Anda di halaman 1dari 21

DINASTI FATIMIYAH (SIJILMASA – MESIR)

(SEJARAH PENDIRIAN, PERKEMBANGAN DAN KEMUNDURANNYA)

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Sejarah Peradaban Islam

Oleh :

MUHAMMAD ANSHAR
NIM. F52319318

Dosen Pengampu
Dr. H. Abd. Kadir, M.A.

PRODI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
A. Pendahuluan
Dalam rentang sejarah peradaban, ummat manusia telah mengalami
berbagai macam perubahan, begitu pula yang terjadi di kalangan dunia Islam.
Tak dapat dipungkiri bahwa telah banyak pemerintahan yang muncul dan
lenyap begitu saja silih berganti di setiap masanya.
Salah satu tampuk pemerintahan yang tak bisa dilupa oleh sejarah umat
manusia ialah sejarah Berdirinya dinasti Fatimiyah, menguasai kawasan Afrika
Utara pada abad 10 M, dari kawasan Tunisia, Mesir, hingga kawasan Timur
Tengah. Daerah kekuasaan Dinasti Fatimiyah menggerogoti kawasan daulah
Abbasiyah yang kala itu menjadi penguasa besar pemerintahan Islam.
Ciri khas pemerintahan Dinasti Fatimiyah ialah dengan pengaplikasian
ideologi Syi’ah Ismailiyah dalam pemerintahannya. Hal ini dipelopori oleh
Sa’id Ibnu Husain as-Salamiyah yang masyhur dengan sebutan Ubaidillah al-
Mahdi. Pemerintahan Dinasti Fatimiyah lambat laun tersebar luas ke penjuru
Arab, karena perjuangan khalifah yang begitu gigih untuk melakukan ekspansi
wilayah. Ideologi Syi’ah pun tumbuh mekar di tanah Mesir dan sekitarnya.
Mulanya ideologi ini begitu toleran kepada sekte lainnya, hingga pada akhirnya
berlaku bengis kepada ideologi yang berbeda degannya. Intoleransi yang
dilakukan khalifah sendiri ini kelak menggerogoti pemerintahannya, sebab
pemberontakan yang tak bisa dibendung keberadannya.

B. Proses Berdirinya Dinasti Fatimiyah


Dinasti Fatimiyah berdiri pada tahun 296 H / 909 M, dipelopori oleh
Sa’id Ibnu Husain atau lebih dikenal sebagai Ubaidillah al-Mahdi. Wilayah
kekuasaannya membentang luas dari kawasan Afrika Utara, sampai kepada
kawasan Timut Tengah. Dimulai dengan penaklukan Dinasti Aghlabiyah di
Tunisa, dan upaya pendudukan yang begitu panjang di Mesir. Dinasti ini
menjadi kekuatan yang diperhitungkan yang pada saat itu kekuasan wilayah
daerah Islam dikuasai oleh Dinasti Abbasiyah.
Pada mulanya, Dinasti Fatimiyah ini merupakan gerakan suatu sekte
golongan Syi’ah, yaitu Ismailiyah. Syi’ah Ismailiyah berselisih faham dengan
golongan Syi’ah lainnya, Syi’ah Imamiyah. Perbedaan keduanya ialah terletak
kepada perbedaan pengakuan imam sab’ah (yang ke tujuh). Menurut Syi’ah
Imamiyah, imam yang ketujuh ialah Musa al-Kazhim sebagai penerus imam
Ja’far. Sedangkan dalam pandangan Syi’ah Ismailiyah menolak membaiatnya
dan menganggap putera Ja’far lainnya, Ismail sebagai Imam yang ketujuh.
Meskipun Isma’il sudah meninggal (sebelum Musa), kalangan Syi’ah
Ismailiyah enggan untuk menobatkan Musa al-Kazhim sebagai imam sab’ah,
sehingga menjadi badal (ganti) dari Ismail.1
Dinasti Fatimiyah didirikan sebagai tandingan Dinasti Abbasiyah.
Awalnya, Syi’ah Ismailiyah tidak menampakkan dirinya secara jelas hingga
muncullah Abdullah bin Maymun yang memberntuk Syi’ah Ismailiyah sebagai
gerakan politik keagamaan. Hal ini merupakan bentuk kekecewaan golongan
Ismailiyah terhadap Bani Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah akhir
banyak bermunculan daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri. Di bagian Timur
Baghdad, muncul dinasti Thahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah,
Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara di bagian barat, muncul dinasti
Idrisiyah, Aghlabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, dan Hamdaniyah.
Sebelumnya, Said Ibnu al-Husayn adalah imam Syi’ah Ismailiyah di
Salamiyah, penerus dari Abdullah bin Maymun (w. 874 M). Abdullah ibn
Maymun merupakan tokoh besar Syi’ah Ismailiyah dalam menyebarkan faham
syi’ah ke seluruh penjuru wilayah muslim. Gerakan transformatif Ibnu
Maymun ini menjadi cikal bakal berdirinya Dinasti Fatimiyah.
Pada tahun 874 M, muncullah seorang tokoh dari Yaman, Abu
Abdullah al-Husayn. Ia melakukan propaganda ajaran Syi’ah di Afrika Utara.
Dakwah yang dilakukannya mendapatkan sambutan positif bagi suku Berber
Ketama. Selain itu, ia mendapatkan dukungan dari gubernur Ifrikiyah, Zirid.
Bentuk propaganda tersebut menjadi pemicu semangat suku Berber yang tidak
senang dengan penguasa saat itu, yakni Dinasti Aghlabiyah.2

