Anda di halaman 1dari 378

204

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM:


SEJARAH, PRAKTIK DAN GAGASAN

Oleh:
Dr. Sirojuddin Aly, MA.
205

KATA SAMBUTAN
DEKAN FISIP
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Ketika Dr. Sirojuddin Aly, dosen pada Program Studi Ilmu


Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meminta saya
menulis kata sambutan untuk karya ini, saya langsung menyatakan
kesediaan. Bahkan saya merasa mendapat kehormatan sekaligus
kebanggaan untuk menulis sambutan ini. Setelah berdiskusi tentang
isi buku secara umum, Pak Sirojuddin menghilangkan bab terakhir
yang secara khusus membahas pemikiran politik Syiah karena kita
pandang bahwa bab tersebut lebih baik menjadi bagian dari karya
beliau selanjutnya.
Memang betul, karya ini merupakan kajian atas fragmen-
fragmen praktik dan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw.danKhulafa al-Rasyidin yang tentu saja
telah dan akan terus menjadi landasan dalam perumusan teori dan
pemikiran politik Islam. Berbagai pemikiran dan gerakan politik
Islam yang berkembang dalam sejarah Islam adalah manifestasi dari
interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa politik pada masa awal
pembentukan sejarah Islam ini, tentu saja selain interpretasi terhadap
sumber pertama dan utama ajaran Islam, yakni al-Quran.Atas dasar
itu, karya ini sangat penting sebagai salah satu rujukan bagi
mahasiswa, dosen, dan peneliti dalam bidang pemikiran politik
Islam, yang bagi Ilmu Politik, FISIP dan UIN merupakan salah satu
distingsi dan kekuatan yang tidak dimiliki oleh program studi yang
sama di tempat lain.
Saya mengucapkan selamat kepada Pak Sirojuddin.Semoga
lahir lagi karya-karya berikutnya.Hanya kepada Allah sajalah semua
amal ibadah kita serahkan.Wa Allah a’lam bi al-sawab.

Jakarta, 9Januari 2017


Dekan,

Prof. Dr. Zulkifli, MA.


206

KATA PENGANTAR
PENULIS

Sejak kelahirannya, Islam memberikan perhatian sangat


besar pada upaya menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang
teratur dan beradab. Hakikat ini bukan saja ditunjukkan oleh
banyaknya ayat-ayat al-Qur`anyang membicarakan kehidupan
sosial, tetapi juga ditunjukkan melalui praktik kehidupan komunitas
atau masyarakat muslim awal dibawah naungan dan bimbingan Nabi
Muhammad saw.di Madinah. Praktik kehidupan Nabi berasama
komunitas muslim ini dalam berbagai aspek kehidupan, berimplikasi
munculnya keyakinan dari para pemikir dan tokoh muslim yang
lahir di abad modern dan kontemporer bahwa Islam bukan saja
agamayang hanya mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek
akidah dan ibadah (ibadah mahdhoh) saja, melainkan Islam juga
mengemban missi untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat
yang aman, damai, dan sejahtera melalui pengelolaan kehidupan
sosial politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan
sebagainya.Keyakinan ini kemudian mengilhami berbagai generasi
Islam untuk melakukan konseptualisasi tentang apa yang mereka
sebut sebagai negara Islam.

Dari satu generasi ke generasi yang lain, banyak pemikir,


ahli hukum, sastrawan dan filosof muslim mencoba menerjemahkan
prinsip-prinsip perpolitikan Islamuntuk menjawab berbagai
tantangan kehidupan sosialpolitik yang mereka hadapi. Hal ini
karena mereka meyakini bahwa kehidupan komunitas muslim awal
di Madinah telah mewariskan suatu model kehidupan sosial politik
yang bisa menjadi acuan bagi pengembangan kehidupan masyarakat
di era modern dan kontemporer tanpa harus menutup diri dari
dinamika kehidupan modern itu sendiri. Oleh karenanya, generasi
muslim belakangan mencoba memahami, menafsirkan dan
mendasarkan kehidupan sosial politik mereka pada model tersebut,
antaranya dengan mengkonsepsikan pembentukan masyarakat
madani, masyarakat hadhariy, dan sebagainya.
207

Di dalam buku ini akan dijelaskan bagaimana Nabi


Muhammad saw. memiliki kapabelitas dalam melakukan
transformasi sosial kehidupam masyarakat Jahiliyah menjadi
masyarakat yang beriman dan bertakwa, serta mampu menjungjung
tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga menjadi manusia-
manusia yang beradab sebagai hamba-hamba Allah swt. Era
perubahan ini berlangsung sejak Nabi Muhammad saw.
menyampaikan missinya mengajak umat manusia untuk menyembah
Allah Yang Esa dan melarang mereka mempersekutukan Allah
dengan makhluk-Nya. Perjuangan yang dilakukan Nabi Muhammad
saw. dalam upaya membangun masyarakat yang beriman dan
bertakwa tersebut tidaklah mudah semudah membalikkan telapak
tangan, seringkali dihadapkan pada berbagai rintangan; fitnah,
penganiayaan, embargo, pemutusan hubungan, bahkan rencana
pembunuhan dan sebagainya oleh para pemimpin kafir Quraisy. Hal
ini bisadimengerti karena para pemimpin kafir Quraisy Mekah tidak
ingin ada gerakan-gerakan sosial yang mengancam kelangsungan
dominasi dan kekuasaan mereka.

Dalam menyikapi realitas ini Nabi-pun terpaksaharus


menghadapinya melaluilangkah-langkah,terencana, dan
strategisyangdilakukan secara bertahap, dimulai dengan pendekatan
sembunyi-sembunyi (dakwah sirriyah), kemudian dengan cara-cara
terbuka atau terang-terangan (dakwah jahriyah). Di balik
penderitaan atas berbagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh para
penguasa kafir Quraisy waktu itu, Nabi Muhammad secara diam-
diam terus menghimpun kekuatan yang akhirnya menjelma menjadi
pergerakan sosial. Pergerakan sosial ini kemudian dianggap sebagai
tindakan makar, merongrong, dan mengancam survive dominasi dan
kekuasaan aristokrasi orang-orang kafir Quraisy Mekah. Dalam
perjuangannya yang tidak mengenal lelah, Nabi akhirnya
memperoleh legitimasi penuh ketika sudah berada di Madinah, di
mana prinsip-prinsip Islam sudah dapat diimplementasikan dalam
tataran kehidupan praktis, sehingga Nabi Muhammad dapat
dikatakan berhasil bukan saja dalam melakukan transformasi tatanan
kehidupan sosial Jahiliyah menjadi tatanan kehidupan masyarakat
yang beriman, bertakwa danberperadaban.Tetapi secara politis
bahwa di pusatgrand project itu berlangsung terjadi peralihan model
208

kekuasaan, darimodel kekuasaan yang bersifat monarchi atau


kerajaan kepada model kekuasaan ke-Nabian dan dilanjutkan oleh
kekuasaan para pemimpin umat sesudahnya.

Era ke-Nabian, terutama pasca hijrah di Madinah menurut


para ahli adalah era ideal, di mana ajaran Islam diimplementasikan
sepenuhnya dalam berbagai aspek kehidupan. Syariat Islam sebagai
seperangkat aturan yang bersumberkan al-Qur`an dan
disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru yang
menjadikan Islam tampil dalam bentuknya yang syumul
(menyeluruh, konfrehensif), kaffah (universal), secara integral dan
aktif menuju tujuan yang satu. Era ke-Nabian secara periodik
terbagi menjadi dua bagian; Periode Mekkah dengan lahirnya
embrio masyarakat Islam dan kaidah-kaidah asas telah diletakkan
secara general dalam upaya mengatur tatanan kehidupan
masyarakat. Pada periode ini Al-Qur`an dan Hadist Nabi
memberikan stressing pada masalah-masalah akidah atau keimanan,
serta bagaimana mensucikan diri dari budaya atau tradisi
kepercayaan yang bertentangan, serta membersihkan jiwa dari
berbagai sifat dan mentalitas yang kotor sehingga hati menjadi
bersih. Nabi terus berupaya menghapus sisa-sisa budayaJahiliyah
dari jiwa-jiwa yang sudah menerima ajaran Islam.

Periode Madinah adalah periode di mana Nabi Muhammad


saw. berada di Madinah setelahperistiwa penghijrahan (exodus)
komunitas muslim dari Mekah ke Yastrib (Madinah). Pada periode
ini Nabi Muhammad saw. melakukan restrukturisasi masyarakat
yang awalnya penuh dengan konflik, menjadi masyarakat yang
mengenalketentraman,kedamaian, kejujuran, keadilan,beradab
dansopan santun,serta mengenal nilai-nilai kebaikan. Begitu juga
kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general dijabarkan secara
rinci dalam praktik kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw, estafet kepemimpinan umat
dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib secara berturut turut sebagai pangganti
(khalifah) Nabi dalam memimpin umat dan dalam rangka
terciptanya kehidupan yang damai, stabil, kondusifdan
sejahteraberdasarkan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad
209

saw.Selanjutnya pembahasan akan disambung dengan berbagai


pemikiran dan gagasan tentang pemikiran politik Islam dari para
pemikir dan ulama Islam yang memiliki daya tangkap dan analisis
yang luar biasa, antaranya: Ibnu Abi Rabi`, al-Farabiy, al-Mawardiy,
al-Ghazaliy, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.

Buku yang penulis persembahkan ini kepada para pembaca


pada dasarnya merupakan pengembangan dari Mata Kuliah
Pemikiran Politik Islam yang penulis ampu di Program Studi Ilmu
Politik dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Akhirnya, semoga buku ini
bermanfaat bagi siapa saja yang inginmendalami studi politik Islam,
terutama mahasiswa-mahasiswa yang mengkaji pemikiran politik
Islam melalui pendekatan sejarah sebagai upaya memperluas
wawasan dari khazanah masa lalu dengan tetap melakukan tinjauan
analisis komparasi dalam konteks kekinian.

Ciputat, 3 Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Sambutan Dekan Fisip UIN Jakarta_


Kata Pengantar Penulis_
Daftar Isi_
210

BAB I:
PENDEKATAN DAN DASAR POLITIK ISLAM_
A.Pendekatan Studi Pemikiran Politik Islam_
B. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam_

BAB II:
GERAKANSOSIAL KEAGAMAAN DAN POLITIK ERA
MEKAH
1. Kekuasaan Mekah Pra Islam_
2. Mengangkat Martabat Orang-orang Tertindas _
3. Legitimasi Kepemimpinan Nabi Muhammad saw._

BAB III:
ORIENTASI POLITIK ERA MADINAH
1. Membangun Dasar-Dasar Politik_
2. Rekonstruksi Madinah Sebagai Pusat kekuasaan_
3. Menetapkan Piagam Madinah _
4. Prinsip-prinsip Piagam Madinah_
5. Eksistensi Madinah Sebagai Negara_

BAB IV:
DINAMIKA POLITIK ERA EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN
1. Situasi Politik Pasca Nabi Muhammad saw. wafat_
2. Bentuk Negara_
3. Mekanisme Pemilihan Para Khulafa al-Rasyidin_
a. Pemilihan Langsung dan Bebas_
b. Pemilihan Melalui Kesepakatan Para Elit_
c. Pemilihan Melalui Komisi Pemilihan_
d. Pemilihan Dalam Situasi Darurat_

BAB V:
KEBIJAKAN POLITIK EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN
1.Abu Bakar al-Siddiq dan Kebijakan Politik_
1.1. Dasar Politik Abu Bakar_
1.2. Konsolidasi Terciptanya Integrasi_

2.Umar bin Khattab dan Kebijakan Politik_


2.1. Menciptakan Stabilitas Politik_
211

2.2.Prinsip-prinsip Politik Umar bin Khattab_


2.3. Menegakkan Keadilan dan Persamaan Hak_
2.4. Persamaan dan Kebebasan_
2.5.Sumber Pendapatan Negara_

3.Utsman bin Affan dan Kebijakan Politik_


3.1. Menciptakan Keamanan diwilayah Kekuasaan_
3.2.Tunjangan Sosial dan Kontroversi Distribus Kekayaan_
3.3. Kekayaan Negara PadaEra Khalifah Utsman_
3.4. Kebijakan Kontroversial Khalifah Utsman_
3.5. Situasi Politik Akhir Pemerintahan Utsman_

4.Ali bin Abi Thalib dan Kebijakan Politik_


4.1. Dasar Kebijakan Politik Ali_
4.2.Restrukturisasi Para Pejabat dan Gubernur_
4.3. Reformasi Birokrasi Kepegawaian, Pengadilan dan
Ketentaraan_
4.4. Penghematian dan Pengelolaan Pendapatan Negara_
4.5. Mengatasi Kelompok Oposisi dan Para Pemberontak_

BAB VI
PEMIKIRAN POLITIK IBNU ABI RABI`
1. Mengenal Sosok Seorang Pemikir Politik Islam Ibnu Abi
Rabi`_
2. Asal Usul Negara_
3. Bentuk Negara Ideal_
4. Empat Pilar Negara_
5. Kriteria Kepala Negara_
6. Hak Istimewa Kepala Negara_
7. Perangkat-perangkat Pemerintahan_
BAB VII
PEMIKIRAN POLITIK AL-FARABI
1. Latar Belakang dan Situasi Politik Masa al-Farabi_
2. Hubungan Politik Dengan Akhlak_
3. Teori Asal Usul Negara_
3.1.Masyarakat Sempurna_
3.2.Masyarakat Tidak Sempurna_
4. Negara Dalam Konsepsi al-Farabi_
212

5. Sosok Seorang Kepala Negara_


6. Kriteria Calon Kepala Negara_
7. Tujuan Negara_

BAB VIII
PEMIKIRAN POLITIK AL-MAWARDI
1. Latar Belakang dan Situasi Politik_
2. Teori Asal Usul Negara_
3. Negara Dalam Konsepsi al-Mawardi_
4. Enam Pilar Negara_
5. Menegakan Keadilan_
6. Sistem Pemerintahan (Nazam al-Hukmi)_
7. Konsepsi Kepemimpinan (al-Imamah)_
8. Seleksi Kepala Negara (Imam)_
9. Mekanisme Pemilihan Imam (Kepala Negara)_
10. Masa Jabatan Imam_
11. Pemecatan (Impeachment) Imam_
12. Teori Kontrak sosial_
13. Imam dan Para Staff_

BAB IX
PEMIKIRAN POLITIK AL-GHAZALI
1. Situasi dan Latar Belakang Kehidupan al-Ghazali_
2. Al-Ghazali Konsultan Dua Pemerintahan di Afrika Utara_
3. Kebutuhan Berasyarakat dan Bernegara_
4. Tatanan Kehidupan Perpolitikan_
5. Keperluan PadaSumber Pendapatan_
6. Kepala Negara (Imam) dan Para Pembantuya_
7. Teori Kemunculan Pasar dan Penggunaan Uang_
8. Gagasan Tentang Kesejahteraan dan Kebahagiaan_
9. Teori Tentang Imamah (Kepemimpinan)_
10. Kelayakan Seorang Imam (Kepala Negara)
11. Syarat-syarat Calon Imam (Kepala Negara)_
12. Gagasan Negara Ideal (Daulah Fadhilah)_
13. Kepemiminan Khulafa al-Rasyidin Dalam Pandangan al-Ghazali
dan Syiah_

BAB X
213

PEMIKIRAN POLITIK IBNU TAIMIYAH


1. Kondisi Sosial Politik Pada Masa Ibnu Taimiyah_
2. Pentingnya Otoritas Kekuasaan_
3. Integrasi Politik dan Agama_
4. Teori Amanah Dalam Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah_
5. Sumber Pendapatan Negara_
6. Pembelanjaan dan Pengeluaran Kebutuhan Negara_
7. Kelayakan Seseorang Menduduki Jabatan Politis_
8. Penegakan Supremasi Hukum_
9. Musyawarah Dalam Mengelola Negara_

BAB XI
PEMIKIRAN POLITIK IBNU KHALDUN
1. Petualangan dan Kareir Politik Ibnu Khaldun_
2. Teori Berdirinya Negara_
3. Teori Kemunculan Pemimpin Negara_
4. Sumber dan Dasar Kebijakan Politik_
5. Ibnu Khaldun Seorang Ahli Geopolitik_
6. Teori Ashabiyah_
7. Ashabiyah dan Kepemimpinan (al-Ashabiyah wa al-Riyasah)_
8. Ashabiyah, Akhlak dan Agama_
9. Jabatan Raja, Khalifah dan Imam_

BAB XII
PENUTUP
1. Kesimpulan_
2. Daftar Pustaka_
3. Indeks_
4. Sekilas Tentang Penulis_
214

BAB 1
PENDEKATAN DAN DASAR
POLITIK ISLAM

A.Pendekatan Studi Pemikiran Politik Islam

Penulis mencoba menjelaskan tentang bagaimana politik


Islam itu dipahami secara benar, sumber-sumbernyaapa saja yang
menjadi rujukan atau referensi utama di dalampengkajian pemikiran
politik Islam ini. Karena kajian tentang politik Islam memiliki
manhaj atau metodenya tersendiri, di mana kajiannya tidak semata-
mata mendasarkan pada kasus-kasus yang bersifat empiris belaka,
tetapi juga berdasarkan pada sumberrujukan utama, yaitu al-Qur`an
dan Sunnah Nabi, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
Oleh karena itu, jika manhaj ini tidak dipahami dengan benar, maka
kajian-kajian politik Islam akan menjadi tidak jelas atau bias, dan
bahkan tidak dapat dibedakan mana pemikiran politik Islam dan
mana pemikiran politik yang merujuk pada para pemikir dan
budaya Barat. Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk
memahami manhaj kajian pemikiran politik Islam dengan benar.
Ada baiknya sebelum berbicara lebih lanjut tentang pemikiran
politik Islam, disampaikan apa itu pemikiran politik Islam.
Pemikiran politik Islam adalah pemikiran atau gagasan tentang
bahasan-bahasan politik berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi,
serta praktik-praktik politik para Khulafa al-Rasyidin dalam rangka
terciptanya kesejahteraan ( kebaikan ) di dunia dan akhirat.

1.SumberKajian Politik Dalam Islam

Kedudukan ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam ( `ilmu


al-thabi`e ) dalam skema pengetahuan manusia adalah sama, yaitu
upaya menyingkap rahasia untuk menemukan dan memahami
sunnah ilahiyah ( ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku secara
automatik atau melalui proses pada alam semesta, termasuk manusia
). Dalam skema al-Qur`an, ilmu pengetahuan diperoleh melalui
wahyu, yaitu ilmupengetahuan absolut yang diberikan Allah secara
215

haqqul yakin,atau secara rasional yang diperoleh melalui kesimpula-


kesimpulan yang didasarkan pada penilaian dan bukti yang diakui
kebenaranya secara objektif. Dengan demikian, metode ilmu
pengetahuan Islam sepenuhnya sesuai dengan pengalaman dan
eksperimen, dan sesuai pula dengan penyelidikan rasional dan
intelektual dalam lingkup pengetahuan yang diwahyukan, 1
termasuk dalam hal ini ilmu politik di dalam Islam. Hanya saja
ayat-ayat al-Qur`an sebagai pedoman dan landasan asas,
penjelasanya dalam desain umum atau garis-garis besarnya saja,
tidak menjelaskan secara rinci, karena memang secara objektif
ilmiah sebuah pedoman atau landasar dasar harus bersifat umum
agar dapat meliputiatau menjangkau berbagai permasalahan hidup
umat manusia, di mana saja dan kapan saja, sehingga dengan begitu
al-Qur`an bisa berlaku untuk sepanjang zaman dan tempat di mana
saja dan kapan saja umat manusia berarada. Sumber-sumber rujukan
ilmu politik dalam Islam berdasarkan objektif ilmiah dalam Islam
secara matrik setidaknya ada empat sumber, yaitu; al-Qur`an,
Sunnah Nabi, kebijakan-kebijakan para Khulafa al-Rasyidin, dan
kajian fiqh yang dinamis. 2

Sumber rujukan pertama;al-Qur`an. al-Qur`an adalah kitab


suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw.untuk
disampaikan kepada umat manusia. al-Qur`an sebagai pedoman dan
landasan asas bagi kehidupan umat manusia, diturunkan untuk
tujuan agar menjadi petunjuk atau hidayah, dan tali ikatan yang
membentang dari langit sampai bumi, siapa yang berpegang teguh
dengan tali ikatan ini ( al-Qur`an ) dia akan mendapatkan hidayah,
dan siapa yang menetapkan keputusan hukum berdasarkan al-Qur`an
dia akan memutuskan hukum tersebut secara adil, karena Allah
yang menurunkan al-Qur`an adalah Zat Yang Maha Adil dan Maha
Mengetahui. Oleh karena itu, Al-Qur`an menjadi sumberrujukan
asas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya yang
berkaitan soal politik, meskipun penjelasan-penjelasan al-Qur`an
bersifat umum, tetapi teknis pelaksanaannya bisa flexible sesuai
1
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Political Science An
Islamic Perspective ( Bandung: Pustaka, 1996 ), h. 43
2
.Saidiy Abu Jaib, Dirasat Fiy Manhaj al-lslamiy al-Siyasiy ( Beirut:
Muassisah al-Risalah, 1985 M./ 1406 H. ), h. 33
216

dengan situasi dan kondisi di mana saja dan kapan saja manusia
berada, seperti; kewajiban bermusyawarah, kewajiban menegakkan
keadilan, persamaan hak dan kewajiban, dan sebagainya. Dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban ini semua teknisnya bisa saja
berubah dari waktu ke waktu, tetapi perintah musyawarah,
menegakkan keadilan, dan lain-lainnya sampai kapan pun menjadi
kewajiban dan tidak akan terjadi amandemen. Oleh karenanya dapat
ditegaskan bahwa al-Qur`an menjadi referensi utama adalah metode
khusus dalam kajian-kajian politik di dalam Islam. Sumber rujukan
kedua; Sunnah Nabi Muhammad saw. Sunnah Nabi adalah apa
yang disampaikan Nabi, baik dalam bentuk ucapan ( hadits
),perilaku dan ketetapannya ( taqrir ) yang kedudukanya sebagai
penjelasan atau penjabaran secara rinci terhadap al-Qur`an dalam
berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks ini, banyak tindakan-
tindakan Nabi Muhammad saw. yang secara politis dalam kategori
tindakan politik, antaranya; Perjuangan Nabi dalam rangka
membebaskan rakyat kecil dari segala bentuk penindasan dan
eksploitasi para pemimpin kafir Quraisy Mekah, Perintah Nabi
kepada beberapa orang muslim Mekah untuk mengungsi ke negeri
Habsah ( Ethopia ) sebagai upaya menghindari kekejaman para
pemimpin Quraisy dan kemudian mereka mendapatkan suaka politik
dari Raja Najjasi; penguasa Ethopia, Nabi mengadakan baiat
Aqabah (perjanjian Aqabah )pertama, kedua, dan ketiga yang
menghasilkanmanifesto politik. Manifesto politik ini dideklarasikan
oleh penduduk Yatsrib ( Madinah ) yang sudah masuk Islam sebagai
bentuk dukungan padu kepada perjuangan Nabi, Keberhasilan Nabi
dalam menetapkan Piagam sebagai upaya untuk melakukan
restrukturisasi dan penataan kehidupan masyarakat Madinah yang
plural, Pengangkatan panglima perang, Pengangkatan duta yang
ditugaskan di negara Yaman, dan lain sebagainya. Sumber rujukan
ketiga; Kebijakan-kebijakan para Khulafa al-Rasyidin, yaitu
kebijakan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan
Ali bin Abi Thalib saat mereka menjabat kepala negara ( Khalifah ).
Kebijakan-kebijakan mereka dalam upaya mengelola atau menata
kehidupan masyarakat untuk terciptanya kehidupan yang kondusif,
aman, dan damai di bawah kendali dan kordinasi para Khalifah
tersebut sangat penting untuk diketahui. Beberapa contoh dapat
disampaikan, antaranya; Pemilihan para khalifah berdasarkan
217

musyawarah melalui berbagai mekanisme pemilihan, baik dilakukan


secara langsung ataupun melalui badan pemilihan, Pembagian
wilayah dalam bentuk keamiran atau provinsi, Mendirikan Baitul
Mal, Mencetak mata uang yang sebelumnya menggunakan mata
uang Kerajaan Bizantium sebagaimana yang dilakukan Umar bin
Khattab, dan kebijakan-kebijakan lainya.Sumber rujukan keempat;
Fiqh. Fiqh sebagai tradisi pengkajian para Ulama Fiqh menjadi
sumber rujukan jikapengkajiannya dilakukansecara dinamis dari
waktu ke waktu dan selama mengacu pada al-Qur`an dan Sunnah
Nabi. Fiqh merupakan terminologi umumtentangkajian ke-Islaman
yang bersifat amaliah, baik dalam hal ibadah ataupun dalam hal
muamalat ( interaksi ) antara sesama individu ataupun antara sesama
masyarakat, yaitu aktivitas-aktivitas yang dapat dilihat, antaranya
shalat, berzakat, berhaji, beraktivitas dalam hal-hal yang
menyangkut politik, dan sebagainya.Oleh karenanya, pada masa lalu
dan di masa modern dan kontemporer sebagian Ulama fiqh
menggunakan istilah fiqh siyasah ( al-fiqh al-siyasiy ) dalam hal-hal
yang menyangkut bahasan politik, sama sepeti penggunaan
istilahfiqh al-zakat ( fiqh zakat ), al-fiqh al-iqtishadiy ( fiqh ekonomi
), dan sebagainya.

2. Fungsi Pemerintahan Dalam Islam

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa aktivitas politik


dalam Islam dilakukan dalam batasan-batasan al-Qur`an dan Sunnah
Nabi. Hal ini karena aktivitas politik terkait dengan tindakan
manusia dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang terkordinasi dalam
kepemimpinan danmemiliki kewenangan untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang mengikat. Tindakan dan kebijakan
manusia tersebut tidak terlepas dari penilaian, dan penilaian ini
dalam perspektif pemikiran politik Islamberdasarkan kriteria-
kriteria yang tetap di dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Atas dasar
ini, maka pemerintahan dalam Islam adalahinstrumen yang
dipergunakan untuk merealisasikan missi dan tujuan mulia, baik
untuk jangka pendek ataupun untuk jangka panjang. Jangka pendek
adalah di dunia ini, yaitu terciptanya kehidupan yang aman, damai,
218

dan sejahtera ( al-rifahiyah ), dan tujuan jangka panjangnya adalah


di akhirat nanti, yaitu memperoleh ampunan dan ridha dari Allah.

Berbeda dari para pemikir politik Islam, para ilmuan politik


empiris membatasi ruang lingkup penyelidikan mereka pada
tindakan dan kebijakan yang dapat diselidiki secara empiris, maka
kemudian politik didefinisikan (dalam salah satu pandangan
pemikir ) sebagai kajian terhadap siapa dan mendapatkan apa, kapan
dan bagaimana. Demikian juga asosiasi politik atau negara dipahami
sebagai instrument pelengkap bagitercapainya tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan, dan dapat dikalkulasi sesuai dengan konsepsi
orang-orang instrumentalis berdasarkanpemikiran yang rasional. 3
Konsepsi tentang politik dan asosiasi politik seperti ini dalam
perspektif pemikiran politik Islam jelas bertentangan dengan jalan
hidup Islam yang memiliki arah dan orientasi terciptanya kehidupan
yang berdasarkan aturan-aturan yang bersumberkan al-Qur`an dan
Sunnah Nabi. Hanya kehidupan yang dikonsepsikan berdasarkan
konsepini menurut keyakinan umat Islam dapat melahirkan
kehidupan sejahtera, baik di dunia ini ataupun di akhirat nanti atas
ridha Allah.

3. Politik dan OtoritasKekuasaan

Memang demikian, jika politik tanpa dasar moral ( akhlak )


akan menjadi permainan kotor melalui berbagai cara yang bisa
dilakukan, tidak penting halal atau haram itu urusan agama. Hal ini
bisa ditengarai, di mana individu-individu yang selalu mencari-cari
jabatan atau kekuasaanmelalui cara-cara yang tidak mengenal halal-
haram, persaingan yang tidak sehat antara satu dengan yang lainya
untuk memperoleh kedudukan atau memperbesar kekuasaan, atau
untuk mempertahankan jabatan yang dianggapnya sebagai hak
istimewa melalui penggabungan formasi, manipulasi atau
menyingkirkan rival.Itu semua dilakukan tanpa
mengkalkulasikandampak positif ataupun negatif, yang penting

3
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 44
219

tercapai tujuan. 4 Dalam kondisi seperti ini sebenarnya telah terjadi


penyimpangan atau penyalah gunaan wewenang, baik disadari
ataupun tidak, dan ini sebagai akibat dari pemahaman politik yang
tidak benar, bahwa politik itu untuk mendapatkan apa, kapan, dan
bagaimana. Jika yang terjadi seperti ini, maka sesungguhnya politik
akan terjebak padapermainan kotor, manipulatif dan berujung akan
menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan, yaitu kekuasaan.
Oleh karena itu, ketika kekuasaan hanya menjadi orientasi politik
dan hanpa dari tujuan-tujuan untuk terciptanya kebaikan bersama(
al-maslahah al-`ammah ), maka politik dan kekuasaan itu akan
menjadi brutal, otoriter, kejam, dan tidak manusiawi.

Islam menekankan pentingnya organisasi pemerinahan dan


otoritas kekuasaan untuk merealisasikan tujuan-tujuan mulia dalam
pandangan Allah dan Rasul-Nya, antaranya; terciptanya kehidupan
sejahtera di dunia dan di akhirat nanti sebagaimana disebutkan di
atas. Tanpa organisasi pemerintahan dan otoritas kekuasaan, pasti
akan terjadi kekacauan dan malapetaka. Oleh karena itu, al-Qur`an
mengecam tindakan-tindakan anarkis. 5Dan Nabi Muhammad saw.
menekankan pentingnya organisasi dan otoritas kekuasaan untuk
merelisasikan berbagai program dan kelancaran kordinasi.
Penekanan pada pentingnya organisasi dan otoritas kekuasaan ini
terus diperjuangkan serta dipertahankan oleh para pemimpin umat
Islam kemudian, baik yang bergelar Khalifah, Sulthan, Malik, Imam,
dan sebagainya. Dalam konteks ini, Umar bin Khattab ( Khalifah ke-
2 setelah Abu Bakar ) meyakini bahwa masyarakat tidak akan
terorganisir dengan rapi tanpa Imam ( pemimpin ) yang ditaati.
Dalam konteks ini Imam Ahmad bin Hambal setuju dan
berpendirian bahwa apabila Imam tidak ada, maka anarkis dan
kekacauan akan muncul. 6 Seorang pemikir politik muslim
terkemuka di abad klasik; al-Mawardiy melangkah lebih jauh dan

4
.Ibid. h.44, lihat juga Bernard Crick, In Defence of Politics ( London:
Pelican Books, 1964 ), h. 16
5
.Lihat al-Qur`an, 2: 205, yang artinya; dan ia berpaling ( dari kamu ), ia
berjalan di bumi untuk melakukan kerusakan dan merusak tanaman-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.
6
.Yusuf Ibn Abdul Barr al-Qurtubiy, Jami` al-Bayan al-`ilm wa Fadhlih
( Madinah: Maktabah al-`Ilmiyah, Tp. Th. ), h. 62
220

menegaskan bahwa keberadaan seorang Imam sebagai pemimpin


umat dan memiliki otoritas, sama pentingnya dengan usaha mencari
kebenaran dan memperoleh ilmu pengetahuan. 7

Argumentasi tentang pentingnya otoritas kekuasaan yang


terorganisir sebagaimana dijelaskan oleh Fakhruddin al-Razi ( 1149
– 1209 M. ) bahwa tanpa organisasi sosial politik, seseorang tidak
akan dapat mencapai nasibnya.8 Lebih lanjut Ibnu Taimiyah ( 1262
– 1328 M. ) menegaskan bahwa agama tidak mungkin ada tanpa
adanya otoritas kekuasaan. 9 Senada dengan pandangan para
pemikir di atas, Abul `Ala al-Maududiy menegaskan bahwa tujuan
tertinggi pemerintahan dalam Islam bukanlah sekedar
mempertahankan perdamaian dan meningkatkan standar hidup
rakyatnya, juga bukan pula sekedar mempertahankan
territorialperbatasannya dengan negara-negara tetangga, tetapi
tujuan tertingginya adalah memberdayakan dan
mengimplementasikan semua sumber daya kekuasaan yang
terorganisir itu untuk menyusun program yang telah ditetapkan oleh
Islam dalam rangka terealisasinya kemaslahatan umat ( al-maslahah
al-`amah ).10

4. Umat dan Politik

Konsepsi pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas


didasarkan pada fakta bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang
komprehensif. Islam tidak membagi dunia secara artifisial dan
sewenang-sewenang ke dalam sosial dan profan( hal keduniaan )
atau ke dalam keagamaan dan sekular. Dalam Islam, agama dan
pemerintahan adalah suatu organik yang melekat dalam kesatuan

7
.`Ali Ibn Muhammad al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sulthaniyahwa al-
Wilayah al-Diniyah( Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1960 ), h. 5
8
.E.I,J. Rosenthal, Political Thought in Medival Islam ( Cambridge:
Cambridge University Press, 1968 ), h. 14
9
.Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibnu Taimiyah ( London:
Islamic Book Foundation, 1983 ), h. 29
10
. Sayyid Abul `Ala al-Maududiy, The Islamic Law and Constitution (
Lahore: Islamic Publication, 1967 ), h.248
221

sosial dan politik yang tidak terpisah-pisahkan.11 Hakikat ini senada


dengan apa yang ditegaskan al-Faruqi;

Umat bagaikan suatu badan organik yang bagian-bagiannya


saling bergantung antara satu dengan yang lainya secara
keseluruhan.Agar bagian tersebut dapat bekerja untuk
dirinya, maka ia sendiri harus bekerja untuk bagian-bagian
lainya secara keseluruhan, dan agar keseluruhan dapat
bekerja untuk dirinya, maka iapun harus bekerja untuk
masing-masing bagian yang lain.12

Dalam salah satu hadits, Nabi Muhammad saw.


menggambarkan umat Islam sebagai suatu bangunan yang kokoh
dan bersatu, masing-masing bagian dari bangunan tersebut
menopang kepada bagian yang lainya. Di dalam hadits lain, Nabi
menyamakan umat dengan sebuah badan atau jasad, di mana
komponen badan yang lain akan merasakan gelisah dan demam
panas, ketika bagian komponen yang lainya terkena sakit.

Berdasarkan hakikat organik umat Islam tersebut, kerangka


yang tepat untuk menganalisis fenomena politik di dalam Islam
adalah menempatkan bagian-bagian dalam konteks yang lebih
luas.Individu misalnya, tidak dapat dipahami ketika dalam
hubunganya sendiri, karena tujuan dan identitas individu terbentuk
melalui partisipasi dalam hubungan keluarga. Keluarga pada
gilirannya harus ditempatkan dalam konteks hubunganya dengan
sosial politik yang lebih luas, dan seterusnya individu-individu bisa
saja memiliki rasa sebagai individu asal mereka dapat
menghubungkan tujuan-tujuan mereka dengan kelompok-kelompok
sosial yang lebih luas, seperti keluarga, masyarakat, pemerintahan
dan dapat memperkuat identitas individu mereka sepanjang
kelompok-kelompok yang lebih luas ini mempertahankan diri
mereka sebagai keseluruhan.

11
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h.46
12
.Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid: It`s Implication for Thought and Life (
Herndon: International Institut of Islamic Thought, 1982 ), h. 153
222

5. Fakta dan Nilai Poitik Islam

Hakikat dari metode Islam dalam konteks ini adalah bahwa


politikIslam tidak dapat didasarkan hanya pada fakta belaka, karena
fakta-fakta yang sudah menjadi fenomena di dalam kehidupan
masyarakat adalah tindakan atau perilaku manusia yang selalu
berubah dan berkembang dari waktu ke waktu dan terus hidup. 13
Dengan demikian, fakta-fakta ini bisa jadi memiliki makna hanya
jika ditempatkan pada keseluruhan yang signifikan yang secara
teoritis dapat memberikan konteks yang diinformasikan. 14 Maka
rekam jejak fakta-fakta ini tidak dapat memberikan pengertian
secara komprehensif bila tidak dikaitkan dengan fakta-fakta lain
dalam uraian deskriptif yang menyeluruh. Oleh karenanya, semua
fakta yang berkaitan dengan manusia adalah relatif, karena tindakan
manusia wujud sebagai manifestasi dari keinginan-keinginan yang
dibentuk oleh keyakinan-keyakinan dan tujuan-tujuan mereka.
Suatu fakta yang tidak dapat menggambarkan tentang dirinya, tidak
dapat memberikan arti sesuai dengan formula dan persamaan
matematik. 15

Analisis orang yang memberikan makna terhadap fakta


tersebutlah yang menentukan bagaimana analisis tersebut dapat
disesuaikan dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang
dimiliki, dan sejauhmana konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan
tersebut harus dimodifikasi agar sesuai dengannya.Oleh karena itu,
perlunya acuan interpretatif untuk menekankan secara esensial
terhadap pentingnya nilai-nilai. Mitos sains politik bebas nilai
ternyata telah dibuktikan salah oleh beberapa sarjana, seperti
Thomas Kuhn, Sayyid Nashr, Naquib al-Attas, dan oleh salah
seorang ketua Asosiasi Ilmu Politik Amerika terdahulu. Membuat
pretense ( kepura-puraan ) seperti itu merefleksikan angan-angan
diri. Oleh karena itu, ilmu politik yang bebas nilai adalah suatu
mitos, karena nilailah yang memberikan acuan yang membentuk

13
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 48
14
. Ibid.
15
. Ibid.
223

seleksi data-data untuk analisis dan interpretasi. Jika ilmu


pengetahuan ditentukan dan digunakan untuk tujuan-tujuan yang
positif, maka nilai-nilai yang ada itu harus ditakar berdasarkan
ajaran yang benar sebagai dasar acuan. 16

Oleh karena itu, menurut Abdul Rashid Moten ilmu politik


Barat bukanlah bebas nilai sebenarnya. Alih-alih mempertahankan
sikap netralitas nilai, kebanyakan ilmuan politik Barat menegaskan
keunggulan demokrasi liberal dengan perhatian utamanya pada
maksimalisasi keuntungan. Dengan demikian, pengetahuan yang
dihasilkan tidaklah netral, tetapi bercampur aduk dengan karakter
dan kepribadian peradaban Barat.17Atas dasar ini, jelaslah bahwa
semua perilaku politik dibimbing oleh nilai-nilai atau pertimbangan-
pertimbangan normatif dan semua praktisi ilmu politik mempunyai
perangkat sistem atau konsepsi mengenai tujuan-tujuan penting
manusia. Oleh karenanya, nilai-nilai atau pertimbangan-
pertimbangan normatif tidak dapat dilepaskan dari analisis.

B. Prinsip-prinsip Dasar Politik Islam

Berbicara tentang pemikiran politik Islam di abad klasik dan


pertengahan ( abad klasik merentang dari tahun 650 – 1250 M. dan
abad pertengahan 1250 – 1800 M. ), berarti bicara soal teori dan
konsep tentang politik Islam yang digagas oleh para Ulama dan
Pemikir Islam, antranya Ibnu Abi Rabi`, al-Farabiy, al-Mawardiy,
al-Ghazaliy, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan lain-lainnya.
Berdasarkan kajian mendalam terhadap pemikiran-pemikiran
mereka tentang politik kenegaraan, terdapat beberapa prinsip dasar (
al-mabda al-asasiy) bagi tegaknya sebuah negara atau pemerintahan
dalam Islam. 18Berikut ini disampaikan beberapa prinsip tersebut;

16
.Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 48
17
.Ibid. h. 49
18
.Lihat Abdul Wahid Muhammad al-Far, al-Tsaqafah al-Islamiyah:
Dirasah Ta`shiliyah Limadhmun al-Risalah al-Islamiyah Fiy al-Dhau`i al-Qur`an
wa al-Sunnah ( Jiddah: Dar al-`Ilmi, t.th. ), h. 84 -147
224

1.Amanah ( al-mabdaal-amanah )

Amanah ( amanat atau trust ) berasal dari bahasa Arab,


artinya adalah adanya kepercayaan yang diberikan atau dititipkan,
baik berupa materi ( fisik ) yang dapat dilihat atau non fisik kepada
seseorang disertai dengan rasa aman sepanjang materi tersebut
berada dengannya. Oleh karena amanah merupakan titipan yang
harus dijaga dengan baik, maka titipan tersebut harus diserahkan
kembali dengan utuh kepada orang yang menitipkannya, sehingga
setelah mengembalikan titipan tersebut, orang yang bersangkutan
disebut orang yang dipercaya ( al-amin ). Dengan demikian, amanah
adalah sikap sesorang yang dapat dipercaya karena ada kejujuran
dan tanggung jawab. Lawan kata amanah adalah khiyanat, yaitu;
sikap seseorang yang tidak dapat dipercaya karena tidak memiliki
sikap jujur dan tanggung jawab. Nabi Muhammad saw. dikenal
sebagai orang yang sangat amanah dikalangan masyarakatnya,
makanya diberi gelar; al-Amin.

Sikap amanah merupakan perintah ajaran Islam, di dalam


surat al-Nisa, ayat 58 ditegaskan yang artinya; sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu agar menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya.19 Dalam konteks ini Ibnu Taimiyah ( 1263 –
1329 M. ) ketika menjelaskan ayat 58 surat al-Nisa ini menyatakan
bahwa Allah memerintahkan kepada para pemimpin dalam berbagai
tingkatannya dari atas sampai bawah, agar menyampaikan (
merealisasikan ) amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat
kepada mereka, baik itu berupa hak, kewajiban, harta kekayaan,
bantuan, dan sebagainya. 20 Dalam merealisasikan amanah kepada
rakyat menurut Ibnu Taimiyah ada dua kategori; Pertama; Saat
pengangkatan para pejabat negara, dan Kedua; Saat melakukan
pengelolaan kekayaan negara untuk menjaga dan melindungi harta
kekayaan negara tersebut, bersama dengan hak milik rakyat.21 Oleh

19
. Al-Qur`an; 4: 58
20
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah Fiy al-Islah al-Ra`iy wa al-
Ra`iyah ( Beirut: Dar al-Kutub, 1386 H. ) h. 4
21
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1993 ). h. 83-84
225

karena itu, jabatan atau pangkat pada saatnya akan dikembalikan


kepada yang memberikan jabatan jika masa jabatannya sudah habis.

Amanah ( trust ) dalam realitas kehidupan bermasyarakat


dan bernegara harus menjadi dasar dalam berbagai aktivitas, dan
kebijakan, terutama ketika menyangkut hubungan antara sesama
anggota masyarakat dengan pemerintah, rakyat, pejabat, lembaga
tinggi negara, partai politik, dan organisasi kemasyarakatan. Hukum
dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh badan perundang-
undangan adalah merupakan amanah yang harus direalisasikan (
dilaksanakan ) oleh pemerintah dalam setiap tingkatannya, dari
tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling bawah. Oleh karena itu,
para pengemban amanah ( pemerintah ) 22 akan dimintai
pertanggung jawabannya nanti, baik di hadapan rakyat atau di
hadapan Allah di akhirat kelak. 23 Dengan demikian, amanah
sebagai prinsip dasar dalam kehidupan bukan saja dilaksanakan
dalam konteks kehidupan perpolitikan saja, tetapi juga dilaksanakan
dalam konteks kehidupan keseharian, sehingga amanah dapat
mewarnai tata pergaulan dalam bermasyarakat dan bernegara.

2.Musyawarah ( al-mabdaal-Syura )

Musyawarah ( al-syura atau consultation ) sinonim dengan


istilah sidang, urun rembug atau konsultasi tentang bagaimana
menyelesaikan masalah yang melibatkan orang banyak. Dalam
konteks ini, al-Qur`an menempatkan musyawarah (syura ) sebagai
dasar dalam mencari penyelesaian masalah yang menyangkut
kehidupan orang banyak, seperti urusan politik, ekonomi,

pendidikan, kemasyarakatan dan sebagainya. Oleh karena itu, al-


Qur`an mengarahkan Nabi Muhammad saw. untuk selalu melakukan

22
.Dalam ketata negaraan Negara Republik Indonesia, pemerintah diberi
mandat atau amanat oleh rakyat yang direpresentasikan oleh DRR / MPR untuk
melaksanakan ketentuan dan undang-undang yang telah ditetapkan.
23
.Saidy Abu Jayb, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy ( Beirut:
Muassisah al-Risalah, 1985 ), h. 105
226

musyawarah dengan para Sahabatnya dalam menyikapi berbagai


masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat.24 Di tempat
lain, al-Qur`an menyebut orang-orang beriman sebagai orang-orang
yang menyikapi urusan-urusan mereka dengan musyawarah antara
sesama mereka. 25 Dengan demikian, musyawarah merupakan
perintah ajaran agama yang harus direalisasikan dalam rangka
membangun kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan realitas kehidupan di masyarakat, musyawarah berarti
partisipasi masyarakat atau individu dalam menentukan dan
mengatur diri mereka berdasarkan kesepakatan -kesepakatan
bersama. 26 Dalam realitas kehidupan di masyarakat, musyawarah
dapat ditemui beberapa padanannya, antaranya; rapat, sidang, urun
rembug, pertemuan ( meeting ), konfrensi, dan sebagainya,
meskipun istilah-istilah ini secara khusus ada penekanannya masing-
masing, tetapi secara substansi bahwa semuanya adalah sama, yaitu
adanya pembicaraan-pembicaraan mengenai berbagai masalah yang
memerlukan keputusan bersama.

Pelaksanaan musyawarah harus didasarkan pada keyakinan


bahwa masalah-masalah penting yang menyangkut kehidupan orang
banyak harus diputuskan bersama secara kolektif dengan mekanisme
yang disepakati bersama. Bagi umat Islam di dalam melaksanakan
musyawarah pastinya terikat dengan ajaran agama yang
membimbingnya, agar hasil keputusan musyawarah mencerminkan
keputusan yang bijaksana dan berbobot ( berkualitas ), maka
musyawarah harus diwarnai dengan etika, moral, dan akhlak yang
mulia, serta harus berada pada kondisi yang bebas dari berbagai
tekanan, harus transparan, jujur ( amanah ), bertanggung jawab,
serta adanya kesamaan tujuan yang mengacu pada wujudnya
kebaikan bersama ( maslahah ammah ), dan tidak menonjolkan
egoisme golongan atau kepentingan-kepentingan kelompok, atau
kepentingan pribadi.

24
.Lihat al-Qur`an, 3: 159
25
. Lihat al-Qur`an, 42: 38
26
.Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Politic al Science An
Islamic Prespective ( Bandung: Pustaka, 2001 M./ 1422 H.), h. 109
227

3.Persamaan ( al-mabdaal-musawa )

Konsep persamaan ( al-musawa atau egalitarian )


merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam
merekonstruksi kehidupan masyarakat dan negara, di mana sistem-
sistem politik modern dan kontemporer mendasarkan

pada prinsip ini, meskipun dalam penerapannya berbeda. 27


Persamaan artinya bahwa setiap individu dalam masyarakat adalah
sama, sama di hadapan undang-undang, di dalam hak, kewajiban,
kemerdekaan dan tanggung jawab. Oleh karena itu tidak ada
perbedaan dalam hal ini semua hanya karena perbedaan suku,
keturunan, bahasa, warna kulit, keyakinan ( akidah ), pejabat tinggi
atau rendah, semuanya sama. 28 Dalam arti lain, bahwa persamaan
setiap individu dalam masyarakat adalah persamaan di hadapan
hukum dan undang-undang, bukan persamaan di dalam status atau
kedudukan. Persamaan di hadapan hukum dan undang-undang
dimaksudkan agar setiap individu dapat tunduk, patuh, menghargai
hukum dan undang-undang dalam rangka terrealisasinya kebebasan
dan memperoleh hak-hak asasi. 29 Di dalam salah satu hadits Nabi
Muhammad saw. disebutkan yang artinya;

bahwa umat-umat dahulu menjadi rusak karena, jika para


pembesar negara atau orang ternama mencuri, dibiarkan
begitu saja ( tidak dilaksanakan hukuman oleh para penegak
hukum, seolah-olah orang lain tidak tahu ), tetapi jika
orang-orang kecil atau orang bawahan mencuri, mereka (
para penegak hukum ) cepat-cepat melakukan proses hukum

27
.Di era modern untuk pertama kalinya Perancis telah melaksanakan
prinsip persamaan ( egaliter ) sebagaimana tertuang dalam konstitusi Perancis
yang dikeluarkan pada tahun 1789 M. Dengan dikeluarkannya undang-undang
yang mengatur persamaan hak, Perancis banyak kehilangan pembesar-pembesar
yang mempertahankan status quo setelah terjadinya revolusi Perancis.
28
.Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nidzam al-Siyasah Li al-Daulah
al-Islamiyah ( Kairo: Dar al-Syuruq, 1989 M. / 1310 H. ), h.226
29
.Ibid.
228

dan mengenakan hukuman berat kepadanya, lalu Nabi


bersumpah di hadapan masyarakat “ Demi Allah . . ! jika
Fatimah putri Muhammad mencuri akan aku potong
tangannya “.

Hadits Nabi di atas dapat dijadikan referensi dalam


menegakkan supremasi hukum. Dalam arti bahwa dalam rangka
menegakkan supremasi hukum, hukum harus dilaksanakan kepada
siapa saja yang melakukan tindak pidana, siapa pun dia, pembesar
negara, anak pembesar, orang kaya, rakyat kecil, proses hukum
harus dijalankan secara jujur dan konsekuen. Oleh karena itu,
persamaan di hadapan hukum dan undang-undang merupakan dasar
yang sangat berarti bagi terrealisasinya kondisi yang kondusif dan
nyaman. Kondisi ini seperti disebutkan di atas akan wujud jika
adanya penghormatan terhadap persamaan. Oleh karenanya, jika
dasar persamaan ini tidak wujud, maka kondisi nyaman dan
kondusif sulit untuk direalisasikan, karena hal ini akan berdampak
pada munculnya sikap egoistik dan sikap semena-mena dari
kalangan para pembesar yang melakukan tindak kejahatan,
sementara orang-

orang kecil yang melakukan tindak kejahatan akan menghadapi


proses pengadilan, kondisi ini akan berakibat terjadinya ketidak
adilan.

Prinsip persamaan di dalam Islam telah mengakar kokoh,


karena Islam memang mengajarkannya dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Hal ini sebagaimana ditegaskan di
dalam surat al-Hujurat, ayat 13, yang artinya;

Wahai manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu


dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan
kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya
229

orang yang mulia di antara kamu adalah orang yang paling


bertqwa.30

Penegasan ayat al-Qur`an ini, diperkuat oleh pernyataan


Nabi Muhammad saw. di dalam salah satu haditsnya, yang artinya
bahwa; semua manusia sama seperti deriji-deriji sikat rambut. Tidak
ada kelebihan bagi orang Arab dari orang ajam ( orang-orang non
Arab ) melainkan taqwanya. Atas dasar inilah, maka semua manusia
diperlakukan sama, laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya,
rakyat, pejabat, asal keturunan, suku, marga, warna kulit, dan
sebagainya, semuanya tidak menjadikan seseorang berbeda, yang
menjadikannya berbeda adalah komitmennya pada ajaran agama (
taqwa ), undang-undang atau peraturan yang diberlakukan. 31

Prinsip persamaan yang diajarkan Islam inilah yang


menjadikan seseorang memiliki sikap yakin diri ( confident ) dan
sikap tawadhu`, yaitu sikap yang tidak menunjuk-nunjuk prestasi,
tidak sombong, tidak egoistik, tidak feodalistik. Implikasi dari
semua ini seseorang dapat menerima dan mengapresiasi orang lain,
tidak memandang rendah atau memandang kecil orang lain. Jika
kondisi ini tercipta dalam kehidupan masyarakat, maka akan wujud
kehidupan yang nyaman karena diwarnai oleh sikap kebersamaan
dan gotong royong, transparan dan penuh kesadaran.

4.Keadilan ( al-mabdaal-`adalah )

Adil ( al-`dalah ) adalah menetapkan sesuatu secara


proporsional dan objektif, atau menempatkan sesuatu pada
tempatnya.32 Islam memerintahkan umatnya agar menjadikan
keadilan sebagai prinsip dasar dalam bersikap dan

30
.al-Qur`an, 49 : 38
31
.Ashqar Ali, Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan ( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999 ),h. 33
32
.A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Sciences ( Beirut:
Library Du Liban, 1982 M ),h. 232
230

memperlakukan orang lain, karena realitasnya keadilan berimplikasi


pada terciptanya keamanan dan ketentraman hidup. 33 Dalam
konteks ini Allah berfirman dalam surat al-Nisa, ayat 58, yang
artinya; jika kamu memutuskan suatu ketetapan hukum di antara
manusia, putuskanlah dengan adil.34 Berdasarkan pernyataan al-
Qur`an, ayat 58, surat al-Nisa ini dapat dipahami bahwa keadilan (
adil ) merupakan landasan pokok dalam pelaksanaan supremasi
hukum, sebagaimana juga amanah menjadi dasar dalam pergaulan
dan interaksi yang baik antara sesama anggota masyarakat dan
dalam aktivitas berpolitik. 35 Sikap adil dan amanah, keduanya
merupakan bagian dari akhlak ( moral Islam ) yang berimplikasi
pada keberhasilan melahirkan masyarakat yang transparan, dan al-
Qur`an menuntut setiap muslim agar memiliki standar moral (
akhlak ) yang tinggi sehingga bersedia untuk menjadi saksi walau
pun kepada dirinya sendiri. 36

Salah seorang Gubernur di era Khalifah Umar Ibnu Khattab


mengirim surat kepada Khalifah menyampaikan keluhan tentang
situasi politik di daerah wilayahnya yang selalu bergejolak, tidak
kondusif, dan carut marut. Dia meminta bantuan kepada Khalifah
untuk memulihkan situasi dan kondisi sosial politik yang tidak stabil
itu ke situasi yang kondusif. Khalifah Umar dalam surat
jawabannya menegaskan agar Gubernur yeng bersangkutan
memperbaiki kondisi yang buruk itu dengan menegakkan keadilan
yang sebenar-benarnya. 37 Penegasan Umar ini memang sangat
tepat, karena realitasnya ketimpangan-ketimpangan yang terjadi
yang berujung pada instablitas politik dan keamanan sering kali
diakibatkan oleh tidak adanya keadilan, tidak adanya kepastian
hukum dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam aspek
pemerataan ekonomi ( pendapatan ), dan sebagainya. Dalam kasus

33
.Lihat Saidiy Abu Jayb, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy, h. 765
34
.al-Qur`an, 4 : 58
35
.Sayyid Quttub, Dhilal al-Qur`an ( Beirut: Dar al-Syuruq, 1977 ), Jld.
2, h. 689
36
.Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 107
37
.Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah Ibnu Muslim Ibnu
Qutaibah, `Uyun al-Akhbar ( Mesir: Wuzarat al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-
Qaumiy, 1963 M./ 1383 ), Jld. 1, h. 13
231

ini, barangkali Gubernur tersebut tidak bersikap adil dalam menata


dan mengelola pemerintahannya. Jika dia bersikap adil dapat
dipastikan tidak terjadi kondisi buruk. Karena tatanan politik yang
adil termanifestasikan dalam diri para pejabat publik yang jujur dan
bertanggung jawab dalam membuat kebijakan-kebijakan yang
melahirkan kebaikan bersama.38

al-Mawardiy ( 975 – 1059 M.) salah seorang pemikir politik


Islam yang memahami betul perpolitikan saat itu menawarkan
alternatif dalam rangka terciptanya stabilitas politik, dia menyatakan
bahwa yang menjadikan negtara

stabil sehingga terciptanya masyarakat dan pemerintahan yang


tertata baik, di mana semua program dan agenda berjalan secara
sistemik, maka harus didasarkan sekurang-kurangnya pada lima
landasan pokok,39 yaitu;

1. Agama yang dihayati dan diamalkan,


2. Penguasa yang kharismatik ( berwibawa ),
3. Wujudnya keadilan yang merata dalam berbagai aspek
kehidupan,
4. Stabilitas dan keamanan di seluruh wilayah,
5. Wawasan penguasa yang luas.
al-Mawardi ketika menguraikan landasan pokok ketiga, yaitu
keadilan, menjelaskan bahwa dengan keadilan yang merata akan
lahir beberapa aspek positif, antaranya;

1. Lahirnya kehidupan harmoni di kalangan sesama warga


masyarakat,
2. Ketaatan dan loyalitas penuh dari rakyat kepada
pemerintah/undang-undang,
3. Negara menjadi makmur dan dinamis,
4. Kelahiran generasi atau penduduk tertata dengan baik,

38
.Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, h. 107
39
.al-Mawardiy, Adab al-Dunya wa al-Din ( Mesir: al-Mathba`ah al-
Adabiyah, 1317 H.), h. 68
232

5. Pertumbuhan ekonomi berkembang dengan baik,


6. Penguasa merasa aman, karena tidak ada gangguan dari
lawan politiknya yang bertujuan menjegal kekuasaannya atau
melakukan konspirasi untuk menjatuhkannya dari kursi
kekuasaan. 40

Berdasarkan pandangan al-Mawardiy di atas, dapat


disimpulkan bahwa jika keadilan wujud secara merata dalam
kehidupan masyarakat dan negara, maka itu adalah sebuah indikasi
berdirinya pondasi yang kokoh bagi negara tersebut. Karena semua
pengelolaan dan kebijakan politik dihormati oleh semua pihak.

5.Kemajmukan

Majemuk atau pluralisme adalah paham yang


mempertahankan keaneka -ragaman perbedaan dalam masyarakat (
plural society ), baik dari dimensi agama, etnik, budaya,
kecendrungan, bahasa, dan sebagainya. 41 Di dalam sejarah
peradaban Islam awal fenomena pluralitas ini sudah wujud
semenjak permulaan Islam berkembang, yaitu ketika Nabi
Muhammad saw. bersama dengan para Sahabat-sahabatnya
membangun masyarakat Madinah ( Yatsrib ).

Masyarakat Madinah pada saat itu ternyata masyarakat majemuk


atau plural dari segi sosial budaya, etnik, agama, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ditinjau dari segi sosial budaya dan agama,
masyarakat Madinah terdiri dari beberapa elemen atau komunitas,
setidaknya ada tiga atau empat elemen masyarakat; yaitu; Orang-
orang muslim terdiri dari komunitas Muhajirin dan Anshar, Orang-
orang yang beragama Yahudi terdiri dari beberapa Qabilah; Qabilah
Bani Nadhir, Qiniqa`, Quraidhah, dan sebagainya, Orang-orang
penyembah patung berhala ( al-Watsaniyun atau Paganis ), dan di
luar kota Madinah ada orang-orang yang beragama Nasrani (

40
.Ibid. h. 82
41
.A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Sciences, h. 317
233

Kristiani ).42 Keaneka-ragaman sosial budaya, agama, etnik, dan


sebagainya berhasil dipersatukan oleh Nabi Muhammad saw.
menjadi satu masyarakat ( ummatun wahidatun min dunin nas ),
yaitu masyarakat Madinah. Persatuan ini diikat oleh satu ikatan
watsiqah ( agreement ) atas dasar kesepakatan bersama. Watsiqah
atau agreement ini kemudian dikenal dengan sebutan Piagam
Madinah atau Konstitusi Madinah ( Constitution of Medina ).43

Pluralitas merupakan realitas kehidupan dan fenomena alami


( natural ) bagi kehidupan manusia di bumi ini, dan ini perlu dijaga
untuk tujuan terciptanya keharmonian hidup, keamanan, saling
mengenal dengan baik, sehingga terhindar dari konflik. Dalam al-
Qur`an surat al-Hujurat ayat 13 Allah berfirman yang artinya;

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengena. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal.44

Ayat di atas, baik secara tekstual atau pun kontekstual


memberikan pengertian tentang adanya penolakan terhadap semua
paham superioritas, rasial kesukuan, kebangsaan, dan bahkan
keluarga yang wujud dalam realitas sosial kehidupan manusia di
bumi ini, tetapi yang diutamakan adalah sikap kesalehan dan
ketaqwaan. Kesalehan tidak hanya dimengerti dalam konteks
ritualitas ( ibadah ) saja, melainkan juga harus dipahami dalam
konteks dimensi sosial,

42
.Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1990 ), h. 16
43
.Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar Negara
Islam yang pertama dan yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah.
Piagam Madinah dirumuskan untuk mengatur lalu lintas kehidupan dan hubungan
antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat
yang majemuk di Madinah. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h 16
44
.al-Qur`an, 49 : 13
234

karena inti dari keseluruhan ajaran Islam sebenarnya adanya


keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah, dengan
sesama manusia, serta dengan alam sekitar. Oleh karena itu, dari
sikap yang saleh dan pribadi yang taqwa ini akan muncul
penghargaan dan apresiasi kepada orang lain yang berbeda agama,
status sosial, budaya, etnik, dan sebagainya. Namun demikian, perlu
diperhatikan bahwa pluralisme hanya akan menjadi kenyataan dalam
kehidupan masyarakat dan berbangsa kalau lahir dalam kondisi
sosial politik yang menerinanya dengan sepenuh hati sebagai
fenomena alami, adanya saling pengertian di antara sesama anggota
masyarakat, saling memebutuhkan antara satu dengan yang lain
melalui kerja sama untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu
kemerdekaan, kesejahteraan, stabilitas politik, dan sebagainya, jika
terjadi perbedaan, baik dalam pandangan, pemikiran atau pun sikap
tidak diekspresikan dengan kekerasan, tetapi dicarikan sosulinya
melalui musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bersama dan
untuk kemaslahatan bersama.

BAB II
GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN
DAN POLITIK ERA MEKAH

1.Kekuasaan Mekah Pra Islam

Sebelum membahas lebih lanjut tentang komunitas politik


Islam Pra-Madinah, yaitu terkait permasalahan, aktivitas dan
gerakan Nabi bersama umat Islam Mekah.Pembicaraan lebih dahulu
235

akan difokuskan pada kondisi masyarakat Mekah sebelum


Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Hal ini
penting untuk diketahui bagaimana gambaran situasi dan kondisi
sosial pra Islam, terutama dalam aspek-aspek yang terkait
pengaturan kehidupan masyarakat.

Kondisi masyarakat Mekah pra Islam atau biasa disebut


dengan sebutan masyarakat Jahiliyahdalam beberapa aspek sangat
kacau, meskipun dalam beberapa hal kehidupan yang lain
mengalami kemajuan, misalnya dalam kesusastraan, perangkat-
perangkat aturan dalam mengatur kehidupan masyarakat karena
pada dasarnya mereka sudah dapat mengatur kehidupan
masyarakatnya dan secara dinamis mereka mampu menjadikan
Mekah sebagai salah satu pusat kota transit perdagangan yang
potensial, di mana para pedagang dari Yaman singgah di kota
Mekah sebelum mereka melanjutkan perjalanannya ke Syam ( Syria
saat ini ). Dalam aspek sosial, masyarakat Jahiliyah Mekah
mempertahankan sistem kekerabatan (kelan, qabilah atau etnic ), di
mana kehormatan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan, dan
keturunan yang tinggi adalah yang memiliki kedudukan tinggi di
mata masyarakat. Jadi, ketinggian martabat atau derajat seseorang
bukan didasarkan pada pencapaian prestasi, melainkan ditentukan
oleh garis keturunan atau marga, qabilah. Implikasi dari sistem ini
memunculkan kelas-kelas dalam masyarakat, ada kelas atas, kelas
menengah dan kelas bawah, tidak jauh beda dengan pembagian
kasta-kasta dalam masyarakat penganut agama Hindu; yaitu ada
Kasta Brahmana, Kasta Kesatria, Kasta Wesya, dan Kasta Sudra.45

45
. Berdasarkan peraturan di dalam kitab suci mereka, orang-orang
Hindu mempercayai bahwa Kasta Brahmana adalah Kasta yang paling tinggi
dibanding dengan kasta-kasta lainya. Menurut kepercayaan mereka bahwa Kasta
Brahmana diciptakan dari mulut Tuhan, mereka itu adalah para Guru, para
Pendeta (Acaria), dan para Hakim, mereka menjadi rujukan dalam banyak hal,
terutama mengenai acara pernikahan dan acara kematian, tidak diperkenankan
memutuskan undang-undang atau peraturan kecuali setelah mendapatkan
persetujuan Kasta ini. Kasta Kesatria adalah mereka yang diciptakan Tuhan dari
kedua lenganya, mereka adalah orang-orang yang mengangkat senjata untuk
mempertahankan keselamatan diri, warga, dan negara.Kasta Wesya adalah orang-
orang yang diciptakan Tuhan dari pahanya, mereka itu adalah sekelompok orang-
orang profesi sebagai petani, pedagang, dan orang-orang yang bertugas
236

Akibat dari praktik kehidupan seperti ini menyebabkan


sering terjadi konflik atau perselisihan, bahkan peperangan di antara
mereka, karena bisa dipastikan sering terjadi perlakuan yang tidak
adil, kekerasan dan sebagainya. Konflik yang sering terjadi
antaranya perang Fijar, perang yang terjadi antara suku Jurhum dan
Qorthura, perang suku Quraisy dengan suku Khuza`ah. Maka dapat
ditegaskan bahwa segala bentuk kezaliman dan kemungkaran
merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari di
zaman Jahiliyah. 46 Salah satu penyebab dari konflik-konflik ini
adalah terkait masalah distribusi jabatan-jabatan yang telah
ditentukan kepada pemimpin-pemimpin qabilah( clan) dianggap
kurang memadai karena berdasarkan tingkat tinggi rendahnya suku
atau qabilah. Jabatan itu antaranya;
a. Hijabah:Jabatan yang diberi wewenang untuk menjaga
kunci Ka`bah.
b. Siqayah: Jabatan yang diberi tanggung jawab untuk
mengawasi mata air Zamzam yang dipergunakan untuk
memberi minum kepada para peziarah yang datang ke
Mekah.
c. Diyat:Jabatan kehakiman yang memiliki wewenang
menangani tindak kriminal.
d. Safarah:Jabatan kuasa usaha atau duta.
e. Liwa: Jabatan pemimpin perang yang selalu memebawa
bendera pada saat terjadi pertempuran.
f. Rifadah: Jabatan yang berwenang untuk menglola pajak.
g. Nadwah: Jabatan ketua dewan yang selalu memimpin
dalam musyawarah.

mengumpulkan harta kekayaan untuk pembangunan lembaga pendidikan


keagamaan.Dan Kasta Sudra adalah orang-orang yang diciptakan Tuhan dari
kedua kakinya, mereka adalah orang-orang yang bekerja sebagai pelayan kepada
ketiga kasta di atas, serta bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang hina dan kotor.
Lihat al-Nadwah al`Alamiyah Li al-Syabbab al-Islamiy ( WAMY), al-Mausu`ah
al-Muyassarah Fiy al-Adyan wa al-Mazahib al-Mu`ashirah ( Riyadh: a-Nadwah
al-`Alamiyah Li al-Syabbab al-Islamiy, 1409H./1989 M.), h. 534
46
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah ( Kairo: Dar al-Fikr, T. th. ), Juz
I, h. 145 - 149
237

h. Khaimah: Jabatan yang diberi wewenang untuk


mempersiapkan balai sidang musyawarah.
i. Khazinah: Jabatan bendahara atau keuangan .
j. Azlan: yaitu jabatan penjaga panah peramal untuk
mengetahui kehendak dewa-dewa.

Jabatan-jabatan ini semua didistribusikan kepada masing-


masing kepala suku ( qabilah ), masing-masing kepala suku
menduduki posisi kepemimpinan di dalam masyarakat Jahiliyah
Mekah, dan kepemimpinan yang ada pada saat itu adalah model
kepemimpinan bersifat presidium atau kepemimpinan kolektif.
Kepala suku Quraisy mendapatkan beberapa jabatan penting dan
terhormat, yaitu jabatan penjaga kunci Ka`bah atau Hijabah, Liwa,
Siqayah dan Rifadah. Pendistribusian jabatan-jabatan ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya kecemburuan sosial dari suku-suku yang
ada, sehingga keamanan dapat tercipta di tengah-tengah masyarakat
Mekah. Selain dari itu adalah terciptanya kedamaian, sehingga tidak
terjadi kezaliman di antara sesama penduduk Mekah, 47 meskipun di
antara sebagian kepala suku mendapatkan jabatan yang
dianggapnya tidak sesuai dengannya dan inilah yang menyebabkan
munculnya ketegangan antara sesama kepala suku.
Kebudayaan masyarakat Jahiliyah Mekah sebagian besanya
juga kacau, praktik perzinahan, praktik riba, minum-minuman keras
dan berbagai perbuatan mungkar lainnya merupakan hal yang sudah
menjadi tradisi. Martabat perempuan di mata orang-orang Jahiliyah
Mekah saat itu sangat rendah dibandingkan kaum laki-laki, karena
berdasarkan sistem kehidupan strata sosial saat itu anak laki-laki
menjadi tumpuan harapan orang tua kelak untuk menjadi pahlawan
dalam peperangan, oleh karenanya anak laki-laki menjadi
kebanggaan dari pada anak perempuan. Sebaliknya anak perempuan
dianggap aib atau memalukan, oleh karenanya tidak sedikit orang-
orang zaman Jahiliyah Mekah mengubur anak-anak perempuan

47
. Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah. Juz I, h. 145 – 149. Lihat
juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001 ), h. 13 – 14.
238

mereka hidup-hidup, seperti yang pernah dilakukan Umar bin


Khattab di masa Jahiliyah.48

Dalam aspek sosial keagamaan, masyarakat Jahiliyah Mekah


telah menyimpang jauh dari ajaran agama tauhid yang dibawa Nabi
Ibrahim. Agama yang dulu mengajarkan menyembah hanya kepada
Allah Yang Maha Esa, berubah menjadi agama yang dipenuhi
dengan kemusyrikan, yaitu penyembahan kepada patung berhala,
bukan kepada Tuhan Yang Esa49. Mereka percaya kepada hal-hal
yang bersifat tahayyul, ramalan-ramalan dan undian nasib melalui
anak panah. 50

Nabi Muhammad saw. di Mekah selama kurang lebih 13


tahun lamanya setelah kenabian, tidak menerima perintah ( melalui
wahyu ) tentang berbagai hal, baik yang terkait dengan kehidupan
sosial keagamaan ataupun sosial kemasyarakatan secara
menyeluruh, melainkan baru sebatas hal-hal yang terkait dengan
keimanan atau akidah. Jadi, ketika Nabi Muhammad saw. masih di
Mekah belum ada perintah perang terhadap orang-orang Kafir yang
mengganggu dan merintangi perjuangannya, kecuali di hari-hari
akhir menjelang hijrah ke Madinah, perintah perang baru kemudian
ditentukan. 51 Dalam menyikapi sikap orang-orang kafir Quraisy
yang tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad
saw. Ahmad Salabiy berpendapat setidaknya ada lima faktor yang
menyebabkan kenapa orang-orang Kafir Quraisy tidak menerima
atau menentang perjuangan Nabi Muhammad saw. yaitu;
1.Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
Mereka menduga bahwa loyalitas ( tunduk dan patuh )
kepada seruan dan ajakan Nabi Muhammad berarti loyal
kepada kepemimpinan keturunan Abdul Mutthalib

48
. A. Salabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam, ( terj. )( Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1990 ), cet. VI, h. 67 – 73.
49
. Ibid. h. 69
50
. Ibid. h. 63 – 66. Lihat juga, Ahmad Fadhali et al, Sejarah Peradaban
Islam ( Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004 ), h. 5
51
. Lihat, Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-
Daulah al-Islamiyah ( Beirut: Dar al-Syuruq, 1989 ), h.42
239

(Kakek Nabi Muhammad ) dan ini sangat tidak disukai


oleh pemimpin-pemimpin Quraisy yang lain.
2.Nabi Muhammad saw. mendeklarasikan persamaan hak antara
bangsawan dan hamba sahaya atau budak. Hal ini sangat
ditentang keras oleh bangsawan Quraisy, karena sistem
perbudakan sudah menjadi tradisi berabad-abad lamanya.
3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran atau
doktrin tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di
akhirat, sementara Nabi Muhammad saw. mengajarkan
doktrin ini.
4.Taklid kepada nenek moyang, terutama dalam hal
kepercayaan dan ritual pemujaan adalah sudah menjadi
tradisi yang mengakar pada bangsa Arab, maka setiap
upaya untuk menghapus tradisi ini akan ditentang habis-
habisan oleh orang-orang kafir Quraisy.
5. Kemunculan salah paham dari kalangan para pemahat dan
penjual patung yang melihat bahwa Islam sebagai
penghalang rezeki mereka.52

Dari aspek lain secara politis sebenarnya orang-orang kafir


Quraisy merasa khawatir tentang kemunculan sebuah gerakan yang
dipimpin Nabi Muhammad saw. Gerakan ini dimungkinkan dapat
menggeser dominasi kepempimpinan orang-orang kafir Quraisy
yang sudah sekian lama terlembaga dalam kehidupan masyarakat
Arab Jahiliyah Mekah. Oleh karena itu para pepimpin Quraisy
melakukan berbagai upaya, termasuk melakukan negosiasi kepada
Nabi Muhammad dengan memberikan tiga tawaran; yaitu, 1).
Kedudukan atau jabatan pimpinan, 2). Harta, dan 3). Wanita.
Mereka akan memberikan tawaran tersebut kepada Nabi Muhammad
saw. asalkan Nabi Muhammad menghentikan aktivitas
pergerakannya. Sangat tragis ketiga-tiga tawaran itu ditolak Nabi,
dan bahkan Nabi bersumpah; Demi Allah, jika mereka meminta aku
untuk meletakkan mata hari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku, aku tidak akan berhenti untuk melakukannya sehingga agama
ini ( Islam ) memperoleh kemenangan dan dianut oleh

52
. A. Salabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam. h. 87 - 90
240

masyarakat.53Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bukan


tipe orang yang ambisius terhadap kekuasaan atau jabatan, harta dan
wanita. Tujuan aktivitas pergerakannya satu, yaitu memberikan
pencerahan melalui ajaran-ajaran yang disampaikannya kepada
masyarakat untuk membebaskan mereka dari belenggu perbudakan,
baik perbudakan dari manusia kepada manusia, perbudakan
kepercayaan tahayul atau pun perbudakan hawa nafsu dan
sebagainya, yang kesemuanya itu menyebabkan terjadinya
kemiskinan moral, kemiskinan akal budi pekerti, kemiskinan
kreativitas, kemiskinan harta kekayaan dan sebagainya.

2. Mengangkat Martabat Orang-Orang Tertindas

Orang-orang Islam pada periode Mekah bisa dikatakan


sebagai individu-individu yang menerima agama baru, yaitu agama
Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Pada dasarnya mereka
belum terpisah dari masyarakat Mekah secara keseluruhan. Hal ini
karena mereka belum memiliki tempat atau wilayah yang
memungkinkan dapat mengendalikan kepemimpinan dan mengatur
masyarakat secara independen untuk tujuan terealisasinya ajaran-
ajaran Islam, karenanya orang-orang Islam pada periode ini belum
mampu melakukan strukturisasi masyarakat politik atau masyarakat
madani. 54 Nabi Muhammad pada periode ini sebatas seorang
pendakwah atau da`i agama Islam yang disampaikannya secara
diam-diam ( sirriyah ) pada tahap awal. Meskipun dalam kondisi
tertekan Nabi Muyhammad saw. terus menerus berupaya
menghimpun orang-orang yang sudah memeluk Islam dalam satu
komunitas yang masih ekslusif. 55

Aktivitas Nabi Muhammad saw. ini berdampak munculnya


situasi yang sangat sulit dan mencemaskan. Tetapi Nabi
Muhammad saw. tetap tegar menggahadapi berbagai tantangan dan
rintangan dari orang-orang kafir Quraisy dalam berbagai bentuknya,
53
. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 21 - 22
54
. Lihat, Muhammad Salim al-Awwa, al-Nizam al-Siyasi Li al-Daulah
al-Islamiyah, h. 43
55
. Ibid. h. 43
241

penghinaan, penyiksaan, fitnah, pemboikotan dan sebagainya. 56


Nabi Muhammad saw. tidak patah arang terus maju dengan
perjuangannya untuk membebaskan orang-orang kecil masyarakat
Mekah dan orang-orang hamba sahaya yang tertindas, Nabi
Muhammad terus menyampaikan ajarannya agar mereka menjadi
orang-orang mukmin dan bertaqwa dan agar terciptanya kehidupan
yang lebih baik di kemudian hari. Orang-orang kafir Quraisy
semakin beringas ketika mereka melihat bahwa Nabi Muhammad
terus melakukan manuver-manuver dan pergerakannya yang dalam
anggapan mereka orang-orang kafir Quraisy; suatu gerakan
menghimpun kekuatan. Hal inilah yang kemudian dinilai oleh para
pemuka kafir Quraisy sebagai tindakan propokasi atau menghasut
masyarakat yang menghawatirkan munculnya rongrongan terhadap
kekuasaan mereka.

Oleh karena itu pada hariyang ditentukan mereka sepakat


untuk memberikan tiga tawaran sebagaimana disebutkan di atas
kepada Nabi Muhammad saw. tetapi dengan konsekuensi agar Nabi
menghentikan semua gerakanya atau aktivitas dakwahnya. Tiga
tawaran itu ialah, Pertama; Jika Nabi Muhammad saw.
menginginkan jabatan sebagai penguasa Mekkah, mereka akan
memberikannya dengan senang hati, Kedua; Jika Nabi
menginginkan harta kekayaan yang banyak, mereka akan
mengumpulkannya untuk kemudian diberikan kepadanya. Dan yang
ketiga; Jika Nabi Muhammad saw. menginginkan perempuan yang
paling cantik di sekitar Mekah, mereka akan memberikannya.
Tetapi apa yang terjadi, Nabi Muhammad saw. menolak semua
tawaran itu dan memilih untuk tetap berdakwah dan
memperjuangkan nasib masyarakatnya yang tertindas. Hal ini
menyebabkan kondisi komunitas muslim semakin menderita,
ancaman dan intimidasi dari orang-orang kafir Quraisy semakin
mengganas, penyiksaan orang-orang kafir Quraisy kepada
penduduk Mekah yang masuk agama Islam ( fa ja`ala yahbisuhum,
wayu`azdibunahum, wa al-ju`i, wa al-`athosyi),57 terus dilakukan.

56
. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah ( T.tpt: Darul Fikr al-
`Arabiy, 1301 H./ 1933 M. ), Juz 3, h. 49 -60
57
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 3 dan 4, h. 57
242

Kondisi ini secara politis tidak menguntungkan perjuangan


dan dakwah Nabi, maka dalam rangka melindungi dan
menyalamatkan akidah segelintir orang-orang yang sudah memeluk
Islam, Nabi Muhammad saw. melakukan beberapa langkah strategis,
antaranya;
1. Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada beberapa
orang Islam Mekah untuk berhijrah atau mengungsi
sementara ke negeri Habsyah/Abesina (sekarang Ethopia
). Sebelumnya Nabi Muhammad saw. sudah
menginformasikan bahwa di sana ( negeri Habsah ) ada
seorang penguasa yang saleh meskipun dia beragama
Kristian, 58 yaitu Raja Najjasyi yang dapat dimintai

58
. Penghijrahan ke negeri Habsah ( Ethopia ) dilakukan dua gelombang.
Gelombang pertama oleh sekitar 11 orang laki-laki dan 4 orang perempuan.
Gelombang kedua oleh sekitar 83 orang. Pada penghijrahan gelombang pertama
ternyata dikuti oleh 2 orang utusan para pemimpin kafir Quraisy, yaitu Amr bin al-
`Ash dan Ammar bin al-Walid tetapi dengan tujuan untuk memprokasi Raja, agar
Raja menolak memberikan suaka politik kepada rombongan asal Mekah tersebut.
Ketibanaan para pengungsi dari Mekah pada bulan Rajab tahun 5 setelah Nabi
menerima pangkat kenabian.Setelah mereka sampai di negeri Habsah, 2 orang
utusan para pemimpin kafir Quraisy tersebut langsung menemui Raja Najjasyi.
Amr bin `Ash berkata kepada Raja. Wahai Tuan Mulia Raja, sekelompok orang-
orang buronan asal Mekah yang tidak menyukai kami dan agama kami telah tiba
di negara anda. Raja Najjasi berkata, di mana mereka.? Panggil mereka ke sini.!
Kemudian mereka dipanggil menghadap sang Raja. Ja`far bin Abdul Muttalib (
paman Nabi ) sebagai juru bicara dari rombongan asal Mekah dan saat memasuki
ruangan Raja, Ja`far mengucapkan salam kepada Raja tetapi tidak melakukan
sujud di hadapannya sebagaimana tradisinya. Hadirin yang ada di samping Raja
berkata, kenapa kamu (Ja`far) tidak bersujud di hadapan Raja ?, Ja`far menjawab.
Kami tidak diperintahkan bersujud kepada siapa saja, selain kepada Allah, dan
kami diperintahkan untuk mengerjakan shalat lima waktu dan mengeluarkan
zakat. Kemudian Amr bin `Ash berkata; Wahai Raja yang mulia, pandangan
mereka berbeda dengan anda tentang Isa dan Ibunya (Maryam). Raja Najjasi
kemudian bertanya. Apa yang akan kamu (Ja`far) katakan tentang Isa dan
Ibunya. Ja`far menjawab, Kami berkata tentang Isa dan Ibunya sebagaimana yang
difirmankan Allah, bahwa dia (Isa) adalah kalimat Allah dan Ruh-Nya yang
diletakan pada seorang perempuan yang betul-betul perawan (al-`azdra al-batul)
yang tidak pernah disentuh oleh siapa pun. Kemudian Raja Najjasyi mengambil
kayu kecil dan mengangkatnya dari tanah.Raja berkata. Wahai rakyat Habsah
(Ethopia), para padri, para pendeta, bahwa apa yang disampaikan Ja`far bin Abdul
Muttalib adalah benar..! kemudian Raja mengucapkan selamat datang kepada
243

pertolongan untuk memberikan suaka politik. Hal ini


mengindikasikan ketajaman kebijakan Nabi yang
dibuktikan dengan keberhasilan melakukan negosiasi
melalui orang-orang muslim yang datang ke negeri
Habsah.59
2. Mengadakan kerja sama dengan suku-suku atau qabilah-
qabilah yang ada di luiar kota Mekah.
3. Mengadakan bai`at( janji setia kepada Nabi ) dari orang-
orang Qabilah Aus dan Khazraj.
4. Melindungi orang-orang tertindas,
5. Mengupayakan wujudnya kesejahteraan dan sebagainya. 60

Dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad saw. bersama


uamt Islam (sahabat-sahabatnya) sebelum hijrah ke Yatsrib atau
Madinah, ada peristiwa penting yang menjadi dasar starting poin
dalam merealisasikan agenda-agenda besar dan ini merupakan salah
satu langkah strategis. Peristiwa penting itu adalah peristiwa
pertemuan antara Nabi Muhammad saw. dengan beberapa orang
yang datang dari Yasrib, yaitu orang-orang etnik Aus dan Khazraj
yang sudah memeluk Islam melalui beberapa da`i yang dikirim Nabi
ke Yasrib sebelumnya. Pertemuan mereka terjadi di Aqabah, Mina.
Pembahasan lanjutan tentang hal ini dalam sub topik berikut ini.

3.Legitimasi Kepemimpinan Nabi Muhammad saw.

rombongan dengan ucapan; Marhaban bikum wa biman ji`tum. Aku bersaksi


bahwa Dia ( Nabi Muhammad ) adalah Rasul Allah. Dialah yang aku temukan
keteranganya di dalam Kitab Injil. Dialah seorang Rasul yang telah diberitakan
oleh Nabi Isa bin Maryam. Wahai rakyat Habsah mendekatlah kalian kepadanya.
Demi Tuhan kalau aku tidak sedang menjabat raja, aku akan datang kepadanya
sehingga aku yang menjadi tukang membawa kedua sendalnya (na`laihi). Pada
akhirnya kedua utusan para peimpin kafir Quraisy tidak dipedulikan oleh Raja
Najjasiy, dan ini berarti missi mereka berdua gagal mempropokasi Raja Najjasi
untuk mengusir rombongan yang dipimpin Ja`far bin Abdul Muttalib. Untuk
informasi lebih lanjut silahkan pembaca baca Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-
Nihayah, Juz 3 dan 4, h. 69
59
. Ahmad Fadhali et all, Sejarah Peradaban Islam, h. 6
60
. Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-SiyasiyLi al-Daulah al-
Islamiyah, h. 46
244

Nabi Muhammad saw. bukanlah tipe seorang Nabi yang


hanya bertugas mengajak atau berdakwah kepada umatnya untuk
beriman dan beribadah kepada Allah. Tetapi kapasitas Nabi
Muhammad saw. dalam perspektif sosiologis ataupun politis adalah
seorang pemimpin umat atau masyarakat yang ucapannya didengar,
perintahnya diturut dan dilaksanakan, larangannya dipatuhi, dan
perilakunya dicontohi. Intinya semua aspek kehidupannya menjadi
referensi atau rujukan ( kecuali hal-hal yang bersifat khusus bagi
Nabi ) bagi semua umat muslim dari dahulu sampai sekarang,
bahkan sampai akhir zaman.

Legitimasi kepemimpinan yang diterima Nabi Muhammad


saw. bukanlah hasil pemilihan yang dilakukan secara terbuka
ataupun tertutup, seperti layaknya pemilihan seorang prersiden atau
perdana menteri di era modern. Legitimasi kepemimpinan Nabi
Muhammad saw. yang diterimanya adalah secara alami dan
berproses, artinya bahwa Nabi Muhammad saw. tumbuh dan
muncul sebagai seorang pemimpin umat secara alami, tidak melalui
intrik-intrik pencitraan berbagai cara dan pendekatan yang berujung
pada rekayasa. Penerimaan legitimasi kepemimpinan Nabi
Muhammad saw. secara resmi sebenarnya pada ketika terjadi
pertemuan beberapa kali, setidaknya tiga kali pertemuan antara
Nabi Muhammad dengan beberapa orang dari etnik Aus dan Khajraz
di Aqabah, Mina, Mekah, sebagai berikut;
Pertemuan Aqabah I

Pada tahun ke sebelas 61 dari ke-Nabian, telah terjadi


peristiwa penting yang menurut Munawir Sjadzali, 62 sebagai
peristiwa yang tampaknya sederhana tetapi menjadi pondasi lahirnya
era baru bagi umat Islam dan juga dunia, yaitu peristiwa pertemuan
Nabi Muhammad dengan enam orang dari suku Khazraj di Aqabah,

61
. Sebagian penulis menyebutkan tahun ke sepuluh dari kenabian. Lihat,
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24
62
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1993 ), h. 8
245

Mina, mereka datang ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. 63


Dalam pertemuan ini, Nabi Muhammad memberikan pencerahan
dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam, serta beribadah
hanya kepada Allah saja, kemudian Nabi membacakan ayat-ayat al-
Qur`an kepada mereka.

Dalam konteks ini, Ibnu Katsir di dalam karyanya; al-


Bidayah wa al-Nihayah, menjelaskan bahwa ketika Nabi
Muhammad menemui orang-orang Khazraj dan kemudian bertanya;
Apakah di antara kalian ada yang menjadi hamba sahaya orang-
orang Yahudi ?, mereka menjawab, Ya ada. Kemudian Nabi
berkata; bolehkah kalian duduk-duduk di sini bersamaku, aku ingin
menyampaikan sesuatu kepada kalian. Mereka menjawab, Ya baik,
Lalu Nabi Muhammad mengajak mereka untuk beriman kepada
Allah, serta memberi penjelasan kepada mereka tentang agama
Islam dan seperti biasanya Nabi membacakan ayat-ayat al-Qur`an
kepada mereka. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa orang-orang
Yahudi bertempat tinggal di wilayah mereka, mereka adalah kaum
ahli kitab dan memiliki ilmu tetapi mereka ahli syirik, penyembah
berhala, mereka berperang demi melindungi tempat kelahirannya,
jika sesuatu terjadi kepada mereka, mereka berkata sesungguhnya
seorang Nabi telah diutus ( dibangkitkan ) sekarang dan kata mereka
berkata; kita harus mengikutinya serta ikut berperang membantu
Nabi tersebut seperti memerangi kaum Ad dan kaum Iram. Setelah
Nabi selesai bicara, kemudian mereka saling berbisik-bisik dan salah
seorang di antara mereka berkata; Hai . . . . kaumku, demi Allah,
bahwa dia ( Muhammad saw. ) adalah seorang Nabi yang telah
dijanjikan kepada bangsa Yahudi, maka kita seharusnya tidak boleh
melepaskan dia. Dan akhirnya orang-orang Khazraj menerima
seruan Nabi Muhammad saw. beriman dan memeluk agama Islam. 64

Hasil dari pertemuan itu, enam orang Khazraj tersebut masuk


Islam dengan menyatakan kesaksian bahwa Muhammad adalah

63
. Penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa pertemuan Nabi Muhammad
dengan enam orang suku Khazraj dari Yastrib ( Madinah ) telah didokumentasikan
oleh Ibnu Hisyam di dalam karyanya; al-Sirah al-Nabawiyah, Juz I, h. 453 - 454
64
. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah( T. th.: Dar al-Fikr, 1351
H. / 1932 M.), Juz 3, h. 148 -149.
246

Nabi dan Rasul Allah. Ke enam orang Yatsrib tersebut menceritakan


kepada Nabi bahwa kehidupan di Yatsrib sudah terjebak ke dalam
komflik berkepanjangan antar golongan dan etnik, terutama antara
etnik Khazraj dan etnik Aus.65 Ke enam-enam orang Yatsrib
tersebut berharap semoga Allah mempersatukan suku-suku di
Yatsrib melalui upaya-upaya yang dilakukan Nabi, mereka berjanji
kepada Nabi akan mengajak penduduk Yatsrib yang lain untuk
memeluk Islam. 66 Dalam hubungan ini Ibnu Hisyam menegaskan
bahwa dalam rangka melancarkan penyebaran Islam, Nabi mengutus
Mus`ab bin Umeir bin Hasyim ke Yatsrib untuk memberi
pencerahan tentang ajaran Islam, Ilmu-ilmu ke-Islaman, termasuk
mengajarkan al-Qur`an kepada penduduk Yatsrib. 67

Pertemuan Aqabah II ( Baiat Aqabah I )

Pada musim haji tahun berikutnya, yaitu tahun ke dua belas


dari ke-Nabian, dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib
menemui Nabi di tempat yang sama seperti tahun sebelumnya, yaitu
di Aqabah, Mina. Dalam pertemuan kali ini mereka selain
menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah, juga
mereka menyatakan baiat ( janji setia ) sebagai tanda bukti
pernyataan loyalitas penuh kepada Nabi. Hal ini dapat dianggap
sebagai dukungan penuh kepadanya. Pernyataan baiat tersebut
diucapkan sebagai berikut, bahwa;
a. Kami tidak akan mempersekutukan Allah.
b. Kami tidak akan mencuri.
c. Kami tidak akan membunuh anak-anak.
d. Kami tidak akan berbuat zina.
e. Kami tidak akan berbohong.
f. Kami tidak akan melakukan maksiat.68

65
. Etnik Khazraj dan Aus adalah suku atau qabilah yang sudah lama
bertempat tinggal di Yatsrib. Mereka berasal dari negeri Yaman. Menurut cerita
mereka berketurunan Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim. Lihat, Ibnu al-Atsir, al-Kamil
Fiy al-Tarikh( Beirut: Dar Maadir, 1385 H./ 1965 M.), Jld. I, h. 606
66
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, juz I, h. 403
67
. Ibid. h. 457
68
. Ibid, h. 456 – 457. Lihat juga Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,
Juz 3, h. 150 -151
247

Pernyataan baiat ini dalam kajian pemikiran politik Islam


klasik disebut sebagai; baiat aqabah pertama. Baiat ini juga disebut;
baiat orang-orang perempuan ( `ala bai`at al-Nisa ).69 Karena baiat
yang dilakukan tidak mengandung pernyataan perang terhadap
orang-orang yang memerangi Nabi. Berbeda dengan baiat aqabah ke
dua yang akan dibicarakan nanti mengandung pernyataan kesediaan
perang dan sekaligus kesediaan melakukan upaya-upaya memberi
perlindungan kepada Nabi dari setiap ancaman dan serangan dari
orang-orang yang berniat jahat dan sengaja memerangi Nabi.

Pertemuan Aqabah III ( Baiat Aqabah II )

Pada musim haji tahun ketiga belas dari ke-Nabian, sebanyak


tujuh puluh tiga penduduk Yatsrib yang sudah memeluk agama
Islam berkunjung kembali ke Mekah dan mereka mengadakan
pertemuan dengan Nabi di tempat yang sama seperti pada tahun-
tahun sebelumnya. Pertemuan kali ini berakhir dengan sebuah
undangan atau tawaran kepada Nabi Muhammad dari penduduk
Yastrib untuk hijrahatau pindah ke Yastrib, dan mereka
mengulangi lagi pernyataan bahwa Muhammad adalah seorang Nabi
dan Rasul, dan ditambah dengan pengakuan mereka secara tegas
bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin mereka. Kemudian
mereka berbaiat dengan menyatakan sebagai berikut; bahwa
a. Kami tidak akan mempersekutukan Allah.
b. Kami akan membela Nabi sebagaimana kami membela isteri dan
anak-anak kami. 70

Pengakuan dari orang-orang Khazraj dan Aus kepada Nabi


Muhammad saw. sebagai pemimpin dan kesediaan mereka
memberikan perlindungan kepadanya merupakan legitimasi dari
masyarakat dan penduduk Yatsrib ( Madinah ), dan secara politis ini
mengandung beberapa konsekuensi, antara lain bahwa;

69
. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa yang berbaiat itu adalah orang-orang
perempuan.Tetapi karena pernyataan baiat itu tidak mengandung pernyataan
kesediaan perang, makanya baiat itu seolah-seolah seperti disampaikan orang-
orang perempuan.
70
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Juz I, h. 464 - 465
248

1. Mereka menerima Islam sebagai agama dan ideologi dalam


kehidupan bermasyarakat.
2. Mereka bersedia berkorban, baik jiwa, raga ataupun harta demi
tegaknya sebuah ajaran yang diamalkan oleh masyarakat.
3. Mereka mematuhi, mentaati perintah dan larangan yang
disampaikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin mereka.
4. Mereka bersedia menghadapi setiap ancaman yang datang
sewaktu-waktu.
5. Mereka memberikan bantuan dan kerja sama kepada Nabi untuk
mengatur dan memenej komunitas Khazraj dan Aus dalam
mewujudkan kehidupan yang mulia.

Dua kali baiat seperti yang sudah diutarakan di atas, dalam


kajian pemikiran politik Islam dikenal dengan sebutan baiat aqabah
pertama dan ke dua sebagai batu asas atau pondasi dari bangunan
berdirinya negara Islam di Madinah. Dari sisi lain baiat aqabah ke
dua merupakan manifesto politik, karena baiat ini mengandung
pernyataan secara terbuka untuk menghimpun kekuatan umat Islam
dalam menghadapi kemungkinan setiap bentuk kezaliman,
kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir
Quraisy. Langkah ini sebagai manuver politk yang digerakkan Nabi
Muhammad saw. melaluiskenario Ilahi yang mengarah kepada
penghijrahan pengikut-pengikut Nabi di Mekah ke Yastrib atau
Madinah.

Ketika orang-orang kafir Quraisy mengetahui bahwa telah


terjadi perjanjian atau baiat antara Nabi dengan orang-orang
Yastrib, mereka semakin gila melancarkan intimidasi dan teror
kepada kaum muslimin. Hal ini menjadikan Nabi mengambil
langkah-langkah strategis, tidak lama kemudian Nabi segera
mengeluarkan perintah kepada kaum muslimin untuk berhijrah ke
Yatsrib. Dalam waktu dua bulan hampir semua kaum muslimin,
kurang lebih sekitar 150 orang telah meninggalkan kota Mekah.
Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal untuk sementara waktu
di Mekkah bersama Nabi Muhammad untuk memastikan agar kaum
muslimin yang hendak berhijrah dapat berhijrah dengan selamat.
Keduanya ( Ali dan Abu Bakar ) menemani Nabi sampai ia pun
249

berhijrah ke Yastrib, karena orang-orang kafir Quraisy sudah


merencanakan pembunuhan kepada Nabi. 71

Dalam konteks penghijrahan (exodus ) umat Islam dari


Mekah ke Yatsrib, John L. Esposito melukiskan kejadian itu sebagai
berikut; Sewaktu perutusan dari Yatsrib mengundang Nabi
Muhammad saw. pada tahun 622 M. atau tahun pertama Hijriyah
untuk berhijrah ke kota Yastrib, Muhammad pun menerimanya.
Kota ini selalu menjadi ajang pertentangan antar suku selama ini,
dan Nabi Muhammad datang sebagai arbitur dan hakim bagi mereka
dan mendamaikannya. Ia melaksanakan konsolidasi kekuasaan
politik dan membangun sebuah negara berdasarkan petunjuk pesan
ke-Nabian ( Prophetic message ). Yatsrib kemudian berubah nama
menjadi Madinah atau Madinatun Nabi. Dalam masyarakat baru itu,
Nabi Muhammad merupakan tokoh politik di samping tokoh
agama.Dia seorang Nabi, Kepala Negara, Panglima pasukan perang,
Hakim Agung, dan Pembentuk hukum.72 Komunitas baru ini
sebagaimana ditegaskan Antony Black, didasarkan pada syariat yang
dirancang untuk menerapkan aturan-aturan tentang moral, hukum,
keyakinan ( aqidah ) dan ritual agama ( ibadah ), perkawinan, jenis
kelamin, perdagangan dan kemasyarakatan. 73 Hal ini tentu saja
tidak didasarkan kepada syariat atau ideologi lain, seperti syariat
agama Yahudi, syariat agama Nasrani atau ideologi-ideologi lain
yang barangkali waktu itu belum dikenal.

71
. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 24 - 25
72
. John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. Islam and Politic ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1990 ), h. 3
73
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini, terj.The History of Islamic Political Thought From The Prophet to The
Present( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006 ), cet. Pertama, h. 35.
250

BAB III
ORIENTASI POLITIK
ERA MADINAH

1.Membangun Dasar-Dasar Politik

Penghijrahan ( exodus ) umat Islam dari Mekah ke Madinah


terjadi pada hari Senen tanggal 12 Rabiul awal tahun pertama
Hijriyah, bertepatan dengan tahun 622 M. Peristiwa penghijrahan
umat Islam dari Mekah ke Yatsrib tersebut menandai dimulainya
babak baru bagi umat Islam. Umat Islam saat di Mekah berada
dalam kondisi yang tertekan, dimusuhi, dihina, disiksa, bahkan
dikucilkan dan diimbargo, dan tindakan-tindakan lain yang
menyebabkan umat Islam tidak berdaya, tidak bisa banyak berbuat
untuk merencanakan kehidupan masa depan merekayang lebih baik,
hal ini berbeda dengan di Yatsrib (Madinah). Periode Yatsrib Islam
merupakan kekuatan politik, di mana ajaran Islam yang terkait
dengan peraturan kehidupan sosial kemasyarakatan banyak turun di
sini. Hal ini dapat ditegaskan bahwa peristiwa hijrah Nabi bersama
umat Islam dari Mekah ke Madinah merupakan era baru dalam
251

sejarah peradaban umat Islam.Sejak saat itu muncul pemikiran


politik Islam74 yang berbeda dari pemikiran politik sebelumnya, 75
bahkan sebenarnya sejak peristiwa baiat Aqabah satu dan dua
gerakan-gerakan politik yang terkordinasi telah dilakukan di bawah
pimpinan seorang Nabi. Maka ketika Nabi Muhammad saw. sudah
berada di Madinah tentu saja bisa dipastikanakan memperoleh
kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama ( agamawan ), tetapi
juga sekaligus pada saat yang sama sebagai pemimpin umat.
Realitas ini menunjukkan bahwa dalam diri Nabi terkumpul dua
kekuasaan; kekuasaan spiritual dan kekuasaan untuk mengelola
kehidupan masyarakat atau umat (duniawiy). Hal ini sebagaimana
ditegaskan Harun Nasution bahwa kedudukan NabiMuihammad
saw. sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala negara 76.

Pada periode Madinah, kaidah-kaidah Islam yang dulunya


bersifat umum berhasil dirinci, dan ketentuan-ketentuan (hukum-
hukum) yang diperlukan oleh sebuah negara ditetapkan, baik yang
berkaitan dengan urusan-urusan public ataupun yang menyangkut
urusan privat. Kaidah-kaidah umum berdasarkan wahyu yang
menjadi sumber rujukan hukum-hukum tafsili senantiasa turun.
Semuanya ini bertujuan untuk menyediakan perangkat-perangkat
aturan atau tatanan yang akan dipergunakan untuk mengatur
kehidupan masyarakat dan negara baru. 77

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa baiat Aqabah satu


dan kedua ternyata secara psikologis menjadikan umat Islam
memiliki kekuatan dan percaya diri, serta mendorong mereka segera
melakukan langkah-langkah strategis, yaitu hijrah ke Madinah.
Maka penghijrahan umat Islam ke Madinah merupakan rangkaian
langkah-langkah yang berorientasipada pembentukan masyarakat

74
. Pemikiran politik Islam adalah pemikiran tentang politik yang
didasarkan pada ajaran-ajaran yang bersumberkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
75
. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, h. 36
76
. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya ( Jakarta:
UI-Press, 1985 ), h. 25
77
. Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasah Lid Daulah al-
Islamiyah, h. 47
252

yang menerima transformasi positif secara cepat. Dari dua langkah


strategis itu ( baiat pertama dan kedua ) memunculkan tigalandasan
pokok yang berimplikasi lahirnya dominasi politik bagi umat Islam.
Tiga landasan pokok tersebut, ialah;
1. Ikatan daerah atau wilayah.
Dengan menjadikan Madinah sebagai tempat tinggal bagi
umat Islam, baik Muhajirin atau Anshor, berarti umat Islam
telah memiliki tempat tinggal, yaitu tanah air yang
memungkinkan umat Islam beraktivitas dalam membangun
ekonomi yang dapat dipergunakan untuk kepentingan
bersama.
2. Jiwa kemasyarakatan.
Artinya pemikiran, idea dan persepsi umat Islam Madinah
dapat diorientasikan untuk tujuan yang sama sesuai dengan
yang dikehendaki.

3. Dominasi politik.
Dominasi politik dapat diraih setelah berhasil merubah sikap
masyarakat Islam dari masyarakat yang tidak terlibat secara
langsung dalam urusan-urusan politik menjadi masyarakat
yang aktif melibatkan diri secara langsung dalam hal-hal
yang berkaitan dengan politik. 78

Ketiga landasan tersebut telah terealisasi setelah umat Islam


seluruhnya berada di Madinah dan setelah penguasaan terhadaphal-
hal yang terkait dengan politik berada di tangan mereka. Setelah
penghijrahan umat Islam Muhajirin ke Madinah, maka Madinah
membuka lahan subur untuk pengembangan pemikiran, wawasan
dan pembangunan masyarakat yang sesuai dengan harapan dan cita-
cita mulia ajaran Islam.Dalam kaitan ini Antony Black menegaskan
bahwa gagasan Islam merupakan dobrakan yang menentukan sejarah
pemikiran manusia tentang politik dan masyarakat. 79

78
. Ibid. h. 49
79
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini, h. 36
253

Kondisi baru di Madinah dari aspek sosio politik dan sosio


ekonomi, menuntut tanggung jawab Nabi serta peletakan dasar
kebijakan, dasar kemasyarakatan dan dasar ekonomi untuk
menghentikan perpecahan dan konflik yang terjadi di antara
beberapa suku, agar mayarakat dapat memulai pembangunannya
dalam berbagai aspek kehidupan, terutama yang terkait dengan
pengelolaan urusan kehidupan umat. Karena hal inilah yang dapat
memberikan nuansa baru bagi Madinah sendiri dan wilayah-wilayah
yang berada di sekitarnya dalam rangka terciptanya kehidupan yang
aman dan damai.Dalam rangka memperkokoh solidaritas masyarakat
yang baru saja dibentuk di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad saw. kemudianmelakukan kebijakan-kebijakan
strategis yang dianggap sangat efektif bagi membangun kehidupan
sosial politik dan keagamaan sekaligus, yaitu; Membangun mesjid,
mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dengan orang-orang
Anshor dan menetapkan konstitusi. Beberapa kebijakan Nabi ini
akan dijelaskan pada topik pembinaan strategi pembangunan
Madinah.

2. Rekonstrukri MadinahSebagai Pusat Kekuasaan

Nabi Muhammad saw. memasuki Yastrib ( Madinah )


disertai dengan semangat untuk melakukan transformasi besar-
besaran meliputi berbagai aspek kehidupan. Hal utama dari
transformasi ini adalah terkait penanganan masalah sosial (social
problems) yang sudah terjadi dan berakar di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, antaranya; masalah irihati, dengki, hasad,
dendam, egoistik, dan sebagainya. Dari aspek sosial
kemasyarakatan, di Yastrib terjadi kerusakan pada setiap
level(tingkatan)penduduk Yastrib. Pada aspek sosial ekonomi juga
terjadi kerusakan, seperti kebiasaan melakukan penimbunan pangan
dan barang-barang pokok keperluan hidup sehari-hari, mentradisinya
praktik riba yang berleluasa dan mencekik dalam transaksi pinjam
meminjam, hutang piutang, dan perdagangan. Kondisi penduduk
Yastrib juga terpecah-pecah atau terkotak-kotak, sehingga tidak
memiliki kekuatan jika sewaktu-waktu ada serangan musuh yang
254

datang dari luar.80 Demikian, gambaran umum tentang kondisi


sosial masyarakat Yatsrib atau Madinah dalam berbagai aspek
kehidupan mereka sebelum Nabi Muhammad saw. bertempat tinggal
di Madinah.

