penjelasan tentang biografi singkat Said
Nursi. Kajiannya meliputi masa kecil dan pendidikan Said Nursi mencakup ; latar belakang keluarga dan riwayat
pendidikan, selanjutan kegiatan keagamaan, kegiatan politik dan terakhir diuraikan tentang karya tulis Said Nursi.

Masa Kecil dan Pendidikannya


Menurut Sukanto teori kepribadian manusia disusun setidaknya dalam empat teori yakni berdasarkan pemikiran
spekulatif, tipologis, penyifatan  dan aksiologi. (Sukanto 1996, hlm. 37-38).[1] Berdasarkan keempat teori ini kajian
tentang Said Nursi dalam pembahasan ini berangkat dari teori pemikiran spekulatif dan aksiologi. Untuk mencapai
pemahaman teori ini dapat ditinjau melalui pendapat M. Arifin melalui empat asas yakni asas menyeluruh, integrasi
(kesatuan), perkembangan dan pendidikan seumur hidup (M. Arifin 2000, hlm. 51-53).[2] Menurutnya berdasarkan
keempat asas tersebut proses kepribadian manusia dapat terbentuk. Pembentukan kepribadian sebagai individu
menurut Abdullah Nasih Ulwan merupakan tanggung jawab yang paling menonjol dalam Islam. (Nasih Ulwan 1995,
h1m. xxxiii).
Menurut Abdullah Nashih Ulwan manusia sebagai individu berhak memperoleh pengarahan, pengajaran dan
pendidikan baik melalui bapak, ibu, pendidik, pengajar maupun pekerja sosial. Artinya, proses kepribadian manusia
sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan sejarah hidup seseorang. Proses tersebut dilalui manusia melalui keluarga,
sekolah dan lingkungan (Nasih Ulwan, 1995, hlm. xxxiii). Berdasarkan pendapat ini dapat dipahami bahwa
pengetahuan mengenai tokoh yang diteliti ini, setidaknya perlu ditinjau dan ketiga aspek tersebut terutama untuk
menjelaskan latar belakang keluarga dan pendidikannya.

Latar Belakang Keluarga


Nama Said Nursi sebenarnya adalah Said, karena ia anak Mirza, maka nama sebenarnya dapat juga kita sebut
sebagai Said bin Mirza. (Zaidin 2001, hlm. 7). Sedangkan nama Said Nursi, Bediuzzaman Said Nursi, Molla
Said (Mulla Said), Said Masyhur dan Said Kurdi adalah gelar yang sempat tersemat selama masa kehidupannya
yang pada dasarnya merujuk kepada tanah kelahiran, kejeniusan dan garis keturunannya.[3] Said Nursi dilahirkan
menjelang fajar musim semi pada tahun 1294 H / 1877 M[4] di desa kecil Nurs. Desa Nurs terletak di daerah Khizan
di propinsi Bitlis wilayah Turki Timur.[5] Daerah tempat kelahirannya ini terdapat lereng dan lembah gunung Taurus,
daerah danau Van (Vahide 2000, hlm. 3).
Said Nursi dilahirkan dari keluarga petani sederhana dari pasangan Mirza[6] dan Nuriye (Nuriyyah).[7] Berdasarkan
sumber Sham al-Haq al-Azzim  yang dikutip oleh Mohammad Zaidin bin Mat bahwa kedua orang tuanya dan nenek
moyang Said Nursi berasal dari suku Kurdi dan dari daerah dari Isbartah  (Isparta) (Zaidin 2001, hlm. 7-8) dan
mereka memiliki silsilah keturunan Ahl al-Bayt yakni Nabi Muhammad Saw melalui cucunya Hasan dari Mirza dan
Husen dari Nuriyah.[8] (Urkhan 1995, hlm. 8).
Said Nursi merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Durriyyah,[9] Khanim,[10] Abdullah,[11]  Said (Said
Nursi), Muhammad,[12]  Abd al Majid[13] dan Marian[14] (Zaidin 2001, hlm. 8). Said Nursi lahir pada masa
pemeritahan Sultan Abdul Hamid II, pada masa akhir dari pemerintahan Daulat Turki Usman. Pada masa ini musuh
secara intensif mencabik-cabik bangsa dan negara Turki untuk mempercepat kehancurannya, selama tiga puluh
tahun Sultan Abdul Hamid II berkuasa dan memerintah negara Turki dengan segala daya dan upaya yang
dilakukannya untuk memelihara integritas kekuasaan negara yang sangat luas, namun tidak membuahkan hasil yang
maksimal. Karena bahaya asing sudah mengetahui dan menguasai titik-titik lemah dalam tubuh negara (Ihsan Kasim
1996, hlm. 3-4).
Said Nursi meninggal tahun 23 Maret 1960. Awalnya sekitar tanggal 18 Maret 1960, Said Nursi sakit yakni demam
panas. Setelah beberapa kali tidak sadarkan diri, Said Nursi kemudian pingsan. Namun setelah sadar, beliau sudah
kelihatan sehat. Setelah menunaikan shalat subuh, beliau memanggil murid-muridnya sambil menangis, Said Nursi
berkata, “Selamat berpisah, aku akan pergi”  (Sukran Vaheda 2000e, hlm. 25). Dalam kondisi sakit beliau yang tidak
parah beliau wafat kira-kira pada pukul 03.00 pagi, 23 Maret 1960, bertepatan dengan tanggal 25 Ramadhan 1379
H.[15] Ketika itu, berat bobot tubuhnya hanya 40 kilogram dan beliau hanya meninggalkan seutas jam tangan, jubah,
dan dua puluh lira uang. Berita kematian beliau disiarkan di dalam halaman harian (koran-majalah) di Istanbul dan
Ankara. Beribu-ribu orang dari berbagai pelosok Turki hadir untuk menziarahi dan mendirikan sholat jenazah
untuknya. Toko-toko dan pasar di Urfah pada hari itu ditutup. Beliau dikebumikan di perkuburan Ulu Jami’  pada hari
kamis, 24 Maret setelah sholat Asliar (Sukran Vaheda 2005, h1m. 342-343). Akan tetapi, sekitar 12 Juli 1960
kuburan itu dibongkar oleh pemerintah sekuler (golongan anti Islam) dan jenazah Said Nursi dipindahkan ke sebuah
tempat rahasia di Isparta, sampai saat ini belum diperoleh kejelasan tempat dikuburkan Said Nursi.[16]
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa Said Nursi dilahirkan dan hidup, di suasana transisi khalifah di akhir
kekhalifahan Turki Usmani. Said Nursi memiliki garis keturunan seorang ulama terkemuka dari bangsa Kurdi.
Berdasarkan keterangan yang dipaparkan di atas Said Nursi memiliki jalur keturunan sampai ke Imam Ali bin Abi
Thalib dan Nabi Muhammad Saw. Said Nursi dikuburkan di Urfah dan kemudian jenazahnya tidak diketahui secara
jelas tempat penguburannya.

Riwayat Pendidikan
Pendidikan menjadi faktor penting dalam melihat sosok manusia. Pendidikan dalam konsep ini adalah pendidikan
secara menyeluruh, yakni pendidikan seumur hidup. Dalam hal ini asas perkembangan dan asas pendidikan seumur
hidup yang dikemukan oleh M. Arifin senada dengan pendapat Lift Anis Ma’shumah yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan potensi diri seseorang yang meliputi
tiga aspek kehidupan, yaitu pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup  (Ma’shumah 2001, hlm. 214).
Pendapat ini memiliki makna bahwa pendidikan adalah serangkaian proses yang membentuk seseorang secara
spritual, emosional dan intelektual yang padu dalam diri. Pembentukan kepribadian ini tidak pernah terlepas dari
peran keluarga, sekolah dan masyarakat – di era sekarang dikategorikan sebagai kelembagaan pendidikan sosial –
di mana pelembagaan pendidikan seperti ini terdiri dari pendidikan informal, formal dan nonformal – pembagian
pelembagaan ini bermula peradaban Barat – di mana maksud dari pelembagaan adalah sebagai suatu upaya untuk
memantapkan landasan nilai pada kegiatan pendidikan sebagai realisasi tujuan pendidikan maupun keterkaitan ilmu,
sains dan teknologi pada kepentingan dan kebutuhan manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota
masyarakat dan keluarga antar bangsa (Faisal 1995, hlm. 19). Berdasarkan pendapat ini maka, bahasan berikut ini
mencakup pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal yang melingkupi secara menyeluruh
dalam satu kesatuan pengalaman hidup Said Nursi. Melalui proses pendidikan ini diharapkan dapat dipahami sosok
Said Nursi terutama mengenai pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup yang merupakan sebuah
proses integrasi keilmuan dalam akal, hati dan praktek kehidupannya secara langsung.
 

1) Pendidikan Informal : Pendidikan Keluarga Pertama dan Utama

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan (Jalaluddin 2002, hlm. 214).
Karenanya, menurut Zakiah Drajat keluarga sebagai wadah utama pendidikan (Zakiah 1994, hlm. 41). Sebagai
pendidikan pertama dan utama secara kelembagaan dalam pendidikan informal atau pendidikan keluarga orang tua
memegang posisi sangat penting dalam menyampaikan materi atau informasi pendidikan untuk diterima oleh anak.
Materi pendidikan agama menjadi basis semua kegiatan pendidikan yang ingin diselenggarakan dalam kehidupan
keluarga. Sebagaimana yang dialami oleh Said Nursi, pendidikan agama baginya dan saudara-saudarinya begitu
diperhatikan oleh kedua orang tua mereka, hingga tercipta dalam keluarga mereka suasana religius.

Pendidikan informal Said Nursi adalah pendidikan keluarganya. Menurut Wahyu keluarga adalah “suatu kesatuan
sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh
kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Dan inti keluarga adalah ayah,
ibu dan anak” (Wahyu 1986, h1m. 57). Syahminan Zaini menyatakan bahwa keluarga merupakan lapangan
pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua, di mana orang tua adalah pendidik kodrati
(Syahminan Zaini tt, h1m. 152). Dalam proses ini orang tua dan kakak Said Nursi berperan dalam pendidikan awal
Said Nursi.

Proses pendidikan keluarga sebagai tanggungjawab terhadap anak sedikitnya mencakup 3 (tiga) pendidikan yakni
iman, akhlak (moral) dan intelektual (rasio atau akal).[17] Selama delapan tahun, Said Nursi berada dalam didikan
orang tuanya sebelum merantau menuntut ilmu (Zaidin 2001, hlm. 8-9). Waktu delapan tahun merupakan waktu yang
cukup penting bagi sejarah hidup Said Nursi. Karena fondasi iman, akhlak dan intelektual sudah dirasakannya
selama bersama keluarganya. Said Nursi beruntung memiliki keluarga yang peduli terhadap ni1ai iman, akhlak dan
intelektual. Dalam waktu yang relatif singkat ketiga pendidikan tersebut diperolehan oleh Said Nursi yang menjadi
dasar pribadi, sikap dan intelektualnya.
Pertama, pendidikan iman.  Mirza ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’ dan diteladani sebagai seorang
yang tidak pernah memakan barang haram dan hanya memberi makan anak-anaknya dengan yang halal saja (Lihat
Vahide 2000e, hlm. 3). Sosok Mirza sangat baik untuk diteladani oleh anak-anak mereka, termasuk Said Nursi. Mirza
mengajarkan kepada anak-anaknya tentang agama, berikut permasalahan-permasalahan di seputar pengajaran
agama, tentang iman dan tauhid. (Zaidin 2001, hlm. 8). Masalah keimanan dan tauhid menjadi persoalan inti yang
diajarkan oleh orang tua Said Nursi kepadanya.
Kedua, pendidikan akhlak.  Kedua orang tuanya sangat menekankan kepada pendidikan agama dengan
mengedepankan sifat-sifat baik mereka sebagai panutan atau uswah.  (Zaidin 2001, hlm. 8). Pendidikan agama
melalui keteladanan atau uswah benar-benar ditekankan oleh orang tua Said Nursi. Misalnya, Nuriyyah adalah
seorang wanita yang hanya menyusui anak-anaknya dalam keadaan suci dan berwudhu’ (Ihsan Kasim 2003, hlm. 8).
Betapa akhlak untuk memberi makan anak dalam keadaan baik, suci dan halal. Akhlak seperti ini menjadi teladan
dalam perilaku Said Nursi.
Ketiga. pendidikan intelektual. Pada masa kecilnya Said Nursi telah menunjukkan perwatakan yang menarik, yakni
suka bertanya dan mencoba mencari jawabannya sendiri, memikirkan persoalan kehidupan, kematian, dan
kemasyarakatan. Said Nursi juga sering menghadiri majelis perbincangan antar ulama di kampungnya (Zaidin 2001,
hlm. 8). Lebih-lebih lagi, majelis perbincangan antara ulama sekampungnya sering diadakan di rumah ayahnya. Ini
sudah tentu sangat besar manfaatnya, terutamanya dalam menyuburkan sifat analisis, kritis serta minatnya kepada
dialog dan perdebatan (Zaidin 2001, hlm. 8). Kejeniusan Said Nursi kecil ini semakin nyata ketika ia mampu
menghafal al Quran dalam usia 12 tahun.
Pendidikan intelektual didapatkan oleh Said Nursi dalam keluarga dengan cara belajar kepada kakaknya Abdullah –
saudara ke-3 dalam keluarga Said Nursi dan memiliki ilmu pengetahuan yang banyak – yang setiap waktu libur,
terlebih lagi akhir pekan Said Nursi selalu menerima pelajaran dari kakaknya itu, juga belajar ilmu al-Quran.

Dari pembahasan di atas diketahui bahwa pendidikan informal yang diperoleh Said Nursi dari masa kecil sampai
menuju kematangan berpikir dan bersikap sangat dipengaruhi oleh keluarga. Terutama iman, akhlak dan
intelektualnya sudah menjadi akar yang kokoh dalam sikap hidupnya. Namun, pendidikan formal juga berperan
sangat penting dalam terbentuknya kepribadian dan akhlaknya.

2) Pendidikan Formal : Pendidikan Madrasah Belajar Ilmu Agama dan Ilmu Umum Penjelasan di atas
mengemukakan bahwa latar belakang keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama sangat mempengaruhi Said
Nursi. Said Nursi menyadari perlu menjadi orang yang berpengetahuan, karenanya ia mulai berusaha keras
mempelajari berbagai macam i1mu-i1mu keislaman tradisional dan i1mu-ilmu umum yang juga berkaitan dengan
sains modern[18] di luar pendidikan keluarga melalui lembaga yang dapat dikatakan sebagai pendidikan formal atau
pendidikan sekolah. Adapun pendidikan formal yang pernah dialami Said Nursi mencakup :
1) Madrasah Muhammad Amin Afandi Tagh (Ta)
Said Nursi mulai merantau ketika berumur 9 (sembilan) tahun. Pendidikan yang pertama kali diterima oleh Said Nursi
adalah belajar di kuttab (madrasah) pimpinan Muhammad Amin Afandi di desa Thag (Ta) pada tahun 1882. Desa
Thag (Ta) berada bersebelahan dengan desa kelahiran Said Nursi. Kegiatan belajar Said Nursi di desa Thag ini
hanya berlangsung sebentar saja, karena aktivitas belajarnya pindah dan dilanjutkan di madrasah desa Birmis (Ihsan
Kasim 2003, h1m. 9-10). Bersamaan dengan itu Said Nursi belajar dengan kakaknya dan ulama terkenal di desanya,
kemudian memutuskan untak sekolah ke Birmis.
 
2) Madrasah Muhammad Nur di Birmis
Pada tahun 1883 Said Nursi pergi ke Bitlis dan mendaftarkan diri di sekolah Syaikh Muhammad Nur. Tetapi ia belajar
di sekolah tersebut hanya sebentar, sebab syaikh tersebut menolak untuk mengajarnya dengan alasan faktor usia
yang belum memadai. (Zaidin 2001, hlm. 10).

 
3) Madrasah Muhammad Amin Afandi di Arwas Bitlis
Pada tahun 1891 (1308), Said Nursi meminta izin orang tuanya untuk belajar dan pergi ke Arwas di Bitlis dan berguru
dengan Syekh Muhammad Amin Afandin (Rajah 1995, hlm. 33). Di Bitlis Said Nursi pernah tinggal serumah bersama
Walikota Bitlis dan beliau berkesempatan untuk menela’ah sejumlah besar buku ilmiah dan menghapal sebagian dari
padanya. Begitu juga beliau pun berkesempatan menelaah sejumlah besar kitab tentang ilmu kalam, mantiq (logika),
nahwu, tafsir, hadits, dan fiqh. Kemudian lebih dari delapan puluh kitab induk tentang ilmu-ilmu keislaman berhasil
dihapal (Ihsan Kasim 2003, hlm. 10-13).

4) Madrasah Mir Hasan Wali di Muks (Mukus)


Said Nursi merasa tidak puas dengan ilmu yang diperoleh dari tiga orang gurunya tersebut. Said Nursi melanjutkan
belajar di Madrasah Mir Hasan Wali di Muks. Proses ini hanya berjalan satu bulan setelah itu kemudian ia bersama
temannya berangkat menuju salah satu sekolah di Bayazid, suatu daerah yang termasuk dalam wilayah Agra. (Ihsan
Kasim 2003, hlm. 10-11).

 
5) Madrasah Muhammad Jalali di Beyazid
Pada tahun 1889, ia bersama seorang temannya berangkat menuju madrasah di Beyazid, satu daerah di Turki
Timur. Di sinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama dasar, karena sebelum ia hanya belajar Nahwu dan Sharaf
saja. Beliau belajar dengan segala kesungguhan dan secara intensif untuk jangka waktu tiga bulan lamanya. Selama
itu, beliau berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Dalam waktu
relatif singkat sekali beliau mampu menguasai matematika, ilmu falak, kimia, fisika, geologi, filsafat, sejarah, geografi,
dan lain-lain (Ihsan Kasim 2003, hlm. 8-15).

Di Madrasah Beyazid di bawah bimbingan Syaikh Muhammad al-Jalali, Said Nursi belajar dengan segala
kesungguhan dan keuletannya secara intensif dalam jangka waktu yang singkat selama tiga bulan beliau dapat
membaca seluruh buku yang umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama serta ia mendapatkan ijazah dari Syaikh
Muhammad Jalalin (Zaidin 2001, hlm. 11). Pelajaran yang diambilnya seputar ilmu al-Quran dan Nahwu Sharaf
Sebagai apresiasi dari kerja keras belajarnya, Said Nursi mampu menguasai kitab-kitab utama ketika itu dan
mendapat gelar Mulla Said (Zaidin 2001, hlm. 11).

6) Madrasah Fathullah Afandi di Si’ird


Di bawah bimbingan Syaikh Fathullah Afandi secara intensif Said Nursi mempelajari kitab Jam’ul Jawami (kitab
tentang ushul fiqhi)  karya Ibn as-Subki. Dalam waktu yang cukup singkat ia menghapalnya, sehingga Syaikh
Fathullah Afandi menulis catatan pada sampul kitab tersebut dengan kata-kata : “Laqad Jama’a fii hifzihihi’, jam’al-
jawami, jami’ihi fii jum’atin” (Sungguh seluruh kitab jam’ul Jawami’ telah mampu dihapal hanya dalam satu minggu)
(Ihsan Kasim 2003, hlm. 12).
Selanjutnya, Said Nursi menjelajahi secara terus menerus kemungkinan masih tersisa ulama, syeikh, atau guru yang
handal, untuk menguras habis keilmuan mereka, seperti Syeikh Fethullah, hingga beliau mendapatkan ilmu baru
yang semakin memantapkan dirinya untuk mengadakan debat, diskusi, dan pengajaran bagi masyarakat bawah.
Karena kemampuan intelektual yang menakjubkan itu, Said Nursi digelari gurunya Badi’ al-Zaman (keunggulan
zaman).

Ketika berada di sini, Said Nursi telah bertemu dan berdialog dengan beberapa orang guru dalam bidang ilmu-ilmu
modern. Kelemahan beliau dalam bidang tersebut telah mendorongnya membaca dan mempelajari buku-buku sains
modern yang terdapat dalam perpustakaan Talur BAslia. Akhirnya dengan inisiatifnya sendiri dan dalam masa yang
singkat beliau telah berhasil menguasai ilmu-ilmu modern seperti sejarah, geografi, matematika, fisika, kimia,
astronomi, filsafat modern, ilmu hayat dan ilmu bumi. Said Nursi juga pernah menulis beberapa buku dalam bidang
yang berkaitan, misalnya berkenaan algebra. Malangnya, buku tersebut telah musnah dalam satu kebakaran besar
yang terjadi di Van (Zaidin 2001, hlm. 17).
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan formal yang diperoleh Said Nursi mengokohkan sebagai
orang yang rasional dan bermoral. Orang yang cerdas secara intelektual juga spritual. Berwawasan luas dan
berakhlak mulia.

3) Pendidikan Non Formal : Lingkungan dan Perolehan Ilham (Ilmu Laduni)

Pendidikan non formal ini adalah proses pendidikan yang berlangsung dalam masyarakat. Perolehan jenis
pendidikan ini berlangsung alami, karena dilakukan di masyarakat dan di luar pendidikan informal dan formal, atau
pendidikan keluarga dan sekolah. Banyak yang dilakukan oleh Said Nursi yang dapat dikategorikan sebagai proses
pendidikan non formal. Kegiatan perjalanan, diskusi dan debat ilmiah, kehidupan bersama-sama, orang-orang
terdekat dan ulama terkenal. Pendidikan non formal yang dialami oleh Said Nursi dapat dilihat melalui beberapa hal
yang dapat dikatakan sebagai kegiatan pendidikan non formal mencakup:

1) Bersama Kakaknya Abdullah dan Fathullah Afandi

Pengalaman Said Nursi bersama kakaknya, hanyalah sebagai contoh mengenai pendidikan di luar pendidikan
resminya. Misalnya dalam perjalanan Said Nursi dari kota Bitlis menuju kota Syirwan dan belajar dengan kakaknya
Abdullah, kemudian ia melanjutkan penjalanan ke Si’rad untuk belajar pada seorang ulama terkenal yakni Fathullah
Afandi. Ulama ini melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya :
Ada berita engkau telah selesai membaca as-Suyuthi – kitab syarah alfiyah karya Ibnu Malik (pen.) – pada tahun
yang lalu, tapi apakah engkau juga telah selesai mempelajari kitab al-Jami’ – kitab nahwu popular (pen.) – pada
tahun in i?. Kemudian di jawab : Ya, saya telah membacanya secara keseluruhan. Kemudian Syaikh Fathullah
Afandi mulai menyebutkan beberapa permasalahan dan memberikan beberapa pertanyaan dan dijawab semua
dengan tepat oleh Said Nursi. Peristiwa ini telah membuat Syaikh Fathullah Afandi geleng kepala dan sangat kagum
dan akhirnya ia berkata : Baik…sungguh engkau ini seorang yang dikaruniai kejeniusan yang luar biasa. Namun
demikian, biarkan kami untuk mengetahui daya hapalanmu. Apakah engkau bersedia membaca beberapa baris dari
kitab ini dua kali lalu menghapalnya ?. Kemudian ia memberikan kitab Maqaamat al-Hariri. Said Nursi pun meraihnya
lalu membaca tulisan yang termaktub dalam halaman pertama dan hanya dibaca satu kali saja. Ternyata hanya satu
kali saja membaca, beliau mampu menghapalnya. Tentu saja apa yang terjadi membuat Syaikh Fathullah Afandi
semakin kagum, sehingga ia berkata lagi : Sungguh perpaduan antara otak jenius yang luar biasa dengan daya
hapal yang luar biasa seperti engkau miliki merupakan kejadian yang sangat jarang (Ihsan Kasim 2003, hlm. 10-13).
 

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa efek dari ketekunan Said Nursi dalam lingkungan masyarakat beliau
diilhami keilmuan yang dalam dan luas. Semuanya merupakan implikasi dari perjalanan secara menyatu dalam diri
Said Nursi baik dalam pendidikan informal, formal maupun non formal yang dijalani Said Nursi dalam satu kesatuan
diri.

2) Pengalaman Berdiskusi, Berdebat bersama Tokoh Intelektual dan Ulama

Berkat potensinya yang mampu menyerap berbagai disiplin ilmu dan otaknya yang sangat jenius, popularitas beliau
segera tersebar dan diberi gelar Bediuzzaman (keindahan Zaman) (Said Nursi Tarihi Hajat 1999e, hlm. 45). Dalam
perdebatan ilmiah, Said Nursi dengan penguasaannya dalam bidang agama dan sains modern menjadi perhatian
banyak orang.

3) Motivasi Melalui Mimpi dan Ilham

Bartol dan Martin (1991, hlm. 451) memberikan pengertian motivasi adalah kekuatan yang menggerakkan perilaku,
memberi arah pada perilaku dan mendasari kecenderungan untuk tetap menunjukkan perilaku tersebut. Said Nursi
memiliki gerakan perilaku melalui mimpi bahwa dirinya melihat Rasulullah Saw. Peristiwa tersebut selalu diingat
sampai akhir hayatnya. Dalam mimpi tersebut beliau melihat seolah-olah kiamat telah terjadi dengan segala kejadian
yang sangat mengerikan dan seluruh manusia dihimpun. Ketika itu, perasaan ingin melihat Rasulullah Saw begitu
menggebu-gebu, tapi bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, di manakah dirinya dapat menjumpai beliau dalam
keadaan berdesakdesakan seperti ini?. Pada waktu dirinya sedang berpikir demikian dalam keadaan sedang berada
di tengah kerumunan orang banyak, terlintaslah dalam benak pikirannya untuk pergi ke Shiratal Mustaqim (jembatan
menuju Surga). Karena Rasulullah Saw pun pAsli akan melintasi jembatan tersebut. Dengan demikian bergegaslah
Said Nursi menuju ke sana dan di sana ia menunggu Rasulullah Saw. Melintasinya, selama dalam penantian ini,
para Nabi melewatinya, lalu tangan mereka dijabat dan dicium. Kemudian Rasulullah Saw yang dinanti-nanti pun
lewat padanya. Ketika itu dirinya adalah seorang Said Nursi yang masih kecil yang sedang berada dihadapan beliau
sambil menciumi kedua tangannya. Setelah itu, ia memohon dan beliau agar diberi ilmu lalu Rasulullah Saw
bersabda kepadanya : “Engkau akan diberi ilmu al-Qur’an dengan syarat engkau tidak boleh meminta-minta kepada
siapapun dari kalangan umatku”. (Ihsan Kasim 2003, hlm. 15-16). Pada fase berikutnya, atas kehendak Allah Swt
menjadikan beliau begitu cepat menguasai berbagai ilmu keagamaan, termasuk ilmu al-Quran, hadits, fiqh, dan ilmu
lainnya.
 

4) Kecerdasan Hati atau Intuisi Memperoleh Ilmu Laduni

Salyidain menyatakan bahwa intuisi menurut Iqbal adalah isyq atau cinta atau kadang-kadang disebut “pengamatan
kalbu” yang memungkinkan kita secara langsung menangkap dan mengamat serta bertautan dengan kenyataan
secara keseluruhan (Salyidain tt, hlm. 102- 103). Artinya, intuisi adalah semacam perasaan yang bergerak di dalam
batin manusia, yang merupakan suatu mata batin yang tajam, tetapi tidak boleh disamakan dengan sifat
kemanusiaan yang utuh.
Perolehan ilmu laduni adalah implikasi proses pendidikan yang didapatkan oleh Said Nursi langsung melalui Allah
melalui ilham illahi. Pendidikan ini secara intensif diperolehnya ketika ia menulis Risale-i Nur. Cahaya hati dan
keyakinannya yang mendalam kepada Allah menyebabkan ia mampu menembus alam ghaib, sehingga ia dapat
berdiskusi dan berdialog langsung dengan Nabi Muhammad (Said Nursi Mektubat 2003b, hlm.275).

