Oleh :
MUHAMMAD ANSHAR
NIM. F52319318
Dosen Pengampu
Dr. H. Abd. Kadir, M.A.
1
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
(Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 141
2
Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka, 2008), hlm. 788
Berkat sambutan positif dari masyarakat Afrika Utara, dan menjadi
tempat hijrah yang nyaman bagi komunitas Syi’ah, Abu Abdullah al-Husayn
mengundang Sa’id Ibnu Abdullah (selaku penerus Abdullah Ibnu Maymun) di
Salamiyah untuk menancapkan kekuasaan Dinasti Fatimiyah di tanah Afrika
Utara. Lawan politik pertama yang dihadapi oleh kedua tokoh tersebuh ialah
Dinasti Aghlabiyah yang dipimpin oleh Ziyadatullah III. Tak butuh waktu lama
bagi gerakan Syi’ah Ismailiyah untuk menaklukkan Dinasti Aghlabiyah, karena
mendapat dukungan begitu besar dari suku Barbar yang sudah enggan dengan
penguasa.
Setelah berhasil mengusir Zidatullah dan pasukannya, Sa’id Ibnu
Abdullah memproklamirkan diri sebagai pemimpin tertinggi gerakan
Ismailiyah, dan menduduki Tunis yang menjadi pemerintahan Aghlabiyah. Ia
mensematkan dirinya sebagai Ubaidillah al-Mahdi, dan menancapkan
penguasaan Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara pada tahun 909 M.
C. Perluasan Wilayah
Pada awal proses pembentukan dinasti mencakup penaklukan kota,
yang mana dinasti penakluk akan memindahkan adminstrasi pemerintahan
kepada dinasti yang ditaklukkan. Karena kota taklukan cenderung memiliki
aspek perkembangan yang pesat ketimbang daerah kekuasaan yang ada di
pelosok. Hal ini juga dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah tatkla berhasil
mendapatkan kekuasaannya di Sijilmasa (Afrika Utara), sehingga dinasti ini
menjadi dinasti yang sangat luas kekuasaannya
Dinasti Fatimiyah memiliki kekuasaan yang sangat luas dan terbagi
menjadi dua periode. Periode pertama di Afrika Utara / Tunisi (909 – 974 M),
dan periode Mesir (975 – 1171 M). Setidaknya bias dihitung kekuasaan Dinasti
Fatimiyah ialah 2 abad lamanya, meliputi 65 tahun di Afrika Utara, dan 196
tahun di Mesir. Penguasaan pertama di Afrika Utara, Dinasti Fatimiyah
membuat gebrakan yang luar biasa dalam melakukan ekspansi wilayah. Al-
Mahdi selaku khalifah pertama mengambil kebijakan ekspansi daerah
kekuasaan dan menekankan kinerja politik dalam pembangunan wilayah-
wilayah tersebut.
Ubaidillah al-Mahdi adalah khalifah pertama Daulah Fatimiyah. Ia
memerintahh selama kurang lebih 25 tahun (904-934 M). Dalam
pemerintahannya, al-Mahdi melakukan ekspansi wilayah kekuasaan ke seluruh
Afrika. Ia berhasil merebut Maroko dari kekuasaan Dinasti Rustamiyah. Di
tahun 914 M, al-Mahdi menduduki Iskandariyah, dan menguasai delta pada
tahun 916 M. Di tahun yang sama, al-Mahdi mengutus gubernur Ketama untuk
menjalin pertemanan dengan salah seorang pemberontak di Spanyol, Ibnu
Hafsun. Tidak hanya berhenti di Spanyol, berlanjut pula ke Malta, Sardania,
Corsica, Balearic dan wilayah lain yang menjadi bekas kekuasaan Dinasti
Aghlabiyah.3
Setelah berhasil melakukan ekspansi wilayah kekuasaan, pada tahun
920 M, Al-Mahdi mendirikan sebuah kota di pesisir pantai Tunisia yang diberi
nama kota al-Mahdi. Upaya al-Mahdi tidak sampai di sini saja, ia sangat ingin
untuk menaklukkan Mesir, namun menemui kegagalan.4
Ubaidillah al-Mahdi sangat berambisi untuk menaklukkan Spanyol dari
kekuasaan Dinasti Umayyah bahkan sampai melakukan ikatan persahabatan
dengan pemimpin pemberontak di Spanyol. Sayangnya usahanya menemui
kegagalan karena ia meninggal dunia pada tahun 934 M. Keinginannya untuk
memperluas daerah kekuasaan dan menyebarkan faham pun sirna, namun
meskipun demikian ia telah membawa Dinasti Fatimiyah menjadi dinasti yang
mulai diperhitungkan dan menjadikan dinasti Fatimiyah sebagai dinasti yang
mampu menciptakan peradaban Islam.
