Anda di halaman 1dari 24

DINAMIKA PERADABAN ISLAM DI KAWASAN

AFRIKA DAN TIMUR TENGAH


Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Mibtadin Anis, M.S.i

DISUSUN OLEH :

1. AHMAT NURKOLIS (113111018)


2. MUHAMMAD NUR QOLIK (153111167)
3. LUTFIA KURNIATI (153111176)
4. HASNA NAZILA FIRRAMADHANI (153111177)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2015

0
A. Latar Belakang
Dalam sejarah Islam, para penguasa sebagaimana telah dijelaskan dalam
bab-bab sebelum ini, setelah masa kekuasaan khulafaurrasyidin, digantikan oleh
para penguasa yang membentuk kekuasaan dengan sistem kekuasaan
kekeluargaan atau dinasti. Dimulai dari kekuasaan Muawiyah yang membentuk
Dinasti Umayyah, maka sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah
menjadi monarchi hereditis (kerajaan turun-temurun). Kekhalifahan Muawiyah
diperoleh melalui kekerasan dan diplomasi, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid
yang kelak menggantikannya. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di
Persia dan Binzantium. Muawiyah memang tetap menggunakan istilah khalifah,
namun ia memberika interpretasi baru dari kata-kata itu untuk menggunakan
jabatan tersebut. Dinasti-dinasti yang berkuasa setelah khulafaurrasyidin adalah
Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Umayyah di Andalusia, Dinasti
Safawiyah, Dinasti Usmani di Turki, Dinasti Mongol Islam di India, dan beberapa
dinasti lain yang berkuasa di beberapa belahan dunia islam. Selain dinasti-dinasti
yang disebutkan diatas, juga terdapat beberapa dinasti lain yang juga memiliki
peran penting dalam pengembangan peradaban di dunia Islam.

B. Dinasti Idrisiyah
Di Maroko berdiri Dinasti Idrisiyah, 172-314H/789-926M yang didirikan
oleh Idris bin Abdullah yang beraliran Syi’ah. Sebelum dikuasai dinasti Idrisiyah
wilayah tersebut didominasi oleh kaum Khawarij. Idris adalah cucu Hasan ibn Ali
ibn Abi Thalib yang ikut memberontak terhadap Abbasiyah di Hijaz tahun
169H/786M.1 Idris bin Abdullah adalah orang kedua yang dapat melarikan diri
dari pertempuran di Fakh. Dia menuju ke negeri Mesir, dan dari sana terus ke
Afrika Utara hingga tiba di Maghribi (Maroko). Kaum barbar telah
menyambutnya dan menerima baik seruannya. Di sana dia telah mendirikan
kerjaraan Idrisiyah dan kaum Barbar yang gagah dan kuat telah menjadi tulang

1
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 109.

1
punggung pemerintahannya. Disamping itu pemerintahan Idrisiyah terletak jauh
di kota Baghdad, ibukota bagi pemerintahan Abbasiyah yang mana telah
menyebabkan khalifah ragu-ragu untuk mengirim tentara memeranginya, karena
khawatir nasib tentaranya ketika berada di tempat yang jauh itu, dan juga karena
menyangka andaikan tentaranya ditewaskan, maka Idris akan berani pula
menyerang pemerintahan Abbasiyah di Mesir dan negeri Syam.2
Ketika Harun Ar-Rasyid merasa kedudukannya terancam dengan adanya
Dinasti Idrisiyah, maka Harun merencanakan mengirim pasukan perang. 3 Harun
telah menggunakan suatu taktik yang disarankan oleh Yahya Barmaki dengan
mengirim seorang yang pintar, bernama Sulaiman bin Jarir, yang menyamar diri
sebagai penentang kaun Abbasiyah dan meminta perlindungan kepada Idris.
Setelah Idris menerimanya dengan baik dan memberinya kepercayaan serta
menjadikannya teman yang rapat, Sulaiman membunuhnya dengan menggunakan
racun. Tetapi pembunuhan Idris tidak pula dapat menumpas kerajaan Idrisiyah,
karena kaum Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan mereka
sebagai kerajaan yang bebas merdeka. Idris meninggalkan seorang hamba
perempuan yang sedang mengandung hasil dari perkongsiannya. Sebaik
kandungan itu melahirkan kaum Barbar menamakan bayi lelaki yang baru lahir itu
dengan namanya yaitu Idris yang disebut Idris I dan mengikrarkan taat setia
mereka kepadanya, sebagaimana mereka ikrarkan kepada bapaknya.4 Pada masa
pemerintahan Idris I dan Idris II (putra Idris I) yang telah berhasil mempersatukan
Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kesatuan politik. Pada masa itu juga kota
Fez dijadikan sebagai ibu kotanya, di atas reruntuhan kota Romawi kuno,
Volabulis. Kota baru itu berkembang dengan pesat, padat penduduknya dengan
berbondong-bondongnya para emigran Muslim baik dari Afrika maupun dari
Andalusia ke pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Idrisiyah tersebut. Fez
menjadi pusat kaum syorfa’ atau syurafa’ (berbentuk jamak dari syarif, orang

2
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), hal. 165.
3
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 157.
4
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, hal. 165.

2
mulia), yakni para keturunan cucu Nabi SAW, Hasan dan Husain ibn Ali ibn Abi
Thalib, yang menjadi faktor penting dalam sejarah perkembangan Maroko.5
Wilayah kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah Maghribi (Maroko), dinasti
ini didirikan oleh Idris bin Abdullah merupakan dinasti pertama yang beraliran
Syi’ah, terutama di Maroko dan Afrika Utara. Sultan Idrisiyah terbesar adalah
Yahya IV (292H-309H/905M-922M) yang berhasil merestorasi Volabulis, kota
Romawi menjadi kota Frez. Dinasti Idrisiyah berperan dalam menyebarkan
budaya dan agama Islam ke bangsa Barbar dan penduduk asli. Dinasti ini runtuh
setelah ditaklukkan oleh Dinasti Fathimiyah pada tahun 347H/985M. Dinasti
Idrisiyah antara lain meninggalkan Masjid Karawiyyin dann Masjid Andalusia
yang didirikan pada 244H/859M.6
Kekuasaan Idrisiyah yang ada di kota-kota tanpa menguasai desa-desa
akhirnya terpecah-pecah di masa pemimpin mereka, Muhammad al-Muntasir
(213-221H/828-836M). Kekuasaan mereka dibagi-bagikan kepada saudara-
saudara al-Muntasir yang banyak jumlahnya.7
Ada suatu riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah
disebabkan Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan
kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak sehingga
mengakibatkan pecahnya Idrisiyah. Dan dalam waktu yang bersamaan Dinasti
Idrisiyah diserang oleh Dinasti Fathimiyah.8

