Oleh:
Dr. Sirojuddin Aly, MA.
205
KATA SAMBUTAN
DEKAN FISIP
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
PENULIS
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I:
PENDEKATAN DAN DASAR POLITIK ISLAM_
A.Pendekatan Studi Pemikiran Politik Islam_
B. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam_
BAB II:
GERAKANSOSIAL KEAGAMAAN DAN POLITIK ERA
MEKAH
1. Kekuasaan Mekah Pra Islam_
2. Mengangkat Martabat Orang-orang Tertindas _
3. Legitimasi Kepemimpinan Nabi Muhammad saw._
BAB III:
ORIENTASI POLITIK ERA MADINAH
1. Membangun Dasar-Dasar Politik_
2. Rekonstruksi Madinah Sebagai Pusat kekuasaan_
3. Menetapkan Piagam Madinah _
4. Prinsip-prinsip Piagam Madinah_
5. Eksistensi Madinah Sebagai Negara_
BAB IV:
DINAMIKA POLITIK ERA EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN
1. Situasi Politik Pasca Nabi Muhammad saw. wafat_
2. Bentuk Negara_
3. Mekanisme Pemilihan Para Khulafa al-Rasyidin_
a. Pemilihan Langsung dan Bebas_
b. Pemilihan Melalui Kesepakatan Para Elit_
c. Pemilihan Melalui Komisi Pemilihan_
d. Pemilihan Dalam Situasi Darurat_
BAB V:
KEBIJAKAN POLITIK EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN
1.Abu Bakar al-Siddiq dan Kebijakan Politik_
1.1. Dasar Politik Abu Bakar_
1.2. Konsolidasi Terciptanya Integrasi_
BAB VI
PEMIKIRAN POLITIK IBNU ABI RABI`
1. Mengenal Sosok Seorang Pemikir Politik Islam Ibnu Abi
Rabi`_
2. Asal Usul Negara_
3. Bentuk Negara Ideal_
4. Empat Pilar Negara_
5. Kriteria Kepala Negara_
6. Hak Istimewa Kepala Negara_
7. Perangkat-perangkat Pemerintahan_
BAB VII
PEMIKIRAN POLITIK AL-FARABI
1. Latar Belakang dan Situasi Politik Masa al-Farabi_
2. Hubungan Politik Dengan Akhlak_
3. Teori Asal Usul Negara_
3.1.Masyarakat Sempurna_
3.2.Masyarakat Tidak Sempurna_
4. Negara Dalam Konsepsi al-Farabi_
212
BAB VIII
PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI
1. Latar Belakang dan Situasi Politik_
2. Teori Asal Usul Negara_
3. Negara Dalam Konsepsi al-Mawardi_
4. Enam Pilar Negara_
5. Menegakan Keadilan_
6. Sistem Pemerintahan (Nazam al-Hukmi)_
7. Konsepsi Kepemimpinan (al-Imamah)_
8. Seleksi Kepala Negara (Imam)_
9. Mekanisme Pemilihan Imam (Kepala Negara)_
10. Masa Jabatan Imam_
11. Pemecatan (Impeachment) Imam_
12. Teori Kontrak sosial_
13. Imam dan Para Staff_
BAB IX
PEMIKIRAN POLITIK AL-GHAZALI
1. Situasi dan Latar Belakang Kehidupan al-Ghazali_
2. Al-Ghazali Konsultan Dua Pemerintahan di Afrika Utara_
3. Kebutuhan Berasyarakat dan Bernegara_
4. Tatanan Kehidupan Perpolitikan_
5. Keperluan PadaSumber Pendapatan_
6. Kepala Negara (Imam) dan Para Pembantuya_
7. Teori Kemunculan Pasar dan Penggunaan Uang_
8. Gagasan Tentang Kesejahteraan dan Kebahagiaan_
9. Teori Tentang Imamah (Kepemimpinan)_
10. Kelayakan Seorang Imam (Kepala Negara)
11. Syarat-syarat Calon Imam (Kepala Negara)_
12. Gagasan Negara Ideal (Daulah Fadhilah)_
13. Kepemiminan Khulafa al-Rasyidin Dalam Pandangan al-Ghazali
dan Syiah_
BAB X
213
BAB XI
PEMIKIRAN POLITIK IBNU KHALDUN
1. Petualangan dan Kareir Politik Ibnu Khaldun_
2. Teori Berdirinya Negara_
3. Teori Kemunculan Pemimpin Negara_
4. Sumber dan Dasar Kebijakan Politik_
5. Ibnu Khaldun Seorang Ahli Geopolitik_
6. Teori Ashabiyah_
7. Ashabiyah dan Kepemimpinan (al-Ashabiyah wa al-Riyasah)_
8. Ashabiyah, Akhlak dan Agama_
9. Jabatan Raja, Khalifah dan Imam_
BAB XII
PENUTUP
1. Kesimpulan_
2. Daftar Pustaka_
3. Indeks_
4. Sekilas Tentang Penulis_
214
BAB 1
PENDEKATAN DAN DASAR
POLITIK ISLAM
dengan situasi dan kondisi di mana saja dan kapan saja manusia
berada, seperti; kewajiban bermusyawarah, kewajiban menegakkan
keadilan, persamaan hak dan kewajiban, dan sebagainya. Dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban ini semua teknisnya bisa saja
berubah dari waktu ke waktu, tetapi perintah musyawarah,
menegakkan keadilan, dan lain-lainnya sampai kapan pun menjadi
kewajiban dan tidak akan terjadi amandemen. Oleh karenanya dapat
ditegaskan bahwa al-Qur`an menjadi referensi utama adalah metode
khusus dalam kajian-kajian politik di dalam Islam. Sumber rujukan
kedua; Sunnah Nabi Muhammad saw. Sunnah Nabi adalah apa
yang disampaikan Nabi, baik dalam bentuk ucapan ( hadits
),perilaku dan ketetapannya ( taqrir ) yang kedudukanya sebagai
penjelasan atau penjabaran secara rinci terhadap al-Qur`an dalam
berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks ini, banyak tindakan-
tindakan Nabi Muhammad saw. yang secara politis dalam kategori
tindakan politik, antaranya; Perjuangan Nabi dalam rangka
membebaskan rakyat kecil dari segala bentuk penindasan dan
eksploitasi para pemimpin kafir Quraisy Mekah, Perintah Nabi
kepada beberapa orang muslim Mekah untuk mengungsi ke negeri
Habsah ( Ethopia ) sebagai upaya menghindari kekejaman para
pemimpin Quraisy dan kemudian mereka mendapatkan suaka politik
dari Raja Najjasi; penguasa Ethopia, Nabi mengadakan baiat
Aqabah (perjanjian Aqabah )pertama, kedua, dan ketiga yang
menghasilkanmanifesto politik. Manifesto politik ini dideklarasikan
oleh penduduk Yatsrib ( Madinah ) yang sudah masuk Islam sebagai
bentuk dukungan padu kepada perjuangan Nabi, Keberhasilan Nabi
dalam menetapkan Piagam sebagai upaya untuk melakukan
restrukturisasi dan penataan kehidupan masyarakat Madinah yang
plural, Pengangkatan panglima perang, Pengangkatan duta yang
ditugaskan di negara Yaman, dan lain sebagainya. Sumber rujukan
ketiga; Kebijakan-kebijakan para Khulafa al-Rasyidin, yaitu
kebijakan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib saat mereka menjabat kepala negara ( Khalifah ).
Kebijakan-kebijakan mereka dalam upaya mengelola atau menata
kehidupan masyarakat untuk terciptanya kehidupan yang kondusif,
aman, dan damai di bawah kendali dan kordinasi para Khalifah
tersebut sangat penting untuk diketahui. Beberapa contoh dapat
disampaikan, antaranya; Pemilihan para khalifah berdasarkan
217
3
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 44
219
4
.Ibid. h.44, lihat juga Bernard Crick, In Defence of Politics ( London:
Pelican Books, 1964 ), h. 16
5
.Lihat al-Qur`an, 2: 205, yang artinya; dan ia berpaling ( dari kamu ), ia
berjalan di bumi untuk melakukan kerusakan dan merusak tanaman-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.
6
.Yusuf Ibn Abdul Barr al-Qurtubiy, Jami` al-Bayan al-`ilm wa Fadhlih
( Madinah: Maktabah al-`Ilmiyah, Tp. Th. ), h. 62
220
7
.`Ali Ibn Muhammad al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sulthaniyahwa al-
Wilayah al-Diniyah( Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1960 ), h. 5
8
.E.I,J. Rosenthal, Political Thought in Medival Islam ( Cambridge:
Cambridge University Press, 1968 ), h. 14
9
.Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibnu Taimiyah ( London:
Islamic Book Foundation, 1983 ), h. 29
10
. Sayyid Abul `Ala al-Maududiy, The Islamic Law and Constitution (
Lahore: Islamic Publication, 1967 ), h.248
221
11
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h.46
12
.Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid: It`s Implication for Thought and Life (
Herndon: International Institut of Islamic Thought, 1982 ), h. 153
222
13
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 48
14
. Ibid.
15
. Ibid.
223
16
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 48
17
.Ibid. h. 49
18
.Lihat Abdul Wahid Muhammad al-Far, al-Tsaqafah al-Islamiyah:
Dirasah Ta`shiliyah Limadhmun al-Risalah al-Islamiyah Fiy al-Dhau`i al-Qur`an
wa al-Sunnah ( Jiddah: Dar al-`Ilmi, t.th. ), h. 84 -147
224
1.Amanah ( al-mabdaal-amanah )
19
. Al-Qur`an; 4: 58
20
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah Fiy al-Islah al-Ra`iy wa al-
Ra`iyah ( Beirut: Dar al-Kutub, 1386 H. ) h. 4
21
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1993 ). h. 83-84
225
2.Musyawarah ( al-mabdaal-Syura )
22
.Dalam ketata negaraan Negara Republik Indonesia, pemerintah diberi
mandat atau amanat oleh rakyat yang direpresentasikan oleh DRR / MPR untuk
melaksanakan ketentuan dan undang-undang yang telah ditetapkan.
23
.Saidy Abu Jayb, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy ( Beirut:
Muassisah al-Risalah, 1985 ), h. 105
226
24
.Lihat al-Qur`an, 3: 159
25
. Lihat al-Qur`an, 42: 38
26
.Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Politic al Science An
Islamic Prespective ( Bandung: Pustaka, 2001 M./ 1422 H.), h. 109
227
3.Persamaan ( al-mabdaal-musawa )
27
.Di era modern untuk pertama kalinya Perancis telah melaksanakan
prinsip persamaan ( egaliter ) sebagaimana tertuang dalam konstitusi Perancis
yang dikeluarkan pada tahun 1789 M. Dengan dikeluarkannya undang-undang
yang mengatur persamaan hak, Perancis banyak kehilangan pembesar-pembesar
yang mempertahankan status quo setelah terjadinya revolusi Perancis.
28
.Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nidzam al-Siyasah Li al-Daulah
al-Islamiyah ( Kairo: Dar al-Syuruq, 1989 M. / 1310 H. ), h.226
29
.Ibid.
228
4.Keadilan ( al-mabdaal-`adalah )
30
.al-Qur`an, 49 : 38
31
.Ashqar Ali, Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan ( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999 ),h. 33
32
.A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Sciences ( Beirut:
Library Du Liban, 1982 M ),h. 232
230
33
.Lihat Saidiy Abu Jayb, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy, h. 765
34
.al-Qur`an, 4 : 58
35
.Sayyid Quttub, Dhilal al-Qur`an ( Beirut: Dar al-Syuruq, 1977 ), Jld.
2, h. 689
36
.Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 107
37
.Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah Ibnu Muslim Ibnu
Qutaibah, `Uyun al-Akhbar ( Mesir: Wuzarat al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-
Qaumiy, 1963 M./ 1383 ), Jld. 1, h. 13
231
38
.Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 107
39
.al-Mawardiy, Adab al-Dunya wa al-Din ( Mesir: al-Mathba`ah al-
Adabiyah, 1317 H.), h. 68
232
5.Kemajmukan
40
.Ibid. h. 82
41
.A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Sciences, h. 317
233
42
.Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1990 ), h. 16
43
.Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar Negara
Islam yang pertama dan yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah.
Piagam Madinah dirumuskan untuk mengatur lalu lintas kehidupan dan hubungan
antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat
yang majemuk di Madinah. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h 16
44
.al-Qur`an, 49 : 13
234
BAB II
GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN
DAN POLITIK ERA MEKAH
45
. Berdasarkan peraturan di dalam kitab suci mereka, orang-orang
Hindu mempercayai bahwa Kasta Brahmana adalah Kasta yang paling tinggi
dibanding dengan kasta-kasta lainya. Menurut kepercayaan mereka bahwa Kasta
Brahmana diciptakan dari mulut Tuhan, mereka itu adalah para Guru, para
Pendeta (Acaria), dan para Hakim, mereka menjadi rujukan dalam banyak hal,
terutama mengenai acara pernikahan dan acara kematian, tidak diperkenankan
memutuskan undang-undang atau peraturan kecuali setelah mendapatkan
persetujuan Kasta ini. Kasta Kesatria adalah mereka yang diciptakan Tuhan dari
kedua lenganya, mereka adalah orang-orang yang mengangkat senjata untuk
mempertahankan keselamatan diri, warga, dan negara.Kasta Wesya adalah orang-
orang yang diciptakan Tuhan dari pahanya, mereka itu adalah sekelompok orang-
orang profesi sebagai petani, pedagang, dan orang-orang yang bertugas
236
47
. Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah. Juz I, h. 145 – 149. Lihat
juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001 ), h. 13 – 14.
238
48
. A. Salabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam, ( terj. )( Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1990 ), cet. VI, h. 67 – 73.
49
. Ibid. h. 69
50
. Ibid. h. 63 – 66. Lihat juga, Ahmad Fadhali et al, Sejarah Peradaban
Islam ( Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004 ), h. 5
51
. Lihat, Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-
Daulah al-Islamiyah ( Beirut: Dar al-Syuruq, 1989 ), h.42
239
52
. A. Salabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam. h. 87 - 90
240
56
. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah ( T.tpt: Darul Fikr al-
`Arabiy, 1301 H./ 1933 M. ), Juz 3, h. 49 -60
57
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 3 dan 4, h. 57
242
58
. Penghijrahan ke negeri Habsah ( Ethopia ) dilakukan dua gelombang.
Gelombang pertama oleh sekitar 11 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.
Gelombang kedua oleh sekitar 83 orang. Pada penghijrahan gelombang pertama
ternyata dikuti oleh 2 orang utusan para pemimpin kafir Quraisy, yaitu Amr bin al-
`Ash dan Ammar bin al-Walid tetapi dengan tujuan untuk memprokasi Raja, agar
Raja menolak memberikan suaka politik kepada rombongan asal Mekah tersebut.
Ketibanaan para pengungsi dari Mekah pada bulan Rajab tahun 5 setelah Nabi
menerima pangkat kenabian.Setelah mereka sampai di negeri Habsah, 2 orang
utusan para pemimpin kafir Quraisy tersebut langsung menemui Raja Najjasyi.
Amr bin `Ash berkata kepada Raja. Wahai Tuan Mulia Raja, sekelompok orang-
orang buronan asal Mekah yang tidak menyukai kami dan agama kami telah tiba
di negara anda. Raja Najjasi berkata, di mana mereka.? Panggil mereka ke sini.!
Kemudian mereka dipanggil menghadap sang Raja. Ja`far bin Abdul Muttalib (
paman Nabi ) sebagai juru bicara dari rombongan asal Mekah dan saat memasuki
ruangan Raja, Ja`far mengucapkan salam kepada Raja tetapi tidak melakukan
sujud di hadapannya sebagaimana tradisinya. Hadirin yang ada di samping Raja
berkata, kenapa kamu (Ja`far) tidak bersujud di hadapan Raja ?, Ja`far menjawab.