Hal serupa dilakukan oleh khalifah ke dua, yakni Abu al-Qasim
Muhammad (w. 946 M) yang bergelar al-Qaim. Ia adalah putra dari Ubaidillah
al-Mahdi yang menggantikan ayangnya yang telah meninggal. Al-Qaim
melanjutkan misi sang ayah tepat pada tahun 934 M al-Qaim memutuskan
3
Philip K. Hitti, History of The Arab, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka, 2008), hlm. 789
4
Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam (Depok : PT. Huda
Parhapuran, 2007) hlm. 240
untuk melakukan perluasan wilayah, targetnya yakni pantai selatan Prancis.
Dalam misinya ini, al-Qaim membawa pasukan yang sangat banyak. Usahanya
tidak sia-sia, ia bersama pasukannya berhasil menduduki Genoa dan wilayah
sepanjang pantai Calabria.5
Tidak hanya berhenti kepada ekpansi di pantai selatan Prancis, al-Qaim
mengirim pasukannya untuk menyerang Mesir, akan tetapi mereka
mendapatkan perlawanan dari pasukan Ikhsindiyah. Bahkan pasukan al-Qaim
mengalami kekalahan sehingga mereka terusir dari Alexandria. Al-Qaim bias
dibilang sukses dalam melakukan ekspansi wilayah kekuasaan, meskipun
terkadang harus kalah dari lawannya tapi ia tidak pantang menyerah. Ia dikenal
sebagai prajurit pemberani bahkan ketika melakukan misinya. Dengan
keberania tersebut, ia berhasi menjadi khalifah Fatimiyah pertama yang mampu
menguasai Laut Tengah.
Meskipun Dinasti Fatimiyah sukses dalam melakukan ekspansi wilayah
di bawah pimpinan al-Qaim, tidak membuat Dinasti Fatimiyah aman dari
serangan para pesaingnya. Pemerintah al-Qaim mendapatkan perlawanan dari
kaum Khawarij yang pada saat itu dipimpin oleh Abu Yazid Makad. Selama
tujuh tahun terjadi perlawanan antara Dinasti Fatimiyah dengan kaum
Khawarij. Selama itulah Dinasti Fatimiyah mampu melancarkan serangan-
serangan akan tetapi kaum Khawarij sangatlah kuat bahkan sampai mampu
menghalang serangan pasukan al-Qaim.6
Pada tahun 946 M, terjadi pemberoontakan di Susa’ yang dipimpin oleh
Abu Yazid Makad. Dalam pemberontakan masa pemberontakan tersebut, al-
Qaim meninggal. Kabar meninggalnya al-Qaim mebuat Dinasti Fatiiyah
berduka, mereka kehilangan sosok pemimpin yang pemberani, tidak pantang
menyerah. Al-Qaim telah membawa Dinasti Fatimiyah berada dalam wilayah
kekuasaan yang luas, bukti bahwa dinasti ini lambat laun mulai menunjukkan
eksistensiya.
5
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 257
6
Samsul Munir .., hlm. 257
Al-Qaim meninggal pada tahun 946 M dan secara otomatis digantikan
oleh putranya, Abu Thahir Ismail (w. 953 M). Ia mendapatkan gelar al-Mansur
ketika mulai memegang kekuasaan, diangkat menjadi khalifah ketika umurnya
menginjak tiga puluh tahun. Khalifah al-Mansur mempunyai sifat yang sangat
baik, bijak dan cerdas. Pengangkatan al-Mansur menjadi putra mahkota ialah
waktu ayagnya menjadi khalifah. Dalam ajaran Syi’ah Ismailiyah mewajibkan
pemimpin (dalam hal ini khalifah) agar menentukan hujjah (memlihi putra
mahkota) dan merahasiakannya sebelum ia wafat dan dimakamkan.
