Anda di halaman 1dari 16

Nama: Abd Kafi

Prodi: Ekonomi Syaria


Fakultas: FEBI
Kelas: 3 A
Materi: sejarah peradaban islam

Dinasti Idrisiyah didirikan oleh salah seorang penganut Syi’ah, bernama Idris bin
Abdullah pada 789 M. Ia pernah ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz
terhadap orang-orang Dinasti Abbasiyah pada 786 M. Terbentuknya Dinasti Idrisiyah sangat
didukung oleh para tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara, yang sangat terkesan dengan
keturunan Ali bin Abi Thalib. Idris kemudian memilih kota Fez sebagai pusat
pemerintahannya. Dinasti Idrisiyah muncul menjadi pemerintahan yang kuat, selain karena
dukungan orang-orang Barbar Zenata, letak geografisnya yang sangat jauh dengan pusat
pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, membuat Dinasti Idrisiyah sulit untuk ditaklukan.

Pada masa khalifah Harus Ar-Rasyid, pemerintahan Abbasiyah merasa terancam


dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah. Ia kemudian memerintahkan pasukannya untuk
melakukan penyerangan ke wilayah Fez, namun gagal karena kurangnya persiapan. Sebagai
gantinya, khalifah mengirimkan mata-mata, bernama Sulaiman bin Jarir, yang berpura-pura
menentang pemerintahan Abbasiyah. Sulaiman yang berhasil masuk ke dalam pemerintahan
Idrisiyah mampu membunuh Idris dengan cara meracuninya.

Terbunuhnya Idris bin Abdullah tidak membuat kekuatan pemerintahan Idrisyah


menurun. Hal itu terjadi karena orang-orang Barbar Zenata segera menunjuk pengganti Idris,
yang bernama Idris II. Putra Idris bin Abdullah itu berhasil menyatukan suku-suku Barbar
Zenata, dan imigran-imigran Arab, di bawah satu kekuasaan politik. Mereka pun berhasil
membangun kota Fez menjadi kota suci tempat tinggal Shorfa (keturunan Nabi dari Husain
bin Ali bin Abi Thalib), dan kota pusat perdagangan. Sehingga pada masa Idris II dianggap
sebagia asa kejayaan dinasti Idrisiyah. Diantaranya peninggalann adalah
1. Kota Fez.
Di kota Fez ini terdapat bangunan kuno/bersejarah yang masih bagus kondisinya,
antara lain Mesjid Najjerine yang tempat ambil air wudhunya cantik dan antik sekali. Juga
terdapat makam para sufi dan ulama terkenal yang menjadi obyek ziarah populer umat Islam,
termasuk para ulama/kyai dari Indonesia. Seperti makam Syekh Abal Abbas Ahmad at-
Tijani, pendiri tarekat at-Tijaniyah, serta makam Syeh Abu Abdulloh Muhammad bin
Muhammad bin Daud as-Shonhaji, wafat tahun 723, pengarang kitab al-Jurumiyah yang
terkenal di seluruh pesantren di Indonesia.
2. Masjid Qairowan / Unifersitas Qairowan.

Mesjid Qurawiyyin. Didirikan pada tahun


857 M, yang menjadi cikal bakal Universitas Qurawiyyin. Mesjid Qarawiyyin yang kelihatan
kuno sekali, dibangun pada tahun 859 yaitu pada masa pemerintahan Yahya ibn Muhammad.
Mesjid ini adalah salah satu mesjid tertua dan terbesar di Afrika. masjid itu dijadikan
universitas pada tahun 859 M. Universitas Al-Qarawiyyin sebagai perguruan tinggi tertua dan
pertama di dunia itu bermula dari aktivitas diskusi yang digelar masjid itu. Komunitas
Qarawiyyin terdiri dari samasyarakat pendatang yang berasal dari Qairawan, Tunisia di kota
Fez menggelar diskusi itu di emper Masjid Al-Qarawiyyin.

Pada masa pemerintahan Muhammad bin Idris, Dinasti Idrisiyah membagi wilayah
kekuasannya kepada delapan orang saudaranya. Sementara, Muhammad bin Idris tetap
memerintah Fez dan memiliki kekuasaan terhadap delapan wilayah lainnya. Setelah berhasil
membangun Dinasti Idrisiyah selama masa yang cukup tenang, Muhammad bin Idris
digantikan oleh putranya Ali bin Muhammad.
Pada masa pemerintahan Ali bin Muhammad, terjadi konflik di dalam keluarga yang
menginginkan kekuasaan atas seluruh wilayah Dinasti Idrisiyah. Hingga akhirnya kekuasaan
Ali bin Muhammad berpindah ke tangan saudaranya, yaitu Yahya bin Muhammad. Pada
masa ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan beberapa wilayah di Afrika.
Kota Fez, sebagai pusat pemerintahan Dinasti Idrisiyah, berkembang dengan sangat pesat di
segala bidang kehidupan, termasuk banyak berdirinya bangunan-bangunan megah.