C. Dinasti Fathimiyah
1. Kelahiran Dinasti Fathimiyah
a. Gerakan Syi’ah Isma’iliyah
Dinasti Fathimiyah berdiri tahun 297-567H/909-1171M semula di Afrika
Utara kemudian di Mesir dan Syiria.9 Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya
gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah yaitu Syi’ah Isma’iliyah yang
bereaksi terhadap khalifah-khalifah Abbasiyah yang mengadakan penyelidikan
5
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hal. 109.
6
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 275.
7
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hal. 110.
8
Ameer Ali, Short History of the Saracen, (New Delhi: Kitab Bavham, 1981), hal. 583.
9
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, hal. 116.

3
kepada kamu Syi’ah Isma’iliyah. Kaum Syi’ah Isma’iliyah muncul karena
berselisih paham tentang imam yang ke tujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam
yang ke tujuh adalah putra Ja’far yang bernama Musa Al-Kazhim, sedangkan
menurut Isma’iliyah, imam yang ke tujuh adalah putra Ja’far yang bernama
Isma’il. Oleh karena itu, meskipun Isma’il sudah meninggal, kaum Isma’iliyah
tidak mau mengakui penobatan Musa Al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka,
hak atas Isma’il sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain
walaupun sudah meninggal. Pemimpin gerakan Syi’ah Isma’iliyah adalah Abu
Abdullah Al-Husain.
b. Penobatan Ubadillah Al-Mahdi
Setelah memperoleh banyak dukungan dan berhasil menegakkan
pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menobatkan Sa’id bin
Husain Al-Salamiyah sebagai penggantinya. Selanjutnya Sa’id berhasil merebut
kekuatan dan berhasil mengusir penguasa Dinasti Aghlabiyah yang terakhir, yaitu
Ziyadatullah III dan Tunisia disusul dengan pendudukannya pada tahun 909 M.
Inilah awal berdirinya Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh
Sa’id Husain As-Salamiyah yang bergelar “Ubaidillah Al-Mahdi”.
c. Ideologi Dinasti Fathimiyah
Nama Fathimiyah dinisbatkan kepada Fatimah Az-Zahra, yaitu putri Nabi
Muhammad SAW yang juga merupakan istri Ali bin Abi Thalin r.a. Ubaidillah
Al-Mahdi mengaku sebagai keturunan Ali r.a dan Fatimah r.a melalui garis
Isma’il, putra Ja’far Al-Shadiq. Disamping itu berdirinya Dinasti Fathimiyah
merupakan tandingan bagi Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa.
Setelah resmi mengukuhkan diri sebagai dinasti baru, Fathimiyah memulai
pekerjaannya dengan mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah
keturunan Fathimah, putri Rasul dan istri Ali bin Abi Thalib. Mereka mengklaim
dan memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa.
d. Perluasan Wilayah Kekuasaan
Ubaidillah menegakkan pemerintahannya di istana Aghabiyah yaitu di
Raqqadah yang terletak di pinggiran kota Kairawan. Ia membuktikan dirinya

4
sebagai penguasa yang paling mampu dan berbakat. Ia memperluas kekuasaannya
hampir meliputi wilayah Afrika yaitu dari Maroko sampai perbatasan Mesir.
Setelah wafat tahun 934 M, Ubaidillah Al-Mahdi digantikan oleh
putranya, Abu Al-Qasyim dengan gelar Al-Qa’im selama 15 tahun. Pada tahun
935 Al-Qa’im mengirim armadanya untuk menyerbu pantai utara Prancis dan
berhasil menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Kalabria.
2. Penguasa Dinasti Fathimiyah
a. Al-Mahdi (909-934M)
Al-Mahdi merupakan penguasa Fathimiyah yang cakap. Dua tahun
semenjak penobatannya, ia menghukum mati pimpinan propagandanya yakni Abu
Abdullah Al-Husain karena terbukti beesekongkol dengan saudaranya yang
bernama Abdul Abbas untuk melancarkan perebutan jabtan khalifah. Kemudian
Al-Mahdi melancarkan gerakan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika
yang terbentang dari Mesir sampai dengan wilayah Fes di Maroko. Pada tahun
914M, ia menduduki Alexandria. Kota-kota lainnya seperti Malta, Syiria,
Sardinia, Corsica, dan sejumlah kota-kota lain jatuh kedalam kekuasaanya. Pada
tahun 920 H, khalifah Al-Mahdi mendirikan kota baru di pantai Tunisia dan
menjadikannya sebagai ibu kota Fathimiyah. Kota ini dinamakan Mahdiniyah. Al-
Mahdi meninggal dunia pada tahun 934 M.
b. Al- Qa’im (934-949 M)
Al-Mahdi digantikan oleh putranya yang tertua bernama Abdul Qasim dan
bergelar Al-Qa’im. Pada tahun 934 M, ia mengerahkan pasukan dalam jumlah
besar ke daerah selatan pantai Prancis. Pasukan ini berhasil menduduki Genoa dan
wilayah sepanjang pantai Calabria. Mereka melancarkan pembunuhan,
penyiksaan, pembakaran kapal-kapal dan merampas budak-budak. Pada saat yang
sama ia juga mengerahkan pasukannya ke Mesir, namun pasukn ini berhasil
dikalahkan oleh Dinasti Idrisiyah sehingga mereka terusir dari Alexandria. Di
tengah kesuksesannya dalam ekspansi, Al-Qa’im mendapat perlawanan dari
kalangan Khawarij yang melancarkan pemberontakan di bawah pimpinan Abu
Yazid Makad. Berkali-kali gerakan pemberontak ini mampu menahan serangan
pasukan Fathimiyah dalam peperangan yang berlangsung hampir tujuh tahun. Al-

