Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

SIRAH NABAWIYAH: NABI SEBAGAI POLITIKUS


Pengampu: Maulana, M. Ag.

Disusun Oleh :
Mentari Sawva Karim (11210360000046)

KELAS 4B
PROGRAM STUDI ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejarah politik Nabi Muhammad umumnya dibagi ke dalam dua fase, yaitu fase
Mekkah dan Madinah, aktivitas dakwah nabi pertama-tama dimulai di Mekkah dan
kemudian berpindah ke kota Madinah. Masyarakat Mekkah yang sebagian besar
memusuhi Nabi Muhammad bahkan menolak kebenaran Islam, masyarakat Madinah
justru bersikap sebaliknya, yaitu terbuka menerima Islam sebagai agama mereka.
Rasulullah memulai tahapan kepemimpinannya pada periode Mekkah yang disusul
oleh tahap Madinah untuk menjadi satu kesatuan.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana keadaan politik Rasulullah di Mekkah?
b. Bagaimana keadaan politik Rasulullah di Madinah?
C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui dan memahami politik Rasulullah di Mekkah
b. Mengetahui dan memahami politik Rasulullah di Madinah
II. Pembahasan
A. Politik di Mekkah
Pada masa sebelum hijrah, Nabi Muhammad menjalankan aktivitas politik
dengan dua metode gerakan, yaitu gerakan intelektual dan gerakan sosial. Gerakan
intelektual yang dimaksud disini adalah upaya Nabi Muhammad untuk melakukan
merubah pemikiran masyarakat dari paradigma politeisme ke paradigma monoteisme,
sehingga berdampak pada perubahan keyakinan dan orientasi moral masyarakat, yakni
perubahan dari moralitas jahiliyah ke moralitas Islam, Rasulullah mengedukasi
masyarakat melalui dakwah Islam. Pendekatan melalui pendidikan menjadi cara untuk
merubah pemikiran masyarakat. Rasulullah pada masa ini fokus mengajarkan nilai-nilai
Islam agar nilai-nilai tersebut melekat dalam diri setiap individu. Gerakan sosial yang
dimaksud adalah Rasulullah mampu memanfaatkan segala sumber daya dan peluang
politik yang ada untuk mendapatkan otoritas yang berlandaskan hak moral yang diakui
oleh masyarakat untuk menentukan arah kebijakan negara secara absah.1
Rasulullah memperoleh dukungan moral dan dukungan politik yang banyak dari
sekelompok orang Arab kota Yatsrib yang menyatakan diri masuk Islam. Kejadian ini
mempunyai keistimewaan tidak seperti orang Arab Mekkah masuk Islam. Karena
disamping mereka menerima Islam sebagai agama mereka, mereka juga membaiat
nabi.2 Kejadian baiat dapat kita sebut sebagai kontrak sosial, yaitu penyerahan hak-hak
kekuasaan kepada Nabi untuk mengatur kehidupan sosial dan politik mereka. Kejadian
ini mengantarkan umat Islam dari kelompok kecil menjadi satu komunitas masyarakat
negara, kejadian ini membuka peluang bagi Nabi untuk mendapat ketaatan dari
penduduk Yatsrib. Kepemimpinan yang Rasulullah jalankan juga memaksimalkan
kebaikan dan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan sekaligus memusnahkan segala
kezaliman dan ketidakadilan di masyarakat, sehingga Islam bukan hanya menjadi
agama yang diyakini tetapi juga menjadi langkah nyata untuk meratakan keadilan.3
B. Politik di Madinah
Peristiwa hijrah terjadi pada tahun ke-13 kenabian. Dimana peristiwa hijrah itu
bukan semata-mata atas kehendak Muhammad, peristiwa hijrah itu terjadi karena ada
undangan langsung dari para pemuka atau tokoh-tokoh masyarakat dari Yatsrib.

1
Fajar, “Praksis Politik Nabi Muhammad saw” dalam Jurnal al-Adalah Vol. 4 No. 1, h. 84-85
2
Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari pandangan al-Qur’an
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996) h. 79
3
Fajar, “Praksis Politik Nabi Muhammad saw” dalam Jurnal al-Adalah Vol. 4 No. 1, h. 85-87
Peristiwa hijrah itu tidak semata-mata adalah peristiwa untuk menegakkan agama,
melainkan peristiwa itu juga bisa dibaca sebagai peristiwa politik. Dimana suatu
gerakan sosial yang diupayakan di Mekkah, berbuah negara di Madinah. Singkatnya,
Islam pada fase Madinah telah berkembang menjadi masyarakat politik atau negara.
Islam bermetamorfosis menjadi masyarakat politik di Madinah. Dimana di dalamnya
ada sistem kekuasaan, juga sistem hukum yang menjadi pegangan setiap warga negara
dalam bertindak dan berinteraksi dalam kehidupan sosial dan politik. Rasulullah setelah
tiba di Madinah melakukan hal yang pada umumnya dilakukan pemimpin politik yang
baru mendirikan negara seperti:4
a. Membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat
utamanya
b. Menciptakan hubungan sosial yang erat melalui proses persaudaraan
antarkomunitas wilayah yang berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama,
antara sebagian komunitas Quraisy dan Yatsrib menjadi komunitas Muhajirin
dan Anshar
c. Membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang
berbeda, sebagai masyarakat plural yang mendiami wilayah yang sama melalui
piagam Madinah
d. Membentuk angkatan perang untuk menghadapi ancaman invasi dari kafir
Quraisy Mekkah.