Dari pembahasan di atas diketahui bahwa riwayat pendidikan Said Nursi baik informal, formal maupun pendidikan
non formal telah mempengaruhi pemikiran, perilaku, sikap dan ruhnya dalam segenap kehidupannya, terutama
dalam menyuburkan sifat analisis, kritis serta senang kepada dialog dan perdebatan. Sistematika proses pendidikan
Said Nursi yang integratif menggambarkan kompetensi Said Nursi sebagai i1muwan dan ulama dalam kajian
keagamaan dan terdapat praktik antara penguasaan ilmu dan perilaku akhlak mulia. Proses pendidikan dan
kompetensi ini memperkuat bahwa Said Nursi adalah filosof-sufi.

Kegiatan Keagamaan
Sebenarnya banyak sekali yang dilakukan oleh Said Nursi untuk menyebarkan dakwah Islam di Turki. Tanda-tanda
Said Nursi sebagai tokoh, ulama dan guru bagi seluruh masyarakat Turki, sudah mulai nampak sejak kecil. Berikut ini
dipaparkan beberapa hal yang berkaitan kegiatan keagamaan Said Nursi.

 
1. Mengajar Umat Gratis
Pada tahun 1907 M. sampailah Badiuzzaman di ibu kota Istanbul. Di sana beliau tinggal di khan asy-Syakrizi yang
terletak di wilayah Fatih. Tercatat, bahwa hotel ini merupakan tempat tinggal sejumlah para pemikir dan pujangga,
seperti penyair kenamaan yang bernama Muhammad ‘Akif dan kepala intelejen yang bernama Fatih, juga seorang
guru bahasa kenamaan yang bernama Jalal dan lain-lain.
Selama berada di ibu kota Istanbul beliau telah menggantungkan sebuah papan di depan pintu kamarnya yang
bertuliskan: “Gratis”!!! Di sini akan terjawab setiap pertanyaan dan setiap problema pasti akan terpecahkan”. Ini
merupakan pernyataan asing dan menarik perhatian yang membuat popularitas Said Nursi semakin luas yang
sebelumnya juga sudah terkenal di ibu kota Istanbul dan membuat orang-orang ingin melihatnya secara langsung
(Salih 2003, hlm. 15-16)

Di ibu kota Istanbul Said Nursi menyampaiikan usulan kepada Sultan Abdul Hamid agar didirikan sebuah madrasah
bernama Madrasah Az-Zahrah yang ilmu agama dan ilmu sains diajarkan secara bersama di Turki Timur. Usulan ini
disampaikan, karena penduduknya sangat didominasi oleh kebodohan dan kemiskinan, juga sangat dicekam oleh
kediktatoran, sistem keamanan, dan para intel dai kalangan istana Yaldaz. Tetapi usulan ini hanya membuat orang-
orang dekat Sultan yang hakikatnya tidak mencerminkan pemikiran Sultan membawa beliau ke beberapa dokter
untuk diperiksa dan diteliti daya nalar otaknya. Kemudian para dokter berketetapan untuk menempatkannya di RS
Jiwa Topbasyi.
Ketika salah seorang dokter hadir untuk memeriksa daya nalar otak Said Nursi, kepada dokter ini beliau
menyampaikan apa yang terlintas dalam benak sang dokter. Kejadian I telah mendorongnya mebuat keterangan :
“Jika memang terdapat sedikit saja kegilaan pada Said Nursi, ini artinya bahwa di seluruh muka planet bumi ini tidak
seorang pun ada yang berakal sehat” (Salih 2003, hlm. 17-18).

Kemudian  Said Nursi berangkat menuju Salonika dan di sana beliau berkenalan dengan para tokoh al-Ittihad Wa at-
Taaraqqi (Perpaduan dan Kemajuan). Langkah ini ditempuh, dengan pertimbangan karena dirinya juga sebagai
seorang yang menyarakan dan menyerukan kebebasan dan prinsip musyawarah secara Islami. Di sana ia mendapat
sambutan hangat dari para pemimpin al-Ittihad Wa at-Taraqi. Namun demikian, mereka tidak berhasil mengajaknya
untuk menjadi pengikut mereka. Kasus ini terjadi, karena ia tetap pada prinsip pemikiran dan kepribadiannya.
Kemudian saat dirasakan bahwa sebagian di antara mereka ada yang goyah pendiriannya dan bersikap memusuhi
agama (Islam), ia pun berkata: “Kalian ternyata memusuhi agama dan berpaling dari syari’at” (Salih 2003, hlm. 19-
20).
 
2. Menjadi Anggota Darul Hikmah al-Islamiyah
Di ibu kota Istanbul Said Nursi diangkat menjadi anggota Darul Hikmah al-Islamiyah tanpa sepengetahuannya
sebagai penghargaan baginya (13 Agustus 1918 M). Tercatat bahwa para anggota Darul Hikmah ini hanya
merupakan ulama terkemuka saja. Ketika itu para anggotanya terdiri dari: Muhammad ‘Akif (penyair kondang), Ismail
Hakki (seorang ulama kenamaan), Hamdi Almalali (mufassir terkenal), Mustafa Shabri (syaikul Islam), Sa’duddin
Pasya, dan lain-lain.
Pada periode ini pemerintah telah menganggarkan gaji untuknya. Tetapi ia hanya mengambil sekedar untuk
memenuhi hajat hidup pokok saja. Sedangkan sisanya dibelanjakan untuk biaya mencetak sebagian dari karya
ilmiahnya yang dihimpun dalam Rasal an-Nur yang kemudian dibagikan secara cuma-cuma kepada kaum muslimin
(Salih 2003, hlm. 34-36).
 
 
 
3.Transformasi Spritual
Perubahan dalam diri Said Nursi adalah ketika dia merasa perubahan dalam dirinya, ketika Ia berada di lembaga
Darul Hikmah al-Islamiyah, ia pernah mengalami transformasi spiritual sebagai berikut:

Sadar diriku berada di dalam ‘rawa’ aku mencari bantuan, mencari jalan keluar dan panduan. Aku melihat ada
berbagai jalan, dan saat ragu jalan mana yang harus ikuti, aku mencari penjelasan pada kitab Futuh al-Gaib, tulisan
Syaih Abdul Qadir Jailani. Muncul kalimat berikut di hadapanku: Kamu berada di Darul Hikam (Rumah
Kebijaksanaan); mencari dokter (rohani) yang akan menyembuhkan hatimu. Anehnya, aku memang anggota Darul
Hikam (lembaga para ilmuwan tersebut). Aku dianggap sebagai ‘dokter’, seorang pembimbing rohani, yang
diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit rohani umat Islam; sementara sayalah yang secara rohani sakit
lebih parah daripada yang lain, dan aku harus mengobati diriku sendiri sebagai pasien. Setelah itu, aku membaca
kitab Maktubat (Surat-surat) karya Imam Rabbani, dan mempelajarinya dengan niat yang suci. Imam Rabbani juga
dengan tandas memberikan nasihatnya dibanyak surat yang lain, ‘Menyatukan arah yang akan engkau tuju,’ yakni
‘ambil satu saja pemimpin atau satu jalan ke arah kebenaran.’ Tetapi, nasihat beliau yang paling penting ini tidak
sesuai dengan watak dan perangaiku. Kadang-kadang pikiranku tidak bisa memutuskan mana yang harus diikuti.
Karena setiap jalan memiliki daya tarik sendiri-sendiri, maka sulit bagiku untuk menyenangi salah satu jalan dan
mengikutinya. Saat aku dalam kebingungan, dengan Kasih Sayang Allah SWT aku menjadi tahu bahwa ujung semua
jalan tersebut, sumber dari semua saluran tersebut, ‘matahari yang dikelilingi oleh semua ‘planet’ tersebut, tak lain
adalah al-Qur’an yang penuh hikmah, yang bisa menyatukan semua arah (Said Nursi 2003, hlm. 487-488).
 

Transformasi spiritual inilah yang menjadi penyebab perubahan Said Qadim ke


Said Jadid. Pada  masa-masa ini dan ketika Inggris berhasil menduduki Istanbul (16
Maret 1920), Badiuzzaman berhasil menyelesaikan buku karangannya yang
berjudul al-Khuthuwat as-Sitta (Enam Langkah ) yang diterbitkan secra sembunyi-
sembunyi dengan bantuan para murid dan teman-temannya… Buku ini berisi serangan
Badiuzzaman kepada Inggris yang disampaikan dengan nada keras dan berupa
klarifikasi tentang berbagai syubhat yang santer menjadi buah bibir masyarakat luas
dengan disertai sejumlah dalil argumetatif. Buku tersebut juga berisi ajakan kaum
muslimin tetap optimis dan memerangi sikap pesimis yang selama ini tampaknya
menguasai masyarakat, serta berisi seruan agar mereka berbakal tekad kuat.
 
Kegiatan Politik
Secara bersamaan dalam kehidupanya Said Nursi jelas berkaitan erat dengan kegaitan politik. Kajian berikut akan
menjelaskan fokus kepada kegiatan politik yang pernah dilakukan oleh Said Nursi semasa hidupnya, sebagai
berikut :

1. Menentang Inggris
 

Diantara serentetan rencana jahat yang dilakukan Inggris terhadap Islam melalaui gereja Anglikan adalah enam
pertanyaan yang disampaikan kepada para ulama Islam agar dijawab dengan enam ratus kata. Kemudian
pertanyaan ini oleh para ulama disampaikan kepada Badiuzzaman dan dijawab: “Sesunguhnya jawaban enam
pertanyaan ini tidak harus denggan enam ratus kata dan tidak pula dengan enam kata…, juga tidak harus dengan
satu kata…,melainkan cukup dengan ludah yang disemburkan  kepada muka orang-orang Inggris terkutuk.” (Salih
2003, hlm. 39-40).
Gerakan anti pendudukan asing di Anatolia mulai beraksi. Syaikhul Islam Abdullah Afandi pun di bawah tekanan
pemerintahan kolonial Inggris mengeluarkan fatwa menentang gerakan dan para pelaku aksi ini. Tetapi segera fatwa
ini dibantah lagi dan dinyatakan batal oleh fatwa yang dikeluarkan oleh tujuh puluh enam ulama bersama tiga puluh
enam ilmuwan dan sebelas anggota DPR (anggota parlemen).

2. Said Nursi Masa Pergolakan


Said Nursi di zaman pergolakan ini terjadi pada 1908-1912, ketika itu ia berjuang keras demi untuk menegakkan satu
sistem kelembagaan yang berteraskan Syariat Islam. Memandang pengaruh Said Nursi serta ketokohannya, para
pimpinan gerakan ini mencoba membujuk dan mempengaruhinya menyertai gerakan mereka. Antara mereka yang
datang  menemuinya ialah Emanuel Carasso, seorang yang Yahudi berkebangsaan Itali. Tetapi apa yang berlaku
adalah sebaliknya, sehingga dia berkata: “Lelaki ajaib ini hampir-hampir menyebabkan aku memeluk Islam dengan
kata-katanya” (Zaidin 2001, hlm. 32).

Dalam tahun 1908, satu pemberontakan telah meletus Revolusi Turki Muda (The Young Turk Revolution) yang
didalangi oleh Pertubuhan Perpaduan dan Kemajuan telah berhasil memaksa Sultan mengaktifkan semua
kelembagaan. Walaupun Said Nursi menyokong usaha untuk mengembalikan kelembagaan dalam negara, tetapi
Revolusi Turki Muda tidak disetujuinya. Ini jelas dari sikap Said Nursi yang berpegang kepada prinsip kesederhanaan
(menolak kekerasan) dalam menuntut sesuatu keadilan atau kebaikan. Lebih-lebih lagi, Pertumbuhan Perpaduan
dan Kemajuan yang menjadi penggerak utama ke arah tercetusnya revolusi tersebut bergerak di atas teras
perjuangan yang menyimpang dari ajaran Islam (Zaidin 2001, hlm. 33).
Said Nursi terus menyampaikan idenya kepada masyarakat tanpa dapat dipengaruhi oleh mana-mana pihak. Beliau
melihat hanya dengan Perlembagaan Islam yang mampu mengembalikan kekuatan dan kemakmuran dakwah. Ini
jelas dari pidato yang disampaikannya di Salanik selepas pengisytiharan kelembagaan tersebut. Di antara
ucapannya, seperti dikutip Zaidin (2001, hlm. 34): “Berhati-hatilah saudara-saudaraku, jangan kamu hancurkan
kebebasan ini dengan kematian kali kedua dengan tindakan-tindakan yang bodoh dan pengabaian dalam urusan
agama. Sesungguhnya Undang-Undang Asas yang berfraksikan kepada Undang-Undang Islam (Syariat) adalah
malaikat maut yang akan menyentap semua ruh isme-isme yang merusakkan, akhlak buruk, tipu daya syaetan dan
penyelewengan yang hina.”
Pada 5 Oktober 1908 (9 Ramadan 1326 H), Austria telah mengumumkan kemasukan Bosnia dan Hersegovina ke
dalam negara tersebut. Sebagai tindak balasan, kerajaan telah menyatakan memboikot semua barang Austria dan
gedung-gedung jualannya. Aktifitas perniagaan dan perdagangan di Istanbul mulai terhambat (Zaidin 2001, hal. 37).
Keadaan ini berimbas juga pada kehidupan hampir dua puluh ribu masyarakat buruh dari bangsa Kurdi. Akhirnya
mereka melancarkan mogok dan tidak lagi mematuhi arahan ketua-ketua mereka. Suatu hari, kumpulan buruh yang
berada di Khan Ashirah mulai bertindak liar.

Said Nursi yang mendengar berita tersebut terus bergegas ke sana dan memberikan nasihat kepada mereka. Antara
lain kata-katanya ialah:

Musuh kita adalah kejahilan, keperluan dan perselisihan. Kita akan memerangi ketiga-tiga musuh ini dengan senjata
kemajuan, pengetahuan dan penyatuan. Oleh itu kita perlu bantu membantu dan berganding bahu dengan orang-
orang Turki. Mereka adalah saudara kita,…mereka telah menyadarkan kita dari kealpaan dan mendorong kita dari ke
arah ketamadunan. Ya, kita akan bersatu dengan mereka (orang Turki) dan mereka yang berjiran dengan kita kerana
permusuhan dan perseteruan adalah kebinasaan. Kita sebenarnya tidak mempunyai waktu untuk bermusuhan
(sesama sendiri)… (Said Nursi dalam Zaidin 2001, hlm. 38).

Sungguh luar biasa pengorbanan Said Nursi yang telah berani meredamkan amarah buruh bangsa Kurdi yang sudah
menggunung, karena mereka sudah tidak percaya kerajaan yang sudah membaikot barang Austria. Said Nursi
secara tegas mengatakan musuh kita bukan orang-orang Turki, tapi musuh kita kejahilan dan perselisihan. Orang
Turki adalah saudara sendiri bukan musuh, karena perseturuan dan permusuhan justeru akan membinasakan kita
sendiri. Akhirnya, mereka semua menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan dengan mendemo kerajaan
kekeliruan yang harus dibenahi.

3. Ikut Perang Dunia I (1918-1923)


Bagian ini akan memaparkan keterlibatan Said Nursi dalam Perang Dunia I menentang tentara Rusia dan Armenia.
Corak perjuangannya yang sederhana (tanpa senjata dan kekerasan) telah diubah kepada perjuangan bersenjata
apabila berhadapan dengan musuh-musuh luar (bukan Islam).

Said Nursi dan Inggris (1918-1923), fatrah ini menyaksikan bagaimana Said Nursi menggunakan segala ruang yang
ada untuk menyedarkan umat Islam dan membangkitkan semangat mereka supaya berjihad menentang penjajah:

Pada 5 April 1909, Parti al-Ittihad al-Muhammadi telah ditubuhkan di Istanbul. Ia diasaskan oleh Darwish Wihdati.
Pertumbuhan politik Islam ini  secara umumnya adalah tindak balas masyarakat Islam yang merasa bimbang dengan
perkembangan yang berlaku dalam negara di bawah pemerintahan Parti Perpaduan dan Kemajuan. Mereka
menuntut supaya Syariat Islam ditegakkan semula dalam negara. Antara kesan daripada protes mereka terhadap
kerajaan ialah berlakunya penutupan kedai minuman keras dan pusat teater. Mereka juga menuntut supaya kerajaan
membuat sekatan ke atas Gerakan Kebebasan Wanita (Zaidin 2001, hlm. 32).

Said Nursi yang menyertai pertumbuhan politik ini, turut sama memberi sumbangan dengan menyampaikan ide-
idenya kepada masyarakat melalui akhbar Volkan yang merupakan lidah rasmi pertumbuhan tersebut. Bahkan Said
Nursi sendiri telah berucap sewaktu pertubuhan ini diasaskan. Di samping Volkan, Said Nursi juga menulis di dalam
akhbar-akhbar lain seperti al-Aqbah, Surbasti, Mizan, al-Misbah dan lain-lain lagi (Zaidin 2001, hal. 38).

Meskipun Said Nursi menyokong Parti al-Ittihad al-Muhammadi, sokongan ini sedikitpun tidak menyekat beliau dari
menyatakan kebenaran, maupun mengkritik mana-mana pihak yang dilihatnya tidak bertindak sewajarnya. Ini terbukti
apabila sebagian kritikannya juga ditujukan kepada golongan pengarang, termasuklah Darwish Wihdati sendiri, yang
tidak memperlihatkan adab-adab penulisan yang Islamik. Antara kritikannya, “Sasterawan seharusnya beradab,
terutamanya dengan adab-adab Islam supaya (kekuatan) agama itu dapat menjadi pengawal dalam bidang
penulisan.

Dalam tahun 1910, Said Nursi meninggalkan Istanbul dan kembali ke Wan melalui Batum (Batum). Dalam
perjalanan, Said Nursi singgah di Tiflis (Tiflis) untuk melihat suasana bandaraya tersebut. Untuk itu, Said Nursi pun
mendaki Bukit Shaykh Sanan dan untuk seketika Said Nursi memandang ke arah bumi yang berada di bawah
jajahan Rusia. Seorang pegawai polis Rusia datang menghampirinya. Setelah sampai ke Wan, Said Nursi mulai
menyampaikan kuliah-kuliah agama kepada masyarakat. Himpunan soalan serta jawaban yang diberikan dalam
kuliah itu dimasukkan oleh Said Nursi dalam kitabnya al-Munazarat. Karangan dalam bahasa Turki ini kemudiannya
diterjemahkan kedalam bahasa Arab judul Rajtat al-awwam. Kitab ini telah dicetak di Istanbul dalam tahun 1913
(Zaidin 2001, hlm. 44-46).
Ketika terjadi pemberontakan besar 31 Maret pada tahun 1909, ia telah coba mententeramkan keadaan. Pada tahun
1911, Ia pergi ke Damaskus untuk menyampaikan khutbah di Masjid Umayyah tentang kondisi umat Muslim dan cara
mengatasi masalah-masalahnya. Dalam perang dunia I, Badiuzzaman menjadi pemimpin pasukan sukarelawan di
medan perang Kakasia dan Turki Timur. Dalam pertempuran ini Said Nursi bersama para muridnya dengan segala
daya yang dimiliki turut serta menghadapi tentara Rusia. Kemudian selama terlibat dalam pertempuran tersebut ia
pun berhasil menyusun tafsirnya yang sangat berharga, Isyarat al-I’jaz Fi Mazhan al-Ijaz, dalam bahasa Arab. Said
Nursi pun tertangkap oleh pasukan tentara Rusia dan dibawa ke salah satu markas tawanan militer di Qustarma
yang terletak di Timur Rusia (Salih 2003, hlm. 25-29).
Setelah 2 tahun Said Nursi pulang ke Istanbul pada tahun 1918. Kemudian Said Nursi diangkat menjadi
anggota Darul Hikmah al-Islamiyyah – Lembaga ilmiah milik para ulama Turki Usmani – tanpa sepengetahuannya
sebagai penghargaan baginya.  Dalam tesis Zaidin (2001, hlm. 49) dituliskan pula tentang penugasan Said Nursi
untuk memimpin perang. Ini terjasi pada 1912, dalam minggu-minggu pertama tercetusnya Perang Balkan, Said
Nursi telah dilantik memimpin pasukan Sukarelawan dari selatan anadul (Anatolia). Said Nursi kemudiannya di saat-
saat hampir tercetusnya Perang Dunia I diberi kepercayaan untuk menganggotai al-Tashkilat al-Makhsusah.
Kerajaan telah membuat keputusan untuk menyebarkan Fatwa Jihad keseluruh dunia Islam. Beliau telah ditugaskan
melaksanakan misi tersebut ke Libya (Afrika Utara). Dengan menaiki kapal selam Jerman, Said Nursi dan
pasukannya berangkat ke sana. Misinya ini adalah untuk menghubungi Sayyid Muhammad Idris al-Sanusi yang
ketika itu sedang berjuang menentang tentara Itali.
 

4. Menentang Mustafa Kemal Attatruk


Said Nursi berulang kali diundang ke Ankara oleh Mustafa Kamal, sehingga ia berangkat juga ke sana pada tahun
1922, sebelum Hari Raya Qurban tahun itu, dan kedatangannya ini telah disambut dengan meriah. Sayangnya beliau
tidak betah di Ankara karena melihat kebanyakan di antara para anggota dewan tidak aktif shalat, sebagaimana
perilaku Mustafa Kamal pun tampak berlawanan dengan Islam suatu hal yang membuat ia sangat sedih. Dengan
demikian, beliau berketetapan utuk mencetak pernyataan pada tanggal 19/1/1923 M. yang membuat sepuluh materi
yang dialamatkan kepada para anggota dewan, sebagai nasihat dan peringatan Islami.

Kemudian pernyataan ini dibagiikan kepada  para anggota dewan yang dipimpin oleh Jenderal Kazhim Qurah Bakar
(Panglima Besar  Gerakan Kemerdekaan). Buah dari langkah tersebut telah berhasil menyadarkan kira-kira enam
puluh di antara mereka menjadi orang-orang taat beragama dan aktif menjalankan shalat, sehingga masjid yang ada
di sana tidak mampu menampung jamaah dan akhirnya dipindahkan ke ruangan yang lebih besar.

Mustafa Kamal rupanya tidak senang dengan pernyataan ini dan oleh karena itu dia memanggil Said Nursi.
Kemudian, terjadilah pembicaraan seru di antara keduanya. Di antara kata-kata yang disampaikan oleh Mustafa
Kamal saat itu:

Sejujurnya, bahwa kami sangat membutuhkan orang seperti Anda. Untuk itu kami sengaja mengundang Anda ke sini
agar kami bisa mengambil manfaat dari pendapat-pendapat Anda yang sangat berharga. Tetapi langkah pertama
yang Anda sampaikan kepada kami ternyata urusan shalat yang membuat di antara sesama anggota majelis di sini
terpecah. Seraya memberi isyarat dengan telunjuknya, Badiuzzaman menjawab pernyataan Mustafa Kamal :
Pasya…Pasya… Sesungguhnya hakikat yang paling menonjol sesudah iman adalah shalat. Sesungguhnya orang
yang tidak menjalankan shalat adalah pengkhianat, sedangkan kepemimpinan seorang pengkhianaat di mata hukum
adalah tidak diterima…..Mendengar jawaban ini Mustafa Kamal berpikir hendak menjauhkannya dari Ankara. Untuk
itu, beliau ditawari jabatan sebagai penasihat umum wilayah timur dengan gaji yang menggiurkan. Tetapi Said Nursi
menolak tawaran ini (Salih 2003, hlm. 41-43).

Setelah merasakan adanya niat buruk yang dialamatkan kepada Islam dari sejumlah pihak pemerintah di Ankara,
maka Said Nursi pun pergi meninggalkan kota ini. Ia pergi dari sana dengan hati yang sedih dan membuat dirinya
banyak melakukan tahajjud, ibadah, dan pengaduan kepada Allah atas keadaan yang terjadi menimpa kaum
mulimin. Ia pergi menuju kota Wan dan tinggal di sebuah rumah kumuh yan tidak berpenghuni yang terletak di
gunung Ark. Di sanlah untuk sekian lama waktunya dihabiskan dengan mengasingkan diri dari keramaian. Di sanalah
beliau i’tikaf dan mengheningkan cipta, seolah-olah bahwa Allah sedang mmpersiapkan dirinya untuk tampil
menghadapi tugas berat dan bahaya yang hendak menghancurkan Islam ( Salih 2003, hlm. 43-45).
 

5. Perjuangan Menuju Rumayli (Rumelia)


Selepas berada di Sham, Said Nursi pergi ke Bayrut (Beirut) dan kemudiannya kembali ke Istanbul melalui jalan laut
pada Jun, 1911. Said Nursi telah dipilih sebagai wakil dari Timur Turki untuk mengiringi Sultan Rashad dalam satu
lawatan ke Rumayli, sebuah kawasan Eropa di bawah kekuasaan Turki. Rombongan Di-Raja ini berangkat dengan
menaiki kapal perang Barbarossa dan mereka sampai ke Salanik pada 7 Juni 1911. Pada 11 Juni 1911, rombongan
tersebut sampai ke Uskup (Skopje), sebuah bandaraya bersejarah, yang juga merupakan ibukota Qusuwa (Kosovo).
Dalam perjalanan ini, dua orang pengikut Sultan yang berpendidikan sekolah modern berbual dengan Said Nursi
(Zaidin 2001, hlm. 48).

Pada ketika itu, sebuah universitas sedang dibina di Qusuwa. Said Nursi mengambil kesempatan ini dengan
menjelaskan kepada Sultan dan beberapa orang pemimpin Partai Perpaduan dan Kemajuan tentang betapa
perlunya dibina sebuah universitas di Timur Turki. Rencana tersebut telah disambut baik oleh Sultan. Setelah
Qusuwa jatuh ketangan Rusia dalam Perang Balkan, peruntukan sejumlah 19.000 lira yang disediakan bagi
penubuhan universitas di Timur Turki atas permintaan Said Nursi sendiri. Setelah kembali ke Wan, Said Nursi terus
meletakkan batu pertama pendirian universitas tersebut di Irtamit (Edremit), berhampiran dengan Tasik Wan (Zaidin
2001, hlm. 48-49). Kendati proyek terebut tidak membuahkan hasil yang membanggakan disebabkan meletusnya
Perang Dunia I.
Meskipun sepanjang hidupnya dia selalu menentang segala pemberontakan dan gerakan yang bermaksud memecah
ketenteraman dan keteraturan masyarakat, dan selalu menandaskan bahwa hak-hak setiap orang tidak boleh
dilanggar meskipun demi kepentingan seluruh masyarakat, dia dituduh membangun organisasi-organisasi rahasia
yang bertujuan menghancurkan ketenteraman masyarakat.

Ketika dalam persidangan dia ditanya pendapatnya tentang negara Republik Turki, dia menjawab : “Biografi saya
yang kalian pegang itu membuktikan bahwa saya ini warga negara republik yang religius bahkan sebelum kalian lahir
ke dunia. Dia ditahan selama 11 bulan di penjara sebelum akhirnya diputus tidak bersalah” (Salih 2003, hlm. 66).

Setelah dibebaskan, dia dipaksa tinggal di Kastamonu. Semula dia tinggal di lantai teratas kantor polisi itu, kemudian
dipindahkan ke sebelah rumah tepat dia seberangnya. Dia menetap di Kastamonu selama tujuh tahun, dan beberapa
bagian penting dari Risalah An-Nur ditulisnya disana. Selama masa ini, baik dia maupun para santrinya (dari
Kastamonu dan daerah-daerah lain) terus-menerus mendapatkan tekanan dari pemerintah. Tekanan tersebut kian
lama kian meningkat, dan berpuncak dengan penangkapan besar-besaran dan pengadilan serta pemenjaraan di
Denizli pada tahun 1943-1944. Dia dituduh membentuk tariqah Sufi dan mengorganisir masyarakat politis. Meskipun
tuduhan itu akhirnya gugur, tetapi Said Nursi dikurung selama 9 bulan dalam sebuah sel yang kecil sekali, gelap dan
pengap dalam kondisi yang sangat menyedihkan sampai ia dibebaskan pada tahun 1944:

Setelah dibebaskan, Said Nursi dikirim ke kota Emirdag, Propinsi Afyon agar menetap disana. Pada tahun 1948
sebuah perkara baru dibuka di Pengadilan Pidana Afyon. Pengadilan memvonis dia dengan semena-semena, tetapi
vonis tersebut dibatalkan melalui banding, dan Said Nursi besrta murid-muridnya dinyatakan tidak bersalah. Setelah
itu dia berpindah-pindah tempat tinggal seperti ke Emirdag, Isparta, Afyon, dan Istanbul. Pada tahun 1953 dia diadili
sekali lagi, kali ini dengan tuduhan menerbitkan A Guide for Youth (Petunjuk bagi Para Pemuda), dan kembali
dinyatakan tidak bersalah. Pada saat wafatnya di Urfah, 23 Maret 1960, yang mungkin bertepatan dengan Lailatul
Qadar, penyelenggara pemakaman menemukan peninggalannya berupa sehelai surban, sepotong pakaian, dan
uang dua puluh lira (Salih 2003, hlm. 67).
 

