Anda di halaman 1dari 15

 Disusun oleh :

• Dimas Dwi M (3334170057)


• Rahmat Suryana (3334170019)
• Nur Abdillah (3334170033)
• Alfu Rijal (3334170077)
• Kandias Ahmad M(3334170094)
• Hardy Andriyansyach (3334170017)
• Agung Trisdian (3334170098)
• Andika M.C. Siahaan (3334170028)
• Habybur Rahman (3334170061)
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki nama kecil yaitu Pangeran Adipati Anom
Pangeran Surya Beliau menjadi sultan ke-5 pada tanggal 10 Maret 1651. Beliau
juga dikenal dengan julukan Pangeran Ratu Ing Banten. Beliau mendapat gelar
dari Makkah al-Mukarromah, dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah
Muhammad Syifa Zainal Arifin.
Gelar dan pengakuan dari dunia Islam ini tidak lah berlebihan. Dalam catatan
sejarah diakui bahwa masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa merupakan
zaman keemasan Banten. Banten beradapa pada puncak peradaban, baik dari segi
perdagangan, industri kreatif, ekonomi kerakyatan, dakwah dan kesenian.
Beliau memiliki minat yang kuat dalam bidang akademik, pendidikan, dan
penyaiaran Islam. Untuk membina mental pegawai, prajurit, dan rakyat, beliau
mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya.
Sultan Ageng Tirtayasa meneruskan dan mengembangkan wawasan
internasional yang telah disemai sejak Sultan Maulana Hasanudin. Sultan Maulana
Hasanudin sejak awal pendirian kerajaan Islam Banten, yang secara cerdik
memindahkan pusat pemerintahan dari pedalaman ke pesisir.
Di kawasan pesisir teluk Banten, Pangeran Surya membangun metropolitan
dengan visioner, mengeksplorasi keunggulan lokal berbasis sumber daya alam,
dan mampu memadukan bangunan tradisional dan pengaruh asing secara kreatif.
Pangeran Surya dikenal dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa sejak beliau tinggal
di keraton Tirtayasa, setelah mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan
oleh Abu Nasr Abdul Kohar atau Sultan Haji. Gelar Tirtayasa merupakan titel yang
diperoleh karena keberhasilan beliau membangun saluran air dari Sungai Untung
Jawa hingga ke Pontang. Pembangunan irigasi berdampak pada kemajuan
pertanian dan perdagangan hasil bumi serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat Banten. Karena saluran irigasi berfungsi sebagai untuk irigasi,
kemudahaan transportasi orang dan perdagangan, serta benteng pertahanan
perang sepanjang pesisir utara.
Namun,tragedi sejarah terjadi ketika Sultan Haji berkuasa. Sultan Haji berkomplot
dengan Belanda dan memakzulkan pesan-pesan orangtuanya, Sultan Ageng
Tirtayasa. Atas dasar itu, pada 27 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa
memimpin gerakan jihad, mengambil alih Keraton Sorosoan. Keraton dapat
diambil alih, dan Sultan Haji melarikan diri seraya meminta bantuan Belanda.
Pada tanggal 6 Maret 1682 Belanda menyerang Sorosowan dan berhasil mengusai
Kraton. Sultan Ageng Tirtaya mundur ke Tanara, memimpin gerilya dan kemudian
ditangkap dengan cara muslihat oleh Belanda melalui tangan Sultan Haji pada
tanggal 14 Maret 1683, kemudian dipenjara hingga wafat.
Api jihad yang dinyalakan Sultan Ageng Tirtayasa terus berkobar. Ketika Pelabuhan
dikuasai Belanda pada tahun 1684, Surosoan dihancurkan pada tahun 1809 dan
pusat pemerintahan dipindahkan oleh Belanda ke Serang pada tahun 1832, Masjid
menjadi benteng pertahanan terakhir umat Islam yang diharapkan mampu
membela hak rakyat. Masjid menjadi simbol kekuatan perlawanan. Masjid bukan
sekedar pranata agama, melainkan berperan sebagai kekuatan revolusioner untuk
memimpin gerakan sosial melawan penjajah Belanda.
Belajar dari sosok Sultan Ageng Tirtayasa, kita menemukan dalam diri beliau
karakter dan watak yang perlu dikembangkan sebagai berikut:

