Anda di halaman 1dari 12

Konsep Politik Dalam Islam :

Sejarah dan Praktiknya Dalam Era Kenabian


Asal mula Islam sebagai gerakan politik telah dimulai sejak zaman nabi Muhammad. Pada 622 M, sebagai
pengakuan atas klaim kenabiannya, Muhammad diundang untuk memimpin kota Medinah. Pada saat itu dua
kaum yang menguasai kota; Arab Bani Aus dan Bani Khazraj, berselisih. Warga Medinah menganggap
Muhammad sebagai orang luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat mendamaikan konflik ini.
Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Medinah, di mana Muhammad menyusun Piagam Madinah. Dokumen ini
mengangkat Muhammad sebagai pemimpin kota sekaligus mengakuinya sebagai rasul Allah. Hukum yang
diterapkan Muhammad pada saat berkuasa berdasarkan Quran dan Sunnah (perilaku yang dicontohkan
Muhammad), yang kemudian dianggap kaum Muslim sebagai Syariah atau hukum Islam, yang kini ingin
ditegakkan oleh gerakan Islam hingga kini. Muhammad mendapatkan banyak pengikut dan membentuk tentara.
Pengaruhnya kemudian meluas dan menaklukkan kota asalnya Mekkah, dan kemudian menyebar ke seluruh 
Jazirah Arab berkat kombinasi diplomasi dan penaklukan militer.
Secara historis lahirnya teori politik Islam dimana Rasullullah SAW sebagai seorang pencetus yang bijaksana sekaligus
negarawan. Terdapat dua fase kehidupan Rasulullah SAW yaitu, pertama, fase Mekkah (awal mula lahir dan tumbuhnya
ajaran Islam) dan. kedua, fase Madinah, yakni perkembangan Islam mengalami kemajuan ditandai dengan berdirinya
negara Madinah yang solid, (kota pusat pemerintahan dan penyebaran Islam). Pada fase Madinah inilah politik Islam
sebagai sejarah yang banyak berpengaruh, meskipun ditiap negara memiliki sistem politik yang berbeda, Islam sebagai
agama yang lahir membawa perubahan sosial yang cukup dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, baik dari segi politik.
Hal ini karena aturan politik Islam pada dasarnya membawa negara dan masyarakatnya adil dan sejahtera. Meskipun
dalam kitab suci Al-Qur’an tidak dijelaskan aturan politik, tetapi era kenabian (zaman Rasulullah SAW) telah menjadi
bukti sejarah terutama pada fase Madinah, betapa adilnya sebuah pemerintahan dibawa politik Islam hal ini dikarenakan
masyarakat komitmen menjalankan syariat Islam.

Era kenabian merupakan era dimana ketika Nabi Muhammad SAW hidup yang membawa ajaran Islam dan memulai
dakwah kepada manusia untuk menyembah Allah SWT hingga wafat. Kesempurnaan era kenabian tersebut merupakan ciri
utama yang nampak dan membawa perubahan sosial pada masyarakat Arab umumnya. Era kenabian tercatat dalam
literatur-literatur sejarah terbagi menjadi dua fase sebagaimana dijelaskan diawal.
Orientasi Politik Era Mekah
Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW sejak awal penyebaran Islam di kota Mekah dengan melakukan penyebaran Islam
secara sembunyi-sembunyi hingga secara terang-terangan yang mengalami tekanan, intimidasi dan konspirasi dari kalangan kafir
Quraisy hingga melakukan hijrah ke kota Madinah. Penduduk Yastrib (Madinah) menerima Nabi dengan resmi dan
menjadikannya sebagai pemimpin bagi penduduk tersebut. Disinilah babak baru dalam sejarah Islam dimulai dengan
didirikannya negara Islam pertama dan pusat pemerintahan yang unggul, satu-satunya kepemimpinan dalam Islam sepanjang
sejarah dengan sistem politik Islam yang tunggal dengan syariat Islam dan tak ada persamaan kepemimpinan manapun.
Dalam aspek sosial, masyarakat Jahiliyah Mekah mempertahankan sistem kekerabatan (klan, suku atau etnic ), di mana
kehormatan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan, dan keturunan yang tinggi adalah yang memiliki kedudukan tinggi di
mata masyarakat. Jadi, ketinggian martabat atau derajat seseorang bukan didasarkan pada pencapaian prestasi, melainkan
ditentukan oleh garis keturunan atau marga, qabilah. Implikasi dari sistem ini memunculkan kelas-kelas dalam masyarakat, ada
kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah, tidak jauh beda dengan pembagian kasta-kasta dalam masyarakat penganut agama
Hindu; yaitu ada Kasta Brahmana, Kasta Kesatria, Kasta Wesya, dan Kasta Sudra.

