Anda di halaman 1dari 8

Dinasti dinasti kecil Barat di Baghdad

A. Latar Belakang
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, pembangunan dan pembinaan di berbagai aspek
seperti ekonomi, politik, social, dan budaya telah menimbulkan kemajuan dan
perkembangan yang besar. Namun pengedepanan terhadap pembinaan peradaban dan
kebudayaan dengan mengesampingan politik dan espansi mengakibatkan berbagai
masalah disintegrasi pada bidang politik yang terlebih sudah dimulai ketika masa
pemerintahan Bani Umayyah.
Namun ada perbedaan politik pada masa pemerintahan dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasiyah, yakni jika pada masa Dinasti Umayyah daerah kekuasaan sejajar dengan
batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai dari berdirinya hingga masa kehancurannya),
sedangkan ketika masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah daerah kekuasaannya tidak
pernah diakui oleh daerah Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat
sebentar-sebentar, bahkan pada kenyataannya terdapat banyak daerah yang tidak dikuasai
khalifah.1
Hal ini mengakibatkan bermunculannya dinasti-dinasti kecil yang terus berupaya
memerdekakan diri baik di bagian Timur maupun di Bagian Barat Baghdad. Berbagai
cara dilakukan demi pembebasan wilayah mereka pertama, seorang pemimpin local
memimpin suatu pemberontakan dan berhasil pemperoleh kemerdekaan penuh. Kedua,
seseorang yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah dan kekuatannya semakin
bertambah kuat.2
Setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah dengan kekuatan daerah atau
wilayah yang mereka bangun, mereka mendirikan dinasti-dinasti kecil yang berdiri
secara independen dan berusaha untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan
penaklukan daerah –daerah yang ada di sekitarnya.
B. Dinasti Idrisiyah (789-926 M)
Dinasti ini didirikan oleh salah seorang Syi’ah Idris bin Abdullah pada tahun 172
H?/789 M. oleh karenanya dinasti ini merupakan penganut Syi’ah yang tercatat sejarah
berusaha memasukkan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang halus.
Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW,yaitu
cucu dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib .3 dengan demikian, selain berhubungan langsung
dengan garis imam-imam Syi’ah, dia juga ikut bagian perlawanan keluarga Ali melawan
pemerintah Abbasiyah di Hijaz pada 169/786. Keterpaksaannya pergi ke Mesir, Afrika
Utara membuatnya mendapat dukungan dari para tokoh Barbar Zenata di Maroko,
bahkan menjadikannya sebagai pemimpin mereka. Hingga terbentuklah Dinasti Idrisiyah
yang namanya dinisbatkan pada Fez sebagai pusat pemerintahannya.

1
Sirr Wiliam Munir, the chaliphat, new york: AMS Inc, 1975, yang dikutip dari Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 64
3
Philip K. Hitti, History of the Arab. The Mac Millan Press, 1974, hlm 450
Paling tidak ada dua alas an berdirinya dinasti ini, yakni karena dukungan dari suku
Barbar dan karena letak geografisnya yang jauh dari Baghdad sehingga sehingga sulit
untuk ditaklukkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid (menggantikan Al-Hadi),
khalifah merasa resah akan berdirinya dinasti Idrisiyah ini. Dikirimkanlah pasukan untuk
memerangi, namun jarak yang jauh menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun
Ar-Rasyid memakai alternative lain dengan mengirim seorang mata-mata bernama
Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang pemerintahan Abbasiyah sehingga
mampu membunuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki
kepada Khalifah langsung.
Namun, terbunuhnya Idris bukan berarti runtuh juga bagi Dinasti Idrisiyah. Suku Barbar
membuat ikrar akan menjadikan kerajaan mereka merdeka dan independen. Dikabarkan
pula bahwa Idris meninggalkan hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika
anak ini lahir, suku Barbar memberikan nama bayi tersebut seperti ayahnya, yakni Idris
dan mengikrarkan sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan kepada
bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (Idris bin Abdullah) dan
disebut Idris II.
Berikut ini table daftar penguasa Dinasti Idrisiyah
No Nama Tahun Keterangan
1 Idris I bin Abdullah 789-793 M
2 Idris II bin Idris I 793-828 M
3 Muhammad bin Idris I 828-836 M
4 Ali bin Muhammad 836-849 M
5 Yahya I bin Muhammad 849-863 M
6 Yahya II bin Yahya I 863-866 M
7 Ali II bin Umar 866-? Tidak diketahui tahun
akhirnya
8 Yahya III bin Al-Kasim ?-905 Tidak diketahui tahun
akhirnya
9 Yahya IV bin Idris bin Umar 905-920 M
10 Hassan Al-Hajjam bin Muhammad bin 925-927 M
Al-Kasim
11 Kasim Ghannum bin Muhammad bin 937-948 M
Al-Kasim
12 Abu Ayah Ahmad bin Kasim 948-954 M
Ghannum
13 Hassan bin Kasim Ghannum 954-974 M

Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-
imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania dibawah satu kekuasaan politik,
mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tingga
Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Ali bin
Abi Thalib), pada tahun 1959 pada kota ini telah didirikan sebuah masjid Fathima dan
Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M), Dinasti Idrisiyah telah
membagi-bagi wilayahnya kepada depalan orang saudaranya, walaupun ia sendiri tetap
menguasai Fez dan memiliki semacam supremasi moral terhadap wilayah-wilayahnya.
Setelah ia memerintah selama masa yang cukup tenang, putranya bernama Ali
menggantikannya sebagai raja.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849 M), terjadi konflik antar keluarganya dengan
kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan
Ali pindah ke tangan saudaranya sendiri, yaitu Yahya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari
Andalusia dan daerah Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi
pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gedung-gedung megah, diantara gedung
yang dibangun pada masa itu adalah masjid Qairawan dan masjid Andalusia. Menurut
versu lain bahwa di kota itu didirikan pula sebuah masjid yang diberi nama
masjidFathima yang merupakan benih dari Universitas Qairawan yang terkenal pada
tahun 859 M. Tepat pada tahun 863 M, Yahya bin Muhammad meninggal dan
kekuasaannya berpindah ke tangan putranya, yaitu Yahya II.
Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidak
mahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya. Sehingga terjadilah pembagian
wilayah kekuasaan. Keluarga Umar bin Idris I tetap memerintah wilayahnya, sedangkan
Dawud mendapat wilayah yang lebih luas kearah Timur kota Fez. Keluarga Kasim
menerima sebagian dari sebelah Barat kota Fez bersama-sama dengan pemerintahan
wilayah Luwata dan Kutama. Husain (paman Yahya II), menerima wilayah Selatan kota
Fez sampai ke pegungungan Atlas. Disamping tidak bias mengatur pemerintahannya,
Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai
akibatnya ia harus melarikan diri karena harus diusir penduduk Fez dan mencari
perlindungan ke Andalusia sampai akhir hayatnya pada tahun 866 M.
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama
Abdurrahman bin Abi Sahl Al- Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan
mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara
sepupunya)Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Qairawan dan memulihkan
ketentraman dengan bantuan ayahnya. Menurut cerita lain bahwa setelah Yahya II diusir
oleh penduduk kota Fez, Ali bin Umar (paman dari ayah tiri Yahya) diangat untuk
menduduki tahta yang tak lama kemudian harus dilepaskan lagi akibat pemberontakan.4
Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi
tentram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintah dalam waktu yang cukup lama,
ia terpaksa harus menyerahkan kekuasaan kepada teman kerabatnya yang diberi nama
Yahya IV.