1. Percaya diri
2. Motivasi berprestasi
3. Kepemimpinan
4. Cerdas dan berpikir strategis
5. Kearifan budaya lokal Banten-Nusantara
6. Wawasan internasional
7. Kewirausahaan
8. Semangat jihad dan rela berkorban
9. Tidak mudah putus asa
Syekh Nawawi Al-Batani memiliki nama lengkap Muhammad ibn Umar ibn
‘Arbi al-Jawi al-Batani,lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Serang,
Banten pada tahun 1813 M atau 1230 H dan wafat di Mekkah pada tahun 1897
M atau 1314 H. Syekh Nawawi adalah anak dari pasangan Umar ibn ‘Arabi dan
Zubaedah sebagai ibunya. Syekh Nawawi hidup dalam lingkungan ulama yang
agamis. Ayahnya seorang ulama yang memimpin masjid dan Pendidikan
agama Islam di Tanara. Nawawi memperoleh Pendidikan agama pada masa
kanak-kanak langsung dibimbing oleh orang tuanya berupa pengetahuan
dasar bahasa arab, fikih, tauhid dan tafsir.
Pada masa remaja, Syeikh Nawawi belajar kepada K.H Sahal (Banten) dan K.H
(Purwakarta). Berkat ketekunan, kecerdasan dan keterbukaannya menerima
segala ilmu pengetahuan serta sikap beliau yang selektifdalam berkehidupan
sosial, menjadikan Syeikh Nawawi sebagai cendikiawan muslim yang mempunyai
banyak cabang keilmuan yang dipelajarinya.
Ketika Syeikh Nawawi berkesempatan pergi haji ke Mekkah pada usia 15 tahun, ia
bermukim disana selama 3 tahun untuk belajar dari tokoh tokoh ulama di Mekkah
dan Madinah. Kemudian ia kembali ke kampong halamannya dengan keberhasilan
menghafal al-Qur’an serta mengasai pengetahuan dasar bahasa Arab, ilmu Kalam,
ilmu Mantik, ilmu Hadis/Tafsir, dan terutama ilmu Fiqih. Tapi sesampainya ia di
Banten, suasana masyarakat masih diselamuti ‘kegelapan’ akibat penindasan
penjajah Belanda.
Akhirnya beliau memutuskan untuk pergi menimba ilmu ke Jazirah Arab yang
merupakan kepergian terakhirnya sebab ia tidak pernah kembali ke tanah air
sampai akhir hayatnya. Sejak kepergiannya yang kedua inilah, selama kurang lebih
30 tahun di Mekkah, ia belajar kepada guru-gurunya yang terkenal antara lain
Syeikh Nahrawi, dan Syeikh Abd al-Hamid al-Daghistani. Menurut Umar Abd al-
Jabbar, di samping para guru yang tersebut di atas, Syeikh Nawai juga belajar
kepada Syeikh Ahmad Dimyati dan yang lain-lainnya, yang termasuk para ulama
besar yang mengajar di Masjid al-Haram. Sedangkan di Madinah, ia belajar kepada
Syeikh Khatib Duma al-Hambaly.
Kemudian ia melanjutkan ke Mesir dan Syiria untuk belajar kepada beberapa ulma
di sana. Setelah selesai belajar, pada tahun 1860-1870 M, Syeikh Nawawi aktif
mengajar di masjid al-Haram. Ia adalah seorang guru yang simpatik, terang
penjelasnya, sangat dalam ilmunya dan ternyata juga sangat kuminkatif, sehingga
banyak banyak jemaah yang tertarik untuk mengikuti pengajiannya. Peserta yang
mengikiutinya adalah mahasiswa yang berdatangan dari berbagai negara, tetapi
sebagai besar berasal dari Indonesia. Di antara peserta yang datang dari Indoneisa
adalah KH Asnawi (kudus), dan KH Arsyad Thawil. Mata pelajaran yang
diajarkanya ialah ilmu Fiqih, ilmu Kalam, ilmu Tasawuf/Akhlaq, Tafsir, Hadis, dan
Bahasa Arab.
Syeikh nawawi adalah ulama besar di penghujung abad ke-19 M (permulaan abad
ke-14 H). Syaikh Nawawi sebagai ulama yang mempunyai kharismatik yang tinggi,
pengetahuan yang luas sehingga ia dikenal sebagai al-Faqih, alMujtahid, al-‘Alim,
al-‘Alamah, al-Wara’, al-Mutashawif, bahkan pada zamanya tergolong ulama
besar yang mendapat gelar Sayyidu ‘Ulama’ al-Hijaz.
Kemasyhuran dan keulamaannya diakui oleh dunia internasional. Lois Ma’luf,
seorang orientalis dan penyusunan kamus bahasa Arab terkenal, Al-Munjid,
mencantumkan nama Syeikh Nawawi sebagai tokoh masyur yang diakui oleh
dunia internasional. Selain itu, nama Syeikh Nawawi juga tercatat dalam
Dictionary of Arabic Printed Books, karangan Yousof Alian Sarkis yang beragama
Kristen dari Mesir. Bahkan di dalam buku itu juga ditulis 34 judul buku karangan
Syeikh Nawawi.
Walaupun namanya sudah “mendunia”, Syeikh Nawawi tetap bangga dengan
asal-asulnya, dengan ke-Bantenannya. Terbukti, di belakang namanya
ditambahkan dengan al-Jawi al-Bantani, dan bahkan al-Tanari. Penggunaan
nisbah al Jawi itu menyataka bahwa ia berasal dari kebangsaan Jawa. Penggunaan
nisbah al-Bantani untuk menyatakan daerah asalnya yaitu Banten. Sedangkan
nisbah al-Tanari, yaitu nama kampung tempat kelahirannya, Tanara.
Syeikh Nawawi dikenal sebagai ulama dan guru besar masjid al-Haram yang juga
menjadi pengarang produktif dan berbakat. Karangan-karangan syekh Nawawi
pertama kali diterbitkan di Mesir dan Mekah, kemudian beradar di dunia Islam,
terutama di negara-negara yang menganut mazhab Sayi’ie. Ide, gagasa, dan
pemikiran Syeikh Nawawi berpengaruh kuat, sehingga jejaknya sampai kini masih
tertanam pada masyarakat Islam. Karya yang ia wariskan, tetap digumuli para
santri di seluruh pelosok nusantara, Malaysia, Thailand dan Filipina Selatan. juga di
negaranegara Timur-Tengah.
Adapun mengenai karya-karya Seyikh Nawawi ini, para ulama Indonesia berbeda
pendpata tentang jumlahnya. Ada yang mengatakan 115 buah, ada yang
mengatakan 99 buah. Sedangkan Zamaksari Dhafir menyebutkan, berdasarkan
penelitian Sarkis, sebanyak 38 buah, tetapi ia hanya menyebutkan 11 buah saja.
Dari sekian karya tulis Syeikh Nawawi, antara lain meliputi bidang tauhid/ilmu
kalam, fiqih, akhlaq/tasawuf, ilmu bahasa dan kesusastraan arab, hadis, dan tafsir.
Wassalam

Anda mungkin juga menyukai