Al-Mansur menjadi Khalifah selama tujuh tahu yakni dari 949-952 M.
Ia secara resmi diangkat menjadi khalifah pada tanggal 12 April 946 M.
sementara itu, kondisi di Ifriqiya ketika al-Mansur menjadi Khalifah sangat
kacau dan membuat kondisi pemerintahan sangat sulit. Hal ini disebabkan
karena Dinasti Fatimiyah mendapatkan serangan dari Abu Yazid dan para
pengikutnya. Dengan keadaan demikian, al-Mansur harus berjuang keras agar
bisa melawan pasukan Abu Yazid.7
Al-Mansur berhasil menghancurkan kekuatan pasukan Abu Yazid, ia
tidak berputus asa dalam mempertahankan Dinasti Fatimiyah. Tidak hanya
Abu Yazid yang berbuat onar akan tetapi anaknya juga sering membuat
keributan. Namun, al-Mansur mampu mengatasinya. Seluruh Afrika Utara
masih bisa dikendalikan oleh al-Masur dan tetap tunduk kepada Dinasti
Fatimiyah. Al-Mansur membangun sebuah kota yang sangat megah di
perbatasan Susa’ diberi nama al-Mansuriyah. Pada tahun 953 M al-Mansur
meninggal dan menunjuk putranya bernama al-Mu’iz sebagai penerusnya.
Al-Mu’iz (w. 975 M) merupakan putra dari al-Mansur. Ia adalah tokoh
terkemuka yang mampu bersaing dalam pengusaaan ilmu pengerahaun, strategi
dan kebijakan, taktik perang, dan mampu menguasai bahasa, yakni bahasa
Latin, Sicilia, bahasa Suadan. Dengan latar belakang demikian, membuat
khalifah al-Mu’iz mampu membawa rakyatnya merasaakan kedamaian,
kemakmuran serta memperluas kekuasaan dinasti Fatimiyah.
7
Muhammad Suhail, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta : Pustaka al-
Kautsar, 2015), hlm. 182
Al-Muiz mampu memperluas wilayah kekuasaannya hingga Maroko,
Sicilia, Mesir, Palestina, Suriah serta mengambil penjagaan terhadap tempat
8
suci Hijaz. Pada al-Muiz, terjadi batu loncatan bagi Dinasti Fatimiyah di
mana ibu kotanya dipindah dari Ifriqiya ke kota Mesir. Al-Muiz mengutus
seorang Jenderal, Jauhar as-Siqili untuk melakukan ekspansi ke beberapa
wiyahah. Jauhar berhasil menguasai Afrika Utara, sehingga al-Muiz
menugaskan Jauuhar untuk pergi ke Mesir agar bisa meneruskan cita-cita para
pendahulunya yang selalu gagal ketika menaklukkan Mesir.
Al-Muiz menyiapkan 100.000 prajurit yang terdiri dari prajurit berkuda,
dan beberapa kapal laut. Sebuah ekspansi yang sangat besar dan tertata rapi.
Jauhar ditunjuk menjadi komandan pasukan dan bergegas menuju Iskandaria,
tanpa ada perlawanan dari penduduk setempat, Jauhar beserta pasukannya bisa
menaklukkan Iskandaria. Datangnya pasukan Dinasti Fatimiyah ini kemudian
diketahui orang-orang Fustat. Karena orang-orang Fustat tidak menginginkan
pertumpahan darah maka mereka segera mengutus beberapa orang untuk bisa
bernegoisasi dengan Jauhar as-Siqili secara damai. Jauhar berjanji setiap orang
Fustat bebas dalam melakukan aktivitas beragama, mengamalkan madzhab-
madzhab yang telah mereka percayai dan berjanji untuk memberikan keadilan.9
Demi mendapatkan dukungan dari penduduk Mesir, Jauhar juga
memberikann jaminan kebijakan pemerintahan Dinasti Fatimiyah yakni
kebijakan dalam negeri, kebijakan luar negeri, keamanan dan administrasi. Hal
ini dilakukan agar masyarakat Mesir tidak merasa takut dengan hadirnya
pengasa baru sehingga banyak masyarakat yang menerima Dinasti Fatimiyah,
dan berharap Dinasti Fatimiyah mampu mengatasi segala masalah yang sedang
melanda Mesir.