4
Ensiklopedi Islam, jilid I, hlm. 178
Yahya IV ini yang berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh
kerabat-kerabat lainnya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara
dua kekuasaan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan Dinasti Bani Fathimiiyah dari
Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara. Sebagaimana bahwa kedua
dinasti tersebut mempunyai aliran berbeda, yang satu beraliran sunni dan yang lain
beraliran syi’ah. Kedua kekuasaan tersebut secara hati-hati menghindari bentrokan
sehingga Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi daerah pertikaian
mereka.
Ada juga riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya dinisti Idrisiyah disebabkan oleh
Khalifah Muhammad Al- Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaanya kepada
saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya idrisiyah
secara politik. Perpecahan tersebut merupakan factor yang membahayakan keberadaan
Dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan dating pula dinasti Fathimiyah.5
Pada masa pemerintahan Yahya III, Dinasti Idrisiyah ditakllukkan oleh Fathimiyah dan
Yahya terusir dari kerajaan hingga wafatnya di Mahdiyah. Dengan berakhirnya Yahya,
berakhir pula riwayat Dinasti Idrisiyah.
C. Dinasti Aghlabiyah (800-909 M)
Bersamaan dengan dikirimnya Sulaiman bin Jarir ke Dinasti Idrisiyah, Khalifah Harun
Ar-Rasyid juga menyerahkan kawasan Tunisia kepada Ibrahim bin Aghlab dengan segala
hak-hak otonomnya dengan maksud menahan bila Idrisiyah melakukan ekspansi ke
negeri Mesir dan Syam. sebagai ganti setiannya, Ibrahin bin Aghlab menyerahkan pajak
tahunan sebesar 40.000 dinar ke Baghdad. Karena letak geografis antara wilayah Afrika
Utara dan pusat pemerintahan di Baghdad sangat jauh, daerah tersebut tidak mendapatkan
control yang efektif dari pemerintahan pusat. Akhirnya, dengan daerah Tunisia dan Al-
Jazair sebagai wilayah kekuasaannya, berdirilah dinasti Aghlabiyah.
Dinasti ini didirikan di Al-Jazariyah dan Sisilia oleh Ibrahim binAghlab, seorang yang
dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan ilmu administrasi, ia mampu
mengatur roda pemerintahan dengan baik. Secara periodic, dinasti Aghlabiyah ini
dikuasai oleh beberapa penguasanya, yaitu:
 Ibrahim bin Aghlab 800-811 M
 Abdullah I 816-816 M
 Ziyadatullah bin Ibrahim 816-837 M
 Abu Iqal bin Ibrahim 838-841 M
 Abu Al-Abbas Muhammad 841-856 M
 Abu Ibrahim Ahmad 856-863 M
 Ziyadatullah II bin Ahmad 863-864 M
 Abu Al-Ghranik Muhammad II bin Ahmad 864-874 M
 Ibrahim II bin Ahmad 874-902 M

5
Ameer Ali, Short History of the hlm. 583, new Delhi
 Abu Al-Abbas Abdullah II 902-903 M
 Abu Mudhar Ziyadatullah III 903-909 M

Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik


berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Dibawah pimpinan Ziyadatullah I, suatu
armada bajak laut dikerahkan untuk menggoyang pesisir Italia, Perancis, Cosica, dan
Sardina. Kemudian, pada tahun 827M, Ziyadatullah mengirim sebuah ekpsedisi untuk
merebut Sisilia dari Bizantium dan berhasil dikuasai tahun 902 M. Sisilia yang berada
di pulau laut tengah tersebut, dijadikan pangkalan untuk penyerangan daratan-daratan
Eropa yang Kristen.6konstribusi terpenting dalam espedisi ini adalah menyebarnya
peradaban Islam hingga ke Eropa. Bahkan renaisans di Italia terjadi karena tranmisi
ilmu pengetahuan melalui pulau ini.7

Dinasti ini juga terkenal dengan prestasinya dibidang arsitektur, terutama dalam
pembangunan masjid, pada masa Ziyadatullah yang kemudian disempurnakan oleh
Ibrahim II, berdiri dengan megahnya masjid yang besar, yaitu masjid Qairawan.
Menara mesjidnya yang merupakan warisan dari bentuk bangunan Umayah
merupakan bangunan tertua di Afrika. Oleh karena itulah Qairawan menjadi kota suci
keempat setelah Mekah, Madinah, dan Yerusalem.8 Selain itu dibangun pula masjid
di Tunisia pada masa kekuasaan Ahmad serta dibuat pula suatu peralatan pertanian
dan irigasi untuk daerah Ifrikiyah yang kurang subur.