1
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
(Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 141
2
Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka, 2008), hlm. 788
Berkat sambutan positif dari masyarakat Afrika Utara, dan menjadi
tempat hijrah yang nyaman bagi komunitas Syi’ah, Abu Abdullah al-Husayn
mengundang Sa’id Ibnu Abdullah (selaku penerus Abdullah Ibnu Maymun) di
Salamiyah untuk menancapkan kekuasaan Dinasti Fatimiyah di tanah Afrika
Utara. Lawan politik pertama yang dihadapi oleh kedua tokoh tersebuh ialah
Dinasti Aghlabiyah yang dipimpin oleh Ziyadatullah III. Tak butuh waktu lama
bagi gerakan Syi’ah Ismailiyah untuk menaklukkan Dinasti Aghlabiyah, karena
mendapat dukungan begitu besar dari suku Barbar yang sudah enggan dengan
penguasa.
Setelah berhasil mengusir Zidatullah dan pasukannya, Sa’id Ibnu
Abdullah memproklamirkan diri sebagai pemimpin tertinggi gerakan
Ismailiyah, dan menduduki Tunis yang menjadi pemerintahan Aghlabiyah. Ia
mensematkan dirinya sebagai Ubaidillah al-Mahdi, dan menancapkan
penguasaan Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara pada tahun 909 M.

C. Perluasan Wilayah
Pada awal proses pembentukan dinasti mencakup penaklukan kota,
yang mana dinasti penakluk akan memindahkan adminstrasi pemerintahan
kepada dinasti yang ditaklukkan. Karena kota taklukan cenderung memiliki
aspek perkembangan yang pesat ketimbang daerah kekuasaan yang ada di
pelosok. Hal ini juga dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah tatkla berhasil
mendapatkan kekuasaannya di Sijilmasa (Afrika Utara), sehingga dinasti ini
menjadi dinasti yang sangat luas kekuasaannya
Dinasti Fatimiyah memiliki kekuasaan yang sangat luas dan terbagi
menjadi dua periode. Periode pertama di Afrika Utara / Tunisi (909 – 974 M),
dan periode Mesir (975 – 1171 M). Setidaknya bias dihitung kekuasaan Dinasti
Fatimiyah ialah 2 abad lamanya, meliputi 65 tahun di Afrika Utara, dan 196
tahun di Mesir. Penguasaan pertama di Afrika Utara, Dinasti Fatimiyah
membuat gebrakan yang luar biasa dalam melakukan ekspansi wilayah. Al-
Mahdi selaku khalifah pertama mengambil kebijakan ekspansi daerah
kekuasaan dan menekankan kinerja politik dalam pembangunan wilayah-
wilayah tersebut.
Ubaidillah al-Mahdi adalah khalifah pertama Daulah Fatimiyah. Ia
memerintahh selama kurang lebih 25 tahun (904-934 M). Dalam
pemerintahannya, al-Mahdi melakukan ekspansi wilayah kekuasaan ke seluruh
Afrika. Ia berhasil merebut Maroko dari kekuasaan Dinasti Rustamiyah. Di
tahun 914 M, al-Mahdi menduduki Iskandariyah, dan menguasai delta pada
tahun 916 M. Di tahun yang sama, al-Mahdi mengutus gubernur Ketama untuk
menjalin pertemanan dengan salah seorang pemberontak di Spanyol, Ibnu
Hafsun. Tidak hanya berhenti di Spanyol, berlanjut pula ke Malta, Sardania,
Corsica, Balearic dan wilayah lain yang menjadi bekas kekuasaan Dinasti
Aghlabiyah.3
Setelah berhasil melakukan ekspansi wilayah kekuasaan, pada tahun
920 M, Al-Mahdi mendirikan sebuah kota di pesisir pantai Tunisia yang diberi
nama kota al-Mahdi. Upaya al-Mahdi tidak sampai di sini saja, ia sangat ingin
untuk menaklukkan Mesir, namun menemui kegagalan.4
Ubaidillah al-Mahdi sangat berambisi untuk menaklukkan Spanyol dari
kekuasaan Dinasti Umayyah bahkan sampai melakukan ikatan persahabatan
dengan pemimpin pemberontak di Spanyol. Sayangnya usahanya menemui
kegagalan karena ia meninggal dunia pada tahun 934 M. Keinginannya untuk
memperluas daerah kekuasaan dan menyebarkan faham pun sirna, namun
meskipun demikian ia telah membawa Dinasti Fatimiyah menjadi dinasti yang
mulai diperhitungkan dan menjadikan dinasti Fatimiyah sebagai dinasti yang
mampu menciptakan peradaban Islam.
Hal serupa dilakukan oleh khalifah ke dua, yakni Abu al-Qasim
Muhammad (w. 946 M) yang bergelar al-Qaim. Ia adalah putra dari Ubaidillah
al-Mahdi yang menggantikan ayangnya yang telah meninggal. Al-Qaim
melanjutkan misi sang ayah tepat pada tahun 934 M al-Qaim memutuskan

