Anda di halaman 1dari 6

POLITIK ISLAM Telaah Sistem Pemerintahan Masa Rasulullah Muhammad saw Pada Daulah Islam

Madinah Al Munawaroh

Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu perkara yang paling penting dalam sistem
politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan syara. Hanya
saja pesan-pesan syara yang sifatnya ilahi itu tidak dimonopoli oleh Kepala Negara (khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh
tokoh agama karena kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara (baik dari segi hukum maupun kewajibannya)
adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak
menyebabkan kelemahan negara Islam, malah justru memperkuatnya.
Kekuasaan khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat Islam. Kontrol
pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah serta tolok ukur yang jelas (yakni nash-nash syara) telah menjadikan
daulah ini kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad.
Sepakatlah semua pemikir muslim bahwa Madinah adalah negara Islam yang pertama, dan apa yang dilakukan
Rasulullah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat Islam dan memerankan dirinya bukan
hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai kepala negara Islam Madinah.
Landasan Politik di Masa Rasulullah
Langkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian
sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai
negara. Beberapa bukti bisa disebut, diantaranya:
1. Baiat Aqabah
Pada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di Yathrib bertemu dengan Rasululah di Aqabah,
Mina. Mereka datang untuk berhaji. Sebagai hasil perjumpaan itu, mereka semua masuk Islam. Dan mereka berjanji akan
mengajak penduduk Yathrib untuk masuk Islam pula. Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki penduduk Yathrib
menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk Islam, juga mengucapkan janji setia (baiat) kepada
Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak mengkhianati Nabi. Inilah
Baiat Aqabah Pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh lima penduduk Yathrib yang sudah
masuk Islam berkunjung ke Makkah. Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat juga,
yang isinya sama dengan baiat yang pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka berjanji akan
membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka, baiat ini dikenal dengan Baiat Aqabah Kedua.
Kedua baiat ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan batu pertama bangunan
negara Islam. Baiat tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yathrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti
pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak
melalui baiat melainkan melalui syahadat. Dengan dua baiat ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang terbukti sangat
berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar baiat ini pula Rasulullah meminta para
sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu kemudian Rasulullah sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.
2. Piagam Madinah
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang kemudian berubah menjadi
Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi
Muhammad, Penduduk Madinah ada tiga golongan. Pertama kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar,
dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Kharaj yang belum masuk

Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota
Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan
Yahudi Khibar. Jadi Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah memaklumkan
satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di Madinah, yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah)
Madinah.Inilah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piadam Madinah ini adalah konstitusi
negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.
3. Peran Sebagai Kepala Negara
a. Dalam negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya manusia, dan yang utama
sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah dan ketaatan kepada Syariat Islam. Di sinilah
Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya memberikan perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan
kepada para sahabat di Makkah, di Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring dengan turunnya wahyu. Rasul
membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah melakukan
pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan Rasulullah
mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan
masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai wajir. Juga mengangkat
beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz Bin Jabal sebagai wali sekaligus qadhi di
Yaman.
b. Luar Negeri
Sebagai Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari
(Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, diantaranya kepada Al
Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak
mereka masuk Islam, sehingga politik luar negeri negara Islam adalah dakwah semata, bila mereka tidak bersedia masuk
Islam maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.
Hubungan Rakyat dan Negara
Peran Rakyat
Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk
kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara
keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan yang
sinergis bila keduanya memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam,
1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas
al amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna kebahagiaan (mana saadah) dalam kehidupan adalah
mendapatkan ridha Allah. Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta
syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.
Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini
adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena
dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan
jalannya penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun
intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. Di sinilah potensi umat Islam
dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al Muslimin).
Aspirasi Rakyat
Dalam persoalaan hukum syara, kaum muslimin bersikan sami na wa athana. Persis sebagaimana ajaran al
Quran, kaum muslimin wajib melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam
masalah ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila
hukumnya sudah jelas maka tinggal melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri untuk mengetahui
hukum syara atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh
rakyat taat kepada syariat, dan negara melaksanakan kewajiban syaranya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak
apabila terjadi penyimpangan.
Di luar masalah tasyri, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah kada Rasulullah mengambil
suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli
dalam masalah yang dihadapi. Dan para sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah,
setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau pendapat Rasul sendiri.
Penegakkan Hukum
Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada
pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara yang
harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun.
Kesimpulan
1. Madinah adalah negara Islam pertama dengan Muhammad Rasulullah sebagai kepala negara. Praktek kenegaraan di
segala bidang berjalan dengan baik
2. Tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara. Keduanya adalah pilar penopang tegaknya hukum Allah dan penentu
tegaknya Izzul Islam wa al muslimin
3. Yang disebut sebagai aspirasi rakyat dalam negara Islam adalah terlaksananya serta terselenggaranya pemerintah dengan
sebaik-baiknyademi tercapainya tujuan dakwah Islam. Di luar masalah tasyri, menjadi tuntunan Islam keputusan
diambil dengan musyawarah baik berdasarkan suara terbanyak atau pendapat yang paling benar. Demi
terselenggaranya praktek kenegaraan dengan baik, penting sekali peran muhasabah (koreksi) dari rakyat kepada
penguasa
4. Hukum dijalankan atas semua warga, tanpa kecuali. Tidak ada grasi, amnesti, dispensasi, banding atau kasasi. Keputusan
qadhi adalah tinggal yang wajib dilaksanakan