Said Nursi di depan pengadilan pernah menyampaikan pembelaan yang sangat terkenal. Berikut ini akan kita kutip
sebagian daripadanya:

Bapak-bapak hakim yang terhormat: Saya telah dihadapkan ke persidangan ini dengan tuduhan bahwa saya
seorang yang telah menjadikan agama sebagai jalan untuk membuat kekacauan dan merusak keamanan umum.
Pada kesempatan ini, izinkan saya untuk menyampaikan pernyataan kepada Bapak-bapak sekalian:            Dampak
suatu perbuatan tidak bisa dituduh sebagai faktor penyebab suatu kasus sampai terjadi dan tidak dapat dituduh
sebagai biang keladinya. Memang, bisa jadi batang korek api dapat membakar rumah. Tetapi kemungkinan ini tidak
berarti sebagai biang segala tindakan kriminal. Aktivitasku yang hanya terfokus menggeluti ilmu-ilmu keislaman
hanya dijadikan sarana untuk memperoleh ridha Allah, jauh bumi dari langit untuk dipergunakan selain dari itu.    
Bapak-bapak telah betanya: Apakah saya termasuk orang-orang yang aktif dalam kegiatan seperti yang dilakukan
para pengikut thariqah sufisme? Pertanyaan ini saya jawab: Sesungguhnya era kita sekarang adalah era memelihara
iman bukan era mempertahankan thariqah sufisme. Kelak di akhirat pasti akan banyak masuk syurga tanpa
melalui thariqah sufisme. Tetapi seorang pun tidak akan ada yang masuk ke sana tanpa iman (Salih 2003, hlm. 67).
 

Sebagai akhir perjuangannya Said Nursi memberikan peniggalan sejati yang tak ternilai dari pahlawan Islam dan
kemanusiaan ini, yang pada saat meninggalnya hanya berbobot 40 kilogram, adalah Kumpulan Risale-i Nur setebal
6000 halaman, yang telah diperkarakan di berbagai persidangan sebanyak sekitar 2000 kali hingga sekarang, dan
prinsip-prinsip mulianya yang merupakan dimensi yang tidak akan bisa dicatat dalam catatan penyelenggara jenazah
(Said Nursi 2003b, hlm. XV-XVI).

Karya Tulis

Sebelum mengenal karya tulis Said Nursi perlu diketahui


bahwa karya tulis Said Nursi banyak sekali,
selain Kuliyatul Rasailin Nur, Said Nursi juga memiliki
karya-karya lain.
 

Risale-i Nur
Rilale-i Nur sekarang lebih dikenal “Kuliyatul Rasailin Nur” adalah kumpulan kitab tafsir yang ditulis oleh Said Nursi
yang diberi nama “Risale-i Nur”. Adapun yang dimaksud Risale-i Nur adalah kumpulan tulisan Said Nursi berjumlah
14 jilid. Kumpulan tulisan 14 jilid inilah yang disebut Risale-i Nur. Risale-i Nur adalah karya monumental Said Nursi
yang ditulisnya dengan tulisan tangan bersama muridnya yang tebalnya berjumlah kurang lebih 6000 halaman,
selain itu terdapat pula karya-karya Said Nursi yang lain yang ditulis pada masa Said Lama dan Said Ketiga. Berikut
ini akan disebutkan bagian Risale-1 Nur karya tulis Said Nursi selengkapnya adalah :
 
 
 
Tabel 1
Kumpulan Tulisan 14 Jilid Risale-i Nur
 

Judul Buku Tahun


Bahasa
Yang
No. Perbitan Digunakan Keterangan

1. Sozler 1926-1929 Turki Asli dan Masih Terbit

2. Mektubat 1929-1932 Turki Asli dan Masih Terbit

3. Lema’alar 1921-1932-1934 Turki Asli dan Masih Terbit

4. Su’alar 1936-1940 Turki Asli dan Masih Terbit

5. Isyaratul Ijaz 1916-1918 Turki Asli dan Masih Terbit

Arab dan
Turki
6. Mesnavi Nuriye 1922-1923 Asli dan Masih Terbit

7. Barla Lakihasi 1925-1930 Turki Asli dan Masih Terbit

8. Ermidag Lakihasi 1944-1949 Turki Asli dan Masih Terbit

9 Kastamonu Lakihasi 1936-19 Turki Asli dan Masih Terbit

10. Tarihce Hayati 1948-1950 Turki Asli dan Masih Terbit

11. Asyari Musa – Turki Asli dan Masih Terbit

Iman ve Kufur
Munavazeleri
12. 1948-1950 Turki Asli dan Masih Terbit

13. Sikke-i Tadikff Qaibi 1948-1950 Turki Asli dan Masih Terbit

14. Muhakamet 1911 Turki Asli dan Masih Terbit


 

Demikian keempat belas kitab Risale-i Nur yang merupakan master peice dari kitab-kitab Risale-i Nur. Di antara
kitab-kitab Said Nursi di atas, ada yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yakni terdapat 33 Cahaya
(al-lama’at) dalam buku Menikmati Takdir Langit, 29 Surat (al Maktubat)dalam buku Menjawab Yang Tak Terjawab,
Menjelaskan Yang Tak Terjelaskan, dan 12 Risalah (ar-Risalah) terdapat dalam buku Sinar Yang Mengungkap Sang
Cahaya (Epitomes of Light). Secara global isi pokok dalam karya tersebut mengupas tentang aqidah dan keimanan
yang diindikasikan dengan ma’rifat Allah, ma’rifat Rasulullah, manhaj as-Sunnah; penguatan aspek ibadah, dan
akhlak atau adab-adab Islami dan lain-lain.
 
Kitab-kitab Lain
Dalam konteks ini, maka keberadaan Risale-Nur merupakan sumber dari pembahasan karya-karya Said Nursi yang
ditulisnya menjadi kitab-kitab lain tersebut, adapun kitab-kitab lain yang ditulis oleh Said Nursi diklasifikasi :
 
Tabel 2
Karya-karya Said Nursi
 

Tahun

Penulisa Bahasa Yang

No
Judul Buku dan
Makalah
n Digunakan Keterangan
.  

1. Talikat (mantik) – Arab Asli dan Masih Terbit

2. Kull Icaz (mantik) – Turki Asli dan Masih Terbit

3. Isarat – Turki Asli dan Masih Terbit

4. Munazarat – Turki Asli dan Masih Terbit

5. Divani Harbi- Orfi – Turki Asli dan Masih Terbit

6. Sunuhat – Turki Asli dan Masih Terbit

7. lserat – Turki Asli dan Masih Terbit

8. Sunuat Nubuwuyat – Turki Asli clan Masih Terbit

9. Hutbei Saniye – Turki Asli dan Masih Terbit

10. Nutqah min Ma’rifatillah


 
Jalla Jalahu – Turki Asli dan Masih Terbit

10 bush, Asli dan Masih


Terbit
11. Nutuk (Khutbah, pidato) – Turki

12. Hair Risalasi – Turki Asli dan Masih Terbit

13. Geclik Rehberi – Turki Asli dan Masih Terbit

14. Konsferan Ankara – Turki Asli dan Masih Terbit

15. Konsferan Ankara 1950 – Turki Asli dan Masih Terbit

16. Yirni Ucucu Soz – Turki Asli dan Masih Terbit

17. Otuz Ucu Pencere – Turki Asli dan Masih Terbit


18. Nur Alemini Anahtari – Turki Asli dan Masih Terbit

19. Uhuwet Risalesi – Turki Asli dan Masih Terbit

20. Ramazan Iktire Risaleler – Turki Asli dan Masih Terbit

21. Was Risafeleri – Turki Asli clan Masih Terbit

22. Tabiat Risalesi – Turki Asli dan Masih Terbit

23. Haftimlar Rehberi – Turki Asli dan Masih Terbit

24. Hastalar Risalesi – Turki Asli dan Masih Terbit

25. Sunnet Seniyye Risalesi – Turki Asli dan Masih Terbit

26. Latief Nukteler – Turki Asli dan Masih Terbit

27. Zahretin Nur – Turki Asli dan Masih Terbit

28. Ayat-i Kubra – Turki Asli dan Masih Terbit

29. Meyve Risalesi – Turki Asli clan Masih Terbit

30. El Huccetuz Zahra – Turki Asli dan Masih Terbit

31. Hakekat Nurlar – Turki Asli dan Masih Terbit

32. Iman Hakikatleri – Turki Asli dan Masih Terbit

33. Miftahul Iman – Turki Asli dan Masih Terbit

34. Siracin Nur – Turki Asli dan Masih Terbit

35. Tilsinflar Mecmuast – Turki Asli dan Masih Terbit

36. Ecnebi Filozoflarm – Turki Asli dan Masih Terbit


 

 
 

Filowflann$ehadetleri

Encebi Filozoflarin
37. Sehadtleri – Turki Asli dan Masih Terbit

38. Adfikar Mecmuasi – Turki Asli dan Masih Terbit

39. Nur Gegmesl – Turki Asli dan Masih Terbit

40. Tuluit – Turki Asli dan Masih Terbit

41. Runifiz – Turki Asli dan Masih Terbit

42. Tiryak – Turki Asli dan Masih Terbit

Riale-I Nur Kulliyatindan


43. Fihrist Risalesi – Turki Asli dan Masih Terbit
 

Dari pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam sejarah kehidupannya Said Nursi berdasarkan riwayat
pendidikan, aktifitas, kecerdasan dan otoritas keilmuannya memiliki potensi sebagai seorang filosof sufi. Said Nursi
telah menulis karya-karya yang memberikan sumbangsih positif bagi dunia Islam dalam membangun nilai-nilai
akhlak.

Said Nursi percaya bahwa kebahagiaan dan kemakmuran di dalam dunia ini adalah berdiri di atas ilmu pengetahuan
yang dikembangkan oleh peradaban zaman. Adapun kunci utamanya menurut Said Nursi adalah akidah (keimanan)
dan selalu merujuk pedoman hidup yakni al-Quran. Menguatkan iman dan memperkokoh akidah adalah jalan hidup
di dunia modern.

Risale-i Nur sebagai karya besar abad ke-20 itu adalah otentik dalam konteks isi kandungannya melalui tinjauan
politik dan sosial kultur yang memiliki bidang kajian yang berbeda-beda jika dibahas.

Bab 4

ANALISIS PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN AKHLAK


MENURUT
BEDIUZZAMAN SAID NURSI DAN RELEVANSINYA DENGAN
PEMBINAAN GENERASI MUDA

 
Pembahasan berikut ini terdiri dari 2 (dua) bagian merupakan analisis dari data yang diperoleh terutama mengenai
prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi, kemudian data tersebut dikomperasikan untuk melihat relevansinya
dengan pembinaan generasi muda. Bagian pertama dibahas mengenai prinsip-prinsip pendidikan akhlak mencakup ;
menguatkan keimanan, berpegang teguh pada al-Qur’an, memahami hakekat penciptaan manusia, memahami alam
semesta, memahami asma’ al-husna, mengetahui tanda-tanda hari kiamat, meyakini hari kiamat, meneladani Nabi
Muhammad Saw., dan menanamkan ikhlas, takwa dan sedekah. Bagian kedua, fokus bahasan pada prinsip-prinsip
pendidikan akhlak dengan pembinaan generasi muda yang mencakup ; relevansi dengan akidah, pandangan hidup,
tujuan hidup, ibadah, tingkah laku, situasi kejiwaan, lingkungan, dan tahapan perkembangan kepribadian generasi
muda.
 

Prinsip-prinsip Pendidikan Akhlak Menurut Bediuzzaman Said Nursi   


Berdasarkan refleksi dari defenisi operasional judul tesis ini yang dimaksud prinsip-prinsip pendidikan akhlak
generasi muda menurut Said Nursi adalah “Suatu komitmen yang mendalam mengenai kehidupan menuju arah
terciptanya perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) bagi generasi muda menurut pemahaman
Bediuzzaman Said Nursi“. Hal ini berarti bahwa Said Nursi memiliki pemahaman tentang komitmen-komitmen yang
mendalam mengenai kehidupan menuju arah yang diinginkan yaitu berperilaku seperti Nabi, yang sangat bermanfaat
bagi generasi muda.
Adapun berdasarkan data yang ada, komitmen dasar yang dalam hal ini disebut sebagai prinsip hidup atau prinsip
pembinaan atau proses pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh Said Nursi dapat dirumuskan menjadi 9
(sembilan) prinsip, sebagai berikut :

Menguatkan Keimanan
Iman bagi manusia sangat penting. Said Nursi memperhatikan secara intensif mengenai keimanan ini, sehingga
menjadi komitmen mendasar baginya. “Prinsip menguatkan keimanan” ini benar-benar menjadi dasar bagi setiap
orang. Dengan kata lain, keimanan dapat dipahami sebagai akidah atau tauhid. Dalam konteks tauhid ini Ismail Raji’
Al-Faruqi menyatakan bahwa “esensi pengamalan keagamaan dalam Islam adalah tauhid yaitu pengakuan bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah (La illaha illa Allah)” (Al Faruqi 1982, hlm. 30). Pendapat ini menguatkan bahwa
sebagian pengalaman hidup adalah pengalaman keagaman. Dimana pengalaman keagamaan cenderung semakin
meningkatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Dalam konteks ajaran agama Islam, maka  keimanan mendalam
meyakini secara penuh adanya Allah Swt, itulah tujuan ciptaan tertinggi manusia.
Tujuan ciptaan yang paling murni dan fitrah manusia yang paling tinggi ialah iman kepada Allah. Jika ditinjau dari
aspek pengamalan agama, tawaran-tawaran Said Nursi adalah penguatan keimanan melalui ruh ketauhidan masuk
dalam kehidupan manusia sampai ke relung batin. Tauhid adalah dasar utama dalam menyatakan keimanan secara
sempurna. Hakekat keimanan secara menyeluruh dapat dipahami melalui rukun iman.[19]
Menurut Said Nursi hakekat keimanan terdapat dalam kalimat La Ilaha Illah yang merupakan mengakui secara
totalitas kekuasaan Allah. Mengenai ini Said Nursi menganggap bahwa “segala sesuatu selain Allah tidaklah berasal
dari sesuatu itu sendiri tetapi berasal dari Allah Yang Maha Kuasa. Menganggap alam semesta berasal dari alam
semesta itu sendiri atau kuasa-kuasa material itu adalah suatu kesalahan. Segala sesuatu mempunyai dua aspek :
aspek pertama mengacu kepada Pencipta sedangkan aspek yang kedua mengacu kepada ciptaan” (Said Nursi
2003, hlm. 92).
Pada prinsipnya, pernyataan di atas menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, alam bukanlah terjadi dengan
sendirinya, demikian pula segala sesuatu bukanlah terjadi tanpa campur tangan Sang Pengusa. Said Nursi yakin
bahwa segala sesuatu itu diciptakan dalam 2 (dua) tahap, Pencipta dan Ciptaan. Sebagai seorang yang beriman
maka kita harus meyakini bahwa Allah adalah Pencipta dan diluar Allah itu adalah Ciptaan.

Kalimat tauhid yang dipedomani Said Nursi bukan tanpa hikmah, justru  ungkapan kalimat La Ilaha Illah ini terdapat
hikmah mendalam yaitu Allah menjadikan segala sesuatu yang ada di jagad ini bagaikan rangkaian
kepingan-kepingan bermakna yang memantulkan keesaan Allah rabb al-‘alamin. Eksistensi dan ketunggalan Tuhan,
hari kiamat, kitab suci, kerasulan takdir Ilahi dan keadilan dalam hidup manusia, dan posisi serta kewajiban manusia
di antara makhluk-makhluk lainnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa para ateis dan naturalis mempunyai pendapat yang menyimpang dari manifestasi
keesaan Allah Swt pada alam semesta dan manusia. Keyakinan pada kausalitas para ateis dan naturalis melahirkan
pernyataan-pernyataan seperti : “Alam itu terwujud oleh sebab, alam terbentuk dengan sendirinya, dan alam itu
terjadi tuntutan alam (Said Nursi 2003a, hlm. 333) dan lain-lain” telah melahirkan materialisme, naturalisme,
komunisme, bahkan ateisme.

Said Nursi dalam kitab tafsir Risale-i Nur menafsirkan Laa ilaaha illa Allah dan membongkar mitos kausalitas ini dan
menunjukkan bahwa mereka yang mengikuti keyakinan ini sebenarnya tidak melihat dunia sebagaimana mestinya,
atau bagaimana dunia itu tampak, tetapi bagaimana dunia itu menurut pikiran mereka. Said Nursi justru melalui
Risale-i Nur menunjukkan hakikat kejadian alam, manusia, dan peristiwa-peristiwa lainnya yang berada di bawah
kendali Zat Yang Maha Mengendalikan, Zat Yang Berkuasa atas segala sesuatu (Said Nursi 2003a, hlm. 334).
Penjelasan di atas menegaskan setiap orang yang benar-benar ingin memahami dunia ciptaan ini sebagaimana
mestinya, dan bukan atas kehendak imajinasinya, pasti akhirnya sampai pada kesimpulan Laa ilaaha illah Allah. Dia
akan melihat keteraturan dan harmoni, keindahan dan kesimbangan, keadilan dan kemurahan, ketuhanan,
keberlangsungan dan keagungan dan sekaligus dia akan menyadari bahwa semua atribut tersebut mengarah
kepada benda-benda ciptaan itu melainkan pada realita di mana semua atribut tersebut ada dalam kesempurnaan
dan keabsolutan. Dia akan melihat bahwa dunia ciptaan ini adalah buku berisikan nama-nama, suatu indeks yang
ingin menceritakan Pemiliknya (Said Nursi 2003c, hlm. xxvii).
Maka dapat diyakini bahwa sebenarnya keimanan menjadi komitmen dasar dalam berakhlak. Dalam pandangan
Islam, akhlak merupakan cerminan dari apa yang ada dalam jiwa (al-qalb mir-u al’amal). Akhlak yang baik terdorong
dari keimanan seseorang karena sesungguhnya iman selain diyakini dalam hati, juga harus ditampilkan dalam
perilaku nyata sehari-hari (Ali Anwar Yusuf 2005, hlm.81). Keyakinan tauhid yang terangkum dalam rukun iman
seharusnya menjiwai dalam kehidupan manusia. Pendapat ini menguatkan bahwa kunci dari akhlak adalah
keimanan.
Adapun tingkat keimanan yang lain adalah kepastian yang datang dari pengalaman langsung dengan kebenaran-
kebenaran keimanan. Ini tergantung dari keteraturan kita dalam beribadah dan berpikir. Orang yang telah menguasai
tingkatan keimanan ini dapat menghadapi seluruh dunia ini. Jadi, tugas pertama, terutama dan terpenting kita adalah
mencapai tingkat keimanan ini dan mencoba dengan kesungguhan demi ridha Allah Yang Maha Kuasa untuk
mengkomunikasikannya dengan orang lain.

Sehingga wajar sekali Said Nursi mengutip pendapat Imam Rabbani – pemimpin yang berpengaruh dan murshid
terkemuka dari aliran nakshabandiah – mengatakan dalam suratnya, “Aku lebih suka perkara keimanan diketahui
dengan cara yang mudah dimengerti daripada mencapai ribuan kenikmatan dan pencapaian rohani, ataupun
melakukan keajaiban-keajaiban “. Singkatnya, menguatkan keimanan berupaya menegaskan bahwa tingkat
keimanan yang pokok melalui pengalaman langsung dan berkomunikasi dengan orang lain untuk memahami Islam
secara integral, baik alam semesta, manusia dan Tuhan.
Hal ini juga berarti bahwa secara tersirat dan tersurat Said Nursi meyakinkan kepada seluruh manusia bahwa prinsip
“menguatkan keimanan” harus dilakukan oleh setiap manusia secara keseluruhan di akhir abad ini secara bertahap
dan istiqomah dan keimanan mengajarkan untuk mengobati penyakit hati nurani.

Berpegang Teguh pada Al-Qur’an


Al-Qur’an berperan sebagai pedoman dan petunjuk menuju kebenaran Allah Swt. Prinsip berpegang teguh pada al-
Qur’an menjadi komitmen dasar bagi Said Nursi. Berpegang teguh pada al-Qur’an  berarti manusia dituntut untuk
mencapai kesempurnaan menuju Allah Swt. Sedikitnya ada 3 (tiga) pertanyaan untuk memperkuat argument ini : Apa
sebenarnya al-Qur’an ? Mengapa al-Qur’an menjadi pedoman ? Mengapa al- Qur’an menjadi sangat penting dalam
mengenal Allahh ?. Ketiga pertanyaan ini sangat penting dijawab, karena secara faktual tanpa ada al-Qur’an maka
manusia tidak akan mengenal Allah sebagai Penciptanya.

Al-Qur’an adalah wahyu Allah atau kalam Allah. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang agung dan bacaan mulia
serta dapat dituntut kebenarannya oleh siapa saja, sekalipun akan menghadapi tantangan kemajuan ilmu
pengetahuan yang semakin canggih (Syafi’i 2003, hlm. 53). Menurut Harun Nasution “wahyu berfungsi sebagai
pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan” (Harun 2002, hlm. 81). Jadi, al-Qur’an pada awalnya kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi-nabi yang kemudian disusun menjadi sebuah kitab ketika masa khalifa’urrasyiddin.[20]
Menurut Said Nursi al-Qur’an berasal dari Pencipta langit beserta benda-benda langit dan bumi serta seluruh
penghuninya. Al-Qur’an yang membuat kita mengenal Tuhan semua alam (Said Nursi 2003a, hlm. 41-42). Said Nursi
menuliskan :

Al-Qur’an adalah terjemahan abadi dari alam semesta, penerjemah abadi ‘bahasabahasa’ yang menjelaskan tanda-
tanda alami dari Allah dan penafsir buku alam semesta. Al-Qur’an adalah penyingkap rahasia khazanah Nama-nama
Allah yang tersembunyi pada ‘lembaran-lembaran’ langit dan bumi, dan kunci semua kebenaran yang berada di
bawah garis kejadian-kejadian. Al-Qur’an adalah lidah dunia gaib dalam dunia material yang kasat mata, harta karun
Tutur ilahi yang abadi dan pertolongan yang baka dari Sang Maha Pengasih. Al-Qur’an adalah landasan rancangan
dan matahari bagi dunia intelektual dan spritual Islam dan peta bagi alam akherat. Al-Qur’an adalah penjelas,
penafsir yang jernih, bukti yang fasih, dan penerjemah yang lancar dari semua esensi, sifat, nama dan perbuatan
Allah; pendidik dan pelatih dalam dunia manusia dan merupakan air bagi umat manusia dan pembimbing sejati yang
mengantarkan mereka kepada yang menciptakannya. Selain menjadi kitab hukum bagi umat manusia, al-Qur’an juga
merupakan kitab kebijaksanaan bagi mereka. Selain menjadi kitab peribadatan dan penghambaan kepada Allah, al-
Qur’an juga berisikan perintah dan ajakan. Selain menjadi kitab tentang senian, al-Qur’an juga merupakan kitab
perenungan. Al-Qur’an memang sebuah kitab tunggal, tetapi memuat banyak kitab untuk semua kebutuhan umat
manusia. Ia bagaikan perpustakaan suci berisikan buku-buku dan risalah-risalah yang berdasarkannya semua aulia,
orang-orang terkemuka, dan semua cendekiawan yang mulia dan suci hati serta para pemikir dengan beragam
pendekatan dan sikapnya mengambil cara-cara yang khas satu dengan yang lain. Al-Qur’an menyinari setiap cara ini
dan menjawab kebutuhan para pengikut mereka yang memiliki selera dan temperamen yang berbeda-beda (Said
Nursi 2003a, hlm. 42).

Menurut pandangan Said Nursi berdasarkan kutipan di atas, setidaknya terdapat 6 (enam) pemahaman mengenai al-
Qur’an yakni Sebagai penerjemah, lidah, landasan, penjelas, tunggal dan sinar. Al-Qur’an sebagal penerjemah bagi
kehidupan manusia secara rnenyeluruh. Sebagai lisan Allah yang selalu berbicara melalui kitab al-Qur’an. Sebagai
landasan dalam menjalani kehidupan. Sebagai penjelasan bagi umat manusia tentang hakekat kehidupan. Sebagai
sesuatu yang tunggal untuk menjadi petunjuk dan penuntun manusia. Sebagai sinar hati bagi manusia dalam
menjalankan peran-peran kehidupannya. Keenam pemahaman mengenai al-Qur’an di atas menegaskan al-Qur’an
menjadi pedoman penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam rangka pedoman berakhlak mulia.

Al-Qur’an yang bijaksana, yang membuat kita mengetahui Tuhan kita, merupakan penerjemah abadi dari Kitab besar
Alam Semesta ; pembuka khasanah nama-nama Allah yang tersembunyi dalam halaman-halaman bumi dan langit ;
kunci kebenaran yang berada dibalik rangkaian peristiwa ; khasanah karunia dari Yang Maha Pengasih dan tempat-
tempat abadi yang datang dari alam Ghaib dibalik tabir alam yang kasat mata ini ; matahari alam rohani dan akal
budi Islam serta pondasi dan rancangannya, dan peta alam Akhirat ; penjelas, penafsir yang jelas, bukti yang terang,
penerjemah yang jelas dari esensi.

Sifat-sifat dan tindakan Ilahi, pendidik dan pelatih dunia manusia serta pembimbing, pemimpin, dan
kebijaksanaannya yang benar. Al-Qur’an adalah kitab kebijaksanaan maupun hukum, dan kitab do’a dan ibadah,
serta kitab perintah dan himbauan, dan kitab seruan dan ilmu Allah. Al-Qur’an adalah kitab yang berisi kitab-kitab
bagi semua kebutuhan rohani manusia, dan dia seperti perpustakaan suci yang menawarkan kitab-kitab dari semua
wali dan manusia yang sangat terpercaya dan semua ulama yang suci dan teliti dengan berbagai tabiat telah
memperoleh jalan khas bagi diri mereka masing-masing.

Al-Qur’an juga merupakan pendiri : ia adalah dasar dari agama yang nyata, dan fondasi dunia Islam. Ia datang untuk
mengubah kehidupan sosial manusia dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan dari kelas-
kelas sosial yang berbeda. Kemudian al-Qur’an berbicara tentang hal-hal penting itu dan kebenaran-kebenaran yang
sulit dipahami, sehingga diperlukan pengulangan di dalam konteks yang berbeda untuk membuat pikiran dan kalbu
manusia terkesan dalam aspek-aspeknya. Apapun yang terjadi, pengulangan itu tampak nyata. Senyatanya, kata
mempunyai berbagai lapis makna, manfaat yang banyak, serta banyak aspek dan tingkatan. Di dalam masingmasing
tempat, kata dan ayat tertulis dengan cara yang berbeda, dalam konteks berbeda, untuk mencapai tujuan, makna,
dan manfaat yang berbeda.

Al-Qur’an menyebutkan masalah kosmologis tertentu dengan cara yang ringkas dan sulit dipahami. Hal ini tidak bisa
menjadi sasaran kritik, dan bukan suatu kesalahan seperti yang dibayangkan oleh orang-orang ateis. Sebaliknya, hal
ini adalah cahaya kemukjizatan yang lain, karena al-Qur’an dimaksudkan untuk membimbing manusia (Said Nursi
2003, hlm. 272-273).