Kami tidak diperintahkan bersujud kepada siapa saja, selain kepada Allah, dan
kami diperintahkan untuk mengerjakan shalat lima waktu dan mengeluarkan
zakat. Kemudian Amr bin `Ash berkata; Wahai Raja yang mulia, pandangan
mereka berbeda dengan anda tentang Isa dan Ibunya (Maryam). Raja Najjasi
kemudian bertanya. Apa yang akan kamu (Ja`far) katakan tentang Isa dan
Ibunya. Ja`far menjawab, Kami berkata tentang Isa dan Ibunya sebagaimana yang
difirmankan Allah, bahwa dia (Isa) adalah kalimat Allah dan Ruh-Nya yang
diletakan pada seorang perempuan yang betul-betul perawan (al-`azdra al-batul)
yang tidak pernah disentuh oleh siapa pun. Kemudian Raja Najjasyi mengambil
kayu kecil dan mengangkatnya dari tanah.Raja berkata. Wahai rakyat Habsah
(Ethopia), para padri, para pendeta, bahwa apa yang disampaikan Ja`far bin Abdul
Muttalib adalah benar..! kemudian Raja mengucapkan selamat datang kepada
243
61
. Sebagian penulis menyebutkan tahun ke sepuluh dari kenabian. Lihat,
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24
62
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1993 ), h. 8
245
63
. Penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa pertemuan Nabi Muhammad
dengan enam orang suku Khazraj dari Yastrib ( Madinah ) telah didokumentasikan
oleh Ibnu Hisyam di dalam karyanya; al-Sirah al-Nabawiyah, Juz I, h. 453 - 454
64
. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah( T. th.: Dar al-Fikr, 1351
H. / 1932 M.), Juz 3, h. 148 -149.
246
65
. Etnik Khazraj dan Aus adalah suku atau qabilah yang sudah lama
bertempat tinggal di Yatsrib. Mereka berasal dari negeri Yaman. Menurut cerita
mereka berketurunan Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim. Lihat, Ibnu al-Atsir, al-Kamil
Fiy al-Tarikh( Beirut: Dar Maadir, 1385 H./ 1965 M.), Jld. I, h. 606
66
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, juz I, h. 403
67
. Ibid. h. 457
68
. Ibid, h. 456 – 457. Lihat juga Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,
Juz 3, h. 150 -151
247
69
. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa yang berbaiat itu adalah orang-orang
perempuan.Tetapi karena pernyataan baiat itu tidak mengandung pernyataan
kesediaan perang, makanya baiat itu seolah-seolah seperti disampaikan orang-
orang perempuan.
70
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Juz I, h. 464 - 465
248
71
. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24 - 25
72
. John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. Islam and Politic ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1990 ), h. 3
73
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini, terj.The History of Islamic Political Thought From The Prophet to The
Present( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006 ), cet. Pertama, h. 35.
250
BAB III
ORIENTASI POLITIK
ERA MADINAH
74
. Pemikiran politik Islam adalah pemikiran tentang politik yang
didasarkan pada ajaran-ajaran yang bersumberkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
75
. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, h. 36
76
. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ( Jakarta:
UI-Press, 1985 ), h. 25
77
. Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasah Lid Daulah al-
Islamiyah, h. 47
252
3. Dominasi politik.
Dominasi politik dapat diraih setelah berhasil merubah sikap
masyarakat Islam dari masyarakat yang tidak terlibat secara
langsung dalam urusan-urusan politik menjadi masyarakat
yang aktif melibatkan diri secara langsung dalam hal-hal
yang berkaitan dengan politik. 78
78
. Ibid. h. 49
79
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini, h. 36
253
80
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula( Jeddah: Dar al-Mujtama, 1406 H. / 1986 M. ), r. 19
81
.Perubahan nama Qabilah Aus dan Khazraj menjadi al-Anshar
bertujuan untuk terciptanya persatuan, karena menggunakan satu nama. Dengan
demikian perpecahan dan permusuhan menjadi hilang.Upaya ini pada akhirnya
berhasil.
82
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 19
255
1. al-Ikha( Persaudaraan )
Al-Ikha; artinya mempersaudarakan antara dua orang atau
komunitas, kelompok yang berbeda.Upaya ini merupakan
prinsip utama yang melandasi pembentukan masyarakat dan
warga Madinah. Nabi Muhammad saw. mempersaudarakan
antara sesama umat Islam, kaya, miskin, tua, muda,
semuanya adalah bersaudara. Langkah Nabi ini mendapatkan
justifikasi al-Qur`an padasurat al-Hujurat, ayat 10 yang
artinya; sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,
maka damaikanlah di antara saudara-saudara kamu.84Ikatan
yang dibangun atas dasar persaudaraan (al-Ikha) ini dalam
realitas kehidupan tidak mudah putus, maka setiap individu
dalam masyarakat merasa ada ikatan dengan individu-
individu yang lain. Persaudaraan di antara sesama umat
Islam di Madinah begitu kokohnya sampai ke tingkat yang
lebih jauh sehingga terjadi saling mewarisi harta kekayaan
jika salah satu di antara mereka meninggal dunia, tetapi
setelah turun ayat mawaris barulah ada aturan yang jelas
bahwa dalam hal waris mewairis hanyalah berdasarkan alur
kerabat hubungan darah dan terdekat. Persaudaraan di antara
sesama umat Islam ini sebagai salah satu langkah strategis
dalam rangka menciptakan persatuan masyarakat Islam
seluruhnya, di mana Islam menjadi dasar acuan untuk
persatuan ini, yaitu persatuan yang didasarkan atas kesedaran
iman atau akidah. Dalam komteks ini Antony Black
menyatakan bahwa Muhammad mendakwahkan
persaudaraan spiritual plus hukum yang merangkul semua
golongan, dan realitas berbicara bahwa kendali politik
83
.Yang dimaksud dengan langkah-langkah umum, ialah upaya-upaya
penataan masyarakat dalam rangka restrukturisasi pembangunan masyarakat
sebagaimana pada umumnya.Sementara langkah-langkah khusus dimaksudkan
upaya penataan masyarakat secara politis mengarah pada pembentukan kekuasaan.
84
. Al-Qur`an: al-Hujurat; 10
256
85
. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, h. 37
86
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimatul al-Islam al- Ula. h. 19 - 20
87
. Al-Bukhariy, Sahih Bukhariy, dalam Kitab al-Adab, Bab al-Hubbu
Fillah, ( T.tpt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiy, T.th. ), Juz 4, h. 56 -57
257
3. al-`Adalah( Keadilan )
Menegakkan keadilan merupakan prinsip ketiga menjadi
landasan pembentukan konstruksi masyarakat dan warga
Madinah.Adil dimaksudkan; sikap seimbang dan terhindar
dari perbuatan zalim. 88 Allah mewajibkan kepada manusia
agar bersikap adil dalam setiap kondisi dan situasi, hal in
sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Nahal, ayat 90
yang artinya; Sesungguhnya Allah senantiasa
89
memerintahkan untuk berbuat adil dan baik. Dalam surat
al-Nisa, ayat 58 Allah juga berfirman yang artinya; . . . . dan
jika kamu memutuskan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil.90 Dalam hal ucapan atau
perkataan, Allah memerintahkan agar bersikap adil,
sebagaimana ditegaskan dalam surat al-An`am, ayat 152, . . .
.dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil sekalipun kepada ahli kerabat,91 maksudnya;
mengatakan yang sebenarnya meskipun kepada orang-orang
terdekat, seperti ahli kerabat. Dalam hal tulis menulis apapun
bentuknya; Allah juga memerintahkan agar bersikap adil,
sebagaimana ditegaskan di dalam surat al-Baqarah, ayat 282,
yang artinya; . . . dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menulisnya dengan adil ( benar ).92 Dalam hal
mendamaikan dua orang yang sedang konflik, Allah juga
memerintahkan agar mendamaikannya dengan adil, artinya
tidak berpihak kepada seseorang karena ada imbalan jasa
yang akan diterima. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam
surat al-Hujurat, ayat 9 yang artinya; . . . Jika golongan itu
telah kembali (kepada Allah), maka damaikanlah keduanya
dengan adil. Demikianlah bahwa sesungguhnya sikap adil itu
88
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 21
89
. Al-Qur`an: 16; 90.
90
. Al-Qur`an: 4; 58
91
. Al-Qur`an: 6; 152
92
. Al-Qur`an: 2; 282
258
4. al-Musawa( Persamaan )
Persamaan adalah prinsip ke empat sebagai landasan
pembentukan konstruksi masyarakat dan warga
Madinah.Persamaan dimaksudkan adalah persamaan di
dalam hak dan kewajiban tanpa membedakan keturunan,
warna kulit, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian,
dalamperspektif Islam persamaan merupakan upaya tatanan
yang menjadikan sistem kemasyarakatan ideal. Oleh
karenanya, persamaan merupakan sesuatu yang harus exist di
dalamkehidupan masyarakat. Reasoningnyaberdasarkan
akidah Islamyang biasa berlaku dalam konteks ini adalah
bahwa semua manusia adalah berasal dari satu keturunan,
yaitudari Adam ( Nabi Adam as. ). Oleh karena itu semuanya
sama dalam hak dan kewajiban dan semuanya sama di
hadapan Allah, maka dari aspek ini ( kesamaan hak dan
kewajiban ) dapat ditegaskan bahwa tidak ada keistimewaan
bagi orang-orang tertentu dari yang lainya, tidak ada
keistimewaan orang-orang Arab dari orang-orang non Arab,
tidak ada keistimewaan bagi orang-orang yang berkulit putih
dari orang-orang yang berkulit hitam atau sawo matang. 94
Maka berdasarkan ajaran ( doctrin ) ini sesungguhnya
hubungan darah ( darah biru misalnya ) di dalam perspektif
Islam tidak ada. Demikian juga karena hubungan nasab tidak
menjadikan seseorang lebih istimewa walau dengan alasan
apapun, melainkan yang menjadi kriteria keistimewaan
93
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 21
94
. Ibid. h. 22
259
95
. Al-Qur`an: 49; 13
96
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 22
97
.Ibid.
260
1. Pembangunan Masjid
Langkah pertama yang dilakukan Nabi Muhammad saw.
sesampainya di Madinah adalah membangun masjid. Masjid
yang pertama didirikan adalah Mesjid Quba, kemudian
disusul dengan membangun Masjid Nabi (Masjid al-
Nabawiy).99suatu pertanyaan muncul terkait dengan realitas
ini ialah; kenapa yang pertama kali dibangun masjid ?.
Karena masjid dilihat dari aspek fungsinya sangat vital, ia
memiliki fungsi ganda atau multy function, yaitu (a). Fungsi
keagamaan; ialah sebagai sarana berkumpulnya masyarakat
muslim dalam rangka melakukan ibadah shalat dan tempat
belajar ilmu-ilmu agama. (b). Fungsi politis; yaitu mesjid
pada saat itu berfungsi juga sebagai pusat aktivitas
kemasyarakatan ( as aCentre for social activities ). Yaitu
sebagai tempat pertemuan-pertemuan komunitas muslim
dalam rangka melahirkan upaya-upaya memupuk rasa
98
. Ibid.
99
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah. Juz 2, h. 520 -522
261
100
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 27 - 28
262
101
. Ibid. h. 27 - 28
102
. Ibid. h. 28
103
. Ibid. h. 54
263
104
. Lihat, Ahmad Ibrahim al-Syarif, Makkah wa al-Madinah Fiy al-
`Ashri al-Jahiliy wa al-Rasul, ( T.tpt.: Dar al-fikr al-`arabiy, T.th. ) h. 292
105
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 29
264
106
. Lihat, Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi
Hingga Masa Kini, h. 36
107
. Ibid. h. 387
108
. Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah. Juz 2, h. 531 - 534
109
.Pertalian persahabatan dan persaudaraan ini sampai ke tingkat di mana
di antara mereka saling mewarisi harta kekayaan jika salah satunya meninggal
dunia.Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, karena sistem waris mewarisi
kemudian ditentukan berdsasarkan hubungan kerabat yang sebenarnya. Lihat,
Ahmad Ibrahim al-Syarif, Makkah wa al-Madinah Fiy al-`ashri al-Jahiliyah wa
`Ahd al-Rasul. h. 387
110
. Ibid. h. 30
265
111
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, h. 37
112
. Ibid. h. 35
113
. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1993 ), h.10
266
Piagam Madinah116
Bismillahirrahmannirrahim
114
. Lihat, Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-
Islam, al-Hayat al-Ijtima`iyyah wa al-Siyasiyah wa al-Tsaqafiyah ( Qahirah: Dar
al-Fikr al-Arabiy, 1977 ), h. 18 - 35
115
. Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-Arabiyah al-
Islamiyah Fiy Hayati Muhammad saw. ( Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1977 ), h.
95
116
. Teks naskah dalam bahasa Arab bisa dillihat pada al-Sirah al-
Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Juz 2, h. 527 - 528
267
117
.Dalam menentukan tanah haram Madinah, Nabi Muhammad
mengeluarkan perintah kepada salah seorang sahabat untuk membangun batas-
batas tanah haram Madinah dengan tembok yang merentang dari sebelah Timur ke
Barat. Dari sebelah Selatan dengan batas Gunung Thur, dan dari sebelah Utara
dengan batas Gunung Iir dan Wadi al-Aqiq ( Jurang al-Aqiq ) berada dalam tanah
haram. Lihat. Muhammad Hamidullah: Majmu`ah al-Watha`iq al-Siyasiyah Li al-
`Ahd al-Nabawiy wa al-Khilafah al-Rasyidah ( Beirut: T.pt.; 1969 ), h. 441 - 442
118
. Muhammad Hamidullah mengartikan poin (42) dengan haramnya
bertetangga atau tidak diperbolehkan bertetangga dengan seseorang, kecuali atas
izinnya. Lihat, Muhammad Hamidullah, Majmu`ah al-Watha`iq al-Siyasiyah. h.
442
272
119
. Salinan teks Piagam Madinah ke dalam bahasa Indonesia hampir
seluruhnya mengikuti terjemahan Munawwir Sjadzali, dalam Islam dan Tata
Negara. h. 10 – 15.
120
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Juz 2, h. 527 – 531.
121
. Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-Islam,
al-Hayat al-Ijtima`iyah wa al-Siyasiyah wa al-Tsaqafiyah, h. 58
122
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula, h. 31 - 33
273
130
. Lihat, Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-
Islam, h. 58
131
. Ibid. h. 59 - 60
275
132
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 15 - 16
276
136
. Muhammad Musthofa Syalabiy, al-Fiqh al-Islamiy Bayna al-
Misaliyah wa al-Waqi`iyah ( Iskandariah: T.pt., 1960 ), h. 68
137
.Pemahaman negara pada awal-awal Islam masih dalam bentuk
sederhana, tidak seperti di era modern atau kontemporer, karena kompleksitas
permasalahan pada setiap aspek kehidupan yang dihadapi. Walau bagaimanapun,
278
penataan negara pada awal-awal peradaban Islam dengan distribusi jabatan yang
masih terbatas, seperti Raja, Khalifah, Sultan (Kepala negara) dibantu oleh
beberapa staff atau pembantu. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh seorang
Amir atau Wali (Gubernur) dengan dibantu oleh beberapa orang staffnya, serta
Komandan perang yang memimpinpasukan perang, baik ditingkat pusat atau
ditingkat daerah.
138
.Lihat, M. Salim al-Awwa, Fiy al-Nizom al-Siyasiy Li-Daulah al-
Islamiyah.h. 55 – 62. Lihat juga, Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mu`thi
Muhammad, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam; Shakhshiyyat wa Madhahib (
Iskandariyah: Dar al-Ma`rifah al-Jami`iyyah, T.th. ), h. 62
139
. Syaikh Abdul Hayyi menjelaskan secara rinci tentang pengutusan
para Diplomat pada masa Nabi Muhammad saw. dalam karyanya; al-Taratib al-
Idariyah (Sistem Menejemen). Bukunya diterbitkan di Rabat tahun 1346,
kemudian diulang terbit di Beirut.
