Anda di halaman 1dari 35

PERADABAN ISLAM MASA DINASTI FATHIMIYAH

Oleh: Luki Permensyah, S.Pd.I1

A. PENDAHULUAN
Berawal dari tidak terkendalinya pemerintahan Abbasiyah atas kejayaan yang
diperoleh selama ini, berakibat terjadinya berbagai masalah di dalam dunia Islam pada
masa itu. Ditambah lagi dengan sudah banyaknya daerah yang melepaskan diri dari
Daulah Abbasiyah, karena semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, maka daerah-
daerah provinsi jauh tidak terjangkau dengan baik oleh pemerintahan pusat. Ditambah
lagi propoganda yang timbul oleh kelompok Syi’ah, memicu munculnya sebuah
kerajaan bagi kaum Syi’ah sendiri yaitu Dinasti Fathimiyah. Mereka mencari dan
menentukan daerah yang dianggap tepat untuk itu, ialah daerah Afrika Utara.
Untuk membahas lebih lanjut, dalam makalah ini penulis akan membahas
tentang:
a. Latar belakang berdirinya Daulah Fathimiyah
b. Kemajuan peradapan Islam pada masa Daulah Fathimiyah
1. Politik dan pemerintahan
2. Ekonomi dan Perdagangan
3. Sosial Kemasyarakatan
4. Pendidikan dan Iptek
5. Kesenian
6. Pemikiran dan Filsafat
7. Pemahaman Agama
c. Faktor kemunduran dan kehancuran Daulah Fathimiyah

Semoga apa yang ditulis pada makalah ini bisa menjadi bahan diskusi dengan
kekayaan komentar dan masukan dari peserta diskusi dan semoga bermanfaat, amin.

1
Mahasiswa S2 Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, Tahun 2015
B. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Berdirinya Daulah Fathimiyah
Afrika Utara sampai tahun 850 M, dikuasai oleh Bani Aghlab, meliputi
wilayah Ifriqiyah (Tunisia) dan sebagian pulau Sisilia, merupakan negara bagian
Daulah Abbasiyah. Wilayah di sebelah Baratnya berkuasa Bani Rustamiyah di
Aljazair dan Bani Idris di Maroko, sedangkan Spanyol berada di bawah kekuasaan
Bani Umayyah II. Semua Dinasti ini berkuasa sampai tahun 909 M. Namun sesudah
tahun 909 M, muncul sebuah dinamika, terbentuknya sebuah negara Fathimiyah di
Tunisia.2
Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan bawah
tanah yang tidak bisa ditelusuri dengan jelas. Gerakan ini merupakan cabang dari
Syi’ah Ismailiyah, yang mengakui enam imam pertama Syi’ah Imamiyah namun
berselisih mengenai imam yang ketujuh.
Pada awalnya hanyalah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika
Utara dan kemudian berpindah ke Mesir Dinasti ini dinisbatkan kepada Fathimah
Zhahra putri Nabi Muhammad SAW, dan sekaligus isteri Ali bin Abi Thalib RA. dan
juga Dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali
bin Abi Thalib dengan Fathimah Zhahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab
Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu
hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab
keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya:3
a. Pergolakan politik dan mazhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah
SAW.
b. Ketidak beranian dan keenggenan keturunan Fathimiyah ini untuk mengiklan
nasab mereka, karena takut kepada penguasa.
c. Penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin
Ismail hingga Ubaidillah al-Mahdi.

Pandangan para sejarawan muslim mengenai keaslian dan keabsahan silsilah


al-Syi’i sebagai keturunan Fathimah terbagi menjadi dua kelompok. Setidaknya ada

2
Masyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj., Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2004),
cet. ke 2, hal. 141
3
http://makalahmajananaii.blogspot.com, (luhur Fatah), 23 Maret 2014
delapan garis silsilah berbeda yang dikemukakan baik oleh para pendukungnya
maupun musuh-musuhnya. Bahkan, sebagian orang yang memusuhinya melangkah
lebih jauh dengan mengatakan bahwa ia adalah anak seorang Yahudi. 4 Sebagaimana
menurut Qadhi Abdul Jabbar al-Bisri bahwa nama kakek khalifah-khalifah di Mesir
adalah Sa’id, ayahnya adalah orang Yahudi yang berprofesi sebagai tukang besi dan
jago panah. Namun Jalal ad-Din as-Sayuthi sependapat dengan Qadhi Abu Bakar al-
Baqilani mengatakan bahwa kakek mereka adalah orang Majusi yaitu al-Qaddah
kakek dari Ubaidillah (296-322 H / 909-934 M khalifah I Fathimiyah). Ubaidillah
memasuki wilayah Maghrib dan dia mengaku sebagai keturunan Alawiyin. Namun
orang-orang yang pakar dalam masalah nasab tidak ada yang mengenal dia. Orang-
orang bodoh menyebut mereka sebagai Fathimiyin. Adz-Dzahabi berkata: “para pakar
sejarah dan nasab sepakat bahwa Ubaidillah al-Mahdi bukan berasal dari keturunan
Alawiyin”.5 Beberapa sejarawan terkemuka yang mendukung keabsahan silsilahnya
adalah Ibn al-Atsir, Ibn Khaldun, dan al-Madrizi. Sedangkan kalangan yang
menyangkal silsilah keturunan itu dan menganggap Sa’id sebagai penipu yang lihai
diantaranya adalah Ibn Khalikan, Ibn al-Idzari, al-Suyuti dan Ibn Taghri-Birdi, (begitu
juga al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Qadhi Iyadh, adz-
Dzahabi, Qadhi Abdul Jabbar al-Bisri dan al-Imam al-Qadhi Ibnul Arabi dalam
bukunya al-‘Awashim min al-Alqawashim, mereka sepakat bahwa Ubaidillah bukan
keturunan Fathimah binti Rasulullah). Ketika seorang khalifah Abbasiyah, al-Qadir
(383-422 H / 991-1031 M khalifah XXVI Abbasiyah) mengeluarkan sebuah manifesto
di Baghdad yang ditandatangani oleh beberapa tokoh Sunni dan Syi’ah Manifesto itu
menyatakan bahwa saingannya yang orang Mesir, yaitu al-Hakim (996-1021 M
khalifah VI Fathimiyah) bukan keturunan Fathimah, tapi keturunan Daisan, seorang
pelaku bid’ah.6 Hubungan mereka dengan Imam ketujuh Ismail tidak pernah dapat
dijelaskan sama sekali. Tetapi jelas bahwa kekhalifahan mereka mewakili prestasi
politis yang paling berhasil dan bertahan lama dari gerakan Syi’i radikal,
Isma’iliyyah.7

4
Philip K. Hitti, History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005), cet. ke 1, hal. 788
5
Jalal ad-Din as-Suyuthi al-Hafidz, Tarikh al-Khulafak, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri), hal 6
6
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal 788-789
7
C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, (Bandung: Mizan, 1993), cet. ke.1, hal 71
Dimana pada awalnya, Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya
secara jelas, baru pada masa Abdullah ibn Maymun yang mentransformasikan ini
sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan
Fathimiyah. Secara rahasia ia mengirim misionaris kesegala penjuru wilayah muslim
untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya
menjadi latar belakang berdiri Dinasti Fathimiyah.8
Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail, meninggal tahun 260 H / 873-874 M
aktifitas Islailiyin dimulai. Karena khalifah-khalifah Abbasiyah mengadakan
penyelidikan, golongan yang setia pada Ismail ibn Ja’far harus meninggalkan
Salamiya, kota kecil di wilayah Hamah daerah Syria menuju Afrika Utara. Abu
Abdullah (Ibn Maymun), seorang penganjur gerakan ini muncul pada akhir abad IX
diantara suku Barbar Kutama di Tunisia sekitar tahun 893 M. Menjelang tahun 909 ia
sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu mengusir dinasti Aghlabi dari
ibu kota mereka dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengandung Ubaidillah (Sa’id)
yang diakui sebagi pimpinan gerakan datang ke Afrika Utara bergabung dengan
mereka dan menempatkannya di bekas ibu kota Aghlabi. Ia diakui sebagai Imam al-
mahdi pada bulan Januari 910 M dan menjabat sebagai Amir al-Mukminin.9
Kedua gelar inilah yang membedakan antara kaum Fathimiyah dan dinasti
lokal lainnya. Golongan Fathimiyah tidak hanya menolak kekuasan Abbasiyah tetapi
menyatakan bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak memerintah seluruh
kerajaan Islam. Lagi pula mereka mempunyai pendukung-pendukung di Suriah,
Yaman dan bagian-bagian wilayah Abbasiyah lainnya, disamping golongan yang
mempunyai pandangan yang sama dengan mereka. Di Afrika Utara kekuasaan mereka
segera menjadi besar. Tahun 909 M mereka dapat menguasai dinasti Rustamiyah dari
Tahert dan menyerang bani idris di Maroko.10
Sukses gemilang yang diraih al-Syi’i di wilayah asing mendorong Sa’id untuk
meninggalkan markas besar Ismailiyah di salamiyah, dan pergi menyamar sebagai
pedagang menuju laut Afrika. Ketika ia terlempar kepenjara bawah tanah di
Sijilmasah atas perintah penguasa Dinasti Aghlabiyah, Ziyadatullah (903-909 M),
sa’id ditolong oleh al-Syi’i, yang kemudian pada tahun 909 menghancurkan dinasti

8
Yusuf al-Isy DR, Dinasti Abbasiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), hal. 222
9
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal.142
10
Ibid, hal. 142-143
Aghlabiyah yang telah berkuasa selama berabad-abad, dan mengusir keturunan
terakhir Ziyadatullah keluar dari negeri itu. Dinasti Aghlabiyah menrupakan kubu
terakhir kekuatan Islam-Sunni diwilayah Afrika Utara. Sa’id kemudian
memproklamirkan dirinya sebagai penguasa dengan julukan Imam Ubaidillah al-
Mahdi dan mengklaim dirinya sebagai keturunan Fatimiah melalui al-Husayn dan
Ismail (w. 260 H. Imam ke VII Syi’ah Sabpiyah). Dinasti yang didirikannya ini sering
disebut sebagai dinasti al-Ubaydiyah, khususnya oleh mereka yang tidak
mempercayainya sebagai keturunan Fathimah.11 Adapun nasab yang diproklamirkan
oleh Ubaidillah adalah bin Abdillah bin al-Husayan at-Taqi bin Ahmad al-Wafa bin
Abdillah ar-Ridha bin Muhammad al-Maktum bin Ismail bin Ja’far as-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Zainal ‘Abidin bin Husayn bin Ali (suami Fathimah binti
Muhammad Rasulullah) bin Abu Thalib, dikutip dari Zambawir, 12 pernyataan ini
dibantah dan tidak dibenarkan oleh Jumhur Ulama dan kebanyakan ahli sejarah.
Dinasti Fathimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syi’ah dalam Islam. Dinasti
ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia
muslim saat itu berpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah Dinasti Fathimiyah
didirikan oleh Sa’id ibn Husayn (Ubaidillah al-Mahdi), kemungkinan keturunan
pendiri kedua sakte Ismailiyah, seorang Persia yang bernama ‘Abdullah ibn Maymun.
Kemunculan Sa’id, penerus Ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini merupakan
puncak propoganda sakte Ismailiyah yang terampil dan terorganisisr dengan baik.
Kesuksesan mereka sama dengan kesuksesan gerakan pertama sakte ini, yang pernah
berhasil menggoyang kekhalifahan Umayyah. Keberhasilan gerakan ini tidak bisa
dilepaskan dari upaya propagandis utama sakte ini yaitu Abu ‘Abdullah al-Husayn al-
Syi’i. ia adalah seorang penduduk asli Shan’a Yaman, yang menjelang awal abad ke-9
memproklamirkan dirinya sebagai pelopor Mahdi, dan menyebarkan hasutan di
tengah suku Berber di Afrika Utara, khususnya suku Kitamah. Dimana ketika itu
wilayah Afrika Kecil-Tunisia dan Afrika Utara di bawah kekuasaan Aghlabiyah.13