Kehadiran Nabi Muhammad ke Yastrib sebenarnya


dihadapkan pada tanggung jawab berat untuk memperbaiki kondisi
masyarakat yang sudah rusak, maka tugas Nabi Muhammad dalam
menyikapi tantangan ini semua sebenarnya adalah bagaimana
menciptakan umat agarmemiliki kemampuan untuk mengemban
risalah Islam, serta bagaimana dapat melahirkan generasi yang
melupakan permusuhan, sehingga tercipta kondisi masyarakat yang
rukun, damai, aman dan sejahtera, sehingga dengan demikian akan
wujud generasi terdidik (educated) yang diwarnai dengan warnaal-
mahabbah (kasih sayang) dan al-ikha (rasa persaudaraan).
Transformasi dan reformasi yang dicanangkan Nabi Muhammad
meliputi berbagai aspek kehidupan, termasuk perubahan nama kota
Yastrib dirubah menjadi kota Madinah atau Madinatur Rasul, nama
Aus dan Khazraj ( dua Qabilah di Yastrib ) menjadi al-
Anshar.81Keberhasilan upaya transformasi ini dapat terlihat pada
karakter masyarakat muslim dan akhlak, serta perilaku mereka
dalam kehidupan sehari-hari setelah kondisinya menjadi kondusif,
akhirnya mereka hidup dengan penuh persaudaraan dan saling
menyayangi. Dari sini kemudian direalisasikan keadilan dan
persamaan hak dalam kehidupan mereka, maka berdasarkan
langkah-langkah tersebut Nabi Muhammad berhasil menciptakan
umat Islam yang unggul di Madinah. 82 Berikut ini disampaikan
langkah-langkah strategis Nabi Muhammad terkait pembentukan

80
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula( Jeddah: Dar al-Mujtama, 1406 H. / 1986 M. ), r. 19
81
.Perubahan nama Qabilah Aus dan Khazraj menjadi al-Anshar
bertujuan untuk terciptanya persatuan, karena menggunakan satu nama. Dengan
demikian perpecahan dan permusuhan menjadi hilang.Upaya ini pada akhirnya
berhasil.
82
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 19
255

dan pembinaan masyarakat dan warga Madinah sebagai langkah-


langkah umum dan khusus,83 yaitu;

2.1. Langkah-Langkah Umum

1. al-Ikha( Persaudaraan )
Al-Ikha; artinya mempersaudarakan antara dua orang atau
komunitas, kelompok yang berbeda.Upaya ini merupakan
prinsip utama yang melandasi pembentukan masyarakat dan
warga Madinah. Nabi Muhammad saw. mempersaudarakan
antara sesama umat Islam, kaya, miskin, tua, muda,
semuanya adalah bersaudara. Langkah Nabi ini mendapatkan
justifikasi al-Qur`an padasurat al-Hujurat, ayat 10 yang
artinya; sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,
maka damaikanlah di antara saudara-saudara kamu.84Ikatan
yang dibangun atas dasar persaudaraan (al-Ikha) ini dalam
realitas kehidupan tidak mudah putus, maka setiap individu
dalam masyarakat merasa ada ikatan dengan individu-
individu yang lain. Persaudaraan di antara sesama umat
Islam di Madinah begitu kokohnya sampai ke tingkat yang
lebih jauh sehingga terjadi saling mewarisi harta kekayaan
jika salah satu di antara mereka meninggal dunia, tetapi
setelah turun ayat mawaris barulah ada aturan yang jelas
bahwa dalam hal waris mewairis hanyalah berdasarkan alur
kerabat hubungan darah dan terdekat. Persaudaraan di antara
sesama umat Islam ini sebagai salah satu langkah strategis
dalam rangka menciptakan persatuan masyarakat Islam
seluruhnya, di mana Islam menjadi dasar acuan untuk
persatuan ini, yaitu persatuan yang didasarkan atas kesedaran
iman atau akidah. Dalam komteks ini Antony Black
menyatakan bahwa Muhammad mendakwahkan
persaudaraan spiritual plus hukum yang merangkul semua
golongan, dan realitas berbicara bahwa kendali politik

83
.Yang dimaksud dengan langkah-langkah umum, ialah upaya-upaya
penataan masyarakat dalam rangka restrukturisasi pembangunan masyarakat
sebagaimana pada umumnya.Sementara langkah-langkah khusus dimaksudkan
upaya penataan masyarakat secara politis mengarah pada pembentukan kekuasaan.
84
. Al-Qur`an: al-Hujurat; 10
256

universal harus diraih oleh umat Islam. 85Dengan demikian


seluruh umat Islam adalah bersaudara. 86

2. al-Mahabbah ( Kasih Sayang )


Islam belum menganggap cukup dengan mendeklarasikan
persaudaraan di antara sesama warga Madinah yang muslim,
Nabi Muhammad juga belum rela sepenuh hati dengan
persaudaraan saja sebagai ikatan yang mengikat orang-orang
Islam, karena kadang-kadang meskipun sudah wujud
persaudaraan tetapi tetap saja sesekali terjadi permusuhan.
Oleh karena itu persaudaraan ini harus diintensifkan melalui
interaksi (`alaqah) yang kokoh.Interaksi yang intensif
menjadi faktor perekat persaudaraan yang kuat. Kasih sayang
sebagai prinsip keduamenjadi dasar yang melandasi
kokohnya persaudaraan dalam tatanankehidupan masyarakat
Madinah. Nabi Muhammad menanamkan kasih sayang
(mahabbah) ini ke dalam jiwa umat Islam, karena rasa
mahabbah lahir dari jiwa yang dalam.

Kemudian agar mahabbah ini menjadi kokoh dan


tidak mudah pudar, maka rasa mahabbah ini harus lahir dari
kesadaran atas dasar cinta dan kasih sayang karena Allah,
bukan karena faktor lain. Oleh karena itu Nabi Muhammad
bersabda dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan
Imam Bukhari, yang artinya; Seseorang tidak akan
merasakan manisnya iman sehingga dia dapat melahirkan
rasa mahabbah karena Allah.87Terciptanya rasa mahabbah
yang berdasarkan karena Allah adalah merupakan kekuatan
yang memperkokoh persaudaraan di antara sesama umat
Islam.Karena rasa mahabbah yang sudah tertanam dalam
jiwa secara otomatis dapat menghapus permusuhan dan
kedengkian.Akhirnya umat Islam hidup dalam kondisi yang

85
. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, h. 37
86
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimatul al-Islam al- Ula. h. 19 - 20
87
. Al-Bukhariy, Sahih Bukhariy, dalam Kitab al-Adab, Bab al-Hubbu
Fillah, ( T.tpt: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiy, T.th. ), Juz 4, h. 56 -57
257

bebas dari malapetaka permusuhan, dengki, irihati dan


sebaginya.

3. al-`Adalah( Keadilan )
Menegakkan keadilan merupakan prinsip ketiga menjadi
landasan pembentukan konstruksi masyarakat dan warga
Madinah.Adil dimaksudkan; sikap seimbang dan terhindar
dari perbuatan zalim. 88 Allah mewajibkan kepada manusia
agar bersikap adil dalam setiap kondisi dan situasi, hal in
sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Nahal, ayat 90
yang artinya; Sesungguhnya Allah senantiasa
89
memerintahkan untuk berbuat adil dan baik. Dalam surat
al-Nisa, ayat 58 Allah juga berfirman yang artinya; . . . . dan
jika kamu memutuskan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil.90 Dalam hal ucapan atau
perkataan, Allah memerintahkan agar bersikap adil,
sebagaimana ditegaskan dalam surat al-An`am, ayat 152, . . .
.dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil sekalipun kepada ahli kerabat,91 maksudnya;
mengatakan yang sebenarnya meskipun kepada orang-orang
terdekat, seperti ahli kerabat. Dalam hal tulis menulis apapun
bentuknya; Allah juga memerintahkan agar bersikap adil,
sebagaimana ditegaskan di dalam surat al-Baqarah, ayat 282,
yang artinya; . . . dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menulisnya dengan adil ( benar ).92 Dalam hal
mendamaikan dua orang yang sedang konflik, Allah juga
memerintahkan agar mendamaikannya dengan adil, artinya
tidak berpihak kepada seseorang karena ada imbalan jasa
yang akan diterima. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam
surat al-Hujurat, ayat 9 yang artinya; . . . Jika golongan itu
telah kembali (kepada Allah), maka damaikanlah keduanya
dengan adil. Demikianlah bahwa sesungguhnya sikap adil itu

88
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 21
89
. Al-Qur`an: 16; 90.
90
. Al-Qur`an: 4; 58
91
. Al-Qur`an: 6; 152
92
. Al-Qur`an: 2; 282
258

merupakan sifat yang harus melekat pada setiap umat Islam


kapan saja dan di mana saja. Umat yang komitmen dan
berpegang teguh dengan sikap adil, dengan sendirinya akan
tercipta kehidupan yang aman, baik jiwanya, hartanya, dan
kehormatannya. 93Tentu tidak ada yang lebih membahagiakan
dalam kehidupan umat manusia selain keamanan atau rasa
aman, baik jiwa, harta, kehormatan, dan termasuk jabatan
atau kedudukan.

4. al-Musawa( Persamaan )
Persamaan adalah prinsip ke empat sebagai landasan
pembentukan konstruksi masyarakat dan warga
Madinah.Persamaan dimaksudkan adalah persamaan di
dalam hak dan kewajiban tanpa membedakan keturunan,
warna kulit, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian,
dalamperspektif Islam persamaan merupakan upaya tatanan
yang menjadikan sistem kemasyarakatan ideal. Oleh
karenanya, persamaan merupakan sesuatu yang harus exist di
dalamkehidupan masyarakat. Reasoningnyaberdasarkan
akidah Islamyang biasa berlaku dalam konteks ini adalah
bahwa semua manusia adalah berasal dari satu keturunan,
yaitudari Adam ( Nabi Adam as. ). Oleh karena itu semuanya
sama dalam hak dan kewajiban dan semuanya sama di
hadapan Allah, maka dari aspek ini ( kesamaan hak dan
kewajiban ) dapat ditegaskan bahwa tidak ada keistimewaan
bagi orang-orang tertentu dari yang lainya, tidak ada
keistimewaan orang-orang Arab dari orang-orang non Arab,
tidak ada keistimewaan bagi orang-orang yang berkulit putih
dari orang-orang yang berkulit hitam atau sawo matang. 94
Maka berdasarkan ajaran ( doctrin ) ini sesungguhnya
hubungan darah ( darah biru misalnya ) di dalam perspektif
Islam tidak ada. Demikian juga karena hubungan nasab tidak
menjadikan seseorang lebih istimewa walau dengan alasan
apapun, melainkan yang menjadi kriteria keistimewaan

93
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 21
94
. Ibid. h. 22
259

adalah ketaqwaan dan amal saleh. Kriteria inilah yang


memungkinkan setiap individu muslim berkompetisi (
bersaing ) untuk menjadikan dirinya lebih baik dari yang
lainnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam al-Qur`an
yang artinya;
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha
Mengena.l95

Dengan demikian, taqwa merupakan kriteria yang


menjadikan setiap individu untuk berkompetisi, karena
dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu
memungkinkan dia melakukannya dan memperoleh hasil
yang lebih baik dan maksimal. Berlainan dengan warna kulit,
keturunan ( bangsa ), hubungan darah adalah sesuatu yang
bersifat nisbi atau subjektif, maka tidak bisa menjadi
ukuran.96 Oleh karenanya, dapat ditegaskan bahwa semua
manusia di dalam persepektif Islam adalah sama dalam
melaksanakan perintah, aturan atau undang-undang,
meninggalkan larangan, sama dalam hak dan kewajiban,
tidak ada beda antara pemimpin dan yang dipimpin, antara
majikan dan pekerja, antara lelaki dan perempuan. 97 Atas
dasar ini, Islam membangun umatnya dan meletakkan
dasar-dasar peradaban yang kokoh. Persaudaraan berlaku
untuk umum, tidak dikhususkan kepada satu komunitas,
sementara komunitas yang lain tidak. Kasih sayang (
mahabbah) adalah perekat yang mengikat antara sesama
muslim di satu sisi, dan di sisi lain secara umum antara
sesama warga Madinah, yaitu antara orang-orang muslim

95
. Al-Qur`an: 49; 13
96
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 22
97
.Ibid.
260

dengan orang-orang non muslim. Keadilan adalah asas


dalam pergaulan di antara sesama masyarakat, dan
persamaan adalah hak bagi masyarakat Islam. 98Langkah-
langkah strategis sebagaimana disebutkan di atasyang
menjadi landasan dalam melakukan restukturisasi
masyarakat Madinah merupakan langkah yang efektif dan
berdampak pada lahirnya ketertiban bermasyarakat.

2.2. Langkah-langklah Khusus

Sesampainya Nabi Muhammad saw. bersama umat Islam di


Madinah setelah melakukan penghijrahan atau exodus dari Mekkah.
Nabi kemudian melakukan restrukturisasi masyarakat Madinah agar
menjadi tertata dan teratur sehingga di kemudian hari dapat
mengemban amanat dan risalah. Terkait dengan upaya
restrukturisasi masyarakat Madinah secara khusus, berikut ini
disampaikan beberapa langkah strategis sebagai berikut;

1. Pembangunan Masjid
Langkah pertama yang dilakukan Nabi Muhammad saw.
sesampainya di Madinah adalah membangun masjid. Masjid
yang pertama didirikan adalah Mesjid Quba, kemudian
disusul dengan membangun Masjid Nabi (Masjid al-
Nabawiy).99suatu pertanyaan muncul terkait dengan realitas
ini ialah; kenapa yang pertama kali dibangun masjid ?.
Karena masjid dilihat dari aspek fungsinya sangat vital, ia
memiliki fungsi ganda atau multy function, yaitu (a). Fungsi
keagamaan; ialah sebagai sarana berkumpulnya masyarakat
muslim dalam rangka melakukan ibadah shalat dan tempat
belajar ilmu-ilmu agama. (b). Fungsi politis; yaitu mesjid
pada saat itu berfungsi juga sebagai pusat aktivitas
kemasyarakatan ( as aCentre for social activities ). Yaitu
sebagai tempat pertemuan-pertemuan komunitas muslim
dalam rangka melahirkan upaya-upaya memupuk rasa

98
. Ibid.
99
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah. Juz 2, h. 520 -522
261

persaudaraan, toleransi dan persatuan. Ini karena mesjid pada


waktu itu merupakan tempat yang paling efektif untuk tujuan
tersebut, selain sebagai sarana untuk beribadah, diskusi
masalah-masalah keagamaan, juga menjadi tempat
pertemuan-pertemuan musyawarahtentang masalah-masalah
yang terkait dengan kehidupan masayarakat Madinah, baik
yang berkenaan dengan masalah internal sesama umat Islam
sendiri ataupun secara eksternal menyangkut hubungan
antara komunitas muslim dengan komunitas-komunitas non
muslim. 100Berdasarkan fakta ini dapat ditegaskan bahwa
masjid pada permulaan Islam fungsinya sangat vital sebagai
sarana untuk mewujudkan rencana besar. Oleh karenanya
mesjid pada waktu itu dalam persepektif politik meskipun
secara keagamaan sebagai sarana tempat beribadah pada satu
sisi dan pada sisi lain ternyata sebagai sarana untuk
merencanakan orientasi-orientasi politis. Shalat di mesjid
dilakukan secara berjamaah, secara otomatis umat Islam
bertemu pada permulaan hari dalam shalat berjamaah di
belakang seorang imam, mengarah ke arah Qiblat yang satu,
dipersartukan oleh tempat yang satu, semuanya dilakukan
lima kali dalam sehari semalam.

Dengan demikian, shalat berjamaah di masjid


merupakan salah satu aktivitas yang paling efektif dalam
rangka mempersatukan umat, memperkuat tali ikatan sesama
umat Islam. Selain dari itu mesjid bukan saja sebagai sarana
tempat ibadah, tetapi juga masjid dijadikan oleh Nabi
Muhammad sebagai tempat semacamDar al-Nadwah( balai
pertemuan ) untuk membicarakan hal-hal penting yang
menyangkut kemaslahatan umat, kemudian umat Islam
bermusyawarah. Masjid juga berfungsi sebagai tempat untuk
melakukan pengangkatan atau pelantikan panglima perang.
Mesjid juga dijadikan tempat memutuskan hukum dalam
persengketaan. Masjid juga menjadi tempat menerima
utusan atau duta yang diutus oleh pemerintah luar negeri,

100
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 27 - 28
262

antaranya Kerajaan Persia, Raja Najjasi di Habsah (Ethofia)


untuk bertemu Nabi Muhammad saw. sebagai penguasa
Madinah dari satu sisi. 101 Berdasarkan penjelasan di atas
dapat dikatakan bahwa masjid yang dibangun Nabi
Muhammad bukan saja sebagai tempat pelaksanaan aktivitas
keagamaan, tetapi juga sekaligus sebagai tempat untuk
merumuskan program-program yang berkaitan dengan
masalah-masalah kehidupan sosial masyarakat, karena itu
dapat dikatakan bahwa pembangunan aspek keagamaan
melalui pendekatan pembangunan masjid yang digerakkan
Nabi Muhammad merupakan langkah strategis dan
efektif. 102Dengan demikian, pembangunan masjid pada saat
itu menjadi pondasi bagi pembangunan masayarakat
Madinah secara keseluruhan.

2.Mempersaudarakan Komunitas Muhajirin Dengan Anshar

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa setelah peristiwa


penghijrahan umat Islam dari Mekah ke Madinah, Nabi
Mauhammad saw. kemudian melakukan restrukturisasi dan
pembentukan masyarakat Madinah. Tujuan dari upaya ini
adalah wujudnya persatuan, dan adanya perlindungan
terhadap umat Islam karena jumlahnya yang masih relatif
kecil, di samping bertujuan memperkuat kehadiran Islam di
bumi Madinah, serta menyebarkannya ( berdakwah ) ke
wilayah-wilayah yang berada di sekitarnya. 103 Maka langkah
strategis selanjutnya adalah bagaimana menanggung
kebutuhan orang-orang Muhajirin yang barangkali sebagian
mereka ada yang baru mmenginjak kaki ke daerah yang baru
dan belum ada pendapatan untuk menutupi kebutuhan sehari-
hari. Hal ini sebagairasa tanggung jawab Nabi kepada

101
. Ibid. h. 27 - 28
102
. Ibid. h. 28
103
. Ibid. h. 54
263

mereka, karena Nabi sebagai seorang pemimpin harus


mencarikan solusi terhadap masalah yang mereka hadapi.
Kemudian Nabi menyampaikan solusi terbaik dan
menawarkan kepada orang-orang Aus dan Khazraj, karena
Nabi yakin bahwa mereka memiliki hati nurani dan niat baik.
Nabi kemudian meminta kepada orang-orang Aus dan
Khazraj untuk memberikan sebagian apa yang diperlukan
orang-orang Muhajirin. Permintaan Nabi kemudian direspon
dengan baik oleh orang-orang Aus dan Khazraj dan
kemudian mereka merealisasikan janjinya, yaitu memberikan
sebagian harta kepada orang-orang Muhajirin, bahkan orang-
orang Aus dan Khazraj memberikan kesempatan kepada
orang-orang Muhajirin untuk bekerja, berdagang dan
menjalankan bisnis mereka. 104

Ketika orang-orang Anshar sudah benar-benar memberikan


apa yang diperlukan orang-orang Muhajirin, maka kemudian
Nabimengubah nama Aus dan Khazraj; dua qabilah di Madinah
yang sudah masuk Islam dengan sebutan orang-orang Anshar ( al-
Anshar ). Anshar merupakan kata jamak atau plural yang artinya
orang-orang yang memberikan bantuan atau pertolongan, karena
orang-orang Aus dan Khazraj telah memberikan bantuan mengenai
apa-apa yang diperlukan orang-orang Muhajirin untuk
mempertahankan hidup mereka di daerah Madinah. 105Dan ketika
Nabi Muhammad saw. menyaksikan bahwa hubungan yang
berdasarkan keturunan darah telah gagal menjadi perekat antara
sesama suku di Madinah sebagaimana yang terjadi sebelum
kedatangan umat Islam, maka Nabi Muhammad kemudian
mengganti hubungan yang berdasarkan keturunan itu dengan
hubungan yang berdasarkan akidah dan iman. Dalam konteks ini
Antony Black cukup tajam melihat fakta sejarah awal Islam dan dia
menegaskan bahwa apa yang terjadi pada saat itu adalah sesuatu
yang bersifat spiritual sekaligus politis, atau dalam bahasa lain; Iman

104
. Lihat, Ahmad Ibrahim al-Syarif, Makkah wa al-Madinah Fiy al-
`Ashri al-Jahiliy wa al-Rasul, ( T.tpt.: Dar al-fikr al-`arabiy, T.th. ) h. 292
105
.Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 29
264

dengan kekuasaan politik.106 Setelah itu Nabi mengadakan


perdamaian atauislah antara suku Aus dan Khazraj, serta berusaha
menghilangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
konflik. 107

Implikasi dari langkah strategis ini adalah masyarakat


Madinah, terutama orang-orang Anshar terhindar dari sikap
panatisme golongan, ashabiyah atau primordialisme.dan secara
otomatis menjadikan suku Aus dan Khazraj berada di bawah nama
hubungan yang berdasarkan akidah, dan ini jelas memiliki tujuan
atauhadaf mulia, yaitu lahirnya dukungan mereka terhadap prinsip-
prinsip ajaran Islam. Langkah kongrit ke arah ini Nabi Muhammad
saw. mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dengan orang-orang
Anshar. Nabi melakukan acara persaudaraan ini di Masjid Nabawiy,
agar persaudaraan ini menjadi persaudaraan karena Allah, bukan
karenayang lain-lain, dan oleh karena pelaksanaan acara
persaudaraan ini di Mesjid Nabawiy yang suci paling tidak Masjid
Nabi menjadi saksinya. Ketika pelaksanaan acara
mempersaudarakan komunitas muslim Madinah, yaitu orang-orang
Muhajirin dan orang-orang Anshar di Masjid Nabawiy, Nabi
mencohtohkan sendiri dengan mengulurkan tangannya dan
kemudian memegang tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata; Ini
saudaraku.108Dengan cara seperti ini setiap individu masyarakat
muslim ikut mencontohi apa yang dilakukan Nabi sehingga
kemudian terjalin ikatan yang kokoh antara satu dengan yang
lainnya, 109 dan oleh karena persaudaraan yang digagas Nabi itu
dimaksudkan agar tidak dianggap ringan, maka persaudaraan tidak
mudah pudar.110 Persaudaraan ini ternyata kemudian berdampak

106
. Lihat, Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi
Hingga Masa Kini, h. 36
107
. Ibid. h. 387
108
. Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah. Juz 2, h. 531 - 534
109
.Pertalian persahabatan dan persaudaraan ini sampai ke tingkat di mana
di antara mereka saling mewarisi harta kekayaan jika salah satunya meninggal
dunia.Namun kondisi ini tidak berlangsung lama, karena sistem waris mewarisi
kemudian ditentukan berdsasarkan hubungan kerabat yang sebenarnya. Lihat,
Ahmad Ibrahim al-Syarif, Makkah wa al-Madinah Fiy al-`ashri al-Jahiliyah wa
`Ahd al-Rasul. h. 387
110
. Ibid. h. 30
265

positif terhadap proses penyatuan umat Islam, karena salah satu


tujuan dari persaudaraan ini ialah terealisasinya ikatan yang kokoh
dalam kehidupan masyarakat Madinah. Dan ternyata persaudaraan
ini telah berhasil dan terealisasikan sepenuhnya.

Maka berdasarkan penjelasan di atas tentang upaya persatuan


yang digagas Nabiadalah persatuan yang didasarkan pada akhlak
atau moral, bukan atas dasar kepentingan sesaat yang berujung pada
pragmatisme kalkulasi untung rugi, karena tujuan Nabi Muhammad
dalam upaya mempersaudarakan ini adalah mengubah konfederasi
kesukuan menjadi sebuah masyarakat baru yang diorientasikan oleh
ajarannya tentang akhlak. 111Dengan terciptanya persatuan ini akan
berimplikasi lahirnya suasana kondusif yang diwarnai dengan sikap
saling pengertian, toleransi, saling menghargai dan saling
mengasihani antara sesama umat muslim. Pencapaian ini seperti
ditegaskan Antony Black, dibangun atas dasar agama dan gagasan-
gagasan baru yang menggabungkan iman dengan kekuasaan
politik.112

3.Menetapkan Piagam Madinah

Tidak lama setelah Nabi bertempat tinggal di Madinah, dan


menurut Munawir Sjadzali, 113 belum cukup dua tahun dari
kedatangan Nabi di kota ini, beliau mempermaklumkan suatu
Piagam yang bertujuan untuk mengatur kehidupan dan hubungan
antar komunitas-komunitas yang merupakan komponen masyarakat
Madinah. Penduduk Madinah ketika Nabi Muhammad saw. sampai
di kota ini dilihat dari aspek sosio-keagamaan dan struktur
masyarakatnya menunjukkan adanya masyarakat yang plural
(majmuk ) atau multy etnic, yaitu;
a. Komunitas muslim; terdiri dari orang-orang yang
beragama Islam, yaitu orang-orang Muhajirin dan
Anshar.

111
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, h. 37
112
. Ibid. h. 35
113
. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran ( Jakarta: UI-Press, 1993 ), h.10
266

b. Komunitas Yahudi; yaitu orang-orang yang beragama


Yahudi yang terdiri dari Bani ( suku ) Nadhir, Bani
Quraidhah, Bani Qiniqa dan lain-lain.
c. Orang-orang munafik.
d. Orang-orang penyembah berhala ( Paganis ).114
e. Orang-orang yang beragama Kristiani.

Di tengah-tengah kemajmukan masyarakat Madinah ini,


Nabi Muhammad membangun struktur kehidupan yang meliputi
semua elemen masyarakat yang berbeda-beda dari segi agama, etnik
atau keturunan, dan adat budaya. Ketika Nabi berhasil meletakkan
dasar-dasar kehidupan bermasyarakat sebagaimana tertuang di
dalam Piagam Madinah, maka itu artinya sebuah keberhasilan dalam
rangka proses persatuan umat.115 Langkah strategi ke arah ini, Nabi
Muhammad meletakkan Piagam sebagai dasar persatuan kehidupan
bagi seluruh komponen masyarakat Madinah tanpa membeda-
bedakan keturunan, bangsa dan agama. Berikut ini disampaikan
Piagam Madinah atau Dustur Madinah sebagai berikut;

Piagam Madinah116
Bismillahirrahmannirrahim

1. Ini adalah Piagam (Kitab / Shahifah) dari Muhammad yang


berkedudukan sebagai Nabi dan Rasul di antara orang-orang
mukmin dan muslim dari keturunan Quraisy dan penduduk
Yastrib ( Madinah ), serta para pengikut mereka dan berjuang
dengan mereka.
2. Mereka semua adalah satu umat, lain dari pada yang lain ( dalam
identitas dan karakternya ).

114
. Lihat, Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-
Islam, al-Hayat al-Ijtima`iyyah wa al-Siyasiyah wa al-Tsaqafiyah ( Qahirah: Dar
al-Fikr al-Arabiy, 1977 ), h. 18 - 35
115
. Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-Arabiyah al-
Islamiyah Fiy Hayati Muhammad saw. ( Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1977 ), h.
95
116
. Teks naskah dalam bahasa Arab bisa dillihat pada al-Sirah al-
Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Juz 2, h. 527 - 528
267

3. Orang-orang Muhajirin dari keturunan Quraisy yang tetap


komitmen dengan akidah Islam, mereka harus saling bantu
membantu untuk membayar denda yang perlu dibayar dengan
cara yang baik dan adil antara sesama mereka ( orang-orang
mukmin ).
4. Orang-orang keturunan suku Auf, yang tetap komitmen dengan
prinsip akidah Islam harus saling bantu membantu untuk
membayar denda. Setiap golongan harus membayar denda
dengan cara yang baik dan adil antara mereka.
5. Orang-orang suku al-Harits dari keturunan Khazraj yang tetap
komitmen dengan prinsip akidah Islam harus saling bantu
membantu membayar denda dengan cara yang baik dan adil bagi
tebusan pembebasan warganya yang tertawan.
6. Orang-orang keturunan suku Saidah yang tetap komitmen
dengan prinsip akidah Islam, mereka harus saling bantu
membantu membayar denda mereka. Setiap golongan membayar
denda dengan cara yang baik dan adil bagi pembebasan
warganya yang tertawan.
7. Orang-orang keturunan Jusyam yang tetap komitmen dengan
prinsip akidah Islam, mereka harus bantu membantu membayar
denda mereka. Setiap golongan membayar denda dengan cara
yang baik dan adil untuk pembebasan warganya yang tertawan.
8. Orang-orang keturunan suku al-Najjar yang tetap komitmen
dengan prinsip akidah Islam, mereka harus bahu membahu
membayar denda mereka. Setiap golongan membayar denda
dengan cara yang baik dan adil untuk pembebasan warganya
yang tertawan.
9. Orang-orang suku Amr bin `Auf yang tetap komitmen dengan
akidah Islam, mereka harus bahu membahu membayar denda
mereka. Setiap golongan harus membayar denda dengan cara
yang baik dan adil untuk pembebasan warganya yang tertawan.
10. Orang-orang suku al-Nabit yang tetap komitmen dengan prinsip
akidah Islam, mereka harus bantu membantu untuk membayar
denda mereka. Setiap golongan harus membayar denda dengan
cara yang baik dan adil untuk pembebasan warganya yang
tertawan.
11. Orang-orang suku al-Aus yang tetap komitmen dengan akidah
Islam, mereka harus bahu membahu untuk membayar denda
268

dengan cara yang baik dan adil bagi pembebasan warganya


yang tertawan.
12. (a).Orang-orang muslim tidak boleh membiarkan seorang
muslim yang lain dibebani dengan menanggung hutang
berat, mereka harus memberi bantuan dengan cara yang
baik untuk keperluan membayar tebusan atau denda.
(b). Seorang mukmin tidak akan bertindak kurang ajar terhadap
hamba sahaya mukmin.
13. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertaqwa mempunyai
wewenang / otoritas untuk mengambil tindakan terhadap orang
mukmin yang lain, yang menyimpang dari kebenaran atau
berusaha menyebarkan kezaliman, dosa, permusuhan atau
kerusakan di kalangan sesama mukmin. Orang-orang mukmin
berwenang untuk bertindak terhadap yang bersangkutan
meskipunia anak sendiri.
14. Orang mukmin tidak diperbolehkan membunuh orang lain untuk
kepentingan orang kafir, dan tidak diperbolehkan pula menolong
orang kafir dengan merugikan orang mukmin.
15.Sesungguhnya jaminan (perlindungan) Allah hanya satu, Allah
berada dipihak nereka yang lemah dalam menghadapi yang kuat,
orang-orang mukmin ( dalam pergaulannya dengan pihak lain )
adalah pelindung bagi yang lain.
16.Orang-orang Yahudi yang mengikuti kita ( memeluk agama
Islam ) akan memperoleh bantuan dan hak persamaan serta akan
terhindar dari perlakuan zalim dan perbuatan makar yang
merugikan.
17.Perdamaian bagi orang-orang mukmin hanya satu, seorang
mukmin tidak akan mengadakan perdamaian dengan pihak lain
dalam menegakan agama Allah, kecuali atas dasar persamaan
dan keadilan.
18. Keikut sertaan wanita dengan kita (umat Islam) dalam berperang
dilakukan secara bergiliran.
19.Orang-orang mukmin dalam rangka menegakan agama Allah,
menjadi pelindung bagi mukmin yang lain di saat menghadapi
hal-hal yang mengancam keselamatan jiwanya.
20. (a). Orang-orang mukmin dan bertaqwa berada dalam hidayah
(petunjuk) yang paling baik dan benar.
269

(b). Seorang musyrik tidak diperbolehkan melindumngi harta


dan jiwa orang Quraisy dan tidak diperbolehkan berbuat
sesuatu yang merugikian orang mukmin.
21. Seorang yang nyata berdasarkan bukti-bukti yang jelas
membunuh seorang mukmin, wajib diqisas (hukuman yang
setimpal sesuai yang dilakukan). Kecuali jika wali (kerabat)
terbunuh memaafkannya, dan semua orang-orang mukmin
bersetuju, maka mereka tidak diperbolehkan mengambil
keputusan kecuali dengan mempertimbangkan pendapatnya.
22. Setiap muslim yang telah mengakui ketentuan yang termaktub di
dalam naskah ( Piagam ) ini dan ia beriman kepada Allah dan
hari akhirat, maka tidak diperkenankan membela atau
melindungi pelaku kejahatan (tindak pidana), dan siapa saja
yang membela dan melindungi orang tersebut, maka akan
mendapat laknat dan murka Allah di hari akhirat. Mereka tidak
akan mendapat pertolongan dan tebusannya tidak dianngap (
tidak sah ).
23. Jika kamu sekalian berbeda pendapat dalam sesuatu masalah,
maka hendaknya kembali kepada Allah dan Muhammad saw.(
al-Qur`an dan Sunnah Nabi ).
24. Orang-orang Yahudi (harus) bekerja sama dengan orang-orang
mukmin dalam menanggungpembiyaan di kala mereka
melakukan perang bersama.
25. Orang-orang Yahudi etnik `Auf adalah satu umat bersama
orang-orang mukmin. Orang-orang Yahudi tetap pada agama
mereka dan orang-orang Islam tetap berpegang pada agama
mereka (agama Islam). Demikian pula halnya dengan para
sekutu mereka masing-masing, kecuali jika mereka melakukan
kezaliman dan dosa, maka akibatnya ditanggung oleh diri dan
warganya sendiri.
26. Orang-orang Yahudi suku al-Najjar berlaku ketentuan
sebagimana yang berlaku kepada orang-orang Yahudi suku
`Auf.
27. Orang-orang Yahudi suku al-Harits berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku kepada orang-orang Yahudi suku
`Auf.
270

28. Orang-orang Yahudi suku Sa`idah berlaku ketentuan


sebagaimana yang berlaku kepada orang-orang Yahudi suku
`Auf.
29.Orang-orang Yahudi suku Jusyam berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku kepada orang-orang Yahudi suku
`Auf.
30. Orang-orang Yahudi suku Tha`labah berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku kepada orang-orang Yahudi suku
`auf, kecuali jika mereka melakukan kezaliman dan dosa,
maka akibatnya ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.
31. Orang-orang Yahudi suku al-Aus berlaku ketentuan
sebagaimana yang berlaku kepada orang-orang Yahudi suku
`Auf.
32. Warga Jafnah merupakan bagian dari suku Yahudi Tha`labah,
berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku kepada suku
Tha`labah.
33. Orang-orang suku Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana
yang berlaku kepada orang-orang Yahudi suku `Auf. Dan
sesungguhnya hal yang baik itu berbeda dengan perbuatan
dosa.
34. Para hamba sahaya suku Tha`labah tidak berbeda dengan suku
Tha`labah itu sendiri.
35. Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan
orang-orang Yahudi itu sendiri.
36. a.Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari
kelompoknya kecuali ada izin dari Muhammad saw.
b.Tidak diperbolehkan melukai ( membalas ) orang lain yang
melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya.
Siapa saja yang membunuh orang lain sama dengan
membunuh diri dan keluarganya sendiri, kecuali jika orang
itu melakukan kezaliman. Sesungguhnya Allah
memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.
37. Orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam membiayai pihaknya
masing-masing. Kedua belah pihak akan membela yang lainnya
dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-
kelompok masyarakat yang menyetujui naskah konstitusi (
Piagam ) ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran
dan nasehat dalam kebaikan, bukan perbuatan dosa.
271

38. Seseorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya. Dan


orang teraniaya akan mendapatkan pembelaan.
39.Orang-orang Yahudi bersama-sama dengan orang-orang Islam
saling menanggung pembiayaan ketika dalam situasi perang.
40. Daerah-daerah Yastrib ( Madinah ) adalah tanah terhormat (
haram ) bagi orang-orang yang menyetujui naskah konstitusi
(Piagam) ini. 117
41. Tetangga itu seperti halnya diri sendiri, selama tidak
membahayakan ( merugikan ) dan tidak berbuat dosa.
42. Suatu kehormatan tidak dilindungi, kecuali atas izin orang yang
berhak atas kehormatan itu118.
43. Suatu peristiwa atau konflik yang terjadi antara pihak-pihak
yang menyetujui naskah Piagam (al-Shahifah) ini dan
dikhawatirkan membahayakan kehidupan bersama harus
diselesaikan dengan merujuk kepada Allah dan Muhammad
rasulullah saw. ( Al-Qur`an dan sunnah Nabi ). Allah akan
memperhatikan isi naskah Piagam yang dapat memberikan
perlindungan dan kebijakan.
44.Dalam hubungan ini warga yang berasal dari etnik Quraisy dan
warga lain yang mendukungnya tidak akan mendapat
pembelaan.
45.Semua warga saling bahu membahu dalam menghadapi pihak-
pihak yang melancarkan serangan terhadap Yastrib (Madinah).
46. Jika mereka ( penyerang ) mau diajak untuk berdamai dan
mereka memenuhi ajakan itu serta melaksanakan perdamaian,
maka perdamaian tersebut dianggap sah. Jika mereka
mengajak berdamai, maka komunitas muslim wajib memenuhi
ajakan serta melaksanakan perdamaian tersebut. Setiap orang

117
.Dalam menentukan tanah haram Madinah, Nabi Muhammad
mengeluarkan perintah kepada salah seorang sahabat untuk membangun batas-
batas tanah haram Madinah dengan tembok yang merentang dari sebelah Timur ke
Barat. Dari sebelah Selatan dengan batas Gunung Thur, dan dari sebelah Utara
dengan batas Gunung Iir dan Wadi al-Aqiq ( Jurang al-Aqiq ) berada dalam tanah
haram. Lihat. Muhammad Hamidullah: Majmu`ah al-Watha`iq al-Siyasiyah Li al-
`Ahd al-Nabawiy wa al-Khilafah al-Rasyidah ( Beirut: T.pt.; 1969 ), h. 441 - 442
118
. Muhammad Hamidullah mengartikan poin (42) dengan haramnya
bertetangga atau tidak diperbolehkan bertetangga dengan seseorang, kecuali atas
izinnya. Lihat, Muhammad Hamidullah, Majmu`ah al-Watha`iq al-Siyasiyah. h.
442
272

wajib melaksanakan ( kewajiban ) masing-masing sesuai


dengan fungsi dan tugasnya.
47. Orang-orang Yahudi suku Aus sekutu ( hamba sahaya) dan
dirinya masing-masing memiliki hak sebagaimana kelompok-
kelompok lainnya yang terikat dengan perjanjian ini (
sebagaimana tertuang di dalam Piagam ini ) untuk
mendapatkan perlakuan yang baik sesuai dengan yang
semestinya dari kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya
kebaikan itu berbeda dengan perbuatan dosa.Setiap orang
harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang
dilakukannya, dan sesungguhnya Allah menyetujui isi Piagam
yang paling murni dan paling baik.
48. Sesungguhnya Piagam ini tidak dapat mencegah atau
menghalang,selain terhadap orang-orang yang berbuat aniaya
dan dosa (penghianat). Dan sesungguhnya setiap orang dijamin
keamanannya, baik orang yang sedang berada di Madinah
maupun yang sedang berada di luar Madinah, kecuali orang
yang berbuat aniaya dan dosa. Allah pelindung bagi orang-
orang yang berbuat kebaikan dan taqwa.119

Muhammad Rasulullah saw.

Para sarjana muslim dan non muslim banyak yang menyebut


naskah politik ini dengan berbagai nama. Ibnu Hisyam
menyebutnyaal-Shahifah.120Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy
menyebutnyaal-Dustur al-Madaniy.121Muhammad al-Sayyid al-
Wakil menyebutnyaal-Mu`ahad.122C.W. Montgomery Watt

119
. Salinan teks Piagam Madinah ke dalam bahasa Indonesia hampir
seluruhnya mengikuti terjemahan Munawwir Sjadzali, dalam Islam dan Tata
Negara. h. 10 – 15.
120
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, Juz 2, h. 527 – 531.
121
. Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-Islam,
al-Hayat al-Ijtima`iyah wa al-Siyasiyah wa al-Tsaqafiyah, h. 58
122
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula, h. 31 - 33
273

menyebutnyaThe Constitusion of Madina.123R.A Nicholson


menyebutnyaThe Charter. 124 Majid Khadduri menyebutnya The
Treaty.125Philip K. Hitti menyebutnyaThe Agreement.126Zainal
Abidin Ahmad menyebutnyaPiagam.127

Piagam Madinah ini, sebagaimana dijelaskan di atas digagas


oleh Nabi Muhammad saw.sebelum cukup dua tahun
kedatangannya di Madinah. Kemudian dalam rangka memberikan
tanggapan terhadap Piagam ini terkait kedudukannya sebagaia
perangkat atau aturan bagi kehidupan masyarakat Madinah untuk
tujuan kedamaian dan ketentraman hidup sehingga tercipta persatuan
dan kesatuan umat.Dalam konteks ini, Munawir Sjadzali
menyatakan; banyak para ahli ilmu politik Islam berpendapat bahwa
Piagam Madinah ini adalah konstitusi atau undang-undang dasar
bagi negara Islam pertama yang didirikan Nabi Muhammad di
Madinah.Maka atas dasar ini, Munawir Sjadzali selanjutnya
menegaskan bahwa telaah yang seksama atas Piagam ini menjadi
sangat penting dalam rangka kajian ulang tentang hubungan antara
Islam dan ketata negaraan dalam Islam. 128

4. Prinsip-Prinsip Piagam Madinah

Piagam ini merupakan naskah politik yang kedudukanya


sebagai Dustur atau Konstitusi. Piagam ini memiliki tiga bagian dan
empat puluh tujuh atau empat puluh delapan poin ( bundan ).129
Tiga bagian itu ialah;
Pertama; Aturan-aturan yang mengatur secara khusus terkait orang-
orang Islam Muhajirin dan Anshar,
123
. C.W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina ( London: Oxford
University Press, 1972 ), h. 93
124
. R.A. Nicholson, 1969, h. 173
125
. Majid Khadduri, War and Peace in The Law of Islam ( Baltimor: The
Jonh Hopkins Press, 1955 ), h. 4
126
. Philip K. Hitti, 1973, h. 35
127
. Zainal Abidin Ahmad, 1973
128
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 10
129
.Lihat, Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-
Islam. h. 59
274

Kedua; Aturan-aturan yang mengatur secara khusus terkait orang-


orang Yahudi yang terdiri dari berbagai etnik,
Ketiga; Aturan-aturan yang diberlakukan secara umum meliputi
seluruh warga Madinah.130

Beberapa ketentuan di dalam Piagam ini antaranya; Semua


orang Islam dengan berbagai perbedaannya, baik dari aspek
kecendrungan dan suku adalah satu umat ( bangsa). Di dalam
Piagam ini terdapat adanya toleransi dan saling pengertian antara
sesama umat beragama yang berbeda, yaitu adanya pengakuan
terhadap kebebasan beragama dan keyakinan bagi orang-orang
Yahudi. Dari aspek tanggung jawab terhadap warga Madinah dalam
hal menjaga stabilitas dan ketentraman warga, maka seluruh
penduduk Madinah tanpa terkecuali diwajibkan mempertahankan
Madinah dari segala bentuk ancaman musuh. Dalam rangka
terciptanya persatuan dan solidaritas bagi seluruh warga Madinah,
maka Piagam ini menetapkan bahwa setiap individu dari penduduk
Madinah memiliki ikatan dan tanggung jawab bersama terhadap
yang lainnya. Sebagai bukti adanya sikap inklusivitas umat Islam,
Piagam ini memberi kesempatan kepada orang-orang Yahudi untuk
memeluk agama Islam. Dalam rangka memupuk solidaritas dan
tanggung jawab bersama bagi semuapenduduk Madinah, maka
ketika sewaktu-waktu terjadi kondisi darurat, di mana Madinah
dinyatakan dalam keadaan bahaya ( perang ), Piagam ini
menetapkan bahwa pembiayaan perang ditanggung bersama oleh
seluruh penduduk Madinah. 131

Senada dengan di atas, Munawir Sjadzali dalam analisisnya


menyatakan bahwa landasan-landasan dasar yang telah diletakkan
melalui Piagam Madinah bagi kehidupan bernegara untuk
masyarakat majemuk adalah semua penduduk Islam, meskipun
berasal dari banyak suku tetapi merupakan satu komunitas.
Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dengan anggota
komunitas-komunitas lainnya didasarkan atas prinsip-prinsip; a).

130
. Lihat, Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-
Islam, h. 58
131
. Ibid. h. 59 - 60
275

Bertetangga baik.b). Saling membantu dalam menghadapi musuh


bersama. c). Membela mereka yang teraniaya. d). Saling menasihati,
dan e). Menghormati kebebasan beragama. 132

Prinsip-prinsip utama yang terkandung di dalam Piagam


Madinah dapat disampaikan sebagai berikut;

1. Piagam atau Konstitusi Madinah telah menetapkan hubungan


antara sesama komunitas muslim berdasarkan akidah Islam
sebagai pengganti dari hubungan yang sebelumnya berdasarkan
keturunan atau qabilah. Oleh karenanya Piagam Madinah telah
menjadikan umat Islam sebagai satu umat yang diikat dengan
ikatan keimanan. Ikatan ini melahirkan sikap komitmen
terhadap aturan-aturan yang disampaikan Nabi Muhammad saw.

2. Piagam Madinah tidak membatasi warga ( penduduk ) Madinah


hanya komunitas muslim saja, tetapi meliputi seluruh elemen
masyarakat, termasuk etnik Yahudi. Oleh karena itu dari segi
sosial keagamaan Piagam Madinah mengakui perbedaan
keyakinan dan agama, maka Piagam Madinah mengakui
kehidupan masyarakat yang plural atau majemuk.

3. Piagam Madinah secara konstitusional telah menetapkan Nabi


Muhammad sebagai kepala negara ( rais al-daulah ). Hal ini
sebagaimana ditegaskan di dalam teks Piagam jika dalam situasi
apapun terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah,
maka harus diputuskan berdasarkan ketentuan Allah (al-
Qur`an) dan Muhammad saw. Dan jika terjadi konflik di antara
elemen masyarakat yang mengakibatkan terjadinya kehancuran,
maka harus merujuk kepada Allah dan Muhammad saw. Dalam
konteks ini terdapat dua pernyataan yang berbeda. Pertama; Jika
terjadi perbedaan pendapat di anatara penduduk yang mematuhi
ketentuan-ketentuan Piagam Madinah ini, tidak serta merta
dilaporkan kepada Nabi, kecuali jika menimbulkan fitnah di
antara sesama penduduk. Sementara pernyataan kedua; yaitu
adanya perbedaan apapun bentuknya supaya dirujuk kepada

132
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 15 - 16
276

Allah dan Nabi, agar Nabi memberikan keputusan. Secara


konstitusional hal ini memberi pengertian bahwa Nabi
Muhammad saw. memiliki otoritas untuk mengeluarkan
keputusan, kebijakan atau perintah terkait hal-hal yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Keputusan yang
dikeluarkan Nabi adalah keputusan yang bermuatan hukum yang
bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh warga
Madinah tanpa melihat perbedaan status sosial, etnik dan
penganut agama apapun.

4. Prinsip keadilan dan persamaan. Kedua prinsip ini banyak


ditegaskan di dalam al-Qur`an dan Hadits-hadits Nabi. Dalam
beberapa ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan prinsip keadilan,
antaranya ditegaskan di dalam surat al-Nahl, ayat 90 yang
artinya sebagai berikut;
Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan.133

Di dalam surat al-Nisa Allah menegaskan yang artinya;


Sesungguhnya Allah memerintah (kamu) menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila
menetapkan hukum di antara orang-orang hendaknya kamu
menetapkan (memutuskan) dengan adil . . . . .134

Implementasi keadilan yang diwajibkan al-Qur`an dan Hadist-


hadist Nabi. bukan saja terkait masalah keadilan dalam putusan
hukum,terkait adil dalam tindakan pidana, tetapi juga adil dalam
ucapan.135Prinsip persamaan ternyata merupakan prinsip yang
paling penting dalam penyusunan konstitusi di era modern dan
kontemporer. Prinsip persamaan dimaksudkan bahwa setiap
individu dalam masyarakat adalah sama di dalam menunaikan
hak-hak asasi, kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban. Oleh
karenanya tidak ada perbedaan antara individu di dalam
masyarakat hanya karena perbedaan status sosial, keturunan,
133
. Al-Qur`an, 16: 90.
134
. Al-Qur`an, 4: 58
135
. Muhammad Salim al-awwa, Fiy al-Nidham al-Siyasiy Li-al-Daulah
al-Islamiyah ( Beirut: Dar al-Syuruq, 1989 ), h. 206
277

etnik, bahasa dan kepercayaan. Prinsip-prinsip yang menjadi


dasar kehidupan adalah persamaan di depan hukum dan undang-
undang, bukan persamaan di dalam pekerjaan atau dalam status
sosial. Persamaan di depan undang-undang artinya bahwa setiap
individu dalam masyarakat secara keseluruhan harus tunduk dan
petuh kepada undang-undang yang berlaku.

5. Pengakuan terhadap keberadaan tradisi (adat istiadat ). Piagam


Madinah memberi pengakuan terhadap tradisi masyarakat atau
adat istiadat (budaya) yang sudah wujud di dalam masyarakat
Arab sebelum kedatangan Islam, antaranya seperti sistem
qabilah atau etnik yang sudah eksis sejak sebelum kedatangan
Islam. Kehadiran Nabi Muhammad saw. di Madinah tidak lantas
membatalkan keseluruhan praktik-praktik adat istiadat sebagian
masyarakat yang sudah berlangsung sekian lama, tetapi dengan
catatan selama adat istiadat tersebut tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam, bahkan adat istiadat yang
mengandung potensi adanya kerja sama (saling bantu
membantu) dalam kebaikan, justeru mendapatkan justifikasi.
Realitas ini sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Muhammad
Musthofa Syalabiy; bahwa salah satu pendekatan yang dilakukan
dalam rangka syariatisasi umat adalah adanya pengakuan
terhadap praktik-praktik adat kebiasaan masyarakat sepanjang
mengarah kepada kebaikan. Islam pada awal kelahirannya
mengakui istiadat masyarakat Arab sebelum Islam jika itu
kebiasaan yang baik dan Islam membatalkan adat istidat yang
mengarah kepada kerusakan. 136

6. Penataan perangkat-perangkat kekuatan politik. Berdasarkan


ketentuan-ketentuan yang ditetapkan di dalam Piagam Madinah,
secara politis negara Madinah telah terbentuk. Dengan serentak
negara melakukan penataan perangkat-perangkat dalam rangka
memenej atau mengatur berbagai aktivitas politik. 137 Oleh

136
. Muhammad Musthofa Syalabiy, al-Fiqh al-Islamiy Bayna al-
Misaliyah wa al-Waqi`iyah ( Iskandariah: T.pt., 1960 ), h. 68
137
.Pemahaman negara pada awal-awal Islam masih dalam bentuk
sederhana, tidak seperti di era modern atau kontemporer, karena kompleksitas
permasalahan pada setiap aspek kehidupan yang dihadapi. Walau bagaimanapun,
278

karena itu, Negara Madinah melakukan penegakan keadilan


dengan melaksanakan supremasi hukum, sistem pertahanan dan
menciptakan strategi perang, baik yang dikomandoi langsung
oleh Nabi Muhammad sendiri atau oleh panglima perang yang
diangkat Nabi. Penataan sistem pendapatan, antaranya melalui
pengelolaan zakat secara sistematik. Penataan hasil rampasan
perang (al-Ghanimah ), Jizyah atau pajak yang dikenakan
kepada orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di
wilayah yang dikuasai umat Islam. 138 Melakukan negosiasi dan
perjanjian damai atau genjatan senjata dengan kelompok-
kelompok yang berseteru dengan umat Islam. Mengutus para
Diplomat (safir atau duta) ke pemerintah luar negeri yang
kemudian tercipta dasar-dasar hubungan Internasional di era
kontemporer.139

7. Piagam Madinah menegaskan prinsip-prinsip persamaan,


menolak tirani dan sama-sama memelihara hukum, bahkan bagi
kaum beriman pada umumnya.

8. Orang-orang Yahudi diintegrasikan ke dalam badan politik tanpa


mencabut hak kebebasan keagamaan mereka. 140

9. Piagam Madinah mengakui eksistensi kesukuan, marga atau


etnik yang sudah menjadi tradisi sekian lamanya pada

penataan negara pada awal-awal peradaban Islam dengan distribusi jabatan yang
masih terbatas, seperti Raja, Khalifah, Sultan (Kepala negara) dibantu oleh
beberapa staff atau pembantu. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh seorang
Amir atau Wali (Gubernur) dengan dibantu oleh beberapa orang staffnya, serta
Komandan perang yang memimpinpasukan perang, baik ditingkat pusat atau
ditingkat daerah.
138
.Lihat, M. Salim al-Awwa, Fiy al-Nizom al-Siyasiy Li-Daulah al-
Islamiyah.h. 55 – 62. Lihat juga, Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mu`thi
Muhammad, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam; Shakhshiyyat wa Madhahib (
Iskandariyah: Dar al-Ma`rifah al-Jami`iyyah, T.th. ), h. 62
139
. Syaikh Abdul Hayyi menjelaskan secara rinci tentang pengutusan
para Diplomat pada masa Nabi Muhammad saw. dalam karyanya; al-Taratib al-
Idariyah (Sistem Menejemen). Bukunya diterbitkan di Rabat tahun 1346,
kemudian diulang terbit di Beirut.
140
. Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam( terj. ) Political Science an
Islamic Perspective, ( Bandung: Penerbit Pustaka, 2001 ), h. 110
279

masyarakat waktu itu. Walau bagaimanapun, tradisi kesukuan ini


tidak dijadikan kriteria dalam menentukan tinggi rendahnya
martabat seseorang, karena ketinggian martabat seseorang
ditentukan oleh kualitas ketakwaannya kepada Allah.

Berdasarkan fakta-fakta di atas terkait aturan-aturan yang


terkandung di dalam Piagam Madinah atau konstitusi Madinah dapat
ditegaskan bahwa sistem perpolitikan di Madinah meskipun sangat
sederhana telah mengakar pada masyarakat bawah (grasrut).
Sebagai pemimpin keagamaan dan temporal Nabi Muhammad saw.
mengatur hubungan-hubungan sosial, membuat aturan atau undang-
undang berdasarkan al-Qur`an dan melaksanakannya, mengangkat
komandan pasukan perang, dan kadang Nabi sendiri memimpin
pasukan perang. 141Dan ketika wilayah kekuasaan Madinah meluas,
Nabi Muhammad mengaturnya melalui musyawarah dengan para
sahabatnya. Realitasnya, semua masalah penting yang tidak
terungkap di dalam wahyu Allah, baik al-Qur`an atau Sunnah Nabi
sendiri, ditetapkan oleh Nabi melalui proses musyawarah, seringkali
Nabi mengundang masyarakat untuk berkumpul mendiskusikan
masalah dan kemudian Nabi sendiri mengikuti pendapat mayoritas
yang disampaikan dalam musyawarah meskipun pendapat tersebut
bertentangan dengan pendapatnya sendiri, sebagaimana dicontohkan
di dalam musyawarah untuk mengatur strategi perang Uhud pada
tahun ke tiga Hijriyah atau tahun 625 M.

Kelengkapan struktur penduduk Madinah dalam beberapa


hal sangat menentukan keberhasilan penataan penduduk yang sesuai
dengan tujuan risalah Nabi. Keanggotaannya didasarkan pada
keimanan, di mana semua orang beriman adalah saudara satu sama
lain dan dengan demikian, mereka membentuk satu kesatuan (al-
wahdah), baik dilihat dari aspek sosial keagamaan ataupun sosial
kemasyarakatan. Di bawah panji kesatuan ini, semua orang adalah
sama tanpa ada perbedaan, kecuali yang membedakannya adalah
ketakwaan, kesalehan dan kebaikan seseorang berdasarkan ajaran-
141
. Nabi Muhammad saw. memimpin pasukan perang sebanyak dua
puluh lima kali, meskipun perang yang sebenarnya terjadi sembilan kali. Lihat,
Maulana Jauhar Rahman, Islami Siyasat ( Lahore: al-Manar Book Center, 1982 ),
h. 189
280

ajaran agama. Oleh karena itu, dalam konteks ini sebenarnya tidak
ada perjuangan hanya untuk memperoleh kekuasaan semata, karena
manusia-manusia tidak lain adalah ciptaan Allah, Allah-lah Zat
Penguasa yang sebenarnya. Posisi manusia di muka bumi adalah
sebagai khalifah,baik dalam pengertian sosiologis, ataupun dalam
pengertian politis, dalam arti pengganti dan penerus perjuangan
Nabi yang missinya tidak lain adalah memenej kehidupan yang baik
sesuai dengan tuntutan ajaran yang mulia. 142

Sebagai khalifah, setiap individu muslim bertanggung jawab


untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik, maka konsekuensinya
masyarakat yang telah ditata dengan sistem tatanan politik turut
berpartisipasi dalam hal-hal penting yang menyangkut urusan
publik.143 Keputusan-keputusan diambil sesuai dengan tuntutan al-
Qur`an dan musyawarah dengan anggota-anggota masyarakat.
Dalam sepuluh tahun kemudian umat Islam pada waktu itu telah
mengembangkan aparat pemerintahan yang memiliki potensi untuk
perluasan wilayah selanjutnya, 144 maka tidak mengherankan jika
dalam masa tersebut kebanyakan penduduk wilayah di Jazirah Arab
(Semenanjung Arab) bergabung di bawah kekuasaan Madinah. 145
Dari sinilah pula telah terbangun kaidah-kaidah asas atau nilai-nilai
dasar sebagai landasan bagi pengelolaan negara Madinah, dan ini
sudah dimulai sejak era ke-Nabian yang kemudian dilanjutkan di era
Khulafa al-Rasyidin, dalam artian bahwa sejak era ke-Nabian semua
aktivitas dalam kehidupan kenegaraan telah dibentuk berdasarkan
petunjuk al-Qur`an, di mana di dalamnya terkandung prinsip-prinsip
dasar, undang-undang dasar, konstitusi, dustur yang kesemuanya itu
berkaitan dengan kehidupan perpolitikan ( siyasah dauliyah ).

Perlu disampaikan di sini bahwa di dalam Piagam Madinah


tidak terdapat pernyataan yang menggunakan kata Islam sebagai
dasar bernegara. Secara objektif ini menunjukkan pada substansi dan

142
. Lihat, Abdul Rasyid Moten, Ilmu olitik Islam, terj. Political Science:
An Islamic Perspective, h. 111
143
. Ibid.
144
. Ibid.
145
.Lihat, Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nidham al-Siyasiy Li-
Daulah al-Islamiyah. h. 61 - 62
281

pendekatan strategis, karena jika menggunakan kata Islam


barangkali akan menimbulkan masalah hubungan antara masyarakat
muslim dan masyarakat non muslim, seperti orang-orang etnik
Yahudi, begitu juga dengan penduduk yang masih menganut agama
nenek moyang mereka seperti agama penyembah berhala. Dan
semua ajaran yang bersumberkan wahyu telah dilaksanakan tanpa
ada hambatan yang signifikan.Oleh karena itu negara Madinah tidak
didasarkan secara tertulis kepada dasar Islam, meskipun realitasnya
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad dan diteruskan oleh para
Khulafa al-Rasyidin dinyatakan sebagai negara Islam dalam
praktiknya. Dari sisi lain bahwa Piagama Madinah sebenarnya
bersifat sementara, karena beberapa suku Yahudi sebagai salah satu
elemen masyarakat Madinah, setelah dinyatakan menghianati
Piagam Madinah yang mengakibatkan merekadiusirdari Madinah,146
ditambah banyaknya penduduk Madinah dari hari ke hari banyak
yang masuk Islam, maka Piagam Madinah tidak lagi digunakan
sebagai dasar pembinaan hubungan antar masyarakat, karena secara
otomatis al-Qur`an menjadi dasar pembinaan kehidupan masyarakat,
ketika semua penduduk Madinah sudah beragama Islam.

Atas dasar analisis di atas, dapat ditegaskan bahwa Piagam


Madinah adalah konstitusi dasar yang dipergunakan untuk mengatur
hubungan antara elemen masyarakat Madinah yang plural atau
majemuk. Dalam konteks ini, Ahmad Sukardja dalam karyanya;
Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945, menegaskan
bahwa Piagama Madinah ini adalah Konstitusi Negara Madinah
yang lahir pada awal klasik Islam, yaitu sekitar tahun 622 M.
Konstitusi yang dibuat oleh serang negarawan yang berkedudukan
sebagai Rasul, Muhammad ibnu Abdillah dengan dibantuu oleh

146
. Orang-orang Yahudi diusir dari Madinah setelah mereka dinyatakan
melakukan pengkhianatan terhadap Piagam Madinah, maka Nabi Muhammad
saw. yang kapasitasnya sebagai pemimpin umat dan atas dasar otoritas yang ada
padanya, mengambil tindakan untuk mengeluarkan orang-orang Yahudi dari kota
Madinah. Tidak semua orang Yahudi diusir, ada beberapa orang-orang Yahudi
tidak turut diusir. Orang-orang Yahudi yang terusir, mereka keluar dari Madinah
menuju ke suatu tempat di Khaibar; suatu daerah yang subur pertanian korma,
daerah yang dekat dengan kota Tabuk. Penulis telah mengunjungi tempat ini.
282

sahabat-sahabatnya.147Demikian juga Ahmad Ibrahim al-Syarif


menyatakan bahwa; saya tidak tahu, suatu negara sebelum negara
Madinah yang dibangun di atas pondasi konstitusi dasar, selain
negara Madinah. Pada umumnya lanjut Ahmad Ibrahim al-Syarif
lanjut menyatakan; negara-negara lain di era klasik seperti
Bizantium, Kerajaan Persia ( Iran saat ini ) dan sebagainya berdiri
pada permulaan, kemudian berkembang, lalu baru menetapkan
konstitusi dasarnya. 148

Piagam Madinah dibuat sebagai perangkat untuk mengatur


kehidupan bersama antara sesama elemen masyarakat Madinah, dan
sebagai dasar aturan untuk memungkinkan setiap individu warga
masyarakat saling berinteraksi149 atas dasar saling menhormati dan
pengertian sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Dalam
konteks ini suatu pertanyaan bisa dikemukakan; Kenapa Nabi
Muhammad saw. melihat perlunya meletakkan dasar-dasar aturan
kehidupan bersama ini?. Tentu saja jawabannya adalah agar tercipta
kesatuan dan perdamaian bagi seluruh warga dan penduduk
Madinah berdasarkan suatu aturan tata tertib, dan mengenakan
sanksi kepada orang-orang yang melanggar aturan tersebut.Selain
dari itu, atas dasar aturan kehidupan tertulis menjadi lebih efektif
dalam menciptakan kehidupan yang teratur dan tertib. 150
Berdasarkan Piagam ini, masyarakat Madinah dibangun di bawah
kepimpinan Nabi Muhammad saw.151Persatuan masyarakat Madinah
pada akhirnya berhasil direalisasikan dalam kehidupan yang nyata.

Oleh karena itu, berdasarkan Piagam Madinah yang telah


disepakati bersama oleh seluruh elemen masyarakat Madinah

147
. Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar
1945,: Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat
Yang Majemuk, ( Jakarta: UI-Press, 1995 ), h. 5
148
. Lihat, Ahmad Ibrahim al-Syarif, Makkah wa al-Madinah Fiy al-
Jahiliyah wa `Ahd al-Rasul, h. 387
149
. Ibid. h. 387
150
. Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-Arabiyah al-
Islamiyah Fiy Hayat Muhammad saw. h. 25
151
. Ahmad Sukardja, Piagama Madinah dan Undang-Undang Dasar
1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat
Yang llural, h. 3
283

(setidaknya tidak ada yang menentang), maka secara otomatis


Madinah menjadi negara (negara kota) yang berdaulat, di mana Nabi
Muhammad sebagai founding fathernya. Dengan demikian, Nabi
Muhammad dipandang bukan saja sebagai Nabi dan Rasul dari sudut
pandang sosial keagamaan, tetapi juga pada saat yang sama Nabi
Mugammad dari perspektif sosial politik adalah sebagai pemimpin
umat dan sekaligus sebagai kepala negara,152 meskipun tidak
bergelar Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sulthan, dan sebagainya,
karena hakikatnya gelar Nabi dan Rasul lebih tinggi derajatnya
ketimbang gelar yang lain-lainya. Nabi sebagai pemimpin tunggal
dengan otoritas berdasarkan kenabian yang bersumberkan wahyu,
serta bertanggung jawab atas segala tindakannya kepada Allah dan
kepada masyarakatnya.

Legitimasi kepemimpinan Nabi Muhammad saw. diperoleh


dari warga dan penduduk Madinah, bahkan legitimasi
kepemimpinanya telah diperoleh sejak perjanjian Aqabah di Mina.
Sehingga dengan legitimasi yang dimiliki memungkinkan Nabi
mengelola (memenej) urusan umat, yaitu kehidupan masyarakat
Madinah dalam berbagai aspeknya, bukan saja dalam hal-hal yang
berhubungan dengan ritual ibadah, akidah dan keimanan, tetapi juga
hal-hal yang menyangkut aktivitas sosial; politik, ekonomi, hukum,
termasuk membentuk angkatan perang, dan sebagainya, sehingga
tercapainya tujuan hidup, yaitu kehidupan yang aman, nyaman dan
damai dalam keharmonisan interaksi antar sesama warga Madinah.

Piagam Madinah sebagai dokumen resmi pada dasarnya


merupakan sistem yang bersifat temporer, artinya Piagam yang
mengandung peraturan umum dan ikatan-ikatan perjanjian tetap
diberlakukan selagi penduduk Madinah masih majemuk, berbeda
agama dan budaya sebagaimana pada tingkat permulaan Madinah
dibangun. Tetapi ketika etnik Yahudi keluar dari Madinah karena
mereka dianggap menghianati Piagam yang telah disepakati
bersama, dan ketika dominasi politik sudah berada di tangan umat
Islam, maka umat Islam secara praktis menjadikan al-Qur`an
sebagai landasan kehihidupan dalam pembinaan keagamaan,

152
. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, h. 22
284

kemasyarakatan, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Karena


sesungguhnya al-Qur`an merupakan dasar hidup yang sebenarnya.

5. Eksistensi Madinah Sebagai Negara

Dalam naskah Piagam Madinah atau konstitusi Madinah


terdapat statmen yang sangat penting berkaitan dengan politik pada
alinea pertama, yaitu;
Ini adalah Piagam ( Shahifah / Wathiqah) dari Muhammad
seorang Nabi. Berlaku di antara kaum mukmin dan muslim
berasal dari suku Quraisy di Yastrib, serta berlaku kepada
siapa saja (dari orang-orang non muslim) yang beriman dan
ikut serta berjuang bersama mereka orang-orang muslim,
maka mereka adalah satu umat (ummatun wahidatun min
duni al-nas).

Dalam konteks ini beberapa sarjana muslim dan non muslim


telah memberikan tanggapannya terhadap fakta sejarah ini sebagai
tindakan dan kebijakan politis yang terjadi pada masa awal
peradaban Islam. Di antara mereka adalah Muhammad al-Sayyid al-
Wakil menegaskan bahwastatmentersebut sebagai deklarasi
berdirinya negara Madinah, maka secara otomatis pemerintahan
Islam di Madinah telah berdiri. 153 Demikian juga W. Montgomery
Watt berpendapat bahwa dokumen politik (Piagam Madinah)
merupakan sumber idea yang mendasari negara Islam pada awal
pembentukannya. 154 Selanjutnya Munawir Sjadzali menegaskan
bahwa banyak di antara pemimpin dan pakar ilmu politik Islam
berpendapat bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-
undang dasar negara Islam yang pertama yang didirikan Nabi
Muhammad di Madinah. 155

153
. Lihat, Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Madinah al-Munawwarah
`Ashimah al-Islam al-Ula. h. 77
154
. W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina, h. 228
155
. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran. h. 10
285

Terkait dengan unsur-unsur pembentukan negara


sebagaimana menjadi syarat berdirinya sebuah negara di era modern
dan kontemporer, Madinah telah memenuhi syarat untuk dikatakan
sebagai sebuah negara, paling tidak ada lima ( 5 ) syarat yang sudah
terpenuhi, meskipun sebenarnya di era Nabi Muhammad dan
Khulafa al-Syidin secara resmi belum ada ketentuan syarat-syarat
berdirinya sebuah negara, yang penting jika sudah ada pemimpin
yang berdaulat, rakyat yang memberikan loyalitas kepada pemimpin
tersebut, dan berada di suatu wilayah, maka sudah bisa dikatakan
telah berdiri sebuah negara. Lima syarat berdirinya sebuah negara
sebagaimana ditetapkan di era modern, sebagai berikut;
1. Undang-undang dasar atau konstitusi (Dustur), yaitu Piagam
Madinah.
2. Wilayah (tanah air), secara geografis masyarakat Madinah
bertempat tinggal di suatu wilayah, yaitu Yasrib atau Madinah.
3. Rakyat, yaitu masyarakat Madinah yang plural, baik dilihat dari
aspek etnik atau pun sosial keagamaan dan kepercayaan.
4. Pemimpin, yaitu Nabi Muhammad saw.
5. Pengakuan dari pemerintah luar negeri. Dalam hal ini secara
defakto Raja Najjasi dari Habsah atau Abesenia (Ethofia
sekarang) Afrika telah memberikan pengakuan terhadap
kekuasaan Madinah yang berada di bawah kepemimpinan Nabi
Muhammad saw. bahkan semenjak di Mekah, Raja Najjasyi
sudah mengakui kenabian dan kemepinpinan Nabi Muhammad
saw.ditambah dengan adanya loyalitas para pemimpin Qabilah di
luar kota Madinah adalah sebagai bukti pengakuan mereka
terhadap kekuasaan dan otoritas Nabi Muhammad saw.

Unsur-unsur ini benar-benar telah terpenuhi pada saat


pembentukan Madinah sebagai sebuah negara, meskipun barangkali
tidak disadari bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad bersama
dengan para sahabat-sahabatnya merupakan aktivitas politik yang
mengarah pada terbentuknya sebuah negara, tetapi secara politis
bahwa semua tindakan itu, yakni tindakan Nabi bersama para
Sahabatnya adalah kebijakan politik. Oleh karena itu tepat apa
yang ditegaskan Ahmad Sukardja bahwa; secara de fakto dan de
286

jure Madinah telah terbentuk sebagai sebuah negara.156Hal ini


berbeda dengan pandangan Ali Abd. Al-Raziq yang berpendapat
bahwa pada masa Nabi Muhammad tidak terbentuk negara. Hal
inikarena menurutnya Nabi hanya berkedudukan sebagai Rasul,
bukan Raja, dan oleh karenanya tidak mendirikan negara, negara
Islam baru terbentuk bermula sejak Abu Bakar dibaiat sebagai
Khalifah.157

Pembentukan angkatan perang yang barangkali bisa


dikatakan semi militer adalah mutlak diperlukan sebagai unsur
terpenting perangkat negara. Angkatan perang diperlukan dalam
rangka mempertahankan, menjamin keselamatan dan kedamaian
semua penduduk. Madinah dalam perkembangan selanjutnya
ternyata menjadi ibu kota negara ( `Ashimah al-Daulah ), ketika
semua wilayah di Jazirah Arab atau Semenanjung Arab memeluk
Islam dan menyerahkan mandat kekuasaan mereka kepada Madinah,
baik secara damai atau setelah melalui perang, seperti Mekah dan
qabilah-qabilah yang ada di sekitar Jazirah Arab. 158Maka
berdasarkan fakta sejarah ini, Madinah menjadi pusat kekuasaan
yang menjadi perhatian dunia saat itu.

Negara Madinah dipimpin oleh Nabi Muhammad selama


kurang lebih sepuluh tahun dan dasar-dasar aturan serta pondasi
kekuasaan telah tertata, meskipun masih dalam tataran permulaan
sehingga Nabi Muhammad dapat menguasai kehidupan
perpolitikan. Madinah kemudian menjadi contoh atau model untuk
perbandingan pembentukan masyarakat dan negara di era modern
dan kontemporer.159 Oleh karena itu kemudian muncul apa yang

156
.Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945.
h. 97
157
. Lihat Ali Abd. Al-Raziq, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan, Kajian
Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, terj. al-Islam wa Ushul al-Hukm (
Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002 ), h. 60 – 61. Lihat juga Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara. h. 142 - 143
158
. Muhammad al-Sayyid al-Wakil, al-Harakah al-Islamiyah Fiy `Ashr
al-Rasul wa Khulafaihi ( Jeddah: Dar al-Mujtamak, 1986 ), h. 156
159
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd. Al-Mu`thi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam: Shakhshiyyat wa Nadhahib, h. 62
287

disebut dengan konsep masyarakat Madani atau dalam istilah lain


civil society, yaitu masyarakat berperadaban yang menerapkan hak-
hak asasi, keadilan, persamaan, toleransi, kebebasan berekspresi dan
sebagainya.

Dalam rangka mengahadapi kemungkinan-kemungkinan


gangguan atau pelanggaran yang datang dari musuh, Nabi
Muhammad sebagai pemimpin dan penguasa Madinah mengatur
strategi dan membentuk pasukan kekuatan sebagai upaya untuk
mempertahankan kedaulatan Madinah. Ketika bahaya ancaman itu
jelas-jelas sudah diarahkan kepada umat Islam di Madinah, maka
kemudian umat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan;
1. Untuk mempertahankan diri dan melindungi hak
milikmya.
2. Menjaga keselamatan umat dan akidah, serta
mempertahankannya dari orang-orang yang
menghalanginya. 160

Demikian pembahasan terkait orientasi politik yang muncul


dan berproses secara alami dari Nabi Muhammad dan komunitas
muslim yang dibina langsung olehnya sebagai bagian masyarakat
yang tumbuh dan berkembang untuk mencapai cita-cita agung, yaitu
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Dalam upaya mencapai
cita-cita ini tentu saja mau atau tidak, harusmelalui langkah-langkah
strategis dan aktivitas-aktivitas lain yang dipandang perlu, meskipun
barangkali tidak disadari bahwa itu adalah aktivitas-aktivitas politik
dalam pemahaman kontemporer.

Beberapa hal penting lain yang pernah dilakukan Nabi


Muhammas saw. adalah terkait dengan upaya penataan ekonomi,
dan apa yang pertama kali dilakukannya adalah penarikan zakat dan
pajak ( jizyah ) sebagai bentuk kewajiban bagi orang-orang yang
sudah ditentukan di dalam kewajiban pengeluaran sebagian harta
tersebut. Manfaat harta zakat dan pajak tersebut adalah untuk
kepentingan umat Islam itu sendiri dan tentu saja untuk kepentingan

160
. Lihat Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam ( Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989 ), h. 28 - 29
288

operasional negara baru. Beberapa hal penting tersebut sebagai


berikut;
1. Zakat dengan berbagai jenisnya; yaitu sebagian harta
kekayaan orang-orang Islam yang wajib dikeluarkan,
kemudian didistribusikan kepada mustahiknya setelah
memenuhi persyaratan.
2. Jizyah; yaitu pajak kepala (dharibah) diwajibkan kepada
Ahlul Dhimmah, yaitu orang-orang non muslim yan
bertempat tinggal di wilayah kekuasaan Pemerintahan
Islam. 161
3. Kharraj; yaitu pajak bumi yang dikenakan kepada para
petani non muslim yang bertempat tinggal di wilayah
kekuasaan Pemerintahan Islam.
4. Pajak harta perdagangan; yaitu pajak yang dikenakan
terhadap harta perdagangan yang memiliki nilai tambah
dan berkembang, zakat atau pajaknyaper sepuluh.
5. Harta Fei; yaitu harta kekayaan yang dihasilkan dari
musuh umat Islam tanpa melalui perang. Di antara
kekayaan Fei, ialah; Bumi (harta) Bani Nadhir, Bumi
(harta) Fadak, dan harta kekayaan daerah Khaibar.
6. Hrta kekayaan ghanimah; yaitu harta kekayaan yang
dihasilkan melalui perang yang dimenangkan oleh
Tentara Islam. 162

Dalam hal pendidikan, Nabi Muhammad saw. seorang


pendidik atau murabbi yang senantiasa memberikan bimbingan dan
pengajaran kepada masyarakatnya tanpa mengenal lelah dan
imimng-iming bayaran (gajih), baik ketika di Mekah ataupun di
Madinah. Keberhasilan pendidikan yang dibangun NabiMuhammad
saw. tidak diragukan lagi. Hal ini dapat dibuktikan dengan lahirnya

161
.Ketetapan pajak kepala (Jizyah) ini juga banyak diberlakukan di masa
Khalifah Umar bin Khattab kepada penduduk Iraq, Persia (Iran saat ini), Syam
(Syria dan Libanon pada saat sekarang), kepada penduduk Mesir dan sebagainya.
162
. Lihat Musthofa al-Hamsyariy, al-Nizam al-Iqtishadiy Fiy al-Islam (
Riyadh: Dar al-Ulum, 1985 /1405 ). h. 225 -249. Lihat juga Muhammad al-Aid
al-khathrawiy, al-Madinah Fiy Shadr al-Islam: al-Hayat al-Ijtimaiyyah wa al-
Siyasiyyah wa al-Thaqafiyyah ( Damsyiq, Beirut: Muassish Ulum al-Qur`an,
1984/1404 ), h. 89 – 90.
289

generasi yang memiliki komitmen keimanan dan ketaqwaan yang


sangat kuat, antaranya seperti Abu Bakar al-Siddiq, Umar Ibn
Khattab, Uthman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thaalib, dan sebagainya.
Hanya saja pendidikan dan pengajaran yang disampaikan Nabi
Muhammad saw. bersifat langsung, dan dilakukan di mana saja dan
kapan saja, tidak sebagaimana di zaman modern dan kontemporer, di
mana pendidikan sudah berdasarkan sistem dan penyediaan
berbagai fasilitas, dan oleh karenanya didesains sedemikian rupa
sehingga penyelenggaraan pendidikan sudah terlembagakan dalam
lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau swasta,
.
Sebagai penutup dari pembahasan Bab-3 dapat disampaikan
beberapa hal penting, antaranya; bahwa berdasarkan fakta sejarah
Nabi Muhammad saw. memiliki kedudukan sebagai pemimpin,
bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga sekaligus sebagai
penguasa Madinah. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad
saw. terkumpul dua kekuasaan; kekuasaan spiritual dan kekuasaan
duniawiy. Kedudukannya sebagai Rasul secara otomatis merupakan
kepala negara.163Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam
semakin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu
menyebabkan orang-orang Quraisy Mekah dan Qabilah-qabilah
lainnya yang tidak suka menjadi riskan terhadap perkembangan
situasi di Madinah. Kerisauan ini mendorong mereka melakukan
tekanan yang luar biasa dan melakukan apa saja untuk menghalangi
pergerakan umat Islam. Kegusaran orang-orang Quaraisy telah
terdengar oleh Nabi Muhammad bersama para Sahabat-sahabatnya.

BAB IV
DINAMIKA POLITIK

163
. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld. I, h.
101
290

ERA EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN

1.Situasi Politik Pasca Nabi Muhammad saw. wafat


Kondisi sosial politik dan keagamaan pasca Nabi Muhammad
saw. wafat agak sedikit kacau dan sangat menghawatirkan kesatuan
dan persatuan umat, karena munculnyaberbagai permasalahan
internal umat Islam. 164 Dalam konteks ini, Esposito menggambarkan
kondisi pasca wafatnya Nabi Muhammada saw. bahwa wafatnya
Nabi Muhammad saw. pada tahun 632 M. menyebabkan masyarakat
terpecah kepada dua kelompok yang masing-masingnya
memperebutkan kekuasaan politik; issue tentang hak warisan
pimpinan dan masalah berbagi kuasa.165

Pada sisi lain sebagian masyarakat tidak meyakini bahwa


Nabin Muhammad saw. itu telah wafat, tetapi setelah mereka cari
tahu tentang informasi kewafatan Nabi, baru mereka yakin bahwa
Nabi Muhammad saw. memang benar telah wafat berdasarkan fakta
yang dapat dibuktikan kebenarannya. Tetapi kemudianmasalah
yang muncul adalah keraguan tentang keberagamaan agama Islam
yang disampaikan Nabi Muhammad saw. apakahmereka harus terus
memeluk agama Islam atau berhenti ?. Oleh karena itu sebagian di
anatara mereka ada yang murtad( keluar dari agama Islam dan
kembali memeluk kepercayaan lama, yaitu menganut agama
kepercayaan nenek moyang merekadahulu ). Selain dari itu, ada
sebagian di anatara mereka yang melihat secara politis bahwa kalau
urusan kekuasaan atau politik diserahkan kepada orang-orang
Quraisy pasti akan berubah menjadi kerajaan yang kejam dan
otoriter seperti biasanya. Oleh karena itu ketika mereka tahu bahwa
Nabi Muhammad saw. telah wafat, muncul perbedaan sikap di
antara mereka yang bermuara pada pendirian agar kekuasaan politik
berada di tangan mereka, dan tidak berada pada orang lain atau
komunitas lain.Permasalahan yang muncul selain di atas adalah
orang-orang Anshar merasa riskan dengan orang-orang Quraisy

164
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam; Sykhsiyyat wa Mazahib, h. 108
165
. John L. Esposito, Islamic Politics ( New York: Syracuse University
Press, 1984 ), h. 7
291

(Muhajirin) jika persoalan kekuasaan diserahkan kepada orang-


orang Muhajirin.

Rupanya memang tidak bisa terhindarkan bahwa di sana ada


semacam persaingan. Dampak dari persaingan ini muncul
perbedaan pendapat di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar
tentang masalah kekuasaan atau politik. Orang-orang Muhajirin
menegaskan bahwa kami adalah para pemimpin dan kalian orang-
orang Anshar adalah para menteri. Orang-orang Anshar kemudian
bereaksi dan menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah hak
mereka saja tetapi juga orang-orang Anshar, dan jika hal ini tidak
ada kesepakatan, maka masalah kepemiminan harus berada pada dua
komunitas, yaitu bagi pihak kami ada pemimpin dan bagi orang-
orang Muhajirin ada pemimpin. 166

Sementara sebagian masyarakat yang tidak memiliki


kebanggaan karena mereka bukan orang-orang awal masuk Islam
(laysu min al-sabiqina fiy al-Islam ) atau karena tidak memiliki
kedekatankerabat dengan Nabi Muhammad saw.makasecara politis
mereka tidak meiliki peluang untuk menjadi pemimpin ( khalifah ),
tetapikemudian setelah Abu Bakar terpilih menjadi pemimpin,
mereka secara diam-diam melakukan penentangan dan tidak
mengakui kepemimpinan Abu Bakar. Oleh karena itu mereka
melakukan upaya pemisahan (sparatis) dan menyatakan tidak akan
loyal kepada kepemimpinan Abu Bakar, bahkan mereka
menyatakan tidak akan mengeluarkan zakat, karena mereka
mengirazakat itu sama seperti upeti. Selain dari itu mereka juga
tidak senang kalau masalah kepemimpinan itu berada pada orang-
orang Quraisy, karena hal ini dianggap sebagai merampas
kemerdekaan mereka, dansebagai bentuk pemaksaan di bawah
kekuasaan orang-orang Quraisy dengan mengatasnamakan agama
(mempolitisasi agama).

166
. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah( Kairo: Muassisah al-
Halabiy wa Syurakah, 1967 ), h. 15. Lihah juga Muhammad Jalal Syaraf dan Ali
Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam wa Mazahib, h. 108.
292

Kondisi krisis ini terjadi di beberapa wilayah, antaranya;


Mekah, Thaif, dan lain-lain, ternyata permasalahanya sudah
merebak ke mana-mana di antara qabilah ( clan) yang satu ke
qabilah yang lain, termasuk qabilah-qabilah yang berada di
pedalaman, sehingga hal ini berimplikasi pada tidak adanya
kestabilan politik di pusat pemerintahan di Madinah. 167Di Mekah
telah terjadi guncangan, sebagaian masyarakatnya akan melakukan
murtad. Tetapi kejadian ini bisa diatasi berkat tampilnya seorang
sahabat Nabi bernama Suhail bin Amr yang dengan tegas
menyatakan bahwa kematian Nabi Muhammad saw. tidak akan
melemahkan kekuatan umat Islam, bahkan justeru sebaliknya Islam
akan semakin kuat. Siapa saja yang menyatakan diri keluar (murtad)
dari agama Islam, maka akanaku penggal lehernya. Sikap tegas yang
ditunjukkan Suhail bin Amr berdampak munculnya rasa takut
sebagian orang-orang Mekah dan mereka yang sebelum ini
merencanakan keluar atau murtad dari agama Islam, mereka
membatalkan niatnya, dan bahkan mereka semakin tumbuh
kesedaran untuk tetap teguh pendirian di dalam beragama; agama
Islam.

Di wilayah Thaif kondisinya tidak jauh berbeda dengan di


Madinah dan Mekah, di sana sebagian orang-orang Thaif dari
qabilah Thuqaif merencanakan murtad dari agama Islam secara
beramai-ramai. Tetapi rencana mereka bisa diredam oleh Utsman
bin Abi Ash; salah seorang pegawai yang diangkat Nabi
Muhammad di Thaif. Utsman bin Abi Ash menegaskan kepada
kaum muslimin Thaif; Kalian orang-orang akhir masuk Islam,
janganlah kalian menjadi orang-orang yang awal keluar dari agama
Islam.Pada akhirnya orang-orang Thaif dari qabilah Thuqaif
mengurungkan niat mereka, dan tetap berpegang teguh dengan
agama Islam.
2.Bentuk Negara
Wafatnya Nabi Muhammad saw. pada tahun 632 M.
menandakan berakhirnya era yang sangat cemerlang dalam sejarah

167
. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Amr Bin Ash, ( Kairo: T. Pbt,
1957 ), h. 36 – 37. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi
Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Sykhsiyyah wa Mazahib, h. 109
293

peradaban Islam, yaitu kehadiran seorang pemimpin agung dan luar


biasa yang memiliki otoritas spiritual dan temporal
sekaligusberdasarkan karakter kenabian yang bersumberkan wahyu
Ilahi, dan di dalam waktu yang relatif singkat Nabi Muhammad
berhasil meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Tetapi Nabi Muhammah saw. tidak meninggalkan wasiat
atau pesan tentang siapa di antara sahabatnya yang akan
menggantikannya sebagai pemimpin umat, termasuk tidak
mewariskan tentang tata cara atau mekanisme pemilihan calon
pengganti Beliau, 168 bahkan Nabi Muhammad saw. tidak
menetapkan model atau bentuk pemerintahan ( negara ) seperti apa
yang harus dianut oleh umat Islam di kemudian hari. 169
Semuanya itu diserahkan kepada umat Islam, karenan
memang masalah-masalah politik adalah masalah-masalah yang
dinamis dan melibatkan kepentingan berbagai pihak di masyarakat,
maka diperlukan kesepakatan-kesepakatan yang diputuskan dalam
musyawarah, oleh karenanya Islam menjadikan musyawarah sebagai
dasar dalam membangun kehidupan. Selain itu masalah-masalah
politik selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu sesuai
dengan dinamika kehidupan manusia di sepanjang zaman dan
diberbagai wilayah dan tempat yang berbeda-beda dari aspek
budaya, kecendrungan dan pemikiran.Berdasarkan fakta
sejarahberkaitan dengan praktik perpolitikan umat Islam dapat
dikatakan bahwa Islam ( ajaran Islam yang terangkum di dalam al-
Qur`an) sebenarnya tidak mengatur hal-hal yang sifatnya teknis,
karena masalah teknis berkaitan dengan kebijakan politik, dan
kebijakan ini bisa saja berbeda-beda dari waktu ke waktu, dari satu
tempat ke tempat lain. Oleh karenanya Islam hanya mengtur hal-hal
yang asasatau yang pokok-pokok saja, seperti keharusan
menegakkan keadilan, musyawarah, persamaan hak, persamaan di
depan hukum, dansebagainya.Soal bagaimana teknisnya, diserahkan
kepada umat untuk mendesainnya.
Di dalam al-Qur`an atau Hadis Nabi memang tidak terdapat
petunjuk yang baku tentang bagaimana cara atau mekanisme
168
. Saidi Abu Jaib, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy( Beirut:
Muassisah al-Risalah, 1985/1406 ), h. 207. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negara, h. 21
169
. Lihat John L. Esposito, Islamic Politics. h. 8
294

menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal Nabi,


yang ada adalah petunjuk yang sifatnya umum, yaitu agar umat
Islam penyelesaian masalahyang melibatkan kepentingan orang
banyak (umum) diselesaikan melalui musyawarah, tanpa adanya
mekanisme baku tentang bagaimana musyawarah itu
diselenggarakan. Oleh karena itu di dalam pemilihan ke-empat-
empat para Khulafa al-Rasyidin ( para Khalifah empat; Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib) ) terdapat berbeda-beda
mekanisme pemilihan, artinya tidak menganut satu pola atau cara.
Walaupun begitu, pemilihan para al-Khulafa al-Rasyidin tetap
berdasarkan musyawarah, hanya cara dan teknisnya saja yang
berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang senantiasa berubah,
sehingga Antony Black berkesimpulan bahwa Muhammad saw.
menunjukkan bakat istimewa sebagai seorang pemimpin dan
panglima militer, tetapi tidak membuat ketetapan tentangsuksesi. 170
Terlepas dari apakah Nabi Muhammad saw. membuat cara atau
mekanisme pemilihan calon pemimpin, yang jelas Nabi telah
meletakkan dasar-dasar musyawarah dalam rangka menyelesaikan
masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak. Soal cara atau
mekanismenya tentu saja bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai
dengan perkembangan dan dinamika pemikiran umat manusia di
mana saja berada, baik dulu ataupun sekarang, atau bahkan yang
akan datang.

3.Mekanisme Pemilihan Para Khulafa Al-Risyidin


Kepala negara dalam Islam dipilih dari individu-individu
umat Islam, oleh karenanya umatlah pemilik hak dalam memilih
kepala negara ( khalifahnya ).171 Dari literaturklasik berkaitan
dengan pemilihan kepala negara, Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris menegaskan ada dua ( 2 ) tahap pemilihan kepala negara, yaitu

170
. Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini ( terj. dari ) The History of Islamic Political Thought: From The
Prophet to The Present, hlm. 45
171
. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem,Politik Islam ( terj. ) Al-
Nizam al-Siyasi Fiy al-Islam ( Jakarta: Rabbani Press, 2000 ), hlm. 152
295

tahap pencalonan dan tahap bai`at.172 Tahap pencalonan disebut


juga baiat khusus, karena Ahlul Halli wa A.l-Aqdi (semacam
Lembaga Legislatif) memilih Khalifah dan kemudian
mensosialisasikanya kepada umat untuk mengetahui suara mereka.
Sementara pada tahap berikutnya, yaitu baiat umum yang lebih
mirip dengan pelantikan secara umum, di mana kandidat terpilih
menyampaikan visi dan misinya melalui pidato politik yang
biasanya disampaikan di depan umat di Mesjid atau di tempat
lain. 173Kemuddian setelah selesai pidato, umat Islam membaiat
kandidat terpilih tersebut, baiat dilakukan dengan berjabatan tangan
sambil mengucapkan saya baiat anda sebagai khalifah atau dengan
ucapan saya berbaiat untuk taat dan setia kepada anda. Dalam
konteks ini seorang kandidat terpilihakan dinilai oleh umat tentang
sejauhmana kredibelitas dan kapabelitasnya setelah dinyatakan sah
sebagai khalifah (kepala negara). Hal ini sebagaimana terjadi ketika
memilih Utsman ibn Affan ( Khalifah ke-3). Abu Bakar Siddiq
dipilih sebagai khalifah dengan persetujuan mayoritas umat dan
pembaiatan dilakukan secara massal oleh umat setelah Abu Bakar
dibaiat lebih dulu, yaitu baiat khusus oleh orang-orang yang ikut
serta dalam musyawarah Saqifah Bani Sa`idah. Pemilihan dan
pembaiatan juga dilakukan terhadap Umar bin Khattab dan Ali Ibn
Abi Thalib.
Keharusan mendapatkan kesepakatan umat (publik) atau
dalam konteks saat ini apa yang disebut suara mayoritas
rakyatbagi seorang calon kepala Negara (Khalifah) ditegaskan oleh
para pemikir Islam, antaranya Ibnu Taimiyah. Abu Faris mengutip
pandangan Ibnu Taimiyah yang menegaskan bahwa imamah atau
kepemimpinan menurut Ahlus Sunnah ditetapkan atas persetujuan
umat.Oleh karenanya seseorang tidak dapat menjadi imam jika tidak
mendapatkan persetujuan umat.174 Berdasarkan pandangan ini,
sebenarnya sistem pemerintahan monarkhi dalam Islam tidak
berdasarkan sumber yang kuat bila merujuk kepada implementasi
pemerintahan di masa Khulafa al-Rasyidin. Namun demikian, tidak

172
. Bai`at adalah pernyataan kesetiaan dan ketaatan ( loyal ) dari rakyat
pemilih kepada kepala negara yang terpilih dan sekaligus sebagai kontrak politik
dan bukti legitimasi kepemimpinan yang sah.
173
. Ibid.
174
. Ibid. h. 152
296

ada salahnya dalam Islam jika mendirikan model-model


pemerintahan lain sepanjang dapat memberikan perlindungan
keamanan dan mewujudkan kesejahteraan secara merata kepada
rakyatnya berdasarkan ajaran-ajaran yang disampaikan Nabi
Muhammad saw.
Berdasarkan kajian tentang pola-pola pemilihan para Khulafa
al-Rasyidin yang dimulai dari Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali
Ibn Abi Thalib ternyata melaui pola dan mekanisme yang berbeda-
beda, meskipun substansinya sama, yaitu berdsarkan syura atau
musyawarah. Muhammad Abu Zahrah setelah menganalisa pola-
pola pemilihan yang berlaku kepada ke-empat-empat Khulafa al-
Rasyidin menegaskan bahwa pola-pola pemilihan itu setidaknya ada
empat pola, sebagai berikut.175
a. Pemilihan Langsung dan Bebas
Ketika Nabi Muahammad saw. baru saja wafat dan
jenazahnya masih belum dimakamkan, orang-orang Anshar
mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa`idah. 176 Mereka
bermusyawarah membicarakan masalah kepemimpinan pasca Nabi
Muhammad saw. wafat. Mereka menginnginkan agar
kepemimpipinan dijabat oleh salah seorang tokoh Anshar, karena
orang-orang Anshar menurut anggapan mereka memilikikelebihan-
kelebihan terssendiri. Hal ini sebagaimana ditegaskan Sa`ad Ibn
Ubadah dalam pidatonya di Saqifah. 177Anataranya; bahwa orang-
orang Anshar memberi perlindungan kepada orang-orang
Muhajirin. Dengan ke-Islaman orang-orang Anshar, agama Islam
menjadi lebih berpengaruh dan dapat disebarkan ke seluruh pelosok

175
. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah Fiy al-
Siyasah wa al-Aqa`id wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqh( Qahirah: Dar al-Fikr al-
Arabiy, 1996 ). h. 84
176
. Saqifah adalah Balairung atau majlis yang sering digunakan utuk
pertemuan-pertemuan para Sahabat Nabi. Tampat ini posisinya berdekatan dengan
rumah Sa`ad bin Ubadah, dan tidak jauh dari Pasar Madinah. Pertemuan dalam
rangka membicarakan suksesi kepemimpinan pasca Nabi wafat ini dilakukan
secara tiba-tiba, tidak direncanakan lebih dulu, sebaliknya pertemuan ini
berlangsung karena terdorong oleh keadaan yang mendesak. Lihat Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 22
177
. Abdul Wahhab al-Najjar, al-Khulafa al-Rasyidun( Beirut: al-
Maktabah al-Ashriyyah, 2003 ). h. 18. Lihat juga Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris, Sistem Politik Islam, h.30
297

wilayah di luar Madinah.178 Tidak seperti dulu ketika Nabi


Muhammad saw. bersama dengan sahabat-sahabatnya di Mekah
dalam keadaan tertekan, dikucilkan, diisolasi, dihina, dan berbagai
penyiksaan yang dikenakan kepada komunitas muslim di Mekah
oleh orang-orang kafir Quraisy. Orang-orang Anshar kemudian
tertuju kepada Sa`ad ibn Ubadah untuk diangkat menjadi pemimpin
dan bahkan Hubab salah seorang dari kalangan Anshar sempat
membuat pernyataan bahwa kalau orang-orang Muhajirin menolak
kepemimpinan Sa`ad, usir saja mereka dari Madinah. 179

Berita mengenai adanya pertemuan orang-orang Anshar di


Saqifah itu pada akhirnya sampai juga kepada Umar Ibn Khattab.
Lalu Umar pergi menemui Abu Bakar yang sedang berada di rumah
duka Nabi Muhammad saw. di mana Ali Ibn Abi Thalib memang
sudah berada di situ. Umar memberitahu Abu Bakar tentang apa
yang terjadi di Saqifah dan meminta Abu Bakar untuk bersama-sama
pergi ke Saqifah, lalu keduanya bergegas menuju Saqifah dan di
tengah perjalanan tiba-tiba bertemu dengan Abu Ubaidah, ketiganya
kemudian terus menuju ke Saqifah. Sesampainya di Saqifah, mereka
bertiga terus ikut bergabung musyawarah dengan orang-orang
Anshar.

Setelah terjadi silang pendapat antara kedua komunitas para


sahabat Nabi, yaitu; kominitas Muhajirin dan komunitas Anshar,
sebagian orang-orang Anshar menyampaikan pandangan mereka
untuk membentuk dua kepemimpinan atau Imarah, yaitu dari
kalangan orang-orang Muhajirin seorang pemimpin dan dari
kalangan orang-orang Anshar seorang pemimpin. 180Kemudian
Umar angkat bicara dan menegaskan bahwa; tidak mungkin ada dua
orang pemimpin bisa bersatu dalam satu waktu, pasti akan terjadi
perbedaan-perbedaan pandangan karena perbedaan kepentingan.

Dalam kondisi panas ini beberapa sahabat Nabi di antaranya


Bisyar Ibn Saad, Abu al-Nu`man Ibn Bisyar mengingatkan orang-

178
. Abdul Wahhab al-Najjar, al-Khulafa al-Rasyidun, h. 30
179
. Ibid.
180
. Ibid. h. 30 - 33
298

orang Anshar agar tidak berlebihan dalam menyikapi permasalahan


dan kemudian mereka; Bisyar Ibn Saad, Nu`man Ibn Bisyar,
membenarkan bahwa memang orang-orang Anshar memberi
perlindungan kepada orang-orang Muhajirin, tetapi Nabi
Muhammad saw. keturunan Quraisy, dan oleh karenanya
kaumnyalah (komunitasnya) lebih berhak dan lebih utama dalam
masalah kepemimpinan ini, bertaqwalah kalian kepada Allah dan
jangan saling berselisih (berbeda pendapat).181 Setelah mendengar
apa yang disampaikan Bisyar, Abu Bakar kemudian angkat bicara di
tengah-tengah sidang di Saqifah . . . . . ini Umar dan yang ini Abu
Ubaidah, silahkan yang mana satu yang akan kalian pilih. Umar
Ibn Khattab dan Abu Ubaidah tiba-tiba saja berdiri dan keduanya
berkata; tidak . . . jangan. . . . . jangan kalian pilih kami, justru
kamiakan pilih andaAbu Bakar, karena anda orang yang paling
kami hormatidi kalangan orang-orang Muhajirin.182Ulurkan tangan
anda Abu Bakar, kami baiat anda sekarang juga. Akhirnya semua
orang yang ada di Majlis Saqifah Bani Sa`idah membaiat Abu
Bakar. Dalam pembaiatan ini, orang yang pertama sekali membaiat
Abu Bakar dari kalangan orang-orang Anshar adalah Bisyar bin
Sa`ad dan dari kalangan orang-orang Muhajirin adalah Umar dan
Abu Ubaidah.

Baiat yang dilakukan kepada Abu Bakar di Saqifah ini


menurut para ahli adalah baiat terbatas yang tidak berbeda secara
substansial dengan pencalonan Abu Bakar, karena baiat secara
massal dilakukan pada esok harinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan
Ibnu Hisyam; bahwaketika Abu Bakar dibaiat di Saqifah, pada esok
harinya dia duduk di atas mimbar, kemudian Umar bin Khattab
menyampaikan pidatonya sebagai dimulainya acara kepada hadirin
yang sudah menempati tempat di dalam dan di luar Mesjid (Mesjid

181
. Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, hlm. 159
182
. Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi terkait dengan kelayakan
Abu Bakar terpilih menjadi pemimpin ( Khalifah ) antaranya; Abu Bakar adalah
orang yang bersama-sama Nabi Muhammad saw. di Gua Hiro ketika dalam
pengejaran orang-orang kafir Quraisy. Pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai
imam shalat saat Nabi uzur dalam melaksanakan Shalat berjamaah di Mesjid
Nabi. Hal ini merupakan posisi terhormat bagi siapa saja yang diberikan
kepercayaan untuk menjadi imam dalam shalat berjamaah oleh Nabi.
299

Nabi). Pidato Umar diakhiri dengan seruan agar umat Islam


memberikan baiat kepada Abu Bakar sebagai Khalifah. Pidato Umar
benar-benar dapat menyejukkan umat, sehingga kemudian semua
hadirin yang ada di Mesjid, termasuk yang ada di luar Mesjid
membaiat Abu Bakar secara massal (umum).183 Meskipun demikian
ada beberapa orang tidak ikut membaiat Abu Bakar karena alasan-
alasan pribadi, antaranya; dari kalangan Muhajirin ialah Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah (putri Nabi dan menjadi isteri Ali) dan dari
kalangan Anshar ialah Sa`ad bin Ubadah. Mereka tidak ikut berbaiat
kepada Abu Bakar dengan alasan bahwa hari itu adalah hari
berkabung karena wafatnya seorang yang mulia dan tercinta, yaitu
Nabi Muhammad saw. Sementara Sa`ad bin Ubadah tidak berbaiat
karena dia lawan politik Abu Bakar dalam bursa pencalonan
Khalifah. Jadi Ali bin Ali bin Abi Thalib, Fatimah binti Muhammad
saw. dan Sa`ad bin Ubadah, ketiga-tiganya secara psikologis seperti
ada kekecewaan terhadap apa yang terjadi di Saqifah, meskipun
demikian jika disadari bahwa kejadian di Saqifah itu secara tiba-tiba,
tanpa ada agenda lebih dulu.
Demikianlah mekanisme pemilihan Abu Bakar sebagai
Khalifah pertama dalam sejarah perpolitikan dalam Islam.
Pemilihannya di Saqifah Bani Sa`idah berdasarkan musyawarah. Di
mana di era modern musyawarah atau konsultasi merupakan salah
satu pilar yang sangat menojol dalam sistem demokrasi,
terutamasaat memilih kepala negara melalui mekanisme pemilihan
umum, baik diselenggarakan secara langsung dipilih oleh rakyat
atau pun melalui perwakilan,yang berbeda barangkali dalam
mekanisme atau tata caranya saja. Berdasarkan fakta sejarah,
pemilihan Abu Bakar dilakukan dengan cara sederhana sesuai
dengan kondisi saat itu, artinya pemilihan Abu Bakar tidak melalui
mekanisme yang sistemik sebagaimana pemilihan kepala negara di
era modern dan kontemporer. Sebagai Khalifah pertama, pemilihan
Abu Bakar dalam sejarah peradaban Islam dapat dikatakan berjalan
secara langsung dan demokratis, bebas dari tindakan-tindakan tekan
menekan, intimidasi atau transaksi di belakang layar oleh pihak-
pihak yang berkepentingan, apalagi dengan menghalalkan segala
cara.

183
. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Juz 4, hlm. 1519
300

b.Pemilihan Melalui Kesepakatan Para Elite

Pemilihan seorang kandidat kepala negara dalam eksperimen


politik Islam juga dilakukan melalui usulan yang disampaikan oleh
pemimpin sebelumnya setelah mengadakan musyawarah dengan
para tokoh atau para elite politik, kemudian mendapatkan
kesepakatan bersama. Usulan tersebut selanjutnya memperoleh
dukungan penuh dari umat (rakyat).184Pola pemilihan seperti
initerjadi kepada Umar bin Khattab.