Politik Hukum Islam pada masa Rasulullah dan khulafaurrasyidin

A. Kehidupan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin Dalam Menentukan Politik Hukum Islam
Rasulullah SAW pada masa hidupnya adalah tempat kembali umat islam dalam mengatur urusan kehidupan
mereka secara integral, baik dalam bidang hukum, peradilan dan operasionalnya. Undang-undang yang mengatur
urusan ini adalah wahyu dan petunjuk-Nya dalam berijtihad demi kemaslahatan, serta berdasarkan pendapat-
pendapat sahabat dalam kasus yang tidak ada dalilnya. Dasar yang mengatur urusan ini adalah melihat kebutuhan
umat dan menjalin kemaslahatan kehidupan mereka.
Rasulullah SAW meninggalkan kepada umatnya dua petunjuk, manusia tidak akan sesat apabila
menjadikannya sebagai petunjuk hidup yaitu al-quran maupun Hadis. Sedangkan dasar yang ketiga dalam
menghadapi kasus-kasus yang tidak ada nash nya, baik al-Quran dan Hadis adalah ijtihad sebagaimana
metodologinya sudah dikenalkan oleh Rasulullah SAW. Baik berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan. Hal ini
karena rasulullah SAW sering menyampaikan hukum dibarengi dengan sebab ( illah ) dan maslahah. Ini
merupakan pengakuan Rasulullah SAW terhadap hukum dan maslahah, sebab tujuan hukum islam adalah menarik
kemanfaatan dan menolak kerusakan, seperti contoh sabda Rasulullah SAW tentang larangan menikah antara
wanita dan bibinya sesungguhnya bila itu kamu lakukan berarti memutus kerabatmu . Dan sabdanya tentang
larangan menyimpan daging qurban yang kemudian diperbolehkan saya melarang kalian menyimpannya kecuali
untuk menjamu tamu .
Contoh peristiwa tersebut banyak sekali terlintas dalam hati umat islam, bahwa puncak tujuan hukum islam
adalah demi maslahah, apabila ada kemaslahatan, maka itulah hukum Allah Swt. Dan bagi umat islam mempunyai
peranan dalam merealisasi maslahah tersebut, apabila dalam kasus tertentu tidak didapatkan nash, maka
diperbolehkan untuk berijtihad.
Semangat ijtihad seperti ini pernah di tempuh oleh para sahabat khulafa al-Rasyidin setelah Rasulullah
wafat dalam mengatur urusan kepentingan masyarakat suatu pemerintahan, mereka menjadikan hukum Allah
SAW ( al-Quran ) sebagai struktur dan sistem pemerintahan negara, begitu juga hadis. Apabila ada peristiwa yang
tidak ada nashnya dalam al-Quran dan Hadits, maka mereka berijtihad. Sedangkan mengikuti jalan ijtihad adalah
untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia dan tidak bertentangan dalam kehidupan manusia selama tidak
bertentanangan dalam kehidupan manusia dan tidak bertentangan dengan spirit agama, sebab sebagaian ijtihad
sahabat ada yang kontradiksi dengan pemahaman dhahir nas. Seorang mujtahid tidak boleh dituduh salah, dan
metodenya tidak benar, selama tujuannya itu demi kemaslahatan dan menegakkan keadilan hukum Allah SWT.
Sebab untuk merealisasi keadilan hukum Allah SWT tersebut adalah dengan jalan berijtihad.
Abu bakar pernah berijtihad dan mengangkat Umar sebagai pemimipin umat islam. Begitu juga Umar
berijtihad waktu itu tidak ada seorang pun yang mengganti sebagai pemimipin, dan meninggalkan urusan yang
sebenarnya harus dimusyawarahkan antara enam sahabat. Ijtihad Abu Bakar dan Umar itu bukan berarti ijtihad
sahabat lain. Ijtihad Abu Bakar dan Umar dalam kasus tersebut tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw,
sebab Rasulullah tidak pernah menentukan figur seorang pemimipin, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu
Bakar, dan tidak meninggalkan asas bermusyawarah dengan enam sahabat, sebagaimana yang dilakukan Umar.
Dan tuduhan terhadap salah satu darinya bahwa bahwa ijtihadnya itu bertentangan dengan hukum Allah adalah
karena ijtihad itu bertujuan untuk kemaslahatan dan ijtihad dengan batas kemampuan maksimal.
Umar berijtihad dan menentukan talaq tiga kepada suami yang menjatuhkan talaq tiga dengan satu ucapan
sebagaimana firman Allah SWT.
Talaq ( yang dapat dirujuki ) dua kali. ( al-Baqoroh: 229 )
Bagi Umar ayat ini tidak samar lagi, karena talaq tiga kali pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan permulaan
Khalifah Umar adalah dianggap talaq satu. Pada masa Rasulullah ada seseorang laki-laki menjatuhkan talaq pada
isterinya kemudian berita itu sampai pada Rasulullah maka beliau bersabda Apakah dia main-main dengan kitab
Allah sedangkan saya masih ada dihadapan kalian . Bagi umar tidak samar lagi tentang hadits ini. Akan tetapi,
Umar melihat mayoritas manusia main-main dalam hal talaq, sehingga Umar menetapkan kepada kepada mereka