3
Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka, 2008), hlm. 789
4
Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam (Depok : PT. Huda
Parhapuran, 2007) hlm. 240
untuk melakukan perluasan wilayah, targetnya yakni pantai selatan Prancis.
Dalam misinya ini, al-Qaim membawa pasukan yang sangat banyak. Usahanya
tidak sia-sia, ia bersama pasukannya berhasil menduduki Genoa dan wilayah
sepanjang pantai Calabria.5
Tidak hanya berhenti kepada ekpansi di pantai selatan Prancis, al-Qaim
mengirim pasukannya untuk menyerang Mesir, akan tetapi mereka
mendapatkan perlawanan dari pasukan Ikhsindiyah. Bahkan pasukan al-Qaim
mengalami kekalahan sehingga mereka terusir dari Alexandria. Al-Qaim bias
dibilang sukses dalam melakukan ekspansi wilayah kekuasaan, meskipun
terkadang harus kalah dari lawannya tapi ia tidak pantang menyerah. Ia dikenal
sebagai prajurit pemberani bahkan ketika melakukan misinya. Dengan
keberania tersebut, ia berhasi menjadi khalifah Fatimiyah pertama yang mampu
menguasai Laut Tengah.
Meskipun Dinasti Fatimiyah sukses dalam melakukan ekspansi wilayah
di bawah pimpinan al-Qaim, tidak membuat Dinasti Fatimiyah aman dari
serangan para pesaingnya. Pemerintah al-Qaim mendapatkan perlawanan dari
kaum Khawarij yang pada saat itu dipimpin oleh Abu Yazid Makad. Selama
tujuh tahun terjadi perlawanan antara Dinasti Fatimiyah dengan kaum
Khawarij. Selama itulah Dinasti Fatimiyah mampu melancarkan serangan-
serangan akan tetapi kaum Khawarij sangatlah kuat bahkan sampai mampu
menghalang serangan pasukan al-Qaim.6
Pada tahun 946 M, terjadi pemberoontakan di Susa’ yang dipimpin oleh
Abu Yazid Makad. Dalam pemberontakan masa pemberontakan tersebut, al-
Qaim meninggal. Kabar meninggalnya al-Qaim mebuat Dinasti Fatiiyah
berduka, mereka kehilangan sosok pemimpin yang pemberani, tidak pantang
menyerah. Al-Qaim telah membawa Dinasti Fatimiyah berada dalam wilayah
kekuasaan yang luas, bukti bahwa dinasti ini lambat laun mulai menunjukkan
eksistensiya.

5
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 257
6
Samsul Munir .., hlm. 257
Al-Qaim meninggal pada tahun 946 M dan secara otomatis digantikan
oleh putranya, Abu Thahir Ismail (w. 953 M). Ia mendapatkan gelar al-Mansur
ketika mulai memegang kekuasaan, diangkat menjadi khalifah ketika umurnya
menginjak tiga puluh tahun. Khalifah al-Mansur mempunyai sifat yang sangat
baik, bijak dan cerdas. Pengangkatan al-Mansur menjadi putra mahkota ialah
waktu ayagnya menjadi khalifah. Dalam ajaran Syi’ah Ismailiyah mewajibkan
pemimpin (dalam hal ini khalifah) agar menentukan hujjah (memlihi putra
mahkota) dan merahasiakannya sebelum ia wafat dan dimakamkan.
Al-Mansur menjadi Khalifah selama tujuh tahu yakni dari 949-952 M.
Ia secara resmi diangkat menjadi khalifah pada tanggal 12 April 946 M.
sementara itu, kondisi di Ifriqiya ketika al-Mansur menjadi Khalifah sangat
kacau dan membuat kondisi pemerintahan sangat sulit. Hal ini disebabkan
karena Dinasti Fatimiyah mendapatkan serangan dari Abu Yazid dan para
pengikutnya. Dengan keadaan demikian, al-Mansur harus berjuang keras agar
bisa melawan pasukan Abu Yazid.7
Al-Mansur berhasil menghancurkan kekuatan pasukan Abu Yazid, ia
tidak berputus asa dalam mempertahankan Dinasti Fatimiyah. Tidak hanya
Abu Yazid yang berbuat onar akan tetapi anaknya juga sering membuat
keributan. Namun, al-Mansur mampu mengatasinya. Seluruh Afrika Utara
masih bisa dikendalikan oleh al-Masur dan tetap tunduk kepada Dinasti
Fatimiyah. Al-Mansur membangun sebuah kota yang sangat megah di
perbatasan Susa’ diberi nama al-Mansuriyah. Pada tahun 953 M al-Mansur
meninggal dan menunjuk putranya bernama al-Mu’iz sebagai penerusnya.
Al-Mu’iz (w. 975 M) merupakan putra dari al-Mansur. Ia adalah tokoh
terkemuka yang mampu bersaing dalam pengusaaan ilmu pengerahaun, strategi
dan kebijakan, taktik perang, dan mampu menguasai bahasa, yakni bahasa
Latin, Sicilia, bahasa Suadan. Dengan latar belakang demikian, membuat
khalifah al-Mu’iz mampu membawa rakyatnya merasaakan kedamaian,
kemakmuran serta memperluas kekuasaan dinasti Fatimiyah.