5
Qa’im merupakan khalifah Fathimiyah pertama yang menguasai lautan Tengah
dan ia meninggal pada tahun 946 M, ketika itu sedang ada pemberontakan di
Susa’ yang dipimpin oleh Abu Yazid. Al-Qa’im digantikan oleh putranya yang
bernama Al-Manshur. Al-Manshur berhasil menghancurkan kekuatan Abu Yazid.
Al-Manshur membangun sebuah kota yang sangat megahh di wilayah perbatasan
Susa’ yang diberi nama kota Al-Manshuriyah.
c. Mu’iz Lidinillah (965-975 M)
Ketika Al-Manshur meninggal, putranya yang bernama Abu Tamim
Ma’ad menggantikan kedudukannya sebagai khalifah dengan bergelar Mu’iz
Lidinillah. Banyak keberhasilan yang di capainya. Ia menghadapi gerakan
pemberontakan secara tuntas hingga mereka bersedia tunduk kedalam kekuasaan
Mu’iz. Mu’iz menempuh kebijakan damai terhadap para pimpinan dan gubernur
dengan menjanjikan penghargaan kepada mereka yang menunjukkan loyalitasnya.
Oleh karena itu dalam tempo singkat masyarakat seluruh negeri mengenyam
kehidupan yang damai dan makmur. Khalifah Mu’iz meninggal pada tahun 975
M, setelah memerintah selama 23 tahun.
d. Al-Aziz (975-996 M)
Al-Aziz menggantikan kedudukan ayahnya Mu’iz. Ia termasuk khalifah
Fathimiyah yang paling bijaksana dan pemurah. Kedamaian yang berlangsung
pada masanya ini ditandani dengan kesejahteraan seluruh warga, baik muslim
maupun non muslim. Kemajuan imperium Fathimiyah mencapai puncaknya pada
masa pemerintahan ini. Luas kekuasaan imperium membentang dari wilayah
Eufrat sampai dengan Atlantik. Pembangunan fisik dan seni arsitektur merupakan
lambang kemajuan pada masa ini. Bangunan megah banyak didirikan di kota
Kairo seperti the Golden Palace, the Pear Pavillion, dan Masjid Karafa. Ia adalah
seorang penyair dan tokoh pendidikan. Masjid Al-Azhar diresmikan oleh khalifah
Al-Aziz sebagai lembaga pendidikan. Al-Aziz meninggsal pada tahun 996 M.
e. Al-Hakim (996-1021 M)
Sepeninggal Al-Aziz, khalifan Fathimiyah dijabat oleh anaknya yang
bernama Abu Al-Manshur Al-Hakim. Pemerintah Al-Hakim ditandai dengan
sejumlah kekejaman. Ia menghukum mati pejabat-pejabat yang cakap tanpa alasan

6
yang jelas. Dalam sepuluh tahun masa pemerintahannya, kaum Yahudi dan
Nasrani merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara sehingga mereka
pun mengadakan perlawanan.
f. Az-Zahir (1021-1036 M)
Al-Hakim digantikan oleh putranya yang bernama Abu Hasyim Ali
dengan gelar Az-Zahir. Ia naik tahta pada usia 16 tahun sehingga pusat kekuasaan
dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt Al-Mulk. Sepeninggal bibinya, Az-Zahir
menjadi raja boneka di tangan menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat
menderita kekurangan bahan makanan dan harga barang tidak dapat terjangkau.
Kondisi ini disebabkan terjadinya musibah banjir terus-menerus. Az-Zahir
meninggal pada tahun 1036 M.
g. Al-Mustansir (1036-1095 M)
Az-Zahir digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang
bergelar Al-Mustansir, pemerintahannya selama 61 tahun merupakan masa
pemerintahan terpanjang dalam sejarah Islam. Masa awal pemerintahannya berada
sepenuhnya di tangan Ibunya, lantaran ketika dinobatkan sebagai khalifah ia baru
berusia 7 tahun. Pada masa ini kekuasaan Fathimiyah mengalami kemunduran
secara drastis. Beberapa kali perebutan jabatan perdana menteri turut
memperlemah ketahanan imperium ini, disemping terjadinya sejumlah
pemberontakan dan peperangan selama pemerintahan ini. Sepeninggal Al-
Muntasir pada tahun 1095, imperium Fathimiyah dilanda konflik dan
permusuhan. Tidak seorang pun khalifah sesudah Al-Muntasir mampu
mengendalikan kemerosotan imperium ini.
h. Al-Musta’li (1095-1101 M)
Putra termuda Al-Muntasir yang bergelar Al-Musta’li menduduki tahta
kekhalifahan sepeninggal sang ayah Al-Muntasir. Nizar, putra Al-Muntasir yang
tertua menentang penobatan adiknya. Setelah Al-Musta’li meninggal, anaknya
yang masih muda bernama Al-Amir Manshur dinobatkan sebagai khalifah oleh
Al-Afzal. Al-Afzal merupakan perdana menteri yang berkuasa secara absolut
selama 20 tahun masa pemerintahan Al-Amir.