Kekuasaan kemudian berpindah kepada Yahya II, namun pada masa ini Dinasti
Idrisiyah mengalami kemerosotan yang disebabkan oleh ketidak cakapan Yahya II
menjalankan pemerintahannya. Akibatnya terjadilah perpecahan, dan terbaginya wilayah
kekuasaan Dinasti Idrisiyah. Selain itu juga Yahya II sempat melakukan perbuatan tidak
bermoral terhadap kaum perempuan. Sehingga ia pun diusir oleh masyarakat Fez, dan
mencari perlindungan ke wilayah Andalusia hingga akhir hayatnya.

Setelah terjadi kekosongan kekuasaan itu, muncul seorang tokoh bernama Ali bin
Umar, yang mengambil alih kekuasaan. Namun ia tidak memerintah lama karena terjadi
pemberontakan di wilayah Fez. Akhirnya Yahya III berhasil menduduki tahta kekuasaan
Dinasti Idrisiyah. Pemerintahan baru ini berhasil mengembalikan situasi di wilayah Fez
sehingga menjadi tentaram dan aman. Yahya III memerintah cukup lama, ia kemudian
menyerahkan kekuasaannya kepada teman kerabatnya yang mendapat gelar Yahya IV.

Pada masa pemerintahan Yahya IV, wilayah-wilayah yang sebelumnya terpecah dan
dikuasai kerabat-kerabat penguasa, dipersatukan kembali dalam satu pemeritahan politik.
Setelah kembali pulih, Dinasti Idrisiyah harus dihadapkan dengan konflik yang terjadi antara
Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Fatimiah di Mesir, dalam memperbutkan kekuasaan di
wilayah Afrika. Kota Fez pun menjadi wilayah pertikaian antara dua dinasti yang berbeda
paham ini.

Dinasti Idrisiyah pun akhirnya harus jatuh setelah perpecahan kembali terjadi, yang
membuat wilayah-wilayah Dinasti Idrisiyah terbagi ke dalam kekuasaan yang cukup banyak.
Perpecahan itu juga membuat kekuatan Idrisyah menjadi lemah, sehingga ketika datang
serangan dari Dinasti Fatimiah, mereka tidak dapat bertahan.
Dinasti Aghlabiayah

Dinasti Idrisiyah, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, adalah salah satu


ancaman bagi kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Oleh karenanya Khalifah Harun Ar-
Rasyid berusaha sekuat mungkin menahan pengaruh Dinasti Idrisiyah, yang ingin melakukan
ekspansi menyebarkan kekuasannya. Salah satu usaha khalifah itu adalah menyerahkan
kawasan Tunisia kepada Ibrahim bin Aghlab. Tujuannya adalah untuk menahan ekspansi
Dinasti Idrisiyah di wilayah Mesir dan Syam.

Ibrahim bin Aghlab diberikan hak penuh atas pemerintahan Tunisia, sebagai gantinya
ia harus menyerahkan pajak tahunan sebesar 40.000 dinar ke pemerintahan Abbasiyah di
Baghdad. Namun karena letak geografis antara wilayah Afrika Utara dan pusat pemerintahan
di Baghdad sangat jauh, maka kontrol dari pusat tidak berjalan baik. Karena hal itulah
Ibrahim bin Aghlab kemudian mendirikan Dinasti Aghlabiyah, dengan wilayah kekuasannya
mencakup daerah Tunisia dan Aljazair. Ibrahim bin Aghlab terkenal sangat cakap dalam
bidang administrasi pemerintahan. Sehingga ia mampu menjalankan pemerintahan Dinasti
Aghlabiyah dengan sangat baik. Ia berhasil membangun Dinasti Aghlibiyah menjadi
pemerintahan yang berpengaruh dalam dunia Islam.