11
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 788
12
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 223
13
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 787
Untuk mengkaji lebih lanjut sebaiknya diawali dengan mengetahui silsilah
kekhalifahan Fathimiyah, mereka berjumlah empat belas khalifah, yaitu:14
a. Al-Mahdi (296-322 H = 26 th / 909-934 M – 25 th)
b. Al-Qaim (322-333 H = 11 th / 934-945 M = 11 th)
c. Al-Manshur (333-340 H = 7 th / 945-952 M = 7 th)
d. Al-Mu’iz (340-364 H = 24 th / 952-975 M = 23 th)
e. Al-‘Aziz (364-386 H = 22 th / 975-996 M = 21 th)
f. Al-Hakim (386-411 H = 25 th / 996-1020 M = 24 th)
g. Al-Zhahir (411-427 H = 16 th / 1020-1035 M = 15 th)
h. Al-Mustanshir (427-487 H = 60 th / 1035-1094 M = 59 th)
i. Al-Musta’li (487-495 H = 8 th / 1094-1101 M = 7 th)
j. Al-Amir (495-524 H / = 29 th / 1101-1130 M = 29 th)
k. Al-Hafizh (524-544 H / 20 th / 1130-1149 M = 19 th)
l. Al-Zhafir (544-549 H = 5 th / 1149 – 1154 M = 5 th)
m. Al-Faiz (549-555 H = 6 th / 1154-1160 M = 6 th)
n. Al-‘Adhid (555-567 H = 12 th / 1060-1171 M = 11 th)

Maka lama berkuasa Daulah Fathimiyah adalah 296-567 H = 271 th / 909-


1171 M = 262 th. Dari empat belas khalifah ini yang paling berperan semasa
kekhalifahannya adalah delapan khalifah yang pertama:15
I. Al-Mahdi (296-322 H = 26 th / 909-934 M = 25 th)
Nama lengkap al-Mahdi ialah Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-
Mahdi Billah. Al-Mahdi datang dari Suriah ke Afrika Utara, dimana propaganda Syi’i
telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan dukungan kaum
Berber Kitama, dia berhasil menumbangkan gubernur-gubernur Aghlabiyah di
Ifriqiyyah dan Rustamiyyah Khariji di Tahart, dan menjadikan Idrisiyyah Fez sebagai
penguasa bawahannya. Silsilia diduduki dan dilakukan operasi angkatan laut terhadap
Istanbul.16 Setelah mulai berkuasa sebagai dinasti Fathimiyah maka salah satu

14
Jalal ad-Din as-Suyuthi al-Hafidz, Op.Cit, hal. 482, Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 795, C.E.
bosworth, Op.Cit, hal. 70 dan Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj. Op.Cit, hal. 143
15
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal. 143
16
C.E. Bosworth, Op.Cit, hal. 71
pekerjaan yang pertama mereka lakukan adalah mengambul kepercayaan umat Islam
bahwa mereka adalah keturunan Fathimah binti Rasul dan isteri dari Ali bin Abi
Thalib.17
Al-Mahdi menegakkan pemerintahannya di istana Aghlabiyah yang sudah
ditaklukkannya, yaitu Raqqadah yang terletak di pinggiran kota Kairawan. Ia
membuktikan dirinya sebagai penguasa yang paling mampu dan berbakat. Dua tahun
setelah memegang kekuasaan tertinggi, ia membunuh panglima da’inya, al-Syi’i.
segera setelah itu, ia memperluas kekuasaannya sampai hampir meliputi seluruh
wilayah Afrika, dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah sampai perbatasan-perbatasan
Mesir. Pada tahun 914 M ia menguasai Iskandariyah, dua tahun kemudian ia
menundukkan wilayah Delta. Lalu ia mengirim seorang gubernur baru dari suku
Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di
Spanyol. Malta, Sardinia, Corsica, Balearic, dan pulau-pulau lainnya ikut merasakan
kekuatan armada yang ia warisi dari dinasti Aghlabiyah. Sekitar tahun 920, ia
memindahkan pusat pemerintahannya ke ibu kota baru, al-Mahdiyyah yang didirikan
dipesisir Tunisia, sekitar 27,2 kilometer ke arah tenggara kota kairawan, dan lalu
dinamai dengan namanya sendiri.18 Ia meninggal pada tahun 322 H / 934 M, lalu
digantikan oleh anaknya sendiri al-Qaim.

II. Al-Qaim (322-333 H = 11 th / 934-945 M = 11 th)


Nama lengkap al-Qaim ialah Abul Qasim Muhammad al-Qaim bi-Amr Allah
bin al-Mahdi Ubaidillah. Al-Qaim sebagai pengganti ayahnya kebijakan yang ia ambil
lebih terfokus pada upaya penyerbuan dan perluasan wilayah. Dan ia mengirim
armadanya pada tahun 934 atau 935 untuk menyerbu pantai Utara Perancis,
menguasai Genoa, dan sepanjang pesisir Calabria, serta berhasil membawa para
budak dan harta rampasan lainnya. Bagaimanapun, semua ekspedisi ini tidak hanya
diarahkan untuk penaklukkan.19 Dia meninggal pada tahun 333 H / 945 M lalu
digantikan oleh anaknya al-Manshur.

17
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal. 143
18
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 789
19
Ibid, hal. 789
III. Al-Manshur (333-340 H = 7 th / 945-952 M = 7 th)
Nama lengkap al-Manshur ialah Abu Zhahir Ismail al-Manshur bi-llah bin al-
Qaim. Pada tahun 948 M al-Manshur mengangkat Hasan bin Ali al-Kalbi sebagai
amir/gubenur Sisilia. Secara defakto Emirat Sisilia terlepas dari pemerintahan
Fathimiyah di Mesir. Karena Hasan bin Ali al-Kalbi keturunan Arab suku Kalb itu
mendirikan dinasti Kalbilah di Sisilia, namun ia tetap setia kepada Fathimiyah.
Karena ia lama menjabat sebagai gubernur mengakibatkan ia punya kekuatan kuat di
daerah Sisilia. Dinasti Kalbiah ini berkuasa dati tahun 965-1044 M = 79 th.
Keruntuhan dinasti kecil ini diawali dengan peperangan dengan Bizantium, setelah itu
kekuatannya melemah. Pada tahun 1061 M Sisilia resmi lepas dari kekuasaan umat
Islam.20 Dia meninggal pada tahun 340 H /952 M lalu digantikan oleh anaknya al-
Mu’iz.

IV. Al-Mu’iz (340-364 H = 24 th / 952-975 M = 23 th)


Nama lengkap al-Mu’iz ialah Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz li-Dinillah bin al-
Manshur. Pada tahun 955 Fatimiyah menyerbu pantai Spanyol, yang kekhalifahannya
pada waktu itu tak lain adalah al-Nashir yang agung. Tiga tahun kemudian (958),
tentara Fathimiyah menuju Atlantik. Pada tahun 969, Mesir telah terbebas dari
penguasa Iksidiyah. Pahlawan penting dalam gerakan penyerbuan yang
mengagumkan ini adalah Jawhar al-Shiqilli (orang Sisilia) atau disebut juga al-Rumin
(orang Yunani). Aslinya ia adalah seorang Kristen yang lahir di daerah Bizantium,
dari sana ia dibawa sebagai seorang budak ke Kairawan. 21 Al-Muiz telah mempersiap
tentara untuk memasuki Mesir, sebanyak lebih dari seratus ribu tentara dari orang
barbar, Maroko, Romawi, Ahaqli (Sisilia) dan Sudan. Karena kesederhanaan orang
Badui, dia mengumpulkan kekayaan yang sangat banyak. Diperkirakan kekayaan itu
berjumlah dua puluh empat dinar. Uang tersebut digunakan untuk menjalankan
ekspansi tersebut. kemudian al-Mu’iz mengutus dan memberi perintah kepada
Jenderal Jawhar untuk menuju Mesir, sebelum sampai kepintu Mesir, utusan orang-
orang Mesir keluar menemuinya. Maka Jawhar menyambut utusan dengan hangat dan
membuat kesepakatan dengan mereka, merekapun percaya dan menyerahkan segala

20
http://cn.wikipedia.org/wiki/muhammad-al-idrisi
21
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 790
urusan kepadanya. Namun orang-orang Ikhsyid dan orang-orang berpihak kepada
mereka tidak mau menyerah kepada kekuatan besar itu tersebut. Bahkan mereka
keluar untuk melawan Jawhar. Tapi Jawhar berhasil menyingkirkan mereka, kemudian
memasuki Fusthat.22 segera setelah kemenangannya atas ibukota Fusthat pada 969,
Jawhar mulai mendirikan markas baru yang diberi nama al-Qahirah. 23 Berdirinya kota
Kairo sebagai ibukota kerajaan dinasti ini membuat Baghdad mendapat saingan.
Setelah pembangunan kota Kairo (al-Qahirah: Yang Berjaya24) rampung lengkap
dengan istananya, al-Shiqilli mendirikan masjid al-Azhar pada 17 Ramadhan 359 H /
970 M. Masjid ini berkembang menjadi sebuah Universitas besar yang sampai
sekarang berdiri megah. Nama al-Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fathimah putri
Rasulullah SAW.25
Adapun tugas utama al-Shiqilli adalah:26
a. Mendirikan ibukota baru yaitu Kairo
b. Membina suatu universitas Islam yaitu al-Azhar
c. Menyebar luaskan ideologi Fathimiyah yaitu Syi’ah ke Palestina, Syria dan
Hijaz

Setelah kemenangan Sang Jenderal jawhar al-Shiqilli merebut Mesir dan


kedudukannya kokoh disana, ia mulai melirik negara tetangganya, Syuriah, dan
mengirimkan seorang panglima perang yang berhasil menaklukkan Damaskus pada
tahun 969 itu juga. Lawan utamanya adalah sakte Qaramithah, yang pada saat itu
berkuasa di beberapa daerah di Syuriah.27
Kemudian pada tahun 362 H / 973 M baru khalifah al-Mu’iz datang ke Mesir,
memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota yang
baru.28 Ia merupakan khalifah Fathimiyah yang pertama tinggal di Mesir, yang kedua
anaknya al-‘Aziz dan yang ketiga adalah al-Hakim.29