7
Setelah Al-Amir menjadi korban pembunuhan politik, kenenakannya Al-
Hafiz memproklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahan Al-Hafiz ini
diwarnai dengan perpecahan antar unsur kemiliteran. Anaknya Abu Manshur
Ismail, dengan gelar Az-Zafir, menggantikan kedudukannya setelah wafatnya Al-
Hafiz dan meninggal pada tahun 1154 M. Anak Az-Zafir yang masih kecil
menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Al-Faiz. Ia meninggal dunia
sebelum dewasa dan digantikan kemenakannya Al-Azid. Sewaktu naik tahta, sang
khalifah berusia 9 tahun. Ia merupakan khalifah Dinasti Fathimiyah yang ke-14
dan mengakhiri masa pemerintahan Fathimiyah selama lebih kurang dua setengah
abad. Al-Azid berjuang keras untuk menegakkan kedudukannya dari serangan raja
Yerussalem yang pada waktu itu telah berada di gerbang kota Kairo. Dalam
keadaan yang kacau, datang Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, pejuang dalam Perang
Salib. Sultan Salahuddin menurunkan Al-Azid dari khalifah Fathimiyah terakhir
ini pada tahun 1171 M. Dengan demikian, Dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh
Ubaydullah Al-Mahdi ini berakhir sudah.10
3. Masa Kejayaan Dinasti Fathimiyah
a. Keadaan Politik
Pada masa kekuasaan Abu Manshur Nizar Al-Aziz, kehidupan masyarakat
selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan
pemerintahan yang damai. Al-Aziz adalah khalifah pertama yang memulai
pemerintahan di Mesir.
Dibawah kekuasaan Al-Aziz, Fathimiyah berhasil mendapatkan tempat
tertinggi sebagai negara Islam terbesar dikawasan Mediterania Timur. Ia berhasil
menjadikan negaranya sebagai lawan tangguh bagi kekhalifahan Abbasiyah di
Baghdad.
Strategi promosi Fathimiyah yang gencar dilakukan untuk mengagungkan
agama diwujudkan dengan memasyarakatkan pemuliaan terhadap keluarga Ali.
Pemuliaan terhadap imam yang masih hidup disejajarkan dengan pemuliaan
terhadap kalangan syuhada dari keluarga Nabi Muhammad SAW. Pemerintah

10
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal. 256-263.

8
membangun sejumlah bangunan makam keluarga Ali untuk meningkatkan
kegiatan penziarahan.11
b. Bidang Administrasi
Administrasi internal kerajaan yang dibentuk oleh Ya’kub bin Killis yang
wafat tahun 991 M, seorang wasir atau menteri pada kekhalifahan Al-Mu’iz dan
Al-Aziz.
Kementrian negara (wasir) terbagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah
para ahli pedang dan kedua adalah para ahli pena. Kelompok pertama menduduki
urusan militer dan keamanan serta pengawal pribadi sang khalifah. Sedangkan
kelompok kedua menduduki beberapa jabatan kementrian yaitu hakim, pejabat
pendidik sekaligus sebagai pengelola lembaga ilmu pengetahuan atau Dar Al-
Hikmah, inspektur pasar yang bertugas menertibkan pasar dan jalan, pejabat
keuangan yang menangani segala urusan keuangan negara, regu pembatu istana,
petugas pembaca Al-Quran. Tingkat terendah kelompok “ahli pena” terdiri atas
kelompok pegawai negeri, yaitu petugas penjaga juru tulis dalam berbagai
departemen.
c. Kondisi Sosial
Mayoritas Khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian
kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemelukk Kristen Mesir
diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak
keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Aremenia tidak pernah
merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada
masa Al-aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat islam dimana
mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Pada khalifah
generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen
semakin banyak dan diangkan sebagai pegawai pemerintah.12
d. Perkembangan Ekonomi
Seorang Persia mendiskripsikan kegemilangan Mesir pada masa Al-
Muntasir yaitu bahwa istana khalifah mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 orang
11
Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Bandung: Pustaka Setia,
2013), hal. 225-230.
12
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal. 264-265.

9
diantaranya adalah pelayan dan 1000 orang pengurus kuda. Khalifah muda yang
dilihatnya pada sebuah perayaan menunggangi kuda dan dinaungi oleh pelayan
dengan payung yang dihiasi batu-batu mulia. Di tepi sungai Nil, terdapat tujuh
buah perahu berukuran 150 m3 dengan 60 tiang pancang sedang berlabuh.
Khalifah memiliki 20.000 rumah di ibu kota. Ia juga mempunyai ribuan toko.
Bukti dari kekayaan Khalifa Al-Muntasir yaitu ditemukannya warisan harga yang
sangat berharga yang tersebar diantara tentara-tentara Turki yaitu berupa bas
kristal, piring berlapis emas, tempat tinta yang terbuat dari gading dan kayu eboni,
belati berhiaskan mutiara, serta pedang-pedang berukur indah.
e. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Khalifah Al-Hakim melakukan pembangunan pusat pembelajaran Dar Al-
Hikmah (rumah kebijaksanaan) dan Dar Al-‘Ilm (rumah ilmu) pada tahun 1005
yang melakukan pengkajian ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Al-
Hakim juga membangun observatorium karena ketertarikannya pada perhitungan
astrologi. Alat untuk mengukur tanda-tanda zodiak yang terbuat dari tembaga
didirikan oleh Al-Hakim di atas dua menara.
f. Perkembangan Seni dan Arsitektur
Seni dan arsitektur pada masa Fathimiyah menghasilkan karya yang
bernilai sangat tinggi, berupa berbagai kerajinan, baik bidang tekstil, keramik,
benda seni dari kayu, benda logam, maupun batu kristal. Pada produk tekstil,
ditemukan motif-motif hewan dengan pose konvensional.
4. Kemunduran Dinasti Fathimiyah
a. Awal Kemunduran
Kemunduran Dinasti Fathimiyah mulai terjadi pada masa Abu Ali Mansur
Al-Hakim. Al-Hakim adalah pengganti Al-Aziz. Ia baru berusia 11 tahun ketika
naik tahta. Karena masih terlalu muda ketika siangkat menjadi khalifah,
kekuasaan sesungguhnya berada ditangan para wazir. Para wazir ini akhirnya
sering mendapat julukan kebangsawanan “Al-Malik”. Masa pemerintahannya
ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Sebuah klaim yang
menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan umat Islam. Inilah akar
melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan Al-Hakim, sehingga pada