140
. Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam( terj. ) Political Science an
Islamic Perspective, ( Bandung: Penerbit Pustaka, 2001 ), h. 110
279
ajaran agama. Oleh karena itu, dalam konteks ini sebenarnya tidak
ada perjuangan hanya untuk memperoleh kekuasaan semata, karena
manusia-manusia tidak lain adalah ciptaan Allah, Allah-lah Zat
Penguasa yang sebenarnya. Posisi manusia di muka bumi adalah
sebagai khalifah,baik dalam pengertian sosiologis, ataupun dalam
pengertian politis, dalam arti pengganti dan penerus perjuangan
Nabi yang missinya tidak lain adalah memenej kehidupan yang baik
sesuai dengan tuntutan ajaran yang mulia. 142
142
. Lihat, Abdul Rasyid Moten, Ilmu olitik Islam, terj. Political Science:
An Islamic Perspective, h. 111
143
. Ibid.
144
. Ibid.
145
.Lihat, Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nidham al-Siyasiy Li-
Daulah al-Islamiyah. h. 61 - 62
281
146
. Orang-orang Yahudi diusir dari Madinah setelah mereka dinyatakan
melakukan pengkhianatan terhadap Piagam Madinah, maka Nabi Muhammad
saw. yang kapasitasnya sebagai pemimpin umat dan atas dasar otoritas yang ada
padanya, mengambil tindakan untuk mengeluarkan orang-orang Yahudi dari kota
Madinah. Tidak semua orang Yahudi diusir, ada beberapa orang-orang Yahudi
tidak turut diusir. Orang-orang Yahudi yang terusir, mereka keluar dari Madinah
menuju ke suatu tempat di Khaibar; suatu daerah yang subur pertanian korma,
daerah yang dekat dengan kota Tabuk. Penulis telah mengunjungi tempat ini.
282
147
. Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar
1945,: Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat
Yang Majemuk, ( Jakarta: UI-Press, 1995 ), h. 5
148
. Lihat, Ahmad Ibrahim al-Syarif, Makkah wa al-Madinah Fiy al-
Jahiliyah wa `Ahd al-Rasul, h. 387
149
. Ibid. h. 387
150
. Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-Arabiyah al-
Islamiyah Fiy Hayat Muhammad saw. h. 25
151
. Ahmad Sukardja, Piagama Madinah dan Undang-Undang Dasar
1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat
Yang llural, h. 3
283
152
. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, h. 22
284
153
. Lihat, Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 77
154
. W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina, h. 228
155
. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran. h. 10
285
156
.Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945.
h. 97
157
. Lihat Ali Abd. Al-Raziq, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan, Kajian
Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, terj. al-Islam wa Ushul al-Hukm (
Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002 ), h. 60 – 61. Lihat juga Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara. h. 142 - 143
158
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Harakah al-Islamiyah Fiy `Ashr
al-Rasul wa Khulafaihi ( Jeddah: Dar al-Mujtamak, 1986 ), h. 156
159
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd. Al-Mu`thi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam: Shakhshiyyat wa Nadhahib, h. 62
287
160
. Lihat Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam ( Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989 ), h. 28 - 29
288
161
.Ketetapan pajak kepala (Jizyah) ini juga banyak diberlakukan di masa
Khalifah Umar bin Khattab kepada penduduk Iraq, Persia (Iran saat ini), Syam
(Syria dan Libanon pada saat sekarang), kepada penduduk Mesir dan sebagainya.
162
. Lihat Musthofa al-Hamsyariy, al-Nizam al-Iqtishadiy Fiy al-Islam (
Riyadh: Dar al-Ulum, 1985 /1405 ). h. 225 -249. Lihat juga Muhammad al-Aid
al-khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-Islam: al-Hayat al-Ijtimaiyyah wa al-
Siyasiyyah wa al-Thaqafiyyah ( Damsyiq, Beirut: Muassish Ulum al-Qur`an,
1984/1404 ), h. 89 – 90.
289
BAB IV
DINAMIKA POLITIK
163
. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld. I, h.
101
290
164
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam; Sykhsiyyat wa Mazahib, h. 108
165
. John L. Esposito, Islamic Politics ( New York: Syracuse University
Press, 1984 ), h. 7
291
166
. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah( Kairo: Muassisah al-
Halabiy wa Syurakah, 1967 ), h. 15. Lihah juga Muhammad Jalal Syaraf dan Ali
Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam wa Mazahib, h. 108.
292
167
. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Amr Bin Ash, ( Kairo: T. Pbt,
1957 ), h. 36 – 37. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi
Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Sykhsiyyah wa Mazahib, h. 109
293
170
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini ( terj. dari ) The History of Islamic Political Thought: From The
Prophet to The Present, hlm. 45
171
. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem,Politik Islam ( terj. ) Al-
Nizam al-Siyasi Fiy al-Islam ( Jakarta: Rabbani Press, 2000 ), hlm. 152
295
172
. Bai`at adalah pernyataan kesetiaan dan ketaatan ( loyal ) dari rakyat
pemilih kepada kepala negara yang terpilih dan sekaligus sebagai kontrak politik
dan bukti legitimasi kepemimpinan yang sah.
173
. Ibid.
174
. Ibid. h. 152
296
175
. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah Fiy al-
Siyasah wa al-Aqa`id wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqh( Qahirah: Dar al-Fikr al-
Arabiy, 1996 ). h. 84
176
. Saqifah adalah Balairung atau majlis yang sering digunakan utuk
pertemuan-pertemuan para Sahabat Nabi. Tampat ini posisinya berdekatan dengan
rumah Sa`ad bin Ubadah, dan tidak jauh dari Pasar Madinah. Pertemuan dalam
rangka membicarakan suksesi kepemimpinan pasca Nabi wafat ini dilakukan
secara tiba-tiba, tidak direncanakan lebih dulu, sebaliknya pertemuan ini
berlangsung karena terdorong oleh keadaan yang mendesak. Lihat Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 22
177
. Abdul Wahhab al-Najjar, al-Khulafa al-Rasyidun( Beirut: al-
Maktabah al-Ashriyyah, 2003 ). h. 18. Lihat juga Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris, Sistem Politik Islam, h.30
297
178
. Abdul Wahhab al-Najjar, al-Khulafa al-Rasyidun, h. 30
179
. Ibid.
180
. Ibid. h. 30 - 33
298
181
. Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, hlm. 159
182
. Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi terkait dengan kelayakan
Abu Bakar terpilih menjadi pemimpin ( Khalifah ) antaranya; Abu Bakar adalah
orang yang bersama-sama Nabi Muhammad saw. di Gua Hiro ketika dalam
pengejaran orang-orang kafir Quraisy. Pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai
imam shalat saat Nabi uzur dalam melaksanakan Shalat berjamaah di Mesjid
Nabi. Hal ini merupakan posisi terhormat bagi siapa saja yang diberikan
kepercayaan untuk menjadi imam dalam shalat berjamaah oleh Nabi.
299
183
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Juz 4, hlm. 1519
300
187
.Ibid.
188
.Umar bin Khattab memulai pemerintahannya pada hari Selasa, 23
Agustus, 634 M.
189
.Komisi Pemilihan yang dibentuk Umar bin Khattab menurut Abu
Zahrah sebanyak enam orang tokoh sahabat Nabi, tetapi menurut Ziauddin Sardar;
Komisi Pemilihan ini terdiri dari tujuh orang tokoh sahabat Nabi. Lihat Abu
Zahrah, h. 83, Lihat juga Ziauddin Sardar, h. 136.
190
. Dasar pertimbangan Umar menetapkan enam orang senior (elite)
sahabat Nabi tersebut yang kesemuanya terdiri dari komunitas Muhajirin atau
Quraisy karena mereka dinyatakan oleh Nabi sebagai calon penghuni Syurga,
bukan karena mereka masing-masing mewakili kelompok atau suku tertentu. Hal
ini dimaksudkan bahwa; penetapan mereka berenam sebagaiKomisi Pemilihan itu
atas dasar pertimbangan kualitas peribadi-peribadi, bukan berdasarkan
pertimbangan kelompok atau nepotisme. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara. h 25
302
193
. lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 159 - 160
304
194
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah – Juz 7, h. 159 – 161. Lihat
juga M. Hadi Hussain dan Ah. Kamali, The Nature of The Islamic State,( Karachi:
National Book Foundation, 1977 ), h. 10 – 11. Lihat juga Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, h. 26 - 27
195
. M. Diauddin Rais, Teori Politik Islam, terj. al-Nazariyyah al-
Siyasiyyah al-Islamiyyah, ( Jakarta: Gema Insani, 2001 ), h. 136
196
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 27
305
197
. M. Diauddin Rais, Teori Politik Islam, h.136
198
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 27
199
. Ibid.
306
200
. Kekuatan yang dibangun oleh koalisi Aisyah, Zubair, dan Thalhah
menentang Khalifah Ali menyeret terjadinya perang saudara yang dikenal dalam
sejarah peradaban Islam perang Jamal terjadipada tahun 656 M.. Penentangan
koalisi kepada Khalifah Ali atas alasan yang berbeda-beda yang kesemuanya
lebih didasarkan pada kekecewaan peribadi. Misalnya Ali pernah menuduh Aisyah
berbuat mesum dengan salah seorang sahabat Nabi sebagaimana disebutkan di
dalam Hadis Ifki. Thalhah dan Zubair pernah meminta jabatan Gubernur kepada
Ali, tetapi Ali menolak.
201
. Konflik yang terjadi antara Ali sebagai Khalifah dengan Muawiyah
bin Abi Sufyan yang sudah diberhentikan (dipecat) dari jabatannya sebagai
Gubernur, tetapi justeru malah membangun kekuatan dengan mendapatkan
dukungan dan simpati dari rakyat Syam menyeret ke kancah peperangan dahsyat
dan mengubah peta perpolitikan saat itu. Perang terjadi antara kekuatan Ali dan
kekuatan Muawiyah di suatu daerah yang bernama Siffin, maka perang-pun
dikenal dengan perang Siffin terjadi pada tahun 657 M. Dengan berbagai strategi
dan permasalahan yang ada pada masing-masing pihak, pada akhirnya
peperangan dimenangkan oleh pihak Muawiyah. Ali bin Abi Thalib merasa
kecewa atas hasil putusan Majlih Tahkim ( arbitrase ) yang dipandangnya telah
terjadi rekayasa, di mana Ali harus menerima kekalahan. Kondisi ini berakibat
terjadinya perpecahan di kubu kekuatan Ali, karena munculnya kubu-kubu di
pihaknya, dan paling tidak menjadi tiga kubu; Kubu yang menentang Ali, yaitu
kelompok Khawarij. Kubu yang setia kepada Ali, yaitu kelompok Syiah, dan
Kubu Muhayidah (netral), yaitu kelompok yang tidak mendukung Ali, juga tidak
mendukung Muawiyah. Krisis ini menjadikan kekuatan Ali semakin lemah, dan
perpecahan tidak dapat dihindarkan. Perpecahan ini merupakan perpecahan yang
terjadi kepada umat Islam yang pertama dan yang tidak dapat dipersatukan
kembali dikemudian hari.
307
202
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 27 -28
203
. Lihat Ziauddin Sardar, Masa Hadapan Islam Bentuk Idea Yang Akan
Datang, terj. Islamic Future The Shape of Idea to Come,( Kuala Lumpur: DBP,
1985), h. 148. Lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-
Islamiyah Fiy al-Siyasah wa al—Aqa`id wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, h. 83
-85
308
204
. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 25
dan 85 -89
205
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (
Beirut: Dar al-Fikr, t.th ), h. 6 - 10. Lihat juga Fathiy al-Dariniy, Khashais al-
Tasyri` Fiy al-Siyasah wa al-Hukmiy, ( Beirut: Muassisah al-Risalah, 1982 ), h.
427
309
BAB V
KEBIJAKAN POLITIK
EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN
206
. Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al- Nabawiyyah, Juz 4, h. 1520. Lihat
juga Ibnu Qutaibah al-Dainuriy, al-Imamah wa al-Siyasah, h. 22 - 23
311
207
. Muhammad Jalal Syaraf dan `Ali Abdul Mu`thi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, Shakhshiyyat wa Mazahib, h. 110 - 111
314
208
. lihat Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasi Li al-
Daulah al-Islamiyyah, h. 82
209
. Ibid.
210
.Ibid. h. 82 – 83.Setelah menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu
Bakar mempersiapkan pasukan perang ke luar Semenanjung Arabia.Kemudian
pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan berhasil menguasai
al-Hirah pada tahun 634 M. Sebuah ekspedisi dikirim ke Syria dibawah empat
orang pemimpin perang, yaitu; Abu Ubaidah, Amr bin Ash bin Abi Sufyan dan
Surahbil.Lihat. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 36
315
211
. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 36
212
. Ibid.
213
. Ahmad Fadlali et al, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Pustaka
Asatrus, 2004 ), h. 23
316
214
. Lihat Muhammad Fathi Utsman, Min Usul al-Fikr al-Siyasiy al-
Islamiy ( Beirut: Muassisah al-Risalah, 1904 ), hlm.348
215
. Muhammad Salim al-`Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-Daulah
al-Islamiyah, hlm. 84. Lihat juga Hanum Asrohah, Sejarah Peradaban Islam(
Jakarta: Wacana Ilmu, 2001 ), hlm. 17
317
216
.Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-Daulah
al-Islamiyah, hlm. 83. Lihat juga, Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, hlm. 58. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
hlm. 37
217
. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 37
218
. Lihat Ahmad Fadlali, Sejarah Peradsaban Islam, h. 25 - 27
318
3. Administrasi Pemerintahan
219
. Lihat Muhammad Salim al-`Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-
Daulah al-Islamiyah, h. 83
320
220
. Lihat Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara
Kesejahteraan dan Globalisasi Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan
Pengalaman ( Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008 ), h. 15
221
. Lihat Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 59 - 60
323
f. Pembentukan al-Diwan
1.Musyawarah
222
. Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan
dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman.h. 59
325
223
. Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi ( Ciputat: Gaya Media
Pratama, 2001 ), h. 107
224
. Ibid.
327
225
.Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam
Madinah Ditinjau Dari Pandangan al-Qur`an ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994 ), h. 9
226
. Ibid. h. 135
330
227
. Sumber-sumber pendapatan negara di era Khalifah Abu Bakar
sedikit mengalami kendala dikarenakan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat
yang masih belum mantap keimanan mereka. Orang-orang Arab yang tidak
mengakui otoritas kekuasaan Abu Bakar sebagai pemimpin negara Madinah
pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. kemudian banyaknya wilayah-wilayah
yang jauh dari kota Madinah (Ibu Kota Negara) mulai melakukan gerakan
sparatis melakukan tindakan pemberontakan. Para pemberontak sebenarnya
berasal dari dua kelompok, Pertama; Kelompok yang terdiri dari orang-orang
yang kembali menyembah berhala dibawah pimpinan Musailimah, Tulaihah,
Sajah, dan lain-lain. Kedua; mereka yang tidak menyatakan permusuhan terhadap
umat Islam, tetapi hanya memberontak kepada negara. Hal ini disebabkan
mereka menolak membayar zakat dengan alasan bahwa kewajiban membayar
zakat itu hanya kepada Nabi Muhammad. Setelah Nabi wafat mereka merasa
bebas. Oleh karenanya mereka merasa tidak berkewajiban membayar apa pun
(bayar zakat), dan bahkan tidak harus memberikan loyalitas kepada pemerintah di
Madinah, karena tidak ada perpanjangan perjanjian. Lihat Irfan Mahmud Ra`ana,
Sistem Ekonomi Pemerintah Umar Ibn Khattab, terj.Economic System Under
Umar The Great ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990 ). h. 6 -7
228
. Musthofa al-Himsyi, al-Nizam al-Iqtishadiy Fiy al-Islam, .h. 403
331
229
. Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam ( P3EI ),
Ekonomi Islam ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008 ), h. 101 - 102
332
230
. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. h. 74
231
. Irfan Muhammada Ra`ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn
Khattab, h. 118 - 119
334
232
.Sawad adalah nama sebuah wilayah di Irak yang menjadi bagian
wilayah kekuasaan pemerintah Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
233
. Irfan Muhammad Ra`ana, Sistem Ekonomi Pememerintahan Umar
Ibn Khattab, h. 126
234
. PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan
Globalisasi, h. 59
335
235
.Pembebasan pembayaranJizyah (pajak) dari orang-orang lemah dan
miskin pada masa Khalifah Umar dilatar belakangi oleh peristiwa ketika Khalifah
Umar berkunjung ke suatu daerah, tiba-tiba menjumpai seorang pengemis pria
yang buta. Khalifah Umar bertanya kepada pengemis tersebut. Siapa sebenrnya
kamu ?. Pengemis tersebut menjawab, saya seorang Yahudi. Selanjutnya Khalifah
Umar bertanya; apa yang telah memaksa kamu meminta-minta. Lalu pengemis
tersebut menjawab; bahwa yang memaksa dirinya meminta-meminta adalah
kewajiban membayar jizyah, kebutuhan ekonomi dan usia lanjut. Mendengar
jawaban seorang pengemis tersebut Khalifah Umar memerintahkan petugas
Baitul Mal untuk membebaskan orang-orang non muslim yang lemah dan miskin
dari kewajiban membayar jizyah, dan Khalifah menetapkan bantuan kepada
mereka setiap tahunnya dari Baitul Mal. Lihat Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, terj. Economic Doctrines of Islam, Jld. I, ( Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Wakaf, 1995 ), h. 174 -175
236
. Irfan Muhammad Ra`ana, Sastem Ekonomi Pemerintahan Umar, h.