7
Muhammad Suhail, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta : Pustaka al-
Kautsar, 2015), hlm. 182
Al-Muiz mampu memperluas wilayah kekuasaannya hingga Maroko,
Sicilia, Mesir, Palestina, Suriah serta mengambil penjagaan terhadap tempat
8
suci Hijaz. Pada al-Muiz, terjadi batu loncatan bagi Dinasti Fatimiyah di
mana ibu kotanya dipindah dari Ifriqiya ke kota Mesir. Al-Muiz mengutus
seorang Jenderal, Jauhar as-Siqili untuk melakukan ekspansi ke beberapa
wiyahah. Jauhar berhasil menguasai Afrika Utara, sehingga al-Muiz
menugaskan Jauuhar untuk pergi ke Mesir agar bisa meneruskan cita-cita para
pendahulunya yang selalu gagal ketika menaklukkan Mesir.
Al-Muiz menyiapkan 100.000 prajurit yang terdiri dari prajurit berkuda,
dan beberapa kapal laut. Sebuah ekspansi yang sangat besar dan tertata rapi.
Jauhar ditunjuk menjadi komandan pasukan dan bergegas menuju Iskandaria,
tanpa ada perlawanan dari penduduk setempat, Jauhar beserta pasukannya bisa
menaklukkan Iskandaria. Datangnya pasukan Dinasti Fatimiyah ini kemudian
diketahui orang-orang Fustat. Karena orang-orang Fustat tidak menginginkan
pertumpahan darah maka mereka segera mengutus beberapa orang untuk bisa
bernegoisasi dengan Jauhar as-Siqili secara damai. Jauhar berjanji setiap orang
Fustat bebas dalam melakukan aktivitas beragama, mengamalkan madzhab-
madzhab yang telah mereka percayai dan berjanji untuk memberikan keadilan.9
Demi mendapatkan dukungan dari penduduk Mesir, Jauhar juga
memberikann jaminan kebijakan pemerintahan Dinasti Fatimiyah yakni
kebijakan dalam negeri, kebijakan luar negeri, keamanan dan administrasi. Hal
ini dilakukan agar masyarakat Mesir tidak merasa takut dengan hadirnya
pengasa baru sehingga banyak masyarakat yang menerima Dinasti Fatimiyah,
dan berharap Dinasti Fatimiyah mampu mengatasi segala masalah yang sedang
melanda Mesir.
Dengan perjanjian tersebut, maka Mesir resmi menjadi daerah baru
Dinasti Fatimiyah. Jauhar mulai menata dan membangun kota ini degan
memberi nama al-Qahirah, mempunyai arti kota kemenangan, sekarang

8
Khoiriyah, Sejarah Islam dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam,
(Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 173
9
Secara perlahan nama-nama Khalifah Abbasiyah mulai dihilangkan pada saat Khutbah
Jum’at dan paham-paham Ismailiyah mulai dimasukkan dan mendoktrin orang-orang Mesir
terkenal dengan sebutan Kairo. Jauhar meminta khalifah al-Muiz untuk dating
ke Mesir, dan tepat pada tahun 973 M kota Kairo menjadi pusat pemerintahan
Dinasti Fatimiyah.10
Pemilihan Kairo sebagai Ibukota menimbulkan polemik pada Dinasti
Fatimiyah. Otomatis khalifah al-Muiz berpindah tempat dari Ifriqiya ke Kairo
dan al-Muiz perlu memilih penggantinya di Ifriqiya. Ia inggan mengangkat
sembarang orang bahkan sekelasa Jaudzar11 yang digadang-gadang sangat
pantas menggantikan al-Muiz, tapi ia tidak memilihkan karena Jaudzar berasal
dari kabilah As-Siqili. Ia malah memoloh Ja’far bin Ali Az-Zanaati untuk
memimpin Ifriqiyaa. Ja’far bin Ali tidak langsung menerima tawaran tersebut,
ia memberikan syarat jika dirinya diminta menjadi pemimpin Ifriqiya. Namun,
al-Muiz tak ingin kehilangan semua wilayah Ifriqiya dan Maghrib karena
kedua wilayah tersebut dalam proses pembangunan. Al-Muiz merasa apa yang
dilakukan Ja’far akan merugikan Dinasti Fatimiyah sehingga ia memanggil
Bulkin bin Zarti bin Mannad as-Shanhaji, seorang pemuka kabilah Shanhaji
yang sangat loyal terhadap orang-orang Fatimiyah. Setelah merasa cocok
dengan sosok Bulkin bin Zaeri, al-Muiz melepas pedangnya dan langsung
diberikan kepada Bulkin bin Zaeri dan mengalungkan tali miliknya serta
memberikan nama Arab yang bernama Yusuf, dan diberi gelar Saif ad-Daulah.
Meskipun demikian al-Muiz tetap merasa khawatir juka suatu saat
Afrika Utara akan lepas dari genggaman Dinasti Fatimiyah setelah pindah ke
Mesir. Kekhawatiran al-Muiz cukup beralasan. Pertama, ia menganggap bahwa
jarak antara Mesir dan Afrika Utara sangat jauh. Kedua, luasnya padang gurun
yang berada di antara Mesir dan Afrika. Ketiaga, ia mengetahui bahwa orang-
orang Shanhaji ingin mendirikan negara sendiri. Keempat, ia mengakui bahwa
ini merupakan langkagnya yang terakhir sebelum ia meninggalkan Afrika
Urata untuk selamanya.12
10
Abdul Syukur Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam, (Depol : PT Huta
Parhapuran, 2007), hlm. 204
11
Jauzar merupakan orang kepercayaan al-Muiz yang diberi amanah untuk pergi ke al-
Mahdiyah untuk mengontrol perekonomian dan memperketat pengiriman barang-barang ke Timur.
Lihat Muhammad Suhail Thaqqusy, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2015), hlm. 325
12
Muhammad Suhail, hlm. 329
Sebelum meninggalkan Afrika Utara, al-Muiz memberikan wasiat
kepada Bulkin bin Zaeri sebagai bekal menjalankan pemerintahan di Ifriqiya
dan wilayah Maghrib. Berikut adalah wasiat al-Muiz :
1. Jangan hapus pajak dari penduduk pedalaman dan siapkan pedang bagi
orang-orang Barbar
2. Tidak mengangkat siapapun dari saudara maupun anak pamannya. Karena
hal itu akan membuat mereka berpandangan bahwa dia lebih berhak
menduduki jabatan dari pada Bulkin
3. Perlakukan penduduk perkotaan dengan baik.
Sebelum al-Muiz pindah ke Mesir, ia mempersiapkan seluruh kekayaan
yang akan ia bawa. Selain itu juga terdapat tiga jasad leluhurya yang
sebelumnya memegang kekuasaan di Afrika Utara untuk dibawa dan akan
dikuburkan di Mesir. Ini pertanda bahwa al-Muiz akan meninggalkan Afrika
Utara dan akan menetap selamanya di Mesir.
Pada tahun 972 M, al-Muiz resmi meninggalkan Afrika Utara dengan
didampingi oleh sejumlah tokoh-tokoh negarawan, keluarganya yang masih
terdapat garis keturunan dari ayahnya. Untuk menuju Mesir, al-Muiz beserta
rombongannya menggunakan kapal yang sangat besar sehingga mampu
menampung banyak barang yang akan dibawa ke Mesir.
Al-Muiz tiba di Kairo dan langsung disambut oleh Jauhar As-Siqili.
Jauhar menemui al-Muiz menuju al-Qarsh as-Syarqi yang telah ia bangun
khusus untuk al-Muiz sebagai tempat tinggalnya. Al-Muiz banyak kedatangan
tamu mulai dari masyarakat, para pejabat pemerintahan, para ilmuan dan para
hakim. Mereka memberikan ucapan selamat kepada al-Muiz.