Dalam al-Qur’an penuh dengan pengetahuan dan kebenaran yang mutlak sebagaimana menurut Said Nursi sebagai
berikut :

Sesungguhnya, al-Qur’an, alam semesta dan manusia adalah tiga jenis manipestasi dari satu kebenaran. Al-Qur’an,
yang berasal dari sifat firman Ilahiah, bisa dianggap sebagai alam semesta, yang berasal dari sifat kuasa dan
kehendak Ilahiah, bisa dianggap sebagai al-Qur’an yang diciptakan. Jadi, dari sudut pandang ini, alam semesta
adalah pasangan dari al-Qur’an, yang tidak akan bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, sekarang, saat sains
berjaya, dan juga kelak, yang akan menjadi zaman pengetahuan, keimanan yang sejati harus didasarkan pada
argumen dan penyelidikan, juga pada pemikiran yang terus menerus terhadap tanda-tanda Allah di alam semesta,
pada fenomena, “alam”, sosial, historis dan psikologis. Keimanan bukanlah sesuatu yang didasarkan pada taglid
yang membuta. Keimanan harus terjadi atas intelektualitas atau nalar dan kalbu, keimanan menggabungkan
penerimaan dan penegasan nalar dan pengalaman serta penyerahan kalbu (Said Nursi 2003c, hlm. xx).
 

Kutipan di atas menjelaskan bahwa keimanan merupakan keyakinan awal bagi manusia memahami kehidupan.
Pandangan yang menganggap al-Qur’an adalah sebagai sumber segala pengetahuan itu bukanlah hal yang baru.
Imam al-Ghazali misalnya dalam buku Ihya ‘Ulum Al-Din, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud : “Jika modern,
selayaknya dia merenungkan al-Qur’an”. Selanjutnya beliau menambahkan : “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di
dalam kaya-kaya dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur’an adalah penjelas esensi, sifat-sifat, clan perbuatan-Nya”. (Mahdi
2001, hlm. 137). Keimanan tidak dapat dipisahkan dari petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam al-Qur’an. Melalui
al-Qur’an muncul keyakinan atau keimanan secara mendalam kepada Sang Pencipta yang dengan memahami alam
semesta dan mengerti proses penciptaan manusia adalah upaya untuk meningkatkan keimanan itu sendiri.
Hal yang paling prinsip bagi Said Nursi dalam berpegang teguh kepada al-Qur’an, ketika Said Nursi masih menetap
di Wan, beliau telah mendengar satu peristiwa yang telah meninggalkan kesan yang cukup mendalam pada dirinya;
yakni ketika Tahir Basha telah memberitahukan kepadanya ucapan Gladestone (menteri Tanah Jajahan Britain)
dalam satu perhimpunan resmi kerajaan Britain, sambil memegang sebuah mushaf al-Qur’an dan berkata ;

Ingiliz meclis-i meb’usani’nda mustenitekal naziri, elinde Kur’an-i kerim gostererek Soyledigi bir nutukla: “Bu kur’an
islamlarin elinde bulundukca biz onlara hakim olamayiz. Ne yapip yapmaliyiz, bu kur’ani onlarin elinden kaldirmaliyiz;
yahut muslumanlari kur’andan sogutmaliyiz diye hitabed bulunmus… ” (Said Nursi 1999e, hlm. 47).

Maksud perkataan tersebut : “Selagi al-Qur’an ini berada di tangan orang-orang Islam (menjadi pegangan mereka),
selagi itulah, kita tidak akan mampu mengusai mereka. Oleh karena itu kita perlu jauhkan al-Qur’an dari mereka“.
Setelah mendengar berita tersebut Said Nursi tentu bangkit dan berkata : “Bediuzzaman’in bu havadis uzerine:
kur’anin sonmez ve sondurumez manevi bir gunes hukmunde oldugunu ben dunyaya ispat edecegim ve
gosterecegin! Diye bir niyet ruhunda uyanir ve bu saikle calisir” (Said Nursi 1999e, hlm. 47-48). Said Nursi berkata :
“Akan aku buktikan kepada, dunia, bahwa al-Qur’an adalah mentari maknawi yang tidak akan luntur sinarnya dan
tidak akan dapat dipadamkan cahayanya.”
Demikian, yang mendasari komitmen Said Nursi dalam berpegang teguh pada al-Qur’an dan menjaganya dari
kejahatan musuh Islam. Dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam konteks ini berarti al- Qur’an
merupakan informasi yang menjelaskan tentang pentingnya tauhid atau keimanan sebagai rangkaian mengkokohkan
keyakinan. Kemudian, pentingnya al-Qur’an sebagai kalam Allah, karena menceritakan dan mendeskripsikan secara
implisit tentang proses penciptaan manusia dan proses penciptaan alam semesta, yang memperkuat pemahaman
mengenai manusia, alam dan Tuhan. Pentingnya, informasi al-Qur’an sebagai dan sumber rujukan bagi akhlak untuk
membentuk pribadi yang berakhlak. Sebab, melalui al-Qur’an manusia memperoleh petunjuk, jalan, pedoman dan
sumber kehidupan bagi berakhlak mulia.

Sesungguhnya, al-Qur’an, alam semesta dan manusia adalah tiga, jenis manifestasi dari satu kebenaran. Al-Qur’an,
yang berasal dari firman Tuhan (ilahiah), bisa, dianggap, sebagai alam semesta yang ditulis atau disusun, sedangkan
alam semesta, yang berasal dari sifat kuasa dan kehendak ilahiyah, bisa, dianggap sebagai al-Qur’an yang
diciptakan. Jadi, dari sudut pandang ini, alam semesta adalah pasangan dari al-Qur’an, yang tidak akan pernah
bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, sekarang, saat sains berjaya, dan juga, kelak, yang akan menjadi
zaman pengetahuan, keimanan yang sejati harus didasarkan pada argumen dan penyelidikan, juga pada pemikiran
yang terus-menerus terhadap, tanda-tanda, Allah SWT di alam semesta, pada fenomena, alam, sosial, historis, dan
psikologis (Said Nursi 2003b, hlm. xiv). Tegasnya, keimanan bukanlah sesuatu yang didasarkan pada taqlid
membuta. Keimanan harus terdiri atas intelektualitas atau nalar dan kalbu. Keimanan rnenggabungkan penerimaan
dan penegasan nalar dan pengalaman serta penyerahan kalbu.

 
Pentingnya Memahami Hakekat Penciptaan Manusia
Prinsip pentingnya memahami hakekat penciptaan manusia senantiasa berkaitan dengan memahami makna hidup
dalam konteks ajaran Said Nursi. Karena dengan prinsip ini manusia mengerti keberadaan dirinya di muka bumi ini.
Kehadiran manusia di muka bumi ini memiliki beragam pertanyaan. Bahkan hampir sepanjang hidupnya manusia
harus belajar keberadaan dirinya (Said Nursi 2004, hlm. 17). Memahami hakekat penciptaan manusia harus diiringi
dengan iman. Iman adalah kunci keyakinan mendalam terhadap penciptaan manusia dan alam semesta. Keyakinan
ini ditimbulkan melalui akal atau penalaran dan hati nurani yang menyumbangkan peranan penting terhadap
pemahaman manusia. Baik mengenai manusia sebagai mikrokosmos maupun alam sebagai makrokosmos.
Dalam konteks manusia sebagai mikrokosmos Ibrahim Hamzah (2001, hlm. 9) menyatakan bahwa “manusia itu
terdiri dari atas 2 (dua) unsur, yaitu tubuh dan ruh jasad)”. Said Nursi secara implisit menyatakan bahwa manusia
tersusun dalam dua unsur pokok yakni jasad sebagai material dan jiwa sebagai spritual. Intinya, Said Nursi juga
berpendapat bahwa manusia itu memiliki unsur “ruhani dan jasad”. Pendapat ini sama seperti pendapat Ibn
Miskawaih[21] bahwa hakekat manusia memiliki dua unsur yakni jiwa yang diketahui sebagai wawasan spiritual
berasal dari Allah, dan jasad sebagai wawasan materialnya bermula dari alam materi. (Ibn Miskawaih 1979, hlm.
327). Pernyataan Said Nursi mengenai manusia terdiri dari 2 (dua) unsur yakni :
Jiwa yang terobesesi dengan penampilan meratap dengan putus asa ketika menyaksikan rusaknya sesuatu yang
dipuja-puja ketika terjadi bencana alam, sedangkan ruh yang mencari sebuah cinta abadi juga meratap dan berkata
“Aku tidak menyukai sesuatu yang seperti itu. Aku tidak menginginkan, aku tidak menghendaki, perpisahan dan aku
tidak dapat menjalaninya”… Apabila kalian menginginkan kekekalan di dunia fana ini, kekekalan lahir dari kefanaan.
Hancurkan dari dalam diri kalian tanpa harus menghancurkan jasmani kalian, jiwa yang diperintahkan setan,
sehingga kalian dapat mencapai kekekalan… Bebaskan diri kalian dari moral-moral yang buruk, yang merupakan
dasar pemujaan duniawi, dan wujudkan penghancuran hal-hal buruk dalam diri. Korbankan harta benda dan
kekayaan kalian di jalan Allah. Lihat akhir suatu wujud, yang menandai kepunahan. Jalan setapak dari dunia ini
menuju kekekalan melintas melalui kehancuran-diri. (Said Nursi, 2003 hlm. 105) (Said Nursi, Sozler, 2000a, kata ke-
17).

Penyataan di atas memberikan gambaran bahwa Said Nursi menyakini bahwa manusia itu memiliki unsur jasad dan
unsur ruhani, maka dapat dikatakan bahwa manusia jasad  2 terdiri dari jiwa dan jad manusia adalah “small creation”
atau sebagai “microcosmos”.[22]  Jasad adalah sebuah alat ruh yang memerintah dan mengendalikan semua
anggota sel dan partikel-partikel kecilnya (Ali 2002, hlm. 188). Jasad akan berinteraksi dengan ruh karena manusia
sebagai bentuk makhluk ciptaan yang bisa dipahami melalui gerak fisik. Namun, sebenarnya di dunia ini, ruh dibatasi
di dalam “penjara” jasad. Apabila nafsu dan keinginan duniawi mendominasinya, maka ruh tersebut pasti tidak
berharga dan orang tersebut binasa. Apabila ruh dapat mengendalikan nafsu melalui iman, ibadah, dan perbuatan
baik serta membebaskan dirinya sendiri dari perbudakan keinginan duniawi, maka ruh tersebut menjadi murni dan
mencapai kesucian dan kemuliaan. Ini akan membawa kebahagiaan baginya di dalam dua dunia (Ali 2002, hlm.
193).
Jiwa dan jasad memiliki tingkatan sendiri dalam penciptaannya. Jiwa atau ruh sebagai penciptaan tertinggi.
Sedangkan materi (al-ajsam) atau jasad penciptaan terendah. Pergerakan jasad manusia bukanlah jiwa melainkan
natur materi itu sendiri. Karena itu, gerak jasad manusia bukanlah gerak melingkar tetapi berupa gerakan materi.
Namun demikian, pada diri manusia terdapat jiwa yang tertinggi yakni al-nathiqat (berpikir). Jiwa berpikir ini
hakekatnya adalah ruh yang memanifestasikan pemahaman nama-nama Allah. Jiwa ini – dalam bahasa al-Qur’an
disebut al-ruh – yang ditiupkan oleh Allah Swt ketika janin sudah ada dalam rahim selama empat bulan.[23] Di mana
jasad janin manusia sudah tumbuh dan berkembang karena natur materinya sendiri sebelum ar-ruh ditiupkan Allah.
Dalam konteks penjelasan mengenai unsur ruhani Ibn Miskawaih agaknya memberikan pemahaman dua
segi. Pertama, unsur ruhani yang memang sudah ada pada natur jasad sebagai daya gerak dan berfungsi bagi
tumbuh dan berkembangnya badan, dan kedua, unsur ruhani yang berasal dari Tuhan yang datang setelah janin
berumur empat bulan dalam kandungan ibu. Pemahaman ini menegaskan terhadap daya yang ada dalam diri
manusia. Sebagaimana umumnya para filosof menyebutkan ada 3 (tiga) daya jiwa yang ada dalam diri manusia.
Daya-daya tersebut adalah : 1) Daya bernafsu (al-nafs al bahimiyyat) sebagai daya terendah, 2) Daya berani (al-nafs
al sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, dan 3) Daya berpikir (al-nafs al-nathiqat) sebagai daya tertinggi.[24] Ketiga
daya ini merupakan unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda.
Menurut keterangan Ibn Miskawaih bahwa unsur al-nafs al-bahimiyyat (daya nafsu) dan al-nafs al-sabu’iyyat (daya
berani) berasal dari unsur materi akan hancur bersama hancurnya badan. Sedangkan al-nafs nathiqat (daya pikir)
tidak akan mengalami kehancuran (Al-Ghazali 1957, hlm. 287). Sesuai dengan pemahaman ini Said Nursi
mengapresiasi daya-daya itu dalam sifat-sifat mulia manusia yang menjadi doktrin-doktrin utamanya.
Pertama, unsur jiwa al-nafs al-bahimiyyat (daya nafsu) dalam diri manusia akan mempengaruhi gerak jiwa dan
kecenderungan manusia untuk melakukan hal-hal yang bersifat sosial dan cenderung bekerja keras untuk
memperoleh sesuatu, yang tentunya tampak serasi dengan sifat ash-shadaqah (sedekah). Orang yang memiliki
kecenderungan sedekah ini lambat laun akan terbina dan terbentuk karekteristik jiwa dermawan dan akan menjadi
manusia dermawan.
Kedua, unsur jiwa al-nafs al-sabui’iyyat (daya berani) dalam diri manusia akan mempenganihi gerak jiwa dan
kecenderungan manusia dalam hal-hal bersifat mencapai kondisi jiwa suci dalam pandangan Alalh dan
meningkatkan kinerja dengan ibadah untuk memperoleh sesuatu, yang tentunya tampak serasi dengan sifat at-taqwa
(takwa). Orang yang memiliki kecenderungan keberanian ini lambat laun akan terbina dan terbentuk karekteristik jiwa
takwa dan akan menjadi manusia ulil albab.
Ketiga, unsur jiwa al-nafs nathiqat (daya pikir) dalam diri manusia akan mempengaruhi gerak jiwa kepasrahan
terhadap Allah dan ciptaan-Nya dan kecenderungan manusia dalam hal-hal bersifat teologis, daya nalar bekerja
untuk memadukan keikhlasan dalam hidup. Orang yang memiliki kecenderungan ikhlas seperti ini lambat laun akan
terbina dan terbentuk karekteristik jiwa ikhlas dan akan menjadi manusia sufi.
 
 
 
Pentingnya Memahami Alam Semesta
Said Nursi dalam Risale-i Nur mengatakan “mengapa al-Qur’an tidak membahas alam semesta seperti yang dibahas
dalam filsafat dan sains modern?”. Pertanyaan ini sekaligus menjelaskan kalau Said Nursi meyakini bahwa alam
semesta merupakan manifestasi dari nama-nama Allah yang harus dijadikan komitmen mendasar dalam membina
diri menuju kesempurnaan menuju Allah.

Said Nursi sangat yakin bahwa penciptaan alam semesta adalah bukti keesaan, kebesaran asma Allah. Menurutnya
ada 3 (tiga) ungkapan yang mengkhawatirkan bagi kaum beriman : Pertama, ungkapan terwujud oleh sebab, “karena
sebab itulah yang menjadikan entitas tertentu itu ada”. Kedua, terbentuk dengan sendirinya, sesuatu terbentuk
dengan sendirinya serta mewujudkan dirinya sendiri, sehingga menjadi seperti apa adanya. Ketiga, tuntutan alam
yakni sesuatu yang bersifat alami. Alamlah yang mewujudkan dan menentukan keberadaanya (Said Nursi 2003a,
hlm. 333).
Ketiga pendapat di atas adalah refleksi dari kesimpulan pandangan yang selama ini masih bergulat. Dalam
menyikapi pandangan di atas Said Nursi mengatakan “Jika secara tegas terbukti bahwa tiga jalan yang pertama
mustahil, batil dan tidak mungkin, maka dengan sangat nyata dan gamblang, jalan keempatlah yang benar. Jalan
tersebut adalah jalan menuju keesaan Sang Pencipta yang bersifat pasti tanpa ada keraguan di dalamnya“. (Said
Nursi 2003a, hlm. 334). Ditegaskan Said Nursi bahwa kekuasaan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Agung itulah
yang telah menciptakannya.
Dapat dikatakan jika alam yang menjadi sandaran kaum naturalis itu memiliki wujud hakiki yang tampak secara
lahiriah, maka -sesungguhnya wujud tersebut hanyalah ciptaan Sang Pencipta, bukan Pencipta. Ia hanyalah ukiran,
bukan si Pengukir. Ia hanyalah kumpulan hukum, bukan si pembuat hukum. Ia hanyalah syariat fitriah, bukan si
pembuat syariat. Ia hanyalah tirai yang tercipta, bukan si pencipta. Ia hanyalah objek bukan pelaku. Ia hanyalah
kumpulan aturan, bukan Zat yang berkuasa. Serta ia hanyalah goresan bukan sumber. Ditegaskan lagi oleh Said
Nursi bahwa “alam itu merupakan kumpulan konsep bukan yang menentukan konsep” (Said Nursi 2003b, hlm. 349).

Jelaslah bahwa alam semesta sebagal makrokosmos “big creation” adalah bukti kebesaran asma Allah. Pemahaman
terhadap alam ini bagian dalam upaya, meningkatkan untuk pembinaan akhlak. Ketika kita mengetahui, mengerti dan
memahami bahwa Allah sebagai Pencipta alam, maka ketika melihat alam semesta akan berpengaruh dalam tingkah
laku, sikap dan cara berpikir kita dan mendorong jiwa untuk beriman secara istiqomah dan totalitas kepada Allah.
Pentingnya Memahami Asma’ al-husna
Prinsip pentingnya memahami asma’ al-husna menjadi komitmen mendasar bagi Said Nursi karena, di kitab tafsir
Risale-i Nur kalau dicermati secara mendalam dibahas oleh Said Nursi hampir di semua kitabnya secara terintegrasi.
Tapi, secara khusus Said Nursi menjelaskan asma’ al-husna dalam kitab Lem’alar pada “Cahaya Ketiga Puluh
berjudul Asma’ al-husna”. Kita tahu bahwa dalam, pandangan ulama asma’ al-husna berjumlah 99 nama-nama Allah.
Namun, menurut Said Nursi dalam “Cahaya Ketiga Puluh” menjelaskan bahwa Allah memiliki al-Ismu al-
Azhom (nama-nama Allah yang paling agung).
Al-ismu al-A’zhom tidaklah sama dalam pandangan setiap orang. Misalnya menurut Imam Ali ra. Ia terdiri 6 (enam)
nama, keenam nama tersebut adalah al-Quddus, al-Adl, al-Hakim, alFard, al-Hai, dan al-Qayyum. Adapun menurut
Abu Hanifah an-Nu’man ra. Ia terdiri atas 2 (dua) nama yakni Hakam dan Adl. Sedangkan menurut Syaikh Abdul
Qadir al-Jilam ia hanya satu yakni : Ya Hayyu. Menurut Imam Rabbani (Ahmed al-Faruq as-Sirhindi) ra. ia hanya satu
yakni alQayyum. Demikian seterusnya, para ulama besar dan istimewa lainnya mengarah pada nama Tuhan yang
berbeda. Begitu pula Said Nursi menurutnya asma’ al-husna yang dapat dikategorikan sebagai al-ismu al-azhom
dalam Risale-i Nur difokuskan kepada keenam nama tersebut adalah al-Quddus, al-Adl, al-Hakam, al-Fard, al-Hay
dan al-Qayyum.

Said Nursi mengibaratkan bahwa cahaya suci yang berasal dari perpaduan enam cahaya nama Tuhan
sebagaimana, perpaduan tujuh warna sinar mentari. Said Nursi menyimpulkan bahwa dari balik nama al-Qayyum
memberikan sifat tetap dan permanen. Dapat disaksikan bahwa manifestasi al-hayy telah menjadikan seluruh
makhluk hidup itu bersinar lewat tampilannya yang cemerlang. Ia telah membuat seluruh entitas bercahaya lewat
cahanyaNya yang berkilau sehingga gemerlap cahaya kehidupan dapat terlihat pada seluruh makhluk hidup yang
ada (Said Nursi 2003a, hlm. 695).

Kemudian manifestasi agung dari nama al fard dari batik nama al-hayy. Nama tersebut mencakup seluruh entitas
alam berikut ragam jenis dan bagiannya serta melingkupinya dalam satu kesatuan. Ia mencetak bagian depan setiap
entitas dengan stempel keesaan sehingga segala sesuatu menginfomasikan manifestasiNya lewat aneka lisan yang
tak terhingga jumlahnya.

Dari balik nama al-Fard terdapat manifestasi nama al-Hakam. Engkau akan melihat bagaimana nama tersebut
mencakup seluruh entitas dari daerah yang paling luas hingga yang paling kecil, baik yang global maupun yang
parsial – mulai dari bintang hingga atom. Ia memberikan kepada setiap entitas sebuah tatanan efektif yang layak
untuknya, sebuah keteraturan penuh hikmah yang sesuai dengannya, serta keselarasan berguna yang tepat baginta.
Nama al-Hakam telah menghiasi seluruh entitas dengan manifetasinya yang cemerlang.
Lalu dari balik manifestasi nama al-Hakam perhatikanlah manifestasi agung dari nama al-adl. Nama agung al-Adl
menguasai seluruh entitas dalam perbuatan Tuhan yang terus menerus lewat neracanya yang akurat, ukurannya
yang cermat, dan timbangannya yang adil di mana ia menjadikan seluruh akal tercengang sekaligus kagum.
Seandainya semua bintang kehilangan keseimbangan selama satu detik saja atau terputus dari manifestasi nama al-
Adl niscaya seluruh bintang yang ada akan bertubrukan dan hal itu tentu saja akan menyebabkan kiamat.

Dari balik manifestasi nama al-adl, perhatikanlah manifestasi nama Allah alQuddus yang telah membuat seluruh
entitas begitu bersih, suci, murni, dan indah. Ia telah mengubahnya menjadi semacam cermin indah bersinar yang
layak untuk memperhatikan keindahanNya yang mutlak serta pantas untuk menampakkan berbagai manifestasi
namanama-Nya yang mulia. Dan uraian ini dapat disimpulkan bahwa enam nama dan cahaya agung telah meliputi
seluruh alam, menutupi seluruh entitas, serta membungkusnya dengan tirai yang dihiasi dan diwarnai oleh beragam
warna yang paling cemerlang oleh beragam goresan yang paling indah, serta oleh beragam hiasan yang paling
mengagumkan.

Dari keseluruhan mengenai prinsip asma’ al-husna di atas dapat dipahami bahwa asma’ al-husna Said Nursi memiliki
kecenderungan sama dengan ulama masa lalu yang meyakini 99 nama-nama Allah, namun dari segi metode
penerapan pandangan terjadi perbedaan. Said Nursi cenderung memandang ada 6 (enam) nama-nama Allah yang
dikategorisasikan sebagai asma’ul adzam (Nama yang agung) dan Said Nursi yakin sifatsifat Allah adalah bentuk
manifestasi dari asma’ al-husna. Manifestasi pemahaman asma’ al-husna penting dalam pembentukan manusia yang
berakhlak dan asma’ al-husna menjadi landasan diri berkepribadian akhlak mulia.

 
Pentingnya Mengetahui Tanda-tanda Akhir Zaman
Prinsip pentingnya mengetahui tanda-tanda akhir zaman  menjadi bagian yang mendorong peningkatan keimanan
bagi Said Nursi, karena manusia sekarang sudah memasuki fase penghabisan dari panjangannya zaman yang
sudah lama berlalu. Adapun tanda-tanda akhir zaman ini banyak sekali, namun pada prinsipnya terdapat beberapa
hal yang dapat dijadikan sebagai tanda-tanda hari kiamat yang patut diketahui oleh manusia, yaitu :

1) Munculnya Dajjal dan Sufyan

Salah satu akan tibanya hari kiamat munculnya Dajjal (AntiKristus) dan Sufyan[25]. Dajjal atau Anti-Kristus akan
muncul dalam dunia non-muslim dan Sufyan yang akan muncul dalam dunia Muslim. Keduanya adalah Dajjal dan
Sufyan terbesar yang akan muncul di dunia setelah Nabi Muhammad. Sumber-sumber Islam menyebutkan dari Nabi
Muhammad bahwa lebih dari 30 Dajjal akan muncul sesudah dia, dan yang lebih penting untuk diperhatikan menurut
Nabi Muhammad adalah Dajjal yang muncul tidak lama sebelum hari kiamat adalah yang paling berhahaya dan
merusak.
Maksudnya adalah cerita-cerita sejenis ini perlu ditekankan, walaupun pada dasarnya tidak banyak menyebutkan
orang-orang mereka (atau siapa sebenarnya Dajjal), tapi bagi kalangan filosuf, pemikir dan kaum mistik atau sufitik
yang mampu menangkap pertanda ini. Karena interpretasinya berwujud ideologi, masyarakat dan sistem yang akan
mereka bangun dalam semua aspek kehidupan.

Beberapa isyarat yang ditulis oleh Said Nursi mengenai Dajjal dan Sufyan sebagai berikut : Pertama, mengenai
Sufyan, menurut Said Nursi bahwa tangan-tangan Sufyan akan mencengkram yang berarti Sufyan akan menjadi
banyak dan membangkitkan pemborosan dan kekejian. Nabi Muhammad bersabda Seorang yang mengerikan akan
muncul menjelang kiamat dan ketika dia bangun di pagi hari, dia dapati bahwa di keningnya tertulis kafir. Yang berarti
Sufyan akan menjadi seorang pembelot dan imitasi dari orang kafir dia akan memaksa manusia untuk berpakaian
seperti dunia non-Muslim.[26] Sedangkan yang paling nyata adalah kejadian di Turki ketika Mustafa Kemal Attaruk
yang Muslim menjadi imitasi Inggris yang kafir untuk menciptakan surga di dunia. Pada kenyataan masyarakat Turki
yang Muslim telah kehilangan nilai moral, sampai sekarang semakian marak di Turki pola kehidupan “liberalisasi
seks dan liberalisasi berpikir”.[27]
Kedua, mengenai Dajjal, Nabi bersabda para diktator yang akan muncul sebelum menjelang hari kiamat termasuk
khususnya Dajjal dan Sufyan akan mendapatkan surga dan neraka semu. Yang berarti semasa mereka manusia
akan dicekoki dengan kesenangankesenangan dan kenikmatan duniawi dan perbedaan-perbedaan di antara kelas-
kelas sosial akan meningkat dengan konsekuensi akan terjadi pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah.
Oleh karena itu tempat-tempat kesenangan dan kenikmatan serta penjara dan tempat-tempat siksaan yang serupa
akan berdiri berdampingan.
Ketiga, Nabi bersabda Menjelang kiamat tidak akan ada seorang pun yang menyembah Allah dan menyebut Nama-
Nya sebagai manifestasi ibadah. Ini berarti bahwa tempat-tempat di mana Allah disembah dan Namanya disebut
akan ditutup dan jumlah orang-orang yang taat beribadah akan menurut secara drastis. Sesat menjelang kehancuran
dunia Allah akan mencabut nyawa orang-orang beriman dan dunia akan dibinasakan di atas kepala orang kafir.
Keempat, Nabi bersabda orang-orang mengerikan tertentu yang akan muncul sebelum kiamat seperti Dajjal
mengklaim bahwa dirinya Tuhan dan membuat orang-orang sujud di hadapan mereka. Orang-orang ini akan
mendapat kekuatan mereka sebagian besar dari trend ateistik dan materialistik dan menganggap diri mereka sendiri
memiliki kekuatan Tuhan. Patung-patung mereka akan dibuat manusia akan dipaksa untuk menunduk di depan
mereka sebagai cara pemujaan.[28]
Kelima, Nabi bersabda kekejaman dan peperangan yang akan muncul sebelum kiamat akan sangat menyebar luas
dan berkuasa sehingga tidak ada seorang pun dapat mengendalikan tiubuh mereka untuk melawan mereka. Bahwa
kehidupan keji akan menggoda banyak orang yang akan menurutinya begitu saja, karena memang saat ini
modernisasi yang materilistik-konsumeris telah tidak terkendali. Ini dikarenakan oleh dimensi-dimensi kekejian dan
kesenangan mengerikan yang akan muncul sebelum hari kiamat atas permintaan Nabi hampir semua Muslim telah
berlindung kepada Allah selama 14 abad dari kekejian yang akan ditimbulkan oleh Dajal.[29]
Keenam, Nabi bersabda Sufyan akan menjadi seseorang yang berpengetahuan luas dan memukau banyak ilmuwan.
Ini berarti mekipun tanpa alat kekuasan dan ketergantungan semacam kerajaan, suku, kekayaan dan keberanian,
Sufyan akan mencapai kekuasaan karena memiliki kapasitas yang merangsang dan kecerdasan politik. Dia
mengekang pendidikan agama. Sebagian besar karena kenikmatan hidup, banyak ilmuwan dan pendidik agama
mendukung dia dan rezimnya.[30]
Untuk kejelasan ilmiahnya bahwa adalah metode ilmiah yang dirumuskan ilmuwan muslim yang meminjam teori
Aristoteles yang masih memposisikan Tuhan sebagai Pencipta Pertama, dalam konteks ini pengkajian terhadap
ciptaan Tuhan berarti pengakajian terhadap karya kreatif Tuhan sehingga dengan itu diharapkan seorang ilmuwan
muslim akan bertambah keyakinan dan ketakwaan kepada Allah. Sedangkan teori yang di Barat telah menimbulkan
begitu banyak reaksi dari kalangan umat Kristen, seperti teori evolusi sebenarnya juga telah dikembangkan dengan
baik oleh para pemikir terkenal seperti Al-Jahizh, Miskawaih dan khususnya Jalaluddin Ar-Rumi berdampingan
dengan teori-teori kreasionis, sekali lagi sejauh tidak secara langsung bertabrakan dengan prinsip-prinsip
fundamental keyakinan agama.

