Anda di halaman 1dari 27

Teks Syro-Aramaic dalam Quran:

Quran = Liturgi Injil


by ali5196

Sebelum membaca terjemahan bukunya, mari kita simak dulu apa arti Syro-Aramaic.

BANGSA ARAMEA

Bangsa Aramea (the Aramaic people) hidup di kawasan Timur Tengah sejak 3000 tahun.
Sumbangan budaya bangsa Aramea sangat besar sepanjang sejarah. Ribuan abad lalu, orang
Aramea dikenal sebagai pedagang dan penyebar budaya dan alfabet. Mereka mendominasi
"Jalan Sutera." Bahasa mereka yang relatif mudah, yaitu bahasa ARAMAIC, dan alfabet
mereka yang mudah dengan 22 huruf tersebar cepat di sejumlah besar kawasan Asia.
Banyak bahasa lain ditulis dalam alfabet Aramaic. Kebanyakan alfabet dunia jaman
sekarang bahkan berasal dari alfabet dan sistim vokal (vowel system) Aramaic.

Sejak abad 4M, bangsa Aramea tidak memiliki negara tersendiri. Sejak hancurnya kekuatan
Ottoman setelah Perang Dunia, negara2 pemenang mendirikan orde baru di Timur Tengah.
Perancis dan Inggris membelah2 Timur Tengah tanpa menghormati kelompok2 etnik.
Mereka menciptakan sebuah peta baru dan mendirikan negara2 baru seperti Turki, Syria,
Iraq, Lebanon, Jordan etc. tanpa mempedulikan kebangsaan dan budaya rakyat yang
mereka belah2. Perbatasan2 ini membelah2 “Aramea” dan memisahkan bangsa Aramea,
yang sampai sekarang hidup dalam keadaan miris di negeri2 Timur Tengah tersebut.
Sebuah delegasi Syriac-Aramaic mendatangi konferensi di Sèvres 1920 dengan harapan
untuk meraih kembali hak2 sejarah di kawasan yang dulunya Aramaic. Namun kekuatan
super power menolak tuntutan ini. Sejak pembentukan negeri2 baru di Timur Tengah,
kesemua rejim ini memaksa bangsa Aramea untuk meninggalkan budaya, bahasa dan
etnisitas mereka. Arabisasi dan Turkisasi berlanjut secara intensif. Contoh, ribuan nama
desa2, tanah2 pertanian, sungai dll yang tadinya Aramaic diganti namanya menjadi nama
Turki dan Arab.

Kawasan bangsa Aramea dikenal sebagai “Mesopotamia” dan sejak abad 20 dibagi2 ke
dalam negara2 modern seperti Iraq, Syria dan Turkey. Bangsa Aramea juga dikenal sebagai
bangsa Assyria atau Chaldean.

BANGSA SYRIAC/ARAMEA MEMILIKI NAMA LEBIH TUA

Bangsa Syriac dulunya disebut Aramea dan bahasa mereka Aramaic. Dokumen yang paling
tua yang menyebut nama Aram bertanggalkan tahun 2300 SM. Bangsa Yunani diperkirakan
menyebut orang Aramea dengan nama Syria di abad 5SM. Geografer dan sejarawan
terkenal Yunani, STRABO (w 23 SM) mengatakan dalam bukunya “Geography”: “Mereka
menyebut diri bangsa Aramea, kami menyebutnya Syria”. Bahkan dalam "Septuagint”,
terjemahan kuno dari Perjanjian Lama kedalam bahasa Yunani pada abad 3SM, nama Aram
diterjemahkan menjadi Syria, bangsa Aramea menjadi bangsa Syria, dan bahasa Aramaic
menjadi bahasa Syriac. Bangsa Aramea sendiri menyebut diri Aramean. Tapi secara
bertahap mereka menggunakan istilah Yunani: Syriac/Syrian sebagai sinonim dengan
Aramean, dan Syriac sinonim dengan Aramaic.

Di abad 1M, sebagian besar bangsa Aramea masuk Kristen. Di jaman itu mereka menyebut
diri Syrian-Aramean. Di jaman itu pula, istilah "Syriac/Syrian" lebih lazim dan
menggantikan istilah Aramaicnya. Namun para penulis sering menggunakan istilah dobel
Syriac/Aramaic yang sinonim bagi bangsa ataupun bahasa mereka.
BANGSA ARAMEAN PADA ABAD PERTENGAHAN

Di abad 7, ISLAM tersebar di Aramea. Menurut syariah, masyarakat dibagi ke dalam empat
kelompok, Kaum Kristen Aramea menjadi penduduk kelas tiga dan dipaksa membayar
pajak dobel (JIZYAH!) sementara Muslim dibebaskan dari pajak tersebut. Bagi mereka
yang tidak mampu membayar pajak, mereka DIPAKSA masuk Islam. Mereka ditindas dan
didiskriminasi secara ekonomi, sosial, etnis dan kultural dan dipaksa memeluk agama baru
tersebut kalau mereka ingin menjadi warga bebas. Dengan meningkatnya penindasan
religius ini, banyak orang Kristen Syria masuk Islam. Islam meningkatkan bahasa Arab ke
tingkat ilahi dan warga diwajibkan mempelajari bahasa Arab. Banyak orang Aramea/Syriac
mengadopsi bahasa Arab dan melupakan bahasa asli mereka. Bahkan kini, sebagian besar
bangsa Aramea hanya berbicara Arab dan hanya sebagian kecil berbicara bahasa Aramaic
dengan dialek modern.

Sampai abad 13, orang Aramea adalah mayoritas di “Aramea” (Timur Tengah) tapi pada
akhir abad itu, kawasan itu dijajah tiran Mongolia yang juga Muslim, Timur Lenk. Bagian2
besar populasi Aramea dibumihanguskan dan jadilah Aramea sebuah bangsa minoritas.
Selama 700 tahun terakhir bangsa Aramea/Syriac menjadi korban pembantaian religius oleh
bangsa Kurdi dan Turki. Pembantaian paling akhir dan besar2an terjadi tahun 1915, yang
menewaskan 300.000-500.000 orang Kristen Aramea dengan cara yang sangat brutal di
Turki Tenggara.

Sampai sekarang di Irak, pembantaian terhadap rakyat Aramenea terus berlangsung :

------------

The Syro-Aramaic Reading of the Koran: A Contribution to the Decoding of the Language
of the Koran (Hardcover)
(Pembacaan Quran dari segi Bahasa Syria-Aram : Mencoba Membongkar Rahasia Bahasa
Quran)

Tapi ini ulasan non-Muslim :

July 23, 2009


By Timothy Abraham "A former Muslim"
Pernahkan anda membaca Quran dan terheran2 mengapa beberapa kata sulit
diterjemahkan? Sang penulis memanfaatkan pengetahuannya yang mendalam atas bahasa
Syria dan Arab dan berhasil membongkar bahasa Quran. Ia selalu mengacu kpd QUran
dengan hormat dan mencoba menunjukkan keindahan dalam sejumlah kata2nya. Ia
membedakan huruf2/abjad2 codex
Hijaz dengan codex2 kuno dengan bahasa Aramaik, jadi menghilangkan segala ambiguitas.
Ia memfokus pada bagian2 Quran yang ada kesamaannya dengan codex2 Aramaik. Buku
ini harus dibaca. Sebuah masterpiece.

September 15, 2008


By A Kid's Review : Muslim tidak tahu isi bukunya sendiri
Buku ini memaparkan bukti dahsyat bahwa Quran adalah sempalan Kristen Aramaik.
Perawan2 di surga memang buah anggur kering (grapes). LOL... Orang2 Arab kuno
mengambil sebuah buku nyanyian (liturgi) Kristen Aramaik dan menyulapnya menjadi
sebuah agama "baru." The History Channel menunjukkan sebuah film dokumenter berjudul
"Inside the Koran" dimana seorang Muslim membantah asal usul Kristen Quran.
Argumennya adalah bahwa Quran dan Injil dikonstruksi secara berbeda. Ia memang benar
karena buku2 Kristen dan Injil tidak sama dalam hal pembacaaanya. 1/5 Quran adalah
lagu2 Kristen dan sisanya adalah cerita2 yang ditambah2 saat tiba di Medinah. Itulah
mengapa sebagian besar Quran adalah poesi dan 'dinyanyikan' di mesjid.
TRANSKRIPSI/TERJEMAHAN VIDEO YOUTUBE DI ATAS :

Th 2001, satu lagi studi Jerman mengakibatkan kemarahan besar sampai judulnya dilarang
di sejumlah negara Islam. Sebuah buku terbit oleh seorang ahli bahasa Semitik. Saking
kontroversialnya, sang penulis menerbitkannya dengan nama palsu dan harus bersembunyi.

[Luxenberg lewat Dr M Gross:] 'Guna mengerti [Quran], kami perlu tafsiran dan
pembacaan [Quran] dengan cara baru.’

Dr Marcus Gross membantu menerjemahkan buku ini dari bahasa aslinya, Jerman, ke
bahasa Inggris dan berani secara terbuka mengungkapkan pandangan si penulis.

[Dr MG:] '20 % [Q] mengandung kata2 tidak jelas yang tidak masuk akal. Ini bisa
dikurangi sampai 5% jika anda mengerti bahasa Syria (Syriac).

Syro-Aramaic adalah bahasa dominan liturgi abad 3. Kristus berbicara bahasa Aramaic dan
bahasa itu masih digunakan komunitas2 Kristen terpencil seperti desa di Syria ini, Maloula,
tapi di jaman Muhammad, Syriac adalah bahasa utama, tertulis maupun budaya seluruh
kawasan itu. Bahasa Arab tertulis masih dalam tahap pembentukan.

[Dr MG]'Bahasa Arab mengandung tulisan2 pre-Islam. Teks2 yang sangat pendek, tapi
buku tertulis pertama dalam bahasa Arab adalah Quran.

[Presenter :]Anda mengatakan Q ditulis dalam dua bahasa ?

[Dr MG] ’Di banyak kawasan dunia, bahasa terus bercampuran dan untuk mengerti bahasa
Inggris, anda harus menelusurinya 1000 thn yang lalu. Bayangkan seorang petani Anglo
Saxon berbicara pada majikannya yang bangsa Norman dan berbicara campuran bahasa
Perancis dan Anglo-Saxon dan anda hanya dapat mengerti bahasa campuran itu jika anda
menguasai kedua bahasa tersebut.'

Akademisi Muslim jaman dulu cukup berani untuk mengakui bahwa Quran memang
mengandung kata2 asing. Di abad 10, Al Tabari, salah seorang komentator paling dihormati
mengidentifikasi kata2 Ibrani, Yunani, Latin, Persia, Abbysinia & Syriac. Bedanya adalah
bahwa sekarang Luxenberg mengartikannya secara berbeda dengan yang dipercayai secara
luas sebelumnya. Nah, bgm seorang profesor Jerman menantang pendapat lebih dari 1
milyar orang dan atas dasar apa ? Apa metodenya ?