10
tahun 1094 terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, Al-
Afzal Sahinsyah.
Pengganti Al-Hakim adalah anaknya, Az-Zhahir (1021-1035), yang ketika
naik tahta dengan usia 16 tahun. Ia mendapatkan izin dari Konstantin VIII agar
namanya disebut-sebut di masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang
kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid di Konstantinopel
sebagai balasan terhadap restu Az-Zhahir untuk membangun kembali gereja yang
di dalamnya terdapat kuburan suci.
b. Terjadinya Pemberontakan
Pengganti Az-Zhahir adalah anaknya, Ma’ad Al-Munthashir (1035-1094).
Al-Munthashir naik tahta saat berusia 11 tahun. Pada masa awal kekuasaannya,
ibunya seorang budak dari Sudan menikmati kekuasaan anaknya dengan leluasa.
Sejak saat itu, kekuasaan Fathimiyah mulai menyusut sedikit demi sedikit.
Penyebabnya adalah sering terjadinya pemberontakan, kericuhan dan pertikaian,
kekuasaan negara yang lumpuh dan perekonomian negara yang tidak berdaya
akibat kelaparan selama tujuh tahun.
c. Persaingan Antarwazir
Setelah Al-Muntashir meninggal pada tahun 1094, kekuasaan diteruskan
oleh anaknya yaitu Al-Malik Al-Afdhal. Pada masa ini, muncul perseteruan terus-
menerus di antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentara masing-
masing. Al-Afdhal menempatka anaknya yang paling muda sebagai khalifah
dengan julukan Al-Musta’li. Sementara itu, terjadi kekacauan sekitar
permasalahan suksesi pada masa pemerintahan khalifah Al-Musta’li. Nizar putra
Musta’li tertua dihukum penjara hingga meninggal. Namun, pengikut Nizar
mengakui bahwa Nizar masih hidup. Hal ini menimbulkan kekacauan dan
melahirkan dua kubu yang saling bersaing, yaitu kubu Musta’liyah dan kubu
Nizariyah.
Putra Al-Musta’ali bernama Al-Amir yang masih berusia 5 tahun
mengantikan ayahnya sebagai penguasa di Mesir. Al-Amir akhirnya menjadi
korban pembunuhan pada tahun 1130. Penerus AlAmir adalah Al-Hafizh.
Sepeninggal Al-Amir Dinasti Fathimiyah semakin mengalami kemunduran. Pada

11
saat itu, timbul pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasa dengan
mayoritas masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti
imam masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.
Ketika Al-Hafizh (1130-1149) meninggal, kekuasaanya benar-benar hanya
sebatas istana kekhalifahan. Penggantinya adalah anaknya yang bernama Al-
Zhafir (1149-1154) masih berusia sangat muda hingga kemudian kekuasaanya
direbut oleh seorang wazir dari Kurdistan, Ibn Al-Sallar yang menyebut dirinya
sebagai Al-Malik Al-‘Adil.
d. Al-‘Adid sebagai Khalifah Terakhir
Hari kedua setelah meninggalnya khalifah, dinobatkanlah anak al-Zhafir
yang baru berusia 4 tahun, yakni Al-Faiz sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah
kecil ini meniggal pada usia 11 tahun dan digantikan sepupunya, Al-‘Adid yang
baru berusia 9 tahun. Dialah khalifah yang keempat belas, yakni khalifah yang
terakhir di Dinasti Fathimiyah yang berkuasa selama lebih dari dua setengah abad.
Pada masa pemerintahan Al-Adid, kehidupan masyarakat sangat sulit
karena adanya bencana kelaparan, wabah penyakit yang sering terjadi, serta
penetapan pajak yang tinggi untuk memuaskan kebutuhan khalifan dan angkatan
bersenjata. Keadaan semakin sulit dengan datangnya pasukan Perang Salib ke
Mesir. Khalifah Al-Adid meminta bantuan kepada Naruddin Zanki, yaitu
Gubernur Suriah di bawa kekuasaan Abbasiyah Baghdad. Naruddin akhirnya
mengutus Shalahuddin Al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk
menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, dia diangkat menjadi menteri di
Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun, khalifah Al-Adid terlalu tua untuk
memimpin dan tekanan politik semakin tinggi. Sementara itu, keberhasilan
Shalahuddin Al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah yang sangat
kuat. Pada akhirnya Shalahuddin Al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri
Dinasti Fathimiyah pada tahun 1171. Kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayubi
mengubah corak kekuasaan yang sebelumnya Syi’ah beralih ke Sunni, sehingga
disebut Dinasti Sunni Al-Ayyubiyah. Akan tetapi sekalipun Fathimiyah runtuh di
Mesir, beberapa kelompok kecil Isma’iliyah masih bertahan di Syria, Persia, dan
asia Tengah, serta mengalami perkembangan pesat di India. Artinya, setelah

12
runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan
atau setidaknya tumbuh di tempat lain.13

D. Dinasti Ayyubiyah
1. Sejarah Berdiri
Dinasti Ayyubiyah adalah dinasti besar yang pernah didirikan oleh suku
kuurdi Dinasti Ayyubiyah berkuasa tahun 534-643 H/1171-1250 M di Mesir.
Didirikan oleh Al-Malik Al-Nashir Shalahuddin Yusuf (al-Ayyubi). Ia merupakan
seorang jendral dan perjuangan muslim Kurdi dari Tirkit daerah utara Irak saat ini.
Dinasti Ayyubiyah berdiri di atas puing-puing dinasti Fatimiyah Syi’ah di Mesir.
Disaat itu, Mesir mengalami Krisis dan pemerintahannya melemah di segala
bidang. Orang-orang nasrani mengintai Mesir sebagai lawan dalam
memproklamirkan Perang Salib oleh tentara Salib. Pada tahun 1169 M tentara
salib di bawah pimpinan Amaori menyerang Mesir dan bermaksud menguasai
Mesir. Al Adid yang pada waktu itu menjadi khalifah dinasti Bani Fatimiyyah
meminta bantuan Shalahuddin untuk mempertahankan Mesir. Yang akhirrnya
dimenangkan oleh Shalahuddin.
Shalahuddin tidak menghendaki mesir jatuh ke tangan tentara salib. Ia
mampu mempertahankan mesir dari tentara Salib karena Bani Fatimiyyah
mengalami kelemahan dan tidak banyak melakukan perlawanan. Setelah khalifah
Al Adid meninggal pada tahun 1171M, berakhirlah dinasti Fatimiyyah dan
Shalahuddin berkuasa penuh atas Mesir dan mendirikan pemerintahan Ayyubiyah.
Selesailah kekuasaan Fatimiyyah dan berpindah tangan ke Shalahuddin al Ayyubi.
2. Raja-Raja yang Berkuasa
a. Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi (1174-1193 M)
Dia adalah pendiri Ayyubiyah di Mesir. Shalahuddin mempunyai nama
lain Saladin. Ia lahir di Tirkit Irak pada tahun 1137 M. ia merupakan suku Kurdi.
Shalahuddinmuncul dan mengalami kecermelangan. Ia mampu menguasai mesir
setelah Al Adid meniggal dan dinasti Fatimiyyah melemah.
b. Al Aziz ‘Imad aldin (1193-1198 M)

13
Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, hal. 231-239.