22
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal 232
23
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal 790
24
C.E. Boswoth, Op.Cit, hal. 71
25
Badri Yatim, Dr. M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.282
26
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal 144
27
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal 790
28
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal. 144
29
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 236
Pada waktu inilah al-Mu’iz meresmikan pemindahan ibukota Daulah
Fathimiyah dari Kairawan di Tunisia ke al-Qahirah Mesir, dan pada tahun ini juga
Perguruan Tinggi al-Azhar diresmikan. Kurikulum Perguruan Tinggi al-Azhar ini
bermazhab Syi’ah aliran Ismailiyah. Al-Mu’iz menjabat selama 23 th, ia berhasil
memperluas wilayah kekuasaan Fathimiyah dari Afrika Utara dan Afrika Barat pada
mula sampai menguasai Palestina, Syria, Kilikia pada belahan Utara, Pesisir barat
Arabia, wilayah Tanah Suci pada belahan tenggara, wilayah Nubia dan Sudan pada
belahan Selatan. Sikap dan kebijaksanaan yang dijalankan Panglima Besar Jawhar
dan Khalifah al-Mu’iz beroleh sambutan yang simpatik pada setiap lapisan
masyarakat Mesir. Sekalipun mazhab resmi negara pada waktu itu adalah Syi’ah akan
tetapi tidak pernah mazhab ini dipaksakan kepada masyarakat umum. Malahan
masyarakat Islam luas menganut mazhab Sunni dan masyarakat Kopti menganut
agama Kristen mazhab Jacobite dan begitu pula masyarakat Yahudi.30
Al-Mu’iz melakukan tiga kebijakan besar, yaitu (a) pembaharuan dalam
bidang administrasi ia mengangkat wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas
kenegaraan, (b) pembangunan ekonomi, ia memberi gaji khusus kepada tentara,
personalia istana dan pejabat pemerintah lainnya, (c) dan toleransi agama (juga aliran)
ia mengadakan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Syi’ah dan dua untuk
maszhab Sunni.31
Masa pemerintahan al-Mu’iz selama 23 tahun, itu ditandai dengan berbagai
ciri, yaitu:32
a. Bersikap lapang/toleran terhadap semua keyakinan dan aliran paham
keagamaan.
b. Menerbitkan kembali administrasi pemerintahan dan membentuk departemen
khusus bagi urusan Mesir dan departemen khusus bagi wilayah belahan barat
(Maghribia) dengan perlakuan dan fasilitas yang sama, baik muslim maupun
non muslim.

30
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 232-234
31
Badri Yatim, Dr. M. A, Op.Cit, hal 282
32
Yoesoef Soe’yb, Op.Cit, hal. 234-235
c. Ikhtiar yang terus-menerus bagi memprbaiki sumber kehidupan setiap lapisan
masyarakat dalam bidang pertanian maupun perdagangan. Krisis ekonomi
yang pernah terjadi pada masa daulat Ikhsyidiah dapat ditanggulangi dan
setiap lapisan masyarakat merasakan kemakmuran. Setelah itu berkembang
berbagai jenis perusahaan dan kerajinan, misalnya tenunan, keramik,
perhiasan emas-perak, peralatan kaca, manisan, ramuan, perabotan.
d. Membangunan galangan kapal pada pinggiran ibukota yang bernama Maqus
hingga daulah Fathimiyah dewasa itu tercatat memiliki armada sejumlah 600
buah kapal perang. Sedangkan bandar Asqalan, Dimiyat, Iskandariah, Akka,
dan Sour (Tyre) dijadikan pangkalan armada.

Sekitar tiga tahun kemudian setelah memasuki Mesir al-Mu’iz meninggal (364
H / 975 M), digantikan oleh anaknya al-‘Aziz.33

IV. AL-‘AZIZ (364-386 H = 22 th / 975-996 M = 21 th)


Nama lengkap al-‘Aziz ialah Abu Manshur Nizar al-‘Aziz melanjutkan
kebijakan bapaknya hingga kemakmuran melimpah. Perbendaharaan negara (Bait al-
mal) yang gemuk telah memberikan kesempatan baginya untuk membangun berbagai
istana hingga makin memberikan sumber kerja kepada pihak umum. Perguruan tinggi
al-Azhar pada masanya makin berkembang. Bahkan mampu menyediakan asrama
dengan cuma-Cuma dengan layanan makan beserta pemberian pakaian secara berkala
terhadap pelajar.34
Sekalipun ia mengikuti kebijakan bapaknya di dalam banyak hal, termasuk
sikap lapang terhadap berbagai keyakinan keagamaan dan berbagai aliran paham,
akan tetapi di dalam satu hal memperlihatkan perbedaannya yaitu memerintah dan
memaksakan para hakim dupaya memutuskan perkara-perkara perdata (Munakahat
wal Faraid) dan perkara-perkara pidana (Jinayat wal Hudud) menurut mazhab Hukum
yang dianut sekta Syi’ah. Penasihatnya yang terutama dalam bidang pemerintahan
ialah al-Wazir Yaqub ibn Killas, seorang Yahudi yang belakangan masuk Islam dan

33
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal. 144
34
Joesoef Soe’yb, Op.Cit, hal. 235
al-Wazir Isa ibn Nestorius seorang Nashrani. Keahlian keduanya menyebabkan
perbendaharaan negara semakin gemuk dan melimpah.35
Al-‘Aziz kemudian mengadakan program baru dengan mendirikan masjid-
masjid, istana, jembatan dan kanal-kanal baru. Pada masa dialah terdapat seorang
maha guru Ibn Yunus yang menemukan pendulum dan ukuran waktu dengan ayunan.
Karyanya Zij al-Akbar al-Hakimi diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dia
meninggal tahun 1009 M dan penemuan-penemuannya diteruskan oleh Ibn al-Nabdi
1040 M dan Hasan Ibn Haitham, seorang astronomi dan ahli optika. Yang disebut
terakhir menemukan sinar cahaya datang dari objek ke mata dan bukan keluar dari
mata lalu mengenai benda luar.36
Sepanjang masa kekuasaan al-‘Aziz (975-996 M = 21 th) kerajaan Mesir
senantiasa diliputi kedamaian. Di bawah kekuasaannya dinasti Fathimiyah mencapai
puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebut-sebut dalam khuthbah-
khuthbah Jum’at disepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik
hingga Laut Merah, juga di masjid-masjid di Yaman, Makkah, Damaskus, bahkan di
Mausol. Kalau dihitung-dihitung kekuasaannya meliputi wilayah yang sangat luas. Di
bawah kekuasaannya, kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi
kekhalifahan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifahan itu telah
menenggelamkan penguasa Baghdad, dan ia berhasil menempatkan kekhalifahan
Fathimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Al-‘Aziz
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi
istana Annasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil
ditaklukkan. Al-‘Aziz melirik wilayah Spanyol sebagai mana pendahulunya, tetapi
khalifah Cordova yang percaya diri itu, menerima surat pedas dari raja Fathimiyah
memberikan balasan yang tegas: “Engkau merendahkan kami karena engkau telah
mendengar tentara kami. Jika kami mendengar apa yang akan engkau lakukan, kami
akan membalasnya”.37
Bila dikatakan bahwa diantara para khalifah Fathimiyah, al-‘Aziz adalah
khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati, dia hidup di kota Kairo yang

35
Ibid, hal. 235
36
Badri Yatim Dr. M. A, Op.Cit, Hal. 283
37
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 791
mewah dan cemerlang. Ia memberikan toleransi yang tidak terbatas kepada umat
Kristen, sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Sikap dan perilakunya ini,
tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen “Isa ibn Nasthur,
dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki dan pewarisnya al-
Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Meklis yang berkuasa di
Iskandariyah dan Yerussalem.38
Dalam bidang Administrasi Al-‘Aziz membuat kementerian dengan dasar-
dasar yang kuat. Dia menjadikan dewan-dewan dalam bentuk yang sangat rapi.
Memilih para menteri yang kuat dalam susunan, sistem dan pemikiran tetapi lemah
dihadapannya. Dia memilih para menteri dari Yahudi dan Nashrani seperti Ibn Kallis,
‘Isa bin Nasturius, dan lain-lain. Kemudian di membuat dasar-dasar agung dan
simbol-simbol gemilang khalifah. Membuat mahkota khalifah dikelilingi dengan
sesuatu yang indah. Orang yang melihatnya mengira ini adalah milik Al-‘Aziz,
kemudian orang-orang melihat tentara dan penjaga yang terdiri dari orang-orang
Magharabah dan Barbar. Orang-orang Magharabah tersebut tidak bisa menguasai
negara dan khalifah. Dia telah menghalangi segala bahaya yang bisa datang dari
orang-orang Magharabah di masa yang akan datang. Dengan demikian dalam waktu
yang sama dia menggunakan tentara dari Turki, Kurdi, dan Sudan. Secara khusus dia
bersandar kepada tentara tersebut. Al-‘Aziz sangat memahami cara yang dilakukannya
untuk melanggengkan kekuasaannya dalam khalifah Fathimiyah, ia menggunakan dua
senjata yang sangat penting: pedang dan harta. Wibawa khalifah Fathimiyah ada
dalam pedang. Namun ia tidak sering menggunakan pedang, sebab emas banyak
ditemukan dimana-mana, sehingga rakyat pun tunduk dan patuh.39
Dalam politik bidang agama Al-‘Aziz ada perbedaan dengan ayahnya Al-
Mu’iz, dia menjadikan Ismailiyah sebagai mazhab resmi di Mesir. Dia mengekang
orang yang tidak mau bermazhab Ismailiyah. Dia menghina sahabat dan menyebarkan
propoganda Ismailiyah.40 Dan Al-‘Aziz meninggal pada tahun 386 H / 996 M, ia
digantikan oleh anaknya Al-Hakim.