Dengan perjanjian tersebut, maka Mesir resmi menjadi daerah baru
Dinasti Fatimiyah. Jauhar mulai menata dan membangun kota ini degan
memberi nama al-Qahirah, mempunyai arti kota kemenangan, sekarang
8
Khoiriyah, Sejarah Islam dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam,
(Yogyakarta : Teras, 2012), hlm. 173
9
Secara perlahan nama-nama Khalifah Abbasiyah mulai dihilangkan pada saat Khutbah
Jum’at dan paham-paham Ismailiyah mulai dimasukkan dan mendoktrin orang-orang Mesir
terkenal dengan sebutan Kairo. Jauhar meminta khalifah al-Muiz untuk dating
ke Mesir, dan tepat pada tahun 973 M kota Kairo menjadi pusat pemerintahan
Dinasti Fatimiyah.10
Pemilihan Kairo sebagai Ibukota menimbulkan polemik pada Dinasti
Fatimiyah. Otomatis khalifah al-Muiz berpindah tempat dari Ifriqiya ke Kairo
dan al-Muiz perlu memilih penggantinya di Ifriqiya. Ia inggan mengangkat
sembarang orang bahkan sekelasa Jaudzar11 yang digadang-gadang sangat
pantas menggantikan al-Muiz, tapi ia tidak memilihkan karena Jaudzar berasal
dari kabilah As-Siqili. Ia malah memoloh Ja’far bin Ali Az-Zanaati untuk
memimpin Ifriqiyaa. Ja’far bin Ali tidak langsung menerima tawaran tersebut,
ia memberikan syarat jika dirinya diminta menjadi pemimpin Ifriqiya. Namun,
al-Muiz tak ingin kehilangan semua wilayah Ifriqiya dan Maghrib karena
kedua wilayah tersebut dalam proses pembangunan. Al-Muiz merasa apa yang
dilakukan Ja’far akan merugikan Dinasti Fatimiyah sehingga ia memanggil
Bulkin bin Zarti bin Mannad as-Shanhaji, seorang pemuka kabilah Shanhaji
yang sangat loyal terhadap orang-orang Fatimiyah. Setelah merasa cocok
dengan sosok Bulkin bin Zaeri, al-Muiz melepas pedangnya dan langsung
diberikan kepada Bulkin bin Zaeri dan mengalungkan tali miliknya serta
memberikan nama Arab yang bernama Yusuf, dan diberi gelar Saif ad-Daulah.
Meskipun demikian al-Muiz tetap merasa khawatir juka suatu saat
Afrika Utara akan lepas dari genggaman Dinasti Fatimiyah setelah pindah ke
Mesir. Kekhawatiran al-Muiz cukup beralasan. Pertama, ia menganggap bahwa
jarak antara Mesir dan Afrika Utara sangat jauh. Kedua, luasnya padang gurun
yang berada di antara Mesir dan Afrika. Ketiaga, ia mengetahui bahwa orang-
orang Shanhaji ingin mendirikan negara sendiri. Keempat, ia mengakui bahwa
ini merupakan langkagnya yang terakhir sebelum ia meninggalkan Afrika
Urata untuk selamanya.12
10
Abdul Syukur Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam, (Depol : PT Huta
Parhapuran, 2007), hlm. 204
11
Jauzar merupakan orang kepercayaan al-Muiz yang diberi amanah untuk pergi ke al-
Mahdiyah untuk mengontrol perekonomian dan memperketat pengiriman barang-barang ke Timur.
Lihat Muhammad Suhail Thaqqusy, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2015), hlm. 325
12
Muhammad Suhail, hlm. 329
Sebelum meninggalkan Afrika Utara, al-Muiz memberikan wasiat
kepada Bulkin bin Zaeri sebagai bekal menjalankan pemerintahan di Ifriqiya
dan wilayah Maghrib. Berikut adalah wasiat al-Muiz :
1. Jangan hapus pajak dari penduduk pedalaman dan siapkan pedang bagi
orang-orang Barbar
2. Tidak mengangkat siapapun dari saudara maupun anak pamannya. Karena
hal itu akan membuat mereka berpandangan bahwa dia lebih berhak
menduduki jabatan dari pada Bulkin
3. Perlakukan penduduk perkotaan dengan baik.
Sebelum al-Muiz pindah ke Mesir, ia mempersiapkan seluruh kekayaan
yang akan ia bawa. Selain itu juga terdapat tiga jasad leluhurya yang
sebelumnya memegang kekuasaan di Afrika Utara untuk dibawa dan akan
dikuburkan di Mesir. Ini pertanda bahwa al-Muiz akan meninggalkan Afrika
Utara dan akan menetap selamanya di Mesir.
