Disusun oleh:
Alwan Faiq
B. Rumusan Masalah.
Apa latar belakang kebangkitan Dinasti Fatimiyah
C. Tujuan Penulisan
Untuk sedikit mengerti bagaimana latar belakang dan eksistensi Dinasti Fatimiah perjuangan
para ulama terdahulu dalam membawa agama islam hingga sampai pada masa dimana disebut
masa keemasan dalam sejarah islam yang tercatat, yang mana hingga sekarang belum tercatat
lagi masa keemasan itu.
BAB II
Pembahasan
Pada tahun 850 Afrika Utara meliputi wilayah Ifriqiyah dan Tunisia' dan sebagian pulau
Sisiliah yang merupakan bagian Daulah Abbasiyah masih dikuasai Oleh Bani Aglab. Wilayah
disebelah baratnya berkuasa Bani Rustamiyah di Aljazair dan bani Idris di Maroko dan Spanyol
masih berada dibawah kekuasaan Bani Umayah II. Semua dinasti ini berkuasa sampai tahun 909.
Namun sesudah tahun 909 muncul sebuah dinamika baru, terbentuknya sebuah Dinasti Fatimiah
di Tunusia (909 M-6676 M) wilayah kekuasaannya meliputi Afrika utara, Mesir, dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Fatimiah dilatar belakangi oleh melemahnya Dinasti Abbassiyah.Ubaidillah
Al-Mahdi mendirikan Dinasti Fatimiah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini
mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Al-Aziz. Dinasti Fatimiah berakhir
setelah Al-adid, khalifah terakhir Dinasti Fatimiah jatuh sakit. Dinasti ini mengklaim sebagai
keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimiah binti Rasulullah. Menurut
mereka, Abdullah Al-Mahdi sebagai pendiri Dinasti ini merupakan cucu dari Ismail bin Ja’far
As-Shadiq, Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh. Setelah Imam Ja’far As-
Shadiq wafat, Syi’ah terpecah menjadi dua cabang, cabang pertama meyakini Musa Al-kazhim
sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedangkan sebuah cabang lainnya mempercayai
Ismail bin Muhammad Al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh. Cabang Syi’ah kedua ini
dinamai Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas,
sehingga munculah Abdullah bin Maimun yang membentuk Syi’ah Ismailiyah sebagai sebuah
sistem gerakan politik keagamaan. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syi’ah Ismailiyah
dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke
segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah, kegiatan ini
menjadi latar belakang berdirinya Dinasti Fatimiah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
sebelum Abdullah bin Maimun wafat pada tahun 874 M, ia menunjuk pengikutnya yang paling
bersemangat yakni Abdullah Al-Husain sebagai pemimipin Syi’ah Ismailiyah. Ia menyeberang
ke Afika Utara, dan berkat propagandanya yang bersemangat ia berhasil menarik simpatisan
suku Barbar, khususnya dari kalangan Khitamah menjadi pengikut setia gerakan ahli bait ini. ada
saat itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim bin Muhammad berusaha menekan gerakan
Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia. Hiyadatullah putranya dan pengganti Ibrahim bin
Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain
menulis surat kepada Imam Ismailiyah yakni Sa’id bin Husain As-salamiyah agar segera
berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi
gerakan Ismailiyah. Setelah berhasil merebut kekuasaan Hiyadatullah, ia memproklamirkan
dirinya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil
menduduki menduduki Tunis, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah, pada tahun 909 M, dan
sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id kemudian
memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar “Ubaidullah Al-Mahdi”. Dengan demikian,
terbentuklah pemerintahan Dinasti Fatimiah di Afrika Utara dengan Al-Mahdi sebagai khalifah
pertamanya.[1]
Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu
Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan
memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur
dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya
adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang
dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis
perusahaan dan kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca,
ramuan, obat-obatan.
2. Abu al-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
4. Abu Tamim Ma'add al-Mu'izz li-Din Allah (953 M - 975) M. Mesir ditaklukkan semasa
pemerintahannya.
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975 M - 996 M).
10. All-Amir bi-Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak
diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
14. Al-'Adid (1160 M - 1171 M): Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti Fatimiyah
selama 200 tahun berakhir.
Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangatbesar, baik dalam sistem
pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan.Masa keemasan Dinasti Fatimiyah dimulai pada
periode al-Muiz danmemuncak pada masa alAziz. Kemajuan yang dapat dicapai dari kekhalifaan
al-Aziz di antaranya:
Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kekuasaan khalifah. Menteri-
menteri dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok militer dan kelompok sipil. Yang dibidangi
oleh kelompok militer di antaranya: urusan tentara perang, pengawal rumah tangga khalifah dan
semua permasalahan yang menyangkut keamanan danyang termasuk kelompok sipil di
antaranya:
1.) Qadi‟ yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
3.) Inspektur pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasantimbangan dan ukuran
6.) Qori‟ yang membacakan Al-Quran bagi khalifah kapan saja dibutuhkan [2]
Pertama, amir-amir yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah.
Seorang keilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub ibnu Killis. Ia
berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang menghabiskan ribuan dinar perbulannya.
Pada masanyaia berhasil membesarkan seorang ahli fisika bernama Muhammad at-Tamimi, ahli
sejarah bernama Muhammad ibnu Yusuf alKindi,seorang ahli sastra adalah al-Aziz yang berhasil
membangun masjid al-Azhar yang nantinya berfungsi sebagai universitas, dan dari
situdisebarkan pula para dai ke luar Mesir.Kemajuan keilmuan yang paling fundamenetal pada
masa iniadalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yangdisebut Darul
Hikam atau Darul Ilmi yang dibangun oleh al-Hakim pada 1005 M. Bangunan ini dibangun
khusus untuk propoganda doktrin ke-Syi‟ah-an. Perkembangan Intelektual Pada Masa Dinasti
Fatimiyah
Pada masa Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Kairo juga memuncul sederet ilmuwan Muslim
yang berpengaruh. Pasalnya, pada era kejayaan Dinasti Fatimiyah, Cairo telah menjadi kota
tempat berkumpulnya para ilmuwan serta sarjana yang melakukan kegiatan ilmiah.Memasuki
abad modern, Cairo juga telah melahirkan sejumlah pemikir pembaruan Islam.
Berikut adalah beberapa nama di antara sederet ilmuwan dan sarjana serta pemikir pembaruan
Islam yang muncul dari pusat peradaban Islam di benua Afrika itu:
1. Ibnu Al-Haytham.
Dialah peletak dasar-dasar teori optik modern. Orang barat menyebutnya Al-Hazen. Lewat karya
ilmiahnya, Kitab Al-Manadhir atau Kitab Optik, ia menjelaskan berbagai ragam fenomena
cahaya termasuk sistem penglihatan manusia. Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Madahir
terus bertahan sebagai buku paling penting dalam ilmu optik.
2. Ibnu Al-Baytar.
Nama lengkapnya Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Al-Baytar. Dia adalah ahli botani sekaligus ahli
obat-obatan terhebat, dan Dialah banyak melakukan penelitian dan kegiatan ilmiah di Cairo. Dia
berhasil mengumpulkan dan memberikan catatan terhadap lebih dari 1.400 jenis tanaman obat.
Dialah ahli Botani terkemuka di Arab.
3. Jamaluddin Al-Afghani.
Dia adalah seorang pemikir pembaruan Islam yang secara lantang menyuarakan pentingnya
menegakkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa dengan kembali
kepada Islam. Dalam perlawanannya terhadap penjajah imperialisme Barat, Jamaluddin
mengobarkan semangat persatuan Islam dengan jalan mengajak kembali kepada Al-Qur'an serta
menghilangkan bid'ah dan khurafat.
4. Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas
gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo,
dan juga murid dari Jamaluddin Al-Afghani, seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung
gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.
5. Sayyid Qutub
Sayyid bin haji Qutub bin Ibrahim, lahir tahun 1906 di sebuah desa bernama Qaha di wilayah
Asyith, Mesir. Ideologi Islam dikemukakan Qutub sebagai ideology alternatif. Baginya tak ada
jalan lain kecuali menegakkan Islam. Dalam bukunya Hadza al-Din, dia menegaskan bahwa
Islam satu-satunya agama wahyu dan di jamin kebenarannya dan dapat meningkatkan harkat
manusia dan membebaskan dari berbagai ikatan daerah dan keturunan.
6. Mahmud Syaltut
Syekh Mahmud Syaltut adalah salah seorang pemikir asli di Mesir. Ia memberi kontribusi dalah
bidang hukum Islam. Mahmud Syaltut mengemukakan sebuah risalah tentang
pertanggungjawaban sipil dan pidana Islam.
Pada masa Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli Irak dan
daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia nonIslam dibina dengan baik 7 tidak
melakukan pemaksaankepada orang Sunni untuk mengikuti aliran Syi‟ah, itulah salah satu
kebijakan pemerintahan yang dilakukan Dinasti Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap
kemakmuran dan kehidupan sosialyang aman dan tentram
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya dinasti Fatimiyah dapat
diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksternal:
1. Faktor Internal
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran dinasti Fatimiyah
adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah
tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu mereka
ketika mengalahkan tentara Barbar di Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-
mewah merupakan penyebab utama hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.
Selain itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda pemerintahan tidak bejalan
secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih
berusia relatif muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan. Tragisnya mereka ibarat
boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu dominan dalam mengatur pemerintahan.
Fenomena ini muncul pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puternya
bernama Abu Mansur al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih berusia 11 tahun.
Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada keputusan Gubernur bernama
Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan.
Bukti lain ketidak cakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap
penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan maklumat al-
Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut
berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan
tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran.
Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang bergelar al-
Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia 16 tahun dan kebijakan pemerintahan
berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk, sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja
boneka ditangan para wajirnya. Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus
berlanjut hingga masa akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang
bernam al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum
berusia dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat berusia sembilan
tahun.
Faktor lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga
sunagi Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al
Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang
tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini
fatimiyah terpecah menjadi dua.
Selain itu, faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran dinasti Fatimiyah adalah
persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-Adid sebagai khalifah
terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan
jabatan wajir yang akhirnya dimenangkan Dargam. Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan
Nur Al-Din al-Zanki untuk memulihkan kekuasannya di Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk
menyerahkan sepertiga hasil penerimaan negara kepadanya.
Tawaran ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh dan
keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu mengalahkan Dargam sehingga
Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya kepada Nur al-Din. Perebutan
kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya kekuasaan asing yang pada akhirnya
mampu merebut kekuasaan dari tangan dinasti Fatimiyah dan membentuk dinasti baru bernama
Ayyubiyah.
2. Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya dinasti Fatimiyah adalah
menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur Syiria yang
masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia
mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak mampu
mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap
sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan.
Agar mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan
menawarkan janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din. Tawaran ini diterima King
Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk dapat
menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat
mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan
memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.
Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun 565 H / 1117
M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya
Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan berkuasanya
Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk
dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.
Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi perlawanan dari
kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai
pusat pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri kokoh di
kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari Universitas dan juga
dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada
awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti
Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti
Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi.
Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam. Divisi Buku Perguruan Tinggi, Pt. Raja Grafindo
Persaada, Jakarta, 2018.
Aizid, Rizem, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Diva Press, Jakarta, 2015.
Thohir, Ajid Perkembangan Peradaban Dikawasan Dunia Islam(Jakarta: Rajawali Press 2004)