dengan ketetapan Rasulullah tersebut, untuk menghindari permainan manusia dalam masalah talaq. Inilah yang
dimaksud dengan komentar Umar Sesungguhnya manusia telah bergegas dalam melakukan sesuatu, padahal
mereka melakukan hal itu perlahan-lahan, meskipun kita mmelakukannya atas mereka. maka Umar
melakukannya. Oleh karena itu Ibn Taimiyyah berkomentar: sesungguhnya politik Umar menetapkan talaq tiga
dengan satu ucapan, dan Umar menutup pintu kebolehan ( tahlil ), tentu umpama diketahui bahwa manusia
mengikuti kebolehan ( tahlil ), tentu Umar berpendapat bahwa pengakuan mereka pada masa Rasulullah, Abu
bakar dan permulaan khalifah Umar itu lebih Utama.1[1]
Begitu juga dalam masalah peradilan dan metodologi hukum, para sahabat dalam menghadapi setiap dalil
didasarkan atas kemampuan hati yang efektif, petunjuk keadilan dan kebenaran, mereka tidak melihat terhadap
dalil tertentu yang membutuhkan keterangan saksi atau pengakuan.
Para sahabat dalam melaksanakan hukum melihat asas kemaslahatan situasi dan kondisi manusia, seperti
Umar tidak memotong tangan seorang pencuri pada musim sulit makanan dan tidak membagikan zakat kepada
golongan muallaf. Inilah kebijaksanaan yang ditempuh pemimpin islam pertama kali dalam merealisasikan hukum
islam,peradilan, dan aplikasinya dalam mengatur urusan pemerintahan, sehingga hukum islam tidak sempit sebab
timbulnya peristiwa baru, dan adanya kebutuhan yang mendesak serta tidak sempit dalam merealisasi
kemaslahatan dalam perubahan zaman. Dengan menempuh jalan seperti itu manusia tidak akan mengklaim bahwa
hukum islam itu statis. Isu tersebut tidak dikenal dalam hukum islam atau politik hukum islam. Akan tetapi, semua
hukum Allah itu bersumber dari al-quran dan hadits serta ijtihad dan ulama yang mengutamakan asas
kemaslahatan dengan mencurahkan otoritas intelektual dalam ijtihad, sebab Allah tidak menciptakan hukum islam
kecuali demi kemaslahatan bagi hamba-Nya.
Para mujtahid dalam situasi dan kondisi tertentu merasa kesulitan adanya batasan dan kesempitan
metodologi yang mereka ciptakan demi kemaslahatan manusia, mereka mencoba menghindar dari kesempitan
tersebut dengan menciptakan istihsan, seperti contoh akad muzaraah . akan tetapi, menurut kaidah ijtihad bahwa
muzaraah itu akad yang batal tetapi mereka berpendapat bahwa itu merupakan kebutuhan yang mendesak (
darurat ) demi kemaslahatan manusia, mereka memperbolehkan akad muzaraah dengar dasar istihsan. Dan
istihsan termasuk bagian ijtihad yang ditempuh oleh ulama salaf.
Karena adanya upaya mengesampingkan maslahah al-mursalah2[2] dalam hukum islam dan meninggalkan
aturan dalam peradilan dan metode khusus untuk mencapai suatu kebenaran dan aplikasinya, maka muncullah fiqh
islam yang mengatur urusan pemerintahan karena keterbatasan sisitem dalam merealisasi kemaslahatan manusia
yang relevan pada perkembangan zaman. Maka para pakar politik hukum dan lembaga eksekutif mencoba
mengaktualisasikan asas kemaslahatan bagi kehidupan manusia dan mengatur pemerintahan itu mengacu kepada
sistem dan undang-undang formal yang tidak ditetapkan oleh para ulama ahli ijtihad. Dan mayoritas mereka
menghendaki metode formal dan undang-undang pidana, karena mereka mempunyai tujuan mementingkan
stabilitas dan menghukum para pakar pelaku kriminal. Dengan demikian, kita harus mengambil dan berpegang
pada realita yang ada dan menghindar dari keterikatan metode ulama fiqh. Berangkat dari fenomena tersebut,
maka umat islam berpendapat bahwa sistem hukum itu ada dua macam:
a. Produk hukum yang dihasilkan oleh mujtahid fiqh berdasarkan atas metodologi yang mereka ciptakan
b. Kebijaksanaan para pakar politik dalam merealisasi kemaslahatan dalam menghadapi perkembangan zaman.
Macam yang kedua ini menurut situasi dan kondisi para ahli tersebut, kadang-kadang berkisar pada batasan untuk
merealisasi kemaslahatan yang tidak menyimpang dari batasan dan dasar-dasarnya secara totalitas, dan juga
kadang-kadang mengutamakan tujuan dan kemaslahatan yang bersifat tidak lengkap.
Ibn al-Qayyim mengutip dalam kitabnya al-turuq al-hukmiyyah dari Ibn Aqli dia berkomentar: politik
hukum islam itu sebagai sarana bagi umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan menghindar dari
kerusakan, meskipun sistem ini tidak pernah diletakkan Rasulullah SAW. Dan tidak ada wahyu yang turun karena
nya. Barangsiapa yang menganggap tidak ada politik kecuali yang sudah ditetapkan oleh hukum islam, maka
persepsi itu salah dan tentu menyalahkan sahabat, sebab seperti yang pernah dialami oleh khulafa al-Rasyidin