Dinasti Aghlabiyah ketika berada di bawah pimpinan Ziyadatullah I berada pada masa
kejayannya. Ia mampu memimpin pasukan Aghlabiyah melakukan ekspansi hingga ke
wilayah Eropa. Ziyadatullah I pernah mengirimkan sebuah armada laut menuju wilayah
pesisir Italia, Prancis, Cosica, dan Sardia. Kemudian pada 827 M, Ziyadatullah mengirim
sebuah ekspedisi untuk merebut wilayah Sisilia dari tangan pemerintahan Bizantium. Sisilia
pun berhasil dikuasai pada 902 setelah melakukan serangkaian peperangan dengan pasukan
Bizantium. Sisilia yang terletak di wilayah strategis kemudian dijadikan sebagai pusat
komando pasukan Dinasti Aghlabiyah untuk menaklukan daratan-daratan Eropa.
Ziyadatullah memberikan kontribusi penting dalam sejarah Islam karena ia berhasil
menyebarkan peradaban Islam ke wilayah Eropa. Bahkan Renaisans di Italia terjadi karena
penyebaran ilmu pengetahuan melalui pualu Sisilia yang dikuasai Dinasti Aghlabiyah ini.
Dinasti Aghlabiyah terkanal dengan prestasinya di bidang arsitektur, terutama dalam
pembangunan arsitektur masjid. Pada masa Ziyadatullah, yang disempurnakan oleh Ibrahim
II, berdiri sebuah masjid yang sangat megah, yaitu Masjid Qairawan. Menara masjid yang
merupakan warisan dari bentuk bangunan masa Umayyah menjadi salah satu bangunan tertua
di Afrika. Wilayah Qairawan pun disebut sebagai kota suci keempat setelah Mekah,
Madinah, dan Yerussalem.

Pada akhir abad ke-9, Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran setelah
masuknya propaganda Syi’ah oleh Abdullah Al-Syi’ah atas perintah Ubaidilah Al-Mahdi. Ia
telah menanamkan pengaruh yang kuat di kalangan orang-orang suku Ketama. Ditambah
adanya kesenjangan sosial antara keluarga Aghlab dengan orang-orang Ketama. Sehingga
muncul sebuah kekuatan militer baru menentang pemerintah Aghlabiyah.

Pada 909 M, kekuatan militer baru itu berhasil menggulingkan pemerintahan terakhir
Dinasti Aghlabiyah, pimpinan Ziyadatullah III. Dinasti Aghlabiyah pun gagal mendapatkan
bantuan dari pemerintah pusat di Baghdad, sehingga Ziyadatullah diusir ke Mesir. Sejak saat
itu wilayah Ifrikiyah dikuasai oleh orang-orang Syi’ah, yang masa selanjutnya membentuk
Dinasti Fatimiah.

Dinasti Thuluniyah.

Dinasti Thuluniyah adalah dinasti kecil pertama di Mesir yang mendapatkan hak
otonom dari pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Dinasti Thuluniyah didirikan oleh Ahmad
bin Thulun, seorang budak dari Asia Tengah yang dikirim oleh Panglima Thahir bin Al-
Husain ke Baghdad sebagai persembahan untuk Khalifah Al-Makmun. Di Baghdad, Ahmad
bin Thulun diangkat menjadi kepala pegawai istana. Ahmad bin Thulun dikenal sebagai
sosok yang gagah berani di medan perang, tetapi tetap dermawan, serta seorang Hafidz, ahli
sastra, dan ahli syariat. Ahmad bin Thulun kemudian diutus ke Mesir sebagai wakil Dinasti
Abbasiyah. Lalu dalam perkembangannya, ia naik tahta menjadi gubernur yang wilayah
kekuasaannya hingga ke Palestina dan Suriah.

Pada masa Khalifah Al-Mu’taz, terjadi distabilitas politik di wilayah kekuasaan


Abbasiyah. Hal itu lantas dimanfaatkan oleh Ahmad bin Thulun untuk mendeklarasikan
kemerdekaan wilayah yang dipimpinnya. Akhirnya terbentuklah Dinasti Thuluniyah, yang
wilayah kekuasaannya mencakup Mesir, Palestina, Siria, dan Hijaz. Meskipun telah
membentuk kekuasaannya secara independen, Dinasti Thuluniyah tetap berhubungan baik
dengan pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah. Setiap tahunnya, Dinasti Thuluniyah
membayar pajak kepada Dinasti Abbasiyah sebanyak 300.000 dinar.

Posisi Ahmad bin Thulun yang semakin kuat, membuat salah seorang kerabat
khalifah, yaitu Al-Muwaffaq, merencanakan penyerangan terhadap Dinasti Thuluniyah,
dengan cara memengaruhi khalifah Al-Mu’tamid. Ia merasa iri dengan keberhasilan Ahmad
bin Thulun. Tetapi rencana tersebut gagal dilaksanakan karena Dinasti Thuluniyah memiliki
pasukan yang tangguh dan terlatih, sehingga pasukan khalifah berhasil dihalau. Setelah
kejadian penyerangan itu, Ahmad bin Thulun menderita sakit hingga akhirnya wafat pada
usia 50 tahun. Kekuasaannya kemudian digantikan oleh putranya, Al-Khumarwaihi. Pada
masa pemerintahan Al-Khumarwaihi, Dinasti Thuluniyah berada pada masa kejayannya.
Ketika itu, Khalifah Al-Mu’tamid terpaksa menyerahkan wilayah Mesir, Siria, Aljazair, dan
gunung Tauruts, kepada pemerintahan Thuluniyah.