Di akhir-akhir pemerintahan Abu Bakar, Abu Bakar


mengadakan musyawarah secara terbatas dengan para sahabat
senior atau kalangan para elite, antaranya; Abdurrahman bin Auf,
Usman bin Affan, Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudair, serta
sahabat-sahabat yang lain dari komunitas Muhajirin dan
Anshar.185Dalam musyawarah ini Abu Bakar mengajukan usulan
agar Umar saja dipilih menjadi Khalifah setelah dirinya meninggal
nanti. Usulan ini dicatat dalam suatu ordinan oleh Usman bin Affan
yang berada di sisinya. Status ordinan secara hukum sebagai
rekomendasi dari Abu Bakar kepada Umaragar dipilih sebagai
Khalifah. Setelah selesai mencatat apa yang diutarakan Abu Bakar,
kemudian Usman membacakan catatan usulan ini kepada Abu
Bakar, dan Abu menyetujuinya. Para Sahabat senior yang
menghadiri musyawarah ini menyetujui usulan Abu Bakar,
selanjutnya catatan usulan tersebut menjadi dokumen resmi
negara.186

Setelah selesai, Abu Bakar mengundang Umar bin Khattab


untuk memberitahukan hasil keputusan; bahwa para sahabat senior
184
.Dalam konteks pemilihan kandidat kepala negara di era kontemporer
seperti sekarang ini dapat dianalogikan dengan pola pencitraan kepala negara yang
tengah berkuasa kepada calon penggantinya. Pemilihan seperti ini dilakukan
dengan tujuan agar calon penggantinya nanti bisa diharapkan dapat meneruskan
kebijakan-kebijakannya setelah menjadi kepala negara secara definitif.
185
.Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, terj. al-
Nizam al-Siyasi Fiy al-Islam, hlm. 161. Lihat juga Abdul Wahhab al-Najjar, al-
Khulafa al-Rasyidun.hlm. 96 -98. Lihat juga Saidy Abu Jayb, Dirasat Fiy Manhaj
al-Islam al-Siyasi, hlm. 217
186
.Abdul Wahhab al-Najjar, al-Khulafa al-Rasyidun, h. 98
301

sepakat untuk mengangkat Umar menjadi Khalifah. Umar pun


menerimanya dengan sepenuh hati karena berdasarkan hasil
keputusan bersama.187 Selanjutnya ordinan tersebut dibacakan oleh
Usman bin Affan di depan umat Islam di Mesjid Nabi, setelah
mendengar pembacaan ordinan tersebut umat Islam langsung
mendukung sepenuhnya usulan Abu Bakar yang sudah menjadi
kesepakatan bersama para senior sahabat Nabi. Ini berarti bahwa
langkah Abu Bakar untuk menetapkan Umar sebagai Khalifah telah
disetujui umat Islam, dan tidak lama kemudian Umar pun ditetapkan
sebagai Khalifah ke-2 setelah Abu Bakar. Kemudian proses
selanjutnya diadakan pembaiatan secara massal oleh umat Islam.188
Hal ini dapat diartikan bahwa Umar bin Khattab mendapatkan
legitimasi kepemimpinan dari rakyatnya.

c.Pemilihan KandidatMelalui Komisi Pemilihan


Pola pemilihan model ini adalah pola pemilihan melalui proses
pembentukan Komisi Pemilihan ( election committee ).
Pemilihanseperti ini terjadi kepada Usman bin Affan. Umar bin
Khattab ketika di saat-saat akhir pemerintahannya membentuk
Komisi Pemilihan yang terdiri dari enam orang anggota sahabat
senior Nabi. 189 Keenam senior sahabat Nabi tersebut190 adalah Ali
bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Saad bin
Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Talhah bin Ubaidillah, dan
kemudian sebagaimana dituturkan Ibnu Katsir di dalam karyanya;

187
.Ibid.
188
.Umar bin Khattab memulai pemerintahannya pada hari Selasa, 23
Agustus, 634 M.
189
.Komisi Pemilihan yang dibentuk Umar bin Khattab menurut Abu
Zahrah sebanyak enam orang tokoh sahabat Nabi, tetapi menurut Ziauddin Sardar;
Komisi Pemilihan ini terdiri dari tujuh orang tokoh sahabat Nabi. Lihat Abu
Zahrah, h. 83, Lihat juga Ziauddin Sardar, h. 136.
190
. Dasar pertimbangan Umar menetapkan enam orang senior (elite)
sahabat Nabi tersebut yang kesemuanya terdiri dari komunitas Muhajirin atau
Quraisy karena mereka dinyatakan oleh Nabi sebagai calon penghuni Syurga,
bukan karena mereka masing-masing mewakili kelompok atau suku tertentu. Hal
ini dimaksudkan bahwa; penetapan mereka berenam sebagaiKomisi Pemilihan itu
atas dasar pertimbangan kualitas peribadi-peribadi, bukan berdasarkan
pertimbangan kelompok atau nepotisme. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara. h 25
302

al-Bidayah wa al-Nihayah, bahwa Umar memerintahkan kepada


Komisi Pemilihan ini agar mengikutsertakan Abdullah bin Umar
tetapi posisinya sebagai anggota yang diberi hak untuk memilih saja,
yaitu orang yang dimintai pendapat dan dilibatkan dalam
musyawarah-musyawarah; wa laysa minal amri shay`un, bal
yahdhuru al-shura wa yushiru bi al-nushhi wa la yuwali
shay`an,tanpa diberi hak untuk dipilih, dan Komisi Pemilihan ini
diketuai Abdurrahman bin Auf. 191Khalifah Umar memerintahkan
kepada Komisi Pemilihan ini agar melakukan musyawarah (sidang)
dan dapat mengambil keputusan tentang siapa yang akan dipilih
sebagai khalifah dari keenam sahabat senior, dan Umar memberikan
batasan waktu kepada Komisi Pemilihan ini selambat-lambatnya tiga
hari. Dalam waktu tiga hari seorang khalifah baru sudah harus
terpilih.
Setelah Umar wafat, Komisi Pemilihan192segera mengadakan
musyawarah untuk membahas agenda pengisian jabatan khalifah,
tetapi sayang seperti dikatakan Muawir Sjadzali, sejak awal
jalannya musyawarah agak alot, karena dimungkinkan adanya
persaingan internal dalam bursa jabatan khalifah. Dalam situasi yang
tidak menggembirakan ini, lanjut Munawir Sjadzali, Abdurrahman
bin Auf yang kapasitasnya sebagai ketua Komisi Pemilihan terus
mengadakan upaya-upaya agar masalah kepemimpinan segera
selesai. Kemudian Abdurrahman mengambil langkah-langkah
kongrit atas dasar mandat yang telah diterimanya dari Umar.
Selanjutnya Abdurrahman mengadakan musyawarah dengan tokoh-
tokoh sahabat yang lain selain enam orang sahabat senior yang
menjadi Komisi Pemilihan untuk mendapatkan masukan-masukan
tentang masalah kepemimpinan. Ternyata di masyarakat telah
berkembang opini adanya dua kubu pendukung, yaitu pendukung
Ali bin Abi Thalib di satu pihak, dan di pihak lain pendukung
Utsman bin Affan. Oleh karena kondisi sudah terbentuk sedemikian
rupa, langkah Abdurrahman selanjutnya mengadakan sesi dialog
dengan beberapa tokoh sahabat di luar anggota Komisi Pemilihan(
semacam melakukan poling di era kontemporer ) untuk
191
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz ke-7, h. 152 – 158.
lihat juga Saidy Abu Jayb, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy, h. 219
192
. Pada waktu itu salah seorang anggota Komisi Pemilihan; yaitu
Talhah bin Ubaidillah sedang berada di luar kota Madinah.
303

mendapatkan gambaran yang jelas tentang siapa yang paling layak


di antara enam tokoh sahabat yang berada dalam Komisi Pemilihan
untuk menjadi khalifah. Tetapi satu persatu dari anggota Komisi
Pemilihan menyatakan diri tidak bersedia dipilih menjadi
khalifahdan pada akhirnya permasalah sudah semakin
mengerucutpada dua orang tokoh sahabat Nabi yang nampaknya
bersedia dipilih menjadi khalifah, yaitu Ali bin Abi Thalib dan
Usman bin Affan.
Setelah permasalahan sudah semakin jelas, Abdurrahman
selanjutnya memanggil dua orang kandidat terkuat, yaitu Ali bin Abi
Thalib dan Utsman bin Affan dalam acara sesi tanya jawab yang
dilaksanakan di Mesjid Nabawiy sebagai upaya uji kelayakan( fit
and proper test ) bagi kedua tokoh tersebut. Dalam acara ini
Abdurrahman mengajukan beberapa pertanyaan yang memerlukan
jawaban yang paling tepat sebagai ukuran untuk menetapkan siapa
di atara keduanya yang paling layak menjadi khalifah. Oleh
karenanya tradisi sesi tanya jawab kepada para kandidat pemimpin
di era modern sebenarnya sudah ada sejak zaman Khulafa al-
Rasyidin. Abdurrahman kemudian mengajukan pertanyaan kepada
Ali bin Abi Thalib, Ali . . ! seandainya bukan anda yang menjadi
khalifah, menurut anda siapa yang paling layak menjadi khalifah ?
Ali menjawab, Utsman.kemudian Abdurrahman giliran bertanya
kepada Utsman dengan pertanyaan yang sama. Usman menjawab . .
. . . Ali . !. Dengan demikian permasalahan sudah mendekati final,
bahwa memang benar hanya ada dua kandidat pemimpin yang
bersedia dipilih menjadi khalifah, yaitu Ali bin Abi Thalib dan
Utsman bin Affan.193
Langkah selanjutnya, Abdurrahman melakukan tes psikologis
kepada kedua kandidat untuk mengetahui sejauhmana tingkat
komitmen keduanya kepada ketentuan-ketentuan Syariat Islam.
Abdurrahman mengajukan pertanyaan kepada Ali sambil berjabat
tangan dengan tangan Ali. Ali seandainya anda dipilih menjadi
khalifah, apakah anda sanggup melaksanakan ketentuan-ketentuan
yang ada di dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi, serta kebijakan-
kebijakan dua Khalifah sebelum ini, yaitu Abu Bakar dan Umar ?
Ali menjawab, Allahumma La, dalam artibahwa sepanjang yang

193
. lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 159 - 160
304

berkaitan dengan komitmen pada al-Qur`an dan Sunnah Nabi, ya . .


itu sudah semestinya, tetapi yang berkaitan dengan kebijakan kedua
khalifah terdahulu, itu bergantung pada ijtihad dan kemampuan
saya.Abdurrahman kemudian melepaskan tangannya dari tangan
Ali.Kemudian Abdurrahman giliran bertanya kepada Utsman dengan
pertanyaan yang samayang diajukan kepada Ali. Ternyata jawaban
Utsman lebih meyakinkan Abdurrahman, karena jawabannya tidak
mengandung kata kalau atau syarat. Usman menjawab dengan
tegas, Ya !. . . . itu yang seharusnyadilakukan. Mendengar jawaban
Utsman yang tidak mengandung kata syarat itu.Abdurrahman
langsung memegang tangan Utsman sebagai pertanda pilihan kuat
untukmenduduki jabatan khalifah, dan Abdurrahman terus
mengucapkan baiat kepadanya. Tindakan Abdurrahman tersebut
kemudian diikuti oleh para sahabat senior, termasuk Ali bin Abi
Thalib dan umat Islam. 194
d.Pemilihan Dalam Situasi Darurat
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi kalifah setelah Utsman
bin Affan dalam kondisi sosial politik tidak stabil. 195Oleh karena itu
sebagaimana ditegaskan Munawir Sjadzali, penyelenggaraan
pemilihanpun jauh dari sempurna. 196Hal ini setelah terjdi peristiwa
pembunuhan kepada Khalifah Utsman, sebagian umat Islam yang
melakukan demonstrasi besar-besaran di kota Madinah mendesak
Ali agar bersedia diangkat menjadi khalifah. Madinah pada waktu
itu boleh dikatakan kosong karena banyak para sahabat senior yang
sedang melakukan kunjungan ke wilayah-wilayah yang baru
ditaklukkan dan hanya sedikit saja yang ada di Madinah, antaranya;
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, dan tidak semua
yang ada di Madinah pun mendukung Ali, seperti Saad bin Abi
Waqqas dan Abdullah bin Umar.
Pada awalnya Ali menolak terhadap desakan para demonstran
tersebut, bahkan Ali bertanya; di mana peserta perang Badar ?di

194
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah – Juz 7, h. 159 – 161. Lihat
juga M. Hadi Hussain dan Ah. Kamali, The Nature of The Islamic State,( Karachi:
National Book Foundation, 1977 ), h. 10 – 11. Lihat juga Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, h. 26 - 27
195
. M. Diauddin Rais, Teori Politik Islam, terj. al-Nazariyyah al-
Siyasiyyah al-Islamiyyah, ( Jakarta: Gema Insani, 2001 ), h. 136
196
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 27
305

mana Thalhah, Zubair, dan Saad ? Menurut Ali merekalah orang-


orang yang berhak menentukan siapa yang akan dipilih menjadi
khalifah. Tidak lama kemudian munculah ketiga-tiga tokoh sahabat
senior itu dan langsung berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib yang
kemudian diikuti oleh masyarakat Islam, baik dari kalangan
Muhajirin ataupun Anshar, termasuk orang-orang yang mengadakan
demonstrasi dan di antara mereka orang-orang yang bertanggung
jawab atas kematian Utsman. 197 Orang yang pertama sekali
melakukan baiat kepada Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah, 198
meskipun dikemudian hari Thalhah dan Zubair menjadi penentang
Ali. Pembaiatan Ali didukung juga oleh masyarakat Hijaz dan Irak,
tetapi masyarakat Syam (Sirya sekarang) di bawah pimpinan
Gubernur Muawiyah (pada saat itu Muawiyah menjabat Gubernur
Syam) menolak pembaiatan Ali, bahkan mereka meminta hak
tuntutan hukuman mati ( qishas) kepada orang-orang yang
bertanggung jawab atas kematian Utsman terlebih dulu, juga
masyarakat Syam memprotes atas keikut-sertaan para demonstran
dalam pembaiatan Ali. 199
Sejak awal setelah Khalifah Utsman terbunuh, situasi politik
sudah buruk. Kondisi ini memunculkan konsekuensi pada siapa-pun
yang muncul sebagai khalifah ( kepala negara) akan menanggung
beban masalah berat. Sesudah Ali resmi menjadi Khalifah secara
definitif, situasi politikpun bukannya bertambah membaik, justeru
malah semakin rumit atau parah. Krisis politik berkepanjangan
berlangsung sepanjang masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
sehingga tidak ada kesempatan untuk membangun pemerintahannya
dengan maksimal karena berbagai permasalah konflik terjadi. Ali
sebagai Khalifah dianggap tidak memiliki kapabelitas untuk
menyelesaikan berbagai krisis dan konflik yang terjadi pada
masanya.Beberapa permasalahan pentingantaranya, konflik yang
terjadi antara Ali sebagai Khalifah dan Muawiyah sebagai Gubernur
Syam, konflik yang tidak dapat diselesaikan secara diplomatis
kemudian menyeret terjadinya perang terbuka antara kedua belah
pihak di Siffin.

197
. M. Diauddin Rais, Teori Politik Islam, h.136
198
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 27
199
. Ibid.
306

Berdasarkan fakta sebagaimana disebutkan di atas dapat


ditegaskan bahwa pemilihan Ali sebagai khalifah tidak seperti yang
berlaku kepada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Pengangkatan Ali
banyak ditentang oleh orang-orang yang tidak menyetujuinya, antara
lain; Aisyah yang kemudian justru mendapat dukungan Zubeirdan
Thalhah, bahkan keduanya bergabung dengan Aisyah menentang Ali
bin Abi Thalib, padahal Ali dibaiat oleh Zubeir dan Thalhah. 200
Pengangkatan Ali sebagai khalifah juga ditentang oleh
Muawiyah(Gubernur Syam saat ini)201 dengan berbagai alasan
politis, antaranya;
a. Aliharus bertanggung jawab terhadap terjadinya
pembunuhan atas Utsman, dan oleh karenanya, Ali
diminta untuk segera menangkap para pelakunya.

200
. Kekuatan yang dibangun oleh koalisi Aisyah, Zubair, dan Thalhah
menentang Khalifah Ali menyeret terjadinya perang saudara yang dikenal dalam
sejarah peradaban Islam perang Jamal terjadipada tahun 656 M.. Penentangan
koalisi kepada Khalifah Ali atas alasan yang berbeda-beda yang kesemuanya
lebih didasarkan pada kekecewaan peribadi. Misalnya Ali pernah menuduh Aisyah
berbuat mesum dengan salah seorang sahabat Nabi sebagaimana disebutkan di
dalam Hadis Ifki. Thalhah dan Zubair pernah meminta jabatan Gubernur kepada
Ali, tetapi Ali menolak.
201
. Konflik yang terjadi antara Ali sebagai Khalifah dengan Muawiyah
bin Abi Sufyan yang sudah diberhentikan (dipecat) dari jabatannya sebagai
Gubernur, tetapi justeru malah membangun kekuatan dengan mendapatkan
dukungan dan simpati dari rakyat Syam menyeret ke kancah peperangan dahsyat
dan mengubah peta perpolitikan saat itu. Perang terjadi antara kekuatan Ali dan
kekuatan Muawiyah di suatu daerah yang bernama Siffin, maka perang-pun
dikenal dengan perang Siffin terjadi pada tahun 657 M. Dengan berbagai strategi
dan permasalahan yang ada pada masing-masing pihak, pada akhirnya
peperangan dimenangkan oleh pihak Muawiyah. Ali bin Abi Thalib merasa
kecewa atas hasil putusan Majlih Tahkim ( arbitrase ) yang dipandangnya telah
terjadi rekayasa, di mana Ali harus menerima kekalahan. Kondisi ini berakibat
terjadinya perpecahan di kubu kekuatan Ali, karena munculnya kubu-kubu di
pihaknya, dan paling tidak menjadi tiga kubu; Kubu yang menentang Ali, yaitu
kelompok Khawarij. Kubu yang setia kepada Ali, yaitu kelompok Syiah, dan
Kubu Muhayidah (netral), yaitu kelompok yang tidak mendukung Ali, juga tidak
mendukung Muawiyah. Krisis ini menjadikan kekuatan Ali semakin lemah, dan
perpecahan tidak dapat dihindarkan. Perpecahan ini merupakan perpecahan yang
terjadi kepada umat Islam yang pertama dan yang tidak dapat dipersatukan
kembali dikemudian hari.
307

b. Hak memilih untuk pengisian jabatan khalifah tidak lagi


menjadi hak warga Madinah saja, karena wilayah
kekuasaan Islam sudah tersebar luas dan tumbuh
komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru , maka
harusnya pemilihan itu melibatkan mereka yang ada di
wilayah-wilayah yang baru itu.202
Berdasarkan fakta sejarah bahwa pemilihan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah telah terselenggara dengan berbagai
permasalahan yang muncul. Para pengkaji pemikiran politik Islam
tidak menjadikan pola (mekanisme) pemilihan Ali sebagai salah satu
model pemilihan pemimpin. 203Namun demikian, ada satu hal (
pelajaran ) penting yang harus dicatat bahwa setelah Ali menerima
kepemimpinan sebagai khalifah, tiba-tiba muncul gagasan sebagai
reaksi terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah bahwa
penyelenggaraan pemilihan kepala negara ( khalifah ) mestinya
harus melibatkan seluruh penduduk wilayah yang berada dalam
otoritas kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Madinah, bukan
hanya dipilih oleh penduduk Madinah saja, karena wilayah
kekuasaan Islam sudah meluas. Jadi, kalau di era modern dan
kontemporer penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih
kepala negara diselenggarakan dengan melibatkan semua komponen
masyarakat yang berada dalam wilayah kekuasaan pemerintah pusat,
maka sebenarnya di era awal-awal peradaban Islam sudah muncul
pemikiran kearah itu, meskipun pada saat itu dalam praktiknya
belum teralisasikan.
Dari keempat-empat mekanisme pemilihan khalifah di era
Khulafa al-Rasyidin, setidaknya ada pandangan yang berbeda dari
dua pemikir; Abu Zahrah ( hidup di era modern ) dan al-Mawardi (
hidup di era klasik ). Abu Zahrah melihat bahwa dari keempat-empat
pola pemilihan para Khulafa al-Rasyidin ada tiga pola pemilihan;
1.Pemilihan secara langsung dan bebas.

202
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 27 -28
203
. Lihat Ziauddin Sardar, Masa Hadapan Islam Bentuk Idea Yang Akan
Datang, terj. Islamic Future The Shape of Idea to Come,( Kuala Lumpur: DBP,
1985), h. 148. Lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-
Islamiyah Fiy al-Siyasah wa al—Aqa`id wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, h. 83
-85
308

2.Pemilihan melalui usulan pemimpin terdahulu kepada


kandidat yang dikehendaki, dan
3.Pemilihan melalui pembentukan komisi pemilihan
(election commitee ).204
Sementara al-Mawardiy yang kemudian diikuti oleh sarjana-
sarjana muslim lain menjadikan hanya dua pola pemilihan sebagai
inspirasi dalam pemilihan kepala negara (khalifah, Raja atau Imam )
yang meletakan dasar pemilihan sistem syura. Dua pola tersebut,
ialah;
1. Pemilihan seorang kandidat Imam (kepala negara)
dilakukan oleh suatu Badan, yaitu Ahlul `Aqdi wa al-
Halli ( bi ikhtiyari Ahlul `Aqdi wa al-Halli ) atau disebut
juga Ahlu Syura. Hal ini sebagaimana terjadi saat memlih
Abu Bakar di Saqifah Bani Sa`idah. Jika ada dua
kandidat atau lebih, maka mekanisme pemilihannya
menurut para Ulama dilakukan qur`ah (diundi atau
vooting ), meskipun sebagian Ulama menyatakan bahwa
para anggota Ahlu Syura memilih saja salah seorang
kandidat yang paling layak, tanpa dilakukan qur`ah. Hal
ini sebagaimana terjadi saat dilakukan pemilihan
terhadap dua kandidat, yaitu Ali bin Abi Thalib atau
Utsman bin Affan, maka kemudian Ahlul `Aqdi wa al-
Halli yang dipimpin Abdurrahman bi `Auf memilih
Utsman bin Affan.
2. Pemilihan yang dilakukan secara langsung kepada
kandidat Imam ( kepala negara ) oleh Imam yang sedang
berkuasa. Mekanisme pemilihan seperti ini sebagaimana
dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bin Khattab,
kemudian mendapatkan persetujuan para tokoh, elit
Sahabat Nabi dan umat.205

204
. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 25
dan 85 -89
205
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (
Beirut: Dar al-Fikr, t.th ), h. 6 - 10. Lihat juga Fathiy al-Dariniy, Khashais al-
Tasyri` Fiy al-Siyasah wa al-Hukmiy, ( Beirut: Muassisah al-Risalah, 1982 ), h.
427
309

BAB V
KEBIJAKAN POLITIK
EMPAT KHULAFA AL-RASYIDIN

Dalam konteks ini akan disampaikan beberapa penjelasan


tentang sosok dan kepribadian, serta kebijakan-kebijakan politik
para Khulafa al-Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keempat-empat senior
Sahabat Nabi ini dari sisi kedekatan kepada Nabi tidak diragukan
lagi, karena Abu Bakar dan Umar keduanya menjadi mertua Nabi,
sementara Utsman dan Ali bin Abi Thalib, keduanya adalah
menantu Nabi, dan dari sisi perjuangan dalam menegakkan Islam
dan kebenaran keempat-empat Sahabat Nabi tersebut paling
terdepan. Berikut ini penjelasan tentang sosok, kepribadian dan
kebijaka-kebijakan mereka dalam politik kenegaraan, sebagai
berikut;

1. Abu Bakar al-Siddiq dan Kebijakan Politik

Setelah resmi menjadi khalifah, Abu Bakar memerintah


selama dua 2 tahun tiga 3 bulan sepuluh 10 hari (632 – 634 M.),
maka Abu Bakar menjadi khalifah pertama pasca Nabi Muhammad
saw. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat oleh umat Islam
untuk menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat yang
bertugas melanjutkan perjuangan Nabi dalam rangka menciptakan
kedamaian, memberikan perlindungan, mendakwahkan agama,
memastikan ajaran Islam dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari,
serta mengelola kehidupan masyarakat dengan baik.

Setelah resmi diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar


menyampaikan pidato perdananya (pidato kenegaraan) di depan
umat, antaranya sebagai berikut;

“ Wahai manusia (umat), Aku telah diangkat untuk mengelola


( memenej ) urusan kalian, padahal Aku bukanlah orang yang
310

terbaik di antara kalian, maka ketika Aku melaksanakan


tugasku dengan baik, bantulah aku, tetapi jika Aku berbuat
salah, betulkanlah aku. Kejujuran itu amanah ( al-sidqu
amanah ), berbohong itu penghianatan (al-kizbu khianah ).
Orang yang kalian pandang lemah, aku pandang dia kuat,
sehingga aku dapat mengembalikan hak kepadanya.Sementara
orang yang kalian pandang kuat, aku pandang dia lemah,
sehingga aku dapat mengambil hak darinya.Umat Islam agar
tetap mempertahankan agama Allah. Jika tidak, maka akan
terjadi malapetaka kehinaan ( al-dzulli ). Upayakan agar
tindak kejahatan tidak merebak di tengah-tengah masyarakat,
karena jika tindak kejahatan merebak, maka Allah akan
menurunkan bencana. Taatlah ( loyal ) kepada-ku selama aku
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku melanggar aturan
Allah dan Rasul-Nya, maka tidak perlu kalian taat kepada-ku.
Dirikanlah shalat, maka Allah akan menurunkan rahmat
kepada kalian.206

1.1.Dasar Politik Abu Bakar

Berdasarkan apa yang disampaikan Abu Bakar dalam


pidato perdananya setelah dilantik sebagai Khalifah, dapat
disampaikan bahwa dasar politik Abu Bakar berlandaskan pada
karakter dan sikap jujur,adil dan tegas yang sudah tertanam pada
jiwa dan kepribadiannya, dan ini sebagai keberhasilan pendidikan
yang diajarkan Nabi Muhammad saw. kepadanya. Karakter jujur,
adil dan tegas dari kepemimpinan Abu Bakar tercermin pada pidato
pertamanya setelah pelantikannya sebagai khalifah. Dalam
pidatonya ini terdapat beberapa pernyataan politik yang mendasari
berbagai kebijakannya. Dasar pemikiran politik tersebut
menekankan pada aspek pembangunan mentalitas dan sifat-sifat
terpuji sebagai langkah awal dalam strategi pembangunan yang
menjadi agenda utama sepanjang pemerintahannya, antaranya
sebagai berikut;

206
. Lihat Ibnu Hisyam, al-Sirah al- Nabawiyyah, Juz 4, h. 1520. Lihat
juga Ibnu Qutaibah al-Dainuriy, al-Imamah wa al-Siyasah, h. 22 - 23
311

1. Sikap tawadhu`;yaitu sikapyang tidak memperlihatkan


kelebihan atau keistimewaan yang dimiliki Abu Bakar,
meskipun Abu Bakar orang kesatu setelah Nabi Muhammad
saw. tetapi Abu Bakar tidak mengklaim dirinya lebih baik
dari pada yang lainnya.
2. Terbukaatautransparan; yaitu sikap terbuka menerima
masukan dankritikan membangun dan tidak ada yang
ditutup-tutupi. Abu Bakar sebagai manusia biasa bisa saja
benar dansalah dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pemimpin umat. Oleh karena itu Abu Bakar meminta kepada
rakyatnya agar selalu memberikan motivasi dan kerjasama
mereka jika Abu Bakar benar dalam perintah dan
kebijakannya. Tetapi jika Abu Bakar salah, rakyatnya
diminta agar senantiasa menyampaikan teguran dan kritikan
yang membangun.
3. Tulus dan Jujur (al-shidqu / integrity); yaitu sikap yang
penuh dengan kejujuran dan ketulusan, baik dalam tindakan
atau pun ucapan. Dalam hubungan ini Abu Bakar
menegaskan bahwa kejujuran ituamanah, sedangkan
bohongitukhianat( al-sidqu amanah wal-kizbu khiyanah
),maka keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang
terkait dengan sosial politik, sosial ekonomi, hukum,
pendidikan dan sebagainya harus ditegakkan kepada siapa
saja, meskipun kepada orang kuat tetapi salah, justeru orang
yang lemah harus dilindungi jika dia berada pada posisi yang
benar.
4. Komitmendengan ajaran agama. Dalam hubungan ini Abu
Bakar menegaskan bahwa umat Islam agar tetap
memepertahankan agama dengan penuh komitmen untuk
melaksanakan ajarannya. Jika tidak, maka akan berdampak
buruk terhadap kehidupan umat.
5. Upaya meminimalisir tindak kejahatan dantindak kriminal.
Dalam hubungan ini Abu Bakar berpesan kepada rakyatnya
agar senantiasa berusaha mencegah supaya tindak kejahatan
atau kriminal tidak merebak atau meluas di tengah-tengah
masyarakat. Jika itu yang terjadi, maka akan berdampak
munculnya berbagai virus masalah sosial ( social problems ).
312

6. Komitmen rakyat untuk mendukung dan selalu loyal (taat


setia) kepadanya dalam hal kebenaran. Dalam hubungan ini
Abu Bakar berpesan agar masyarakat Islam (rakyatnya)
untuk tetaployal ( taat setia ) kepadanya, selama Abu Bakar
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam arti menjalankan
semua perintah dan meninggalkan semua yang dilarang.
Tetapi jika Abu Bakar tidak taat menjalankan perintah dan
meninggalkan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, maka
umat Islam diingatkan oleh Abu Bakar untuk tidak
memberikan loyalitas kepadanya. Ini artinya siapapun
pemimpin yang sudah menyimpang atau sudah menyalah
gunakan wewenang yang dimandatkan kepadanya dari garis
ketentuan dan peraturan, maka rakyat (umat Islam) tidak
perlu memberikan loyalitas kepadanya.
7. Lebih khusus Abu Bakar menekankan pesannya agar umat
Islam ( rakyatnya ) tetap komitmen melaksanakan ibadah
shalat, karena shalat merupakan tiang agama, siapa saja
yang melaksanakan shalat berarti dia telah memperkuat
agama, dan jika dia meninggalkan shalat berarti dia telah
meruntuhkan agama dari dalam dirinya. Allah akan selalu
memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendirikan
shalat.

1.2. Konsolidasi Terciptanya Integrasi


Abu Bakar Siddiq menjabat khalifah dalam waktu yang relatif
singkat, yaitu; 2 tahun 3- bula 10-hari. Dalam waktu yang relatif
singkat ini Abu Bakar telah melakukan banyak hal, berbagai upaya
pembenahan dan penataan pemerintahannya telah dilakukan,
antaranya; Abu Bakar melakukan penumpasan terhadap gerakan
separatis yang melakukan pemberontakan. Gerakan ini dilakukan
oleh beberapa suku (Qabilah) Arab yang berupaya memisahkan diri
dan tidak lagi loyal kepada pemerintah yang dipimpin Abu Bakar.
Hal ini karena mereka beranggapan bahwa perjanjian damai (al-
`ahd) dan pengakuan terhadap kepemimpinan yang berpusat di
Madinah itu dilakukan dengan Nabi Muhammad, maka ketika Nabi
Muhammad telah wafat menurut anggapan mereka secara otomatik
perjanjian itu tidak berlaku lagi dan tidak ada kesepakatan
313

perpanjangan perjanjian baru antara ke dua belah pihak. Oleh


karena itu mereka menentang kekuasan Abu Bakar.

Gerakan separatis ini umumnya dipimpin oleh orang-orang


yang mengaku dirinya nabi ( nubuwwah ) yang muncul di beberapa
wilayah di sekitar Semenangjung Arabia. Pengakuan kenabian ini
sebenarnya hanya klaim-klaim saja tanpa berdasarkan bukti-bukti
hakikat kenabian yang sebenarnya, oleh karenanya dapat dipastikan
bahwa pengakuan kenabian tersebut hanya upaya politisasi dari
pihak-pihak yang menentang kekuasaan Abu Bakar untuk
mengelabuhi masyarakatnya. Beberapa orang yang mengaku
dirinya nabi, antaranya adalah Musailimah al-Kazzab dan Thulaihah
bin Khuwailid, tetapi kedua gerakan separatis berhasil ditumpas oleh
pasukan Tentara yang dipimpin Khalid bin Walid. Thulaihah
berhasil lolos dan melarikan diri ke Syam (Syiria).Menurut salah
satu riwayat dia kemudian masuk Islam kembali, dan ketika
kepemimpinan umat berganti kepada Umar bin Khattab, Thulaihah
berbai`at kepada Umar sebagai Khalifah, bahkan Thulaihah banyak
melibatkan diridalam upaya perluasan wilayah (al-fath). Selain dua
orang tersebut di atas yang mengaku nabi, muncul gerakan sparatis
di wilayah Bahrain, tetapi kemudian gerakan separatis ini berhasil
dihancurkan oleh pasukan Tentara yang dipimpin al-`Ala al-
Hadhramiy. 207

Dalam menyikapi kondisi ini Abu Bakar merasa bertanggung


jawab untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat, menjaga agama
dan kedaulatan pemerintahan, maka Abu Bakar sebenarnya pada
langkah awal mengambil kebijakan terhadap persoalan ini melalui
upaya diplomasi dengan teguran melalui surat yang dikirim kepada
para pelaku gerakan separatis, dan jika upaya ini menemui
kegagalan, maka solusi akhir adalah perang, dan ternyata upaya
diplomasi menemui kegagalan, maka jalan akhir adalah perang.
Perang ini dikenal dalam sejarah Perang Riddah, yaitu menumpas
gerakan orang-orang yang melakukan separatis dengan
menggunakan isu murtad, yaituorang yang menyatakan diri keluar

207
. Muhammad Jalal Syaraf dan `Ali Abdul Mu`thi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, Shakhshiyyat wa Mazahib, h. 110 - 111
314

dari agama Islam dan kembali kepada agama atau kepercayaan


dahulu. Pasukan yang dikirim untuk menumpas gerakan sparatis ini
dipimpin oleh Khalid bin Walid; salah seorang panglima perang
yang sukses.208 Perang ini terjadi di beberapa wilayah, antaranya
Daerah Yamamah, dan tentara yang dipimpin oleh Khalid bin Walid
berhasil menumpas gerakan separatis ini. Khalid bin Walid berhasil
menyatukan kembali wilayah kekuasaan politik secara sempurna di
wilayah Jazirah Arab (semenanjung Arab) yang berada di bawah
kekuasaan Madinah. 209
Pada masa Nabi Muhammad saw. kekuasaan wilayah baru
sebatas Mekah dan Madinah, di mana Madinah sebagai pusat
Pemerintahan, tetapi saat kepemimpinan umat dipimpin oleh Abu
Bakar dan bahkan para Khalifah sesudahnya perluasan wilayah
semakin terus bertambah. Perpolitikan umat Islam pun terus
mengalami dinamikanya yang cukup signifikan dari waktu ke waktu.
Hal ini terlihat ketika Abu Bakar memerintah sebagai khalifah untuk
pertama kalinya dalam sejarah peradaban Islam, bahwa
perkembangan politik sangat ketara dalam beberapa aspek. Paling
tidak secara umum ada tiga hal yang cukup menonjol, yaitu;

1. Masa pembenahan dan masa penguatan dasar-dasar politik


negara.
2. Perluasan wilayah kekuasaan.
3. Penyatuan bangsa Arab di bawah satu kordinasi
kepemimpinan Abu Bakar, negara pun semakin menjadi
besar meliputi Semenanjung Arab. 210

Model kekuasaan yang diimplementasikan pada masa


Khalifah Abu Bakar sebagaimana pada masa Nabi Muhammad saw.

208
. lihat Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasi Li al-
Daulah al-Islamiyyah, h. 82
209
. Ibid.
210
.Ibid. h. 82 – 83.Setelah menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu
Bakar mempersiapkan pasukan perang ke luar Semenanjung Arabia.Kemudian
pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan berhasil menguasai
al-Hirah pada tahun 634 M. Sebuah ekspedisi dikirim ke Syria dibawah empat
orang pemimpin perang, yaitu; Abu Ubaidah, Amr bin Ash bin Abi Sufyan dan
Surahbil.Lihat. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 36
315

adalah bersifat sentralistik, di mana kekusaan legislatif, eksekutif


dan yudikatif berada ditangan Khalifah, belum terlembagakan dalam
masing-masing lembaga tersendiri yang terpisah dan memang di era
Khalifah Abu Bakar belum terbentuk pemerintah daerah yang
dipimpin Gubernur atau Amir, karena wilayah kekuasaanya masih
sebatas semenangjung Arabia, belum merambah ke Syam atau Iraq
dan lain-lain. 211 Pada waktu itu belum terjadi distribusi kekuasaan,
karena memang dinamika perpolitikannya saat itu masih dalam
tahap-tahap pembinaan dan pembenahan, rupanya ketiga-tiga
kekuasaan tersebut masih mampu ditangani Khalifah yang dibantu
oleh beberapa staff ahli, seperti Umar, Utsman Ali bin Abi Thalib
dan sebgainya. Meskipun demikian, seperti juga di era Nabi
Muhammad saw. Abu Bakar selalu memprioritaskan sahabat-
sahabat Nabi yang senior untuk bermusyawarah dalam mengambil
kebijakan terhadap berbagai persoalan yang menyangkut
kepentingan orang banyak.212

2. Umar Bin Khattab dan Kebijakan Politik

Umar bin Khattab menjabat khalifah selama kurang lebih 13


tahun, yaitu antara tahun 634 - 644 M. Umar bin Khattab menerima
jabatan khalifah pada hari Selasa 13 Agustus 634 M. dan terpilihnya
Umar sebagai khalifah memberikan manfaat yang sangat besar bagi
kelangsungan danperkembangan Islam sebagai kekuatan politik
umat Islam, 213 terciptanya pemerintahan yang solid dan kuat, serta
didukung oleh sistem birokrasi yang cukup mapan. Kebijakan yang
dilakukan Umar, baik yang terkait dengan kepentingan internal
umat Islam ataupun secara eksternal dalam hubungannya dengan
masyarakat non muslim mendapatkan dukungan luar biasa dari umat
Islam.

211
. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 36
212
. Ibid.
213
. Ahmad Fadlali et al, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Pustaka
Asatrus, 2004 ), h. 23
316

Pertama sekali yang disampaikan Umar bin Khattab dalam


pidato politiknya (khutbah politik) setelah resmi menjadi khalifah,
antaranya Umar menegaskan sebagai berikut bahwa;

Bangsa Arab itu ibarat seekor unta yang ditarik dengan


gelang pada hidungnya, ke mana saja unta itu ditarik, ia
ikut, maka perhatikan orang yang menarik unta ke mana dia
menarik. Tetapi aku (kata Umar) demi Tuhan yang menjaga
Ka`bah akan aku tarik mereka ke jalan (yang benar). 214

Pidato ini memperlihatkan kekuatan kepribadian Umar yang


bertanggung jawab atasterciptanya kebaikan masyarakat dan
rakyatnya secara konsisten, maka dapat ditegaskan bahwa pada masa
Khalifah Umar (bahkan juga di era Abu Bakar), kondisi politik
dalam keadaan stabil sehingga mendorong upaya-upaya perluasan
wilayah kekuasaan. Upaya-upaya ini menghasilkan buah bahwa
wilayah kekuasaan Islam terbentang luas dari Semenanjung Arab,
Palestina, Syam ( Siria ), Iraq, Persia ( Iran ), sampai ke Mesir.215

Di zaman pemerintahan Umar, gerakan ekspansi dilakukan


besar-besaran, yaitu perluasan daerah kekuasaan, dan pertama kali
terjadi pada Ibu Kota Syam (Syiria); Damaskus yang berhasil
dikuasai pada tahun 635 M. setahun kemudian seluruh daerah Syiria
dapat dikuasai oleh tentara Islam. Ekspansi kemudian diteruskan ke
Mesir di bawah pasukan yang dikomandoi Amr bin Ash dan berhasil
menguasai daerah Iskandariah yang menjadi Ibu kota Mesir saat itu
pada tahun 641 M. kemudian tentara Islam yang dipimpin oleh
Sa`ad bin Abi Waqqas diperintahkan untuk memasuki wilayah Iraq
dan berhasil menguasai daerah al-Qadisiyah pada tahun 637 M.
selanjutnya tentara Islam berhasil menguasasi ibu kota Persia; al-
Madain pada tahun yang sama. Pada tahun 641 M. daerah Mosul
dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa pemerintahan Umar
bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Semenangjung

214
. Lihat Muhammad Fathi Utsman, Min Usul al-Fikr al-Siyasiy al-
Islamiy ( Beirut: Muassisah al-Risalah, 1904 ), hlm.348
215
. Muhammad Salim al-`Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-Daulah
al-Islamiyah, hlm. 84. Lihat juga Hanum Asrohah, Sejarah Peradaban Islam(
Jakarta: Wacana Ilmu, 2001 ), hlm. 17
317

Arab, Palestina, Syam ( Syiria ), sebagian besar wilayah Persia dan


Mesir.216

2.1.Menciptakan Stabilitas Politik

Dalam mengelola wilayah kekuasaan yang luas, Umar bin


Khattab mulai mengatur administrasi dan birokrasi pemerintahan
sebagai langkah dan kebijakan yang diambilnya dalam menata
perpolitikan. Penataan ini mencontohi administrasi yang sudah
berkembang, terutama di Persia.217Kebijakan yang dilakukan Umar
pada prinsipnya adalah upaya konsolidasi wilayah Arab dan
penyatuan suku-suku Arab dalam sebuah nation state. Kebijakan ini
tentu saja paling tidak dimaksudkan untuk menghilangkan hal-hal
yang menyebabkan terjadinya permusuhan antar suku atau qabilah.
Melihat luasnya kekuasaan sebagai keberhasilan perjuangan Tentara
Islam, sebagaimana disebutkan di atas, tentu saja memerlukan
kapabelitas dan kecermatan pengelolaan. Dalam hal ini Khalifah
Umar telah melakukan beberapa kebijakan, sebagai berikut; 218

1.Menciptakan Pemerintahan Bersih

Hal ini tercermin dari sikap keterbukaan Umar dalam


mengambil keputusan melalui musyawarah, dan menutup
rapat-rapat tindakan nepotisme, serta persamaan perlakuan
di depan hukum. Mekanisme musyawarah yang dipraktikan
Umar melalui beberapa pola, antaranya; bermusyawarah
yang melibatkan masyarakat umum, atau melalui pola di
mana Umar mengundang beberapa sahabat senior, baik dari
komunitas Muhajirin, Anshor dan lainnya. Selain dari itu,
perekrutan dan pengawasan pegawai dapat menjadi cermin
upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, di dalam
bahasa saat ini adalah clean and good governance,

216
.Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-Daulah
al-Islamiyah, hlm. 83. Lihat juga, Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, hlm. 58. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
hlm. 37
217
. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 37
218
. Lihat Ahmad Fadlali, Sejarah Peradsaban Islam, h. 25 - 27
318

antaranya; Umar mensyaratkan pegawai-pegawainya harus


berilmu, wara`i (sikap hati-hati, cukup dengan apa yang ada
dan tidak gila harta), kuat, dan bukan orang yang gila
jabatan. Umar juga terus melakukan kontrol terhadap para
pegawainya, misalnya; kasus yang terjadi terkait
penganiyaan yang dilakukan Amr bin Ash (Gubernur Mesir)
dan putranya; Muhammad terhadap seorang warga Mesir.
Ketika nmendengar kasus ini, Umar segera mengundang
semua fihak dan memerintahkan agar orang-orang Mesir
membalas kezaliman tersebut.

2.Sumber Pendanaan Negara

Dalam memenuhikebutuhan operasional negara,


Umar mengandalkan pendapatannegara daribeberapa
sumber pendapatan, antaranya; dana zakat, fey, dan
ghanimah. Dalam pengambilan dana zakat, zakat diambil
dari orang-orang Islam yang sudah wajib mengeluarkan
zakat, tetapi kemudian Umar mengambil kebijakan untuk
mentiadakan golongan al-Muallafah Qulubuhum(orang yang
baru masuk Islam). Hal ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa dulu mereka diberi bagian harta zakat karena umat
Islam masih dalam kondisi lemah, tetapi setelah umat Islam
kuat, maka tidak perlu lagi memberikan bagian harta zakat
kepada mereka (Muallafah Qulubuhum). Harta Fey
terdiridari Jizyah, yaitu;pajak kepala yang dikenakan kepada
orang-orang non mslim yang bertempat tinggal di daerah
kekuasaan Islam,Kharrajialah pajak tanah yang dikenakan
kepada orang-orang non muslim yang bertempat tinggal di
daerah kukasaan Islam, dan `ushur,yaitu; pajak perdagangan
dikeluarka 10% (`ushur) setelah dihitung semua barang
dagangan pada setiap haul atau lingkaran pertemuan tanggal
dan bulan pada setiap tahunya.Jumlah Jizyah yang harus
diserahkan adalah 24 Dirham per-tahun dari setiap laki-laki
ahl-Zimmah, yaitu; orang-orang non muslim yang bertempat
tinggal didaerah kekusaan Islam yang telah mendapatkan
jaminan keselamatan dan keamanan. Keputusan Umar
tentang pemberlakuan kharraj terhadap tanah adalah
319

keputusan yang didasarkan pada pertimbangan sosiologis


dan politis, meskipun terlihat adanya penyimpangan dari
tradisi Nabi, dan Abu Bakar. `Ushur adalah semacam bea
cukai yang dikenakan pada barang dagangan yang berasal
dari Dar al-Harab, yaitu wilayah yang masih bergolak tetapi
sudah dikuasai umat Islam.

3. Administrasi Pemerintahan

Dalam hal ini, Khalifah Umar telah melakukan


pembenahan administrasi negara. Dalam kaitan ini
Muhammad Salim al-`Awwa menyebutkan beberapa langkah
strategis yang dilakukan Khalifah Umar sebagai berikut;219

a. Pembagian Daerah Kekuasaan Islam

Khalifah Umar membagi daerah kekuasaan


Islam ke dalam beberapa wilayah. Hal ini dilakukan
bertujuan agar pemimpin-pemimpin wilayah, yaitu
Amir, Wali, atau Gubernur dapat memaksimalkan
peningkatan sumber pendapatan negeri atau wilayah
tersebut, seperti Provinsi Ahwas atau Bahrain, Provinsi
Tobaristan, dan Provinsi-Provinsi lainnya. Khalifah
Umar juga membangun ( mendirikan ) kota-kota baru,
seperti Basrah, Kufah, Fustat, dan sebagainya.

b.Menertibkan Administrasi Militer.

Tentara digaji melalui lembaga negara yang


disebut al-Diwan; semacam Kemeterian. Khalifah Umar
juga mengangkat pejabat bawahan atau staff untuk
membantu tugas Komandan Militer. Tentara saat itu
dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kaveleri ( pasukan
berkuda ) dan Infantri ( pasukan pejalan kaki ).Untuk

219
. Lihat Muhammad Salim al-`Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-
Daulah al-Islamiyah, h. 83
320

memperkuat pertahanan, Khalifah Umar membangun


benteng perbatasan.

c.Pemisahan Lembaga Eksekutif dan Yudikatif

Umar bin Khattab merupakan khalifah pertama


yang memberlakukan gaji untuk para hakim, dan Umar
juga yang membedakan antara kekuasaan Yudikatif dari
kekuasaan Eksekutif. Untuk Lembaga Pidana
(hukuman), Khalifah Umar memperkenalkan sistem
pidana penjara untuk pertama kalinya di dunia Islam
sebagai memperkuat apa yang sudah ada sebelumnya, di
mana hukuman ini meskipun tidak melembaga, tetapi
sebenarnya sudah ada semenjak Nabi Muhammad saw. di
era Khalifah Umar hukuman penjara ini dilembagakan.
Selain dari itu Khalifah Umar disebut sebagai peletak
dasar prinsip-prinsip peradilan, Umar juga disebut
sebagai penyusun pedoman bagi para hakim.

d.Pembentukan Komisi Pemilihan Khalifah

Kalifah Umar di akhir-akhir hayatnya dan dalam


kondisi kesehatanya yang semakin menurun, Umar
masih sempat memikirkan tentang kelangsungan
pemerintahan jika nanti dia sudah tidak ada lagi di dunia
ini, yaitu tentang bagaimana mekanisme pemilihan
seorang kandidat Khalifah. Hal ini dalam rangka untuk
memastikan bahwa agar peralihan kekuasaan atau
kepemimpinan berada dalam kondisi aman dan
terkendali, tidak muncul gejolak yang mengganggu
stabilitas politik, maka kemudian Umar memutuskan
untuk membentuk Komisi Pemilihan (election
committee), sebuah lembaga yang diberi wewenang
untuk menyelenggarakan pemilihan kandidat khalifah,
siapa yang paling layak dan memiliki kapabelitas, serta
memiliki komitmen tinggi terhadap pelaksanaan agama
untuk diangkat menjadi khalifah.
321

Berdasarkan program kerja ini, Umar mengangkat


enam orang anggota Komisi Pemilihan, yaitu; Ali bin
Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf,
Zubair bin Awwam, Thalhah, dan Saad bin Ubadah,
tetapi kemudian ditambah satu orang anggota sehingga
menjadi tujuh orang. Anggota ketujuh itu adalah
Abdullah bin Umar, yaitu putra Khalifah Umar, tetapi
dalam keanggotaannya, Abdullah bin Umar hanya diberi
hak suara memilih, tanpa diberi hak dipilih, dan ini
berdasarkan keputusan Khalifah Umar sendiri, alasannya
karena Umar tidak mau ada tuduhan di kemudian hari
bahwa Umar sebagai pemimpin yang nepotisme jika
Abdullah bin Umar dipilih menjadi khalifah. Dalam
kaitan ini Umar menegaskan;Cukuplah Umar saja yang
menjadi Amirul Mukminin. Untuk melaksanakan tugas
pemilihan ini diangkatlah Abdurrahman bin Auf sebagai
ketua KomisiPemilihan (Head ofElection Committee ),
dan Khalifah Umar memberikan batas waktu kepada
Komisi ini dalam masa tiga hari saja. Dalam waktu tiga
hari Komisi Pemilihan sudah harus menyelesaikan
tugasnya, yaitu terpilihnya seorang Khalifah.

e.Menguatkan Pengelolaan Baitul Mal

Baitul Mal merupakan lembaga yang berfungsi


sebagai tempat menyimpanan harta kekayaan negara.
Harta kekayaan negara ini diperoleh dari sumber-sumber
pendapatan negara dan dipergunakan untuk
berbagaikepentingan umum, serta untuk kesejahteraan
umat. Oleh karenanya harta yang disimpan di Baitul Mal
adalah milik negara. Nabi Muhammad saw.
semasahidupnya telah memperkenalkan harta Baitul Mal
yang dipergunakan untuk menjamin kebutuhan hidup dan
kesejahteraan masyarakat minimum bagi setiap orang
muslim dan non muslim yang hidup bersama orang-orang
322

Islam. 220 Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin


Khattab, Baitul Mal semakin dikembangkan fungsinya
sehingga menjadi lembaga resmi negara dan permanen.
Baitul Mal di masa pemerintahan Khalifah Umar tidak
hanya ada di Ibu Kota Negara; Madinah, melainkan juga
didirikan di wilayah-wilayah yang sudah dikuasai umat
Islam. Pengembangan inidilakukan seiring dengan
luasnya wilayah kekuasaan pemerintahan Islam. Khalifah
Umar telah melakukan kebijakan membangun cabang-
cabang Baitul Mal di Ibu Kota Provinsi. Dalam
pengelolaannya, agar Baitul Mal dapat berjalan dengan
baik, Khalifah Umar mengangkat Abdullah bin Arqam
sebagai bendahara negara (semacam Menteri Kordinator
bidang ekonomi di era modern) dengan dibantu oleh
Abdullah bin Ubaidillah al-Qari dan Muayqab sebagai
wakilnya. 221Dalam pengelolaan Baitul Mal, Khalifah
Umar dan staff-staffnya sebagai pemegang amanah,
sedangkan pengelolaan Baitul Mal ditingkat cabang-
cabang di provinsi ditangani oleh para pejabat setempat
dan tidak bertanggung jawab kepada Gubernur. Oleh
karenanya pejabat-pejabat Baitul Mal di tingkat cabang
memilki otoritas penuh dalam pengelolaan harta umat
dan hanya bertanggung jawab kepada pemerintah pusat
di Madinah, yaitu bertanggung jawab kepada Khalifah.
Berdasarkan fasilitas yang dimiliki negaradi era
Khalifah Umar dengan melimpahnya harta kekayaan
negara yang tersimpan di Baitul Mal, maka negara
bertanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas untuk
berbagai keperluan hidup, antaranya makanan bagi para
janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar,
membiayai penguburan orang-orang miskin, membayar
hutang-hutang orang yang bangkrut, membayar diyat (
denda) untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar

220
. Lihat Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara
Kesejahteraan dan Globalisasi Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan
Pengalaman ( Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008 ), h. 15
221
. Lihat Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 59 - 60
323

diyat prajurit Shebani yang membunuh orang Kristen


karena terpaksa untuk menyalamatkan dirinya, serta
memberikan pinjaman tanpa bunga kepada rakyat yang
memerlukanya. Tanggung jawab negara di era Khalifah
Umar sebagaimana disebutkan di atas merupakan salah
satu keberhasilan negara dalam merealisasikan
kemakmuran dan kesejahteraan sosial, dan pengelolaan
institusi Baitul Mal melalui administrasi yang tertata baik
dan rapi merupakan kontribusi terbesar Khalifah Umar
bin Khattab pada peradaban Islam.

f. Pembentukan al-Diwan

Selain mendirikan dan mengembangkan Baitul


Mal, Khalifah Umar juga membentuk al-Diwan, yaitu
sebuah lembaga pemerintah yang diberi wewenang untuk
mengatur dan mengelola tunjangan-tunjangan kepada
Tentara dan pensiunanya, sekaligus sebagai upaya
realisasi jaminan sosial.Pembentukan lembaga ini dilatar
belakangi oleh peristiwa yang terjadi kepada Abu
Hurairah yang ketika itu menjabat Gubernur di Bahrain.
Abu Hurairah membawa harta hasil pengumpulan pajak
kharraj (pajak tanah) sebesar 500.000 Dirham ke
Madinah; Ibu Kota Negara. Peristiwa ini terjadi pada
sekitar tahun 16 H. kemudian beberapa Sahabat Nabi
menuntut bagiannya masing-masing, bahkan di antara
mereka ada yang mencoba membagi-bagikanya untuk
diri mereka sendiri, dan ini tentu saja menjadi tidak baik
karena akan terjdi perebutan harta kharraj yang berakibat
munculnya kekacuan, oleh karena itu perlu ada kordinasi
untuk pengelolaan. Dengan demikian, perlu ditegaskan
bahwa pendapatan negara agar bisa didistribusikan
dengan baik untuk tujuan terciptanya kesejahteraan dan
pemerataan pendapatan. Pengembangan kebijakan dan
perbandingan pengalaman merupakan sesuatu yang baik,
maka Khalifah Umar berinisiatif untuk mengaturnya,
dan atas usulan Khalid bin Walid yang telah melihat
pelaksanaan Diwan di Syam ( Syria ), Umar
324

menganggap perlu mengikuti usulan Khalid bin Walid


untuk pengelolaan al-Diwan yang lebih efektif. 222

2.2. Prinsip-Prinsip Politik Umar bin Khattab

Dalam konteks ini akan disampaikan beberapa prinsip politik


yang menjadilandasan kebijakanKhalifah Umar bin Khattab dalam
pemerintahannya sebagai berikut;

1.Musyawarah

Musyawarah atau konsultasi merupakan prinsip utama dalam


pemerintahan Umar bin Khattab. Di abad modern dan kontemporer
musyawarah atau konsultasi menjadi prinsip utama dalam sistem
pemerintahan yang berdasarkan demokrasi. Khalifah Umar
memiliki komitmen yang sangat tinggi dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang melibatkan orang banyak ( masyarakat
atau negara ) melalui musyawarah dengan menghadirkan beberapa
sahabat senior Nabi. Hanya teknisnya saja barangkali yang berbeda,
kalau zaman dulu musyawarah diselenggarakan bisa jadi sangat
sederhana, dan dimana saja bisa dilakukan, tanpa terikat di suatu
tempat. Di zaman modern dan kontemporer musyawarah
diselenggarakan dalam bentuk yang sudah didesain sangat rapi, dan
bahkan sudah terlembagakan, baik dalam bentuk urun rembuk, rapat,
siding, konferensi, dan sebagainya.

Kenapa umat Islam menjadikan musyawarah sebagai pola


atau mekanisme dalam penyelesaian masalahmenjadi prioritas
utama ?. karena selain manfaatnya sangat efektif dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan, musyawarah hakikatnya
merupakan perintah agama. Hal ini sebagaiamana disebutkan di
dalam al-Qur`an, surat Ali `Imran: 159 yang artinya;

maka karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah


lembut terhdap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi

222
. Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan
dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman.h. 59
325

berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari


sekelilingmu, maka maafkanlah mereka, mohonkan ampunan
bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkalah kepada Allah.

Dalam firman Allah yang lain, yaitu; Surat al-Syura, ayat: 38


ditegaskan yang artinya sebagai berikut:

Dan (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Allah dan


mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada
mereka.

Oleh karena itu, Khalifah Umar menjadikan musyawarah


sebagai landasan dalam mengelola pemerintahannya, kecuali dalam
kasus-kasus tertentu atau persoalan-persoalan mendesak untuk
segera diputuskan, maka Khalifah Umar mengambil kebijakan untuk
memuputuskannya berdasarkan ijtihadnya sendiri. Dalam
melaksanakan pemerintahannya, Khalifah Umar mengeluarkan
beberapa kebijakan baru yang dihasilkan atas dasar musyawarah,
misalnya;

a. Pembinaan pemerintahan dengan mendirikan diwan-diwan (


lembaga-lembaga yang sudah disediakan kantornya),
b. Peletakan dasar-dasar peradilan dan administrasi,
c. Pembentukan Baitul Mal,
d. Pengaturan jaringan pos (al-barid), dan
e. Penempatan pasukan-pasukan perang di daerah-daerah
perbatasan.

Oleh karena banyaknya tugas yang ditangani seorang


Khalifah, Umar senantiasa meminta pendapat (musyawarah, baik
secara tertutup atau terbuka) dari para sahabat senior dalam
326

menyelesaikan berbagai permasalahan yang menyangkut


kepentingan orang banyak.223

Sebagai seorang pemimpin umat, Umar berupaya


menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, sekalipun ia memiliki
otoritas kekuasaan yang bisa memaksa, tetapi Umar tidak ingin
mengandalkan semua tindakannya berdasarkan faktor kekuasaan.
Bahkan justeru dengan musyawarah, keuasaan dan kewibawaan
Umar semakin kuat di hadapan rakyatnya. Hal ini
sebagaimanadisampaikan dalam ucapan pidatonya; bahwa ia
seperti salah seorang di antara mereka, karena pada hakekatnya
Umar tidak bisa melepaskan diri dari sahabatnya. Sebagai
konsekuensi dari sikap seorang pemimpin yang mengedapankan
musyawarah, Umar memiliki sikap tanggung jawab (accountability)
yang sangat tinggidan oleh karenanya siap menerima pandangan dan
aspirasi yang disampaikan melalui musyawarah.224

Sebagaimana diketahui bahwa Umar bin Khattab diangkat


menjadi khalifah melalui musyawarah, yaitu musyawarah terbatas di
antara para sahabat senior yang dipimpin Khalifah Abu Bakar di
akhir-akhir hayatnya, setelah mendapatkan kesepakatan bersama
tentang keputusan mengangkat Umar sebgai pengganti
kepemimpinan Abu Bakar, baru kemudian kepemimpinan Umar
diumumkan kepada umat. Setelah dinobatkan(dilantik) menjadi
khalifah, Umar tetap mempertahankan musyawarah dalam rangka
memelihara kepentingan orang banyak, hal ini dilakukan sebagai
bukti komitmennya pada musyawarah dan kepedulianya kepada
kepentingan orang banyak. Dari sinilah, Umar membangun
musyawarah sebagai upaya melanjutkan tradisi yang sudah
dibangun oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh Khalifah Abu
Bakar. Pada periode Khalifah Umar prinsip-prinsip musyawarah
diperkuat melalui institusi untuk menghargai pandangan umat,
maka dari sinilah Umar memberikan hak dan kesempatan yang lebih
luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

223
. Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi ( Ciputat: Gaya Media
Pratama, 2001 ), h. 107
224
. Ibid.
327

Hal ini dapat dibuktikan dengan dibentuknya lembaga musyawarah


atau Majlis Syura pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Pembentukan lembaga ini sebagai konsekuensi dari keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan yang mengalami dinamikanya dari
waktu ke waktu itu. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab
aktivitas musyawarah semakin meningkat sesuai dengan tuntutan
berbagai permasalahan yang muncul yang harus ditangani dan
segera dicarikan penyelesaiannya. Hal ini sebagai dampak dari
perkembangan Islam yang semakin meluas.

2.3.Menegakan Keadilan dan Persamaan Hak

Penegakkan keadilan dan persamaan hak di antara sesama


warga merupakan prinsip yang diberlakukan oleh Khalifah Umar
dalam rangkaterciptanya umat yang damai, aman, dan sejahtera.
Pada masa pemerintahannya, Umar sangat menjunjung tinggi
keadilan dan persamaan hak di depan hukum, salah satu kasus
sebagai contoh; Mesir yang pada waktu itu merupakana wilayah
provinsi di bawah pemerintahanpusat di Madinah, di sebuah rumah
yang dihuni oleh seorang yang beragama Yahudi, rumah tersebut
letaknya bersebelahan dengan istana Gubernur, rumah orang Yahudi
tersebut akan dirobohkan oleh Gubernur untuk dijadikan taman kota,
tetapi orang Yahudi tersebut menolak rencana pembongkaran
rumahnya, akhirnya orang Yahudi tersebut melapor kepada Khalifah
Umar, kemudian Khalifah Umar mengirim pesan berupa tulang
onta yang telah diberi garis lurus oleh pedang Khalifah Umar. Pesan
Khalifah tersebut diterima oleh Gubernur Mesir, setelah melihat dan
memahami pesan tersebut, Gubernur Mesir langsung meminta maaf
kepada orang Yahudi. Dalam pesan tersebut yang dipahami
Gubernur tersirat betapa adilnya Khalifah Umar terhadap rakyatnya,
dan betapa tegasnya Umar terhadap para pejabat bawahanya yang
menjalankan pemerintahan.

Dalam kasus di atas menunjukan bahwa Umar bin Khattab


telah melaksanakan keadilan dan kebijaksanaanya dalam
menyelesaikan persoalan. Tetapi Umar tidak sendirian dalam
memutuskan permasalahan, melainkan setelah mendapatkan
nasehatdan pandangan dari para senior sahabat Nabi yang lain, baik
328

ketika dimintai pendapatnya ataupun tidak, sehingga setiap


keputusan yang diambilnya bisa dipertanggung jawabakan kepada
rakyat, bahkan kepada Allah.

2.4.Persamaan dan Kebebasan

Umar bin Khattab salah seorang sahabat Nabi yang memiliki


nama besar dalam sepanjang sejarah peradaban Islam setelah Abu
Bakar. Kebesarannya diukur dari tingkat keberhasilanya dalam
berbagai aspek kehidupan, baik sebagai seorang negarawan yang
adil dan bijaksana maupun sebagai seorang pemimpin yang sukses
dalam membangun sebuah negara besar yang ditegakan di atas
prisnsip-prinsip keadilan, persamaan dan persaudaraan sesuai
dengan yang diajarkan Rasulullah. Dalam kedudukannya sebagai
seorang mujtahid, Umar termasuk tujuh orang sahabat Nabi yang
banyak memberikan fatwa, dan orang terdepan dalam banyak hal
terkait dengan keputusan terhadap masalah berdasarkan al-ra`yu
(pemikiran) yang tetap berada dalam koridor al-Qur`an dan Sunnah
Nabi.

Umar berusaha menanamkan rasa persamaandan


kemerdekaan di kalngan rakyatnya. Salah satu contoh; pada suatu
waktu Umar melakukan tindakan tegas kepada para pemilik tanah
yang merasa berat atau enggan membayar zakat, jizyah atau kharraj,
tetapi di sisi lain ia juga ramah kepada rakyat biasa. Padahal para
Panglima perang atau para Jenderalnya merasa hormat sehormat-
hormatnya disertai dengan rasa takut, tetapi rakyat biasa atau orang-
orang kecil merasa bebas untuk mengomentari pembicaraannya saat
Khalifah Umar berada di depan publik. Kondisi seperti ini
menggambarkan realitas persamaan dan kemerdekaan yang luar
biasa di saat itu.

Selain dari itu persamaan di depan hukum dalam Islam,


dipertegas lagi oleh Umar dengan persamaan di depan peradilan.
Oleh karena itu, tercipta kondisi di mana semua warga negara sama
di depan pengadilan, baik dari segi kepatuhan mereka kepada
keputusan, prosedur yang harus dipenuhi dalam melakukan
dakwaan, dasar-dasar pengaduan, prinsip-prinsip memutuskan
329

pelaksanaan keputusan, pelaksanaan hukum maupun kewajiban


berlaku adil di antara orang yang berbeda pendapat. Tidak ada
perbedaan antara individu yang satu dari individu yang lain, bahkan
musuhpun diperlakukan sama, mereka ( musuh )merasakan keadilan
dan persamaan di depan pengadilan. 225 Perjuangan Khalifah Umar
mengenai prinsip-prinsip persamaan di depan hukum merupakan
kebijaksanaan yang luar biasa.

Di bidang ekonomi, Umar melakukan intervensi,


danmengontrol terhadap aktivitas perekonomian agar tidak terjadi
kebebasan atau liberalisasi yang tidak terkendali dalam hal-hal
tertentu. Hal ini dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan baru,
seperti tanah-tanah pertanian yang baru dibebaskan oleh Tentara
Islam di beberapa wilayah, antaranya; Syiria, Irak, Persia, dan
Mesir. Tanah-tanah pertanian tersebut dinasionalisasikan, tetapi
penggarapannyatetap pada pemilikasal, yaitu pemilik yang lama
(jika mau) dengan syarat mereka dikenakan pajak penghasilan
(zakat). Hasil pajaknya kemudian didistribusikan kepada seluruh
rakyat.226

Dengan diterapkannya sistem intervensi dan control dari


pihak pemerintah, semua pihak dapat merasakan keadilan dan
semuanya merasa diuntungkan dan tidak ada yang merasa dirugikan
sehingga semuanya dapat menikmati hasil pertanian yang
digarapnya. Rakyat yang kurang mampu atau yang tidak terlibat
dalam urusan penggarapan tanah pertanian juga dapat menikmati
hasilnya melalui perbaikan sarana atau fasilitas umum dari hasil
pajak yang diambil dari keuntungan penghasilan pertanian tersebut.

2.5.Sumber Pendapatan Negara

Pendapatan ekonomi negara pada masa Rasulullah saw.


sama seperti pendapatan negara pada masa pemerintahan Khulafa al-

225
.Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam
Madinah Ditinjau Dari Pandangan al-Qur`an ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994 ), h. 9
226
. Ibid. h. 135
330

Rasyidin, 227tetapi dengan penambahan hasil dari berbagai aktivitas


perekomian dan kondisi baru yang diciptakan oleh negara. Sumber-
Sumber pendapatan negara tersebut, antara lain;

a. Zakat dengan berbagai jenisnya dikenakan kepada


setiap orang muslim .
b. Kharraj ( pajak tanah),
c. Jizyah (pajak kepala),
d. `Ushur ( per sepuluh ) pertanian.
e. Khumus ( per lima ) harta rikaz. 228

Negara Madinah pada masa Khalifah Umar merupakan


masafutuhat ( ekspansi ), sehingga wilayah kekuasaan negara
Madinah semakin luas, maka pendapatan negarapun mengalami
peningkatan yang sangat signifikan. Oleh karenanya sumber-sumber
pendapatan negara menjadi perhatian khusus pemerintahan Umar
agar dapat dimenej dengan benar, efisien dan efektif. Setelah
dilakukan musyawarah dengan para sahabat senior (para elite
politik) terkait dengan pengelolaan sumber-sumber pendapatan
negara yang sudah berlimpah ruah, Khalifah Umar mengambil
kebijakan untuk tidak menghabiskan pendapatan negara yang

227
. Sumber-sumber pendapatan negara di era Khalifah Abu Bakar
sedikit mengalami kendala dikarenakan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat
yang masih belum mantap keimanan mereka. Orang-orang Arab yang tidak
mengakui otoritas kekuasaan Abu Bakar sebagai pemimpin negara Madinah
pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. kemudian banyaknya wilayah-wilayah
yang jauh dari kota Madinah (Ibu Kota Negara) mulai melakukan gerakan
sparatis melakukan tindakan pemberontakan. Para pemberontak sebenarnya
berasal dari dua kelompok, Pertama; Kelompok yang terdiri dari orang-orang
yang kembali menyembah berhala dibawah pimpinan Musailimah, Tulaihah,
Sajah, dan lain-lain. Kedua; mereka yang tidak menyatakan permusuhan terhadap
umat Islam, tetapi hanya memberontak kepada negara. Hal ini disebabkan
mereka menolak membayar zakat dengan alasan bahwa kewajiban membayar
zakat itu hanya kepada Nabi Muhammad. Setelah Nabi wafat mereka merasa
bebas. Oleh karenanya mereka merasa tidak berkewajiban membayar apa pun
(bayar zakat), dan bahkan tidak harus memberikan loyalitas kepada pemerintah di
Madinah, karena tidak ada perpanjangan perjanjian. Lihat Irfan Mahmud Ra`ana,
Sistem Ekonomi Pemerintah Umar Ibn Khattab, terj.Economic System Under
Umar The Great ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990 ). h. 6 -7
228
. Musthofa al-Himsyi, al-Nizam al-Iqtishadiy Fiy al-Islam, .h. 403
331

disimpan di Baitul Mal, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai


dengan keperluan, bahkan disediakan dana cadangan.

Sumber-sumber pendapatan negara di era Khalifah Umar


dapat dijelaskan sebagai berikut;229

a. Pendapatan Harta Zakat

Zakat adalah sebagian harta yang wajib dikeluarkan


oleh setiap orang Islam sebagai sadakah wajib jika sudah
sampai ke tahap sebagai seorang muzakki. Negara memiliki
kewajiban untuk memaksa orang-orang Islam yang tidak
mau mengeluarkan zakat untuk mengeluarkan zakat, agar
kesejahteraan umat yang dalam kondisi lemah dan miskin
tidak terabaikan. Perintah untuk mengeluarkan zakat
disebutkan di dalam al-Qur`an, surah al-Taubah, ayat 103
yang artinya sebagai berikut;

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka (orang-


orang Islam), dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk
mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Zakat merupakan sumber pendapatan negara yang


telah ada sejak zaman Nabi, dan menjadi sumber utama
pendapatan Negara. Pada masa Khalifah Umar, zakat
dikelola sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah
dan Abu Bakar. Khalifah Umar kemudian mengembangkan
sistem zakat melalui berbagai teknis dan pendekatan
sebagai kebijakan yang harus dilakukan dalam kondisi yang
sudah banyak mengalami perubahan. Pada masa
pemerintahannya, Umar menetapkan khumus zakat (lima
persen) atas karet yang ditemukan di Semenangjung

229
. Pusat Pengkajian dan Pembangunan Ekonomi Islam ( P3EI ),
Ekonomi Islam ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008 ), h. 101 - 102
332

Yaman, lokasinya antara Aden dan Mukha, dan hasil laut.


Karena Umar menganggap barang-barang tersebut dianggap
sebagai hadiah dari Allah swt. Padahal barang-barang
tersebut pada masa Khalifah Abu Bakar belum dikenakan
zakat, hal itu disebabkan karena barang-barang
tersebutbelum menjadi salah satu sumber utama pendapatan
negara.Apa yang baru saja dijelaskan di atas adalah sebagai
salah satu contoh bahwa barang-barang yang di masa
Rasulullah dan Abu Bakar belum dikenakan zakatnya
karena masih belum ada potensi ekonomi dan nilai
kekayaan, tetapi di era Khalifah Umar barang-barang
tersebut sudah mengalami peningkatan sehingga menjadi
potensiekonomi yang cukup signifikan, maka Khalifah Umar
menetapkan zakatnya.Khalifah Umar sangat memahami
tujuan utama kewajiban zakat, selain sebagai sumber
pendapatan negara, zakatjuga bertujuan untuk menghindari
adanya penumpukan harta kekayaan pada sekelompok kecil
orang-orang kaya. Oleh karena itu, maka kekayaan harus
didistribusikan kepada masyarakat secara adil dan merata.

Zakat harus diambil dari orang-orang kaya (bila perlu


secara paksa, bukan berdasarkan kesadaran) untuk kemudian
dibagikan kepada orang-orang mustahiqqin.Untuk mencapai
tujuan ini Khalifah Umar melakukan berbagai kebijakan,
yaitu dengan membuat jenis barang yang wajib dizakati bila
dirasa perlu dan menghilangkannyajika dianggap sudah tidak
relevan lagi. Pada sisi lain, Khalifah Umar menetapkan
sangsi yang sangat berat kepada orang-orang Islam kaya
yang tidak mau mengeluarkan zakat( para pengemplang
zakat ). Pada masa Rasulullah orang-orang Islam yang tidak
mau membayar zakat dikenakan denda sebesar 50% dari
seluruh harta kekayaan yang dimiliknya, hal ini
sebagaimana dinyatakan Rasulullah; Orang-orang yang
tidak mau membayar zakat, akan saya ambil zakatnya
setengah dari seluruh kekayaanya. Pendapatan negara yang
dikumpulkan dari berbagai sumber di zaman Khalifah Umar
didistribusikan di tingkatlokal dan jika terdapat surplus, sisa
pendapatan negara tersebut di simpan di Baitul Mal pusat
333

dan dibagikan kepada delapan ashnaf seperti yang telah


ditentukan di dalam al-Qur`an.

b. Pendapatan Khumus dan Sedekah

Khumus adalah pajak 5% terhdap harta ghanimah,


yaitu harta kekayaan yang diterima Tentara Islam dari pihak
musuh tanpa ada perlawanan,harta kekayaan ini kemudian
disimpan di Kas Negara atau Baitul Mal.Jumlah dana yang
dihasilkan dari pajak khumus harta ghanimah adalah berkisar
29 persen setiap tahunnya. Pendapatan ini didistribusikan
kepada orang-orang fakir miskin, tanpa membedakan apakah
ia seorang muslim atau non muslim. Dalam sebuah riwayat
menyebutkan bahwa; dalam perjalanan menuju Damaskus,
Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang
menderita penyakit kaki gajah. Melihat keadaan tersebut,
Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar
memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan
dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambil
dari persediaan untuk para petugas.230 Contoh ini
menunjukkan bagaimana Khalifah Umar mendistribusikan(
mengalokasikan ) pendapatan negara yang dihasilkan dari
pajak khumus dan sedekah kepada orang yang sedang
memerlukan pengobatan penyakitnya.

c.Pendapatan Kharraj, Fay, Jizyah, Ushur, dan sewa tanah

Kharrajadalah sejenis pajak yang dibebankan atas


tanah produktif yang dimiliki oleh warga non muslim, yang
berada di bawah kekuasaan pemerintah Islam. Pajak jenis ini
dibebankan atas tanah tanpa membedakan pemiliknya,
apakah pemiliknya kanak-kanak atau orang dewasa, orang
merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan. 231Khalifah
Umar menentukan beban pajak kharraj kepada tanah

230
. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. h. 74
231
. Irfan Muhammada Ra`ana, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn
Khattab, h. 118 - 119
334

Sawad232 di Irak. Umar sangat teliti mengenai jumlah pajak


kharraj yang dibebankan kepada para petani, misalnya;
Umar melarang para petugas pajak dari memungut pajak
yang melebihi dari kemampuan wajib pajak, sambil
memperhatikan luas tanahnya. Pajak kharraj hanya dibayar
sekali dalan satu tahun, meskipun lahan tanah yang dimiliki
warga non muslim bisa ditanami lebih dari satu kali dalam
setahun, sehingga pajak kharraj yang ada pada
pemerintahan Umar tidak menjadi beban yang memberatkan
kepada masyarakat non muslim. Pendapatan negara dari
pajak kharraj jumlahnya sangat besar. Misalnya nominal
pajak kharraj dari daerah Irak saja mencapai sekitar
86.000.000,- Dirham untuk setiap tahunnya, dan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan pada tahun berikutnya,
yaitu sekitar 100.020.000,- Dirham. Sementara dari wilayah
Mesir, jumlah pajak kharraj berkisar 12.000.000,- Dirham
setiap tahunnya. 233 Dari pajak kharraj pada setiap tahunnya
yang tersimpan di Baitul Mal bisa mencapai 160.000.000,-
.234
Jizyah adalah pajak yang dibebankan kepada orang-
orang non muslim yang menetap di bawah kekuasaan
pemerintahan Islam. Jizyah berupa konpensasi bagi jaminan
perlindungan yang diberikan kepada mereka, keluarga, dan
harta miliknya. Kemudian Jizyah juga sebagai pajak
konpensasi tugas kemiliteran, karena orang-orang non
muslim yang menjadi warga pemerintahan Islam dibebaskan
dari tugas kemiliteran. ImplementasiJizyah pada masa
Khalifah Umar tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan
pada masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar. Dalam hal
ini, Khalifah Umar tidak membebankan Jizyah kepada kaum

232
.Sawad adalah nama sebuah wilayah di Irak yang menjadi bagian
wilayah kekuasaan pemerintah Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
233
. Irfan Muhammad Ra`ana, Sistem Ekonomi Pememerintahan Umar
Ibn Khattab, h. 126
234
. PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan
Globalisasi, h. 59
335

wanita, anak-anak, orang-orang miskin, 235 para budak, dan


rahib-rahib (pendeta-pendeta). Jika mereka kemudian
menjadi orang kaya, mereka baru dikenakan membayar
Jizyah. Umar memiliki karakter sangat lemah lembut kepada
orang-orang miskin dan lemah, tetapi Umar bisa berubah
bersikap keras terhadap orang-orang kaya yang mencoba
menghindar dari kewajiban membayar Jizyah.236

Feydan Ghanimah. Fey adalah harta rampasan


perang yang diperoleh dari pihak musuh( kafir ) tanpa
perlawanan ( min ghairi qitalin ).237 Sedangkan Ghanimah
adalah harta rampasan perang yang diambil dari musuh
setelah tentara Islam memperoleh kemenangan melalui
perang. 238Harta rampasan perang ini merupakan sumber
pendapatan negara.Harta rampasan perang harus dibagikan
sesuai dengan aturan yang telah berlaku sejak zaman
Rasulullah. Pada masa Khalifah Umar, tanah-tanah yang
berasal dari harta fey sangat luas, sehingga di kemudian hari
tanah-tanah tersebut dikuasai negara, namun penduduknya

235
.Pembebasan pembayaranJizyah (pajak) dari orang-orang lemah dan
miskin pada masa Khalifah Umar dilatar belakangi oleh peristiwa ketika Khalifah
Umar berkunjung ke suatu daerah, tiba-tiba menjumpai seorang pengemis pria
yang buta. Khalifah Umar bertanya kepada pengemis tersebut. Siapa sebenrnya
kamu ?. Pengemis tersebut menjawab, saya seorang Yahudi. Selanjutnya Khalifah
Umar bertanya; apa yang telah memaksa kamu meminta-minta. Lalu pengemis
tersebut menjawab; bahwa yang memaksa dirinya meminta-meminta adalah
kewajiban membayar jizyah, kebutuhan ekonomi dan usia lanjut. Mendengar
jawaban seorang pengemis tersebut Khalifah Umar memerintahkan petugas
Baitul Mal untuk membebaskan orang-orang non muslim yang lemah dan miskin
dari kewajiban membayar jizyah, dan Khalifah menetapkan bantuan kepada
mereka setiap tahunnya dari Baitul Mal. Lihat Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, terj. Economic Doctrines of Islam, Jld. I, ( Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Wakaf, 1995 ), h. 174 -175
236
. Irfan Muhammad Ra`ana, Sastem Ekonomi Pemerintahan Umar, h.
100 - 101
237
. Musthofa Dib al-Bigha, al-Tahzib Fiy Adillah Matan al-Ghayah wa
al-Taqrib, ( Damaskus, Beirut: Muassisah Ulum al-Qur`an, 1405 H./ 1985 M. ),
h.231
238
. Musthofa Dib al-Bigha, al-Tahzib Fiy Adillah Matan al-Ghayah wa
al-Taqrib, h. 231
336

tetap diberi hak untuk mengelola dengan sistem sewa.


Dalam pendistribusian harta Fey, Umar mempergunakannya
sesuai dengan ketetapan al-Qur`an, Surat al-Anfal, Ayat 41.
Yang artinya;

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat


kamu peroleh sebagai harta rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima ( khumus ) untuk Allah,
Rasul, Kerabat Rasul, anak-anak Yatim, orang-orang
miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad saw.) di hari Furqan.
Yaitu bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.

Ushuradalah jenis pajak persepuluh (10%) dari hasil


perdangan yang dikenakan kepada para pedagang non
muslim yang melakukan aktivitas perdagangannya di
wilayah kekuasaan pemerintahan Islam. Ketentuan pajak
persepuluh atas perdagangan orang-orang non muslim pada
masa Khalifah Umar bin Khattab di latar belakangi oleh
peristiwa ketika orang-orang non muslim harbi yang
meminta izin kepada Khalifah Umar agar diperbolehkan
berdagang di wilayah yang dikuasai pemerintahan Islam
dengan membayar pajak persepuluh dari nilai barang.
Setelah berkonsultasi dengan para Sahabat senior tentang
permintaan orang-orang non muslim tersebut, Khalifah
Umar mengizinkan permintaan orang-orang non muslim
harbitersebut. Pajak persepuluh dari perdagangan orang-
orang non muslimharbi hanya dibebankan satu kali dalam
setahun, dengan asumsi bahwa barang yang
diperdagangankan jumlahnya melebihi 200 Dirham.
Sementara ketentuan jumlah pajak yang harus dibayar
adalah;

a. 2.5% untuk para pedagang muslim,


b. 5% untuk para pedagang kafir dzimmi,
c. 10% untuk para pedagang kafir harbi.
337

Khalifah Umar juga melarang para petugas pemungut pajak


mengambil ushur lebih dari satu kali dalam setahun.
Pendapatan negara ini dialokasikanuntuk membayar dana
pensiun dan dana bantuan, serta untuk menutupi biaya
operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.

Umar bin Khattab mengakhiri jabatannya sebagai Amirul


Mukminin atau Khalifah karena tutup usia setelah empat hari
menderita luka-luka parah akibat hujaman sangkur ( pisau belati
yang ujungnya bengkok ) bertubi-tubi di tubuhnya yang dilakukan
oleh seorang mantan tawanan perang Persia yang bernama
239
Fairuz. Percobaan pembunuhan itu sendiri terjadi di saat
Khalifah Umar memimpin shalat Jamaah Shubuh di Mesjid Nabawi
pada hari Sabtu tanggal 26 Dzul Hijjah, tahun 23 H./634 M. Selain
Amirul Mukminin Umar bin Khattab tiga belas Shahabat Nabi yang
lain turut menjadi korban amukan Fairuz secara membabibuta,
sebelum ia sendiri melakukan bunuh diri.

3. Utsman Bin Affan dan Kebijakan Politik


Utsman bin Affan menjabat khalifah di saat ekspansi militer
kaum muslimin di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab telah
mencapai kemenangan dalam pembebasan imperium Persia dan
beberapa kota penting yang dulunya dikuasai imperium Romawi
Timur. Khalifah Umar mewariskan kepemimpinan Islam kepada
Utsman bin Affan bukan hanya dalam hal-hal yang menyangkut
wilayah kekuasaan yang sudah sangat luas membentang, tetapi juga
seluruh permasalahannya yang sudah mulai kompleks dan rawan.
Kerawanan situasi sosial politik yang sebelumnya telah
dikhawatirkan oleh Umar. Hal ini sebagaimana diekspresikan Umar
dalam sebuah do`anya; Ya Allah, usiaku telah senja, kekuatanku
telah melemah, rakyatku telah tersebar, maka janganlah Engkau
jadikan perbuatanku sia-sia.240

239
. Yoesoef Souyb, Sejarah Daulat Khulafaur Rassyidin ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1979 ), h. 311-315
240
. Lihat Abbas Mahmud al-`Aqqad, Kejeniusan Utsman (terj.) (
Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 ), h. 67
338

Setelah resmi Utsman bin Affan menduduki jabatan Khalifah


pada tahu 23 H. atau 24 H.241 tidak sedikit langkah-langkah yang
ditetapkanya sebagai realisasi dari kebijakannya dalam membangun
daulah khilafah Islamiyah yang sudah luas wilayah kekuasaannya.
Sumbangan terbesar dari Khalifah Utsman kepada umat Islam
sampai hari ini adalah penyeragaman tulisan dan bacaan al-Qur`an,
sehingga tidak terjadi perbedaan dalam hal tulisan dan bacaan al-
Qur`an antara daerah yang satu daerah-daerah yang lain. Hal ini
berdampak pada wujudnya persatuan dan kesatuan umat Islam dari
wilayah-wilyah yang sudah berada dalam kekuasaan pemerintahan
Islam. al-Qur`an yang sudah diseragamkan itu dikenal dengan; al-
Qur`an Mushaf Utsmaniy. Beberapa kebijakan Khalifah Usman
yang lain dapat dijelaskan sebagai beriku;
3.1. Menciptakan Keamanan di Wilayah Kekuasaan.
Tahun-tahun pertama dari era kekhalifahan Utsman, Khalifah
Utsman disibukkan dengan mengendalikan berbagai pemberontakan
di beberapa wilayah bekas kekuasaan Persia dan Romawi.
Sebagaimana dilaporkan oleh para ahli sejarah, antaranya Ibnu
Katsir; bahwa ketika Utsman memangku jabatan Khalifah, wilayah
kekuasaan Islam telah terbentang luas dari ujung Persia di Timur
hingga perbatasan Sirenaika dan Tripoli diBarat, darilaut Kaspia di
Utara hingga Nubia di Selatan.242 Pada masa Khalifah Umar bin
Khattab seluruh wilayah kekuasaan Persia sebenarnya telah berada
dalam kekuasaan Khilafah Islam. Demikian pula kota-kota penting
yang berdekatan dengan wilayah Persia yang sebelumnya berada
dalam koloni Romawi Timur telah pula dapat dikuasai Pasukan
Islam, tetapi penguasa tertinggi Persia yang hidup dalam
pengasingannya; Kaisar Yezdegrid III terus menggerakan
perlawanan dan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam
(Khilafah Islam) dari pengasingannya. Ia terus menjalin kontak
rahasia dengan penduduk yang masih loyal kepadanya melalui
mata-mata yang disebarkannya, tetapi Yezdegrid III meninggal
dunia pada tahun 30 H./653 M. akibat dibunuh oleh pengawalnya

241
. Lihat Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 161
242
. Muhammad Husain Haekal, Utsman bin Affan ( terjemahan
Indonesia oleh Ali Audah ), ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002 ), h. 57
339

sendiri, setelah hampir sepuluh tahun hidup dalam pengasingan dan


dalam jaminan suaka politik negara-negara tetangga.243

Dengan kematian Kaisar Yezdegrid III, maka menjadi reda


pemberontakan-pemberontakan di wilayah Persia, dan kedaulatam
Islampun dengan sendirinya semakin menguat. Pada sisi lain, di
beberapa negeri bekas wilayah kekuasaan Romawi terjadi hal yang
serupa seperti yang terjadi di beberapa wilayah bekas kekuasaan
Persia, negeri-negeri bekas wilayah kekuasaan Romawi melakukan
pemberontakan dan berupaya melepaskan diri dari kekuasaan
Khilafah Islam. Pergantian para pejabat militer di Armenia dan
Azerbaijan di masa Khalifah Utsman, dijadikan kesempatan oleh
para mantan penguasa Romawi untuk melakukan pemberontakan
dan membatalkan perjanjian sepihak di kedua negeri tersebut,
dengan meminta bantuan tentara Kaisar Romawi mereka
mencetuskan perlawanan terhadap penguasa Islam (Khalifah).244
Sikap yang sama dilakukan oleh sisa-sisa penguasa Romawi di
wilayah Iskandariyah, Mesir, dan Tripoli. Tetapi semua gerakan
separatis dan pemberontakan itu dihadapi oleh kekuatan Tentara
Islam dengan keberanian dan ketangguhan perjuangan mereka
dibawah komando Panglima Perang yang juga Gubernur Mesir; Amr
bin `Ash berhasil menghancurkan kekuatan angkatan perang
Romawi, sehingga Mesir seluruhnya kembali ke pangkuan Khilafah
Islam. 245
3.2. Tunjangan Sosial dan Kontroversi Distribusi Kekayaan
Kekayaan negara pada masa Khalifah Umar cukup melimpah
ruah dan merupakan keberhasilan yang baik dalam sejarah
pembangunan pemerintahan Islam di masa Khulafa al-Rasyidin.
Keberhasilan ini ditunjang melalui kebijakan kontrol yang sangat
ketat terhadap para Pejabat Tinggi, para Gubernur, serta para Staff
Pemerintah agar tidak hidup berpoya-poya, glamour atau gaya
hidup mewah. Oleh karenanya Khalifah Umar menerapkan cara
hidup zuhud, yaitusikap hidup yang jauh dari gemerlapan dunia,
gila kemewahan dunia, meskipun tunjangan dan bantuan sosial
243
. Yousouf Soe`yb, Sejarah Daulat Khulafa Rasyidin, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1970 ), hlm. 376
244
. Ibid. h. 366
245
. Ibid. h. 34
340

diberikan kepada rakyatnya secara adil dan merata, tetapi Khalifah


Umar terus mengadakan pengawasan kekayaan para Gubernur yang
diangkatnya. Dengan cara seperti ini dampak negatif dari
melimpahnya kekayaan dapat diminimalisir dan kesenjangan sosial
di antara masyarakat dapat dihindari, setidaknya tidak menimbulkan
kecemburuan sosial.

Kebijakan Khalifah Umar ini rupanya tidak diteruskan oleh


Khalifah Utsman atas berbagai alasan dan pertimbangan.
Keengganan untuk mengikuti kebijakan Khalifah Umar ini bisa jadi
karena latar belakang kehidupan Khalifah Utsman sendiri yang
kaya raya, serta sifat kepribadiannya yang lemah lembut dan
dermawan. Hal ini secara tidak langsung berpengaruh pada lahirnya
kecendrungan masyarakat untuk hidup lebih leluasa dan mudah
untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh
pemerintah setelah mereka merasakan pola hidup yang ketat dan
keras di masa dua Khalifah sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan Umar.
Disamping itu Khalifah Utsman sendiri tidak bisa melepaskan diri
dari pengaruh dan desakan keluarga dekatnya, terutama dari qabilah
( clan ) Umayyah, dan terutama dari Marwan bin Hakam yang
sangat mungkin mempengaruhi gaya hidup bermewah-mewah, dan
bahkan kebijakan-kebijakan politik Utsman. 246 Kondisi sosial
ekonomi yang sudah sangat baik di era pemerintahan Khalifah
Utsman ini pada awalnya diharapkan dapat memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk menikmati hidup lebih mudah. Tetapi
ternyata memunculkan side effect yang mungkin saja tidak
diperhitungkan sebelumnya oleh para pengambil kebijakan (
decision makers ) di era Khalifah Utsman, yaitu; bahwa kondisi
sosial ekonomi yang sudah membaik ini diharapkan dapat menarik
simpati mayoritas kaum bangsawan Quraisy untuk menggairahkan
pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh para saudagar dan para
tuan tanah. Tetapi realitasnya justeru kondisi ini memunculkan rasa
kecemburuan sosial dari suku-suku lain, terutama dari kabilah-
kabilah non Arab sebagai akibat dari semakin menganganya jurang
perbedaan kekayaan. Isu kesenjangan sosial inilah yang di

246
. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam ( terj.), ( Jakarta:
Kalam Mulia, 2002 ), h.504
341

kemudiasn hari dijadikan salah satu senjata alasan bagi kaum


demonstran untuk mendesak Khalifah Utsman agar mundur dari
jabatannya. Karena itu Khalifah Utsman kemudian mengeluarkan
kebijakan baru agar tunjangan sosial kepada para veteran perang
Badar, isteri-isteri dan keluarga Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar,
serta kaum fakir miskin dan seluruh penduduk yang sebelumnya
memang sudah ditetapkan menerima tunjangannya oleh Khalifah
Umar ditingkatkan sesuai dengan derajat dan kedudukan (status
sosial) mereka dalam masyarakat. Kebijakan ini nampaknya tidak
dapat memuaskanhati masyarakat karena tidak mencakup seluruh
rakyat yang berada di berbagai pelosok wilayah negeri yang sudah
sangat luas.

Kecendrungan gaya hidup mewah di era pemerintahan


Khalifah Utsman ini dinilai oleh para elit dan senior Sahabat Nabi
sebagai sesuatu yang sudah berlebihan, oleh karenanya mereka tidak
setuju dengan lahirnya gejala gaya hidup mewah tersebut. `Ali bin
Thalib, Abu Dzar al-Ghifary, `Ammer bin Yasir dan Salman al-
Farisy adalah di antara tokoh-tokoh kunciyang melawan arus
kecendrungan tersebut. Oleh karena itu, tidak heran kalau sering
terjadi berbeda pendapat antara tokoh-tokoh tersebut dengan
Khalifah Utsman dan para pejabat tinggi negara. Bukti yang paling
ketara adalah ketegangan yang terjadi antara Abu Dzar al-Ghifary
dengan Gubernur Syam (Syria); Mu`awiyah bin Abi Sufyan, yang
kemudian memuncak menjadi konflik terselubung antara Abu Dzar
berikut pendukungnya dari suku Ghifar dengan Khalifah Utsman
beserta keluarga besar Bani Umayyah. 247Abu Dzar al-Ghifary
dalam setiap kesempatan mengkampanyekan sikap hidup zuhud dan
sederhana sebagaimana yang diterapkan oleh Khalifah Umar,
menyeru para pemimpin, elit politik, dan kaum hartawan agar lebih
mempedulikan nasib kaum fakir-miskin, dhu`afa, dan
mempersamakan hak-hak mereka di bidang politik dan ekonomi. 248
3.3. Kekayaan Negara Pada Era Khalifah Utsman

247
. Lihat al-Thabary, Abu Ja`far Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Umam
wa al-Muluk ( Beirut: Dar el-Suwaidan, tt. ), h. 283 – 285
248
. Lihat Ahmad Amin, Fajru al-Islam ( Kairo: Maktabah Nahdhah al-
Misriyah, 1964 ), h. 110
342

Sebagaimanadiberlakukan di dalam Syariat Islam dan


hukum perang pada zaman itu, bahwa penaklukan ( al-futuhat al-
Islamiyah ) atas suatu wilayah berarti penguasaan atas segala
sumber kekayaan alam dan makhluk hidup di wilayah tersebut.
Penaklukan imperium Persia dan Romawi, terutama negeri Iraq dan
Mesir yang tanahnya subur makmur oleh militer Islam telah
membuka pintu terbukanya kekayaan yang melimpah ruah. Harta
rampasan perang dan budak-budak tawanan tidak terhitung
banyaknya. Penaklukan seperti ini terus berlanjut pada masa
Khalifah Utsman, sehingga kekayaanpun terus mengalir ke Kas
Negara ( Baitul Mal) yang berada di Ibu Kota Negara; Madinah dan
ke kantong-kantong para prajurit Islam.
Kemakmuran hidup dan kesejahteraan sosial berlipat ganda
ini sudah dimulai sejak masa-masa sebelumnya, yaitu dari masa
pemerintahan Khalifah Umar. Sebagai gambaran singkat bagaimana
melimpahnya kekayaan kaum muslimin di masa itu, dapat diberikan
contoh dari beberapa penaklukan wilayah Persia. Ketika Tentara
Islam merebut kota Qadisiyah di bawah panglima perang Sa`ad bin
Abi Waqqas, mereka berhasil membawa harta kekayaan rampasan
Kiasar Persia yang ditinggalkan, sehingga ditaksir mencapai 652
juta Dinar. Seperlima (5%) dari jumlahtersebut dikirim ke Ibu Kota
Negara, sementara sisanya dibagikan kepada Tentara dan
disedekahkan ke penduduk setempat yang miskin. Dalam
pembebasan kota Madain masing-masing Tentara Islam memperoleh
bagian harta rampasan sekitar 12. 000 Dirham. Dari pembebasan
kota Jalula, setiap Tentara Berkuda ( Kaveleri ) memperoleh jatah
rampasan sekitar 90.000 Dirham per-orang. Sedangkan dalam
pembebasan kota Tikrit, Moshul, Ramharmaz, Tustar, dan Shaus,
masing-masing Tentara Berkuda memperoleh bagian dari tiap kota
tersebut sebesar 3000 Dirham, dan setiap prajurit pejalan kaki
(infantri ) memdapat bagian sebesar 1000 Dirham. 249
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai kondisi kekayaan
negara pada masa Khalifah Umar dan Khalifah Utsman, tidaklah
mengherankan kalau diriwayatkan betapa kayanya seorang Sahabat
Nabi, semisal; Abdurrahman bin Auf yang mampu bersedekah

249
. Lihat Qutb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin
Khattab, (terj.) ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 ), h. 60 - 61
343

dalam satu kali senilai 15.000 Dinar. Zubair bin Awwam


meninggalkan harta warisan senilai 50.200.000 Dinar. Thalhah
mempunyai kekayaan di Iraq yang menghasilkan tiap tahunnya
sekitar 400.000 Dinar, dan ia mengambil 10.000 Dinar untuk
disedekahkan. Sementara Said bin Auf pernah kebingungan
karena terlalu melimpah kekayaannya. Akhirnya ia mengambil
400.000 Dinar untuk disedekahkan saat itu juga. 250
Melimpahnya harta kekayaan hasil rampasan perang
rupanya melahirkan implikasi kecenderungan hidup mewah bukan
saja dikalangan para prajurit yang baru memeluk Islam, tetapi juga
dikalangan Sahabat-sahabat Nabi yang umumnya mendapatkan
jabatan terhormat dalam dinas kemiliteran. Di era pemerintahan
Umar bin Khattab, Umar menyadari bahwa kecenderungan hidup
mewah membawa dampak buruk terhadap perilaku umat Islam
jika tidak segera diantisipasi. Oleh karena itu Umar menerapkan
kebijakan melarang para Sahabat keluar dari kota Madinah,
kecuali atas seizinnya dalam batas-batas tugas kenegaraan, itupun
diberikan dalam jangka waktu yang ditentukan.251 Umar juga
menerapkan sikap zuhud, dan terus mengadakan pengawasan
terhadap kekayaan para Gubernur dan para pejabat pemerintahan di
setiap daerah dan wilayah. Dengan cara ini dampak negatif sebagai
akibat dari melimpahnya kekayaan negara dapat diminimalisir dan
kesenjangan sosial tidak menimbulkan kecemburuan sosial,
sehingga roda pemerintahan tetap berjalan dengan baik.
3.4.Kebijakan KontroversialKhalifah Utsman
Beberapa kebijakan politik Utsman yang dinilai kurang
strategis dan karenanya menimbulkan reaksi keras darirakyatnya
adalah persoalan mutasi dan pergantian para pejabat penting,
digantikan dengan orang-orang yang dekat keluarga Khalifah atau
digantikan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas
tetapi punya kedekatan dengan Khalifah. Pergantian ini terjadi baik
ditingkat pusat pemerintahan (Madinah) ataupun di tingkat wilayah
atau daerah. Kebijakan yang tidak menguntungkan ini pada akhirnya
menuai isu nepotisme yang dituduhkan kaum oposisi kepada
250
. Abbas Mahmud al-`Aqqad, Kesejahteraan Utsman bin Affan ( terj. )
( Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 ), h. 124 - 125
251
. Muhammad Husain Haikal, Utsman bin Affan, terj. ( Jakarta: Litera
Antar Nusa, 2002 ), h. 118
344

Khalifah Usman. Beberapa kebijakan Utsman yang tidak populis itu,


antaranya sebagai berikut;
Pertama: Khalifah mengganti pejabat sekretaris negara yang dijabat
oleh Zayd bin Thabit (berasal dari komunitas Anshar)
semenjak Khalifah Abu Bakar dan Umar, digantikan
oleh Marwan bin Hakam yang merupakan putra paman
Utsman sendiri. 252 Kemudian Zayd sendiri dimutasi
menjadi kepalaBaitul Mal (Bendahara Negara),
menggantikan posisi Abdullah bin Arqam dari komunitas
Muhajirin. Abdullah diberhentikan dengan diberi uang
pesangon sekitar 30.000 Dirham, tetapi Abdullah tidak
menerimanya. 253
Kedua; `Amr bin `Ash, sebagai Gubernur ( Amir ) Mesir dan Tripoli
yang telah menjabat jabatan ini sejak keberhasilannya
memimpin pasukan perang menaklukkan wilayah Mesir
dan Tripoli pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Khattab tahun 18 H. diberhentikan dari jabatannya
sebagai Gubernur dan digantikan dengan Abdullah bin
Sa`ad bin Abi Sarah yang masih keluarga Umayyah dan
saudara sepesusuan Khalifah Utsman. Abdullah bin
Sa`ad bin Abi Sarah sebenarnya seorang panglima
perang dibawah pimpinan `Amr bin `Ash ketika dalam
penaklukan Mesir.
Ketiga; Abu Musa al-`Ash`ari yang menjabat Gubernur wilayah
Persia (Iran) dan Khurasan yang berpusat di Basrah
diberhentikan dan digantikan dengan Abdullah bin Amir

252
. Hakam bin Abu al-`Ash bin Umayah adalah orang yang sangat
memusuhi Nabi Muhammad. Tetapi akhirnya dia masuk Islam setelah fathu
Makkah( Mekkah ditaklukkan Pasukan Islam ) secara damai pada tahun 8 H.
Nabi sendiri menetapkan hukuman mati kepada Hakam karena permusuhannya
kepada Islam yang keterlaluan. Tetapi sebagai penghormatan kepada Utsman dan
karena dia sudah masuk Islam, Nabi menarik keputusannya dan membolehkan ia
bersama keluarganya tinggal di Thaif. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar
keluarga Hakam ini tidak diizinkan tinggal di Ibu Kota Madinah. Ini adalah salah
satu pemicu kebencian penduduk Madinah kepada keluarga Umayyah. Lihat
Joesoef Sou`yb, Sejarah Daulat Khulafa Rasyidin, h. 336
253
. Ibid. h. 336
345

bin Kuraez, saudara sepupu Khalifah Utsman yang


waktu itu masih berusia 25 tahun.254
Keempat;Panglima Perang, Sa`ad bin Abi Waqqas, seorang
Gubernur untuk tiga wilayah Iraq, Azerbaizan, dan
Armenia yang berpusat di Kufah digantikan dengan al-
Walid bin `Uqbah bin Abi Muayth yang juga masih
keluarga Umayyah. 255Sementara itu Muawiyah bin Abi
Sufyan bin Umayyah (cucu Umayyah) tetap dikukuhkan
sebagai Gubernur Syam yang kekuasaannya meliputi
Syiria dan Palestin, sampai terbunuhnya Khalifah Utsman
oleh para kaum demonstran yang brutal.
Dalam mengomentari kebijakan-kebijakan Khalifah Utsman
di atas, para ahli rupanya sepakat bahwa Marwan bin Hakam
mempunyai peran penting dalam mempengaruhi keputusan politik
Utsman yang kontroversial dengan aspirasi mayoritas para Sahabat
senior Nabi, sehingga Khalifah Utsman beberapa kali harus
menanggung kritikan pedas atas kebijakan-kebijakannya yang
kurang strategis, bahkan terjadi perbedaan pandangan dengan para
penasehatnya sendiri yang sekaligus sebagai anggota Ahlul Halli wa
al-Aqd i, yaitu; Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa`ad
bin Abi Waqqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubayr bin
Awwam. 256 Utsman bin Affan, Khalifah ketiga berkepribadian
lemah-lembut, dermawan, dan toleran, ditambah dengan usianya
yang sudah lanjut di atas tujuh puluh tahun tidaklah sulit untuk
menegaskan bahwa kebergantungan Utsman dalam banyak hal
setrategis kepada orang kepercayaannya, oleh karenanya ada
benarnya jika ada yang berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan
Khalifah Utsman sangat kuat dipengaruhi oleh masukan-masukan
Marwan bin Hakam yang merupakan kepercayaan yang paling
utama bagi Khalifah Utsman.
Selain kebijakan politik, kebijakan keagamaan yang
berdasarkan ijtihad Utsman dalam beberapa kasus, juga
menimbulkan reaksi keras dari para Sahabat senior Nabi. Dalam

254
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, h. 165
255
. Ibid. h. 162
256
. Lihat Abbas Mahmud al-`Aqqad, Kejeniusan Usman bin Affan, terj.
h. 98 - 100
346

konsteks ini al-Thabary mengutip riwayat al-Waqidiy yang


bersumber dari Ibnu Abbas, sebagai berikut;
Sesungguhnya pertama kali munculnya pembicaraan orang
tentang Utsman secara terbuka, bahwa selama masa
kepemimpinan Utsman shalat di Mina (saat ibadah haji
dengan qashar dari empat rakaat) dua rakaat-dua rakaat,
tetapi ketika tahun keenam dari kepemimpinannya Utsman
shalat sempurna, dalam arti Utsman tidak melaksanakan
qashar, berbeda dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar
yang melaksanakannya dua rakaat-dua rakaat ketika di
Mina.257
Utsman berargumentasi bahwa dia mengerjakan shalat di
Mina empat rakaat secara sempurna, karena ada laporan bahwa
sebagian orang yang melaksanakan ibadah haji dari penduduk
Yaman pada tahun yang lalu, mereka mengatakan bahwa shalat bagi
orang muqim; kok hanya dua raka`at. Ini pemimpin kalian;
Utsman, shalat dua rakaat. Sedang aku (kata Utsman ) punya
keluarga di Mekkah, maka aku berpendapat untuk shalat empat
rakaat karena khawatir dari perkataan masyarakat Yaman. Aku juga
punya isteri di Mekah dan punya kekayaan di Thaif. 258
Ijtihad Khalifah Utsman yang menyalahi pendapat mayoritas
tokoh-tokoh Sahabat Nabi yang lain rupanya berdampak munculnya
pandangan miring terhadap Khalifah Utsman. Kondisi ini menjadi
peluang bagi pihak-pihak yang merasa kecewa untuk menyebarkan
issu kecacatan kepemimpinan Utsman. Bagi masyarakat yang kuat
berpegang pada tradisi Sunnah Nabi dan generasi pendahulunya,
maka issu yang paling sensitif adalah penyelewengan dari tradisi
yang sudah mengakar itu, dan tidak ada tradisi agama dalam Islam
yang paling disakralkan melebihi tatacara ritual ibadah seperti
shalat dan haji. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa issu ini
menjadi alasan bagi masyarakat untuk mengecam kebijakan
Khalifah Utsman secara terbuka yang diawali dari peristiwa
shalatnya Utsman empat rakaat-empat rakaat di Mina pada musin
Haji tahun 29 H. atau akhir tahun keenam dari kekhilafahan Utsman
257
.al-Thabary, Abu Ja`far Muhammad bin Jarir, Tarikh al-Umam wa al-
Muluk, h. 267
258
. Untuk informasi lebih lengkapnya, lihat al-Thabary, Tarikh al-
Umam wa al-Muluk. h. 258
347

bin Affan.Dengan issu menyalahi Sunnah Nabi, tradisi Abu Bakar,


serta Umar, maka kecaman-kecaman masyarakat, terutama dari
orang-orang oposisi atas berbagai kebijakan politik Utsman
semakin menguat dan gencar. Kecaman-kecaman tersebut
sebenarnya tidak lepas dari tujuan akhir mereka, yaitu menjatuhkan
Utsman dan menghentikan dominasi kepemimpinan klan Umayyah,
maka sejak itu tidak ada kebijakan politik Utsman yang luput dari
kritik terbuka dari kaum oposisi.
Keputusan Khalifah Utsman untuk menghimpun al-Qur`an
dalam satu mushaf, dan penyeragaman bacaannya dengan dialek
Quraisy, dituduh sebagai upaya kaum Quraisy –khususnya Bani
Umayyah- secara sistematis untuk mendominasi suku-suku Arab
yang lain lewat simbol agama yang paling disakralkan, serta
menyebarkan berita ( dalam nada menghasut ) bahwa Utsman telah
membakar mushaf-mushaf yang dimiliki para Sahabat Nabi yang
lain. 259Renovasi Mesjid Nabawiy dan Mesjidil Haram Mekah
sehingga menjadi lebih besar, lebih megah dan lebih indah, dituduh
sebagai menyalahi Sunnah Nabi dan kedua Khalifah sebelumnya. 260
Kedermawanan Utsman dalam membagi-bagikan bantuan kepada
keluarga Nabi, para pejuang Badar, kaum miskin dan kepala
keluarganya sendiri, dituduh sebagai penyelewengan uang negara
secara sewenang-wenang.261
3.5. Situasi Politik Akhir PemerintahanKhalifah Utsman
Perbedaan pendapat di dalam masalah sosial politik dan
keaagamaan antara Khalifah dengan para elit Sahabat Nabi yang
lain terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, klimaks dari
kondisi yang tidak menguntungkan persatuan umat Islam muncul
gerakan penentangan dan pembangkangan terhadap Khalifah
Utsman dan para pejabatnya, dimulai dengan membangun jaringan
oposisi yang bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan Khalifah
yang dinilainya nepotisme dan boros dalam penggunaan uang
negara. Jaringan oposisi pada akhirnya berubah menjadi pressure
group yang melakukan demonstrasi menuntut secara paksa agar
Khalifah Utsman bersedia mengundurkan diri dari jabatannya

259
. Abbas Mahmud al-`Aqqad, Kejeniusan Usman. h. 64
260
. Joesoef Soe`yb, Daulat Khulafa Rasyidin, h. 392 - 396
261
. Ibid. h. 433 - 440
348

sebagai khalifah atau menyerahkan Marwan bin Hakam yang


posisinya sebagai sekretaris negara kepada para demonstran.
Beberapa kali delegasi kaum penentang datang menemui Khalifah
untuk menyampaikan aspirasi politik mereka. Tetapi rupanya tidak
ada perubahan kebijakan kearah yang lebih baik, sehingga
keceman-kecaman terhadap Khalifah Utsman semakin meningkat.
Ali bin Abi Thalib sebagai penasehat sering mengingatkan tentang
situasi yang berkembang dan menyampaikan saran bagaimana sikap
yang seharusnya diambil oleh Khalifah, 262 tetapi peringatan Ali
tidak direspon dengan baik.
Menghadapi gelombang kecaman dan gerakan penentangan
yang massif pada enam tahun terakhir dari masa pemerintaha
Khalifah Utsman, Khalifah Utsman kemudian mau mengubah
beberapa kebijakan setelah berkonsultasi dengan Ali bin Abi Thalib,
yaitu Utsman mengabulkan tuntutan penduduk Kufah untuk
memecat Gubernur al-Walid bin Uqbah yang dilaporkan suka
minum minuman keras (khamer) dan melakukan shalat Subuh empat
rakaat, kemudian Khalifah Utsman mengangkat Sa`id bin `Ash
menjadi Gubernur Kufah sebagai pengganti al-Walid bin Uqbah. 263
Situasi aman di Kufah berlangsung hanya dalam beberapa
bulan saja, kurang dari tiga bulan, setelah itu situasi buruk melanda
kembali, hal ini ditandai dengan munculnya para penentang
Khalifah Utsman kembali mengeluarkan kecaman-kecaman di
tempat umum. Kondisi ini memaksa Gubernur Sa`id bin Ash
melaporkan situasi buruk kepada Khalifah, Khalifah Utsman
kemudian mensikapinya dengan menginstruksikan agar para
propokator itu diasingkan ke Syam (Syiria) untuk diberikan
peringatan, pemulihan oleh Gubernur Muawiyah. Dalam waktu
yang bersamaan atas dasar laporan Gubernur Basrah; Abdullah bin
Amir bin Kuraez tentang kerusuhan yang terjadi di Basrah, Khalifah
Utsman juga memerintahkan agar para propokator di Basrah
diasingankan ke Mesir. 264 Tetapi upaya tersebut rupanya tidak bisa
meredam api kemarahan para penentang Khalifah Utsman, justeru
sebaliknya parapenentang malah semakin bringas dan jaringan

262
. Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, h. 189
263
. Ibid. h. 166
264
. Ibid. h. 178
349

mereka semakin kuat, terutama di tiga Provinsi, yaitu; Mesir, Kufah,


dan Basrah.
Tahun 35 H. merupakan kematangan rencana dan akumulasi
dari serangkaian kejadian-kejadian di tahun-tahun sebelumnya, para
penentang pemerintah bergerak untuk mendesak Khalifah Utsman
agar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai khalifah atau
menyerahkan Marwan bin Hakam yang dianggap oleh mereka
sebagai otak dari kebijakan-kebijakan Khalifah Utsman yang
menyebabkan terjadinya carut marut, terutama dalam hal
pengangkatan para pejabat negara dan gubernur di beberapa
wilayah yang dinilainya berdasarkan unsur nepotisme dan tidak
memiliki kapabilitas, 265 dan pada saat yang sama Utsman didesak
untuk mengubah dasar kebijakannya dalam hal pendistribusian
kekayaan negara agar lebih merata dan berpihak kepada masyarakat
luas yang miskin. Melalui suratmenyurat secara rahasia antar
sesama kelompok jaringan mereka yang tersebar di Mesir, Kufah,
Basrah, dan lain-lainnya, para penentang sepakat untuk datang ke
Ibu Kota Negara; Madinah secara bergelombang dengan kekuatan
pasukan yang dipimpin oleh masing-masing ketua kelompok, dan
semuanya di bawah satu kordinasi pemimpin.
Gelombang yang datang dari tiga wilayah, yaitu; Mesir,
Kufah, dan Basrah dapat dijelaskan sebgai berikut;
1. Para penentang Khalifah Utsman yang datang dari Mesir
dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok
dipimpin oleh ketua kelompok. Ke-empat-empat kelompok
dipimpin oleh seorang ketua kordinator, yaitu; al-Ghafiqy
bin Harb al-`Akky. Mereka menginginkan Ali bin Abi Thalib
yang menjadi Amirul Mukminin ( khalifah ) setelah Utsman
bin Affan.
2. Para penentang Utsman yang datang dari Kufah juga terbagi
ke dalam empat kelompok, dan masing-masing kelompok
dipimpin oleh seorang ketua, dan semuanya berada dibawah
satu kordinasi seorang pemimpin, yaitu; Amr bin al-`Asham.
Mereka semua dari Kufah menghendaki agar kepemimpinan
(Amirul Mukminin) sesudah Utsman adalah Zubair.