100 - 101
237
. Musthofa Dib al-Bigha, al-Tahzib Fiy Adillah Matan al-Ghayah wa
al-Taqrib, ( Damaskus, Beirut: Muassisah Ulum al-Qur`an, 1405 H./ 1985 M. ),
h.231
238
. Musthofa Dib al-Bigha, al-Tahzib Fiy Adillah Matan al-Ghayah wa
al-Taqrib, h. 231
336
239
. Yoesoef Souyb, Sejarah Daulat Khulafaur Rassyidin ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1979 ), h. 311-315
240
. Lihat Abbas Mahmud al-`Aqqad, Kejeniusan Utsman (terj.) (
Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 ), h. 67
338
241
. Lihat Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 161
242
. Muhammad Husain Haekal, Utsman bin Affan ( terjemahan
Indonesia oleh Ali Audah ), ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002 ), h. 57
339
246
. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam ( terj.), ( Jakarta:
Kalam Mulia, 2002 ), h.504
341
247
. Lihat al-Thabary, Abu Ja`far Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Umam
wa al-Muluk ( Beirut: Dar el-Suwaidan, tt. ), h. 283 – 285
248
. Lihat Ahmad Amin, Fajru al-Islam ( Kairo: Maktabah Nahdhah al-
Misriyah, 1964 ), h. 110
342
249
. Lihat Qutb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin
Khattab, (terj.) ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 ), h. 60 - 61
343
252
. Hakam bin Abu al-`Ash bin Umayah adalah orang yang sangat
memusuhi Nabi Muhammad. Tetapi akhirnya dia masuk Islam setelah fathu
Makkah( Mekkah ditaklukkan Pasukan Islam ) secara damai pada tahun 8 H.
Nabi sendiri menetapkan hukuman mati kepada Hakam karena permusuhannya
kepada Islam yang keterlaluan. Tetapi sebagai penghormatan kepada Utsman dan
karena dia sudah masuk Islam, Nabi menarik keputusannya dan membolehkan ia
bersama keluarganya tinggal di Thaif. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar
keluarga Hakam ini tidak diizinkan tinggal di Ibu Kota Madinah. Ini adalah salah
satu pemicu kebencian penduduk Madinah kepada keluarga Umayyah. Lihat
Joesoef Sou`yb, Sejarah Daulat Khulafa Rasyidin, h. 336
253
. Ibid. h. 336
345
254
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, h. 165
255
. Ibid. h. 162
256
. Lihat Abbas Mahmud al-`Aqqad, Kejeniusan Usman bin Affan, terj.
h. 98 - 100
346
259
. Abbas Mahmud al-`Aqqad, Kejeniusan Usman. h. 64
260
. Joesoef Soe`yb, Daulat Khulafa Rasyidin, h. 392 - 396
261
. Ibid. h. 433 - 440
348
262
. Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, h. 189
263
. Ibid. h. 166
264
. Ibid. h. 178
349
265
. Ibnu Kahtir, al-Bidayah wa al-Nihayah, h. 190
350
270
. Lihat al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 430 - 431
353
271
. Lihat al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 436. Lihat juga
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 347. Ungkapan yang bergaris
miring adalah terjemahan ayat 26 surat al-Anfal.
272
. Ahmad Salaby, al-Mausu`ah al-Hadharah al-Islamiyah III; al-
Siyasah fi al-Fikr al-Islamiy, ( Qahirah: Maktabah Nahdhah al-Misriyah, 1991 ),
h. 165
356
273
. Joesoef Soe`yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, h. 311 dan 531
357
274
. lihat Ibnu Katsir, al- Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 248
275
.Muhammad Ahmazun, Fitnah Kubra, terj.Indonesia oleh Daud
Rasyid, ( Jakarta: LP2SI al-Haramain, 2002 ), h.396
358
276
. Joesoef Soe`yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, h. 430
277
. Joesoef Soe`yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, h. 466
359
278
. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 249-250,
Lihat juga al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 442
279
. al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 442
360
280
. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali, terj. Gazirah Abdi
Ummah, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 ), h.159
281
. Goerge Jordac, Suara Keadilan: Sosok Agung Ali bin Abi Thalib,
terj. Muhammad al-Sajjad, ( Jakarta: Lentera, 1996 ), h. 186
282
. Ibid. h. 184
362
283
. Lihat Goerge Jordac, Suara Keadilan: Sososk Agung Ali bin Abi
Thalib, h. 182-183
363
284
. Ibid. h. 39
285
. Ibid. h. 47
286
. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali, h. 157
364
287
. Ibid. h.158 – 159. Lihat juga Syed Hussain Mohammad Jafri,
Moralitas Politik Islam: Belajar dari Perilaku Politik Khalifah Ali bin Abi Thalib,
( Jkarta: Pustaka Zahra, 2003 ), Cet. 1, h. 109
365
288
. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali, h. 137
289
.Ahmad Salaby, Sejarah Kebudayaan Islam I, terj. Mukhtar Yahya dan
M. Sanusi Latief, ( Jakarta: PT Alhusna Dzikra, 2000 ), cet. IV, h. 283
366
290
. Ahmad Salaby, Sejarah Kebudayaan Islam II, terj. Mukhtar Yahya
dan M. Sanusi Latief, ( Jakarta: PT Alhusna Dzikra, 1995 ), cet. III, h. 290
367
Musa al-As`ari, Ali bin Abi Thalib, Amer bin `Ash, dan
Muawiyah bin Abi sofyan, keempat-empat Sahabat Nabi ini
terlibat di dalam keputusan majlis tahkim (arbritrase) ketika
diberlakukan genjatan senjata dalam perang dahsyat antara
pasukan Ali dan pasukan Muawiyah di Siffin. Rencana
pembunuhan orang-orang Khawarij hanya berhasil
dilakukan kepada Ali saja, sementara yang lainnya selamat
dari rencana pembunuhan tersebut.
Masa kekhalifahan Ali selama lima tahun kurang tiga bulan,
lebih banyak dipenuhi peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi
sepanjang pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan dalam upaya
menghadapi para penentangnya Ali melakukan langkah-langkah
strategis dalam memajukan negara di beberapa provinsi yang
kondisinya relatif lebih kondusif. Kondisi carut-marut ini dapat
ditengarai karena besarnya pengaruh orang-orang penentang
terhadap pemerintahan Ali. 291Sehingga pemerintahan Ali dapat
dikatakan sebagai pemerintahan yang dihadapkan pada betapa
sulitnya mengatasi konflik politik internal.
Upaya rekonsiliasi melalui negosiasi yang dilakukan Ali
dalam menghadapi para penentangnya selalu berakhir dengan
kegagalan. Di satu sisi dikarenakan sifat tegas Ali yang tidak
mengenal kompromi, berpegang kepada kejujuran dan keikhlasan
menjadikannya tidak suka menggunakan intrik-intrik diplomasi yang
berifat basa basi dan politik mengutamakan kepentingan sepihak,
sementara pada aspek lain adanya unsur propokasi yang
mengacaukan jalannya perdamaian. Hal ini jelas pada peristiwa
upaya perdamaian antara pihak Ali dengan kelompok Aisyah
sebelum terjadinya perang Jamal.Sebelumnya kedua belah pihak
telah mencapai kesepakatan untuk mencari jalan keluar dari
perselisihan melalui jalan perdaamaian.Tetapi malangnya telah
terjadi penyerangan sporadis dari kelompok propokator yang ada di
tubuh pasukan Ali terhadap pasukan Aisyah dan kemudian dibalas
dengan serangan yang lebih besar yang mengakibatkan
dibatalkannya rencana perdamaian tersebut.292
291
. Syed Hussain Muhammad Jafri, Moralitas Politik Islam: Belajar
dari Perilaku Politik Ali bin Abi Thalib, ( Jakarta: Pustaka Zahra, 2003 ), h. 17
292
. al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 506
368
293
. Ibid. h. 539
294
. Ibid. h. 544
369
295
. Perundingan yang melibatkan kedua belah pihak, di mana pihak Ali
diwakili oleh Abu Musa al-Asy`ariy dan dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amer
bin `Asy. Perundingan berlangsung di sebuah tempat bernama Adzrah, sebuah
wilayah Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H.
296
. Dalan acara penyampaian pengumuman hasil keputusan Majelis
Tahkim kepada para pendukung ke dua belah pihak, pada tahap awal Abu Musa
dipersilahkan untuk menyampaikan hasil keputusan perundingan di Majelis
Tahkim, antaranya agar masing-masing delegasi menyampaikan pemberhentian
pemimpinnya masing-masing, setelah itu baru dipilih pemimpin baru, maka
kemudian Abu Musa al-Asy`ari mengumumkan pemberhentian Ali bin Abi Thalib
dari jabatannya sebagai Khalifah. Giliran selanjutnya adalah Amer bin Asy, Amer
bin Asy mengumumkan pemberhentian Muawiyah dari jabatannya sebagai
Gubernur Syam, tetapi pada saat yang sama Amer bin Asy mengumumkan bahwa
pada saat ini tidak ada pemimpin tertinggi (khalifah) dan itu tidak boleh walau
sesaatpun, oleh karena itu pada detik ini juga saya (Amer bin Asy) mengangkat
Muawiyah sebagai Khalifah. Pengumuman ini tentu saja disambut gembira
terutama oleh para pendukung Muawiyah, tetapi berdampak buruk dikalangan
para pendukung Ali, pada umumnya mereka tidak mengakui pengangkatan
Muawiyah sebagai khalifah secara sepihak, dan Ali bin Abi Thalib tetap sebagai
khalifah. Permaslahan tetap menimpa kepada Ali dan bahkan semakin parah,
pertentangan dan perpecahan pun semakin menjadi-jadi di kubu Ali.
297
. Khawarij secara terminologi artinya kelompok yang menyatakan diri
mereka keluar dari pasukan Ali setelah terjadi keputusan Majelis Tahkim yang
kontroversial dan bahkan pada akhirnya mereka menjadi musuhnya yang sangat
370
militan dan mereka juga menentang Muawiyah. Kelompok ini kemudian menjadi
sekte tersendiri selain sekte-sekte Islam yang lain. Jumlah mereka pada saat
mereka keluar dari barisan Ali diperkirakan sekitar 12000 personil dengan
dipimpin oleh seorang yang bernama Hurqus bin Zuhair sebagai panglimanya, dan
mereka bermarkas di Harura, suatu wilayah di Kufah.
371
BAB VI
PEMIKIRAN POLITIK
IBNU ABI RABI`
298
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-
Fikr al-Siyasi fiy al-Islam: Syakhshiyyat wa Mazahib. h. 204
299
. Ibid. h. 208
372
300
. Lihat. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 42
301
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 208
373
302
. Ibid. h. 42
303
. Ibid. h. 47
374
304
.Lihat Muhammad Jalal Syaraf san Ali Abdul Mukthi Muhammah. al-
Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 208
305
. Ibid. h. 209. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h.
43
306
. Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik (Kairo: T. pt.
1286 H.), h. 101. Lihat juga Muhammad .Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi
Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 209
375
307
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 209- 210
308
.Ibid. h. 210. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.
44
309
.Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 212.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 44
376
310
. Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik( Kairo: Dar
al-Sya`b, 1970), h. 102. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi
Fiy al-Islam, h. 212. dan lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h.
45
311
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 213.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara , h. 45
377
312
. Muhammad Jalal Syaraf et al. Al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 214.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 46
378
dari setiap bentuk ancaman, baik yang datag dari dalam (internal)
ataupun yang datang dari luar ( eksterrnal ). Hal ini karena tidak
mungkin sebuah negara dapat berdiri kuat, tanpa ada seorang
pemimpin atau penguasa yang mengelola ( mentadbir ). Pemimpin
dan penguasa ini menurut Ibnu abi Rabi` haruslah seorang terbaik di
masyarakatnya, karena menurutnya lagi seorang penguasa tidak
dapat berfungsi dengan efektif jika dia sendiri tidak memberikan
contoh teladan yang baik kepada masyarakatnya, dan ini artinya
bahwa pengangkatan seorang penguasa atau kepala negara harus
seorang yang paling bijaksana.313 Pandangan Ibnu Rabi` ini
sebenarnya ada kesamaan dengan pandangan Plato, dan memang
realitasnya bahwa seorang penguasa selalunya dijabat oleh orang-
orang yang memiliki kelebihan dan kapabelitas dibandingkan
dengan yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan bentuk atau model pemerintahan,
Ibnu Abi Rabi` lebih memilih bentuk pemerintahan yang
berdasarkan monarchi atau kerajaan. 314 Monarchi adalah sistem
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja berdasarkan warisan
alur keturunan.315 Oleh karena itu, Ibnu Abi Rabi` tidak memilih
model-model pemerintahan lain, seperti Aristokrasi, 316 Oligarchi,317
313
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 214
314
. Monarchi adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
raja ( al-Malik atau The King ). Pengangkatan seorang raja berdasarkan
penunjukkn langsung oleh raja yang sedang berkuasa kepada calon penggantinya.
Calon penggantinya ini kemudian dinobatkan sebagai Putra Mahkota atau
Pangeran ( Waliul `Ahdi ). Jika seorang raja yang sedang berkuasa meninggal
dunia, maka secara otomatik Putra Mahkota langsung menjadi raja. Dalam sistem
monarchi tidak ada pemilihan kepada calon jara yang diselenggarakan melibatkan
semua elemen warga masyarakat atau rakyat, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Tetapi di era modern dan kontemporer ada beberapa negara monarchi
yang sudah mengadobsi sistem demokrasi telah mengadakan pemilihan umum
tetapi untuk memilih Perdana Menteri dan wakil-wakil rakyat, dan raja tidak
dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh suatu badan, yaitu
Election Commite. Negara monarchi yang sudah melaksanakan pemilihan umum
biasanya disebut negara monarchi konstitusi.
315
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h.214
316
. Aristokrasi adalah pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok
kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau kedudukan.
317
. Oligarchi adalah model pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok
kecil orang-orang kaya.
379
318
. Demokrasi adalah model perintahan yang dikelola oleh rakyat
melalui wakil-wakilnya, baik di Parlemen, Eksekutif ataupun Yudikatif melalui
pemilihan umum yang diselenggaran oleh suatu badan pemilihan umtuk memiih
Presiden, Gubernur, Bupati, dan para wakil rakyat, baik untuk tingkat pusat
ataupun tingkat daerah.
319
. Demagogik, yaitu apabila para warga di sebuah negara memanfaatkan
hak-hak politiknya yang diberikan Demokrasi dengan tidak bertanggung jawab,
dan hanya berdasarkan keinginan, kecendrungan dan kepentingan masing-masing,
tanpa memikirkan akibat dan dampak negatif yang muncul kemudia, maka itu
adalah pemerintahan demagogik.
320
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 214
380
321
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 47 - 48
322
. Lihat Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik, h. 104
381
bersma. 323 Kondisi ini mungkin dapat dicapai jika melalui langkah-
langkah strategis, di samping raja sendiri memiliki latar belakang
dan syarat-syarat yang memungkinkan dia memilki kapabelitas dan
ketokohan yang disegani masyarakatnya.