13
c. Al Mansyur Muhammad (1198-1199 M)
d. Al Adil I Syaf Al Din (1199-1218)
Namanya adalah Al Malik Al Adil Syaifuddin Abu Bakar Ayyub. Ia
merupakan saudara shalahuddin Yusuf anak dari Najmuddin Ayyub, dengan
julukan Saphadin.
e. Al Kamil Muhammad (1218-1238 M)
f. Abu Bakar Al Adil II (1238-1240 M)
g. Al Malik Al Shaleh Najm Al Din Ayyub (1240-1250 M)
h. Al Mu’azzam Turasyah (1250 M)
i. Al Asyraf Musa (1250 M)
3. Masa Kejayaan dan Peradaban
Hasil Peradaban yang telah dicapai antara lain:
a. Bidang militer:kemajuanini ditandai dengan strategi yang baik dan senjata-
senjata yang digunakan. Berhasil membina kekuatan yang tangguh dan juga
membangun benteng pertahanan di Bukit Muqattam.
b. Bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan:berhasil membangun departemen
pendidikan, madrasah Al Shahuyah tahun 1239 pusat pengajaran 4 madzab,
Dar Al Hadits Al Kamillah (1222 M), tiga madrasah di Kairo dan iskandaria
utuk mengembangkan madzab sunni.
c. Bidang industri dan perdagangan: adanaya pabrik tekstil, parfum, kemenyan,
getah Arab, karpet, kain, gelas merupakan kemajuan bidang industri.
Sedangkan bidang perdangan nmereka sudah menggunakan mata uang (koin)
sebagai alat tukar.
d. Bidang pertanian: irigasi yang praktis, pembangunan dan terusan produk
pertaniandan ditemukannya gula.
e. Bidang arsitek: Monumen bangsa arab, masjid Beirut (mirip gereja), istana-
istana dan lain-lain.
f. Bidang politik: menggantikan adi-qadi (hakim) syiah dengan sunni, mengganti
pegawai yang korupsi dan memecat pegawai yang bersekongkol dengan
pejabat.

14
g. Bidang sosial budaya: melakukan berbagai kegiatan bagi kesejahteraan sosial
dengan membangun rumah sakit, sekolah, peruruaan tinggi dan masjid.
4. Masa Kehancuran
Setelah Al Kalim meninggal pada tahun 1238 M, dinasti ayyubiyah berada
di ambang kehancuran. Hal ini ditandai oleh pertentangan-pertentangan yang
terjadi di kalangan intern. Pada tahun 1250 M keluarga Ayyubiyah diruntuhkan
oleh sebuah pemberontakan salah satu resimen budaknya.14

E. Dinasti Mamluk
1. Dinasti Mamluk al-Bahri

Mamluk (Arabic: ‫( مملوك‬singular), ‫ مماليك‬mamalik (plural), “dimiliki”;


juga diterjemahkan sebagai mamluq, mamluke, mameluk, mameluk, mamaluke
atau marmeluke) adalah seorang prajurit yang berasal dari kaum budak yang telah
masuk Islam. Kerajaan Mamluk di Mesir sebenarnya terbagi menjadi dua periode,
yang berdasarkan daerah asalnya. Yakni golongan pertama adalah Mamluk Bahari
atau Bahriah yang berkuasa mulai tahun 648–792H/1250–1389M. yang mereka
berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol dan Kurdi. Golongan
kedua adalah Mamluk Burji/Barjiyah yang berkuasa mulai tahun 792-923H/1389–
1517M. mereka berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus.
Mamluk Bahri mereka melaksanakan kudeta bermarkas di kota Benteng
terletak pada sebuah pulau di sungai Nil di depan kota Kairo. Saingan mereka
dalam ketentaraan masa itu adalah tentara berasal dari suku Kurdi. Mamluk Bahri
adalah golongan hamba yang datang Caucasus, di sempadan antara Rusia dengan
Turki oleh Malik as-Saleh, penguasa Dinasti Ayubiyah. Mereka dijadikan
pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaan Malik dengan mendapat hak-
hak istimewa. Malik as-Saleh meninggal dunia pada 1249 M lalu digantikan oleh
puteranya, Turansyah. Bagaimanapun, kaum Mamluk Bahri tidak menyukai
Turansyah dan mereka kemudian merebut kekuasaan dengan membunuh sultan
tersebut. Sejak itu mereka berkuasa dan mendirikan Dinasti Mamluk.15
14
Bakri Samsul, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011),
hal. 162-165.
15
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal. 279.

15
Sultan-sultan Mamluk Bahri yang terkenal adalah Qutuz, Baybars,
Qalawun, dan Nasir Muhammad bin Qalawun adalah Qutuz (Qathaz)
(657H/1258M) dengan bantuan panglima perangnya, Baybars berhasil
mematahkan serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan Ain Jalut
pada tanggal 3 September 1260. Kemenangan ini merupakan balasan terhadap
bangsa Mongol yang sebelumnya menghancurkan Baghdad sebagai pusat khilafah
Islam tahun 1258 H.16 Setelah kemenangan ini, nilai tambah terhadap dinasti
Mamluk adalah bersatunya kembali Mesir dan Syam di bawah naungan Sultan
Mamluk setelah mengalami perpecahan pada masa sultan-sultan keturunan
Salahuddin Al-Ayyubi.
Tidak lama setelah itu, Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang
pemimpin militer yang tangguh dan cerdas yang diangkat oleh pasukannya
menjadi sultan. Ia adalah sultan terbesar dan termasyur diantara 47 sultan
Mamluk. Ia pula dipandang sebagai pembangun dinasti Mamluk. Baybars mampu
berkuasa selama 17 tahun (657–676H/1260–1277 M). Kejayaan yang diraih pada
masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara salib disepanjang laut tengah,
Assasin di pegunungan Siria, Cyrenia. Terlebih lagi prestasi Baybars adalah
menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad
dihancurkan oleh pasukan Mongol.
Pemerintahan Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah. Tidak
begitu banyak yang berarti kerajaan Mamluk di bawah pimpinan Bani Bibaris
adalah Sultan Al-Mansur Qalawun yang telah menyumbangkan jasanya dalam
pengembangan administrasi pemerintah, perluasaan hubungan luar negeri untuk
memperkuat posisi Mesir dan Syam di jalur perdagangan Internasional.
Sultan Mamluk yang memiliki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis
Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad
(696H/1296M). Sultan memegang tampuk pemerintahan selama tiga kali dan
mengalami dua kali turun tahta.
Berakhirnya Mamluk Bahri disebabkan oleh Sultan Shalih Haji bin
Sya’ban (1381–1309) yang masih kecil dan hanya memerintah selama dua tahun.