Namun sangat disayangkan teori-teori mereka secara terus terang melanggar dan menentang prinsip-prinsip ajaran
pokok agama, seperti terhadap penolakan terhadap eksistensi Tuhan, malaikat, hari akhir, kenabian dan sebagainya.
Sebenarnya Islam sebagai agama tidak bisa menoleransinya karena hal itu telah dipandang sebagai penyimpangan
prinsip etos keilmuan Islam yang sejati. Pada prinsipnya Islam membolehkan pengkajian pada bidang-bidang yang
sangat luas mulai dari fisika, matematika bahkan metafisika. Seharusnya hasil sains modern dapat diterima sebagai
sarana yang baik untuk lebih mengenal kebesaran Tuhan. Dunia Barat tidak demikian. Newton dan fisikawan modern
misalnya gravitasi dianggap sebagai gaya-gaya yang independen bersama dengan gaya elektromagnektik,
gelombang nuklir lemah dan kuat, namun oleh pemikir muslim seperti Ibnu Sina dan Al Farabi gaya alami itu memiliki
sumbernya pada entitas-entitas supernal, seperti akal aktif yang merupakan utusan Tuhan untuk mengurusi dunia
bawah-bulan, termasuk memberikan bentuk pada benda-benda di bawah bulan atau jiwa benda-benda angkasa
lainnya yang memancar dari Tuhan lewat emanasi. Darwin misalnya menyatakan evolusi bersifat independen atau
otonom seperti seleksi alam yang dipandang sebagai hukum independen dan bertanggungjawab pada evolusi
organik termasuk penciptaan spesies-spesies, sebagaimana Perire Laplace yang menyatakan peran Tuhan sebagai
pengatur dan pemelihara alam telah digantikan hukum mekanik. Dan masih banyak lagi contoh mengenai mungkin
Dajal-dajal yang muncul berupa ilmuwan yang menyesatkan. Sedangkan Sufyan-sufyan dalam dunia Islam muncul
dengan usaha-usaha mensektilerisasikan baik pemikiran maupun pola hidup, titik tolaknya ketika terjadi keruntuhan
Turki Usmana pada tahun 1920-an diikuti oleh sekulerisasi oleh Mustafa Kemal Attaruk, dunia Islam bertikai dalam
keluarga besarnya.

Ketujuh, Nabi Bersabda hari pertama Dajjal adalah sama dengan satu tahun sedangkan hari keduanya sema dengan
satu bulan hari ketiganya sama dengan satu minggu dan hari keempatnya adalah satu hari. Hadis yang menakjubkan
ini berarti bahwa Dajjal akan muncul di utara dan bergerak menuju selatan. Sebagaimana diketahui di tempat-tempat
di dekat kutub Utara satu tahun terdiri dari satu siang dan malam, masing-masing berlangsung selama 6 bulan.
Semakin ke selatan terdapat terdapat tempat-tempat di mana satu hari berlangsung 3 bulan dan satu bulan dan satu
minggu secara berturut-turut. Pengertian lain adalah Dajjal maupun Sufyan akan memiliki 4 periode peraturan,
periode pertama, mereka akan menyebabkan kerusakan besar dalam jangka waktu satu tahun yang normalnya
dapat dilakukan dalam jangka waktu 300 tahun. Kerusakan yang akan mereka timbulkan dalam jangka waktu pada
satu tahun periode kedua mereka akan sama dengan kerusakan yang dilakukan oleh yang lainnya selama 30 tahun
dan pada satu tahun periode ketiga mereka akan membuat 7 tahun kerusakan. Periode keempat mereka akan
normal.
Kedelapan, Nabi bersabda Ketika Dajjal muncul setiap orang akan mendengarnya. Mereka akan memiliki sebuah
kendaraan atau tunggangan yang luar biasa dan mengelilingi dunia dalam 40 hari. Ini berarti bahwa Dajjal akan
muncul ketika komunikasi dan transformasi berkembang pesat peristiwa yang terjadi di satu belahan dunia akan
terdengar di belahan bumi lain dan berkeliling ke seluruh penjuru dunia dalam waktu 40 hari adalah hal yang
mungkin.
2) Munculnya Messiah atau Mahdi

Mengenai mahdi atau messiah, baik Yahudi maupun Kristen mengharapkan Messiah datang menjelang hari kiamat
dan menganggap kedatangannya sebagai tanda akhir kernenangan besar untuk Yahudi dan Kristen. Menurut
sumber-sumber Islam yang terpercaya dia adalah Imam kedua belas dan terakhir dari sederetan Imam yang di mulai
Ali bin Abi Talib, sepupu Nabi dan khalifah keempat. Mandi lenyap ketika dia berusia 74 tahun dan akan muncul
ketika dunia penuh dengan ketidakadilan untuk menyelamatkan keadilan. Bersama dengan Messiah, Mahdi akan
mempertahankan prinsip-prinsip Islam dari trend materialistik dan menggugah kehidupan keagamaan. Dia akan
mengahiri kekuasaan Dajjal dan Sufyan.

Menurut para pemikir dan ilmuwan kontemporer termasuk Said Nursi, Mandi bukanlah satu orang saja, melainkan
sebuah nama “kebangkitan global”. Mandi memiliki tiga periode masing-masing akan dipresentasikan oleh satu orang
dan kelompoknya. Pemimpinya akan memiliki pengetahuan yang mendalam di bidang ilmu-ilmu agama, memiliki
standar moral tertinggi, mengetahui kondisi sosial, politik dan ekonomi pada masanya dan memiliki kualitas
kepemimpinan yang memadai. Bersama-sama pengikutnya pemimpin periode pertama akan mempertahankan
prinsip-prinsip Islam dari trend materialistik dan menunjukkan mereka dalam jalan yang benar. Pada periode kedua
prinsipprinsip Islam yang sudah dibangkitkan akan mencapai pengaruh penting di beberapa belahan dunia dan
kehidupan Islam akan mengalami sebuah kebangkitan yang signifikan. Periode mengalami akan rnenghalal
kebangkitan kehidupan keagamaan secara global.

Periode ketiga yang berkemungkinan akan mengikuti invansi Gog dan Magog yang akan menggangu periode kedua.
Agama Kristen menurut sumber Islam yang relevan akan terbebas peminjaman agama-agama dan filsafat tertentu
dan lebih mendekat pada Islam. Mereka akan berkerjasama untuk menangkis serangan Gog dan Magog dan
membebaskan dunia dari invasi mereka. I1mu pengetahuan akan mengalami perkembangan puncak. Kota-kota akan
dibangun di atas langit dan akan mudah melakukan perjalanan ke sana. Mungkin sebagai dampak kemajuan
genetika satu buah delima akan cukup sebanyak 20 orang dan kulit buahnya akan dapat menaungi mereka. Misi
orang Messiah yang ditujukan untuk Yesus Kristus, menurut Nabi Muhammad, Messiah yang dijanjikan adalah
Yesus Kristus. Dia akan kembali dan kemudian mengikuti dan sepenuhnya mendukung Mahdi.[31]
1. c) Mengenai Terbentuknya Padang Mahsar
Allah berfirman Katakanlah sesungguhnya ilmu tentang hari kiamat itu hanya pada sisi Allah (67 : 26). Bahwa
pergerakan bumi bukanlah tidak bertujuan. Pergerakan bumi menarik sebuah lingkaran raksasa di luar keliling bumi
dan bumi terus menerus memindahkan semua peristiwa yang terjadi di atasnya ke kelingkaran luar tersebut. Pada
hari pengadilan, hari kehidupan setiap orang akan ditampilkan kembali.
Menurut ramalan lingkaran raksasa ini akan dipusatkan di daerah Damaskus, tetapi dalam bentuk yang luas dan
disesuaikan dengan dimensi-dimensi Hari Akhir. Hasil dari semua penstiwa-peristiwa di bumi terus menerus
ditransfer ke dalam daftar atau. tablet-tablet Padang Mahsyar. Saat ini, Padang tersebut masih berada di balik
“kerudung” Yang Maha Tidak Terlihat. Bagaimana pun juga kita akan melihatnya pada saat kita telah menjalani
bentuk-bentuk spesifik hari akhir.

Penjelasan mengenai tanda-tanda akan tibanya hari kiamat di atas memberikan keyakinan yang kokoh terhadap
paham keagamaan dengan keimanan yang sudah ada sebagai dasar beragama. Seiring dengan itu, hari kiamat
menjadi bagian yang terintegrasi dalam diri Said Nursi dan salah satu cara upaya pembentukan akhlak mulia.

Pentingnya Meyakini Hari Kiamat


Serangkaian upaya pembentukan manusia yang berakhlak mulia, pemahaman tentang hari kiamat banyak dirujuk
sebagai bagian pembentukan karakter bagi Said Nursi. Para pemikir Islam dulu baik yang sezaman dengan Said
Nursi maupun sebelumnya belum menafsirkan secara mendalam mengenai ayat-ayat dan hadis-hadis mengenai hari
kiamat.[32] Hari kiamat menjadi landasan fundamental dalam pemikiran Said Nursi. Karena itu, hari kiamat menjadi
prinsip yang dapat mendorong terciptanya akhlak mulia yang menekankan sisi-sisi kejiwaan manusia.
Penekanan sisi kejiwaan, menurut Said Nursi melalui sifat dan kemampuan jiwa kita menunjukkan bahwa kita
diciptakan untuk beribadah kepada Allah Swt. Mengenai kekuatan dan kemampuan kita untuk tinggal di sini, kita
kalah bersaing dengan burung pipit yang paling lemah. Tetapi dalam hal ilmu, memahami kebutuhan kita, dan
memohon serta beribadah, yang diperlukan untuk kehidupan rohani dan kehidupan akhirat, kita adalah raja dan
komandan dari semua makhluk hidup. Lanjut Said Nursi:

Hai jiwaku ! Jika engkau menganggap dunia ini adalah tujuan utama kehidupanmu dan engkau bekerja dan
senantiasa bekeda untuk kepentingan dunia, engkau akan menjadi seperti burung pipit yang paling lemah. Tetapi jika
engkau menganggap akhirat adalah tujuan akhirmu, dan menganggap dunia ini sebagai ladang tempat menaburkan
benih, sebuah persiapan bagi akhirat, dan bertindak dengan semestinya, engkau menjadi penguasa agung kerajaan
binatang, hamba yang memohon kepada Allah Yang Maha Perkasa, dan menjadi tamu-Nya yang terhormat dan
disayangi di dunia ini. Engkau bisa memilih salah satu pilihan itu. Jadi mintalah petunjuk dan keberhasilan dari jalan-
Nya dari Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (Said Nursi 2003d, hlm. 52).

Kutipan di atas menggambarkan secara tegas bahwa Said Nursi sangat yakin akan adanya hari kiamat yang dunia
ini bukan tujuan akhir. Perjalanan manusia akan diteruskan ketika hari kiamat tiba dan membuka ruang-ruang baru
bagi manusia yang baru dibangkitkan dari kubur. Karena itu, Said Nursi sangat menekankan agar manusia meyakini
secara mendalam mengenai hari kiamat.

Sebenarnya Al-Qur’an mengajarkan 4 (empat) tujuan utama yakni untuk membuka dan membangun pada jiwa dan
hati manusia eksistensi dan keesaan Allah, kenabian, kebangkitan Jasmani dan ketaatan terhadap Allah dan
keadilan. Manifestasinya melalui Asma dan Sifat-Nya dan keteraturan serta harmoni sempurna yang sangat indah
dalam eksistensi. Al-Qur’an menyebutkan peristiwa-peristiwa bersejarah tertentu khususnya yang akan terjadi
sebelum hari kiamat. Hal ini memiliki tempat yang penting baik dalam Al-Qur’an maupun al Hadis. Al-Qur’an adalah
Kitab Suci yang terakhir dan Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir.

Argumen Al-Qur’an mengenai hari kiamat yakni tindakan-tindakan universal mengacu pada hari kebangkitan, dan
untuk menyentuh hati manusia mengenai kehebatan yang akan dilakukan Yang Kuasa pada hari akhir dan untuk
mempersiapkan jiwa manusia untuk dapat menerima dan memahaminya, Al-Qur’an menyajikan kehebatan yang Dia
lakukan di sini untuk mempersiapkan kita terhadap hal itu. Hal ini memberikan contohcontoh tindakan-tindakan besar
Allah di dalam alam semesta yang luas (makro-kosmos) dan kadang kala menunjukkan pembuangan menyeluruh-
Nya terhadap makro-kosmos, norma-kosmos dan mikro-kosmos, yakni alam semesta, umat manusia dan atom.

Contohnya ayat al-Qur’an berikut menekankan Kekuasaan Allah dan menyebutkan sebagai fakta, mengajak kita
untuk memiliki keyakinan tentang pertemuan kita dengan Dia di akhirat : “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa
tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan makhluk-Nya, menjelaskan tanda-
tanda kebesaran-Nya, supaya kamu meyakini pertemuanmu dengan Tuham-mu (13:2). “Penciptaan pertama alam
semesta dan umat manusia menunjukkan “penciptaan kedua”, Al-Qur’an menyajikan fenomena penciptaan alam
semesta ini yang didefenisikan sebagai penciptaan pertama (56:62), sedangkan penjelasan tentang kebangkitan
yang telah mati didefenisikan sebagai penciptaan. kedua (53:47), untuk membuktikan adanya Hari Kebangkitan.

Iman kepada akhirat merupakan dasar kehidupan manusia sebagai masyarakat maupun sebagai individu. Keimanan
ini merupakan dasar untuk semua kebahagiaan dan kasih sayang, karena setelah iman kepada Allah, maka iman
kepada hari kebangkitan berperan dalam melindungi sebuah tata sosial yang damai. Apabila kita tidak percaya
bahwa kita akan dipanggil untuk memperhitungkan amal perbuatan kita, mengapa kita diharuskan menjalani hidup
jujur dan benar. Tetapi, apabila kita berbuat menurut keyakinan bahwa kita harus menjalankan perhitungan amal
perbuatan, kita akan hidup dengan taat dan benar.

Pada suatu kesempatan Said Nursi menulis : “Jangan takut terhadap kematian. Kematian bukanlah kepunahan
abadi, tetapi hanyalah suatu perubahan dunia, pembebasan dari tugas-tugas kehidupan duniawi yang berat, dan
sebuah tiket menuju dunia abadi tempat semua jenis keindahan dan rahmat sedang menantimu. Allah Yang Maha
Pemurah yang mengirim kamu ke dunia, dan menjaga kamu tetap hidup di dalamnya untuk beberapa lama, tidak
akan meninggalkanmu dalam kegelapan ruang  kuburmu ke haribaan-Nya dan menjamin kamu menuju kehidupan
abadi yang selalu bahagia. Dia akan memberimu karunia surga”. Hanya kabar baik seperti ini sangat bermanfaat dan
benar-benar dapat menjadi penghibur generasi tua dan membuat mereka menyongsong kematian dengan senyum.
Keyakinan ini mengingatkan kita semua bahwa kita harus yakin keberadaan hari kiamat. Kiamat pasti dating. Iman
kepada hari kiamat juga merupakan sumber hiburan bagi mereka yang sedang generasi tua termasuk mereka yang
sakit. Keyakinan secara mendalam akan adanya hari kiamat seolah merupakan obat dari penyakit yang tidak
terobati. Said Nursi menjadikan hal yang sangat prinsip dalam meyakini hari kiamat ini.

Meneladani Nabi Muhammad Saw


Prinsip menedalani Nabi Muhammad Saw menjadi komitmen dasar Said Nursi dalam merealisasikan ajaran-ajaran
Islam dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pada prinsipnya bahwa
mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw dengan sepenuhnya merupakan cerminan dari keseriusan
mentaati perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangannya dengan mengikuti al-Quran dan keimanan mendalam
akan keesaan Allah.

Pada dasarnya, apabila seseorang menyatakan diri sebagai muslim, maka ia harus mewujudkan keislamannya itu
dalam bentuk mengikuti sunnah Nabi tersebut secara sungguh-sungguh dalam segala aspek kehidupan. Dengan
prinsipnya ini, Said Nursi hendak menegaskan bahwa bila seseorang yang telah berikrar bahwa dirinya adalah
pengikut Muhammad Rasul-Allah Saw, hendaknya ia harus mengikuti cara atau metode dan jalan hidup yang telah
dibuat oleh Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya dalam seluruh aspek kehidupan. Zaidin (1999, hlm. 39-
53) menceritakan bahwa Said Nursi adalah seorang ulama yang banyak mencurahkan perhatiannya pengajian
keagamaan dengan sekuat tenaga telah berusaha menghidupkan kembali suatu usaha yang dulu di bawa oleh Nabi
Muhammad Saw, yaitu suatu model pengajian ia sebut dengan istilah dershane (Tempat belajar).
Menerapakan atau meneladani Nabi Muhammad Saw menjadi kekuatan amaliah ibadah secara aplikatif. Praktek
amaliah ibadah dengan cara meneladani nilai-nilai yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Doktrin ini
menjadi sangat penting dalam praktek kehidupan manusia. Mengenai prinsip meneladani Nabi Muhammad ini Allah
berfirman “Katakan, Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosa kalian. “Allah Maha pengasih dan Maha Penyayang” (Qs. Al Imran : 31). Di dalam ayat ini terdapat bentuk
simplikasi redaksi yang mengagumkan. Makna yang begitu banyak dirangkum hanya oleh tiga kalimat. Adapun
penjelasan Said Nursi mengenal ayat, ini adalah :
Jika kalian beriman kepada Allah, pasti kalian mencintai-Nya. Selama kalian mencintai-Nya, pasti kalian beramal
sesuai dengan apa yang dicintaiNya. Hal itu berarti kalian harus meneladani pribadi yang Dia cintai. Dan ia bisa
terwujud dengan cara kalian mengikuti pribadi tersebut. Jika kalian mengikutinya, Allah akan cinta kepada kalian.
Tentu saja kalian mencintai Allah agar juga dicintai oleh-Nya (Said Nursi, 2003, hlm. 114).

Perilaku Nabi Muhammad Saw disebut sunnah. Menurut Islam, sunnah Nabi adalah sumber hukum kedua setelah
Qur’an. Keseharian dan perilaku Rasulullah, bahkan diakui oleh para sarjana Barat, merupakan gambaran
kesempurnaan utuh seorang manusia. Dan tidak ada satu pun seorang manusia di muka bumi yang diikuti
perilakunya oleh berjuta-juta orang hingga detik ini dalam sejarah peradaban manusia. Akhlak Nabi Saw merupakan
kesempurnaan akhlak pada diri seseorang. Allah menegaskan : “Akhlak Nabi adalah al-Qur’an”. Pada ayat lain, Dia
berfirman : “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu” (Qs. al Ahzab : 21). Pada firman
Allah yang lain : “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam“. (Qs. al Anbiya’ : 107) Semua itu telah tercatat dalam sejarah Islam yang merupakan ketetapan Allah Swt.
Berapa banyak kalangan salaf (generasi terdahulu) yang mengagumi dan berusaha menyelaraskan kehidupan
mereka dengan sunnah. Sejak pagi hingga malam hari.
Untuk mencapai kepribadian mulia adalah dengan mengikuti orang yang dikasihi Allah yakni Nabi Muhammad Saw
dan mengaplikasikan sunnahnya yang suci. Said Nursi mengatakan sesungguhnya kecintaan kepada Allah harus
diikuti dengan sikap mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sebab dalam doktrin ini Said Nursi mengatakan
bahwa “kecintaan kepada Allah baru terwujud dengan melakukan perbuatan yang diridhoi olehNya. Sementara itu,
ridhonya yang paling utama tampak pada pribadi Muhammad Saw” (Said Nursi, 2003, hlm. 117).

Penjelasan di atas mendorong pentingnya praktek keteladanan kepada Nabi Muhammad Saw (Sunnatun Tsaniyah)
dalam kehidupan seseorang untuk membentuk kepribadian yang barakhlak mulia. Menurut Said Nursi meneladani
pribadi beliau yang penuh berkah itu bisa terwujud dengan 2 (dua) hal :
Pertama, mencintai Allah, mentaati segala perintah-Nya dan berbuat sesuai dengan ridlio-Nya. Sikap semacam ini
mengharuskan kita mengikuti Nabi Muhammad Saw. Sebab pemimpin yang paling sempurna dengan teladan yang
paling utama dalam urusan tersebut adalah Nabi Muhammad Saw. Kedua, mencintai pribadi Nabi Muhammad Saw.
Sebab beliau merupakan perantara yang paling utama agar manusia bisa mendapatkan kebaikan ilahi. Karena itu,
beliau layak dicintai karena Allah ta’ala. (Said Nursi 2003, hlm. 117).
Said Nursi mengatakan secara fitrah ketika kita mengarahkan perhatian pada sosok yang kita cintai kekasih Allah
haruslah berupaya meneladani dan mencontoh beliau dengan cara mengikuti semua sunnahnya yang mulia.
Dikatakannya pula, mengikuti sunnah rasul Muhammad Saw merupakan tujuan termulia sekaligus merupakan tugas
terpenting manusia (Said Nursi 2003, hlm. 117-1 18).

Begitu pentingnya masalah mengikuti Sunnah Rasul ini menurut Said Nursi mengikuti Sunnah Rasul berasal dari 3
(tiga) sumber yaitu perkataan, perbuatan clan keadaan. Tiga sumber ini juga terbagi lagi menjadi tiga, yaitu : wajib,
sunnah dan ada yang merupakan kebiasaan beliau. Hal yang wajib tentu saja harus diikuti. Seorang mukmin
diharuskan mengikutinya sebagal konsekuensi dari keimanan yang ada pada dirinya. Semuanya, tanpa terkecuali,
diberi beban untuk, melaksanakan as-Sunnah yang bersifat wajib tersebut. Orang yang meninggalkan dan
mengabaikan as-Sunah tersebut akan mendapat siksa dan hukuman. Orang yang bahagia dan beruntung adalah
yang paling inters mengikuti sunnah nabi Muhammad Saw sementara orang yang tidak mengikuti Sunnah akan
benar-benar merugi jika sikap untuk tidak mengikuti sunnah Nabi. Said Nursi menuliskan bahwa “Tindakan yang
mengikuti sunnah rasul beliau akan mengubah adab dan kebiasaan menjadi bernilai ibadah“. (Said Nursi 2003, hlm.
119).
Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, mengikuti sunnah atau tidak bukanlah suatu “kebebasan memilih”. Sebab
mengamalkan ajaran Islam sesuai garis yang telah ditentukan oleh Rasulullah adalah kewajiban yang harus ditaati,
sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an : “Dan apa yang Rasul berikan untukmu, maka terimalah ia, dan apa yang
ia larang bagimu, maka juhilah” (Qs. al-Hasyr : 7).
Beliau memiliki akhlak paling mulia, seperti yang dikatakan baik oleh para wali maupun musuh Islam. Belau
merupakan sosok pilihan di antara seluruh anak manusia selain sebagai pribadi paling dikenal semua orang. Beliau
merupakan pribadi sempurna bahkan teladan dan pembimbing paling utuh dengan melihat pada ribuan mukjizat
yang ada kesaksian dunia Islam clan kesempurnaan pribadinya yang didukung oleh hakekat al-Qur’an yang sampai
padanya.

Di kalangan umat Islam telah sepakat bahwa sunnah merupakan kunci untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an dan
sebagai perangkat pengurai yang menunjuki dari dalil-dalil yang tersedia di dalamnya. Al-Qur’an diturunkan hanya
memuat prinsip-prinsip dasar dan hukum Islam secara global sebagai aturan hidup, sedang sunnah mengajarkan
petunjuk pelaksanaannya jadi sunnah sangat diperlukan jika seseorang hendak mengamalkan secara benar ajaran
Islam guna menjadi seorang Muslim yang hakiki. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an, “Siapa yang taat kepada Rasul,
maka ia taat kepada Allah” (Qs. al-Nisaa’ : 80 ).

Hidup ini sangat singkat dan sarat dengan tipu daya dengan segala bentuk dan ragamnya yang sulit untuk dirubah.
Semuanya baru akan terasa indah dan bermakna jika kita mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi. Setiap aktifitas
yang diarahkan kepada Allah tidak akan menjauhkan dari hubungan hidup dengan-Nya, bahkan justru membuat
Allah semakin menyukai dan meridhoinya. Tidak ada karunia kenikmatan yang lebih besar daripada sehari yang
dilalui dalam ketentraman dan keserasian. Kita coba mengawali aktifitas sehari dengan mengingat Allah dan Rasul-
Nya pada saat bangun pagi, kemudian menjalam paginya bersama bimbingan Nabi Muhammad Saw.

Dalam setiap hendak memulai perkerjaan, Rasulullah senantiasa mengawali perbuatan dengan menyebut nama
Allah. Rasulullah bersabda :”Setiap perbuatan yang tidak diawali dengan menyebut nama Allah yakni :
Bismillahirrahmanirrahim – adalah terputus (dari berkat Ilahi atau Rahmat-Nya)” (Tafsir Ibnu Katsir).

Selanjutnya, hendaknya perilaku hidup ini kita selaraskan dengan ajaran al-Qur’an, dan mengikuti sunnah Nabi
Muhammad. Dengan begitu, hidup yang singkat ini akan terasa sangat bermakna, penuh hikmah dan indah. Rasa
kasih sayang yang Nabi miliki dapat kita contoh dan teladani. Kecintaan kepada sesama dan semua makhluk Allah
kita pelihara. Pengabdian hidup seperti Nabi untuk kejayaan Islam kita amalkan. Pengorbanan Nabi untuk kedamaian
umat manusia kita jaga. Kesederhanaan Nabi dalam hidup sehari-hari dapat kita ikuti. Keikhlasan Nabi dalam
beramal dapat kita praktekkan. Maka, dengan mengikuti Nabi yang mulia karena akhlaknya, kita akan menjadi orang
mulia, baik di mata Allah atau di mata manusia.