Pada abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran,


dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarkan oleh Abdullah Al-Syi’ah atas
isyarat Ubaidillah Al-Mahdi telah menanamkan pengaruh yang kuat dikalangan
orang-orang Barbar suku Ketama. Kesenjangan social antarpenguasa Aghlab disatu
pihak dan orang-orang Barbar dipihak lain telah menambah kuatnya pengaruh itu dan
pada akhirnya membuahkan kekuatan militer.

Pada tahun 909, kekuatan militer tersebut berhasil menggulingkan kekuasaan


Aghlabid yang terakhir, Ziyadatullah III hingga Ziyadatullah diusir setelah gagal
mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusan di Baghdad. Ada juga yang
berpendapat bahwa Ziyadatullah kalah karena tidak melakukakan perlawanan apapun
sebelum Dinasti Fathimiyah mengadakan invasi. Dan sejak itu pula,

D. Dinasti Thuluniyah (868-901 M)

6
Brockelman, history of the Islamic peoples, New York: GP Putmnas Sons,t, th hlm, 156
7
Ensiklpedi Islam, jilid I, hlm. 66
8
C.E. Bosworth hlm. 46
Dinasti ini merupakan dinasti kecil pertama di Mesir pada pemerintahan Abbasiyah, yang
memperoleh hak otonom dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun,
seorang budak dari Asia Tengah yang dikirim oleh panglima Thahir bin Al-Husain ke
Baghdad untuk dipersembahkan kepada Khalifah Al-Ma’mun dan diangkat menjadi
pegawai istana.
Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang gagah, berani, dermawan, Hafidz, ahli
sastra, syari’at, bahkan militer.
Mulanya Ahmad Ibn Thulun dating ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah,
kemudian menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah.

………………………
E. Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M)
Dinasti ini didirikan oleh Muhammaf Ibn Tughi yang diberi gelar Al-Ikhdis (pangeran)
pada tahun 935 M. Beliau diangkat menjadi gubernur di Mesir oleh Khalifah Abbasiyah
pada saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan wilayah Nil dari
serangan kaum Fathimiah yang berpusat di Afrika Utara.
Dinasti Ikhsidiyah mempunyai peran strategis dalam menyokong dan memperkuat
wilayah Mesir. Pada masa itu, Mesir mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena
dengan kemiliteran Ikhsidiyah yang tangguh dan pasukan pengawal sejumlah 40.000
orang dan 800 orang pengawal pribadinya.
Pada masa Dinasti ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah
intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di masjid-
masjid dan rumah para mentri dan ulama. Dibangun pula pasar buku yang besar sebagai
pusat tempat berdiskusi yang dikenal dengan nama Syiaq al Waraqin.
Selama dua tahun setelah berkuasa di Mesir, dinasti ini mengadakan ekspansi besar
besaran dengan menundukan Siria dan Palestina ke daerah otonom wilayahnya.
Berikutnya, menaklukan wilayah Mekah dan Madinah. Bahkan menurut Bosworth, Kafur
(965-960 M) dan Ali Al-Ikhsyid (960-965 M) memiliki kekuasaan yang tidak terbatas.
Pada masa Kafur yang masyhur sebagau pelindung liberal kesusastraan dan seni,
beberapa serangan yang dilancarkan Fathimiyah di sepanjang pantai Afrika Utara dapat
diatasi. Akan tetapi, meninggalnya Kafur pada tahun 968 M, berpengaruh pada
melemahnya dinasti ini. Pada masa itu, Abu Al-Fawarisaris Ahmad Ibnu Ali (967-972 M)
yang menerima warisan tahta kekuasaan setelah Kafur tampaknya tidak bertahan lama,
dikarenakan kepemimpinannya yang tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di
Mesir sehingga mampu ditaklukan oleh Dinasti Fathimiyah.
Ada beberapa factor kehancuran dinasti ini, selain karena serangan terus menerus yang
dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah, sebelumnya pun sudah terjadi penyerangan
Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M. Selain itu juga, terjadi penyekapan Jemaah haji
Mesir serta serbuan orang-orang Nubia yang berhasil merampas daerah-daerah wilayah
Selatan.
F. Dinasti Hamdaniyah (972-1152 M)
Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun. Seorang Amir dari suku Taghlib.
Putranya Al-Husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Al- Hajja
Abdullah yang diangkat menjadi gubernur Mousul oleh Khalifah Al-Muktafi pada tahun
905 M.
Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh Khalifah
Abbasiyah karena beraliansi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani
Abas. Akan tetapi atas jasa putranya Husain Ibn Hamdan diampunilah oleh Khalifah
ketika itu.
Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan di Mousul
dan wilayah kekuasaan di Haib. Wilayah kekuasaan di Haib terkenal sebagi pelindung
kesusastraan Arab dan ilmu pengetahuan, muncul tokoh-tokoh besar seperti Abi Al-Fath
dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti bidang Nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu
Firas Husain Ibn Nashr Ad-Daulah, Abu al-Maari, dan Ad- Daulah sendiri yang
mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi.
Setelah meninggalnya Haija, tahta kerajaan beralih pada seorang putranya, yaitu Hasan
Ibn Haija yang diberi gelar Nashir Ad-Daulah oleh Khalifah dan Ali Ibn Haija diberi
gelar Syaif ad-Daulah karena berhasil menguasai daerah Haib dari kekuasaan Ikhsidiyah .
Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat beberapa factor. Pertama, sikap kebaduian yang
tidak bertanggung jawab dan sikap destruktif menyebabkan Suriah dan Al-Jazair merasa
menderita karena kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan sehingga menyebabkab
kurangnya simpati masyarakat.
Kedua, bangkitnya kembali Dinasti Bizantium dibawah kekuasaan Macedonia yang
bersamaan dengan berdirinya Dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan dinasti ini
sulit menghindari invasi wilayah kekuasaannya dari serangan Bizantium yang energik.
Invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriah mengakibatkan Allefo dan Himsh
terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Ketiga, kebijakan ekspansionis Fathimiyah ke Suriah bagian Selatan juga melumpuhkan
dinasti ini, sampai mengakibatkan terbunuhnya Said ad-Daulah yang tengah memegang
tampuk kekuasaan Dinasti Hamdaniyah.