Masing-masing kepala suku menduduki posisi kepemimpinan di dalam masyarakat Jahiliyah Mekah, dan kepemimpinan yang ada
pada saat itu adalah model kepemimpinan bersifat presidium atau kepemimpinan kolektif. Kepala suku Quraisy mendapatkan
beberapa jabatan penting dan terhormat, yaitu jabatan penjaga kunci Ka`bah atau Hijabah, Liwa, Siqayah dan Rifadah.
Pendistribusian jabatan-jabatan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kecemburuan sosial dari suku-suku yang ada, sehingga
keamanan dapat tercipta di tengah-tengah masyarakat Mekah. Selain dari itu adalah terciptanya kedamaian, sehingga tidak terjadi
kezaliman di antara sesama penduduk Mekah.
Nabi Muhammad saw. di Mekah selama kurang lebih 13 tahun lamanya setelah kenabian, tidak menerima perintah
( melalui wahyu ) tentang berbagai hal, baik yang terkait dengan kehidupan sosial keagamaan ataupun sosial
kemasyarakatan secara menyeluruh, melainkan baru sebatas hal-hal yang terkait dengan keimanan atau akidah. Jadi,
ketika Nabi Muhammad saw. masih di Mekah belum ada perintah perang terhadap orang-orang Kafir yang
mengganggu dan merintangi perjuangannya, kecuali di hari-hari akhir menjelang hijrah ke Madinah, perintah perang
baru kemudian ditentukan dari aspek lain secara politis sebenarnya orang-orang kafir Quraisy merasa khawatir
tentang kemunculan sebuah gerakan yang dipimpin Nabi Muhammad saw. Gerakan ini dimungkinkan dapat
menggeser dominasi kepempimpinan orang-orang kafir Quraisy yang sudah sekian lama terlembaga dalam
kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah Mekah.
Oleh karena itu para pepimpin Quraisy melakukan berbagai upaya, termasuk melakukan negosiasi kepada Nabi Muhammad
dengan memberikan tiga tawaran; yaitu, 1). Kedudukan atau jabatan pimpinan, 2). Harta, dan 3). Wanita. Mereka akan
memberikan tawaran tersebut kepada Nabi Muhammad saw. asalkan Nabi Muhammad menghentikan aktivitas pergerakannya.
Sangat tragis ketiga-tiga tawaran itu ditolak Nabi, dan bahkan Nabi bersumpah; Demi Allah, jika mereka meminta aku untuk
meletakkan mata hari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti untuk melakukannya sehingga agama
ini ( Islam ) memperoleh kemenangan dan dianut oleh masyarakat. Kondisi ini secara politis tidak menguntungkan perjuangan dan
dakwah Nabi, maka dalam rangka melindungi dan menyalamatkan akidah segelintir orang-orang yang sudah memeluk Islam,
Nabi Muhammad saw. melakukan beberapa langkah strategis antaranya :

1. Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada beberapa orang Islam Mekah untuk berhijrah atau mengungsi sementara ke
negeri Habsyah/Abesina (sekarang Ethopia ). Sebelumnya Nabi Muhammad saw. sudah menginformasikan bahwa di sana ( negeri
Habsah ) ada seorang penguasa yang saleh meskipun dia beragama Kristian,58 yaitu Raja Najjasyi yang dapat dimintai
pertolongan untuk memberikan suaka politik.
2. Mengadakan kerja sama dengan suku-suku atau qabilahqabilah yang ada di luiar kota Mekah.
3. Mengadakan bai`at( janji setia kepada Nabi ) dari orangorang Qabilah Aus dan Khazraj.
4. Melindungi orang-orang tertindas,
5. Mengupayakan wujudnya kesejahteraan dan sebagainya

Legitimasi kepemimpinan yang diterima Nabi Muhammad saw. bukanlah hasil pemilihan yang dilakukan secara terbuka
ataupun tertutup, seperti layaknya pemilihan seorang prersiden atau perdana menteri di era modern. Legitimasi kepemimpinan
Nabi Muhammad saw. yang diterimanya adalah secara alami dan berproses, artinya bahwa Nabi Muhammad saw. tumbuh dan
muncul sebagai seorang pemimpin umat secara alami, tidak melalui intrik-intrik pencitraan berbagai cara dan pendekatan yang
berujung pada rekayasa.
Orientasi Politik Era Madinah

Di kota Madina, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala
negara, dengan kata lain dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan
duniawi. Kedudukan sebagai Rasul secara otomatis merupakan sebagai kepala negara.

Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat yaitu; Dasar pertama yaitu pembangunan masjid, selain tempat shalat, juga sebagai sarana
penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, disamping sebagai tempat
bermusyawarah juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Dasar kedua, adalah ukhuwwah islamiyah,
persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin (orang-orang yang hijrah
dari Mekah ke Madinah) dan Anshar, penduduk Madinah yang telah masuk Islam dan ikut membantu kaum
Muhajirin tersebut. Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam.
Di Madinah, disamping orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab
yang masih menganut agama nenek moyang mereka.
Dalam rangka mewujudkan kestabilan masyarakat dan pemerintahan Nabi mengadakan perjanjian dengan seluruh
penduduk Madinah yang melahirkan “Piagam Madinah” yaitu suatu perjanjian yang memberikan jaminan kebebasan beragama
ditiap komunitas, dan memiliki hak tertentu dalam politik dan keagamaan. Sebagai kepala pemerintahan diberikan
wewenang dan otoritas mutlak dalam menjalankan kepemimpinannya. Kepemimpinan yang diembangnya dengan misi
masyarakat madani pun terwujud hanya dalam beberapa tahun. Hal ini membuktikan bahwa era kepemimpinan Rasul
dengan politik yang diterapkannya merupakan ciri pemerintahan yang penuh dengan kearifan. Dalam bidang sosial, Nabi juga
meletakkan dasar persamaan antar sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering
disebut dengan Konstitusi Madinah. Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat, Sebagai kepala
pemerintahan selalu dihadapkan berbagai gangguan musuh, maka Nabi mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara.
Ada dua alasan umat Islam diizinkan berperang yaitu, pertama, untuk mempertahankan diri dan melindungi hak-haknya,
kedua menjaga keselamatan dan penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya.
Dengan terbentuknya negara Islam Madinah yang telah menjadi pusat pemerintahan sekaligus puncak
keemasan Islam pada era kenabian yang sulit ditemui kesamaannya hingga kini sebab di dalamnya dipadukan
teori politik kekuasaan dan toleransi keagamaan dibawa hegemoni kekuasaan Islam yang diperankan oleh
Nabi Muhammad SAW.
Penghijrahan umat Islam dari Mekah ke Madinah terjadi pada hari Senen tanggal 12 Rabiul awal tahun pertama
Hijriyah, bertepatan dengan tahun 622 M. Peristiwa penghijrahan umat Islam dari Mekah ke Yatsrib tersebut
menandai dimulainya babak baru bagi umat Islam. Umat Islam saat di Mekah berada dalam kondisi yang tertekan,
dimusuhi, dihina, disiksa, bahkan dikucilkan dan diimbargo, dan tindakan-tindakan lain yang menyebabkan umat
Islam tidak berdaya, tidak bisa banyak berbuat untuk merencanakan kehidupan masa depan merekayang lebih baik,
hal ini berbeda dengan di Yatsrib (Madinah). Periode Yatsrib Islam merupakan kekuatan politik, di mana ajaran Islam
yang terkait dengan peraturan kehidupan sosial kemasyarakatan banyak turun di sini. Hal ini dapat ditegaskan
bahwa peristiwa hijrah Nabi bersama umat Islam dari Mekah ke Madinah merupakan era baru dalam sejarah
peradaban umat Islam.Sejak saat itu muncul pemikiran politik Islam yang berbeda dari pemikiran politik
sebelumnya.