D. Perkembangan Dinasti Fatimiyah


Sumbangan Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar,
baik dalam segi pemerintahan maupun dalam bidang keilmuan. Masa
keemasan Dinasti Fatimiyah dimulai sejak masa al-Muiz memindahkan ibu
kotanya ke Mesir dan memuncak pada masa al-Aziz. Pada era itu, Kairo
menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah, bahkan Kairo mampu
bersaing dengan dua Ibu kota Islam lainnya, Baghdah di bawah Dinasti
Abbasiyah, dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini,
Universitas al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka di kota
Kairo

1. Kondisi Sosial Keagamaan


Pada masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan Negara
tidak dapat dipisahkan. Agama dipandang sebagai pilar utama dalam
menegakkan Negara. Untuk itu, pemerintahan Fatimiyah sangat
memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat meskipun mereka
berstatus sebagai warga Negara kelas dua, seperti Yahudi, Nasrani< Turki,
Sudan.
Menurut K. Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat,
bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non muslim sehingga orang
Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan
selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki,
yang diangkat menjadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah mereka
dipugar oleh pemerintah.
Akan tetapi, kemurahan hati yang ditampilkan khalifah Fatimiyah
terhadap orang Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Muiz yang
dikenal dengan kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, ati
sebagai orang Kristen dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir Kuno.
Namun, menurut Hasan, isu tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan
yang menyebutkan seperti itu, dan hanya cerita karangan yang sengaja
dienduskan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya, termasuk dari
sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang sengaja ingin melemahkan kekuaran
Fatimiyah.
Agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut
pemahaman Syi’ah Ismailiyah yang ditetapkan sebagai mazhab Negara.
Untuk itu, para missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar
mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil meraih pengikut yang banyak
sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang sebagai era
kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.13
Meskipun para khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang
yang tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Ismailiyah langsung dihukum
bunuh. Pada tahun 391 H, khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki
yang tidak mau mengakui keutamaan Ali bin Abi Thalib. Dan di tahun 395
H, al-Hakim juga memerintahkan agar di Masjid, pasar, dan jalan-jalan
ditempelkan tulisan yang mencela para sahabat.
Jelasnya peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa
untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah
Fatimiyah terhadap orang yang tidak mau mengakui mazhab Ismailiyah
dapat berupa apabila sikap seperti dapat berakibat munculnya instabilitas
Negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin hunungan yang baik dengan
rakyatnya yang berpaham Sunni, al-Hakim mulai bersikap lunak dengan
menetapkan larangan mencela sahabat khususnya Khalifah Abu Bakar dan
Umar. Al-Hakim juga membangun madrasah yang khusus mengajarkan
paham Sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga warga
Syi’ah merasa senang sebab merasakan tengah hidup di kawasan Sunni.
Sikap yang diambil para khalifah tidak sekejam yang dilakukan
Abdullah as-Saffah yang berusaha mengikis habis orang-orang pengikut
Bani Umayyah di masa awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini, para
khalifah Fatimiyah memberlakukan masyarakat secara sama selama mereka
bersedia mengikuti ajaran Syi’ah Ismailiyah yang merupakan mazhab
Negara.
Ketidak senangan khalifah Fatimiyah kepada Abbasiyah tidak
ditunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah Fatimiyah
melarang menyebut Bani Abbasiyah dalam setiap Khutbah Jum’at dan
mengharamkan pemakaian jubbah hitam serta atribut Bani Abbasiyah
lainnya. Pakaian yang dipakai untuk Khurbah adalah berwarna putih.