38
Ibid, hal. 791
39
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 237-238
40
Ibid, hal. 238
VI. AL-HAKIM (386-411 H = 25 th / 996-1020 M = 24 th)
Nama lengkap Al-Hakim ialah Abu ‘Ali al-Manshur al-Hakim bi Amrillah bin
al-‘Aziz. Al-Hakim naik tahta menggantikan ayahnya ketika berusia 11 tahun. 41
Gurunya semasa kecil ialah Birgwan seorang Kopti dan langsung menjabat Wali
(Prince Regent) karena al-Hakim itu naik memegang kekuasaan diusia kanak-kanak.
Tetapi pelaksanaan kekuasaan terpegang dengan sepenuh-penuhnya ditangan
Panglima Besar Ibn Imar yang dijuluki dengan Amir Aminud-Daulah, yang tewas
belakangan di dalam sengekta sengit antara pasukan Turki dengan pasukan Maghribia
semenjak itu kekuasaan dipegang oleh Amir Birgwan. 42 Ini menunjukkan kekuasaan
dipegang oleh para wazir, al-Hakim sebagai khalifah belum bisa berbuat banyak,
sampai ia memegang tampuk kekuasaan.
Pada awalnya al-Hakim menempuh cara ayahnya, yaitu dengan menguatkan
instrumen-instrumen negara dan menstabilisasikan kondisi. Bahkan dia memperbaiki
sikap ayahnya terhadap Sunni. Dia menampakkan keberpihakkan, mencintai ulama,
mengeluarkan harta, mendirikan darul ilmi dan menghormati Sunni. Dia mulai
mengikuti perintah-perintah agama dengan detil, bahkan berlebihan. Misalnya dia
melarang orang-orang menanam anggur agar tidak bisa memproduksi khamr,
melarang wanita untuk keluar ke jalan. Perjalanannya tentang hal itu berlangsung
selama beberapa waktu. Dia menindas orang-orang Nashrani dan Yahudi serta
menghancurkan sebagian gereja mereka, mewajibkan mereka untuk memakai pakaian
hitam agar berbeda dengan orang-orang Islam, memaksa mereka untuk memakai salib
besar dan berat dileher mereka sebelum mereka masuk ke permandian, membuat
pemandian khusus bagi mereka sehingga mereka tidak bisa memasuki pemandian
umat Islam.43 Tetapi setelah al-Hakim dewasa ia membunuh gurunya sendiri yakni
Birgwan karena dia berkeinginan untuk langsung memegang tampuk kekuasaan.
Tindakannya itu mulai memperlihatkan kelainan pada kejiwaannya yang masih muda
itu. Masa pemerintahannya penuh dengan keganjilan-keganjilan pada tindakan yang
dilakukannya.44

41
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 792
42
Joesoef Soe’yb, Op.Cit, hal. 236
43
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 238-239
44
Joesoef Sou’yb, Op.Cit, hal. 236
Diantara keganjilan-keganjilan yang dia lakukan adalah:45
a. Ia memerintah menutup seluruh toko pada siang hari dan Cuma boleh dibuka
si malam hari. Dia giat melakukan pengawasan dengan pasukan pengawalnya
dan tidak segan-segan melakukan tindakan yang bengis terhadap siapa yang
melanggar perintahnya.
b. Dia melarang kaum wanita beluar rumah kediaman, dan setiap perusahaan
sepatu dilarang membikin sandal untuk kaum wanita. Siapa yanh melanggar
akan dikenakan hukuman cambuk.
c. Sesewaktu ia melakukan penindasan terhadap orang Yahudi dan Nashrani,
tetapi pada waktu lain dia membujuk dan ramah sekali dan berbalik menindas
orang Islam sendiri.
d. Puncak kelainan jiwanya sewaktu ia mengumumkan dirinya adalah jelmaan
Zat-Ilahi di muka bumi.

Salah satu tindakan kekejaman yang ia lakukan adalah ia menghancurkan


gereja Kristen termasuk di dalamnya Kuburan Suci umat Kristen, maklumat
penghancuran ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibn
Abdun, dan tindakan ini merupakan salah satu sebab utama terjadinya Perang Salib.46
Al-Hakim memiliki kepribadian yang sangat mudah berubah. Dia kadang
tidak mengetahui apa yang sedang dilakukannya serta memperturutkan emosi dan
sifatnya labil. Setelah mendekati orang-orang Sunni, dia malah mengawasi mereka
secara ketat dan membunuh sebagian mereka. Setelah ia melaksanakan ajaran-ajaran
agama dengan sangat tekun, dia malah memandang seakan-akan dirinya sebagai
tuhan, mengizinkan para pengikutnya untuk menyebutkan keutamaan-keutamaannya
di Masjid al-Azhar seolah-olah di dalam dirinya ada ruh tuhan. Dia membolehkan
tersebut pertama kalinya kepada Darazi. Lalu orang-orangpun mengikuti dan berusaha
untuk membunuhnya. Namun dia bersembunyi. Setelah itu dia mengizinkan kepada
Hamzah. Orang-orangpun kembali mengikutinya hingga dia bersembunyi di
rumahnya. Al-Hakim diakhir masanya ia menjadikan dirinya sebagai orang yang
memiliki sifat agung dan tuhan. Pemikiran ini mengganggu Ismailiyah. Rakyat pun

45
Ibid, hal. 236-237
46
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 792
marah dan bergejolak dengan hal tersebut. pada tahun 411 H / 1020 M dia pergi
keluar kota Kairo dan tidak bersembunyi lagi. Bisa jadi orang-orang Fathimiyah
sendiri yang menggunakan cara untuk menyembunyikan dan membunuhnya. Diakhir
masanya keadaan menjadi tidak bisa diarahkan lagi.47
Disamping tingkah lakunya yang negatif itu ada pula kebijakan yang positif,
yaitu:48
a. Ia membangun dar al-Hikmah dan mengeluarkan dana yang besar bagi
melengkapinya dengan perbendaharaan perpustakaan yang kaya raya, guna
tempat Ahli Ilmu berkumpul dan berdiskusi, terutama memperkenalkan
mazhab Syi’ah.
b. Ia menyelesaikan pembangunan Masjid Agung yang dimulai pembangunannya
oleh ayahnya, dengan seni arsitektur yang mengagumkan. Kini terletak dekat
Gerbang al-Nashar.
c. Ia sangat suka kepada masalah-masalah astronomi dan membangun
observatorium pada dataran bukit al-Muqattam

Dar al-Hikmah yang dibangunnya ini berfungsi sebagai akademi yang sejajar
dengan lembaga di Cordova dan Baghdad, dari sini lahir sarjana-sarjana dalam
bermacam-macam ilmu. Diantaranya yang terkenal adalah Ibn Haitsam oleh orang
Barat disebut dengan Al-Hazen. Bukunya Kitab al-Manazhir mengenai ilmu cahaya
diterjemahkan ke dalam bahasa latin di masa Gererd of Cremona dan disiarkan tahun
1752.49
Ada yang berpendapat bahwa pembunuhannya sewaktu ia pergi ke gurun
Sahara (Mukatam) dan mayatnya tidak pernah dijumpai. Konon pembunuhan
terhadap dirinya adalah atas anjuran saudara perempuannya Sitt al-Mulk.50

VII. AL-ZHAHIR (411-427 H = 16 th / 1020-1035 M = 15 th)


Nama lengkap al-Zhahir ialah Abi al-Hasan ‘Ali al-Zhahir li-I’zaz Dinillah bin
al-Hakim. Setelah terbunuhnya al-Hakim maka anaknya al-Zhahir naik tahta pada

47
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 230
48
Joesoef Sou’yb, Op.Cit, hal 237
49
Musyrifah Sunanto Prof.Dr.Hj, Op.Cit, hal. 144-145
50
Joesoef Sou’yb, Op.Cit, hal. 237
usia enam belas tahun.51 Ketika al-Hakim telah tiada, kondisipun berubah bagi orang-
orang Fathimiyah. Kekuatan politik mereka mulai menurun, karena orang-orang
cerdik dari Fathimiyah baik para menteri ataupun wanita berfikir bahwa untuk
mendapatkan kemashlahatan, pemikiran tentang ketuhanan harus dibekukan dan
singgasana orang-orang Fathimiyah tidak boleh memiliki oleh orang kuat
memaksakan keinginannya dan menuhankan dirinya. Maka dengan terangkatnya al-
Zhahir menjadi khalifah di usia kecil merupakan cara yang bagus menurut mereka,
sehingga mereka bisa mengarahkan cara yang bagus menurut mereka, sehingga
mereka bisa mengarahkan seperti yang kereka kehendaki. Maka pada waktu ini
kendali negara dipegang oleh saudari al-Hakim, Sitti al-Mulk, ia memerintah atas
nama keponakannya. Dia mengurus negara dengan baik, sayang dia menjabar tidak
lama.52
Khalifah inilah yang mendapatkan izin dari Konstantin VIII agar namanya
disebutkan di masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang Kaisar. Ia juga
mendapat izin untuk memperbaiki masjid di Konstantinopel sebagai balasan terhadap
restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat
Kuburan Suci.53 Dan ia meninggal pada tahun 427 H / 1035 M, kemudian digantikan
oleh anaknya al-Mushtanshir.

VIII. AL-MUSTANSHIR (427-487 H = 60 th / 1035-1094 M = 59 th)


Nama lengkap al-Mustanshir ialah Abu Tamim Ma’ad al-Mustanshir bi-llah
bin al-Zhahir. Al-Mustanshir naik tahta pada usia masih anak-anak yaitu sebelas
tahun. Dia berkuasa selama kurang lebih enam puluh tahun, sebuah periode
kekuasaan terpanjang dalam sejarah Islam. Pada periode awal kekuasaannya, ibunya,
seorang budak dari Sudan yang dibeli dari seorang Yahudi, ia menimati kekuasaan
anaknya dengan leluasa.54 Dan ibunya memerintah negara atas namanya. Ketika
ibunya meninggal, pimpinan diambil alih oleh para menteri. Setelah itu muncul
kekacauan antara orang-orang Maghrabah dan Turki. Fitnah banyak terjadi dan ada

51
Philip K. Hitti, Op.Cit, Hal. 793
52
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 240
53
Phipil K. Hitti, Op.Cit, hal. 793
54
Ibid, hal. 793
dimana-mana. Khalifah tidak bisa mengentikan fitnah tersebut. akhirnya wibawa
khalifah pun hilang.55
Jelas sejak masa al-Mustanshir inilah kekuasaan daulah Fathimiyah menyusut,
karena dinamika politik yang kacau balau dan susah untuk dibentengi baik dari
internal maupun eksternal. Bahkan kekuasaan daulah Fathimiyah lebih kecil dari
Mesir.56
Pada 1043 M, kekuasaan Fathimiyah atas wilayah Suriah, yang memiliki
ikatan longgar pada Mesir, mulai terkoyak dengan cepat. Di Palestina sering terjadi
pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar datang dari Timur yaitu Bani Saljuk
dari Turki, kini membayang-bayangi wilayah Asia Barat. Pada waktu yang
bersamaan, provinsi-provinsi Fathimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan
pusat kekuasaan, berhasrat untuk memerdekakan diri atau kembali kepada suku lama
mereka, yaitu Dinasti Abbasiyah. Suku Arab yang sering menyusahkan penguasa,
yaitu Banu Hilal dan banu Sulaim, yang berasal dari kawasan Nejed dan sekarang
mendiami dataran tinggi Mesir, pada 1052 M memberontak, dan bergerak sendiri ke
bagian barat, kemudian menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.
Pada 1071 M, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan
Fathimiyah setelah Aghlabiyah, dikuasai oleh bangsa Normandia, yang daerah
kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya
semenanjung Arab yang tetap mengakui kekuasaan Syi’ah.
Ditengah masa yang suram ini, hanya ada seberkas cahaya terang dari
kesuksesan sementara yang dicapai di Baghdad oleh seorang panglima dan penakluk
Turki yaitu al-Basasiri (w. 1060 M) yang berkat keberhasilannya, nama khalifah
Mesir disebutkan selama empat puluh Jum’at berturut-turut di masjid-masjid di
Baghdad, kota Wasit dan Bashrah mengikuti Baghdad. Kain sorban Khalifah
Abbasiyah, yaitu al-Qaim (Abu Ja’far Abdullah, khalifah XXVII 422-467 H / 1031-
1975 M) yang bahkan menyerahkan semua hak kekhalifahannya kepada lawannya
dari Dinasti Fathimiyah, jubah Nabi dan sebuah jendela yang indah di istananya
dibawa ke Kairo sebagai hadiah. Sorban, jubah dan dokumen-dokumen penyerahan
dikembalikan ke Baghdad sekitar satu abad kemudian oleh Shalah al-Din, tapi jendela