323
. Ibid.
324
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 215 -
216
382
negara letak pusat pemerintahan berada tidak jauh dari pesisir laut,
ini bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut.
4.Empat PilarNegara
Ibnu Abi Rabi` menyampaikan konsepsinya tentang empat
unsur penting yang menjadi landasan berdirinya sebuah negara.
Empat unsur penting tersebut menurut Ibnu Abi Rabi` disebut arkan
al-daulah. Menurutnya lagi jika negara mau menjadi negara kuat
dan stabil, maka negara harus dibangun di atas empat arkan al-
daulah. Empat arkan al-daulah tersebut, ialah; Kepala negara,
Keadilan, Rakyat, dan Pengelolaan.325 Berikut ini penjelasan
mengenai empat unsur penting negara sebagai berikut;
a. Kepala Negara
Kepala negara, apakah yang bergelar Khalifah, Raja atau
bahkan Presiden (di era modern ) merupakan jabatan yang sangat
penting di suatu negara, karena kepala negara sebagai cermin dari
negaranya, bahkan di era modern kepala negara sebagai refresentasi
dari seluruh rakyatnya. Kelemahan, kekuatan, atau bahkan kemajuan
sebuah negara sebenarnya banyak bergantung kepada kepala
negaranya. Mengingat posisi kepala negara sangat sentral, Ibnu Abi
Rabi` memberikan batasan-batasan kepada calon kepala negara
dengan beberapa sikap atau kepribadian yang luhurdansangat ketat,
agar seorang kepala negara berperilaku baik di mata rakyatnya,
bahkan di mata masyarakat dunia. Beberapa sikap atau kepribadian
tersebut sebagai berikut;
1. Seorang kepala negara tidak boleh orang yang mudah marah,
yaitu ; pemarah,
2. Bukan orang yang mudah bersumpah,
3. Tidak boleh orang yang pelit,
4. Tidak boleh orang yang memiliki sikap dengki ( pendengki )
atau pendendam,
5. Bukan orang yang suka melakukan tindakan yang tidak
berfaidah (menyia-nyiakan waktu),
6. Tidak boleh orang yang penakut,
325
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 218
383
b.Keadilan
Ibnu Abi Rabi` sangat komitmen dengan keadilan, karena
keadilan ditegaskan sebagai salah satu arkan al-daulah. Adil
merupakan ketentuan Allah di muka bumi, oleh karenanya
ketinggian sifat adil tidak dapat dibantah oleh siapa pun di dunia ini,
makanya setiap umat atau bangsa mana pun dari dulu sampai akhir
zaman nanti keadilan menjadi tema sentral, dan menjadikan tindakan
adil sebagai sesuatu yang niscaya, oleh karenanya siapa pun dan di
mana pun berada orang atau masyarakat selalu merindukan keadilan
dalam rangka terciptanya kebaikan bagi kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara. Ibnu Abi Rabi` dalam konteks ini membagi
keadilan pada tiga bagian pokok, yaitu;
1. Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak Allah. Keadilan
bagian pertama ini terkait dengan pelaksanaan semua
perintah-perintah Allah, baik yang wajib atau pun yang
Sunnah. Contohnya seperti melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang telah ditetapkan Allah, mendekatkan diri
kepada-Nya, meramaikan tempat-tempat ibadah, baik Mesjid
atau Musholla melalui berbagai bentuk ibadah,
melaksanakan amalan-amalan Sunnah. Intinya patuh dan taat
kepada semua perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak antara sesama
individu. Keadilan bagian ke dua ini adalah upaya
merealisasikan semua hak dan tanggung jawab kepada
sesamaindividu dalam rangka terciptanya interaksi dan
326
. Ibid. h. 221
384
c.Rakyat
Rakyat adalah penduduk resmi suatu wilayah yang berada
dalam kekuasaan pemerintahan atau negara. Sebagai elemen ketiga
dari empat arkan al-daulah.keberadaan rakyat menjadi prasyarat
karena tanpa rakyat atau penduduk, negara tidak akan ada apa-
apanya. Namun demikian, keberadaan rakyat harus diarahkan
dengan arahan-arahan yang baik agar tercipta kehidupan yang
kondusif, aman, dan damai. Berikut ini beberapa pemikiran Ibnu Abi
Rabi` mengenai bagaimana rakyat harus diarahkan dengan arahan
yang baik, sebagai berikut;
a. Seorang kepala negara harus senantiasa berupaya
menundukan hati rakyatnya dengan berbagai langkah dan
pendekatan yang efektif, dan terus berupaya agar ketaatan
dan loyalitas mereka kepada negara senantiasa dipertahankan
sebagai bukti legitimasi yang diberikan rakyat kepada
negara, tetapi semua itu harus berdasarkan kesadaran dan
kecintaan mereka kepada negara, bukan berdasarkan paksaan
atau rasa takut.
b. Kepala negara harus menyediakan berbagai fasilitas dan
kemudahn untuk rakyatnya agar tercipta kehidupan yang
nyaman dan sejahtera, sehingga rakyat merasa senang dan
suka.
327
. Ibnu Abi Rabi` , Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik( Kairo: T.
Tpt., 1386 H. ), h. 229
385
328
. Ibid. h. 221 -222
387
330
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
219
331
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 48
390
Khulafa al-Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, serta
para pemimpin umat Islam yang lainnya. Namun demikian, memang
tidak dapat dinafikan ada di antara pemimpin umat Islam yang
bertindak berlebihan ( muthathorrif ) sehingga mungkin sampai ke
tingkat tindakan absolut, dictator, dan tirani. Kemudian apakah hak
istimewa yang dikonsepsikan Ibnu Abi Rabi` itu seperti apa ?
apakah seperti para raja yang bertindak tidak mengenal peri
kemanusiaan ( absolut dan tirani ), ataukah sebatas dalam upaya
menciptakan ketaatan rakyat kepada rajanya tanpa harus melalui
tindakan diktator atau absolut.
Dalam konteks ini, Ibnu Abi Rabi` berbicara tentang konsep
hak istimewa kepala negara (Khalifah, Raja) kemudian dari mana
sumber hak istimewa ini diperoleh ?Pada hakekatnya pemikiran
politik Ibnu Abi Rabi` didasarkan pada teorinya bahwa model
pemerintahan yang terbaik adalah bentuk monarchi atau kerajaan di
bawah pimpinan seorang raja sebagai penguasa tunggal. 333
Pandangan Ibnu Abi Rabi` ini sebenarnya didasarkan pada realitas
perpolitikan yang tengah berjalan di era Dinasti Abbasiyah yang
pada hakekatnya berbentuk kerajaan (monarchi), karena ketika
terjadi pergantian kepemimpiann (raja atau sulthan) dilakukan
berdasarkan mekanisme pengangkatan secara lagsung dan turun
temurun oleh raja atau sulthan yang sedang bertahta kepada putranya
yang kemudian berkedudukan sebagai putra mahkota (waliul
`ahdi).Selain dari itu Aristoteles yang juga sudah berpandangan
bahwa bentuk pemerintahan monarchi adalah model pemerintahan
terbaik.334Hal ini menurut Munawir Sjadzali memberikan alasan
rasional terhadap kekuasaan dan hak istimewa raja yang memiliki
segala keutamaan yang serba lebih (superioritas) dari para warga
negara yang lain. Hak istimewa ini menurutnya lagi, seorang raja
atau sulthan tidak dianggap sebagai warga negara, dalam arti bahwa
seorang raja tidak harus tunduk kepada hukum dan undang-undang,
maka raja seorang kebal hukum, tidak dapat diajukan ke pengadilan
atau tuntutan hukum kepadanya, ini karena raja dianggap sumber
dan pelaksana hukum. Oleh karena raja dianggap memiliki serba
333
. Lihat Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik, h. 103
- 104
334
. Lihat J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus,
Machiavelli ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 ), h. 180
392
335
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 47
336
. Ibid.
393
7.Perangkat-Perangkat Pemerintahan
Seribu satu permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan
politik berada di hadapan seorang kepala negara ( raja, khalifah ),
berbagai persoalan muncul di hadapannya, dan ini tidak mungkin
dapat diselesaikan sendiri, tanpa ada yang membantunya. Oleh
karenanya dia memerlukan para deputi atau wakil, para pembantu
(al-A`wan wa al-Atba`) dalam mengelola berbagai permasalahan dan
urusan kenegaraan, maka kepala negara memerlukan Menteri
(Wazir), Sekretaris (Katib), Protokoler (Hajib), Qadhi (al-Qadhi),
Menajer atau Kepala Bagian (`Amil), Polisi ( Syurthoh ), Tentara
(Jundi, `Asykar).337 Semua itu menurut Ibnu Abi Rabi` merupakan
perangkat-perangkat pemerintahan yang bertugas pada berbagai
bidang atau sektor. Berikut ini penjelasan singkat mengenai masing-
masing perangkat tersebut;
1. Menteri(Wazir);
Dalam konteks ini, Ibnu Abi Rabi` menjelaskan bahwa
seorang kepala negara (Raja, Khalifah) memerlukan seorang
Menteri atau beberapa Menteri yang bertugas mengelola
berbagai bidang, menangani berbagai kasus yang sering
terjadi dalam sepanjang tahun, meng-identifikasi pengelolaan
negara yang mungkin lebih efektif. Pemikiran Ibnu Abi
Rabi` ini didasarkan pada apa yang dilakuka Nabi
337
. Muhammad Jalal Syaraf, et al , al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
230
394
2. Sekretaris (Katib).
Sekretaris menurut Ibnu Abi Rabi` adalah juru bicara raja (
lisanul Malik ), baik yang berkaitan dengan masalah-
masalah khusus (rahasia), atau pun yang menyangkut
masalah-masalah umum. Selanjutnya Ibnu abi Rabi`
menjelaskan bahwa sekretaris terbagi menjadi empat bagian;
1).Sekretaris pembangunan kemajuan negara(Katib al-
Khadharah). 2). Sekretaris urusan Ketentaraan (Katib al-
Jaesy). 3). Sekretarisbidang hukum (Katib al-Ahkam), dan
4). Sekretaris Pajak (Katib al-Kharraj).
3. Protokoler (Hajib ).
Yaitu orang-orang yang bertugas sebagai perantara (al-
wasithah)antara raja (Kepala negara) dengan siapa saja yang
mau bertemu dengan raja. Hal ini bertujuan untuk menjaga
ketertiban dan keamanan yang mungkin saja terjadi
kekacauan atau keributan jika tidak dimenej dengan baik.
395
4. Qadhi ( al-Qadhi ).
Menurut Ibnu Abi Rabi` Qadhi adalah orang yang bertugas
memberikan pertimbangan kepada raja (mizan al-Malik)
tentang berbagai permasalahan politik, terutama terkait
dengan masalahan hukum.
5. Polisi (Surthah).
Ibnu Abi Rabi menjelaskan siapa itu polisi ?Polisi
menurutnya ialah orang-orang yang bertanggung jawab atas
keamanan dalam negeri (tahqiq al-amni al-dakhiliy).
9. Hakim( al-Hakim ).
Dalam hal ini Ibnu Abi Rabi` agak berbeda memberikan
pengertian tentang hakim. Dia menjelaskan bahwa Hakim
dimaksudkan adalah dokter (Thabib) yang bertugas
melakukan pengobatan kepada raja (kepala negara) dan
menjaga kesehatannya. Istilah Hakim pada masa dahulu,
menurut Ibnu abi Rabi` dipergunakan untuk sebutan para
Failusuf, dalam arti orang-orang yang bijak dan cerdas
pemikirannya, serta mendalam tentang suatu masalah
terutama dalam konteks ini yang terkait dengan masalah-
masalah kedokteran. Para Failusuf memberi perhatian penuh
dengan rasio akal mereka, sementara para dokter memberi
perhatian penuh tentangkesehatan jasad.
BAB VII
PEMIKIRAN POLITIK
AL-FARABI
338
. Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik, h. 126 -
134
398
339
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
245
340
. Ibid.
341
. Ibid, h. 247
399
342
. Ibid, h. 247
343
. Ibid. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 49
344
. Muhammad Jalal Syraf, et al. al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250
345
. Ibid.
400
346
. Kontroversi mengenai kapan hilangnya Imam kedua belas versi umat
Islam SYiah, Munawir Sjadzali menyatakan bahwa ketika Muhammad al-Mahdi
menghilang, dia berumur sekitar empat atau lima tahun. Memang mengenai umur
Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazar saat menghilang itu berapa sebenarnya
menjadi polemik, mungkin sekitar umur tiga belas tahun atau sekitar empat atau
lima tahun. Lihat Munawir Sjazda,Islam dan Tata Negara, h. 49
401
347
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 50
348
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
250
402
349
. Ibid. h. 250 - 251
350
. Ibid. h. 255
351
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 255.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 50 - 51
352
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 255
403
3.1.Masyarakat sempurna
Masyarakat sempurna ini terbagi ke dalam tiga bagian
masyarakat, yaitu;
a. Masyarakat sempurna besar;
Masyarakat sempurna besar adalah bentuk masyarakat
yang terdiri dari berbagai bangsa dan bertempat tinggal
di berbagai wilayah dan mengadakan persatuan serta
sepakat untuk membentuk gabungan atau organisasi
besar yang saling membantu serta bekerja sama untuk
mencapai tujuan yang sama. Dalam kata lain masyarakat
sempurna besar dalam kerangka pikir al-Farabi adalah
bentuk masyarakat perserikatan bangsa-bangsa.
b. Masyarakat sempurna sedang;
Masyarakat sempurna sedang adalah bentuk masyarakat
yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni di satu
353
.Ibid. h. 255 - 256
404
357
. Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu (
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991 ), h. 75
358
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam. h. 264
406
359
. Ibid. h. 263. Lihat juga Idris Zakaria, Teori Politik Al-Farabi dan
Masyarakat Melayu, h. 46
360
. Lihat Idris Zakaria, Teori Politik Al-Farabi dan Masyarakat Melayu
( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991 ), h. 46
361
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 263
407
364
. Lihat Muhammad Jalal syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
h. 264 - 277
409
365
. Menurut al-Farabi negara memilki banyak warga atau penduduk
dengan bakat (skill) dan kemampuan (kapabelitas) yang berbeda-beda di antara
mereka; ada seorang kepala negara, dan sejumlah warga negara yang kelas atau
martabatnya menduduki kelas ( martabat ) kepala negara, mereka bersama kepala
negara menduduki kelas pertama. Kelompok kedua adalah sekelompok warga
yang bertugas mengerjakan hal-hal yang membantu warga kelas pertama. Di
bawah kelompok kedua ada kelompok kelas ketiga, yaitu kelompok yang bertugas
membantru kelompok di atasnya. Demikian seterusnya. Lihat Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, h. 53
366
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam,
h.266
367
. Ibid. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 55
410
368
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
267
411
mimpi yang diperoleh menurut al-Farabi disaat tidur (fiy waqti al-
naum).369
Sebagai kelanjutan dari pandangannya tentang sosok seorang
kepala negara harus ada di dalam dirinya dua hal asas, al- Farabi
menegaskan bahwa seorang kepala negara benar-benar harus
sempurna, bahkan al-Farabi menggambarkan sosok seorang kepala
negara sempurna seperti al-hakim al-filosofiy (seorang arif dan
bijaksana), yaitu seorang imam ( al-imam ), pemimpin umat yang
ideal, pemimpin untuk membangun bumi (bukan untuk
menghancurkannya). Oleh karena itu, menurut al-Farabi seorang
kepala negara disyaratkan harus memenuhi dua belas kualitas
pribadi, yang sebagiannya telah ada secara alami atau semula jadi
(fitrah) sejak dia kecilsebagai watak atau tabiat pembawaan (al-
thabi`i), dan sebagian lainnya masih perlu ditumbuh kembankan
melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang
konprehensif dengan disiplin yang ketat. Oleh karenanya, menurut
Munawir Sjadzali pembinaan dan pembentukan karakter calon-calon
pemimpin melalui pengajaran, pendidikan, pengamatan dan
pengawasan sangat diperlukan. 370
369
. Ibid.