Pada masa ini pun berbagai prestasi telah diukirkan oleh Dinasti Thuluniyah, salah
satunya kemajuan di bidang seni dan sastra. Pada bidang seni, telah dibangun sebuah masjid
yang sangat megah, bernama masjid Ahmad bin Thulun. Keistimewaan masjid itu terletak
pada menaranya yang sangat indah dan megah.
Selain masjid, dibangun juga
sebuah bangunan istana bernama Istana Al-Khumarwaihi. Salah satu bagian istana seluruh
dindingnya dibangun berlapiskan emas dan dihiasi ukiran yang sangat indah. Istana Al-
Khumarwaihi dibangun di tengah-tengah kebun yang sangat indah.

Prestasi lainnya ada pada bidang militer, Dinasti Thulunuyah mempunyai 100.000 prajurit
yang sangat terlatih dan cakap dalam berperang. Para pasukan berasal dari wilayah Turki dan
budak dari Afrika. Dinasti Thuluniyah membangun benteng-benteng pertahanan yang sangat
kokoh di setiap wilayah kekuasaannya. Pada masa itu juga dibangun banyak irigasi untuk
menunjang pertanian yang terletak di lembah sungai Nil.

Setelah Al-Khumarwaihi wafat, terlihat adanya tanda-tanda kemunduran dari Dinasti


Thuluniyah. Hingga pada masa pemerintahan terakhir, di bawah pimpinan Saiban bin Ahmad
bin Thulun, muncul banyak sekte keagamaan yang berpusat di Gunung Siria. Kemunculan
sekte keagamaan, yang dapat berujung pada pemberontakan itu, tidak dapat dikendalikan
oleh Saiban. Ditambah datangnya serangan dari pasukan Dinasti Abbasiyah untuk
menaklukan Dinasti Thuluniyah. Karena kekuatannya telah melemah, akhirnya Dinasti
Thuluniyah berhasil ditaklukan.
Dinasti Iksidiyah

Dengan runtuhnya Dinasti Thuluniyah, Mesir kembali berada dalam kekuasaan Bani Abbas
di Baghdad. Namun lahirnya Dinasti Fathimiyah di Thunisia mendatangkan ancaman baru.
Oleh karena itu khalifah al-Radhi mengangkat Muhammad Bin Taghj menjadi amir di Mesir.
Di Mesir, Muhammad Bin Tughi dapat memulihkan keamanan dan membangun kembali
pemerintahan wilayah. Untuk memberikan penghargaan atas jasa-jasanya, khalifah
memberikan gelar al-Ikhsyid. Apapun alasannya, legalitas gelar Ikhsyid menunjukkan betapa
kuatnya pengaruh Muhammad Ibnu Taghj di Mesir.

Dua tahun setelah pengangkatannya sebagai gubernur langkah Muhammad Ibnu


Taghj mengikuti langkah Ahmad Ibnu Thulun, dengan menganeksasi Syam dan Palestina ke
wilayahnya, setahun kemudian menguasai Makkah dan Madinah. Akhirnya, dengan
memanfaatkan lemahnya kekuatan Bani Abbas di Mesir, maka pada 935 M, Abu Bakar
Muhammad Ibnu Taghj memaklumkan dirinya terlepas dari khalifah Abbasiyah.

Pada masa beliaupun banyak kemajuan yang dicapai diantaranya.

