Siapa dia?
Ia Bernama lengkap Idris bin Abdullah bin Hasan bin Ali, juga dikenal sebagai “Idris
yang tua” (Arab: Idris Al-Akbar)[1]. Garis keturunannya menyambung sampai Hasan bin Ali,
yang merupakan putra dari Fatimah dan cucu dari Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan
pewaris Bani Abbasiyah dan dianggap sebagai pendiri Dinasti Idrissiyah yang nantinya akan
menjadi tonggak awal berdirinya Kerajaan Maroko, seperti yang kita ketahui saat ini.
Penyebutan “Moulay” di depan namanya, merupakan istilah yang digunakan orang-orang
Maghribul Aqsha untuk memuliakan keturunan Nabi SAW. Nah, disertai dengan berlalunya
waktu, gelar syarif dikhususkan untuk anak keturunan Ali dan Fatimah dari anak cucu Hassan
dan Hussein. Kadang, keturunan Hussain disebut dengan “Sayyid” dan keturunan Hassan
disebut dengan “Syarif”. Orang-orang Maroko menyebut Syarif dengan “Moulay”. Unsur
yang suci ini dibarengi penyebutannya dengan shalawat kepada Nabi SAW. Sebagaimana
shalawat adalah kebanggaan abadi umat Islam, yakni penghormatan yang berkaitan dengan
syafaat yang diharapkan dari kakek mereka, Nabi terpilih Muhammad SAW[2].
Idrissyiyah sepeninggalnya
Setelah ayahnya terbunuh, Idris II dibesarkan oleh suku ibunya, Awraba. Mereka
meninggalkan Walila, Volubillis, menuju Fes. Disana Idris II mendapat Pendidikan terbaik.
Kecerdasannya mengingatkan kita pada Ibnu Sina, seorang ilmuwan muslim yang hampir
menguasai semua bidang ilmu pengetahuan. Ia mengerti dan menghafal isi Al-Quran pada
umur 8 tahun.
Dua puluh tahun setelahnya, Idris II membangun Kembali kota Fes. Dari sana ia
mengajarkan islam dan mendirikan kembali Dinasti Idrissiyah dibawah konsep ketauhidan
Islam. Meskipun Idris mempunyai simpati Syi’ah, negara yang didirikan putranya, Idris II
adalah Sunni dalam hal doktrin agama. Referensi yang ditemukan belakangan mengungkap
bahwa, Idris II adalah pendakwah di negeri Maroko sejak tidak kurang dari seperempat abad
dari pelariannya. Oleh karena itu, ia tahu tentang medan dakwah nya dan kecenderungan-
kecenderungannya untuk menerima pemimpin dari kalangan Ahlul Bait (keluarga rasul).
Ketika beliau kembali untuk membangun rezim Idrisiah, rakyat Maroko menemukan bahwa
para syarif adalah jalan keluar politik yang paling ideal bagi krisis keagamaan-sosial mereka.
Dengan membaiat Idris II, mereka mengembalikan ikatan dengan pokok kekhalifahan.
Namun, kali ini ikatan tersebut dengan pilihan mereka, karena Idris II bukanlah penakluk dan
agresor. Pilihan di seputar cabang keturunan nabi ini memberikan mereka kesempatan untuk
menanamkan benih spiritualitas yang berkembang pada fenomena sufi di kemudian hari[2].
Idris II sukses menjadikan Maroko sebagai salah satu pusat Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan Islam. Pada masa kekuasaan Idris II inilah Dinasti Idrissid melepaskan diri dari
Dinasti Abbasiyah. Idris II meninggal dunia pada usia 35 tahun pada tahun 828 M. Dinasti ini
berakhir pada 974 M. Pasca wafatnya Idris II, para penerusnya kebanyakan melemah, kecuali
Yahya bin Muhammad dan Yahya IV.
Bahkan dibawah kekuasaan Yahya IV ini Dinasti Idrissid mencapai puncak kejayaannya.
Lalu setelah Dinasti Idrissid tumbang, Bangsa Arab mulai kehilangan pengaruh politiknya di
Maroko. Dinasti Fathimiyah memanfaatkan kondisi tersebut di atas. Dinasti yang berbasis di
Kairo, Mesir itu, berhasil mengambil alih kekuasaan hingga 1171 M[5].
Referensi
1.^ DPpedia. (2001). Idris I of Morocco. 1(1).
2.^ Dedi Wahyudin. (2023). Panorama Pemikiran Islam Ulama Maroko. Lombok Barat. Alfa Press
Creative.
3.^ Purbiah Permatasari. (2015, 17 Maret). Moulay Idris, Kota Kelahiran Maroko. Diakses pada 9
maret 2024. Dari https://seberanglosari.wordpress.com/2015/03/17/moulay-idris-kota-kelahiran-
maroko/2/.
4.^ )39(12.)39(10 . المختصرفي تاريخ المغرب.)2020( . يوسف بوستي.
5.^ Noah Tesch. (2016). Dynasty Idrisyd : history of North Africa. Britannica.
6.^ Zulkifli. (2013). Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Syi’ah. Jurnal Khatulistiwa-Journal of
Islamic Studies. Volume 3.(2).