370
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 56
412
371
. al-Farabiy, Ara` Ahl al-Madinah al-Fadhilah ( Kairo: t.tpt. t. th. ), h.
87-88. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
h. 259 - 270
413
7.Tujuan Negara
Suatu hal urgen yang harus disampaikan dalam konteks ini
adalah tentang apa tujuan (hadaf) yang ingin dicapai oleh sebuah
negara ideal (al-Madinah al-Fadhilah) berdasarkan konsepsi al-
Farabi. Pembicaraan tentang tujuan negara sebenarnya pembicaraan
tentang objek atau sasaran yang ingin digapai atau direalisasikan
dari gagasan negara ideal tersebut, karena negara apapun bentukya
yang dibangun di atas dasar ideologi tertentu memiliki tujuan.
Dalam konteks ini, al-Farabi menegaskan bahwa setiap umat atau
bangsa harus memiliki ideologi, yaitu ara` yang tetap377 untuk
menjamin tercapainya tujuan dan cita-cita yang diinginkan bersama.
Ini berarti mau atau tidak suatu umat atau bangsa harus bersedia
berkorban dalam bentuk apa-pun melalui berbagai pendekatan
efektif dan langkah strategis agar tujuan dan cita-cita tersebutdapat
terealisasi dengan baik. 378 Artinya pembicaran tentang tujuan
(hadaf) adalah pembicaraan yang berkaitan dengan wawasan dan
pandangan jauh ke depan didasarkan pada idea,sikap, dan partisipasi
umat atau rakyat negara bersangkutan untuk diarahkan bagi
terealisasinya sebuah tujuan tersebut.
Seperti apa tujuan negaraideal al-Farabi. Abbas Mahmud di
dalam karyanya; al-Farabi, menegaskan bahwa tujuan negara ideal
al-Farabi adalah negara tersebut dapat menyediakan berbagai
fasilitas untuk lahirnya kebahagiaan (al-sa`adah atau happiness)
yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat (ummah) negara tersebut,
376
. Ibid.
377
. Ara` dalam konteks ini dapat diartikan sebagai pandangan
menyeluruh atau konfrehensif tentang sesuatu, yang kemudian diyakini
kebenarannya dan dijadikan landasan atau pijakan dalam membangun
masyarakat, bangsa, dan negara; Weltanchaung.
378
. Idris Zakaria, Teori politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu ( Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991 ),
h, 49
415
baik di dunia ini dan sekaligus di akhirat nanti. 379 Pandangan ini
tentu saja didasarkan pada pernyataan al-Farabi sendiri bahwa kerja
sama (al-ta`awun) di antara sesam warga negara, baik di kota-kota
(al-mudun), di wilayah-wilayah yang luas (al-umam), ataupun di
daerah-daerah yang sedang berlangsung pembangunannya (al-
ma`murah), semua kerja sama dan aktivitas mereka diarahkan
menuju ke suatu titik muara, yaitu memperoleh kebahagiaan hakiki (
hasilatun `ala al-sa`adah al-haqiqiyah).380Hal ini sebagaimana
ditegaskan al-Farabi di tempat yang sama di dalam karyanya;Ara`
Ahl al-Madinah al-Fadhilahbahwa setiap negara bisa memperoleh
kebahagiaan (al-sa`adah, happines), maka sebuah negara di mana
semua rakyatnya bersatu padu untuk bekerja sama dan tolong
menolong dalam berbagai hal dan berbagai aspek kehidupan dalam
rangka merelisasikan kebahagiaan hakiki (al-sa`adah `alal
haqiqah), menurut al-Farabi kesatuan dan gabungan semua rakyat
dalam bekerja sama untuk suatu tujuan, yaitu kebahagiaan disebut
negara ideal. 381
Oleh karenanya, negara secara terencna dapat melakukan
langkah-langkah strategis dan efektif dalam rangka wujudnya
kehidupan umat (rakyat ) yang bahagia dan sejahtera di dunia dan
akhirat sekaligus, maka sebagai upaya untuk melakukan reformasi
terhadap struktur masyarakat dan keagamaan, kesempurnaan dan
kebahagiaan menjadi sasaran atau tujuan al-Farabi di dalam konsep
negara idealnya. Di era modern dan kontemporer pembangunan
sebuah negara dalam berbagi sektor dan berbagai aspeknya
diarahkan pada terciptanya kehidupan masyarakat dan rakyat yang
bahagia, yang dimanifestasikan dengan lahirnya kondisi masyarakat
dan negara yang sejahtera (Welfare State), meskipun harus melalui
jalan panjang dan berliku, berbagai hambatan dan kendala.
Berdasarkan apa yang telah disampakan al-Farabi tentang konsep al-
Madinah al-Fadhilah ternyata mengandung pengertian luas dan
setidaknya meliputi tiga aspek penting dalam ketata negaraan saat
itu, yaitu;
379
. Lihat Abbas Mahmud, al-Farabi ( Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-
`Arabiyah Isa al-Babi al-Halabiy, 1944 ), h. 128
380
. al-Farabi,Ara` Ahl al-Madinah al-Fadhilah ( Beirut: Dar al-Masyriq,
1968 ), h. 29
381
. Ibid.
416
BAB VIII
PEMIKIRAN POLITIK
AL-MAWARDI
382
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 288
- 289
418
383
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam.
h. 288
419
384
. Ibid.
385
. Ibid.
386
. Ibid. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 58
420
387
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 289
388
. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs ( London: Macmillan
University Press, 1970 ), h. 471
389
. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini ( terj. ) The History of Islamic Political Thought: From The Prophet to
The Present ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2000 ), h. 170
421
390
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h, 289
391
. Muhammad Jalal Syaraf et al,al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 291
422
392
. Ibid. h. 292
393
. Ibid.
394
. Ibid.
395
. Ibid. h. 292 – 293, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 61
423
396
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 295 -
296. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 62 - 63
397
. Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 296
424
398
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam.
h. 293
426
5.Menegakan Keadilan
399
. Dalam salah satu Hadis Nabi yang panjang, Nabi Muhammad saw.
ditanya oleh salah seorang sahabat yang bernama Dihyah tentang tiga hal, 1. Apa
429
Jika tidak ada ihsan dan kebaikan hati nurani, maka keadilan pun
sulit direalisasikan. Oleh karena itu,keberhasilan merealisasikan
keadilan sangat bergantung sepenuhnya pada sikap dan perilaku
yang baik atauihsandari seluruh masyarakat dan rakyat negara yang
bersangkutan.
itu Iman. 2. Apa itu Islam, dan 3. Apa itu Ihsan. Terkait dengan Ihsan, Nabi
memberikan jawaban melalui gambaran secara real, yaitu; jika kamu tengah
melakukan ibadah; misalnya shalat dan sebaginya, maka seolah-olah kamu
melihat Allah. Jika ini tidak dapat dilakukan, maka kamu yakin bahwa Allah
melihat kamu.
400
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 294
401
. Ibid, h. 293. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
h. 61
430
402
. Muhammad Jalal Syaraf. et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 293
431
403
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 294
432
404
. Ibid. h. 295
405
. Ibid. h. 296
433
7.KonsepsiKepemimpinan (al-Imamah)
Dalam konteks ini al-Mawardi berbicara tentang
kepemimpinan negara, siapa dan apa fungsinya ?Siapa yang
dimaksud Imam ?. Imam atau pemimpin menurut al-Mawardi adalah
Khalifah, al-Malik( raja), al-Rais (Presiden),Sulthan (Penguasa),
Qaid al-Daulah (Pemimpin negara). Dalam mendiskuskan beberapa
istilah tersebut yang berbeda-berbeda tetapi sinonim dalam maksud
yang sama, yaitu kepala negara, al-Mawardi memasukkan
pemahaman keagamaan (al-mafahim al-diniyah) pada politik (al-
mafahim al-siyasiy).407 Hal ini sesuai dengan pernyataanya di awal
Bab bukunya; al-Ahkam al-Sulthaniyah, yaitu; al-Imamah
maudhu`atun li khilafah al-Nubuwwah fiy hirasah al-din wa siyasah
al-dunya, artinya; Kepemimpinan dibentuk untuk menggantikan ke-
Nabian (an-Nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan
mengelola urusan kehidupan dunia 408 (politik).409 Dengan
406
. Lihat. h. 65 - 68
407
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam. h.
297
408
. Istilah dunia (dalam konteks pembicaraan politik ) yang sering
digunakan oleh para pemikir politik Islam di abad klasik dan pertengahan
menunjuk pada pengertian pengelolaan kehidupan umat atau masyarakat banyak.
Pengelolaan ini bertujuan terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram.
Dengan demikian, penggunaan istilah dunia dalam konteks pengelolaan kehidupan
umat berarti politik.
409
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah( Kairo: Musthofa al-Babi al-
Halabi, 1966 ), h. 5
434
8.Seleksi Pemimpin
Setelah selesaiberbicara tentang kepemimpinan umat
sebagaimana disebutkan di atas.Selanjutnya al-Mawardi
menjelaskan tentang siapa dan dari mana kepemimpinan umat itu
datang dan dapat dipilih menjadi Imam (kepala negara) berdasarkan
seleksi, siapakah yang paling layak sebagai pemimpin sesuai dengan
syarat-syarat yang diajukan al-Mawardi. Dalam konteks ini al-
Mawardi menjelaskan bahwa langkah awal untuk menentukan
seorang Imam (kepala negara) adalah melalui identifikasi dua
pola, 414yaitu;
Pertama; Melalui Ahl al-Ikhtiyar, yaitu mereka-mereka yang sudah
memiliki kelayakan untuk dipilih (intikhab) menjadi Imam (kepala
negara). Teknis atau mekanismepemilihanya adalah mereka diberi
wewenang untuk menseleksi siapakah di antara mereka yang paling
layak untuk menjadi Imamsesuai dengan syarat-syarat yang
diberlakukan. Dalam hal ini al-Mawardi mengajukan tiga syarat
yang harus dipenuhi oleh mereka, yaitu;
1. Memiliki sikap adil dalam berbagai aspeknya ( al-`adalah al-
jami`ah ),
2. Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka
dapat mengambil keputusan terhadap hal-hal penting, dan
dapat berijtihad terhadap kasus-kasus yang terjadi (masalah-
masalah aktual), serta dapat berijtihad tentang hukum ( al-
412
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 297
413
. Ibid.
414
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 5- 6
436
4. Utuh semua anggota tubuhnya, tidak ada yang cacat. Hal ini
dimaksudkan agar tidak menjadi penghalang ketika
mertekabangun dari tempat tidurnya atau bergerak dari satu
tempat ke tempat lain dalam rangka melaksanakan tugas dan
kewajibanya.
5. Wawasan yang cukup dan memadai untuk mengatur
kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umat (siyasah
al-ra`iyyah wa tadbiir al-mashaalih),
6. Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan
mengalahkan nusuh di medan perang (himayah al-biidhah
wa jihad al-`aduww),
7. Keturunan Quraisy (an yakuna al-nasab min Quraisyin).
Dalam konteks ini, bahwa keturunan Quraisy menjadi syarat
bagi Imam (kepala negara), al-Mawardi berargumentasi bahwa
syarat ini berdasarkan nas hadist Nabi dan ijmak Ulama, kecuali
dalam kondisi tertentu di mana keturunan Quraisytidak lagi
memungkinkan menjabat Imam. Al-Mawardi menegaskan bahwa
Abu Bakar di hari Saqifah menyampaikan hadist Nabi yang
berbunyi; al-Aimmatu min Quraisyin (para pemimpin itu dari orang-
orang Quraisy). Hadist ini disampaikan Abu Bakar kepada
komunitas Anshar ketika mereka mau membaiat Saad bin Ubadah
menjadi pengganti Nabi (Khalifah Nabi) setelah Nabi wafat.
Kemudian orang-orang Anshar setelah mendengar hadist yang
disampaikan Abu Bakar, mereka mengurungkan niatnya dan
kembali bersatu bersama orang-orang Muhajirin menyetujui
pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang berketurunan
Quraisy. 415
415
. Dalam praktek perpolitikan di zaman Jahiliyah sebelum kelahiran
Nabi Muhammad saw. orang-orang ras Quraisy selalu menjadi pemimpin dan
bahkan menjadi simbol kesatuan masyarakat Mekah. Di zaman Islam, yaitu zaman
setelah Nabi Muhammad saw. mengembangkan risalah Islam, kepemimpinan
umat selalu berada pada kendali orang-orang Quraisy dalam beberapa periode,
bahkan dalam beberapa abad, kepemimpinan tertinggi umat (khalifah) memang
dijabat oleh orang-orang yang masih keturunan Quraisy, bahkan sejak era Nabi
sendiri, era Khulafa al-Rasyidin, era Dinasti Umayyah, dan di era Dinasti
Abbasiyah, kecuali Dinasti Ottoman Turkey.
438
416
. Munawir Sjadzali di dalam bukunya; Islam dan Tata Negara,
menjelaskan bahwa Ahlul `Aqdi wa al-Halli sebenarnya mereka itu adalah Ahlul
Ikhtiyar, yaitu; orang-orang yang diberi wewenang untuk memilih seorang
pemimpin. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 64
417
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 6
439
418
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 6 – 7. Lihat juga
Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 299 - 300
419
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 10. Lihat juga Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 64 -65
440
420
. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (
Jakarta: UI-Press, 2013 ), Jld. 1, h.50
421
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 11
441
perilaku Imam (khalifah atau raja) dan termasuk calon khalifah yang
biasa disebut waliul `Ahdi (putra mahkota). Perubahan yang
dimaksud adalah jika seorang kepala negaramelakukan pelanggaran
hukum, tidak berlaku adilatau menyalah gunakan wewenang, maka
seorang Imam (khalifah, raja) dan termasuk putra mahkota dapat
dilengserkan dari jabatannya, tanpa harus menunggu sampai
meninggal dunia, maka dia akan kehilangan jabatannya karena
dianggap tidak layak. Pemberhentian juga bisa terjadi karena dia
mengundurkan diri dari jabatannya. Berdasarkan kasus-kasus
tertentu seperti disebutkan di atas pergantian jabatan khalifah tidak
harus sampai menunggu wafatnya Imam (khalifah, raja) yang sedang
berkuasa atau putra mahkota.422
Masa jabatan Imam (khalifah, raja) seumur hidup ini
kemudian menjadi tradisi di dalam perpolitikan umat Islam,
sehingga di abad modern dan kontemporer seperti sekarang ini di
banyak negara Arab, antaranya; Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan
Jordania, Kuet, Qatar, Republik Arab Mesir, Syria dan lain-lain, dan
meskipun sudah ada beberapa negara yang dalam bentuk republik,
seperti Mesir, Libiya dan lain-lain, masa jabatan kepala negara
(presiden, raja) tetap saja seumur hidup. Hal ini berbeda dengan
negara Republik Islam Iran, Turkey dan lain-lain yang sudah
melaksanakan pembatasan jabatan kepala negara secara periodik,
dan ini dilakukan melalui setiap kali penyelenggaran pemilihan
umum sebagai layaknya negara-negara yang menerapkan sistem
demokrasi.
11.Pemecatan(Impeachment) Imam
Dalam konteks ini al-Farabi menegaskan bahwa jika calon
Imam (kepala negara) terpilih sudah ditetapkan sebagai Imam
(khalifah, raja) yang sah dan definitive sesuai dengan aturan dan
persyaratan yang ditetapkan, maka rakyat seluruhnya harus
memberikan loyalitas penuh kepada Imam sebagai kewajiban dalam
dua hal pokok, yaitu;
1. Kewajiban mentaati Imam,
422
. Ibid.
442
423
. Ibid. h. 11. Lihat juga Muhammad Jalal syaraf et al, al-Fikr al-
Siyasiy Fiy al-Islam, h. 305
424
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 11
425
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 305 –
306. Lihat juga Munawir sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 65 - 66
443
426
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 67
427
. Dikutip dari Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik ( Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992 ). h. 1
444
428
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-SiyasiFiy al-Islam, h.