1. Kemajuan di bidang pengembangan wilayah. Sebagaimana penguasa sebelumnya


untuk menjaga stabilitas keamanan di Mesir, penguasa Ikhsyidi berusaha menguasai
wilayah Suriah secara keseluruhan utamanya daerah Sugur sebagai benteng dari
serangan Byzantium. Setelah itu, Ikhsyidi melebarkan sayap hingga ke negeri Hijaz
dan menjadi Musyrif (pengawas) al-Haramain. Kafour sebagai pengganti Ikhsyidi
meneruskan menjaga keutuhan wilayah bahkan meluas hingga ke pegunungan Taurus.
2. Kemajuan di bidang kebudayaan. Kemajuan di bidang ini tidaklah jauh berbeda
dengan kemajuan yang dicapai oleh dinasti sebelumnya. Di antara hasil budayanya
adalah dibangunnya sebuah istana di Pulau Raudah yaitu Istana al-Mukhtar, istana ini
dikelilingi oleh tanaman yang dinamakan tanaman al-Kafuriy. Di samping itu pula
para penguasa Bani Ikhsyidi juga mencetak mata uang yang bergambar penguasa-
pemguasa Ikhsyidi, di samping nama khalifah Baghdad.
3. Kemajuan bidang sosial dan politik. Hal ini didasari oleh keinginan rakyat Mesir
untuk merasakan keamanan, maka sebagai politikus ulung, Ikhsyidi menerima
tawaran damai dari penguasa Byzantium dan al-Hamdaniyah. Ia memandang bahwa
untuk menciptakan negara yang aman dan sejahtera, harus menjamin negara dari
ancaman luar, sedangkan Byzantium dan al-Hamdaniyah dapat menjadi ancaman bagi
stabilitas Ikhsyidiyah.
4. Bidang keilmuan. Keadaan sosial internal Ikhsyidiyah memungkinkan perkembangan
ilmu, apalagi Kafour sebagai penguasa yang senang terhadap sastra dan seni dan
sangat mencintai ilmu. Para penyair berdatangan ke Mesir di antaranya adalah penyair
kondang Abu al-Tayyib al-Mutanabbi. Pada masa Kafour ini pula muncul sejarawan
terkenal seperti al-Haddad dan al-Hasan Bin Zaulaq.
Muhammad Ibnu Taghj al-Ikhsyidi setelah wafat diteruskan oleh empat orang anak
cucunya yang menjadi amir yaitu: Abu al-Qasim Naghur Ibnu Muhammad, Abu Hasan Ali
Ibnu Muhammad (960-965 M), Kafour al-Ikhsyidi (965-967 M), Abu al-Fawaris Ahmad Ibnu
Ali (967-972 M). Akan tetapi amir kedua dan ketiga itu sebenarnya hanya dua pengusaha
boneka, penguasa yang sesungguhnya adalah Kafour. Kehidupan kedua amir itu diatur oleh
Kafour, tidak diberi kesempatan untuk bergaul dengan orang lain dan tidak bisa berbuat
layaknya seorang penguasa tertinggi, keduanya hanya menjadi amir dalam sangkar istana.

Sejak Kafour berkuasa secara resmi, menjadi amir keempat dinasti Ikhsyidiyah yang
sebelumnya dijabat secara ad interim selama 22 tahun. Setelah Kafour wafat (968 M)
diangkatlah Ahmad Bin Ali al-Ikhsyidi yang masih berusia 11 tahun sebagai amir kelima.
Lemahnya penguasa ini menimbulkan kondisi instabilitas yang memicu lahirnya
pertentangan antara pembesar di lingkungan istana. Suasana perebutan ambisi itu terus
mewarnai istana menyebabkan lemahnya dinasti ini di segala bidang, dan akhirnya pada 358
H. di bawah panglima Jauhar al-Siqily, tentara Fatimiyah memasuki Fustat menguasai Mesir
dan mengumumkan akhir sejarah Daulah Ikhsyidiyah.
Dinasti Hamdaniyah.

Dinasti Hamdaniyah didirikan oleh Hamdan bin Hamdun, seorang Amir dari Suku
Taghlib. Hamdan bin Hamdun memiliki dua orang putra yang berkuasa pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yakni Al-Husain, yang merupakan panglima perang di
kemiliteran Abbasiyah, dan Abu Al-Haija Abdullah, yang diangkat menjadi Gubernur Mosul
oleh Khalifah Al-Muktafi pada 905 M.

Hamdan bin Hamdun pernah ditangkap oleh pemerintah Abbasiyah karena terindikasi
melakukan tindakan pemberontakan. Diketahui, Hamdan beraliansi dengan kaum Khawarij,
yang terkanal sebagai kaum pembangkang dalam Islam, untuk menentang kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Namun atas jasa putranya yang menjadi panglima perang pemerintah Abbasiyah,
Hamdan bin Hamdun diampuni dan dibebaskan dari segala tuduhan oleh Khalifah Abbasiyah.

Wilayah kekuasaan Dinasti Hamdaniyah terpusat di dua daerah yang cukup strategis,
yaitu wilayah Mosul dan wilayah Halb. Pemerintahan Hamdaniyah di Halb terkenal sebagai
pelindung kesusastraan Arab dan ilmu pengetahuan Islam yang sangat tinggi. Pada masa
pemerintahan Dinasti Hamdaniyah di Hamdaniah muncul tokoh-tokoh cendikiawan besar,
seperti Abi Al-Fath, dan Usman bin Jinny, yang mengembangkan ilmu Nahwu. Kemudian di
bidang ilmu kesusastraan terdapat beberapa nama besar, seperti Abu Thayyib Al-Mutannabi,
Abu Firas Husain bin Nashr Ad-Daulah, Abu A’la Al-Ma’ari, dan Syaif Ad-Daulah. Serta
lahir juga seorang filsuf besar, yaitu Al-Farabi.