55
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 240
56
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 793
itu digunakan di salah satu istana hingga Sultan Baybar al-Jasynakir dari dinasti
Mamluk menggunakannya untuk menghiasi kuburan tempat ia dimakamkan pada
1309 M.57
Pada masa al-Mustanshir ini kekacauan terjadi dimana-mana. Kericuhan dan
pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku Berber dan pasukan Sudan.
Kekuasaan negara menjadi lumpuh. Kelaparan terjadi selama tujuh tahun
melumpuhkan perekonomian negara. Ditengah kerisauannya pada tahun 1073 M,
khalifah memanggil seorang Armenia Badr al-Jamali (seorang diktator), seorang
berkas budak dari pasukan kegubernuran Akka, dan memberinya wewenang untuk
bertindak sebagai wasir dan panglima tertinggi.58
Dia pernah memimpin di palestina. Dia adalah orang kuat, terhormat, dan
berpengetahuan. Lalu dia memimpin dengan tegas dan benar. Khalifah pun
mempunyai wibawa kembali, namun tetap dia tidak bisa mengentikan gerakan-
gerakan di luar yang mengancam negara Fathimiyah, yaitu orang-orang Turki Saljuk.
Mereka mulai memasuki Irak dan dari Irak ke Syam dan memusatkan pemerintahan di
sini. Lalu pindah dari satu kota ke kota lain dan orang-orang Fathimiyah pun menarik
diri dihadapan mereka. Selain itu, ada aliran lain yang mulai tersebar dan maju yaitu
gerakan orang-orang salib. Mereka mulai menguasai daerah sekitar pantai di Syria
dan menguasai baitu Maqdis. Sedangkan kekuasaan kalifah Fathimiyah tidak lain
hanya daerah Asqalan dan beberapa kora.59
Setelah kedatangan Badr al-Jamali, ia memperbaiki keadaan internal Mesir
dan kondisi ekonomi. Peradaban pun menjadi sangat kuat kembali dan mencapai
puncaknya dimasa al-Mustanshir. Nashir Khasru berkata: “Di dalam istana al-
Mustanshir dihuni oleh 30.000 orang. 12.000 diantaranya adalah pembantu, 1.000
pengawal berkuda. Dia memiliki 20 perahu di Sungai Nil, untuk membawanya
mengelilingi Sungai Nil. Setiap perahu dengan panjang 50 tangan dan lebar 20.
Khalifah memiliki 20.000 toko, penuh dengan barang-barang dari dalam dan luar
negeri dan 8.000 rumah yang dia sewakan. Takyatpun kaya, dengan bukti di kairo saja
ada 50.000 hewan yang dihiasi sebagai alat transportasi dalam kota.60

57
Ibid, hal. 793-794
58
Ibid, Hal. 794
59
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 241
60
Ibid, hal. 241-242 dan Badri Yatim, Dr. M.A, Op.Cit, hal. 283
Setelah pemakalah baca dari beberapa sumber, pernyataan Nashir Khasru ini
tepat kejadiannya adalah sebelum terjadi kekacauan ekonomi dan politik. Karena
kedatangan Nashir ini pada tahun 1046-1049 M, sedangkan kedatangan Badr al-Jamil
pada 1073 M, nanti akan diulas kembali pada masa kejayaan dinasti ini dalam bidang
ekonomi dan politik.
Pengembangan ilmupun makin semarak dengan perpustakaan negara yang
dipenuhi 200.000 buah buku. Perdagangan baik jalur darat maupun laut berkembang
dengan baik. Kota Kairo menjadi kota internasional yang berkembang produksi-
produksinya. Rakyatpun merasakan kemakmuran.61 Meskipun kondisi politik yang
ada tidak sesuai dengan peradaban yang ada. Pada tahun 487 H / 1094 M al-
Mustanshir meninggal dan digantikan oleh anaknya yang kecil dari dua orang
bersaudara, al-Musta’li dan saudara sulungnya adalah Nazzar.

IX. AL-MUSTA’LI (487-495 H = 8 th / 1094-1101 M = 7 th)


Nama lengkap al-Musta’li ialah Ahmad al-Musta’li bi-llah bin al-Mustanshir.
Setelah sang diktator Badr al-Jamali meninggal ia digantikan oleh anaknya al-Malik
al-Afdhal menjadi pemimpin. Al-Afdhal inilah yang memilih khalifah setelah al-
Mustanshir, yaitu al-Musta’li. Dia diangkat jadi khalifah di usia muda dengan harapan
bahwa ia akan memerintah di bawah pengaruhnya. Inilah yang menjadi sebab
perpecahan pada Islamiyah. Islamiyah terbagi kepada Musta’layyah dan Nazzariyyah.
Al-Afdhal mengekang Nazzar karena perselisihan yang terjadi antara keduanya pada
masa ayahnya. Dia menjadi batu sandungan bagi kemajuan negara.62 Al-Musta’li
meninggal pada 495 H / 1101 M dan digantikan oleh anaknya al-Amir.

X. AL-AMIR (495-524 H = 29 th / 1101-1130 M = 29 th)


Nama lengkap al-Amir ialah Manshur al-Amir bi-Ahkamillah bin al-Musta’li.
Al-Amir pada usia lima tahun dinyatakan sebagai khalifah oleh al-Afdhal. Kemudian
al-Amir menjadi khalifah yang kuat tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Dia
membunuh al-Afdhal agar bisa berkuasa dengan sepenuhnya. Namun dia tidak becus
mengurus negara. Dengan demikian, dia sama sekali tidak memberi manfaat.63 Dia

61
Musfrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, h. 145
62
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 242
63
Ibid, hal. 242 dan Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 795
meninggal pada 524 H / 1130 M karena tidak memiliki anak muda maka ia digantikan
oleh anak pamannya, al-Hafizh.

XI. AL-HAFIZH (524-544 H = 20 th / 1130-1149 M = 19 th)


Nama lengkap al-Hafizh ialah Abd al-Majid al-Hafizh li-Dinillah bin
Muhammad bin al-Mustanshir bi-llah. Setelah kematian al-Amir khalifah Fathimiyah
kembali meminta bantuan kepada para menteri dan komandan.64 Ketika al-Hafizh
meninggal, kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan. 65 Setelah itu
dia digantikan oleh anaknya al-Zhafir.

XII. AL-ZHAFIR (544-549 H = 5 th / 1149-1154 M = 5 th)


Nama lengkao al-Zhafir ialah Ismail al-Zhafir bi-llah bin al-Hafizh. Al-Zhafir
naik tahta pada usia sangat muda sehingga kekuasaannya direbut oleh seorang wazir
dari Kurdistan ibn al-Sallar, yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-‘Adil. Ibn al-
Sallar dibunuh oleh isteri cucunya, Nasr ibn ‘Abbas, yang kemudian dihasut oleh
khalifah untuk menghabisi nyawa ayahnya, Ibn ‘Abbas pengganti Ibn al-Sallar
sebagai wazir. Al-Zhafir dibunuh secara misterius oleh suatu persengkokolan,
menorehkan suatu bagian paling gelap dalam sejarah Mesir.66 Dia digantikan oleh
anaknya, al-Faiz.

XIII. AL-FAIZ (549-555 H = 6 th / 1154-1160 M = 6 th)


Nama lengkap al-Faiz ialah Isa al-Faiz bi-Nashrillah bin al-Zhafir. Hari kedua
setelah meninggal khalifah, ‘Abbas mengumumkan al-Faiz yang berusia empat tahun,
sebagai khalifah . Bersama al-Faiz masuk seorang laki-laki yang bernama al-Malik
ash-Shalih. Nama aslinya adalah Thala’i bin Zurraik. Dia tidak bisa mencapai puncak
kesuksesan sebagaimana diraih oleh Badr Jamali, namun dia bekerja sesuai
kemampuannya. Dia diterpa banyak masalah seperti kelaparan yang disebabkan oleh
siritnya aliran sungai Nil. Dia akhirnya menyita harta dan mewajibkan pajak. Keadaan
rakyatpun semakin memburuk, kondisi ekonomi menurun dan negara menjadi kacau

64
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 242
65
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 795-796
66
Ibid, hal. 796
balau. Khalifah kecil ini meninggal pada usia sebelas tahun, dan digantikan oleh
sepupunya, al-‘Adhid.67

XIV. AL-‘ADHID (555-567 H = 12 th / 1160-1171 M = 11 th)


Nama lengkap al-‘Adhid ialah Abdullah al-‘Adhid li-Dinillah bin Yusuf bin al-
Hafizh li-Dinillah. Al-‘Adhid naik tahta pada usia sebelas tahun, dia adalah khalifah
ke empat belas dan yang terakhir dalam garis dinasti Fathimiyah yang berkuasa
selama lebih dari dua abad setengah.68 Karena khalifah masih kecil maka para wanita
berlomba dengan orang-orang yang berkuasa untuk mendapatkan kekuasaan. Lalu al-
Malik al-Adil Zuraik bin Thala’i terbunuh, kekuasaan berhasil diambil oleh Syawir
Hakim Qaus. Ketika itu permasalahan-permasalahan yang ada di Mesir sangat
kompleks.69 Kehidupan masyarakat yang sangat sulit, yang menjadikan aliran Sungai
Nil sebagai sumber kehidupan mereka, semakin parah oleh bencana kelaparan dan
wabah penyakit yang sering terjadi. Akibatnya adalah pajak yang tinggi dan
pemerasan yang umum terjadi untuk memuaskan kebutuhan khalifah dan angkatan
bersenjata yang rakus. Keadaan semakin parah dan rumit dengan datangnya pasukan
perang salib dan serangan balasan dari Almaric, gerbang Kairo.70 Orang-orang Zanki,
Syirkuh (pimpinan militer Nur al-Din Zanki Raja Syam) mencoba untuk melawan
orang-orang salib. Karena kondisi yang sangat buruk, al-‘Adhid terpaksa kembali
memakai jasa komandan Zanki, Syirkuh pada 563 H / 1168 M, khalifah pun
memilihnya sebagai menterinya dan memberikan kekuasaan yang luas untuk
menentukan aturan-aturan.71 Syirkuh memanfaat situasi melemahnya dinasti
Fathimiyah, sebelumnya yang menjabat sebagai menteri adalah Syawir. Tak lama
setelah Syirkuh dilantik dia meninggal dan digantikan oleh keponakannya, Shalah al-
Din Yusuf ibn Ayyub (563 H / 1169 M). Shalah al-Din yang pada mula begitu tidak
dikenal sampai tahun 559 H / 1164 M (usia 27 th) 72, dengan keengganannya ia
menemani pamannya dalam perjalanan pertamanya ke Mesir. Ketika itulah