304
445
Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 304 - 305
446
430
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 17
431
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 67
447
432
. Ibid. h. 68
448
435
. Ibid. h. 307
450
BAB IX
PEMIKIRAN POLITIK
AL-GHAZALI
436
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 21
451
437
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 361.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 70
452
438
. Lihat Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer ( Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013 ), edisi revisi, h. 27. Lihat juga Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 71 - 72
439
. al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2, h. 381
440
. Disebut Bathiniyah, karena kelompok sempalan Syiah ini mengklaim
bahwa seorang Imam (pemimpin kelompok Syiah Ismailiyah Bathiniyah) sebagai
seorang yang ma`sum (terpelihara dari perbuatan dan perkataan yang salah).
Implikasi dari klaim bahwa apa pun yang dilakukan atau yang diperkatakan Imam
tidak ada yang salah, karena menurut anggapan mereka seorang Imam mengetahui
makna yang zahir dan makna yang bathin ajaran agama Islam yang disampaikan
Nabi Muhammad saw. Hal ini berdampak bahwa sesuatu yang salah dari seorang
Imam Syiah Ismailiyah Bathiniyah, boleh jadi dianggap benar oleh penganut
kelompok Syiah ini, karena Imam menurut mereka mengetahui ta`wil , yaitu;
memberikan makna yang lain, selain makna yang zahir dari nas ayat al-Qur`an
atau Hadist Nabi. Mereka berpendapat; bi anna kulla zahiirin bathinan, wa li kulli
tanzilin ta`wila. Lihat al-Syahristani, al-Mlal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-
Ma`rifah, 1984), Juz 1, h. 192
453
441
. Lihat Philip K. Hitti, History of Arab London: Macmillan University
Press, 1970), h. 446 – 447
442
. Ibid.
443
.Ibid. . 72
454
2. Kerajaan Muwahidin.
Kerajaan ini dibangun oleh al-Mahdi bin Tumarat. Wilayah
kerajaan ini meliputi seluruh daerah Maghrib Arab dan
sebagian wilayah Andalusia.445
Imam al-Ghazali bersahabat dengan kedua-dua pendiri
Kerajaan tersebut. Yusuf bin Tasyfin pendiri Kerajaan Murabithin
berhubungan dengan al-Ghazali melalui korespondensi. Yusuf bin
Tasyfin senantiasa meminta nasehat kepada al-Ghazali tentang
masalah-masalah strategi perang, damai, dan kebijakan politik
pemerintahan. Oleh karena itu, Munawir Sjadzali menegaskan
bahwa al-Ghazali berhak ikut bangga dengan keberhasilan Yusuf
bin Tasyfin dalam membangun dan mengelola negara dengan penuh
keadilan dan kearifan. Dan oleh karena al-Ghazali dianggap berjasa
atas kontribusinya memberikan pandangan dan masukan kepada
Yusuf Tasyfin, al-Ghazali diberi anugerah Amirul Muslimin, bukan
Amirul Mukminin yang merupakan gelar untuk seorang Khalifah
saja, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan sebgainya.
444
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 362.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 72
445
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 367.
Lihat juga, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 72
455
446
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 368
– 369. Juga lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 73 - 74
456
447
. Muhammad Jalal Syaraf, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 379 - 380
448
. Ibid.
449
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 - 75
457
450
. Imam al-Ghazali, demikian juga kebanyakan para pemikir politik
Islam yang lain pada abad-abad pertengahan dan klasik dalam banyak kesempatan
dan konteksnya sering menggunakan kata dunya untuk pengertian politik, seperti
ungkapan al-Ghazali sendiri “ wa la nizama liddini illa binizami al-dunya “,
artinya; bahwa keberagamaan tidak bisa teratur, kecuali jika ada keteraturan
dunya, yaitu keteraturan politik.
458
3. Bangunan perumahan.
Pekerjaan ini akan menghasilkan tempat tinggal atau rumah-
rumah (al-maskan) yang diperlukan oleh setiap manusia
sebagai tempat tinggal, kantor-kantor, lembaga-lembaga,
tempat ibadah, dan sebaginya.
4. Politik.
Politik atau pengelolaan berbagaiaktivitas kehidupan melalui
otoritas kekuasaan. Pengelolaan ini memerlukan
penanganan serius untuk menumbuhkan upaya kerja sama
dan saling bantu membantu bagi terciptanya kehidupan (al-
ma`isyah wa al-hayat al-ijtima`iyah) yang tentram, damai,
kondusif dan stabil. 451
Dari keempat-empat pekerjaan manusia tersebut,
pengelolaan politik, menurut al-Ghazali adalah yang paling penting
dan mulia, karena politik berkaitan dengan pengaturan dan
pengelolaan tatanan kehidupan dan kepentingan umat untuk
terciptanya kemaslahatan (istishlah) bersama. Oleh karena itu,
pekerjaan ini, yaitu aktivitas politik memerlukan tingkat
kesempurnaankapabelitas dan kredibelitas orang-orang yang akan
mengelola kehidupan umat atau rakyat. Orang-orang yang diberi
tugas (amanah) ini harus memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada para pejabat dan pegawai di bidang-bidang lainnya. 452
Politik (al-Siyasah) yang dimaksud al-Ghazali adalah
tindakan dan upaya memperbaiki kondisi manusia untuk diarahkan
ke jalan yang benar dalam rangka memperoleh keselamatan
(terciptanya stabilitas politik dan keadaan kondusif) di dunia dan di
akhirat. Oleh karena itu, pemahaman politik seperti ini, menurut al-
Ghazali terbagi ke dalam empat tingkatan, yaitu;
451
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, hlm.
372 – 373. Lihat juga Munawir Sjazdali, Islam dan Tata Negara. h. 75
452
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 373
459
453
. Muhammad Jajalm Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
374.
460
454
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 75
455
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.374 -
375
461
5.KeperluanPadaSumber Pendapatan
3. Pajak. 456
456
.Pembicaraan tentang pajak dan sumber pendapatan negara yang lain
yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara, Ibnu Taimiyah
membicarakannya secara rinci, maka pembicaraan tentang pajak lebih lanjut, lihat
h. 151 - 154
462
459
. Yusuf al-Qardhawiy, al-Imam al-Ghazaliy Bayna Madihihi wa
Naqidhihi ( Beirut Muassisah al-Risalah, 1994 M./1414 H.), h. 93
460
. Ibid. h. 382
464
461
. Ibid.
462
. Ibid.
465
463
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf et al, al- Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
383
466
464
. Ibid.
465
. Ibid.
467
466
. Untuk pertama kalinya mata uang dicetak dan diberlakukan
penggunaanya sebagai alat transaksi dalam sejarah peradaban umat Islam adalah
pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Sebelumnya umat Islam
menggunakan mata uang yang dikeluarkan Kerajaan Bizantium.
467
. Ibid. h. 384
468
. al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin ( Singapore: Dar Sulaiman
Mara`iy, t.th. ), Juz 2, h. 333
468
469
. Ibid.
469
470
. A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Science ( Beirut:
Librairie Du Liban, 1982 ), h. 445
471
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-
Fikri al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 387
472
. Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu (
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia,
1991 ), h. 138
471
473
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 386
472
474
. Ibid. h. 387 - 388
473
475
. Ibid. h. 388
476
. Ibid.
477
. Ibid.
474
480
. A. Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Science, h. 446
481
. Ibid, h. 389
476
491
. al-Ghazali, al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad, h. 105 – 106
480
tokoh yang menjadi panutan, maka tidak akan ada sistem (nizam),
oleh karenanya para Shahabat Nabimendahulukan upaya
mengangkat Imam (pemimpin), karena keberadaan Imam
merupakan sesuatu yang menjadi kemestian (dharuriy) dalam
menjaga kesatuan umat dan Islam. 492
492
. al-Ghazali, al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad, h. 105 – 106. Lihat juga
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 392
493
. Muhammad Jalal Syara,f et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 394
481
2. Kapabelitas (al-Kifayah).
Menurut al-Ghazali sifat ini dapat terealisasi jika didasarkan
pada dua aspek, yaitu; kekuatan pemikiran dan pengelolaan
(al-fikr wa al-tadbir), kemudian menyampaikan
pandangannya saat musyawarah, mendengarkan pendapat
dan nasehat orang lain.
496
. al-Ghazali, Qawaid al-I`tiqad ( Beirut: A`lam al-Kutub, 1405
H./1985 M. ), h. 229 – 230. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-
Siyasi Fiy al-Islam, h. 395 – 403. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
h. 78
485
497
. al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk Fiy Nasihat al-Muluk, h. 10
486
498
. Ibid. h. 15
487
499
. Ibid. h. 24
500
. Ibid. h. 25
501
. Ibid. h. 26
488
502
. al-Ghazali, Qawaid al-Aqa`id, h. 228. Lihat juga Muhammad Jalal
Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 408 -409
503
.Syiah merupakan golongan dari umat Islam selain Sunni ( Ahli
Sunnah Wal Jama`ah ). Syiah pada periode awal-awal sebagaimana dijelaskan al-
Syahristaniy ( 479 – 548 H.) di dalam karyanya; al-Milal wa al-Nihal, tidak lebih
sebatas sekumpulan orang-orang yang simpati kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib
selepas terjadinyaperang Siffin yang berakhir di Majelis Tahkim ( arbitrasi ) yang
menyebabkan terjadi kelemahan pada barisan perang Ali. Pada akhirnya nasib
tidak berpihak kepada Khalifah Ali, maka muncullah sebagian tentara yang
simpati kepada Ali bin Thalib. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan
perubahan situasi dan kondisi, orang-orang yang simpati kepada Ali ini di
kemudian hari berubah menjadi golongan yang memiliki ideologi dan Imam-
Imamnya sendiri, serta melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang berbeda dari faham
Ahli Sunnah Wal Jama`ah.
490
504
. Lihat Abu al-Fatah al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal ( Beirut: Dar
al-Ma`rifat, 1404 H./ 1984 M. ), Juz 1, h. 146
505
. Lihat al-Nadwah al-`Alamiyah Lissyabab al-Islamiy (WAMY), al-
Mausu`ah al-Muyassarah Fiy al-Adyan wa al-Mazahib al-Mu`ashirah (Riyadh:
al-Nadwah al-`Alamiyah Lissyabab al-Islamiy, 1409 H./1989 M. ), h. 299
506
. Ibid. h. 299
507
. Abu al-Fatah al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, Juz 146
491
saja, Abu Bakar dan Umar dianggap oleh mereka telah merampas
jabatan khilafah dari pemiliknya, yaitu Ali bin Abi Thalib. 508 Oleh
karena itu, orang-orang Syiah membenci dan mengutuk Abu Bakar,
Umar bin Khattab, dan juga Utsman bin Affan. 509
Imam yang ke dua belas; Muhammad al-Mahdi bin al-Hasan
al-`Askariy dianggap menghilang diSardab di rumah ayahnya
berdasarkan kesaksian orang yang dirahasiakan (bisrri man ra`aahu)
dan tidak kembali. Umur saat dia menghilang ada yang mengatakan
sekitar umur 4 tahun dan pendapat yang lain sekitar umur 8 tahun.
Oleh karena itu Imam kedua belas ini disebut Imam Muhammad al-
Mahdi al-Ma`dum atau al-Muntazar (Imam yang hilang atau Imam
yang ditunggu) karena menurut orang-orang Syiah Imamiyah dua
belas bahwa Imam Muhammad al-Mahdi pada suatu saat nanti akan
muncul kembali ke dunia.510Syiah yang berkuasa di Iran saat ini
adalah Syiah Imamiyah Isnai `Asyariyah setelahmelakukan revolusi
dan berhasil menggulingkan pemerintahan Raja Syah Reza Vahlevi
oleh rakyat Iran yang dipimpin Imam Ayatullah Komeini pada akhir
tahun 1970-an dan mendirikan negara Republik Islam Iran.
Demikianlah beberapa pandangan al-Ghazali tentang
pemikiran politik Islamnya yang dipusatkan pada upaya bagaimana
melahirkan seorang pemimpin umat atau kepala negara yang
bermental dan berakhlak mulia dan bermoral, memiliki sikap adil,
jujur dan berwawasan luas.Selain juga menekankan pada managerial
dari pusat sampai daerah yang terkordinasi rapi dan sistematik
sebagaimana juga disampaikan al-Farabi.Pembahasan al-Ghazali
diakiri dengan tinjauan kajian perbandingan terhadap pandangan
umat Islam Sunni dan Syiah tentang kepemimpinan Khulafa al-
Rasyidin.Umat Islam Sunni berpandangan bahwa kepemimpinan
para Khulafa al-Rasyidin adalah sah sesuai dengan mandat dan
legitimasi yang diberikan masyarakat kepada mereka.Tetapi umat
Islam Syiah, terutama Syiah Itsnai `Asyariyah (kecuali Syiah
Zaidiyah) tidak demikian, mereka tidak mengakui kepemimpinan
Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
508
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 214
509
. Abu al-Fatah al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, Juz 1, h. 146.
Lihat juga al-Nadwah al-`Alamiyah Lissyabab al-Islamiy ( WAMY ), al-
Mausu`ah al-Muyassarah Fiy al-Adyan wa al-Mazahib al-Mu`asirah, h. 302
510
.Ibid. h. 299
492
BAB X
PEMIKIRAN POLITIK
IBNU TAIMIYAH
511
. Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
427.Lihat juga Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah. Jld. 13 – 14, h. 200 - 203
512
. Ibid. h. 428
513 . Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 80
514
. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001 ), cet. Ke-12, h. 85, Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf et
al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 423 - 424
494
515
. Informasi lebih lanjut silahkan pembaca lihat Ibnu Kathir, al-
Bidayah wa al-Nihayah ( T. tmpt.:Darul Fikri al-`Arabi, T.th. ), Jld. 13 – 14, h.
200 - 203
516
. Ibnu Taimiyah, Ahmad Taqiy al-Din, al-Siyasah al-Syar`iyah Fiy
Ishlahi al-Ra`I wa al-Ra`iyyah ( Kairo: Dar al-Sya`b, 1980), h. 180, lihat juga
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 457. Lihat juga
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 89
495
517
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 183
518
. Ibid. h. 185. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-
Siyasi Fiy al-Islam, h. 475
496
519
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 89
520
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 186
521
. Ibid. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 458
522
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 186
497
523
. Ibid.
524
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 89
525
. Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, Politik Islam: Penjelasan
Kitab Siyasah Syar`iyah Ibnu Taimiyah ( Jakarta: Gria Ilmu, 2014 ), h. 371
526
. Ibid.
527
. Ibid.
498
528
. Lihat al-Qur`an, Surat al-Haqqah: 28 -29
499
529
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 83
530
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 430
531
. Ibid. h. 429
501
532
. Lihat Muhammad Jalal syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
430
533
. Ibid.
534
. Ibid. h. 431
503
535
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 83 -84
504
538
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 438
539
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 19
540
. Lihat Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer ( Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010 ), h. 35 - 36
506
2. Ghanimah:
Yaitu harta kekayaan yang diperoleh hasil dari kemenangan
Tentara muslimmengalahkan musuh non muslim dalam
perang (al-harb). 545
3. Fey:
Yaitu harta kekayaan yang diambil dari pihak musuh non
muslim setelah menyatakan kalah tanpa melalui perang.
Dalam arti kemenangan Tentara .muslim mengalahkan
musuh tanpa melalui perang antara kedua belah
pihak.Kemudian harta kekayaannya secara otomatis dikuasai
oleh negara (Pemerintah Islam), maka harta kekayaan
tersebut menjadi milik negara.546
5. Jizyah ( pajak )
Harta Jizyah, yaitu pajak yang dikenakan kepada ahlul
Zimmi.Ahlul Zimmi adalah orang-orang non muslim yang
545
. Musthafa Diyb al-Bagha, al-Tahzhib Fiy Adillah Matan al-Ghayah
wa al-Taqrib ( Beirut: Muassisah Ulum al-Qur`an, 1985 ), h. 229
546
. Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu ( Damaskus:
Darul Fikri, 1985 ), Juz 6, h. 442
508
547
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Ibid.
h. 446
509
548
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 449
510
554
. Ibid, h. 79 - 80
555
. Ibid. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 451
513
556
. Ibid. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Iaslam, h. 451
557
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 117
558
. Qishas adalah pelaksanaan hukuman terhadap seseorang sesuai
dengan tindak kejahatan yang dia lakukan, seperti dia membunuh seseorang
(menghilangkan nyawa seseorang ), maka hukuman yang dikenakan kepadanya
514
harus dibunuh lagi. Dan jika diamelukai salah satu anggota tubuh seseorang,
maka hukumannya dia dilukai lagi sesuai dengan kejahatan yang dialakukan
559
. Lihat al-Qur`an, surat al-Maidah,ayat 45
560
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyyah, h. 179 - 180
515
563
. al-Qur`an: Surat al-Syura, ayat 36. 37. Dan 38
564
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
455
565
. Ibid.