Pada periode Madinah, kaidah-kaidah Islam yang dulunya bersifat umum berhasil dirinci, dan ketentuan-
ketentuan (hukum-hukum) yang diperlukan oleh sebuah negara ditetapkan, baik yang berkaitan dengan urusan-
urusan publik ataupun yang menyangkut urusan privat. Kaidah-kaidah umum berdasarkan wahyu yang menjadi
sumber rujukan hukum-hukum tafsili senantiasa turun. Semuanya ini bertujuan untuk menyediakan perangkat-
perangkat aturan atau tatanan yang akan dipergunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan negara baru.
Kondisi baru di Madinah dari aspek sosio politik dan sosio ekonomi, menuntut tanggung jawab Nabi serta peletakan dasar
kebijakan, dasar kemasyarakatan dan dasar ekonomi untuk menghentikan perpecahan dan konflik yang terjadi di antara
beberapa suku, agar mayarakat dapat memulai pembangunannya dalam berbagai aspek kehidupan, terutama yang terkait
dengan pengelolaan urusan kehidupan umat. Karena hal inilah yang dapat memberikan nuansa baru bagi Madinah sendiri dan
wilayah-wilayah yang berada di sekitarnya dalam rangka terciptanya kehidupan yang aman dan damai.Dalam rangka
memperkokoh solidaritas masyarakat yang baru saja dibentuk di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad saw.
kemudianmelakukan kebijakan-kebijakan strategis yang dianggap sangat efektif bagi membangun kehidupan sosial politik dan
keagamaan sekaligus, yaitu; Membangun mesjid, mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dengan orang-orang Anshor dan
menetapkan konstitusi. Beberapa kebijakan Nabi ini akan dijelaskan pada topik pembinaan strategi pembangunan Madinah.

Tidak lama setelah Nabi bertempat tinggal di Madinah, dan menurut Munawir Sjadzali, belum cukup dua tahun dari
kedatangan Nabi di kota ini, beliau mempermaklumkan suatu Piagam yang bertujuan untuk mengatur kehidupan dan hubungan
antar komunitas-komunitas yang merupakan komponen masyarakat Madinah. Penduduk Madinah ketika Nabi Muhammad saw.
sampai di kota ini dilihat dari aspek sosio-keagamaan dan struktur masyarakatnya menunjukkan adanya masyarakat yang plural
(majmuk ) atau multy etnic, yaitu;

a. Komunitas muslim; terdiri dari orang-orang yang beragama Islam, yaitu orang-orang Muhajirin dan Anshar.
b. Komunitas Yahudi; yaitu orang-orang yang beragama Yahudi yang terdiri dari Bani ( suku ) Nadhir, Bani Quraidhah, Bani Qiniqa
dan lain-lain.
c. Orang-orang munafik
d. Orang-orang penyembah berhala ( Paganis )
e. Orang-orang yang beragama Kristiani
Di tengah-tengah kemajmukan masyarakat Madinah ini, Nabi Muhammad membangun
struktur kehidupan yang meliputi semua elemen masyarakat yang berbeda-beda dari segi agama,
etnik atau keturunan, dan adat budaya. Ketika Nabi berhasil meletakkan dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat sebagaimana tertuang di dalam Piagam Madinah, maka itu artinya sebuah
keberhasilan dalam rangka proses persatuan umat. Langkah strategi ke arah ini, Nabi Muhammad
meletakkan Piagam sebagai dasar persatuan kehidupan bagi seluruh komponen masyarakat
Madinah tanpa membedabedakan keturunan, bangsa dan agama. Piagam Madinah ini adalah
konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam pertama yang didirikan Nabi Muhammad
di Madinah.

Berdasarkan fakta-fakta terkait aturan-aturan yang terkandung di dalam Piagam Madinah atau
konstitusi Madinah dapat ditegaskan bahwa sistem perpolitikan di Madinah meskipun sangat
sederhana telah mengakar pada masyarakat bawah (grasrut). Sebagai pemimpin keagamaan dan
temporal Nabi Muhammad saw. mengatur hubungan-hubungan sosial, membuat aturan atau
undangundang berdasarkan al-Qur`an dan melaksanakannya, mengangkat komandan pasukan
perang, dan kadang Nabi sendiri memimpin pasukan perang.
Dan ketika wilayah kekuasaan Madinah meluas, Nabi Muhammad mengaturnya melalui
musyawarah dengan para sahabatnya. Realitasnya, semua masalah penting yang tidak terungkap
di dalam wahyu Allah, baik al-Qur`an atau Sunnah Nabi sendiri, ditetapkan oleh Nabi melalui
proses musyawarah, seringkali Nabi mengundang masyarakat untuk berkumpul mendiskusikan
masalah dan kemudian Nabi sendiri mengikuti pendapat mayoritas yang disampaikan dalam
musyawarah meskipun pendapat tersebut bertentangan dengan pendapatnya sendiri, sebagaimana
dicontohkan di dalam musyawarah untuk mengatur strategi perang Uhud pada tahun ke tiga
Hijriyah atau tahun 625 M.

Anda mungkin juga menyukai