67
Ibid, hal. 796 dan yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 243
68
Philip K. Hitti, Op.Cit. hal. 796
69
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 243
70
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 796
71
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 243
72
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal. 147
bintangnya mulai bersinar. Ia memiliki dua ambisi besar dalam hidupnya, yaitu
menggantikan Islam Syi’ah di Mesir dengan Sunni, serta memerangi orang Franka
dalam Perang Suci/Salib.73 Sejak menjabat sebagai menteri Shalah al-Din memimpin
dengan baik, ia menghadapi tentara Salib yang datang dari Barat, yang mencoba
menduduki kota Dimyat untuk merebut Mesir, tetapi ia tidak bersedia menjadi raja
pelanjut daulah Fathimiyah. Ia memproklamirkan Mesir menyatu dengan
pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Disini namanya menanjak sebagai pemersatu
dunia Islam yang sebelumnya terpecah menjadi Abbasiyah yang Sunni dan
Fathimiyah yang beraliran Syi’ah. Dia secara berangsur-angsur memperkuat
kedudukannya tanpa menimbulkan kecurigaan orang Mesir dan Nur al-Din Zanki di
Syam. Dia berusaha melemahkan pengikut khalifah Fathimiyah dan mencari
kepercayaan rakyat yang kebanyakannya pengikut aliran Sunni serta mengangkat
orang-orang kepercayaannya menduduki jabatan penting di Mesir. Setelah ia merasa
teguh kedudukannya ia menghentikan khutbah Jum’at memuji khalifah Fathimiyah,
kembali memuji khalifah Baghdad,74 al-Musthadi’ (khalifah XXXIV 556-575 H /
1170-1180 M). Perubahan penting ini berlangsung dengan lancar tanpa sedikitpun
hambatan.75 Dengan kejadian peristiwa ini menunjukkan berakhirnya dinasti
Fathimiyah dan berawalnya dinasti Ayyubiyah.

2. Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Daulah Fathimiyah


Masa pemerintahan daulah Fathimiyah dimulai tahun 296-567 H / 909-1171
M, di Mesir dan meluas kebeberapa wilayah Islam. Dalam rentang waktu yang cukup
panjang lebih dari dua abad setengah. Daulah ini dipimpin oleh 14 orang khalifah.
Kemajuan dan keberhasilan membawa dinasti ini pada puncak keemasan. Ini ditandai
dengan kemajuan yang diraih dalam bidang politik dan pemerintahan, ekonomi dan
perdagangan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan iptek, kesenian, pemikiran dan
filsafat, dan pemahaman agama.

a. Politik dan Pemerintahan


Dalam pergantian khalifah dinasti Fathimiyah memakai sistem teokratis,

73
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 824
74
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hal. 147-148
75
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 824
karena pergantiannya ditunjuk langsung oleh khalifah yang sebelumnya atau disebut
dengan wasiat. Sebagaimana keyakinan mereka saat nabi Muhammad menunjuk ‘Ali
sebagai penggantinya. Segala sistem pemerintahan berada dalam kontrol khalifah.
Pengelolaan pemerintahan dibagi sesuai job discribtion (sesuai kemampuan) masing-
masing. Khalifah juga mengangkat gubernur untuk mengurus daerah-daerah tertentu
dimana ia berada. Perpolitikan dinasti ini terbagi kepada dua strategi, yaitu politik
dalam dan luar negeri. Politik dalam negeri mempunyai tujuan agar warganya dapat
menerima dan ajaran dan mazhab Syi’ah Ismailiyah. Sedangkan politik luar negeri
berangkat dari kekhawatiran atas keberadaan dinasti Abbasiyah dengan
menyisiatinya, dengan cara: (1) Memindahkan pusat pemerintahan darri Tunisia (al-
Mahdiah) ke Kairo Mesir. (2) Perluasan wilayah, pada masa khalifah al-‘Aziz telah
menguasai daerah yang meliputi negeri Arab sebelah Timur sampai laut Atlantik
sebelah Barat, dan Asia kecil sebelah Utara sampai Naubah sebelah Selatan. (3)
Pembentukan wazir Tanfiz yang bertanggung jawab dalam pembagian kekuasaan
pusat dan daerah.76
Sistem pemerintahan kekhalifahan Bani fathimiyah umumnya masih
mengikuti Persia Kuno. Dalam menentukan pejabat negara, itu diatur dalam suatu
ketentuan. Pasukan militer terbagi tiga tingkatan: (1) Para Amir, yang terdiri dari para
perwira tinggi dan para pengawal khalifah; (2) Para Perwira istana yang terdiri dari
para ahli (ustadz) dan para Qasim; (3) Komado-komando resimen yang masing-
masing menyandang nama berbeda, Hafizhiyah, juyusyiyah, Sudaniyah. Para wazir
atau menteri juga ada beberapa kelas. yang tertinggi adalah menteri kemanan negara
yang mengatur tentara dan urusan perang kemudian menteri dalam negeri, menteri
urusan rumah tangga yang bertugas menyambut tamu-tamu kehormatan utusan luar
negeri, dan yang terakhir adalah menteri sekretaris negara yang terdiri atas para Qadhi
yang juga menjadi kepala percetakan uang; menteri pengawas pasar (muhtasib) yang
mengawsi ukuran dan timbangan dalam perdagangan; dan bendaharawan kerajaan
yang mengepalai Bait al-Maal. Tingkatan pegawai yang paling rendah adalah para
pegawai departemen sekretariat negara yang terdiri atas para pegawai sipil, termasuk
para pedagang dan sekretaris dari berbagai departemen. Bahwa administrasi internal
kerajaan dibentuk oleh Ya’qub ibn Killis (w. 991 M), seorang wazir pada masa al-

76
http://penakluk.blogspot.com.18 september 2013, oleh Herman Busri
Mu’iz dan al-‘Aziz. Ia memulai karir politiknya di istana Kafur, dan berkat
kecakapannya dalam bidang administrasi berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi
sehingga negara mencapai kemakmuran disepanjang lembah sungai Nil pada awal
periode Fathimiyah.77

b. Ekonomi dan Perdagangan


Al-‘Aziz melanjutkan kebijakan bapaknya hingga kemakmuran melimpah.
Perbendaharaan negara (Bait al-Mal) yang gemuk telah memberikan kesempatan
baginya untuk membangun berbagai istana hingga makin memberikan sumber kerja
kepada pihak umum.78
Mesir pada saat al-‘Aziz sampai dengan al-Mustanshir adalah masa puncak
pusat perdagangan dan mengungguli perekonomian dengan non muslim dibina
dengan baik. Ekonomi mereka didukung dengan hasil pertanian yang unggul dan juga
hasil perindustrian yang berkualitas. Mesir kala itu menjadi jembatan perdagangan
antara Asia Timur dengan Eropa. Para pedagang hanya diberi beban pajak impor-
ekspor. Pendapatan dalam negeri pun tak kalah saing dalam memberikan pemasukan
negara. Kairo pada waktu itu menjadi pusat perindustrian tenun. Kota Qabs menjadi
pusat perindustrian bulu, serta menjadi bahan ekspor ke Persia. Sementara itu kota
Fusthat sebagai kota penghubung perdagangan emas dan budak-budak dari Sudan ke
Eropa dan Asia. Selain itu pendapatan negara juga banyak diperoleh dari perdagangan
dan bea cukai.79
Meskipun masa keemasan dalam sejarah Fathimiyah di Mesir dimulai pada
periode al-Mu’iz dan memuncak pada masa al-‘Aziz dan periode kekuasaan al-
Mustanshir, Mesir masih diakui sebagai negara Islam yang paling maju. Seorang
Persia yang menjadi propogandis sakte Ismailiyah, Nashir khusraw, yang
mengunjungi negara ini pada 1046-1049 (al-Mustanshir), beberapa saat sebelum
terjadi kehancuran ekonomi dan politik, meninggalkan sebuah catatan tentang
kecermelangan Mesir ketika itu. Ia mengatakan bahwa istana khalifah
memperkerjakan 30.000 orang, 12.000 orang diantaranya adalah pelayan dan 1.000
orang pengurus kuda. Khalifah muda, yang dilihat oleh al-Nashir dalam sebuah

77
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 800
78
Joesoef Sou’yb, Ob.Cit, hal. 235
79
http://penakluk.blogspot.com. 18 September 2013, oleh Herman Busri
perayaan menunggangi keledai, terlihat sangat mempesona. Kumisnya tercukur
sederhana dan mengenakan pakaian sederhana berupa qufthan, dan sorban berwarna
putih. Seorang pelayan membawa payung yang dihiasi batu-batu mulia menaungi
kepala khalifah. Tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan tiang 60 tiang
pancang, berlabuh ditepi sungai Nil. Khalifah memiliki 20.000 rumah di ibu kota,
hampir semuanya dibangun batu bata, dengan ketinggian hingga lima atau enam
lantai. Ia juga memiliki ribuan toko yang masing-masing bisa menghasilkan dua
hingga sepuluh dinar per bulan. Jalan-jalan utama diberi atap dan diterangi lampu.
Para penjual toko menjual dengan harga yang ditetapkan. Jika ada penjual yang
curang, ia akan dipertontonkan di atas sepanjang jalan kota sambil membunyikan
lonceng dan mengakui kesalahannya. Saking amannya bahkan toko perhiasan atau
tempat penukaran uang (money cahnger) tidak pernah dikunci saat ditinggal
pemiliknya. Kota Fusthat memiliki tujuh masjid besar, Kairo memiliki delapan Masjid
besar. Seluruh penduduk kota merasakan ketenangan dan kemakmuran yang membuat
al-Nashir menyatakan dengan antusias. “Bahkan aku tidak bisa memperkirakan
kekayaan kota ini, dan tidak pernah sekalipun aku melihat satu tempat yang lebih
makmur dari kota ini”.80
Perdagangan juga berkembang ke segala arah, India, Italia, laut Tengah Barat,
dan kadang-kadang ke Byzantium. Kota Kairo menjadi kota internasional yang
berkembang produksi-produksinya.81 Apalagi karena Mesir terletak di sepanjang
aliran sungai Nil membuat perkebunan dan pertanian melimpah, dan perdagangan
lancar dengan dunia internasioanl.
Dari sekian banyak khalifah Mesir, al-Mustanshir bisa dikatakan khalifah yang
paling kaya. Dia mewarisi harta yang melimpah dari pendahulunya serta hidup dalam
kehiduapn yang mewah dan senang. Bahwa ia membangun sebuah paviliun yang
menyerupai Ka’bah di dalam istana, harta yang ia warisi itu meliputi batu-batu
berharga, vas-vas kristal, piring-piring berlapis emas, tempat tinta yang terbuat dari
gading dan kayu eboni, gelas-gelas terbuat dari gading, tempat minyak wangi, cermin-
cermin dari baja, payung dengan gagang dari emas dari perak, papan catur dengan
bidak terbuat dari emas dan perak, belati yang dihiasi mutiara, dan pedang berukir