13
Ali Ibrahim Hasan, Mishr fi al-Ushur al-Wustha, min al-Fath al-Arabiy ila Fath al-
Utsmaniy, (Kairo : Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1976), hlm. 128
Meskipun al-Muiz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan
selalu menempuh jalan damai terhadap para pemimpin dengan gubernur,
yakni dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan
loyalitasnya. Banyak di antara para gubernur yang bersedia mengikuti
mazhab Ismailiyah, padahal mereka sebelumnya adalah gubernur yang
diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh
penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut
mazhab Ismailiyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu di
kalangan pemerintahan.14

2. Bidang Politik dan Pemerintahan


Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan pemerintahan
yang menerapkan pola baru dalam sejar Mesir. Dalam pelaksanaannya
khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan
dan pemecatan pejabat berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah
Menteri-menteri (wazir) dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok militer dan sipil. Kelompok militer membidangi : urusan tentara,
perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan
keamanan. Sedangkan dalam kelompok sipil meliputi :
a. Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b. Ketua dakwah, yang memimpin dual Hikam (bidang keilmuan)
c. Inspektur pasar, yang membidangi bazaar, jalan, dan pengawasan
timbangan dan ukuran
d. Bendaharawan Negara, yang membidangi baitul ma>l
e. Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
f. Qori, yang membacakan al-Qur’an bagi khalifah kapan saja
dibutuhkan15

14
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh ad Daulah al-Fatimiyah fi al-Maghrib, Mishr, Suriah wa
Bilad al-Arab,(Kairo : Lajnah at-Ta’lif Tarjamah wa an-Nasyr, 1958), hlm. 218-219
15
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-Akar
Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hlm. 115
Selain dari pejabat istana ini, terdapat beberapa pejabat lokal yang
diangkat oleh khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syiria, dan
Asia Kecil. Mesir dikelola oleh gubernur Mesir Utara, Syarqiya, Gabiya,
dan Alexandria. Pengurusannya diserahkan kepada para pejabat setempat.
Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir
yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para
opsir jaga. Ketiga, berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah,
juyutsiyah.

3. Filsafat
Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah
banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli filsafat lainnya. Kelompok
yang terkenal pada pemerintahan Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanus shofa.
Dalam filsafatnya, kelompok ini lebih cenderung membela kelompok Syiah
Ismailiyah, dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran-
pemikiran yang telah dikembangkan golongan Muktazilah terutama dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, pengembangan
syari’ah dan filsafat Yunani.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Fatimiyah ini di
antaranya :
a. Abu Hatim Ar-Rozi, adalah seorang da’i Ismailiyat yang pemikirannya
lebik banyaak kepada permasalahan politik. Abu Hatim menulis beberapa
buku di antaranya Kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di
dalamnya banyak membahas masalah fiqh filsafat dalam agama
b. Abu Abdillah An-Nasafi. Ia telah menulis kitab al-Mashul. Kitab ini
lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Madzhab al-Ismaily.
Selanjutnya, ia menulis kitab Unwanuddin, Ushulussyar’I, Adda’watu
Manjiyyah. Kemudian ia juga menulis buku tentang falak dan sifat alam
dengan judul Kaunul Alam dan Kaunul Mujrof
c. Abu Ya’kub as-Sajazi, merupakan salah seorang penulis yang paling
banyak tulisannya, antara lain L Asasudawah, Asyaro’I, Kasyful Asror,
Itsbatun Nubuwah, al-Yanabi, al-Mawazin, dan kitab an-Nasyroh
d. Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghribi, karyanya antara lain Da’aimul
Islam al-Yanabu, Mukhtasorul Idoh, Kaifiyatu Sholah, Manhijul Faroid,
ar-Risalah Misriyah, ar-Risalah Datal Bayan dam Ikhtilafu Ushulul
Madhahih
e. Ja’far ibnu Mansur al-Yamani, karyanya antara lain, A’wiluzah,
Saro’irunnutaqo’i, Asyawahid wal Bayan, dan al-Fitrotu wal Qironaati
f. Haminuddin al-Kirmani, dengan karyanya : Uyumul Akhbar, al-
Mashobihu fi Itsbati Imamah.

4. Keilmuan dan Kesusantraan


Lahir ilmuan yang masyhur di masa Dinasti Fatimiyah, bernama
Yakub ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang
menghabiskan ribuan dinar perbulannya. Salah seorang ilmuan yang muncul
dari akademi tersebut adalah Muhammad al-Tamimi, seorang ahli fisika.
Selain itu, muncul pula Muhammad Ibnu Yusuf al-Kindi, ahli sejarah, dan
Ibnu Salamah al-Quda’I, ahli sastra yang berhasil membangun Masjid al-
Azhar.
Pada masa al-Aziz, masjid al-Azhar mengalami perubahan
mendasar, menjadi universitas. Sampai saat saat ini universitas tersebut
masih berdiri dan menjadi salah satu universitas Islam terkenal di dunia,
Universitas Al-Azhar.16
Kemajuan keilmuan fundamental masa Fatimiyah adalah
keberhasilan membangun lembaga keilmuan yang disebut da>rul hikam
atau da>rul ilmi, yang dibangun oleh al-Hakim pada tahun 1005 M.
bangunan ini dibangun khusus untuk propaganda doktrin Syiah Ismailiyah.
Pada masa ini, al-Hakim mengeluarkan dana sebanyak 257 dinar untuk

16
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka
Publisher, 2007), hlm. 200
menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang
dikembangkan masa ini lebih banyak ke masalah keislaman, astronomi, dan
ketokteran. Ilmu astronomi juga banyak dikembangkan oleh seorang
astronomis Ali Ibnu Yunus, Ali al-Hasan, dan Ibnu Haytami.17