265
. Ibnu Kahtir, al-Bidayah wa al-Nihayah, h. 190
350

3. Para penentang Khalifah Utsman yang datang dari Basrah


juga terbagi ke dalam empat kelompok, dan masing-masing
kelompok dipimpin oleh seorang ketua, dan semuanya
dibawah satu kordinasi seorang pemimpin, yaitu; Harqus bin
Zuhair al-Sa`ady. Mereka semua menginginkan agar khalifah
(Amirul Mukminin sesudah Utsman adalah Thalhah. 266
Mereka semua dari ketiga wilayah datang ke Ibu Kota
Madinah pada bulan Rajab tahun 35 H. dengan cara-cara seperti
orang melaksanakan ibadah umrah.267 Hal ini dilakukan berdasarkan
langkah-langkah strategis, karena dalam kondisi seperti ini mereka
dapat mengelabuhi masyarakat Madinah agar kedatangan mereka
tidak dicurigai, dan dengan cara ini juga memungkinkan mereka
dapat leluasa bergerak ke sana ke mari di kota Madinah.
Kedatangan para aksi demo dengan tujuan yang sama, yaitu
menyampaikan aspirasi dan tuntutan agar Khalifah Utsman
mengundurkan diri dari jabatanya sebagai khalifah, tetapi berbeda
dalam hal pengengkatan pengganti Utsman jika nanti dia lengser
dari jabatanya. Walaupun demikian, ternyata memasuki kota
Madinah bagi mereka para penentang Khalifah Utsman tidak
semudah seperti yang mereka bayangkan. Keadaan ini sepertinya
sudah tercium oleh para elit politik Sahabat Nabi, oleh karenanya
para elite Sahabat Nabi menolak kedatangan mereka, dan mendesak
agar mereka kembali pulang. Utsman bin Affan mengakhiri
jabatanya sebagai khalifah setelah terjadi peristiwa pembunuhan
terhadap dirinya pada tanggal 18 Zulhijjah tahun 35 H. di rumah
kediamanya oleh salah seorang demonstran.

4. Ali Bin Abi Thalib dan Kebijakan Politik


Ali bin Abi Thalib268 dibaiat (dilantik) menjadi Khalifah
keempat pada tahun 35 H. Setelah Khalifah Utsman wafat terbunuh
266
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz VII, h. 190 - 191
267
. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz. VII. h. 186 - 187
268
. Ali bin Abi Thalib saudara sepupu dan menantu Nabi Muhammad
saw.. Nabi Muhammad dan Ali sama-sama dibesarkan dibawah bimbingan Abi
Thalib (ayah kandung Ali), Ali sangat menghormati Nabi Muhammad, Ali
dinikahkan dengan satu satunya putri Nabi-Khadijah, Yaitu, Fatimah. Dari
perkhawinan ini Ali dikaruniai dua orang putra, yaitu Hasan dan Husain. Para
pendukung Ali, terutama golongan yang simpati kepada Ali, yaitu golongan Syiah
351

oleh para demonstran. Para demonstran mendesak Ali agar bersedia


diangkat menjadi Khalifah menggantikan Utsman. Pada awalnya Ali
menolak desakan para demonstran tersebut, tetapi setelah didesak
terus, akhirnya Ali menerima pengangkatanyan sebagai khalifah
keempat.269 Itu pun setelah Ali melakukan konsultasi dengan
Thalhah dan Zubair sebagai dua orang tokoh Sahabat Nabi yang
dianggap senior. Bahkan bukan itu saja Ali juga sempat
menanyakan, mana para calon ahli Syurga ?, mana orang-orang yang
pernah berjasa perang Badar ?. Tindakan Ali ini dapat
diindikasikan bahwa Ali tidak gegabah dalam hal menerima
kepemimpinan publik.Pada akirnya Ali bin Abi Thalib dibaiat secara
massal di Mesjid Nabawiy pada hari Jum`at tanggal 25 Dzul Hijjah
tahun 35 H.

berkeyakinan bahwa kekuasaan politik sepeninggal Nabi Muhammad saw.


mestinya digantikan oleh keluarga Nabi ( ahlul Bait ), justeru Ali itu pengganti
yang sah dari Nabi Muhammad saw.
269
. Berdasarkan laporan para penulis sejarah terkait waktu yang persis
terjadinya pembaiatan kepada Ali ternyata berbeda-beda, yaitu;
1. Al-Suyuthi meriwayatkan dari Ibnu Sa`ad banwa Ali bin Abi Thalib
dibaiat ( dilantik ) sehari setelah terjadi pembunuhan terhadap Khalihah
Usman. Lihat. Jalaluddin al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, terj. oleh
Samson Rahman ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001 ), hlm. 201
2. Al-Thabariy menuturkan bahwa Utsman terbunuh pada tanggal 18
Dzulhijjah tahun 35 H. dan Ali dibaiat pada tanggal 25 bulan dan tahun
yang sama, sehingga tujuh hari kemudian setelah wafatnya Utsman. Ali
dibaiat. lihat. Al-Thabariy, Abu Ja`far Muhammad bin Jarir, Tarikh al-
Umam wa al-Muluk, h. 432
3. Pendapat lain yang juga diriwayatkan al-Thabariy bahwa setelah Utsman
terbunuh terjadi kekosongan jabatan khalifah selama lima hari. Pada saat
kekosongan jabatan ini, salah seorang tokoh dari para demonstran, yaitu;
al-Ghafiqy bin Harb memegang kendali sementara situasi di Ibu Kota
Madinah, dan kemudian al-Ghafiqi mengeluarkan ultimatum kepada
masyarakat Madinah bahwa agar dalam tempo dua hari segera dilantik
salah seorang dari tiga calon khalifah, yaitu; Ali bin Abi Thalib, Thalhah
atau Zubair. Jika dalam tempo tersebut belum juga terpilih salah seorang
dari mereka bertiga, maka para demonstran mengancam akan membunuh
ketiga-tiga tokoh tersebut, sebagaimana mereka lakukan kepada
Khalifah Utsman. Ultimatum ini mereka lakukan setelah mereka merasa
putus asa tidak berhasil membujuk ketiganya agar bersedia diangkat
menjadi pengganti Utsman. Lihat. Al-Thabariy, Tarikh al-Umam wa al-
Muluk. h. 434
352

Meskipun pembaiatan Ali sebagai khalifah keempat dapat


terlaksana secara mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima
kekhalifahannya dengan antusias, tetapi ada beberapa kelompok
kecil yang mengambil sikap politik yang berbeda dari mainstream
penduduk Madinah umumnya. Dalam konteks ini Al-ThabarIy
menjelaskan beberapa kelompok kecil yang tidak mendukung
pelantikn Ali sebagai Khalifah, setidaknya ada empat kelompok,
sebagai berikut.270 ;
1. Kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju negeri
Syam pasca terbunuhnya Khalifah Utsman, mereka
menghindari keterlibatan dalam pembaiatan Ali sebagai
khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para
pendukung setia Utsman, di antara tokoh dari Bani Umayyah
adalah Marwan bin al-Hakam ( Penasehat dan Sekretaris
Negara Khalifah Utsman) dan al-Walid bin Uqbah.
Sementara dari tokokh-tokoh pendukung setia Ali bin Abi
Thalib yang ikut melarikan diri ke negeri Syam adalah
Qudamah bin Madh`un, Abdullah bin Salam, Mughirah bin
Syu`bah, dan Nu`man bin Basyir.
2. Kelompok yang menangguhkan pembaiatan kepada Ali dan
menyatakan menunggu perkembangan dan situasi politik, di
antara mereka adalah Sa`ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin
Umar, Shuhayb bin Abi Sinan, Zayd bin Thabit, Muhammad
bin Abi Salamah, Usamah bin Zayd, Sulaiman bin Salamah
bin Raqs.
3. Kelompok yang sengaja tidak memberikan baiat kepada
Ali, meskipun mereka tetap berada di Madinah saat
pembaiatan Ali, di antara mereka adalah Hassan bin Thabit,
Ka`ab bin Malik, Rafi`bin Khadij, Abu Sa`ad al-Khudry,
Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad.
Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal
kepada Khalifah Utsman.
4. Kelompok yang sedang menunaikan ibadah haji pada tahun
itu dan belum pulang saat dilakukan pembaiatan kepada Ali,
dan setelah mereka mendengar tentang pembaiatan Ali,
sebagaian dari mereka tidak pulang ke Madinah karena

270
. Lihat al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 430 - 431
353

memang dalam situasi politik yang sedang genting, akhirnya


mereka menunggu di Mekah sampai situasi politik di
Madinah kembali kondusif, salah satu di antara mereka
adalah Aisyah, janda Nabi Muhammad saw.
Gambaran sepintas tentang situasi pada awal terjadinya
peristiwa pembaiatan Ali bin Abi Thalib di atas mengindikasikan
bahwa betapa sulitnya situasi politik menjelang dan pasca
terbunuhnya Utsman, dan ini menjadi preseden tidak baik dan
sekaligus tidak menguntungkan bagi kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib di kemudian hari, bahkan dapat dikatakan bahwa siapapun
yang memimpin saat itu pasti dihadapkan pada situasi politik yang
sangat sulit. Bagaimanapun Madinah adalah ibu Kota negara dan
pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad saw. hingga
tiga khalifah sesudahnya. Keputusan politik yang disepakati
penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang
berada di bawah otoritas kekuasaannya. Oleh karenanya dapat
dikatakan bahwa Madinah menjadi barometer keutuhan umat,
karena di sinilah berkumpulnya para sahabat Nabi yang sangat
dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja
sudah tidak utuh dalam suatu keputusan politik, maka bagaimana
pula penduduk yang berada di wilayah-wilayah keuasaan Madinah
akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya.
Realitas inilah yang dihadapi Khalifah Ali, Ali tidak dibaiat
dengan pembaiatan yang utuh yang memberinya kewibawan dan
legitimasi yang kuat sebagaimana yang terjadi kepada ketiga-tiga
Khalifah pendahulunya. Karenanya dapat ditegaskan bahwa situasi
politik di luar Madinah akan lebih keruh lagi dari situasi yang ada di
Madinah, dan nampaknya sejarah telah membuktikan kebenaran
prediksi tersebut di sepanjang pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib, dan apa yang terjadi dalam sepanjang pemerintahan Ali
adalah Ali bin Abi Thalib lebih banyak disibukkan dengan upaya
menundukkan gerakan kelompok-kelompok yang menentang
kebijakan politiknya dari pada merealisasikan apa yang menjadi visi
dan missi politiliknya.

4.1.Dasar Kebijakan Politik Ali


354

Begitu selesai acara pembaiatan, dan secara konstitusional


Ali resmi menjadi Khalifah keempat, kemudian Ali langsung
menyampaikan pidato politiknya berisi visi yang menjadi dasar
kebijakan yang akan dilaksanakan dalam pemerintahannya. Dalam
konteks ini al-Thabary dalam karyanya Tarikh al-Umam wa al-
Muluk mencatat sebagian isi pidato Khalifah Ali, antaranya sebagai
berikut;
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menurunkan Kitab
petunjuk yang menjelaskan kebaikan dan keburukan, maka
ambillah kebaikan dan tinggalkan keburukan. Tunaikanlah
tugas-tugas kalian kepada Allah swt. Niscaya Allah akan
menunaikan kalian ke Syurga. Sesungguhnya Allah telah
menetapkan hal-hal haram tanpa sembunyi. Allah
mengutamakan kehormatan seorang muslim di atas semua
kehormatan-kehormatan yang lain. Allah memerintahkan
untuk berperilaku ikhlas dan bersatu untuk mencapai
kesatuan umat Islam. Seorang muslim adalah orang yang
menjaga keselamatan orang muslim lainnya dari kejahatan
lidahnya (ucapan) dan tangannya (pukulan, kekuasaan)
kecuali apabila memang itu haknya. Tidak halal (tidak
boleh) menyakiti seorang muslim lain kecuali jika itu sudah
diwajibkan.
Segeralah kalian menunaikan urusan orang banyak(
urusan publik ), terutama urusan kematian. Sesungguhnya di
depan kalian adalah manusia, sementara di belakang kalian
adalah waktu (yang sudah lewat), oleh karenanya
ringankanlah urusan mereka, niscaya kalian akan
mendapatinya, karena sesungguhnya orang-orang yang
menunggu adalah orang yang terakhir di antara mereka.
Bertaqwalah kepada Allah dalam urusan hamba-hamba
Allah dan negaranya, karena kalian akan diminta
pertanggung jawaban sekalipun dalam urusan sebidang
tanah dan masalah binatang. Taatlah kepada Allah dan
jangan melanggar perintah-Nya.Jika kalian melihat
kebaikan ambillah dan jika kalian melihat keburukan, maka
355

tinggalkanlah.( dan ingatlah ketika kalian dalam keadaan


berjumlah sedikit dan tertindas di muka bumi ).271
Pidato politik Ali sebagaimana dikutip di atas, sedikit banyak
menggambarkan garis besar visi politiknya;
1. Sumber hukum dan dasar keputusan politiknya adalah kitab
suci al-Qur`an. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan
Sunnah Nabi, karena al-Qur`an hanya dapat dilaksanakan
secara tepat jika dibimbing oleh Sunnah Nabi, dan Ali tentu
sajaorang yang paling memahami persoalan ini.
2. Mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Qur`an, dan
menolak setiap keburukan di dalam masyarakat.
3. Tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi
umat Islam.
4. Melindungi kehormatan jiwa dan harta kekayaan rakyat dari
setiap ucapan lisan yang kasar, menyakiti dan kezaliman
kekuasaan.
5. Membangun kehidupan masyarakat yang bertanggung jawab
terhadap bangsa dan negara dengan landasan ketaatan kepada
Allah.

Berdasarkan garis besar visi politiknya, Khalifah Ali selama


kurang lebih empat tahun sembilan bulan masa
kepemimpinannyamelaksanakan reformasi pemerintahan sejalan
dengan visinya yang mengacu kepada nilai-nilai keadilan,
persamaan, persaudaraan, kesederhanaan, kejujuran dan
keikhlasan sebagaimana diajarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
Secara umum, visi dan kebijakan politik Khalifah Ali sejalan dengan
visi dan kebijakan politik Khalifah Umar bin Khattab, 272hanya
keduanya berbeda dalam kesempatan dan situasi zaman yang
dipimpinnya. Umar memimpin selamasepuluh tahun lima bulan dua
puluh satu hari dalam situasi kondusif,integrasi dan solidaritas umat
masih sangat kuat. Sementara Ali memipin hanya empat tahun

271
. Lihat al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 436. Lihat juga
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 347. Ungkapan yang bergaris
miring adalah terjemahan ayat 26 surat al-Anfal.
272
. Ahmad Salaby, al-Mausu`ah al-Hadharah al-Islamiyah III; al-
Siyasah fi al-Fikr al-Islamiy, ( Qahirah: Maktabah Nahdhah al-Misriyah, 1991 ),
h. 165
356

sembilan bulan dalam suasana disintegrasi dan konflik intern di


tubuh umat Islam. 273Berikut ini disampaikan realisasi dari visi dan
kebijakan politik Ali dalam upaya menegembalikan kekhilafahan
Islamkepada praktik-praktik yang sebenarnya.

4.2.Restrukturisasi Para Pejabat dan Gubernur


Ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah dan
meskipun kurang mendapatkan dukungan padu dari seluruh
penduduk di berbagai wilayah, para Gubernur dan pejabat daerah
adalah mereka yang telah diangkat oleh Khalifah Utsman. Secara
tinjauan politis telah terbentuk opini publik di kalangan masyarakat
grasrut bahwa pengangkatan para Gubernur dan pejabat itu lebih
didasarkan atas hubungan kekerabatan (nepotisme) dari pada atas
kapabelitas dan pengalaman mereka. Walaupun opini publik ini
sebenarnya tidak seluruhnya benar, karena tidak semua pejabat
Utsman dari kalangan Bani Umayyah, ada di antara para pejabat
yang diangkat Utsman memiliki prestasi cemerlang dan tidak ada
hubungan kekerabatan.

Ibnu Katsir dalam karyanya: al-Bidayah wa al-Nihayah,


mencatat nama-nama Gubernur dan para pejabat terkenal di masa
akhir pemerintahan Khalifah Utsman yang kemudian diwarisi oleh
Ali bin Abi Thalib, di antara mereka adalah;

 Abu Musa al-Asy`ari; Gubernur Kufah, sementara panglima


tentaranya dijabat oleh Qa`qa` bin Amir dan kepala urusan
pajak dijabat oleh Jabir al-Muzanni.
 Abdullah bin Amir; Gubernur Basrah.
 Abdullah bin Sa`ad bin Abi Sarah; Gubernur Mesir, tetapi
Abdullah kemudian dikudeta oleh Muhammad bin Abi
Hudzaifah menjelang terbunuhnya Utsman, sementara
Utsman sendiri telah memecatnya dan mengangkat
Muhammad bin Abu Bakar sebagai penggantinya beberapa
hari sebelum Utsman terbunuh.
 Muawiyah bin Abi Sufyan; Gubernur Syam (Syria).
 Abdur Rahman bin Khalid; pejabat Walikota Hims.

273
. Joesoef Soe`yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, h. 311 dan 531
357

 Habib bin Maslamah;pejabat Walikota Qonsarian.


 Abul `Awar bin Sufyan;pejabat Walikota Yordan.
 al-Qomah bin Hakim; pejabat Wali kota Palestina.
 al-Asy`ats bin Qais;pejabat Walikota Azerbaijan.
 Jarir bin Abdillah al-Bajaly, pejabat Walokota Qarqis.
 Malik bin Habib pejabat Walikota Qaesriyah.
 Hubaesy, pejabat Walikota Hamadzan.
 `Uqbah bin Amer; pejabat Ketua Baitulmal.
 Zayd bin Tsabit; Qadhi ( Hakim ) dan Kepala Pengadilan
Pusat di Madinah.274
 Khalid; sebagai Walikota Mekkah.
 Ya`la bin Maniyah; Gubernur di Yaman. 275
Dari semua pejabat yang disebutkan di atas, beberapa pejabat
di tiga wilayah, yaitu; Mesir, Kufah dan Basrah, semenjak masa
Khalifah Umar hingga Utsman kerap kali diadukan kepada
Khalifah, sehingga di tiga wilayah ini dalam dua periode
kepemimpinan dua Khalifah beberapa kali ganti pejabat. Bahkan
saat terjadinya pembunuhan kepada Khalifah Utsman, tiga wilayah
tersebut benar-benar dalam situasi tidak stabil. Hanya Gubernur
Syam, yaitu; Muawiyah bin Abi Sofyan, yang dapat menikmati
kekuasaannya lebih dari dua puluh tahun semenjak Khalifah Umar
hingga Khalifah Utsman. Provinsi Syam yang meliputi Syria,
Yordan dan Palestina benar-benar stabil di bawah otoritas kekuasaan
Muawiyah. Hasil rampasan perang (fey,ghanimah), pajak dan zakat
melimpah, sehingga dapat memberi kemakmuran kepada para
pejabat dan kesejahteraan rakyat Syam. Oleh karenanya, wajar jika
penduduk Syam menyatakan dukungan setia kepada Muawiyah
tetap sebagai Gubernur Syam.
Namun secara politis, penampilan sosok Muawiyah lebih
menonjol sebagai seorangpolitisi yang piawai mengatur negara dan
senang hidup mewah, ketimbang sebagai seorang sahabat Nabi yang
alim. Penampilan Muawiyah lebih dikenal sebagai tokoh penting
Bani Umayyah yang kekuasaannya seakan lebih besar dari sekedar

274
. lihat Ibnu Katsir, al- Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 248
275
.Muhammad Ahmazun, Fitnah Kubra, terj.Indonesia oleh Daud
Rasyid, ( Jakarta: LP2SI al-Haramain, 2002 ), h.396
358

seorang Gubernur yang bertanggung jawab kepada Khalifah di


Madinah. Dalam konteks ni sebenarnya telah muncul desas-desus
yang beredar di kalangan masyarakat tentang adanya kekhawatiran
mengenai kemungkinan berdirinya pusat kekuasaan di Syam yang
didasarkan kepada Dinasti di kemudian hari, yaitu; Dinasti
Umayyah, hal ini ditengarai karena perilaku dan tindakan politik
Muawiyah memperlihatkan ke arah itu. Karenanya ketika Khalifah
Utsman masih berkuasa, Ali bin Abi Thalib yang kapasitasnya
sebagai penasehat Khalifah berusaha memberi masukan kepada
Khalifah Utsman, sertamenyampaikan keluhan masyarakat tentang
kedudukan Muawiyah. Ali menyarankan agar Khalifah Utsman
segera memberhentikan Muawiyah atau membatasi kekuasaannya
sebelum ia benar-benar melampaui batas kewenangannya sebagai
gubernur. Namun dengan alasan bahwa yang mengangkat
Muawiyah itu adalah Khalifah Umar, Utsman menolak saran Ali. 276
Berdasarkan paparan tentang situasi di atas, wajarlah jika
kemudian kebijakan pertama sekali yang diambil Khalifah Ali
adalah menertibkan para pejabat yang dinilainya bermasalah. Hal
ini dilakukan melalui pemberhentian pejabat lama dan mengangkat
pejabat baru di beberapa wilayah.Wilayah yang menjadi fokus
perhatian utama Khalifah Ali adalah Syam, kemudian Mesir, Kufah,
Basrah, Yaman dan Mekah. Khalifah Ali memberhentikan
Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur dan menunjuk
Abdullah bin Abbas sebagai pengganti Muawiyah, tetapi Abdullah
bin Abbas menolaknya dengan alasan kekhawatiran kalau
Muawiyah nanti malah akan membunuhnya. 277 Akhirnya Khalifah
Ali mengangkat Sahl bin Hunaif untuk menggantikan Muawiyah,
tetapi Muawiyah justeru tetap mempertahankan posisinya sebagai
Gubernur Syam, bahkan lebih parah lagi Muawiyah menentang
Khalifah Ali. Khalifah Ali kemudian menunjuk Ammarah bin
Syihab untuk gubernur Kufah, Sumarah bin Jundub untuk Gubernur
wilayah Basrah, Qays bin Sa`ad bin Ubadah untuk Gubernur
wilayah Mesir, Abdullah bin Abbas untuk Yaman, dan untuk pejabat
Walikota Mekah, Ali mengangkat Qutsam bin Abbas, dan Abu
Musa al-Asy`ari menyampaikan informasi melalui surat yang

276
. Joesoef Soe`yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, h. 430
277
. Joesoef Soe`yb, Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, h. 466
359

dikirim kepada Khalifah Ali bahwa masyarakat Kufah secara


mayoritas memberi dukungan penuh dan mereka menyatakan
berbaiat kepada Khalifah Ali. 278 Pada saat yang sama Khalifah Ali
mengembalikan posisi Abdullah ban Arqam sebagai Kepala Baitul
Mal pusat atau bendahara negara, Zayd bin Tsabit dikembalikan
posisinya sebagai Kepala Sekretariat Negara. sementara untuk
Walikota Madinah, Ali mengangkat Tammam bin Abbas. 279
Khalifah Ali memang punya alasan kuat atas kebijakannya
yang tegas ini.Sebagai pemimpin yang diangkat di tengah situasi
konflik, Ali tentu saja memerlukan pejabat-pejabat daerah yang
bersih, jujur, dan adil sekaligus memiliki loyalitas yang tidak
diragukan.Sosok pejabat yang bersih, jujur dan adil diharapkan
dapat meredakan gelombang protes dari warga masyarakat yang
merasa diperlakukan tidak adil semasa kepemimpinan Khalifah
Utsman.sementara loyalitas dibutuhkan untuk menguatkan posisi
kepemimpinan agar semua program pembaharuan dan perbaikan
(reformasi) yang ditetapkannya dapat berjalan lancar. Tetapi realitas
di lapangan, keputusan politik Khalifah Ali ini memunculkan
gesekan baru dan oleh karenanya tidak mencapai sasaran
optimal.Hal ini dapat dikonfirmasi dengan munculnya kontroversi
baru di tengah masyarakat antara yang pro dan yang kontra atas
pengangkatan para pejabat baru itu. Bahkan Amarah, Sahl dan
Utsman bin Hunaif tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai
gubernur yang baru karena ditolak oleh sebagian masyarakat yang
masih loyal kepada pejabat lama, dan mereka terpaksa pulang
kembali ke Madinah. Dan untuk mengatasi permasalahan tersebut,
Khalifah Ali terpaksa mengangkat pejabat dari kalangan kerabat
dekatnya dari orang-orang yang setia kepadanya. Suatu kebijakan
yang dulu dikecamnya oleh Ali sendiri ketika Khalifah Utsman
melakukan kebijakan mengangkat para pejabat dari kalangan kerabat
dekatnya.

4.3.Reformasi Birokrasi Kepegawaian, Pengadilan dan


Ketentaraan

278
. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 7, h. 249-250,
Lihat juga al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 442
279
. al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 442
360

Dalam rangka melakukan pembenahan dan reformasi


birokrasi pemerintahan untuk tujuan menciptakan sistem
pemerintahan yang bersih dari nepotisme dan kolusi yang berakibat
munculnya citra negatif bagi pemerintahan, tidak dapat terhindarkan
bahwa ada sejumlah pejabat yang diangkat Ali dari kalangan
kerabatnya, mislnya; Abdullah bin Abbas yang diangkat sebagai
Gubernur Basrah dan wilayah sekitarnya, Qutsam bin Abdullah
sebagai Walikota Mekah dan wilayah sekitarnya, Ubaidillah bin
Abbas sebagai Gubernur Yaman yang meliputi Bahraen dan Oman,
dan Tammam bin Abbas sebagai Walikota Madinah, semuanya
adalah saudara misan Khalifah Ali. Demikian pula Muhammad bin
Abu Bakar yang diangkat sebagai Gubernur Mesir adalah anak tiri
Ali.Tetapi meskipun demikian, semua orang mengetahui bahwa
mereka-mereka itu memiliki kredibelitas dan kelayakan. Selain dari
itu, Khalifah Ali menerapkan pengawasan yang ketat terhadap
tindakan mereka dalam menjalankan tugasnya. Ali juga melarang
para pejabatnya mengangkat pegawai atas dasar kekeluargaan,
kesukuan (marga, etnik), maupun karena persahabatan yang tidak
memiliki kelayakan.
Meskipun Ali sangat keras dan tegas dalam hal penggunaan
kekayaan negara untuk diri sendiri dan keluarganya, dan Alisangat
telitidalam menata para pegawainya, tetapi Ali sangat
memperhatikan kesejahteraan para pejabat dan pegawai bawahanya.
Dalam hal rekrutmen para pegawai, Khalifah Ali dalam salah satu
surat arahan kepada para Gubernurnya, menegaskan kepada
mereka;
Perhatikan pegawaimu.! Pekerjakanlah mereka
berdasarkan kapabelitas, jangan karena pilih kasih, karena
mereka telah banyak dianiaya dan dikhiananti.
Perioritaskanlah orang-orang yang berpengalaman
(experien) dan memiliki rasa malu jika berbuat curang,
rekrutlah mereka dari keluarga baik-baik dan orang yang
lebih dulu masuk Islam, sebab dialah orang yang lebih
berakhlak (bermoral), lebih baik sifatnya, tidak berorientasi
pada keuntungan, dan yang lebih memperhatikan akibat dari
suatu tindakan. Kemudian cukupilah gaji mereka, karena hal
ini menjadikan kekuatan bagi mereka untuk memperbaiki
diri mereka dan menjauhkan mereka dari mengambil apa
361

yang ada di luar wewenangnya (mengambil yang bukan


haknya). Kemudian awasilah pekerjaan mereka dan kirimlah
pengawas yang terdiri dari orang-orang yang jujur. Maka
pengawasan secara besar-besaran terhadap mereka akan
menciptakan perilaku jujur dan bersikap lemah lembut.280
Khalifah Ali sangat tanggap terhadap laporan-laporan dari
masyarakat tentang perilaku para pejabatnya.Oleh karenanya Ali
tidak segan-segan menegur dan menasehati pejabat yang dinilainya
menyeleweng. Bahkan para pejabatnya diingatkan agar jangan
sembarang mengangkat pegawai tetapi lalai mengawasinya, karena
akan dimintai pertanggung jawabannya, ingatlah bahwa setiap
kelalaian pegawai yang anda abaikan akan dicatat dalam daftar
anda.281
Di bidang keadilan, Ali bin Abi Thalib menerapkan asas
keadilan dan persamaan di depan hukum. Para Gubernur di tiap
Provinsi selalu diingatkan agar berhati-hati dalam mengangkat
Qadhi (Hakim). Oleh karenanya Khalifah Ali melarang menangkap
dan memenjarakan orang hanya karena berdasarkan prasangka yang
belum jelas, sebagaimana Ali melarang menghukum seseorang
sebelum diberi kesempatan untuk menyampaikan bukti-bukti dan
pembelaannya.282
Khalifah Ali juga menaruh perhatian besar terhadap
administrasi ketentaraan, karena bagaimana pun angkatan bersenjata
adalah penting keberadaannya untuk menjaga kewibawaan dan
kedaulatan negara dari ancaman internal ataupun eksternal.
Angkatan bersenjata bukan saja harus diperhatikan kelengkapan
persenjataannya, tetapi juga harus dibina akidah dan akhlaknya agar
menjadi prajurit-prajurit tangguh yang senantiasa siap melaksanakan
tugasnya kapan saja dan di mana saja untuk membela agama dan
negara dengan motivasi jihad di jalan Allah, selain itu mereka juga
harus memperoleh imbalan gaji dan tunjanganyang cukup bagi
kesejahteraan hidup mereka dan keluarganya sehingga jasa-jasa dan
pengabdian mereka benar-benar merasa dihargai. Hal ini juga yang

280
. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali, terj. Gazirah Abdi
Ummah, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2002 ), h.159
281
. Goerge Jordac, Suara Keadilan: Sosok Agung Ali bin Abi Thalib,
terj. Muhammad al-Sajjad, ( Jakarta: Lentera, 1996 ), h. 186
282
. Ibid. h. 184
362

menjadikan mereka benar-benar fokus dalam menjalankan tugasnya


secara profesional, dan oleh karenanya mereka tidak dibebani
mencari nafkah di luar tugasnya.283
Petunjuk dan arahan Khalifah Ali kepada para Pejabat dan
Gubernurnya sebagaimana dikutip di atas memberi gambaran
tentang keperibadian Ali yang agung. Oleh karena itu, sebagian
orang memandang Ali sebagai sosok pahlawan yang pemberani,
tulus dan ikhlas, dan tidak mengenal kompromi dalam mengambil
keputusan strategis. Dengan pemaparan beberapa sikap Ali di atas,
dapat dipahami bahwa Ali sebagai sosok seorang yang tegas,
tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyatnya, dan perhatian
kepada para pegawainya.

4.4. Penghematan dan Pengelolaan Pendapatan Negara


Sebagaimana telah berlangsung semenjak kepemimpinan
Nabi Muhammad saw. Abu Bakar, Umar, dan Utsman, bahwa
sumber pendapatan negara diperoleh dari beberapa sumber
pendapatan negara, antaranya; zakat, sedekah infak, dana wakaf
kaum muslimin, harta rampasan perang, baik berupa fey atau pun
ghanimah, pajak (jizyah) dari masyarakat non muslim. Demikian
pula yang dilakukan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Hanya saja dalam
sepanjang kepemimpinannya boleh dikatakan sumber pendapatan
negara dari harta ghanimahyang diperoleh dari hasil penaklukan
wilayah baru tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena
seluruh negeri tetangga yang dianggap mengancam keamanan
negara Islam telah selesai ditaklukkan pada masa pemerintahan
Khalifah Utsman.Sementara di dalam negeri sendiri, Ali
menghadapi konflik politik yang serius. Oleh karenanya kebijakan
yang dilakukannya lebih diprioritaskanpada pembenahan dan
penertiban internal daripada melakukan ekspansi keluar.
Dalam rangka mengatasi kekurangan sumber pendapatan
negara, Khalifah Ali menerapkan kebijakan penghematan
perbelanjaan negara dengan membatasi pengeluaran kas negara
hanya untuk keperluan-keperluan yang sifatnya mendesak. Sebagai
implementasi dari kebijakan ini, Khalifah Ali jarang sekali

283
. Lihat Goerge Jordac, Suara Keadilan: Sososk Agung Ali bin Abi
Thalib, h. 182-183
363

mengambil gaji dan tunjangan hidup sebagai pejabat tinggi negara


(kepala negara) yang menjadi haknya dari Baitul Mal. Khalifah Ali
memandang hal ini perlu dilakukan, karena Khalifah Ali lebih
mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi
yang berlebihan, makanya Ali lebih memilih tempat tinggal yang
sempit, pakaian yang seadanya, makanan dan minuman yang
sederhana.284 Kebijakan penghematan ini diberlakukan juga kepada
kerabat dekatnya, salah satu contoh; permintaan Aqil bin Abi Thalib
(adik kandung Khalifah Ali ) untuk mendapatkan tunjangan dari
Baitul Mal. Permintaan Aqil ditolak dengan tegas oleh Ali, karena
menurut Ali masih banyak rakyat miskin yang lebih berhak
mendapatkannya, meskipun tindakan Ali ini berdampak
munculnya rasa tidak senang Aqil, sehingga Aqil membelot dan
bersekongkol dengan Muawiyah yang memberontak Khalifah Ali. 285
Sebagai tindak lanjut dari kebijakan penghematan Khalifah
Ali, harta kekayaan negara yang dulu diberikan Khalifah Utsman
kepada para pejabat dan kerabatnya tanpa berdasarkan pertimbangan
yang matang, ditarik kembali oleh Khalifah Ali dan kemudian
diserahkan ke Baitul Mal untuk dialokasikan kepada orang-orang
yang lebih memerlukan. Ketegasan Ali tentang pengelolaan Baitul
Mal ini tercermin dari pernyataannya; Demi Allah ! Jika aku
menemukan harta itu telah dijadikan maskawin atau telah
digunakan untuk membeli seorang hamba wanita, tentu aku akan
mengembalikannya ke Baitul Mal.286 Pernyataan Ali ini ditujukan
pada harta-harta yang dikeluarkan dari uang negara dengan cara
tidak benar dan kepada orang yang tidak berhak menerimanya.
Dalam rangka penarikan harta zakat dan jizyah (pajak) yang
harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan sopan.Khalifah Ali
mengeluarkan instruksi kepada para Pegawai dan para Gubernurnya
untuk menarik zakat dan pajak tetapi harus dilakukan melalui
pendekatan yang sopan santun, ramah, dan tanpa intimidasi. Mereka
(para Pejabat dan para Gubernur) diminta supaya mendengarkan
keluhan rakyat, memberikan hak-haknya kepada mereka, tidak
membebani mereka dengan tuntutan yang memberatkan, dan Ali

284
. Ibid. h. 39
285
. Ibid. h. 47
286
. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali, h. 157
364

melarang mereka agar tidak menyamakan besar jumlah pungutan


pajak di musim subur dengan di musim panen yang gagal. Khalifah
Ali dalam hal penartikan zakat dan pajak (jizyah) menyampaikan
beberapa hal penting yang harus dilaksanakan oleh para petugas
penarik zakat dan pajak, sebagai berikut;
Perhatikan urusan pajak yang sesuai dengan keadaan wajib
pajak.Karena memperhatikan kelancaran penarikan pajak
dan kepentingan wajib pajak yang mengeluarkannya,
terletak pada kebaikan orang dan kejelekannya, kecuali
mereka yang membayar pajak.Karena kemaslahatan seluruh
rakyat tergantung pada pajak dan orang-orang yang
membayarnya.Perhatikan agar lebih difokuskan pada
kesuburan tanah, karena pajak tidak mungkin diperoleh
kecuali dengan terciptaya kesuburan tanah.Siapa saja
menarik pajak tanpa mengupayakan kesuburan tanah, maka
dia menghancurkan negeri dan membinasakan rakyat.287
Apa yang disampaikan Khalifah Ali sebagaimana dikutip di
atas menunjukkan bahwa urusan penarikan zakat dan pajak harus
dilakukan berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan, beradab,
dan sopan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam konteks
penarikan zakat dan pajak, antara lain sebagai berikut;
1. Zakat dan jizyah (pajak)menjadikan kemaslahatan (kebaikan,
kesejahteraan) bagi seluruh rakyat.
2. Upaya yang berterusan menciptakan kesuburan tanah.
3. Penarikan zakat dan jizyah tanpa ada upaya menciptakan
kesuburan tanah, sama saja seperti orang yang
menghancurkan negeri dan membinasakan rakyat.

4.5. Mengatasi Kelompok Oposisi dan Para Pemberontak


Takdir Tuhan telah menentukan bahwa Ali bin Abi Thalib
telah menduduki jabatan pemimpin tertinggi umat Islam di arena
panggung politik dunia Islam, Ali yang memiliki karakter mulia,
memiliki wawasan brilian sangat disayangkan kemunculannya pada
saat dan zaman yang kurang tepat, di mana kondisi sosial politik

287
. Ibid. h.158 – 159. Lihat juga Syed Hussain Mohammad Jafri,
Moralitas Politik Islam: Belajar dari Perilaku Politik Khalifah Ali bin Abi Thalib,
( Jkarta: Pustaka Zahra, 2003 ), Cet. 1, h. 109
365

sedang terjadi carut marut, krisis politikyang berkepanjangan.


Zaman di mana kecendrungan mayoritas kelompok aristokrasi Arab
memuncak karena dorongan berbagai faktor perubahan sosial,
lebih menginginkan kehidupan bernegara bercorak kerajaan
(monarchy) dari pada model pemerintahan khilafah yang
berdasarkan syura. 288 Di saat kebanyakan para elite politik
menerima kecendrungan hidup bermewah-mewah menikmati hasil
ekspansi militer yang melimpah, Ali justru ingin mengembalikan
tatanan sosial kepada model masyarakat kenabian dan dua Khalifah
sesudahnya (Abu Bakar dan Umar bin Khattab) yang sederhana dan
tidak bermewah-mewah. Dari aspek lain yang mengubah tatanan
sosial politik dari kondisi stabil ke kondisi krisis, yaitu kondisi
masyarakat yang sudah tercabik-cabik karena konflik berbagai
kepentingan di dalam umat.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika tampilnya Ali
sebagai Khalifah disambut suka cita dan harapan oleh sekolompok
masyarakat dan tidak diharapkan oleh kelompok masyarakat yang
lain. Mereka yang mengharapkannya adalah masyarakat kecil dari
kalangan para budak, kelompok taklukkan dan suku-suku non
Quraisy yang simpati kepada Bani Hasyim yang selama ini
seringkali mengecam kebijakan-kebijakan Khalifah Utsman dan
yang merasa termarjinalkan dari pusaran kekuasaan yang didominasi
Bani Umayyah pada masa pemerintahan Khalifah
Utsman.Sedangkan mereka yang menentang kebijakan Khalifah Ali
adalah kalangan elite politik yang dipelopori tokoh-tokoh Bani
Umayyah dan sebagian suku Quraesy. 289
Berdasarkan alasan yang disampaikan, para penentang Ali
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, setidaknya ada
empat kelompok, yaitu;
1. Kelompok yang memiliki ambisi kekuasaan yang tidak
kesampaian. Dalam konteks ini Ahmad Salaby berpendapat
bahwa hal ini ditujukan kepada sebagian tokoh Sahabat Nabi,
antaranya; Abdullah bin Zubayr. Bahkan dalam
pandangannya, Ibnu Zubayr inilah yang berperan

288
. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali, h. 137
289
.Ahmad Salaby, Sejarah Kebudayaan Islam I, terj. Mukhtar Yahya dan
M. Sanusi Latief, ( Jakarta: PT Alhusna Dzikra, 2000 ), cet. IV, h. 283
366

mempertajam pertentangan antara Aisyah dan Ali bin Abi


Thalib pada perang Jamal. 290
2. Kelompok yang merasa kecewa dan sakit hati atas kebijakan
politik Ali. Kelompok ini rupanya yang mayoritas dari
kalangan para mantan pejabat di masa Khalifah Utsman,
sebagai akibat dari kebijakan politik Ali mereka terpental
dari pusaran kekuasaan dan dipaksa harus menyerahkan
kekayaan yang mereka peroleh secara tidak wajar dari
kedudukan mereka sebagai pejabat.
3. Kelompok yang berbeda pendapat tentang kebijakan politik
dengan Khalifah Ali, antaranya seperti; Aisyah, Thalhah, dan
Zubayr, di mana mereka bertiga melihat bahwa Ali telah
berbuat keliru dengan membiarkan para pembunuh Utsman
tanpa mendapat hukuman qishas. Kelomok penentang ini
mendapat bantuan dari sejumlah para Sahabat Nabi beserta
para pendukungnya dari Mekah dan Bashrah. Kelompok ini
bergerak dari Mekah ke Bashrah dan membuat markas
mereka di sana. Termasuk dalam kalangan ini adalah
kelompok Muawiyah bin Abi Sofyan (yang sebenarnya
sudah dipecat oleh Khalifah Ali dari jabatannya sebagai
Gubernur Syam, tetapi justeru malah bertahan dan
bahkanberbalik menentang Khalifah Ali). Kelompok
Muawiyah ini bermarkas di Syam dengan dukungan
sejumlah para Sahabat Nabi dan pasukan yang kuat.
4. Masyarakat awam yang menjadi sasaran propokasi dan
panatisme golongan (ta`asub qabilah) yang dilakukan oleh
orang-orang yang membenci Ali.
5. Kelompok sempalan dari pasukan Ali yang pada awalnya
berperang membela Khalifah Ali dalam menumpas gerakan
Aisyah dan gerakan Muawiyah, tetapi kemudian mereka
menarik dukungan dari Khalifah Ali, bahkan kemudian
berbalik menentang dan melakukan pemberontakan terhadap
Ali. Kelompok ini adalah kelompok Khawarij, di mana
mereka setelah keluar dari barisan Ali merencanakan
pembunuhan terhadap beberapa Sahabat Nabi, yaitu; Abu

290
. Ahmad Salaby, Sejarah Kebudayaan Islam II, terj. Mukhtar Yahya
dan M. Sanusi Latief, ( Jakarta: PT Alhusna Dzikra, 1995 ), cet. III, h. 290
367

Musa al-As`ari, Ali bin Abi Thalib, Amer bin `Ash, dan
Muawiyah bin Abi sofyan, keempat-empat Sahabat Nabi ini
terlibat di dalam keputusan majlis tahkim (arbritrase) ketika
diberlakukan genjatan senjata dalam perang dahsyat antara
pasukan Ali dan pasukan Muawiyah di Siffin. Rencana
pembunuhan orang-orang Khawarij hanya berhasil
dilakukan kepada Ali saja, sementara yang lainnya selamat
dari rencana pembunuhan tersebut.
Masa kekhalifahan Ali selama lima tahun kurang tiga bulan,
lebih banyak dipenuhi peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi
sepanjang pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan dalam upaya
menghadapi para penentangnya Ali melakukan langkah-langkah
strategis dalam memajukan negara di beberapa provinsi yang
kondisinya relatif lebih kondusif. Kondisi carut-marut ini dapat
ditengarai karena besarnya pengaruh orang-orang penentang
terhadap pemerintahan Ali. 291Sehingga pemerintahan Ali dapat
dikatakan sebagai pemerintahan yang dihadapkan pada betapa
sulitnya mengatasi konflik politik internal.
Upaya rekonsiliasi melalui negosiasi yang dilakukan Ali
dalam menghadapi para penentangnya selalu berakhir dengan
kegagalan. Di satu sisi dikarenakan sifat tegas Ali yang tidak
mengenal kompromi, berpegang kepada kejujuran dan keikhlasan
menjadikannya tidak suka menggunakan intrik-intrik diplomasi yang
berifat basa basi dan politik mengutamakan kepentingan sepihak,
sementara pada aspek lain adanya unsur propokasi yang
mengacaukan jalannya perdamaian. Hal ini jelas pada peristiwa
upaya perdamaian antara pihak Ali dengan kelompok Aisyah
sebelum terjadinya perang Jamal.Sebelumnya kedua belah pihak
telah mencapai kesepakatan untuk mencari jalan keluar dari
perselisihan melalui jalan perdaamaian.Tetapi malangnya telah
terjadi penyerangan sporadis dari kelompok propokator yang ada di
tubuh pasukan Ali terhadap pasukan Aisyah dan kemudian dibalas
dengan serangan yang lebih besar yang mengakibatkan
dibatalkannya rencana perdamaian tersebut.292

291
. Syed Hussain Muhammad Jafri, Moralitas Politik Islam: Belajar
dari Perilaku Politik Ali bin Abi Thalib, ( Jakarta: Pustaka Zahra, 2003 ), h. 17
292
. al-Thabary, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, h. 506
368

Ali memang pada akhirnya berhasil menundukan kelompok


Aisyah dalam peperangan besar antara ke dua belah pihak di
wilayah bagian Basrah, setelah pasukannya melumpuhkan onta
yang ditungganginya, kemudian mereka membawa Aisyah ke
hadapan Ali, tetapi itu baru terjadi setelah memakan korban perang
tidak kurang dari sepuluh ribu jiwa dari kedua belah pihak,
termasuk di dalamnya dua tokoh Sahabat Nabi, yaitu; Thalhah dan
Zubair. 293 Selanjutnya Aisyah kemudian dipulangkan ke Madinah
dengan penuh penghormatan dan jaminan keselamatan yang
diberikan Ali sebagaimana mestinya perlakuan terhadap seorang
janda Nabi yang mulia. 294
Upaya Ali mengajak Muawiyah untuk melakukan
perundingan dengan penuh kesabaran, ternyata akhirnya gagal total
dan kemudian pilihan perang pun tidak dapat dihindari. Perang
dahsyatpun meletus di Siffin, suatu wilayah yang berada di
perbatasan antara Iraq dengan Syria. Dalam peperangan ini ketika
pasukan Muawiyah terdesak oleh kekuatan pasukan Ali, Muawiyah
kemudian balik mengajak berunding setelah pertempuran
berlangsung tidak kurang dari enam bulam dan memakan korban
jiwa belasan ribu. Sementara pasukan Ali mendominasi jalannya
pertempuran.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan pihak tentara
Muawiyah, maka Muawiyah kemudian bersama Amer bin Ash
berhasrat melakukan genjatan senjata untuk sementara waktu. Hal
ini dilakukan dengan menjadikan al-Qur`an ditancapkan di atas
tombak sebagai tanda agar dilakukan genjatan senjata. Pada tahap
awal, Ali mensikapinya dengan tidak mempedulikan terhadap apa
yang dilakukan Muawiyah, dan perangpun agar tetap diteruskan
sehingga pada akhirnya dapat dipastikan pihak mana yang menang
dan pihak mana yang kalah biar ditentukan oleh perang. Sikap Ali
seperti ini karena Ali sudah yakin bahwa kemenangan akan berpihak
kepadanya karena realitas di lapangan sudah terlihat tanda-tanda
kemenangan. Tetapi apa boleh dikata takdir menentukan lain,
sebagian pasukan Ali mendesak agar Ali menghormati pihak lawan
yang menancapkan al-Qur`an di atas tombak sebagai isyarat agar

293
. Ibid. h. 539
294
. Ibid. h. 544
369

perang segera dihentikan untuk sementara waktu, maka Ali-pun


mengikuti seruan untuk menghentikan perang, kemudian
diadakanlah perundingan di suatu majlis yang disebut Majelis
Tahkim. Ali memang tidak terkalahkan di medan perang, tetapi
justru Ali dipencundang di meja perundingan.295
Meja perundingan yang dihadiri oleh Abu Musa al-Asy`ari
sebagai delegasi pihak Ali, dan Amer bin Asy sebagai mewakili
pihak Muawiyah, menghasilkan suatu keputusan yang adil bagi
kedua belah pihak, tetapi dalam pelaksanaannya sangat
mengecewakan, karena ternyata Ali diposisikan pada posisi lemah,
baik di mata lawan-lawannya ataupun di hadapan para
pendukungnya. 296Bahkan kelompok besar dari pasukan Ali
menyatakan keluar dan menarik dukungan mereka dari Ali, dan
bahkan di kemudian hari manjadi musuhnya yang sangat
militan.Kelompok inilah yang kemudian lebih terkenal dengan
sebutan Khawarij, yaitu; kelompok yang menyatakan diri mereka
keluar dari pasukan Ali. 297

295
. Perundingan yang melibatkan kedua belah pihak, di mana pihak Ali
diwakili oleh Abu Musa al-Asy`ariy dan dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amer
bin `Asy. Perundingan berlangsung di sebuah tempat bernama Adzrah, sebuah
wilayah Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H.
296
. Dalan acara penyampaian pengumuman hasil keputusan Majelis
Tahkim kepada para pendukung ke dua belah pihak, pada tahap awal Abu Musa
dipersilahkan untuk menyampaikan hasil keputusan perundingan di Majelis
Tahkim, antaranya agar masing-masing delegasi menyampaikan pemberhentian
pemimpinnya masing-masing, setelah itu baru dipilih pemimpin baru, maka
kemudian Abu Musa al-Asy`ari mengumumkan pemberhentian Ali bin Abi Thalib
dari jabatannya sebagai Khalifah. Giliran selanjutnya adalah Amer bin Asy, Amer
bin Asy mengumumkan pemberhentian Muawiyah dari jabatannya sebagai
Gubernur Syam, tetapi pada saat yang sama Amer bin Asy mengumumkan bahwa
pada saat ini tidak ada pemimpin tertinggi (khalifah) dan itu tidak boleh walau
sesaatpun, oleh karena itu pada detik ini juga saya (Amer bin Asy) mengangkat
Muawiyah sebagai Khalifah. Pengumuman ini tentu saja disambut gembira
terutama oleh para pendukung Muawiyah, tetapi berdampak buruk dikalangan
para pendukung Ali, pada umumnya mereka tidak mengakui pengangkatan
Muawiyah sebagai khalifah secara sepihak, dan Ali bin Abi Thalib tetap sebagai
khalifah. Permaslahan tetap menimpa kepada Ali dan bahkan semakin parah,
pertentangan dan perpecahan pun semakin menjadi-jadi di kubu Ali.
297
. Khawarij secara terminologi artinya kelompok yang menyatakan diri
mereka keluar dari pasukan Ali setelah terjadi keputusan Majelis Tahkim yang
kontroversial dan bahkan pada akhirnya mereka menjadi musuhnya yang sangat
370

Semenjak terjadinya perundingan yang gagal itu, kedudukan


Muawiyah semakinlebin mantap.Sebaliknya posisi Khalifah Ali
semakin sulit dan terpojok, karenanya Ali tidak lagi dapat menyusun
kekuatan yang solid untuk menundukan Muawiyah.Berbulan-bulan
malah Ali disibukkan menghadapi ancaman kelompok Khawarij,
persis tiga tahun lamanya Khalifah Ali menjinakan kelompok
Khawarij, baik melalui dialog ataupun melalui
pertempuran.Sejumlah besar pasukan sedianya disiagakan untuk
menyerang kekuatan Muawiyah di Syam (Syiria) terpaksa dialihkan
untuk menghentikan pemberontakan kelompok Khawarij di
Nahrawan. Meskipun pada akhirnya memang Ali berhasil
menumpas sebagian besar kelompok Khawarij dan menyadarkan
sebagian yang lainnya, tetapi jumlah Korban dari pihak Ali juga
besar, sehingga kekuatan tentara tempur Ali pun terus menipis.
Lebih tragis lagi dua tahun kemudian sisa pasukan Khawarij yang
dapat menyelamatkan diri mereka dalam perang di Nahrawan, malah
berhasil membunuh Khalifah Ali di luar medan pertempuran.
Demikianlah pembahasan tentang kepemiminan Ali bin Abi
Thalib, saat memimpin pemerintahanya penuh dengan berbagai
persoalan yang berat-berat, negara selalu berada dalam keadaan
tidak stabil, selalu gonjang ganjing. Ali yang dikenal sebagai
seorang pahlawan yang hebat dengan senjata pedangnya
yangmenjadikan musuh-musuhnya merasa ketakutan sebelum
perang dimulai, tetapi saat mengendalikan pemeritahanya tidak
banyak yang dapat diperbuat, karena sibuk dengan berbagai upaya
mengahadapi para penentangnya yang datang dari berbagai penjuru
wilayah. Hal ini berdampak pada tidak terealisasi visi dam missi
pemerintahanya yang telah diprogramkanya, sangat disayangkan.
Barangkali itu memang takdir Allah begitu kejadianya, siapapun
tidak dapat melawan takdir, termasuk Ali bin Abi Thalib sendiri
meskipun sudah dilakukan dengan berbagai upaya. Pada akhirnya
Ali sendiri wafat karena dibunuh sebagai mati syahid oleh suatu

militan dan mereka juga menentang Muawiyah. Kelompok ini kemudian menjadi
sekte tersendiri selain sekte-sekte Islam yang lain. Jumlah mereka pada saat
mereka keluar dari barisan Ali diperkirakan sekitar 12000 personil dengan
dipimpin oleh seorang yang bernama Hurqus bin Zuhair sebagai panglimanya, dan
mereka bermarkas di Harura, suatu wilayah di Kufah.
371

rencana konspirasi pembunuhan yang dilakukan orang-orang


Khawarij.

BAB VI
PEMIKIRAN POLITIK
IBNU ABI RABI`

1.Mengenal Sosok Pemikir Politik Islam Ibnu Abi Rabi


Pada era pemerintahan Dinasti Abbasiyah ilmu pengetahuan
dalam berbagaicabang dan spesialisasinya mendapatkan tempat dan
perhatian serius, baik oleh para peneliti danpemikir Islam, dan
bahkan mendapatkan dukungan besar dari para penguasa saat itu,
terutama pada masa Khalifah al-Makmun, yaitu; Khalifah Dinasti
Abbasiyah ke tujuh. Perkembangan ilmu pengetehuan saat itu tidak
dapat dinafikan sebagai dampak positif dari persinggungan dengan
alampemikiran Yunani, antaranya filsafat dan ilmu-ilmu sosial,
terutama dari Plato dan Aristoteles melalui karya-karya tulisnya,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. 298 Aktivitas inilah
kemudian memunculkan perhatian besar dan minat tinggi di
kalangan para sarjana Islam untuk mempelajari hal-hal yang
berkaitan dengan kenegaraan secara rasional, kemudian setelah itu
bermunculan sejumlah pemikir Islam yang mengemukakan gagasan
atau konsepsi politik mereka melalui karya-karya yang ditulisnya.
Sarjana muslim yang dianggap pertama yang menuangkan
gagasan teori politiknya adalah Ibnu Abi Rabi `299 dalam
karyanya;Sulukal-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik (Kebijakan Raja

298
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-
Fikr al-Siyasi fiy al-Islam: Syakhshiyyat wa Mazahib. h. 204
299
. Ibid. h. 208
372

Dalam Mengelola Pemerintahan). Buku ini dipersembahkan kepada


al-Mu`tasim, Khalifah Dinasti Abbasiyyah ke delapan yang
memerintah pada abad ke IX Masehi untuk dipergunakan sebagai
guiding book dalam mentadbir atau mengelola pemerintahan. Oleh
karena buku ini diperuntukan oleh Ibnu Abi Rabi` kepada kepala
negara yang sedang berkuasa saat itu, Munawir Sjadzali
menegaskan dapat dipastikan bahwa Ibnu Abi Rabi tidak
mempersoalkan sistem monarki sebagai suatu sistem pemerintahan
yang sedang berjalan, bahkan Ibnu Abi Rabi` memberikan dukungan
penuh kepada sistem pemerintahan ini. 300 Hal ini mungkin Ibnu
Abi Rabi` melihat bahwa sistem monarki yang sedang berjalan saat
itu cukup baik dalam menata kehidupan perpolitikan. Mengingat
realitas yang ada saat itu bahwa pemerintahan Dinasti Abbasiyah di
masa pemerintahan al-Mu`tasim Billah berada pada puncak
kejayaan. Oleh karennya, wajar jika Ibnu Abi Rabi` tidak
mempersoalkan sistem pemerintahan monarchi saat itu.
Pengakuan Ibnu Abi Rabi terhadap sistem pemerintahan
monarchi ini ditunjukkan oleh Ibnu Abi Rabi dalam kata pengantar
bukunya berupa sanjungan kepada Khalifah, antaranya;
merupakan kebahagiaan bagi penduduk atau rakyat zaman
ini karena pemimpin mereka ( Imamahum ), ketua tertinggi
mereka ( Muqallid siyasatihim ), dan pengelola pemerintahan
mereka ( wa Mudabbir mulkihim ) adalah seorang yang telah
terkumpul semua kebaikan, semua kelebihan dan keutamaan
( kehormatan ), terkumpul semua sifat yang terpuji, yaitu
orang yang selalu memperbaiki kondisinya dengan tetap
komitmen pada agama, dan tetap berpegang teguh pada
Islam dan ajaran Nabi, yaitu Khalifah al-Mu`tashim Billah,
Amirul Mu`minin, di mana semua umat taat kepadanya,
semua kerajaan patuh kepadanya, dan para musuh tunduk
kepadanya.301
Selain dari Ibnu Rabi`, ada beberapa pemikir politik muslim
yang lain, antaranya al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan lain-lainnya. Munawir Sjadzali dalam

300
. Lihat. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 42
301
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 208
373

konteks ini berpendapat bahwa mereka-mereka itu dapat dianggap


sebagai eksponen-eksponen yang mewakili pemikiran politik di
dunia Islam pada era klasik dan abad pertengahan. 302Dalam
menganalisa karakter pemikiran-pemikiran politik yang muncul dari
para pemikir politik Islam di era klasik dan abad pertengahan,
Munawir Sjadzali menegaskan banwa setidaknya ada dua karakter
atau ciri umum, yaitu;
1. Pemikiran-pemikiran politik mereka terdapat pengaruh dari
alam pemikiran Yunani, terutama pemikiran Plato, meskipun
kadar pengaruh tersebut tidak sama antara satu dengan yang
lainnya,
2. Pemikiran-pemikiran mereka, selain al-Farabi, selalu
mendasarkan pada sistem perpolitikan yang sedang berjalan
pada zaman mereka masing-masing, dan bahkan mereka
memberikan justifikasi terhadap kebijakan-kebijakan para
penguasa dalam rangka mempertahankan kepentingan para
penguasa, tetapi kemudian mereka menawarkan saran-saran
perbaikan atau reformasi. Hal ini sangat berlainan dengan al-
Farabi, al-Farabi yang menawarkan idealisasi tentang
semua aspek kehidupan kenegaraan, konsepsinya begitu
utopia, samaseperti konsep negara sempurna Plato.303

Ibnu Abi Rabi` hidup di Baghdad pada masa pemerintahan


Mu`tasim Billah, Khalifah Dinasti Abbasiyah ke delapan dan putra
Khalifah Harun al-Rasyid dan yang menggantikan abangnya, al-
Makmun. Tentang sosok seorang pemikir politik muslim ini
Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa tidak banyak yang dapat
diketahui tentang Ibnu Abi Rabi`, selain Dia sebagai penulis buku
yang berjudul Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik. Oleh karena
tidak banyak yang diketahui tentang ilmuan politik Islam ini, wajar
jika kemudian para peneliti di kemudian hari berbeda pendapat
tentang waktu ( al-fatrah ) yang tepat, kapan buku tersebut ditulis
oleh Ibnu Abi Rabi. Perbedaan pendapat juga terjadi pada nama
Khalifah di mana buku tersebut dipersembahkan ?apakah Khalifah
al-Mu`tashim Billah ataukah Khalifah al-Musta`shim, yaitu Khalifah

302
. Ibid. h. 42
303
. Ibid. h. 47
374

terakhir dari Dinasti Abbasiyah yang terbunuh akibat serangan


Tentara Mongol di Baghdad pada tahun 1258 M. 304

2. Asal Usul Negara


Ibnu Abi Rabi` berpendapat bahwa manusia secara
fitrahmemerlukan yang lainnya untuk memenuhi semua keperluan
hidup, dan tidak mungkin mereka dapat menutupi semua kebutuhan
hidupnya tanpa ada kerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu
manusia memerlukan yang lainnya, maka antara manusia yang satu
dengan yang lainnya saling memerlukan sehingga terjadi interaksi
antara sesama mereka. Hal ini menjadikan mereka saling bantu
membantu dan bermasyarakat, serta menetap di suatu tempat. Dari
proses inilah terbentuknya kota-kota.305
Keperluan dan hajat hidup yang dibutuhkan manusia dalam
interaksinya dengan sesama mereka, mendorong mereka untuk
berkumpul, bermasyarakat, dan akhirnya membentuk organisasi
kekuasaan (negara). Keperluan dan hajat hidup yang dibutuhkan
menurut Ibnu Abi Rabi` sebagai berikut;
1. Pakaian ( al-libas ) untuk melindungi diri dari rasa sakit
udara panas, udara dingin, dan tiupan angin kencang,
2. Kebutuhan terhadap makanan yang menjadikan jasmani kuat
untuk beraktivitas dan bekerja,
3. Tempat tinggal untuk penjagaan dan pertahanan dari
berbagai ancaman bahaya.
4. Reproduksi untuk menjamin kelangsungan kehadiran
manusia di muka bumi ini,
5. Pelayanan kesehatan untuk menjaga kestabilan jasmani. 306

Berdasarkan penjelasan di atas terkait dengan asal ususl


negara, dapat ditegaskan bahwa manusia jika dalam keadaan sendiri
(al-mufarrid)tidak mungkin dapat memenuhi semua kebutuhan

304
.Lihat Muhammad Jalal Syaraf san Ali Abdul Mukthi Muhammah. al-
Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 208
305
. Ibid. h. 209. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h.
43
306
. Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik (Kairo: T. pt.
1286 H.), h. 101. Lihat juga Muhammad .Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi
Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 209
375

tersebut, karena untuk mengadakan semua kebutuhan diperlukan


berbagai keahlian, ilmu dan keterampilan atau skillyang melibatkan
orang banyak. Dalam konteks ini Muhammad Jalal Syaraf dalam
karyanya; al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, menegaskan bahwa apa
yang disampaikan Ibnu Abi Rabi` tentang teori asal usul
kemunculan negara pada hakekatnya sudah disampaikan Plato
ketika berbicara tentang kemunculan kota atau Negara.307 Plato
berpendapat bahwa kebutuhan alami yang terpenting bagi manusia
adalah soal pangan yang menjadikan tegaknya kehidupan sebagai
makhluk yang hidup, kemudian tempat tinggal dan pakaian.
Kebutuhan terhadap kerjasama di antara sesama manusia akan
berimplikasi pada adanya keharusan pembagian kerja di antara
mereka, maka dari sinilah lahir para petani, para pekerja bangunan,
tukang jahit (konfeksi), tukang sepatu, pandai besi, dan sebagainya
sesuai dengan keahlian dan kepakaran mereka masing-masing.308
Jika diperhatikan pandangan Ibnu Abi Rabi` tentang asal
usul kemunculan negara sebenarnya bahwa pandangan Ibnu Abi
Rabi` hampir sama dengan pandangan Plato sebelumnya. Tetapi
meskipun demikian, pandangan Ibnu Abi Rabi` tidak berarti bahwa
pandangannya mengkopi paste mentah-mentah pandangan Plato,
karena Ibnu Abi Rabi` sebagai seorang muslim tidak terlepas dari
pengaruh ajaran agama Islam yang dipeluknya. Hal ini dapat
dikonfirmasi tentang pandangannya yang memasukkan faham ke-
Tuhanan dan memadukannya dengan pandangan-pandangannya
tentang asal usul kemunculan negara atau kota. Hal inilah
sebenarnya yang membedakan dari pemikiran Plato.309 Dalam
konteks ini Ibnu Abi Rabi`menegaskan bahwa Allah menciptakan
manusia dengan wataknya yang cenderung berkumpul dan
bermasyarakat, dan tidak mungkin dapat hidup sendiri untuk
memenuhi semua kebutuhannya tanpa bantuan orang lain, dan ketika
manusia itu bermasyarakat (berkumpul) di suatu kota, serta
melakukan kerjasama dan berinteraksi, sementara kecenderungan

307
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 209- 210
308
.Ibid. h. 210. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.
44
309
.Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 212.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 44
376

pemikiran mereka berbeda-beda, dan bahkan terjadi kezaliman


karena mungkin saja ada rasa mementingkan diri sendiri, di antara
mereka, maka untuk menjamin kerukunan dan keserasian hubungan
antara sesama mereka, Allah, kata Ibnu Abi Rabi`, meletakkan
peraturan-peraturan ( sunanan wa faraidha) sebagai dasar pijakan
yang harus mereka patuhi, maka kemudin Allah pun menjadikan
para penguasa yang lahir dari mereka sendiri. Penguasa inilah yang
akan melaksnakan peraturan-peraturan tersebut dan menerapkannya
demi menjaga ketertiban kehidupan masyarakat dan untuk
memenuhi kebutuhan mereka masing-masing, serta untuk mencegah
terjadinya pelanggaran dan penganiayaan antara sesama anggota
masyarakat.310
Demikian juga Ibnu Abi Rabi` sepakat dengan pemikir-
pemikir Yunani, terutama Plato dan Aristoteles tentang penegasan
bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial (hayawanun
ijtimaiyyunmadaniyyun). Pandangan ini adalah pandangan yang
disampaikan Aristoteles di dalam karyanya; Politik. Tetapi
kemudian Ibnu Abi Rabi`memberinya warna baru. Warna baru dari
Ibnu Abi Rabi setidaknya ada tiga butir pandangan yang didasarkan
pada ajaran agama Islam, yaitu;
1. Kecendrungan manusia untuk berkumpul dan bermasyarakat
itu merupakan watak atau tabiat yang diciptakan Allah
kepada manusia.
2. Allah telah meletakkan peraturan-peraturan tentang hak dan
kewajiban bagi masing-masing anggota masyarakat sebagai
landasan yang harus dipatuhi. Dan peraturan-peraturan
tersebut sudah termaktub di dalam kitab suci al-Qur`an.
3. Allah juga telah mengangkat penguasa-penguasa yang
bertugas untuk memastikan berlakunya peraturan-peraturan
di kalangan rakyat dan mengelola masyarakat berdasarkan
petunjuk-petunjuk Ilahi. 311

310
. Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik( Kairo: Dar
al-Sya`b, 1970), h. 102. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi
Fiy al-Islam, h. 212. dan lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h.
45
311
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 213.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara , h. 45
377

Berdasarkan apa yang disampaikanIbnu Abi Rabi` di atas


dapat diartikan bahwa Ibnu Abi Rabi` telah memberi kemasan bagi
pemikiran politiknya dengan sentuhan-sentuhan ajaran agama Islam.
Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa pandangan Ibnu Abi Rabi`
tentang kemunculan negara atau kota bukan pandangan proto tipe
seratus persen pandangan Plato dan Aristoteles. Namun boleh juga
dikatakan dalam arti lain bahwa pandangan dan pemikiran Ibnu Abi
Rabi` tentang kemunculan negara sebagai pengembangan dari
pemikiran Plato dan Aristoteles tetapi dengan dasar dan warna ke-
Islaman.

3.Bentuk Negara Ideal


Setelah terbentuk kota atau negara melalui proses dari satu
tahap ketahap berikutnya sebagaimana dijelaskan di atas, maka
selanjutnya persoalan yang muncul adalah siapakah yang akan
memimpin negara yang berfungsi sebagai pengelola dan mengatur
kehidupan umat atau masyrakat, sekaligus yang memberikan
pengayoman dan melindungi warga masyarakatnya dari berbagai
gangguan dan bahaya yang mengancam keberadaan warga
masyarakat, karena tidak mungkin sebuah negara wujud tanpa ada
yang memimpin.
Sebagaimana Plato, seperti dijelaskan Munawir Sjadzali,
Ibnu Abi Rabi juga berpendapat bahwa seorang pemimpin itu adalah
seorang yang termulia di masyarakatnya. Oleh karena itu seseorang
yang mau melarang orang lain dari berbuat sesuatu yang dianggap
melanggar peraturan dan tatanan kehidupan, serta memerintahkan
warganya untuk berbuat sesuatu yang mendatangkan manfaat yang
dapat dirasakan bersama oleh masyarakat, haruslah orang yang dapat
memberikan contoh agar menjadi panutan dan orang terdepan (
imam ).312
Ketika sebuah negara sudah berdiri, maka langkah apa yang
diperlukan selanjutnya.? Maka yang diperlukan selanjutnya adalah
seorang pemimpin atau penguasa yang berfungsi dan bertanggung
jawab untuk memberikan pelayanan, memajukan kehidupan
masyarakat dan mengawal keselamatan masyarakat dan negaranya

312
. Muhammad Jalal Syaraf et al. Al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 214.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 46
378

dari setiap bentuk ancaman, baik yang datag dari dalam (internal)
ataupun yang datang dari luar ( eksterrnal ). Hal ini karena tidak
mungkin sebuah negara dapat berdiri kuat, tanpa ada seorang
pemimpin atau penguasa yang mengelola ( mentadbir ). Pemimpin
dan penguasa ini menurut Ibnu abi Rabi` haruslah seorang terbaik di
masyarakatnya, karena menurutnya lagi seorang penguasa tidak
dapat berfungsi dengan efektif jika dia sendiri tidak memberikan
contoh teladan yang baik kepada masyarakatnya, dan ini artinya
bahwa pengangkatan seorang penguasa atau kepala negara harus
seorang yang paling bijaksana.313 Pandangan Ibnu Rabi` ini
sebenarnya ada kesamaan dengan pandangan Plato, dan memang
realitasnya bahwa seorang penguasa selalunya dijabat oleh orang-
orang yang memiliki kelebihan dan kapabelitas dibandingkan
dengan yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan bentuk atau model pemerintahan,
Ibnu Abi Rabi` lebih memilih bentuk pemerintahan yang
berdasarkan monarchi atau kerajaan. 314 Monarchi adalah sistem
pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja berdasarkan warisan
alur keturunan.315 Oleh karena itu, Ibnu Abi Rabi` tidak memilih
model-model pemerintahan lain, seperti Aristokrasi, 316 Oligarchi,317

313
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 214
314
. Monarchi adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
raja ( al-Malik atau The King ). Pengangkatan seorang raja berdasarkan
penunjukkn langsung oleh raja yang sedang berkuasa kepada calon penggantinya.
Calon penggantinya ini kemudian dinobatkan sebagai Putra Mahkota atau
Pangeran ( Waliul `Ahdi ). Jika seorang raja yang sedang berkuasa meninggal
dunia, maka secara otomatik Putra Mahkota langsung menjadi raja. Dalam sistem
monarchi tidak ada pemilihan kepada calon jara yang diselenggarakan melibatkan
semua elemen warga masyarakat atau rakyat, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Tetapi di era modern dan kontemporer ada beberapa negara monarchi
yang sudah mengadobsi sistem demokrasi telah mengadakan pemilihan umum
tetapi untuk memilih Perdana Menteri dan wakil-wakil rakyat, dan raja tidak
dipilih melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh suatu badan, yaitu
Election Commite. Negara monarchi yang sudah melaksanakan pemilihan umum
biasanya disebut negara monarchi konstitusi.
315
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h.214
316
. Aristokrasi adalah pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok
kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau kedudukan.
317
. Oligarchi adalah model pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok
kecil orang-orang kaya.
379

Demokrasi, 318 ataupun Demagogik.319 Dalam konteks ini Ibnu Abi


Rabi` memberikan argumentasi terkait pemikirannya tentang model
pemerintahan dalam bentuk monarchi, yaitu bahwa jika sebuah
negara dipimpin oleh banyak pemimpin, maka perpolitikan akan
kacau, banyak konflik yang menyebabkan negara selalu gonjang
ganjing (tidak stabil). Atas dasar argumentasi ini, warga masyarakat
merasa perlu seorang pemimpin tunggal dalam pemerintahan
kerajaannya. 320
Munawir Sjadzali mengomentari pemikiran Ibnu Abi Rabi`
di atas dan menyatakan bahwa pengaruh keyakinan agama dan
loyaliasnya kepada Dinasti Abbasiyah sangat jelas pada pendapat
Ibnu Abi Rabi` tentang dasar kekuasaan raja. Selanjutnya menurut
Munawir Sjadzali lagi bahwa Ibnu Abi Rabi` dalam kaitannya
dengan otoritas dan kewenangan raja, dan hak istimewa raja dari
ajaran agama. Oleh karenanya Ibnu Abi Rabi` menegaskan bahwa
Allah telah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan
segala keutamaan dan kelebihan, memposisikan kedudukan mereka
sebagai pemimpin umat di atas muka bumi ini dengan kokoh,
mempercayakan hamba-hamba-Nya kepada mereka, kemudian
Allah mewajibkan para Ulama untuk menghormati, mengagungkan
dan mentaati perintah mereka. Dalam kaitan ini Ibnu Abi Rabi`
mengemukakan dua ayat al-Qur`an sebagai berikut;
a. Surat al-An`am: ayat 165, yang artinya;

Dan Dia ( Allah ) yang menjadikan kalian penguasa-


penguasa di bumi dan Dia ( Allah ) meninggikan harkat dan
martabat sebagian dari kalian atas sebagian ( yang lain )
beberapa tingkat.

318
. Demokrasi adalah model perintahan yang dikelola oleh rakyat
melalui wakil-wakilnya, baik di Parlemen, Eksekutif ataupun Yudikatif melalui
pemilihan umum yang diselenggaran oleh suatu badan pemilihan umtuk memiih
Presiden, Gubernur, Bupati, dan para wakil rakyat, baik untuk tingkat pusat
ataupun tingkat daerah.
319
. Demagogik, yaitu apabila para warga di sebuah negara memanfaatkan
hak-hak politiknya yang diberikan Demokrasi dengan tidak bertanggung jawab,
dan hanya berdasarkan keinginan, kecendrungan dan kepentingan masing-masing,
tanpa memikirkan akibat dan dampak negatif yang muncul kemudia, maka itu
adalah pemerintahan demagogik.
320
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 214
380

b. Surat al-Nisa: ayat 59 yang artinya;

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul-Nya, dan pemimpin-pemimpin ( Ulil Amri ) kalian.

Dari apa yang disampaikan Ibnu Abi Rabi` di atas, Munawir


Sjadzali berpendapat bahwa menurut Ibnu Abi Rabi` dasar
kekuasaan dan otoritas raja adalah mandat dari Allah yang telah
memberinya kedudukan istimewa kepada mereka dengan
keunggulan dan keutamaan, telah mengkokohkan kekuasaan mereka
di negara mereka untuk memerintah hamba-hamba-Nya dari semua
tingkatan untuk taat kepada mereka demi kesejahteraan negara. 321

Secara politis seorang raja ( kepala negara ) tidak dapat


berfungsi sebagai pemimpin yang mengelola negaranya tanpa
dibantu oleh para pembantu ( muawinin) yang setia dan
melaksanakan semua tugas dan perintah raja. Oleh karena itu Ibnu
Abi Rabi` menegaskan bahwa semua orang yang menduduki
jabatan strategis dalam rangka melaksanakan semua aktivitas
politik diperlakukan sebagai para pembantu raja yang taat setia
kepada semua perintah yang dikeluarkan raja, sehingga mereka
dapat dikatakan seperti perangkat yang dapat dipergunakan sesuai
dengan rencana dan program. Kehadiran para pembantu raja dalam
melaksanakan tugasnya adalah sebagai cermin raja atau sebagai
pelaksana kebijakan-kebijakan yang telah digariskan raja. 322

Selanjutnya Ibnu Abi Rabi` menyampaikan apa yang


sebenarnya menjadi tujuan negara, bagaimana raja (kepala negara)
dapat menegakan keadilan, melindungi warganya dari kezaliman,
dan bagaimana raja memimpin negara untuk mencapai tujuan mulia
dan menyedikan ruang atau fasilitas bagi setiap warga masyarakat
agar dapat bekerja sesuai dengan skillnya masing-masing dalam
kondisi nyaman. Semua ini dilakukan dengan tujuan agar tercipta
kondisi yang kondusif dan berimplikasi lahirnya kemaslahatan yang
dapat dirasakan oleh individu masyarakat untuk kemaslahatan

321
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 47 - 48
322
. Lihat Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik, h. 104
381

bersma. 323 Kondisi ini mungkin dapat dicapai jika melalui langkah-
langkah strategis, di samping raja sendiri memiliki latar belakang
dan syarat-syarat yang memungkinkan dia memilki kapabelitas dan
ketokohan yang disegani masyarakatnya.

Tentang siapa yang paling layak menjadi kepala negara


(raja, khalifah), Ibnu Abi Rabi` menyampaikan beberapa sikap atau
kepribadian yang luhur, serta beberapa kriteria atau syarat bagi
calon kepala negara, agar seorang kepala negara memiliki
kemampuan atau kapabelitas dalam mengelola negara. Hal ini
sebagaimana yang akan penulis jelaskan pada sub topik Kriteria
Kepala Negara.
Ibnu Abi Rabi` selain berbicara tentang konsep bentuk
negara yang menjadi pilihannya sebagaimana dijelaskan di atas, Dia
juga berbicara tentang lokasi atau tempat yang dapat dijadikan pusat
pemerintahan. Menurut Ibnu Abi Rabi` ada enam kriteria bagi
tempat yang bisa dijadikan pusat pemerintahan, yaitu;
1. Lokasi yang dekat dengan ketersediaan air yang cukup .
2. Lokasi yang dapat dilihat dari jarak yang jauh.
3. Lokasi harus berada di tempat yang datar dan kondisi udara
yang yaman.
4. Lokasi harus dekat dengan berbagai fasilitas yang
dibutuhkan.
5. Lokasi yang bisa dijadikan perlindungan bagi rumah-rumah
penduduk.
6. Adanya para pengaman yang bertugas memberikan bantuan
pengamanan kepada para penduduk.324

Syarat mendirikan pusat pemerintahan sebagaimana


disampaikan Ibnu Abi Rabi` adalah syarat-syarat yang sesuai dengan
kondisi masyarakat pada saat itu, sesuai dengan kebutuhan,
perkembangan dan dinamika peradaban manusia saat itu, oleh
karenanya jika dibandingkan dengan perkembangan saat ini tentu
saja sangat jauh berbeda. Perbedaan ini antaranya; di beberapa

323
. Ibid.
324
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 215 -
216
382

negara letak pusat pemerintahan berada tidak jauh dari pesisir laut,
ini bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut.

4.Empat PilarNegara
Ibnu Abi Rabi` menyampaikan konsepsinya tentang empat
unsur penting yang menjadi landasan berdirinya sebuah negara.
Empat unsur penting tersebut menurut Ibnu Abi Rabi` disebut arkan
al-daulah. Menurutnya lagi jika negara mau menjadi negara kuat
dan stabil, maka negara harus dibangun di atas empat arkan al-
daulah. Empat arkan al-daulah tersebut, ialah; Kepala negara,
Keadilan, Rakyat, dan Pengelolaan.325 Berikut ini penjelasan
mengenai empat unsur penting negara sebagai berikut;
a. Kepala Negara
Kepala negara, apakah yang bergelar Khalifah, Raja atau
bahkan Presiden (di era modern ) merupakan jabatan yang sangat
penting di suatu negara, karena kepala negara sebagai cermin dari
negaranya, bahkan di era modern kepala negara sebagai refresentasi
dari seluruh rakyatnya. Kelemahan, kekuatan, atau bahkan kemajuan
sebuah negara sebenarnya banyak bergantung kepada kepala
negaranya. Mengingat posisi kepala negara sangat sentral, Ibnu Abi
Rabi` memberikan batasan-batasan kepada calon kepala negara
dengan beberapa sikap atau kepribadian yang luhurdansangat ketat,
agar seorang kepala negara berperilaku baik di mata rakyatnya,
bahkan di mata masyarakat dunia. Beberapa sikap atau kepribadian
tersebut sebagai berikut;
1. Seorang kepala negara tidak boleh orang yang mudah marah,
yaitu ; pemarah,
2. Bukan orang yang mudah bersumpah,
3. Tidak boleh orang yang pelit,
4. Tidak boleh orang yang memiliki sikap dengki ( pendengki )
atau pendendam,
5. Bukan orang yang suka melakukan tindakan yang tidak
berfaidah (menyia-nyiakan waktu),
6. Tidak boleh orang yang penakut,

325
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 218
383

7. Tidak boleh orang yang suka berfoya-foya dan suka


berbangga dengan keduniaan( hidupglamour dan hura-hura
).326
Dengan demikian, seorang kepala negara akan berperilau
baik, beretika, bermoral atau berakhlak, maka dia akan dihomati dan
dimuliakan, baik oleh kawan atau lawan politiknya, dan bahkan oleh
seluruh rakyatnya, sehingga seorang kepala negara tidak
menampilkan perilaku-perilaku yang arogan, kasar, pendusta,
pembohong, penghianat, dan perilaku-perilaku negative lainnya.

b.Keadilan
Ibnu Abi Rabi` sangat komitmen dengan keadilan, karena
keadilan ditegaskan sebagai salah satu arkan al-daulah. Adil
merupakan ketentuan Allah di muka bumi, oleh karenanya
ketinggian sifat adil tidak dapat dibantah oleh siapa pun di dunia ini,
makanya setiap umat atau bangsa mana pun dari dulu sampai akhir
zaman nanti keadilan menjadi tema sentral, dan menjadikan tindakan
adil sebagai sesuatu yang niscaya, oleh karenanya siapa pun dan di
mana pun berada orang atau masyarakat selalu merindukan keadilan
dalam rangka terciptanya kebaikan bagi kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara. Ibnu Abi Rabi` dalam konteks ini membagi
keadilan pada tiga bagian pokok, yaitu;
1. Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak Allah. Keadilan
bagian pertama ini terkait dengan pelaksanaan semua
perintah-perintah Allah, baik yang wajib atau pun yang
Sunnah. Contohnya seperti melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang telah ditetapkan Allah, mendekatkan diri
kepada-Nya, meramaikan tempat-tempat ibadah, baik Mesjid
atau Musholla melalui berbagai bentuk ibadah,
melaksanakan amalan-amalan Sunnah. Intinya patuh dan taat
kepada semua perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak antara sesama
individu. Keadilan bagian ke dua ini adalah upaya
merealisasikan semua hak dan tanggung jawab kepada
sesamaindividu dalam rangka terciptanya interaksi dan

326
. Ibid. h. 221
384

komunikasi yang baik antara sesama. Contohnya seperti;


menunaikan kewajiban seseorang kepada sesama individu,
komitmen pada kejujuran (amanah), mengembalikan titipan
(wadi`ah) kepada pemiliknya, memberikan saksi kepada
yang hak (yang benar).
3. Keadilan yang berkaitan dengan hak-hak orang yang sudah
wafat. Keadilan bagian ketiga ini adalah berkaitan dengan
semua tindakan terhadap orang-orang yang sudah meninggal
dunia. Contohnya seperti; mengkafani dan mengkuburkan
orang yang sudah wafat, mendidik anak-anak Yatiam Piatu,
atau memberi sadakah kepada mereka. 327

c.Rakyat
Rakyat adalah penduduk resmi suatu wilayah yang berada
dalam kekuasaan pemerintahan atau negara. Sebagai elemen ketiga
dari empat arkan al-daulah.keberadaan rakyat menjadi prasyarat
karena tanpa rakyat atau penduduk, negara tidak akan ada apa-
apanya. Namun demikian, keberadaan rakyat harus diarahkan
dengan arahan-arahan yang baik agar tercipta kehidupan yang
kondusif, aman, dan damai. Berikut ini beberapa pemikiran Ibnu Abi
Rabi` mengenai bagaimana rakyat harus diarahkan dengan arahan
yang baik, sebagai berikut;
a. Seorang kepala negara harus senantiasa berupaya
menundukan hati rakyatnya dengan berbagai langkah dan
pendekatan yang efektif, dan terus berupaya agar ketaatan
dan loyalitas mereka kepada negara senantiasa dipertahankan
sebagai bukti legitimasi yang diberikan rakyat kepada
negara, tetapi semua itu harus berdasarkan kesadaran dan
kecintaan mereka kepada negara, bukan berdasarkan paksaan
atau rasa takut.
b. Kepala negara harus menyediakan berbagai fasilitas dan
kemudahn untuk rakyatnya agar tercipta kehidupan yang
nyaman dan sejahtera, sehingga rakyat merasa senang dan
suka.

327
. Ibnu Abi Rabi` , Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik( Kairo: T.
Tpt., 1386 H. ), h. 229
385

c. Kepala negara harus selalu mengikuti perkembangan yang


terjadi di masyarakat, sehingga kepala negara dapat
mengambil sikap atau tindakan jika ada masalah yang
mengganggu ketenteraman hidup.
d. Selalu berupaya agar kecintaan rakyat kepada negara
berdasarkan keyakinan agama karena sebagai masyarakat
dan rakyat yang beragama Islam, bukan berdasarkan
kepentingan-kepentingan sesaat, atau berdasarkan karena
ingin mendapatkan jabatan sebagai akibat dari cara-cara
transaksional atau kepentingan pragmatis.
e. Kepala negara seyogyanya mengetahui perilaku dan akhlak
rakyatnya melalui track rekord mereka, agar saat nanti
diberikan tanggung jawab atau jabatan dapat
melaksanakanya dengan baik sesuai dengan keahlian dan
kapasitasnya, serta dapat menjaga amanah yang diberikan
kepadanya.
f. Kepala negara harus selalu mengikuti berita dan
perkembangan negara tetangga, agar dapat mempertahankan
kepentingan wilayahnya dari setiap tindakan negara tetangga
yang mengancam stabilitas politik dan keutuhan wilayah,
terutama di wilayah perbatasan.
g. Kepala negara harus selalu memperbaharui pemberian
hadiah kepada pasukan tentara, agar mereka tidak sampai
melakukan protes atau mengajukan pengaduan negatif dan
berbuat ulah.
h. Kepala negara harus selalu mendegarkan apa yang
dibicarakan rakyatnya, dan jika ada orang yang melakukan
fitnah atau melancarkan makar, maka kepala negara segera
melakukan tindakan hukum.
i. Kepala negara seyogyanya memecat para pejabat jika
mereka melakukan upaya pencitraan kepadanya, dengan
tujuan agar selalu disebut-sebut sebagai kepala negara yang
baik. Hal ini karena tindakan pejabat berkenaan tidak tulus
dan ikhlas, tetapi sebenarnya dia penjilat yang berusaha
mendapatkan keuntungan diri dari perbuatannya itu.
j. Wajib bagi seorang kepala negara untuk tidak membiarkan
rakyatnya mendapatkan ancaman dan ketakutan, dalam arti
386

Kepala negara harus berupaya menciptakan kondisi dan


situasi yang nyaman, aman dan damai.
k. Pengaturan dan pengelolaan negara targetnya adalah
terciptanya kemaslahatan bagi semua pihak, sehingga rakyat
dapat merasakan kebesaran dan keagungan kepala
negaranya. Kepala negara tidak boleh menempatkan orang-
orang baik (orang saleh) bersama dengan orang-orang yang
berperilaku penjahat dalam satu tempat kerja, karena virus
keburukannya akan menular kepada orang-orangbaik, jika
tidak mampu memproteksi diri.
l. Kepala negara harus segera memotong mata rantai faktor-
faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar
sesama warga masyarakat.
m. Kekuasaan dan pengeolaan negara agar dapat menjangkau
ke seluruh pelososk wilayah tanah air, dan kepala negara
harus malakukan tindakan hukum kepada orang-orang yang
melakukan pelanggaran tindak pidana atau kriminal meski
sekecil apapun, apalagi yang sudah besar. 328
Berdasarkan manajerial dan pengelolaan yang baik terhadap
kehidupan rakyat dan warga negara sebagaimana dismpaikan Ibnu
Abi Rabi`, negara diharapkan akan lahir sebagai negara yang baik,
kondusif, sejahtera, aman dan damai, di mana rakyatnya dapat
menunaikan tugas dan kewajibannya dalam kondisi yang dipenuhi
dengan kesadaran dan tanggung jawab, serta berdasarkan komitmen
pada aturan dan undang-undang yang berlaku, tanpa merasa ada
tekanan atau intimidasi atau teror dari siapa pun dan dari mana pun.

d.Pengelolaan (Mentadbir) Negara


Bagaimana negara bisa dikelola dengan baik, karena
pengelolaan yang baik akan berdampak lahirnya pemerintahan
yang baik (good gavernance). Pengelolaan atau mentadbir negara
merupakan kemestianbagi menggerakan roda pemerintahan atau
kerajaan. Ibnu Abi Abi Rabi` sangat konsen pada bagaimana
pengelolaan negara, karena pengelolaan sebagai aktivitas yang
berhubungan langsung antara pemerintah di satu sisi dan di sisi lain

328
. Ibid. h. 221 -222
387

dengan pihak-pihak yang diperintah, yaitu rakyat. Seorang kepala


negara tidak mungkin dapat mengelola semua urusan pemerintahan
sendirian, maka dia sangat membutuhkan orang-orang yang dapat
membantunya. Jika para pembantunya dari kalangan orang-orang
yang tidak baik, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kecakapan,
kemampuan atau kapabelitas, maka negara akan menghadapi
berbagai permasalahan, konsekuensinya pengelolaan negara akan
sangat buruk. Berdasarkan realitas ini Ibnu Abi Rabi` mengingatkan
bahwa kepala negara agar menghindari lima hal, yaitu;
1. Mengangkat seseorang yang tidak memiliki kelayakan, tidak
memiliki kapabelitas, karena hal ini akan berakibat fatal
terhadap kondisi negara.
2. Mengangkat seseorang yang tidak jujur, yaitu orang yang
tidak dapat dipercaya.
3. Mengangkat seseorang yang bertugas menjaga rahasia
negara, tetapi tidak dapat dipercaya ( tidakamanah ), karena
dia akan membuka rahasia negara.
4. Mengangkat seseorang yang bertugas untuk menjaga
keamanan, tetapi tidak memiliki kecakapan, maka akibatnya
dia akan merusak.
5. Mengangkat seseorang untuk menjadi pejabat,tetapi
mengabaikan tugasnya. Ini menunjukkan kelemahan
329
integritasnya.

Berdasakan apa yang disampaikan Ibnu Abi Rabi` di atas


terkait dengan bagaimana mengelola negara dengan baik, dapat
disampaikan beberapa hal penting bahwa negara akan menjadi lebih
baik jika dikelola atau ditadbir oleh orang-orang yang memiliki
karakter atau sifat-sifat sebagai berikut;
1. Berkelayakan; yaitu orang-orang yang memilki keperibadian
yang baik dan memiliki kapabelitas yang cukup.
2. Memiliki sikap jujur dan bertanggung jawab.
3. Dapat dipercaya dan tidak mudah berkhianat.
4. Orang-orang yang memiliki loyalitas tinggi bagi yang
bertugas menjaga keamnan negara(dan tidak berkhianat).
5. Memiliki komitmen tinggi pada pekerjaannya.
329
. Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr a-Siyasi Fiy al-Islam. h. 225 -
2226
388

6. Memiliki integritas tinggi.


Pengelolaan negara yang dikonsepsikan Ibnu Abi Rabi` pada
dasarnya menekankan pada SDM (Sumber Daya Manusia ) yang
berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas ini diharapkan
pengelolaan negara dapat berjalan dengan baik, bahkan secara
otomatik dapat berjalan dengan sendirinya sacara sistematik sesuai
dengan aturan dan tata tertib yang diberlakukan tanpa harus
dikontrol dan diawasi secara ketat, sehingga profesionalitas dalam
bekerja dapat terwujud.
5.Kriteria Kepala Negara
Kepala negara sebagai pilar utama dalam sebuah negara
sebagaimana disampaikan Ibnu Abi Rabi` adalah hal yang sangat
penting, tanpa kepala negara tidak akan berdiri negara, maka
keberadaannyamenjadi kemestian yang berfungsi sebagai pemimpin
(leader), pengarah, pelindung, penjaga, penggerak, dan lain-lain
dalam berbagai aspek kehidupan kenegaraan untuk terciptanya
kehidupan politik yang stabil, kondusif, dan sejahtera.
Tentang siapa dan bagaimana sosok seorang kepala negara
(Raja, Khalifah) yang dikonsepsikan Ibnu Abi Rabi` dalam konteks
pembicaraan ini. Ibnu Abi Rabi`menyampaikan beberapa kriteria
atau syarat bagi seorang kepala negara ideal, beberapa kriteria
tersebut sebagai berikut;
1. Sosok calon kepala negara ( Khalifah atau Raja ) tersebut
harus berasal dari anggota keluarga raja ( ahlul bayt al-
Malik ), mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja
yang tengah bertahta (Raja sebelumnya).
2. Dia harus memiliki aspirasi yang luhur( al-himmah al-
kabirah ). Hal ini dapat diperoleh dengan merealisasikan
akhlak (perangai atau perilaku) yang baik, serta dapat
mengendalikan emosi yang suka meledak-ledak.
3. Dia harus memiliki pandangan yang kokoh (al-ra`ya al-
mathin). Ini dapat diperoleh melalui pengkajian dan analisis
terhadap berbagai poladan pendekatan pengelolaan para
pemimpin dahulu, mempelajari sejarah dan eksperimen
(kesuksesan dan kegagalan) mereka. Hal ini, karena setiap
kebijakan ter-exspose atau rawan terhadap tipu muslihat,
389

rekayasa, manipulasi, atau jebakan dari orang-orang lawan


politiknya.
4. Dia harus handal dalam menghadapi setiap tantangan ( al-
mutsabarah `ala al-syadaid ), baik yang datang dari internal
sendiri atau pun dari eksternal. Ini dapat dimanifestasikan
dengan memperlihatkan sikap pemberani (al-syaja`ah),
kekuatan pemikiran dan fisik, yaitu melalui kekuatan
Tentara, Persenjataan, dan ekonomi. Dengan demikian
pemerintahannya akan lebih eksis dan dihormati, baik
olehkawan atau pun lawan politik( wa bizdalikayastaqimu
lahu amrul malak wa qahrul a`da` ).
5. Sebagai kepala negara, Dia harus berusaha menjadikan
negaranya, negara kaya yang memiliki kekayaan besar (al-
mal al-jamma). Hal ini dapat dicapai dengan merealisasikan
keadilan kepada rakyatnya ( isti`malul `adli fiy al-ra`iyyah)
dan melaksanakan rencana pembangunan yang berkelanjutan
(dawamul `imarah). Dengan ininegara akan lebih stabil dan
kondusifsepanjang faktor-faktor di atas direalisasikan (wa
bihi qiwamul mamlakah wa dawamiha ).
6. Dia harus memiliki para wakil atau para pembantu yang setia
dan jujur (al-A`wan al-Shadiqah). Hal ini dapat dicapai
dengan mengamalkan sikap sopan santun (al-thalaththuf ),
senantiasa menghormati dan memberikan penghargaan (
memanusiakan manusia atau mengapresiasi ) kepada para
wakilnya yang setia (apalagi terhadap yang berprestasi).330

Demikian beberapa kriteria bagi calon kepala negara


(Khalifah, Raja) menurut Ibnu Abi Rabi`. Jika diperhatikan beberapa
kriteria tersebut tidak terdapat keturunan Quraisy sebagai salah satu
syarat kepemimpinan negara.Hal ini dapat dimengerti kalau Ibnu
Abi Rabi` tidak menetapkan keturunan Quraisy sebagai salah satu
syarat kepemimpian negara, tentu saja pandangannya ini di dasarkan
pada realitas perpolitikan yang sedang berjalan begitu kokoh dan
stabil di era Dinasti Abbasiyah (salah satu komponen keturunan
Quraisy),331terutama pada masa pemerintahan Khalifah Mu`tashim,

330
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
219
331
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 48
390

sehingga tidak terbayangkan oleh Ibnu Abi Rabi` kalau jabatan


kepala negara ( Khalifah, Raja ) bisa pindah ke pihak lain di luar
keturunan Abbas, makanya Ibnu Abi Rabi` tidak menetapkan
keturunan Quraisy sebagai salah satu syarat bagi calon kepala
negara.Ini berbeda dengan kebanyakan para pemikir politik Islam
lain, antaranya al-Mawardi, al-Ghazali, dan lain-lainnya (
sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan berikut nanti )
yang menetapkan keturunan Quraisy sebagai salah satu syarat
kepemimpinan negara (Khalifah, Raja). Pandangan ini pun tentu saja
didasarkan pada realitas politik di lapangan agar situasi politik tetap
eksis, stabil, dan kesatuan umat Islam tetap terpelihara dan tidak
terpecah-pecah. Pandangan ini disampaikan terutama pada saat-saat
politik umat Islam tengah mengalami kemerosotan dalam berbagai
aspek kehidupan perpolitikan, dan pada saat-saat disintegrasi
kesatuan umat terancam.

6.Hak Istimewa Kepala Negara


Hak istimewa yang dimiliki kepala negara di masa dahulu,
terutama di abad-abad klasik dan pertengahan, bahkan sebelum itu,
sudah menjadi tradisi di kalangankepala negara ( khalifah, sulthan
atau raja ). Dengan hak istimewa ini, para kepala negara berpotensi
menjadi penguasa yang absolut, tirani, dan diktator, karena mereka
berkeyakinan bahwa negara miliknya, termasuk di dalamnya
rakyatnya, 332 sehingga mereka bisa bertindak sewenang-wenang
dan melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. al-Qur`an
sendiri menyebutkan salah satu dari sekian banyak kepala negara
yang berperilaku absolut dan diktator, antarnya;Raja Firaun yang
hidup pada masa Nabi Musa yang digambarkannya sebagai seorang
penguasa yang absolut dan diktator.
Islam sebagai agama yang menekankan ajaran rahmatan lil
`alamin, yaitumewujudkan sikap kasih sayang, sopan santun dan
beradab bagi sesama umat manusia dan alam sekitar, mengutuk
perilaku para kepala negara yang absolut, diktator dan tirani. Ajaran
ini telah direalisasikan oleh Nabi Muhammad saw. juga para
332
. Di dalam sejarah alam Melayu dan Nusantara sendirikita jumpai
beberapa ungkapan yang menunjukkan bahwa negara dan seluruh rakyat adalah
milik raja, antaranya; Rakyat Beta. . . . ( rakyatku ), Dengan Sri Paduka Tuan
Raja, rakyat jelata beroleh kemakmuran yang berlimpah ruah. . . . .
391

Khulafa al-Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, serta
para pemimpin umat Islam yang lainnya. Namun demikian, memang
tidak dapat dinafikan ada di antara pemimpin umat Islam yang
bertindak berlebihan ( muthathorrif ) sehingga mungkin sampai ke
tingkat tindakan absolut, dictator, dan tirani. Kemudian apakah hak
istimewa yang dikonsepsikan Ibnu Abi Rabi` itu seperti apa ?
apakah seperti para raja yang bertindak tidak mengenal peri
kemanusiaan ( absolut dan tirani ), ataukah sebatas dalam upaya
menciptakan ketaatan rakyat kepada rajanya tanpa harus melalui
tindakan diktator atau absolut.
Dalam konteks ini, Ibnu Abi Rabi` berbicara tentang konsep
hak istimewa kepala negara (Khalifah, Raja) kemudian dari mana
sumber hak istimewa ini diperoleh ?Pada hakekatnya pemikiran
politik Ibnu Abi Rabi` didasarkan pada teorinya bahwa model
pemerintahan yang terbaik adalah bentuk monarchi atau kerajaan di
bawah pimpinan seorang raja sebagai penguasa tunggal. 333
Pandangan Ibnu Abi Rabi` ini sebenarnya didasarkan pada realitas
perpolitikan yang tengah berjalan di era Dinasti Abbasiyah yang
pada hakekatnya berbentuk kerajaan (monarchi), karena ketika
terjadi pergantian kepemimpiann (raja atau sulthan) dilakukan
berdasarkan mekanisme pengangkatan secara lagsung dan turun
temurun oleh raja atau sulthan yang sedang bertahta kepada putranya
yang kemudian berkedudukan sebagai putra mahkota (waliul
`ahdi).Selain dari itu Aristoteles yang juga sudah berpandangan
bahwa bentuk pemerintahan monarchi adalah model pemerintahan
terbaik.334Hal ini menurut Munawir Sjadzali memberikan alasan
rasional terhadap kekuasaan dan hak istimewa raja yang memiliki
segala keutamaan yang serba lebih (superioritas) dari para warga
negara yang lain. Hak istimewa ini menurutnya lagi, seorang raja
atau sulthan tidak dianggap sebagai warga negara, dalam arti bahwa
seorang raja tidak harus tunduk kepada hukum dan undang-undang,
maka raja seorang kebal hukum, tidak dapat diajukan ke pengadilan
atau tuntutan hukum kepadanya, ini karena raja dianggap sumber
dan pelaksana hukum. Oleh karena raja dianggap memiliki serba
333
. Lihat Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik, h. 103
- 104
334
. Lihat J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus,
Machiavelli ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 ), h. 180
392

lebih (superioritas) dalam berbagai hal, dan dianggap memiliki


kemampuan dalam memenaj politik, maka raja berhak memaksakan
kehendaknya dan perintahnya untuk dilaksanakan.335Kebal hukum
dan dampak yang muncul darinya sebagai hak istimewa para raja,
sebenarnya faham yang berlebihan. Konsep Ibnu Abi Rabi` tentang
hak istimewa bagi para raja atau sulthan tidak sampai pada tahap
kebal hukum. Karena hukum tetap berlaku kepada siapa saja, tanpa
melihat status atau martabat.
Pemikiran politik Ibnu Abi Rabi` terkait dengan hak
istimewa raja (kepala negara) rupanya bukan saja bersumber pada
apa yang disampaikan Aristoteles sebagaimana disebutkan di atas,
tetapi juga berdasarkan interpretasinya terhadap dua ayat al-Qur`an,
yaitu;
1. Surat al-An`am, ayat 165 yang artinya;
Dan Dia ( Allah ) yang menjadikan penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebagian dari kalian atas
sebagian ( yang lain ) beberapa derajat.

2. Surat al-Nisa, ayat 59 yang artinya;


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya, dan pemimpin-pemimpin ( Ulil amri ) kalian.
Berdasarkan dua ayat tersebut, Ibnu Abi Rabi` menegaskan
bahwa Allah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan
segala keutamaan. Hal ini menurut Ibnu Rabi` mejadikan keduduka
mereka di atas bumi semakin kokoh, kata Ibnu Abi Rabi` Allah
mempercayakan hamba-hambanya kepada mereka ( para raja ),
kemudian Allah mewajibkan para Ulama untuk taat kepada
pemerintah mereka.336 Dua ayat al-Qur`an tersebut menunjukan
pengertian bahwa Allah telah memberikan derajat atau pangkat
terhormat kepada para raja atau penguasa, serta kewajiban mentaati
Allah dan Rasul-Nya. Hal inilah kemudian yang dikonsepsikan oleh
Ibnu Abi Rabi` sebagai hak istimewa para raja, khalifah atau
sulthan.
Keistimewaan yang berlebihan (muthathorrif) yang dimiliki
seorang raja dalam memerintah negaranya sebenarnya dalam

335
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 47
336
. Ibid.
393

perspektif pemikiran Islam yang benar, berpotensi terjadinya


penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, dan bahkan
sebagaimana diungkapkan di atas mudah ter-expose ke bentuk
pemerintahan tirani, sehingga mejadi diktator. Di era modern dan
kontemporer bentuk pemerintahan tirani dan diktator sudah semakin
tidak punya pengaruh lagi, meskipun di era inimasih adabeberapa
negara, antaranya; Negara Cuba pada masa Presiden Fidel Castro,
Minyampar (Burma) yang masih bercorak pemerintahan
diktator.Bentuk pemerintahan tirani dan diktator yang semakin
kurang berpengaruh, karenasisi positif da risistem pemerintahan
demokrasi yang sudah berpengaruh besar di berbagai belahan dunia
saat ini.