80
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal 798-799
81
Musyrifah Sunanto Prof. Dr. Hj, Op.Cit, hyal. 145
indah buatan pabrik senjata di Dabik dan Damaskus. Karya-karya yang sangat indah
yang tersebar diantara tentara-tentara Turki. Meskipun demkikian pada 1070 M,
khalifah merasa perlu untuk mengirim anak-anak perempuan dan ibu mereka ke
Baghdad untuk menghindari wabah kelaparan.82

c. Sosial Kemasyarakatan
Dinasti Fathimiyah mempunyai sikap toleran yang tinggi, mereka sangat
menghargai keberadaan non muslim disana. Tidak hanya masyarakat Sunni saja yang
mempunyai kebebasan bergerak dan dihargai, masyarakat Kristen pun mendapat
perlakuan baik dari setiap khalifah, yang agak keras dan intoleren yaitu al-hakim.
Orang-orang Sunni pun banyak yang mendalami ilmu di al-Azhar, yang mana al-
Azhar, yang mana al-Azhar ini adalah basis keilmuan orang-orang Syi’ah.
Meskipun pemerintah Fathimiyah mempunyai misi/target untuk mensyi’ahkan
seluruh orang-orang Mesir tapi mereka tidak memaksakan kehendak secara frontal,
mereka masih memberi kebebasan terhadap rasa aman dan tentara kepada setiap
rakyatnya, dinasti ini juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam sosial
kemasyarakatan, sebagai buktinya dengan dibangunnya perguruan tinggi, rumah sakit,
pemandian dan pasar-pasar.83

d. Pendidikan dan Iptek


Meskipun beberapa khalifah dinasti Fathimiyah periode pertama dikenal
sebagai kahlifah berbudaya, periode mereka bisa dibilang tidak melahirkan ilmuawan
dan penulis yang kondang dalam sains dan sastra seperti khalifah-khalifah lainnya di
Baghdad dan Cordova. Al-‘Aziz adalah khalifah yang mengembangkan masjid Agung
al-Azhar menjadi Universitas.
Ibn Killis adalah seorang tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada
kekhalifahan Fathimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah universitas dan menghabis
kan ribuan dinar per bulan untuk membiayainya. Salah satu fondasi terpenting yang
dibangun pada masa Fathimiyah adalah pembangunan Dar al-Hikmah atau disebut
juga Dar al-Ilm yang didirikan oleh al-Hakim pada 1005 M, sebagi pusat

82
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 799
83
http://penakluk.blogspot.com. 18 September 2013, oleh Herman Busri
pembelajaran dan penyebaran ajaran Syi’ah ekstrim. Untuk mengembangkan institusi
ini, al-Hakim menyuntikkan dana besar yang 257 dinar diantaranya digunakan untuk
menyalin berbagai naskah, emperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya.
Gedung ini dibangun berdekatan dengan istana kerajaan yang di dalamnya terdapat
sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Kurikulum meliputi kajian ilmu-
ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Meskipun pada tahun 1119 ditutup oleh
al-malik al-Afdhal karena dianggap menyebarkan ajaran bid’ah, institusi ini masih
bisa bertahan sampai kedatangan dari bani Ayyubiyah.84
Secara pribadi al-hakim sangat tertarik pada perhitungan-perhitungan
astrologi. Dia membangun di Mukatam sebuah observatorium yang sering ia
kunjungi. Istana al-Hakim diterangi kecermelangan ‘Ali ibn Yunus (w. 1009), seorang
astronom paling hebat yang pernah dilahirkan di Mesir. Abu ‘Ali al-Hasan (dikenal
dengan Alhazen oleh ilmuan Barat) ibn al-Haitsam yang merupakan peletak dasar
ilmu fisika dan optik. Tabel astronomi (zij) Ibn Yunus, yang memakai nama
khalifahnya, memperbaiki tabel yang dikenal saat itu dengan menggunakan
pengamatan asli, dilengkapi bulatan almilar dan lingkaran Azimut. Ibn al-Haitsam (w.
Lebih kurang 1039) lahir di Basrah sekitar 965, mencoba untuk mengatur aliran
sungai Nil setiap tahun. Ketika percobaannya gagal ia pura-pura gila dan
menyembunyikan dari kemarahan khalifah sampai khalifah meninggal. Ia menulis
tidak kurang dari seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat
dan kedokteran. Karya terbesarnya adalah kitab al-Manazhir, mengenai ilmu optik.
Edisi asli kitab ini sudah hilang tapi sudah diterjemahkan dalam bahasa Latin pada
1575. banyak ilmuan optik setelahnya merujuk kepada kitab Alhazen ini.85
Karya penting lain pada masa al-hakim adalah al-Muntakhab fi ‘Ilaj al-Ayn
(tentang penyembuhan mata) yang ditulis oleh Ibn ‘Ali al-Maushili.86

e. Kesenian
1. Kesenian Arsitek
Periode dinasti Fathimiyah ini ditandai dengan munculnya sejumlah karya

84
Philip K. Hitti, Op.Cit, hal. 800-801
85
Ibid, hal. 802
86
Ibid, hal. 803
penting dalam bidang seni dan arsitektur. Bangunan tua yang masih bertahan hingga
kini adalah masjid al-Azhar yang didirikan oleh Jawhar pada 972 M. Meskipun sudah
pernah dipugar, keaslian bagian tengahnya yang merupakan pusat bangunan ini tetap
dipertahankan. Bagian ini dibangun dari batu bata, mengikuti model masjid Ibn
Thulun, yang memiliki sudut mihran dan secara umum berbeda jauh dengan gaya
Persia. Menara masjid ini berbentuk bundar konvesional.
Masjid tua selanjutnya adalah masjid al-Hakim yang dibangun oleh ayahnya
pada 990 M, dan selesai sekitar tahun 1012 M. Masjid ini mengikuti rancangan yang
sama dengan rancangan masjid al-Azhar dan mempunyai kopula dari tembok yang
menyokong sebuah tambur besar berbentuk segi delapan di atas ruang shalat. Batu-
batu yang digunakan untuk membangun masjid al-Hakim itu saat ini telah diruntuh.
Karena menaranya tidak berbentuk segi empat, bisa dikatakan bahwa tukang-
tukangnya berasal dari Iraq Barat, bukan dari Syuriah.
Pada tahun 1125 M, dibangun masjid al-Qamar, bagian depan bangunan ini
kemungkinan dirancang oleh beberapa arsitek Kristen dari Armenia. Di Masjid al-
Qamar dapat dilihat beberapa figur awal, yang kelak menjadi ciri khas arsitektur
Islam yaitu ceruk (muqarnas) stalaktik. Tiang masjid ini dan tiang Masjid al-Shalih
ibn Ruzzik (kira-kira 1160 M) menampilkan disain kaligrafi bergaya kufi yang kubus
dan tegas yang kelak memperbahurui perkembangan kesenian Dinasti Fathimiyah.
Kebiasaan untuk menghubungkan bangunan makam (biasanya makam para
pendiri) dengan bangunan masjid bermula pada tahun 1085 M, oleh Badr al-Jamali.
Bangunan makam menyatu dengan masjid di Mukatam adalah hasil rancangan Badr
itu menjadi contoh pertama tradisi itu.
Pintu-pintu gerbang besar yang mempertontonkan kemegahan gedung-gedung
periode Fathimiyah yang masih bertahan hingga kini ada tiga buah, yaitu: bab
Zawilah, bab al-Nashar, dan bab al-Futuh. Pintu-pintu gerbang yang sangat besar di
Kairo yang dibangun oleh arsitek-arsitek Edessa dengan rancangan ala Bizantium
termasuk diantara sebagian jejak kejayaan Fathimiyah di Mesir yang bertahan hingga
kini.

2. Kesenian Lukisan dan Seni Rupa


Diantara peninggalan zaman Fathimiyah adalah ada papan kayu berukir.
Papan-papan itu digambari lukisan beberapa makhluk hidup seperti rusa yang
diserang oleh moster, kelinci yang diterkam oleh elang, dan beberapa pasangan
burung yang saling berhadapan. Juga masih ada sampai sekarang perunggu yang
berupa cermin atau pedupan. Perunggu yang paling terkenal adalah patung griffin
tingginya 40 inci, yang sekarang berada di Pisa.
Seni penjilidan buku di dunia Islam yang paling pertama dikenal datang dari
Mesir sekitar abad kedelapan atau kesembilan. Teknik dan dekorasi yang mereka
miliki bersanding indah dengan daya tarik seni penjilidan Koptik yang lebih dulu
muncul.

3. Kesenian Tekstil atau Tenunan


Periode Fathimiyah juga dikenal dengan keindahan produk tekstil. Ditemukan
di barat yang dibawa kesana pada masa perang salib. Sedangkan produk tenunan yang
berkembang pada saat itu menjadi produk khas bangsa ini yang bergaya Kopti-Mesir
dan kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah. Produk-produk tekstil
periode Fathimiyah bisa ditemukan motif hewan dengan pose konvensional. Diantara
kota-kota Mesir yang sangat terkenal dengan produk tekstilnya adalah Dabik, Dimyat
dan Tinnis. Sehingga produk itu dinamai dengan nama masing-masing kota. Dan
pakaian dari kota Fusthat dinamai dengan Fustian pada masa Chaucer.