5. Ekonomi dan Perdagangan


Pada masa Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran dalam sector
ekonomi mengungguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang
dengan dunia non-Islam dibina dengan baik termasuk dengan India dan
negeri-negeri Mediterania yang beragama Kristen.
Pada suatu festifal, khalifah al-Muntashir keliatan sangat cerah dan
berpakaian indah. Istana khalifah dihuni 30.000 orang terdiri dari 12.000
pelayan dan pengawal, dan 10.000 orang pengurus kuda. Juga masjid-
masjid, perguruan tinggi, rumah sakit, dan pemondokan khalifah yang
berukuran sangat besar yang menghiasi kota Kairo baru. Pemandian umum
yang dibangun dengan baik terlihat sangar banyak di setiap tempat di kota
itu. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi
berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukkan sisi
kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu
hebat pada masa Dinasti Fatimiyah.
Walaupun dinasti Fatimiyah ini bersungguh-sungguh dalam men-
Syiahkan orang Mesir, tetapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada
orang Sunni untuk mengikuti aliran Syi’ah. Itulah salah satu kebijakan
pemerintahan yang dilakukan Dinasti Fatimiyah dan berimbas sangat besar
terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial yang aman dan tertram.

E. Kemunduran Dinasti Fatimiyah


Dinasti Fatiiyah (909-1171 M) dipimpin oleh 14 Khalifah di Afrika dan
di Mesir selam kurang lebih 262 tahun, yaitu :

17
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), hlm. 118
1. Ubaidillah al-Mahdi ( 909-924 M) (15 tahun)
2. Al-Qa’im (924-946 M) (24 tahun)
3. Al-Manshur (946-953 M) (7 tahun)
4. Al-Mu’iz (953-975 M) (22 tahun)
5. Al-Aziz (975-996 M) (21 tahun)
6. Al-Hakim (996-1021 M) (25 tahun)
7. Azh-Zhahir (1021-1036 M) (15 tahun)
8. Al-Muntanshir(1036-1094 M) (28 tahun)
9. Al-Musta’li (1094-1101 M) (5 tahun)
10. Al-Amir (1101-1131 M) (20 tahun)
11. Al-Hafizh (1131-1149 M) (18 tahun)
12. Azh-Zhafir (1149-1154 M) (5 tahun)
13. Al-Faiz (1154-1160 M) (6 tahun)
14. Al-‘Adhid (1160-1171 M) (11 tahun)

Dari beberapa khalifah yang memimpin Dinasti Fatimiyah, periode


pertama sampai ke enam mengalami kemajuan. Dan sejak dipimpin dari
khalifah ke tujuh sampai ke empat belas mengalami kemunduran.
Kemunduruan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa factor, baik faktor
internal maupun factor eksternal.
Pemerintahan Dinasti Fatimiyah yang menggunakan system monarki
(kerajaan) menyebabkan peralihan kekuasaan kepada pemimpin yang kurang
kredibilitas. Pengganti khalifah yang sebelumnya yang masih belum cukup
umur, bahkan berusia belia, membuat perintah-perintah khalifah baru tersebut
cenderung keras, kaku, sentimental, tidak bijaksana dan dibenci masyarakat.
Hal ini karena keberadaan khalifah yang masih kurang berpengalaman dalam
memimpin pemerintah besar sekelas Dinasti Fatimiyah. Maka tidak dipungkiri
para menteri akan mengambil peran lebih besar daripada khalifah yang
berkuasa.
Seperti al-Hakim yang menjadi penggati ayahnya al-Aziz, ia diangkat
menjadi khalifah ketika berumur 11 tahun. Maka tidak heran bila
pemerintahannya cenderung hitam putih dalam menangani persoalan. Ia tidak
segan membunuh wazirnya yang tidak sepaham dengan pikirannya,
menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk gereka yang di dalamnya
terdapat kuburan suci umat Kristen (1009 M). Peristiwa situs gereja ini
mendapatkan kecaman keras dari Paus dan menjadi salah satu penyebab
terjadinya perang salin. Selain itu, dekriminasi al-Hakim terhadap umat Kristen
dan Yahudi untuk memakai jubbah hitam dan mereka hanya diperbolehkan
menunggangi keledai, mereka wajib menunjukan salib bagi orang Kristen, dan
bagi orang Yahudi diwajibkan memasang tenggala berlonceng18
Pengganti al-Hakim adalah Abu Hasan Ali Al-Zahir, seorang pemuda
berumur 16 tahun. Saat memerintah, al-Zahir sendiri lebih senang dekat dengan
keturunan Turki daripada bangsa Arab dan orang Barbar, padahal dari suku
Barbar lah kekuatan dinasti Fatimiyah terbangun hingga menjadi Negara yang
besar.
Begitu pula penerus khalifah berikutnya adalah Abu Tamim Ma’ad al
Muntanshir, yang masih berusia 7 tahun. Mulai pada masa ini, system
pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlementer, dalam artian
khalifah hanya berfungsi sebagai symbol saja, sementara pemegang kekuasaan
pemerintahan adalah para menteri. Oleh karena itu, masa ini disebut “ahdu
nufuzil wazara” (masa pengaruh para menteri)19. Tidak jauh berbeda dari
pendahulunya, al-Munashir juga lebih senang dengan keturunan Turki, sampai-
sampai menimbulkan perang saudara antara Turki dan Barbar yang
dimenangkan oleh Turki.
Pada masa al-Muntanshir ini banyak merebak pemberontakan dalam
tubuh Dinasti Fatimiyah, seperti pemberontakan di Palestina. Kekuatan besar
dari timur yang terbentuk, yaitu Bani Saljuk mulai mengancam kekuasan
Dinasti Fatimiyah. Pada waktu yang bersamaan, propinsi-propinsi Fatimiyah di
Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan. Pada tahun 1052 M,
suku Arab yang terdiri dari Bani Hilal dan Bani Sulaim yang mendiami dataran
tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat dan berhasil
menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun. Sementara itu, pada
tahun 1071 M, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan
18
Philip K. Hitti, .. hlm. 792
19
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.
106
Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia. Hanya kawasan semenajung Arab
yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Al-Muntanshir mewariskan persoalan begitu pelik kepada penerusnya.
Muncul perpecahan pada dinasti Fatimiyah yang berada di belakang kedua
anaknya, Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar lebih aktif, ekstrim dan
menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung al-Musta’li lebih moderat.
Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah al-Musta’li karena didukung
oleh al-Afdhal, yang berkepentingan untuk mendapatkan jabatan politik. Akan
tetapi kenyataannya basis spiritual khalifah runtuh dan terpecah.
Al-Musta’li diganti oleh anaknya, al-Amir, yang masih berumur 5
tahun. Al-Amir meninggal dibunuh oleh kelompok Bathiniyah. Al-Amir
digantikan oleh al-Hafidz dan setelah meninggal dunia al-Hafidz diganti oleh
al-Zafir, yang masih berusia muda.20
Pada masa al-Zafir ini, pasukan salib mulai merangsek masuk kepada
kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Ia merasa tidak sanggup dan mengirim wazirnya,
Ibnu Salar, untuk meminta bantukan Nuruddin Zanki (gubernur Suriah di
bawah khalifah Abbasiyah, Baghdad). Nuruddin mengirim pasukannya ke
Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang
kemudian berhasil membendung invasi tentara salib ke Mesir. Kemudian
kekuasan az-Zafir direbut oleh wazirnya, Ibnu Salar. Tapi Ibnu Salar juga
terbuh secara misterius. Dan diangkatlah al-Faiz, putra az-Zafir yang baru
berusia 4 tahun, sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11
tahun dan digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur 9 tahun.
Pada tahun 1167 M, pasukan Nuruddin Zanki untuk kedua kalinya
kembali memasuki Mesir di bawah pimpina Syirkuh dan Salahuddin.
Kedatagan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan kaum salib tetapi
juga untuk menguasai Mesir. Daripada hanya membantu melawan kaum salib,
lebih baik mereka sendiri menguasainya. Apalagi Perdana Menteri Mesir
waktu itu, Syawar, telah melakukan pengkhianatan. Akhirnya pasukan
Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.

