Anda di halaman 1dari 7

Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi Lahir pada tahun 532 H di benteng Tikrit, lalu dibesarkan di Mosul dan Baalbak.

Shalahuddin adalah gelarnya, sedangkan al-Ayyubi nisbah keluarganya. Adapun nama sebenarnya ialah Yusuf bin Najmuddin. Ia tumbuh dibawah asuhan ayahnya sendiri Najmuddin Ayyub dan pamannya Asasuddin Syirkuh yg merupakan panglima tertinggi pasukan Sultan Nuruddin Zanki, penguasa Damaskus (Syiria) pd waktu itu. Masa2 sebelum kelahiran pahlawan kita tercinta, Khilafah Abbasiyah masih berdiri tegak, dg berpusat di Baghdad. Akan tetapi wilayahnya terusa berkurang dg banyaknya daerah2 yg melepaskan diri dan membentuk negara (kesultanan) baru akibat rasa kecewa dan mosi tidak percaya terhadap khalifah yg berkuasa..Salah satunya adalah Kesultanan Zanki, dg Imaduddin Zanki (ayah Nuruddin) sebagai pendiri. Sementara itu, dinasti Fathimiyyah yg beraliran syiah juga sedang menancapkan kekuasaan penuh di bumi Mesir, terus berupaya untuk menggoyang kekuasaan khalifah di Baghdad dan menyebarkan pahamnya yg tentu saja bertentangan dg aqidah ahlussunnah. Kaum muslimin terpecah belah. Padahal Pasukan Salib semakin agresif melancarkan misinya melebarkan sayap ke bumi Islam. Sampai puncaknya, tahun 491 H/1098 M mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kita!!! Terjadilah tragedi luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Kaum kafir Kristen itu telah menyembelih penduduk awam Islam lelaki, perempuan dan kanak-kanak dengan sangat ganasnya. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang enggan bergabung dengan kaum Salib. Keganasan kaum Salib Kristen yang sangat melampaui batas itu telah dikutuk dan diceritakan oleh para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit. Inilah akibatnya, ketika mayoritas masyarakat Muslim terlena dg perselisihan dan pertikaian antar mereka sendiri. Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.merupakan tokoh2 yg amat gigih memperjuangkan persatuan Islam, membebaskan tanah suci terjajah, dan berusaha memulai kembali ekspansi Islam. Merekalah yg menjadi sumber inspirasi, bagi Shalahuddin Al Ayyubi. Rencana Sultan Nuruddin mempersatukan wilayah2 Islam untuk kemudian bersama melawan pasukan Salib dimulai dg penaklukan Mesir. Menghadapi kaum syiah disana, beliau kemudian mengirim sejumlah dai dan ulama ke Mesir untuk menyatukan persepsi lapisan masyarakat bawah untuk bersiap menerima kedatangan pasukan yg membawa bendera persatuan Islam. Para dai dan ulama ini (Ibnu Naja, al Khabusyani, dll)-lah yg kemudian menyebarkan ajaran2 Islam yg benar di sana dan mengecam para pemimpin dinasti Fathimiyyah, mengecap mereka sbg zindiq yang tidak lepas dari pengaruh Yahudi.

