Anda di halaman 1dari 2

SEJARAH BERDIRINYA DINASTI AYYUBIYAH

Ayyubiyah dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadi dari suku Rawadiyah
yang beretnis Kurdi. Najmuddin Ayub adalah saudara Asasuddin Syirkuh. Meskipun
demikan, Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi pada tahun 1171 M
setelah menaklukkan al Adiid (1160-1171 M), khalifah terakhir Bani Fatimiyah.
Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Tikrit, Irak, pada tahun 532
H (1136 M). Sebagaimana ayahnya yang menjadi pejabat bagi Imaduddin pada masa
Dinasti Zanki, Salahuddin juga mengikuti jejak ayahnya bersama pamannya Asaduddin
Syirkuh untuk mengabdi pada Nuruddin Zanki. Keluarga Salahuddin berjasa besar pada
keberhasilan Nuruddin dalam menggabungkan Damaskus ke wilayahnya. Pada saat
Syawar, wazir bagi Khalifah al-Adid dari Dinasti Fatimiyah memohon bantuan kepada
Nuruddin agar dapat menduduki jabatan wazir, maka Nuruddin mengirimkan Syirkuh dan
Salahuddin ke Mesir. Misi berhasil dilaksanakan dan bahkan Syirkuh kemudian
menggantikan Syawar sebagai wazir. Tapi, tidak seberapa lama, Syirkuh juga meninggal.
Sehingga, jabatan wazir diserahkan kepada Salahuddin.
Salahudin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan
Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup
sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir
mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam
beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk
posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki
kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah Al-Adid yang
dinilai sebagai khalifah yang lemah.
Setelah al Adid wafat pada tahun 1171 M, kekuasaan Bani Fatimiyah dianggap
selesai. Salahuddin kemudian diangkat menjadi penguasa (Imam) mesir dengan status
sebagai wakil pemerintah Saljuk di Mesir. Setelah kematian Nuruddin Zanki pada tahun
1174 M, barulah Salahuddin Al Ayyubi mengumumkan berdirinya Dinasti Ayyubiyah di
Mesir sebagai pengganti Dinasti Fathimiyah yang sudah dihapuskan.
Selanjutnya, Salahuddin mulai menegakkan kekuasaannya di Mesir. Semua tampak
berlangsung dengan mudah, sebab ketika Salahuddin tiba di Mesir, semua rakyat merasa
mempunyai harapan besar kepadanya karena selama ini mereka merasa selalu dizalimi
para pemimpin sebelumnya. Karena itulah, kecintaan masyarakat Mesir begitu besar
kepadanya.
Secara umum, dunia Islam pada waktu itu sedang disibukkan dengan Perang Salib.
Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah serta berbagai dinasti yang terpisah dihadapkan pada satu
musuh bersama (common enemy) yaitu kekuatan Kristen Eropa. Tidak mengherankan,
nama Salahuddin al Ayyubi sangat dikenal di dunia Islam dan di negeri-negeri Eropa.
Dengan tegaknya Dinasti Ayyubiyyah, menandakan pengaruh Syiah berakhir dan
berganti dengan Sunni. Dengan ini, seluruh kelompok Sunni, termasuk yang ortodoks turut
mendukung segala langkahnya dalam menyatukan seluruh kekuatan Islam di bawah
kendali satu kekuasaan. Ia menyadari bahwa situasi sulit sedang dihadapi umat Islam.
Sebagaimana Nuruddin Zanki berupaya menyatukan dan menjalin hubungan dengan
dinasti-dinasti kecil untuk melawan kekuatan Salib, maka Salahauddin pun melakukan hal
yang sama. Di awal pemerintahannya, ia menyerang dinasti-dinasti kecil di sekitarnya
untuk kemudian diajak bergabung melawan tentara Salib.
Awalnya, ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, Dinasti Abbasiyah kembali tegak.
Khalifah Al Musthadi dari Abbasiyah meminta Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menjadi
pemimpin pasukan. Tetapi ia memilih menjadi sultan di Mesir dan mengakui kekuasaan
Bani Abbasiyah di Baghdad. Hal ini menunjukkan kesadaran Salahuddin akan pentingnya
kesatuan dalam menghadapi perang Salib. Ia menghindari konflik dengan Nuruddin Zanki
dan tetap menghormati posisi Khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai simbol pemersatu
umat Islam.
Sejak 1775 M Khalifah al-Mustadi dari Abbasiyah memberikan beberapa daerah
seperti Yaman, Palestina, Suriah Tengah, dan Magribi kepada Salahuddin. Dengan
demikian, ia pun mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah sebagai penguasa muslim
di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah

Anda mungkin juga menyukai