Menanamkan Ikhlas, Takwa dan Sedekah


Said Nursi sangat menekankan kepada murid-muridnya untuk senantiasa ikhlas, takwa dan sedekah. Said Nursi
sangat yakin keikhlasan, ketakwaan dan sedekah dapat membentuk karakter pribadi manusia. Kajian berikut
menjelaskan secara mendalam bahwa ketiga hal ini menjadi dasar hidup dalam pembentukan manusia ideal dalam
pandangan Said Nursi yang diisyaratkan secara implisit dalam Risale-i Nur untuk membentuk manusia ideal yang
berakhlak mulia.
 

1)  Ikhlas Menjadikan Manusia Filosof-sufi

Ikhlas adalah ciri muslim sejati. Setiap orang harus menjadikan sikap atau perilaku ikhlas sebagai bagian kepribadian
mulia dirinya. Orang yang terbina keikhlasan dalam diri akan dalam meluluhkan dan membuat orang lain turut
menjadi orang ikhlas. Ikhlas cenderung kepada amal keteladanan. Misalnya, ikhlas beramal ibadah hanya karena
Allah semata.

Manusia seperti ini umumnya tanggap dalam melihat sesuatu pada esensinya melalui tafakur yang mendalam.
Anjuran membaca Risale-i Nur adalah aktivitas untuk mencapai manusia sempurna. Dalam tafakurnya, ia dapat
menyentuh kondisi di luar dirinya. Ikhlas diri dibawa Kekuasaan Allah sehingga menghasilkan daya pikir yang
cemerlang dan hati yang suci. Sampai disini ia akan menjadi manusia sempurna dan memperoleh kebabagiaan.

Ikhlas kunci kemenangan, ketinggian derajat dan kemuliaan hati. Menjelma dalam relung-relung kalbu pribadi yang
mulia. Dengan cara beramal ikhlas, berjiwa ikhlas, akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang kokoh dan maju.
Bahkan jika setiap elemen masyarakat mempunyai rasa ikhlas yang kuatnya melebihi keempat elemen di atas, akan
terbangun peradaban dunia yang maju.

Perilaku ikhlas banyak sekali ditemui seantero dunia ini, karena mereka mengetahui nilai ikhlas bagi kehidupan
mereka akan mendatangkan kebajikan. Orang yang ikhlas dengan sendirinya akan bermanfaat bagi lingkungannya.
Ia selalu memberi tanpa meminta balasan. Ia mengulurkan bantuan tanpa diminta. Bahkan, perbuatan tidak
menyenangkan hatinya pun ia balas dengan senyuman dan sapaan mulia. Hatinya, begitu tenang dan
menyenangkan.

Sifat ikhlas inilah yang akan memacu dan memicu lahirnya generasi unggulan yang siap bersaing di tatanan dunia
global. Karena, hanya pribadi yang ikhlaslah yang sebenarnya paling berhak untuk mendapatkan tanda jasa dan
penghargaan dari masyarakat, tanpa dia meminta atau mengharapkan.

Ciri-ciri orang ikhlas diisyaratkan dalam Risale-i Nur, sebagai berikut :

1. Ikhlas beriman
2. Ikhlas beribadah
3. Ikhlas beramal
4. Ikhlas mengingat mati
5. Ikhlas mengingat hari kiamat
6. Lebih menyukai jiwa mukmin lain daripada jiwanya sendiri
7. Tafakur imani
8. Tidak merasa benar sendiri
9. Bergabung dengan temannya dalam menuju kebenaran yang ada dihadapannya
10. Berpegang kepada nilai-nilai kejujuran dan pencarian kebenaran yang ditetapkan oleh para ulama (Said
Nursi 2003a,b).
 

Sarana mencapai keikhlasan menurut Said Nursi ada 2 (dua) yakni rabithatul maut (selalu mengingat mati) dan
merenungi makhluk. Pertama, selalu mengingat mati, dijelaskan Said Nursi bahwa “mengingat mati justru
menjauhkan manusia dari riya dan menjadikan orang yang mengingatnya selalu memelihara keikhlasan. Mengingat
mati bisa membersihkan orang tersebut dari nafsu yang memerintahkan kepadanya kepada keburukan” (Said Nursi,
2003a, hlm. 308).
Dijelaskan Said Nursi bahwa para ahli Sufi dan ahli hakikat menjadikan rabithatul maut sebagai landasan dalam
suluk mereka sebagaimana ayat-ayat al-Qur’an yang mereka ketahui : “Setiap nafs (diri) pasti merasakan kematian”
(QS. Al-Imran : 185) “Sesesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati” (QS. Az-Zumar :30).
Dengan mengingat mati mereka tidak akan berpikir akan kekal abadi sebagai cikal bakal panjang angan-angan.
Mereka selalu membayangkan diri mereka sebagai orang-orang mati. Mengingat mati memberikan manfaat yang
luas. Said Nursi mengutip hadis Nabi Muhammad Saw, “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang menolong segala
kenikmatan”.5 Berdasarkan hadis ini, Said Nursi menegaskan bahwa jalan kita adalah jalan hakikat ilmiah bukan
tarekat, sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan hayalan.
Kedua, merenungi makhluk. Untuk dapat sampai kepada ikhlas adalah memperoleh keyakinan hakiki serta cahaya
yang bersumber dari perenungan terhadap seluruh makhluk. Merenungi proses kehidupan manusia yang senantiasa
mengalami berbagai perubahan. Kebesaran Allah yang telah menciptakan kehidupan dan manusia ini.
Dari berbagai keterangan di atas dapat dipahami bahwa manusia ideal dalam Risale- i Nur adalah manusia ikhlas.
Manusia ikhlas inilah yang banyak melahirkan orang-orang suci dalam berbagai ciri dan karakternya. Namun, karena
didominasi jiwa ikhlas maka perilaku yang selalu muncul adalah rasa syukur. Rasa syukur menjadi utama bagi
mereka yang berhati suci dan ikhlas. Manusia yang memiliki jiwa-jiwa ini dapat disebut sebagai manusia filosof-sufi.
Kategori orang semacam inilah yang bisa dikategorikan sebagai seorang filosof-sufi. Yang memiliki karakter seperti
Nabi.
 

2) Takwa Menjadikan Manusia Ulil Albab


Tingkatan takwa selalu diletakkan sebagai tempat yang mulia. Takwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah Swt
dengan mematuhi perintah dan larangan-Nya, yang tidak cukup diartikan dengan takut saja (Al-Qur’an Depag RI,
2004, hlm. 3). Namun, dalam pandangan Said Nursi ketakwaan dibawa orang ikhlas. Karena dominasi jiwa dalam
ketakwaan adalah jiwa berani dan nafsu. Ketakwaan menjadi sangat penting dalam pembentukan muslim yang
hakiki. Manusia ideal vang diharapkan dari ketakwaan adalah manusia yang memiliki karakteristik ulil albab.

Ciri-ciri orang takwa diisyaratkan dalam Risale-i Nur :

1. Orang sabar dalam mencari ridha Allah


2. Selalu menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian (Qs. Ar Rad ayat 20)
3. Takut kepada Allah
4. Takut kepada hisab Allah
5. Mendirikan shalat
6. Menafkahkan sebagian harta (Said Nursi 2003b, hlm
 

Dapat dipahami bahwa manusia ideal selanjutnya menurut Said Nursi adalah manusia ulil albab (manusia berakal).
Manusia ulil albab memiliki sikap hidup sabar. Kesabaran utamanya adalah dalam mencari keridhaan Allah,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki kepada orang lain, baik secara sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Mereka inilah orang yang takwa. Sikap hidup yang takwa
dalam jiwanya selalu dominan sabar. Manusia yang memiliki jiwa-jiwa ini dapat disebut sebagai manusia ulil albab
yang memiliki karakter seperti Nabi.

3) Sedekah Menjadikan Manusia Dermawan


Penciptaan manusia ke muka bumi ini tidak terlepas dari dua hal penting yakni sebagai pengabdi dan khalifah.
Dalam pengabdian dan khalifah di muka bumi inilah perpaduan selanjutnya dari jiwa berani dan nafsu melakukan
peranannya. Untuk selalu menjalin ukhuwah Islamiyah. Karena, kedermawanan sangat dekat sekali dengan saling
menolong atas sesama manusia.

Ciri-ciri orang sedekah diisyaratkan dalam Risale-i Nur, yaitu :

1. Menafkahkan sebagian hartanya kepada orang lain


2. Senantiasi menjalin tali silaturahmi
3. Senantiasa menjalin ukhuwah Islamiyah
 
Dari berbagai penjelasan di atas dapat dipahami bahwa manusia ideal selanjutnya Risale-i Nur adalah manusia
dermawan. Manusia dermawan memiliki sikap hidup sedekah. Sedekah adalah dalam mencari keridhaan Allah,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki kepada orang lain, baik secara sembunyi maupun terang-
terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Mereka inilah orang yang takwa. Sikap hidup orang yang suka
bersedekah dalam jiwanya selalu dominan jiwa ukhuwah. Manusia yang memiliki jiwa-jiwa ini dapat disebut sebagai
manusia dermawan yang memiliki karakter sepeti Nabi.

Rangkaian penjelasan dan pembahasan di atas dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi
yang mengikat dalam satu kesatuan hidup, termasuk di dalamnya dapat prinsip pendidikan akhlak bagi generasi
muda diketahui meliputi : menguatkan iman, berpegang teguh pada al-Qur’an, pentingnya memahami hakekat
penciptaan manusia, pentingnya memahami alam semesta, pentingnya memahami asma’ al-husna, pentingnya
mengetahui tanda-tanda akhir zaman, pentingnya meyakini hari kiamat, meneladani nabi Muhammad Saw dan
menanamkan ikhlas, takwa dan sedekah. Prinsip-prinsip ini saling berkaitan dalam jiwanya dan sifatnya tidak dapat
dipisah-pisahkan. Baik dalam pola pikir, pola sikap dan pola lakunya. Prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi ini
dapat dikatakan sebagai prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda. Tentu saja, karena sifatnya filosofis dalam
diri manusia, maka prinsip-prinsip ini menjadi dasar bagi Said Nursi yang sangat relevan dengan kehidupan generasi
muda.

 
Relevansi Prinsip-prinsip Pendidikan Akhlak dengan Pembinaan Generasi Muda
Setelah dikemukakan mengenai prinsi-prinsip pendidikan akhlak generasi muda menurut pemikiran Said Nursi,
berikut ini adalah bagian analisis terhadap prinsip-prinsip tersebut di atas. Pada bagian ini penulis mencoba untuk
menganalisis relevansi prinsip-prinsip pendidikan akhlak tersebut dengan pembinaan generasi muda secara
deskriptif-komperatif untuk melihat aspek akidah, pandangan hidup, tujuan hidup, ibadah, tingkah laku, lingkungan
dan tahap perkembangan kepribadian generasi muda.

Relevansi dengan Akidah Generasi Muda


Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa generasi muda yang dimaksud pada penelitian ini adalah generasi
yang berumur 15-40 tahun yang beragama Islam. Walau bagaimana pun, secara fakta aspek akidah generasi belum
dapat dipastikan. Apakah aspek keimanan yang mereka pegang benar-benar sesuai dengan hakikat yang diajarkan
Islam, sebab banyak di antara mereka yang dapat disebut “Islam Phobia” atau “Islam KTP”. Artinya mereka
beragama Islam dan mengaku beriman, namun masih ada yang tidak mau shalat, puasa Ramadhan bahkan zakat
masih ditinggalkan. Fenomena seperti ini masih sangat nampak di tengah-tengah masyarakat.

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima generasi muda dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu
menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah
tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

Hasil penelitian Allport, Gillesphy, dan Young menunjukkan  bahwa  85 % generasi muda Katolik Romawi tetap taat
menganut ajaran agamanya dan 40 % generasi muda Protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya (Jalaluddin
2002, hlm. 74). Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya, bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih
banyak berpengaruh bagi para generasi muda untuk tetap taat pada ajaran agamanya.

Sebaliknya agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang
pengembangan pikiran dan mental para generasi muda sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya.
Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental generasi muda mempengaruhi sikap keagamaan
mereka. Karena itu, pemahaman dengan menguatkan keimanan harus senantiasa dilakukan untuk menuju
kesempurnaan.

Walau sulit mengukur tingkat keimanan bagi generasi muda, namun kekuatan iman akan sangat nampak dari tingkah
laku dan peribadahan yang dilakukan. Namun, Said Nursi sangat menekankan keimanan bagi generasi muda.
Tujuan ciptaan yang paling murni dan fitrah manusia yang paling tinggi ialah iman kepada Allah. Jika ditinjau dari
aspek pengamalan agama, tawaran-tawaran Said Nursi adalah penguatan keimanan melalui ruh ketauhidan masuk
dalam kehidupan manusia sampai ke relung batin. Tauhid adalah dasar utama dalam menyatakan keimanan secara
sempurna. Hakekat keimanan secara menyeluruh dapat dipahami melalui rukun iman yaitu ; Rukun iman terdiri dari
iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan qadha dan qadhar.
Menurut Said Nursi hakekat keimanan terdapat dalam kalimat La Ilaha Illah yang merupakan mengakui secara
totalitas kekuasaan Allah dan untuk membuktikan keimanan mereka dapat dilihat amal dan ibadah mereka sehari-
hari. Artinya, sesungguhnya generasi muda yang beragama Islam tentu tergolong kepada generasi muda yang
beriman, walaupun tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana tingkat keimanan mereka, sebab keimanan tidak
bisa dilihat dan menyangkut soal hati. Keimanan generasi muda jika didasarkan dengan prinsip ajaran Islam adalah
tidak cukup dengan pembenaran hati dan pengakuan dengan kata-kata, tetapi diikuti oleh amal perbuatan.
Pembentukan nilai keimanan inilah yang diusahakan oleh Nabi Muhammad Saw, yang selama 13 tahun di kota
Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Iman yang tidak pernah dipisahkan dari pasangannya, yaitu amal shalih (ibadah,
mu’amalah, mu’asyarah dan akhlaq). Berkenaan dengan iman, sebagaimana firman Allah SWT dalam
(QS.Ibrahim/14:24-25) : Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang kelangit. Pohon itu memberikan buahnya pada
setiap musimdengaseizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka
selalu ingat (Alquran dan Terjemahannya 1990, hlm. 383-384).

Dalam Alquran dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Kerajaan Arab Saudi dinjelaskan bahwa, yang dimaksud
dengan kalimat yang baik adalah kalimat tauhid (kalimat iman), yaitu segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan
dan mencegah dari kemunkaran serta berbuat yang baik. Yang dimaksud kalimat tauhid adalah kalimat “Laa ilaa ha
ill-Allah” (Alquran dan Terjemahannya 1990, hlm. 383-384). Buah dari sebatang pohon yang akarnya kuat adalah
perumpamaan terhadap akhlak mulia. Akhlak adalah sebagai buah atau hasil dari suatu proses pendidikan yang
didasari oleh penanaman nilai keimanan. Keimananlah yang menjadi fondasi dasar terwujudnya akhlaq al-karimah.
Akhlak mulia membentuk generasi yang kuat iman dan menjadi insane saleh sampai bertemu dengan Allah Swt.
Insan shaleh adalah manusia yang mendekati kesempurnaan. Yang dimaksud pembentukan insan yang shaleh dan
beriman kepada Allah tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku
(Q.S.51:56) manusia yang penuh keimanan dan takwa, berhubung dengan Allah memelihara dan menghadap
keada-Nya dalam segala perbuatan yang dikerjakan dan segalah tingkah laku yang dilakukannya, segala pikiran
yang tergores dihatinya dan segala perasaan yang berdetak dijantungnya ia adalah manusia yang mengikuti jejak
langkah Nabi Muhammad Saw dalam pikiran dan perbuatannya.

Insan shaleh beriman dengan mendalam bahwa ia adalah khalifah di bumi (Q.S.2:30). Ia mempunyai risalah
ketuhanan yang harus dilaksanakannya, oleh sebab itu selalu menuju kesempurnaan akhlak yang mulia, sebab
Rasulullah SAW. diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Di antara akhlak insan yang shaleh dalam
Islam adalah harga diri, prikemanusiaan, kesucian, kasih sayang, kecintaan, kekuatan jasmani dan rohani,
menguasai diri, dinamisme dan tanggung jawab. Ia memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar. Ia juga
bersifat benar, jujur ikhlas memiliki rasa keindahan dan memiliki keseimbangan dan berperilaku seperti Nabi
Muhammad Saw.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip keimanan yang ditanamkan Said Nursi dalam dirinya dan
murid-muridnya sangat relevan untuk selalu direalisasikan oleh generasi muda yang beriman, walaupun tidak
diketahui secara tepat tingkat keimanan generasi muda tersebut. Namun, diyakini bahwa dengan senantiasa
menguatkan keimanan akan tercapai keinginan menjadi insane shaleh.

Relevansi dengan Pandangan Hidup Generasi Muda


Kemunduran dan kelemahan umat Islam dalam bidang ekonomi dan politik, khususnya ketika berada di bawah
kekuasaan kolonial Barat pada abad ke-18, telah merangsang para elite politik Muslim untuk menyuarakan
pentingnya perubahan-perubahan internal dalam upaya memperkecil jurang pemisah antara umat Islam dan orang-
oraug Barat. Perkembangan dunia modern Barat telah menyumbangkan banyak sekali landasan yang menjadi dasar
pendidikan. Khususnya terjadi perubahan besar dalam pandangan dan pemahaman keagamaan umat yang semakin
lama semakin bingung dan lemah. (Wan Daud, 2003 hlm. 7). Dalam konteks umat secara luas, generasi muda
berada di tengah-tengah arus perubahan tersebut yang tidak dapat dibantah keberadaan.  
Untuk ukuran generasi muda dari 15-40 tahun sudah dalam mengenal apa itu pandangan hidup. Generasi muda
memiliki pandangan hidup yang jauh dari nilai-nilai keagamaan, bahkan prinsip-prinsip mulia ditinggalkan. Pengaruh
arus globalisasi dan maraknya pandangan dunia yang mampu merubah perilaku generasi muda patut menjadi
perhatian bersama. Pandangan hidup dalam konteks ini adalah pandangan Barat yang merusak generasi muda
muslim. Dalam kajian filsafat di antara pandangan hidup  tersebut adalah sekulerisme, materialisme, komunisme dan
ateisme. Said Nursi secara nyata-nyata menentang semua pandangan dunia yang membawa generasi muda berada
di posisi yang tidak jelas menentukan arah hidup

Pertama, Pandangan Sekulerisme. Dalam berbagai perdebatan persoalan sekulerisme senantiasa menjadi topik
penting dalam diskusi dunia saat ini. Menurut Mulyadi sekuler adalah lawan dari sakral. Kata sekuler dari bahasa
Latin “sculum” berarti “bersifat duniawi (worldly)”  sebagai lawan dari “spiritual” atau “relegius”. Sekuler yakni
pandangan yang hanya mementingkan kehidupan duniawi dan mengabaikan yang ukhrawi dan dari sudut ontologis
mementingkan yang bersifat materiil, mengabaikan yang spiritual. (Mulyadhi 2004, hlm. 120).
Kedua, Materialisme. Pandangan materialisme klasik sampai perkembangan pengetahuan di abad ke-18 menurut
Sadulloh mengutip Power (1982) terdapat implikasi pendidikan positivisme behaviorisme yang bersumber pada
filsafat materalialisme yang mengarahkan pandangan ini kepada tujuan pendidikan yakni “perubahan perilaku,
mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk bertanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang
kompleks” (Sadulloh, 2003, hlm. 118). Pendapat ini berarti bahwa titik tekan pandangan ini berada pada manusia
dengan kapasitas pribadinya yang kompleks yang dapat merubah sikap dan penlaku seseorang.
Ketiga, Komunisme dan Ateisme.  Hasil dari pandangan sekulerisme dan matenalisme berimplikasi kepada
pandangan hidup yang mengarah komunisme dan ateisme. Kata Komunisme secara historis sering digunakan untuk
menggambarkan sistem sistem sosial di mana barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan didistribusikan
untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-unasing anggota masyarakat. Produksi dan konsumsi
bersama berdasarkan kapasitas ini merupakan hal pokok dalam mendefinisikan paham komunis, sesuai dengan
motto mereka : from each according to his abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai dengan
kemampuan, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan).
Pandangan dasar manusia sebagai makhluk yang berkerja menjiwa dalam masyarakat komunis (Adelbert Snijders
2004, h1m. 77). Dalam aplikasinya sistem perekonomian komunis didasarkan atas “sistem perintah”, di mana segala
sesuatunya serba dikomandoi. Harus diakui bahwa komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Begitu
juga karena dalam sistem komunisme negara merupakan penguasa mutlak, perekonomian komunis sering juga,
disebut sebagai “sistem ekonomi totaliter” atau “sistem sosialis ekstrem”, menunjuk pada suatu kondisi sosial di
mana pemerintah main paksa dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, meskipun dipercayakan pads asosiasi-
asosiasi dalam sistem sosial kemasyarakatan yang ada. Sistem ekonomi totaliter dalam praktiknya berubah menjadi
sistem otoriter, dimana sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh segelintir elite yang disebut sebagai polit biro yang
terdiri dari elite-elite penguasa partai komunis. Sampai disini kekuatan komunisme berada pada asosiasi-asosiasi
dan lembaga-lembaga yang dipercaya, namun disini justru letak pangkal paradoks ekonomi komunisme. Pada titik
yang lain masyarakat komunis berubah menjadi ateis, sehingga hakekat makhluk hidup dimaknai kebebasan yang
sebebas-bebasnya untuk bekerja dan bekerja.

Harus diakui bahwa pandangan sekulerisme ini sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang senantiasa
menyeimbangkan antara urusan dunia dan urusan akherat. Sebagai makhluk duniawi, Said Nursi mengajak generasi
muda mengesakan Allah Swt. Namun sebaliknya pandangan sekuler Barat yang bercorak rasionalistik-positivistik
indrawi menempatkan manusia hanya sebagai makhluk fisik-kimia yang tidak peduli nilai-nilai spiritual. Pandangan ini
menyingkirkan Tuhan sebagai Pencipta. Seluruh proses alam dipandang “hanya kebetulan, tak ada campur tangan
Tuhan”. Dalam bangunan filsafatnya, Decrates menekankan akal itu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan
menjadikannya sebagai tujuan akhir. Segala hal yang bersifat abstrak dan tidak dapat dipikirkan secara logika
bukanlah ilmu pengetahuan.

Dari penjelasan di atas dapat diambil pemahaman bahwa yang dijadikan landasan bagi dunia pendidikan modern
adalah filsafat yang mengarahkan kepada pandangan materialisme. Kecenderungan ini menipakan akibat dari
mengagungkan akal sebagai landasan berpikir.

Dapatlah ditegaskan bahwa keempat aliran pemikiran filsafat dan landasan di atas yang berkembang menjadi
pemikiran ekonomi ini berangkat dari kepentingan (internst) dan mengabaikan etika, itulah kuncinya. Baik
sekulerisme, materialisme, komunisme maupun ateisme pada titik kebutuhan hakiki manusia sebenarnyalah dapat
dikatakan “gagal” karena tidak mencapai tujuan hakiki perlunya manusia untuk mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan umat  manusia.  Kegagalan keempat aliran sebagai landasan pendidikan dan kehidupan tersebut
terbukti dari manusia modem yang mengalami dilema hidup yang sangat memprihatinkan. Marxisme yang telah
mencengkram Uni Sovyet kemudian hancur berantakan. Bukan hanya teori perjuangan kelasnya yang gagal, tetapi
komunisme yang antiagama itu telah menyebabkan sebagian besar rakyatnya tidak bahagia.
Sedangkan cita-cita dari pandangan hidup Said Nursi dalam konteks pendidikan akhlak adalah manusia ideal dalam
sebagaimana Risale-i Nur adalah manusia yang dekat dengan Allah dan berperilaku seperti Nabi Muhammad. Tentu
saja memiliki pandangan hidup yang jelas yakni mengesakan Allah, melalui asma’ al-husna. Asma’ al-Husna yang
terbuka di semesta alam ini adalah bukti nyata kebesaran Allah Swt. Kunci keluar dari dunia yang semakian
materialistik ini adalah dengan cara iman dan mengamati asma Allah yang terbentang di alam semesta ini, dan lebih
khusus lagi menanamkan keimanan kepada hari akhir. Atau istilah yang sering digunakan Said Nursi
adalah “Hizmetul iman wa al-Quran”, menurutnya sekarang ini adalah akhir zaman dan menyadarkan umat dari
paham duniawi ke ukhrawi.
Prinsip menguatkan keimanan diperlukan bagi generasi muda untuk melawan pandangan-pandangan hidup yang
dapat merusak akidah generasi muda. Said Nursi meyakinkan generasi muda dengan mengatakan : “Zat yang
menggenggam kendali semua unsur di alam ini pastilah juga memegang kendali semua unsurnya” (Said Nursi
2003a, hlm. 635). Generasi muda harus yakin bahwa kendali dalam kehidupan ini diciptakan Sang Pencipta yaitu
Allah Swt dan sekaligus memegang secara penuh kendali kehidupan ini.
 
Relevansi dengan  Tujuan Hidup Generasi Muda
Salah satu ciri generasi muda adalah perubahan sikap serta sifat mengarah kedewasaan (Sudarsono 1993, hlm. 12-
13). Generasi muda seperti ini mengalami perubahan dalam berusaha memahami kehidupan, terutama tujuan
kehidupan. Jika dikaji dalam konteks kekinian, maka saat ini adalah masa di mana manusia telah memasuki era
global atau milenium ketiga. Suatu zaman yang ditandai oleh era informasi yang merupakan revolusi teknologi yang
menimbulkan revolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir dan sistem rujukan. Pengalaman sekarang menunjukkan
bahwa arus informasi global hampir seluruhnya  tidak seimbang. Lebih banyak informasi yang datang dari budaya
Barat ke dalam budaya Islam daripada sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan dominasi kultural yang tidak seimbang
(Nata 2001, hlm.144-145) dan berdampak buruk bagi nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dalam Islam. Generasi
muda pun sudah ikut-ikutan mengadopsi pola kehidupan yang datang dari Barat tersebut.

Kehadiran  milenium ketiga yang ciri-cirinya disebutkan di atas, pada akhirnya akan menjadi tantangan yang serius
bagi dunia pendidikan khusunya pendidikan akhlak. Tantangan tersebut antara lain, mampukah pendidikan akhlak
menjadi pemeran utamanya tidak hanya memberikan pengetahuan agama yang hanya memenuhi aspek kognitif
belaka, tetapi juga dalam aspek afektif yang mampu menanamkan nilai-nilai keimanan kedalam hati peserta didik
yang pada akhirnya dalam aspek psikomotorik yang dapat diaktualisasikan kedalam bentuk amal-amal shalih dan
akhlak yang mulia?. Mengapa tidak mungkin, Nabi Muhammad Saw dalam waktu hanya 23 tahun, atas pertolongan
Allah telah dapat merubah seluruh tatanan kehidupan bangsa Arab Jahiliyah  menjadi Bangsa yang beriman  dan
berakhlak mulia.

Ternyata di tengah situasi sebagaimana di atas, prinsip pentingnya memahami hakekat hidup ini sangat berperan
bagi generasi yang sedang menuju kedewasaan. Said Nursi mengarahkan tujuan seorang manusia itu kepada
terciptanya manusia yang beriman dan memahami makna kehidupan yang seimbang. Seirama dengan itu tujuan
yang mendasar dari pendidikan Islam mulai dari turunnya Islam itu sendiri hingga saat ini bahkan sampai akhir
zaman tetap tidak berubah, yakni untuk menjadikan manusia seorang yang berakhlak mulia. Sebagaimana Nabi
Muhammad Saw pernah bersabda yang mafhumnya: “Sesungguhnya aku ini diutus hanya untuk menjadikan
manusia berakhlak mulia” (HR. Al-Bazzaar).
Pada saat ini bangsa kita telah mengalami kemerosotan dan kemunduran dalam segala aspek kehidupan. Untuk
meyelesaikan persoalan tersebut adalah upaya bagaimana  untuk menanamkan keimanan dan ketaatan yang
sempurna kepada Allah Swt. Upaya untuk menanamkan hakikat keimanan dan memang teguh al-Qur’an serta
memahami hakekat penciptaan manusia.