Pada tahun 562 H/1167 M barulah pasukan dari Damaskus yg dipimpin oleh Panglima Asasuddin Syirukh dan keponakannya, Shalahuddin al Ayyubi memsauki wilayah Mesir. Bersamaan dg itu Pasukan Salib Eropa juga telah mendarat di bagian wilayah Mesir lainnya. Terjadilah beberapa pertarungan sengit. Akhirnya Mesir berhasil ditaklukan dengan terbunuhnya Perdana Menteri saat itu, Syawur, yg bersekutu dg Pasukan Salib. Tahun 1169 M Asasuddin Syirukh diangkat oleh Khalifah Adhid Lidinillah (dinasti Fathimiyyah) sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Sayangnya, dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Shalahuddin ditunjuk sebagai penggatinya. Walaupun berada di bawah khliafah Fathimiyyah,tetap saja sejatinya Shalahuddin masih merupakan kepanjangan tangan dari Sultan Nuruddin di Damaskus. Dan ketika Khalifah Adhid wafat, setelah mengalami sakit berkepanjangan, resmilah Shalahuddin menjadi penguasa negeri Mesir. Ia menjadi pemimpin bijak yg amat dicintai rakyatnya. Kehidupan Shlahahuddin di Mesir amat kental dg nuansa religius. Shalahuddin berguru pada ulama2 besar, yg paling populer adalah Quthbuddin an Naisaburi, yg mengarang buku Aqidat al Islam sebagai pegangan dirinya dan anak2nya. Ia sendiri merupakan ahli fiqih. Mempelajari fiqih mazhab Syafii dan hadis dari Abu Thahir as Silafi dan ulama lainnya.Ada yg menyatakan bahwa Shalahuddin hafal Al Quran, kitab at Tanbih dalam bidang fiqih dan al Hamasah dalam bidang puisi. Ia juga bersikap zuhud dan selalu mementingkan rakyatnya. Ini adalah hal yg amat luar biasa mengingat masa muda-nya yang bukan hanya jauh dari nilai2 Islam, tapi juga penuh hura-hura khas anak muda. Titik tolak perubahan kepribadian seorang Shalahuddin dimulai saat ia bergabung dengan pasukan pamannya, yg juga disebut sbg Muaskar Aqidy (pasukan yg mengusung nilai2 luhur aqidah Islam). Disinilah kemudian Shalahuddin menyadari dan memahami Islam yg sebenarnya. Mulai saat itu pemikiran2 pamannya juga Sultan Nuruddin tentang persatuan Islam merasuki dirinya. Ia beratubat dan meninggalkan gaya hidup bergelimang kenikmatan untuk kehidupan yg lebih serius dan sungguh2. Dan ia tetap konsisten dg jalan hidup baru yg dipilihnya hingga akhir hayatnya. Jihad fi Sabilillah, selalu memnuhi benaknya. Atas dasar persatuan Islam pula-lah, Shalahuddin melenyapkan sisa2 kekuatan dinasti Fathimiyyah, serta pengikutnya yg beraliran syiah. Al Azhar, pada saat itu dikenal sebagai pusat studi ilmu2 syiah, ditutup selama 17 tahun. Mahasiswanya dipulangkan. Dosen lama diganti dg dosen2 baru beraliran sunni yg ditangkan dari berbagai penjuru bumi Islam. Jadilah Al Azhar sebagaimana yg kita kenal sekarang, universitas Islam terbesar di dunia. Ekspansi kaum Muslimin (via pasukan Nuruddin) terus berlanjut, berhasil merebut kembali 50 kota dari tangan Pasukan Salib.Target selanjutnya : Baitul Maqdis. Sayang, ajal terlebih dulu menjemput sang Sultan pada thn 569 H/1174 M. Shalahuddin al Ayyubi bertekad mewujudkan impian pendahulunya.

Pengganti Nuruddin di Syiria, Malik ash-Shaleh, masih berusia 11 tahun. Sebagai seorang bocah, ia amat mudah dipengaruhi orang2 disekelilingnya. Atas saran Gumushtagin, ia mundur dari Damaskus menuju Aleppo. Ini membuat Pasukan Salib (Perancis) berhasil menduduki Damaskus dg amat mudah tanpa perlawanan. Rakyat geram dibuatnya. Begitu juga Shalahuddin al-Ayyubi, yang kemudian segera berangkat ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu. Ketika Malik ash-Shaleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, Shalahuddin kemudian menyatukan Mesir dan Syiria dan mendirikan dinasti baru, Al Ayyubi. Tidak lama kemudian, Shalahuddin dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam daerah kekuasaannya. Negara di Afirka yang telah diduduki oleh laskar Salib dari Normandy, juga telah dapat direbutnya dalam waktu yang singkat. Dengan ini, cukuplah modal yg dibutuhkan untuk merebut kembali Baitul Maqdis yg telah lama dikuasai Pasukan Salib. Singkat cerita --toh dah banyak yg nyeritain ttg ini, dan pasti dah banyak pula yg hafal ^_^ -- tahun 1193 M kaum Muslimin berhasil memasuki Al Quds tanpa pertumpahan darah yg berarti, layaknya dahulu Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. ketika menjejakkan kaki di bumi Palestine. Shalat Jumat pertama di masjid Al Aqsha, masjid begitu sesak dg kaum muslimin yg tak kuat menahan cucuran air mata tumpahan rasa haru. Shalahuddin meminta Ibn az Zaki asy Syafii untukmenyampaikan khutbah Jumat. Dimulai dg mengutip firman Alloh swt: Maka orang2 yg zalim itu dimusnahkan sampai ke akar2nya. Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al Anam : 45). Disertai pula dg gambaran berbagai keistimewaan Baitul Maqdis : Kiblat yang pertama, masjid kedua, tanah suci ketiga. Tempat penghimpunan (mahsyar) dan pemisahan (mansyar) seluruh manusia di hari kiamat. Tempat tinggal para nabi dan tujuan para wali. Tetapi sayang, Shalahuddin al Ayyubi tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Kondisi fisiknya terus melemah dan mengalami komplikasi berbagai macam penyakit, hingga akhirnya meninggal pada tahun 589 H/ 1194 M dan dimakamkan di sebelah makam Nuruddin Zanki.Hingga wafatnya, ia tidak pernah termasuk orang yg wajib berzakat karena sekian banyak sedekah telah menguras habis sluruh kekayaannya. Hari itu merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin demikian tulis seorang penulis Islam.