Pada tahun 972 M, al-Muiz resmi meninggalkan Afrika Utara dengan
didampingi oleh sejumlah tokoh-tokoh negarawan, keluarganya yang masih
terdapat garis keturunan dari ayahnya. Untuk menuju Mesir, al-Muiz beserta
rombongannya menggunakan kapal yang sangat besar sehingga mampu
menampung banyak barang yang akan dibawa ke Mesir.
Al-Muiz tiba di Kairo dan langsung disambut oleh Jauhar As-Siqili.
Jauhar menemui al-Muiz menuju al-Qarsh as-Syarqi yang telah ia bangun
khusus untuk al-Muiz sebagai tempat tinggalnya. Al-Muiz banyak kedatangan
tamu mulai dari masyarakat, para pejabat pemerintahan, para ilmuan dan para
hakim. Mereka memberikan ucapan selamat kepada al-Muiz.
13
Ali Ibrahim Hasan, Mishr fi al-Ushur al-Wustha, min al-Fath al-Arabiy ila Fath al-
Utsmaniy, (Kairo : Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1976), hlm. 128
Meskipun al-Muiz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan
selalu menempuh jalan damai terhadap para pemimpin dengan gubernur,
yakni dengan menjanjikan penghargaan kepada yang bersedia menunjukkan
loyalitasnya. Banyak di antara para gubernur yang bersedia mengikuti
mazhab Ismailiyah, padahal mereka sebelumnya adalah gubernur yang
diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh
penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut
mazhab Ismailiyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu di
kalangan pemerintahan.14
14
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh ad Daulah al-Fatimiyah fi al-Maghrib, Mishr, Suriah wa
Bilad al-Arab,(Kairo : Lajnah at-Ta’lif Tarjamah wa an-Nasyr, 1958), hlm. 218-219
15
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-Akar
Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hlm. 115
Selain dari pejabat istana ini, terdapat beberapa pejabat lokal yang
diangkat oleh khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syiria, dan
Asia Kecil. Mesir dikelola oleh gubernur Mesir Utara, Syarqiya, Gabiya,
dan Alexandria. Pengurusannya diserahkan kepada para pejabat setempat.
Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir
yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para
opsir jaga. Ketiga, berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah,
juyutsiyah.
3. Filsafat
Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah
banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari
pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli filsafat lainnya. Kelompok
yang terkenal pada pemerintahan Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanus shofa.
Dalam filsafatnya, kelompok ini lebih cenderung membela kelompok Syiah
Ismailiyah, dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran-
pemikiran yang telah dikembangkan golongan Muktazilah terutama dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, pengembangan
syari’ah dan filsafat Yunani.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Fatimiyah ini di
antaranya :
a. Abu Hatim Ar-Rozi, adalah seorang da’i Ismailiyat yang pemikirannya
lebik banyaak kepada permasalahan politik. Abu Hatim menulis beberapa
buku di antaranya Kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di
dalamnya banyak membahas masalah fiqh filsafat dalam agama
b. Abu Abdillah An-Nasafi. Ia telah menulis kitab al-Mashul. Kitab ini
lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Madzhab al-Ismaily.
Selanjutnya, ia menulis kitab Unwanuddin, Ushulussyar’I, Adda’watu
Manjiyyah. Kemudian ia juga menulis buku tentang falak dan sifat alam
dengan judul Kaunul Alam dan Kaunul Mujrof
c. Abu Ya’kub as-Sajazi, merupakan salah seorang penulis yang paling
banyak tulisannya, antara lain L Asasudawah, Asyaro’I, Kasyful Asror,
Itsbatun Nubuwah, al-Yanabi, al-Mawazin, dan kitab an-Nasyroh
d. Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghribi, karyanya antara lain Da’aimul
Islam al-Yanabu, Mukhtasorul Idoh, Kaifiyatu Sholah, Manhijul Faroid,
ar-Risalah Misriyah, ar-Risalah Datal Bayan dam Ikhtilafu Ushulul
Madhahih
e. Ja’far ibnu Mansur al-Yamani, karyanya antara lain, A’wiluzah,
Saro’irunnutaqo’i, Asyawahid wal Bayan, dan al-Fitrotu wal Qironaati
f. Haminuddin al-Kirmani, dengan karyanya : Uyumul Akhbar, al-
Mashobihu fi Itsbati Imamah.