Setelah wafatnya Abu Al-Haija Abdullah, kekuasaan pemerintahan Mosul beralih pada
putranya, Husain bin Abu Haijal, yang diberi gelar oleh khalifah sebagai Nashir Ad-Daulah.
Putranya yang lain, yakni Ali bin Abu Haija, berhasil menguasai wilayah Halb dan Hims dari
kekuasaan Dinasti Ikhsidiyah. Ali bin Abu Haija kemudian mendirikan pemerintahan Dinasti
Hamdaniyah di Halb.

Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan Dinasti Hamdaniyah turun dari


kekuasaannya, seperti hilangnya kepercayaan dan simpati masyarakat ketika pemerintahan
Hamdaniyah tidak bersikap adil terhadap kepentingan masyarakat di seluruh wilayah
kekuasaannya. Hal itu menyebabkan wibawa Dinasti Hamdaniyah jatuh. Faktor lainnya
adalah kembali bangkitnya kekuasaan Bizantium, yang ketika itu kembali melakukan
ekspansi perluasa wilayah kekuasannya. Beberapa wilayah Hamdaniyah menjadi sasaran
ekspansi tersebut, sehingga membuat Hims terlepas dari kekuasaannya. Faktor terakhir
adalah penyerangan yang dilakukan kaum Fatimiah, menyebabkan pemimpin Hamdaniyah
ketika itu, Said Ad-Daulah wafat. Hal itu membuat kekuasaan Dinasti Hamdaniyah perlahan
runtuh dan hancur.

Dinasti Thahiri

Dinasti Thahiriyah ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H/820-872M)
seorang yang berasal dari Persia, lahir di desa Musanj dekat Marwa di Khurasan. Ia
adalah seorang Jenderal dengan jabatan Panglima tentara pada masa pemerintahan Al-
Makmun Khalifah ke-7 yang berkuasa antara tahun 198-218H/813-833M Khalifah Al-
Makmun memberi kesempatan kepada Thahir Ibn Al-Husayn untuk memegang jabatan
gubernur di Mesir pada tahun 205 H, Kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan
wilayah Timur. Thahir Ibn Al-Husayn yang memerintah tahun 205-207H menjadikan kota
Marwa sebagai tempat kedudukan kegubernuran.

Thahir muncul ketika pada masa pemerintahan Abbasiyah terjadi perselisihan antara
kedua pewaris tahta kekhalifahan antara Muhammad Al-Amin yang memerintah tahun 194-
198H/808-813M anak dari Harun Al-Rasyid dari istrinya yang keturunan Arab yang bernama
Zubaidah sebagai pemegang kekuasaan di Baghdad dengan Abdullah Al-Makmun anak dari
Harun Al-Rasyid dari Istrinya yang berketurunan Persia sebagai pemegang kekuasaan di
wilayah sebelah Timur Baghdad. Dalam perselisihan itu Thahir yang terkenal sebagai ahli
perang bermata satu berada dipihak Al-Makmun. Dan berhasil memenangkan perselisihan itu

Kemenangan dan kemahiran Thahir dalam berperang Ia mendapat hadiah jabatan dari
Al-Makmun Menjadi Gubernur di kawasan Timur Baghdad yakni Tahun 205H-207H/820-
822M. Pada tahun 207H/822M Thahir meninggal dunia dengan tiba-tiba karena penyakit
demam yang dideritanya. Persi lain menyatakan bahwa Ia meninggal karena keracunan.

Setelah Thahir Ibnu Al-Husyein Wafat jabatan Gubernur dilimpahkan oleh Khalifah
kepada anaknya yaitu Thallhah Ibnu Thahir yang memerintah selama enam tahun, yaitu tahun
207-213H. Pada masa pemerintahan Thalhah bin Thahir ini Ia berupaya meningkatkan
hubungan kerja sama dengan pemerintah pusat.

Pada era pemerintahan gubernur di Khurasan di jabat oleh Abdullah Ibn Thahir telah
berhasil mempertahankan hubungan baik dan setia dengan pemerintah Daulah Abbasiyah di
Baghdad bahkan daerah Mesirpun diserahkan kepada penguasaan Abdullah Ibn Thahir pada
tahun 210H yang pada masa itu sempat menimbulkan gejolak karena hubungan dekat dan
kepercayaan yang diberikan oleh Al-Makmun yang cukup besar dan luas menjadi wilayah
kekuasaan Abdullah Ibn Thahir bahkan sampai ke daerah Syria.