Pembentukan dan Perkembangan Dinasti al-Ayyubiyah.. Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr, dan Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan Ima-duddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo, Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512H/ 1118 M-522H/1128M). Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia meninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang menguasai utara Syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara Salib, dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. Dalam perkembangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas kekuasaannya, yang membentang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepemimpinan keluarga Imaduddin Zangi jatuh ketangan anaknya, Ismail. Tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama Bahruz yang hidup di sebuah kota di Azerbaijan, dan kemudian berpindah ke Irak untuk bekerja kepada Sultan Seljuk, Masud bin Giyatuddin. Bahruz diberikan kekuasaan sebagai gubernur di wilayah Baghdad, dan diberikan iqta di kota Takrit. Dalam mengelola iqta di kota itu, ia di bantu oleh seorang Kurdi yang bernama Syadi dan dua anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ketika meninggal, Syadi digantikan oleh Najmuddin sebagai gubernur di Takrit. Di kota inilah Salahuddin lahir dari ayahnya, Najmuddin. Pengaruh Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imaduddin Zangi, yang membantu Sultan Masud dalam mengahadapi khalifah Abbasiyah, al-Mustarsid. Ketika perlawanan itu gagal, Imaduddin mundur ke Tarkit. Di kota inilah ia mendapat dukungan dari Najmuddin. Dalam aliansinya dengan kekuasaan Imaduddin, Najmuddin berhasil memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk menjadi penguasa Baalabek. Ketika Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan dikalangan keluarganya untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin, salah seorang putra Imaduddin, bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di samping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara Salib. Karena itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin menyerang Mesir pada tahun 559H/1163M. Serangan ini berakhir dengan kegagalan akibat campur tangan tentara Salib. Serangan kedua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H/1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir. Meskipun demikian, serangan ke tiga dilaksanakan pada atahun 564H/1168 M

sebagai jawaban atas permintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Kemenangan atas tentara Salib dalam pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin sebagai wazir bagi khalifah Fatimiyah. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan penagkuan Salahuddin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syiah dengan Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Salahuddin mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa setempat sebagai pemimpinnya. Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahuddin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. Dalam peperangan ini, pasukan Perancis dapat dikalakan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktber 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema kembali di Mesjid Yerussalem. Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk menakkan kota-kota lainya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada taun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib. Setelah perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup dalam keadaan damai.Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun. Dalam catatan sejarah, Salahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan, seta mendirikan seklah dan masjid. Salah satu karya yang sangat monumental adalah Qalah al-Jabal, sebuah benteng yang

dibangun di Kairo pada tahun 1183. Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya. Setelah Salahuddin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya yang terbentang dari sungai Tigris hingga sungai Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al-Malik alAfdhal Ali, putera Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab), dan al-Adil, adik Salahuddin, memperoleh kekuasaan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-Adil yeng bergelar Saifuddin itu mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah. Kemudian al-Kamil Muhammad, putera alAdil, yang menguasai Mesir (615 635 H/12181238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayahnya.Tentara Salib memang ampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan Italia.penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguaai jalur peragangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Sali untuk meningalkan Dimyati. Di samping memberikan perhatian seius pada dalam bidang politikdan mliter, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya ang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Erpa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antra umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik. Pada masa it kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah ada tahun 12401249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nl ditaklukan kembali oleh tentara alib ang dipimpin oleh Raja Louis IX ari Perancis. Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalakan oleh pasukan

Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan sebagai bahan tebusan. Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia (Sutiah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghidari kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para Mamluk, amba sahaya yang dimiliki tuannya, yan tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun uransyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyataka dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedauoatan atau kekuasaan yang riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ). Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, beakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke pmerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M)

Anda mungkin juga menyukai