16
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka
Publisher, 2007), hlm. 200
menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang
dikembangkan masa ini lebih banyak ke masalah keislaman, astronomi, dan
ketokteran. Ilmu astronomi juga banyak dikembangkan oleh seorang
astronomis Ali Ibnu Yunus, Ali al-Hasan, dan Ibnu Haytami.17
17
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), hlm. 118
1. Ubaidillah al-Mahdi ( 909-924 M) (15 tahun)
2. Al-Qa’im (924-946 M) (24 tahun)
3. Al-Manshur (946-953 M) (7 tahun)
4. Al-Mu’iz (953-975 M) (22 tahun)
5. Al-Aziz (975-996 M) (21 tahun)
6. Al-Hakim (996-1021 M) (25 tahun)
7. Azh-Zhahir (1021-1036 M) (15 tahun)
8. Al-Muntanshir(1036-1094 M) (28 tahun)
9. Al-Musta’li (1094-1101 M) (5 tahun)
10. Al-Amir (1101-1131 M) (20 tahun)
11. Al-Hafizh (1131-1149 M) (18 tahun)
12. Azh-Zhafir (1149-1154 M) (5 tahun)
13. Al-Faiz (1154-1160 M) (6 tahun)
14. Al-‘Adhid (1160-1171 M) (11 tahun)
20
Hasan Ibrahim Hasan, hlm. 272-273
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi
ia mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas Sunni. Peristiwa ini
menyebabkan menguatnya pengaruh Nurudin Zanki dan panglima Salahuddin
al-Ayubi. Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya
Salahuddin telah menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin
menghormati dan memberikan kesempatan kepada orang-orang Fatimiyah.
Namun, ketika al-Adhid jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahuddin al-
Ayubi mengadakan pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan
khutbah dengan menyebut nama khalifah Abbasiyah, al-Mustadi. Ini menjadi
symbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasan Dinasti Fatimiyah untuk
kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah.21
Dari kisah diatas bisa diambil pokok simpulan beberapa faktor
runtuhnya Dinasti Fatimiyah, sebagai berikut :
a. Diangkatnya khalifah yang masih belia dan tidak berpengalaman
b. System pemerintahan berubah menjadi parlementer, dimana
diperintah oleh para menteri, sedangkan khalifah hanya dijadikan
simol
c. Sikap pemerintahan Dinasti Fatimiyah yang lebih suka kepada
orang Turki hingga menyisihkan bangsa Barbar di kekuasannya
d. Terjadinya perpecahan di tubuh dinasti Fatimiyah sendiri hingga
akhirnya terjadi pembunuhan kepada khalifah
e. Adanya pemaksaan ideology Syi’ah kepada rakyat yang mayoritas
Sunni
f. Perluasan wilayah hanya difokuskan ke Timur saja, sementara
pemerintahan di Afrika Utara terabaikan
g. Datangnya serbuat tentara salib sehingga khalifah meminta bantuan
kepada tentara Abbasiyah yang dipimpin oleh Salahuddin
h. Para penguasanya cenderung tengelam dalam kehidupan mewah
21
Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jilid 2, (Jakarta, Ichtiar Baru
van Hoeve, 2002), hlm 136
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dkk. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta. Ichtiar Baru
van Hoeve. 2002
Al-Azizi, Abdul Syukur. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Depok. PT. Huda
Parhapuran. 2007
Hasan, Ali Ibrahim. Mishr fi al-Ushur al-Wustha, min al-Fath al-Arabiy ila Fath
al-Utsmaniy. Kairo. Maktabah an-Nahdah al-Misriyah. 1976
Hitti, Philip K. History of The Arab, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta. Serambi Ilmu Pustaka. 2008
Khoiriyah. Sejarah Islam dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam.
Yogyakarta. Teras. 2012
Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Bandung. Pustaka Bani Quraisy. 2004