Para ahli sejarah mengakui pada zaman Thahiriyah adalah dinasti yang telah
memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan, dan Ilmu pengetahuan
Dunia Islam. Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi salah satu pusat perkembangan ilmu
dan kebudayaan di Timur bahkan pada masa ini negeri khurasan menjadi dalam keadaan
makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga mendukung kegiatan ilmu dan
kebudayaan pada umumnya

Maka pada tahun 213 H, wilayah kekuasaan Abdullah Ibn Thahir mulai dipereteli,
khalifah Al-Ma’mun setelah Ia menguji kesetiaan Abdullah Ibn Thahir yang ternyata telah
cenderung memihak musuh abadi Daulah Abbasiyyah, keturunan Ali Ibn Abi Thalib.
Sesudah Abdullah Ibn Thahir, maka jabatan gubernur khurasan dipegang oleh saudaranya
Muhammad Ibn Thahir, yang merupakan gubernur terakhir dari Daulah Thahiriyyah.
Selanjutnya kekuasaannya menjadi lebih lemah, karena daerah kekuasaannya kawasan
khurasan diambil alih (dianeksasi) oleh Bani Saffari melalui perjuangan bersenjata, adapu
Dinasti Saffarimerupakan saingan Bani Thahiriyah di Sijistan.
Walaupun beberapa kekuasaan atas wilayah-wilayahnya telah dikurangi oleh khalifah,
namun Daulah Thahiriyyah ini terus juga memperluas wilayahnya dengan cara
mempertahankan hubungan baik dengan Daulah Abbasiyyah serta saling membantu dalam
menjalankan dan mengendalikan wilayah kekuasaannya. Akan tetapi Daulah Thahiriyyah di
Khurasan mendekati masa masa kemunduran, tampaknya Bani Abbasiyyah mulai
menunjukkan perubahan sikap. Kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Banu Saffari
yang sudah menggerogoti dan melakukan infiltrasi, melancarkan intervensi dan invasinya
untuk menguasai Khurasan.

Dalam keadaan Daulah Thahiriyyah melemah, maka Bani Alawiyin dan pengikutnya
di Tabaristan menggunakan peluang dengan melakukan gerakan perlawanan. Bersamaan pula
dengan gerakan dari Bani Saffari yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari Selatan, maka
pada tahun 259H Jatuh dan berakhirnya Daulah Thahiriyyah. Namun msi tetap diandalkan
oleh dinasti Abbasiyah tuk menjaga keamanan

Dinasti Shaffariyah

Dinasti Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di
dunia Islam. Wilayah kekuasaan Dinasti Shaffariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Dinasti
ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang pemimpin kelompok khawarij di
Provinsi Sistan.

Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Shaffari didirikan oleh Ya’qub bin al-Laits
al-Shaffar, Dinasti ini lebih singkat jika dibandingkan dengan Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini
hanya bertahan selama 21 tahun. Ia berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil
bekerja di perusahaan orang tuanya. Keluarga ini berasal dari Sijistan. Selain ahli dalam
bidang ini, ia juga di kenal gemar merampok, tetapi dermawan terhadap fakir miskin.
Menurut Boswort, sekalipun singkat, kelompok Shaffariyah ini memiliki kekuasaan
yang cukup luas dan megah. Pada waktu itu Ya’kub mendapat simpati dari pemerintah
Sijistan karena dinilai memiliki kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu, Ya’kub ditunjuk
untuk memimpin pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian
Timur, khusunya di Sijistan, ia berhasil mengalahkan para pembangkang dalam waktu relatif
singkat. Akhirnya ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad setelah ia
menjabat Amir di Khurasan. Selanjutnya, menguasai kota Harat dan Busang. Setelah berhasil
mengusir tentara Thahiriyah, akhirnya ia menjadi pemimpin di daerah itu. Ya’kub juga
menaklukan sisa-sisa kekuasaan yang pernah di kuasai oleh Thahiriyah yang masih setia di
Khurasan sehingga kekuasaannya semakin luas dan mantap.

Shaffariyah juga dikenal sebagai dinasti yang dipimpin oleh rakyat jelata, dan
perilaku mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen-elemen mereka juga tokoh-tokoh
radikal. Sebagai pimpinan Dinasti Abbasiyah Ya’kub ibn Layts al-Saffar sebagaiamana telah
disebutkan sebelumnya adalah merupakan seorang pandai besi atau ahli dalam menempa
tembaga atau kuningan, semacam mpu di Jawa yang diwarisi secara turun-temurun. Gelar al-
Saffar yang diletakkan di belakang namanya ini sebenarnya diambil sesuai dengan
keahliannya yaitu ahli dalam menempa besi.