16
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 237.

16
Setelah itu, diganti oleh sultan lain sampai akhirnya Sultan Barquq menguasai dan
mengakhiri Dinasti Mamluk Bahri.
2. Dinasti Mamluk al-Burji
Setelah berhasil mengulingkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri sultan
Barquq mulai berkuasa yang diawali dengan mulainya masa pemerintahan
Mamluk Burji. Mamluk Burji pula berasal dari Syirkasiah (Turki), dibawa masuk
ke Mesir oleh pemerintah Mamluk ketika itu, Sultan Qalawun (1279-1290).
Sesungguhnya tidak ada perbedaan pemerintahan Mamluk Bahri dan
Burji, baik dari segi status para sultan yang dimerdekakan ataupun dari segi
system pemerintahan yang oligarki. Hal-hal yang membedakan kedua
pemerintahan tersebut adalah suksesi pemerintahan Mamluk Bahri lebih banyak
terjadi dengan turun-temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji suksesi lebih
banyak terjadi karena perang saudara dan huru-hara. Pertentangan ini disebabkan
sistem pendidikan bagi para Mamluk tidak ketat, dan mereka diperbolehkan untuk
tinggal di luar pusat-pusat latihan bersama rakyat biasa.
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh Sultan Al-Nashir Faraj
(801H/1399M–808H/1405M) putera Sultan Barquq. Pada masa itu tampaknya
Timur Lenk mengulang kembali sejarah keberingasan pasukan Mongol pada
zaman Hulagu Khan ketika menguasai wilayah-wilayah tetangganya yang
muslim. Pasukan Mamluk pun menyiapkan diri untuk menghadang serangan
Timur Lenk tersebut. Pada tahun 1401, Aleppo dapat dikuasai oleh pasukan
Timur Lenk dan disusul dengan Damaskus yang menyerah setelah tentara
Mamluk dapat dikalahkan. Kota Damaskus dibumihanguskan, baik sekolah
maupun masjid dibakar.
Sementara itu, dua Sultan Mamluk Burji, yakni Al-Asyraf Baibai (825H-
841H/1422M–1437M) dan Al-Zahir Khusyqadam (865H-872H/1461M–1467M)
masih harus terus mempertahankan wilayahnya dari serangan pasukan Salib di
Kepulauan Cypus dan Rhodos (Laut Aegea, sekarang milik Yunani). Kedua
ekspedisi militer ini berhasil menahan kekuatan kaum Nasrani dan dengan
demikian, pasukan Mamluk kembali membuktikan keunggulannnya untuk dapat
menguasai jalur perdagangan di Laut Tengah.

17
Banyak dari sultan-sultan Mamluk naik tahta pada usia muda. Hal ini
menjadi salah satu faktor melemahnya dinasti Mamluk. Dan juga terjadi
penyerangan pasukan Turki Usmani terhadap wilayah Mamluk yang merupakan
cikal bakal permusuhan antara dinasti Mamluk dan Turki Usmani.
Sultan terakhir dinasti Mamluk Burji adalah Al-Asyraf Tumanbai. Ia
adalah pejuang yang gigih. Namun pada saat itu dia tidak memperoleh dukungan
dari golongan Mamluk sehingga ia harus menghadapi sendiri pasukan Turki
Utsmani yang pada akhirnya Tumanbai ditangkap oleh pasukan Turki Utsmani
dan kemudian digantung disalah satu gerbang di kota Kairo. Sejak itulah
berakhirlah pemerintahan dinasti Mamluk dan dimulainya masa penguasai Turki
Utsmani.17 Bagaimanapun, sejak tampak pemerintahan beralih kepada Mamluk
Burji pada 1382 M, Dinasti Mamluk mulai lemah kerana para sultan Mamluk
Burji tidak memiliki pengetahuan tentang cara mentadbir pemerintahan kecuali
latihan ketenteraan. Kesultanan ini hancur apabila Sultan Salim I dari kerajaan
Uthmaniah di Turki merampas kembali Mesir.
Peradaban Dinasti Mamluk
Dalam bidang ekonomi, Dinasti Mamluk membuka hubungan dagang
dengan Perancis dan Italia melalui perluasaan jalur perdagangan yang dirilis oleh
Dinasti Fatimiah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai
jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo
menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa.
Di samping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang
ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi
antarkota baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamluk sangat
membantu pengembangan perekonomiannya. Dalam bidang ilmu pengetahuan,
Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan
tentara Mongol.
Oleh karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah,
kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat
nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun.

17
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 243.

18
Dibidang astronomi, dikenal nama Nashir Al-Din Al-Tusi, di bidang
matematika, Abu Al-Faraj, Al-Ibry, di bidang kedokteran, Abu Al-Hasan Al-
Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia Abd Al-
Mun’im Al-Dimyati, seorang dokter hewan, dan Al-Razi, perintis psikoterapi.
Dalam bidang opthalmologi dikenal dengan nama Salah Al-Din Ibn Yusuf.
Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan tersohor nama Ibn Taimiyah, seorang
pemikir reformis dalam Islam Al-Suyuthi yang menguasai banyak ilmu
keagamaan, Ibn Hajar Al-Asqalani dalam ilmu hadis, dan lain-lain. Di bidang
arsitektur, banyak arsitek dikirim ke Mesir untuk membangun sekolah, mesjid,
rumah sakit, museum, perpustakaan, vila, kubah, dan menara mesjid.18
Dalam bidang pemerintahan, kemenagan dinasti Mamluk atas Mongol di
‘Ayn Jalut menimbulkan harapan baru bagi daerah sekitar sehingga mereka
meminta perlindungan, menyatakan kesetian kepada dinasti ini sehingga wilayah
dinasti ini bertambah luas.19
Berakhirnya Dinasti Mamluk
Setelah memiliki kemajuan-kemajuan diberbagai bidang, yang tercapai
berkat kepribadian dan wibawa sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang
kuat dan stabilitas negara yang aman dari gangguan.
Namun faktor-faktor tersebut menghilang, dinasti Mamluk sedikit demi
mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang
kemudian dikenal dengan nama Mamluk Burji, yang untuk pertama kalinya
dibawa oleh Qalawun, solidaritas antarsesama militer menurun, terutama setelah
Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah
dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya
di kalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja
rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Di samping itu,
ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa melalui Mesir menurun fungsinya.
Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah
penyakit.