7.Perangkat-Perangkat Pemerintahan
Seribu satu permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan
politik berada di hadapan seorang kepala negara ( raja, khalifah ),
berbagai persoalan muncul di hadapannya, dan ini tidak mungkin
dapat diselesaikan sendiri, tanpa ada yang membantunya. Oleh
karenanya dia memerlukan para deputi atau wakil, para pembantu
(al-A`wan wa al-Atba`) dalam mengelola berbagai permasalahan dan
urusan kenegaraan, maka kepala negara memerlukan Menteri
(Wazir), Sekretaris (Katib), Protokoler (Hajib), Qadhi (al-Qadhi),
Menajer atau Kepala Bagian (`Amil), Polisi ( Syurthoh ), Tentara
(Jundi, `Asykar).337 Semua itu menurut Ibnu Abi Rabi` merupakan
perangkat-perangkat pemerintahan yang bertugas pada berbagai
bidang atau sektor. Berikut ini penjelasan singkat mengenai masing-
masing perangkat tersebut;
1. Menteri(Wazir);
Dalam konteks ini, Ibnu Abi Rabi` menjelaskan bahwa
seorang kepala negara (Raja, Khalifah) memerlukan seorang
Menteri atau beberapa Menteri yang bertugas mengelola
berbagai bidang, menangani berbagai kasus yang sering
terjadi dalam sepanjang tahun, meng-identifikasi pengelolaan
negara yang mungkin lebih efektif. Pemikiran Ibnu Abi
Rabi` ini didasarkan pada apa yang dilakuka Nabi

337
. Muhammad Jalal Syaraf, et al , al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
230
394

Muhammad saw. sebagai pemimpin umat, meskipun Nabi


sendiri diberi oleh Allah semua kelebihan (keistimewaan),
diberi kedudukan (posisi) terhormat, diberi mukzizat al-
Qur`an, diperkuat dengan para Malaikat yang selalu
membantunya. Namun demikian, Nabi tetap mengangkat
(melantik) Ali bin Abi Thalibsebagai Menterinya, dan Abu
Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan sebagai
para penasehat. Hal ini sesuai dengan apa yangdisampaikan
Nabi kepada Ali. . . Anta minniy bimanzilati Harun min
Musa. Artinya kedudukan anda dengan saya seperti
kedudukan Nabi Harun dengan Nabi Musa. Pernyataan Nabi
ini dipahami sebagai bukti pengangkatan Ali pada posisi
(wakil atau deputi) seperti posisi Nabi Harun bagi Nabi
Musa. Jadi, Menteri menurut Ibnu Abi Rabi` adalah pejabat
yang sama-sama (al-Syarik) bertugas mengelola semua
aktivitas dan pekerjaan strategis, baik keputusan melalui
pernyataan, atau pun melalui tindakan real sebagai kebijakan
pemerintah.

2. Sekretaris (Katib).
Sekretaris menurut Ibnu Abi Rabi` adalah juru bicara raja (
lisanul Malik ), baik yang berkaitan dengan masalah-
masalah khusus (rahasia), atau pun yang menyangkut
masalah-masalah umum. Selanjutnya Ibnu abi Rabi`
menjelaskan bahwa sekretaris terbagi menjadi empat bagian;
1).Sekretaris pembangunan kemajuan negara(Katib al-
Khadharah). 2). Sekretaris urusan Ketentaraan (Katib al-
Jaesy). 3). Sekretarisbidang hukum (Katib al-Ahkam), dan
4). Sekretaris Pajak (Katib al-Kharraj).

3. Protokoler (Hajib ).
Yaitu orang-orang yang bertugas sebagai perantara (al-
wasithah)antara raja (Kepala negara) dengan siapa saja yang
mau bertemu dengan raja. Hal ini bertujuan untuk menjaga
ketertiban dan keamanan yang mungkin saja terjadi
kekacauan atau keributan jika tidak dimenej dengan baik.
395

4. Qadhi ( al-Qadhi ).
Menurut Ibnu Abi Rabi` Qadhi adalah orang yang bertugas
memberikan pertimbangan kepada raja (mizan al-Malik)
tentang berbagai permasalahan politik, terutama terkait
dengan masalahan hukum.

5. Polisi (Surthah).
Ibnu Abi Rabi menjelaskan siapa itu polisi ?Polisi
menurutnya ialah orang-orang yang bertanggung jawab atas
keamanan dalam negeri (tahqiq al-amni al-dakhiliy).

6. Tentara(Jundi.)dalam istilah kontemporer `Asykar ).


Ibnu Abi Rabi` menjelaskan siapa tentara ? Tentara atau
dalam istilah kontemporer`Asykar, menurutnya adalah
orang-orang yang mengangkat senjata atau angkatan
bersenjata melawan musuh di manapun berada.

7. Kepala daerah ( al-`Amil ).


Kepala daerah atau `Amil dalam penjelasan Ibnu Abi Rabi`
adalah al-Wali, yaitu orang-orang yang bertanggung jawab
dalam memimpin daerah atau wilayahnya, seperti antaranya;
menarik pajak untuk disimpan di pembendaharaan negara
(baytal-mal), dan dipergunakan untuk kepentingan negara.

8. Bendahara Negara ( Khazinal-Mal ).


Ibnu Abi Rabi`menjelaskan bahwa bendahara negara
(khazinal-mal) menjadi kekuatan negara( di era modern,
bendahara negara berada dalam wewenang Menteri
Perekonomian atau Menteri Keungan ). Hal ni karenanegara
banyak bergantung pada kekuatan harta (al-mal) atau
ekonomi. Jika ekonomi suatu negara kuat, maka negara pun
mejadi kuat. Untuk menjadikan harta kekayaan atau ekonomi
(al-mal) kuat,menurut Ibnu Abi Rabi` negara memerlukan
beberapa langkah kebijakan strategis, antaranya;

 Anjuran untuk menyimpan dan mengembangkan


harta kekayaan atau ekonomi. Hal ini dapat dilakukan
396

dengan mengeluarkan perintah kepada rakyat untuk


berusaha memperbanyak pembangunan, yaitu;
membangun pertumbuhan ekonomi.
 Menyeleksi orang-orang terpercaya (jujur, amanah)
untuk mengelola dan menjaganya. Karena seorang
bendahara harus dari kalangan orang-orang yang
amanah (al-amin) terhadap apa yang dikelolanya.
Kemudian juga harus dari orang yangpunya harta,
yaitu; orang kaya atau berduit sehingga dia tidak
tergiur ketika melihat harta banyak (uang negara).
Demikian juga harus dari orang-orang yang terhindar
dari perbuatan khianat.
 Menentukan tempat yang aman untuk menyimpan
harta kekayaan negara, karena harta negara harus
berada dalam simpanan yang aman, jauh dari
pandangan mata, dalam arti tempat yang tidak mudah
dilihat oleh pandangan mata umum.

9. Hakim( al-Hakim ).
Dalam hal ini Ibnu Abi Rabi` agak berbeda memberikan
pengertian tentang hakim. Dia menjelaskan bahwa Hakim
dimaksudkan adalah dokter (Thabib) yang bertugas
melakukan pengobatan kepada raja (kepala negara) dan
menjaga kesehatannya. Istilah Hakim pada masa dahulu,
menurut Ibnu abi Rabi` dipergunakan untuk sebutan para
Failusuf, dalam arti orang-orang yang bijak dan cerdas
pemikirannya, serta mendalam tentang suatu masalah
terutama dalam konteks ini yang terkait dengan masalah-
masalah kedokteran. Para Failusuf memberi perhatian penuh
dengan rasio akal mereka, sementara para dokter memberi
perhatian penuh tentangkesehatan jasad.

10. Ajudan( Jalis). Yaitu orang yang selalu bersama raja ke


mana saja dan kapan saja, membicarakan dan mendiskusikan
situasi politik dari waktu ke waktu. Dalam konteks ini Ibnu
Abi Rabi`menekankan pada perilaku seorang ajudan ( Jalis ),
yaitu orangnya harus saleh, dan menurut Ibnu Abi Rabi`
397

bahwaajudan tidak kalah pentingnya dari Wazir, Hajib,


Hakim, `Amil di dalam mengelola urusan pemerintahan.

11. Urusan dapur Istana ( Shahib al-Tha`am wa al-Syarab ),


yaitu bidang urusan logistik, terutama dalam hal menyiapkan
konsumsi untuk raja dan keluarganya. Ibnu Abi Rabi dalam
konteks ini menegaskan bahwa bidang ini dianggap paling
rawan terhadap kehidupan raja.338karena makanan dan
minuman yang akan disajikan kepada raja harus steril dan
sehat,terhindar dari racun dan bakteri. Jika tidak. . . maka
akan membahayakan kesehatan dan nyawa raja (kepala
negara). Oleh karena itu, orang yang akan bertugas urusan
dapur Istana menurut Ibnu Abi Rabi` disyaratkan harus
orang yang terpercaya ( tsiqah), jujur dan memiliki sifat-sifat
lain yang baik.

Demikian, pemikiran politik Ibnu Abi Rabi` tentang


beberapa perangkat pemerintahan yang akan bertugas mengelola
berbagai bidang dan urusan kenegaraan, serta berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Keberadaan perangkat-perangkat
pemerintahan tersebut menjadi sangat penting dalam menata
kehidupan perpolitikan, sehingga pemerintahan dapat berjalan
dengan baik sesuai dengan kebijakan dan aturan yang telah
ditetapkan.

BAB VII
PEMIKIRAN POLITIK
AL-FARABI

338
. Ibnu Abi Rabi`, Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik, h. 126 -
134
398

1.Latar Belakang dan Situasi Politik Masa al-Farabi


Al-Farabi adalah Nashar Muhammad bin Muhammad bin
Thurkhan bin Unzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Turkey dari seorang
ayah berketurunan Turkey dan ibu berketurunan Persia (Iran).
Tepatnya dia dilahirkan di kota Wasij, wilayah Farab, termasuk
wilayah Turkistan pada tahun 257 H./ 870 M. dan wafat pada tahun
339 H./950 M.339Al-Farabi masa hidupnya pernah berguru kepada
seorang Ilmuan Kristen Nastura, yaitu; Abu Bisyir Matta bin Yunus,
seorang penerjemah banyak karya Plato dan pemikir-pemikir Yunani
yang lain. Tidak cukup belajar dengan Abu Bisyir Matta bin Yunus,
al-Farabi juga belajar kepada seorag Ilmuan Kristen yang lain di
Harran, yaitu; Yohana bin Heilan. Pada zaman pemerintahan
Khalifah Muqtadir (dari Dinasti Abbasiyah), al-Farabi belajar
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, antaranya; Ilmu Bahasa Arab
(Nahu Sharaf), Logika (Mantiq), Ilmu Pasti, Kedokteran, Musik, dan
lain-lain kepada guru-guru yang lain, antaranya; Abu Bakar bin
Siraj. 340
Sebagai seorang Ilmuan, al-Farabi dari segi pamor jauh lebih
terkenal (masyhur) dibanding Ibnu Abi Rabi. Al-Farabi tergolong
tokoh Filsafat terkemuka di Dunia Islam ( Kana akbaru Falasifah
al-Muslimin `alal ithlaqhaytsu ansya`a mazhaban falsafiyan
kaamilan). Halini sebagaimana diakui oleh para Sarjana, baik di
Timur atau pun di Barat. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa al-
Farabi memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam
memahami Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Antropologi), Matematika,
Kimia, Ilmu Ketentaraan (al-Ulum al-`Asykariyah), Musik, Ilmu
Pengetahuan Alam (al-Ulum al-Thabi`iyah), Ilmu-ilmu Ketuhanan
(al-Ilahiyyah), Ilmu Peradaban Manusia (al-Ilmu al-Madaniy), Ilmu
Fiqh (al-Fiqh), Mantiq (Logika), Akhlak (Etika dan Moral), dan
Politik. 341Banyak kalangan para Ulama dan Pemikir, antaranya; Ibnu
Sina dan Ibnu Rusydi dan lain-lain merujuk kepada al-Farabi dalam
penelitianmereka. Oleh karena itu, al-Farabi dianggap sebagai guru
kedua (al-Muallim al-Tsani) dalam hazanah peradaban Islam, di

339
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
245
340
. Ibid.
341
. Ibid, h. 247
399

mana Aristoteles dianggap sebagai guru pertama (al-Muallim al-


awwal) dalamhazanah peradaban Yunani. 342
Karya-karya al-Farabi sangat beragam dan banyak sekali,
setidaknya ada delapan belas (18) buku (kitab) yang ditulisnya. Tiga
buku di antaranya berkaitan dengan pandangan-pandanganya
tentang teori politik, yaitu;
1. Ara` Ahl al-Madinah al-Fadhilah(Pandangan Penduduk
Negara Ideal).
2. Tahsil al-Sa`adah (Mencapai Kebahagiaan atau
Kesejahteraan).
3. Al-Siyasah al-Madaniyah (Politik Orang-orang
343
Berperadaban).
Latar belakang situasi dan kondisi politik pada masa
hidupnya al-Farabi di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah sangat
kacau dan tidak kondusif. Hal ini karena banyaknya goncangan
sebagai akibat dari berbagai gejolak, gesekan, konflik, dan
pemberontakan; suatu periode pemerintahan yang paling buruk
dalam sepanjang sejarah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Situasi
ini berdampak pada tidak adanya stabilitas politik dalam kehidupan
masyarakat dan penduduk wilayah kekuasaan pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, khususnya antara era pemerintahan Khalifah al-
Mu`tamid sampai Khalifah al-Mu`thi`. 344Kondisi ini diperparah
dengan adanya tindakan konspirasi dari anak-anak para penguasa
dan pemerintah di masa lalu yang berupaya mempertahankanstatus
quo, kembali untuk berkuasa sebagaimana kakek-kakek mereka
dahulu. Hal ini terjadi, terutama di Persia dan Turkey. 345Secara rinci
dapat disampaikan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya
goncangan-goncangan ini sebagai berikut;
Pertama;Masalah kehidupan keagamaan (diniyyah), masalah
ras,etnik (syu`ubiyah), budaya (tsaqafiyyah), dan lain-
lain.
Kedua;Pada periode ini juga bermnculan berbagai gerakan dan
konspirasi yang dilakukan oleh anak-anak mantan para

342
. Ibid, h. 247
343
. Ibid. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 49
344
. Muhammad Jalal Syraf, et al. al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250
345
. Ibid.
400

raja dan para pemimpin negara dahulu, mereka berusaha


mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan yang
pernah dikuasai oleh nenek moyang mereka dahulu,
khususnya di wilayah Persia (Iran) dan Turkey. Mereka
berupaya dengan berbagai cara untuk melemahkan pusat
pemerintahan yang berada di tangan Khalifah. Upaya ini
dilakukan dengan bekerja sama dengan gerakan
kelompok Syiah yang sudah lama menentang
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, dan bahkan
pemerintahan Umayyah sebelum ini.
Ketiga: Pada masa hidupnya al-Farabi, juga muncul situasi yang
memberi takanan kepada para penguasa sebagai
implikasi dari menghilangnya Imam terakhir ( Ikhtifa al-
Imam al-akhir ) dari Imam dua belas kelompok Syiah
Imamiyah Itsnay `Asyariayah, yaitu Muhammad al-
Mahdi al-Muntazar; seorang Imam ke dua belas dalam
pahaman Syiah Imamiyah al-Itsnay `asyariyah.
Menghilangnya Imam al-Mahdi al-Muntazar saat dia
berumur sekitar tiga belas tahun, tetapi ada yang menyatakan sekitar
berumur empat atau lima tahun. 346Peristiwa menghilangnya Imam
kedua belas ini dalam keyakinanSyiah Imamiyah dua belas (
Imamiyah Itsnai `Asyariyah ) memberi tekanan hebat pada situasi
politik dan keagamaan (ta`tsiran dokhman `alal audho` al-siyasah
wa al-diniyah). Dampak ini dapat dilihat ketika pemerintahan Bani
Buayh dan Maiziyah (keduanya berpahaman Syiah) telah
mengadakan perayaan tanggal 10 bulan Muharram sebagai
memperingati hari berkabung atau kesedihan yang menimpa di
Karbala, yaitu peristiwa terbnuhnya Imam Hasan bin Ali bin Abi
Thalib. Perayaan tanggal 10 bulan Muharram ini kemudian dikenal
dengan hari Karbala yang menjadi tradisi di kalangan umat Islam
Syiah Imamiyah Itsnaiy `Asyariah.

346
. Kontroversi mengenai kapan hilangnya Imam kedua belas versi umat
Islam SYiah, Munawir Sjadzali menyatakan bahwa ketika Muhammad al-Mahdi
menghilang, dia berumur sekitar empat atau lima tahun. Memang mengenai umur
Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazar saat menghilang itu berapa sebenarnya
menjadi polemik, mungkin sekitar umur tiga belas tahun atau sekitar empat atau
lima tahun. Lihat Munawir Sjazda,Islam dan Tata Negara, h. 49
401

Dari berbagai peristiwa dan situasi politik yang penuh


gejolak sebagaimana disebutkan di atas, Munawir Sjadzali
menegaskan bahwa al-Farabikemudian gemar berkhalwat atau
mengisolir diri dan merenung, dia merasa terpanggil untuk mencari
pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal. 347
Seolah-olah al-Farabi tidak peduli dengan hiruk pikuk perpolitikan
yang tengah terjadi saat itu, meskipun begitu al-Farabi tetap
mengamati apa yang terjadi di sekelilingnya.

2.Hubungan Politik Dengan Akhlak


Al-Farabi menjadikan politik sebagai ilmu yang sangat
penting, di mana ilmu-ilmu lainnya melayaniilmu politik. Oleh
karena itu, dapat ditegaskan bahwa kecenderungan pada politik
menguasai pemikiran al-Farabi, dan bahkan politik mengarahkannya
pada suatu pendirian bahwa masalah-masalah filsafat semuanya
tunduk (dalam arti melayani) pada politik.348
Dengan demikian, al-Farabi telah menghubungkan hal-hal
yang ideal (al-fadhail) dengan mazhab politiknya (bi mazahibihi al-
siyasiy), di mana al-Farabi berpendirian bahwa untuk mencapai hal-
hal ideal (al-fadhail) yang bermacam-macam itu, baik aspek
pemikiran, akhlak (moral, etika yang baik), wawasan, pemberdayaan
kinerja (al-shanaatu al-`amaliyah) pada umat, semuanya dapat
dicapai secara efektif melalui dua pola utama, yaitu; melalui
pengajaran dan praktek ( al-ta`lim wa al-ta`dib ). Pengajaran (al-
ta`lim) adalah pola untuk melahirkan pandangan-pandangan ideal
tentang umat dan peradaban mereka. Sementara praktek (al-ta`dib)
adalah pola untuk menciptakan atau melahirkan perilaku atau
tindakan-tindakan ideal, pemberdayaan kinerja yang ideal bagi umat.
Pengajaran (al-ta`lim) dapat dilakukan melalui ucapan, sementara
praktek bisa melalui ucapan, dan bisa juga melalui tindakan atau
perbuatan. Atas dasar inilah gagasan-gagasan al-Farabi terkait
dengan akhlak (perilaku yang baik) ada hubungan yang sangat erat
dengan mazhab filsafat al-Farabi, terutama mazhab politiknya, Hal
ini karena pengajaran dan praktek tidak dapat sempurna atau efektif,

347
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 50
348
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
250
402

melainkan harus ditangani oleh seorang pengajar dan pendidik


(mu`allim dan mu`addib). Seorang pengajar dan pendidik ini
menurut al-Farabi adalah sebenarnya kepala negara (Rais al-
Madinah)atau orang yang mewakili kepala negara.349 Dengan
demikian, al-Farabi telah menghubungkan politik dengan akhlak dan
filsafat. Namun demikian, sebenarnya hal yang sama sudah
dilakukan oleh para Failosof Yunani dahulu. Neo Platonisme sudah
menghubungkan pandangan politik mereka dengan akhlak dan
filsafat.

3.TeoriAsal Usul Negara


Dalam konteks sub pembahasan ini, al-Farabi berpendapat
bahwa manusia mempunyai kecendrungan untuk hidup berkumpul
dan bermasyarakat. Kecendrungan ini menurutnya adalah fitrahatau
alami, yaitu karakter dasar yang ada pada manusia. 350 Hal ini karena
manusia tidak akan mencapai kesempurnaan hidupnya jika dalam
keadaan sendirian. Oleh karena itu, manusia memerlukan bantuan
manusia lain untuk mencapai kesempurnaan tersebut. Dalam
konteks ini al-Farabi menegaskan bahwa manusia secara individu
tidak mungkin mencapai kesempurnaan hidup tanpa bantuan orang
lain (orang banyak) karena secara fitrah bahwa setiap manusia selalu
berinteraksi dengan manusia lain untuk mendapatkan apa yang
menjadi kemestianya. Oleh karena itu setiap manusia
memerlukanbantuan manusia lainnya untuk mencapai kesempurnaan
hidup tersebut, maka manusia selalu hidup berdampingan dan
menetap di suatu tempat dan bertempat tinggal. Oleh karena itu
manusia disebut makhluk sosial (hayawanun ijtimaiyyun).351Apa
yang disampaikan al-Farabi bahwa manusia adalah makhluk sosial
atau secara karakteristiknya adalah makhluk berperadaban
(madaniyyun). Pandangan ini sama seperti yang disampaikan Plato
dan Aristoteles di alam pemikiran Yunani, begitu juga telah
disampaikan Ibnu Abi Rabi` di dunia Islam. 352 Atas dasar
kecenderungan manusia untuk berkomunikasi, berkumpul,

349
. Ibid. h. 250 - 251
350
. Ibid. h. 255
351
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 255.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 50 - 51
352
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 255
403

bermasyarakat, bertempat tinggal di suatu tempat, maka kemudian


dengan sendirinya secara alami akan muncul seorang pemimpin (
bersama dengan para pembantunya ). Selanjutnya dari waktu ke
waktu sesuai dengan tingkat evolusi dinamika kehidupan pada
akhirnya terbentuklah kepemimpinan yang diakui oleh
masyarakatnya sendiri, dari sini terbentuklah pemerintahan atau
negara.
Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa tujuan mulia
manusia dalam kehidupan mereka sebenarnya dalam pandangan al-
Farabi adalah bukan saja sebatas untuk bermasyarakat sebagai suatu
hal yang sudah menjadi kemestian bagi kehidupan mereka, tetapi
lebih dari itu adalah untuk menghasilkan kesempurnaan hidup. Dari
kesempurnaan hidup ini akan diperoleh kesejahteraan dan
kebahagiaan. Memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan ini tidak
saja sebatas di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanri.
Demikianlah pemikiran al-Farabiy yang didasarkan pada orientasi
akhlak dan agama dalam kerangka teori dan pemikiran politiknya. 353
Selanjutnya al-Farabi mengklasifikasikan masyarakat ke
dalam beberapa kategori, yaitu; masyarakat sempurna dan
masyarakat tidak sempurna, berikut ini penjelasan masing-masing;

3.1.Masyarakat sempurna
Masyarakat sempurna ini terbagi ke dalam tiga bagian
masyarakat, yaitu;
a. Masyarakat sempurna besar;
Masyarakat sempurna besar adalah bentuk masyarakat
yang terdiri dari berbagai bangsa dan bertempat tinggal
di berbagai wilayah dan mengadakan persatuan serta
sepakat untuk membentuk gabungan atau organisasi
besar yang saling membantu serta bekerja sama untuk
mencapai tujuan yang sama. Dalam kata lain masyarakat
sempurna besar dalam kerangka pikir al-Farabi adalah
bentuk masyarakat perserikatan bangsa-bangsa.
b. Masyarakat sempurna sedang;
Masyarakat sempurna sedang adalah bentuk masyarakat
yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni di satu

353
.Ibid. h. 255 - 256
404

wilayah. Dalam pemahaman yang mudah di pahami


kerangka pemikiran al-Farabi tentang masyarakat
sempurna sedang adalah masyarakat dalam bentuk
negara nasional.
c. Masyarakat sempurna kecil.
Masyarakat sempurna kecil menurut pandangan al-Farabi
adalah bentuk masyarakat yang terdiri dari para penghuni
yang menduduki satu kota, atau masyarakat sempurna
kecil adalah bentuk negara kota.354

3.2.Masyarakat tidak sempurna


Masyarakat tidak sempurna (belum sempurna) menurut al-
Farabi adalah kehidupan masyarakat yang berada di tingkat desa,
kampung, lorong (gang) dan keluarga. Di antara beberapa
masyarakat tidak sempurna tersebut adalah kehidupan sosial di
dalam rumah atau keluarga, dan ini merupakan kehidupan
masyarakat yang paling tidak sempurna. Selanjutnya al-Farabi
berbicara tentang pembagian masyarakat ini secara herarkis dan
administratif, yaitu bahwa keluarga sebagai bagian dari masyarakat
lorong (gang). Masyarakat lorong sebagai bagian dari masyarakat
kampung. Masyarakat kampung atau desa sebagai bagian dari
masyarakat negara kota. Oleh karena itu menurut al-Farabiy
terbentuknya masyarakat kampung dan desa diperlukan oleh negara
kota. Hanya saja masyarakat kampung dalam pemikiran al-Farabi
merupakan bagian dari negara kota, sementara masyarakat desa
dalam hubunganya dengan negara kota sebagai pelengkap untuk
memberikan pelayanan pada keperluan negara kota.355
Bagaimana al-Farabi berpandangan bahwa bentuk-bentuk
unit pergaulan sosialtersebut dianggap tidak sempurna. Untuk
memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, Munawir Sjadzali
mencoba memberikan jawabanya, yaitu; bahwa unit-unit pergaulan
sosial di atas tidak cukup lengkap untuk berswasembada dan mandiri
dalam memenuhi kebutuhan para warganya, baik kebutuhan
ekonomi, pendidikan, budaya ataupun spiritual. 356Barangkali dapat
354
. Ibid. h. 263 – 264. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 51 -52
355
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 52
356
. Ibid.
405

ditegaskan lebih jelas bahwa sempurna atau tidak sempurna dalam


kaitannya dengan kategorisasi masyrakat sebagaimana disampaikan
al-Farabi adalah ditinjau dari aspek sosiologis, bukan berdasarkan
pada pencapaian individu dalam suatu bidang atau skill.

4.Negara Dalam Konsepsi Al-Farabi


Al-Farabi tidak banyak bicara tentang bagaimana bentuk
negara seharusnya, apakah dalam bentuk monarchi atau syura. Hal
ini karena al-Farabi lebih banyak terfokus pada pembahasan tentang
kepala negara. Kepala negara dalam persepsi al-Farabi menjadi
titik tolak dalam teori politiknya menegenai negara secara
keseluruhan, menyangkut berbagai aspeknya, 357sebagaimana akan
dibicarakan pada pembahasan lebih lanjut tentang kepala negara.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa al-Farabi tidak
mempersoalkan bentuk negara seperti apa, apakah monarchi atau
khilafah. Oleh karenanya al-Farabi mengakui sistem pemerintahan
yang tengah berjalan pada masa hidupnya, atau mungkinal-Farabi
tidak peduli dengan sistem pemerintahan yang tengah berjalan
seperti apa, yang penting bagaimana kepala negara. Hal ini dapat
dipastikan bentuk negara yang berjalan pada masa hidupnya al-
Farabi adalah bentuk monarchi, meskipun kepala negara disebut
dengan berbagai gelar, Khalifah, Sulthan, atau Raja. Meskipun
demikian al-Farabi bicara juga tentang negara tetapi sebagai satu
kesatuan, terstruktur di bawah satu kordinasi kepemimpinanyang
dibantu oleh para pembantu setia yang berada pada berbagai
tingkatannya dari tingkat atas sampai bawah. Negara yang dibentuk
seperti ini dalam konsepsi al-Farabi disebut negara utama (negara
ideal). Namun sebelum bicara lebih lanjut mengenai negara utama,
al-Farabi berbicara mengenai pembagian negara. Menurutnya negara
terbagi ke dalam beberap kategori, yaitu; Negara utama (al-madinah
al-Fadhilah), Negara bodoh ( al-Madinah al-jahilah ), Negara fasik
(al-Madinah al-fasiqah), Negara sesat (al-Madinah al-dhallah),
Negara rawan konflik, yaitu negara yang tidak stabil dan sering
berganti-ganti pemerintahan ( al-Madinah al-mutabaddilah ).358

357
. Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu (
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991 ), h. 75
358
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam. h. 264
406

Namun demikian dari beberapa pembagian negara tersebut yang


akan menjadi fokus bahasan dalam konteks ini adalah negara utama.
Negara utama, al-Farabi menyebutnya al-Madinah al-
Fadhilah adalah sebuah negara di mana masyarakatnya bersatu
padu dan saling bantu membantu antara sesama mereka dalam
mencapai kebahagiaan (al-sa`adah) dengan sebenar-benarnya.359
Jadi negara yang mempunyai rakyat dan memliki sikap saling tolong
menolong (bekerja sama) antara sesama mereka dalam rangka
mencapai kebahagiaan atau kesejahteraan, maka pada hakikatnya
menurut al-Farabi adalah negara utama(al-madinah al-fadhilah ).360
Al-Farabi yakin bahwa semua kesempurnaandan kebahagiaan hidup
(to get perfection and happiness) hanya dapat diperoleh melalui
perantaraan negara yang dibangun atas dasar persatuan masyarakat
atau rakyat serta bekerja untuk negara. Realitas inilah yang
diisyaratkan al-Farabi dalam mengkonsepsikan negara idealnya (
negara utama ), yaitu adanya kesempurnaan saling bantu membantu
antara sesama anggota masyarakat atau umat untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. 361
Selanjutnya dalam menjelaskan negara ideal (al-Madinah al-
Fadhilah), al-Farabi menganalogikannya dengan tubuh manusia
yang utuh dan sehat, di mana semua organ dan anggota badannya
bekerja sama sesuai dengan tugasnya masing-masing. Tubuh
manusia sebagai dikatannya mempunyai sejumlah organ atau
anggota badan dengan berbagai fungsi yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya dengan kadar kekuatan dan tingkat kepentingan
yang tidak sama pula, dan dari organ yang banyak itu terdapat satu
organ pokok dan paling penting, yaitujantung (al-qolb) dan
beberapa organ lain yang tingkat kepentingannya sama dengan
jantung, dan organ-organ ini bekerja sesuai dengan kodratnya
masing-masing membantu jantung. Organ-organ ini bersma-sama
jantung menduduki tingkat pertama. Selain dari itu terdapat
sekelompok organ lain yang kerjanya membantu dan melayani
organ-organ pendukung jantung, dan organ-organ ini berada pada

359
. Ibid. h. 263. Lihat juga Idris Zakaria, Teori Politik Al-Farabi dan
Masyarakat Melayu, h. 46
360
. Lihat Idris Zakaria, Teori Politik Al-Farabi dan Masyarakat Melayu
( Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991 ), h. 46
361
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 263
407

tingkat kedua. Kemudian terdapat sekelompok organ lain lagi yang


tugasnya melayani organ-organ tingkat kedua tadi, dan demikian
seterusnya sampai kepada anggota-anggota badan yang tugasnya
hanya melayani anggota-anggota tubuh yang lain yang tidak
dilayani. 362
Demikian pula halnya dengan negara. Menurut al-Farabi
negara mempunyai warga-warganya dengan skill dan kapabelitas
yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Di antara
mereka terdapat seorang kepala (pemimpin), dan sejumlah warga
yang posisinya mendekati level kepala, dan masing-masing dari
mereka memiliki bakat dan keahlian untuk melaksnakan tugas-tugas
yang mendukung kebijakan kepala. Mereka ini bersama-sama
kepala termasuk level pertama. Di bawah mereka terdapat
sekelompok warga yang tugasnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
untuk membantu warga-warganya level pertama tadi, dan kelompok
ini berada pada posisi kedua. Kemudian di bawah mereka terdapat
kelompok lain lagi yang bertugas membantu kelas yang di atasnya,
dan seterusnya sampai kepada kelas terakhir dan terendah yang
terdiri dari warga-warga yang tugasnya dalam negara itu hanya
melayani kelas-kelas yang lain, dan mereka sendiri tidak dilayani
oleh siapa pun. 363
Berdasarkan apa yang disampaikan al-Farabi tentang
konsepsi negara, dapat ditegaskan bahwa negara merupakan satu
kesatuan di bawah satu kordinasi seorang pemimpin. Adanya
keharusan saling bantu membantu antara sesama mereka sesuai
dengan skill dan kapabelitas yang dimiliki mereka masing-masing.
Deskripsi negara yang dianalogikan dengan sebuah tubuh manusia
yang utuh dan sehat, di mana tubuh manusia memiliki berbagai
organ yang bekerja sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-
masing, dari semua organ tubuh manusia ini ada satu organ yang
paling utama dan penting, yaitu hati (al-qalbu). Organ tubuh inilah
(hati,al-qalb)menurut jalan pemikiran al-Farabi adalah penguasa
yang mengarahkan organ-organ tubuh yang lain, sama seperti kepala
negara dalam sebuah negara.
362
. Ibid. h. 364. Lihat juga Munawir Sjadezali, Islam dan Tata Negara.
h. 53
363
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 364 –
365. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 53 -54
408

5.Sosok Seorang Kepala Negara


Dalam keseluruhan pemikiran politik al-Farabi tidak
diperoleh dengan jelas penjelasan tentang pola dan mekanisme
pemilihan calon kepala negara (khalifah, raja). Bahkan di dalam
pembahasan mengenai sosok seorang kepala negara pun(rais al-
madinah ), al-Farabi langsung bicara tentang sosok seseorang yang
layak untuk menjadi kepala negara dengan beberapa kriteria dan
ketentuan syarat yang diterapkan al-Farabi. Bagaimana melahirkan
seorang calon kepala negara yang berkualitas, sesuai dengan
konsepsinya tentang negara yang diklasifikasikan ke dalam beberapa
kategori melalui ciri-ciri khusus dan karakternya sebagaimana telah
disebutkan di atas, yaitu;al-Madinah al-Fadhilah (negara kota utama
atau ideal ), al-Madinah al-Jahilah (negara bodoh); yaitu negara
yang rakyatnya tidak mengenal kebahagiaan (al-sa`adah,
happiness), al-Madinah al-Fasiqah (negara fasik), dan
sebagainya. 364
Tidak adanya penjelasan tentang bagaimana pola dan
mekanisme pemilihan calon kepala negara dalam pemikiran politik
al-Farabi menunjukkan bahwa al-Farabi setuju ( mengamini)
terhadap pola pergantian kepemimpinan negara yang sudah menjadi
tradisi sekian lama, yaitu; pola pergantian kepemimpinan secara
turun temurun melalui penunjukkan langsung oleh kepala negara
(khalifah, raja) yang sedang berkuasa kepada putranya yang
dikehendaki sebagai putra mahkota.Dari sisi lain, mungkin karena
saat itu mekanisme pemilihan calon kepala negara dilakukan
pengangkatan secara langsung dianggap terbaik, sehingga al-Farabi
tidak merasa perlu menawarkan opsi lain tentang pola dan
mekanisme pemilihan calon kepala negara yang lain, selain pola
pemilihan yang dilakukan secara langsung melalui penunjukkan
berdasarkan garis keturunan (ahli waris kepemimpinan)
sebagaimana yang sudah menjadi tradisi pada sistem pemerinthan
monarchi atau kerajaan. Atau mungkin juga al-Farabi sebagai
seorang Filosof dan pemikir handal seolah dia hidup di alam tidak

364
. Lihat Muhammad Jalal syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
h. 264 - 277
409

nyata ( un real ), sehingga dia tidak sadar terhadap situasi sosial


politik yang carutmarut di masa hidupnya.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa kepala negara
sebagai pilar utama dalam sebuah negara adalah sangat penting dan
sangat menentukan perjalanan perpolitikan pemerintahan, tanpa
kepala negara sebuah pemerintahan tidak akan berdiri, maka
menjadi keniscayaan keberadaan kepala negara sebagai pelindung,
penjaga, penggerak, pengarah, dan pengelola terhadap rakyat dan
negaranya secara keseluruhan.Dalam konteks ini, al-Farabi
menegaskan bahwa sesuai dengan teorinya tentang pembagian
warga negara ke dalam beberapa kelas,365 al-Farabi menegaskan
bahwa tidak semua warga negra layak (la yasluhu)menjadi kepala
negara (rais al-Madinah), karena orang yang bisa menjadi kepala
negara menurutnya hanyalah orang-orang atau manusia yang paling
sempurna (akmalun Nas) dan dari kelas (martabat) tertinggi, dan
dibantu (yusyariku) oleh orang-orang pilihan yang juga dari kelas
utama ( bangsawan ), di mana kepemimpinan mereka di bawah
kepala negara, 366 dan atas nama kepala negara, mereka memimpin
orang-orang kelas di bawahnya. Hal ini menurut Munawir Sjadzali
berarti bahwa warga-warga negara selain kepala negara tidak sama
tingkatannya (martabatnya) antara satu sama lain. Tinggi dan
rendahnya tingkat mereka dalam memangku suatu jabatan
ditentukan oleh dekat dan jauhnya hubungan dengan kepala negara.
Jika di antara mereka dekat dengan kepala negara, maka kedudukan
dan tingkat mereka tinggi, sebaliknya jika mereka jauh dari kepala
negara, maka tingkat mereka-pun rendah. 367Apa yang dimaksud
dengan tinggi dan rendah tingkat (martabat) warga negara dalam

365
. Menurut al-Farabi negara memilki banyak warga atau penduduk
dengan bakat (skill) dan kemampuan (kapabelitas) yang berbeda-beda di antara
mereka; ada seorang kepala negara, dan sejumlah warga negara yang kelas atau
martabatnya menduduki kelas ( martabat ) kepala negara, mereka bersama kepala
negara menduduki kelas pertama. Kelompok kedua adalah sekelompok warga
yang bertugas mengerjakan hal-hal yang membantu warga kelas pertama. Di
bawah kelompok kedua ada kelompok kelas ketiga, yaitu kelompok yang bertugas
membantru kelompok di atasnya. Demikian seterusnya. Lihat Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara, h. 53
366
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam,
h.266
367
. Ibid. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 55
410

pandangan al-Farabi ditentukan oleh dekat atau jauhnya mereka


dengan kepala negara. ini dimaksudkan terkait dengan saat mereka
memangku sebuah jabatan, bukan tinggi rendahnya derajat ( kelas )
sesorang di hadapan Allah, kalau yang ini ukurannya ketaqwaan
seseorang.
Oleh karena kepala negara harus dari orang-orang yang
paling sempurna sebagaimana ditegaskan al-Farabi, maka al-Farabi
berpandangan bahwa kepemimpinan negara utama (ideal) tidak
akan sempurna kecuali jika kepalanegara bersangkutan memenuhi
dua hal pokok (wa la tatimmu riasah al-madinah al-fadhilah illa li
raisin yajmau` bayna al-syaien ). Kedua hal pokok tersebut adalah;
1. Fitrah atau alami dan sifat dasar ( al-fitrah wa al-thabii` ).
Yaitu pembawaan, sifat atau karakter dasar kepemimpinan
yang dimiliki seseorang sejak kecil.
2.Kapabelitas dan memiliki keinginan atau desire (al-malakah wa
al-iradah).368
Berdasarkan pada apa yang disampaikan al-Farabi tentang
dua hal asas yang harus dimiliki seorang kepala negara merupakan
pandangan yang didasarkan pada realitas kehidupan terkait dengan
pertumbuhan seseorang secara alami dan
dinamikaintelektualitasnyasekaligusdari waktu ke waktu. Yang
pertama adalah sifat dasar, yaitu pembawaan atau karakter dasar
yang termanifestasi dalam kehidupan pergaulan seharian, di mana
ucapan dan perilakunya mencerminkan diri sebagai seorang anak
pemimpin, sebagaimana terungkap dalam ucapan seseorang;
memang dia sudah kelihatan memiliki bakat sebagai seorang
pemimpin sejak kecil, maka wajar kalau sekarang dia mejadi
pemimpin. Yang kedua adalah sikap atau tindakan yang dapat
dicapai melalui proses pembelajaran dan pendidikan dari waktu ke
waktu dan dari satu tahap ke tahap yang lain. Oleh karena itu
menurut al-Farabi agar seorang pemimpin (al-insan al-raisiy)
benar-benar dapat memanifestasikan dirinya dalam kesempurnaan
dengan memiliki ilmu pengetahuan (al-ma`rifah), baik yang
diperoleh secara langsung di alam sadar (yaqadhah), dalam arti
melalui proses akal yang aktif (al-`aql al-fa`al), atau melalui intuisi,

368
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h.
267
411

mimpi yang diperoleh menurut al-Farabi disaat tidur (fiy waqti al-
naum).369
Sebagai kelanjutan dari pandangannya tentang sosok seorang
kepala negara harus ada di dalam dirinya dua hal asas, al- Farabi
menegaskan bahwa seorang kepala negara benar-benar harus
sempurna, bahkan al-Farabi menggambarkan sosok seorang kepala
negara sempurna seperti al-hakim al-filosofiy (seorang arif dan
bijaksana), yaitu seorang imam ( al-imam ), pemimpin umat yang
ideal, pemimpin untuk membangun bumi (bukan untuk
menghancurkannya). Oleh karena itu, menurut al-Farabi seorang
kepala negara disyaratkan harus memenuhi dua belas kualitas
pribadi, yang sebagiannya telah ada secara alami atau semula jadi
(fitrah) sejak dia kecilsebagai watak atau tabiat pembawaan (al-
thabi`i), dan sebagian lainnya masih perlu ditumbuh kembankan
melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang
konprehensif dengan disiplin yang ketat. Oleh karenanya, menurut
Munawir Sjadzali pembinaan dan pembentukan karakter calon-calon
pemimpin melalui pengajaran, pendidikan, pengamatan dan
pengawasan sangat diperlukan. 370

6.Kriteria Calon Kepala Negara


Dua belas kualitas pribadi kepala negara sebagaimana
disyaratkan al-Farabi sebagai berikut;
1. Sempurna semua anggota badannya (tammul a`dha). Artinya
tidak ada yang hilang atau cacat dari anggota badannya.
2. Baik daya pemahaman dan ingatannya (jayyidul fahmi wa al-
tashawwur wa jayyidul hifdhi ).
3. Tinggi intelektualitas dan cerdas (jayyidul fathonah,
dzakiyyan). Artinya selalu tanggap terhadap sesuatu
permasalahan dan cepat mengambil keputusan atau tindakan
secara tepat dan objektif, tidak lamban atau menunggu
sampai ter-expose-nya public opinionbaru kemudian
menyampaikan pendapat (kebijakan).

369
. Ibid.
370
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 56
412

4. Pandai menyampaikan pendapat (husnul `ibarah) dan mudah


dimengerti uraiannya tentang sesuatu secara sempurna
(ibanatan tamma).
5. Sangat perhatian terhadap pendidikan dan suka mengajar
(muhibban li al-ta`lim).
6. Tidak rakus terhadap makanan, minuman dan wanita (ghairu
syarrah `alal ma`kul, wal masyrub, wal mangkuh ), dalam
arti cukup dan tidak berlebihan.
7. Integrity(komitmen pada kejujuran), dan tidak suka
kebohongan(muhibban lis sidqi, wa mubghidhan lil kizbi ).
8. Berjiwa besar dan berbudi luhur (kabirun Nafsi, wamuhibban
lil karamah), dalam arti beradab, sopan santun dan tidak
egois.
9. Tidak memandang kekayaan satu-satunya yang paling
penting, demikian juga dengan kesenangan-kesenangan
duniawi yang lain (al-dirham wa al-dinar wa sairi aghradh
al-dunya hayyinatan `indahu ).
10. Komitmen pada keadilan dan tidak suka perbuatan zalim
(muhibban lil `adl, wa mubghidhan lil jur wa al-zulm ).
11. Selalu bekerja sama dalam rangka menegakan keadilan dan
tidak memberikan ruang atau celah terhadap munculnya
tindakan keji dan kotor (an yakuna `adlan ghairu shu`abil
qiyadah wa la jumuhan wa la lajujan idza du`iya ila al-
`adli).
12. Kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus
dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan
penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil (an yakuna
quwal `azimah).371
Dua belas kualitas pribadi sebagaimana disyaratkan al-Farabi
bagi sosok seorang calon kepala negara merupakan sifat-sifat ideal,
kalau tidak dikatakan sangat utopia, dan tidak mudah ditemukan
pada seorang tokoh, karena sangat jarang seseorang yang memiliki
dua belas kualitas pribadi. Dalam menyikapi persoalan ini, al-Farabi
menegaskan bahwa jika di suatu negara tidak terdapat seseorang

371
. al-Farabiy, Ara` Ahl al-Madinah al-Fadhilah ( Kairo: t.tpt. t. th. ), h.
87-88. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
h. 259 - 270
413

yang memiliki dua belas persyaratan tersebut di dalam dirinya ( wa


in khalat fiy al-madinah min rojulin muttasifin bi hadhihis sifat ),
maka sifat-sifat dua belas tersebut dibagi-bagi kepada beberapa
orang tokoh sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing.
Dengan demikian, perlu dilakukan identifikasi terhadap
keahlianseseorang terkait bidang apa dari dua belas kualitas pribadi
tersebut yang dimiliki, misalnya; seorang di antara mereka seorang
ahli hukum, lainnya seorang yang adil, lainnya seorang yang pandai
menyampaikan pendapatnya, yang lainnya memiliki pandangan dan
pemikiran yang baik, yang lainya ahli dalam bidang pertahanan,
yang lainya ahli dalam pertanian, yang lainya ahli dalam bidang
ekonomi, dan seterusnya. Mereka-mereka itulahmenurut al-Farabi
adalah para tokoh dan para pemimpin ideal. 372Dengan demikian,
kepemimpinan negara dapat dipikul bersama secara kolektif oleh
sejumlah warga negara, maka kepemimpinan negara seperti ini
adalah kepemimpinan bersifat presidium. 373
Namun demikian, pada tempat yang sama al-Farabi
menegaskan jika dua belas kualitas pribadi tersebuttidak dimiliki
oleh satu orang, karena kesulitan mendapatkan seseorang yang
memilikinya secara utuh, maka menurutnya; yang dapat diangkat
menjadikepala negaraseorang saja, sementara yang lainnya
menunggu giliran (fa yakunu minhum, al-wahid ba`dal wahid
).374Jika dianalogikan dengan saat ini, pemikiran al-Farabi terkait
dengan kepemimpinan bergilir, adalah seperti dalam satu majelis
yang beranggotakan beberapara tokoh pemimpin, kepemimpinan
mereka diatur secara bergilir, siapa yang dahulu dan siapa yang
kemudian berdasarkan urutan kertas suara yang diundi. Pada
akhirnya konsepsi kepala negara (rais al-madinah)menurut al-Farabi
dianalogikan sebagai seorang pendidik(mu`allim),pembimbing
(mursyid), dan pengelola (mudabbir).375Beberapa sifat ini diperlukan
bagi seorang kepala negara, karena sifat dasar manusia ( masyarakat
umum atau rakyat ) berbeda-beda. Menurut al-Farabi tidak semua
orang tahu secara pasti tentang bagaimana mencapai kebahagiaan (
al-sa`adah, happines ), oleh karenanya mereka memerlukan seorang
372
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 270
373
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 56
374
. Muhammad Jalal, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 270
375
.Ibid.
414

kepala negara yang memiliki karakter pendidik ( mu`allim atau


murabbi), pembimbing ( mursyid ), dan pengelola ( mudabbir ),376
yang dapat mengarahkan dan membawa mereka mencapai
kebahagiaan (al-sa`adah atau happiness).

7.Tujuan Negara
Suatu hal urgen yang harus disampaikan dalam konteks ini
adalah tentang apa tujuan (hadaf) yang ingin dicapai oleh sebuah
negara ideal (al-Madinah al-Fadhilah) berdasarkan konsepsi al-
Farabi. Pembicaraan tentang tujuan negara sebenarnya pembicaraan
tentang objek atau sasaran yang ingin digapai atau direalisasikan
dari gagasan negara ideal tersebut, karena negara apapun bentukya
yang dibangun di atas dasar ideologi tertentu memiliki tujuan.
Dalam konteks ini, al-Farabi menegaskan bahwa setiap umat atau
bangsa harus memiliki ideologi, yaitu ara` yang tetap377 untuk
menjamin tercapainya tujuan dan cita-cita yang diinginkan bersama.
Ini berarti mau atau tidak suatu umat atau bangsa harus bersedia
berkorban dalam bentuk apa-pun melalui berbagai pendekatan
efektif dan langkah strategis agar tujuan dan cita-cita tersebutdapat
terealisasi dengan baik. 378 Artinya pembicaran tentang tujuan
(hadaf) adalah pembicaraan yang berkaitan dengan wawasan dan
pandangan jauh ke depan didasarkan pada idea,sikap, dan partisipasi
umat atau rakyat negara bersangkutan untuk diarahkan bagi
terealisasinya sebuah tujuan tersebut.
Seperti apa tujuan negaraideal al-Farabi. Abbas Mahmud di
dalam karyanya; al-Farabi, menegaskan bahwa tujuan negara ideal
al-Farabi adalah negara tersebut dapat menyediakan berbagai
fasilitas untuk lahirnya kebahagiaan (al-sa`adah atau happiness)
yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat (ummah) negara tersebut,

376
. Ibid.
377
. Ara` dalam konteks ini dapat diartikan sebagai pandangan
menyeluruh atau konfrehensif tentang sesuatu, yang kemudian diyakini
kebenarannya dan dijadikan landasan atau pijakan dalam membangun
masyarakat, bangsa, dan negara; Weltanchaung.
378
. Idris Zakaria, Teori politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu ( Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991 ),
h, 49
415

baik di dunia ini dan sekaligus di akhirat nanti. 379 Pandangan ini
tentu saja didasarkan pada pernyataan al-Farabi sendiri bahwa kerja
sama (al-ta`awun) di antara sesam warga negara, baik di kota-kota
(al-mudun), di wilayah-wilayah yang luas (al-umam), ataupun di
daerah-daerah yang sedang berlangsung pembangunannya (al-
ma`murah), semua kerja sama dan aktivitas mereka diarahkan
menuju ke suatu titik muara, yaitu memperoleh kebahagiaan hakiki (
hasilatun `ala al-sa`adah al-haqiqiyah).380Hal ini sebagaimana
ditegaskan al-Farabi di tempat yang sama di dalam karyanya;Ara`
Ahl al-Madinah al-Fadhilahbahwa setiap negara bisa memperoleh
kebahagiaan (al-sa`adah, happines), maka sebuah negara di mana
semua rakyatnya bersatu padu untuk bekerja sama dan tolong
menolong dalam berbagai hal dan berbagai aspek kehidupan dalam
rangka merelisasikan kebahagiaan hakiki (al-sa`adah `alal
haqiqah), menurut al-Farabi kesatuan dan gabungan semua rakyat
dalam bekerja sama untuk suatu tujuan, yaitu kebahagiaan disebut
negara ideal. 381
Oleh karenanya, negara secara terencna dapat melakukan
langkah-langkah strategis dan efektif dalam rangka wujudnya
kehidupan umat (rakyat ) yang bahagia dan sejahtera di dunia dan
akhirat sekaligus, maka sebagai upaya untuk melakukan reformasi
terhadap struktur masyarakat dan keagamaan, kesempurnaan dan
kebahagiaan menjadi sasaran atau tujuan al-Farabi di dalam konsep
negara idealnya. Di era modern dan kontemporer pembangunan
sebuah negara dalam berbagi sektor dan berbagai aspeknya
diarahkan pada terciptanya kehidupan masyarakat dan rakyat yang
bahagia, yang dimanifestasikan dengan lahirnya kondisi masyarakat
dan negara yang sejahtera (Welfare State), meskipun harus melalui
jalan panjang dan berliku, berbagai hambatan dan kendala.
Berdasarkan apa yang telah disampakan al-Farabi tentang konsep al-
Madinah al-Fadhilah ternyata mengandung pengertian luas dan
setidaknya meliputi tiga aspek penting dalam ketata negaraan saat
itu, yaitu;

379
. Lihat Abbas Mahmud, al-Farabi ( Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-
`Arabiyah Isa al-Babi al-Halabiy, 1944 ), h. 128
380
. al-Farabi,Ara` Ahl al-Madinah al-Fadhilah ( Beirut: Dar al-Masyriq,
1968 ), h. 29
381
. Ibid.
416

1. Negara ideal (al-Madinah al-Fadhilah),


2. Kepala negara berkualitas (akmalun nas),
3. Negara bahagia dan sejahtera ( Welfare State),
Dengan demikian, ternyata di dunia Islam para pemikir
politiknya sudah mengemukakan konsep atau gagasan Welfare State
sejak abad pertengahan yang lalu. Hal ini harusnya menjadi
penggerak bagi dunia Islam saat ini untuk terus komitmen
menciptakan rakyat dan negara yang bahagia dan sejahtera dengan
dibuktikan tersedianya berbagi fasilitas umum yang mudah
diperoleh rakyat di mana saja berada di seluruh wilayah.
Demikianlah pemikiran politik al-Farabi yang menitik
beratkan pada konsepsi negara ideal yang dipimpin seorang kepala
negara yang memiliki kualitas pribadi yang terangkum dalam dua
belas syarat. Negara ideal yang dikonsepikan al-Farabi
dikaitkandengan negara bahagia (al-sa`adah), yaitu negara di mana
semua rakyatnya dapat menikmati berbagai fasilitas yang disediakan
oleh negara.Konsep negara al-sa`adah di era modern ini disebut
negara sejahtera atau welfare state sebagaimana yang terjadi di
beberapa negara Eropa Barat dan sebagian negara-negara Arab.
417

BAB VIII
PEMIKIRAN POLITIK
AL-MAWARDI

1.Latar Belakang Situasi Politik


Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Habib
al-Mawardiy, hidup antara tahun 364 – 450 H. / 975 – 1059 M. al-
Mawardi seorang pemikir Islam terkenal, tokoh terkemuka mazhab
Syafi`i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, seorang politisi dan negarawan
yang ulung (min abraz rijal al-Siyasah fiy al-daulah al-`Abbasiyah).
Al-Mawardi diangkat sebagai hakim (Qadhi ) beberapa kali di
beberapa daerah, dan karena saking banyaknya dia menjabat hakim,
dia diangkat sebagai Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) atau Ketua
Mahkamah Agung.382Al-Mawardi seorang ilmuan, pemikir Islam
yang handal, politisi, tokoh terkemuka mazhab Syafii dan pejabat
tinggi sebagaiQadhi al-Qudhat; hakim agung pada masa
pemerintahan Khalifah al-Qadir. Karya-karya al-Mawardi banyak

382
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 288
- 289
418

sekali meliputi berbagai disiplin ilmu, khusus yang berkaitan dengan


pemikiran politiknya tertuang dalam empat karyanya; 1. Al-Ahkam
al-Sulthaniyah. Buku ini terbilang buku monumental, karenanya
dianggap sebagai undang-undang dasar (dustur) bagi negara. Buku
ini berisi dasar-dasar politik yang menjadi rujukan. 2 Kitab Nasihat
al-Muluk. Buku ini sampai sekarang belum pernah diterbitkan dan
ada manuskrip salinannya di Paris. 3. Kitab Tashil al-Nazar wa
Ta`jil al-Zafar. Buku ini masih dalam manuskrip dan belum
diterbitkan dan salinannya ada di kota Ghouthah. 4. Kitab Qawanin
al-Wuzara wa Siyasat al-Malik. Buku ini sudah diterbitkan oleh
penerbit Dar al-Ushur di Mesir tahun 1929.
Pada masa hidupnya al-Mawardi,krisis politik
berkepanjangan telah melanda negara-negara Eropa pada abad-abad
10 M. dan abad berikutnya (abad 11). Pada waktu itu negara-negara
Eropa telah diguncang oleh berbagai guncangan
(idhthirabat);pemberontakan (al-tsaurah), perang ( al-hurub) yang
berlarutan. Situasi buruk ini menyebabkan tidak adanya stabilitas
dan ketentraman (al-qalaq)hidup.Eropa pada waktu itu benar-
benarterpecah-pecah ( mumazzaqah). Kondisi ini menyebabkan
terjadinya berbagai tindak kekerasan dan kriminalitas, serta
munculnya kemiskinan sebagai akibat dari fenomena buruk ini. Pada
sisi lain, telah terjadiperang antar kota (al-hurub al-madaniyah) di
Inggris pada awal abad 11. Demikian juga terjadi perang antara
Jerman (al-Maniya) dengan Perancis. Sementara Italia, kondisinya
tidak lebih baik dari Inggris, Perancis dan Jerman, karena di Italia
telah terjadi konflik yang menegangkan antara Paus (penguasa
keagamaan Gereja) dengan Kaisar sebagai representasi penguasa
politik saat itu. Tetapi Spanyol (Asbania) dan Portotugal berbeda
kondisinya dari negara-negara Eropa lainya, kedua negara ini berada
dalam kekuasaan pemerintahan Islam. 383
Dunia Islam saat itu, berbeda dari negara-negara Eropa
Barat. Dunia Islam selalumendapat keberuntungan berkat
pertolongan (inayah) Allah, telah berhasil memperoleh kemenangan
dari suatu wilayah ke wilayah lain dalam perang, sehingga dapat
memperluas wilayah kekuasaan. Misalnya; di belahan dunia sebelah

383
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam.
h. 288
419

barat, umat Islam berhasil menguasai Spanyol, dan di dunia belahan


Timur umat Islam berhasil menguasai India. Satu hal yang penting
disampaikan di sini adalah bahwa umat Islam dalam membangun
kehidupan masyarakat, senantiasa menjadikan al-Qur`an dan Sunnah
Nabi sebagai dasar pijakan atau acuan. 384Inilah yang menjadi ranah
kajian Islam politik atau politik Islam dari waktu ke waktu.
Kota Baghdad pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
menjadi pusat peradaban Islam (markaz al-hadharah al-Islamiyah),
juga sebagai Ibu Kota negara Islam (mihwar al-daulah al-
Islamiyah). Keberadaan Khalifah di Baghdad merepresentasikan
diri sebagai penggagas peradaban ini (`Aql al-hadharah), sebagai
pengendali kebijakan politik, sebagai sosok seorang yang
mengeluarkan keputusan perintah dan larangan dalam berbagai
aspek kehidupan, baik terkait dengan keagamaan, hukum, politik,
ekonomi dan sebaginya. Tetapi kemudian kebesaran Khalifah dan
kekuasaannya ini secara berangsur-angsur berpindah tangan dari
Baghdad ke kota-kota lain, kota Baghdad akhirnya berada pada
kondisi lemah (al-tadahwur wa al-idhmihlal).Kondisi ini
berimplikasi pada terjadinya perpecahan di kalangan para pemimpin
Tentara sehingga menjadi dua kubu, yaitu Kubu Tentara Turkey dan
KubuTentara Persia. 385Situasi politik yang tidak stabil ini
berdampak pada terjadinya kelemahan bagikedudukan Khalifah,
Khalifah tidak lebih hanya sebatas sebagai penguasa yang tidak
memiliki kebijakan strategis, dalam arti Khalifah bukan lagi sebagai
decision makeryang tangguh, Khalifah hanya diposisikan sebagai
payung negara, karena yang memegang kebijakan dan kendali
politik sebenarnya berada pada pemimpin Tentara Turkey atau
Persia. Namun demikian,pemimpin tertinggi negara tetap berada
pada Khalifah yang berkedudukan di Baghdad. Para
pemimpinTentara Turkey dan Persia tetap loyal kepada Khalifah
yang berbangsa Arab dan dari ras Quraisy, meskipun orang-orang
Turkey dan Persia memiliki peluang untuk melakukan
percobaankudeta atau menggulingkanpemerintahan pusat di
Baghdad.386

384
. Ibid.
385
. Ibid.
386
. Ibid. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 58
420

Oleh karenanya, dapat dijelaskan bahwa pada masa hidupnya


al-Mawardi sebenarnya telah terjadi disintegrasi kekuasaan. Realitas
perpolitikan yang buruk ini menunjukan bahwa Baghdad sebagai
pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu lagi membendung arus
keinginan daerah-aerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri dari
pemerintahan pusat di Baghdad dan membentuk daerah
otomnom.387Pada masa ini, Khalifah benar-benar menjadi boneka,
karena kekuasaan secara real saat itu menurut Philip K. Hitti
dikendalikan oleh para pejabat tinggi orang-orang Buwaih selama
tahun 945 – 1055 M. Mereka mengangkat atau menurunkan
Khalifah sesuai dengan kehendak mereka. Namun meskipun
demikian, mereka tetap tidak berani merebut ke-khalifahan, karena
menurut Philip K. Hitti, paham al-Aimmah min
Quraisyinyangartinya para pemimpin itu dari orang-orang keturunan
Quraisy masih begitu kental di kalangan umat Islam saat itu. Jadi,
kata Philip K. Hitti lagi, mereka cukup puas mengendalikan
Khalifah-Khalifah tanpa harus menduduki jabatan ini. 388
Dengan keberadaan al-Mawardi sebagai seorang tokoh dan
pemikir handal di pusat pemerinthan, al-Mawardi berusaha
mengatasi permasalahan politik ini sebagai upaya
menjembatanikesenjangan yang terjadi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah yang dipimpin oleh para Gubernur, para
Sulthan, dan para Amir.al-Mawardi berusaha menjelaskan
hubungan antara keduanya dalam kerangka terciptanya situasi
politik yang kondusif. Upaya ini mendapatkan dukungan dari
Khalifah, bahkan upaya ini sebenarnya Khalifah sendiri menugaskan
kepada al-Mawardi untuk melakukan negosiasi dengan penguasa
Buwaih dan menjalankan berbagai missi diplomatik antara tahun
1030 – 1040-an M.389al-Mawardi sebagai seorang tokoh dan ilmuan
yang memiliki kecakapan dalam berdiplomasi, dia diangkat sebagai
mediator perundingan (safir) antara pemerintah pusat di Baghdad
dengan para pejabat Bani Buwaih (antara tahun 381 – 422 H.), dan

387
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 289
388
. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs ( London: Macmillan
University Press, 1970 ), h. 471
389
. Lihat Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini ( terj. ) The History of Islamic Political Thought: From The Prophet to
The Present ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2000 ), h. 170
421

al-Mawardi berhasil melakukan missinya dengan baik.Hasilnya


adalah Bani Abbas tetap memegang jabatan tertinggi ke-khalifahan
di Baghdad, sementara kekuasaan politik dan pengelolaan harian
pemerintahan dipegang oleh orang-orang Bani Buwaih.
Keberhasilangemilang yang dicapai al-Mawardi dalam missinya
tersebut, al-Mawardi kemudian mendapatkan penghargaan,
kedudukan yang terhormat dari Khalifah dan juga para pejabat tinggi
Bani Buwaih yang penganut paham Syiah. 390

2.Teori Asal Usul Negara


Sebagaimana Ibnu Abi Rabi` dan al-Farabi, al-Mawardi
dalam hal bagaimana asal usul negara itu muncul, Ia berpendapat
bahwa manusia itu secara fitrah adalah makhluk sosial (insanun
ijtimaiyyun). Demikian juga al-Mawardi berpendapat bahwa
manusia itu selamanya memerlukan yang lainnya, karena manusia
tidak mungkin dapat memenuhi semua kebutuhanya hanya ditangani
sendirian tanpa ada bantuan dari pihak lain. Pandangan ini
sebenarnya pandangan lama yang sudah disampaikan Plato dan
Aristoteles. Tetapi ada yang barudari al-Mawardi, yaitu al-Mawardi
mewarnai pemikiran politiknya dengan nilai-nilai agama, di mana
ketika al-Mawardi memberi pengakuannya bahwa Allah adalah Zat
yang menciptakan manusia dalam keadaan lemah, sehingga
manusia merasa bahwa Allah menjadikan manusia sebagai sang
Pemberi rizki. Oleh karenanya manusia sangat memerlukan dan
bergantung kepada-Nya, butuh atas pertolongan-Nya. 391 Bahkan al-
Mawardi menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang
sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan manusia lain dari
pada binatang haiwan yang juga makhluk Allah. Hal ini karena
binatang haiwan dapat hidup mandiri, tidak memerlukan bantuan
dan kerjasama haiwan sejenisnya, sementara manusia selamanya
membutuhkan bantuan dan pertolongan manusia lainnya. Ketika
manusia sangat membutuhkan bantuan dari manusia sesamanya
dibanding haiwan binatang, maka eksistensi manusia sebenarnya

390
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h, 289
391
. Muhammad Jalal Syaraf et al,al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 291
422

lebih lemah, karena manusia membutuhkan sesuatu berarti itu


tandanya membutuhkan bantuan dari yang lainya, tidak bisa
mandiri. Orang yang membutuhkan sesuatu berarti dia lemah. 392
Dalam kondisi seperti ini, Allah tidak membiarkan manusia
tetap dalam keadaan lemah tanpa memberikan bimbingan untuk
mewujudkan kebahagiaan di dalam kehidupannya. Oleh karena itu
Allah memberinya akal kepada manusia, agar dengan akal Allah
dapat memberikan bimbingan dan mengorientasikan manusia ke
jalan hidup yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Ini artinya bahwa
manusia dapat memadukan antara dua kehidupan, yaitu kehidupan di
dunia dan kehidupan di akhirat.393
Selanjutnya al-Mawardi menyampaikan alasan lain terkait
kenapa manusia saling memerlukan dan bekerja sama antara sesama.
Dalam konteks ini al-Mawardi berpendapat bahwa ada perbedaan
yang ada pada setiap individu manusia, perbedaan terutama dalam
hal keinginan, kecenderungan, kemampuan (capability), warna
kulit, keturunan, bahasa, dan lain-lain, semuanya itu menyebabkan
terjadinya saling membutuhkan, saling bantu membantu dan
bekerjasama, oleh karenanya jika tidak terdapat perbedaan, maka
tidak akan terjadi saling memerlukan dan bekerjaasama. 394
Demikianlah keadaan manusia yang tidak memiliki
kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhannya dengan
sendirian, tetapi justeru karena terdapat keaneka ragaman dan
perbedaan bakat, pembawaan (tabi`at), kecenderungan alami,
kemampuan, warna kulit, dan sebagainya, semuanya itu mendorong
manusia untuk bersatu dan saling membantu. Akhirnya manusia
sepakat untuk mendirikan negara, yang dipimpin oleh seorang
tokoh yang dipilih, dihormati, didengar ucapannya dan ditiru
tindakannya. Dengan kata lain bahwa faktor mendasar lahirnya
sebuah negara adalah hajat umat manusia untuk mencukupi
kebutuhan mereka, dan otak (akal) mereka yang menginspirasi
mereka tentang carabagaimana saling membantu, dan bagaimana
mengadakan asosiasi dan interaksi antara satu sama lain. 395 Jadi, inti

392
. Ibid. h. 292
393
. Ibid.
394
. Ibid.
395
. Ibid. h. 292 – 293, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 61
423

dari pemikiran al-Mawardi tentang teori asal usul munculnya sebuah


negara adalah bahwa manusia makhluk sosial yang saling
bekerjasama dan bantu membantu antara sesamanya. Dari sinilah
terjadinya interaksi antara sesama manusia. Di dalam interaksi
itulah terjadi gesekan, perebutan, persaingan kepentingan, maka
kemudian muncul apa yang disebut benturan dan konflik dan
akhirnya manusia memerlukan adanya peraturan atau undang-
undang dan seorang pemimpin yang dihormati dan disegani untuk
menciptakan kedamaian dan keamanan, agar manusia dapat hidup
dalam keadaan aman, tentram, sejahtera dan stabil, karena dalam
kondisi aman manusia dapat melakukan berbagai hal untuk
kemajuan dan peradaban.

3.Negara Dalam Konsepsi Al-Mawardi


Berdasarkan realitas bahwa pemerintahan sebagai lembaga
negara, al-Mawardi dalam hal ini berbeda dari al-Farabi. Pandangan
al-Farabi dalam teorinya tentang negara sangat utopis, hal ini karena
dalam situasi politik tidak stabil, dan gonjang ganjing, justeru al-
Farabi mengembangkan teori politik yang serba sempurna sehingga
tidak mungkin dapat dilaksnakan oleh dan untuk manusia.396
Sementara al-Mawardi lebih realistis, karena pemikiran politiknya
memenuhi kebutuhan kondisi yang ada saat itu, sesuai dengan
realitas politik yang tengah berjalan, dan kemudian al-Mawardi
menawarkan saran-saran perbaikan atau reformasi, dan bahkan al-
Mawardi disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar bangunan sistem
pemerintahan yang kokoh dan baik. Oleh karena itu, al-Mawardi
tetap mempertahankan status quo pemerintahan pada masa
hidupnya, hal ini bukan berarti tidak ada argumentasi, alasannya
sangat kuat. Dalam konteks ini al-Mawardi menegaskan bahwa;
1. Khalifah harus tetap dijabat oleh orang yang berbangsa Arab
berketurunan Quraisy,
2. Wazir Tafwidh( Pembantu utama Khalifah atau Perdana
Menteri ) juga harus dijabat oleh orang yang berkebangsaan
Arab.397

396
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 295 -
296. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 62 - 63
397
. Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 296
424

Dua pandangan al-Farabi tersebut didasarkan pada realitas


perpolitikan yang tengah berjalan saat itu, dan sebagai solusi
terhadap berbagai persoalan yang mendera. Pada poin pertama;
misalnya, kenapa al-Mawardi berpendapat begitu, karena dalam
rangka mengahadapi berbagai persoalan politik yang muncul di
beberapa wilayah, terutama di Persia (Iran) dan di wilayah Turkey,
di mana di kedua wilayah tersebut sering terjadi rusuhan dan
menyebabkan tidak adanya kestabilan politik, dengan Khalifah
dijabat seorang berketurunan Arab dari ras Quraisy diharapkan dapat
mempertahankan kesatuan kekuasaan dunia Islam dari ancaman
disintegrasi wilayah. Poin kedua; Wazir Tafwidh ( Perdana Menteri)
memiliki posisi strategis, terutama di dalam merumuskan berbagai
kebijakan bersama Khalifah, dengan wazir tafwidh dijabat oleh
orang yang berketurunan Arab diharapkan tidak banyak terjadi
perbedaan pendapat antara Khalifah dan Wazir Tafwidh, dan ini
dapat meminimalisisr konflik di kalangan decision makers (para
pemegang kebijakan).
Berdasarkan argumenatasi yang disampaikan al-Mawardi di
atas, menunjukan bahwa al-Mawardi sangat memahami kondisi dan
situasi politik yang berjalan saat itu, maka dapat ditegaskan bahwa
negara yang dikonsepsikannya adalah negara monarchi meskipun
kepala negara menggunakan gelar khalifah, karena dalam hal ini al-
Mawardi tidak menawarkan bentuk lain selain sistem pemerintahan
yang sudah berjalan secara tradisi sejak masa Dinasti Umayah dan
dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah. Kritikan-kritikan yang
disampaikannya terfokus pada perbaikan atau reformasi dalam
berbagai aspeknya.

4.Enam Pilar Negara


Berbicara tentang pilar negara merupakan hal yang sangat
penting dalam konteks kajian pemikiran politik Islam klasik dan
abad pertengahan, karena pilar ibarat tiang. Sebuah bangunan tanpa
tiang akan ambruk, begitu juganegara. Negara tanpa pilar
akancollapse, oleh karenanya negara memerlukan pilar agar negara
dapat berdiri dengan kokoh. Mengenai jumlah pilar atau tiang,
berapa pilar yang diperlukan untuk berdirinya sebuah negara.? Para
pemikir politik Islam berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang
ilmu pengetahuan yang mereka miliki, karena hal ini sangat erat
425

kaitannya dengan pengaturan dan tatanan yang baik, agar semua


pilar berfungsi secara baik dan efektif.
Dalam konteks ini al-Mawardi menegaskan bahwa negara
memerlukan enam pilar (sittatin qawa`id).398Enam pilar pokok
tersebut sebagai berikut;
1. Agama yang diamalkan (dinun muttaba`un).
Dalam konteks ini agama diperlukan karena agama dapat
mengendalikan hawa nafsu dan dapat mengontrol hati nurani
manusia. hal ini memang lebih efektif ( aqwa qawa`id) jika
benar-benar didasarkan pada penghayatan agama, oleh
karenanya agama merupakan dasar pokok dalam rangka
terciptanya kondisi yang kondusif dan situasi politik yang
stabil.

2. Penguasa yang berwibawa (Sulthanun Qahir).


Dengan kewibawaanya, kepala negara dapat mengakomodasi
berbagai kepentingan yang berbeda-berbeda lebih efektif,
sehingga dia dapat mengelola negara dengan baik untuk
mencapai tujuan yang mulia, menjaga dan memelihara
agama agar dapat diamalkan sepenuhnya, melindungi rakyat
dari hal-hal yang mengancam ketentraman hidup,
memastikan wujudnya keamanan, serta dapat menjamin dan
mengembangkan mata pencarian (ekonomi) rakyat, karena
penghormatan, penghargaan dan ketaatan adalah karena
jabatanya.

3. Keadilan yang merata( `adlun syamilun).


Dengan meratanya keadilan di kalangan masyarakat dan
semua warga negara akan lahir keakraban di antara sesama
warga negara,menjadi memotivasi lahirnya ketaatan atau
loyalitas dari rakyat kepada pimpinan, maka negara akan
berkembang, melahirkan berbagai bakat dan skill pada
masyarakat, jumlah penduduk akan semakin bertambah
melalui kelahiran generasi berkualitas yang memilikiharga
diri dan bertanggung jawab terhadap masa depannya.

398
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam.
h. 293
426

Dengan demikian, akan tercipta kondisi sosial politik yang


kondusif, dan penguasa merasa aman dan tentram.

4. Keamanan yang merata.

Dengan keamnan yang merata, rasa takut dan gerlisah akan


hilang.Rakyat akan dapat menikmati ketenangan jiwa (
bathin), lahir dan berkembangnya berbagai inisiatif, daya
kreasi dan berbagai aktivitas masyarakat, rakyat semuanya
merasa aman, orang-orang lemah juga ikut merasakan
ketentraman hidup, karena orang yang takut tidak bisa
istirahat dengan pulas, orang yang hatinya gelisah atau galau
tidak tenang, maka sesungguhnya rasa takut itu dapat
mencegah manusia dari kebaikan, dan dapat menghalang
mereka berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat, juga
dapat menghambat seseorang untuk melakukan berbgai
upaya dalam hidupnya. Lahirnya kondisi aman sebagai
dampak positif meratanya keadilan pada masyarakat.
Sebaliknya kejahatan lahir dari kondisi sosial masyarakat
yang tidak ada keadilan.

5. Kesuburan tanah yang berkesinambungan (khasban


da`iman).

Dalam arti terpenuhinya semua kebutuhan dan ketersediaan


berbagai fasilitas yang diperlukan untuk kesuburan tanah,
antaranya; penyediaan sungai, irigasi, atau saluran air yang
dapat mengaliri tanah, serta pengelolaannyayang
dilaksanakan secara profesional agar dapat menghasilkan
buah-buahan yang berkualitas,maka dengan tanah yang
subur akan melahirkan tumbuh-tumbuhan, dari tumbuh-
tumbuhan yang subur akan menghasilkan buah-buahan yang
menjadi makanan bagi setiap manusia hidup, seperti; korma,
anggur, jeruk, apel, pisang, mangga, durian, sumangka,
melon, pepaya, dan sebagainya. Demikian juga dengan
bahan makanan pokok, seperti; gandum, beras, jagung, dan
sebagainya. Begitu juga dengan pohon-pohon besar yang
tumbuh di tanah yang subur, menjadi kebutuhan untuk
427

berbagai keperluan bahan bangunan. Menurut al-Mawardi,


dengan kesuburan tanah akan meminimalisir terjadinya rasa
iri hati (hasad) di antara sesama anggota masyarakat. Hal ini
dimaksudkan karena masing-masing orang dapat bekerja,
baik sebagai pemilik tanah atau pun sebagai pekerja untuk
mendapatkan upah (gaji). Kebencian dan iri hati muncul jika
makanan tidak tersedia dengan merata, dan hanya berada
pada beberapa orang saja, sementara yang lainnya
kekurangan makanan. Kondisi seperti ini akan berdampak
buruk terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan,
bahkan kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya
kecemburuan sosial dari orang-orang yang tidak memiliki
kecukupan makanan terhadap orang-orang yang memiliki
makanan yang berlebihan.

Oleh sebab itu, dengan ketersediaan makanan yang


cukup akan berdampak positif, paling tidak setiap orang akan
bersemangat untuk berkreasi dalam berbagai usaha melalui
berbagi aktivitas. Kondisi yang baik ini akan lebih
memungkinkan lahirnya kesejahteraan dan tingkat kualitas
hidup. Selain dari itu kondisi yang baik akan lebih
mendorong berjalannya sistem atau peraturan dengan baik.

6. Harapan kelangsungan hidup (amalun fasihun).


Dalam kehidupan manusia terdapat kaitan yang erat antara
satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi yang
sekarang adalah pewaris generasi masa lalu, dan yang
mempersiapkan sarana-sarana hidup bagi generasi yang akan
datang, sehingga generasi yang sekarang dapat melahirkan
harapan untuk menggapai apa yang diinginkan atau yang
dicita-citakan. Hal ini tentu saja memerlukan program dan
perencanaan yang tertata dengan baik agar dapat memastikan
keberhasilan mengenaiapa yang diinginkan. Jika generasi
masa lalu tidak memberikan harapan-harapan dan sarana-
sarana kepada generasi hari ini, maka menurut al-Mawardi,
persediaan kebutuhan untuk satu hari pun tidak akan
mencukupi, apalagi sampai melewati hari berikutnya. Jika ini
428

yang terjadi, maka pergantian dunia kepada generasi akan


datang, akan hancur berantakan, akibatnya tidak ada lagi
kebutuhan untuk hari esok. Akibat lanjutanya lagi adalah
perpindahan hari ini ke hari esok akan lebih buruk dari pada
hari ini, sehingga pohon-pohon pun tidak bisa tumbuh.
Dengan demikian, tidak ada satu pun orang yang mau tinggal
di bumi ini. Pandangan al-Farabi ini rupanya didasarkan pada
sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya;
Harapan itu merupakan rahmat dari Allah kepada
umat-ku, seandainya tidak ada harapan, maka tidak
akanada seorang pun yang mau menanam pohon,
dan tidak ada seorang ibu yang mau menyusui
anaknya.
Selanjutnya al-Mawardi menegaskan bahwa apa yang
disampaikan Nabi ini menjadi landasan dalam membangun
kehidupan umat. Menurutnya lagi, jika landasan ini diterapkan
kepada sebuah negara, maka negara tersebut akan menjadi baik.
Sebaliknya,jika negara tidak menerapkan landasan ini, maka urusan
negara tidak akan tertata dengan baik. Demikian, pembicaraan al-
Mawardi tentang enam pilar negara yang dikonsepsikannya.

5.Menegakan Keadilan

Keadilan merupakan topik bahasan yang selalu dibicarakan


sejak dahulu sampai sekarang, bahkan sampai akhir zaman nanti.
Semua orang yang sudah beradab mendambakan keadilan wujud di
tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara, karena dengan
keadilan dapat lahir kondisi dan situasi politik yang aman, tentram
dan damai, kondisi hidup yang kondusif dan sejahtera dengan
sendirinya akan lahir. Keadilan berasal dari bahasa Arab kata kerja
`adala ya`dilu, dan masdarnya `adalan, artinya; menempatkan
sesuatu pada tempatnya secara tepat dan objektif. Menempatkan
sesuatu tepat pada tempatnya bisa terealisasi jika semua tindakan
atau perbuatan didasarkan pada hati nurani yang baik dan ihsan.399

399
. Dalam salah satu Hadis Nabi yang panjang, Nabi Muhammad saw.
ditanya oleh salah seorang sahabat yang bernama Dihyah tentang tiga hal, 1. Apa
429

Jika tidak ada ihsan dan kebaikan hati nurani, maka keadilan pun
sulit direalisasikan. Oleh karena itu,keberhasilan merealisasikan
keadilan sangat bergantung sepenuhnya pada sikap dan perilaku
yang baik atauihsandari seluruh masyarakat dan rakyat negara yang
bersangkutan.

Dalam konteks ini, al-Mawardi mendeskripsikan keadilan


sebagai sesuatu yang menunjuk pada arti sedang atau pertengahan
(i`tidal), misalnya; Sesuatu yang utama (al-fadilah)itu adalah
pertengahan antara dua keadaan yang buruk, hal ini sebagimana
ditegaskan Aristoteles, tetapi justeru al-Mawardi memberikan arti
yang sama seperti Aristoteles, oleh karenanya al-Mawardi
menegaskan bahwa; perbuatan baik itu adalah pertengahan antara
dua sisi yang buruk. Hikmah adalah pertengahan antara dua hal,
yaitu; buruk dan kebodohan. Pemberani adalah pertengahan antara
sikap arogan dan sikap penakut. Sikap tenang adalah pertengahan
antara perilaku memaki-maki dan sikappemarah. 400

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa keadilan merupakan


salah satu pilar negara, karena dengan keadilan dapat tercipta;

1. Kehidupan harmonis di antara sesama warga negara,


2. Menimbulkan rasa hormat dan loyal (ketaatan) kepada
pemimpin,
3. Melahirkan semangat kerja bagi masyarakat,
4. Mendorong minat rakyat untuk berkarya dan berprestasi,
5. Penduduk dan generasi akan selalu berkembang,
6. Kedudukan penguasa (Khalifah, Sulthan) akan lebih aman,
dan semakin kokoh, dengan sendirinya negara akan stabil. 401

itu Iman. 2. Apa itu Islam, dan 3. Apa itu Ihsan. Terkait dengan Ihsan, Nabi
memberikan jawaban melalui gambaran secara real, yaitu; jika kamu tengah
melakukan ibadah; misalnya shalat dan sebaginya, maka seolah-olah kamu
melihat Allah. Jika ini tidak dapat dilakukan, maka kamu yakin bahwa Allah
melihat kamu.
400
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 294
401
. Ibid, h. 293. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
h. 61
430

Upaya merealisasikan keadilan menurut al-Mawardi harus


dimulai dari sikap adil terhadap diri sendiri dahulu, baru kemudian
kepada orang lain. Keadilan kepada diri sendiri dapat dibuktikan
secara terukur melalui tindakan senang melakukan amalan-amalan
saleh atau perbuatan baik, dan tidak suka melakukan perbuatan-
perbuatan jahat dan dosa. Dalam segala hal tidak melebihi batas (la
yatajawazu), sebaliknya tidak kurang dari yang seharusnya, dan juga
tidak berbuat zalim. 402
Keadilan kepada orang lain, al-Mawardi membaginya ke
dalam tiga bagian, yaitu;
1. Adil kepada bawahan(`adlul insan fi man dunahu), seperti
kepala negara kepada rakyatnya, seorang ketua kepada
pengikutnya. Realisasi keadilan kepada mereka setidaknya
dapat melalui empat pendekatan;
a. Kebijakan-kebijkan politik harus didesain sesemudah
mungkin ( itba` al-maisur ), sehingga bawahan dapat
melaksanakanya dengan mudah,
b. Menghindari penggunaan cara-cara yang memberatkan,
sehingga tidak menjadi beban bagi bawahan.
c. Tidak menggunakan langkah-langkah kekerasan dalam
merealisasikan perintah atau aturan dalam rangka
mencapai tujuan, dan tetap komitmen pada kebenaran.

2. Adil kepada atasan (`adlul insan ma`a man fauqahu), seperti


rakyat kepada kepala negaranya, pengikut kepada ketuanya.
Keadilan seperti ini dapat dimanifestasikan setidaknya
melalui tiga hal, yaitu;

a. Membuktikan ketaatan atau loyalitas yang tulus kepada


atasan,
b. Bersedia membantu dan membela atasan di mana saja
dan kapan saja diperlukan, dan
c. Memberikan legitimasi yang tidak diragukan kepada
pimpinan.

402
. Muhammad Jalal Syaraf. et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 293
431

3. Adil kepada sesama dan sederajat (`adul insan ma`a


akfanihi). Hal ini dapat dimanifestasikan setidaknya melalui
tiga hal juga, yaitu;

a. Memudahkan semua urusan (tarkul istithalah), dalam arti


tidak mempersulit dalam segala urusan yang menyangkut
kepentingan sesama,
b. Menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang tidak
terpuji (mujanabah al-izdlal), sehingga tercipta
kehidupan yang baik bagi sesama anggota masyarakat,
dan
c. Tidak berbuat hal-hal yang menyakitkan (kafful azda),
baik melalui ucapan atau tindakan.

Demikian, perbincangan mengenai keadilan yang


disampaikan al-Mawardi. Perbincangan mengenainya dapat
dikatakan cukup rinci melalui pembagian keadilan ke dalam
beberapa jenisnya, meskipun perbincangannya sangat padat, tidak
terlalu panjang, tetapi cukup memberikan pemahaman luas
mengenai keadilan, serta menjadi inspirasi dalam mempraktekan
keadilan di tengah-tengah masyarakat dan seluruh rakyat di era
modern dan kontemporer.

6.Sistem Pemerintahan (Nizam al-Hukmi)


Al-Mawardi berbeda dari al-Farabi dalam melihat
perpolitikan yang tengah berjalan pada masa hidupnya masing-
masing. al-Farabi menawarkan konsep-konsep politik yang serba
sempurna atauideal, sehingga menjadi utopis, mengawang, tidak
membumi. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran politik yang
ditawarkan al-Farabi sangat bertolak belakang dari realitas
perpolitikan yang tengah berjalan, sehingga pemikiran politiknya
tidak terealisasi pada tataran praktis, padahal situasi politik pada saat
ia hidup sangat memerlukan perbaikan-perbakan (reformasi) dalam
menghadapi situasi politik yang tidak menentu karena sering terjadi
gonjang ganjing.403Al-Mawardi sangat berbeda dari al-Farabi,
karena pemikiran politiknya tidak terlepas dari situasi dan

403
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 294
432

permasalahan politik yang tengah terjadi pada masanya, maka


pemikiran politik al-Mawardi sangat realistik sehingga
memungkinkan untuk direalisasikan dalam kehidupan nyata.Oleh
karena itu pandangan politiknya merepresentasikan pemikiran
politik yang tengah berupaya mencari penyelesaian terhadap
permasalahan yang terjadi.Dengan demikian, pemikiran politik al-
Mawardi memiliki kekuatan sebagai jawaban terhadap situasi politik
yang buruk (`ushur al-fasadwaal-idhmihlal). Dan sebagai bukti
keberhasilannya, al-Mawardi diberi kedudukan penting dan
terhormat di mata Khalifah al-Qadir.404
Olehkarena itu, kita lihat bagaimana al-Mawardi menegaskan
bahwa jabatan Imam atau Khalifah (kepala negara) tetap harus
dipegang oleh bangsa Arab dari keturunan Quraisy. Hal ini
dimaksudkan al-Mawardi agar kesatuan umat tetap terpelihara dalam
menghadapi dominasi politik yang digerakkan oleh para pejabat
tinggi Persia dan Turkey yang dari hari ke hari terus semakin
menguat. Demikian juga al-Mawardi menegaskan bahwa jabatan
Wazir Tafwid atau Perdana Menteri yang bertugas sebagai
kordinator menteri-menteri tetap harus dipegang oleh orang bangsa
Arab. Hal ini dalam rangka mempertahankan kesatuan langkah
dalam mengambil kebijakan politik antara kepala negara (Khalifah)
dan Wazir Tafwid, sehingga tidak terjadi konflik internal. 405
Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Mawardi telah meletakan
dasar-dasarsistem politik yang kokoh bagi pemerintahan (muhkam
al-bunyan, jamil al-takwin) yang harus menjadi landasan bagi Imam,
Khalifah, Wazir Tafwid, para Wazir Tanfiz (Menteri-menteri yang
mengepalai kementerian), para Gubernur, para pemimpin Tentara
(Panglima Perang), Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat), para Hakim
(al-Qadhi), para pengawas kebijakan politik pemerintah (al-
Muhtasib), dan para pejabat yang menangani orang-orang yang
melakukan tindak pidana atau kriminal. Selain dari itu, bagaimana
al-Mawardi mengkonsep mekanisme pemilihan Khalifah atau Imam
(intikhab rais al-daulah), baik yang diselenggarakan melalui
pemilihan langsung secara demokratis (menurut istilah sekarang),
ataupun melalui penunjukan langsung oleh Khalifah atau Imam yang

404
. Ibid. h. 295
405
. Ibid. h. 296
433

tengah berkuasa kepada salah seorang putranya yang dikehendaki


sebagai putra mahkota secara alur waris. Al-Mawardi juga
menyampaikan sesuatu yang menjadi asas bagi tegaknya sebuah
negara, yaitu enam pilar negara sebagai dasar aturan atau perangkat
yang akan menciptakan ketertiban sosial politik (sholah al-
dunya).406Semua pandangan al-Mawardi sebagaimana disebutkan di
atas merupakan sumbangan pemikiranya tentang bagaimana
mengelola sebuhpemerintahan saat itu, menjadikan kita ingin
menyatakan bahwa al-Mawardi memiliki pandangan politik yang
didasarkan pada realitas kehidupan sosial politik dalam tataran
praktis yang sedang berjalan pada masanya.

7.KonsepsiKepemimpinan (al-Imamah)
Dalam konteks ini al-Mawardi berbicara tentang
kepemimpinan negara, siapa dan apa fungsinya ?Siapa yang
dimaksud Imam ?. Imam atau pemimpin menurut al-Mawardi adalah
Khalifah, al-Malik( raja), al-Rais (Presiden),Sulthan (Penguasa),
Qaid al-Daulah (Pemimpin negara). Dalam mendiskuskan beberapa
istilah tersebut yang berbeda-berbeda tetapi sinonim dalam maksud
yang sama, yaitu kepala negara, al-Mawardi memasukkan
pemahaman keagamaan (al-mafahim al-diniyah) pada politik (al-
mafahim al-siyasiy).407 Hal ini sesuai dengan pernyataanya di awal
Bab bukunya; al-Ahkam al-Sulthaniyah, yaitu; al-Imamah
maudhu`atun li khilafah al-Nubuwwah fiy hirasah al-din wa siyasah
al-dunya, artinya; Kepemimpinan dibentuk untuk menggantikan ke-
Nabian (an-Nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan
mengelola urusan kehidupan dunia 408 (politik).409 Dengan

406
. Lihat. h. 65 - 68
407
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam. h.
297
408
. Istilah dunia (dalam konteks pembicaraan politik ) yang sering
digunakan oleh para pemikir politik Islam di abad klasik dan pertengahan
menunjuk pada pengertian pengelolaan kehidupan umat atau masyarakat banyak.
Pengelolaan ini bertujuan terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram.
Dengan demikian, penggunaan istilah dunia dalam konteks pengelolaan kehidupan
umat berarti politik.
409
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah( Kairo: Musthofa al-Babi al-
Halabi, 1966 ), h. 5
434

demikian, seorang Imam adalah pemimpin agama ( za`im diniyah )


dan sekaligus pemimpin politik ( za`im siyasiyah ).
Keberadaan Imam (kepala negara) merupakan entitas dalam
kehidupan orang banyak atau masyarakat. Kebutuhan terhadap
seorang pemimpin akan muncul di tengah-tengah masyarakat
dengan sendirinya atau melalui proses, di mana lahir upaya
masyarakat untuk membentuknya. Pemimpin atau Imam
dideskripsikan berada pada posisiterdepan ( seperti seorang Imam
shalat) diharapkan dapat membawa masyarakat atau umatnya ke
dalam kondisi yang damai, tenteram, aman, dan sejahtera. Dalam
konteks ini al-Mawardi menegaskan bahwa pembentukan seorang
Imam adalah fardhu kifayah, yaitu keharusan berdasarkan tuntutan
alami, baik atas dasar pertimbangan pemikiran atau atas dasar
pertimbangan adat kebiasaan.Fardhu kifayah dari sudut pandang
hukum fiqh adalah pekerjaan yang menjadi keharusan untuk
dilaksanakan tetapi cukup jika sudah dilakukan oleh satu orang
saja.sama seperti meshalati jenazah adalah fardhu kifayah, berbeda
dengan fardhu ain adalah pekerjaan yang menjadi kewajiban bagi
setiap individu muslim di mana saja dan kapan saja. Pandangan ini
menurut al-Mawardi mendapatkan persetujuan (ijmak) para
Ulama. 410Selain itu, pandangan ini juga didasarkan pada realitas
sejarah perpolitikan yang terjadi pada masa pemerintahan Khulafa
al-Rasyidin, Khilafah Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah
sebagai lambang kesatuan politik umat Islam saat itu. 411
Menciptakan dan memelihara kemaslahatan umat
berdasarkan agama yang disyariatkan (agama Islam), menurut al-
Mawardi merupakan kewajiban, maka berdasarkan keyakinanya
bahwa memelihara kemaslahatan umat akan melahirkan
kesepakatan-kesepakatan pandangan di kalangan umat Islam itu
sendiri melalui ide-ide yang disepakati bersama (wa tajtami`u al-
kalimatu a`la ra`yin matbu`in). Hal ini akan berimplikasi pada
lahirnya stabilitas politik, demikian juga aturan-aturan agama akan
menjadi kokoh (qawaid al-millah), maka dengan sendirinya akan
lahir kemaslahatan, yaitu; kedamaian dan ketenteraman hidup bagi
410
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 5
411
. Lihat Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer ( Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2003 ), h. 18
435

seluruh umat (warga negara ).412Demikian ini karena seorang Imam


(kepala negara) akan berupaya mencegah terjadinya kezaliman,
sekaligus bertindak sebagai pendamai di antara dua orang atau
beberapa kelompok yang saling bertengkar atau konflik. Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa jika tidak ada seorang Imam di
suatu wilayah, maka bisa dipastikan kondisi masyarakat akan kacau
dan rusak (faudha).413 Dengan demikian, seorang Imam; Khalifah,
Raja, Sulthan atau pun Presiden harus ada sebagai pengelola dan
mengatur kehidupan umat atau masyarakat banyak.

8.Seleksi Pemimpin
Setelah selesaiberbicara tentang kepemimpinan umat
sebagaimana disebutkan di atas.Selanjutnya al-Mawardi
menjelaskan tentang siapa dan dari mana kepemimpinan umat itu
datang dan dapat dipilih menjadi Imam (kepala negara) berdasarkan
seleksi, siapakah yang paling layak sebagai pemimpin sesuai dengan
syarat-syarat yang diajukan al-Mawardi. Dalam konteks ini al-
Mawardi menjelaskan bahwa langkah awal untuk menentukan
seorang Imam (kepala negara) adalah melalui identifikasi dua
pola, 414yaitu;
Pertama; Melalui Ahl al-Ikhtiyar, yaitu mereka-mereka yang sudah
memiliki kelayakan untuk dipilih (intikhab) menjadi Imam (kepala
negara). Teknis atau mekanismepemilihanya adalah mereka diberi
wewenang untuk menseleksi siapakah di antara mereka yang paling
layak untuk menjadi Imamsesuai dengan syarat-syarat yang
diberlakukan. Dalam hal ini al-Mawardi mengajukan tiga syarat
yang harus dipenuhi oleh mereka, yaitu;
1. Memiliki sikap adil dalam berbagai aspeknya ( al-`adalah al-
jami`ah ),
2. Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka
dapat mengambil keputusan terhadap hal-hal penting, dan
dapat berijtihad terhadap kasus-kasus yang terjadi (masalah-
masalah aktual), serta dapat berijtihad tentang hukum ( al-

412
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 297
413
. Ibid.
414
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 5- 6
436

`ilmu al-muaddiyah ila al-ijtihad fiy al-nawazil wa al-


ahkam),
3. Memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang
memungkinkan mereka memilih siapa di antara mereka yang
paling layak untuk dipilih menjadi Imam (al-ra`yu wa al-
hikmah al-muaddiyani ila ikhtiyari man hua lil imami aslah
wa bi tadbiiri al-masalih aqwam wa a `raff).
Dalam konteks ini, al-Mawardi tidak menjelaskan apakah
dalam pemilihan ini melibatkan seluruh rakyat sebagaimana yang
dilakukan di era kontemporer, terutama ketika pemilihan diadakan
secara langsung dan demokratis, atau hanya sebatas melibatkan
orang-orang tertentu saja, yaitu mereka-mereka yang memiliki
kelayakan untuk menduduki jabatan Imam ( kepala negara ). Tetapi
berdasarkan telaah terhadap pemikiran al-Mawardi bahwa pemilihan
Imam dalam konteks ini hanya melibatkanmereka-mereka yang
memenuhi kriteria kelayakan sebagai Imam, sebagaimana al-
Mawardi menyebutnya Ahlul Ikhtiar. Dalam hal pemilihan Imam
pada pola pertama ini, rupanya al-Mawardi tidak mensyaratkan
bahwa calon Imam harus dari kalangan keturunan Quraisy, berbeda
dengan pola yang kedua sebagaimana yang akan dibicarakan setelah
ini.
Kedua; Imam dari Ahl al-Imamah (kepemimpinan), yaitu orang-
orang yang memiliki kewenangan untuk menduduki jabatan Imam
(kepala negara) berdasarkan alur keturunan ahli waris, sebagaimana
yang sudah menjadi tradisi di dalam sistem pemerinthan monarchi
atau kerajaan. Al-Mawardi dalam hubungan ini menyampaikan tujuh
syarat yang harus ada pada mereka, sebgai berikut;
1. Memiliki sikap adil dengan segala persyaratannya,
2. Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka
berijtihad terhadap masalah-masalah aktualdan masalah-
maslah hukum (al-ijtihad fiy al-nawazili wa al-ahkam),
3. Sehat dan normal pendengarannya, sehat penglihatannya,
dan sehat pula lisanya. Hal ini agar dapat dipastikan bahwa
mereka mampu menangkap permasalahan-permasalahan
secara langsung (mubasyaratan), tanpa melalui perantara
atau pembisik,
437

4. Utuh semua anggota tubuhnya, tidak ada yang cacat. Hal ini
dimaksudkan agar tidak menjadi penghalang ketika
mertekabangun dari tempat tidurnya atau bergerak dari satu
tempat ke tempat lain dalam rangka melaksanakan tugas dan
kewajibanya.
5. Wawasan yang cukup dan memadai untuk mengatur
kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umat (siyasah
al-ra`iyyah wa tadbiir al-mashaalih),
6. Keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan
mengalahkan nusuh di medan perang (himayah al-biidhah
wa jihad al-`aduww),
7. Keturunan Quraisy (an yakuna al-nasab min Quraisyin).
Dalam konteks ini, bahwa keturunan Quraisy menjadi syarat
bagi Imam (kepala negara), al-Mawardi berargumentasi bahwa
syarat ini berdasarkan nas hadist Nabi dan ijmak Ulama, kecuali
dalam kondisi tertentu di mana keturunan Quraisytidak lagi
memungkinkan menjabat Imam. Al-Mawardi menegaskan bahwa
Abu Bakar di hari Saqifah menyampaikan hadist Nabi yang
berbunyi; al-Aimmatu min Quraisyin (para pemimpin itu dari orang-
orang Quraisy). Hadist ini disampaikan Abu Bakar kepada
komunitas Anshar ketika mereka mau membaiat Saad bin Ubadah
menjadi pengganti Nabi (Khalifah Nabi) setelah Nabi wafat.
Kemudian orang-orang Anshar setelah mendengar hadist yang
disampaikan Abu Bakar, mereka mengurungkan niatnya dan
kembali bersatu bersama orang-orang Muhajirin menyetujui
pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang berketurunan
Quraisy. 415

9.Mekanisme Pemilihan Imam ( Kepala Negara )

415
. Dalam praktek perpolitikan di zaman Jahiliyah sebelum kelahiran
Nabi Muhammad saw. orang-orang ras Quraisy selalu menjadi pemimpin dan
bahkan menjadi simbol kesatuan masyarakat Mekah. Di zaman Islam, yaitu zaman
setelah Nabi Muhammad saw. mengembangkan risalah Islam, kepemimpinan
umat selalu berada pada kendali orang-orang Quraisy dalam beberapa periode,
bahkan dalam beberapa abad, kepemimpinan tertinggi umat (khalifah) memang
dijabat oleh orang-orang yang masih keturunan Quraisy, bahkan sejak era Nabi
sendiri, era Khulafa al-Rasyidin, era Dinasti Umayyah, dan di era Dinasti
Abbasiyah, kecuali Dinasti Ottoman Turkey.
438

Pada prinsipnya Islam sangat menekankan musyawarah


sebagai salah satu cara dalam menentukan hal-hal penting yang
melibatkan kepentingan orang banyak atau masyarakat, termasuk
dalam hal ini tentang bagaimana memilih seorang pemimpin atau
kepala negara, meskipun kemudian terjadi perubahan dalam
memilih pemimpin (khalifah, raja) dengan berdasarkan penunjukan
langsung oleh kepala negara yang sedang berkuasa kepada orang
terdekatnya melalui tradisi sistem putra mahkota ( waliyul `ahdi).
Dalam konteks ini al-Mawardi berpendapat bahwa pemilihan
Imam (kepala negara) dapat diselenggarakan melalui dua
mekanisme, yaitu;
1. Pemilihan yang diselenggarakan oleh Ahlul `Aqdi wa al-
Halli (bi ikhtiyari Ahlul `Aqdi wa al-Halli),416 yaitu suatu
lembaga atau komite yang beranggotakan beberapa orang
ahli.
2. Pengangkatan oleh kepala negara yang sedang berkuasa
kepada salah seorang putranya atau keluarga terdekatnya,
kemudian dilanjutkan dengan acara penobatannya sebagai
putra mahkota (bi `ahdi al-imam min qablu).417

Selanjutnya al-Mawardi menegaskan bahwa jika seorang


Imam dipilih melalui mekanisme pemilihan Ahlul `Aqdi wa al-Halli,
beberapa Ulama berbeda pendapat tentang berapa jumlah orang
yang menjadikan sah pemilihannya. Dalam hal ini al-Mawardi
menyebutkan setidaknya ada empat kelompok yang berbeda
pendapat, yiatu;
1. Sekelompok Ulama berpendirian bahwa pemilihan hanya sah
jika diselenggarakan oleh seluruh Ahlul `Aqdi wa al-Halli
dari seluruh pelosok negeri, sehingga persetujuan dan
penerimaan Imam diperoleh secara konsensus.

2. Sekelompok Ulama lainya berpendirian bahwa pemilihan


bisa sah jika diselenggarakan paling tidak oleh lima orang

416
. Munawir Sjadzali di dalam bukunya; Islam dan Tata Negara,
menjelaskan bahwa Ahlul `Aqdi wa al-Halli sebenarnya mereka itu adalah Ahlul
Ikhtiyar, yaitu; orang-orang yang diberi wewenang untuk memilih seorang
pemimpin. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 64
417
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 6
439

anggota, dan seorang dari mereka diangkat sebagai Imam


dengan persetujuan empat orang dari anggota ini. Kelompok
Ulama kedua ini menyampaikan dua argumen, Pertama;
bahwa Abu Bakar dipilih dan dibaiat oleh lima orang, dan
kemudian diikuti oleh masyarakat. Lima orang itu ialah
Umar bin Khattab, Abu Ubaedah bin Jarrah, Usaid bin
Hudair, Biser bin Sa`ad, dan Salim (hamba sahaya Abu
Huzaefah). Kedua; Umar ketika masih menjabat Khalifah
dan diakhir masa pemerintahannya telah membentuk Dewan
Formatur sebagai majlis syura yang beranggotakan enam
orang untuk memilih seorang di antara mereka sebagai
khalifah dengan persetujuan lima anggota yang lain dari
Dewan Formatur ini.

3. Kelompok Ulama ketiga (Ulama Kufah) berpendapat bahwa


pemilihan itu sah meskipun dilakukan oleh tiga orang untuk
mengangkat seorang di anatara mereka sebagai Imam dengan
persetujuan dua orang yang lainnya.

4. Kelompok Ulama keempat berpendapat bahwa pemilihan


seorang Imam sah meskipun dilakukabn oleh seorang saja.
Kelompok ini berargumenasi bahwa Ali bin Abi Thalib
diangkat oleh al-`Abbas (pamannya sendiri dan juga paman
Nabi ).418
Terkait dengan pengangkatan seorang kandidat Imam
melalui penunjukan langsung oleh kepala negara yang sedang
berkuasa, al-Mawardi menegaskan bahwa kepala negara yang
sedang berkuasa sebelum menunjuk calon penggantinya, dia harus
memastikan bahwa yang ditunjuknya itu benar-benar orang yang
paling memenuhi syarat kelayakan dan berhak untuk mendapatkan
amanah, serta kehormatan yang tinggi. 419
Berdasarkan apayang disampaikan al-Mawardi di atas
tentang mekanisme pemilihan Imam (kepala negara), dapat

418
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 6 – 7. Lihat juga
Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 299 - 300
419
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 10. Lihat juga Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 64 -65
440

ditegaskan bahwa al-Mawardi mengakui keabsahan dua model


pemerintahan yang diimplementsikan umat Islam. Pertama; model
pemerintahan khilafah berdasarkan pemilihan secara demokratis.
Kedua; model pemerintahan berdasarkan sistem monarchi
(kerajaan).