Kegagalan usaha keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang


mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan gerakan perampokan. Sasaran dari
kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melintas di tengah perjalanan, kemudian
diserang dan diambil harta mereka kemudian diberikan kepada para fakir miskin.

Ya’kub menjadi pemimpin dinastinya kurang lebih sebelas tahun. Setelah ia


meninggal pada tahun 878 M, kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya, Amr Ibn Al-
Laits. Sikap Amr ini tidak keras seperti saudaranya, Ya’kub, bahkan sebelum ia diangkat
menggantikan Ya’kub, ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan Baghdad yang
intinya akan mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh Baghdad pada daerahnya.
Dengan demikian, pengangkatan Amr pun mendapat sokongan dari Baghdad.

Pada saat khalifah Baghdad dipegang oleh Al-Mu’tadid, Baghdad tetap mengakui
kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar istana
menahan Amr, kemudiaan memberikan kekuasaan kepada cucunya, Thahir Ibn Muhammad
Ibn Amr. Setelah Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr, kekuasaan diberikan kepada saudaranya
Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khlifah ini berhadapan dengan As-Sabakri, yaitu
pembantu Amr Ibn Al-Laits. Pada saat inilah terjadi perebutan kekuasaan dan berakhirlah
riwayat Dinasti Shaffariyah.

Dinasti Samaniyah

Berdirinya Dinasti Samaniyah bermula dari pengangkatan empat orang cucu Saman
oleh Khalifah Al-Ma’mun untuk menempati jabatan gubernur di wilayah Samarkand,
Pirghana, Shash, dan Harat. Keempat wilayah tersebut ketika itu berada di bawah
pemerintahan Thahiriyah, yang masih dipercaya oleh Abbasiyah menjalankan pemerintahan.
Namun ternyata keempat cucu Saman itu memiliki hasrat yang sangat besar untuk menguasai
wilayah yang diberikan khalifah, dan mendirikan pemerintahannya sendiri terlepas dari
pemerintahan Abbasiyah. Mereka pun mendapatkan simpat yang cukup besar dari rakyat
Iran. Awalnya simpati terhadap mereka hanya dari orang-orang di wilayah pemerintahannya.
Tetapi kemudian menyebar ke seluruh negeri, termasuk Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Ray, dan
Tabanistan, ditambah daerah Transoxiana di Khurasan.

Berdirinya Dinasti Samaniyah juga didorong oleh kecenderungan bangsa Iran ketika
itu yang ingin terlepas dari kekuasaan Baghdad. Sehingga Dinasti Samaniyah menjadi
reapresentasi dari hasrat masyarakat Iran yang ingin merdeka. Orang yang pertama kali
mencetuskan pendirian Dinasti Samaniyah adalah NasrIbn Ahmad, cucu tertua Saman,
bangsawan BalkZoroasterian. Pendirian dinasti baru ini dicetuskan di Transoxiana.

Pada awal pemerintahannya, Dinasti Samaniyah ini berhasil menjalankan


kekuasannya dengan sangat baik. Mereka memiliki hubungan yang baik dengan penguasa
lokal dan seluruh masyarakat. Sehingga berbagai kemajuan dapat dilakukan oleh Dinasti
Samaniyah, seperti di bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan politik. Dinasti Samaniyah pun
menjalin hubungan baik dengan Dinasti Abbasiyah terutama di bidang ekonomi, yang cukup
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.

Dinasti Samaniyah berhasil menciptkana kota Bukhara sebagai kota budaya dan ilmu
pengetahuan yang terkenal di seluruh dunia. Mereka pernah mengangkat Ibnu Sina sebagai
menteri di pemerintahannya untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu juga muncul
nama pujangga dan ilmuwan yang terkenal pada masa Dinasti Samaniyah, seperti Al-
Firdausi, UmmarKayam, Al-Biruni, dan Zakariya Ar-Razi.
Walau telah mencapai puncak kekuasaannya, Dinasti Samaniyah tetap
mempertahankan semangat mengutamakan memajukan bangsa Iran. Oleh karenanya, ketika
banyak imigran Turki yang banyak tinggal di wilayah kekuasaan Samaniyah, mereka
diberikan kebijakan yang cukup berat jika dibandingkan dengan bangsa Iran. Seperti ketika
menjabat di pemerintahan, bangsa Turki akan langsung dicopot dari jabatannya. Hal tersebut
membuat bangsa Turki geram. Akhirnya Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran setelah
penyerangan yang dilakukan oleh bangsa Turki.

Berikut adalah peninggalan dinasti Samaniyah:

1. Makam Samaniyah

2. Tembikar

Anda mungkin juga menyukai