[Dr MG] ‘Setiap kali saya mencari solusi bagi sebuah kalimat tidak jelas, langkah pertama
adalah mencari artinya yang sudah dilupakan dalam bahasa Arab yang tidak lagi digunakan
tapi masih bisa ditemukan dalam kamus2 tua. Sesuatu yang belum pernah terpikirkan oleh
komentator (Tabari). Hanya kalau itu tidak mungkin, saya mempertimbangkan artinya
dalam bahasa Syriac atau kemungkinan saja kata itu salah tulis. Jadi, bisa saja huruf2 Arab
gundul diberi titik pada tempat yang salah. lalu ada juga kemungkinan bahwa sebuah huruf
Syriac disalahtulis dalam sebuah teks Arab.’

Dengan metoda ini, Luxenberg menguji beberapa ayat2 yang tidak jelas dalam Quran.
Setelah Maria melahirkan Yesus dalam Quran Arab, malaikat mengatakan kepadanya
‘Jangan bersedih. Tuhanmu menempatkan sebuah sungai kecil di bawahmu.' Nah, dalam
versi Luxenberg artinya menjadi : 'Jangan bersedih, Tuhanmu membuat kelahiran anakmu
sebagai sah.’

Satu lagi contoh yang akan mengundang kemarahan. Tuhan memerintahkan kepada seorang
skeptik dalam bahasa Arab, ‘Pandangilah makananmu, pandangilah KELEDAImu’ menjadi
‘Pandangilah kondisimu dan pandangilah keadaanmu secara keseluruhan.’ ‘Saat dunia
kiamat, bumi akan bergerak maju’ dalam bahasa Arab, dalam bahasa Syriac : ‘Bumi
terbelah dua.’
Ini bisa diterima tapi apakah perubahan2 ini mempengaruhi prinsip2 sentral Islam ataukah
Luxenberg hanya menambah2i warna poetis disana sini ?

[DrMG] ‘Memang ini tidak merubah prinsip2 kunci seperti eksistensi Tuhan atau dunia
akhirat, tapi satu contoh, hijab/tudung Islami. Quran berbicara ttg khumur yang berarti
‘dipukuli di bagian saku.’ Kalimat ini sangat aneh dan sering diartikan sebagai ‘tutupilah
kepala dan dadamu’ dan jika anda melihat pada chador/tudung di Iran, misalnya, inilah
yang mereka praktekkan. TAPI dengan tafsiran Syriac saya, artinya adalah ‘letakkan ikat
pinggangmu di panggulmu.’ Ikat pinggang adalah tanda keperawanan yang khususnya
digunakan oleh para biarawan. JADI ini lebih memiliki arti yang relevan.' [dengan kata
lain, tidak ada kewajiban bagi Muslimah untuk mengenakan tudung !!]

Tapi tafsiran Luxenberg ttg SURGAlah yang paling mengundang kemarahan Muslim. Di
Ishfahan, Iran, ada sebuah istana abad 17 yang dibangun untuk menggambarkan gerbang
surga. Taman2 penuh pohon2 hijau mengekspresikan mimpi bangsa gurun seperti
digambarkan dalam Quran dengan air2 mancur dan HOURIS yang sering diartikan sebagai
PERAWAN BERMATA JELI. Malah ada komentator yang berani menunjuk pada sebuah
angka spesifik : 72 bagi setiap mukhsin. TAPI ini tidak konsisten dengan 7 ayat Quran yang
menjanjikan kebahagiaan permanen dengan istri2 mereka. Luxenberg percaya telah
mengatasi kontradiksi ini. ‘Kami menyediakan pasangan (bagi mereka) dengan perawan2
bermata jeli,' itulah arti tradisionalnya. TAPI jika titik2 pada huruf2 Arab gundul diletakkan
pada tempat berbeda maka yang anda dapatkan adalah : 'Kami akan membuatmu senang di
bawah anggur putih sebening kristal.' Jadi bagi para suicide bomber atau para syuhada,
bukannya prospek 72 perawan bahenol bermata besar yang menunggu mereka di surga, tapi
hanyalah SEGENGGAM BUAH ANGGUR ... demikian tafsiran Luxenberg !

[Ajmal Masroor, Imam, London :] ‘This German study is very Christian- centric. It’s
influenced by the way the Bible has been researched an put together. The Bible & the
QUran are not the same.’

IT is the connection L makes with Christian symbolism that is highly inflammatory to many
but a persuasive argument to others. This 5th century fresco in an Egyptian monastery
depicts the archangels receiving souls in paradise. Each archangel holds a grape in one
hand an in the other cradles the departed souls who are refreshed with bunches of grapes.
The grape motives are repeated in the vestments in the feasts of the Syrian Orthodox
church. All relating back to Christ’s promise to his disciple at the last supper that he
(Christ) ‘will not drink the fruit of the vine until he is reunited with them in his father’s
kingdom.’

[Imam :] ‘If foreign words were in the Arabic dictionary at the time of the prophet surely
they had evolved into an Arabic meaning. So that particular one, even if it is Syriac, must
be understood in the way the Arabs understood it. Not as grapes but as HOURS partners in
heaven.’

[Prof Tariq Ramadhan/Oxford :] I think we all understand that its symbolic, the way we
look at images at paradise, for example. We not asked to think of this in a literal way. IT’s
just for us a description of what is going to be beautiful beyond your imagination.

Although L work has been called into question by leading academics and is controversial
by its very nature, he believes it opens a door encouraging linguists, archeologists &
historians to use modern tools to throw further light on the text & its context. For some
Muslim academics, that is in the Q spirit of free enquiry and no threat to those who are
robust in their faith.
[Muslim (no name provided) :] ‘This research doesn’t undermine any tenets, teachings or
basic principles of Islam. What it provides though are questions and we as thinking
Muslims, as people of the 21st century we should say ‘Yes, let’s look at what he’s providing
and not just condemn but let’s also see if this research has a historical base or is it a product
of European orientalism.’’

Lihat juga wawancara di http://chiesa.espresso.repubblica.it/ar ... 7025?eng=ygerd-puin-


asal-usul-islam-yangterselubung-t36338/

FOREWORD/KATA SAMBUTAN
halaman 9

[…]

Yang dimaksud dengan Syro-Aramaic (atau Syriac) adalah cabang Aramaic di Timur Dekat
yang berasal dari Edessa dan kawasan sekitar Mesopotamia (Irak) barat-laut dan lazim
digunakan sebagai bahasa tulis dari abad Kristenisasi sampai munculnya Qur’an. Selama
lebih dari satu millennium, Aramaic adalah lingua franca di seluruh Timur Tengah sebelum
secara bertahap tersingkir oleh bahasa Arab pada permulaan abad 7. Orang Yunanilah yang
diperkirakan memberi nama bahasa Syriac (sebagai bahasa Assyria di jaman raja Alexander
Agung).

Aramaic adalah bahasa Assyria, seperti yang dicatat dalam Perjanjian Lama di thn 701SM
(2 Raja-Raja 18:26 dan Yesaya 36:11). Istilah ini kemudian diadopsi bangsa Aramia
Kristen, yang dengan cara ini ingin membedakan diri dari sesama bangsa mereka yang
bukan Kristen. Syriac juga adalah nama yang diberikan Arab kpd tulisan-tulisan dini
mereka (misalnya dalam Hadis) kepada kaum Aramia Kristen, yang menandakan
pentingnya bahasa ini pada jamannnya.

Malah ada hadis yang mengatakan bahwa nabi menyuruh sekretarisnya, Zayd bin Thabit
(wafat 45/665M), untuk belajar bahasa Syriac dan Ibrani agar bisa membacakan kepada
nabi tulisan-tulisan yang ada pada jaman itu.

[Nabi bertanya pada sekretarisnya, Zayd bin Thabit "apakah ia tahu bahasa Syriac," sang
sekretaris mengatakan "tidak, tapi saya bisa mempelajarinya dalam 29 hari". Lalu nabi
mengatakan "pergilah dan pelajarilah". Lihat "Kitab Al-Massahif" oleh ahli tafsir Arab, Ibn
Abi Dawood (abad 10).]

Contoh, Ibn Sa’d az-Zuhuri (w.230H/845M), at-Tabaqat al-kubra, 8 vols index, Beirut
1985, II 358). Dalam Encyclopedia of Islam, Leiden, Leipzig 1934 vol 4, 1293b, ditulis
tentang Zaid b. Thabit :”Ia adalah sekretarisnya (nabi), yang mencatatkan bagian dari
wahyu-wahyu dan mengatur korespondensi dengan Yahudi, yang bahasa atau tulisannya,
telah ia (Zaid) pelajari dalam 17 hari atau kurang.” Harus dicatat disini bahwasanya orang
Yahudi dulu tidak berbicara Ibrani, melainkan Aramaic (Aramaic Yahudi).

Sebagai bahasa tulis dan khususnya dalam terjemahan Injil yang diperkirakan eksis pada
abad 1-2M, pengaruh Syro-Aramaic menyebar sampai keluar kawasan Syria ke tempat-
tempat seperti Persia. Literatur Kristen Syriac mencapai jaman emasnya dari abad 4 sampai
7.

Sementara itu menurut tradisi Islam, Qur'an berasal dari abad ke-7. Padahal contoh2
pertama dari literatur Arab secara utuh ditemukan DUA ABAD KEMUDIAN dengan
adanya 'Biografi Nabi' oleh Ibn Hisham yang wafat thn 838M.
Jadi, literatur Arab pasca-Qur'an berkembang secara bertahap, dalam periode menyusul
karya al-Khalil bin Ahmad, sang pencipta lexicografi (kamus) Arab (kitab al-ayn) yang
wafat thn 786M, dan Sibawwayh, yang menciptakan tata bahasa Arab klasik, yang wafat
796M. Jadi, kalau kita mengasumsi bahwa komposisi Qur'an berhenti saat wafatnya nabi
Muhammad thn 632M, maka kita temukan adanya interval selama 150 tahun, dimana tidak
ada satupun jejak literatur Arab yang berarti."

Buku ini tidak mencoba untuk mengatasi semua misteri bahasa Qur’an, melainkan hanya
mencoba menjelaskan kejanggalan dalam bahasa Qur’an. Fakta bahwa Syro-Aramaic
adalah budaya dan bahasa tertulis yang paling penting di kawasan saat lahirnya Qur’an,
pada saat bahasa Arab belum merupakan sebuah bahasa tulis mapan dan bahkan para
cendekiawan Arab jaman itu menggunakan Syro-Aramaic sebagai bahasa tulis,
membuktikan bahwa para pembentuk bahasa tulis Arab mendapatkan pengetahuan dan
training mereka dalam budaya Syro-Aramaic.

Mengingat bahwa orang-orang Arab kala itu sebagian besar beragama Kristen dan bahwa
sebagian besar dari mereka mengambil bagian dalam liturgi Kristen Syria, *) maka jelas
bahwa elemen-elemen budaya Syro-Aramaic masuk ke dalam bahasa Arab. Tugas buku ini
adalah untuk mengukur tingginya pengaruh Syro-Aramaic dalam Qur’an.