10.Masa Jabatan Imam


Dalam konteks ini al-Mawardi berbicara tentang berapa lama
seorang Imam (kepala negara) menduduki jabatan khalifah. Apakah
seumur hidup atau berbatas waktu ?. Berdasarkan sejarah
pemerintahan umat Islam dalam beberapa abad yang lalu, baik di
abad-abad klasik (650 – 1250 M.) atau pun di abad-abad
pertengahan (1250 – 1800 M.) ,420yaitu sejak era Nabi Muhammad
saw. era Khulafa al-Rasyidin, era Dinasti Umayyah, era Dinasti
Abbasiyah, dan termasuk era Dinasti Turkey Othoman (Turkey
Usmaniy), semua kepala negara menduduki jabatannya sebagai
Khalifah, Raja seumur hidup sampai dia meninggal dunia atau
wafat.
Secara tersirat,realitas ini disetujui oleh al-Mawardi di dalam
karyanya; al-Ahkam al-Sulthaniyah. Dalam konteks ini Al-Mawardi
menegaskan bahwa seorang Khalifah diperbolehkan mengangkat
(mencalonkan) dua orang calon khalifah sekaligus untuk menduduki
jabatan khalifah, tetapi jika Khalifah yang sedang berkuasa tidak
menetapkan siapa yang lebih dahulu menduduki jabatan khalifah,
maka dalam kondisi seperti iniAhlul Ikhtiyar (Ahlul Halii wa al-
`Aqdi) sebagai ahlu Syura tegas al-Mawardi harus mengadakan
pemilihan kepada ke dua calon khalifah tersebut untuk menentukan
siapa di antara keduanya yang lebih dahulu menduduki jabatan
khalifah, tetapi pemilihan ini dilakukan setelah wafatnya khalifah
yang sedang berkuasa.421 Penjelasan al-Mawardi ini menujukan
bahwa masa jabatan seorang kepala negara sampai dia meninggal
dunia atau wafat atau boleh dikatakan seumur hidup.
Jabatan Imam (kepala negara) seumur hidup ini tetap
diberlakukan sepanjang tidak terjadi perubahan pada diri dan

420
. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (
Jakarta: UI-Press, 2013 ), Jld. 1, h.50
421
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 11
441

perilaku Imam (khalifah atau raja) dan termasuk calon khalifah yang
biasa disebut waliul `Ahdi (putra mahkota). Perubahan yang
dimaksud adalah jika seorang kepala negaramelakukan pelanggaran
hukum, tidak berlaku adilatau menyalah gunakan wewenang, maka
seorang Imam (khalifah, raja) dan termasuk putra mahkota dapat
dilengserkan dari jabatannya, tanpa harus menunggu sampai
meninggal dunia, maka dia akan kehilangan jabatannya karena
dianggap tidak layak. Pemberhentian juga bisa terjadi karena dia
mengundurkan diri dari jabatannya. Berdasarkan kasus-kasus
tertentu seperti disebutkan di atas pergantian jabatan khalifah tidak
harus sampai menunggu wafatnya Imam (khalifah, raja) yang sedang
berkuasa atau putra mahkota.422
Masa jabatan Imam (khalifah, raja) seumur hidup ini
kemudian menjadi tradisi di dalam perpolitikan umat Islam,
sehingga di abad modern dan kontemporer seperti sekarang ini di
banyak negara Arab, antaranya; Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan
Jordania, Kuet, Qatar, Republik Arab Mesir, Syria dan lain-lain, dan
meskipun sudah ada beberapa negara yang dalam bentuk republik,
seperti Mesir, Libiya dan lain-lain, masa jabatan kepala negara
(presiden, raja) tetap saja seumur hidup. Hal ini berbeda dengan
negara Republik Islam Iran, Turkey dan lain-lain yang sudah
melaksanakan pembatasan jabatan kepala negara secara periodik,
dan ini dilakukan melalui setiap kali penyelenggaran pemilihan
umum sebagai layaknya negara-negara yang menerapkan sistem
demokrasi.

11.Pemecatan(Impeachment) Imam
Dalam konteks ini al-Farabi menegaskan bahwa jika calon
Imam (kepala negara) terpilih sudah ditetapkan sebagai Imam
(khalifah, raja) yang sah dan definitive sesuai dengan aturan dan
persyaratan yang ditetapkan, maka rakyat seluruhnya harus
memberikan loyalitas penuh kepada Imam sebagai kewajiban dalam
dua hal pokok, yaitu;
1. Kewajiban mentaati Imam,

422
. Ibid.
442

2. Kewajiban membantu Imam. 423


Kewajiban mentaati dan membantu Imam ini akan tetap
berlaku sepanjang Imam yang bersangkutan tidak berubah
perilakunya (ma lam yataghayyar haluhu) sebagaimana disebutkan
sebelum ini. Dalam arti dalam kondisi yang normal dan tetap
menjalankan pemerintahannya denganpenuh tanggung jawab dan
adil berdasarkan syariat dan peraturan yang diberlakukan, maka
kewajiban mentaati dan membantu Imam tetap diberlakukan dan
tidak ada pemberhentian atau pemecatan kepadanya. Sebagaimana
Ahlul Ikhtiyar atauAhlul Halli wa al-`Aqdi tidak dapat memecat
orang yang dibaiatnya jika tidak terjadi perubahan pada dirinya dan
perilakunya (kama lam yakun li Ahlil Ikhtiyar `azlu man baya`uhu
idha lam yataghayyar haluhu). 424Sebagai penjelasan rinci terkait
perubahan yang terjadi kepada seorang Imam ( kepala negara) dapat
disampaikansebagai berikut, yaitu berubah karena;
1. Menyimpang dari keadilan,
2. Kehilangan panca indra atau organ tubuh yang lain,
3. Kehilangan kebebasan bertindak karena telah dikuasai
oleh orang-orang terdekatnya (tahta saytharah al-
muqarrabin lahu),
4. Tertawan musuh (wuqu`uhu tahta al-usar).425
Oleh karena itu, jika seorang kepala negara terbukti berubah,
dalam arti dia telah melakukan tindakan-tindakan yang dianggap
melanggar hukum atau dia dalam kondisi tidak dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik sebagaimana disebutkan di atas, maka kepala
negara (Imam) dapat diberhentikan, diimpeach atau dilengserkan
dari jabatannya sebagai kepala negara atau Imam (khalifah, raja).
Kemudian siapakah yang memiliki wewenang untuk
melakukan pemberhentian atau meng-impeachseorang kepala negara
(Imam) dari jabatannya atau kedudukannya ?. Dalam hal ini
sebagaimana ditegaskan al-Mawardi di atas bahwa Ahlul Ikhtiyar

423
. Ibid. h. 11. Lihat juga Muhammad Jalal syaraf et al, al-Fikr al-
Siyasiy Fiy al-Islam, h. 305
424
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 11
425
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 305 –
306. Lihat juga Munawir sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 65 - 66
443

atauAhul Halli wa al-`Aqdi tidak dapat memecat orang yang


dibaiatnya jika tidak terjadi perubahan pada diri dan perilakunya.
Pernyataan ini dapat dipahami bahwa jika seorang kepala negara
(Imam) telah terjadi perubahan pada diri dan perilakunya dengan
melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum atau tidak
dapat menjalankan tugasnya dengan baik karena berbagai alasan dan
faktor, maka Ahlul Ikhtiyar atauAhlul Halli wa al-`Aqdi dapat
memberhentikan kepala negara dari jabatannya. Jadi,sebenarnya
yang memiliki wewenang untuk memberhentikan kepala negara dari
jabatannya adalah Ahlul Halli wa al-`Aqdi. Ahlul Halli wa al-
`aqdiadalah semacam lembaga tinggi negara dalam persepektif
pemahaman modern, atau bisa saja pemberhentian itu melalui cara-
cara inkonstitusional, seperti revolusi atau kudeta sebagaimana yang
sering terjadi di beberapa negara di abad modern dan kontemporer,
antaranya revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Imam
Khomeini di akhir tahun 70-an, kudeta yang dipimpin oleh el-Sisi di
Mesir yang berhasil menggulingkan Presiden Mursi pada tahun 2013
dan sebagainya.

12.Teori Kontrak Sosial


Salah satu kontribusi terbesar dari al-Mawardi kepada dunia
ilmu politik adalah teorinya tentang kontrak sosial. Suatu kontrak
yang mengatur hubungan antara Ahlul `Aqdi wa al-Halli atau Ahlul
Ikhtiyar dengan Imam (kepala negara) yang terjalin dengan baik
sebagai bentuk perjanjian (al-mu`ahadah) antara kedua belah pihak.
Oleh karena itu konstruksi hubungan antara kedua belah pihak
tersebut harus didasarkan atas sukarela. 426Dalam arti bahwa kontrak
sosial itu tidak didasarkan pada paksaan, tekanan ataupun
berdasarkan gratifikasi yang berujung pada apa yang disebut dengan
politik transaksional, sebagaimana hal ini sering terjadi di banyak
negara di era modern sebagai bentuk pembenaran terhadap salah
kaprah dalam permainan politik, seperti yang disampaikan Harold
Lasswell; siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. 427
Pemahaman politik seperti ini akan terjebak pada praktek-praktek

426
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 67
427
. Dikutip dari Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik ( Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992 ). h. 1
444

pragmatisme, dan ini berimplikasi pada tidak adanya komitmen pada


kontrak sosial dan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Kontrak sosial antara Ahlul `Aqdi wa al-Hall atauAhlul
Ikhtiyar dengan sendirinya akan melahirkan kewajiban dan hak bagi
kedua belah pihak atas dasar timbal balik dan untuk memelihara
kepentingan bersama. Oleh karena itu menurut al-Mawardi, Imam
(kepala negara) selain memiliki hak untuk ditaati dan juga untuk
menuntut loyalitas penuh kepada rakyatnya, sebaliknya Imamjuga
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan untuk
rakyatnya, yaitu kewajiban;
 Memberikan perlindungan, dan
 Mengelola (memanej) kepentingan rakyat dengan baik dan
penuh tanggung jawab.
Secara rinci kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung
jawab kepala negara kepada rakyatnya, al-Mawardi menyebutkan
setidaknya sebanyak sepuluh kewajiban yang harus direalisasikan
oleh kepala negara. Sepuluh kewajiban ini pada saat yang sama
adalah juga merupakan hak-hak rakyat yang harus diperolehnya
sebagai warga negara (an yakuna al-Imam bi `asyri umurin atau
mahamin tu`tabaru min haqaiqal-ummah alayhi ).428Sepuluh
kewajiban tersebut sebagai berikut;
1. Memelihara keaslian dan kesucian agama (agama Islam) agar
tidak terjadi pencemaran dan penyelewengan.
2. Menegakkan supremasi hukum, baik dalam rangka
mencegah terjadinya pertengkaran antara dua orang atau
kelompok yang bersengketa, atau meredam konflik antar
sesama kelompok atau masyarakat yang sedang bermusuhan,
sehingga tercipta kondisi yang kondusif, aman dan damai.
3. Melindungi rakyatnya dari setiap tindakan-tindakan
penipuan, baik terhadap jiwa atau pun terhadap harta
kekayaan mereka.
4. Menegakkan batasan-batasan Allah (hudud Allah) agar tidak
melampui batas. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga
hal-hal yang harus dimuliakan (maharim Allah) dari setiap

428
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-SiyasiFiy al-Islam, h.
304
445

upaya pengrusakan, dan ini secara otomatis juga dalam


rangka melindungi hak-hak rakyat.
5. Mempertahankan benteng pertahanan dengan kekuatan dan
langkah-langkah strategis demi menjaga kepentingan dan
keamanan negara, sehingga musuh tidak mudah menyerang
atau memasuki wilayah perbatasan.
6. Menegakkan upaya-upaya prefentif terhadap orang-orang
yang tidak senang kepada Islam dan umatnya, yang
senantiasa melakukan propokasi dan mencari-cari kesalahan.
7. Menerapkan pajak kepada orang-orang non muslim dan
menerapkan kewajiban berzakat kepada orang-orang kaya
muslim sebagaimana telah ditetapkan Syariat Islam, baik
berdasarkan nas shareh ayat-ayat al-Qur`an, ataupun
berdasarkan kekuatan ijtihad.
8. Memberikan dana bantuan yang dialokasikan dari dana
Baitul Mal kepada rakyat, sebagaimana yang telah menjadi
hak mereka tanpa berlebihan atau kurang.
9. Merekrut orang-orang yang jujur atau amanah (al-
umana)untuk bekerja dan memperkerjakan orang-orang yang
bertugas memberikan bimbingan dan nasehat. Agar kinerja
mereka menjadi professional (kafaah), sehingga harta
kekayaan dan dana yang disimpan di lembaga-lembaga kas
negara tersimpan dengan aman karena dipercayakan kepada
orang-orang yang amanah.
10. Seorang Imam (kepala negara) senantiasa memantau dan
mengamati situasi politik dan kondisi masyarakat, agar dapat
melakukan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam mengelola
kehidupan rakyatnya dengan baik. 429
Sementara kewajiban rakyat (umat) kepada Imam, dan ini
berarti juga merupakan hak bagi Imam dari rakyatnya. Secara
umum paling tidak ada dua hal (wa wajaba lahu `alayhim haqqani),
yaitu;
1. Kewajiban untuk taat setia (al-thaat ) kepada Imam.

. lihat al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 15 – 16. Lihat juga


429

Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 304 - 305
446

2. Kewajiban membantu atau menolong ( al-nusrah ) Imam. 430


Dua kewajiban rakyat kepada Imam tersebut harus
direalisasikan selama Imam dalam kondisi normal,dalam arti tidak
terjadi perubahan pada kondisi kesehatan jasmani dan perilakunya.
Jika kemudian mengalami perubahannegatif pada kondisi kesehatan
atau perubahan negatif pada perilakunya, termasuk melakukan
pelanggaran terhadap aturan dan undang-undang Syariat Islam,
maka rakyat tidak harus melakukan ketaatan atau membantu Imam.
Dalam menelaah teori kontrak sosial al-Mawardi
sebagaimana dijelaskan di atas, Munawir Sjadzali berpendapat
bahwa ada yang menarik perhatian dalam konteks ini, di mana al-
Mawardi menyampaikan teori kontrak sosialnya pada abad XI,
sementara di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama
kalinya pada abad XVI.431 Artinya bahwa teori kontrak sosial lebih
dahulu lahir di dalam peradaban umat Islam, berbanding dengan
teori kontrak sosial yang lahir di Eropa, setelah sekitar lima ( 5 )
abad kemudian dari abad XI, teori kontrak sosial baru lahir di Eropa.
Menurut Munawir Sjadzali paling tidak ada empat pemikir politik
Eropa yang menyampaikan teori kontrak sosial mereka dengan versi
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Empat pemikir
politik Eropa yang menyampaikan gagasan kontrak sosial
tersebutadalah sebagai berikut;
1. Hubert Languet, seorang ilmuan Perancis yang hidup antara
tahun 1519 – 1581 M. Hubert dengan nama samarannya;
Stephen Junius Brutus kata Munawir Sjadzali, Hubert
menyatakan bahwa pembentukan negara itu didasarkan atas
dua kontrak, Pertama; kontrak dibuat antara Tuhan di satu
pihak dan raja serta rakyat di pihak lain. Kontrak ini berisi
bahwa raja dan rakyat akan tetap patuh kepada perintah-
perintah agama. Kedua; Kontrak dibuat antara raja dan
rakyat. Kontrak ini berisi bahwa rakyat berjanji untuk taat
dan patuh kepada raja, asalkan raja memerintah dengan
adil.

430
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 17
431
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 67
447

2. Thomas Hobbes, seorang ilmuan Inggris yang hidup antara


tahun 1588 – 1679 M. Hobbes berpendapat bahwa kontrak
sosial itu terjalin antara sesama rakyat sendiri, sementara raja
tidak termasuk ke dalam pihak yang terlibat kontrak
perjanjian tersebut. Oleh karena itu menurut Hobbes, raja
tidak terikat dengan kewajiban-kewajiban yang dibuat oleh
para kontraktor. Raja dengan kekuasaan dan jabatan yang
mutlak (absolute)merupakan pelimpahan dari kekuasaan
setiap individu masyarakat yang terlibat kontrak sosial itu.
Bahkan menurut Hobbes, sebagai peserta kontrak yang
melahirkan raja, rakyatlah pada hakikatnya yang
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan raja. Oleh
karenanya, rakyat tidak boleh mengeluh atau kecewa
terhadap kebijakan dan tindakan raja jika tidak tepat sasaran
atau tidak menguntungkan rakyat. Munawir Sjadzali dalam
komentarnya mengenai pandangan Hobbes ini dikatannya
sebagai gagasan yang aneh. 432 Betapa tidak !karena gagasan
Hobbes memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada raja
untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkan sesuai
dengan kehendak hatinya, baik atau buruk, kebaikan atau
kejahatan tanpa ada batas, rakyat tidak punya hak untuk
memberikan saran, apalagi kontrol kepada raja ( kepala
negara ). Kondisi seperti inilah menyebabkan raja menjadi
absolut.

3. John Locke, seorang ilmuan Inggris yang hidup antara


tahun1632 – 1704 M. Dia berpendapat bahwa raja adalah
pihak atau patner dari kontrak sosial itu. Jadi, kontrak sosial
itu terjadi antara raja dan rakyat, seperti halnya gagasan
kontrak sosial al-Mawardi. Bahkan menurut John locke
sebagai konsekuensi dari kontrak antara raja dan rakyat,
pemerintah merupakan suatu trust ( amanah, titipan ),
sedangkn rakyat sebgai trustor dan sekaligus beneficiary atau
pemberi amanah dan sekaligus kepentingannya, dan raja
sebagai trustee (penerima amanah).

432
. Ibid. h. 68
448

4. Jean Jaques Rousseu, seorang ilmuan Perancis yang hidup


antara tahun 1712 – 1778 M.Dia menegaskan bahwa kontrak
sosial itu hanya terjadi antara sesama rakyat atau antara
sesama anggota masyarakat. Dan melalui kontrak sosial itu,
masing-masing anggota masyarakat menyerahkan semua hak
perorangannya kepada komunitas sebagai suatu keutuhan.
Dengan demikian, semua hak alamiah, termasuk kebebasan
penuh untuk bertindak sekehendak hati yang dimiliki oleh
orang-orang dalam kehidupan alamiah itu pindah kepada
komunitas sebagai suatu keutuhan yang terdapat di
dalamnyakedaulatan rakyat. Dan kedaulatan ini tidak dapat
dipindah-tangankan dan tidak pula dibagi-bagi. 433

13.Imam dan Para Staff


Seorang Imam (kepala negara) memiliki kedudukan yang
sangat strategis. Keberhasilan atau kegagalan dalam memimpin
sebuah negara akan banyak ditentukan oleh seorang Imam. Hal ini
karena seorang Imam sebagaipengarah, penggerak, kordinator, dan
pemutus kebijakan-kebijakan strategis. Oleh karena itu, seorang
Imam harus memiliki kepribadian yang berwibawa, kapabel,
kredibel, amanah dan jujur.
Dalam konteks ini, al-Mawardi menegaskan bahwa seorang
Imam (kepala negara) berperan sebagai penjaga agama (hirasah al-
din), mengakomodir berbagai kepentingan umat yang berbeda-
berbeda, memastikan agar negara senantiasa dalam kondisi kondusif
dan stabil, mengkounter agar tidak terjadi pengkhianatan, atau tidak
terjadi ancaman tindak kekerasan terhadap negara dari mana saja
datangnya, baik dari internal atau eksternal, atau agar negara
terhindar dari upaya-upaya propokasi dari sebagaian warga yang
bertujuan menciptakan gonjang-ganjing, krisis, atau keburukan
(fasad) di tengah-tengah masyarakat.434
Semua ini harus ditangani secara tepat sasaran, dan dengan
kekuasaan yang kuat (bi sulthaniyah qawiyyah), dan dengan
pengawasan yang cukup efektif dan memadai (ri`ayah wafiyah). Jika
tidak, maka situasinya akan berubah menjadi ajang persingan
433
. Ibid. h. 69
434
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 307
449

kepentingan yang tidak terkendali, munculnya berbagai pandangan


yang bermacam-macam, dan semuanya akan berujung pada situasi
sulit dan krisis. Oleh karena itu, seorang Imam (Kepala negara)
harus dari kalangan orang-orang yang memiliki kekuatan, terutama
kekuatan pemikiran dan fisik, agar dapat menjaga agama dalam
kondisi yang baik, serta dapat mengelola negara dengan baik.435
Dengan demikian, akan tercipta situasi politik yang kondusif.
Kondisi seperti ini akanmenjadi lebih efektif dalam mengelola
negara, jika dilakukan oleh orang-orang yang dapat membantu
kepala negara secara jujur dan amanah untuk menjalankan berbagai
urusan kenegaraan (tadbir syu`un al-daulah).
Dalam konteks ini, secara birokratis al-Mawardi mengajukan
empat bagian utama para pejabat negaraatau pegawai, baik untuk di
tingkat pusat atau pun daerah (wilayah). Pembagian ini didasarkan
pada tata kelola (kerja) yang dibebankan kepada mereka. Empat
bagian utama ini sebagai berikut;
1. Para Pejabat negara yang memiliki kewenangan dan
kebijakan yang bersifat umum pada pekerjaan yang umum.
Mereka itu adalah para Menteri (al-Wuzara).

2. Para Pejabat yang memiliki kewenangan dan kebijakanyang


umum, tetapi pada tugas dan pekerjaan yang bersifat khusus
( spesifik ). Mereka itu adalah kepala daerah (Umara al-
Aqalim), seperti Gubernur, Amir, dan sebagainya.

3. Para Pejabat yang memiliki kewenangan yang khusus pada


pekerjaan yang umum. Mereka itu adalah para Qadhi
(hakim), para pemimpin tentara (Jenderal), para tentara yang
menjaga perbatasan, para penjaga benteng pertahanan, para
petugas yang menangani pajak dan zakat yang berada di
pusat pemerintahan.

4. Para Pejabat yang memiliki kewenangan yang khusus pada


pekerjaan yang khusus. Mereka itu adalah para hakim yang
bertugas di daerah, para petugas yang menganai pajak dan

435
. Ibid. h. 307
450

zakat yang ada di daerah, para penjaga perbatasan dan


benteng pertahanan yang berada di daerah. 436
Dalam hal ini, al-Mawardi di dalam karyanya; al-Ahkam al-
Sulthaniyah telah menjelaskan secara rinci tentang empat
pembagian utama para pejabat negara, baik yang di pusat atau pun di
daerah. Penulis tidak membahas ini semua, karena secara spesifik
pembahasannya berkaitan dengan persoalan-persoalan administrasi
publik.

BAB IX
PEMIKIRAN POLITIK
AL-GHAZALI

436
. al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, h. 21
451

1.Situasi dan latar Belakang Kehidupan Al-Ghazali


Al-Ghazali dilahirkan di kota Thus, bagian wilayah
Khurasan pada tahun 450 H/1058 M. dan wafat pada tahun 505
H./1111 M. di kota Thus juga. Imam al-Ghazali seorang Teolog
terkemuka, ahli hukum, pemikir yang orisinal, ahli tasawuf, pemikir
politik, dan sebagainya.Keilmuanya sangat luas dan mendalam
sehinggaal-Ghazali mendapatkan gelar Hujjatul Islam dan Amirul
Muslimin.Al-Ghazali boleh dikatakan seorang pemikir Islam yang
paling popular dan paling berpengaruh, terutama di dunia Islam,
termasuk bagi umat Islam Indonesia. Kepopuleran al-Ghazali
terutama karena karya monumentalnya, yaitu; Ihya Ulumuddin
(Mengaktualisasikan Ilmu-Ilmu Agama), selain karya-karyanya
yang lain, juga karena pemikiran-pemikiranya yang tertuang di
berbagai karyanya mencerminkan pemikiran dan wawasan yang
luas meliputi berbagai aspek disiplin ilmu, antaranya; Tafsir, Hadist,
Teologi (Akidah Islam), Fiqh, Usul Fiqh, Filsafat, Tasawuf,
Pendidikan, Politik, dan sebagainya.
Pada waktu hidupnya, al-Ghazali pernah mengabdi pada
lembaga pendidikan tinggi Nizamiyah atas perintah Nizamul Muluk
yang menjadiPerdana Menteri SulthanSaljuk, yaitu A. Arsalan pada
tahun 1091 M.Selama empat tahun al-Ghazali mengajar di al-
Nizamiyah sebagai mahaguru.Melalui jabatannya ini al-Ghazali
namanya melejit, sehingga dia terhitung salah seorang ilmuan yang
disegani, dan ahli hukum yang dikagumi, tidak saja di lingkungan
Nizamiyah, tetapi juga di kalangan pemerintah pusat di Baghdad. 437
Berdasarkan tinjauan sosial dan politik, pada masa hidupnya
al-Ghazali dunia Islam sedang dihadapkan pada kondisi
kemorosotan yang sangat parah dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya, carut marut dalam kehidupan sosial politik, kebobrokan
moral yang sudah begitu parah, para Ulama tidak lagi menjadi
rujukan karena tidak peduli dengan kondisi masyarakat, korupsi di
kalangan para pejabat negara sudah meluas, intrik-intrik politik yang
seringkali berbenturan dengan nilai-nilai Islam diperlihatkan secara
vulgar oleh para pemimpin dan pejabat pemerintah, pembunuhan

437
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 361.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 70
452

antara sesama saudara dalam memperebutkan kekuasaan menjadi hal


yang lumrah. Kemunculan berbagai permasalahan tersebut dipicu
antaralain oleh fenomena di mana kekuasaan Dinasti Abbasiyah
masa al-Ghazali sudah semakin lemah. Hal ini sebagai akibat dari
realitasbahwa kekuasaan strategis tidak lagi dikendalikan oleh
Khalifah, mungkin karena Khalifahnya sendiri yang lemah. Khalifah
tidak lebih sebagai boneka bagi para pejabat tinggi, antaranya Wazir
(Menteri atau Perdana Menteri) yang berasal dari Suku non-Arab,
seperti Turkey atau Persia (Iran).Di luar Istana Baghdad berdiri
negara-negara kecil yang tidak mau tunduk kepada
Khalifah.438Dalam menyikapi kondisi carut marut ini, al-Ghazali
menyampaikan kritikannya yang bersifat membangun;
Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan
para pemimpinnya, dan kerusakan para pemimpin
disebabkan oleh kerusakan para Ulama (para Intelektual),
kerusakan para Ulama disebabkan oleh cinta harta dan
kedudukan.Siapa saja yang dikuasai oleh ambisi duniawi, dia
tidak mampu mengurus (mengelola) rakyat.439
Selain dari itu, pada masa hidupnya al-Ghazali ada gerakan
ekstrim dan radikal yang digerakkan oleh kelompok Syiah
IsmailiyahBathiniyah,440merupakan salah satu sekte
Syiah.Kelompok sekte Syiah ini dipimpinoleh Hasan Ibnu al-

438
. Lihat Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer ( Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013 ), edisi revisi, h. 27. Lihat juga Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 71 - 72
439
. al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2, h. 381
440
. Disebut Bathiniyah, karena kelompok sempalan Syiah ini mengklaim
bahwa seorang Imam (pemimpin kelompok Syiah Ismailiyah Bathiniyah) sebagai
seorang yang ma`sum (terpelihara dari perbuatan dan perkataan yang salah).
Implikasi dari klaim bahwa apa pun yang dilakukan atau yang diperkatakan Imam
tidak ada yang salah, karena menurut anggapan mereka seorang Imam mengetahui
makna yang zahir dan makna yang bathin ajaran agama Islam yang disampaikan
Nabi Muhammad saw. Hal ini berdampak bahwa sesuatu yang salah dari seorang
Imam Syiah Ismailiyah Bathiniyah, boleh jadi dianggap benar oleh penganut
kelompok Syiah ini, karena Imam menurut mereka mengetahui ta`wil , yaitu;
memberikan makna yang lain, selain makna yang zahir dari nas ayat al-Qur`an
atau Hadist Nabi. Mereka berpendapat; bi anna kulla zahiirin bathinan, wa li kulli
tanzilin ta`wila. Lihat al-Syahristani, al-Mlal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-
Ma`rifah, 1984), Juz 1, h. 192
453

Sabbah, menjadi kelompok yang ditakuti karena mereka sering


diperalat oleh orang lain untuk membunuh lawan-lawan politiknya,
mereka menjadi pembunuh bayaran professional dan sebelum
melaksanakantugasnya terlebih dahulu diberikan minuman
keras.441Salah satu korbannya adalah Nizamul Muluk, salah seorang
pendukung setia al-Ghazali. Nizamul Muluk terbunuh oleh
kelompok sekte Syiah Ismailiyah Bathiniyah ini pada tahun 485
H./1092 M. Kematian Nizamul Muluk sangat menggusarkan hati al-
Ghazali, al-Ghazali khawatir kalau-kalau kelompok sekte Syiah
Ismailiyah Bathiniyah ini akan melakukan pembunuhan juga kepada
dirinya, karena al-Ghazali pernah mengecam paham kelompok
Bathiniyah ini. Oleh karena itu, al-Ghazali kemudianmeninggalkan
kota Baghdad menuju Damaskus untuk menghindari kekejaman
kelompok Syiah.
Pada awalnya al-Ghazali berharap dapat berbuat banyak
untuk memperbaiki (melakukan reformasiatau restorasi) kondisi dan
situasi yang sedang memburuk ini.Tetapi ternyata semuanya itu di
luar kemampuan al-Ghazali.Al-Ghazali tidak mampu berbuat
banyak, karena masalahnya sudah sangat kompleks. Dalam tataran
praktis realitas perpolitikan saat itu sudah muncul sikap
dualismeyang berkembang di kalangan para pejabat tinggi negara.
Tetapi sayang sekali upaya al-Ghazali mempertahankan wibawa
Khalifah dari rongrongan penguasa-penguasa regional non Arab
tidak berhasil. 442 Oleh karena itu, dapat dilihat bagaimana kekuasaan
Khalifah (kepala negara) hampir sebatas pada hal-hal yang sifatnya
spiritual keagamaan saja, sementara kekuasaan politik dan
kebijakan-kebijakan strategis sudah berada di tangahpenguasa-
penguasa regional atau lokal yang berada di wilyah-wilayah dunia
Islam, 443 apakah mereka yang bergelar Sultha, Raja, atau Amir.
Pada saat yang samatelah terjadi perkembangan yang sangat pesat
tentang mazhab atau aliran, baik dalam bidang akidah, seperti
mazhab Asy`ariyah, Maturidiyah, Mu`tazilah, Syiah, mau pun dalam

441
. Lihat Philip K. Hitti, History of Arab London: Macmillan University
Press, 1970), h. 446 – 447
442
. Ibid.
443
.Ibid. . 72
454

bidang hukum, seperti mazhab Maliki, Hanafi, Syafi`i, Hambali, dan


sebagainya. 444

2.al-Ghazali Konsultan Dua Pemerintah di Afrika Utara


Nasib al-Ghazali sebagaimana diungkapkan di atas tidak
selamanya menyedihkan.Kekecewaannya terhadap situasi
keagamaan dan politik dunia Islam bagian Timur saat itu sedikit
sebanyak terobati, ketika terjadi perkembangan politik di bagian
Barat dunia Islam yang menggembirakan. Kronologisnya pada masa
al-Ghazali di Afrika Utara sebelah Barat, telah berdiri dua Kerajaan
(Pemerintah);
1. Kerajaan Murabithin.
Kerajaan ini dibangun oleh Abdullah bin Yasin dan Yusuf
bin Tasyfin. Wilayah kerajaan ini meliputi Aljazair,
Marakisy, Afrika Barat, dan sebagian wilayah Andalusia
yang berbatasan dengan Spanyol dan Portugal.

2. Kerajaan Muwahidin.
Kerajaan ini dibangun oleh al-Mahdi bin Tumarat. Wilayah
kerajaan ini meliputi seluruh daerah Maghrib Arab dan
sebagian wilayah Andalusia.445
Imam al-Ghazali bersahabat dengan kedua-dua pendiri
Kerajaan tersebut. Yusuf bin Tasyfin pendiri Kerajaan Murabithin
berhubungan dengan al-Ghazali melalui korespondensi. Yusuf bin
Tasyfin senantiasa meminta nasehat kepada al-Ghazali tentang
masalah-masalah strategi perang, damai, dan kebijakan politik
pemerintahan. Oleh karena itu, Munawir Sjadzali menegaskan
bahwa al-Ghazali berhak ikut bangga dengan keberhasilan Yusuf
bin Tasyfin dalam membangun dan mengelola negara dengan penuh
keadilan dan kearifan. Dan oleh karena al-Ghazali dianggap berjasa
atas kontribusinya memberikan pandangan dan masukan kepada
Yusuf Tasyfin, al-Ghazali diberi anugerah Amirul Muslimin, bukan
Amirul Mukminin yang merupakan gelar untuk seorang Khalifah
saja, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan sebgainya.
444
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 362.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 72
445
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 367.
Lihat juga, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 72
455

Persahabatan al-Ghazali dengan pendiri Kerajaan


Muwahidinyang juga menghasilkan lahirnya negara berdasarkan
atas arahan (nasehat) dan petunjuknya adalah persahabatannya
dengan al-Mahdi bin Tumarat, pendiri Kerajaan Muwahidin setelah
dia berhasil memberontak Kerajaan Murabithin dan merebut
sejumlah wilayah kekuasaannya. Hubungan antara pendiri Dinasti
Muwahidin dengan al-Ghazali berlangsung selama tiga tahun,
merupakan hubungan yang dapat diumpamakan seperti hubungan
antara seorang muriddan guru (tutor).446Realitas ini sebagai
faktabahwa al-Ghazali telah memperlihatkan kapabelitasnya sebagai
seorang konsultan atau mentor bagikedua-dua pemerintah.

3.Kebutuhan Bermasyarakat dan Bernegara


Kebutuhan manusia untuk hidup berkumpul, bermasyarakat
dan bernegara merupakan sifatalamiah (fitrah) yang diciptakan
Allah kepada manusia, hal ini berbeda dengan makhluk lain selain
manusia seperti; kambing, kerbau, dan lain-lainnya yang bisa hidup
tanpa bergantung kepada yang lainya atau kepada sesamanya. Dalam
konteks ini al-Ghazali sebagaimana para pemikir politik
sebelumnya, juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk
sosial (insanun ijtima`iyyun) yang tidak dapat hidup sendirian., al-
Kebutuhan terhadap apa saja yang diperlukan manusia dalam
interaksinya antara sesama. Dalam konteks ini, al-Ghazali
menekankan setidaknya pada dua faktor penting yang ada pada
manusia, yaitu;
1. Kebutuhan terhadap keturunan (al-nasl).
Secara fitrah manusia di mana pun beradamemerlukan ini.
Hal ini dalam rangka mempertahankan kelangsungan
keberadaan umat manusia di dunia ini. Ini hanya dapat
terwujud jika dilakukan melalui pergaulan hidup antara
seorang lelaki dan perempuan sebagaimana layaknya
membina kehidupan sebuah keluarga.

2. Saling membantu dalam menyediakan bahan-bahan


makanan, pakaian, rumahdan pendidikan anak-anak.

446
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 368
– 369. Juga lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 73 - 74
456

Pergaulan hidup antra suami isteri akan melahirkan


keturunan (kecuali kalau salah satunya mandul). Dalam menjaga
anak sekaligus mencukupi kebutuhan hidup yang lain-lainya tidak
mungkin itu dapat dilakukan sendirian.447 Kehidupan keluarga yang
menempati sebuah rumah belumlah cukup untuk menyelesaikan
semua kebutuhan, karena bagaimana mungkin seseorangdapat
mengerjakan sawah atau ladangnya dengan sempurna tanpa alat-alat
pertanian, padahal untuk pengadaan alat-alat pertanian tersebut
diperlukan seorang pandai besi dan seorang tukang kayu. Kalau di
era modern dan kontemporer seiringan dengan kemajuan teknologi,
bermunculan industri yang memproduksi besi dan bahan-bahan
bangunan. Pengadaan makanan membutuhkan mesin penggiling
gandum atau padi untuk menjadikannya roti atau beras yang
kemudian menjadi nasi. Pengadaan pakaian memerlukan seorang
tukang tenun atau mesin tenun untuk menjahit baju-baju.448
Oleh karena itu, Al-Ghazali, sebagaimana para pemikir
politik muslim sebelumnya menegaskan bahwa manusia berbeda
dari kebanyakan binatang haiwan, manusia tidak sanggup hidup di
alam terbuka, maka demi menjaga kesehatan dan keamanannya
manusia memerlukan tempat tinggal atau rumah yang kokoh untuk
melindunginya dari udara panas, udara dingin, hujan dan gangguan
orang-orang jahat atau perampok, pencuri atau serangan para
penjahat. Untuk semua itu diperlukan kerjasama dan saling
membantu antara sesama manusia, antara lain dengan membangun
tembok tinggi di sekeliling pusat perumahan, maka atas dorongan
kebutuhan bersama itulah lahirlah negara, 449 yaitu sebuah organisasi
masyarakat yang dipimpin oleh seorang pemimpin (khalifah, raja,
sulthan, presiden, perdana menteri dan sebagainya ) yang memiliki
kekuasaan memaksa dan bertugas menciptakan tatanan atau sistem
bagi kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan hidup yang
diidamkan bersama.

4.Tatanan Kehidupan Perpolitikan

447
. Muhammad Jalal Syaraf, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 379 - 380
448
. Ibid.
449
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74 - 75
457

Ketika al-Ghazali menghubungkan politik dengan


akhlak,sebagaimana yang sudah menjadi tradisi para ilmuan muslim,
maka politik harus diarahkan kepada pembelajaran idukasi,
mensucikan diri, dan bimbingan (al-ta`lim, al-tazhib, wa al-irsyad).
Oleh karena itu, politik menurut al-Ghazali menduduki posisi yang
tinggi dan istimewa (mumtaz). Dalam konteks ini, al-Ghazali
menegaskan bahwatujuan manusia hidup telah tersurat di dalam
agama dan pengelolaan dunia (siyasah al-dunya). Oleh karenanya,
menurut al-Ghazali tidak akan tercipta keteraturan dalam beragama,
kecuali jika ada keteraturan pengaturan duniapolitik,450karena
sesungguhnya dunia adalah tempat menanam (mazra`ah) untuk
akhirat. Dengan demikian, dunia adalah tempatatau fasilitas yang
dapat dipergunakan untuk menghantarkan (al-musilah) manusia
kepada Allah, bukan menjadikannya tempat tinggal untuk selama-
lamanya (wathonan wa mustaqiman). Urusan dunia, dalam arti
pengelolaan dunia politik dapat tertata rapi melaluikebijakan-
kebijakanmanusia bijaksana dengan dasar undang-undang atau
peraturan-peraturan (regulasi) yang diberlakukan secara adil dan
konsekuen.
Dalam rangka menciptakan kehidupan masyarakat yang
tertata rapi, al-Ghazali membagi empat kategori pekerjaan atau
profesi dan sekaligus pengelolaannya untuk melahirkan apa yang
diperlukan manusia dalam kehidupannya agar tertata rapi. Keempat
kategori pekerjaan tersebut diarahkan untuk terciptanya keteraturan
hidup yang rapi,, yaitu;
1. Pertanian (al-zira`ah ).
Pekerjaan dan pengelolaan pertanian akan menghasilkan
bahan makanan (al-math`am), baik makanan pokok atau
makanan suplemen yang diperlukan oleh setiap manusia
hidup.

2. Pemintalan atau tekstil.

450
. Imam al-Ghazali, demikian juga kebanyakan para pemikir politik
Islam yang lain pada abad-abad pertengahan dan klasik dalam banyak kesempatan
dan konteksnya sering menggunakan kata dunya untuk pengertian politik, seperti
ungkapan al-Ghazali sendiri “ wa la nizama liddini illa binizami al-dunya “,
artinya; bahwa keberagamaan tidak bisa teratur, kecuali jika ada keteraturan
dunya, yaitu keteraturan politik.
458

Pekerjaan dan pengelolan pemintalan ini akan menghasilkan


bahan-bahan pakaian yang diperlukan oleh setiap manusia
untuk berbagai kepentingan, antaranya; baju, celana, kain,
dan sebagainya.

3. Bangunan perumahan.
Pekerjaan ini akan menghasilkan tempat tinggal atau rumah-
rumah (al-maskan) yang diperlukan oleh setiap manusia
sebagai tempat tinggal, kantor-kantor, lembaga-lembaga,
tempat ibadah, dan sebaginya.

4. Politik.
Politik atau pengelolaan berbagaiaktivitas kehidupan melalui
otoritas kekuasaan. Pengelolaan ini memerlukan
penanganan serius untuk menumbuhkan upaya kerja sama
dan saling bantu membantu bagi terciptanya kehidupan (al-
ma`isyah wa al-hayat al-ijtima`iyah) yang tentram, damai,
kondusif dan stabil. 451
Dari keempat-empat pekerjaan manusia tersebut,
pengelolaan politik, menurut al-Ghazali adalah yang paling penting
dan mulia, karena politik berkaitan dengan pengaturan dan
pengelolaan tatanan kehidupan dan kepentingan umat untuk
terciptanya kemaslahatan (istishlah) bersama. Oleh karena itu,
pekerjaan ini, yaitu aktivitas politik memerlukan tingkat
kesempurnaankapabelitas dan kredibelitas orang-orang yang akan
mengelola kehidupan umat atau rakyat. Orang-orang yang diberi
tugas (amanah) ini harus memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada para pejabat dan pegawai di bidang-bidang lainnya. 452
Politik (al-Siyasah) yang dimaksud al-Ghazali adalah
tindakan dan upaya memperbaiki kondisi manusia untuk diarahkan
ke jalan yang benar dalam rangka memperoleh keselamatan
(terciptanya stabilitas politik dan keadaan kondusif) di dunia dan di
akhirat. Oleh karena itu, pemahaman politik seperti ini, menurut al-
Ghazali terbagi ke dalam empat tingkatan, yaitu;

451
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, hlm.
372 – 373. Lihat juga Munawir Sjazdali, Islam dan Tata Negara. h. 75
452
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 373
459

Pertama: al-Siyasah al-Ulya (high politic); yaitu politik para Nabi


(Siyasah al-Ambiya ). Kekuasaan dan otoritas mereka
ditujukan kepada semua orang, baik yang khusus atau pun
yang umum, yang zahir dan yang bathin.
Kedua:Politik para Khalifah, para Raja, para Sulthan. Kekuasaan
dan otoritas merekaditujukan kepada orang-orang khusus
dan juga umum, tetapi hanya yang berkaitan dengan hal-
hal yang zahir atau yang real saja dan tidak pada hal-hal
yang bathin atau spiritual mereka.
Ketiga: Politik para Ulama (Siyasatul Ulama), yaitu pengaturan
hubungan antara Allah dan agama-Nya, dimana mereka
adalah para pewaris Nabi ( warasatul Ambiya ).
Kekuasaan dan otoritas mereka pada bathinatau spiritual
orang-orang secara khusus.
Keempat:Politik para da`idan para muballigh (al-Wu`az). Kekuasaan
dan otoritas mereka diarahkan pada bathin atau spiritual
orang-orang umum. 453
Dalam konteks ini, Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa
pekerjaan atauprofesi politik menurut al-Ghazali meliputi empat
subprofesi, yaitu;
1. Subprofesi pengukuran tanah (shona`atul masahah atau
agraria).
Profesi ini untuk menjamin kepastian ukuran tanah milik
para warga negara.

2. Subprofesi ketentaraan (shona`atul jundi).


Profesi ini untuk menjamin keamanan dan pertahanan
negara, baik terhadap ancaman yang datang dari dalam
(internal), atau pun dari luar (eksternal).

3. Subprofesi kehakiman (shona`atun lil-hukmi).


Profesi ini untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara
para warga negara.

453
. Muhammad Jajalm Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
374.
460

4. Subprofesi pembuatan undang-undang atau peraturan (al-


hajat ila al-fiqh).
Profesi ini untuk menyusun undang-undang dan peraturan
guna menjamin keserasian hubungan antar warga negara dan
pelanggaran hak, baik oleh sesama warga negara atau oleh
negara sendiri. 454
Berdasarkan paparan terkait dengan pembagian pekerjaan
dan profesi serta tatanan kehidupan perpolitikan sebagaimana
disebutkan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa profesi politik
sangat penting, karena politik berkaitan dengan bagaimana membuat
regulasi dan mengelola kehidupan umat atau orang banyak yang
berbeda-beda keinginan dan kepentinganya, dan berkaitan juga
dengan bagaimana menciptakan keamanan, kedamaian, dan
kesejahteraan. Oleh karena itu, al-Ghazali berpendapat bahwa
profesi politik hanya satu tingkat di bawah politik ke-Nabian (al-
Siyasah ashraful maqamat ba`da al-Nubuwwah ). Dengan demikian,
maka manusia tidak dapat menghindarkan diri dari politik, bukan
karena politik itu menjadi kemestian dalam hidup bermasyarakat
yang didasarkan kepada nalar,pemikiran, atau gagasan dan
sekalugus didasarkan pada amaliy tathbiqiy, yaitu tataran praktis,
tetapi justeru karena desakan dan tuntutan fitrah manusia untuk
mengatur dan mengelola hubungan antar sesama warga (li tanzim al-
`alaqah bayna al-Nas), meredam konflik, serta mengendalikan
berbagai kepentingan dan kecenderungan watak manusia yang
bersifat haiwani atau binatang, sepertisifat pemarah, hasad dengki,
pamer (sikap menunjuk-nunjuk agar dilihat orang lain hebat), dan
sebagainyayang memang karakternya terbentuk seperti itu, dan jika
hal ini tidak diarahkan ke jalan yang benar, maka akan berdampak
pada terjadinya ketidak teraturan hidup, kehidupan pasti menjadi
tidak menentu dan berakibat lahirnya kehidupan tidak kondusif. 455
Oleh karena profesi politik sangat penting dengan empat
subprofesi tersebut di atas, maka mereka yang terlibat secara
langsung dalam profesi politik atau politik praktis harus betul-betul
memiliki pengetahuan, keahlian dan kearifan yang memadai,

454
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 75
455
. Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.374 -
375
461

sehingga dapat mencerminkan profesiolitas dalam bekerja, tentu saja


dengan kapabelitas dan kredibelitas dalam mengatur dan mengelola
negara. jika sikap-sikap seperti ini terealisasi dalam kehidupan
bernegara dapat diharapkan akan tercipta apa yang menjadi tujuan
bersama, yaitu wujudnya kemaslahatan dan kesejahteraan
umum.Tatanan kehidupan perpolitikan yang digagas al-Ghazali ini
tentu saja sesuai dengan tingkat keperluan hidup pada abad-abad
pertengahan dan klasik, tetapi juga tetap bermanfaat bagi kajian
perbandingan politik di era modern dan kontemporer seperti saat ini.

5.KeperluanPadaSumber Pendapatan

Bagaimana negara memerlukan sumber pendapatan ?untuk


apa ? dan dari mana ?Dalam konteks ini, Al-Ghazali menegaskan
bahwa negara memerlukan sumber pendapatan ( al-dakhlu ). Hal ini
menurutnya karena sumber pendapatan negara akan dipergunakan
untuk membiayai operasional berbagai keperluan negara, antaranya
memberi tunjangan kepada Tentara (ma`ayisyah al-Jundi) dan
keperluan-keperluan lainya. Pendapatan negara diambil dari
beberapa sumber, antaranya;

1. Harta kekayaan yang terbiar (al-amwal al-dho`iah), yaitu


harta atau asset yang tidak ada pemiliknya,, maka dianggap
sebagai milik negara dan bisa dipergunakan untuk berbagai
kepentingan negara.

2. Harta ghanimah, yaituharta rampasan perang setelah umat


Islam berhasil mengalahkan musuh, maka sebagian harta
ghanimah untuk kepentigan negara.

3. Pajak. 456

456
.Pembicaraan tentang pajak dan sumber pendapatan negara yang lain
yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara, Ibnu Taimiyah
membicarakannya secara rinci, maka pembicaraan tentang pajak lebih lanjut, lihat
h. 151 - 154
462

Berkaitan dengan pasukan Tentara (Jundi). Jika mereka dari


kalangan orang-orang yang beragama dan wara`i (orang yang
berhati-hati dalam bertindak). Mereka dapat menerima pembagian
harta yang telah disediakan dari alokasi dana kemaslahatan( gaji)
meskipun tidak banyak. Jika anggota Tentara menginginkan yang
lebih banyak (al-tawassu`), dan keperluannya sangat mendesak,
maka penduduk setempat bisa memberikan bantuan kepada
pasukan Tentara tersebut, agar dapat menjaga keberlangsungan
kedaulatan negara.457Keperluan pada sumber pendapatan
sebagaimana disebutkan di atas, pada akhirnya berimplikasi pada
keperlukan mengangkat para pegawai yang akan mengelola dana
pajak yang sudah terkumpul dari masyarakat, yaitu;
1. Para pekerja (al-ummal), yaitu orang-orang yang bertugas
mengelola sumber pendapatan negara, dan mereka yang
diprioritaskan adalah orang-orang yang memiliki sikap adil
dan punya harta, karena dengan sikap adil mereka akan
terhindar dari tindakan penyalah gunaan wewenang (zalim),
dan dengan punya harta mereka akan terhindar dari tindakan
korupsi atau penggelapan uang negara.

2. Orang-orang yang memiliki sikap lemah lembut. Sikap ini


akan melahirkan kondisi yang yaman.

3. Orang-orang yang bertugas mengumpul dan menyimpan


harta pendapatan negara sampai batas waktu dikeluarkan
dari gudang atau logistik.

4. Orang-orang yang bertugas mengalokasikan secara adil


kepada orang-orang atau komunitas yang telah ditentukan. 458

Bicara soal pengelolaan sumber pendapatan negara atau harta


kekayaan negara, al-Ghazali mengkaitkannya dengan kestabilan
negara yang berdampak pada terciptanya keharmonisan hubungan
antara para pemikir dan para Ilmuan dengan para politisi dan para
penguasa, di mana mereka adalah merupakan komponen-komponen
penting dalam sebuah negara. Dalam konteks ini al-Ghazali
457
. Ibid. h. 382
458
. Ibid. h. 382
463

menegaskan bahwa ketentraman dan kedamaian rakyat (umat)


bergantung pada kesatuan dan kebersamaan para Ilmuan dan para
pemikir dengan para politisi dan para penguasa. Jika mereka dapat
menjaga kebersamaan, maka akan berdampak pada terciptanya
kestabilan politik. Sebaliknya jika mereka tidak harmonis dan
bahkan saling bersetru (konflik) akan berimplikasi pada lahirnya
kondisi instabilitas politik (anna sholahal ummah la yatimmu illa bi
sholah ahlul `ilmi wa al-fikri wa ahlu al-siyasah wa al-sulthan, idha
solahuu sholuha al-nass, wa idha fasaduu fasada al-nass)459
Demikian pembahasan tentang sumber pendapatan negara
yang dikonsepsikan al-Ghazali, meskipun pendapatan negara pada
saat itu masih sebatas beberapa sektor saja, terutama dari asset
terbiar, harta rampasan perang, dan pajak. Jika melihat realitas ini
ternyata al-Ghazali sudah ada perhatian pada pemanfaatan beberapa
sektor pendapatan negara, terutama untuk keperluan-keperluan
pasukan Tentara sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas
terciptanya kondisi aman, damai dan tentram.

6.Kepala Negara dan Para Pembantunya


Dalam sebuah komunitas atau masyarakat atau umat,
munculnya seorang pemimpin merupakan sesuatu yang alami
(fitrah) di dalam fenomena kehidupan masyarakat. Di mana saja ada
komunitas atau masyarakat, pasti di situ ada seorang pemimpin, baik
kemunculannya melalui proses alami atau melalui mekanisme
pemilihan yang melibatkan orang banyak (rakyat), baik melalui
mekanisme pemilihan secara langsung atau pun tidak
langsung.Pemimpin yang memiliki tugas yang lebih besar dan
menyeluruh di sebut kepala negara, apa pun gelarnya; Raja,
Khalifah, Presiden, Sulthan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, al-
Ghazali menegaskan bahwa jika kepala negara atau pemimpin tidak
wujud dalam sebuah negara atau dalam komunitas masyarakat, maka
tidak akan wujud sebuah ikatan persatuan (rabithah) di kalangan
umat, dan secara otomatis sistem pengaturan hidup juga tidak akan
wujud.460

459
. Yusuf al-Qardhawiy, al-Imam al-Ghazaliy Bayna Madihihi wa
Naqidhihi ( Beirut Muassisah al-Risalah, 1994 M./1414 H.), h. 93
460
. Ibid. h. 382
464

Dari sinilah munculnya kebutuhan kepada seorang


pemimpinatau kepala negara; yaitu seorang pemimpin publik yang
bertugas sebagai kordinator pemimpin-peinmpin di bawahnya.
Begitu juga kebutuhan kepada seorang Amir, Gunernur, yaitu
pemimpin yang bertugas di daerah atau pemimpin yang bertugas
pada tugas-tugas khusus, seperti pemimpin perang. Amir yang
dimaksud di sini adalah seorang pemimpin daerahyang memiliki
berbagai tugas khusus, antaranya;membuat regulasi
daerah,menentukan pekerjaan atau tugas kepada seseorang,
menentukan jenis tugas apa yang sesuai dengannya, mengambil
pajak yang dilakukan secara adil (tidak dengan kekerasan atau
zalim) dan memberikannya terutama kepada pasukan Tentara,
mengirim persenjataan kepada mereka, menentukan kebijakan
strategi perang, mengangkat dan menetapkan pemimpin perang pada
setiap kelompok, dan melaksanakan kebijakan-kebijakan lain, yang
sebenarnya menjadi tugas kepala negara, tetapi kemudian
dimandatkan kepadanya.
Dalam rangka merealisasikan kebijakan-kebijakan tersebut di
atas, muncul kebutuhan terhadapunit-unit pekerjaan yang akan
ditangani oleh beberapa pemimpin unit, antaranya; al-Khatib, yaitu
seorang Sekretaris,al-Khazzan, yaitu bendaharawan, al-Hasib, yaitu
seorang Akuntan, al-Jubbat, yaitu Pengawas, dan al-Ummal, yaitu
para pekerja.461
Sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam pengelolaan
negara dalam unit-unit tertentu, maka secara otomatis mereka
memerlukan penghidupan (ma`isyah) atau gaji untuk
memungkinkan mereka bekerja secarafokus dan profesional, maka
menurut al-Ghazali secara otomatis negara memerlukan anggaran
tambahan, selain dana yang sudah tersedia (malul asli), yaitu dana
yang dialokasikan dari dana pendapatan negara yang sudah
terkumpul dari berbagai sumber pendapatan, dan dari para warga
wajib pajak.462

7.TeoriKemunculan Pasar dan Penggunaan Uang

461
. Ibid.
462
. Ibid.
465

Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli barang-barang


keperluan dan sekaligus sebagai pusat perputaran uang, bukanlah
sesuatu yang baru dalam sejarah peradaban umat manusia, di zaman
Jahiliah sebelum Nabi Muhammad lahir sudah ada pasar, yaitu pasar
`Ukaz di Mekah, begitu juga di China, India pada zaman-zaman
dahulu.Dalam konteks ini, al-Ghazali menegaskan bahwa pekerjaan
atau profesi apa pun tidak akan sempurna dan efektif, kecuali jika
didukung oleh kekuatan uang dan alat-alat (al-amwal wa al-
alaat).463Uang atau harta (al-mal) merupakan alat atau instrumen
(`ibarat) yang dapat digunakan untuk transaksi berbagai keperluan
hidup. Terjadinya jual beli atau transaksi (al-`aqd)tentang sesuatu
barang menurut al-Ghazali adalah sebagai akibat dari suatu kejadian
di mana seorang petani (al-Falah)misalnya, terkadang bertempat
tinggal di kampung atau desa, yang tidak ada alat-alat pertanian di
situ, begitu juga seorarng Tukang besi atau Tukang kayu (al-haddad
wa al-najjar) terkadang juga kedua-duanya bertempat tinggal di
kampung atau desa yang tidak ada pertanian. Keberadaan ketiga-tiga
orang tersebut; yaitupetani, tukang besi dan tukang kayu, baik
disadari atau pun tidak, mereka saling memerlukan secara timbal
balik antara satu dengan yang lainnya.Seorang petani memerlukan
tukang besi, dan tukang kayu untuk membeli alat-alat pertanian yang
terbuat dari bahan besi atau kayu. Begitu juga sebaliknya, tukang
besi dan tukang kayu juga memerlukan Petani untuk membeli
makanan hasil panen pertanian,maka salah satu dari ketiga orang
tersebut memerlukan pemberian suatu barang dari masing-masing
mereka kepada yang lainnya, sehingga salah satunya dapat
mengambil barang yang diperlukan.
Hal ini terjadi saling menerima dan memberi melalui tukar
menukar (al-mu`awadhah) atau barter di antara ketiga orang
tersebut. Hanya saja Tukang kayu saat meminta (order) makan siang
(al-ghoda) kepada seorang petani dengan menukar ( barter ) alatnya,
dan barangkali secara kebetulan seorang petani pada saat itu tidak
membutuhkan alat tersebut, bisa jadi kemudian seorang petani
tersebut tidak jadi menjual makanannya. Demikian juga, seorang
petani ketika meminta (order) alat-alat kepada tukang kayu dengan

463
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf et al, al- Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
383
466

menukar makanan, tetapi pada saat yang sama secara kebetulan


kadang-kadang seorang Tukang kayu sedang punya makanan juga,
maka secara otomatik dia tidak memerlukanya.
Dalam kondisi seperti ini menjadi kendala, di mana barang-
barang yang ada menjadi terbiar, dan pada akhirnya mereka
memerlukan seorang penjaga toko (hanut atau dukkan) yang bisa
mengumpulkan dan menyimpan barang-barang atau alat-alat yang
digunakan untuk memproduksi barang-barang (shona`ah), supaya
orang-orang yang memiliki alat-alat tersebut dapat melayani
(liyatarossoda) orang-orang yangmemerlukan barang-barang (arbab
al-hajat). Selain dari itu, mereka juga memerlukan gudang-gudang
yang menjadi tempat penyimpanan barang milik petani (al-fallah),
maka kemudian orang-orang yang punya gudang membeli alat-alat
tersebut dari petanisebagai upaya memenuhi kebutuhan mereka.
Dari sinilah munculnya pasar dan tempat penyimpanan (al-aswaq
wa al-makhazin), yaitu toko atau hanut.464Selanjutnya kata al-
Ghazali, dalam aktivitas ini terjadi hilir mudik, atau bolak balik
(taraddud) antara orang yang dari kota ke desa (kampung), atau
sebaliknya, yaitu dari desa ke kota (al-bilad wa al-qura), maka
kemudian orang-orang bolak balik atau hilir mudik untuk membeli
makanan dari desa atau kampung, dan dari kota membeli alat-alat,
mereka terus mengangkut atau memindahkan barang-barang dari
kota ke desa, dan sebaliknya dari desa ke kota.
Suatu hal yang perlu diingatmenurut al-Ghazali adalah
bahwa kadang-kadang di kota tidak terdapat semua alat yang
diperlukan, demikian juga di desa kadang-kadang tidak ditemukan
jenis makanan yang diperlukan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
ketergantungan antara sesama.465Kelanjutan dari aktivitas ini
manusia kemudian memerlukan fasilitas transportasi. Dari sinilah
kemudian bermunculan para pebisnis (al-tujjar)yang menyediakan
fasilitas transportasi, selain dipicu oleh motivasi mengumpulkan
uang sebanyak-banyaknya. Sebagai akibat dari terjadinya jual beli
ini, maka pada akhirnya, manusia memerlukan uang sebagai alat
transaksi atau aqad.

464
. Ibid.
465
. Ibid.
467

Seseorang yang mau membeli makanan dengan kain melalui


sistem barter, lalu dari mana dia tahu tentang nilai (al-miqdar)yang
sama antara kain dengan makanan tersebut, dan berapa kadar
nilainya.? Interaksi jual beli (al-mua`amalah) ini terus berlangsung
dalam berbagai jenis barang yang berbeda dalam dinamika
kehidupan umat manusia, kain dijual dengan makanan melaui sstem
barter, haiwan dengan kain. Pola-pola jual beli seperti ini jelas
tidak sesuai (la tatanasab) karena sering terjadi manipulasi dan
ketidak adilan, satu pihak merasadiuntungkan dan di pihak lain
merasa dirugikan. Atas dasar ini diperlukan seseorang yang dapat
memberikan keadilan kepada kedua belah pihakyang sedang
bertransaksi (al-mutabayi`ain).Keadilan yang diperlukan adalah
terhadap materi harta yang tidak seimbang.Akhirnya kebutuhan itu
terus berlanjut dan merambah pada barang-barang lain yang bisa
bertahan lama, maka atas dasar ini kemudian dibuatlah uang, baik
terbuat dari emas, perak, atau tembaga (al-zahab, al-fidhdhah, wa
al-nuhas) sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk transaksi
dalam proses jual beli, selain dari itu uang juga berfungsi untuk
menentukan nilai harga barang. Selanjutnya muncul kebutuhan lain
yang mendesak, yaitu kebutuhan mencetak uang, mengukir, dan
menetapkan nilai (al-dharbu, al-naqsy, wa al-taqdir ) itu sendiri. 466
Kebutuhan selanjutnya adalah terhadap tempat dan pencetak uang
(mesin), dan tukar uang (al-sharafah).467
Berbicara mengenai aktivitas jual beli barang di pasar, al-
Ghazali dan termasuk para Ulama yang lain, mengingatkan terhadap
beberapa hal buruk yang sering terjadi pada kebanyakan orang-
orang beraktivitas jual beli di pasar.Peringatan ini disampaikan al-
Ghazali di dalam karyanya; Ihya Ulumuddin.468 Beberapa hal buruk
tersebut, antaranya;
1. Berbohong di dalam laba (al-kizbu fiy al-murabahah),

466
. Untuk pertama kalinya mata uang dicetak dan diberlakukan
penggunaanya sebagai alat transaksi dalam sejarah peradaban umat Islam adalah
pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Sebelumnya umat Islam
menggunakan mata uang yang dikeluarkan Kerajaan Bizantium.
467
. Ibid. h. 384
468
. al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin ( Singapore: Dar Sulaiman
Mara`iy, t.th. ), Juz 2, h. 333
468

2. Menyembunyikan kecacatan di dalam barang jualan (ikhfa


al-`aib),
Di dalam konteks ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa jika
seorang pedagang (al-ba`ei) berkata; saya sebenarnya beli barang
ini dengan harga sepuluh (sepuluh ribu dinar) dan labanya cuma
segini (wa arbahu fiha kaza). Jika dia tidak benar dalam ucapannya
itu, maka dia (si pedagang) telah berbohong dan dia dianggap fasik
(orang yang selalu menganggap ringan terhadap kewajiban agama
dan banyak melakukan kesalahan).Menurut al-Ghazali, siapa saja
yang mengetahui perilaku si pedagang tersebut agar
menginformasikannya kepada si pembeli (al-musytariy) tentang
kebohongannya itu. Kemudian kalau si pembeli diam dan bersikap
acuh tak acuh setelah diberi tahu, hanya karena menjaga perasaan si
pedagang (mura`atan li qalbi al-ba`ei), maka si pembeli dianggap
sama saja dengan si pedagang tersebut berkhiyanat (syarikan lahu
fiy al-khiyanat), dan si pembeli tadi dianggap berdosa karena
bersikap tidak pedulidan mendiamkan kebohongan orang lain (si
pedagang).
Begitu juga jika seseorang (si pedagang) mengetahui ada
keburukan (`aib) di dalam barang jualannya, maka harusnya si
pedagang tersebut memberi tahukan kepada si pembeli tentang
keburukan tersebut. Jika tidak !artinyatidak memberi tahu kepada si
pembeli, maka si pedagangtersebut dianggap merestui kehilangan
barang saudaranya (bi dhiya`ei mali akhihi al-muslim). Hal ini
menurut al-Ghazali, haram hukumnya. Begitu juga di dalam hal
adanya perbedaan (al-tafawut) di dalam liter, ukuran, dan
timbangan (al-zira`i, wa al-mikyal, wa al-mizan), maka wajib bagi
siapa saja yang mengetahui hal tersebut untuk merubahnya, baik
langsung sendiri, atau melaporkanya ke pihak berwajib (al-Waliy)
untuk merubahnya. 469
Berdasarkan apa yang disampaikan al-Ghazali tentang
kemunculan pasar dan perlunya penggunaan uang sebagai alat untuk
bertransaksi, ternyata al-Ghazali sudah berbicara soal pasar (al-suq).
Mengenai pasar Al-Ghazali menjelaskannya melalui teori
kemunculan pasar.Pasar menjadi keperluan umat manusia, karena di

469
. Ibid.
469

situ ada aktivitas berbelanja, menjual dan membeli barang-barang


yang menjadi hajat hidup orang banyak.Apayang dideskripsikan al-
Ghazali tentang teori pasar di abad-abad klasik peradaban umat
Islam ternyata dalam realitas kehidupan di era kontemporer adalah
sama. Bedanya pasar di era kontemporer sudah berkembang
sedemikian rupa, sehingga pasar menjelma menjadi Mall-Mall atau
Supermarket, seperti Carrefoufe, Lottemart, Giand dan sebgainya
yang menyediakan berbagai jenis barang yang lebih lengkap dalam
satu tempat atau gedung. Keperluan pada uang sebagai alat transaksi
yang mengandung nilai merupakan kelanjutan dari adanya pasar,
tempat berbelanja. Dalam aktivitas jual beli barang, al-Ghazali
sangat menekankan pada kejujuran dan transparansi sebagai sikap
seorang muslim dalam hal transaksi jual beli, agar tidak ada pihak-
pihak yang merasa dirugika.

8.Gagasan Tentang Kesejahteraan Dan Kebahagiaan


Kebahagiaan dan kesejahteraan menjadi impian dan
dambaan semua manusia hidup di bumi ini, manusia hidup di mana
saja memimpikan hidup bahagia dan sejahtera.Oleh karena itu,
untuk memperoleh dan mempertahankan kehidupan yang bahagia
dan sejahtera, manusia bersedia berkorban, baik jiwa atau
raga.Hidup bahagia dan sejahetra dalam batas-batas dan ukuran
umum adalah terpenuhinya semua kebutuhan hidup yang melebihi
dari kebutuhan asas, baik berupa sandang, pangan, papan (rumah)
dan lain-lain.Kebahagiaan (al-sa`adah / happiness)lebih ditekankan
pada adanya kesenangan dan kebaikan yang dirasakan oleh hati atau
jiwa, dan ini bersifat immaterial.Oleh karenanya, keadaan ini tidak
tergantung pada berlimpahnya harta kekayaan yang banyak, sebab
dengan hidup yang sedang-sedang saja orang bisa bahagia,
ketimbang banyak harta tetapi hidupnya tidak tenang, dan selalu
gelisah menyebabkan tidak adanya kesenangan dan kebaikan.
Sementara kesejahteraan (al-rifahiyah / welfare) adalah keadaan
telah teralisasinya berbagai fasilitas (al-hajah al-asasiyah) yang
mencukupi bagi individu atau pun masyarakat, baik berupa pangan,
pendidikan, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, rumah nyaman
470

dan bagus, kendaraan bagus dan kerendan sebagainya, 470 oleh


karenanya bersifat material. Atas dasar ini, upaya mencari harta
kekayaan merupakan hal yang sangat penting dan mendesak, tetapi
harta kekayaan yang sudah dicapai itu untuk diapakan ?apa
digunakan untuk bersenang-senang, berpoya-poya, atau
dimanfaatkan untuk kebaikan keluarga dan umat.
Dalam konteks ini, al-Ghazali berbicara tentang bagaimana
masyarakat atau al-khlaqu yang dalam bahasa sekarang al-
mujtama`, selalu disibukkan oleh aktivitas memenuhi kebutuhan
hidup untuk mendapatkan sandang, pangan, dan papan atau tempat
tinggal (al-kiswah, wa al-qut wa al-maskan). Tetapi, tegas al-
Ghazali, dalam rangka upaya membangun kehidupan yang layak dan
sejahtera itu, kadang mereka lupa diri terhadap tujuan hidup mereka,
lupa terhadap destinasi akhir mereka, akibatnya mereka bingung dan
tersesat, bahkan di dalam pemikiran mereka setelah keletihan
sehabis bekerja seharian, muncul pemikiran-pemikiran negatif
terkait memahami apa itu hidup bahagia dan sejahtera,471 oleh
karenanya mereka berdeda-beda dalam memahami arti bahagia dan
sejahtera sesuai dengan latar belakang kehidupan mereka, bahkan
al-Farabi sendiri berbeda juga dalam memahami arti kebahagiaan
(al-sa`adah atau happiness), yaitu kebahagiaan keintelektualan (al-
sa`adah al-fikriyah),472 bukan al-sa`adah yang berkaitan dengan
keduaniaan, yaitu pencapaian sandang, pangan, dan papan ( tempat
tinggal ) yang cukup layak dan memadai.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan al-Ghazali
terhadap masyarakatnya saat itu, al-Ghazali menemukan adanya
tingkat perbedaan pemahaman terhadap makna kebahagiaan dan
kesejahteraan yang ingin dicapai. Terkait hal ini al-Ghazali
menjelaskantentang beberapa kelompok yang berbeda pemahaman
terhadap makna kebahagian dan kesejahteraan itu, antaranya sebagai
berikut;

470
. A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Science ( Beirut:
Librairie Du Liban, 1982 ), h. 445
471
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-
Fikri al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 387
472
. Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu (
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia,
1991 ), h. 138
471

1. Sekelompok orang menyatakan bahwa kehidupan hanyalah


di dunia ini saja (na`isyu ayyaman fi al-dunya). Oleh karena
itu orang harus sungguh-sungguh berusaha semaksimal
mungkin untuk memperoleh pangan (al-qut) sehingga orang
mendapatkan kekuatan tenaga untuk beraktivitas atau kasab
(bekerja). Berkerja untuk makan, dan makan untuk bekerja.
Mereka itu kata al-Ghazali, akhirnya kecapean di siang hari
hanya untuk makan di malam hari, dan makan di malam hari
untuk cape di siang hari. Menurut al-Ghazali, mereka itu
bagaikan orang yang melakukan perjalanan jauh yang tidak
berujung, kecuali mati. 473

2. Kelompok ke dua adalah orang-orang yang menduga bahwa


kebahagiaan dan kesejahteraan itu tidak lain, selain yang
dapat memenuhi semua keinginan (syahwat al-dunya), yaitu
syahwat perut dan sex (syahwat al-bathan wa al-faraj).
Menurut al-Ghazali, mereka lupa diri, orientasi mereka
dalam hidupnya adalah wanita (wanita-wanita cantik), dan
menumpuk kekayaan dan mengejar kemewahan dunia, dan
bersikap glamor. Mereka makan, kata al-Ghazali, seperti
haiwan makan tanpa mengenal halal atau haram, kemudian
mereka menduga bahwa mereka itu sudah mendapatkan
semua yang mereka inginkan, mereka merasa sudah
mendapatkan tujuan kesejahteraan hidup, mereka lupa
kepada Allah dan hari akhirat.

3. Sekelompok orang beranggapan bahwa kebahagiaan dan


kesejahteraan ( al-sa`adah wa al-rifahiyah ) dengan
banyaknya harta yang dimiliki dan bermegah dengan
simpanan uang dalam jumlah besar (fiy katsrah al-mal wa
al-katsrah al-kunuz), mereka sanggup kurang tidur di malam
hari, dan di siang hari membanting tulang bekerja kuat untuk
menumpuk kekayaan, akhirnya mereka kelelahan di
sepanjang malam dan di sepanjang hari. Bekerja kuat untuk
menumpuk kekayaan sehingga lupa makan, kecuali hanya

473
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 386
472

sebatas seperlunya saja, hal ini bukan apa-apa, tapi


lebihdisebabkan karena sangat pelit (al-bukhli). Inilah
kenikmatan dan kebahagiaan mereka dalam hidupnya,
kemudian menjadi kebiasaan sampai ajal menjeput mereka.

4. Kelompok ke empat adalah orang-orang yang beranggapan


bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan itu jika memiliki nama
baik (husnul ismi) yang disebut-sebut dari mulut ke mulut di
masyarakat, orang-orang sekelilingnya memberikan pujian
(bi al-tajammul wa al-muru`ah) tetapi sekedar kelihatannya
memberikan pujian-pujian saja. Menurut al-Ghazali, mereka
itu sibuk bekerja (kasbil ma`asyi)untuk makan dan minum,
harta kekayaannya hanya digunakan untuk membeli-beli
pakaian (al-malabis) yang bermerek, membeli kendaraan
yang keren, dan membeli apa saja yang menjadi perhatian
orang banyak, sehingga orang-orang sekelilingnya
mengatakan bahwa dia orang kaya, dermawan (Innahu
ghaniyyun wa dhu tsarwah). Mereka menduga bahwa itu
adalah kebahagiaan dan kesejahteraan.

5. Adalah orang-orang yang mengira bahwa kebahgiaan dan


kesejahteraan itu menggapai kesuksesan memperoleh
kedudukan dan pangkat, serta penghormatan masyarakat
kepada mereka, dan ini dibuktikan dengan kepatuhan
masyarakat melalui sikap merendah dan apresiasi kepada
mereka. Kelompok ke lima ini berpendapat bahwa jika
kekuasaan (otoritas) sudah berada di genggamannya dan
rakyat sudah tunduk dan patuh kepada kehendak mereka,
mereka merasa sudah memperoleh kebahagiaan dan
kesejahteraan besar. Itulah tujuan akhir (hadaf) dari
keseluruhan hidup mereka.474

Jika lima kelomok dengan berbagai upaya dan tujuan mereka


dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan berbeda-beda dalam
memahami arti kebahagiaan dan kesejahteraan itu sendiri
sebagaimana dijelaskan al-Ghazal di atas, maka ada kelompok lain

474
. Ibid. h. 387 - 388
473

yang benar-benar bertolak belakang dari lima kelompok di atas,


yaitu mereka yang menjauhi hal-hal yang bersifat
duniawi.Kelompok ini menurut al-Ghazali antaranya orang-orang
yang beragama Budha dan orang-orang Sufi dalam berbagai
tingkatanya; Thariqat, Haqiqat, dan Ma`rifat. Kebahagiaan dan
kesejahteraan yang mereka cari adalah dengan mematikan syahwat
dan berbagai keinginan duniawi, serta mematikan kemarahan
(qath`u al-syahwatwa al-ghodob). Menurut mereka akhirat adalah
tempat kebahagiaan dan kesejahteraan yang hakiki, dunia bersifat
fana, tidak lebih umpama fatamorgana seperti bayang-bayang yang
tidak real (unreal). 475
Selanjutnya al-Ghazali menyampaikan pendapatnya terkait
satu kelompok yang disebutnya sebagai kelompok pertengahan (al-
tawassuth, moderasi), selamat (al-najiyah).476 Kelompok ini
menurut al-Ghazali, adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan
yang dilalui Nabi Muhammad saw. bersama dengan Sahabat-
sahabatnya, yaitu jalan yang tidak memutus hal-hal duniawi secara
keseluruhan (bi al-kulliyah) dan tidak pula mematikan syahwat
(keinginan-keinginan duniawi dan biologis) sama sekali, begitu juga
tidak rakus terhadap keduniaan.Hal-hal keduniaan dicari sebatas
untuk bekal hidup dan ibadah.Semua yang dilakukan berdasarkan
keseimbangan (al-`adl).Oleh karena itu, mereka bekerja untuk
mendapatkan pangan (al-qut) agar jasmani bertenaga untuk
melaksanakan ibadah. Tempat tinggal (al-maskan / al-sakan)yang
mereka peroleh digunakan sebagai tempat berlindung dari setiap
tindakan kriminal, seperti maling, perampokan dan untuk
melindungi diri dari terik panasnya mata hari, serta untuk
melindungi diri dari udara dingin. Begitu juga sandang (al-malabis)
digunakan untuk menutupi aurat.Kendaraan digunakan untuk
kemudahan bepergian jarak jauh. 477 Intinya kelompok yang terakhir
ini adalah kelompok yang menerapkan keseimbangan (al-`adl wa al-
wasath), dan tidak berlebihan (duna tafrithinwa al-ifrath). Kata al-
Ghazali inilah kelompok yang mendapatkan kebahagiaan dan

475
. Ibid. h. 388
476
. Ibid.
477
. Ibid.
474

kesejahteraan hidup hakiki yang sebenarnya berdasarkan ajaran


agama. 478
Terkait dengan carabagaimana mewujudkan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang beretika. al-Farabi (begitu juga al-Ghazali)
menyampaikan gagasannya tentang bagiamana upaya mewujudkan
kebahagiaan dan kesejahteraan yang beretika. Dalam hal ini
seseorang agar menghindari beberapa perilaku buruk sebagai
berikut;
1. Membuang sifat-sifat individualistik,
2. Membuang sikap mementingkan diri sendiri ( egoistik ),
3. Tidak bersikap zalim dan kejam, khianat, dan keji,
4. Menindas golongan lemah,
5. Hipokrit terhadap agama dan tatasuli masyarakat,
6. Angkuh, megah, besar diri,
7. Suka kelezatan dan gila pujian orang, dan
8. Cinta yangberlebihan (al-ghuluww) pada kebendaan dan
sebagainya. 479

Dengan berdasar pada hal-hal sebagaimana disebutkan al-


Farabi di atas, maka upaya mewujudkan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang menjadi dambaan akan tercipta, bahkan akan
berimplikasi pada lahirnya kondisi yang baik,nyaman dan
mengutamakan keharmonisan bersama dalam membangun
kehidupan di dunia ini. Meskipun gagasan al-Farabi tentang
kebahagiaan dan kesejahteraan dikaitkan dengan pencarian
kebahagiaan (al-sa`adah) keintelektualan bersifat immaterial, tetapi
dapat diterapkan pada upaya mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraan yang bersifat material.
Kebahagiaan dan kesejahteraan yang digagas al-Ghazali
dalam konteks ini dikonsentrasikan pada upaya secara individu-
individu atau kolektif, belum menyentuh pada tataran upaya yang
ditangani secara langsung oleh negara atau pemerintah, karena
starting poin pembangunan negara sebenarnyadimulai dari individu,
keluarga dan kelompok masyarakat. Oleh karenanya belum
menyentuh pada gagasan apa yang disebut welfare state (negara
sejahtera)sebagaimana yang lahir di era modern dan kontemporer,
478
. Ibid. h. 389
479
. Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu, h. 137
475

yaitu negara yang memberikan jaminan secara resmi dan


bertanggung jawab kepada rakyatnya untuk terealisasinya
kesejahteraan dengan menyediakan berbagai fasilitas yang
dibutuhkan dan memberikan pelayanan (services) yang
prima.480Welfare State dapat terealisasi jika didukung oleh
komitmen semua kalangan dan komponen masyarakat pada sistem
dan pemeliharaan keamanan secara nasional oleh negara.Pemikiran
al-Ghazali tentang kebahagiaan dan kesejahteraan didasarkan pada
asas keseimbangan (al-`adl, al-wasath) antara upaya mencapai
material dan spiritual, antara kepentingan pribadi dan kepentingan
umum.

9.TeoriTentang Imamah (Kepemimpinan)


Figur sosokseorang pemimpin sangat penting dalam
kehidupan perpolitikan, karena pemimpin menjadi cermin bagi
rakyatnya, dalam arti sebagai representasi dari bangsanya. Oleh
karena itu, sudah menjadi keharusan bagi seorang pemimpin
memiliki karakter atau sifat-sifat yang dibutuhkan sebagai seorang
pemimpin atau kepala negara, agar kepemimpinannya berwibawa
dan efektif. Beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang Imam,
antaranya; jujur, adil, kapabel dan kredibel. Jika seorang Imam
memiliki sikap dan karakter seperti disebutkan,maka seorang Imam
akan menjadi teladan dan contoh bagi para pejabat di bawahnya
sehingga akan tercipta kehidupan perpolitikan yang kondusif dan
stabil, maka keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran akan lahir
dengan mudah, dalam konteks ini al-Ghazali berbicara.
Al-Ghazali menjelaskan teorinya tentang Imamah
(nazariyatu Imamah) secara rinci dengan pendekatan (thariqah)
yang tidak ditemukan pada pemikir-pemikir Islam lainnya, baik
yang dulu-dulu sebelum al-Ghazali atau pun sesudahnya. Penjelasan
mengenai teori Imamah ini dapat ditemui di beberapa karya al-
Ghazali, antaranya; al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad, al-Tibr al-Masbuk Fiy
Nasihat al-Muluk, dan karya-karyanya yang lain. 481 Penjelasan
tentang teori Imamah dalam pemikiran al-Ghazali meliputi tiga
pembahasan penting, yaitu;

480
. A. Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Science, h. 446
481
. Ibid, h. 389
476

1. Kewajiban mengangkat Imam ( Pemimpin ),


2. Orang-orang yang mendapatkan amanah untuk mengangkat
Imam,
3. Penjelasan akidah ahli Sunnah terhadap kepemimpinan
Khulafa al-Rasyidin. 482
Berikut ini disampaikan penjelasan mengenai ketiga-tiga
pembahasan penting tersebut sebagai berikut.Kewajiban
mengangkat Imam, yaituseorangpemimpin; Khalifah, Sulthan, Raja
dan sebagainya menurut al-Ghazali bukan saja didasarkan pada
pertimbangan akal pemikiran manusia, tetapi juga
berdasarkanperintah agama (Syara`). Perintah ini dalam bentuk dalil
Syara` yang qath`i (ayat al-Qur`an yang pasti dan tetap), antaranya;
ayat 59, surat al-Nisa, yang artinya; Wahai orang-orang yang
beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta para
penguasa dari kalian.Oleh karena itu, menurut al-Ghazali,
sebenarnya dalam menetapkan kepemimpinan tidak cukup hanya
dengan berdasarkan ijma`, yaitu hasil konsensus bersama. Hal ini
karena keteraturan dalam hal keberagamaan yang didasarkan pada
petunjuk dan bimbingan Nabi Muhammad saw. (maksudun li shahib
al-Syar`i alaihi al-salam), itu sudah pasti, tidak perlu
diperdebatkan. Demikian juga menurut al-Ghazali, keteraturan
dalam hal keberagamaan tidak mungkin terealisasidengan baik
dalam tataran praktis, kecuali dengan arahan dan kebijakan seorang
Imam yang berwibawa dan ditaati. 483
Dalam konteks ini, al-Ghazali menegaskan di dalam
karyanya; al-Tibr al-Masbuk Fiy Nasihat al-Muluk, bahwa Allah
telah memilih dari keturunasn anak cucu Adam dua golongan,
Pertama; Para Nabi (al-Ambiya) bertugas memberi penjelasan
kepada para hamba Allah (umat) tentang hal-hal yang
berkaitan dengan masalah-masalah ibadah, serta
memperkenalkan merekajalan (al-sabil) yang diridhai
Allah.
Kedua; Allah memilih para Raja (al-Muluk) bertugas mengurus (
mengelola ) para hamba Allah dan menjaganya dari setiap
serangan yang bisa melukai dan mungkin datang dari
482
. Ibid.
483
. Ibid. h. 390
477

mana saja, dan bahkan dari sesama sendiri kepada yang


lainnya.
Para pemimpin (kepala negara: khalifah, raja, sulthan atau
presiden) sebagai pengikat, maka para pemimpinharus dapat
mempersatukan umat manusia dalam rangka terciptanya
kemaslahatan bagi kehidupan melalui kebijakan-kebijkan mereka.
Oleh karenanya, menurut al-Ghazali, Allah telah memposisikan para
pemimpin ( kepala negara ) pada kedudukan terhormat dan
mulia.484Oleh karenanya menurut al-Ghazali lagi, Raja atau Sulthan
sebagai bayangan Allah di bumi (al-Sulthan zillullah fiy al-ardhi),
karenanya ketaatan kepada pemimpin (khalifah, sulthan, raja dan
sebaginya) adalah wajib. 485
Dalam konteks ini al-Ghazali menjelaskan kedudukan
Syariat Islam, bahwa Syariat Islam merupakan Syariat yang berlaku
di dunia dan berimplikasi pada kehidupan akhirat nanti. 486Oleh
karena itu, al-Ghazali menegaskan bahwa keteraturan dalam hal
beragama adalah dengan ilmu pengetahuan dan pelaksanaan ibadah
(al-ma`rifah wa al-ibadah), dan kita tidak mungkin akan
memperoleh ilmu pengetahuan dan melaksanakan ibadah kecuali
jika badan kita sehat (bi shihhah al-badan), masih hidup (baqa al-
hayat), dan terpenuhinya semua keperluan dan fasilitas (al-hajat),
seperti baju, rumah tempat tinggal (al-maskan) dan terpenuhinya
makanan pokok (al-aqwat).
Pada sisi lain, manusia tidak merasa aman terhadap jiwanya,
badannya, hartanya, tempat tinggalnya (maskan) dan makanannya
dalam keseluruhan aspek kehidupan atau bahkan sebagiannya. Oleh
karena itu, kehidupan keberagamaan dan lain-lainnya tidak akan
terealisasidengan baik kecuali dengan terciptanya keamanan, kalau
tidak, maka semua waktu akan dihabiskan untuk menjaga jiwa
manusia dari ancaman pedang atau senjata, dan akhirnya waktunya
habis hanya untuk membenahi kekuatan untuk mengalahkan musuh.
Ilmu pengetahuan dan pelaksanaan ibadah, keduanya merupakan
perantara atau instrumen untuk mencapai kebahagiaan akhirat
(sa`adah al-akhirat). Atas dasar ini dapat ditegaskan bahwa
484
. Lihat al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk Fiy Nasihat al-Muluk( Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1409 H./1988 M.). h. 43
485
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 393
486
. Ibid.
478

keteraturan politik (dunia) merupakan prasyarat bagi keteraturan


beragama. 487
Selain dari itu, al-Ghazali berpandangan bahwa politik (al-
duniya) dan keamanan jiwa dan harta benda tidak akan menjadi
teratur kecuali dengan keberadaan seorang Imam (kepala negara)
yang ditaati. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdasarkan fakta saat
terjadinya fitnah terbunuhnya para penguasa (sulthan) dan para
Imam. Jika kondisi ini berterusan dan tidak ada upaya mengangkat
seorang Imam yang lain, maka selamanya akan terjadi huru hara (al-
haraj), peperangan akan terus berkobar di mna-mana (wa amma al-
saif), kekeringan dan kelaparan atau kebuluran akan terjadi di
mana-mana (syamula al-qahth ), terjadi kerusakan pada haiwan
ternak, industri, dan program kerja. Oleh karenanya, dampak dari itu
semua menurut al-Ghazali adalah apa pun yang didapatkan tetap saja
negatif. Dalam kondisi seperti ini tidak ada seorang pun yang benar-
benar fokus atau konsentrasi dalam beribadah, juga dalam
pendidikan (belajar) untuk memperoleh ilmu pengetahuan,itu pun
kalau mereka masih hidup dan yang lainnya sudah pada mati karena
terkena hunusan senjata pedang (suyuf).488Oleh karena itu, dapat
ditegaskan bahwa agama dan penguasa (al-din wa al-sulthanaw al-
malik), kedua-duanya menurut al-Ghazali merupakan dua hal yang
kembar (al-din wa al-maliktauamani,mitslu akhawaini wulida min
bathnin wahidin ), seolah keduanya dua saudara kembar keluar dari
satu perut. Oleh Karena itu keduanya harus tetap berada dalam
kondisi normal dan baik.489Maka agama adalah asas dan Imam
(kepala negara) adalah pemelihara. Sesuatu yang tidak ada asasakan
ambruk, begitu juga sesuatu yang tidak ada penjaganya (pemelihara)
akan sirna. 490
Pada intinya, tegas al-Ghazali, seseorangyang masih waras
tidak mempersoalkan bahwa manusia (makhluk) dalam berbagai
level dan tingkatannya, serta dalam berbagai macam keinginan dan
perbedaan pendapatnya, jika tidak ada yang mau menyampaikan
pendapat atau aspirasi untuk menyatukan perbedaan itu, maka pasti
mereka akan hancur oleh sesama mereka sendiri, dan ini adalah
487
. al-Ghazali, al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad ( Kairo: T.p. , 1320 H. ), h. 105
488
. Ibid.
489
. al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk Fiy Nasihat al-Muluk, h. 50
490
. al-Ghazali, al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad, h.391
479

penyakit yang tidak ada obatnya kecuali dengan adanya Imam (


khalifah, sulthan, raja atau presiden) yang berwibawa dan ditaati,
yaitu; Penguasa yang dapat mempersatukan perbedaan. Atas dasar
ini dapat ditegaskan bahwa seorang Imam (kepala negara) sangat
diperlukan untuk menciptakan keteraturan politik (al-duniya),
sehingga wujud tatanan yang rapi di dalam masyarakat.Keteraturan
politik (al-duniya)menjadi sangat penting bagi keteraturan agama
(keberagamaan).Keteraturan agama (beragama) menjadi penting
dalam rangka memperoleh kebahagiaan (al-sa`adah) di akhirat.
Kesimpulannya adalah bahwa mengangkat Imam menjadi keharusan
atas dasar perintah Syara` (aturan agama). Oleh karenanya tegas al-
Ghazali, tidak ada alasan untuk meninggalkannya, dalam arti tidak
mengangkat Imam. 491
Teori (nazariyah) al-Ghazali tentang keharusan mengangkat
Imam (khalifah, sulthan, raja) sebagaimana dijelaskan di atas,
ternyata didasarkan pada apa yang terjadi untuk pertama kalinya di
awal sejarah peradaban umat Islam, di mana setelah Nabi
Muhammad saw. wafat, umat Islam saat itu segera melakukan
musyawarah di Saqifah Bani Sa`idah untuk mengangkat seorang
Imam atau pemimpin sebagai pengganti (khalifah)Nabi Muhammad
saw. setelah Imam terpilih, yaituAbu Bakar al-Siddiq kemudian
dilakukan baiat kepadanya. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali melihat
bagaimana para Shahabat meyakini bahwa mengangkat Imam
menjadi keharusan, kemestian, benar-benar nyata, wajib (fardhan,
mahtuman, haqqan, wajib `ala al-faour) dalam waktu yang
sesegera mungkin, dan bagaimana pula mereka melakukan
percepatan supaya tidak terlambat, sehingga dalam situasi seperti ini
mereka terpaksa untuk sementara waktu meninggalkan pengurusan
Jenazah Nabi yang sudah membujur, mereka tuhu kalau dalam satu
detiksaja terjadi kekosongan pemimpin, tidak ada Imam, bisa terjadi
macam-macam diluar dugaan, misalnya; huru hara, terjadi
perbedaan pendapat yang tidak bisa dikendalikan, dan muncul
berbagai kepentingan, bahkan bisa jadi terjadi persaingan yang tidak
sehat yang berimplikasi terjadinya konflik internal yang
membahayakan keamanan dan stabilitas politik. Dalam kondisi
seperti ini, al-Ghazali berpendapat bahwa jika tidak ada seorang

491
. al-Ghazali, al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad, h. 105 – 106
480

tokoh yang menjadi panutan, maka tidak akan ada sistem (nizam),
oleh karenanya para Shahabat Nabimendahulukan upaya
mengangkat Imam (pemimpin), karena keberadaan Imam
merupakan sesuatu yang menjadi kemestian (dharuriy) dalam
menjaga kesatuan umat dan Islam. 492

10.Kelayakan Seorang Imam (Kepala Negara)


Dalam konteks ini al-Ghazali memfokuskan perhatian untuk
menjelaskan sifat-sifat atau karakter seorang calon Imam (sifaat al-
Imam), sehingga yang dipilih menjadi Imamadalah yang benar-benar
layak. Oleh karenanya, sifat-sifat ini mesti disandang oleh seorang
Imam, baik sifat-sifat itu alami (pembawaan), atau pun sifat-sifat
yang tertanam melalui proses pendidikan dan diupayakan (al-
muktasab). Keharusan memiliki sifat-sifat ini dimaksudkan untuk
memperkuat kedudukan dan kepribadian seorang Imam, serta
memberi batasan hubungan dengan yang lain, apakah juga sifat-sifat
itu duniawi atau berdasarkan agama yang memberi batasan
hubungan antara seorang Imam dengan Allah atau antara Imam
dengan rakyatnya.493
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, al-Ghazali
menegaskan bahwa tidak menjadi rahasia lagi bahwa tidak mungkin
terjadi pengangkatan seseorang untuk menjadi Imam hanya
berdasarkan keinginan semata-mata (bi al-tasyahiy). Oleh karena itu,
tegas al-Ghazaliseorang calon Imam harus memiliki kelebihan atau
kekhususan yang membedakannya dari yang lain, umpamanya,
kelebihan dalam kepribadiannya, atau kelebihan dalamaspek yang
lain. Kelebihan dalam kepribadian seperti keahlianya dalam
mengelola (mentadbir) pemerintahan. Keahlian mengelola
pemerintahan ini dapat dilakukan setidaknya dengan empat
kelebihan yang dimiliki, yaitu;
Pertama ; memiliki kapabelitas (al-kifayah),
Kedua ;memiliki ilmu pengetahuan,
Ketiga ; memiliki sikap yang adil danal-wara`, dan
Keempat ; berketurunan Quraisy.

492
. al-Ghazali, al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad, h. 105 – 106. Lihat juga
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 392
493
. Muhammad Jalal Syara,f et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 394
481

Kelebihan yang keempat ini didasarkan pada hadits Nabi


yang artinya; Para Imam itu dari keturunan Quraisy (al-aimmatu
min Quraisyin).Keempat-empat kelebihan ini merupakan
kekhususan yang dimiliki seorang Imam. Tetapi, jika keempat-
empat kelebihan ini ditemukan juga pada yang lain, maka menurut
al-Ghazali harus ada kekhususan lain yang tidak dimiliki oleh orang
lain, antaranya; legitimasi atau dukungan rakyat banyak atau
dukungan seorang tokoh yang berpengaruh (al-tauliyah aw al-
tafwidh min ghairihi) sehingga kemudian dia satu-satunya yang
paling layak untuk menduduki jabatan Imam. 494
Berkenaan dengan seorang penguasa (khalifah, raja, sulthan
dan lain-lain) yang memberikan kekuasaan kepada kerabat terdekat
ataupun yang lainnya. Dalam konteks ini al-Ghazali menegaskan
bahwa kekuasaan (al-wilayah atau otoritas) hanya dapat diserahkan
kepada yang lainnya oleh salah satu dari tiga pola atau mekanisme
pengangkatan calonpemimpin yang memiliki kualifikasisebagai
berikut;
1. Berdasarkan penunjukkan atau pengangkatan langsung dari
Nabi Muhammad saw. ( merujuk pada era Nabi Muhammad
).

2. Berdasarkan penunjukkan atau pengangkatan langsung oleh


Imam (kepala negara) yang sedang berkuasa, seperti
khalifah, sulthan, raja atau lainnya mengangkat salah seorang
putranya atau orang lain menjadi Putra Mahkota ( waliyul
Ahdi ). Hal ini merujuk pada sistem monarchi.

3. Berdasarkan pengangkatan (al-tafwidh) oleh seorang tokoh


berpengaruh dan memiliki kekuatan (al-syaukah).
Pengangkatan ini kemudian didukung dan disetujui oleh
orang banyak (umat) dan kemudian melakukan pembaiatan
kepadanya. Hal ini merujuk pada era Khulafa al-Rasyidin. 495
Mekanisme pengangkatan kandidat Imam (kepala negara)
sebagaimana dikonsepsikan al-Ghazali di atas, menunjukkan adanya
dua mekanisme pemilihan kandidat Imam atau pemimpim, yaitu; 1.
494
. Ibid.
495
. al-Ghazali, al-I`tiqad Fiy al-Iqtishad ( Kairo: t.p. 1327 ), hl. 106
482

Berdasarkan pengangkatan langsung oleh pemimpin yang sedang


berkuasa kepada calon penggantinya, seperti yang berlaku pada
sistem monarchi. 2.Berdasarkan perolehan dukungan atau
persetujuan orang banyak ( paling banyak ), seperti yang
diberlakukan pada sistem syura atau demokrasi.

11.Syarat-Syarat Calon Imam (Kepala Negara)


Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh seorang kandidat pemimpin atau Imam, baik yang
bedasarkan sifat alami atau pembawaan atau sifat yang berdasarkan
hasil penanaman nilai-bilai pendidikan. Dalam konteks ini, al-
Ghazali menyebutkan pandanganbeberapa Ulama (Pemikir Islam)
terkait syarat atau sifat-sifat yang harus dimiliki seorang Imam atau
kepala negara. Beberapa Ulama menetapkan sepuluh sifat atau
karakter kepada siapa saja yang akan menduduki jabatan Imam;
khalifah, sulthan ataupun raja. Enam dari sepuluh sifat tersebut
sebagai sifat pembawaaan (khalqiyah atau fitriyah), tidak melalui
proses penanaman nilai atau pendidikan. Sementara empat sifat
lainnya melalui proses dan upaya-upaya penanaman nilai pada diri
seorang calon Imam. Enam sifat pembawaan tersebut sebagai
berikut;
1. Dewasa atau sudah baligh, yaitu batas kategori umur
seseorang sudah mencapai tingkat dewasa. Oleh karena itu
anak kecil tidak sah untuk dicalonkan menjadi Imam (kepala
negara).

2. Berpikiran sehat atau waras. Oleh karena itu, orang yang


stress atau gila tidak dapat dicalonkan menjadi Imam,
termasuk jika terjadi tidak sehat akalnya saat sedang
menjabat, maka setidaknya harus ambil cuti sampai
dipastikan kembali pulih benar.

3. Berstatus merdeka (al-hurriyah). Oleh karenanya tidak sah


calon Imam dari orang yang berstatus budak atau hamba
sahaya, karena seorang kepala negara banyak pekerjaan yang
memerlukan konsentrasi untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan kenegaraan. Seorang budak bagaimana
mungkin dapat menyelesaikan berbagai permasalahan,
483

sementara dia sendiri berada pada genggaman majikannya, di


era modern dan kontemporer sudah tidak ada lagi budak atau
hamba sahaya.

4. Laki-laki (al-dzukuriyah). Maka tidak sah pencalonan


seorang perempuan untuk menduduki jabatan Imam (kepala
negara), meskipun dia memiliki semua sifat yang diperlukan
dan memiliki kebebasan. Di era modern dan kontemporer di
dunia Islam sudah ada kepala negara yang dijabat seorang
perempuan, seperti di Indonesia; Megawati Soekarnoputri
(Presiden: 2001 – 2004), di Pakistan; Benazir Bhuto
(Perdana Menteri: 1989 – 1990 dan 1993 - 1996), di
Bangladesh; Khaleda Zia (Perdana Menteri: 1991 - 1996),
dan masih di Bangladesh; Hasina Wazed (Perdana Menteri:
1996 – 1997).

5. Keturunan Quraisy (nasab quraisyin). Syarat ini berdasarkan


hadits Nabi, yang artinya; Kepemimpinan itu dari keturunan
Quraisy (al-Aimmatu min Quraisyin). Di era modern dan
kontemporer, beberapa negara di dunia Islam banyak yang
tidak lagi seorang kepala negara berketurunan Quraisy,
termasuk di negara-negara Arab sendiri, seperti Arab Saudi,
Mesir, Suria, Iraq dan sebagainya, kecuali Kerajaan
Yordania.

6. Pendengaran dan penglihatan sehat (salamatu hassat al-


sam`i wa al-bashar), karena bagaimana mungkin orang yang
tuli dan buta dapat mengatur (mengelola) orang lain,
sementara dirinya sendiri tidak bisa mengurusnya.Tetapi di
era kontemporer Indonesia pernah memiliki kepala negara
yang tidak sempurna panca indranya, yaitu; Presiden
Abdurrahman Wahid.
Mengenai empat sifat (al-muktasab)melalalui proses
pendidikan, pembelajaran dan penanaman nilai-nilai ke dalam
diricalon kepala negara, sebagai berikut;
1. Benar-benar memiliki kekuatan (al-Najdah).
484

Hal ini dimaksudkan tersedianya perangkat-perangkat yang


memadai, seperti angkatan bersenjata dan kepolisian yang
tangguh dan dapat digunakan untuk memaksakan keputusan-
keputusannya terhadap mereka yang menentang atau
membangkandan membasmi pemberontak, dan
mempertahankan keamanan dan kestabilan negara.

2. Kapabelitas (al-Kifayah).
Menurut al-Ghazali sifat ini dapat terealisasi jika didasarkan
pada dua aspek, yaitu; kekuatan pemikiran dan pengelolaan
(al-fikr wa al-tadbir), kemudian menyampaikan
pandangannya saat musyawarah, mendengarkan pendapat
dan nasehat orang lain.

3. Memiliki track record kehidupan yang bersih (wara`i), serta


mampu mengendalikan diri untuk tidak berbuat hal-hal yang
terlarang dan tercela, seperti melakukan manipulasi,
menyalah gunakan wewenang, melakukan tindak pidana,
korupsi, penggelapan uang negara, dan sebagainya.

4. Memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan luas.


Syarat berkenaan memiliki ilmu pengetahuan ini sebenarnya
al-Ghazali tidak sepakat, karena menurutnya syarat ini tidak
terdapat dalam ketetapan Syara` (al-nass). Tetapi karena para
Ulama telah menyepakati bahwa kepemimpinan itu tidak sah
kecuali bagi orang-orang yang memiikiilmu pengetahuan,
agar dia nantinya dapat mengambil keputusan secara tepat
berdasarkan pertimbangan pemikiran (ijtihad),
496
mensosialisasikan kebijakan dan sebagainya.

12.Gagasan Negara Ideal (Daulah Fadhilah)

496
. al-Ghazali, Qawaid al-I`tiqad ( Beirut: A`lam al-Kutub, 1405
H./1985 M. ), h. 229 – 230. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-
Siyasi Fiy al-Islam, h. 395 – 403. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
h. 78
485

Dalam konteks ini al-Ghazali menyampaikan catatan-catatan


penting sebagai langkah strategis bagi terciptanya negara ideal
(daulah fadhilah). Negara ideal yang dikonsepsikan al-Ghazali
adalah negara yang didasarkan pada etika dan akhlak (moral) terpuji
dan didasarkan pada hubungan antara pemerintah dengan yang
diperintah (al-hakim wa al-mahkum ), atau antara Imam ( raja,
sulthan, atau bahkan khalifah ) dengan rakyatnya ( al-Malik wa al-
ra`iyyah ) atas dasar keadilan dan kejujuran ( al-`adl wa al-Inshaf ).
Negara ideal yang didasarkan pada etika dan akhlak mulia,
serta berdasarkan hubungan kepala negara (Imam) dan rakyat
berlandaskan keadilan dan kejujuran sebagaimana al-Ghazali
sampaikan, maka berikut ini al-Ghazali menyampaikan beberapa
nasehat yang ditujukan kepada SulthanMuhammad bin Malik Syah
sebagai berikut;
Wahai Sulthan !Ketauhilah.bahwa hubungan antara anda
dengan Allahsangat dekat dan pengampunan-Nya dapat
diperoleh. Kejahatan yang dilakukan manusia sekecil apa
pun tidak akan lepas dari ancaman balasan siksa di hari
akhirat, dan bahayanya tetap saja sangat besar. Kejahatan
ini tidak dapat ditanggulangi secara efektif oleh seorang
raja mana pun, kecuali jika raja memiliki karakter (sifat)
seorang yang adil dan jujur (al-`adl wa al-inshaf)agar dia
tahu bagaimana mendapatkan keadilan di hari akhirat.497
Sikap adil dan jujur tidak mungkinakan lahir dari seorang
Imam (kepala negara) kecuali dia dapat menghayati dasar-dasar
keadilan itu sendiri. Dalam konteks ini al-Ghazali menegaskan
bahwa dasar-dasar yang berimplikasi lahirnya keadilan dan
kejujuran (al-`adl wa al-inshaf)yang dapat memberikan batasan
hubungan antara Imam dengan rakyatnya, menurutnya paling tidak
ada sepuluh dasar. Sepuluh asas keadilan itu sebagai berikut;
1. Seorang Imam (kepala negara) harus tahu tentang nilai
kekuasaan (al-wilayah atau authority) dan mengetahui pula
kebesarannya. Ini karena kekuasaan merupakan nikmat dari
Allah swt. oleh karena itu siapa saja yang mengelolanya
harus dengan yang sebenar-benarnya, maka dia akan

497
. al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk Fiy Nasihat al-Muluk, h. 10
486

memperoleh kebahagian (al-sa`adah atau happiness) yang


tidak ada ujungnya.

2. Selalu rindu untuk bertemu para Ulama (orang-orang yang


memiliki ilmu pengetahuan agama luas) yang komitmen
pada ajaran agama, senantiasa berdialog dan mendengarkan
nasehat-nasehat mereka, dan berupaya menghindarkan diri
dari Ulama yang tidak baik (Ulama Suu), yaitu Ulama yang
gila dunia yang selalu mengejar harta dan jabatan, Ulama ini
selalu berupaya mendekatkan diri mereka kepada Imam
(kepala negara) dengan memuji-muji dan selalu berupaya
melakukan pencitraan kepada Imam, apapun yang dilakukan
mereka semata-mata untuk mendapatkan harta dan jabatan
melalui berbagai cara. Berbeda dengan Ulama yang
komitmen pada ajaran agama (al-`Alim al-haqiqiy al-wara`).
Dia seorang yang alim yang tidak mengharap apa-apa
imbalan dari Imam, bahkan dia tetap konsisten dengan
menyampaikan nasehatnya.498

3. Imam selalu berupaya membersihkan tindak kejahatan


(kezaliman) yang dilakukan oleh para pembantunya, para
pendukungnya, para pejabatnya, para wakilnya (nuwabahu).
Karena seorang Imam harus memiliki sikap bahwa dia tidak
rela jika para pejabatnyamelakukan tindak kejahatan kepada
rakyat, karena Imam bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukan oleh para pejabatnya.

4. Seorang Imam harus menghindari diri dari sikap sombong


dan egoistik (takabbur) dan sifat pemarah (al-ghodob),
karena sikap takabbur itu menyebabkan lahirnya kebencian
rakyat, serta berdampak terjadinya pelanggaran terhadap
peraturan atau undang-undang.

5. Seorang Imam senantiasa memperhatikan rakyatnya, karena


mereka sebenarnya adalah merupakan satu kesatuan, di
mana seorang Imam dapat merasakan apa yang dirasakan

498
. Ibid. h. 15
487

rakyatnya, merasakan sakit bila rakyatnya merasa sakit,


merasa gembira bila rakyatnya gembira. Apa saja Imam
tidak meridhai untuk dirinya, berarti tidak meridhai untuk
rakyatnya. Jika seorang Imam meridhairakyatnya, tetapi
tidak untuk dirinya, berarti Imam telah menghianati
rakyatnya.

6. Seorang Imam hendaknya mengetahui bahwa memenuhi


kebutuhan (al-hajat) rakyat lebih utama dari pada
mengerjakan ibadah sunah. Oleh karenanya jangang
menganggap rendah atau enteng terhadap orang-orang yang
punya hajat untuk mengulurkan bantuan apa yang diperlukan
mereka. 499

7. Seorang Imam hendaknya tidak disibukkan dengan


keinginan memakai baju kebesaran, makanan yang lezat-
lezat, tetapi cukup menerima apa yang sudah disediakan,
karena tidak ada keadilan tanpa menerima (fala `adla bila
qanaatin) apa yang sudah ada.

8. Seorang Imam jika memungkinkan untuk bertindak lemah


lembut (istikhdam al-rifqi wa al-lutfiy) dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan, itu lebih baik dari pada bertindak
otoriter (bi syiddatin wa `unfin).500

9. Seorang Imam dalam rangka mempertahnkan legitimasi


hendaknya terus berupaya untuk mempertahankan dukungan
rakyatnya dalam merealisasikan peraturan dan undang-
undang (syara`).