4. Kesenian Seni Kriya


Kriya adalah benda sejenis guci, keramik, tembikar dan lain-lain misalnya
terbuat dari lumpur yang kental atau logam. Seni keramik pada masa dinasti ini
mengikut pola-pola Iran. Peninggal dinasti ini seperti keramik dan kriya logam
termasuk tembikar yang bergaya Cina adalah bentuk kekayaan dinasti ini. Menurut
Nashir Khisrau: “bahwa orang-orang Mesir memproduk keramik menjadi sangat
halus dan menakjubkan, sehingga orang bisa melihat tangan orang lain melaluinya”.

f. Pemikiran dan Filsafat


Dalam menyebarkan tentang kesyi’ahannya dinasti Fathimiyah banyak
menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat Plato,
Arsitoteles, dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang terkenal pada
masa dinasti ini adalah Ikhwanu Shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih
cenderung membela Syi’ah Ismailiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan
pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah. Beberapa
tokoh filsuf yang muncul pada masa dinasti Fathimiyah ini adalah:87
1. Abu Hatim al-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismailiyah yang pemikirannya
lebih banyak dalam masalah politik, dia menulis beberapa buku diantaranya
kitab Azzaniyah yang terdiri dari 1.200 halaman. Didalamnya banyak
membahas masalah Fiqh, Filsafat, dan aliran-aliran dalam agama.
2. Abu Abdillah al-Nasafi, dia seorang penulis kitab Almasul. Kitab ini lebih
banyak membahas masalah al-usul al-Mazhab al-Ismaili. Selanjutnya ia
menulis kitab Unwanuddin Ushulus Syar’i, Adda’watu manjiyyah. Kemudian
ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan
kaunul Mujrof.
3. Abu Ya’kub al-Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak
tulisannya.
4. Abu Hanifah al-Nu’man al-Maghribi
5. Ja’far ibn Mansyur al-Yamani
6. Haminuddin al-Qirmani

g. Pemahaman Agama
Dinasti Fathimiyah ini lebih fokus pada penyebaran faham Syi’ah Ismailiyah.
Pada masa pemerintahan al-Mu’iz di Mesir terdapat empat mazhab fiqih yaitu Syafi’i,
Hanafi, Maliki dan Hambali. Atas kenyataan itu al-Mu’iz membuat hakim dari
kalangan Sunni dan hakim dari kalangan Syi’ah, akan tetapi jabatan penting tetap
berada dalam golongan Syi’ah. Maka realsisasinya al-Mu’iz mendirikan dua lembaga
peradilan buat Sunni dan dua lembaga peradilan buat Syi’ah. Selain itu ia punya sifat
toleransi yang kuat kepada rakyatnya, sehingga rakyat yang beda agama pun bisa
tetap tenang dan nyaman hidup di Mesir dan berada di bawah kepemimpinannya.
Meskipun ada diantara khalifah yang bersifat ekstrim, namun itu hanya sebagian kecil
dari keseluruhan khalifah.88

3. Faktor Kemunduran dan Kehancuran daulah Fathimiyah


Kemunduran dinasti ini diawali pada masa al-Hakim khalifah VI, dimana pada

87
http://Kamiluszaman.blogspot 05 Desember 2014, oleh Moh Kamilus zaman
88
http://penakluk.blogsop.com. 18 September 2013, oleh Herman Busri
saat itu dia naik tahta pada usia sebelas tahun. Karena usia yang terlalu muda, maka
kekuasaan pun berada di bawah kendali para wazir. Ditambah lagi dengan sikap al-
Hakim setelah dewasa sangat mengalami perubahan yang tidak stabil, sehingga
berefek tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Semua ini mengakibatkan
goncangnya situasi politik dan sosial masyarakat.
Setelah al-Hakim, anaknya al-Zhahir naik tahta diusia yang masih muda juga
yaitu sebelas tahun. Karena situasi politik sudah mulai melemah, dan terjadi lagi
khalifah naik tahta diusia muda, kerajaan pun di bawah kendali wazir, dimana pada
awal kekhalifahan al-Zhahir, kendali negara dipegang oleh Siti al-Mulk saudari al-
Hakim.
Setelah al-Zhahir digantikan oleh anaknya al-Mustanshir, juga naik tahta pada
usia yang lebih muda lagi dari ayahnya yaitu sebelas tahun. Kendali negara diambil
oleh ibunya, setelah ibunya meninggal maka negara berada di bawah kendali wazir.
Pada masa inilah banyak terjadi fitnah dan banyak daerah yang melepaskan diri dari
kedaulatan Fathimiyah, karena dinamika politik yang kacau balau dan tidak bisa
diatasi baik dari internal maupun ekternal. Badr al-Jamali dipanggil ke Mesir untuk
memperbaiki situasi, meskipun usahanya bisa dibilang sukses, namun tidak bisa lagi
seperti semula. Menjelang meninggalnya al-Muntashir semakin banyak daerah-daerah
yang melepaskan diri dari kebiasaan Fathimiyah sehingga kekuasaan Fathimiyah
hanya daerah Asqalan dan beberapa kota saja.89
Setelah dia anaknya al-Musta’li naik tahta juga di usia yang masih muda,
kerajaan berada di bawah kendali al-Malik al-Afdhal bin badr al-Jamali. Pada masa
ini terjadi perselisihan antara Syi’ah Ismailiyah, kondisipun semakin goncang.
Al-Musta’li digantikan oleh anaknya al-Amir, dinyatakan menjadi khalifah
oleh al-Malik al-Afdhal pada usia yang sangat muda yaitu empat tahun. Dia
membunuh al-Afdhal agar bisa mengendalikan negara secara langsung, namun dia
tidak becus mengurus negara dan dia tidak memberi manfaat sama sekali. Kondisi
negara semakin terpuruk.
Dia digantikan oleh anak pamannya al-Hafizh, kerajaan di bawah kendali
wazir. Pada waktu al-Hafizh meninggal kerajaan hanya sebatas istana saja. Setelah itu
Zhafir naik tahta, juga di usia yang sangat muda, kendali kerajaan itu dirampas oleh
Ibn al-Sallar yang kemudian hari ia dibunuh. Al-Zhafir juga dibunuh secara misterius.
Lalu anaknya al-faiz naik tahta pada usia yang paling sangat muda dari
keseluruhan khalifah yaitu empat tahun. Pada masa al-Faiz banyak masalah yang
terjadi, seperti kelaparan yang disebabkan oleh surutnya aliran sungai Nil. Dia
akhirnya menyita harta dan mewajibkan pajak. Keadaan rakyatpun semakin
memburuk, kondisi ekonomi menurun dan negara menjadi kacau balau. Khalifah kecil
ini meninggal pada usia sebeleas tahun, dan digantikan oleh seupunya, al-‘Adhid.
Pada masa al-‘Adhid ini masalah semakin komplek ditambah dengan
kedatangan pasukan salib. Syirkuh menolong menghalangi pasukan salib. Setelah itu
al-Adhid mengangkatnya menjadi menteri dan komandan untuk mengambil
kebijakan-kebijakan. Syirkuh meninggal, maka khalifah mengangkat Shalah al-Din
menggantikannya. Pada 567 H / 1171 M, al-‘Adhid meninggal, maka Shalah al-Din
menggantikannya memerintah kerajaan, namun dia tidak setuju melanjutkan sebagai
dinasti Fathimiyah. Dengan naiknya Shalah sebagai khalifah adalah berakhirnya
dinasti Fathimiyah. Cerita lebih sempurnanya lihat kembali ke atas.
Khazanah tambahan, pendapat Ulama Sunni tentang Daulah Fathimiyah.
Imam al-Jalal al-Din as-Suyuthi mengatakan dalam kitabnya Tarikh al-Khulafak:
“Pemerintahan Ubaydiyin di Mesir dianggap tidak sah, dengan alasan sebagai berikut:
a. Merek bukan berasal dari keturunan Qurays walaupun kebanyak orang-orang
awam menyebut mereka sebagai orang-orang Fatimiyyin, yang dinisbahkan
kepada Fatimiyyin binti Rasulullah. Padahal kakek moyang mereka adalah
orang majusi.
b. Karena kebanyakan mereka adalah orang-orang Zindiq yang keluar dari rel
agama Islam. Diantara mereka bahkan ada yang terang-terangan mencaci para
Nabi, ada yang menghalalkan minuman keras, ada pula yang memerintah
orang-orang untuk bersujud di bawah telapak kakinya. Yang paling baik
diantara mereka adalah orang-orang Rafidhah yang kotor yang memerintah
untuk mencaci para sahabat. Pada orang-orang yang demikian, tentu saja tidak
sah baiat dan tidak benar pula pemerintahan mereka.
c. Pembaiatan mereka terjadi pada saat kekhalifahan Bani Abbasiyah masih ada
dan mereka masih berkuasa serta telah dibaiat oleh umat sebelum Bani Udaid.
Sebab tidaklah sah pembaiatan dua imam disatu waktu. Yang lebih dahululah
yang dianggap sah.

89
Yusuf al-Isy DR, Op.Cit, hal. 241
d. Karena adanya hadits yang meriwayatkan bahwa kekhalifahan jika telah
sampai kepada Bani Abbas, maka ia tidak akan lepas dari mereka hingga
diserahkan kepada Isa bin Maryam atau al-Mahdi. Dengan demikian jika ada
orang yang mengaku menjadi khalifah, pada hal bani Abbasiyah masih
berkuasa, jelas dia itu adalah seorang pemberontak.

Pernyataan Imam al-Jalal al-Din as-Suyuthi ini dikuatkan oleh al-Imam al-Qadhi
Ibnul Arabi dalam kitabnya, al-‘Awaashim min al-Qawaashim fii Tahqiiq Muwaafiq
ash-Shahaabah Ba’da Wafah an-nabi.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Masa Daulah Fathimiyah adalah masa kembali bangkit umat Islam setelah
kedaulatan Abbasiyah mulai mundur walaupun belum berakhir. Dimana Daulah ini
tidak selama kedaulatan Abbasiyah hanya lebih kurang dua abad setengah. Daulah ini
sampai kepada puncak kemakmurannya pada masa al-Mu’iz, al-‘Aziz dan al-Hakim
(lebih kurang selama 70 tahun). Dimasa daulah ini lahir sebuah lembaga Perguruan
Tinggi al-Azhar yang samapi sekarang masih berdiri dan aktif sebagai lembaga
pendidikan Islam Internasional. Pada zaman ini juga banyak lahir para ilmuan
walaupun tidak sebanyak masa daulah Abbasiyah. Daulah ini berakhir pada tahun 567
H / 1171 M dan digantikan oleh daulah Ayyubiyah.

2. Saran
Dari paparan makalah ini sudah pasti ada kekurangannya, karena keterbatasan
pemakalah sendiri dan kurangnya referensi yang dimiliki. Maka dari itu sangat
diharapkan saran dan kritikannya demi penjelasan lebih lanjut mata kuliah ini. Terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Sunanto, Musyrifah Prof. Dr. Hj, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta Timur: Prenada
Media, 2004), cet. ke 2.
Hitti, Philip K. History of The Arabs; From the Earliest Gtimes to the Present,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005),cet. 1
As-Suyuthi, Jalal ad-Din al-Hafidz, Tarikh al-Khulafak (Berut Libanon: Dar al-Fikr)
C.Bosworth E, The Islamic Dynasties, (Bandung: Mizan, 1993), cet. ke 1
Al-Isy, Yusuf DR, Dinasti Abbasiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007)
Yatim, Badri Dr. M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Sou’yb, Joesoef, Sejarah daukah Avvasiyah II (Jarata : Bulan Bintang)
http://penakluk.blogspot.com. 18 September 2013, oleh Herman Busri.
http://Kamiluszaman.blogspot.com 05 Desember 2014, oleh: Moh. Kamilus Zaman
http://makalahmajannaii.blogspot.com. (Luhur Fatah), 23 Maret 2014
http://en.wikipedia.org/wiki/wiki muhammad-ad-idrus

Anda mungkin juga menyukai