 
 
Relevansi dengan Ibadah Generasi Muda
Menurut Halem Lubis, dkk., generasi muda memiliki ciri-ciri yaitu di samping mengalami keadaan yang tidak menentu
di masa generasi muda, memasuki usia dewasa ia sudah dapat bertanggung jawab dalam segala tindakan dan
perbuatannya (Halem 2001, hlm. 149-150). Berdasarkan pendapat ini secara agama orang yang sudah dapat
bertanggung jawab dalam segala tindaknya berarti sudah balig, kebutuhan nilai spiritual juga meningkat.

Menurut Thomas sebagaimana dikutip Jalaluddin dan Ramayulis bahwa kebutuhan terhadap agama dimungkinkan
karena adanya empat kebutuhan manusia, yaitu : adanya keinginan untuk  mendapatkan perlindungan (security),
keinginan untuk mendapatkan pengalam baru,  (new experience), keinginan untuk mendapatkan tanggapan
(respons) dan keinginan untuk dikenal (recognation). Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari
lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan (Jalaluddin dan Ramanulis 1998, hlm. 32-33).

Baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat generasi muda  muslim diharuskan untuk senantiasa
menjaga hubungan yang baik dengan Allah Swt. Hubungan yang baik menjadi kunci utama bagi pembentukan
kepribadian muslim di tengah-tengah menjalankan ibdah kepada Allah. Nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam
hubungan itu mencakup:

 Senantiasa beriman kepada Allah;


 Bertaqwa kepada-Nya;
 Menyatakan syukur atas segala nikmat Allah;
 Tak berputus asa dalam mengharap rahmat-Nya;
 Berdoa kepada Allah, menyucikan diri;
 Mengagungkan-Nya serta senantiasa mengingat-Nya;
 Menggantungkan niat atas segala perbuatan kepada-Nya (Jalaluddin dan Ramanulis 1998, hlm. 187).
Pada intinya ketujuh point di atas ingin menegaskan bahwa sejalan dengan prinsip keimanan, berpegang teguh pada
al-Qur’an, memahami hakekat penciptaan manusia dengan senantiasa meneladani Nabi Muhammad Saw.
Pembentukan kepribadian muslim sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun masyarakat pada hakikatnya
berjalan seiring dan menuju ke tujuan yang sama. Tujuan utamanya adalah guna merealisasikan diri, baik sebagai
individu maupun sebagai masyarakat untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Relevansi dengan Lingkungan Generasi Muda


 

Kepribadian secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan. Adapun
sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah kepribadian yang memiliki akhlak mulia. Tingkat
kemuliaan akhlak erat kaitannya dengan tingkat keimanan. Pencapaian tingkat akhlak yang mulia merupakan tujuan
pembentukan kepribadian muslim.

Lebih jauh Robert H. Thouless mengklasifikasikan faktor-faktor yang dapat membentuk sikap keagamaan menjadi
empat faktor utama, yaitu : pengaruh-pengaruh sosial, berbagai pengalaman, kebutuhan, dan proses pemikiran
(Robert 1972, hlm. 43). Pengaruh sosial atau dapat disebut faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan sikap keagamaan di antaranya pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, dan tekanan-tekanan
lingkungan sosial untuk menyesuaikan  diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.

Faktor pengalaman merupakan suatu faktor yang diakui dapat membantu tumbuhnya sikap keagamaan, baik
pengalaman yang berkaitan dengan tatanan alami atau moral maupun pengalaman batin emosional. Pengalaman
alami atau moral misalnya mengenai keindahan, keselarasan, dan  kebaikan dari faktor alam, dan konflik moral.
Sementara pengalaman emosional berhubungan dengan pengalaman mistik emosional keagamaan atau faktor
afektif.

Ekologi diartikan sebagai lingkungan yakni sebagai segala sesuatu yang ads di sekitar manusia, baik binatang,
tumbuh-tumbuhan maupun bends tak bemyawa. Terkait dengan lingkungan Islam melarang tegas umat manusia
melakukan kerusakan di bumf, baik kerusakan lingkungan maupun kerusakan diri sendiri (Ali Anwar dkk 2005, h1m.
128). Akan tetapi seperti yang pernah disinggung bahwa pembentukan kepribadian jugs terkait dengan lingkungan
pendidikan, yang berarti tidak dapat dilakukan secara sendiri tetapi hares bersama atas dasar saling tolong
menolong. Karena itu, kondisi sedemikian ini akan tercipta situasi saling mencintai. Dimana setiap pribadi merasakan
bahwa kesempurnaan diri akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak maka tidak tedadl
kesempumaan dalam diri seseorang. Setiap individu menempati posisi sebagai salah sate anggota dari seluruh
anggota badan.

Faktor lingkungan ini mencakup tiga aspek penting yang tarot pula mempengaruhi terbentuknya akhlak
mulia. Pertama, aspek hubungan keluarga. Lingkungan pendidikan Yang biasanya dikenal adalah lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat. Said Nursi memang tidak secara khusus membicarakan ini, namun pada
prinsipnya aspek ini termasuk dalam prinsipnya dalam membina diri meneladani Nabi Muhammad.
Kedua, aspek hubungan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial bahwa manusia di alam ini memerlukan kondisi
yang balk dari luar dirinya. Sebaik-baiknya orang adalah orang yang berbuat baik dari saudara atau anak, kerabat,
keturunan, rekanan, tetangga dan teman. Salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri sendiri.
Ketiga, aspek hubungan formal. Hubungan ini sebenarnya memiliki juga pengaruh yang cukup kuat dalam
pembentukan akhlak. Karena diakui atau tidak kondisi yang berada di masyarakat sangat dipengaruhi kebijakan
politik pemerintah, artinya kondisi yang baik dapat didukung oleh pengambil kebijakan politik negara tersebut. Artinya
bahwa situasi lingkungan akan dapat tercipta bilamana situasi politik pemerintah mengizinkan.
Tetapi, ketiga aspek uraian di atas setidak dapat memberikan gambaran bahwa Said Nursi cenderung secara lebih
khusus membicarakan lingkungan pendidikan di dershane. Ini pun dianggap sebagai peninggalan yang bersifat
tradisional. Kalau lingkungan keluarga dibahas tentu perlu pertimbangan ciri khas yang berkaitan tentang lingkungan
tersebut. Keluarga perdesaan dan perkotaan pun sudah berbeda dari cars dan pola kehidupannya. Keluarga orang
kaya dengan orang miskin, keluarga yang beranggota sedikit dengan yang banyak dan sebagainya.
Kemudian lingkungan sekolah, tidak disebutkan tapi, penjelasan mengenai hubungan pendidik dan peserta didik
sebagai mana di atas setidaknya telah cukup membenkan gambaran untuk itu. Ungkungan masyarakat dikaji oleh
Said Nursi secara lugs karena proses politik dan lingkungan social semasa penuligan Risale-i Nur dan berbagai
persidangan mendeskripsikan tersendiri dari situasi lingkungan masyarakat.
Secara umum dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan akhlak Said Nursi sangat luas. Said Nursi tidak
membatasi tanggung jawab pendidikan akhlak hanya tanggung jawab orang tua dan guru. Kondisi lingkungan
terdekat sampai kondisi lingkungan yang paling jauh di dalam strata sosial masyarakat yang menekankan prinsip
ketelandanan.

Relevansi dengan Situasi Kejiwaan Generasi Muda


Menurut Kartini Kartono, secara kejiwaan pemuda memiliki ciri-ciri khas, yaitu: belajar berdiri sendiri dalam suasana
kebebasan, berusaha melepaskan ikatan-ikatan afektif lama dengan orang tua dan objek-objek cintanya, berusaha
membangun hubungan perasaan/afektif yang baru, dan menemukan indentifikasi dengan obyek-obyek baru yang
dianggap lebih bernilai atau lebih berarti daripada obyek yang lama. Generasi muda yang terdiri dari golongan orang
dewasa yang lazimnya ia telah mencapai umur 21 tahun, dianggap sanggup berdiri sendiri, dan bisa bertanggung
jawab dalam melaksanakan tugas-tugas hidupnya  (Kartono 1990, hlm.33 dan hlm.184).

Bagi Said Nursi pemuda adalah sebagai penerus generasi di masa depan. Menurut pendapatnya Mahmud Yunus
seperti yang dikutip Zainuddin dkk. mengemukakan bahwa :

Tugas yang utama dan terutama yang terpikul atas pundak alim ulama’, guru agama, dan pemimpin Islam adalah
mendidik anak-anak, pemuda-pemuda, putra-putri, orang-orang dan masyarakat umumnya supaya semuanya itu
berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang halus, karena hidup bermasyarakat adalah tolong menolong, berlaku jujur
dan peramah, berlaku adil dalam segala hal, berkasih sayang antara satu dengan lainnya…(Zainuddin 2001, hlm. 54)

Kutipan menjelaskan bahwa tugas orang tua, guru agama dan masyarakat dan pendidik lainnya adalah sangat berat
karena ditangan merekalah akhlak anak akan dibentuk. Ajaran Islam selalu membimbing dan mengarahkan umat
manusia untuk berakhlak mulia karena dengan itulah mereka akan hidup selamat di dunia dan di akhirat. Untuk itu
sifat ikhlas, takwa dan sadakah harus terbangun dalam jiwa anak muda. Maka, melalui pembinaan yang mengetahui
tingkat kejiwaan bagi generasi muda perlu dilakukan. Karenanya, generasi muda harus aktif di dalam pembentukan
akhlaknya.

Menurut Sudarsono, suatu ciri kehidupan generasi muda pada masa awalnya mengalami ketidakstabilan perasaan
dan emosi, terutama dalam bersikap dan menentukan masa depan mereka. Berikutnya dalam proses menuju
kedewasaan mereka dapat mengatasi masalahnya dengan baik (Sudarsono 1993, hlm. 15). Karena itu, prinsip-
prinsip pendidikan akhlak misalnya menguatkan keimanan dan keyakinan terhadap hari kiamat bias merubah situasi
kejiwaan yang tidak stabil dan emosional dalam menentukan jalan hidup dan mencapai cita-cita hidup.

Prinsip meneladani nabi Muhammada Saw juga bagian integral yang tidak dapat dipisah-pisah misalnya ; melatih
cara makan dan minum yang dapat menyehatkan tubuh, bukan untuk kenikmatan, tetapi tidak terlalu kenyang dan
juga tidak terlalu lapar, agak lapar justru akan lebih baik. Cara lain bagi generasi muda tidak membiasakan diri
makan dan minum yang memabukkan. Demikian juga dalam hal cara berpakaian juga sangat penting diperhatikan.

Kemudian, para generasi muda diharapkan tidak sombong dan bermegah-megah terhadap kawankawannya dengan
harus yang dimiliki orang tuanya. Pembicaraan yang kotor supaya dihindarkan. Suka berkata benar, jujur, dan
hormat pada orang lain juga ditekankan. Gerak tubuh seperti berjalan, berkendaraan, suka berkata benar, dan
lainnya perlu diperhatikan. Diharapkan seorang pemuda dapat menjadi orang yang suci, walau pada masa muda,
tidak hanya suci menjelang ajal.

Said Nursi memberikan perhatian utama kepada situasi kejiwaan generasi muda dengan nilai-nilai akidah dan iman
bertujuan untuk menyiapkan generasi muda sejak dini ketangguhan mereka untuk memperlemah sumber penyakit
jiwa, misalnya marah, takut mati dan kesedihan. Sehingga, ketika pada masanya para generasi muda itu sudah
benar-benar siap dalam menghadapai kehidupan yang luas ini.
 
 
 
 
Relevansi dengan Tahapan Perkembangan Kepribadian Generasi Muda
 
Dalam tahapan ini generasi muda dirumuskan dalam 2 (dua) tahapan yaitu tahap perkembangan dan tahap
pembentukan. Hal ini merujuk dari berbagai perasaan telah berkembang pada masa muda. Perasaan sosial, etis dan
estesis mendorong generasi muda untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan
religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius pula. Sebaliknya bagi muda yang
kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa
muda merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, muda lebih
mudah terperosok ke arah tindakan seksual negatif.

Pertama, tahap perkembangan sosial. Dalam tahap perkembangan pribadiannya ini generasi muda tergantung
dengan situasi sosialnya. Paham keagamaan generasi muda akan ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam
kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Generasi muda sangat
bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para
generasi muda lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1789
generasi muda Amerika antara usia 18 – 29 tahun menunjukkan bahwa 70 % pemikiran generasi muda ditujukan
bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya.
Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6 %, masalah sosial 5,8 %(Jalaluddin 2002, hlm. 75).
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka dalam perkembangan sosial generasi mudah untuk tetap berpegang teguh
pada al-Qur’an dan berprinsip menguatkan iman serta meyakini diri akan hari kiamat yang diaplikasikan lewat sikap,
tindakan dan perilaku. Sehingga, perkembangan jiwa dalam konteks sosial tidak berpandangan materialis
dan asosial  tapi justru mendapat dorongan yang mulia untuk mengembangkan jiwa-jiwa sosial dan dapat
menjalankan ibadah dengan tenang.
Kedua, tahap perkembangan moral, perkembangan moral para generasi muda bertitik tolak dari rasa berdosa dan
usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para generasi muda juga mencakupi :  self-
directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi, Adaptive, mengikuti situasi lingkungan
tanpa mengadakan kritik, Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan
agama, Unadjusted,  belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral, dan Deviant, menolak dasar dan
hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat (Jalaluddin 2002, hlm. 76).
Dalam tahapan-tahapan perkembangan diri manusia, munculnya rasa keagamaan dimulai dari sejak lahir. Masa
yang rentan dan pertumbuhan yang kuat dalam hal ini hingga mencapai umur 12 tahun (masa anak-anak). Dalam
rentang usia ini keingintahuan anak terhadap agama sangat tinggi. Pertanyaan tentang Tuhan dan hal-hal yang
ghaib sangat menarik bagi si anak. Penanaman pengetahuan dan pemahaman tentang agama pada masa ini
memegang peranan penting bagi pertumbuhan rasa keagamaannya pada jiwa manusia. Sebaliknya, kegagalan
penanaman rasa keagamaan akan membuat kelabilan jiwa dan menumbuhkan sikap yang anti agama.

Pada masa generasi muda berkisar antara umu 13-18 tahun, kebiasaannya berpikir berdasarkan pengalaman-
pengalamannya, maka dikhawatirkan pengalaman yang pernah dialaminya bukan bersumber dari sekolahnya, tetapi
justeru berasal dari teman-temannya yang rusak akhlaknya. Karena itu, pengawasan pendidikannya tidak hanya
sebatas ketika anak berada di sekitarnya, tetapi ia harus tanggap dan teliti terhadap pergaulan anak didiknya ketika
bermain dengan temannya di luar jam pelajaran.

Dan perlu diketahui pada masa ini, generasi muda sudah memiliki kamatangan seksual yang bisa saja
disalahgunakan bila pendidik kurang teliti mengawasinya. Karena anak tersebut punya cenderungan ingin bebas dari
pengawasan pendidiknya. Bahkan lebih aneh lagi, karena sifat keterbukaannya kepada temannya lebih banyak
daripada kepada pendidiknya. Padahal kalau ia mendapatkan kesulitan, pendidiklah yang lebih dahulu
mengatasinya, bukan orang lain.

Maka perlu mencari cara-cara yang lebih tepat digunakan untuk mendidika anak tersebut, antara lain:

1. Harus mendidiknya agar selalu tekun menjalankan perintah agama


2. Menanamkan kebiasaan yang selalu ingin berbuat baik kepada orang tua, guru, teman-temannya, dan
bahkan terhadap makhluk-makhluk lainnya.
3. Selalu mengawasi pergaulan dengan anak yang buruk akhlaknya, dan mengarahkannya agar bergaul
dengan anak yang baik
4. Selalu menasehati bila ia hendak keluar rumah dan mengingatkannya agar selalu berhatihati ketika ia
berbuat dan bergaul dengan teman-temannya.
5. Selalu menjaganya agar tidak membaca buku-buku porno dan film-film cabul.
Masa dewasa, dimaksudkan adalah umur 19 tahun ke atas, dimana ia sudah memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Berarti pada masa ini, anak sudah dapat menghayati pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dialaminya sejak
kecil hingga dewasa, kemudian ia menemukan arti dan nilai-nilai tertentu yang bermanfaat terhadap pembentukan
sikap dan perilaku yang baik baginya.

Sebenarnya mendidik akhlak anak yang sudah dewasa, tidak sulit asalkan jiwanya sudah terisi nilai-nilai keagamaan
dan kesusilaan. Hanya yang sulit jika ia tidak pernah tersentuh oleh akhlak sejak ia masih kecil sampai terjerumus ke
dalam lembah kerusakan moral.

Cara-cara yang harus dilakukan dalam pendidikan akhlak anak tersebut, antara lain:

1. Pendidik harus memberi keterangan kepadanya tentang tujuan akhlak baik dan kemudhoratan akhlak buruk
2. Harus selalu mengontrol segala tingkah lakunya dan menasehatinya bila ternyata ia melakukan
penyelewengan agama atau norma-norma sosial.
3. Pendidik harus mendesak untuk menerapkan pendidikan akhlak (etika) yang pernah di dapatkannya di
sekolah maupun di tempat lain.
Perkembangan sikap keagamaan pada manusia dipengaruhi tiga faktor utama, yaitu faktor hereditas, faktor
pembawaan, dan faktor lingkungan (Zakiah 1996, hlm. 35-37) Pertama, faktor hereditas yang berkaitan erat dengan
kedua orang tua (ibu-bapak). Karena sifat-sifat atau ciri-ciri yang terdapat pada anak dikatakan keturunan jika hal
tersebut diwariskan atau diterima dengan sel benih dari generasi lain (Purwanto, 1997, hlm. 64). Adapun yang
diwariskan orang tua kepada anak berbentuk sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu pada bentuk fisik, bentuk wajah,
gerakan-gerakan tertentu dari bagian tubuh dan juga sebagian kecil sifat emosi. Keemua diterima anak dari sel benih
kedua orang tuanya.
Selanjutnya faktor pembawaan adalah seluruh potensi yang terdapat pada individu dan pada masa
perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan (Mudjakir dan Sutrisno 1997, hlm. 92). Potensi tersebut misalnya,
kemampuan berjalan, berbicara, dan lain-lain yang nanti potensi ini memang benar-benar terbukti meskipun tetap
tergantung pada pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri. Potensi-potensi di atas merupakan pembawaan
bagi setiap anak yang dilahirkan.

Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa bagi pendidikan Islam prinsip utama dalam pengembangan sumber daya
manusia, pertama peserta didik harus dihadapi secara totalitas unsur-unsurnya. Al-Qur’an tidak memisahkan unsur
jasmani dan rohani, tetapi pembinaan jiwa dan pembinaan akal sekaligus tanpa mengabaikan unsur jasmaninya.
Karena itu, seringkali ditemukan uraian-uraian yang disajikan dengan argumentasi logis, disertai sentuhan-sentuhan
kepada kalbu. Kedua memahami nilai-nilai masyarakat sekitar. Kualitas kreativitas seseorang dalam masyarakat
tidak saja tergantung pada hasil pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan tetapi juga oleh nilai-nilai yang dimiliki
oleh masyarakatnya (peradaban, Hasan Langgulung red). Jika nilai-nilai tersebut mendukung pengembangan
sumber daya manusia, maka kualitasnya akan sangat baik demikian juga sebaliknya (Rohmalina, 2002, hlm.115).

Diharapkan dengan melaksanakan prinsip atau konsep ini, bukan hanya kesucian jiwa yang diperoleh tetapi juga
pengetahuan yang merangsang daya cipta, karena daya ini dapat lahir dari penyajian materi secara rasional serta
rangsangan pertanyaan melalui diskusi. Dengan demikian peningkatan sumber daya manusia berarti peningkatan
pendidikan dan pengetahuan.

Ketiga, tahap pembentukan kepribadian muslim, dengan menanamkan nilai-nilai Islam dalam keluarga dilakukan
dengan cara melaksanakan pendidikan akhlak di lingkungan rumah tangga. Langkah-langkah yang ditempuh adalah
sebagai berikut: Memberikan bimbingan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, memelihara anak dengan kasih
saying, memberi tuntunan akhlak kepada keluarga, membiasakan untuk menghargai peraturan-peraturan dalam
rumah tangga, membiasakan untuk memenuhi dan kewajiban antara sesama kerabat (Rohmalina, 2002, hlm.115)
Jadi yang harus ditanamkan di dalam lingkungan keluarga selaku unsur terkecil dari masyarakat adalah dasar-dasar
aqidah yang benar dan akhlak mulia. Menanamkan dasar-dasar nilai tersebut dimulai sejak, sehingga ketika dewasa
anak menjadi terbiasa.

Baik sebagai individu maupun sebagi ummah, kaum muslimin diharuskan untuk senantiasa menjaga hubungan yang
baik dengan Allah SWT. Hubungan yang baik menjadi kunci utama bagi pembentukan kepribadian muslim sebagai
ummah. Nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam hubungan itu mencakup:

1. Senantiasa beriman kepada Allah


2. Bertaqwa kepada-Nya
1. Menyatakan syukur atas segala nikmat Allah dan tak berputus asa dalam mengharap rahmat-Nya
2. Berdoa kepada Allah, menyucikan diri, mengagungkan-Nya serta senantiasa mengingat-Nya.
3. Menggantungkan niat atas segala perbuatan kepada-Nya.
Pembentukan kepribadian muslim sebagai individu, keluarga, masyarakat, mupun ummah pada hakikatnya berjalan
seiring dan menuju ke tujuan yang sama. Tujuan utamanya adalah guna merealisasikan diri, baik sebagai individu
maupun sebagai ummah untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Pembentukan kepribadian pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah sikap kearah kecenderungan kepada
nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap, tentunya tidak terjadi secara spontan. Semuanya berjalan dalam proses yang
panjang dan berkesimanbungan. Cerminan dari ciri-ciri kepribadian muslim seperti yang dikemukankan tersebut,
pada garis besarnya merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam komponen pembentukan akhlak yang mulia
dari sumber ajaran al-Quran. Berakhlak mulia, memuat pengertian mampu menjalani hubungan yang baik antara
hamba dengan Allah (hablumminallah), dan hubungan baik antara sesama manusia (hablumminannas), maupun
denga makhluk Tuhan (hablimminal `alam). Hubungan baik inilah merupakan dasar utama bagi pembentukan
kepribadian muslim secara individu. Dalam Islam juga mengajarkan faktor genetika (keturunan) ikut berfungsi dalam
pembentukan kepribadian muslim. Menurut Jalaluddin dan Usman Said bahwa akhlak terhadap Allah meliputi:
1. Mengabdi kepada Allah dan tidak mempersekutukanNya
2. Tunduk dan patuh hanya kepada Allah Swt
3. Berserah diri kepada ketentuan Allah Swt
4. Bersyukur hanya kepada Allah Swt
5. Ikhlas menerima keputusan Allah Swt
6. Penuh harap kepada Allah Swt
7. Takut kehilangan rasa patuh kepada Allah Swt
8. Takut akan siksa Allah Swt
9. Takut akan kehilangan rahmat Allah Swt
10. Mohon pertolongan kepada Allah Swt
11. Cinta dan penuh harap kepada Allah Swt (Jalaluddin dan Usman 1996, hlm. 61-61).
 

Selanjutnya Jalaluddin dan Usman Said, menambahkan bahwa akhlak kepada sesama manusia, secara garis
besarnya meliputi sikap yang baik seperti: Menghormati dan menghargai perasaan kemanusiaan, Memenuhi janji
dan pandai berterima kasih, Saling menghargai, dan menghargai status manusia sebagai makhluk Allah yang paling
mulia (Jalaluddin dan Usman 1996, hlm. 82). Begitu juga akhlak terhadap lingkungan sekitar kita (alam). Islam
mengajarkan kepada setiap muslim untuk menunjukkan sikap yang serasi terhadap lingkungan sekitar. Sikap
tersebut meliputi: (1) Memperlakukan binatang dengan baik dan (2) Menjaga dan memelihara kelestarian alam
(Jalaluddin dan Usman 1996, hlm.84-85).

Jadi pada dasarnya pembentukan kepribadian muslim merupakan suatu pembentukan kebiasaan yang baik dan
serasi dengan nilai-nilai akhlakul karimah. Untuk itu setiap muslim dianjurkan untuk belajar seumur hidup, sejak lahir
hingga akhir hayat. Pembentukan kepribadian melalui pendidikan tanpa henti (long life education), sebagai suatu
rangkaian upaya menuntut ilmu dan nilai-nilai keislaman, sejak dari buayan hingga ke liang lahat. Pembentukan
kepribadian muslim merupakan pembentukan kepribadian yang utuh, menyeluruh, terarah, dan berimbang.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dengan mudah diidentifikasi prinsip yang ada yakni ikhlas, takwa dan sedekah.
Dan senantiasa menjalankan sunah Nabi Muhammad dalam rangka membentuk kepribadian muslim yang
diharapkan.
 