*) Disertasi Arab pertama tentang subyek ini terbit di Tunis tahun 1995 : Salwa Ba-l-Hagg
Salih-al – ‘Ayub: al-Masihiya al-arabiya wa-tatawwuratuha min nas’atiha ila l-qarn ar-rabi‘
al-higri/al-‘asir al-miladi (Arab Christianity and its Development from Its Origins to the
Fourth Century of the Hijra/Tenth Century of the Christian Era), Beirut 1997.

[…]

Berlin, Januari 2007.

2. REFERENSI (hal 20)

Untuk menunjang studi kami, kami gunakan :

(a) Tafsir paling penting dalam bahasa Arab yaitu oleh TABARI (w 310H/923AD) yang
mencakup tafsir-tafsir terdahulu seperti : Abu Ga’far Muhammad b. Garir at-Tabari, Gami
al-bayan ‘an ta’wil ay al-Qur’an (30 bagian dalam 12 volume), edisi ketiga, Kairo, 1968
(untuk selanjutnya dalam buku ini disebut sebagai Tabari, disusul dengan nomor bagian &
halaman)

(b) Lexicon (=kamus) Arab utama, yaitu LISAN al-‘arab karangan Ibn Manzur (1232-
1311AD), didasarkan pada lexikografi Arab yang dimulai pada pertengahan kedua abad 8
dengan Kitab al-ayn oleh al-Halil b. Ahmad (w. circa 786AD): Abu l-Fadl Gamal ad-Din
Muhammad b. Mukarram b. Manzur al-Ifriqi al-Musir, Lisan al-‘arab (="Lidah” bangsa
Arab), 15 volume, Beirut, 1955 (untuk selanjutnya dalam buku ini akan disebut sebagai
Lisan dengan nomor volume, halaman dan huruf kolom, a atau b)

Untuk studi komparatif, kami juga sertakan terjemahan studi2 akademisi Barat seperti :

- Richard Bell, The Qur’an, Translated with a critical rearrangement of the Surahs, vol I,
Edinburg, 1937, vol II, Edinburgh, 1939

- Rudi Paret, Der Koran: Uebersetzung, 2nd ed., Stuttgart, Berlin, Cologne, Mainz, 1982.

- Regis Blachere, Le Coran (traduit de l’arabe), Paris, 1957


- Payne Smith, ed., Thesaurus Syriacus, tomus I, Oxonii 1879; yang selanjutnya dalam
buku ini akan disebut sebagai Thesaurus/Thes.

- Carl Brockelmann, Lexicon Syriacum, Halis Saxonum, 1928

- Jaques Eugene Manna, Vocabulaire Chaldeen-Arabe, Mosul, 1900; diterbit ulang thn
1975.

3. METODE KERJA (p 22)

Tujuan studi ini adalah untuk menjelaskan kata-kata yang dianggap obscure (=tidak jelas).
[…] Dalam studi ini sering nampak bahwa tafsir yang diberikan para ahli tafsir sekalipun
sama sekali tidak cocok dengan konteksnya.

Justru karya-karya referensi tentang lexikografi Arab yang muncul setelah jaman para ahli
tafsir tersebut lebih mampu memberi penjelasan. Tabari merujuk kepada tradisi lisan Arab,
tapi tidak kepada satupun lexicon. Hanya beberapa kali, guna menjelaskan ekspresi Qur'an
tertentu, ia mengutip ayat-ayat dari sajak Arab, tapi ini sering membawa kepada arti yang
salah karena perbendaharaan kata dalam sajak berbeda secara fundamental dari Qur'an.
Oleh karena itulah untuk pertama kalinya—berbeda dari metode-metode tafsir Barat
sebelumnya yang menggantungkan diri pada tradisi Arab- studi ini menempatkan teks
Qur'an dalam konteks sejarahnya dan menganalisanya dari sebuah perspektif filologis baru
(studi bahasa sehubungan dengan konteks sejarahnya) dengan tujuan untuk mendapatkan
pengertian yang paling tepat atas teks Qura'n. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata lebih
banyak ekspresi Qur'an yang disalahartikan daripada yang disangka sebelumnya. Studi ini
akan menunjukkan defisit besar dalam tafsiran2 sebelumnya atas banyak aspek dari struktur
sintaktik dari bahasa Qur'an.

Untuk studi ini kami menggunakan Qur'an edisi Kairo 1923/1924. […]

Kami mengulas kata-kata yang tidak jelas, yang tidak dapat ditafsirkan oleh para ahli tafsir,
dengan mempelajari konteksnya. Seperti yang sering dikatakan Tabari, “para ahli tafsir
tidak setuju atas tafsir ekspresi ybs,” atau “wa-l-lahu a’lam” baik dalam Tabari maupun
Lisan.

Prosedurnya :
(a) Bagi sebuah ekspresi yang dinyatakan sebagai obscure (tidak jelas) oleh para
penerjemah Qur'an Barat, kami mengeceknya terlebih dahulu dengan Tabari untuk melihat
apakah sesuai dengan konteksnya. Biasanya, tradisi Arab sangat mirip dengan ekspresi
bahasa Aramaic sebelumnya. Kalau tidak maka,
(b) Kami mempelajari ekspresi tersebut dalam Lisan dengan mencari arti2 semantik
alternatif, mengingat Tabari dan ahli2 tafsir sebelumnya tidak memiliki alat bantuan.
Lagipula, Tabari tidak pernah merujuk kepada lexicon Arab manapun. Kalau inipun tidak
sukses maka
(c) Kami mencari akar homonymous (= kata yang berhubungan secara etimologis) dalam
bahasa Syro-Aramaic yang artinya berbeda dengan versi Arabnya dan lebih tepat dalam
konteksnya. Dalam sejumlah kasus, pembacaan Syro-Aramaic ini memang menghasilkan
arti yang lebih masuk akal. Kalau cara ini tidak berhasil maka,
(d) Kami mengubah letak titik2 (diacritical points) pada huruf2 Arab gundul (yang dalam
naskah Qur'an aslinya memang tidak ada titik2nya tapi ditambahkan kemudian) untuk
mencari kata akarnya dalam bahasa Aramaik. Kalau upaya ini tidak membawa arti yang
sesuai dengan konteksnya, maka
(e) Selain mengubah letak titik2 pada huruf Arab gundul, kami mencari akar Aramaic dari
ekspresi Arab tersebut. Cara ini—mencari konteks yang masuk akal lewat ekspresi
Aramaic- sering menemui kesuksesan. Kalaupun ini tidak berhasil maka
(f) arti ekspresi dalam bahasa Arab direkonstruksi kembali ke dalam bahasa Aramaic.
Karena tidak adanya kamus Arab-Aramaic, periset harus menggantungkan diri pada
kemampuannya berbahasa.
(g) Terakhir, kalau ada kata yang tidak bisa dijelaskan dalam bahasa Arab maupun Syro-
Aramaic, maka kami gunakan kamus2 dokter Syria Timur, Bar Ali (w. 1001) dan Bar
Bahlul (disebut dalam dokumen 963). Kamus2 Syro-Aramaic ini diciptakan pada abad 10
sebagai alat untuk menerjemahkan karya-karya sains dari bahasa Syria ke dalam bahasa
Arab, karena bahasa Syro-Aramaic waktu itu lambat laun disingkirkan oleh bahasa Arab.
Thesaurus Syriacus ini sering menyebut penjelasan dalam bahasa Arab oleh para pembuat
lexicographer Syria Timur. […] Kita harus ingat bahwa literatur bahasa Syro-Aramaic
sudah sangat matang--–khususnya di bidang teologi----dan eksis jauh sebelum adanya
Qur'an.
(h) Ada juga ekspresi Arab yang disalah-mengerti karena walaupun ditulis dalam huruf
Arab, kata itu sebenarnya diproduksi sesuai dengan sistim fonetik Syro-Aramaic. Contoh,
Qs 16:103, 41:40. Kata Arab ‘yulhidun’ adalah hasil salah baca dari kata Syriac, ‘yalguzun.’
Ini juga membuktikan bahwa teks Qur'an original ditulis dengan cara Garshuni (Karshuni),
yaitu kata Arab yang ditulis dalam huruf Syriac. Hal ini akan saya bahas dalam buku saya
selanjutnya.

Contohnya [lihat catatan kaki : ]

Kata Arab libadan (=mengerumuni) dalam QS 72:19 adalah akibat salah kutip
(mistranskripsi) kata Syriac ibadan (=hamba Allah). Ayat ini sering menimbulkan
kebingungan para penerjemah, baik di dunia timur maupun barat.

QS 72:19,20 berbunyi demikian :


19. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya, hampir
saja jin-jin itu desak-mendesak mengerumuninya.
20. Katakanlah: Sesungguhnya aku hanya menyembah Rabbmu dan aku tidak
mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.

NAMUN........ dalam spelling asli dalam bahasa Syriac, arti sebenarnya adalah demikian :

19. Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (=bukan Muhamad tapi ISA, Putera Mariam !!!!
Lihat Qs 19:30 dimana bayi Isa, segera setelah kelahirannya menyerukan “Saya hamba
Allah!’) telah bangkit (dari kematian) dan segera menyembahNya, mereka (bukan jin tapi
RAKYAT) hampir menyembahnya (sebagai Tuhan)
20. Katanya (bukan 'Katakanlah'): Sesungguhnya aku hanya menyembah Rabbmu dan aku
tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.

Pembahasan ini dimuat dalam buku C. Luxenberg: Neudeutung der arabischen Inschrift im
Felsendom zu Jerusalem (=Tafsir Baru dari Tulisan2 Arab dalam Qubbah al-Sakhra/Dome
of the Rock di Yerusalem)]

[..]

Sebelum membahas contoh2 lebih lanjut, perlu kami menjelaskan problema pembacaan
Arab kepada pembaca yang tidak berbahasa Arab. Problema ini diakibatkan karakter
stenografis skrip Arab dini, yang oleh karena itu juga disebut sebagai huruf2 defektif.
Selanjutnya penjelasannya.
SELINGAN >> catatan kaki no 97 hal 76

Kata Arab sahid tidak hanya berarti "saksi." Kata Arab sahada (syahada) yang berarti
'pengakuan kepercayaan,' juga meminjam istilah eklesiastik Syro-Aramaic, yaitu shed
(=untuk mengaku, bersaksi dimuka umum) yang juga merupakan kata dasar sahda (=martir,
pengaku).

10. Dari qeryana Syro-Aramaic ke qur’an Arab (hal 70)

Studi ini menyimpulkan bahwa istilah qur’an adalah kunci untuk mengerti bahasa Qur’an.
Para ahli bahasa Arab tidak meragukan sifat Arab istilah tersebut, TAPI mereka tidak setuju
akan asal kata2 akar qur’an, yaitu qarana (=to bind, to put together, mengikat, menjalin)
dan qara’a (=membaca). Studi Barat ttg Qur’an mengakui bahwa istilah qara’a --dan
kebetulan juga kataba (menulis)—tidak bersifat Arabis.

Seperti yang dikatakan Theodor Noldeke dalam Geschichte des Qurans (I 31-34)

“Mengingat bahwa kata ‘baca’ tidak mungkin merupakan istilah proto-Semitik, kami
mengasumsi bahwa kata itu di-migrasi ke Arabia dan kemungkinan besar dari bagian utara
… mengingat bahwa […] kata benda qeryana dan […], kemungkinan besar bahwa istilah
Qoran bukan sebuah kata yang berkembang dalam wilayah Arabia, melainkan sebuah kata
pinjaman Syriac […].”

Asumsi pengaruh Kristen-Aramaic oleh Noldeke ini diterima secara luas oleh riset Barat
Qur’an sampai dicatat dalam encyclopedia Islam yang standar di Barat (Lihat artikel
"Qur’an" dalam The Ecyclopaedia of Islam, vol 5 –Leiden, 1986), hal yang sama sekali
tidak diacuhkan oleh para ahli exegesis Islam, baik dijaman dulu maupun modern.

Erwin Graf, oleh karena itu, secara akurat mendefinisikan Qur’an sbb :

“Qur’an, dalam arti etimologis, orijinalnya adalah sebuah teks liturgis yang dibuat bagi
cultic recitation (=pelafalan) dan juga digunakan dalam misa umum ataupun pribadi. Ini
menunjukkan bahwa sajak liturgis, dalam hal ini liturgi KRISTEN, yang mencakup liturgi
Yudaisme, sudah pasti menstimulasi dan mempengaruhi Muhammad.”

Jadi, sebagai terminus technicus (=istilah teknis) eklesiastik, Qur’an mirip dengan
lectionarium* (=kuliah) yang masih digunakan dalam Kristen Barat kini sebagai buku
liturgis yang mengandung kutipan2 dari kitab suci untuk dibacakan di muka umum selama
sebuah upacara/misa.

[Lectionarum = A Lectionary = a book or listing that contains a collection of scripture


readings appointed for Christian or Judaic worship on a given day or occasion.
http://www.answers.com/topic/lectionary
Terjemahan : Lectionary = sebuah bacaan dari Kitab Suci Kristen atau Yudaism untuk hari
atau upacara tertentu ]

Kalau kita berkesimpulan bahwa qur’an dipinjam dari kata qerana, maka pertanyaan
berikutnya adalah seberapa luas asimilasi tersebut ?

Lisan (I 128b f.) mengutip sebuah pernyataan as-Safi’I yang disampaikan lewat isnad
kepada Mugahid, Ibn ‘Abbas dan Ubayy. Menurut mereka, nabi mengucapkannya bukan
sebagai qur’an, melainkan sebagai quran (a panjang).
{Lessons in Arabic : “Qur’an” ditulis dengan imbuhan hamza alias imbuhan ' –macam
tanda kutip-- sebelum an untuk menandai tanda henti. Sementara “Quran” ditulis dengan
imbuhan alif, yaitu garis pendek di atas huruf ‘a’ untuk menunjukkan ‘a’ panjang}

NAH, kata quran versi Nabi itu sebenarnya adalah pinjaman dari kata qeryan – sebuah
istilah yang digunakan Kristen2 Aramaic di Syria dan Mesopotamia (Irak sekarang).
[…]

Thesaurus juga merujuk pada lexicografer Syria Timur sebagai berikut: “Huruf vokal e
dalam kata qeryan digunakan dalam tradisi oral bangsa Syria Barat dan Timur sebagai
murmur vowel (=vokal yang dipendam)” (seperti pengucapan ‘e’ dalam ‘membaca’
---ali5196)

Tanda hamza itu baru diperkenalkan pelan2 oleh para filolog Arab mulai abad 8 sebagai
alat pembantu pembacaan, tanpa memperhatikan pengucapan asli Nabi yang sudah
didokumentasi ini. Akibatnya, pengucapan asli Syro-Aramaic (‘qeryana’) tersingkir dan
diganti oleh cara pengucapan ala Arab, yaitu qur’an (mengikuti pola furqan yang dipinjam
dari istilah Syro-Aramaic purqana)

[Catatan kaki 92 : Noldeke merujuk pada manuskrip2 Qur’an dini sebagai ‘al-quran’ dan
‘quran’--- keduanya ‘a’ panjang, tanpa tanda hamza melainkan dengan tanda alif.

Catatan kaki 93 : Dalam Studies on the Early History of Arabic Orthography & The
Spelling of Vowels, Orientalia, vol.48 (1979), W Diem menunjuk pada pengucapan dalam
Qs10:61 sebagai quran ('a' panjang) dan dalam Qs12:2 & 43:3 sebagai qurana[/] (lagi-lagi
'a' panjang).

Ini sama dengan kasus pengucapan kata as-sayyiyat (=perbuatan2 jahat) dalam Qs 4:18.
Karena salah letak tanda alif, maka pengucapan aslinya: sanyata (=perbuatan2 jahat) yang
berasal dari Syro-Aramaic, secara tidak sengaja diganti jadi as-sayyiyat yang lebih dikenal
Muslim sekarang. W Diem menunjuk pada bukti dari manuskrip Qur’an tua no.328(a)
dalam Perpustakaan Nasional Perancis di Paris.

Dalam Qur'an edisi Kairo sekarang, pengucapan as-sayyi’at (Qs4:18), sayyi’atikum


(Qs4:31, 5:12) dan sayyi’atihim (Qs3:195) berbeda sekali dengan manuskrip Qur’an Paris
di atas tersebut yang tidak menyertakan tanda hamza.

Meloncat ke halaman 88 : Tentang pengucapan kata-kata YAGUG dan MAGUG

Qur'an edisi Kairo menulis keduanya sebagai Ya’gug wa- Ma’gug. Padahal dalam Qur'an
codex Or.2165 yang disimpan di British Library di London, dalam Qs 18:94 (Folio47a,18)
Qs 21:96 (Folio58a,2) anda bisa melihat nama-nama Yagug dan Magug (‘a’ panjang).

Contoh lain : dalam edisi Kairo terdapat kata ma’ida. Namun dalam dialek Arab di
Mesopotamia Utara, kata itu sampai sekarang masih dipakai dan diucapkan sebagai mayde.
Akibatnya, Qur’an seharusnya mengucapkannya sebagai mayda.

halaman 104. (Qur’an<Qeryan : Lectionary)

Jika Qur’an memang benar berarti lectionary, yaitu bacaan-bacaan dari Kitab Suci
Kristen/Yudaisme, maka kita bisa mengasumsi bahwa Qur’an itu sebenarnya dimaksudkan
untuk dipakai sebagai buku liturgis dengan teks2 terseleksi dari Kitab Injil (=Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru) dan TIDAK sebagai substitusi/pengganti Injil dan tidak juga
sebagai kitab yang independen dari Injil. Qur’an secara eksplisit merujuk kepada Injil dan
menganggap diri sebagai BAGIAN darinya.
Contoh Qs 12:1-2 :
"1. [...] Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah)
2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya."

TAPI terjemahannya dalam versi Syro-Aramaic adalah :

1.These are the (scriptural) signs (ie the letters = the written copy, script) of the elucidated
Scripture:
(1. Ini adalah tanda-tanda (kitab) (yaitu surat-surat = tulisan, script) dari Kitab (Injil) yang
dijelaskan :

2. We have sent them down as an Arabic lectionary (=Qur’an) (or in an Arabic reading) so
that you may understand it.
(2. Kami menurunkannya berupa buku liturgi Kitab Injil dalam bahasa Arab (=Quran) (atau
dalam tulisan Arab), agar kamu bisa mengertinya.)

Qur’an sendiri lebih explisit dengan kata2 pinjaman Syro-Aramaic dan dijelaskan di bawah
ini, bahwa apa yang dimaksudkan dengan Injil yang "dijelaskan" adalah Injil yang
“diterjemahkan.”

Qs3:7
7. Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat.

Atas dasar pembacaan bahasa Arab DAN Syro-Aramaic, maka ayat tersebut harus
dimengerti sbb :
“He it is who has sent the Book down to you. Of it (a part consists of) precise (or well-
known) writings (ie texts), which (are) (quasi) the Proto-Scripture (itself), and (a part of)
other (writings, which (are) alike in meaning (to these).”
(TERJEMAHAN: Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (=Qur'an) itu kepadamu. Darinya
(sebagian terdiri dari) tulisan (teks) persis (atau dikenal luas), yang (merupakan) (quasi)
induk al-Kitab*** (= INJIL), dan (bagian) lain yang sama artinya.

***Kata umm al-kitab (=”mother of the scripture” = kitab utama atau proto kitab = ummul
kitab = induk al-kitab) sebenarnya adalah kata Syro-Aramaic (lihat catatan kaki 140*) dan
Qur’an menyatakan Injil sebagai sumbernya seperti dalam Qs3:7, 13:19 dan 43:4.

[Catatan kaki 140* : Dalam Qs6:92 dan 42:7, Qur’an menyebut kata umm al-qura yang
berarti metropolis/ibukota. Ini sama dengan Syro-Aramaic emhata da-mdinata atau matres
urbium (Latin) yang berarti metropolis. Lihat juga atau Ninwe emma d-Atur atau versi
latin, Nineve Asyyriae metropolis (=Nineveh, ibukota Assyria)]

Hanya dengan menganalisa setiap istilah sesuai dengan versi Aramaic-nya, kita bisa
mengerti arti sebenarnya ayat tersebut.

‘Injil yang dijelaskan’ (syro-aramaic) ditulis sebagai hattita atau hkima, dalam bahasa Arab
ditulis sebagai muhkamaat (=persis atau dikenal luas).
Mutasyaabihat (Arab) aslinya adalah dari kata Syro-Aramaic damyata (=similar,
comparable=sama, bisa disamakan)

Dengan dua istilah di atas, Qur’an menjelaskan origin (=asal) dari isinya. Qur’an disatu
pihak, terdiri dari kutipan2 buku induknya yang sudah dikenal luas (canonical Scripturesyi
Taurat, Zabur & Injil) dan dari bagian-bagian yang diambil dari luar (apocryphal) atau
kitab-kitab lain yang comparable dengan kitab induk.

----------------------------
SELINGAN : lihat buku yang pernah kuterjemahkan, ttg pendeta Waraqah, saudara
Khadijah--istri Muhammad--yang menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. hubungan-
muhamad-dengan-pendeta-waraqah-buku-qiss-wa-nabi-t705/

Transmisi Injil Ibrani ke dalam bahasa Arab


Istilah ‘Qur’an’ secara linguistik berarti ‘kuliah’ atau ‘komentar.’ Ekspresi ini adalah
derivative substantive dari kata kerja Aramaic trilateral. Huruf ketiganya adalah konsonan
lemah: Qro, neqro, qiryono. Ini bisa berarti kuliah (Qira’ah) atau pembacaan/pelafalan
(tilawah) dari sebuah teks tertulis.

[...]
Muhamad sering menjelaskan otentisitas apa yang telah ditransmisi dari ‘buku yang ada
dalam tangannya.’ Ia menegaskan bahwa Qur’an sebenarnya hanyalah otentifikasi
(tassadiq) Kitab Ibrani (3:3)

Masih di halaman 108 :


Quran berkali-kali menegaskan bahwa nabi memproklamirkan pesan Quran dalam "bahasa
Arab jelas". Lihat Qs12:1, 16:102 & 26:195.

TAPI tafsiran pernyataan "bahasa Arab jelas" ini sudah lama membingungkan baik ahli
tafsir2 Arab maupun non-Arab. Generasi demi generasi ahli tafsir Quran sampai
menghabiskan seluruh hidup mereka hanya untuk menafsirkan kata demi kata secara
semantik maupun secara gramatik. Ini membuktikan bahwa proporsi Quran yang masih
dianggap tidak dapat dijelaskan sampai hari ini berjumlah paling tidak 1/4 dari keseluruhan
teks. Tapi proporsi sebenarnya jauh lebih besar.

11. KESALAHAN SEJARAH (The Historical Error) Hal 102

Kita kembali kepada tahun 1428 Hijrah, tahun emigrasi nabi dari Mekah ke Medinah di thn
622AD yang menandakan bermulanya kalender Islamiah. Mengingat macam2 dialek Arab
yang ada waktu itu, perlu kita tanyakan, dalam dialek apa Qur'an diturunkan. Tabari
mengutip Qs14:4:

4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya
ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.

Ini mengakibatkan Qur'an dikomposisi dalam dialek Arab suku Quraish (Qurays), suku
nabi di Mekah. Jadi, Qur'an menegaskan dalam 10 kalimat bahwa buku tersebut
dikomposisi dalam bahasa Arab. Ini sekedar dimaksudkan untuk menegaskan perbedaan
dari bahasa kitab induk dalam Perjanjian Lama dan Baru. Ini lebih jelas dari Qs 41:44:

Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah
mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" ...

Tapi dalam bahasa Syro-Aramaic, seharusnya terjemahannya adalah :


If we had composed it as a lectionary in a foreign language, they would say: 'One ought
then to have translated its scripts'! ...
(Jikalau kami mengkomposisinya (Qur'an) sebagai bacaan Injil dalam bahasa asing,
tentulah mereka mengatakan : 'Seharusnyalah bacaan-bacaan tersebut diterjemahkan' !)
dijelaskan ayat-ayatnya (Arab= targam) seharusnya menjadi diterjemahkan(Syro-Aramaic
= targem)
Selebihnya, lihatlah lanjutan ttg Qs 41:44:
Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.

Ini juga seharusnya diterjemahkan sbb:


(Now whether it be) foreign or Arabic, say then: it is for those who believe (right) guidance
and pure (belief).
((Entah) (bahasa) asing atau Arab, katakanlah : Al Quran itu adalah bagi mereka yang
percaya petunjuk dan berintegritas. )

Jadi, Tabari cs salah membaca imbuhan hamza yang ditambahkan pada 'a-a'gami (=asing)
shg : bahasa asing merujuk pada Qur'an dan Arab merujuk pada nabi. Seharusnya bahasa
asing atau bahasa Arab, keduanya merujuk pada Qur'an.

Kata penawar oleh Tabari diterjemahkan sebagai penawar dari kepercayaan jahiliyah. Tapi
sebenarnya kata Arab sifa ternyata dipinjam dari kata Syro-Aramaic sefya atau spaya.
Thesaurus mendefinisikannya sebagai : purity of the way, sincerity, integrity of thought.
Sehingga kata 'penawar' sebenarnya harus diterjemahkan sebagai 'integritas' (atas
doktrin/kepercayaan).

Masih halaman 112.

Qs 16:103 lebih dahsyat lagi ! Selain menyentil adanya bahasa asing dan Arab, juga
disebutkan bahwa :

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang
mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam[840], sedang Al
Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.

[840]. Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab
yang tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan
hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.

Mari kita bahas terlebih dahulu bahasa orang yang mereka tuduhkan.

Bagian kalimat ini merujuk pada seorang manusia yang mengajarkan (bahasa pada)
Muhammad. Untuk membantah ini, Qur'an menambahkan sebuah kata kerja yang tidak bisa
dijelaskan : yulhiduna (=tuduhkan) yang oleh salah seorang penerjemah Qur'an (Paret)
dibubuhi dengan tanda tanya. Tapi Tabari dengan sembarangan menafsirkannya sebagai "to
be fond of, drawn to, attracted to, inclined towards, lean towards somebody" (=tertarik,
mengarah pada seseorang) karena artinya menjadi aneh, menjadi : "Padahal bahasa orang
yang mereka tertarik ..." (??).

Kata yulhiduna ini sebenarnya adalah contoh mistranskripsi Arab dari kata Syro-Aramaic
lahada atau dalam bacaan di ayat itu seharusnya menjadi lammaha ila (=to allude to, to
refer to something= merujuk kepada sesuatu).

Jadi bagian kalimat di atas seharusnya dalam bahasa Arab dibaca : Lisanu l-ladi yarmuzuna,
yulammihuna ilayhi (=the language of the one to whom they are alluding, bahasa seseorang
yang mereka jadikan rujukan)

Jadi bunyi ayat itu seharusnya menjadi :


Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)", bahasa seseorang yang
dijadikan rujukan ...

Kita kembali kpd Qs 16: 103 (Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata:
"Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)".
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya
bahasa 'Ajam[840], sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.)

Dari keterangan2 di atas, tuduhan terhadap nabi bahwa ia diajarkan oleh seorang manusia
dibantah Qur'an dengan argumen bahwa orang itu berbicara bahasa asing, sementara Qur'an
sendiri dikomposisi dalam bahasa Arab. (Dengan kata lain menurut Muslim, gak mungkin
orang itu ngajar Muhamad, karena bahasa yang dikuasainya 'cuma' bahasa asing) Namun
demikian, tetap saja nampak sebuah koneksi langsung antar Quran dengan Kitab Yahudi
dan Kristen, yang dinyatakan telah ditulis dalam bahasa asing, seperti diakui Qur'an sendiri
dalam Qs 41:3:
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui, yang dijelaskan (Arab=fassal) berasal dari kata Syro-Aramaic parres.

Jadi seperti sudah dijelaskan di atas, dalam bahasa Syro-Aramaic, arti ayat di atas
sebenarnya :
A scripture that we have translated as an Arabic lectionary (or into an Arabic version) ...
(Sebuah kitab yang kami terjemahkan sebagai bacaan Injil (ke dalam sebuah versi Arab).

Perlu diketahui bahwa kata qur'an, yang berasal dari kata Syro-Aramaic qeryan (=reading,
pericope,*) selection for reading), di setiap ayat artinya tergantung dari konteksnya, yaitu :
(1) reading matter, study, teaching/learning (=pembacaan, studi, mengajar/belajar) dan
(2) unit, lesson (=unit, pelajaran)
(3) ecclesiastical lectionary. (=bacaan eklestiastik)

*) Catatan kaki no 163, hal 120:


Thes II 3716. Arti qeryana sebagai pericope (seleksi dari Injil untuk dibacakan dalam
upacara eklesiastik) ditegaskan dalam Qs 17:78, dimana qur'an al-fagr berarti pembacaan
(terseleksi) dari Injil bagi upacara fajar (Hora matutina). Istilah teknis ini mirip dengan
istilah Syriac qeryana d'eddan sapra = pembacaan (Injil) bagi upacara fajar. Bahwa yang
dimaksudkan dengan pembacaan ini BUKAN dari Qur'an tapi dari Injil dibuktikan oleh
Qur'an sendiri. Dalam Surat Mariam, dikatakan lima kali, wa-dkur fi l-Kitab = Ingat dalam
Kitab. Lihat juga Qs 19:16, 41, 51, 54, 56. Lebih lagi, Qur'an sebagai buku liturgi,
menggunakan istilah ini dalam arti upacara liturgis (officium) shg qur'an al-fagr sinonim
dengan salat al-fagr = upacara fajar (officium matutinum) (Qs 24:58)

Contohnya Qs 75:17-18

17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

Kata kerja Arab gama'a (=to bring together, to collect, mengumpulkan) yang berasal dari
kata Syro-Aramaic kannes (=to collect) merujuk langsung kepada mengumpulkan
cuplikan2 dari Scriptures/Kitab Injil.

Jadri arti Qs 75:17-18 sebenarnya :


17. It is incumbent upon us** to compile it (the Koran/Lectionary) (by means of excerpts
from the Scriptures) and to recite it (instructively).
(17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah** mengumpulkan (Qur'an/Lectionary) (lewat
cuplikan2 dari Kitab Injil) dan untuk dibacakan (secara instruktif).

18. When we** recite it (instructively), then follow its recitation (ie. the way it has been
taught you)
(18. Apabila kami** selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu (yaitu sesuai
dengan yang telah diajarkan kepadamu))

**PERHATIKAN JUGA BAHWA 'KAMI' dalam versi Syro-Aramaic TIDAK DITULIS


DALAM HURUF BESAR. Jadi, 'kami' tidak merujuk kepada Allah, tapi pada seseorang.

Dari ayat selanjutnya di bawah ini semakin jelas bahwa SESEORANG telah mengajarkan
Muhammad bagaimana cara membaca (Injil dalam bahasa Arab alias Qur'an).

Qs87:6: Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak
akan lupa.

Dalam versi Syro-Aramaic : Kami akan mengajarkanmu (Al Qur'an) (sedemikian rupa)
maka kamu tidak akan lupa.

Dan bahwa diperlukan waktu untuk mengumpulkan Qur'an tersebut dijelaskan oleh:
Qs20:114: ... dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu..."

Dalam versi Syro-Aramaic, kata 'disempurnakan' sebenarnya harus menjadi 'diajarkan' :


... be not hasty with (the recitation of) the Koran (ie Lectionary) before it be taught you
completely.
(... jangan tergesa-gesa dengan (pembacaan) Qur'an (yaitu bacaan Injil) sebelum diajarkan
secara lengkap kepadamu.)

Dan karena Kitab Injil ditulis dalam bahasa asing, sebuah terjemahan dalam bahasa Arab
sangat penting. Inipun oleh Qur'an dijelaskan lebih jelas lagi dalam Surat Maryam dibawah
ini.

Qs 19:97 Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar
kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang
bertakwa ...

Kata mudahkan (yassara) memang dalam bahasa Arab berarti to facilitate, to make easy.
Tapi, kata kerja yang sama dalam Syro-Aramaic (passeq) berarti: to make easy, facilitate, to
explain, to annotate, to transfer DAN to
translate (menerjemahkan). Dan sehubungan dnegan "bahasa', maka artinya adalah
"menerjemahkan.'

Seperti dalam contoh pemakaiannya dalam bahasa Syro-Aramaic dalam Thesaurus II


3326 : passeq ktaba hana men lessana yawnata l-suryaya = "he translated this book from the
Greek into the Syriac language." (ia menerjemahkan buku itu dari bahasa Yunani ke bahasa
Syriac.)

Jadi Qs 19:97 harus diartikan sbb:


We have translated it (the Koran or the Scripture) into your language so that you may
proclaim it (the Koran or the Scripture) to the (god-)fearing ...
(Kami menerjemahkannya (Qur'an atau Kitab Injil) ke dalam bahasamu agar kamu dapat
mengumumkannya (Qur'an atau Kitab Injil) kepada orang-orang bertaqwa ...)
Halaman 124.

Ayat2 lainnya yang menggunakan kata Arab, yassara, juga harus diartikan sesuai dengan
kata tersebut

Qs44:58 : 58. Sesungguhnya Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu supaya
mereka mendapat pelajaran.

Seharusnya menjadi : Sesungguhnya kami menerjemahkan … dsb

Lihat juga ayat2 Qs 54:17, 22, 32 & 40.

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang
yang mengambil pelajaran?

Sebagai istilah teknis, yassara tidak dapat diartikan sebagai ‘mudahkan,’ mengingat Allah
sudah memberikan Quran kpd Muhamad “khusus dalam bahasanya.” Istilah itu jelas
menunjukkan bahwa Qur’an dimunculkan sebagai terjemahan dari Kitab-kitab (terdahulu).
Kata ini pula lebih logis terdengar dalam ayat tersebut. di atas.

Kenyataan bahwa Qur’an tidak menganggap diri sebagai wahyu langsung, ditegaskan
dalam Qs42:51:

Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.

Kata akar Arab waha—yang dalam kalimat di atas menjadi awha—dalam bahasa Arab
berarti to give, to inspire, to reveal (=memberi, menginspirasi, mengungkapkan). TAPI
karena kata itu merupakan pinjaman dari kata akar Syro-Aramaic hawwi, maka artinya bisa
diperluas lagi menjadi “to show, to indicate, to present, to announce, to communicate, to
teach (=menunjukkan, mengindikasi, menyampaikan, mengumumkan,
mengkomunikasikan, mengAJARKAN).

Oleh karena itu semua ayat Qur’an yang mengandung ekspresi2 tersebut sebaiknya ditinjau
kembali artinya dan diperiksa lagi kata akarnya dalam Syro-Aramaic.

PLUS, rasul tidak otomatis berarti malaikat, tetapi seseorang (dikirim Tuhan), entah
seorang utusan atau misionaris, yang Qur’an biasanya menyebutkan sebagai nabi Islam.

Oleh karena itu, ayat di atas harus diartikan sbb:

With no man has God ever (directly) spoken except through inspiration or behind a curtain
or in that he send a messenger who, with His permission, teaches (him or communicates to
him) what He wants.
(Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata langsung kecuali
dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang rasul yang,
dengan ijinNya, mengajarnya (atau berkomunikasi dengannya) apa yang Dia kehendaki.)

NAHHH, dengan kata-kata yang jelas secara linguistik ini, Qur’an memberikan indikasi
jelas tentang bahasa yang diakuinya sebagai bahasa Kitab-kitab (terdahulu) yang esensial
bagi kelahirannya (Qur’an). Dengan bahasa yang untuk pertama kalinya disebut bahasa
”ARAB”, Qur’an jelas ingin agar bahasa (Arab) tersebut yang norma-normanya baru
dibentuk 200 tahun kemudian, dapat dimengerti dengan jelas. Inilah alasan kami menguak
misteri di belakang bahasa Qur’an---yang jelas merujuk kepada istilah q e r y a n.
SURAT 108 : al Kawtar (hal 292)
[Mengapa kami membahas Surat ini nanti dapat dilihat pada akhir pembahasannya. ]

Kawtar atau Kawthar dalam legenda Islam oleh nabi sendiri dikatakan sebagai sebuah
sungai (atau kolam) di Surga yang dimaksudkan baginya (ibn Hisham hal 29=61 & tabari,
Tafsir XXX 179). Menurut pandangan kemudian (lihat AHwal al-Qiyama, ed Wolff, hal
107), semua sungai surga mengalir ke Hawd al-Kawthar yang juga disebut Nahr
Muhammed.

Surat pendek ini ternyata telah membuat pusing tujuh keliling para akademisi Qur’an baik
di Timur maupun di Barat. Bahkan Tabari (XXX 320-330) mencoba menafsirkannya dalam
11 halaman.

Qs 108:1: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.


Atau dalam bahasa Arabnya : inna a ‘taynaka l-kawtar

PADAHAL ayat (1) :al-kawtar sebenarnya adalah terjemahan dari kata Syro-Aramaic
kuttara (=constancy, persistence, steadfastness/konstan, keteguhan, kegigihan), yang
merupakan bentuk nominal dari kata kerja kattar (=to persevere/berupaya keras).

Kata Syro-Aramaic ini juga muncul dalam Surat 20:33,34 : kay musabbihaka katira/ wa-
nadkuraka katira, yaitu supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak
mengingat Engkau.

Dalam versi Indonesia di atas diterjemahkan sebagai ‘banyak’ tapi dalam bahasa Syro-
Aramaic/Inggrisnya diterjemahkan sebagai “that we may constantly glorify Thee and make
constantly remembrance of Thee.”

Seharusnya bentuk kata tidak lazim dalam bahasa Arab ini; kawtar, mengundang
kecurigaan para akademisi. Bukan juga kebetulan bahwa kata kawtar dalam bahasa Arab
tidak pernah berarti “banyak.” Dan sampai sekarangpun dalam bahasa Syro-Aramaic, kata
‘kawtar’ (=konstan) berarti sungai di Surga dan digunakan sebagai nama wanita,
“Constantia.”

Jadi ayat tersebut bunyinya seharusnya :


Qs 108:1: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu (nilai-nilai yang) konstan.

2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah


fa-salli li-rabbika wa-nhar

Begitu juga dengan ayat ini. Kata salli di atas dipinjam dari Syro-Aramaic salli
(=solat/berdoa).

Jadi kata kini diterjemahkan secara benar. No problem. Tapi kata selanjutnya,wa-nhar,
disalahartikan sebagai berkorban. Akar katanya adalah ngar (=to wait, to hold, to
persist/menunggu, menahan, berteguh). Jadi seharusnya harus diartikan sebagai persist in
prayer (=teguh dalam doa).

Jadi lebih masuk akal kalau ayat di atas berbunyi : Maka dirikanlah shalat ... dan
berteguhlah (dalam shalat)

Qur’an sendiri juga menggunakan kata dengan kata akar yang sama, sabar (Arab) dari
saybar (Syro-Aramaic) dalam Qs19:65 (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam
beribadat kepada-Nya) dan Qs 20:132 (Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan
shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya). Lihat juga Qs 70:23.

3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.


inna sani’aka huwa l-abtar

Kata sani’aka (=pembencimu/musuhmu) adalah adaptasi dari kata Syro-Aramaic sanak


yang selalu merujuk kepada SETAN, bukan manusia. Jadi ayat di atas salah
terjemahannya !

seharusnya bunyi Qs108:1-3:

1. We have given you the virtue of constancy


2. So pray to your Lord and persevere (in prayer)
3. Your adversary (the devil) is then the loser.”
(1. Kami memberimu nilai-nilai kegigihan
2. Maka dirikanlah shalat dan berteguhlah
3. maka Musuhmu (setan) adalah yang kalah.

Christian Epistolary Literature in the Koran hal 300

Nah, inilah alasan mengapa kita membahas Qs di atas.

Surat singkat tersebut didasarkan pada liturgi Kristen Syria karena bentuknya sangat mirip
dengan doa terkenal yang digunakan dalam compline (=doa malam) agama Roma Katolik
yang ritual sembahyang dulu (dan bahkan masih dilakukan sekarang di biara-biara)
mencakup doa LIMA kali (pagi, siang, sore, malam, subuh).

Sebuah monasteri Benedict sedang melakukan doa Vespers


http://en.wikipedia.org/wiki/Compline
http://en.wikipedia.org/wiki/Liturgy_of_the_Hours

Current usage focuses on three major hours and from two to four minor hours:
- Lauds or Morning prayer, major hour
- Daytime prayer, which can be one or all of: Terce or Mid-Morning, Sext or Midday, None
or Mid-Afternoon Prayer
- Vespers or Evening Prayer, major hour
- Compline or Night Prayer

Lihat First Epistle General of Peter, Bab 5, ayat8-9 (menurut Psitta):


8. “Wake up (brothers) and be vigilant, because your adversary the devil, as a roaring lion,
walketh about, seeking whom he may devour: 9 Whom resist steadfast in the faith.”
(8 Bangunlah (saudara) dan sigaplah, karena musuhmu, setan, seperti singa yang mengaum,
berjalan-jalan, mencari siapa yang bisa dimakannya: 9 siapa yang teguh dalam agama.)

Jadi yang dimaksudkan dengan musuh dalam Surat 108 BUKAN musuh nabi Muhammad,
melainkan SETAN. Teks ini jelas adalah dari jaman pra-Qur’an. Qur’an dengan demikian
adalah bagian dari buku liturgi Kristen dari ‘periode Mekah pertama.’ Kata ganti kedua,
‘kamu,’ dalam Surat ini dan Surat2 lain tidak otomatis menunjuk kepada nabi. Adalah
kebiasaan dalam buku-buku liturgis untuk merujuk kepada pembaca (pengikut agama)
dalam kata ganti kedua.

Seperti juga dalam compline (doa malam) Gereja Katolik Roma, kita dengan mudah bisa
membayangkan ketiga ayat ini sebagai sebuah pendahuluan bagi doa Syro-Aramaic.
Penerjemah Qur’an (Richard Bell) curiga apakah Qs108 tidak juga merupakan fragmen
dari Qs74, karena beserta dengan Qs73, Qs108 ini mirip dengan seruan bagi doa pagi (=
doa2 vigil) mirip dengan doa-doa biara Katolik.

(Qs73:1-2: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di


malam hari…
Qs 74:1-2 : Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. bangunlah, lalu berilah peringatan!
…)

Qs 96

Satu lagi contoh bagus adalah Qs 96 yang sering disalah-artikan. Judul Surat itu, al-Alaq
yang diartikan sebagai “gumpal darah.”

Menurut tradisi, Surat ini dianggap sebagai permulaan wahyu kepada nabi yang
disampaikan Jibril di Goa Hira. Jibril, demikian menurut legenda Islam, mencekik
Muhamad dan memaksanya untuk membaca.
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
iqra b-ismi rabbika l-ladi halaq

Kata qara’a ini jelas dipinjam dari Syro-Aramaic (qra) yang berarti : membaca. Peninjauan
kembali anak kalimat iqra bi-smi rabbika sangat penting mengingat Surat ini dianggap
sebagai permulaan diturunkannya wahyu.

Ahli Qur’an Barat menunjuk kepada ekspresi dalam Injil Ibrani qra b-sem Yahwe yang
diterjemahkan sebagai “proklamirkan nama Tuhanmu.” Ahli bahasa Arab, Abu ‘Ubaida,
mengatakan bahwa qara’a sama artinya dengan dakara (=memanggil/menyebut). Dalam
bahasa Syro-Aramaic,qra b-sem marya berarti “Sebutkan dalam nama Tuhanmu!” Ini
digunakan dalam permulaan sebuah doa dan inilah yang kemudian diganti dalam Qur’an
menjadi bi-smil-lah rahman rahim (=Dalam nama Allah dsb).

Jadi mengingat konteks Surat di atas, tidak tepat kalau kita mengartikan ayat 1 di atas
sebagai ‘membaca dari sebuah buku.’

OLEH KARENA ITU, TEORI BAHWA MUHAMAD DISURUH MEMBACA OLEH


JIBRIL DI GOA HIRA ADALAH SALAH ! Ini hanyalah legenda tradisi Arab yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Surat di atas hanyalah sebuah panggilan untuk berdoa.

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah


(halaqa l-insana min 'alaq)

Kata 'alaq dalam ayat di atas diartikan sebagai segumpal darah. Kata itu berasal dari kata
kerja 'alaqa = to stick, to cling/menempel, dan kata bendanya juga 'alaqa = leech/lintah.
Oleh karena itu, arti 'segumpal darah' dalam ayat di atas haruslah diragukan. Menurut Syro-
Aramaic dalam Thesaurus (II 2902), aloqa (yang menjadi pinjaman bagi kata Arab alaqa)
berarti entah 'lintah' atau 'tanah liat' atau 'adonan yang menempel pada tangan.'

Dengan demikian, ekspresi 'alaq bisa dijelaskan karena artinya, “melekat/lengket,” memang
digunakan Qur'an dalam hubungannya dengan “tanah liat”, seperti dalam Qs 37:11 : we
have created you out of sticky clay (sticky dalam bahasa Arab =lazib). Tapi dalam versi
bahasa Indonesianya hanya diterjemahkan sebagai ‘tanah liat,’ dan bukan sebagai ‘tanah
liat yang melekat’, yaitu Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.”
Qur’an menggunakan ekspresi yang sinonim agar bunyinya terdengar serasi seperti sajak
dengan ekspresi ‘min alaq’, yang dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang melekat = tanah
liat yang melekat.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,


(iqra wa-rabbaka l-akram)

idem ayat 1. 'Baca' harusnya 'Sebut' !

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam [1589],


[1589. Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.]
(al-ladi ‘allama bi-l-qalam)

Karena Tuhan mengajari manusia bi-l-qalam, “dengan pena daun kalam,” maka kiasan ini
masuk akal kalau artinya sebenarnya adalah “pengetahuan yang diturunkan lewat al-kitab
(injil).”

http://everything2.com/title/Calamus
Calamus, the reed pen which the ancients used in writing, made of the stem of a reed
growing in marshy places, of which the best were obtained from Egypt. The stem was first
softened, then dried, and cut and split with a knife, as quill pens are made. To this day the
Orientals generally write with a reed.

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.


(allama l-insana ma lam ya ‘lam kulla)

6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas


(al-insan la-yat ‘a)

Ayat di atas seharusnya berbunyi Sesungguhnya manusia benar-benar LUPA !


Penjelasannya PUANJAAAAANg sekali, dari halaman 306-312 ...

7. karena dia melihat dirinya serba cukup.


(in ra-hu stagna)

Juga, karena salah baca kata sambung …[…] ayat 6-7 seharusnya dibaca : 6. Sebenarnya,
manusia lupa 7. ketika ia melihat dirinya menjadi serba cukup.

8. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).


(anna ila rabbika r-rag‘a)

Seharusnya dibaca : bahwa ini(=kekayaan) harus dikembalikan kepada Tuhanmu.


Jadi .... kekayaan dan bukan dirimu yang harus dikembalikan kepada Tuhan.

9. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang


(a-rayta l-ladi yanha),

Seharusnya : Jika kau melihat orang yang melarang

10. seorang hamba ketika mengerjakan shalat,


(‘abdan ida salla)

11. bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran
(a-rayta an kana ‘ala l-huda)
12. atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
(aw amara bi-taqwa)

13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
(a-rayta an kaddaba wa-tawalla)

14. Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?

15. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik
ubun-ubunnya,
(a-lam ya‘lam bi-annA llaha yara kulla)
Ubun2 di atas adalah hasil terjemahan yang salah. Arti sebenarnya adalah opponent,
adversary/oposisi, musuh. Jadi seharusnya dibaca: Jika ia tidak berhenti, niscaya kami akan
hukum musuh (dengan keras).

16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka


(l-en lam yantahi la-nasfa‘an bi-n-nasiya).
musuh yang mendustakan lagi durhaka.

17. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),


(fa-l-yad‘u nadiya-hu)
Maka biarlah dia memanggil dewa-dewanya (idols, impure ones)

18. kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah [1592] Malaikat Zabaniyah ialah
malaikat yang menyiksa orang-orang yang berdosa di dalam neraka.
(sa-yad‘u z-zabaniya)

As-zabaniya/Zabaniyah sampai sekarang masih dianggap teka teki. Tapi kata itu berasal
dari kata Syro-Aramaic zabnaya yang berarti transitory, not eternal/sementara, tidak abadi.
Jadi konteksnya tepat sekali : dewa-dewa yang tidak abadi dari musuh yang durhaka. Jadi
ayat di atas seharusnya : … ia (hanya) akan memangil (dewa) tidak abadi

NAHHHH ... DAN INILAH AYAT YANG PALING DAHSYAT ... YANG SAMPE
MENGAKIBATKAN PENULIS BUKU INI SAMPE MENERIMA ANCAMAN
PEMBUNUHAN. SIMAKLAHHH !!!

19. sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah
(dirimu kepada Tuhan)
(wa-sgud wa-qtarib)

Kata kerja sujud = iqtarab (bahasa Arab) = etqarrab (Syro-Aramaic) yang menurut
Thesaurus (II 3724) berarti “spec.celebrata est liturgia” (merayakan liturgy); “it.
Eucharistiam accepit” (untuk MENERIMA EKARISTI) (!!!)

Mereka yang SHOOOOCKKKKK atas arti di atas silahkan merujuk kepada disertasi dalam
bahasa Arab, “Religious Customs and Rites Among Christian Arabs Before Islam,” (=Adat
dan Upacara Agama oleh Arab-Arab Kristen Sebelum Islam.) (Sayangnya penulis buku
menunjuk kepada footnote yang nomornya salah cetak dan bang ali5196 tidak berhasil
menemukannya. Kalau ada yang bersedia bantu mencarinya dalam buku itu dalam halaman
google di halaman depan post ini, silahkan. Be my guest. And thanks sebelumnya)

Jadi menurut ulasan di atas, Qs 96 adalah sebuah panggilan untuk mengikuti liturgi Kristen
yang kemudian oleh tradisi Islam diganti dengan fatiha atau ptaha (Syro-Aramaic) yang
berarti doa pembuka. Dari akhir ayat tersebut juga diketahui bahwa liturgi ini adalah sebuah
Communion/Komuni/Pengambilan hosti=roti Kristus/Ekaristi.
Kalau tradisi Islam menganggap Surat ini sebagai Surat paling tua, maka masuk akal bahwa
Surat ini adalah nucleus/asal muasal Qur’an, atau berasal dari budaya pra-Qur’an.
Keyakinan bahwa Surat ini adalah yang pertama yang diwahyukan kepada nabi
kemungkinan didasarkan pada legenda belakangan yang tumbuh akibat salah tafsir ayat
pembukanya. Juga, mengingat bahwa bahasanya misterius dan penuh teka teki, maka jelas
bahwa ini berasal dari jaman pra-Qur’an.

Salah satu ekspresi penuh teka-teki adalah iqtarab yang dipinjam dari kata kerja Syro-
Aramaic etqarrab. Sebagai sebuah istilah teknis dari liturgi Syria Kristen, kata ini
memberikan sebuah teropong ke dalam asal mula, bukan saja bagian2 paling tua Qur’an,
tapi juga sejarah agama. Kata ini membuka mata kami pada sebuah paralel dalam—apa
yang dianggap sebagai Surat yang turun paling akhir--- Qs 5 (al Maa’idah) yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘hidangan,’ tapi dalam bahasa Inggrisnya
diterjemahkan sebagai ‘The Table’ (=meja). Sampai sekarang paralel ini dari segi sejarah
sangat penting tapi tidak diacuhkan.

Lihat Qs5:114. Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada
kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami
yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami … ".

Dan ---- hari raya dalam bahasa Syro-Aramaic diterjemahkan sebagai LITURGI (!!!!!!!!!)-

Catatan kaki : **) arti sebenarnya id = hidangan, datang dari Syro-Aramaic ida/yada.
Menurut Thes II 2827: yada = ritus, caeremonia (ritual/upacara)
-------

“Religious Customs and Rites of Christian Arabs Before Islam” mengacu kepada karya
kompilasi bahasa Arab, Kitab al-Agani (vol II 107) dari Abu l-Farag al-Isfahani
(w.356H/967M) yang melaporkan tentang ‘Adi ibn Zayd (w.590M) dan Hind bint an-
Nu‘man (w.602M) bagaimana mereka pada hari Maundy Thursday (=hari Kamis sebelum
Paskah hari Minggu) masuk ke dalam gereja al-Hira (di barat daya Sungai Efrat di Irak
sekarang) mengadakan li-yataqarraba = mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi (atau
menerima Ekaristi).

Dalam Kitab al-Agani (Book of Songs/Buku Lagu-lagu), Abu l-Farag al-Isfahani (w.967)
mengutip penyair Kristen Arab pra-Islam, ‘Adr ibn Zayd, yang hidup di Al-Hira, dimana
pada hari Maundy Thursday ia pergi ke gereja al-Hira untuk li-yataqarrab (=merayakan
Ekaristi), ia ingin melihat Hind, puteri raja terakhir Lahmid dari al-Hira, an-Nu‘man III
(580-602) yang juga pergi ke gereja tersebut untuk tata-qarrab (=merayakan Ekaristi).
Istilah ini juga masih digunakan oleh Kristen2 Arab di Timur Tengah dan Turki.

Jadi, istilah liturgis ini sudah didokumentasi secara histories dalam abad 6 oleh orang Arab
sebagai istilah eklesiastik dari Arab2 Kristen Syria dan Mesopotamia (=Irak).

Jadi Qs tersebut isinya lebih masuk akal dan kedengarannya juga lebih 'mengalir', kalau
dibaca begini, seperti seharusnya :

1. Sebutkan dalam nama Tuhanmu!

2. yang telah menciptakan manusia dari tanah liat yang melekat

3. Sebutlah Tuhanmu Yang Maha Pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (yaitu INJIL !)


5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya

6. Sesungguhnya manusia lupa

7. ketika ia melihat dirinya menjadi serba cukup

8. bahwa ini(=kekayaan) harus dikembalikan kepada Tuhanmu.

9. Jika kau melihat orang yang melarang

10. seorang hamba ketika mengerjakan shalat,

11. bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran

12. atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?

13. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?

14. Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya ?

15. Jika ia tidak berhenti, niscaya kami akan menghukum musuh (dengan keras),

16. musuh yang mendustakan lagi durhaka

17. Maka biarlah dia memanggil dewa-dewanya,

18. ia (hanya) akan memangil (dewa) tidak abadi

19. sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; maka lakukanlah liturgi dan
ambillah bagian dalam Ekaristi.

RESUME hal 326

Sejarah dan pengaruh bahasa Aram (Aramaic) dalam proses pembuatan Qur’an tidak
banyak diakui, walau berperan sebagai mediator antara budaya Aram yang berusia lebih
dari 1000 tahun dan budaya Arab yang merupakan sempalannya.

Catatan kaki : Adanya huruf2 Syro-Aramaic dalam Kodex2 Quran dini dalam gaya bahasa
Higazi dan Kufi merupakan bukti bahwa Qur’an dini ditulis dalam Garshuni/Karshuni
(yaitu Arab dengan buruf Syriac)
[…]
Yang dimaksud dengan al-injil dalam Qur’an adalah Diatessaron dalam bahasa Syriac, atau
yang dinamakan dengan Injil Harmoni (Gospels Harmony), sebuah disposisi kronologis
dari empat injil yang disusun oleh orang Syria, Tatianus, kemungkinan dalam pertengahan
abad kedua. (Jan MF van Reeth dalam essaynya “Le Coran et ses scribes” dalam Acta
Orientalia Belgica, […] 2006)

I. Bahasa Qur’an
Para filolog Arab sendiri sadar bahwa bahasa yang disebut Arab dalam Qur’an berbeda
secara esensial dari bahasa Arab klasik yang datang belakangan, yaitu yang disebut dengan
‘Arabiya. Studi ini menunjukkan bahwa, asumsi adanya sebuah dialek bahasa Arab yang
digunakan di MEKAH oleh suku Quraysh, adalah salah. Bahasa ini sebenarnya adalah
bahasa campuran Aram-Arab. Bukan hasil studi ini saja yang mengantar pada kesimpulan
demikian. Dalam sejumlah hadis kami temukan istilah-istilah dalam bahasa Aram yang
sering disalahartikan atau tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa Arab.

ASAL USUL MEKAH

Ini membawa kita pada asumsi bahwa MEKAH DULUNYA ADALAH KOTA YANG
DIHUNI ORANG ARAM. Ini dibuktikan oleh kata ‘Mekah’ yang tidak dapat dijelaskan
artinya secara etimologis dalam bahasa Arab. Tapi kalau kita melihat kata akarnya dalam
bahasa Syro-Aramaic, maka dari kata mak/makk yang berarti rendah, kita mendapatkan
kata sifat makka (maskulin) atau makkta (feminin). Secara topografis, kata sifat ini
menunjuk pada sebuah tempat yang berlokasi disebuah kawasan yang letaknya rendah atau
disebuah lembah, PERSIS SEPERTI MEKAH (!!). Bertentangan dengan kata ramai
(maskulin) atau ramta (feminin yang berarti tinggi, atau sebuah tempat yang terletak di
sebuah gunung, lembah atau petinggian).

Thesaurus (II 2099pf) memberi kita ekspresi dukkyata makkata yang berarti agri minoris
pretii (tanah pertanian yang berkualitas rendah). Ini mengkonfirmasi Qs 14:37 dimana nabi
Ibrahim mengatakan :

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah


yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah)

Jadi, kedua arti dalam bahasa Syro-Aramaic ini menunjuk pada Mekah dan bahwa pada
jaman dulu (pra-Islam), Mekah adalah sebuah tempat orang2 ARAM.

Dalam Qs 3:96, nama kedua Mekah diasumsi sebagai Bakkah. Tapi ini merupakan suatu
salah terjemahan.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah
Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia

Para penerjemah Qur’an mengikuti tafsir Tabari (IV 9f), dimana kata yang tidak dapat
dijelaskan oleh bahasa Arab ini, diasumsi sebagai Mekah. Tabari secara etimologis
menunjuk pada kata kerja Arab ‘bakka’ (=mendorong, menekan) yang menunjuk pada
distrik Ka’bah dan sekitarnya, dimana para pehijrah saling mendorong untuk
mengelilinginya. Nama Bakka oleh karena itu, menurut Tabari, menunjuk pada Ka’bah dan
Makka menunjuk pada rumah2 di sekitarnya, atau kota itu sendiri (Mekah).

TAPI Bakkah adalah hasil salah baca. Kata akarnya dalam Syro-Aramaic seharusnya adalah
taykeh , atau dalam bahasa Arab, tayyakahu, yang berarti ‘mengelilingi (dengan tembok).’

Jadi Qs 3:96 seharusnya dibaca :

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah
yang Ia pagari (dikelilingi dengan tembok) sebagai yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia

Ini konsisten dengan ayat berikutnya, Qs 3:87, yang mengatakan bahwa tempat
tinggal/residensi (m-qama = yang dalam versi Indonesianya diterjemahkan sebagai
MAKAM) Abraham, berlokasi di distrik ini dan siapapun memasukinya (Baitullah itu)
menjadi amanlah dia.
Sementara itu, asal usul Aram Medinah juga sudah diidentifikasi oleh S. Frankel
(Aramaeische Fremdwoerter 280). (sayang di buku ini tidak ada keterangan lebih lanjut
tentang asal usul Aram Medinah.---ali5196)

Menurut Qs 2:47, Qur’an secara nyata memberi nabi tugas untuk memproklamirkan pesan
Qur’an kpd ummul Qura (metropolis yang dinamakan Mekah) dan penduduk sekelilingnya.
Versi Indonesianya menambahkan dalam tanda kurung : negeri-negeri.

[7. Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu
memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri)
sekelilingnya[1339] serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang
tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.]

Jadi Qur’an ditulis untuk orang-orang Arab (pada tempat tertentu), dalam bahasa yang ada
pada jamannya dan BUKAN bagi orang-orang Arab yang bahasanya berbeda 150 tahun
kemudian. Inilah mengapa orang-orang Arab kemudian tidak lagi dapat menerjemahkan
Qur’an dalam bahasa Arab (modern) secara sempurna. […]

II Tradisi Lisan

Dengan adanya begitu banyak kesalahan dalam membaca dalam ayat2 Qur’an, kita harus
mempertanyakan otentisitas tradisi lisan arab. Manuskrip2 Qur’an dalam tulisan Arab yang
defektif (tanpa tanda-tanda vokal) jelas menunjukkan bahwa tanpa tradisi lisan yang bisa
dipercaya, teks macam itu tidak akan mudah ditebak, bahkan oleh para ahli sekalipun. Oleh
karena itu bisa dimengerti bahwa pelaku2 exegetes dan filolog Arab yang dari generasi ke
generasi mencoba mengupayakan pembacaan Qur’an yang koheren, tidak mampu
menjalankan tugasnya karena mereka menerjemahkan sebuah teks tua ke dalam bahasa
yang baru distandardisasi pada pertengahan abad 8. Ini menjelaskan mengapa ada begitu
banyak salah baca dan salah tafsir dalam Qur’an.

Ini akan berdampak besar pada Studi Qur’an. Selama ini exegesis Qur’an di Barat maupun
di Timur dimulai dari asumsi sejarah secara salah. Ini terbukti dari, paling tidak,
terjemahan2 Qur’an di Barat, yang pelakunya tidak dapat menerjemahkan kata2 aneh
dalam Qur’an dengan bahasa Arab yang terbatas.

III Filologi Arab[…]

Para filologis Arab mendasarkan refleksi mereka pada Qur’an sebagai monumen tertulis
pertama dan juga pada sajak Arab Tua (Old Arabic poetry). Sajak-sajak tersebut tidak
diabadikan dalam tulisan dan hanya didasarkan pada tradisi lisan nomad2 Arab yang, di-
asumsi telah mengabadikan tanda hamza, tanda henti pada posisi tengah atau final, sejak
jaman prasejarah.

Sementara itu, kita juga asumsi bahwa tanda hamza dan alif dalam teks Quran dimasukkan
belakangan, berdasarkan pada tradisi lisan dan hebatnya ingatan orang2 Arab, apalagi
menyangkut ayat2 kitab suci mereka. Tapi sampai sekarang tidak ada satupun orang yang
berani secara serius menyidik kecurigaan apakah teks Qur’an tidak didistorsi dengan
peletakan tanda2 vokal dan titik2 diakritik (diacritical points—pada huruf2 Arab gundul)
yang salah.

Karl Vollers, misalnya, dalam kesimpulan karyanya, Volkssprache und Schriftsprache im


alten Arabien (184), percaya bahwa “cara bahasa Qur’an, yang didasarkan pada imitasi,
dipuji sebagai ‘Arabiya (bahasa Arab) asli harus dinyatakan oleh sejarawan sebagai
pemalsuan.” Bentuk Qur’an dalam edisi kanonis Kairo-pun, kalau dibaca dengan benar,
sudah cukup untuk membawa kita pada kesimpulan itu.
IV Kesalahan Historis
Jadi … kesimpulan dari studi ini adalah bahwa transmisi lisan teks Qur’an (lewat isnad-
isnad) yang bisa dipercaya hanyalah legenda belaka. Mengingat bahwa para ahli bahasa
Arab dan para ahli tafsir bisa salah dalam membaca ekspresi kata-kata Arab tulen PUN,
maka jika pun tradisi macam itu pernah eksis, maka tradisi itu pernah di-interupsi sejak
dini. Atau (konklusi lebih buruk lagi): tradisi itu memiliki kesenjangan-kesenjangan
panjang.

V Pengartian Baru Qur’an


Jika analisa filologis dengan kriteria obyektif di atas menunjukkan bahwa teks Qur’an telah
disalah-baca sampai pada tingkat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, maka
konsekwensi yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa kini diperlukan sebuah pengartian
fundamental baru dari Qur’an. Hasil dari studi ini bisa dijadikan acuan bagi upaya ini.
Lexicografi Syro-Aramaic bukan saja genting bagi bukti adanya jejak2 Aramaisme
(Syriakisme) tapi juga menentukan perbendaharaan kata Qur’an. Jadi tidaklah terlalu
mustahil bahwa dengan karya kami ini terbuka jalan bagi terbentuknya sebuah Qur’an baru.

SELESAI ... AMINNN !!

ali5196
Translator

Anda mungkin juga menyukai