20
Hasan Ibrahim Hasan, hlm. 272-273
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi
ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas Sunni. Peristiwa ini
menyebabkan menguatnya pengaruh Nurudin Zanki dan panglima Salahuddin
al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya
Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin
menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fatimiyah.
Namun, ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahuddin al-
Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan
khutbah dengan menyebut nama khalifah Abbasiyah, al-Mustadi. Ini menjadi
symbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasan Dinasti Fatimiyah untuk
kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah.21
Dari kisah diatas bisa diambil pokok simpulan beberapa faktor
runtuhnya Dinasti Fatimiyah, sebagai berikut :
a. Diangkatnya khalifah yang masih belia dan tidak berpengalaman
b. System pemerintahan berubah menjadi parlementer, dimana
diperintah oleh para menteri, sedangkan khalifah hanya dijadikan
simol
c. Sikap pemerintahan Dinasti Fatimiyah yang lebih suka kepada
orang Turki hingga menyisihkan bangsa Barbar di kekuasannya
d. Terjadinya perpecahan di tubuh dinasti Fatimiyah sendiri hingga
akhirnya terjadi pembunuhan kepada khalifah
e. Adanya pemaksaan ideology Syi’ah kepada rakyat yang mayoritas
Sunni
f. Perluasan wilayah hanya difokuskan ke Timur saja, sementara
pemerintahan di Afrika Utara terabaikan
g. Datangnya serbuat tentara salib sehingga khalifah meminta bantuan
kepada tentara Abbasiyah yang dipimpin oleh Salahuddin
h. Para penguasanya cenderung tengelam dalam kehidupan mewah

21
Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jilid 2, (Jakarta, Ichtiar Baru
van Hoeve, 2002), hlm 136
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dkk. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta. Ichtiar Baru
van Hoeve. 2002

Al-Azizi, Abdul Syukur. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Depok. PT. Huda
Parhapuran. 2007

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta. Amzah. 2010

Hasan, Ali Ibrahim. Mishr fi al-Ushur al-Wustha, min al-Fath al-Arabiy ila Fath
al-Utsmaniy. Kairo. Maktabah an-Nahdah al-Misriyah. 1976

Hitti, Philip K. History of The Arab, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta. Serambi Ilmu Pustaka. 2008

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta. Pustaka


Publisher. 2007

Khoiriyah. Sejarah Islam dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam.
Yogyakarta. Teras. 2012

Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Bandung. Pustaka Bani Quraisy. 2004

Suhail Muhammad. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah. Jakarta. Pustaka


al-Kautsar. 2015

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Islam. Jakarta. Kencana. 2007

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak


Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam. Jakarta.
Rajawali Pers. 2009

Anda mungkin juga menyukai