1[1] Abdul Wahhab Khallaf. Politik Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara kencana, 1994. Hlm 3
2[2] Mashalihul bentu jamak dari maslahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas, dengan
demikian Mashalihul Mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah menetapkan hokum berdasarkan
kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka.
yang tidak diingkari oleh para ulama ahli hadits yaitu kasus pembakaran yang dilakukan sahabat Ali terhadap
golongan zindiq dan pembakaran mushaf yang dilakukan oleh sahabat Usman.3[3]
Ibn al-Qayyim berkomentar dalam kitabnya: al-Turuq al-Hukmiyyah . Inilah tempat kesalahan dan
pemahaman yang menyesatkan dan sangat dangkal, ada kelompok yang melangar batas-batas, menyia-nyiakan hak
dan menjerumuskan kerusakan serta menjadikan hukum islam menjadi sempit dan tidak di tegakkan demi
kemaslahatan manusia. Mereka menutup jalan yang benar atas diri mereka dalam mengetahui kebenaran dan
aplikasinya. Mereka mengosongkan ilmunya dan mereka tidak mempunyai persepsi sesuai realita. Ketika para
pemimpin melihat masalah tersebut bahwa manusia tidak akan menjadi lurus urusannya kecuali dengan perintah
yang berangkat dari ketetapan politik. Maka berangkat dari pemahaman tersebut ternyata mereka krisis tentang
syariah, krisis politik dan muncul kerusakan yang berkepanjangan, sehingga masalahnya sulit untuk dideteksi.
Suasana alam semesta akan menjadi cemerlang dengan hukum yang didasari jiwa yang murni dan terhindar dari
kerusakan-kerusakan. Ada juga golongan yang bersikap berlebihan, dimana golongan ini memanipulasi sebagaian
hukum Allah dan Rasul-Nya. Kedua golongan ini terlihat sangat dangkal pemahamannnya terhadap ajaran wahyu
yang diturunkan allah SWT kepada Rasul-Nya, dan kitab yang diturunkan kepadanya, sebab Allah SWT mengutus
Rasul dan menurunkan kitab-Nya supaya manusia bersikap lurus dan adil yang tegak seperti langit dan bumi.
Apabila tanda-tanda keadilan nampak jelas, maka itulah hukum Allah SWT dan esensi agama-Nya. Sebab Allah
SWT Maha Mengetahui dan Maha adil dalam menetapkan hukum menuju jalan keadilan. Dan tidak menghapus
perkara yang sudah jelas, bahkan Allah SWT menjelaskan bahwa segala yang disyariatkan itu bertujuan untuk
menegakkan asas keadilan kepada para hamba-Nya dan mendorong manusia berbuat adil. Apabila ada jalan yang
berasaskan keadilan, maka itulah agama Allah SWT. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa politik yang adil
itu kontradiksi dengan hukum Allah SWT akan tetapi, politik yang adil itu relevan dengan islam. Bahkan itu
bagian darinya. Dan Abdul Wahhab Khallaf menyebut istilah politik, karena mengikuti istilah yang berkembang
diantara ulama, itulah keadilan hukum Allah dan Rasul-Nya yang sudah jelas.





3[3] Abdul Wahhab Khallaf, Politik hukum Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994, hlm 8

Anda mungkin juga menyukai