Simpulan
 Paling tidak terdapat lima latar social politik munculnya dinasti-dinasti kecil di
bagian Barat Baghdad, yaitu
 Karena kebajikan Dinasti Abbasiyah yang lebih menitik beratkan
kemajuan peradaban dibanding melakukan ekpansi dan politisasi,
sehingga memberikan banyak peluang terhadap wilayah-wilayah
kekuasaan atau provinsi tertentu yang jauh dari pusat kekuasaan untuk
melepaskan dan memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah,
 Karena peta kekuasaah Abbasiyah tidak diakui oleh Spanyol dan seluruh
Afrika Utara kecuali Mesir, mengakibatkan daerah-daerah yang jauh
mendirikan dinasti-dinasti kecil
 Masalah fanatisme atau ras kebangsaan membuat dinasti-dinasti kecil
memerdekakan diri bahkan melakukan perluasan wilayah,
 Pemberian hak otonom dan terlalu lausnya wilayah kekuasaan Abbasiyah
menjadikan sulit terkontrolnya sebagian daerah kekuasaan.
 Proses pelapasan daerah-daerah kecil ini memakai salah satu dari dua cara, yaitu
menunjuk seseorang yang diangkat menjadi gubernur oleh khalifah untuk menjadi
pemimpin kekuasaan kecil dan seorang pemimpin local yang dituntut untuk
memimpin pemberontakan sehingga mendapatkan kemerdekaan penuh
 Bahwa munculnya dinasti dinasti kecil ini meski banyak mengancam kedudukan
Dinasti Abbasiyah namun juga banyak memberikan kontribusi terhadap
pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, kebudayaan sehingga perluasan
wilayah juga memberikan kontribusi terhadap pemerintahan pusat untuk
mengantisipasi serangan dari pihak luar.

Sumber: buku Sejarah Peradaban Islam karya Dedi Supriyadi

Anda mungkin juga menyukai