Bab 5

PENUTUP
 

Kesimpulan
Dari rangkaian diskusi dan beberapa uraian di atas, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dalam konteks pendidikan akhlak Said Nursi adalah salah satu tokoh dalam bidang akhlak yang konsisten
terhadap pembinaan generasi muda. Pendidikan di keluarga dan masyarakat yang mendorong Said Nursi untuk
aktif mendidik masyarakat dan menyebarkan dakwah Islam. Media yang digunakan adalah Risale-i Nur yang
merupakan karya monumental Said Nursi. Risale-i Nur telah memberikan sumbangsih positif bagi dunia Islam
dalam membangun nilai-nilai akhlak.
2. Pendidikan akhlak Said Nursi didasari atas pemahamannya terhadap al-Qur’an dan ilham dari Allah Swt.
Tugas pokok dari pendidikan akhlak adalah memperkokoh prinsip-prinsip yang dimiliki oleh manusia untuk
mencapai tingkatan manusia seperti Nabi yang harmonis dan seimbang secara positif yang melahirkan sikap
hidup mulia dengan akhlak karimah. Hal yang paling prinsip dalam memperkuat pemahamannya adalah
interpretasinya tentang manusia, alam semesta dan Allah.
3. Untuk mencapai manusia seperti Nabi yang seimbang atau harmonis Said Nursi dengan interpretasi
terhadap manusia, alam semesta dan Allah melahirkan prinsip-prinsip dalam pendidikan akhlak menurut
pandangan Said Nursi yaitu menguatkan keimanan, berpegang teguh pada al-Qur’an, pentingnya memahami
hakekat penciptaan manusia, pentingnya memahami alam semesta, pentingnya memahami asma’ al-Husna,
pentingnya mengetahui tanda-tanda hari kiamat, pentingnya meyakini hari kiamat, meneladani nabi Muhammad
Saw, dan  menanamkan ikhlas, takwa dan sedekah.
4. Prinsip menguatkan iman sangat relevansi bagi sikap akidah generasi muda. Said Nursi meyakini bahwa
iman pokok dalam menjalani kehidupan. Iman yang dimaksud adalah iman yang tercukup dalam rukun iman.
Dasar keimanan adalah kalimat kalimat La Ilaha Illah yang merupakan mengakui secara totalitas kekuasaan
Allah. Akidah generasi muda cenderung tidak didasari keyakinan yang kokoh, karena itu Said Nursi
menekankan agar menguatkan iman.
5. Prinsip berpegang teguh pada al-Qur’an dan prinsip memahami hakekat penciptaan manusia, terkait
dengan generasi muda cenderung senang pada gagasan-gagasan segar yang memainkan akal. Padangan
berdasarkan akal inilah yang lebih diminati, sehigga melahirkan pandangan sekulerisme, materialisme,
komunisme dan ateisme yang merusak pemikiran generasi muda. Said Nursi meyakinkan generasi muda agar
sepegang teguh pada al-Qur’an dan memahami hakekat penciptaan manusia sebagai pedoman sekaligus
pandangan hidup.
6. Mengenai tujuan hidup generasi muda pada masa mudah cenderung hedonis dan duniawi, suatu tujuan
hidup terombang-ambing tidak jelas arahnya. Untuk itu, mencapai tujuan hidup Said Nursi agar generasi muda
berprinsip menguatkan iman, berpegang teguh pada al-Qur’an, memahami penciptaan manusia, memahami
alam semesta, memahami asma’ al-husnah, mengetahui tanda-tanda hari kiamat dan meyakini hari kiamat.
Prinsip-prinsip ini sangat menopong terbentuknya manusia yang bertujuan hidup yang jelas.
7. Prinsip meneladani Nabi Muhammad dan menanamkan ikhlas, takwa dan sedekah sangat relevan dengan
ibadah generasi muda. Said Nursi menekankan ikhlas karena keikhlasan akan membimbing manusia menjadi
suci dan mulia, dengan ketakwaan menjadi manusia yang berakal dan tenang, sedangkan dengan sedekah
menjadi manusia yang dermawan dan berjiwa sosial. Generasi muda harus senantiasa meneladani dan
menanamkan nilai-nilai ikhlas, takwa dan sedekah secara integratif.
8. Dalam konteks situasi kejiwaan generasi muda diharapkan selalu mampu melakukan perubahan jiwa
dengan prinsip keimanan dan keyakinan terhadap hari kiamat dengan keyakinan dan pengamalan hidup yang
mendalam.
9. Dalam tahapan perkembangan dan lingkungan yang di dalamnya terdapat generasi muda, maka generasi
muda berprinsip menguatkan keimanan, teguh pada al-Qur’an, memahami hakekat penciptaan manusia,
pentingnya memahami alam semesta, pentingnya memahami asma’ al-Husna, pentingnya mengetahui tanda-
tanda hari kiamat, pentingnya meyakini hari kiamat, meneladani nabi Muhammad Saw, dan menanamkan
ikhlas, takwa dan sedekah. Said Nursi sangat yakin melalui tahapan pembentukan akhlak yang akrab dengan
lingkungan, maka kehidupan generasi muda akan menjadi lebih baik lagi.
10. Selanjutnya dapat ditegaskan disini bahwa prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said Nursi sangat bermanfaat
sekali bagi generasi muda yang didasarkan kepada apa yang diajarkan oleh Nabi Muhamamd Saw, baik secara
teoritis berdasarkan al-Qur’an maupun secara praktis melalui perilaku kehidupannya sehari-hari.
 

Saran-saran
Perlu diketahui bahwa sekarang di Indonesia nama Bediuzzaman Said Nursi sudah mulai populer menyemarakkan
sederetan tokoh pemikir Islam kontemporer lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa bagi kaum akademisi sudah tentu
menjadi sebuah khazanah keislaman yang perlu direspons secara positif melalui kegiatan-kegiatan ilmiah, salah
satunya yakni meneliti aspek-aspek ulama besar Turki ini, berikut pula karya tafsir Risale-i Nur. Untuk itu, ada
beberapa hal dari hasil penelitian ini yang patut untuk dijadikan saran-saran sebagai berikut :

Pertama, penyajian bahasa dalam Risale-i Nur yang banyak mengandung analogi yang kadangkala sulit untuk
diakses langsung oleh masyarakat awam. Karenanya, perlu disederhanakan melalui dua cara, yaitu ringkasan-
ringkasan tematik (bentuk tulisan) dalam bahasa yang lugas dan singkat serta suguhan contoh yang rill  sesuai
dengan kodisi masyarakat dan metode diskusi (seperti pola dershane),  namun hendaknya menyentuh kebutuhan
masyarakat kelas bawah – seperti di desa-desa – bukan hanya kelas menengah ke atas saja (melalui kajian-kajian
atau majelis ta’lim). Melihat kajian-kajian Risale-i Nur selama ini berkutat seputar penguatan akidah (bukan fiqh
dan khilafiyah),  maka perbaikan cara mensosialisasikannya sangat relevan, mencerdaskan dan menambah
wawasan masyarakat.
Kedua, mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah di kampus, perguruan tinggi, dan di sekolah-sekolah, serta di
lembaga. pendidikan Islam informal lainnya agar dapat memperoleh pemahaman utuh dari Risale-i Nur tersebut
melalui kajian-kajian rutin.
Ketiga, mengembangkan pola pendidikan dershane  bagi peserta didik dan masyarakat umum secara terpadu,
sehingga terwujud suatu kondisi di mana tradisi “pengajaran” dan “pendidikan” yang integral bisa diterapkan secara
nyata.
 
Implikasi Penelitian
Pada taraf yang lebih operasional, kesimpulan di atas membawa beberapa implikasi ke luar dari pokok pembahasan
penelitian. Dari pembahasan tentang prinsip-prinsip pendidikan akhlak generasi muda menurut Said Nursi di atas
penulis menemukan beberapa implikasi positif dan implikasi negatif terutama untuk menjawab relevensi dengan
kebutuhan bagi generasi muda.

1. Pendidikan akhlak yang berfungsi untuk memperkokoh daya-daya positif yang natural di dalam diri manusia
mengharuskan ada sistem pendidikan akhlak yang didasarkan pada perkembangan jiwa manusia secara
integral.
2. Secara implisit diketemukan semangat penanaman prinsip-prinsip pendidikan akhlak yang berkiblat kepada
satu arah yakni Risale-i Nur dan al-Qur’an.
3. Dari aspek pendidikan akhlak Said Nursi menginginkan realisasi prinsip-prinsip pendidikan akhlak secara
unversal dalam diri manusia. Semua ini bertujuan berangkat dari pemahaman pandangan dasar hidupnya
tentang ketuhanan dengan mengokohkan akidah dan menggairahkan ibadah.
4. Ternyata usaha mentransformasikan nilai-nilai dan membina kepribadian umat Islam ditinjau dari sudut
pendidikan walaupun relatif sukses, namun memerlukan tindak lanjut atau kontribusi dari berbagai kalangan,
khususnya para pencinta ilmu. Oleh karena itu, karya yang Said Nursi wariskan ini hendaknya dikembangkan
dalam bentuk riset lanjutan dengan membahas tema-tema lain yang banyak dikandung dalam Risale-i Nur.
5. Secara rasional mempelajari Risale-i Nur juga berarti mempersiapkan generasi muda untuk menangkal
dalil-dalil yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun dalam hal modernisasi menghadapi perkembangan
dan kemajuan teknologi hanyalah sebatas penjelasan-penjelasan dan argumentatif, namun tiada tawaran
secara kongkrit dan solusi yang jelas dan tepat dalam menghadapi dan menangkal tantangan peradaban Barat
yang menurut beliau sudah sesat karena menuruti hanya hawa nafsu belaka dan menurut beliau peradaban
Islam yang ditegakkan atas ajaran al-Qur’an dan al-Hadits lebih baik dari peradaban Barat.
6. Dalam proses pengajaran Said Nursi dengan menggunakan metode dershane atau semacam halaqah
dengan mempelajari ilmu-ilmu agama ataupun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pengetahuan umum, disini kita
dapat melihat kekurangan dari metode pengajaran Said Nursi yang mana tidak adanya adanya kejelasan dari
disiplin ilmu yang diajarkan sesuai dengan disiplin keilmuwan yang secara khusus diajarkan tersendiri dan tidak
tersusunnya materi pelajaran yang diajarkan kepada siswanya.
7. Dalam proses pembelajaran aspek yang dikedepankan adalah bagaimana audiensnya dapat lebih
menambah wawasan dan pemahaman terhadap ajaran agama Islam dan menambah ketaatan beragama
dengan tidak mengabaikan disiplin ilmu lain, seperti ilmu pengetahuan umum, namun disini terjadi suatu
ketidakjelasan arah pendidikan yang ditawarkan oleh Sadi Nursi siswanya akan diarahkan kemana ?.
Kemudian, proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh Said Nursi kalau kita cermati lebih mengutamakan
untuk perbaikan diri dan hubungannya dengan iman dan kesalehan diri, namun tidak melupakan modernisasi
walaupun itu hanya sebatas pengetahuan yang tidak mendalam.
Sehubungan dengan implikasi di atas, dapat dikatakan bahwa implikasi dari prinsip-prinsip pendidikan akhlak Said
Nursi tidak hanya memberikan kemungkinan kepada para ilmuwan, guru, pendidik untuk dapat menguasai materi
belaka, tetapi memiliki kemampuan “meneladankan” nilai-nilai positif kepada peserta didik. Disamping itu, baik
ilmuwan, guru atau pendidik memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam mengembangkan dan mengamalkan
ilmu untuk tujuan yang benar dan dengan jalan yang benar pula.

 
Rekomendasi
Beberapa implikasi sebagaimana di atas mengisyaratkan adanya upaya upaya penelitian lebih lanjut. Adapun
berdasarkan persoalan akhlak yang penulis kemukakan, masalah-masalah secara spesifik yang selanjutnya perlu
kiranya untuk dikaji lebih lanjut antara lain :

1. Konsep metafisika Said Nursi sebagai landasan mencapai tujuan hakiki dan proses pendidikan dan
kehidupan.
2. Prinsip-prinsip filosofis dalam pendidikan Islam dan Akhlak dalam kandungan Risale-i Nur .
3. Konsep pendidikan dershane Said Nursi dalam meningkatkan akhlak.
4. Strategi pengembangan jiwa, ruh dan emosi menuju akhlak mulia dalam pandangan Said Nursi.
5. Peranan para orang tua, murid, dan masyarakat dalam interaksi paedagogis Said Nursi dalam proses
pembentukan akhlak mulia
6. Analisis politik kebijakan pendidikan pemerintah Turki terhadap gagasan Risale-i Nur dalam upaya
pembentukan masyarakat madani.
7. Rancangan kurikulum pendidikan Islam dalam proposal Medreset at-Zehra.
8. Dasar-dasar epistemologi penerapan akhlak menurut Said Nursi.
9. Etika belajar-mengajar dalam proses pendidikan Islam dalam pandangan Said Nursi.
10. Guru yang profesional dalam pandangan Said Nursi.
11. Kriteria murid yang ideal dalam pandangan Said Nursi.
 

 
 

REFERENSI
Abdurrahmansyah 2002. Sintesis Kreatif (Pembahanian Kurikulum Pendidikan Islam  Ismail Raji’ al Faruqi).  Global
Pustaka, Yogyakarta.
Abu-Rabi, Ibrahim M (Ed) 2003. Islam at the Crossroads On the Life and Thought of  Bediuzzaman Said Nursi, Sunny
Press, USA
A]-Attas, Syed Muhammad Naquib 1995. Islam dan Filsafat Sains  (diterjemahkan oleh Saiful Muzani, Mizan,
Bandung.
Al-hamid, Muhsin 1999. “Bediuzzaman Said Nursi : The Kalam Scholar of the Modem Age”, dalam Third International
Symposium on Bediuzzaman Said Nursi 24-28 th September 1995, Istanbul.  Sozler Publication, Turki.
Al-Balali, Abdul Hamid 2003. Madrasah Pendidikan Jiwa.  Penerjemah : Atik Fikri Ilyas, Gema Insani, Jakarta.
Al-Brayary 1988. Pengenalan Sejaruh AI-Our’an.  RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Al-Ghazali, Abu Hamid 2003. Tahfut al-Falasifah (diterjemahkan oleh Ahmad Maimun). Islamika, Yogyakarta.
Ali, Urkhan Muhammad 1995. Said Nursi al qadr  .fi hayat ummah,  Sharikat al-Nast li al Tiba’ah,Istanbul Turki.
_______ 1995. Said al-Nursi Raj ‘al al-qadr fi hayat ummah. Sharikat al-Nast li al-Tiba’ah, Istanbul Turki.
Al-Khathib, Ibn (Ed) 1398 H. Tahzib al-Akhlak wa Thahhir al-Araq.  Ibn Miskawaih (Penulis), Dar Maktabat al-Hayat,
Beirut.
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Thourny 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Aly, Siti Taurat, Sundari, Risminawati 1990. Pengatar Etika Islam. Ramadhani, Solo.
Aly, Hery Noer 1999. Ilmu Pendidikan Islam.  Logos Wacana I1mu, Jakarta.
 

Amin, Khalil Ibn Ibrahim 2005. Keajaiban Penciptaan Makhluk Sebuah Telaah Ibnul Qayyim.  Qisthi Press, Jakarta.
Amir, Dja’far 1980, Ilmu Mantiq,  Ramadhani, Solo.
Arifin, Muzayin 1991. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Islam dan Umum).  Bumi Aksara, Jakarta.
________, 2000. Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner), Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
___________, 1996. 1lmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
Azra, Azyumardi 2000. Pendidikan Islam (Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru).  Logos, Jakarta.
Aziz, Muhammad bin Abdul 2001. Sabar (diterjemahkan oleh Aman Abdurrahman). Al Khudhairi, Jakarta.
Bahreisj, Hussein 1980. Himpunan Pengetahuan Islam (450 Masalah Agama Islam),  Al Ikhlas, Surabaya.
Bakhtiar, Laleh 2001. Perjalanan Menuju Tuhan dari Maqam-maqam Hingga Karya Besar Dania Sufi.  Nuansa,
Bandung.
Balitbang Depdiknas 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Bahan  Sosialisasi).  Depdiknas, Jakarta.
Daradjat, Zakiah 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
________1996. Metodologi Pengqjaran Agama Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
Daud, Wan Mohd Wan 1999. Filsafah dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Atlas.  Mizan, Bandung.
Departemen Agama RI dan Mesir 1997. AI-Quran dan Tejemahnya. Mushraf Asyarifah, Madinah Al Munawwarah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesi. Balai Pustaka, Jakarta.
Djajadisastra, Jusuf, dkk. 1986. Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan.   Proyek Pusat Pengembangan
Penataran Guru Tertulis, Bandung.
Djamarah, Syalful Bahri dan Zain, Aswan 1996. Stategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta, Jakarta
 

Fromm, Erich 1995. Physco-analysis and Religion. Yale University Press, New Haven.


Ertugrul, Halit 1994. kgilimade Bednizz-aman Alfodeli. Yeni Asya Yayinlari, Istanbul.
 

Gozutok, Sakir 2002. The Risale-i Nur In The Context of. Educational Principles and Methods (The Paper Presented
in The Fifth International Symposium On Badiuzzatnan SaidNursi). Sozler Publication, Istanbul.
 

Ghulsyani, Mahdi 2001. Sains Menurut Al-Quran (diterjemahkan oleh Agus Efendi), Mizan, Jakarta.

Gulen, M. Fethullah 2002. Memadukan Akal dan Kalbu dalam Beriman. RajaGrafindo  Persada, Jakarta.
Gymnasitiar, Abdullah 2000. Ma’rifatullah (Ilmu Mengenal Allah). Evy Saifullah (Ed). MQS Press, Bandung.
Hadi, P. Hardono 1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta.
Hasan, M. Ali 2000. Studi Islam: Al-Qur’an dan As-Sunnah. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hitty, Philip K. 1974. History of the Arabs, The Macmillan Press, London.
Jundi, Anwar 1992. Islam Setelah Komunis (diterjemahkan oleh Ibnu Muhammad dan Fakhruddin Nursyam), Gema
Insam Press, Jakarta.
Jamaludin, Amin Muhammad 2003. Huru-hara Akhir Zaman : Penjelasan Terakhir Untuk  Umat Islam (diterjemahkan
oleh Abu Adam Aqwam). Kartasura, Solo.
Langgulung, Hasan 1992. Asas-Asas Pendidikan Islam. Pustaka Al-Husna, Jakarta.
_______ , ”Pendidikan Islam dalam Masyarakat Demokrasi”. Conciencia (Jurnal Pendidikan Islam),” Nomor 1
volume III, Juni 2003.
Maarif, Ahmad Syafi’i 2000. Krisis dalam Pendidikan Islam, Al-Mawardi Prima, Jakarta.
Mardin, Serif, 1989. Religion and Social Change in Modern Turkey : The Case of Bedfuzzanian Said Nursi,  Albany,
USA.
Margono 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
Marimba, Ahmad D 1976. Filsafat Pendidikan Islam,  Bumi Aksara, Jakarta.
Markban, Ian dan Ibrahim Ozdemir 2005. Globalization Ethics and Islam (The Case od Bediuzzaman Said
Nursi).  Ashgate Publishing Company, Burlington USA.
Mastuhu 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
_________2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of
National Education in the 21  Century), MSI UII dan Safiria Press, Yogyakarta.
 

Maududi, Abu A’la, Anwar Jundi, 1989. Menembus Cakrawala Islam. (diterjemahkan oleh Su’du Su’ud, Ramadhani,
Solo.
Miskawaih, Ibn 1398.  Tahzib al-Akhlaq.  Hasan Tamirn (Ed), Bairut, Mansyurat Dar Maktabat al-Hayat.
Murodi dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam.  CV Toha Putra, Semarang
Muchtar, Aflatun dkk. 2001. Wawasan Al-Quran tentang Keseimbangan dan Pelestarian Alam) dalam Islam Humanis,
M. Tuwah dkk (Ed), Moyo Segoro Agung, Jakarta.
Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, PT Remaja Rosda
Karya, Jakarta.
Myers, Eugene A. 2003. Zaman Keemasan Islam (Para Imuwan Muslim Pengaruhnya  terhadap Dunia Barat). Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta.
Nashori, Fuad (Ed) 1996.  Membangun Paradigma Psikologi Islami. SIPRESS,  Yogyakarta.
Nasution, S 1983. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Bina Aksara, Jakarta.
Nasution, Harun, 1990. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan.  Bulan Bintang, Jakarta.
__________ 2002. Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
________ 1983. Akal dan Wah.vu dalam Islam. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Nata, Abuddin 1997.  Filsalat Pendidikan Islam I. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, Jakarta.
________ 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Nursi, Bediuzzaman Said, 1998.  Sirah Zatiyyah  (diterjemahkan oleh Ihsan Kasim Salih).  Matba’at Suzlar, Istanbul,
Turki.
________ 1999a.  Isyarat al-Ijaz,  (diterjemahkan oleh Ihsan Kasim Salih), Sozler  Nesriyat A.S, Istanbul.
________ 1999b. Matsnawi al-Arabi an-Nuriy, (diterjemahkan oleh Ihsan Kasim Salih). Sozler Nesriyat A.S, Istanbul.
                 _________ 1999c. Shiqak al-Islam,  (diterjemahkan oleh Ihsan Kasim Salih).  Sozler Nesriyat A.S,
Istanbul.

________ 1999c. Pembahasan ‘Ana’ (Aku) dan Zarah, (diterjemahkan oleh Anwar Fakhri Omar, Kuala Terengganu,
Percetakan Yavasan Islam Trengganu Sdn Bhd, Malaysia
________ 1999d. Bediuzzaman Said Nursi (Tarihce-i Hayat).  Sozler Yayinevi, Istanbul.
________ 2000a. The Words (On The Nature and Purpose of Man Life, and All Things) (diterjemahkan oleh Sukran
Vahide). Sozler Nesriyat A.S, Istanbul.
________ 2000b.  The Letters 1928-1932 (diterjemahkan oleh Sukran Vahide). Sozler Nesriyat A. S, Istanbul.
_________ 2000c. The Flashes Collection, (diterjemahkan oleh Sukran Vahide). Sozler Nesriyat  A.S, Istanbul.
_________ 2000d. The Rays Collection. (diterjemahkan oleh Sukran Vahide). Sozler Nesriyat A.S, Istanbul.
                  2000e. Bediuzzaman Said Nursi,  Penerjemah : Sukran Vahide, Sozler Nesriyat
A.S, Istanbul.
________ 2000f. Thirty-Three Windows; Making Known The Creator. (diterjemahkan oleh Sukran Vahide). Sozler
Publication, Istanbul.
________ 2000g. Persoalan Tauhid dan Tasbih (diterjemahkan oleh Maheram binti Ahmad). Sozler Publication,
Istanbul.
________ 2002a.  Man and Universe,  (diterjemahkan oleh Sukran Vahide). Sozler Nesriyat A.S, Istanbul.
________ 2002b. The Shore Hlordv, (diterjemahkan oleh Sukran Vahide). Sozler Nesriyat A.S, Istanbul.
_________ 2003a. Risalah An-Nur : Said Nursi: Pemikir dan Sufi Besar Abad 20
(Menikmati Takdir Langit : Lama’ar). Murai Kencana, Jakarta.
_________ 2003b. Risalah An-Nur; Said Nursi: Pemikir dan Sufi Besar Abad 20
(Menjawab yang Tak Terjawab, Menjelaskan yang Tak Terjelaskan. Murai Kencana, Jakarta
___________ , 2003c. Risalah An-Nur; Said Nursi: Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Sinar
yang Mengungkap Sang Cahaya; Epitomes Of Light). Murai Kencana, Jakarta.
_____________, 2003d. Alegori Kebenaran Ilahi, (diterjemahkan oleh  Sugeng Hariyanto), Prenada Media, Jakarta.
___________  , 2003d. Dimensi Abadi kehidupan (diterjemahkan oleh  Sugeng Hariyanto). PrenadaMedia, Jakarta.
_________ , 2003e  Dari Balik Lembaran Suci (diterjemahkan oleh  Sugeng Hariyanto), Prenada  Media, Jakarta.
_________ , 2003g.  Episode Metafisis Kehidupan Rasulullah (diterjemahkan oleh  Sugeng Hariyanto).
Prenada Media, Jakarta.
2003h. Dari Cermin Kekuasaan Allah (diterjemahkan oleh Sugeng Hariyanto), Prenada Media, Jakarta.
                  2003i. Al-Ahad Menikmati Ekstase Spiritual Cinta Ilahi (diterjemahkan oleh Sugeng Hariyanto), Prenada
Media, Jakarta.
                 , 2003j.  Mi’raj Menembus Konstelasi Langit, (diterjemahkan oleh Sugeng  Hariyanto), Prenada Media,
Jakarta.
                 2003k.  Makna Hidup Sesudah Mati: Kebangkilan dan Penghisaban
(diterjemahkan oleh  Sugeng Hariyanto dan Fathor Rasyid), Murai Kencana, Jakarta
I 2004a. Mengokohkan Akidah Menggairahkan Ibadah, (diterjemahkan oleh Muhammad Misbah). Robbani Press,
Jakarta.
                  2004b. Iman Kunci Kesempurnaan (diterjemahkan oleh Muhammad Misbah). Robbani Press, Jakarta,
Ottal, William R. 1978. the Psychobiclo~U of Mind. New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates.
Rahman, Taha ‘Abdel 2003, The Separation of Human Philosophy .from the Wisdom of the Qura’an in Said Nursi
Work’s dalam buku Islam at the Crossroad on the Life and thought of Bediuzzaman Said Nursi  (Ibrahim Abu Rabi’,
Editor), Penerbit Suny Press, Amerika Serikat.
Ramadhan, Syamsuddin 2003. Islam Musuh Bagi Sosialisme dan Kapitalisme, Wahyu Press, Jakarta.
Rahman, Fazlur 1984.  Islam. Pustaka, Bandung.
_________1985. Islam dan Modernitas: Tentang Trancfbrmasi Intelektual.  Pustaka,
Bandung.

Salih, Ihsan Kasim 2003. Said Nursi Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Membebaskan Agama dari Dogmatisme dan
Sekularisme. Murai Kencana, Jakarta.
_________1999.Badi’al-zaman Said Nursi nazrah ‘animah an hayatihi wa atharihi, Matba’at Al Najah al Jadidah, Al
Magrib.
 

Syafiie, Inu Kencana, 1998. Logika, Elika, dan Estetika Islam.  Pertja, Jakarta.
 

Sahrasad, Herdi, 2000.  Islam Sosialisme dan Kapitalisme. Madani Press, Jakarta.
 

Sandra 2005. Metode dan Pendekatan Pendidikan Islam dalam Perspektif Bediuzzaman Said Nursi,  Tesis pada Pps
IAIN Raden Fatah Palembang.
Sarwat, Saulat, 1980. Said Nursi, Internasional Islamic Publisher, Pakistan.
Suseno, Franz Magnis, 1991.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanitsus, Jakarta
Sukanto MM, 1996. Ketimpangan-ketimpangan Psikologi dalam Membangun Paradigms  Psikologi Islami  (Fuad
Nashori, Editor), Penerbit SIPRESS, Yogyakarta.
Surahmad, Winarno 1990, Pengantar Interaksi Mengajar (Belajar Dasar dan Teknik Melodologi Mengqjar),  Tarsito,
Bandung.
Suryabrata, Sumadi 1997. Metodologi Penelitian,  Rajawali Pers, Jakarta.
Suwito 1995. “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih”. Disertasi Doktor  pada Program Pascasarjana
(Pps) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Saulat, Sarwat, 1980. Said Nursi, Internasional Islamic Publisher, Pakistan.
Sunanto, Musyrifah, 2004.  Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam), Penerbit Prenada Media,
Jakarta.
1999. Sunardi, 1999. Nietzsche,  LkiS, Yogyakarta.
Tafsir, Ahmad 2003. Metodologi Pengajaran Agama Islam,  Bandung: Remaja Rosdakarya
_______Tafsir, Ahmad et.al 1995. Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Thalib, M. 1996. Metode Pendidikan Islam. Gema Insani Pers, Jakarta.
Tasmara, Toto 1999. Dajal dan Simbol Setan.  Gema Insani, Jakarta.
 

Tatli, Adem 1992. Badiuzzaman Education Methot (The Paper Presented in The Second International Symposium on
Bediuzzaman Said Nursi: The Reconstuction of Islamic Thought In The 7Wentieth Century and Bediuzzaman Said
Nursi, 27-29 September 2000),  Istanbul: Sozler Publication
Tibawi, AL 1979. Islamic Education: Its Traditions and Modernization into the Arab National Systems, London: WCIB
3PE, Luzac and Company LTD. 45, Great Russell Street
 

Ulwan, Abdullah Nasih, 1995.  Pendidikan Anak dalam Islam I dan 2. (diterjemahkan oleh  Jamaluddin Miri), Pusataka
Imam, Jakarta.
Vahide, Sukran 1992.  Bediuzzaman Said Nursi. Sozler Publication, Istanbul.
__________  1998. A Comfeniporary Approach to Understanding The Qur’an: The Example  of The Resale-i
Nur,  International Symposium Bediuzzaman Said Nursi, Sozler Publication, Istanbul:
Waspodo 2002. “Kurikulum Sebagai Sarana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, dalam Makalah  yang disajikan
dalam Diskusi Panel Kependidikan tanggal 21 Mei 2002 di Palembang.
Yatim, Badri 1995. Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Yavuz, M. Hakan. 2003.  Islamic Political Identity in Turkey. Oxford University Press, USA.
Yildiz Ilhan 2002. The Search in The Traditional Period (1924-1950) for a Religious  Education Model (The paper
presented at the fifth ineniationalsymposium on Bediuzzaman Said Nursi, 24-26 September 2000), Isanbul: Sozler
Publication
Yusuf, Ali Anwar, 2005. Afeksi Islam (Menjelajahi Nilai-Rasa Transendental Bersama Al-Qur’an.  Kelompok Tafakur
Humaniora, Bandung.
Yunus, Mahmud 1995. Tema-Tema Pokok Isi Al-Quran, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar 1995. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Raja Grafindo 
Persada, Jakarta.
Zaidin, Mohammad 2001. Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran, Malaysia, Selangor Darul
Ehsan: Malita Jaya Publisher
 

Zein, Muhammad 1995. Methodologi Pengajaran qjaran Agama, Yogyakarta: AK

Group dan India Buana.

Zuhairini 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Usaha Nasional, Surabaya.


_________ 1995. Filsqfat Pendidikan Islam,  Bumi Aksara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai