Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SEJARAH PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI FATIMIYAH


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. Dina Safitri ( 22329056 )


2. Lola Ajuen ( 22329071 )
3. Kharisma Salma ( 22329133 )

Dosen Pembimbing :
Dr. Rini Rahman, S.Ag, M.Ag

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


DEPARTEMEN ILMU AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
i
A. PENDAHULUAN
Dinasti Fatimiyah termasuk Dinasti Syiah yang didirikan oleh Ubaidillah
Al-Mahdi. Dinasti ini berkuasa dari tahun 909 M sampai dengan tahun 1171
M., atas dasar legitimasi klaim keturunan Nabi lewat Fahtimah dan Ali bin
Abi Thalib dari Ismail anak Jafar Sidik. Dinasti ini didirikan sebagai
tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Bagdad, yaitu
Bani Abbasiyah. Wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah meliputi Afrika Utara,
Mesir, dan Suriah. Berdirinya Dinasti Fatimiyah dilatarbelakangi oleh
melemahnya Dinasti Abbasiyah. Pada masa Dinasti Fatimiyah, lembaga
pendidikan yang digunakan sebagai basis pengembangan pendidikan terdiri
dari; Masjid, Istana, Perpusakaan dan Akademi (lembaga riset).
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Fatimiyah meliputi
beberapa bidang ilmu seperti; Bahasa dan Sastra, Ilmu Kedokteran, Syair dan
Filsafat. Berkenaan dengan hal tersebut, universitas Al-azhar merupakan
lembaga pendidikan tinggi, sekaligus menjadi bukti sejarah peradaban Dinasti
Fatimiyah dalam pengembangan pendidikan, dan sampai sekarang menjadi
kiblat pendidikan yang bernuansa Islam.

1
B. PEMBAHASAN

1. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah.


Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir
pada 567 H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan
keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah
ke Mesir. Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi
Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu.
Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari
pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW.
Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi
perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada
kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini,
hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya:
1) Pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya
Rasulullah SAW.
2) Ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk
mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah
lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak
Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.

Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id


bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al
Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di
daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama.
Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan
gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan
Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan. Pada awalnya, Syiah Ismailiyah
tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin
Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik
keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara
rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim
untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada
akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.

2
Pasca kematian Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat oleh
Abu Abdullah al-Husain, melalui propagandanya ia mampu menarik
simpati suku Khitamah dari kalangan Berber yang bermukim didaerah
Kagbyle untuk menjadi pengikut setia. Dengan kekuatan ini, mereka
menyeberang ke Afrika Utara dan berhasil mengalahkan pasukan Ziyadat
Allah selaku Penguasa Afrika Utara saat itu. Syi’ah Islamiyah mulai
menampakkan kekuatannya setelah tampuk Pemerintahan dijabat oleh
Sa’id ibn Husain al-Islamiyah yang menggantikan Abu Abdullah al-
Husain. Di bawah kepemimpinannya, Syi’ah Islamiyah berhasil
menaklukkan Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah Aglabiyah pada
tahun 909 M. Said memproklamasikan dirinya sebagai imam dengan gelar
Ubaidillaj al Mahdi.
Sa’id mengaku dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib seorang
cucu imam Islamiyah. Namun kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id
berasal dari keturunan Yahudi sehingga dinasti yang didirikannya pada
awalnya disebut dinasti Ubaidillah. Sementara Ibn Khaldun, Ibn al-Asir
dan Philip K. Hitti berpendapat bahwa Sa’id memang berasal dari garis
keturunan Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW, yang bersambung garis
keturunannya hingga Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah merupakan
khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama lebih kurang 25
tahun (904-934 M).
Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan
wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa,
Alexandria, Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Kahalifah al-
Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota
Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota pemerintahan. Di Afrika Utara
kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada tahun 909 mereka dapat
menguasai dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang bani Idris di
Maroko. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil
kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti
Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.

3
Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan
Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz
behasil menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir.
Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera
dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah
sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat
perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan
dan kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak,
peralatan kaca, ramuan, obat-obatan.
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu
pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan
mendapat dukungan penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada
tahun 1005 M dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah
bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-
Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.

2. Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Fatimiyah.


Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak
dapat dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam
menegakkan daulah/negara. Untuk itu, pemerintah Fatimiyah sangat
memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka
berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi, Nasrani,
Turki, Sudan. Menurut Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap
moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim
sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan
kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak
orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah
dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah. Akan tetapi,
Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang
Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif.

4
Al-Mu’iz yang dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan
telah murtad, mati sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin
di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab
tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita
karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang yang tidak
senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang
sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah. Sementara itu, agama
yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman
Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para
missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran
tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa
kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era kebangkitan dan
kemajuan mazhab Islamiyah.
Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang
yang tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum
bunuh. Pada tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki
yang tidak mau mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di
tahun 395 H, al-Hakim juga memerintahkan agar di mesjid, pasar dan
jalan-jalan ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat. Jelasnya
peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan
mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah
terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat
berupa apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara
Al-Hakim misalnya, agar terjalin hubungan yang baik dengan
rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak dengan
menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah Abu Bakar dan
Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang khusus
mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu
sehingga warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah
hidup dikawasan sunni. Sikap yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak
sekejam yang dilakukan Abdullah al-Saffah yang berusaha mengikis habis
siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di awal masa kekuasaannya.

5
Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat
secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah Isma’iliyah
yang merupakan madzhab negara. Ketidaksenangan khalifah Fatimiyah
kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya
saja, Khalifah Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah
dalam setiap khutbah jum’at dan mengharamkan pemakain jubah hitam
serta atribut bani Abbasiyah lainnya. Pakaian yang dipakai untuk khutbah
adalah berwarna putih. Meskipun al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan,
akan tetapi ia akan selalu menempuh jalan damai terhadap pera pemimpin
dengan Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia
menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang bersedia
mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah
Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga
dilakukan oleh penganut Yahudi dan Nasrani.
Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab Isma’iliyah
ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam
pemerintahan. Tindakan tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru
dilakukan terhadap orang yang menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu
peristiwa yang diambil tindakan tegas terhadap orang yang tidak mau
mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja muda Zarida di Afrika yang
bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah dengan tidak
menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat khutbah
jum’at melainkan menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak
diambinya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada
pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah.
Momen ini dinilai al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan
kembali kekuasaannya di Asia Barat setelah Tughril menegakkan
kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu. Dalam bidang administrasi
pemerintahan tidak benyak berubah. Sistem administrasi yang
dikembangkan khalifah Abbasiyah masih tyerus saja dipraktekkan.
Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan
maupun dalam urusan spritual.

6
Ia berwenang mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di
bawahnya. Selain itu sakralisasi khalifah yang muncul di masa
pemerintahan Abbasiyah masih tetap dipertahankan yang indikatornya
dapat dilihat dari gelar yang disandang para khalifah Fatimiyah seperti al-
Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin Amrullah dan sebagainya.
Ada tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan
kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
1) Kemajuan Administrasi Pemerintahan
Pengelolaan negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah dengan
mengangkat para menteri. Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi
dua kelompok. Pertama kelompok militer yang terdiri dari tiga jabatan
pokok yaitu pejabat militer dan pengawal khalifah, petugas keamanan,
resimen-resimen. Yang kedua adalah kelompk sipil yang terdiri atas Qadhi
(Hakim dan direktur percetakan uang), Ketua Dakwah yang memimpin
pengajian, Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran),
Bendaharawan negara (menangani Bait Maal), Kepala urusan rumah
tangga raja, Petugas pembaca Al Qur’an, dan Sekretaris berbagai
Departemen. Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat
setingkat guberbur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola
daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.
2) Penyebaran faham Syiah
Ketika Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang
empat madzhab Fikih : Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al
Muiz sendiri menganut madzhab Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz
mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan Syiah. Akan tetapi jabatan-
jabatan penting diserahkan kepada ulam Syiah sedangkan Sunni hanya
menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua jabatan di
berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh
karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah
supaya jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi
agama sehingga pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan
baik dan diantara mereka diangkat menjadi pejabat istana.

7
Dari mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke
Palestina, dan kemudian propaganda Syiah Ismailiyah semakin tersebar
luas melalui sebuah gerakan agen rahasia.
3) Perkembangan ilmu pengetahuan
Dinasti Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu
pengetahuan. Fatimiyah membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di
dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan
sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang nantinya menjadi salah satu
perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni. Al Hakim
berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang sejajar dengan
lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al Ulum
digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu
pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai
berikut:
a. Muhammad al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
b. Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
c. Al nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
d. Ali bin Yunus (ahli Astronomi)
e. Ali Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Indikasi-
indikasi kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya bangunan-
bangunan yang dibangun berupa masjid-masjid, universitas, rumah sakit
dan penginapan megah. Jalan-jalan utama dibangun dan dilengkapi dengan
lampu warna-warni, dalam bidang industri telah dicapai kemajuan besar
khususnya yang berkaitan dengan militer seperti alat-alat perang, kapal
dan sebagainya.

3. Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.


Sepanjang kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996).
Kerajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiah
yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.

8
Di bawah kekuasaannyalah dinasti Fatimiyah mencapai puncak
kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-
khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang dari
Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah,
Damaskus, Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya
meliputi wilayah yang sangat luas. Di bawah kekuasaannya kekhalifahan
Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifaan di Baghdad,
tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah menenggelamkan penguasa
Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan Fatimiyah sebagai
negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur.
Al-Aziz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang
dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan
dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia
melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu
ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah memberikan balasan
tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami karena kau telah
mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan akan
kau lakukan kami akan membalasnya”. Bisa dikatakan bahwa diantara
para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah khalifah yang paling
bijaksana dan paling murah hati.
Dia hidup di kota Kairo yang mewah dan cemerlang, dikelilingi
beberapa mesjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru, serta
memberikan toleransi yang terbatas kepada umat Kristen, sesuatu yang
tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan prilakunya ini tidak
pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn
Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan
pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga
Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.
Menurut Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah
yang menunjukkan kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan
sekte syiah yang bernama Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh
Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX, menyerang Makkah pada tahun

9
951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya selama dua puluh
tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad adalah
merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat
Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani
Fathimiyah setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.

4. Masa Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah.


Gejala-gejala yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah
terlihat di penghujung masa pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan
wujudnya pada masa pemerintahan al-Muntasir yang terus berlanjut
hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah pada masa pemerintahan
al-Adid 567 H / 1171 M.
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya dinasti
Fatimiyah dapat diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksternal:
1). Faktor Internal
Faktor internal yang paling signifikan dalam menghantarkan
kemunduran dinasti Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan
pemerintah. Menurut Ibrahim Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki
semangat juang yang tinggi seperti yang ditunjukkan para pendahulu
mereka ketika mengalahkan tentara Berber di Qairawan. Kehidupan para
khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama hilangnya
semangat untuk melakukan ekspansi.
Selain itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda
pemerintahan tidak bejalan secara efektif, ketidak efektifan ini
dikarenakan khalifah yang diangkat banyak yang masih berusia relatif
muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan. Tragisnya
mereka ibarat boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu
dominan dalam mengatur pemerintahan. Fenomena ini muncul pasca
wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puternya bernama
Abu Mansur al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih berusia 11
tahun.

10
Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada
keputusan Gubernur bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya
dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan. Bukti lain
ketidakcakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen
terhadap penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen
tidak senang dengan maklumat al-Hakim yang dianggap menghilangkan
hak-hak mereka sebagai warga negara. Maklumat tersebut berisikan tiga
alternatif pilihan yang berat bagi orang Kristen. Masuk Islam, atau
meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai simbol kehancuran.
Setelah al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu
Hasyim Ali yang bergelar al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir
masih berusia 16 tahun dan kebijakan pemerintahan berada ditangan
bibinya bernama Siti al-Mulk, sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja
boneka ditangan para wajirnya. Pengangkatan khalifah dalam usia relatif
muda masih terus berlanjut hingga masa akhir pemerintahan daulah
Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang bernam al-Faiz dinobatkan
pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum berusia
dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat
berusia sembilan tahun.
Faktor lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan
kemarau panjang sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang
saudara. Setelah meninggal Abu Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh
anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar, (anak Abu Tamim Ma’ad yang
tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai
khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi dua. Selain itu, faktor
internal lainnya sebagai penyebab kehancuran dinasti Fatimiyah adalah
persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-
Adid sebagai khalifah terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu
Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang akhirnya
dimenangkan Dargam.
Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan Nur Al-Din al-Zanki
untuk memulihkan kekuasannya di Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk

11
menyerahkan sepertiga hasil penerimaan negara kepadanya. Tawaran ini
diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh
dan keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu
mengalahkan Dargam sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir
dan memenuhi janjinya kepada Nur al-Din. Perebutan kekuasaan ditingkat
wazir ini merupakan awal munculnya kekuasaan asing yang pada akhirnya
mampu merebut kekuasaan dari tangan dinasti Fatimiyah dan membentuk
dinasti baru bernama Ayyubiyah.
2). Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya dinasti
Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir.
Nur al-Zanki adalah Gubernur Syiria yang masih berada di bawah
kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia
mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir
yang tidak mampu mengalahkan tentara salib. Dikarenakan rasa
cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana
dianggap sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir,
syawar melakukan perlawanan. Agar mampu menguat kekuasannya,
Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan menawarkan janji seperti
yang dilakukannya terhadap Nural-Din. Tawaran ini diterima King
Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu
kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir.
Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat
mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap dan dihukum
bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah.
Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan
pada tahun 565 H / 1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir
diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din
mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah al-Adid wafat. Dengan
berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah
Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah
orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.

12
Khalifah Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk
mengantipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din
membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat
pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih
berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak
tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa
Asia di Qatamiyah.

13
C. PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Dinasti
Fatimiyah adalah Dinasti Syiah yang didirikan oleh Ubaidillah AlMahdi.
Dinasti ini berkuasa dari tahun 909 M sampai dengan tahun 1171 M., atas
dasar legitimasi klaim keturunan Nabi lewat Fahtimah dan Ali bin Abi Thalib
dari Ismail anak Jafar Sidik. Dinasti ini didirikan sebagai tandingan bagi
penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Bagdad, yaitu Bani
Abbasiyah. Wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah meliputi Afrika Utara,
Mesir, dan Suriah. Berdirinya Dinasti Fatimiyah dilatarbelakangi oleh
melemahnya Dinasti Abbasiyah. Pada masa Dinasti Fatimiyah, lembaga
pendidikan yang digunakan sebagai basis pengembangan pendidikan terdiri
dari; Masjid, Istana, Perpusakaan dan Ilmiyah Akademi (lembaga riset).
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Fatimiyah meliputi
beberapa bidang ilmu seperti; Bahasa dan Sastra, Ilmu Kedokteran, Syair dan
Filsafat. Berkenaan dengan hal tersebut, universitas Al-azhar merupakan
lembaga pendidikan tinggi, sekaligus menjadi bukti sejarah peradaban Dinasti
Fatimiyah dalam pengembangan pendidikan, dan sampai sekarang menjadi
kiblat pendidikan yang bernuansa Islam. Dari sisi pengajarannya, al-Azhar
pada masa Dinasti Fatimiyah dilaksanakan dengan sistem kelas. Metode
pengajaran menggunakan metode berhalaqah dan metode diskusi. Sedangkan
kurikulum yang dipakai di alAzhar pada mula fiqih.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abati Hawa. 2008. Dinasti Fatimiyah, http://abatihawa. blogspot.com/2008/07/


dinasti-fatimiah-297-h-322-h-910-m-934.html. 10 Juni 2013.

Ibrahim. 2012. Makalah Dinasti Fathimiyah, http:// makalahmaja naii. blogspot.


com/2012/05/dinasti-fathimiyah.html.12 Juni 2013.

Musyrifah Sunanto, Op. Cit., h. 245

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 243

15

Anda mungkin juga menyukai