10. Seorang Imam agartidak mentolerir terhadap siapa pun


tentangtindakannya yang bertenangan dengan syari`at
(peraturan dan undang-undang yang bersumberkan ajaran
agama). 501

499
. Ibid. h. 24
500
. Ibid. h. 25
501
. Ibid. h. 26
488

Demikianlah konsepsi negara ideal (al-daulah al-fadhilah)


berdasarkan gagasan al-Ghazali.Berbeda dengan negara ideal (al-
daulah al-fadhilah) yang dikonsepsikan al-Farabi, di mana
negaradideskripsikan seperti tubuh manusia yang utuh dan sehat,
semua organ dan anggota badannya bekerja bersama sesuai dengan
tugas masing-masing, yang terkordinasi rapi demi kesempurnaan
hidup tubuh dan penjagaan akan kesehatannya. Sementara al-
Ghazali, gagasan negara idealnya sebagaimana disebutkan di atas
adalahsuatu negara yang didasarkan pada etika dan akhlak mulia
dan juga didasarkan pada hubungan pemerintah dan rakyat, atau
raja dan rakyat atas dasar keadilan dan kejujuran, berikut dengan
dasar-dasar yang berimplikasi pada lahirnya keadilan dan kejujuran
itu sendiri pada diri seorang Imam dan para pejabat tingginya. Pada
intinya negara ideal al-Ghazali adalah sebuah negara yang sangat
bergantung pada kualitas kepala negara ( Imam ), yaitu kepala
negara yang memiliki sepuluh sifat sebagaimana disebutkan. Jika
seorang kepala negara memiliki sepuluh sifat atau karakter tersebut,
maka dapat diharapkan akan lahir sebuah negara yang baik,
kondusif, stabil, dan sejahtera.
Kedua gagasan negara ideal; negara al-Farabi dan al-
Ghazalipada intinya sama dari aspek tujuan, yaitu bermuara pada
terciptanya negara yang aman, kondusif, stabil dan sejahtera.
Bedanya kalau al-Farabi menekankan pada aspek managerial yang
terkordinasi rapi mulai dari pemimpin tertinggi (kepala negara)
sampai bawah.Sementara al-Ghazali menekankan pada aspek
pembangunan mentalitas kepribadian manusia-manusianya, yaitu
pribadi-pribadi yang berakhlak, bermoral, berkeadilan, dan
berkejujuran. Jika para pejabat negara mulai dari kepala negara
sampai bawah-bawahannya bermental, berakhlak, adil dan jujur
dalam berbagai aspek kehidupan, maka bisa diharapkan kehidupan
yang aman, kondusif, stabil, dan sejahtera akan wujud.

13.Kepemimpinan Khulafa al-RasyidinDalam Pandangang al-


Ghazali dan Syiah
Dalam kaitan ini, al-Ghazali berpendapat bahwa
kepemimpinan (Imamah) Khulafa al-Rasyidin; Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah para
pemimpin pengganti dan penerus estafet kepemimpinan Nabi
489

Muhammad saw. yang sah, dan secara berturut-turut berdasarkan


senioritas serta kontribusi mereka pada perkembangan
Islam. 502Kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin berdasarkan
pengangkatan dan legitimasi umat dalam suatu mekanisme
pemilihan yang variatifantara satu dengan yang lainnya.
Tetapi lain dengan sikap orang-orang Syiah503yang
berpandangan lain dari umat Islam Ahli Sunnah Wal Jam`ah ( Sunni
). Umat Islam Syiah beranggapan bahwa kesahihan kepemimpinan
dan khilafah ( bi imamatihi wa khilafatihi) adalah berdasar nass atau
wasiat, baik disampaikan secara jelas atau pun sembunyi-sembunyi.
Mereka meyakini bahwa kepemimpinan umat tidak keluar dari anak
keturunan Ali bin Thalib. Jika terjadi keluar dari anak cucu
keturunan Ali, menurut mereka adalah karena terjadi kezaliman dari
pihak lain atau karena taqiyah (menyembunyikan suatu kebenaran) .
Mereka memiliki ideologi tersendiri dan menyatakan bahwa
Imamah (kepemimpinan) bukan masalah kemaslahatan yang
berkaitan dengan pemilihan umum dan pengangkatan (pelantikan),
tetapi Imamah merupakan persoalan dasar agama (usul), yaitu rukun
agama (ruknu al-din), di mana Rasulullah menurut versi orang-orang
Syiah tidak boleh lupa atau menganggapnya enteng, bahkanNabi
tidak boleh menyerahkan Imamah kepada masyarakat umum atau
membiarkannya begitu saja. Menurt al-Syahristani, Syiah terpecah
menjadi beberapa sekte, antaranya; Syiah Imamiyah, Syiah

502
. al-Ghazali, Qawaid al-Aqa`id, h. 228. Lihat juga Muhammad Jalal
Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 408 -409
503
.Syiah merupakan golongan dari umat Islam selain Sunni ( Ahli
Sunnah Wal Jama`ah ). Syiah pada periode awal-awal sebagaimana dijelaskan al-
Syahristaniy ( 479 – 548 H.) di dalam karyanya; al-Milal wa al-Nihal, tidak lebih
sebatas sekumpulan orang-orang yang simpati kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib
selepas terjadinyaperang Siffin yang berakhir di Majelis Tahkim ( arbitrasi ) yang
menyebabkan terjadi kelemahan pada barisan perang Ali. Pada akhirnya nasib
tidak berpihak kepada Khalifah Ali, maka muncullah sebagian tentara yang
simpati kepada Ali bin Thalib. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu dan
perubahan situasi dan kondisi, orang-orang yang simpati kepada Ali ini di
kemudian hari berubah menjadi golongan yang memiliki ideologi dan Imam-
Imamnya sendiri, serta melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang berbeda dari faham
Ahli Sunnah Wal Jama`ah.
490

Zaidiyah, Syiah Kisaniyah, Syiah Ismailiyah, dan Syiah Ghulat,


yaitu Syiah ekstrim dalam pandangan-pandanganya.504
Umat Islam Syiah dianggap berseberangan denganumat
IslamSunni (ahli sunnah wal jama`ah) di dalam pemikiran dan
pandangan-pandangan mereka. Mereka berupaya menyebar luaskan
ajaran dan pemikiran mereka ke seluruh dunia (terutama dunia
Islam).505Syiah yang paling terkenal sampai saat ini adalah Syiah
imamiyah itsnai `asyariayah (Syiah Imam dua belas). Mereka
disebut Syiah Imam dua belas, karena mereka meyakini bahwa para
Imam dua belas dari keturunan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
mereka. Susunan Imam dua belas yang menjadi kepercayaan umat
Islam Syiah Itsnai `Asyariyahitu sebagai berikut;
1. Imam Ali bin Abi Thalib
2. Imam Hasan bin Ali
3. Imam Husain bin Ali
4. Imam Ali Zainal Abidin bin Husain ( 80 – 122 H. )
5. Imam Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin ( w. 114
H.)
6. Imam Ja`far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir ( w. 148 H. )
7. Imam Musa al-Kazim bin Ja`far al-Sadiq ( w. 183 H. )
8. Imam Ali al-Ridha bin Musa al-Kazim ( w. 203 H.)
9. Imam Muhammad al-Jawwad bin Ali al-Ridha ( 195 – 226
H.)
10. Imam Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad ( 212 – 254 H.)
11. Imam al-Hasan al-`Askariy bin Ali al-Hadi ( 232 – 260 H. )
12. Imam Muhammad al-Mahdi bin al-Hasan al-`Askari.506
Syiah, terutama Syiah Imamiyah Itsnai `Asyariyahtidak
mengakui kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab,
dan Utsman bin Affan, kecuali Khalifah Ali bin Abi Thalib saja
yang diakui kepemimpinannya oleh mereka. 507 Bahkan bukan itu

504
. Lihat Abu al-Fatah al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal ( Beirut: Dar
al-Ma`rifat, 1404 H./ 1984 M. ), Juz 1, h. 146
505
. Lihat al-Nadwah al-`Alamiyah Lissyabab al-Islamiy (WAMY), al-
Mausu`ah al-Muyassarah Fiy al-Adyan wa al-Mazahib al-Mu`ashirah (Riyadh:
al-Nadwah al-`Alamiyah Lissyabab al-Islamiy, 1409 H./1989 M. ), h. 299
506
. Ibid. h. 299
507
. Abu al-Fatah al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, Juz 146
491

saja, Abu Bakar dan Umar dianggap oleh mereka telah merampas
jabatan khilafah dari pemiliknya, yaitu Ali bin Abi Thalib. 508 Oleh
karena itu, orang-orang Syiah membenci dan mengutuk Abu Bakar,
Umar bin Khattab, dan juga Utsman bin Affan. 509
Imam yang ke dua belas; Muhammad al-Mahdi bin al-Hasan
al-`Askariy dianggap menghilang diSardab di rumah ayahnya
berdasarkan kesaksian orang yang dirahasiakan (bisrri man ra`aahu)
dan tidak kembali. Umur saat dia menghilang ada yang mengatakan
sekitar umur 4 tahun dan pendapat yang lain sekitar umur 8 tahun.
Oleh karena itu Imam kedua belas ini disebut Imam Muhammad al-
Mahdi al-Ma`dum atau al-Muntazar (Imam yang hilang atau Imam
yang ditunggu) karena menurut orang-orang Syiah Imamiyah dua
belas bahwa Imam Muhammad al-Mahdi pada suatu saat nanti akan
muncul kembali ke dunia.510Syiah yang berkuasa di Iran saat ini
adalah Syiah Imamiyah Isnai `Asyariyah setelahmelakukan revolusi
dan berhasil menggulingkan pemerintahan Raja Syah Reza Vahlevi
oleh rakyat Iran yang dipimpin Imam Ayatullah Komeini pada akhir
tahun 1970-an dan mendirikan negara Republik Islam Iran.
Demikianlah beberapa pandangan al-Ghazali tentang
pemikiran politik Islamnya yang dipusatkan pada upaya bagaimana
melahirkan seorang pemimpin umat atau kepala negara yang
bermental dan berakhlak mulia dan bermoral, memiliki sikap adil,
jujur dan berwawasan luas.Selain juga menekankan pada managerial
dari pusat sampai daerah yang terkordinasi rapi dan sistematik
sebagaimana juga disampaikan al-Farabi.Pembahasan al-Ghazali
diakiri dengan tinjauan kajian perbandingan terhadap pandangan
umat Islam Sunni dan Syiah tentang kepemimpinan Khulafa al-
Rasyidin.Umat Islam Sunni berpandangan bahwa kepemimpinan
para Khulafa al-Rasyidin adalah sah sesuai dengan mandat dan
legitimasi yang diberikan masyarakat kepada mereka.Tetapi umat
Islam Syiah, terutama Syiah Itsnai `Asyariyah (kecuali Syiah
Zaidiyah) tidak demikian, mereka tidak mengakui kepemimpinan
Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.

508
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 214
509
. Abu al-Fatah al-Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, Juz 1, h. 146.
Lihat juga al-Nadwah al-`Alamiyah Lissyabab al-Islamiy ( WAMY ), al-
Mausu`ah al-Muyassarah Fiy al-Adyan wa al-Mazahib al-Mu`asirah, h. 302
510
.Ibid. h. 299
492

Ketiga Khalifah ini dianggap telah merampas kepemimpinan dari


Ali bin Abi Thalib, karena menurut Syiah Imamiyah kepemimpinan
itu mestinya berada di tangan Imam Ali bin Abi Thalib.

BAB X
PEMIKIRAN POLITIK
IBNU TAIMIYAH

1.Kondisi Sosial Politik Masa Ibnu Taimyah


Ibnu Taimiyah lahir di Harran, sebuah tempat dekat dengan
Damaskus pada tahun 661 H./ 1262 M. Pada tahun 1258 M. yaitu
lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Taimiyah, Tentara Hulaku Khan
dari Mongol menyerang dan membumi hanguskan kekhilafahan
Dinasti Abbasiyah, sekaligus menandai berakhirnya Khilafah Bani
Abbas (Daulah Abbasiyah) yang selama kurang lebih lima ratus
tahun berkibar menjadi lambang kekuatan politik Dunia Islam saat
itu. Ibnu Taimiyah hidup dalam situasi genting, tidak ada stabilitas
politik sebagai akibat dari disintegrasi dan perpecahan dalam
berbagai aspek kehidupan sosial politik, dan bahkan dalam hal
keagamaanpun tidak ada kesatuan dalam bermazhab atau dalam
ketetapan hukum (hukum fiqh) dan undang-undang. Kondisi ini
diperparah dengan adanya kehidupan masyarakat yang heterogen
dan saling mencurigai antara satu dengan yang lainnya, tidak ada
kesepahaman (tafahum).Masyarakatnya terdiri dari berbagai etnik
atau keturunan; keturunan Turkey (Atrak), keturunan Mesir
(Misriyyun), Syam (Shamiyyun), keturunan Iraq (Iraqiyyun) dan
orang-orang keturunan Tatar (Mongolia). Keberadaan mereka di
Syam (Syria) kebanyakannya sebagai budak atau hamba sahaya
karena menjadi tawanan perang, dan mereka semua menetap di
493

Syam.Mereka semua berbeda-beda dalam budaya, kepercayaan,


perilaku, pemikiran dan sebagainya, kondisi ini berpengaruh pada
kehidupan sosial politik, pemikiran dan sebagainya. 511
Penting untuk disampaikan bahwa Ibnu Taimiyah telah
melibatkan diri dalam perang Syaqjab. Ibnu Taimiyah dalam perang
ini telah menggalang kekuatan Tentara dari Mesir bersama dengan
kekuatan Tentara dari Syam. Dalam situasi seperti ini Ibnu
Taimiyah menyeru kepada para Sulthan, para Amir (Gubernur), dan
semua masyarakat untuk tetap teguh dan tegar dalam menghadapi
musuh. 512
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi sosial politik
pada masa Ibnu Taimiyah hidup tidak jauh lebih baik dibandingkan
dengan kondisi sosial politik para pendahulunya, kondisinya sangat
parah, stabilitas politik tidak ada, disintegrasi politik tengah
mengancam di berbagai wilayah, dislokasi sosial, dekadensi moral
dan akhlak melanda di tengah-tengah masyarakat.513 Ini semua
terjadi sebagai dampak dari permasalahan-permasalahan yang
melanda Dinasti Abbasiyah, baik karena faktor internal atau pun
eksternal, dan permasalahan ini bukan saja terjadi di pusat
pemerintahan di Baghdad, tetapi juga di wilayah kekuasaan yang
terbentang luas di berbagai wilayah. Malapetaka yang paling parah
adalah terjadinya perang dengan Krusades yang tidak kunjung henti,
dan terjadinya serangan kekuatan Tentara Mongolia yang dipimpin
oleh Hulagu Khan.514Dari aspek lain, memang sudah lama
kekuasaan pemerintahan tidak lagi berada dalam kendali Khalifah
yang bertahta di Baghdad, melainkan sudah berada pada penguasa-
penguasa wilayah atau daerah, baik yang bergelar Sulthan, Amir,
atau Gubernur. Tetapi kekuasaan mereka kemudian dipersempit atau
bahkan ada yang direbut (dikuasai) oleh penguasa Tatar dari Timur
atau Krusades dari Barat.Jatuhnya pusat pemerintahan Dinasti
Abbasiyah di Baghdad ke tangan kekuasaan Tatar sebagai fakta

511
. Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
427.Lihat juga Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah. Jld. 13 – 14, h. 200 - 203
512
. Ibid. h. 428
513 . Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 80
514
. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001 ), cet. Ke-12, h. 85, Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf et
al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 423 - 424
494

berakhirnya pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan sekaligus


merupakan klimaks dari tragedi disintegrasi politik.Dengan
kolapsnya (runtuhnya) Dinasti Abbasiyah, para penguasa wilayah
kemudian bebas mengenakan gelar; Amir, Sulthan, atau Raja. 515

2.Pentingnya Otoritas Kekuasaan


Topik pembahasan ini sebenarnya Ibnu Taimiyah
meletakkannya di akhir pembahasan karyanya dan menjadi satu
bahasan dengan pembicaraan musyawarah.Tetapi penulis
mendahulukanya karena disesuaikan dengan peletakkannya di awal-
awal bahasan pemikiran poliik Islam sebagaimana yang dilakukan
oleh para pemikir politik Islam sebelum Ibnu Taimiyah.
Dalam kaitan ini, Ibnu Taimiyah berbicaratentang
pentingnyapemerintahan dengan otoritas kekuasaan (ahammiyatul
wilayah) yang ada padanya. Pentinyapemerintahan ini menurut Ibnu
Taimiyah merujuk pada realitas bahwa kekuasaan untuk mengelola
urusan umat merupakan kewajiban agama yang paling agung
(wilayatu amrin nas min a`zami wajibat al-din) karena menurutnya,
agama tidak mungkin bisa tegak, dalam arti diamalkan, tanpa
otoritas kekuasaan atau pemerintah (bal la qiyama illa biha).
Sebagaimana diungkapkan para pemikir politik Islam sebelum Ibnu
Taimiyah tentang kemestian manusia hidup bermasyarakat, Ibnu
Timiyah juga berpendapat sama, yaitu bahwa umat manusia (bani
Adam) tidak akan mampu mencukupi semua kebutuhan hidupnya
tanpa bermasyarakat dan saling bantu membantu dalam kehidupan
antara sesama mereka (Anna bani Adam la tatimmu maslahatuhum
illa bil ijtima`), dan sebagai kelanjutan dari fenomena ini umat
manusia sangat memerlukan seorang pemimpin atau kepala (al-
hajatu ila ra`sin).516

515
. Informasi lebih lanjut silahkan pembaca lihat Ibnu Kathir, al-
Bidayah wa al-Nihayah ( T. tmpt.:Darul Fikri al-`Arabi, T.th. ), Jld. 13 – 14, h.
200 - 203
516
. Ibnu Taimiyah, Ahmad Taqiy al-Din, al-Siyasah al-Syar`iyah Fiy
Ishlahi al-Ra`I wa al-Ra`iyyah ( Kairo: Dar al-Sya`b, 1980), h. 180, lihat juga
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 457. Lihat juga
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 89
495

Berdasarkan pernyataan Ibnu Taimiyah di atas, dapat


ditegaskan bahwa betapa pentingnya seorang pemimpin dalam
sekecil apa pun komunitas manusia, sehingga Nabi Muhammad
saw. bersabda bahwa;
jika ada tiga orang keluar bepergian, hendaknya
diangkatlah seorang dari mereka menjadiamir atau ketua (
fal yuammiru ahaduhum).
Demikian-lah Nabi Muhammad saw. mewajibkan
mengangkat amir atau ketua meskipun dalam kumpulan kecil
sekalipun saat dalam perjalanan. Hal ini sebagai indikasi betapa
pentingnya seorang ketua atau pemimpin dalam suatu komunitas
atau perkumpulan apapun, lebih-lebih perkumpulan besar seperti
organisasi negara,517 maka pengangkatan seorang ketua atau
pemimpin negara menjadi keharusan.
Alasan lain bagi pentingnya mengangkat seorang pemimpin
yang memiliki otoritas kekuasaan, Ibnu Taimiyah menegaskan
bahwa Allah memerintahkan untuk melaksanakan amar ma`ruf dan
nahi mungkar, yaitumengajak orang untuk berbuat baik dan
melarang orang dari berbuat jahat dan tercela. Untuk melaksanakan
missi ini tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik, efektif dan
sempurna tanpa kekuatan dan otoritas kekuasaan (la tatimmu illa bi
quwwatin wa imaratin). Demikian juga kewajiban-kewajiban lain
seperti kewajiban berjihad dalam menghadapi musuh atau
menciptakan keamanan dan stabilitas politik, kewajiban menegakan
keadilan, melaksanakan ibadah haji secara berjama`ah,
melaksanakan ibadah Jum`at, melaksanakan shalat Idul Fitri dan
Idul Adhha, menolong orang-orang yang teraniaya atau terzalimi,
menegakkan ketentuan-ketentuan Allah (hudud Allah).Semuanya
tidak mungkin dapat terealisasi secara efektif kecuali dengan
kekuatan dan otoritas kekuasaan. 518
Dalam menyikapi pentingnya keberadaan seorang pemimpin
dengan otoritas kekuasaan di tangannya, Munawir Sjadzali
menegaskan bahwa terdapat persamaan antara Ibnu Taimiyah dan
al-Ghazali. Sebagaimana al-Ghazali kata Munawir Sjadzali, Ibnu

517
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 183
518
. Ibid. h. 185. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-
Siyasi Fiy al-Islam, h. 475
496

Taimiyah juga berpendapat bahwa keberadaan kepala negara


diperlukan bukan saja sebatas untuk menjamin keselamatan jiwa dan
hak-hak milik rakyat, serta terpenuhinya semua kebutuhan materi
mereka, tetapi lebih dari itu adalah untuk menjamin terlaksananya
semua perintah Allah. 519
Ibnu Taimiyah bukan seorang pemikir yang
berprinsipmenjadikan posisi pemimpin sebagai tujuan dalam hidup
bermasyarakat atau bernegara. Iajuga bukan seorang pemikir yang
berpandangan bahwa keberadaan seorang pemimpin sebagai hasil
dari proses hidup bermasyarakat dari satu tahap ke tahap berikutnya
sehingga kemudian muncul secara alami, bukan itu saja, tetapi Ibnu
Taimiyah seperti juga pemikir muslim sebelumnya berpandangan
bahwa seorang pemimpin harus merealisasikan perintah-perintah
Allah, ketentuan-ketentuan-Nya (hudud Allah), dan undang-undang-
Nya (likay yunaffizu awamira, wa qawaida, wa qawaninihi al-
ilahiyyah).520Oleh karena itu Ibnu Taimiyahmenegaskan bahwa
sulthan atau kepala negara adalah bayangan Allah di muka bumi ini
(al-Sulthan zillullah fiy al-ardhi).Dalam arti bahwa dia memikul
kewajiban dan tanggung jawab untuk merealisasikan dan
melaksanakan undang-undang Allah dan pesan-pesan-Nya di bumi.
Jadi, dia adalah wakil Tuhan di bumi dengan kekuasaan dan
kewenangannya untuk memerintah bersumber dari Tuhan.521 Hal
inilah kemudian yang menjadikan Ibnu Taimiyah berpendirian
bahwa sudah menjadi kewajiban dalam menetapkan otoritas
kekuasaan (ittakhazul imarah) atas dasar agama dan untuk beribadah
(dinan wa qurbanan) agarberbagai aktivitas kehidupan terkait
dengan perpolitikan menjadi ibadah kepada Allah. 522
Berdasarkan pandangannya tentang betapa pentingnya
otoritas kekuasaan atau pentingnya kewujudan sulthan bagi
menjamin kehidupan yang nyaman, aman dan tentram, Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa keberadaan sulthan (kepala negara)
meskipun zalim lebih baik bagi umat manusia di bandingkan jika
mereka hidup tanpa sulthan (biduni Sulthan). Bahkan lebih dari itu,

519
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 89
520
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 186
521
. Ibid. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 458
522
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 186
497

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hidup selama enam puluh tahun


dengan sulthan (kepala negara) yang zalim, itu lebih baik dari pada
hidup satu malam tanpa sulthan. 523 Dalam konteks ini, Munawir
Sjadzali mengomentari bahwa pendapat Ibnu Taimiyah ini
sebenarnya ekstrim, tetapi itu mungkin merupakan ekspresi dari
kekhawatirannya terhadap kemungkinan terjadinya gangguan
terhadap stabilitas politik di negara tempat Ibnu Taimiyah hidup
yang penuh dengan gejolak,524 karena negara pada saat Ibnu
Taimiyah hidup sedang mengalami goncangan, konflik dan
disintegrasi sebagai akibat dari serangan Tentara Tartar dari
Mongolia, dengan pernyataanya itu diharapkan loyalitas rakyat
kepada Khalifah dapat dipertahankan dan kesatuan umat Islam tetap
dapat dipelihara.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa jika
otoritas kekuasaan sudah berada di genggaman seorang penguasa
(kepala negara), hendaknya dapat menghindari sikap dan prilaku
ambisius kekuasan dan harta kekayaan. Menurutnya, manusia
menjadi rusak karena hanya mengejar kekuasaan atau harta
kekayaan.525Ibnu Taimiyah menegaskan kembali bahwa ambisi
manusia terhadap harta kekayaan dan kekuasaan dapat merusak
agamanya, bahkan lebih berbahaya ketimbang mengirim dua ekor
serigala lapar ke kandang kambing. 526Hal ini sebagaimana sabda
Nabi yang diriwayatkan Ka`ab bin Malik;
bahwa dua ekor serigala lapar yang dikirim ke
kawasan kambing, itu berbahaya,
tetapilebihberbahaya lagi ambisi seseorang pada
harta kekayaan atau jabatan kekuasaan terhadap
agamanya.527
Karena ambisi ini akan menutup hati nuraninya dan
pemikiran objektifnya, yaitu pemikiran yang berdasarkan
pertimbangan akal sehat. Dengan ambisi ini seseorang akan
berupaya dengan berbagai cara, halal atau haram tidak peduli, yang

523
. Ibid.
524
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 89
525
. Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, Politik Islam: Penjelasan
Kitab Siyasah Syar`iyah Ibnu Taimiyah ( Jakarta: Gria Ilmu, 2014 ), h. 371
526
. Ibid.
527
. Ibid.
498

penting mencapai tujuan, yaitu kedudukan atau kekuasaan.Begitu


juga dengan ambisi untuk mencapai harta kekayaan sebanyak-
banyaknya, tidak peduli dengan cara apa yang dilakukan, tidak
peduli halal atau haram, menipu, memanipulasi,menggelapkan uang
negara, dan bahkan korupsi.
Dalam kaitan ini, Allah telah mengabarkan tentang seseorang
yang menerima catatan amalnya di akhirat nanti dengan tangan
kirinya dan dia berkata;
Hartaku tidak lagi memberi manfaat kepadaku, telah hilang
kedudukanku dariku.528
Jika ambisi yang ingin dikejar adalah kekuasaan dan harta
kekayaan, maka menurut Ibnu Taimiyah lagi tidak ada bedanya
dengan Fir`aun; seorang Raja otoriter dan diktator yang hidup di
zaman Nabi Musa. Sementara yang berambisi harta kekayaan tidak
ada bedanya dengan Qarun, yang sebelumnya seorang fakir miskin
kemudian menjadi orang kaya raya, karena mendapat nikmat dari
Allah, tetapi dia kemudian ingkar, tidak bersyukur.

3. Integrasi Politik dan Agama


Apa yang dimaksud dengan integrasi politik dan agama
(syariah) ?Menurut jalan pemikiran Ibnu Taimiyah integrasi politik
dan agama adalah menyatunya politik dan agama dalam satu
lembaga negara.Oleh karenanya,politik dan agama tidak terbagi
menjadi dua lembaga terpisah, di mana politik menjadi urusan
publik mengurusi keduniaan dan agama di posisikan
untukmengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat,
atau agama hanya berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya
private.Atas dasar pemikiran integrasi politik dan agama ini, maka
semua aktivitas perpolitikan didasarkan pada agama, dalam arti
agama menjadi dasar bagi semua kebijakan-kebijakan strategis
negara.al-Qur`an dan Sunnah Nabi yang saheh menjadi sumber
aturan kehidupan bernegara, oleh karenanya al-Qur`an dan Sunnah
Nabi merupakan satu-satunya (tarkiz) rujukan dalam seluruh
aktivitas perpolitikan. Orientasi pemikiran politik Ibnu Taimiyah
yang berasaskan agama ini didasarkan pada firman Allah surat al-
Nisa ayat 58 dan ayat 59; yang artinya;

528
. Lihat al-Qur`an, Surat al-Haqqah: 28 -29
499

Sungguh, Allah memerintahkan kalian menyampaikan


amanah(titipan) kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia, agar
kalian menetapkannya dengan adil.Sesungguhnya Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepada
kalian.Sungguh, Allah Maha mendengar, Maha Melihat
(ayat 58).
Wahai orang-orang yang beriman !taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Muhammad saw.) dan ulil amri (para
pemegang kekuasaan) di antara kalian. Kemudia, jika kalian
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat.Yang
demikian itu, lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik
akibatnya.(ayat 59).
Jika diperhatikan pengertian dua ayat di atas, maka ayat
pertama diperuntukan kepada para pemimpin (para pemegang
kekuasaan), dan ayat kedua ditujukan kepada rakyat.Dengan
memperhatikan dua ayat di atas, setidaknya ada empat poin penting
yang harus diperhatikan dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Empat poin tersebut, ialah;
1. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi, para
pemimpin negara hendaknya merealisasikan amanahdengan
sebaik-baiknya, karena jabatan itu sebenarnya amanah atau
titipan, pada suatu hari jabatan tersebut akan dikembalikan
kepada negara atau paling tidak dilakukan roling
posisidengan berbatas waktu.

2. Bertindak adil dalam mengambil keputusan terkait sengketa


atau konflik antara sesama anggota masyarakat. Dalam arti
tidak memihak secara sepihak, tetapi berdasarkan kebenaran
faktadan objektifitas.

3. Rakyat diperintahkan supaya taat (loyal), tidak saja kepada


Allah dan Rasul-Nya tetapi juga kepada para pemimpin (ulil
amri). Dan melakukan semua perintah para pemimpin
tersebut selama tidak memerintahkan berbuat jahat, maksiat,
dan tindakan yang dilarang agama. Kata kuncinya adalah
500

selama pemimpin tidak memerintahkan berbuat hal-hal yang


dilarang agama, jika para pemimpin memerintahkan hal-hal
yang bertentangan agama, maka rakyat tidak wajib taat
kepada mereka.

4. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat dalam suatu masalah


antara sesama, maka dalam rangka meminimalisir atau
bahkan untuk penyelesaian masalah, hendaknya kembali
kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnah Rasul).
Selanjutnya Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa dengan
kewajiban para pemimpin negara untuk merealisasikanamanah
kepada pihak (rakyat) yang berhak menerimanya dan bertindak adil
dalam memutuskan sengketa atau konflik, maka akan terjadi
integrasi antara kebijaksanaan politik yang adil dan pemerintahan
yang baik. 529 Dengan demikian politik yang dibangun Ibnu
Taimiyah berdasarkan agama (Syariah) yang bersumber kepada
ajaran al-Qur`an dan Sunnah Nabi. 530
Apa yang melatar belakangi Ibnu Taimiyah berfiikiran dan
bersikap tegas agar politik berlandaskan Syariah. Hal ini karena
kondisi yang dihadapi Ibnu Taimiyah saat itu telah terjadi kerusakan
parah dalamberbagai aspek kehidupan, terutama kemerosotan moral
(akhlak). Kerusakan ini terjadi menurut Ibnu Taimiyah sebagai
akibat dari kerusakan para pemimpin politik itu sendiri dari satu sisi,
dan di sisi lain karena kesalahan para pemimpin yang merekrut para
pejabat dari orang-orang yang tidak berkelayakan.531Dalam
menyikapi terjadinya kerusakan yang ada pada masyarakat saat itu,
Ibnu Taimiyah berupaya melakukan reformasi pada ranah politik
dan kondisi masyarakat dengan menyeru untuk kembali kepada al-
Qur`an dan Sunnah Nabi, serta komitmen kepada tujuan (hadaf)
agung agama, yaitu terciptanya kedamaian dan wujudnya
kesejahteraan di kalangan umat.
Apa yang menjadi komitmen Ibnu Taimiyah dalam
mengintegrasikan politik dengan agama (Syariah) sebenarnya
bukanlah sesuatu yang baru, karena para pemikir politik Islam

529
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 83
530
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 430
531
. Ibid. h. 429
501

sebelum Ibnu Taimiyah, antaranya; Ibnu Abi Rabi`, al-Mawardi, al-


Ghazali, dan lain-lainnya sudah melakukan hal yang sama, mereka
juga telah menuangkan pemikiran politik mereka berlandaskan
agama yang bersumberkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi, meskipun di
antara mereka ada yang mengadobsi pemikiran Yunani, antaranya
Plato dan Aristoteles, terutama dalam teori asal usul terbentuknya
negara. Dan apa yang dilakukan Ibnu Taimiyah sebenarnya adalah
reformasi melalui penegasannya untuk kembali kepada al-Qur`an
dan Sunnah Nabi secara tegas dan konsisten.
Pemikiran politik Ibnu Taimiyah yang berlandaskan agama,
sebagaimana dijelaskan di atas dalam kajian politik Islam modern
dan kontemporer disebut pemikiran politik integratif, yaitu praktek
politik kenegaraan dalam berbagai aspeknya tidak terpisah dari
agama (Syariah), menjadi satu kesatuan yang tidak terpragmentasi.
Hakikatnya memang begitu di dalam tataran praktis perpolitikan
umat Islam semenjak zaman Nabi Muhammad saw. zaman Khulafa
al-Rasyidin, bahkan di masa Dinasti Umayyah, Abbasiyah,
Othoman, dan Dinasti-Dinasti lainnya. Hanya saja mungkin yang
terjadi perbedaan antara satu Dinasti dengan Dinasti yang lain
adalah dalam tataran praktis atau amalan ajaran agama dari aspek
menguat atau melemah. Dalam suatu zaman praktik ajaran agama
menguatdan bisa jadi pada zaman yang lain melemah, tetapi yang
jelas praktik perpoklitikan umat Islam yang sebenarnya adalah
integratif, kecuali di era modern dan kontemporer ada sebagian
pemikir muslim yang berupayauntuk melakukan sekularisasi politik
dengan alasan untuk membangun umat Islam lebih maju.
Pemikiran politik Ibnu Taimiyah yang berasaskan Syariah,
ternyata berbeda dengan beberapa pandangan politik para pemikir
Barat Eropa, terutama Niccolo Mechiavelli (1469 – 1527 M.) dan
Thomas Hobbes (1588 – 1679 M.) dalam hal terjadinya kerusakan
pada aktivitas perpolitikan sebagai akibat dari ajaran agama atau
moral. Semenjak abad 15 M. yaitu satu abad setelah wafatnya Ibnu
Taimiyah, Mechiavelli berpendapat bahwa kerusakan yang terjadi
pada praktik politik dan kekacauan aktivitas perpolitikan disebabkan
setidaknya oleh dua faktor utama, yaitu;
1. Keterikatan politik pada ajaran etika dan moral (akhlak) dan
nilai-nilai yang ada di dalamnya.
502

2. Persaingan sengit yang berterusan antara Gereja dan para


tokoh agamawan tentang masalah-masalah politik.
Sebagai reaksi terhadap dua faktor di atas, Mechiavelli
menegaskan bahwa sudah menjadi keharusan untuk memisahkan
ajaran moral dan agama dari ranah politik. 532SeruanMechiavelli
dipertegas kembali oleh Dunning di dalam karyanya; Political
Theories, bahwa Mechiavelli telah memisahkan ilmu politik dari
moral (akhlak), Mechiavelli tidak mempercayai bahwa politik
dibangun atas ajaran moral, oleh karenanya politik tidak
diposisikan dalam lingkup ilmu akhlak, makanya ilmu politik
terpisah sebagai ilmu (science) yang berdiri sendiri.533Demikian juga
Thomas Hobbes pada abad 16 M. telah memberikan dukungan
penuh kepada pendapat Mechiavelli, oleh karenanya Hobbes
menyatakan dengan tegas untuk menjauhkan pengaruh kekuasaan
Gereja (agama) dari masalah-masalah politik, bahkan Hobbes lebih
tegas lagi menyatakan agar Gereja tunduk kepada otoritas negara
dan pemerintahan, yaitu otoritas negara. 534 Dengan demikian, sudah
jelas bahwa para pemikir Barat Eropa berbeda pendapat dengan Ibnu
Taimiyah, mereka telah memutus hubungan antara ajaran agama,
yaitu agama Kristiani atau Yahudi dari ranah politik, maka
kemudian praktik politik di kalangan masyarakat Barat menjadi
bersifat sekuler ( secular ). Sementara Ibnu Taimiyah dengan
pendirian yang tegas menyatakan keharusan mendasarkan aktivitas
perpolitikan pada ajaran agama (Syariah), dan keharusan
membangun politik berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi, maka
praktik perpolitikanpun menjadi bersifat integratif.

4.TeoriAmanah Dalam Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah


Keseluruhan pemikiran politik Ibnu Taimiyah dibangun
berdasarkan teori amanah. Berbeda dengan para pemikir politik
Islam sebelumnya, Ibnu Taimiyah menjadikan amanah sebagai
suatu pembahasan tersendiri di dalam karyanya; al-Siyasah al-
Syar`iyah Fiy Islah al-Ra`i waal-Ra`iyah(Politik Berdasarkan

532
. Lihat Muhammad Jalal syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
430
533
. Ibid.
534
. Ibid. h. 431
503

Syari`ah Untuk Kebaikan Pemimpin dan Rakyat). Dengan


tertanamnya sikap amanah pada setiap individu muslim, terutama
para pemimpin, para pejabat, maka dengan sendirinya akan
berimplikasi lahirnya beberapa sikap positif, antaranya;
 Adil dalam menegakkan kebenaran berdasarkan fakta dan
objektif,
 Komitmen pada aturan dan sistem,
 Disiplin dalam memenaj waktu dan kerja,
 Bijaksana dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Oleh karena itu, amanah menjadi dasar yang sangat penting
dalam membangun pemerintahan yang stabil, kondusif, aman,
tenteram, dan sehjahtera. Dalam hal ini Munawir Sjadzali
mendeskripsikan pemikiran politik Ibnu Taimiyah; sebagai suatu hal
yang menarik perhatian bahwa Ibnu Taimiyah sedikit sekali
berbicara tentang kepala negara dan bahkan sama sekali tidak
menyinggung soal cara atau mekanisme pengangkatan kepala
negara. Tetapi Ibnu Taimiyah, menurut Munawir Sjadzali langsung
membicarakan suatu perintah dalam ayat 58 surat al-Nisa, yaitu agar
para penguasa menunaikan atau menyampaikanamanah, trust
kepada yang berhak. Penyampaian amanah, terutama ditujukan pada
dua hal pokok, iaitu;
Pertama; dalam hal rekrutmen dan pengangkatan para pejabat
negara.
Kedua; dalam hal pengelolaan kekayaan negara dan melindungi
harta kekayaan dan hak milik rakyat.535
Kedua-dua pembagian amanah ini akan dijelaskan lebih
lanjut kemudian. Secara umum, amanah (trust) dapat diartikan;
jujur, kejujuran atau titipan yang harus dijaga sehingga pemiliknya
merasa aman karena orang yang dititipi itu memiliki sikap jujur dan
dipercaya, kemudian titpan itu diserahkan kembali kepada yang
punya. Indikasi kejujuran seseorang menurut Ibnu Taimiyah dapat
dilihat dari ketakwaanya kepada Allah, ketidak bersediaan menjual
ayat-ayat Allah hanya untuk tujuan memperoleh kekayaan duniawi
dan kepentingan politik sesaat, serta sikap tidak takut kepada

535
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 83 -84
504

manusia selama ia berada dalam kebenaran. 536 Untuk memperkuat


teori amanah ini, Ibnu Taimiyah mendasarkan teorinya kepada ayat
al-Qur`an surat al-Nisa ayat 58 sebagaimana disebutkan di atas.
Ayat ini memerintahkan umat Islam agar menyerahkan amanah
kepada orang yang berhak (berkelayakan) menerimanya.Dalam
konteks ini, selanjutnya Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
menyerahkan, menunaikan amanah (adaul amanah)terbagi dalam
dua bagian; menunaikan amanah kekuasaan (al-wilayah), dan
menunaikan amanah harta kekayaan (al-amwal). Berikut ini
disampaikan penjelasan masing-masing;

1.Amanah Kekuasaan ( al-wilayah)


Amanah bagian pertama adalah amanah yang berkaitan
dengan kekuasaan atau otoritas.Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad saw. memperoleh
kemenangan atas kota Mekkah (fathu Mekkah) pada tahun ke 7 H.
sebagai bukti kekuasaan berada di tangannya, Nabi kemudian
diserahi kunci Ka`bah oleh pimpinan Kabilah Syaibah yang selama
ini dipegangnya. Kemudian al-Abbas (paman Nabi) mengusulkan
kepada Nabi agar urusan atau jabatan penyediaan minuman untuk
Jemaah Haji (Siqayatul haj) dijadikan satu dengan urusan
penggantian Kelambu Ka`bah (Sadanatul Biyt), tetapi kemudian
tiba-tiba turun ayat 58 surat al-Nisa sebagaimana disebutkan di atas,
maka Nabi kemudian mengembalikan kunci Ka`bah tersebut kepada
Kabilah (bani) Syaibah.537
Dari fakta sejarah ini dapat ditegaskan bahwa ayat 58 surat
al-Nisa memerintahkan agar seorang penguasa (nepala negara)
merekrut atau memberikan kekuasaan (otoritas) kepada seseorang
yang dipandanglebih layak (aslah) untuk suatu pekerjaaan atau
jabatan. Oleh karena itu, Nabi kemudian menegaskan bahwa;
siapa saja mengangkat atau memberi kekuasaan kepada
seseorang, sementara ada orang lain yang lebih layak
(aslah) ketimbang dia, maka orang tersebut telah berkhianat
kepada Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang mukmin.
536
. Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa ( Beirut: Dar al-Kutub al-Arabiyah,
t. th. ), Juz 28, h. 253. Lihat juga Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah Fiy
Islahi al-Ra`I wa al-Ra`iyyah, h. 15
537
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 18
505

Dalam riwayat lain ditegaskan bahwa Umar bin Khattab


berkata kepada putranya; Ibnu Umar, Siapa saja memberi
kekuasaan (mengangkat seseorang untuk suatu jabatan) karena suka
atau karena ada pertalian kerabat, maka dia telah melakukan
tindakan khianat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta umat Islam.538
Berdasarkan pernyataan di atas, Ibnu Taimiyah menegaskan
bahwa wajib bagi para pemimpin; kepala negara, khalifah, raja,
sulthan dan sebagainya untuk melakukan identifikasi (al-bahast)
terhadap orang-orang yang berhak menduduki suatu jabatan, apakah
itu jabatan gubernur, pendana menteri, menteri, para hakim, para
pemimpin tentara atau orang-orang yang diberi kepercayaan
mengelola harta kekayaan negara.539 Sebagai konsekuensi dari
prinsip amanah yang melandasi seluruh pemikiran politik Ibnu
Taimiyah, Ibnu Taimiyah menekankan bahwa kepala negara harus
menempatkan para pejabatnya pada posisi yang tepat dan sesuai
dengan keahlian dan kapabelitasnya masing-masing, bukan atas
pertimbangan-pertimbangan subjektif yang mengarah pada tindakan
menyalah gunakan wewenang sehingga terjadinya KKN. Ini berarti
bahwa Ibnu Taimiyah sudah mengkonsepsikan penerapan asas
profesionalitasdanthe right man on the right place dalam praktik
kehidupan perpolitikan umat Islam masa itu.540 Dalam konteks ini,
Mnawir Sjadzali menyampaikan kesimpulan dari apa yang
dijelaskanIbnu Taimiyah tentang amanah, bahwa amanah
sebenarnya memliki dua arti;
Pertama;Amanahadalah kepentingan-kepentingan rakyat yang
merupakan tanggung jawab kepala negara (khalifah, raja,
sulthan) untuk mengelolanya. Dan pengelolaan akan
menjadi baik dan sempurna, jikadalam pengangkatan
para pembantunya dari orang-orang yang betul-betul
memiliki kecakapan (kapabelitas atau kemampuan).
Kedua;Amanah dalam arti kewenangan memerintah yang dilmiliki
kepala negara, dan di dalam melakasnakannya dia
memerlukan wakil (deputi), maka hendaknya mereka itu

538
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 438
539
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 19
540
. Lihat Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer ( Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010 ), h. 35 - 36
506

terdiri dari orang-orang yang memiliki integsitas dan


persyaratan kecakapan dan kemampuan. 541

2.Amanah Harta Kekayaan Negara


Amanah bagian kedua adalah amanah yang berkaitan dengan
pengelolaan kekayaan harta negara( semacam BUMN di Indonesia
di era modern dan kontemporer) dan perlindungan terhadapharta
benda milik warga negara. Oleh karenanya, rakyat tidak dibenarkan
menolak semua hak dan kewajiban yang telah ditetapkan kepala
negara. Tetapi, sebaliknya kepala negara dan para deputinya (wakil)
harus membelanjakan dana yang diterimanya dari rakyat dan dari
sumber-sumber lain secara baik dan transparan sesuai dengan
petunjuk al-Qur`an dan Sunnah Nabi, dan tidak mempergunakannya
atas kehendak hatinya. Ia harus sadar bahwa dana tersebut bukanlah
miliknya, tetapi merupakan amanah atau titipan.542 Oleh karena itu,
Ibnu Taimiyah menetapkan syarat bagi para pengelola harta
kekayaan negara, yaitu tidak boleh melakukan transaksi atau
menggunakan harta kekayaan negara berdasarkan kenginannya
sendiri, karena mereka adalah para wakil dan para pengelola, tetapi
harus berdasarkan persetujuan kepala negara (khalifah, raja,
sultham).543 Pada tempat yang sama, Ibnu Taimiyah menegaskan
bahwa para penegak hukum agar mengembalikan kepada para
pemilik apa-apa yang diambil tanpa hak oleh para pejabat atau
pengeola. Demikian juga, Ibnu Taimiyah menetapkan larangan
melakukan rasywah (memberikan sogokan untuk pelicin proses)
kepada para pejabat atau orang-orang yang terkait hanya karena
untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan tanpa melalui prosedur
resmi yang sah.544

5.Sumber Pendapatan Negara


Harta dan kekayaan negara menjadi unsur penting bagi
negara untuk menggerakan roda pemerintahan dan menciptakan
kesejahteraan rakyat. Berbicara tentang harta kekayaan atau asset
negara, dari mana sumbernya dan dibelanjakan (ditransaksikan)
541
. MunawirSjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 85 -86
542
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 445
543
. Ibid.
544
. Ibid. h. 449
507

untuk apa. ? Dalam konteks ini, Ibnu Taimyah menjelaskan bahwa


harta kekayaan negara berasal dari beberapa sumber pendapatan,
antaranya sebagai berikut;
1. Zakat;
Harta zakat ini wajib dikeluarkan oleh dan diambil dari
orang-orang kaya (aghniya) muslim.Harta Zakat dari umat
Islam terbagi dalam lima ( 5) bagian. Pertama;
ZakatPertanian; berupa Gandum, Beras, dan makanan pokok
lainnya.Kedua; Zakat Harta Tambang berupaEmas, Perak,
Minyak bumi, bahan besi, bahan Timah dan
sebagainya.Ketiga; Zakat Hewan Ternak; berupa hewan
Onta, Sapi, Kambing dan sebagainya. Empat; Zakat buah-
buahan berupa buah Korma, Anggur dan buah-buahan
lainnya.Lima; Zakat Perdaganga, yaitu`Urud al-Tijarah.

2. Ghanimah:
Yaitu harta kekayaan yang diperoleh hasil dari kemenangan
Tentara muslimmengalahkan musuh non muslim dalam
perang (al-harb). 545

3. Fey:
Yaitu harta kekayaan yang diambil dari pihak musuh non
muslim setelah menyatakan kalah tanpa melalui perang.
Dalam arti kemenangan Tentara .muslim mengalahkan
musuh tanpa melalui perang antara kedua belah
pihak.Kemudian harta kekayaannya secara otomatis dikuasai
oleh negara (Pemerintah Islam), maka harta kekayaan
tersebut menjadi milik negara.546

4. Harta sadakah sunnah dari umat muslim.

5. Jizyah ( pajak )
Harta Jizyah, yaitu pajak yang dikenakan kepada ahlul
Zimmi.Ahlul Zimmi adalah orang-orang non muslim yang
545
. Musthafa Diyb al-Bagha, al-Tahzhib Fiy Adillah Matan al-Ghayah
wa al-Taqrib ( Beirut: Muassisah Ulum al-Qur`an, 1985 ), h. 229
546
. Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu ( Damaskus:
Darul Fikri, 1985 ), Juz 6, h. 442
508

bertempat tinggal di wilayah kekuasaan pemerintahan Islam


dan telah mendapatkan jaminan keamanan.

6. Harta kekayaan yang tidak jelas pemilikinya. 547


Demikian mengenai beberapa sumber pedapatan negara saat
itu yang disampaikan Ibnu Timiyah. Berdasarkan fakta ini dapat
ditegaskan bahwa ternyata pada masa Ibnu Taimiyah hidup sudah
ada pengaturan dan pengelolaan sumber pendapatan negara, bahkan
semenjak zaman Nabi pun sudah ada pengaturan sumber pedapatan
negara, meskipun dalam mengelolanya masih sederhana bila
dibandingkan dengan saat ini di era modern dan kontemporer.

6.Pembelanjaan dan PengeluaranKebutuhan Negara


Harta kekayaan negara yang sudah tersimpan di Baitul Mal,
selanjutnya dipergunakan untuk berbagai keperluan (al-masrufat).
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyah memberi penjelasan mengenai
pengeluaran gaji yang harus diberikan kepada para pejabat dan
parapengelola berbagai bidang atau sektor. Ibnu Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa dalam pemberian gaji ini harus berdasarkan
skala prioritas, dimulai dari yang paling utama ke yang utama, ini
dilakukan atas dasar kemaslahatan umat Islam, karenanya Ibnu
Taimiyah telah membuat daftar urutan penerima gaji sebagai
berikut;
1. Golongan Tentara (al-muqatalah, al-asykar). Ibnu Taimiyah
mendahulukan mereka, karena mereka adalah orang-orang
yang telah mengabdikan diri mereka untuk negara, baik jiwa,
ataupun raga, danmereka juga yang bertanggung jawab atas
keselamatan dan keamanan negara.

2. Para pejabatdanpara pemimpin(al-Wulat).Mereka adalah


orang-orang yang bertugas dalam berbagai sektor dan
bidang.

3. Para Hakimdan penegak hukum (al-Qudhat).

547
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Ibid.
h. 446
509

4. Para Ulama;Yaitu orang-orang cerdik pandai dan bertugas


memberikan pencerahan, mendidik dan mengajar warga dan
masyarakat.
5. Orang-orang yang bertugas mengelola harta kekayaan
negara, baik yang mengumpulkan (Jam`an),
memelihara,memelihara (hifazhan) atau yang bertugas
membagi-bagikan (qismah).

6. Para Imam Shalat dan Muazzin.

7. Orang-orang yang bertugas menjaga perbatasannegara


(iqamah al-sudud wa al-stugur).

8. Orang-orang yang bertugas membeli dan memelihara


peralatan perang, seperti membeli dan memelihara kuda
(kendaraan yang cukup bergengsi pada abad-abad yang lalu),
membeli dan memelihara peralatan perang, antaranya seperti
baju besi, panah, tombak, pedang, tameng, dan sebagainya.

9. Orang-orang yang bertugas memajukan pembangunan


negara, seperi membuat jalan (infrastruktur), membuat dan
memelihara kelancaran sungai dan irigasi.

10. Orang-orang yang sedang dalam kondisi terdesak


memerlukan bantuan dana.

11. Membiayai semua aktivitas dalam rangka kemaslahatan


agama dan sosial kemasyarakatan.548
Berdasarkan apa yang disampaikan Ibnu Taimiyah mengenai
sumber pendapatan dan pembelanjaan harta kekayaan negara, maka
kepala negara, menurut Ibnu Taimiya tidak diperbolehkan
mengeluarkan atau memberikan uang negara tanpa melalui prosedur
yang sah, seperti memberikan dana kepada seseorang yang bukan
haknya, memberi uang kepada seseorang yang selalu berbuat jahat,

548
. Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 449
510

atau memberi uang kepada seseorang sebagai gratifikasi untuk


manfaat peribadi, dan sebagainya. 549

7.Kelayakan Seseorang Menduduki Jabatan Politis


Dalam konteks ini Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa orang-
orang saleh;yaitu orang- orang yang taat dan komitmen pada aturan
agama dan berprilaku baik, berakhlak mulia adalah orang-orang
yang paling layak untuk menduduki jabata-jabatan politis, seperti
kepala negara, perdana menteri, menteri, kepala daerah ( gubernur ),
dan sebagainya. Ada beberapa hal yang bisa digunakan untuk
mengukur kesalehan seseorang sebagaimana disampaikan Ibnu
Taimiyah sebagai berikutbahwa;
1. Mereka adalah orang-orang yang komitmen merealisasikan
kewajiban.

2. Mereka adalah orang-orang yang selalu meninggalkan hal-


hal yang dilarang agama (al-muharramat ),

3. Mereka adalah orang-orang yang memberikan sesuatu yang


baik menurut agama kepada orang lain.

4. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengambil sesuatu,


melainkan haknya,

5. Mereka marah ketika hal-hal yang seharusnya dilindungi dan


dimuliakan tetapi kemudian dirusak,

6. Mereka memohon maaf jika melakukan kesalahan.


Beberapa hal yang menjadi identitas orang-orang saleh
sebagaimana disebutkan di atas, menurut Ibnu Taimiya adalah
akhlak Nabi Muhammad saw. dan ini menurutnya sebaik-baik sikap
dan perilaku. 550Pandangan Ibnu Taimiyah ini pada hakekatnya tidak
terlepas dari dasar teorinya tentang amanah, karena orang-orang
saleh tidak diragukan lagi amanah-nya.Oleh karena itu,Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
549
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 67
550
. Ibid. h. 26
511

paling layak untuk dilibatkan dalam berbagai aktivitas politik, yang


menurut Ibnu Taimiyah mereka disebut Arbabus Siyasahal-
kamilah(para politisi yang ideal). 551
Pandangan Ibnu Taimiyah di atas, bagi sebagian kalangan
pemikir muslim, terutama orang-orang yang berfahaman sekuler
barangkali dianggapaneh. Tetapi sebenarnya jika kita merujuk pada
fakta sejarah peradaban Islam di masa lalu, khususnya para
pemimpin umat Islam, antaranya Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, dan
sebagainya adalah para negarawan dan politisi yang menjabat kepala
negara (khalifah). Mereka para pemimpin umat yang secara de fakto
terlibat secara langsung dalam urusan politik kenegaraan.Mereka
adalah para aktor dan politisi yang bijaksana. Mereka adalah orang-
orang saleh, amanah, sidiq;benar dalam ucapan dan tindakan, dalam
arti bahwa antara ucapan dan tindakanya tidak bertentangan, tabilgh,
yaitu menyampaikan semua kebijakannya secara transparan,
fathonah, yaitu cerdas dalam setiap mengambil keputusan politik
untuk kepentingan umat dan negara.

8.Penegakan Supremasi Hukum


Dalam konteks ini hukum harus ditegakan secara adil,552
kepada siapapun, tanpa memandang siapa, pejabat tinggi, pejabat
rendah, bahkan rakyat bawah.Hukum harus dilaksanakan untuk
meminimalisir terjadinya tindak kejahatan atau pidana, baik
terhadap jiwa seseorang ataupun terhadap harta kekayaan sehingga
tercipta kondisi yang nyaman dan tenteram.Dalam konteks ini Ibnu
Taimiyah berbicara tentang pelaksanaan hukuman.Pelaksnaan
hukum dimaksudkan oleh Ibnu Taimiyah sebagai pelaksanaan
hukum pidana (al-qanun al-jinaiy). Hukum pidana menurut Ibnu
Taimiyah terbagi menjadi dua bagian, yaitu;
Pertama;Hukum pidana yang merupakan hak atau hudud Allah (al-
huquq wa al-hudud Allah),
Kedua; Hukum pidana yang merupakan hak-hak manusia (huquq al-
Nas) atau huquq al-adamiy.553
551
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam,
h. 450
552
. Lihat al-Qur`an, surat al-Nisa: 58
553
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 79
512

Berikut ini penjelasan masing-masing sebagai berikut;

a.Hukum Pidana Hak-hak Allah


Hukum pidana ketentuan-ketentuan Allah (al-huquq wa al-
hudud al-Ilahiyah) ditujukan bukan saja kepada satu komunitas
tertentu, tetapi keseluruhan umat Islam, karena dibalik pelaksanaan
hukuman pidana ini ada manfaat yang sangat besar yang diperlukan
untuk memelihara kelangsungan hidup dalam kondisi aman dan
tenteram. Hak-hak dan hudud Allah menurut Ibnu Taimyah
antaranya seperti; hukuman kepada para penyamun (begal), para
pencuri, para pelaku zina dan sebagainya. Oleh karena itu para
penguasa (al-wulat) harus menegakan dan melaksanakanhukuman
hak-hak dan hudud Allah, meskipun tidak ada pengaduan dari siapa
pun, karena hukuman Allah tersebut telah digariskan di dalam al-
Qur`an, dan juga hukuman itu harus dilaksanakan kepada siapa saja,
semuanya sama (sawaan bi sawaain), baik orang terhormat (al-
Syarif) atau orang rendahan, baik orang kuat atau punorang lemah,
mereka semua diperlakukan sama.554
Di dalam pelaksanaan hukum pidana ini tidak dibenarkan
melakukan pembatalan hanya karena intervensi seseorang yang
berpengaruh (syafaatu syafi`in), atau karena pemberian materi
sebagai gratifikasi (hadiyyatun minal hadaya), dan siapa saja yang
membatalkan pelaksanaan hukuman ini karena seseorang, maka dia
akan menerima laknat atau kutukan Allah, Malaikat dan umat Islam.
Mereka yang berbuat demikian disebut orang yang menjual belikan
ayat-ayat Allah dengan harga murah (tsamanan qalila).555 Selain
dari itu, Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa tidak dibenarkan
menerima materi sebagai gratifikasi, baik berupa uang atau
sebagainya dari para pelaku zina, pencuri (al-sariq), peminum
minuman keras (al-Syarib), penyamun (qath`i al-thariq), baik materi
itu kemudian diserahkan untuk kepentingan Baitul Mal (kas negara)
atau untuk kepentingan peribadi atau kelompok, karena penerimaan
materi tersebut sebagai gratifikasi akan berdampak buruk terhadap
penegakkan hukum, boleh jadi pelaksanaan hukum tidak jadi (batal),

554
. Ibid, h. 79 - 80
555
. Ibid. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 451
513

atau pengadilan tetap dilaksanakan tetapi sekedar permainan untuk


mengelabuhi masyarakat saja, dan ujung-ujungnya pihak yang salah
menjadi yang menang karena ada gratifikasi atau melakukan
sogokan ( roshwah ), dan pihak yang benar bisa jadi menjadi pihak
yang salah karena tidak memberi sogokan atau roshwah.556 Dampak
buruk yang lebih parah adalah hukuman tidak menimbulkan efek
jera, akibatnya tindak kejahatan akan terus berlanjut dan bahkan
akan terjadi regenerasi para pelaku tindak kejahatan, termasuk di
antaranya para koruptor muda atau pemula.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hudud atau
batasan-batasan Allah diberlakukan (disyariatkan), maka dalam
pemberlakuan ini seorang penguasa (al-waliy) harus ada niat baik
untuk kemaslahatan rakyat (shalah al-ra`iyyah), mencegah
tindakan-tindakan melanggar hukum atau undang-undang (al-nahyu
anil mungkarat) dengan tujuan lahirnya kondisi yang nyaman dan
menghilangkantindakan-tindakan yang membahayakan kehidupan
rakyat. Hal ini dilakukan berdasarkan perintah dan ketaatan kepada
Allah, agar Allah meluluhkan hati orang-orang yang selalu
melanggaran hukum atau undang-undang, terciptanya kebaikan
bersama. Tetapi, tegas Ibnu Taimiyah, jika tujuan menindak para
pelaku kejahatan untuk memperlihatkan kebesaran, atau hanya
untuk memperlihatkan ketegasan agar rakyatmengakui kebesaran
penguasa, maka tujuan tersebut menurut Ibnu Taimiyah
bertentangan (paradoks) dengan ajaran agama. 557

b.Hukum Pidana Hak-hak Manusia


Pelaksanaan hukum pidana yang terkait dengan hak-hak
manusia,atau sebagaimana ditegaskan Ibnu Taimiyah hak-hak jiwa
(huquq al-nufus) seperti melakukan pembunuhan, dan penganiyaan
kepada orang lain. Dalam hal ini Islamtelah menetapkan hukuman
qishas558 sebagai upaya menjaga (hifadhan) atas hak-hak jiwa

556
. Ibid. Lihat juga Muhammad Jalal Syaraf, et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Iaslam, h. 451
557
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 117
558
. Qishas adalah pelaksanaan hukuman terhadap seseorang sesuai
dengan tindak kejahatan yang dia lakukan, seperti dia membunuh seseorang
(menghilangkan nyawa seseorang ), maka hukuman yang dikenakan kepadanya
514

(huquq al-nufus), karena dalam keadaan sadar siapapun orangnya


tidak ada yang rela untukdibunuh atau dihilangkan nyawanya, atau
bahkan salah satu anggota tubuhnya tidak maudilukai. Karenanya
hal ini merupakan hak hidup (hak asasi) bagi setiap manusia yang
harus dijagaatau dipelihara, maka siapa pun yang melakukan
pembunuhan terhadap seseorang, hukumannya setimpal dengan
pernuatan jahatnya, yaituqishas. Begitu juga seseorang yang melukai
salah satu anggota tubuh orang lain, hukumannya sama dengan yang
dilakukannya, yaitu qishas.
Namun demikian, meskipun hukum qishas diberlakukan
sebagaimana ditetapkan di dalam al-Qur`an, surat al-Maidah, tetapi
Islam memberikan dispensasi untuk tidak dilakukan qishas jika
pihak keluarga korban bersedia memaafkan kepada si pelaku, 559
sebagaimana hal ini disebutkan di dalam hadits Nabi yang
diriwayatkan Anasbin Malik, yang artinya;
Suatu tindak kejahatan (pidana) yang dilaporkan kepada
Nabi, Nabi memerintahkan hukuman qishas (kepada si
pelaku), kecuali jika ada pemaafan dari pihak keluarga
korban.
Dalam aspek yang lain, Ibnu Taimiyah berbicara tentang
hak-hak manusia dalam masalah muamalat (huquq al-nas fiy al-
mu`amalat). Hak-hak ini menurut Ibnu Taimiyah, seperti wajibnya
menetapkan harga barang jualan (taslim al-tsaman `ala al-
musytara), pengadaan barang jualan, haramnya mengurangialat
pengukur meter dan timbangan (tahrim tathfif al-mikyal wa al-
mizan), wajibnya berperilaku jujur dan transparan (wujub al-sidqi
wa al-bayan ), haramnya berdusta atau berbohong, berkhianat, dan
manipulasi ( tahrim al-kizbi wa al-khiyanat wa al-gisysyi ), bayar
hutang tepat waktu dan mengucapkan al-hamdulillah (wa anna
jaza`a al-qaradh al-wafa`u wa al-hamdulillah), haramnya makan
harta secara batil, seperti hasil curian, merampok, korupsi dan
sejenisnya, yaitu riba dan judi. 560

9. Musyawarah Dalam Mengelola Negara

harus dibunuh lagi. Dan jika diamelukai salah satu anggota tubuh seseorang,
maka hukumannya dia dilukai lagi sesuai dengan kejahatan yang dialakukan
559
. Lihat al-Qur`an, surat al-Maidah,ayat 45
560
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyyah, h. 179 - 180
515

Dalam kaitan ini Ibnu Taimiyah mengetengahkan pemikiran


politiknya tentang betapa pentingnya musyawarah561dalam
mengelola pemerintahan, oleh karenanya Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa seorang penguasa (waliyul amri) tidak boleh
meninggalkan musyawarah (la ghaniyya li waliyyil amri anil
musyawarah), terutama musyawarah dalam hal-hal yang strategis
menyangkut kepentingan orang banyak. Hal ini sejalan dengan
perintah Allah kepada Nabi-Nya agar selalu melakukan
musyawarah, sebagaimana ditegaskan di dalam firman Allah di
dalam surat Ali Imron, yang artinya sebagai berikut;
Maka, karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras, lagi
berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu.Maka maafkanlah mereka, memohon ampunan
bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian jika kamu sudah membulatkan tekad,
maka bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal.562
Sejalan dengan ini, fakta membuktikan bahwa tidak ada
orang yang paling banyak melakukan musyawarah, selain
Rasulullah bersama-sama dengan para Sahabat-sahabatnya,
sebagaimana hal ini diriwayatkan Abu Hurairah. Oleh karena itu
dalam kaitan ini, Ibnu Timiyah menyebut beberapa ayat al-Qur`an di
dalam satu surat secara berurutan, di mana Allah memberi pujian
kepada orang-orang beriman (karena melakukan musyawarah)
sebagai berikut;
. . . . . . . . . . . . Dan yang ada di sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada-Nyalah mereka bertawakal,dan orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan
keji.Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf.Dan
bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan melaksanakan shalat, sedangkan urusan
mereka (diputuskan) melaluiu musyawarah di antara
561
. Musyawarah atau konsultasi adalah suatu pertemuan (meeting)
dalam suatu siding yang dihadiri banyak orang untuk menetapkan kesepakatan
bersama tentang suatu masalah atau beberapa masalah.
562
. al-Qur`an, surat Ali Imron: 159
516

mereka.Dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang kami


berikan kepada mereka. 563
Banyak argumentasi untuk menjustifikasi keharusan
musyawarah, antaranya; bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya
untuk selalu bermusyawarah dengan tujuan supaya dapat
meluluhkan hati para Sahabatnya.Supaya orang-orang yang lahir
sesudahnya (generasi berikutnya) dapat mengikutinya. Supaya
mereka dapat menyampaikan gagasan atau pendapatnya terkait
berbagai permasalahan yang tidak diatur oleh Wahyu (al-Qur`an
atau Sunnah Nabi yang sahih), antaranya seperti; terkait dengan
strategi perang, dan berbagai persoalan yang memerlukan penjelasan
rinci dan detail, seperti masalahjizyah.564 Oleh karena itu, jika
seorang pemimpin, termasuk Rasulullah sendiri atau lainnya (kepala
negara) bermusyawarah dengan para pemimpin umat atau dengan
para pejabat tinggi negara (al-Wulat wa al-Khulafa) dalam hal-hal
yang memerlukan keputusan bersama atau konsensus, maka seorang
pemimin tersebut, termasuk Rasulullah sendiri atau yang
lainnyaharus komitmen dengan apa yang sudah menjadi keputusan
bersma (itba`u ra`yi ma yastasyiruhu), selama keputusan tersebut
sejalan dengan al-Qur`an atau Sunnah Rasul atau sejalan dengan
konsensus umat Islam, 565 meskipun sebelumnya persoalan
berkenaan menjadi kontroversi. Oleh karena itu, mereka harus
menyampaikan pendapatnya untuk dimusyawarahkan, kemudian
pendapat mana yang sejalan dengan al-Qur`an dan Sunnah Nabi,
maka itulah yang harus dilaksanakan.566
Menurut Ibnu Taimiyah, ulil amri, yaitu orang-orang yang
memiliki kekuasaan atau otoritas, ada dua golongan, Pertama; al-
Umara(Pemerintah) dan Kedua;al-Ulama, yaitu;orang-orang yang
memiliki keilmuan luas dalam bidang hukum Syara`. Jika kedua
golongan ini dalam kondisi harmonis, memupuk kebersamaan,
saling pengertian, bantu membantu dalam rangka membangun
politik yang kondusif, aman, tentram dan sebaginya, maka semua
warga masyarakat akan menjadi baik. Oleh karena itu menurut Ibnu

563
. al-Qur`an: Surat al-Syura, ayat 36. 37. Dan 38
564
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h.
455
565
. Ibid.
566
. Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, hl. 182
517

Taimiyah apa yang dibicarakan dan apa yang menjadi kebijakan


dalam tataran praktis dari kedua golongan ini ( Ulama dan Umara )
agar didasarkan pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta
selalu mengikuti Kitab Allah (al-Qur`an), karena itulah menurut
Ibnu Taimiyah yang akan berimplikasi lahirnya kebaikan di dunia
dan sekaligus di akhirat nanti, baik bagi individu, masyarakat, dan
juga umat keseluruhan.567
Berdasarkan penjelasan di atas terkait dengan kedudukan
musyawarah di dalam mengelola pemerintahan, dapat ditegaskan
bahwa sistem syura (nizam al-Syura) sebagai unsur terpenting di
dalam pelaksanaan demokrasi Islam (al-demokrathiyah fiy al-Islam),
maka tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapat atau
gagasan (fala istibdada bi ra`yin) dalam rangka menciptakan
kehidupan yang lebih baik kondisinya. Oleh karenanya meskipun
ada pemerintahan yang dipimpin oleh seorang kepala negara tunggal
yang berbuat semauanya ( diktator atau otoriter ) sesuai dengan apa
yang dikehendaki dan yang diinginkan, dalam arti meskipun
pemerintahan dipimpin oleh seorang pemimpin tunggal, tetap saja
dalam mengelola pemerintahannya harus berdasarkan syura atau
musyawarah, kemudian komitmen untuk tunduk pada hasil
keputusan bersama para ahlinya, yaitu para Ulama, para ahli fiqh
(al-fuqaha ), para intelektual (al-mutsaqqafin ), dan orang-orang
yang memiliki kepakaran dalam berbagai aspek kehidupan (fiy ayyi
majalin min majalatil hayat).
Demikianlah pembahasan tentang berbagai aspek pemikiran
politik Ibnu Taimiyah, di mana pemikiran politiknyasecara
keseluruhan didasarkan pada ajaran agama. Dengan demikian
politik dalam perspektif Ibu Taimiyah tidak dapat dipisahkan dari
ajaran agama, karena memang berdasarkan fakta Islam sebagai
agama tidak saja mengatur hal-hal yang berkaitan aspek akidah
atau ibadah, tetapi juga Islam mengatur berbagai aspek kehidupan;
politik, ekonomi, hukum, kemasyarakatan,perang, damai,
perpajakan, zakat dan sebagainya.Teori amanah, sebagaimana
ditetapkan di dalam firman Allah, mewarnai pemikiran politik Ibnu
Taimiyah, oleh karenanya Ibnu Taimiyah menyarankan kepada para

567
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
hl. 456
518

penguasa (kepala negara) dan para pejabatnya dari pusat sampai


daerah agar komitmen menjadikan amanah sebagai dasar dalam
aktivitas perpolitikan mengambil keputusan dan
menetapkankebijakan.

BAB XI
PEMIKIRAN POLITIK
IBNU KHALDUN

1.Petualangandan Karier Politik Ibnu Khaldun


519

Ibnu Khaldun nama aslinya adalah Abdurrahman bin


Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin
Ibrahim bin Abdurrahman bin Khaldun. Ibnu Khaldun lahir di
Tunisia, .Afrika Utara pada 1 Ramadhan 732 H./ 7 Mei 1332 M.
Ibnu Khaldun berasal dari suku Arab Yaman Selatan. Nenek
moyangnya berasal dari keturunan Khaldun (Bani Khaldun).Sejak
abad ke 8 M. nenek moyangnya melakukan migrasi ke Andalusia,
yaitu Spanyol Selatan. Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua
pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut yang sekarang ini
berdiri negera-negara Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, serta
Andalusia yang terletak diujung selatan Spanyol. Pada zaman itu,
kawasan-kawasan tersebut tidak pernah mengalami stabilitas politik,
karena beberapa kawasan tersebut menjadi ajang perebutan
kekuasaan antar Dinasti, sehingga kawasan-kawasan tersebut
sebagian darinya seringkali berpindah tangan dari satu Dinasti ke
Dinasti lain. Kondisi politik seperti ini berimplikasi pada kehidupan
dan karier politik Ibnu Khaldun sebagai pejabat tinggi negara, baik
saat menjabat Perdana Menteri, Protokoler, atau Hakim Agung pada
beberapa Pemerintah atau Dinasti. Tidak jarang Ibnu Khaldun
berganti loyalitas dari satu Dinasti ke Dinasti lain atas dasar
kalkulasi untung rugi politik. Dampak dari situasi yang tidak
menentu itu berimplikasi pada pendirian Ibnu Khaldun harus
menempuh jalan pragmatisdemi keselamatan jiwa dan kareir
politiknya, sehingga Ibnu Khaldun terbawa arus ke situasi politik
yang sarat dengan kudeta dan perebutan kekuasaan, dan Ibnu
Khaldun sendiri melibatkan diri sebagai aktordalam percaturan
politik di kawasan-kawasan tersebut.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Ibnu Khaldun meniti
kariernya dalam pemerintahan di kawasan Afrika Barat laut dan
Andalusia selama hampir seperempat abad. 568 Jabatan pemerintahan
pertama yang diraih Ibnu Khaldun yangcukup berarti baginya adalah
keanggotaan Majelis Ilmuan (`udhwan fiy majlisi al-`ilmiy); yaitu
Lembaga Ilmu Pengetahuan Sulthan Abu Inan dari Bani Marin di
ibu kota negara Maroko; Fez pada sekitar tahun 756 H. Kemudian
diadiangkat menjadi salah satu Sekretaris Sulthan (kalau zaman
sekarang setingkat jabatan sekretaris negara) yang bertugas

568
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 91
520

mencatat semua keputusan Sulthan. 569Tetapi jabatan ini rupanya


dianggap oleh Ibnu Khaldun masih terlalu rendah bagi anggota
keluarga Khaldun, karena mungkin Ibnu Khaldun dari etnik
terhormat.570 Belum cukup dua tahun Ibnu Khaldun memangku
jabatan Sekretaris Sulthan, dia dipecat dari jabatannya, bahkan dia
dimasukan ke dalam penjara karena terbongkar rahasia bahwa dia
terlibat dalam satu konspirasi politik tingkat tinggi (al-khaudh fiy
ghimari dasairi al-siyasiyah) dengan Pangeran Abu Abdullah
Muhammad dari Bani Hafsh. 571 Sebelum ini Pangerang Abu
Abdullah seorang raja yang bertahta di Tunisia (Bijayah), dan
setelah wilayah Tunisia diserang dan dikuasai oleh Bani Marin, Abu
Abdullah diturunkan dari tahtanya dan diasingkan ke Fez (ibu kota
Maroko)., pada akhirnya Ibnu Khaldun dituduh melarikan Pangeran
Abu Abdullah dari penjara untuk kemudian dikembalikan kepada
posisinya semula sebagai raja di Tunisia. Tetapi konspirasi ini (al-
muamarah) terbongkar dan Ibnu Khaldun ditangkap dan dimasukan
ke dalam penjara (fiy ghayabat al-sijni) selama kurang lebih dua
tahun, tetapi kemudian Sulthan Abu Inan mengeluarkan keputusan
untuk membebaskan Pangeran Abu Abdullah dari hukuman penjara,
tetapi Ibnu Khaldun tetap mendekap di dalam penjara. Upaya
pengampunan (grasi) bagi Ibnu Khaldun diajukan kepada Sulthan.
Dankemudian Sulthan Abu Inan menjanjikan pengampunanIbnu
Khaldun, tetapi Sulthan Abu Inan tengah saki, kondisi kesehatannya
semakin memburuk dan bahkan Sulthan Abu Inan wafat pada tahun
759 H. atau pada akhir tahun 1358 M.
Perdana Menteri Hasan bin Umar mengambil alih roda
pemerintahan sebagai pejabat sementara saat itu (al-qaim bi umur
al-daulah) dan mengeluarkan keputusan untuk membebaskan Ibnu
Khaldun bersama-sama dengan tahanan politik yang lain, dan
bahkan Ibnu Khaldun dikembalikan ke jabatannya semula sebagai
sekretaris negara.572 Ibnu Khaldun mengabdikan diri kepada
Pemerintah Bani Marin di Fez selama delapan tahun, dia bekerja
kepada tiga Sulthan, yaitu; Sulthan Abu Inan, Sulthan Mansur bin

569
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 474
570
. Ibid.
571
. Ibid.
572
. Ibid, h. 484 -485
521

Sulaiman, dan Sulthan Abu Salim, selain mengabdi kepada tiga


Sulthan tersebut, Ibnu Khaldun juga mengabdi kepada dua Perdana
Menteri, yaitu; Perdana Menteri Hasan bin Umar dan Perdana
Menteri Umar bin Abdullah.Pada masa Pemerintahan Sulthan Abu
Salim, Ibnu Khaldun menajabat Sekretaris Negara dan Hakim
Agung (Qadhi al-Qudhat) yang menangani peradilan mazalim
(tindak pidana), yaitu jabatan khusus yang menangani pengaduan
terhadap negara atau pejabat negara dan tindak pidana yang tidak
tercakup di dalam hukum Islam. 573
Pada saat Sulthan Abu Salim dikudeta melalui
pemberontakan oleh para elite politik yang dipimpin Perdana
Menteri Umar bin Abdullah adik ipar Sulthan Abu Salim sendiri,
Ibnu Khaldun sangat kecewa atas situasi politik yang sedang terjadi,
karena Ibnu Khaldun tidak mendapatkanposisi jabatan Perdana
Menteri atau jabatan yang setingkat, seperti jabatan
Hijabah(protokoler Sulthan). Perdana Menteri Umar bin Abdullah
kemudian melantik Tasyfin, yaitu saudara Sulthan Abu Salim
sebagai raja (Sulthan).574Untuk menghilangkan kekecewaannya,
Ibnu Khaldun bermaksud untuk kembali ke negara asalnya, yaitu
Tunisia dengan tujuan untuk mengabdikan diri kepada Pemerintah
Bani Hafsh atau kepada Pemerintah Bani Abdul Wad di wilayah
Afrika Barat laut. Tetapi keinginan Ibnu Khaldun tersebut kandas,
karena dihalangi oleh Pemerintah Fez, dengan alasan karena Ibnu
Khaldun dipandang sebagai seorang tokoh dan pemikir yang
menguasai geopolitik yang luas di kawasan Afrika Barat laut,jika dia
dibiarkan pergi ke Tunisia dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh
Penguasa Dinasti Hafsh atau Penguasa Dinasti Abdul Wad. Hal ini
tentu saja dianggap bakal merugikan kepentingan Pemerintah Fez.
Kemudian Ibnu Khaldun diizinkan meninggalkan Fez, tetapi tidak
untuk ke Tunisia atau ke Tlasman, yaitu pusat pemerintahan Bani
Abdul Wad, melainkan ke Andalusia, akhirnya Ibnu Khaldun
berangklat ke Granada, Andalusia, pada tahun 764 H.575
Ketika Ibnu Khaldun memasuki Andalusia, danyang
memerintah saat itu adalah Sulthan Mohammadbin Yusuf bin Ismail
573
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 92
574
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h.476 - 478
575
. Ibid. hl. 477 - 479
522

bin al-Ahmaral-Nashariy. Dia naik tahta sebagai raja setelah


ayahnya; Sulthan Yusuf terbunuh pada tahun 755 H./1354 M. dan
Pangeran Mohammad saat naik tahta usianya masih relatif muda,
maka pejabat sementara untuk mengelola urusan kenegaraan adalah
Abu Naim Ridwan seorang pejabat Protokoler Sulthan Yusuf.
Sulthan Mohammad dalam menjalankan pemerintahannya dibantu
oleh Perdana Menteri Muhammad Ibnu Khatib.Antara Sulthan
Mohammad, Perdana Menteri Muhammad Ibnu Khatib dan Ibnu
Khaldun telah terjalin hubungan persahabatan (rawabith al-
mahabbah wa al-sadiqah)ketika dalam pengasinganya di Fez
sebagai tamu undangan Sulthan Abu Salim. Oleh karenanya
kedatangan Ibnu Khaldun di Granada, pusat Pemerintahan
Andalusia disambut baik oleh Sulthan Mohammad dan Perdana
Menteri Ibnu Khatib sebagai balas budi jasa dan kebaikan Ibnu
Khaldun selama mereka berdua di Fez dahulu. 576Selama tinggal di
Andalusia, Ibnu Khaldun pernah mendapatkan kepercayaan sebagai
Duta Besar yang diutus oleh Sulthan untuk tugas menyelesaikan
konflik yang terjadi dengan negara tetangganya.
Situasi di Andalusia tidak selamanya kondusif dan nyaman
bagi Ibnu Khaldun, karena tidak lama kemudian timbul salah paham
yang menyebabkan hubungan antara Ibnu Khaldun dan Perdana
Menteri Ibnu Khatib memburuk.Situasi ini terjadi sebagai akibat dari
kecemburuan dan kekhawatiran Perdana Menteri Ibnu Khatib
kepadaIbnu Khaldun yang kelihatanya semakin dekat dengan
Sulthan. Tetapi kemudian situasi yang tidak menyenangkan ini
berubah, saat Ibnu Khaldun menerima undangan dari Pangeran
Abu Abdullah yang pernah dipenjara bersama Ibnu Khaldun di Fez.
Abu Abdullah kini telah berhasil menguasai kembali kedudukanya
di Keamiran Buqi, wilayah Tunisia. Ibnu Khaldun mendapat
tawaran jabatan Perdana Menteri, maka kemudian Ibnu Khaldun
dengan senang hati menerima tawaran jabatan tersebut dari sahabat
lamanya, dan Ibnu Khaldun tidak dapat menyembunyikan perasaan
gembira ini. 577

576
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 480 - 481
577
. Ibid, h. 481 - 482
523

Namun kegembiraan Ibnu Khaldun ini rupanya tidak lama,


karena Sulthan Abu Abbas, yaitu saudara sepupu atau anak paman
Pangeran Abu Abdullah; Penguasa Konstantin, berambisi menguasai
seluruh wilayah Tunisia, termasuk Keamiran Abu Abdullah. Ambisi
ini dilakukan dalam rangka mengembalikan kejayaan Dinasti
Hafsh.Sekitar satu tahun Ibnu Khaldun berada di Buqi, Pangeran
Abu Abdullah meninggal dunia karena terbunuh saat pasukan Abu
Abbas menyerang Buqi, dan Keamiran itu jatuh ke tangan Abu
Abbas.Sepeninggal Abu Abdullah banyak tokoh dan para elite Buqi
menyarankan Ibnu Khaldun agar menobatkan salah seorang putra al-
Marhum yang masih dibawah umur sebagai Amir.Ibnu Khaldun
yang posisinya sebagai pejabat pelaksana pemerintahan sementara
justru menolak saran tersebut, dan sebaliknya Ibnu Khaldun
mengambil keputusan untuk bersiap-siap menerima kedatangan Abu
Abbas dan menyerahkan kotaBuqi kepadanya. Sebagai transaksi
politik yang terjadi, Abu Abbas mengangkat Ibnu Khaldun sebagai
pejabat Protokoler (al-Hijabah); jabatan yang lebih tinggi sedikit
dari jabatan Perdana Menteri dalam tradisi pemerintahan saat itu di
kawasan Afrika Barat laut.578
Tetapi kemudian Abu Abbas meragukan loyalitas Ibnu
Khaldun yang mudah berubah orientasi politiknya, Ibnu Khaldun
menyadari kondisi ini, makanya Ibnu Khaldun kemudian memohon
izin kepada Abu Abbas untuk pindah ke luar Buqi, tetapi Abu Abbas
justeru memerintahkan untuk menangkap Ibnu Khaldun. Ibnu
Khaldung bernasib mujur selamat berhasil melarikan diri ke
Keamiran Biskra, dan Abu Abbas hanya berhasil menangkap adik
Ibnu Khaldun; Yahya, kemudian mengasingkannya ke salah satu
kota pantai al-Jazair.579
Pada saat Dinasti Abdul Wad yang berpusat di Tlasman
dipimpin oleh Sulthan Abu Hammu.Abu Hammu menyampaikan
tawaran kepada Ibnu Khaldun jabatan Protokoler (al-Hijabah), tetapi
tawaran tersebut ditolak oleh Ibnu Khaldun. 580Meskipun demikian,
Ibnu Khaldun tetap memenuhi permintaan Abu Hammu agar ikut
aktif mempengaruhi (mengajak) suku-suku (al-Qabail) wilayah itu

578
. Ibid. h. 485
579
. Ibid. h. 485
580
. Ibid. h. 485
524

untuk mendukung rencananya merebut Buqi. Pada saat yang sama


Ibnu Khaldun juga tengah berupaya membentuk aliansi antara Abu
Hammu dan Pangeran Ishak(Sulthan Tunisia dan saudara Abu
Abbas) yang sangat buruk hubunganya dengan Abu Abbas. Tetapi
serangan Abu Hammu yang kedua kali ini atas Buqi mengalami
kegagalan. Meskipun dengan kegagalan ini, Ibnu Khaldun tetap
meneruskan aktivitasnya menghimpun dukungan suku-suku (al-
Qabail) kepada Abu Hammu, dan memperkuat hubungan (ihkam
al-shihabah) antara Abu Hammu dan Pangeran Ishak, yaitu Sulthan
Tunisia.581
Sementara itu Sulthan Abdul Aziz dari Bani Marin yang
berpusat di Fez berambisi menguasai kembali wilayah Bani Abdul
Wad, oleh karenanya satu pasukan besar Sulthan Abdul Aziz
disiagakan untuk menyerang Tlasman. Serangan ini menyebabkan
Abu Hammu melarikan diri dan Sulthan Abdul Aziz berhasil
membujuk Ibnu Khaldun agar bersedia membantunya mengajak
suku-suku di wilayah itu beralih loyalitas dari Abu Hammu kepada
Abdul Aziz. Tetapi missi Ibnu Khaldun kali ini tidakberhasil,
akhirnya Ibnu Khaldun kembali ke Biskra, dan hubunganya dengan
Sulthan Abdul Aziz dilakukan melalui koresponden surat
menyurat.582
Ibnu Khaldun tidak betah tinggal lama di Biskra, terutama
karena hubunganya dengan penguasa di sana dan suku-suku di
wilayah itu tidak serasi, akhirnya Ibnu Khaldun memutuskan untuk
meninggalkan Biskra untuk bergabung dengan Sulthan Abdul Aziz
di Tlasman. Di tengah perjalanan, Ibnu Khaldun menerima khabar
bahwa Sulthan Abdul Aziz meninggal dunia, dan kedudukanya
digantikan oleh putranya, yaitu Pangeran Said di bawah asuhan
Perdana Menteri Ibnu Ghazi, dan bahkan pusat pemerintahanpun
telah pindah kembali ke Fez. Selain berita di atas diterima juga
berita lain, yaitu; bahwa Abu Hammu telah kembali ke Tlasman,
akhirnya Ibnu Khaldun memutuskan untuk meneruskan perjalananya
ke Fez. Tetapi kemudian, berita perjalanan Ibnu Khaldun sampai

581
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 485. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 93 - 94
582
. Ibid. hlm. 487 – 488. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara. h. 94 - 95
525

juga kepada Abu Hammu, kemudian Abu Hammu meminta


penduduk di wilayah yang akan dilewati Ibnu Khaldun agar
menangkapnya. Akhirnya Ibnu Khaldun tertangkap di tengah
padang pasir, tetapi beruntung Ibnu Khaldun dapat lolos dari
kepungan para penduduk wilayah yang dilewati Ibnu Khaldun,
akhirnya Ibnu Khaldun sampai juga di kota Fez. Hanya saja di kota
itu suasananya tidak seperti yang diharapkan, situasi politik di kota
Fez tidak menentu, dan para penguasa tampaknya sudah kehilangan
kepercayaan kepada Ibnu Khaldun. Mereka melihat Ibnu Khaldun
dengan penuh kecurigaan.Sementara Ibnu Khaldun tidak mungkin
kembali lagi ke Tlasman yang dikuasai oleh Abu Hannu atau ke
Tunisia yang sedang diperintah oleh Sulthan Abu Abbas. Tujuan
satu-satunya bagi Ibnu Khaldun kalau mau keluar dari Fez adalah
Granada, Andalusia, dan memang ke sanalah Ibnu Khaldun pergi,
dan ini terjadi pada tahun 776 H. 583
Tetapi kemudian Ibnu Khaldun tidak lama tinggal di
Andalusia, karena dia khawatir akan terjadi hal-hal yangberbahaya
kepada keselamatan dirinya dari Pemerintah Fez, dan ternyata
Pemerintah Fez melarang keluarga Ibnu Khaldun yang masih tinggal
di Fez bergabung denganya, dan bahkan Pemerintah Fez meminta
kepada Sulthan Granada; Ibnu Ahmar agar menyerahkan Ibnu
Khaldun kepada Pemerintah Fez, tetapi permintaan itu ditolak oleh
Sulthan Granada. Pada akhirnya Sulthan Abu Ahmar setuju
mengusir Ibnu Khaldun dari negerinya dan agar Ibnu Khaldun
kembali saja ke wilayah Afrika Barat laut. Ibnu Khaldun kemudian
meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika, turun dan
terdampar di Pelabuhan Hanin, tidak tahu akanke mana pergi
(hairan, jaza`an, la ya`lamu ayna yaqshadu). Adik Ibnu Khaldun;
Yahya telah kembali mengabdi kepada Abu Hammu, tetapi terhadap
Ibnu Khaldun, Abu Hammu belum bisa melupakan
pengkhiayanatan yang dilakukan Ibnu Khaldun kepadanya dulu.
Namun berkat bantuan dan jaminan seorangsahabat lama Ibnu
Khaldun; Mohammad bin Arif, salah seorang tokoh masyarakat dari
Bani Arif agar Ibnu Khaldun diampuni saja, akhirnya Ibnu Khaldun

583
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasi fiy al-Islam, h. 488 – 489, Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negar, h. 95
526

memperoleh pengampunan dari Abu Hammu dan Ibnu Khaldun


diizinkan datang kembali ke Tlasman, kedatangan Ibnu Khaldun ke
Tlasman pada hari Raya Idul Fitri tahun 771 H./ 1374 M. 584
Pada waktu itu, seperti ditegaskan Munawir Sjadzali bahwa
Ibnu Khaldun sudah berniat untuk meninggalkan arena percaturan
politik, dan kembali ke dunia ilmu pengetahuan, mengajar dan
menulis. Tetapi kemudian Ibnu Khaldun diminta oleh Abu Hammu
untuk membantunya membina dukungan dan loyalitas suku-suku
(al-qabail) untuk Abu Hammu, Ibnu Khaldun berpura-pura
menerima baik permintaan itu dan segera meninggalkan Tlasman,
tetapi tidak untuk melaksanakan missinya sebagaimana yang
diminta, namun Ibnu Khaldun pergi ke wilayah Suku Bani Arif dan
kemudian menetap di sana. Tidak lama kemudian keluarga Ibnu
Khaldun menyusul untuk bergabung dengan Ibnu Khaldun.
Sementara itu, tegas Munawir Sjadzali, para pemimpin suku Bani
Arif (Ruasa`u Bani Arif) berhasil membujuk Abu Hammu agar
memperkenankan Ibnu Khaldun menetap bersama mereka, yaitu
suku Bani Arif , dan Abu Hammu memperkenankannya. Akhirnya
Ibnu Khaldun tinggal bersama suku Bani Arif di suatu tempat yang
jauh dari keramaian dan hiruk pikuk percaturan politik yang penuh
dengan intrik-intrik, gejolak dan konflik selama hampir empat tahun
lamanya. Dari sanalah Ibnu Khaldun untuk pertama kalinya
melakukan penelitian dan kajian ilmiah, dan di tempat yang tenang
itulah Ibnu Khaldun menyelesaikan karya tulisnya yang sangat
monumental, yaitu Muqaddimah Ibnu Khaldun, yang merupakan
jilid pertama dari al-`Ibar dalam waktu lima bulan, diselesaikan
pada pertengahan tahun 779 H. Penulisan karya tersebut terus
berlanjut, tetapi ketika Ibnu Khaldun menemui kesulitan referensi
(al-maraji`), dia kembali ke Tunisia karena di sana terdapat
perpustakaan yang lengkap. 585
Sejak kembali ke Tunisia pada tahun 783 H. Ibnu Khaldun
pernah diminta oleh Sulthan Abu Abbas untuk menyertainya dalam
suatu ekspedisi militer, Ibnu Khaldun yang sudah mulai jenuh
dengan hiruk pikuk permainan politik itu sebenarnya tidak ingin
584
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h, 489
585
. Ibid, h. 489 – 490. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 96
527

ikut, tetapi tidak berani menolaknya dan terpaksa mengikutinya


sekedar untuk menghibur hati Sulthan Abu Abbas. Maka
sepulangnya dari ekspedisi militer tersebut, dan sebelum
mendapatkan ajakan lagi, Ibnu Khaldun meminta izin kepada
Sulthan untuk menunaikan ibadah haji.Pada tahun 784 H/ 1383 M.
Ibnu Khaldun meninggalkan Tunisia dan berlayar menuju
Iskandariah (Alexandria), Mesir.Dengan keberangkatannya dari
Tunisia kali ini Ibnu Khaldun mengakhiri karier politiknya di Afrika
Barat Laut yang penuh dengan berbagai gejolak, konflik dan
dinamika perpolitikan. Sejak itu Ibnu Khaldun tidak pernah
kembali lagi ke kawasan Afrika Barat Laut.586
Setelah kurang lebih empat puluh hari berlayar, Ibnu
Khaldun sampai di Iskandariah pada hari Raya Idul Fitri tahun 784
H. / November 1381 M. Tetapi Ibnu Khaldun tidak langsung pergi
ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sebagimana yang ia
rencanakan semula, justeru Ibnu Khaldun menetap di kota pantai itu
sekitar satu bulan, setelah itu Ibnu Khaldun pergi ke Kairo; Ibu kota
Kerajaan Mamalik. Kairo pada waktu itu menjadi pusat (markaz)
kajian pemikiran Islam.Hal ini karena Penguasa Dinasti Mamalik
memberi perhatian sangat besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan (science) melalui berbagai kajian dan penelitian, baik
di sekolah-sekolah atau di Universitas al-Azhar.587 Seorang Ilmuan,
seperti Ibnu Khaldun tidak memerlukan waktu lama untuk menjadi
seorang terkenal di pusat kota ilmu dan peradaban seperti Kairo,
selain dari itu Ibnu Khaldun sebagai praktisi yang selama
seperempat abad terlibat secara langsung dalam percaturah dan hiruk
pikuk politik yang menjadikanya seorang politisi yang
berpengalaman dan memiliki kapabelitas dan kepribadian yang
tangguh di Afrika Barat Laut, tidak sukar untuk menarik perhatian
para penguasa di Mesir. Oleh karenanya belum cukup dua tahun
berada di Kairo, Ibnu Khaldun dingkat sebagai dosen Fiqh Mazhab
Malikiy pada Lembaga Pendidikan Qamhiyah pada tahun 786 H.
dan berturut-turut diangkat oleh Sulthan Zahir Barquq; salah seorang

586
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 490 – 491. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 96
587
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 493.
528

Sulthan Dinasti Mamalik sebagai Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat)


dalam mazhab Malikiy. 588Semenjak kedatanganya di Iskadariah
selama hampir dua puluh empat tahun sampai wafatnya, Ibnu
Khaldun tetap tinggal di Mesir. Hanya beberapa kali Ibnu Khaldun
meninggalkan Mesir untuk mengadakan kunjungan singkat ke luar
negeri, antaranya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, ke
Syiria dan ke Mesjid al-Aqsha, dan kemudian kembali lagi ke
Kairo.589
Demikian latar belakang dan petualangan karier politik Ibnu
Khaldun yang penuh dengan intrik-intrik politik yang
membahayakan dirinya, dia bukan saja seorang teoritikus politik,
tetapi juga seorang praktisi yang berpengalaman. Pengalamannya
dibuktikan dengan pengabdianya kepada tiga orang Sultan dan dua
orang Perdana Menteri, dan beberapa kali menjabat jabatan
Protokoler Sulthan, yaitu Jabatan yang lebih tinggi sedikit dari
jabatan Perdana Menteri menurut tradisi politik saat itu, dan pernah
menduduki jabatan Hakim Agung. Oleh karenanya teori-teori
politiknya memiliki kekuatan dan kelebihan dibanding dengan
pemikir-pemikir politik Islam lainya, karena teori-teori politiknya
berdasarkan realitas dan pengalamannya selama Ibnu Khaldun
terlibat secara langsung di dalam kancah perpolitikan. Pengalaman
politiknya dutulis di dalam karya monumentalnya, yaitu;
Muqaddimah, yang merupakan jilid pertama dari beberapa jilid
karyanya; al-`Ibar.
Mengenai karya Ibnu Khaldun yang diwariskan kepada
generasi sepanjang zaman dan dunia ilmu pengetahuan adalah
karyanya yang monumental tentang sejarah berjudul; al-`Ibar terdiri
dari tujuh jilid. Jilid pertamanya lebih terkenal dengan
namaMuqaddimah Ibnu Khaldun, selain karyanya yang lain
berjudul; al-Ta`rif. Muqaddimah Ibnu Khaldun telah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa di dunia, baik di Timur ataupun di
Barat.Muqaddimahmerupakan kontribusi terbesar Ibnu Khaldun
bagi perkembangan ilmu sejarah, peradaban, sosiologi, dan ilmu
politik, oleh karenanya ada sebagian sarjana berpendapat bahwa

588
. Ibid, h. 494 - 495
589
. Lihat Munawirr Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 97
529

Ibnu Khaldun adalah seorang perintis (al-munsyi`) cabang-cabang


ilmu filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (ilmu-ilmu sosial). 590
Beberapa naskah Muqaddimah Ibnu Khaldun telah
dihadiahkan kepada beberapa kepala negara, antaranya satu naskah
Muqaddimah, Ibnu Khaldun menghadiahkannya kepada Sulthan
Tunisia; Abu al-Abbas pada tahun 784 H. satu naskah lagi Ibnu
Khaldun menghadiahkannya kepada Sulthan Mesir; Sulthan Zahir
Barquq yang tengah bertahta saat itu, dan satu lagi naskah Ibnu
Khaldun menghadiahkannya kepada Sulthan Maroko; Sulthan Abi
Faris Abdul Aziz pada sekitar tahun 799 H. untuk disimpan di
Perpustakaan Universitas Qarawaen di Fez. 591 Dalam
perkembanganya ternyata Muqaddimah Ibnu Khaldun telah
memberikan inspirasi dan pengaruh besar terhadap perkembangan
berbagai aspek ilmu pengetahuan, baik dalam aspek
kemasyarakatan, politik, ekonomi, sejarah, sastra, di Barat atau pun
di Timur.
Menurut catatan Ahmad Syafi`i Maarif, Ibnu Khaldun
sampai dengan tahun 1970-an menjadi perhatian para peneliti dan
penulis, tidak kurang dari 854 buah buku, artikel, review, disertasi,
dan bentuk tulisan lainnya yang ditulis oleh para sejarawan Islam,
maupun Barat (Orientalis) tentang Ibnu Khaldun.592Ibnu Khaldun
wafat pada tahun 808 H. dalam keadaan masih memegang jabatan
Hakim Agung,593 pada masa Pemerintahan Dinasti Mamalik di
Mesir.

2.Teori Berdirinya Negara


Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Ibnu
Khaldundianggap sebagai peletak dasar (almunsyi`) ilmu-ilmu

590
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 500 – 501. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 98 - 99
591
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 505 - 506
592
. Lihat Ahmad Syafii Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan
Penulis Barat dan Timur ( Jakarta: Gema Insani Press, 1966 ), h. IX
593
. Muhammad Abdullah Inan, Ibnu Khaldun; Hayatuhu wa Turatsuhu
al-Fikriy ( Kairo: Dar al-Kutub al-Misriy, 1933 ), h. 88 - 89
530

sosial. Namanya tidak saja terkenal di dunia Islam, tetapi juga


dikenal di kalangan para sarjana non muslim di Barat. Ibnu Khaldun
seorang sejarawan, pemikir politik, politisi, sosiolog, ahli fiqh,
hakim, dan sederet gelar lainnya yang layak disandang. 594
Tentang bagaimana sebuah negara berdiri, pemikiran Ibnu
Khaldunmengenainya tidak jauh berbeda dengan para pemikir
politik muslim sebelumnya. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa organisasi (ijtima`) kemasyarakatan adalah
merupakan kemestian(dharuriyyun) bagi kehidupan manusia. Hal
ini lanjut Ibnu Khaldun sebagaimana dideskripsikan oleh para
Failasuf bahwa manusia secara wataknya adalah makhluk sosial
(insanun ijtimaiyyun). Dalam arti bahwa manusia tabiatnya memang
berkelompok, berkomunitas, berorganisasi yang dalam istilah
mereka adalah kota atau polis. Selanjutnya Ibnu Khaldun
menjelaskan teorinya ini berdasarkan perspektif agama bahwa Allah
swt.telah menjadikan manusia dalam bentuk kejadian yang tidak
dapat hidup dan tidak dapat mempertahankan kehidupannya tanpa
makanan, dan Allah membimbing manusia secara fitrah untuk
mencapai kesempurnaan dan kemampuan (kapabelitas). 595
Kenapa manusia dalam hidupnya yang secara fitrah
mestiberkumpul atau berorganisasi ?.Dalam konteks ini Ibnu
Khaldun menyampaikan argumentasi bahwakarena manusia
memiliki empat karakter dasar yang membedakannya dari makhluk
haiwan lainnya. Empat karakter dasar itu sebagai berikut;
1. Manusia adalah makhluk berfikiryang dengannya
menghasilkan ilmu pengetahan.
2. Manusia adalah makhluk politik yang memerlukan
pengaturan dan pengendalian melalui otoritas kekuasaan.
3. Manusia adalah makhluk ekonomis yang ingin mencari
penghidupan melalui berbagai cara dan profesi, dan
4. Manusia adalah makhluk berperadaban (insanun
madaniyyun) yang senantiasa berupaya secara berproses

594
. Ahmad Syafii Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis
Barat dan Timur,hlm. IX
595
. Ibnu Khaldun, Abdur al-Rahman, Muqaddimah ( Beirut: Dar al-
Kitab al-`lmiyah. 2006 ), h. 272
531

untuk mencapai dinamika dan kemajuan hidup dalam


berbagai aspeknya. 596
Oleh karena itu berdasarkan karakteristik manusia
sebagaimana disebutkan di atas, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa
organisasi kemasyarakatan adalah sesuatu yang menjadi kemestian
(dharuriy).Hal ini karena kodrat manusia tidak dapat memenuhi
semua kebutuhan hidupnya jika sendirianatau secara individu-
individu, oleh karenanya manusia membutuhkan orang lain untuk
bekerja sama memenuhi semua kebutuhan dan keperluan hidupnya.
Contohnya; makanan yang ia makan saja sudah melibatkan sekian
banyak proses dan tenaga manusia, begitu juga dengan pakaian.
Oleh karena itu lanjut Ibnu Khaldun, organisasi kemasyarakatan
(ijtima` al-nas) merupakan sesuatu kemestian (la mahalata), tanpa
organisasi ini eksistensi manusia di bumi ini tidak akan lengkap atau
sempurna, dari sinilah lahir sebuah peradaban (al-`umran).Ketika
manusia sudah dapat merealisasikan organisasi kemaasyarakatan
dan peradaban, maka mereka membutuhkan seseorang yang
berwibawa yang akan menghalangi dan mencegah mereka dari
permusuhan antar sesama, dari aspek lain Ibnu Khaldun melihat
bahwa manusia juga memiliki watak suka menyerang antara satu
dengan yang lainnya, baik terhadap fisik atau pemikiran. 597Karena
itu untuk mencegah sikap brutal dan kesewang-wenangan manusia
terhadapsesamamanusia lainnya, diperlukan seorang pemimpin (rais
aw sulthan). Ia seorang yang memiliki kelebihan, paling tidak dia
seorang yang paling kuat dan disegani oleh masyarakat atau
komunitasnya, sehingga dapat mengendalikan dan mengatur
(memenaj) kehidupan masyarakatnya. Dialah orang yang disebut
dengan sebutan raja, khalifah, imam, sulthan, dan lain-lain gelar
seorang pemimpin (kepala negara). Dalam arti lain bahwa setelah
organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban sudah menjadi
keniscayaan dalam kehidupan, maka masyarakat membutuhkan
seorang tokoh, yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai
seorang penengah dan pemisah (al-wazi`) antarasesama anggota
masyarakat yang tengah konflik atau bertikai. Watak agresif yang

596
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 31
597
. Ibid. h. 33 – 34. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 100
532

saling menyerang secara brutal dan sikap tidak adil adalah karakter
haiwan buas, tetapi lebih buas lagi jika terjadi pada manusia, maka
watak agresif manusia saling menyerang antara sesamanya itu tidak
mungkin dapat dihentikan secara individu (orang seorang) karena
masing-masing orang mempunyai senjata yang dipergunakan untuk
menyerang balik kepada yang lainnya. Di sinilah perlunya seseorang
yang dapat menangkal, penengah dan pendamai, maka orang yang
dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah (al-wazi`) menurut
Ibnu Khaldun haruslah seorang tokoh yang lahir dari kalangan
masyarakat itu sendiri dan memiliki paling tidak dua hal pokok,
yaitu;
1. Memiliki pengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat.
2. Memiliki kekuasaan dan otoritas atas mereka.

Dengan demikian tidak seorangpun di antara anggota


masyarakat yang merasa terganggu atau melakukan penyerangan
terhadap sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang
memiliki kekuasaan dan wibawa memungkinkannya bertindak
sebagai penengah, pemisah dan sekaligus hakim itu adalah raja,
khalifah, sulthan atau kepala negara (rais al-daulah).598
Dalam rangka menggalang kerja sama untuk menghasilkan
penghidupan (al-ma`asyi), Ibnu Khaldun melihat adanya dinamika
kehidupan masyarakat yang terus berkembang dan berproses dari
satu tahap ke tahap berikutnya sehingga manusia mendapatkan
penghidupan yang serba mewah (al-rifahiyah) atau kehidupan yang
sejahtera. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun menegaskan bahwa; jika
manusia sudah mendapatkan apa-apa yang di luar kebutuhan pokok
(ma fauqol hajah), yaitu kekayaan dan kemewahan hidup, maka
mereka akan bekerja sama dalam hal-hal yang di luar kebutuhan
pokok tersebut, baik dalam hal pakaian (sandang), pangan
(makanan), dan rumah besar dan indah, memperluas dan
memperindah kota untuk mencapai kemajuan (al-tahadhdhur), dan
lain-lain hal sebagai simbol kemewahan hidup.599Dari sinilah
munculnya negara. Pemikiran Ibnu Khaldun mengenai bagaimana
sebuah negara itu muncul dan berdiri hampir sama dengan

598
. Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 513 –
514 dan 515. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 100 -101
599
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 408 – 409.
533

pemikiran Plato dan juga mirip dengan gagasan-gagasan yang


disampaikan para pemikirpolitik Islam sebelumnya, 600 seperti Ibnu
Abi Rabi`, al-Farabi, al-Mawardi, dan al-Ghazali.