566
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, hl. 182
517
567
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
hl. 456
518
BAB XI
PEMIKIRAN POLITIK
IBNU KHALDUN
568
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 91
520
569
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 474
570
. Ibid.
571
. Ibid.
572
. Ibid, h. 484 -485
521
576
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 480 - 481
577
. Ibid, h. 481 - 482
523
578
. Ibid. h. 485
579
. Ibid. h. 485
580
. Ibid. h. 485
524
581
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 485. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 93 - 94
582
. Ibid. hlm. 487 – 488. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara. h. 94 - 95
525
583
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam, h. 488 – 489, Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negar, h. 95
526
586
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 490 – 491. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 96
587
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 493.
528
588
. Ibid, h. 494 - 495
589
. Lihat Munawirr Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 97
529
590
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 500 – 501. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 98 - 99
591
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 505 - 506
592
. Lihat Ahmad Syafii Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan
Penulis Barat dan Timur ( Jakarta: Gema Insani Press, 1966 ), h. IX
593
. Muhammad Abdullah Inan, Ibnu Khaldun; Hayatuhu wa Turatsuhu
al-Fikriy ( Kairo: Dar al-Kutub al-Misriy, 1933 ), h. 88 - 89
530
594
. Ahmad Syafii Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis
Barat dan Timur,hlm. IX
595
. Ibnu Khaldun, Abdur al-Rahman, Muqaddimah ( Beirut: Dar al-
Kitab al-`lmiyah. 2006 ), h. 272
531
596
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 31
597
. Ibid. h. 33 – 34. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 100
532
saling menyerang secara brutal dan sikap tidak adil adalah karakter
haiwan buas, tetapi lebih buas lagi jika terjadi pada manusia, maka
watak agresif manusia saling menyerang antara sesamanya itu tidak
mungkin dapat dihentikan secara individu (orang seorang) karena
masing-masing orang mempunyai senjata yang dipergunakan untuk
menyerang balik kepada yang lainnya. Di sinilah perlunya seseorang
yang dapat menangkal, penengah dan pendamai, maka orang yang
dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah (al-wazi`) menurut
Ibnu Khaldun haruslah seorang tokoh yang lahir dari kalangan
masyarakat itu sendiri dan memiliki paling tidak dua hal pokok,
yaitu;
1. Memiliki pengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat.
2. Memiliki kekuasaan dan otoritas atas mereka.
598
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 513 –
514 dan 515. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 100 -101
599
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 408 – 409.
533
602
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 274
603
. Ibid. h. 408
604
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 102
535
605
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 711 - 712
606
.Ibid.
607
. lihat munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 102
536
608
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 517
537
609
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 711 - 712
610
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 516 - 517
538
611
. A. Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Sciences ( Beirut:
Libraire Du Liban, 1982 ), h. 177
612
. lihat Muhammad Ismail Muhammad, Dirasat Fiy al-`Ulum al-
Siyasah ( Kairo: Maktabah al-Qahirah al-Haditsah, 1972), h. 315. Lihat juga
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 103
539
613
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 34 - 36
614
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 333 – 331. Lihat juga Muhammad
Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
hlm. 526 - 528
540
615
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 531. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 103 - 104
616
.Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 104. Lihat juga Kh.
Sherwani H. Studies In Muslim Political Thought and Administration ( Hyder
Abad, t.pbt. 1945 ), h. 18
541
617
Mahmud Ismail Muhammad, Dirasat Fiy al-`Ulum al-Siyasah ( al-
Qahirah: Maktabah al-Hadistah, 1973 ), h. 315
618
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 104
619
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah.,h.423
620
. Ibid. h. 424
542
621
. Lihat Muhammad Jalal Syar dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-
Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 524, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 105er
543
624
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 439
625
. Ibid.
626
.Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 440
546
627
. Bandingkan dengan hadits Nabi yang artinya; bahwa setiap anak
yang dilahirkan (ke dunia ini) dalam keadaan fitrah (suci bersih), tetapi kedua
orang tuanyalah (termasuk lingkungan) yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi.
628
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 341
547
629
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 548
630
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h.445
548
631
. Ibid.
632
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 446
549
633
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 467
634
. Ibid. h.468
635
. Pemahaman ini di masa dahulu, sekarang sistem kerajaan atau
monarki sudah mengalami perubahan atau sudah mengalami dinamikanya
tersendiri sebagai upaya penyesuaian-penyesuaian untuk memenuhi tuntutan di
masa modern dan kontemporer, contohnya Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan
550
640
. Ahlul al-`Aqdi wa al-Halli semacam lembaga Dewan Syura yang
memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan kepala negara dari
jabatanya sebagai raja atau khalifah.
641
. Ibid. h. 603
642
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, h. 102
552
643
.Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 513
644
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 102
553
645
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h.513
646
. Ibid. h. 513 - 514
647
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 561
648
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 516 -517
554
649
. Ibid, h. 516 - 5
650
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam h.561
651
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 517 - 518
555
652
. Ibid, hlm. 518
556
BAB XII
P ENUTUP
1.Kesimpulan
Sebagai penutup dari bahasan-bahasan terkait perpolitikan
di era Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al-Rasyidin, serta
pemikiran politik yang digagas oleh para pemikir dan ulama Islam.
Kini disampaikan beberapa pokok ajaran dan pemikiran berkaitan
dengan masalah sosial politik, antaranya; bahwa prioritas perjuangan
yang dilakukan Nabi Muhammad saw. adalah menyeru atau
berdakwah kepada masyarakat Mekah untuk menyembah Allah
tanpa mempersekutukan dengan makhluk-makhluk-Nya,
mengangkat harkat dan martabat masyarakat kecil sehingga
memiliki harga diri dan kedudukan yang sederajat dengan yang
lainya, maka tidak ada beda antara orang kaya dari orang miskin,
tidak ada beda antara penguasa dan rakyat yang dipimpinya,
semuanya sama di di hadapan Allah dan di hadapan hukum.
Perjuangan yang dilakukan Nabi bersama beberapa orang
yang sudah menerima ajaran Islam di Mekah semakin hari semakin
mendapat simpati masyarakat kecil, sehingga perjuangan Nabi lahir
menjadi gerakan dan kekuatan besar yang tidak bisa dibendung.
Kemunculan gerakan inilah sebenarnya yang dikhawatirkan oleh
para pemimpim otokrasi ( autocracy ) Quraisy, di mana mereka
merasa kekuasaannya dirongrong, karena semakin hari masyarakat
banyak semakin berpihak kepada perjuangan Nabi Muhammad saw.
Hal ini menurut mereka berdampak pada menurunya loyalitas
557
2. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Salabiy, 1990, Sejarah dan Kebudayaa Islam, (terj), Jakarta:
Pustaka al-Husna.
----------, 1991, al-Mausu`ah al-Hadharah al-Islamiyah al-
Siyasiyah Fiy al-Fikr al-Islamiy, Qahirah: Maktabah
Nahdhah al-Misriyah.
Al-`Awwa, Muhammad Salim, 1989, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-
Daulah al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Syuruq.
Ahmad Amin, 1964, Fajar al-Islam, Qahiro: Maktabah Nahdhah al-
Misriyah.
Abdul Rashid Moten, 1996, Ilmu Politik Islam, terl. Political
Science an Islamic Perspective, Bandung: Pustaka.
Ahmad Sukardja, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang
Dasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup
Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, Jakarta: UI-
Press.
Ahmad Fadhali et al, 2004, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Pustaka Asatrus.
Antony Black, 2006, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, (terj.) The History of Islam Political thought
From The Prophet to The Present, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Abdul Rasyid Moten, 2001, Ilmu Politik Islam, (terj.) Political
Science an Islamic Perspective, Bandung: Penerbit Pustaka.
Ali Abul Raziq, 2002, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian
Khilafah dan Pemerintahanh Dalam Islam, (terj.) al-Islam
wa Ushul al-Hukmi, Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Adiwarman Azwar Karim, 2004, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Artani Hasbi, 2001, Musyawarah dan Demokrasi, Ciputat: Gaya
Media.
Afzalur Rahman, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, (terj.) Economic
Doctrines of Islam, Jld. 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf.
563
3. INDEX
569
A Adminstratif, 44.
Amanah, 1, 2, 23, 79, 85, 88, 116, 143, Almalun nas, 49.
144, 147, 148, 150, 151, 155, 156, 167. Ahlul Ikhtiar, 75, 80, 82, 83.
Adil ( keadilan ), 5, 6, 7, 19, 21, 22, 28, Amaliy tathbiqiy, 101.
65, 68, 69, 70, 71, 116, 126. Aspirasi, 119.
Aristoteles, 9, 14, 15. Ambisi, 141, 142.
Arkan al-daulah, 20. Aktivitas perpolitikan, 143, 146, 147.
Absolute, 29, 32, 87. Afrika Barat Laut, 164, 165, 166, 167,
Aktivitas, 33. 168, 171, 172, 173.
Argumentasi, 176. Anarkis, 180.
`Amil, 24. Ashabiyah, 187, 189, 191, 192, 193, 194,
Andalusia, 164, 165. 195, 199, 200.
Antropologi, 30.
Ahlul Imamah, 75. Dewan formatur, 78,
Ahlul `Aqdi wa al-Halli, 77, 78, 82, 83, Damai, 84.
197. Duta Besar, 167.
Ahlu Syura, 80. Dinamika perpolitikan, 172.
Aman, 84, 128, 147. Dharuriy, 175, 176, 179, 181.
Amirul Muslimin, 95.
Alamiah, 96, 103, 104, 121, 196. E
Adminstratif, 44. Egoisme, 3, 4.
Almalun nas, 49. Etnik, 7.
Ahlul Ikhtiar, 75, 80, 82, 83. Eksponen-eksponen, 10.
Amaliy tathbiqiy, 101. Eksperimen, 27.
Aspirasi, 119. Eksternal, 27, 88.
Ambisi, 141, 142. Eksis, 29.
Aktivitas perpolitikan, 143, 146, 147. Efektif, 32, 41, 55, 64, 88, 105, 116, 139.
Afrika Barat Laut, 164, 165, 166, 167, Era Nabi Muhammad, 80.
168, 171, 172, 173. Era Khulafa al-Rasyidin, 80.
Anarkis, 180. Era Dinasti Umayyah, 80.
Era Dinasti Abbasiyah, 80.
B Era Dinasti Ottoman, 80.
Benturan, 62 Etika dan akhlak, 125.
Berakhlak, 128 Ekstrim, 141.
Berkeadilan, 128 Ekspresi, 141.
Berkejujuran, 128 Elite politik, 166.
Expedisi militer, 172.
C Eksistensi, 179.
Capabelity, 62.
F
D Fasilitas, 23, 54, 66, 107, 110, 118.
Demokrasi, 17, 81. Fitrah ( alami ), 41, 42, 61.
Demagogik, 17. Fenomena, 58, 92.
Disintegrasi, 29, 64, 136, 141. Fir`aun ( Raja Fir`aun ), 142.
Diktator, 29, 32, 142. Fey, 152.
Deputi, 32. Fathanah, 156.
Deskripsi, 47. Fez( ibu kota Negara Maroko ), 165, 166,
Decision maker, 59, 64. 167, 168, 169, 170, 174.
Dominasi, 72, 189, 194, 200. Franz Rosenthal, 187.
Dinasti Abbasiyah, 74, 92, 136.
570
U
Al-Ulum al-Thabi`iyyah, 38.
Utopia, 52, 62, 71.
Al-Ummal, 104.
Ulil amri, 162.
Al-Umran, 179.
W
Wazir, 32.
Welfare state, 55, 56, 110.
Waliul `Ahdi, 80.
Al-Wuzara, 89.
Al-Wara`, 122.
Al-Wilayah, 122, 126.
Al-Wulat, 154, 157.
Al-Wazi`, 177, 179.
Y.
Yunani, 9, 14.
V
Vulgar, 92.
Variatif, 129.
Z
Zalim ( Kezaliman ), 19, 179.
157
Tentang Penulis
pada tahun 1998 – 2001. Dosen pada Institut PTIQ dan IIQ Jakarta
tahun 2003 – 2006. Dosen Pascasarjana Program Studi Politik Islam
pada Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Kayumanis ) tahun
2002 – 2006. Direktur Pascasarjana Program Studi Politik Islam
pada Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Klender ) tahun 2006
– 2009. Pada tahun 2010 – 2013 menjabat Puket 1 ( Pembantu
Ketua- 1 ) bidang akademik pada Sekolah Tinggi Agama Islam
Indonesia (Staiindo) Jakarta. Anggota Dewan Penilai Ijazah Studi
Islam Perguruan Tinggi Luar Negeri pada Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam Kemenag RI.tahun 2009 - sekarang. Ketua Dewan
Kehormatan Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010 – sekarang. Anggota Team
Pembakuan Format Ijazah S-1, S-2 dan S-3 pada Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI tahun 2013 – 2015. Ketua
Pusat Kajian Pemikiran politik Islam ( Puskappolis / CIPT - Center
For Islamic Political Thought ) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 – sekarang.
159
Index
A Berpoya-poya, 119.
Asosiasipolitik, 5. Basabasi, 149.
Anarkis, 6.
Argumentasi, 6. C
Ambisius, 18. Clean and good governance,
Aqabah Mina, 21, 22. 98.
AhliKitab, 23. D
AhliSyirik, 23. Dominasi, 2, 13, 29, 67.
Arbitur, 27. Doktrin, 38.
AyatMawaris, 35. Deskriptif, 8.
Amalsaleh, 38. Dinamisasikehidupanpolitik,
Anshar, 42. 12.
Ashabiyah, 43. Dustur, 53, 59.
Adil( keadilan ), 55, 91. Diplomat, 57, 94.
Aktivitaspolitik, 57. Dasar-
AhlulHalliwa al-`Aqdi, 75, 88. dasarhubunganinternas
Abdurrahman bin `Auf, 82, ional, 57.
83, 84. Dokumenresmi, 62, 81.
AhlusSyura, 88. De fakto, 64.
Dinamikakehidupan, 73.
Amanah, 92. Dinamikapemikiran, 74.
Administrasi, 97. Demokrasi, 80, 104.
Aspirasi, 106, 125, 128. Demonstrasi, 84, 86.
Aman, 107. Dasar-dasarpolitik, 95.
Antisipasi, 122. Dar al-Harb, 99.
Antusias, 133. Al-Dewan, 100, 103, 104,
105.
B Damai, 107.
Bai`at, 21, 25, 75, 78, 79, 81, Dhu`afa, 120.
84, 85. Disintegrasi, 137.
Bias, 1, 24. Delegasi, 150.
Bai`atAqabah, 3, 25, 28. Dialog, 152.
Baitul Mal, 3, 102, 110, 112, E
114, 124, 144, 145,. Eksploitasi, 3.
Batuasas, 26. Esensial, 9
Birokrasi, 97. Etnik, 11.
167
Taqwa, 38. V
Toleransi, 40, 44, 53, 125. Vital, 40.
Tradisi, 58, Virus, 92.
Teknis, 73, 74, 111.
Transparan, 92. W
Tegas, 91. Wara`i, 98.
Tawadhu`, 91.
Tripoli, 118. Y
TradisiSunnahNabi, 126. Yaman, 13.
Yatsrib, 23, 24, 25, 26.
Yudikatif, 95, 100.
U
Undang-undangdasar, 52, 59. Z
Undang-undang, 56. ZamanJahiliyah, 14, 16.
`Usyur, 99, 110, 115. Zakat, 66, 98, 99, 110, 111,
143, 145.