18
Ibid., hal. 245.
19
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 210.

19
Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai
tantangan bagi Mamalik, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri
riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Usmani
dalam pertempuran menentukan di luar kota Kairo tahun 1517 M. Sejak itu
wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu
provinsinya.20

F. Kesimpulan
Dinasti Idrisiyah adalah dinasti kecil pada masa bani Abbasiyah yang
terletak di tepi barat Baghdad. Dinasti Idrisiyah didirikan oleh penganut syi'ah,
yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172H/789 M dengan dukungan kaum barbar.
Keruntuhan dinasti Idrisiyah selain dari faktor internal juga dari faktor ekternal
yaitu terkepung dinasti Idrisiyah di antara Fatimiyah Mesir dan Umayyah
Spanyol.
Dinasti Fathimiyyah merupakan penguasa negara yang besar berpusat
dilembah Nil, Kairo. Kekhalifahan ini berkuasa selama lebih kurang 203 tahun
yaitu sejak tahun 909 sampai tahun 1171 M. Cikal bakal dari kekhalifahan
Fathimiyyah ini adalah Gerakan Bani Fathimiyyah yang berasal dari kelompok
Syi’ah Ismailiyah, mereka mengasingkan diri ke kota Salamah guna
menyelamatkan diri dari pengejaran Bani Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah
Al-Ma'mun. Runtuhnya dinasti ini berawal pada tahun 558 H/1163 M, yang mana
panglima Asasuddin Shirkuh membawa Shalahuddin Al-Ayyubi untuk
menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir. Usahanya berhasil. Khalifah Daulat
Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk
menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besarnya Shawar merasa iri
melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan sembunyi-sembunyi Shawar
pergi ke Baitul Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh
dari Mesir.
Shalahudin Yusuf al-Ayyubi adalah Pendiri Dinasti Ayyubiyah pada tahun
534-643H/1171-1250M yang berdiri di atas sisa-sisa Dinasti Fatimiyah di Mesir

20
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 128.

20
yang bercorak Syi’i dan ia ingin mengembalikannya ke faham sunni Ahlu Sunnah
wal Jama’ah. Shalahudin mengadakan serangan ke Mesir untuk segera mengambil
alih Mesir dari kekuasaan Fatimiyah yang jelas tidak akan mampu
mempertahankan diri dari serangan Tentara Salib. Dinasti Ayyubiyah mencapai
kemajuan yang gemilang mencakup di berbagai bidang, yaitu: bidang arsitektur
dan pendidikan, bidang filsafat dan keilmuan, bidang industri, perdagangan, dan
militer. Keruntuhan Dinasti Ayyubiyah ditandai oleh pertentangan-pertentangan
yang terjadi di kalangan intern. Pada tahun 1250 M keluarga Ayyubiyah
diruntuhkan oleh sebuah pemberontakan salah satu resimen budaknya.
Kerajaan Mamluk di Mesir sebenarnya terbagi menjadi dua periode, yang
berdasarkan daerah asalnya. Yakni golongan pertama adalah Mamluk
Bahari/Bahriah yang berkuasa mulai tahun 648–792H/1250–1389M yang mereka
berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol dan Kurdi. Golongan
kedua adalah Mamluk Burji/ Barjiyah yang berkuasa mulai tahun 792–
923H/1389–1517M. Mereka berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus
Faktor yang mempengaruhi hancurnya Dinasti Mamluk yaitu banyaknya
penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidk menyukai ilmu
pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berpoya-poya dikalangan penguasa
menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya kerja rakyat menurun dan
perekonomian Negara tidak stabil. Di pihak lain suatu kekuatan politik baru yang
muncul sebagai tantangan Mamalik yaitu kerajaan Utsmani. Yang pada akhirnya
Dinasti Mamluk dapat dilumpuhkan oleh Kerajaan Utsmani. Maka berakhirlah
kekuasaan Dinasti Mamluk.
Jadi, dinasti-dinasti tersebut mengalami kemajuan dan kemunduran juga
mengalami pergantian pemimpin.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ameer. 1981. Short History of the Saracen. New Delhi: Kitab Bavham.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah

21
Samsul, Bakri. 2011. Peta Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta: Fajar Media
Press.
Sulasman dan Suparman. 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa. Bandung:
Pustaka Setia.
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Syalabi. 2000. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: Al-Husna Zikra.

PERTANYAAN
1. Mengapa Idris bin Abdullah memberontak Abbasiyah? (Candra)
2. Mengapa Mamluk Bahri tidak suka dengan Turansyah? (Asri)
3. Tindakan kejam apasaja yang dilakukan para wazir? (Rani)

22
4. Apa penyebab Fatimiyah moderat penuh perhatian terhadap urusan agama non
muslim? Dan mengapa Az-Zahir mendapatkan izin dari Konstantin VIII agar
namanya disebut-sebut di masjid? (Putri)
5. Hak-hak istimewa apa sajakah yang dilakukan Malik as-Saleh menjadikan
pengawal kepada kaum Mamluk Bahri? (Ridhani)
6. Mengapa Al-Afzal berkuasa selama 20 tahun? Kenapa lama sekali? Apa yang
melatarbelakanginya? Dan mengapa Az-Zahir disebut raja boneka? (Septiana)

23

Anda mungkin juga menyukai