3.Teori Kemunculan Pemimpin Negara


Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setelah organisasi
kemasyarakatan (ijtima`u al-nas) terbentuk dan peradaban (al-
`umran / al-hadharah / al-tamaddun) sudah menjadi kenyataan
dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat membutuhkan
seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai
penengah dan pemisah (al-wazi`) antara sesama anggota masyarakat
saat terjadi konflik atau terjadi perbedaan kepentingan, selain
kadang manusia itu memiliki watak atau karakter agresif (suka
menyerang), juga suka memiliki sikap tidak adil (zalim)dalam
bertindak dan dalam memberikan keputusan kepada sesama
anggota masyarakat, sementara senjata yang digunakan untuk
melindungi manusia dari watak agresif manusia lainya tidak juga
mampu menghadapinya, maka dalam kondisi seperti ini diperlukan
sesuatu yang lain untuk menangkal atau menghalau watak agresif
tersebut. Penangkal yang dibutuhkan sebenarnya tidak datang dari
luar, melainkan dari dalam diri komunitas masyarakat itu sendiri,
yaitu seseorang yang dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah
(al-wazi`). Seseorang yang dapat bertindak sebagai penengah dan
pemisah paling tidak harus memenuhi tiga kriteria sebagai berikut;
1. Harus dari masyarakat itu sendiri,
2. Harus yang paling berpengaruh dan berwibawa dari yang
lainya, dan
3. Harus memliki kekuasaan dan otoritas atas mereka.601
Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa hidup
bermasyarakat itu merupakan kemestian atau keniscayaan
(dharuriyyun) bagi manusia. jika tidak, maka tidak akan sempurna
eksistensi mereka dalam kehidupanya, dan tidak akan sempurna pula
apa-apa yang menjadi kehendak Allah bagi kehidupan manusia,
antaranya seperti memakmurkan alam dunia ini, dan membangun
khilafah di muka bumi ini, dalam arti melakukan regenerasi
600
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 101
601
. Ibid. h. 100
534

manusia sebagai makhluk hidup yang mendapatkan amanah untuk


membangun dan memakmurkan bumi ini agar tercipta kemaslahatan
dan kebaikan bersama. Oleh karena itu lanjut Ibnu Khaldun, untuk
memenuhi berbagai tujuan di atas,di dalam masyarakat manusia
harus ada seorang pemimpin atau sulthan ( rais, auw sulthan ).602
Dalam pandangan ini, Ibnu Khaldun sebenarnya ingin
menegaskan bahwa jika manusia sudah bermasyarakat, peradaban
umat manusia pun sudah dibangun (tamma `umron al-`alam bihim),
maka dengan sendirinya secara otomatik akan muncul seseorang
dari mereka sebagai penengah, pemisah dan sekaligus sebagai
hakim. Nah, , , lanjut Ibnu Khaldun, seseorang yang berfungsi
sebagai penengah, pemisah, dan hakim adalah orang yang memiliki
superioritas atau kelebihan-kelebihan dibanding dari yang lainya,
yaitu memiliki kemampuan untuk mengalahkan musuh, memiliki
otoritas kekuasaan atas masyarakatnya dan memiliki sikap tegas
yang bersifat memaksa (yakunu lahu `alayhim al-ghalabah, wa al-
sulthan, wa al-yad al-qahirah) pada saat dihadapkan pada masalah-
masalah darurat. Maka dengan kelebihan-kelebihan dan superioritas
yang dimiliki, seorangpemimpin dapat bertindak sebagai penengah
(pengayom), pemisah, dan sekaligus sebagai hakim (al-wazi`).Orang
yang dapat bertindak sesuai dengan kriteria ini semua adalah raja,
khalifah, sulthan, atau rais al-daulah (kepala negara).603
Seorang raja, khalifah atau sulthan dengan atribut-atribut
tersebut di atas bisa saja memerintah secara tidak adil, otoriter atau
diktator, lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri, dan
tidak memperdulikan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya,
sehingga menyebabkan rakyat tidak loyal atau tidak setia lagi,
dengan akibat munculnya penindasan, terror dan anarkis. Oleh
karena itu, kebijakan pemerintah serta hubungan antara kepala
negara (raja, khalifah atau sulthan ) dan rakyat harus didasarkan
pada peraturan-peraturan dan kebijakan politik yang harus ditaati
oleh semua pihak yang bersangkutan.604
Peraturan-peraturan tersebut bisa saja sebagai produk
keputusan para cendikiawan, para tokoh, dan cerdik pandai negara

602
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 274
603
. Ibid. h. 408
604
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 102
535

yang bersangkutan, tetapi dapat pula bersumber pada ajaran agama


yang diturunkan Allah melalui Nabinya. 605Di antara dua macam
sumber peraturan atau hukum itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa
sumber kedua lebih baik, karena dengan hukum yang berpangkal
pada ajaran agama akan memberikan jaminan kemaslahatan yang
manfaatnya diperoleh di dunia dan juga di akhirat, karena Allah (al-
Syari`) Maha Mengetahui terhadap kemaslahatan atau kebaikan
setiap tindakan manusia, selain dari itu ada jaminan perlindungan
Allah bagi keselamatan hamba-hamba-Nya di akhirat.606 Oleh
karena dalam hal hukum yang diberlakukan sebagai sumber
kebijakan pemerintah itu adalah ajaran agama, maka kepala negara
dapat disebut khalifah atau imam, karena khalifah statusnya sebagai
pengganti Nabi Muhammad saw. dalam memelihara dan
melestarikan ajaran agama, dan mewujudkan kesejahteraan duniawi
bagi rakyat meskipun jaraknya sudah jauh, sementara imam sebagai
pemimpin yang diibaratkan berada pada posisi paling depan, seperti
seorang imam yang memimpin shalat berjamaah dan diikuti oleh
para makmum yang berada di belakangnya. Oleh karenanya, seorang
khalifah atau imam harus ditaati oleh rakyatnya sebagai para
makmum yang berada di dibelakang imam dalam kehidupan
bernegara. 607

4.Sumberdan Dasar Kebijakan Politik


Di dalam salah satu topik bahasan di dalam Muqaddimah,
Ibnu Khaldun bicara tentang peradaban manusia.Peradaban
manusiua tidak lepas dari politik yang berfungsi untuk mengatur
kehidupan mereka (annal umran al-basyariy la budda lahu min
siyasatin yantazimu biha amrahum).Dalamkonteks ini Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa terbentuknya masyarakat manusia merupakan
sesuatu kemestian (dharuriyyun). Hal ini secara otomatis akan
muncul seorang pemimpin yang akan menjaga, mengatur
ataumengelola, dan mengeluarkan hukum atau memerintah (min
wazi`in, hakimin) yang keputusannya akan menjadi rujukanatau
acuan bagi masyarakat. Dalam hal pengaturandan pemerintahan

605
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 711 - 712
606
.Ibid.
607
. lihat munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 102
536

mesti berdasarkan sumber yang menjadi landasan dalam metetapkan


kebijakan atau peraturan, Ibnu Khaldun dalam hal ini
membagisumber tersebut menjadi dua kategori, yaitu;
1. Berdasarkan (mustanadan pada) Syariat yang turun dari
Allah. Maka dalam pemerintahan seperti ini wajib bagi
rakyat untuk tunduk dan patuh atas dasariman bahwa
tindakan baik akan melahirkan kebaikan, mendapatkan
pahala atau al-tsawab, dan sebaliknya tindakan jahat akan
mendatangkan keburukan, yaitual-`iqabsebagai hukuman
(punishment). Hal ini sebagaimana disampakan oleh Nabi
dan Rasul Allah.

2. Berdasarkan hasil pemikiran (siyasah al-`aqliyah) yang


menekankan pada pertimbangan-pertimbangan kakulasi
politik. Kategori ini tetap harus juga melahirkan loyalitas
rakyat kepada pemerintah, sesuai dengan kebenaran yang
mereka yakini bahwa tindakan dan perbuatan baik akan
melahirkan kebikan setelah mereka mengetahui
kemaslahatanya. 608

Kategori pertama menurut Ibnu Khaldun akan melahirkan


manfaat di dunia dan di akhirat sekaligus. Hal ini berdasarkan
keyakinan bahwa Allah (al-Syari`), Zat yang maha mengetahui
kemaslahatan hamba-hamba-Nya, baik untuk di dunia dan juga di
akhirat nanti.Sementara kategori kedua manfaat dari aktivitas
politiknya hanya akan dirasakan di dunia saja (fiy al-dunya faqat).
Selanjutnya Ibnu Khaldun menegaskan bahwa politik yang dibangun
di atas pertimbangan-pertimbangan akal pemikiran terdapat dua
orientasi, yaitu;
1. Menjaga kemaslahatan dan kepentingan-kepentingan
masyarakat secara umum dalam rangka memastikan
stabilitas politik (fiy istiqamati mulkihi `ala al-khusus).

2. Menjaga dan memelihara kepentingan penguasa, bagaimana


pemerintahanya stabil, berwibawa dan tegas, maka

608
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 517
537

kemaslahatan yang umum sebagaimana disebutkan termasuk


ke dalam kemaslahatan ini. 609
Berdasarkan apa yang disampaikan Ibnu Khaldun di atas,
dapat ditegaskan bahwa otoritas kekuasaan adalakalanya merupakan
warisan dari seorang Nabi, maka kebijakan-kebijakan politik yang
diberlakukanya berdasarkan Syariat Allah (Siyasah Syar`iyah wa
Ilahiyah) yang mengacu kepada dasar-dasar kaidah yang turun dari
langit (Ilahiyah wa qawa`id samawiyah). Selain dari itu adakalanya
otoritas kekuasaan dibangun di atas pertimbangan-pertimbangan
akal pemikiran, maka semua aktivitas dan kebijakan politik
dikonsentrasikan pada hasil pemikiran manusia, dan bukan
didasarkan wahyu yang datang dari Allah, oleh karenanya politik
yang dibangunya berorientasi untuk menjaga kepentingan rakyat dan
kepentingan penguasa atau sebaliknya, yaitu menjaga kepentingan
peguasa yang menjadi prioritas, kemudian baru kepentingan
rakyat.610
Terkait dengan pandangan Ibnu Khaldun mengenai politik
yang dibangun di atas pertimbangan-pertimbangan akal pemikiran,
tentu saja aktivitas perpolitikannya dapat direalisasikan sepanjang
bersesuaian dengan Syariat Islam, karena walau bagaimana pun
perpolitikan itu merupakan aktivitas yang berkaitan dengan
kepentingan hidup orang banyak, maka sebagai seorang muslim
dalam beraktivitas ini ada patokan-patokan atau batasan-batasan
yang menjadi dasar bagi membangun kehidupan mereka dalam
berbagai aspek kehidupan, kecuali bagi sebagian orang yang sudah
meninggalkan ajaran agama.

5.Ibnu Khaldun Seorang Ahli Gepolitik


Ibnu Khaldun sangat memahami sifat dan karakteristik suatu
daerah atau wilayah di mana dia tinggal.Pemahaman ini
diperolehnya sebagai hasil daripetualanganya di beberapa wilayah
atau daerah di Afrika Utara. Pemahaman terhadap sifat dan
karakteristik suatu daerah atau wilayah dalam istilah modern
disebut geopoliik. Geopolitik adalah upaya memahami aspek-aspek

609
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 711 - 712
610
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi, al-Fikr al-Siyasi Fiy
al-Islam, h. 516 - 517
538

geografis suatu wilayah, daerah atau negara dalam rangka


melahirkan kebijakan politik yang sesuai dengan kepentingan
negara, yaitu strategi politik berdasarkan geografis wilayah
berkenaan. 611 Dengan kata lain bahwa geopolitik adalah
pengetahuan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
konstelasi geografis suatu wilayah atau negara dengan
memanfaatkan letak geografis bagi kepentingan penyelenggaraan
pemerintahan nasional dan ketetapan-ketetapan kebijakan politik
berdasarkan realitas yang ada dan cita-cita yang dicanangkan. Hal
ini karena faktor geografis memiliki berbagai kepentingan bagi
kehidupan umat manusia di wilayah berkenaan.Kehidupan harus
disesuaikan dengan keadaan dan lingkungan alami, karena manusia
sebgai makhluk sosial budaya tidak hanya dikelilingi oleh sosio-
kultural semata, melainkan juga pada hakikatnya bergantung dan
diliputi oleh keadaan alami.
Ibnu Khaldun sangat memahami kondisi dan situasi beberapa
wilayah atau daerah dimana dia tinggal dan kemudian
membandingkanya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal
ini berdasarkan pengamatanya terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi pada masyarakat sebagai akibat dari pengaruh cuaca dan
iklim suatu daerah atau wilayah di mana masyarakat bertempat
tinggal.Oleh karenanya faktor geografis suatu wilayah sangat
berpengaruh pada sosio-politik dan sosio-budaya.Dengan demikian
dapat ditegaskan bahwa kondisi dan faktor-faktor geografis suatu
wilayah dapat mempengaruhi watak, perilaku dan pemikiran
manusia, makacuaca dan iklim panas, dingin atau sedang (i`tidal)
berpengaruh pada watak dan perilaku serta pemikiran
manusia.612Sebagai akibat lanjut dari kondisi ini terjadinya
perbedaan-perbedaan antara satu masyarakat dari masyarakat yang
lain, sebagaimana ditegaskan Sherwani yang dikutip Muhammad
Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad bahwa Ibnu Khaldun
telah memfokuskan bahasan tentang adanya perbedaan-perbedaan
karakteristk, perilaku, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan fakta di

611
. A. Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Sciences ( Beirut:
Libraire Du Liban, 1982 ), h. 177
612
. lihat Muhammad Ismail Muhammad, Dirasat Fiy al-`Ulum al-
Siyasah ( Kairo: Maktabah al-Qahirah al-Haditsah, 1972), h. 315. Lihat juga
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 103
539

mana Ibnu Khaldun melihat masyarakat yang bertempat tinggal di


daerah yang cuacanya ekstrim (al-mutathorrifah al-manakh),
mereka jauh dari dinamika peradaban dan budaya (ba`idatun`an al-
hadharah wa al-tsaqafah). Dalam hal ini Ibnu Khaldun memberikan
contoh seperti perasaan, pemahaman, berfikir, itu semua pasti
terpengaruh oleh iklim dan cuaca, dan kemudian berdampak pada
adat dan tradisi. Faktanya kalau beberapa bangsa di dunia ini,
antaranya seperti bangsa Syam (Syiria), Hijaz (Mekah dan
Madinah), Yaman, Iraq, India, Sind, China, dan negara-negara yang
berdekatan denganya, seperti Perancis, Romawi, dan Yunani,
masing-masing negara tersebut telah memberikan kontribusinya
pada sejarah dan perdaban dunia. Hal ini karena bangsa-bangsa
tersebut bertempat tinggal di wilayah-wilayah yang beriklim sedang
(i`tidal al-manakh). Contoh lain dapat disampaikan bahwa ketika
Muawiyah bin Abi Sufyan menduduki jabatan Khalifah (kepala
negara) di Damaskus Syam tidak melalui musyawarah sebagaimana
yang lazim dilakukan di era Khulafa al-Rasyidin dan mengubahnya
menjadi sistem Monarkhi, dalam arti pemilihan kepala negara tidak
melalui mekanisme musyawarah yang melibatkan berbagai elemen
masyarakat. Ini terjadi karena kondisi geografis, di mana wilayah
kekuasaan yang sudah luas, sementara fasilitas transportasi belum
cukup memadai sehingga menyebabkan kesulitan untuk dilakukan
musyawarah dalam waktu yang sesegera mungkin, selain dari itu
faktor global saat itu sangat berpengaruh, di mana negara-negara
besar seperti Byzantium, Persia dan China berbentuk monarkhi
(kerajaan).613Selain cuaca, letak geografis juga berpengaruh,
demikian juga makanan (al-fawakih) yang dimakan turut juga
berpengaruh pada pembentukan watak, kejiwaan, dan pemikiran. 614
Berdasarkan apa yang dijelaskan Ibnu Khaldun di atas
tentang adanya pengaruh faktor-faktor geografis dan makanan
terhadap kehidupan masyarakat, kebijakan politik danhal-hal lain.
Fenomena ini dapat dilihat pada wawasan dan perilaku masyarakat

613
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 34 - 36
614
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 333 – 331. Lihat juga Muhammad
Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam,
hlm. 526 - 528
540

yang berbeda-beda dari satu masyarakat dengan masyarakat yang


lain dan bertempat tinggal di berbagai wilayah yang berbeda pula.
Gagasan atau teori yang disampaikan Ibnu Khaldun terkait adanya
pengaruh geografis terhadap kondisi, situasi dan tatanan politik,
berdasarkan penelusuran kajian bahwa Ibnu Khaldun bukanlah
orang pertama yang menggagas teori tersebut, jauh sebelum Ibnu
Khaldun, sebenarnya al-Farabi sudah menyampaikan teori ini. 615
Dalam konteks ini, Munawir Sjadzali dan Sherwani di dalam
karyanya; Studies in Muslim Political Thought An Administration,
menegaskan bahwa di Barat teori tersebut baru dikembangkan kira-
kira satu setengah abad kemudian setelah Ibnu Khaldun wafat,
pertama oleh Jean Bodin seorang ahli hukum dan ilmu politik
berkebangsaan Perancis yang hidup antara tahun 1530 – 1596 M.
kemudian oleh Charles Louis de Montesquieu yang lahir di Jerman
seorang ahli hukum dan ilmu Politik serta sastrawan berkebangsaan
Perancis yang hidup antara tahun 1689 – 1755 M.616
Dengan memahami teori pengaruh geografis suatu wilayah,
daerah atau negara terhadap sosio-politik dan sosio-budaya
masyarakat bersangkutan sebagaimana dijelaskan Ibnu Khaldun di
atas, maka dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun sangat memahami
tentang apa yang disebut di era modern dengan istilahgeopolitik.
Istilah ini lahir di Jerman pada masa pemerintahan Nazi
(Hitler).Ibnu Khaldun sangat memahami fenomena ini, meskipun
dalam konteks ini, Ibnu Khaldun tidak banyak bicara secara khusus
tentang aspek-aspek politik mana yang terpengaruh oleh situasi
geografis. Tetapi paling tidak, sebagai awal pembuka tentang kajian-
kajian geopolitik.
6.Teori Ashabiyah
Salah satu kontribusi asli dari Ibnu Khaldun pada ilmu
politik ialah teorinya tentang ashabiyah dan peranannya dalam
pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Hal ini
sebagaimana diungkapkan Mahmud Ismail Muhammad di dalam

615
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 531. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 103 - 104
616
.Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 104. Lihat juga Kh.
Sherwani H. Studies In Muslim Political Thought and Administration ( Hyder
Abad, t.pbt. 1945 ), h. 18
541

karyanya; Dirasat Fiy al-`Ulum al-Siyasah.617 Dalam konteks ini


Munawir Sjadzali menyebut beberapa pengertian ashabiyah,
antaranya dikemukakan Franz Rosenthal bahwa istilah ashabiyah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris maknanyagroup feeling,
tetapi jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia secara harfiah
artinya; rasa satu kelompok. Selanjutnya Munawir Sjadzali
menjelaskan bahwa barangkali tidak sepenuhnya tepat untuk
memberikan pengertian ashabiyah sebagaimana disebutkan, oleh
karenanya istilah ashabiyah dapat diterjemahkan menjadi;
solidaritas kelmpok.618
Ibnu Khaldun dalam konteks ini menyampaikan teorinya
tentang ashabiyah, dia menjelaskan bahwa semua orang memiliki
rasa bangga terhadap kerabat dan keturunan (nasabihi) atau
hubungan darah (ashabiyyatihi) di antara mereka. Rasa saling
sayang meyayangi (syufqah) dan saling haru antara sesama yang
memiliki hubungan darah dan keluarga, merupakan watak alami
yang diletakkan Allah ke dalam hati setiap manusia (maujudatun fiy
al-thabi`iyyah al-basyariyyah).Itulah yang melahirkan semangat
saling mendukung (al-ta`adhud) dan saling tolong menlong (al-
tanasuru).619Selanjutnya Ibnu Khaldun menyebutkan beberapa
indikasi ashabiyah, antaranya silaturrahmi antara sesama anggota
adalah merupakan tabiat alami pada manusia (anna shilaturrahim
thabi`iyyun fiy al-basyar), rasa bangga terhadap sanak saudara
terdekat (dzawiy al-qurba) dan terhadap orang-orang yang ada
hubungan darah, dan lahirnya rasa malu atau tidak rela jika di antara
mereka yang memiliki ikatan darah, satu keturunan atau keluarga
mendapat perlakuan yang tidak adil (zalim) atau mau
dihancurkan,kemudian adanya hasrat berbuat sesuatu untuk
melindungi pihak yang terancam tersebut.620 Dengan demikian,
dapat dijelaskan bahwa di dalam ashabiyah itu ada rasa bangga
terhadap sesama orang-orang senasab atau seketurunan yang
dihubungkan dengan berbagai kelebihan-kelebihan atau kekurangan-
kekurangan yang ada pada mereka, kemudian lahir rasa simpati, dan

617
Mahmud Ismail Muhammad, Dirasat Fiy al-`Ulum al-Siyasah ( al-
Qahirah: Maktabah al-Hadistah, 1973 ), h. 315
618
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 104
619
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah.,h.423
620
. Ibid. h. 424
542

sepenanggungan sehingga kemudian memunculkan rasa solidaritas


antar sesama.
Selanjutnya bagaimana ikatan ashabiyah muncul dalam
kehidupan masyarakat sebagai suatu kekuatan. Dalam hal ini Ibnu
Khaldun menyebutkan beberapa faktor penyebab munculnya
ikatanashabiyah antar sesama, antaranya ikatan darah, kesatuan
keturunan (iltiham al-ansab). Solidaritas juga muncul dipicu oleh
faktor-faktor lain, antaranya; karena tempat tinggal berdekatan atau
bertetangga (jiran), karena persekutuan atau aliansi (al-hilfu), karena
hubungan antara pelindung dan yang dilindungi (al-
wala).Selanjutnya Ibnu Khaldun menyebutkan beberapa faktor yang
memotivasi bangkitnya ashabiyah, iaitu adanya rasa malu (al-
ghadhadhah) pada setiap manusia jika terjadi perlakuan tidak adil
(zalim), atau terjadinya penganiyaan terhadap mereka yang
mempunyai hubungan berdasarkan satu atau lebih dari ikatan-ikatan
tersebut.621
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas seputar arti
ashabiyah, maka dapat disimpulkan bahwa ashabiyah merupakan
konsep tentang solidaritas kelompok,di mana individu-individu
dalam kabilah atau kelan bergabung dalam satu komunitas atas dasar
hubungan nasab atau hubungan kerabat seperti marga di
Indonesia.Kemudian jika diperhatikan secara saksama, ashabiyah itu
dapat dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya organisasi massa atau
partai politikdalam tatanan kehidupan perpolitikan di era modern
dan kontempor. Kalau di era modern dan kontemporer muncul apa
yang disebut organisasi massa atau partai politik di mana
pergerakannya atau aktivitasnya merupakan bentuk solidaritas, tetapi
diikat dengan suatu ikatan ideologi, kebersamaan dan kesatuan cita-
cita dan tujuan. Ruang geraknyapun berbeda, kalau oraganisasi
massa atau partai partai politik ruang lingkup gerakannya lintas
sektoral, lintas wilayah, dan lintas agama, bahkan lintas
benua.Sementara ashabiyah merupakan solidaritas kelompok
berdasarkan ikatan darah, keturunan atau marga, maka teori

621
. Lihat Muhammad Jalal Syar dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-
Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 524, lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata
Negara, h. 105er
543

ashabiyah itu sebenarnya merupakan penjelasan tentang istilah


qabilah atau klan.

7.Ashabiyah dan Kepemimpinan


Ibnu Khaldun selanjutnya berbicara tentang hubungan antara
ashabiyah dan kepemimpinan.Dalam konteks ini Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa kepemimpinan selalu berada pada solidaritas inti
(al-khas al-dhayyiq),622 yang berpengaruh dan lebih kuat, terutama
dalam menjaga hubungan nasab atau kerabat.Selanjutnya Ibnu
Khaldun menyatakan bahwa kepemimpinan (al-riyasah) diraih atau
diperoleh melalui kemenangan (al-ghalab), dan kemenangan itu
bersama dengan ashabiyah, maka kepemimpinan harus berasal dari
ashabiyah yang dominan dengan dukungan ashabiyah-ashabiyah
yang lain yang padu dan bersatu. Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa jika seorang pemimpin memegang kendali kepemimpinan
melalui ashabiyah, maka ashabiyah tersebut harus dari yang lebih
kuat dan dominan, oleh karena itu dukungan ashabiyahyang
dominan ini sudah semestinya dapat mengalahkan ashabiyah-
ashabiyah yang lain ( yang dominan ). Hal ini agar dominasi selalu
berada pada genggamannya, maka otomatis kepemimpinan
sepenuhnya berada padanya. 623 Dengan demikian, kepemimpinan
akan tetap berada pada ashabiyah yang kuat dan dominan sepanjang
dapat mempertahankan kekuatan dan dominasinya. Jika ashabiayh
tersebut kemudian menjadi lemah, maka kepemimpinan bisa
diprediksi akanmelemah juga, dan akibatnya kepemiminan akan
bergeser keashabiyah lain yang memperlihatkan kekuatannya.
Dalam konteks ini dapat ditegaskan bahwa berdasarkan alur
pemikiran Ibnu Khaldun, bahwa kekuatan dapat muncul dalam
berbagai bentuk,antaranya; kekuatan berfikir, kekuatan mental
spiritual, kekuatan tenaga (baik tenaga dalam atau tenaga luar),
kekuatan Tentara, kekuatan karena memiliki senjata canggih,
kekuatan karena memiliki harta kekayaan banyak, kekuatan karena
memperoleh dukungan masyarakat banyak.dankekuatan solidaritas
kelompok (ashabiyah). Dalam hal kekuatan, Ibnu Khaldun lebih
622
Yang dimaksud dengan ashabiyahinti (al-khas al-dhayyiq) adalah
ashabiyah yang memiliki wibawa dan kekuatan melebihi ashabiyah-ashabiyah
yang lain pada kebanyakannya.
623
. Ibnu Khaldun, Mukaddimah, h. 428 - 429
544

tegas menegaskan bahwa apa yang dimaksud dengan kekuatan


ketika dihubungkan dengan ashabiyah dan kepemimpinan (al-
ashabiyah wa al-riyasah), maka yang dimaksudkanyaadalah
kekuatan dukungan solidaritas kelompok yang besar. Oleh
karenanya dalam rangka mempertahankan kekuatan seorang
pemimpin diperlukan dukungan kekuatan-kekuatan melalui
perangkat-perangkat mesin ashabiyah yang dapat digerakan kapan
saja dan di mana saja, baik itu dalam bentuk dukungan masyarakat
banyak atau pun dukungan Tentara atau Militer yang besar.
Inti dari teori Ibnu Khaldun tentang ashabiyah dan
kepemimpinan adalah bahwa ashabiyah merupakan kekuatan (asas
al-quwwah wa al-syaukah) yang dapat digerakan kapan saja dan di
mana saja berdasarkan kalkulasi politik sesuai dengan langkah-
langkah strategis. Hal ini harus menjadi dasar dominasi dan
kemenangan (al-taghallub). Kemenangan merupakan langkah
strategis dan legitimasi kepemimpinan, maka kepemimpinan akan
selalu berada pada ashabiyah atau solidaritas yang paling kuat dan
dominan. Atas dasar ini, dapat ditegaskan bahwa dari berbagai
ashabiyah atau solidaritas kelompok yang ada di suatu negara, maka
kepala negara (raja atau sulthan) harus berasal dari solidaritas
kelompok yang paling kuat dan dominan agar kepemimpinannya
lebih efektif dan tidak mudah digoyang, baik oleh kawan atau rival
politiknya.
Berdasarkan fakta dan realitas kehidupan bernegara, orientasi
akhir (al-ghayah)dari proses gerakan dan perjuangan ashabiyah
adalah jabatankepala Negara; khalifah, raja atau sulthan, dalam arti
bahwa posisi atau jabatan pemimpin adalah orientasi dari seluruh
perjuangan yang dilakukan ashabiyah. Dalam konteks ini Ibnu
Khaldun menegaskan bahwa ashabiyah itu digerakan untuk
melindungi dan membentengi gangguan, baikyang datang dari
internal sendiri atau pun eksternal.Hal ini dikarenakan manusia
secara tabiatnya memerluknseorang pemimpin yang dapat
memberikan perlindungan dan memberi keputusan hukum secara
adil di antara sesama warga, maka secara otomatis pemimpin dapat
mengalahkan (mutaghallib) mereka melalui ashabiyah tersebut. Jika
545

tidak, maka otoritas kekuasaannya akanmudah digoyang dan


terancam.624
Menurut Ibnu Khaldun; raja (al-Malik) dan pemimpin (al-
rais/al-riyasah) keduanya berbeda. Pemimpin atau kepemimpinan
adalah kedudukan, posisi, jabatan di mana pemiliknya menjadi
panutan atau menjadi ikutan (matbu`un) atau teladan, tetapi secara
politis keputusannya tidak dapat dipaksakan untuk dilaksanakan.
Berbeda dengan raja, raja dengan otoritas kekuasaan yang ada
padanya dan dapat memaksakan keputusannya untuk
diberlakukan.625 Selanjutnya Ibnu Khaldun menegaskan bahwa
ashabiyah yang kuat posisinya di antara beberapa ashabiyah yang
lain dapat menguasai dan mendominasi semua ashabiyah-ashabiyah
yang kecil, maka secara otomatik, mau atau pun tidak, ashabiyah-
ashabiyah yang kecilharus memberikan loyalitasnya kepada
ashabiyah dominan, sehingga kemudian ashabiyah-ashabiyah yang
ada di suatu negara atau Dinasti menjadi satu kesatuan yang besar
(ka annaha `ashabiyah wahidah kubra).626
Demkianlah pembicaraan tentang teori ashabiyah yang
digagas Ibnu Khaldun pada sekitar 14 abad Masehi yang lalu. Jika
dibandingkan dengan kondisi saat ini dengan adanya partai politik
atau organisasi sosial sebagaimana disebutkan di atas, maka
ashabiyah yang secara otomatik dipimpin oleh seorang pemimpin
atau dalam bentuk kepemimpinan presidium paling tidak
merupakan cikal bakal lahirnya partai politik atau organisasi sosial,
baik dalam fungsi atau aktivitasnya. Bedanya, ashabiyah atau
solidaritas kelompok didasarkan pada hubungan nasab atau
hubungan darah seperti qabilah, klan atau marga, keturunan atau
etnik. Sementara partai politik atau organisasi sosial didasarkan pada
ideologi dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan untuk
mencapai kepentingan-kepentingan bersamasecara terprogram dan
wilayah cakupannya pun lintas sektoral, daerah, dan bahkan lintas
agama, baik dalam tataran lokal, nasional ataupun dalam skala
internasional.

624
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 439
625
. Ibid.
626
.Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 440
546

8.Ashabiyah, Akhlak dan Agama


Jika ashabiyah merupakan kekuatan yang bersifat fisik yang
bisa digunakan untuk melindungi, mengusir tindak kejahatan atau
ancaman serangan musuh, baik dari internal atau eksternal, tetapi
Ibnu Khaldun tidak merasa cukup dengan kekuatan yang bersifat
fisik saja, Ibnu Khaldun melihat aspek lain, yaitu kekuatan yang
bersifat non fisik (al-quwwah al-maknawiyah) yang difokuskan pada
akhlak dan agama (al-akhlaq wa al-din), karena akhlak dan agama
merupakan kekuatan yang bersifat non fisik yangmemiliki pengaruh
kuat pada jiwa setiap individu manusia, dan oleh karenanya dapat
memunculkan gerakan sosial keagamaan yang kuat. Dalam kasus-
kasus tertentu orang mau berkorban jiwa ataupun harta demi
mempertahankan agama yang diyakininya benar atau berjuang
berdasarkan legitimasi agama.
Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa jika
seorang kepala negara secara tabiatnya adalah manusia, karena
secara fitrah manusia tidak dapat terhindar dari hidup
bermasyarakat, maka sesungguhnya manusia menurut Ibnu Khaldun
terdapat kecendrungan untuk berbuat baik, ketimbang berbuat jahat,
hal ini sesuai dengan asal kejadian manusia dan kekuatan akalnya, 627
karena kejahatan menurut Ibnu Khaldun sesungguhnya hadir dari
sisi kekuatan haiwani yang ada pada manusia itu sendiri. Tetapi jika
dilihat dari aspek bahwa dia (kepala negara) itu manusia, maka
sebenarnya kecendrungan dia pada kebaikan lebih dekat.Oleh karena
itu raja dan politik (al-Malik wa al-siyasah), keduanya melekat pada
manusia, karena raja dan politik memanghanya khusus pada
manusia, bukan pada haiwan. Dengan demikian, kecendrungan pada
kebaikan adalah bersesuaian dengan politik dan raja, karena
kebaikan hanya sesuai untuk politik. 628Atas dasar tinjauan ini politik
harus diarahkan untuk terciptanya kebaikan (al-maslahah), bukan
untuk menghancurkan, menjadikan manusia dalam kondisi terpuruk,
memanipulasi, atau melakukan politik kotor terhadap lawan politik.
Di sini Ibnu Khaldun menghubungkan aktivitas politik

627
. Bandingkan dengan hadits Nabi yang artinya; bahwa setiap anak
yang dilahirkan (ke dunia ini) dalam keadaan fitrah (suci bersih), tetapi kedua
orang tuanyalah (termasuk lingkungan) yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi.
628
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 341
547

denganakhlak begitu kokoh, dalam arti bahwa politik dan raja, di


mana keduanya menurut Ibnu Khaldun diikat dengan ikatan
kebaikan ( al-khair ).629
Selanjutnya, Ibnu Khaldun menambahkan bahwa orientasi
akhlak ini menjadi keharusan bagi kepala negara (raja, khalifah,
sulthan), dalam arti berperilaku baik dan melakukan tindakan-
tindakan terpuji adalah merupakan sesuatu yang asas, di mana
perilaku yang baik dan tindakan-tindakan terpuji dibangun di
atasnya, dan hal ini akan menjadi kenyataan bila melalui ashabiyah
atau solidaritas yang bersatu padu (al-`ashabiyah wa al-`asyir).
Dalam hubungan ini Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kebesaran
(al-majdi) seorang kepala negara merupakan realitas yang ada
padanya dan dapat direalisasikan melalui kekuatan solidaritas yang
terorganisir, selain harus berperilaku yang baik. Jika seorang kepala
negara yang kedudukanya sebagai representasi`ashabiyah atau
rakyat, berarti dia merupakan cermin perilaku yang baik, karena
jika hanya berdasarkan ashabiyah saja, tanpa dikaitkan dengan
keharusan berperilaku terpuji (al-hamidah), maka bisa saja dia tidak
maksimal dalam mengelola kehidupan negaranya. 630
Atas dasar ini, Ibnu Khaldun mengaitkan politik dengan
akhlak dan agama (al-siyasah bi al-akhlak waal-din)dalam rangka
menata kehidupan perpolitikan untuk mencapai kebaikan
(sholahiyah). Dalam hal ini Ibnu Khaldun menegaskan bahwa
politik dan kepala negara merupakan penanggung jawab terhadap
manusia, khilafah bagi hamba-hamba Allah untuk merealisasikan
hukum dan undang-undang-Nya. Hukum dan undang-undang Allah
diberlakukan kepada makhluk dan hamba-hamba-Nya untuk tujuan
kebaikan (al-khair) dan memelihara kemaslahatan (mura`at al-
maslahah) mereka. Oleh karena itu siapa saja yang berhasil
menghimpun ashabiyah yang dapat melahirkan kemampun
(kapabelitas), maka dia akan memperoleh kemudahan mencapai
kebaikan dalam merealisasikan hukum-hukum Allah kepada
makhluk-Nya. Atas dasar ini dia layak menerima jabatan khilafah

629
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 548
630
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h.445
548

yang bertanggung jawab atas hamba-hamba Allah dan makhluk-


Nya, dan dipastikan akan lahir kebaikan (al-solahiyah).631
Selanjutnya dalam hubunganashabiyah, politik dan agama
yang berimplikasi lahirnya kebaikan atau maslahah, Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa negara-negara besar yang telah mendominasi
negara-negara kecil dan dipimpin oleh seorang kepala negara, di
mana kekuasaannya berdasarkan legitimasi agama, baik itu karena
dakwah ke-Nabian atau karena dakwah kebenaran (dakwah al-haq)
tegas Ibnu Khaldun, hal ini akan memperoleh kesuksesan karena
seorang kepala negara (al-Malik, Sulthan) dapat melahirkan
dominasinya (al-taghallub). Dominasi dapat terealisasi karena
dukungan ashabiyah, kebersamaan kehendak untuk mencapai
persatuan. Semua itu, kata Ibnu Khaldun karena pertolongan Allah
dalam menegakan agama-Nya, kenapa demikian.?. Ibnu Khaldun
menyampaikan argumentasinya; bahwa rahasia dari itu semua
adalah bahwa hati para warga negara (ahlu al-daulah) jika
berorientasi pada kebatilan dan cendrung pada keduaniaan, akan
melahirkan persaingan (al-tanafus/kompetisi) tidak sehat, dan
sebagai dampaknya akan muncul perbedaan dan konflik. Tetapi jika
hati penduduk negara berorientasi pada kebenaran (al-haq), maka
mereka tidak menginginkan gemerlapan dunia, dan hanya kepada
Allah saja mereka berorientasi, hal ini akan berdampak pada
terjadinya persatuan untuk menuju kesatuan arah, juga akan
menghilangkan persaingan, perbedaan pendapat, dan konflik pun
akan hilang, dan yang akan muncul kemudian adalah hal-hal positif;
saling tolong menolong, bantu membantu (wa hasuna al-ta`awun wa
al-ta`addud), idea dan pandangan baik akan mewarnai seluruh
kehidupan warga negara (ahlul al-bilad ), pada akhirnya negara
akan menjadi besar dan berwibawa. 632
Namun demikian,Ibnu Khaldun berpendapat bahwa
penyiaran (dakwah) agama dan dukungan ashabiyah akan
menambah kekuatan pada negara. Dalamhal ini Ibnu Khaldun
memberikan argumentasi bahwa karena pembentukan kondisi
kegamaan akan menghilangkan persaingan dan kedengkian di antara
sesama warga atau masyarakat dan mempersatukan arah tujuan dan

631
. Ibid.
632
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 446
549

berorientasi pada kebenaran (al-haq).633Meskipun demikian, Ibnu


Khaldun berpendapat bahwa penyiaran agama tidak akan maksimal
hasilnya tanpa bantuan dan dukungan ashabiyah.634
Berdasarkan apa yang disampaikan Ibnu Khaldun tentang
hubungan politik dengan agama dan akhlak dapat disampaikan
kesimpulannya sebagai berikut; bahwa Ibnu Khaldun sebagaimana
para pemikir politik muslim sebelumnya antaranya Ibnu Taimiyah,
al-Ghazali dan lain-lain, pemikiran Ibnu Khaldun tentang hubungan
politik atau negara dengan agama bersfat integralistik, artinya agama
dan poitik menyatu, tidak terpisah antara keduanya dalam mengelola
kehidupan umat atau negara, sementara ashabiyahatau solidaritas
kelompok sebagai pendukung dan dasar legitimasi pemerintahan.
Dengan demikian ashabiyahsangat berperan untukmenciptakan
penguatan langkah-langkah strategis dalam mencapai stabilitas
politik. Pemikiran yang didasarkan pada integralistik agama dan
politik ini mewarnai pemikiran politik di dunia Islam dalam
sepanjang sejarah perpolitikan umat Islam abad-abad klasik dan era
pertengahan. Berbeda dengan di era modern dan kontemporer di
dunia Islam sudah muncul pemikiran-pemikiran sekuler, yaitu
pemikiran yang memisahkan agama dari urusan politik, bahwa
politik tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tokoh yang
merepresentasikan pemikiran sekuler di dunia Islam antaranya; Ali
Abdurraziq.

9.Jabatan Raja, Khalifah dan Imam


Dalam sub topik ini, Ibnu Khaldun menjelaskan tentang
jabatan raja, khalifah dan imam, semuanya dalam posisiyang sama,
yaitu kepala negara, hanya beda nama atau gelar saja, pengertianya
pun tentu saja berbeda. Raja dalam bahasa Arabnya al-Malik artinya
pemilik.Dalam konteks kepala negara dia seorang pemilik terhadap
semua yang dia kuasai, rakyat, tanah air, kekayaan alam, dan
sebagainya. 635Secara istilah dapat diartikan bahwa jabatan raja

633
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 467
634
. Ibid. h.468
635
. Pemahaman ini di masa dahulu, sekarang sistem kerajaan atau
monarki sudah mengalami perubahan atau sudah mengalami dinamikanya
tersendiri sebagai upaya penyesuaian-penyesuaian untuk memenuhi tuntutan di
masa modern dan kontemporer, contohnya Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan
550

adalah suatu lembaga alami dan mulia bagi kehidupan bernegara,


dalam arti bahwa raja adalah jabatan kepala negara yang sudah
menjadi tradisi ataualami (asal semula jadi / konvensional) bagi
kehidupan bernegara. Raja berfungsi sebagai penjaga, pelindung dan
pemberi keputusan hukum (al-Malik, al-Qahir al-Muhtakim)
terhadap perkara sengketa.636Kehadiran raja di tengah-tengah
masyarakat sebagai penengah, pemisah dan sekaligus sebagai hakim
(al-Wazi`, al-Hakim) itu merupakan kemestian bagi kehidupan
bersama manusia dalam masyarakat besar (negara).
Khalifah adalah jabatan kepala negara yang pada awalnya
sebagai penerus dan pengganti Nabi (pembawa syariat) dalam
memelihara kelestarian agama dan pengelola negara dalam rangka
mencapai kesejahteraan duniawi untuk rakyat. Kenapa kemudian
dinamakan khalifah, karena khalifah yang kedudukanya sebagai
pengganti Nabi Muhammad saw. (kaunihi yakhlufu al-Nabiy fiy
ummatihi), maka kemudian disebut; Khalifah
Rasulillah.637Sementara kepala negara dengan sebutan Imam, 638
karena posisi kepala negara berada paling depan dalam memimpin
umat, keberadaanya sama seperti seorang Imam dalam shalat
berjamaah, posisinya berada paling terdepan dalam memimpin
shalat berjamaah yang diikuti oleh para makmun yang berada di
belakangnya ( tasybihan bi Imam al-shalat fiy itba`ihi wa al-iqtida
bihi).639

Jordania. Bahkan dalam sistem Kerajaan sudah diberlakukan pemilihan umum


sebagai salah satu ciri terbesar sistem demokrasi sebagaimana yang dilakukan
Kerajaan Malaysia, dan lain sebagainya.
636
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 513
637
. salah satu Khalifah Nabi, yaitu Umar Ibn Khattab tidak mau disebut
Khalifah, dan dia lebih suka disebut Amirul Mukminin. Alasanya jika Abu Bakar
disebut Khalifah Rasulillah, maka sebutan khalifah untuk Umar harus disebut dua
kali , yaitu Khalifah Khalifah Rasulillah, dan ini menjadi panjang, Umar tidak
suka sebutan gelar panjang dan berulangan.
638
. Sebutan Imam bagi kepala negara secara politis sebagaimana yang
berlaku di kalangan umat Islam Syiah, terutama Syiah Istnai `Asyariyah seperti
Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ja`far Sadik, Imam al-Baqir dan
sampai di era modern dengan munculnya Imam Khomaeni pemimpin revolusi
Iran, dan Imam Ali Khameni dan sebagainya.
639
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 518 - 519
551

Selanjutnya Ibnu Khaldun menyampaikan beberapa syarat


yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menduduki jabatan
kepala negara, baik raja, khalifah atau pun imam, yaitu;
1. Berdasarkan hasil ijma`; yaitu berdasarkan kesepakatan
bersama melaluimekanisme pemilihan oleh lembaga Ahlul
al`Aqdi wa al-Hilli, 640
2. Berilmu dan berwawasan luas (al-Ilm),
3. Memiliki sikap adil (al-`adalah),
4. Berkemampuan (al-kifayah, capable),
5. Sehat jasmanidan utuh semua panca indranya (salamatu al-
hawas wa al-a`dha), karena jika terdapat kecacatan pada
salah satu anggota panca indra akan berpengaruh pada sikap
dan cara berfikir, mengambil keputusan dan bertindak. 641

Kemudian berkaitan dengan syarat keturunan Quraisy (al-nasab al-


Quraisy). Syarat ini sebenarnya tidak terdapat ketegasan dari Ibnu
Khaldun apakah keturunan Quraisy menjadi syarat atau tidak, tetapi
Munawir Sjadzali menyebutkan bahwa Ibnu Khaldun menetapkan
keturunan Quraisy sebagai syarat, disamping syarat-syarata yang
lain. 642
Dalam membicarakan jabatan kepala negara, Ibnu Khaldun
mengulangi lagi teorinya tentang kemestian hidup bermasyrakat bagi
manusia, bahwa manusia (al-basyar) tidak mungkin dapat hidup
sendiri-sendiri tanpa bermasyarakat dan saling tolong menolong
untuk menghasilkan berbagai keperluan hidup, seperti sandang,
pangan dan lain-laim (`ala tahshili qutihim wa al-dharuriyatihim).
Secara politis ketika mereka hidup bermasyarakat, maka akan
muncul tuntutan untuk berinteraksi (bermuamalat) antara sesama
anggota masyarakat, dan berupaya untuk memenuhi berbagai
keperluat dan hajat. Untuk mencapai ini semua, setiap orang
mengulurkan tangan untuk mendapatkanapa yang diperlukan dari
sesama warga masyarakat yang lain. Hal ini karena di dalam sifat
haiwani manusia, seperti kezaliman (perlakuan jahat dan tidak adil),

640
. Ahlul al-`Aqdi wa al-Halli semacam lembaga Dewan Syura yang
memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan kepala negara dari
jabatanya sebagai raja atau khalifah.
641
. Ibid. h. 603
642
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, h. 102
552

permusuhan antar sesama, kemudian yang lainya berupaya untuk


menghalangi tindak kejahatan tersebut tetapi dengan sikap
emosional sesuai dengan sikap dan tabiat alaminya (muqtadha al-
quwwah al-basyariyah). Kondisi seperti ini akan berdampak
terjadinya konflikyang mengarah pada permusuhan. Permusuhan
akan berakibat terjadinya bentrokan berdarah, dan pembunuhan
menyebabkan darah mengalir dan hilangnya nyawa, dampak dari ini
semua berakibat punahnya umat manusia, sedangkan umat manusia
adalah salah satu dari sekian banyak makhluk, dan Allah Maha
Pencipta berkehendak untuk melestarikan kehadiran manusia di
bumi ini. Membiarkan manusia rusak tanpa seorang pemimpin
menyebabkan mereka menjadi liar dan buas. Dari kondisi yang
rusak ini secara alami manusia membutuhkan seseorang yang bisa
memberikan keputusan, memberikan perlindungan kepada sesama.
Orang yang dapat bertindak demikian itu berdasarkan tabiat alami
manusia adalah seorang raja yang dapat memaksakan keputusanya
secara mengikat.643Oleh karena itu diperlukan seseorang yang dapat
mengendalikan anggota-anggota masyarakat, dialah pemimpin dan
penguasa mereka.
Untuk dapat bertindak sebgai raja yang sebenarnya, dia harus
memiliki superioritas atau keunggulan dan kekuatan fisik untuk
memaksakan kehendak dan keputusanya sehingga keputusanya
merupakan kata akhir. Dia juga harus memiliki Tentara (`Asykar)
yang kuat dan loyal kepadanya guna menjamin keamanan negara
terhadap ancaman dari luar, serta memiliki kuasa menarik danadari
rakyat untuk pembiayaan operasional negara.644Dalam konteks ini,
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kedudukan kepala negara (raja,
khalifah, sulthan) sebagaimana yang sudah menjadi tradisi adalah
senantiasa bersama dengan dukungan solidaritas kelompok
(ashabiyah) yang kuat.Hal ini sebagaimana ditegaskanya bahwa
seorang kepala negara adalah pemegang jabatan terhormat serta
berorientasi pada pemenuhan hal-hal yang dibutuhkan, juga
memerlukan seperangkat kekuatan yang lain selin Tentara yang
dapat membentengi dan mengamankan negara, yaitu polisi
(syurthah), semuanya itu tentu saja memerlukan dukungan kekuatan

643
.Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 513
644
. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 102
553

ashabiyah.645Dalam kasus-kasus tertentu kepala negara tidak


mendapatkan dukungan solidaritas kelompok (ashabiyah), karena
loyalitas dan rasa simpati sudah menurun disebabkan oleh berbagai
faktor, antaranya kepala negara sudah mementingkan diri sendiri dan
keluargnya atau kerabatnya.Kondisi seperti ini akan berdampak
munculnya instabilitas politik, kepala negara rentan digoyang.
Kepala negara (raja, khalifah atau imam) pada hakikatnya harusnya
orang yang memiliki kemampuan menjadikan rakyatnya loyal dan
taat setia kepadanya, memiliki kuasa menarik dana pajak atau jizyah
dan termasuk zakatyang akan digunakan untuk membiayai
operasional negara, mengirim utusan ( Duta ), melindungi benteng,
dan tidak ada kekuatan yang dapat memaksa selain kekuatanya. 646
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan tentang perilaku dan
kebijakan kepala negara, bahwa seorang kepala negara dengan
atribut-atribut sebagaimana disebutkan di atas, jika dia
melaksanakan kebijakanya dengan tidak adil, lebih mengikuti
kehendak hati dan hawa nafsunya dan parahnya jika dia sudah tidak
lagi mempedulikan kepentingan rakyat, maka sulit bagi rakyat untuk
taat setia atau layol kepadanya. Hal ini akan berakibat munculnya
situasi kacau dan tidak stabil, timbulnya penindasan, teror dan
anarkis. Oleh karenanya bagaimana kepala negara dapat
mengembalikan kepercayaan rakyat, dan loyalitas serta ketaatan
mereka tetapi bukan kepada kehendak penguasa atau kepala negara,
melainkan tunduk dan patuh kepada peraturan dan undang-undang
politik (qawanin siyasiyah) yang berdasarkan Kitab Allah ( al-
Qur`an).647Karena fungsi kepala negara dalam pandangan politik
Islam sebagai pemelihara kelangsungan agama dan pengelola pilitik
kenegaraan.Jika ini yang dilakukan, menurut Ibnu Khaldun
perpolitikan yang dijalankanya adalah politik yang didasarkan pada
agama dan bermanfaat untuk kehidupandi dunia dan akhirat (kanat
siyasah diniyah nafi`atunfiy al-hayat al-dunya wa al-akhirah).648
Tetapi jika kebijakanya berdasarkan peraturan dan undang-undang
politik yang dibuat (Munawir Sjadzali menggunakan Bahasa;

645
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h.513
646
. Ibid. h. 513 - 514
647
. Lihat Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad,
al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 561
648
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 516 -517
554

direkayas) oleh para pemikir dan pembesar negara (al-`Uqala wa


Akabir al-daulah), maka menurut Ibnu Khaldun perpolitikan
tersebut adalah perpolitikan yang didasarkan pada pertimbangan-
pertimbngan akal (siyasah `aqliyah) yang manfaatnya hanya di
dunia saja.
Dari dua sumber kebijakan politik tersebut,Ibnu Khaldun
menegaskan bahwa politik yang berlandaskan agama lebih baik, dari
pada bertindak dan mengeluarkan kebijakan hanya berdasarkan
paksaan dan dominasipenguasa (bi muqtadha al-qahri wa al-
ghalab), yaitu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal
pemikiran semata.649Hal ini menurut Ibnu Khaldun bahwa peraturan,
undang-undang dan kebijakan politik yang hanya didasarkan pada
kekuatan paksaan, kekuatan dominsi, dan tidak melibatkan
partisipasi dan tidak mengikut sertakan solidaritas kelompok atau
ashabiyah (bi muqtadha al-qahri,wa al-ghalab, wa ihmal al-
quwwah al-basyariyah) dalam menetapkan peraturan dan undang-
undang, maka menurut Ibnu Khaldun akan menimbulkam
permusuhan dan menimbulkan ketidak percayaan rakyat kepada
pemeritah.650Karena peraturan dan kebijakan politik berdasarkan
pertimbangan akal atau rasio hanya berorientasi pada kemaslahatan
dunia saja (mashaleh al-dunya faqot) sebagaimana disebut di atas,
padahal tujuan pemberlakuan peratuan-peraturan syariat Islam
adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat (fiy ahwali
dunyahum wa akhiratihim). Peraturan dan undang-undang yang
memperhatikan kemaslahatan dunia dan akhirat menurut Ibnu
Khaldun dilaksanakan oleh Nabi (Nabi Muhammad saw) dan para
pemimpin yang memperjuangkan dasar-dasar aturan Nabi, mereka
itu adalah para Khulafa al-Rasyidin dan para Khulafa yang adil dan
saleh sesudah mereka. 651
Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan tentang perbedaan
kedudukan antara Raja, Politisi dan Khalifah dari aspek sumber
hukum yang menjadi dasar pijakan, yaitu;

649
. Ibid, h. 516 - 5
650
. Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr
al-Siyasi Fiy al-Islam h.561
651
. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 517 - 518
555

1. Raja dalam kedudukanya secara tradisi dan alami (al-malik


al-thabi`i) bertanggung jawab pada semua kebijakan dan
peraturan berdasarkan kehendak dan keinginanya.

2. Politisi (al-siyasiy) bertanggung jawab terhadap semua


peraturan dan kebijakan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan akal atau pemikiranya (muqtadha al-nazariy
al-`aqli) dalam upaya mewujudkan kemaslahatan dunia, serta
upaya mencegah tindak kejahatan agar tidak terjadi (wa daf`I
al-madharri).

3. Khalifah bertanggung jawab atas semua tindakan dan


kebijakanya berdasarkan pandangan syariat (`ala muqtadha
al-nazari al-syar`i) dalam rangka merealisasikan
kemaslahatan dunia dan akhirat (al-mashaleh al-dunyawiyah
wa al-ukhrawiyah), karena hal-hal yang berkaitan duniaakan
dirujuk kepada syariat sebagai cara untuk mencapai
kemaslahatan akhirat. Pada hakikatnya sistem pemerintahan
khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah merupakan sistem
pemerintahan yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw.
dalamrangka memelihara kelestarian ajaran agama dan
kesejahteraan duniawi bagi rakyat (fiy hirasah al-din wa
siyasah al-dunya).652

Demikianlah paparan Ibnu Khaldun tentang jabatan kepala


negara, baik itu raja, khalifah atau pun Imam. Semua kebijakan
dalam rangka mencapai stabilitas politik dan kesejahteraan rakyat
bisa jadi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pemikiran,
tetapi bisa saja berdasarkan ajaran agama, karena memang Islam
bukan saja mengatur hal-hal yang berkaitan dengan aspek akidah
atau ibadah, baik yang fardhu atau pun yang Sunnah saja, bahkan
Islam mengatur berbgai aspek kehidupan; bermasyarakat, berpolitik,
pertahanan, ketentaraan, pendidikan, ekonomi, hukum, diplomasi,
hubungan internasional, dan sebagainya, menurut Ibnu Khaldun
praktik perpolitikan yang didasarkan pada ajaran agama (agama

652
. Ibid, hlm. 518
556

Islam) adalah terbaik, karena manfaatnya bukan saja di dunia ini


tetapi juga di akhirat nanti.

BAB XII
P ENUTUP

1.Kesimpulan
Sebagai penutup dari bahasan-bahasan terkait perpolitikan
di era Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al-Rasyidin, serta
pemikiran politik yang digagas oleh para pemikir dan ulama Islam.
Kini disampaikan beberapa pokok ajaran dan pemikiran berkaitan
dengan masalah sosial politik, antaranya; bahwa prioritas perjuangan
yang dilakukan Nabi Muhammad saw. adalah menyeru atau
berdakwah kepada masyarakat Mekah untuk menyembah Allah
tanpa mempersekutukan dengan makhluk-makhluk-Nya,
mengangkat harkat dan martabat masyarakat kecil sehingga
memiliki harga diri dan kedudukan yang sederajat dengan yang
lainya, maka tidak ada beda antara orang kaya dari orang miskin,
tidak ada beda antara penguasa dan rakyat yang dipimpinya,
semuanya sama di di hadapan Allah dan di hadapan hukum.
Perjuangan yang dilakukan Nabi bersama beberapa orang
yang sudah menerima ajaran Islam di Mekah semakin hari semakin
mendapat simpati masyarakat kecil, sehingga perjuangan Nabi lahir
menjadi gerakan dan kekuatan besar yang tidak bisa dibendung.
Kemunculan gerakan inilah sebenarnya yang dikhawatirkan oleh
para pemimpim otokrasi ( autocracy ) Quraisy, di mana mereka
merasa kekuasaannya dirongrong, karena semakin hari masyarakat
banyak semakin berpihak kepada perjuangan Nabi Muhammad saw.
Hal ini menurut mereka berdampak pada menurunya loyalitas
557

masyarakat kepada para pemimpin Quraisy dan justeru kemudian


beralih loyalitas mereka kepada Nabi Muhammad. Dalam tinjauan
politik, inilah penyebab utama terjadinya ketegangan dan konflik
antara pihak Nabi Muhammad bersama komunitas muslim dengan
para pemimpin Quraisy, antaranya Abu Sufyan, Abu Lahab ( paman
Nabi sendiri ) dan lain-lainya.
Dalam kondisi krisis inilah umat Islam selalu mendapatkan
perlakuan tidak manusiawi dari para pemimpin kafir Quraisy, seperti
penghinaan, ejekan, bully, pengucilan, pengusiran, pemutusan kerja,
intimidasi, terror, bahkan upaya pembunuhan terhadap diri Nabi
sendiri. Tetapi semuanya itu Nabi menyikapinya dengan penuh
percaya diri, tetap tegar dengan perjuanganya. Dalam kondisi krisis
ini Nabi melakukan langkah-langkah positif, antaranya; Pertama;
Nabi mengeluarkan perintah kepada beberapa orang Islam agar
mengungsi sementara ke Negeri Habsah ( Ethopia ) untuk
mendapatkan suaka politik dari penguasa Negeri Habsah, yaitu Raja
Najjasi, seorang penguasa yang beragama Kristiani tetapi baik hati.
Oleh karena itu, para pengungsi dari Mekah diterima dengan baik
dan mendapatkan perlakuan baik, serta mendapatkan jaminan
perlindungan, bahkan Raja Najjasi pada akhirnya memeluk agama
Islam.Studi tentang peristiwa ini hakikatnya merupakan dasar-dasar
kajian hubungan internasional. Kedua; Dalam kondisi krisis ini
Nabi secara diam-diam mengadakan hubungan kerja sama dengan
penduduk Yatsrib ( Madinah ), mereka datang ke Mekah dalam
rangka menunaikan ibadah haji. Hubungan kerja sama tersebut
dilakukan melalui pertemuan beberakali di Aqabah Mina antara
Nabi Muhammad saw.dengan beberapa penduduk Yatsrib yang
kemudian menjadi pengikut setia. Hasil dari beberapa kali
pertemuan ini diperoleh kesepakatan-kesepakatan ba`iat
Aqabahsebagaimanifesto politik yang memperkuat perjuangan Nabi
dalam menegakan missi risalahnya. Ketiga; Setelah Nabi bersama
umat Islam berada di Madinah paska hijrah, Nabi melakukan
konsolidasi melalui langkah-langkah strategis, antaranya,
mempersaudarakan sesama umat Islam, membangun mesjid.
Keempat; Nabi mempersatukan seluruh penduduk Madinah tanpa
membedakan ras, agama, latar belakang budaya. Persatuan ini diikat
dengan suatu ikatan yang kokoh, yaitu; Shahifah Madinah atau
Piagam Madinah. Piagam Madinah berfungsi sebagai konstitusi
558

dasar yang dipergunakan untuk mengatur hubungan dan kerja sama


antara berbagai elemen penduduk Madinah yang memiliki
kecendrungan yang berbeda. Hal ini dilakukan Nabi dalam rangka
terealisasinya keamanan, kedamaian, saling menghargai dan saling
menghormati antara sesama penduduk, sehingga tercipta kehidupan
yang kondusif.
Piagam Madinah dalam kajian politik merupakan dustur atau
konstitusi dasar. Menurut beberapa ahli Piagam Madinah sebagai
konstitusi yang lahir untuk partama kalinya di dunia, sebelum
lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948
sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia (
Commission on Human Rights ) yang didirikan PBB pada tahun
1946. Bahkan Piagam Madinah sudah lahir sebelum Magna Chatra
di Inggris, lahir pada tahun 1215 yang menjadi bagian dari sistem
konstitusi Inggris.
Di era Khulafa al-Rasyidin dalam hal pengangkatan kepala
negara ( Khalifah, Amirul Mukminin, Imam ) dilakukan berdasarkan
musyawarah melalui mekanisme pemilihan yang beragam, baik
secara langsung dan terbuka, ataupun melalui musyawarah secara
terbatas di kalangan para elite, atau juga melalui pembentukan suatu
badan pemilihan ( The election committee ). Hal ini berdasarkan saat
Abu Bakar dipilih melalui pemilihan secara langsung dan terbuka
yang diselenggarakan di Saqifah Bani Sa`idah ( suatu tempat yang
sering digunakan pertemuan ). Umar bin Khattab terpilih menjadi
kepala negara ( khalifah ) berdasarkan hasil musyawarah terbatas
dianatara para senior sahabat Nabi, Umar merupakan calon tunggal
direkomendasikan oleh Abu Bakar di akhir-akhir masa jabatanya
untuk menduduki jabatan khalifah, kemudian mendapatkan
persetujuan dari seluruh penduduk. Utsman bin Affan dipilih sebagai
khalifah melalui proses pemilihan yang dilakukan oleh suatu badan
pemilihan ( the election committee ) yang beranggotakan enam
orang sahabat Nabi senior. Badan ini dipimpin oleh seorang ketua,
yaitu; Abdurrahman bin Auf yang diangkat oleh Umar pada saat-
saat akhir masa jabatanya sebagai khalifah, dan Umar memberi batas
waku kepada badan pemilihan ini agar dalam waktu tiga hari kepala
negara sudah terpilih. Pada akhirnya Utsman bin Affan terpilih
sebagai kepala negara ( khalifah ) mengalahkan rival beratnya, yaitu;
Ali bin Abi Thalib. Berbeda dengan pemilihan ketiga Khalifah di
559

atas, di mana pemilihanya dilakukan pada situasi politik kondusif,


Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai kepala negara ( khalifah ) pada
situasi politik yang sedang carut marut. Munculnya situasi krisis
politik ini sebagai akibat lanjutan dari permasalahan politik pada
masa kepemimpinan Khalifah Utsman, dan klimaksnya terjadinya
aksi demonstrasi besar-besaran di ibu kota negara; Madinah di akhir-
akhir masa jabatan Utsman. Para Khulafa al-Rasyidin pada masa
memerintahanya, mereka banyak melakukan kebijakan-kebijakan
positif, baik terkait perluasan wilayah, menciptakan stabilitas
keamanan, restrukturisasi para pejabat yang bermasalah,
pengelolaan pendapatan negara, ataupun melakukan penghematan
anggaran belanja negara sebagaimana dilakukan Khalifah Ali bin
Abi Thalib, dan sebagainya.
Selain dari beberapa kebijakan positif di atas, ada aspek lain
yang tidak banyak diungkap oleh para pengkaji politik Islam, yaitu
masalah berakhirnya masa jabatan ketiga-tiga khalifah selain Abu
Bakar, yaitu; Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Ketiga-tiga khalifah terakhir ini mengakhiri masa jabatanya
sebagai khalifah karena terbunuh. Secara politis hal ini disebabkan
oleh faktor lain, yaitu; karena saat itu belum ada sistem pengamanan
ketat bagi keselamatan kepala negara, tidak ada pasukan
pengamanan khusus kepala negara ( tidak seperti di zaman modern
dan kontemporer, sudah ada pengamanan khusus bagi kepala negara,
seperti di Indonesia ada Paspampres ). Sistem pengamanan khusus
baru diperkenalkan di dunia Islam saat Mu`awiyah menjabat
khalifah di Damaskus, Syiria (Syam). Ketika dia mengadakan
kunjungan ke Madinah atau Mekah, pasukan pengaman khusus
sudah dikirim lebih dahulu tiga hari atau tujuh hari sebelum
Mu`awiyah tiba di dua kota tersebut.

Terkait denganpemikiran dan gagasan politik yangtertuang di


dalam berbagai karya para pemikir dan ulama Islamadalah
berdasarkan hasil pengamatan dan analisis terhadap apa yang terjadi
di dalam masyarakatnya yang selalu berubah dari waktu ke waktu
sesuai dengan dinamika kehidupan manusia pada setiap
kondisi.Dinamika kehidupan masyarakat, meskipun di sana sini
terjadi perubahan dan perbedaan sebagai realitas yang tidak dapat
dihindari, para pemikir dan penggagas muslim tetap berpijak pada
560

ajaran agama yang bersumberkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi


sebagai kerangka rujukan utama dalam melihat perubahan-
perubahan kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karena itu,
pemikiran-pemikiran politik Ibnu Abi Rabi`, al-Farabi, al-Mawardi,
al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan lain-lainya tidak
terplepas dari batasan-batasan al-Qur`an dan Sunnah Nabi. Maka
hasil pemikiran-pemikiran politik yang mereka tuangkan dalam
berbagai karyanya adalah integratif, yaitu pemikiran politik yang
terintegrasi dengan ajaran agama.Hal ini sebagaimana dipraktikan
oleh Nabi sendiri dan para pemimpin umat sesudahnya, yaitu; Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib,
dan lain-lainnya. Oleh karenanya, berdasarkan fakta ini dapat
ditegaskan bahwa pada satu sisi, para pemimpin umat tersebut
memposisikan diri mereka sebagai imam shalat ketika melaksanakan
shalat berjama`ah, dan pada dimensi yang lain para pemimpin
tersebut memiliki kekuasaan, di mana ucapanya didengar,
perintahnya dipatuhi, perilakunya menjadi anutan dan
teladan.Pemikiran politik yang integratif ini merupakan ciri khas
dari pemikiran politik abad klasik dan pertengahan di dunia Islam.

Pemikiran-pemikiran politik yang digagas oleh para pemikir


muslim tersebut merupakan nilai-nilai filsafat politik ( values of
political philoshophy ) dalam Islam yang tetap relevan untuk
sepanjang zaman, paling tidak sebagai khazanah kekayaan
pemikiran politik yang menjadi bahan kajian perbandingan antara
pemikiran politik Islam di masa lalu dan pemikiran politik di era
modern dan kontemporer.Berdasarkan kajian mendalam bahwa
pemikiran-pemikiran politik yang disampaikan oleh para pemikir
politik Islam sebagaimana disebutkan di atas, tetap mengacu pada
al-Qur`an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan utama ketika mereka
melakukan observasi terhadap realitas perpolitikan saat itu.
Meskipun demikian, para pemikir muslim melakukan kaji banding
juga terhadap pemikiran-pemikiran Yunani yang disampaikan oleh
Plato, Socrates, Aristoteles, dan lain-lainnya terutama dalam hal
teori kemunculan negara. Kajian perbandingan yang dilakukan oleh
para pemikir politik muslim ternyata menjadi inspirasi bagi mereka
sehingga bahasan pemikiran politik Islam menjadi bahasan yang
561

luas dan mendalam, walaupun tidak semua pemikiran yang berasal


dari Yunani diterima.

Bahasan-bahasan tentang politik Islam oleh para pemikir


muslim variatif, ada yang ideal sebagaimana yang digagas oleh al-
Farabiy mengenai teorinya tentang negara utama ( negara ideal ),
tetapi selain dari al-Farabiy ada yang mendasarkan pemikiran
poloitiknya berdasarkan tinjauan terhadap realitas perpolitikan yang
sedang berjalan, karena pada dasarnya inti dari perpolitikan dalam
Islam adalah bagaimana menciptakan kehidupan yang berorientasi
pada terciptanya maslahah ammahatau kemaslahatan umum, yaitu
negara yang dapat menciptakan kebaikan bersama, dan ini dapat
dibuktikan dengan terrealisasinya berbagai fasilitas yang diperlukan
oleh rakyat dalam rangka terciptanya kesejahteraan hidup, selain
terciptanya keamanan dan kedamaian negara.

Pemikiran-pemikiran politik Islam yang disampaikan oleh


para pemikir muslim tersebut, ada yang berkaitan dengan nilai-nilai
universal yang menjadi prinsip kehidupan bernegara di era modern
dan kontemporer, sehingga dapat kita temukan pada peradaban
dunia. Nilai-nilai universal tersebut, antaranya; Prinsip amanah ( al-
mabda al-amanah ) atau integritas, Prinsip musyawarah ( al-mabda
al-syura ), Prinsip menegakkan keadilan ( al-mabda al-`adalah ),
Prinsip persamaan ( al-mabda al-musawa ) atau egalitarian, dan
sebagainya. Selain dari itu, pemikiran-pemikiran politik Islam yang
disampaikan oleh para pemikir muslim tersebut yang sangat menarik
untuk dikaji ulang adalah;Teori kontrak sosial, mekanisme
pemilihan kepala negara ( Imam ) digagas oleh al-Mawardiy, Teori
kemunculan pasar dan penggunaan uang, keperluan pada pajak/zakat
dan pengelolaannya disampaikan oleh al-Ghazali, Kesalehan
perilaku seseorang menjadi kriteria dan lebih diprioritaskan untuk
menduduki jabatan politis disampaikan oleh Ibnu Taimiyah, Teori
ashabiyah ( solidaritas ), yang dahulunya solidaritas atas dasar suku,
etnik atau qabilah, tetapi kemudian berkembang pada masa
berikutnya menjadi solidaritas dalam bentuk organisasi massa atau
partai politik yang didasarkan pada kesamaan visi, atau berdasarkan
kesamaan perjuangan, atau pun berdasarkan kesamaan profesi.
562

2. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Salabiy, 1990, Sejarah dan Kebudayaa Islam, (terj), Jakarta:
Pustaka al-Husna.
----------, 1991, al-Mausu`ah al-Hadharah al-Islamiyah al-
Siyasiyah Fiy al-Fikr al-Islamiy, Qahirah: Maktabah
Nahdhah al-Misriyah.
Al-`Awwa, Muhammad Salim, 1989, Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li al-
Daulah al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Syuruq.
Ahmad Amin, 1964, Fajar al-Islam, Qahiro: Maktabah Nahdhah al-
Misriyah.
Abdul Rashid Moten, 1996, Ilmu Politik Islam, terl. Political
Science an Islamic Perspective, Bandung: Pustaka.
Ahmad Sukardja, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang
Dasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup
Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, Jakarta: UI-
Press.
Ahmad Fadhali et al, 2004, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Pustaka Asatrus.
Antony Black, 2006, Pemikiran Politik Dari Masa Nabi Hingga
Masa Kini, (terj.) The History of Islam Political thought
From The Prophet to The Present, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Abdul Rasyid Moten, 2001, Ilmu Politik Islam, (terj.) Political
Science an Islamic Perspective, Bandung: Penerbit Pustaka.
Ali Abul Raziq, 2002, Islam Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian
Khilafah dan Pemerintahanh Dalam Islam, (terj.) al-Islam
wa Ushul al-Hukmi, Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Adiwarman Azwar Karim, 2004, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Artani Hasbi, 2001, Musyawarah dan Demokrasi, Ciputat: Gaya
Media.
Afzalur Rahman, 1995, Doktrin Ekonomi Islam, (terj.) Economic
Doctrines of Islam, Jld. 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf.
563

Al-`Aqqad, Abbas Mahmud, 2002, Kejeniusan Utsman, (terj.)


Jakarta: Pustaka Azzam.
--------, 2002, Kesejahteraan Utsman bin Affan, (terj.) Jakarta:
Pustaka Azzam.
Al-Bukhariy, t. th. Sahih Bukhariy, t. tpt: Dar Ihya al-Kutub.
Abbas Mahmud. 1944. Al-Farabi. Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-
`Arabiyah Isa al-Babi al-Halabiy.
Abdul Wahid Muhammad al-Far. t. th. al-Tsaqafah al-Islamiyah.
Jeddah: Dar al-Ilmiy.
Asqhar Ali, Engineer. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Antony Black. 2000. Pemikiran politik Islam Dari Masa Nabi
Hingga Masa kini (terj). The History of Islamic Political
Thought From The Prophet to The Present. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta.
A.Zaki Badawiy. 1982. A Dictionary of The Social Sciences. Beirut:
Librarie Du Liban.
Ahmad Syafii Maarif. 1966. Ibnu Khaldun Dalam Pandangan
Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press.
Abdul Rasyid Moten. 1422 H./2001. Ilmu Politik Islam. terj.
Political Sciences An Islamic Perspective. Bandung:
Pustaka.
Badri Yatim. 2001. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Bernard Crick, 1964, In Devine of Politic, London: Pelican Books.
Al-Dainuriy, Ibnu Qutaibah, 1967, al-Imamah wa al-Siyasah,
Qahiro: Muassisah al-Halabiy wa syurakahu.
Al-Darimiy, Fathiy, 1982, Khashais al-Tasyri` Fiy al-Siyasah wa al-
Hukmiy, Beirut: Muassisah al-Risalah.
E.I.J. Rosenthal, 1968, Political Thought in Medival Islam,
Cambridge: Cambridge University.
Al-Faruqiy, Ismail Raji, 1982, It`s Implication for Thought and Life,
Herndon: International Institut of Islamic Thought.
Al-Farabi. 1968. Al-Madinah al-Fadhilah. Beirut: Dar al-Masyriq.
George Jordac, 1996, Suara Keadilan: Sososk Agung Ali bin Abi
Thalib, (terj.), Jakarta: Lentera.
Al-Ghazali, Abu Hamid.t.th. Ihya Ulumuddin. Singapore: Dar
Sulaiman Mara`i.
564

-----------. 1409 H./1988 M. al-Tibr al-Masbuk Fiy Nasihat al-


Muluk. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
-----------. 1320 H. al-Iqtishad Fiy al-I`tiqad. Kairo: T.pbt.
-----------. 1405 H./ 1985 M. Qawaid al-I`tiqad. Beirut: A`lam al-
Kutub.Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jakarta: UI-Press.
Al-Hamsyariy, Musthofa, 1985 M./1405 H. al-Nizamal-Iqtishadiy
Fiy al-Islam, Riyadh: Dar Ulum.
Hasan Ibrahim Hasan, 1957, Tarikh `Amer bin `Ash, Qahiro: t. pbt.
--------, 2002, Sejarah Kebudayaan Islam, (terj.) Jakarta: Kalam
Mulia.
Hanum Asrofah, 2001, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Wacana
Ilmu.
Ibnu Abi Rabi`. 1970. Suluk al-Malik Fiy Tadbir al-Mamalik. Kairo:
Dar al-Sya`b.
Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah Ibnu Muslim Ibnu
Qutaibah. 1383 H./1963 M. `Uyun al-Akhbar. Mesir:
Wuzarat al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Qaumiy, Jld. 1.
Idris Zakaria. 1991. Teori Politik al-Farabi dan Masyarakat Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ibnu Ktsir. t. th. al-Bidayah wa al-Nihayah. Jld. 13 – 14. t. tmp.: Dar
al-Fikri al-`Arabi.
-----------. t. th. al-Sirah al-Nabawiyah, Juz 1 -2. Kairo: Dar al-Fikr.
Ibnu Taimiyah. 1980. al-Siyasah al-Syar`iyah Fiy Ishlahi al-Ra`iwa
al-Ra`iyah. Kairo: Dar al-Sya`b.
----------. t.th. Majmu`Fatwa. Beirut: Dar al-Kutub al-`Arabiyah. Juz
28.
Ibnu Khaldun. 2006. Muqaddimah. Beirut: Dar al-Kutub al-
`Arabiyah.
Ibnu Hisyam, t. th. Al-Sirah al-Nabawiyah, Qahiro: Dar al-Fikr.
Ibnu Katsir, 1933 M./ 1301 H. al-Bidayah wa al-Nihayah, 14 Juz, t.
tpt. Dar al-Fikr al-Arabiy.
---------, 1965 M./ 1385 H. al-Kamil Fiy al-Tarikh, Beirut: Dar al-
Ma`adir.
Ibrahim Hasan, 1989, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota
Kembang.
565

Irfan Mahmud Ra`ana, 1990, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar


bin Khattab, (terj.) Economic System Under Umar The
Great, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Jonh L. Esposito, 1984, Islamic Politics, New York: Syracuse
University Press.
---------, 1990, Islam dan Politik, (terj.) Jakarta: Bulan Bintang.
al-Khathrawiy, Muhammad al-`Aed, 1984 M./ 1404 H. al-Madinah
Fiy Shadr al-Islam, Hayat al-Ijtima`iyah wa al-Siyasiyah wa
al-Tsaqafiyah, Qihirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy.
Al-Mawardiy, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, 1960.
al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Kairo:
Isa al-Babiy al-Halabiy.
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, t.th.
al-Fikral-Siyasiy Fiy al-Islam: Shakhshiyyat wa Mazahib,
Iskandariyah: Dar al-Ma`arif al-Jami`iyyah.
Muhammad Abu Zahrah, 1996, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah Fiy
al-Siyasah wa al-`Aqa`id wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqh,
Qahirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy.
Majid Khadduri, 1955, War and Peace in The Law of Islam,
Baltimor: The Jonh Hopkins Press.
Muhammad Hamidullah, 1969, Majmu`ah al-Watsaiq al-Siyasah Li
`Ahd al-Nabawiy wa al-Khulafa al-Rasyidah, Beirut: t. pbt.
Muhammad Jamaluddin Surur, 1977, Qiyam al-Daulah al-`Arabiyah
al-Islamiyah Fiy Hayat Muhammad saw. Qahirah: Dar al-
Fikr al-`Arabiy.
Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press.
Muhammad Jauhar Rahman, 1982, Islami Siyasa, Lahore: al-Manar
Book Center.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, 2000, Sistem Politik Islam,
(terj.) al-Nizam al-Siyasiy Fiy al-Islam, Jakarta: Rabbani
Press.
M. Hadi Hussain dan Ah. Kamali, 1977, The Nature of The Islamic
State, Karachi: National Book Foundation.
Muhammad Dhiauddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, (terj.) al-
Nazariyyah al-Siyasiyyah al-Islamiyah, Jakarta: Gema
Insani.
566

Muhammad Fathi Utsman, 1904, Min Usul al-Fikri al-Siyasiy al-


Islamiy, Beirut: Muassisah al-Risalah.
Muhammad Husain Haekal, 2002, Utsman bin Affan, (terj. Ali
Audah), Jakarta: Litera Antar Nusa.
Muhammad Ahmazun, 2002, Fitnah Kubra, (terj. Daud Rasyid),
Jakarta: LP2SI al-Haramain.
Musthafa Dib al-Bigha, 1405 H./ 1985 M., al-Tahzib Fiy Adillah
Matan al-Ghayah wa al-Taqrib, Damaskus, Beirut:
Muassisah `Ulum al-Qur`an.
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad.t. th. al-
Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Shakhshiyyat wa Mazahib.
Iskandariyah: Dar al-Ma`rifah al-Jami`iyyah.
Munawir Sjadzali. 1993. Islam dan Tata Negara: Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press.
al-Mawardi. 1966. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Kairo: Musthafa al-
Babi al-Halabiy.
-----------. 1317 H. Adab al-Dunya wa al-Din. Mesir: al-Mathba`ah
al-Adabiyah.
Muhammad Salim al-Awwa. 1310 H./1989 M. Fiy al-Nidzam al-
Siyasah Li al-Daulah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Syuruq.
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution.2003. Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Muhammad bin Shaleh al-`Utsaimin. 2014. Politik Islam Penjelasan
Kitab Siyasah Syar`iyah Ibnu Taimiyah. (terj.) Ta`liq `ala
al-Siyasah al-Syar`iyah Fiy Ishlahi al-Ra`i wa al-Ra`iyah Li
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Jakarta: Gria Ilmu.
Musthafa Dib al-Bagha. 1985. al-Tazhib Fiy Adillah Matan al-
Ghayah wa al-Taqrib. Beirut: Muassisah Ulum al-Qur`an.
Muhammad Abdullah Inan. 1933. Ibnu Khaldun; Hayatuhu wa
Turatsuhu al-Fikriy. Kairo: Dar al-Kutub al-Misriy.
al-Najjar, Abdul Wahhab, 2003, al-Khulafa al-Rasyidun, Beirut: al-
Maktabah al-`Ashriyyah.
al-Nadwah al-`Alamiyah Li al-Syabbab al-Islamiy ( WAMY), 1989
M./1409 H. al-Mausu`ah al-Musayyarah Fiy Adyan wa al-
Mazahib al-Mu`ashirah, Riyadh: al-Nadwah al-`Alamiyah Li
al-Syabbab al-Islamiy.
567

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam ( P3EI), 2008,


Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo.
Philip Kahitti. 1970. History of The Arab. London: Macmillan
University Press.
Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
al-Syarif, Ahmad Ibrahim, t. th. Makkah wa al-Madinah Fiy `Ahd
al-Jahiliy wa al-Rasul, t. tpt: Dar al-Fikr al-`Arabiy.
Saidi Abu Jaib, 1985 M./ 1406 H. Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-
Siyasiy, Beirut: Muassisah al-Risalah.
Al-Suyuthi, Jalaluddin, 2001, Tarikh al-Khulafa, (terj.) Jakarta:
Pustaka al-Kautsar.
Sayyid Abul `Ala al-Maududiy, 1967, The Islamic Law and
Constitution, Lahore: Islamic Publication.
Sayuti Pulungan, 1994, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam
Piagam Madinah Dari Pandangan al-Qur`an, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Syed Husain Mohammad Jafri, 2003, Moralitas Politik Islam:
Belajar Dari Perilaku Politik Khalifah Ali bin Thalib, Jakrta:
Pustaka Zahra.
Sa`idiy Abu Jayb. 1406 H./ 1985 M. Dirasah Fiy Manhaj al-Islam
al-Siyasiy. Beirut: Muassisah al-Risalah.
Sayyid Quttub, 1397 H./1977 M. Dhilal al-Qur`an. Beirut: Dar al-
Syuruq. Jld. 2.
al-Syahristaniy, Abu al-Fatah. 1984. al-Milal wa al-Nihal. Beirut:
Dar al-Ma`rifah.
al-Tabariy, Abu Ja`far Muhammad bin Jarir, t. th. Tarikh al-Umam
wa al-Muluk, Beirut: Dar El-Suwaidan.
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, 2008, Negara
Kesejahteraan dan Globalisasi Pengembanmgan Kebijakan
dan perbandingan Pengalaman, Jakarta: PSIK Universitas
Paramadina.
Quttub, Ibrahim Muhammad, 2002, Kebijakan Ekonomi Umar bin
Khattab, (terj.) Jakarta: Pustaka Azzam.
Qamaruddin Khan, 1983, The Political Thought of Ibnu Taimiyah,
London: Islamic Foundation.
WAMY, 1989 M./1409 H. al-Mausu`ah al-Muyassarah Fiy al-
Adyan wa al-Mazahib al-Mu`asirah. Ryiadh: WAMY.
568

al-Wakil, Muhammad al-Sayyid, 1986 M./ 1406 H. al-Madinah al-


Munawwarah `Ashimah al-Islam al-Ula, Jeddah: Dar al-
Mujtama`.
--------, 1986, al-Harakah al-Islamiyah Fiy `Ashr al-Rasul wa al-
Khulafa, Jeddah: Dar al-Mujtama`.
Wahbah al-Zuhailiy. 1985. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz 6.
Damaskus: Darul Fikri.
Ziauddin Sardar, 1985, Masa Hadapan Islam Bentuk Idea Yang
Akan Datang, (terj.) Islamic Future The Shape of Idea to
Come, Kuala lumpur: DBP ( Dewan Bahasa dan Pustaka ).
Yusuf Ibn Abdul Barr, t.th. Jami` al-Bayan al-`ilm wa Fadhail,
Madinah: Maktabah al-`ilmiyah.
Yusuf al-Qardhawiy, 1994.al-Imam al-Ghazaliy Bayna Madihihi wa
Naqidhihi, Beirut: Muassisah al-Risalah.

3. INDEX
569

A Adminstratif, 44.
Amanah, 1, 2, 23, 79, 85, 88, 116, 143, Almalun nas, 49.
144, 147, 148, 150, 151, 155, 156, 167. Ahlul Ikhtiar, 75, 80, 82, 83.
Adil ( keadilan ), 5, 6, 7, 19, 21, 22, 28, Amaliy tathbiqiy, 101.
65, 68, 69, 70, 71, 116, 126. Aspirasi, 119.
Aristoteles, 9, 14, 15. Ambisi, 141, 142.
Arkan al-daulah, 20. Aktivitas perpolitikan, 143, 146, 147.
Absolute, 29, 32, 87. Afrika Barat Laut, 164, 165, 166, 167,
Aktivitas, 33. 168, 171, 172, 173.
Argumentasi, 176. Anarkis, 180.
`Amil, 24. Ashabiyah, 187, 189, 191, 192, 193, 194,
Andalusia, 164, 165. 195, 199, 200.
Antropologi, 30.
Ahlul Imamah, 75. Dewan formatur, 78,
Ahlul `Aqdi wa al-Halli, 77, 78, 82, 83, Damai, 84.
197. Duta Besar, 167.
Ahlu Syura, 80. Dinamika perpolitikan, 172.
Aman, 84, 128, 147. Dharuriy, 175, 176, 179, 181.
Amirul Muslimin, 95.
Alamiah, 96, 103, 104, 121, 196. E
Adminstratif, 44. Egoisme, 3, 4.
Almalun nas, 49. Etnik, 7.
Ahlul Ikhtiar, 75, 80, 82, 83. Eksponen-eksponen, 10.
Amaliy tathbiqiy, 101. Eksperimen, 27.
Aspirasi, 119. Eksternal, 27, 88.
Ambisi, 141, 142. Eksis, 29.
Aktivitas perpolitikan, 143, 146, 147. Efektif, 32, 41, 55, 64, 88, 105, 116, 139.
Afrika Barat Laut, 164, 165, 166, 167, Era Nabi Muhammad, 80.
168, 171, 172, 173. Era Khulafa al-Rasyidin, 80.
Anarkis, 180. Era Dinasti Umayyah, 80.
Era Dinasti Abbasiyah, 80.
B Era Dinasti Ottoman, 80.
Benturan, 62 Etika dan akhlak, 125.
Berakhlak, 128 Ekstrim, 141.
Berkeadilan, 128 Ekspresi, 141.
Berkejujuran, 128 Elite politik, 166.
Expedisi militer, 172.
C Eksistensi, 179.
Capabelity, 62.
F
D Fasilitas, 23, 54, 66, 107, 110, 118.
Demokrasi, 17, 81. Fitrah ( alami ), 41, 42, 61.
Demagogik, 17. Fenomena, 58, 92.
Disintegrasi, 29, 64, 136, 141. Fir`aun ( Raja Fir`aun ), 142.
Diktator, 29, 32, 142. Fey, 152.
Deputi, 32. Fathanah, 156.
Deskripsi, 47. Fez( ibu kota Negara Maroko ), 165, 166,
Decision maker, 59, 64. 167, 168, 169, 170, 174.
Dominasi, 72, 189, 194, 200. Franz Rosenthal, 187.
Dinasti Abbasiyah, 74, 92, 136.
570

G Konflik internal, 72, 120.


Gratifikasi, 83, 154, 157, 158. Konflik, 62, 74, 84, 172, 177, 194, 197.
Ghanimah, 152. Khianat, 1, 35.
Grasi, 165. Karakter politik Islam, 11.
Geopolitik, 167, 183, 184, 186. Kondosif, 19, 28, 99, 167.
Gejolak, 172. Kapabelitas, 19, 46, 88, 99, 101, 116, 121,
Geografis, 184. 150, 173, 176, 194.
Komitmen, 22.
H Kondusif, 23, 27, 38, 60, 65, 84, 88, 89,
Hijab, 33. 116, 128, 147.
Hayawan ijtimaiyyun ( makhluk sosial ), Khalifah al-Mu`thi, 38.
42. Kemaslahatan, 24, 26, 117.
Al-Hakim al-Filosophi, 51. Al-Katib, 33, 104.
Hadaf, 54. Khazin al-mal, 34, 104.
Hubert Languet, 86. Khalifah al-Mu`tamid, 38.
Hujjatul Islam dan Amirul Muslimin, 92. Karbala ( hari Karbala ), 40.
Al-Hasib, 104. Kesejahteraan, 42, 110, 113, 145.
Happiness, 110. Kategorisasi, 44.
Heterogen, 136. Konsisten, 127, 145.
Hudud, 157, 158. Konfrehensif, 51.
Huquq al-Nufus, 158. Kudeta, 59, 83, 164.
Hakim Agung, 164, 174. Kualitas, 65.
Al-Hadharah, 179. Kebijakan politik, 72, 95, 180.
Khulafa al-Rasyidin, 74.
I Khalifah Dinasti Umayyah, 74.
Instabilitas politik, 6, 103, 199. Konsensus, 78, 117.
Interaksi, 22, 62, 188. Kontemporer, 83.
Integrasi, 26, 52, 150. Konsekuensi, 87, 148.
Al-Ilmu al-madaniy, 38. Kedaulatan, 88.
Identifikasi, 52, 148. Kepribadian yang berwibawa, 88, 121,
Inisiatif, 66. 173.
Intikhab, 75. Kredibel, 88, 99, 101, 173.
Inkonstitusional, 83. Khalifah, 92, 181.
Internal, 88. Kebijakan strategis, 94, 104, 143, 184,
Intrik-intrik politik, 92, 172, 173. 201.
Immaterial, 110. Kerajaan Murabithin, 94.
Imamah ( Imam ), 116, 181. Kerajaan Muwahhidin, 94.
Integrasi politik, 142, 143. Kestabilan politik, 103.
Infrastruktur, 154. Kejujuran dan transparansi, 109.
Intervensi, 157. Kebahagiaan, 110, 113, 120, 126.
Inspirasi, 175. Keadilan, 125.
Integralistik, 195. Kejujuran, 125.
Karier politik, 164, 165, 172.
J Kalkulasi untung rugi politik, 164, 190.
Jundi, 34. Konspirasi, 165.
John Locke, 87. Kairo, 173.
Jujur, 88, 116, 126, 159.
Jizyah, 153. L
Legitimasi, 23, 70, 128, 129, 194, 195.
K Logistik, 35.
571

Loyalitas, 84, 164. Pembohong, 21.


Pengkhianat, 21.
M Pragmatis, 23.
Musyawarah, 2, 3, 160, 161. Profesionalitas, 66, 85, 101, 105.
Mekanisme, 3, 30, 48, 79, 129, 185, 197. Putra Mahkota, 30.
Al-Musawa, 3. Persia, 39.
Al-Makmun ( Khalifah ), 9. Politik Internasional, 83.
Al-Mu`tasim, 9, 10, 11. Pragmatisme, 83.
Monarchi, 16, 17, 30, 48, 75, 78, Preventif, 85, 176.
185.Manipulasi, 27, 107, 159. Provokasi, 85, 88.
Muslihat, 27. Pajak, 89.
Al-Muallim al-Tsani, 38. Profesi, 176.
Al-Muallim al-Awwal, 38. Politik kotor, 193.
Al-Madinah al-Fadhilah, 45, 48, 54.
Al-Madinah al-Jahilah, 45, 48. R
Al-Madinah al-Fasiqah, 45, 48. Realitas, 46, 59, 63, 80, 95, 138.
Al-Madinah al-dhallah, 45. Rais al-Madinah, 47, 48, 53.
Al-Madinah al-Mutabaddilah, 45. Reformasi, 55, 63, 64, 145.
Manifestasi, 50, 70. Realistis, 71.
Muallim, 53. Revolusi, 83.
Mudabbir, 53. Al-Rifahiyah, 110, 178.
Monumental, 57, 92. Representatif, 116.
Majelis Syura, 78. Referensi, 172.
Modern, 83. Rival politik, 190.
Al-Mu`ahadah, 83.
Material, 110. S
Sosialisasi, 125.
N Stabilitas politik, 6, 24, 27, 38, 74, 136,
Negosiasi, 60. 137, 139, 141, 164, 182, 195, 202.
Nas shareh ayat-ayat al-Qur`an, 85. Sosial budaya, 7, 184.
Nizamiah, 92. Strategis, 19, 55, 59, 64, 85, 88, 92, 125,
Negara ideal, 125. 160, 161, 184, 190, 195.
Sejahtera, 27, 128, 147.
O Stabil, 28, 29, 58, 88, 116, 120, 128.
Oligarchi, 17. Surthah, 4.
Otoritas kekuasaan, 17, 18, 99, 122, 138, Syiah Imamiyah Itsnai `Asyariyah, 39, 40.
139, 140, 141, 176, 180, 183, 191. Syiah Ismailiyah Bathiniyyah, 93, 130,
Otomatis, 84, 191. 131.
Otoriter, 128, 142, 148. Sosio-politik, 184.
Orientasi politik, 168. Sosiologi, 44.
Operasional negara, 199. Sekretaris negara, 165.
Skill, 46.
P Al-Sa`adah, 53, 54, 110.
Plato, 9, 11, 13, 15, 16. Sifat pembawaan, 123.
Politik kenegaraan, 1. Stabil, 59, 147.
Perdana Menteri, 164. Supremasi hukum, 84.
Prinsip dasar, 1. Situasi politik, 85.
Protokoler, 164. Sekuler ( Sekularisasi ), 146, 147.
Plural ( Pluralisme ), 7. Saleh, 156.
Proto tipe, 15. Sidiq, 156.
572

Superioritas, 180, 199. Za`im diniyah, 73.


Solidaritas, 188. Za`im siyasiyah, 73.
Zakat, 89, 151.
T
Transaksi politik, 105, 109, 168. Q
Transaksional, 23. Qadhi, 34, 72, 89.
Track rekord, 23. Al—Qalb ( Jantung ), 46, 47.
Tirani, 29, 32. Qadhi al-Qudhat, 57, 72, 166, 173.
Turkey, 37, 39. Qaid al-daulah, 73.
Al-Ta`awun, 55. Al-Qahthu, 117.
Tabiat, 65. Qurun, 142.
Thomas Hobbes, 86, 87. Al-Qudhat, 154.
Trust, 87. Qishash, 158, 159.
Trustor, 87.
Trustee, 87.
Takabbur, 127.
Tragedi disintegrasi politik, 137.
Tentram, 147.
Transparan, 151, 156, 159.
Tabligh, 156.
Teoritikus politik, 173.
Al-Tamaddun, 179.
Tradisi, 196.

U
Al-Ulum al-Thabi`iyyah, 38.
Utopia, 52, 62, 71.
Al-Ummal, 104.
Ulil amri, 162.
Al-Umran, 179.

W
Wazir, 32.
Welfare state, 55, 56, 110.
Waliul `Ahdi, 80.
Al-Wuzara, 89.
Al-Wara`, 122.
Al-Wilayah, 122, 126.
Al-Wulat, 154, 157.
Al-Wazi`, 177, 179.

Y.
Yunani, 9, 14.

V
Vulgar, 92.
Variatif, 129.

Z
Zalim ( Kezaliman ), 19, 179.
157

Tentang Penulis

Penulis berasal dari Karawang Jawa Barat, dosen tetap pada


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( Fisip ), UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis lulus S-1 ( Lc ) dari Universitas Islam
Madinah Saudi Arabia tahun 1988, lulus MA (S-2) dari Universiti
Kebangsaan Malaysia ( UKM ) tahun 1993, dan Ph.D. (S-3)
diraihnya dari Universitas yang sama, yaitu Universiti
Kebangsaan Malaysia ( UKM ) pada tahun 2001.
Pengalaman kerja sebagai tenaga akademik, penulis pernah
mengajar sebagai dosen ( pensyarah ) kontrak di Jabatan ( Program
Studi ) Ushuluddin dan Filsafat, Fakulti Pengajian Islam, Universiti
Kebangsaan Malaysia tahun 1993 – 1997. Dosen part time pada
Kolleg Anjung Selatan di Sepang Selangor Malaysia tahun 1997.
Dosen kontrak pada Institut Kemajuan Ikhtisas Pahang Malaysia
158

pada tahun 1998 – 2001. Dosen pada Institut PTIQ dan IIQ Jakarta
tahun 2003 – 2006. Dosen Pascasarjana Program Studi Politik Islam
pada Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Kayumanis ) tahun
2002 – 2006. Direktur Pascasarjana Program Studi Politik Islam
pada Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Klender ) tahun 2006
– 2009. Pada tahun 2010 – 2013 menjabat Puket 1 ( Pembantu
Ketua- 1 ) bidang akademik pada Sekolah Tinggi Agama Islam
Indonesia (Staiindo) Jakarta. Anggota Dewan Penilai Ijazah Studi
Islam Perguruan Tinggi Luar Negeri pada Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam Kemenag RI.tahun 2009 - sekarang. Ketua Dewan
Kehormatan Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010 – sekarang. Anggota Team
Pembakuan Format Ijazah S-1, S-2 dan S-3 pada Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI tahun 2013 – 2015. Ketua
Pusat Kajian Pemikiran politik Islam ( Puskappolis / CIPT - Center
For Islamic Political Thought ) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 – sekarang.
159

Index
A Berpoya-poya, 119.
Asosiasipolitik, 5. Basabasi, 149.
Anarkis, 6.
Argumentasi, 6. C
Ambisius, 18. Clean and good governance,
Aqabah Mina, 21, 22. 98.
AhliKitab, 23. D
AhliSyirik, 23. Dominasi, 2, 13, 29, 67.
Arbitur, 27. Doktrin, 38.
AyatMawaris, 35. Deskriptif, 8.
Amalsaleh, 38. Dinamisasikehidupanpolitik,
Anshar, 42. 12.
Ashabiyah, 43. Dustur, 53, 59.
Adil( keadilan ), 55, 91. Diplomat, 57, 94.
Aktivitaspolitik, 57. Dasar-
AhlulHalliwa al-`Aqdi, 75, 88. dasarhubunganinternas
Abdurrahman bin `Auf, 82, ional, 57.
83, 84. Dokumenresmi, 62, 81.
AhlusSyura, 88. De fakto, 64.
Dinamikakehidupan, 73.
Amanah, 92. Dinamikapemikiran, 74.
Administrasi, 97. Demokrasi, 80, 104.
Aspirasi, 106, 125, 128. Demonstrasi, 84, 86.
Aman, 107. Dasar-dasarpolitik, 95.
Antisipasi, 122. Dar al-Harb, 99.
Antusias, 133. Al-Dewan, 100, 103, 104,
105.
B Damai, 107.
Bai`at, 21, 25, 75, 78, 79, 81, Dhu`afa, 120.
84, 85. Disintegrasi, 137.
Bias, 1, 24. Delegasi, 150.
Bai`atAqabah, 3, 25, 28. Dialog, 152.
Baitul Mal, 3, 102, 110, 112, E
114, 124, 144, 145,. Eksploitasi, 3.
Batuasas, 26. Esensial, 9
Birokrasi, 97. Etnik, 11.
167

Ekslusif, 18, 100. Independen, 18.


EtnikAusdanKhazraj, 22, 24. Intrik-intrikpencitraan, 22.
Efektif, 29, 105. Intrik-intrikdiplomasi, 149.
Eksistensi, 58.. Interaksi, 35.
Eksekutif, 95. Imam Bukhari, 36.
Ekspansi, 97, 144, 146. Imamah, 76.
Imam, 76, 88.
F Implementasi, 76, 114, 144.
Fenomena, 8. Imarah, 78.
Fei, 67, 98, 99, 115, 143. Intimidasi, 80, 145.
Fasilitas, 103. Infantri, 100, 122.
Institusi, 106.
G Imperium Persia, 117.
Ghanimah, 67, 98, 112, 115, Imperium Romawi, 117.
143, 144. Integrasi, 136.
Gerakansparatis, 93, 94, 95. Isyarat, 150.
Gerakanekspansi, 97.
Gila jabatan, 98. J
Glamour, 119. Jujur( kejujuran ), 91, 92.
Genjatansenjata, 150. Jizyah( pajak ), 99, 110, 114,
143, 145.
H
Haqqulyakin, 1. K
Hidayah, 2. Konstitusi, 52, 53, 56.
Habsah( Ethopia ), 3, 10, 20. Konflik, 43, 54, 86, 146, 149.
Hijrah, 21, 25, 28. Kendalipolitik, 35.
Hakim ( Qadhi ), 27. Kondisi, 111, 108.
Harmonis, 61. Kondusif, 3, 32, 134, 156.
Hidupzuhud, 119. Kasta, 13.
Kordinasi, 3, 12.
I Konsekuensi, 19, 25, 86, 106,
Instruksi, 145. 107.
Instrumen, 4, 5. Kemaslahatanumat, 7.
IbnuKatsir, 23, 82, 118. 137. Kaum `Ad dankaumIram, 23.
Implikasi, 8. Komprehensif, 7, 8.
IbnuHisyam, 24. Komponen, 8.
Interpretatif, 9. KomunitasMuhajirindanAnsh
Implikasi, 13, 43. ar, 11, 77, 98.
168

Kondisisosial, 13, 101. Kedaulatan, 94.


Kepemimpinan presidium, 15. Khalid bin Walid, 94, 95.
KomunitasKhazrajdanAus, Konsisten, 97.
26. Komandanmiliter, 100.
Konsolidasikekuasaanpolitik, Kaveleri, 100, 122.
27, 98. Kesejahteraan, 102, 111, 143.
Kebijakanstrategis, 29, 104. Kontribusi, 103.
Keadilan, 32, 57, 107, 109, Konpensasi, 114.
142. Kompleks, 117.
Komitmen, 37, 67, 92, 93, KaisarYezdegrit III ( Kaisar
101, 104. Persia ), 118, 122.
Ketakwaan( taqwa ), 36. KaisarRomawiy, 118.
Komunitas, 40, 54. Kondisisosialekonom, 120.
Konfederasikesukuan, 44. Kesenjangansosial, 123, 141.
Kondisidarurat, 53. Klimaks, 127.
Konstitusional, 54, 55. Knflik, 137.
Kepalanegara, 54. Kontroversi, 140.
Kontemporer, 36, 65, 66, 67, Kompromi, 149.
80. Khawarij, 148, 151, 152.
Kualitas, 58. Konspirasi, 152.
Khalifah, 59.
Kaidah-kaidahasas, 59. L
Konstitusi, 59, 60, 61. Legitimasi, 25, 62, 81.
Kebijakanpolitik, 64. Langkahstrategis, 29, 35, 39,
KedaulatanMadinah, 66. 41, 42, 45, 66.
Kharraj, 67, 99, 110, 113. Langkahkongrit, 43.
Kestabilanpolitik, 72. Legislatif, 95.
Kredibelitas, 75, 86, 98, 101, Loyalitas, 64.
137. LautKaspia, 118.
Komisipemilihan( election
committee ), 81, 82, M
101. Manhaj, 1.
Kandidat, 84. MasyarakatJahiliyah, 13.
Kondisisosialpolitik, 86, 97, Manifestasi, 9
146. Manifesto politik, 3, 10, 26.
Khumus, 110, 112. Manuver, 19, 26.
Krisispolitik, 86. Muzakki, 111.
Khianat, 92. Manipulasi, 5.
169

Muhajirin, 42. Otoritaskekuasaan, 6, 7.


Modern, 56, 64, 65, 79, 80. Otomatik, 11, 29, 36, 61.
Musyawarah, 58, 73, 74, 76, MuhajirindanAnshar, 43, 45.
77, 79, 80, 82, 98, 104, Otoritas spiritual dan
105, 106. temporal, 73.
Mayoritas, 58. Ordinan, 81.
Mandatkekuasaan, 65.
MasyarakatMadani, 65. P
Murabbi, 67. Persamaanhak, 32, 108.
Murtad, 70, 72, 94. Profan, 7.
Mekanismepemilihan, 73,74, Potensial, 13, 56, 111, 112.
79, 87, 88. Partisipasi, 8.
Mekanisme, 76, 80, 104. Pemimpinotokrasi Quraisy,10.
Al-MuallafahQulubuhum, 99. Plural, 11, 45, 54.
Majelissyura, 107. Paganis, 11.
Mujtahid, 108. Putra Mahkota, 12.
Mustahiqqin, 112. Pra Islam, 13.
Massif, 128. PerangFijar, 14.
Mainstrem, 133. Perangkataturan, 29.
MajelisTahkim, 143, 150 Panatismegolongan, 43, 148.
Primordialisme, 43.
N Pragmatismekalkulasiuntungr
Netralitasnilai, 9 ugi, 44.
Normatif, 10. Piagam, 44, 45, 52, 53, 54, 57,
Nisbi( subjektif ), 38. 58, 61, 62.
Naskahpolitik, 52. Praktikadatistiadat, 56.
Negosiasi, 57. Perangkatkekuatanpolitik, 57.
Nilai-nilaidasar, 59. Perspektif, 62.
Nation state, 98. Praktis, 62.
Nepotisme, 98, 101, 123, 127, Pajak( Jizyah ), 66, 67.
137, 141. Politisasi, 94.
Numibia, 118. Perangriddah, 94.
Persaudaraan, 108.
O Pengadilan, 108.
Objektif, 2, 60. Persamaan, 109.
Orientasi, 5, 11. Persia, 117, 118, 124.
Orientasipolitik, 66. Presure group, 107.
Otoritas, 55, 62, 64. Propokator, 128.
170

Profesional, 143. SahifahMadinah(


Propokasi, 148. PiagamMadinah ), 11.
Situasi, 13, 86.
Q Syam( Syiria ), 13.
Qabilah, 14, 21, 54, 56, 64, Sistemkekerabatan, 13.
98. Strukturisasi, 18.
Quraisy, 14, 15, 16, 17, 18, Sosio-politik, 29.
19, 71, 78. Sosio-ekonomi, 29.
Qadhi( Hakim ), 142. Solidaritas, 29, 53, 136.
Qishas, 148. Sturkturkehidupan, 45.
Stabilitas, 53, 101.
R Strategiperang, 57.
Restrukturisasi, 3, 39, 41. Sistemik, 57.
Rasional, 5. Substansi, 60.
Rival, 5. Sparatis, 71, 93.
Relatif, 9, 41, 73. Syuro, 76, 146.
Raja Najjasi, 10. SaqifahBaniSa`idah, 76, 77,
Referensi, 22. 78, 79, 88.
Rekayasan, 22. Sa`ad bin Ubadah, 77.
Reformasi, 31, 136, 140, 141. Substansi, 79.
Realitas, 56, 58, 117, 150. al-Sidq ( integrity ), 91.
Relevan, 112. Sentralistik, 95.
Romawiy, 117. Sistembirokrasi, 96.
Reaksi, 125. Sosiologis, 99.
Realisasi, 137. Sejahtera, 117.
Rekrutmen, 141. Sirenika, 118.
Rekonsiliasi, 149. Side effect, 120.
Solid, 152.
S
Suakapolitik, 21. T
SunnahIlahiyah, 1. Transformasi, 29, 31, 32.
Sekular, 7. Territorial, 7.
Strata sosial, 15. Tradisi, 15, 99, 106.
Signifikan, 8, 60, 95, 112, Teoritis, 8.
114. Transit, 15.
Strategis, 11, 20, 21, 65, 91, Tragis, 17, 148, 152.
99, 123, 125, 143, 148. Terkordinasi, 28.
Transaksi, 31, 80.
171

Taqwa, 38. V
Toleransi, 40, 44, 53, 125. Vital, 40.
Tradisi, 58, Virus, 92.
Teknis, 73, 74, 111.
Transparan, 92. W
Tegas, 91. Wara`i, 98.
Tawadhu`, 91.
Tripoli, 118. Y
TradisiSunnahNabi, 126. Yaman, 13.
Yatsrib, 23, 24, 25, 26.
Yudikatif, 95, 100.
U
Undang-undangdasar, 52, 59. Z
Undang-undang, 56. ZamanJahiliyah, 14, 16.
`Usyur, 99, 110, 115. Zakat, 66, 98, 99, 110, 111,
143, 145.

Anda mungkin juga menyukai