Masyarakat Madinah di bawah pimpinan Muhammad, selain dihubungkan dengan


ikatan agama, mereka juga diikat oleh ikatan kebangsaan, yakni hidup damai secara
bersama-sama dalam satu wilayah teritorial yang mandiri.

Rasulullah berusaha untuk menciptakan kebersamaan dan keharmonisan dalam


kemajemukan masyarakat dengan membuat perjanjian tertulis yang tertuang dalam
piagam Madinah. Piagam Madinah bukan hanya yang mendasari terbentuknya
masyarakat, namun juga mendasari terbentuknya negara Madinah. Piagam Madinah
diputuskan Rasulullah secara mandiri tanpa perintah dari Allah, walau begitu inisiatif
ini tidak bertentangan dengan perintah Allah. Piagam Madinah berfungsi sebagai
bentuk kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan masyarakat politik.

4
Fajar, “Praksis Politik Nabi Muhammad saw” dalam Jurnal al-Adalah Vol. 4 No. 1, h. 88-89
Rasulullah dalam hal ini mengatur masyarakatnya bukan dengan syariat Islam
sesuai dengan aturan agama, melainkan dengan nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat setempat yang sejalan dengan semangat syariat Islam. Kekuasaan
Rasulullah pun tidak hanya diarahkan untuk melindungi kepentingan masyarakat
muslim, melainkan ditujukan juga untuk melindungi segenap kepentingan seluruh
warga masyarakat Madinah baik yang beragama Islam maupun yang beragama Yahudi,
termasuk para penyembah berhala yang masih bertahan dengan keyakinan mereka.5

Ada beberapa kunci hal sebagai penyebab keberhasilan dakwah Rasulullah, yaitu:6
a. Akhlak Rasulullah yang terpuji dan tanpa cela
b. Sistem dakwahnya yang menggunakan metode imbauan dengan penuh hikmah
dan kebijaksanaan, Rasulullah tidak pernah memaksa seorang pun untuk
beriman, masuk Islam, berbuat baik, dan mencegah kebatilan, tidak ada unsur
paksaan dalam dakwahnya
c. Tujuan perjuangan Nabi untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, karena
niat baiknya inilah Nabi bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Madinah,
Rasul juga selalu mendahulukan kepentingan dan keselamatan masyarakat
d. Tipe kepemimpinan yang demokratis, beliau terbuka terhadap kritik dan
mendengar pendapat orang lain.

Kepemimpinan demokratis dari Rasulullah saw diperlihatkan pula oleh ketekunan


beliau mendidik para sahabat untuk dipersiapkan sebagai calon-calon penggantinya
selaku pemimpin umat dalam urusan dunianya dan membiarkan mereka
mengembangkan diri tanpa ragu akan tersaingi.7

5
Fajar, “Praksis Politik Nabi Muhammad saw” dalam Jurnal al-Adalah Vol. 4 No. 1, h. 93-94
6
Mubasyaroh, “Pola Kepemimpinan Rasulullah saw” dalam Jurnal POLITEA Vol. 1 No. 2 h. 101
7
Mubasyaroh, “Pola Kepemimpinan Rasulullah saw” dalam Jurnal POLITEA Vol. 1 No. 2 h. 104
III. Penutup
A. Hikmah
Rasulullah dalam memimpin dan berpolitik menggunakan berbagai cara, beliau
tidak lelah berusaha untuk mendapatkan kekuasaan untuk meratakan keadilan dan
menghempas penindasan, beliau bahkan inisiatif membuat piagam madinah untuk
mengatur sosial dan politik masyarakat setempat.
Daftar Pustaka
Fajar. 2019. “Praksis Politik Nabi Muhammad saw.” Jurnal al-Adalah Vol. 4 No. 1 84-85.
Mubasyaroh. 2018. “Pola Kepemimpinan Rasulullah saw.” Jurnal POLITEA Vol. 1 No. 2
101-104.
Pulungan, Suyuthi. 1996. Prinsip-prinsip pemerintahan dalam Piagam Madinah dari
Pandangan al-Qur'an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai