Anda di halaman 1dari 10

Dinasti al-Ayyubiyah

DINASTI AL-AYYUBIYAH: Pembentukan, Pertumbuhan dan Perkembangan

A. Pembentukan dan Perkembangan Dinasti al-Ayyubiyah.. Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr, dan Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan Ima-duddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo, Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512H/ 1118 M-522H/1128M). Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia meninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang menguasai utara Syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara Salib, dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. Dalam perkembangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas kekuasaannya, yang membentang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepemimpinan keluarga Imaduddin Zangi jatuh ketangan anaknya, Ismail. Tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama Bahruz yang hidup di sebuah kota di Azerbaijan, dan kemudian berpindah ke Irak untuk bekerja kepada Sultan Seljuk, Masud bin Giyatuddin. Bahruz diberikan kekuasaan sebagai gubernur di wilayah Baghdad, dan diberikan iqta di kota Takrit. Dalam mengelola iqta di kota itu, ia di bantu oleh seorang Kurdi yang bernama Syadi dan dua anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ketika meninggal, Syadi digantikan oleh Najmuddin sebagai gubernur di Takrit. Di kota inilah Salahuddin lahir dari ayahnya, Najmuddin. Pengaruh Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imaduddin Zangi, yang membantu Sultan Masud dalam mengahadapi khalifah Abbasiyah, al-Mustarsid. Ketika perlawanan itu gagal, Imaduddin mundur ke Tarkit. Di kota inilah ia mendapat dukungan dari Najmuddin. Dalam aliansinya dengan kekuasaan Imaduddin, Najmuddin berhasil memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk menjadi penguasa Baalabek. Ketika Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan dikalangan keluarganya untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin, salah seorang putra Imaduddin, bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di samping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara Salib. Karena itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin menyerang Mesir pada tahun 559H/1163M. Serangan ini berakhir dengan kegagalan akibat campur tangan tentara Salib. Serangan kedua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H/1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir. Meskipun demikian, serangan ke tiga dilaksanakan pada atahun 564H/1168 M sebagai jawaban atas permintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Ke-menangan atas tentara Salib dalam pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin sebagai wazir bagi khalifah Fatimiyah. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan penagkuan Salahuddin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syiah dengan Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Salahuddin mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para

penguasa setempat sebagai pemimpinnya. Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahuddin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. Dalam peperangan ini, pasukan Perancis dapat dikalakan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktber 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema kembali di Mesjid Yerussalem. Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk menakkan kota-kota lainya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada taun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib. Setelah perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup dalam keadaan damai.Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun. Dalam catatan sejarah, Salahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan, seta mendirikan seklah dan masjid. Salah satu karya yang sangat monumental adalah Qalah al-Jabal, sebuah benteng yang dibangun di Kairo pada tahun 1183. Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya. Setelah Salahuddin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya yang terbentang dari sungai Tigris hingga sungai Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al-Malik al-Afdhal Ali, putera Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab), dan al-Adil, adik Salahuddin, memperoleh kekuasaan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-Adil yeng bergelar Saifuddin itu mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah. Kemudian al-Kamil Muhammad, putera alAdil, yang menguasai Mesir (615 635 H/12181238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayahnya.Tentara Salib memang ampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan Italia.penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguaai jalur peragangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Sali untuk meningalkan Dimyati. Di samping memberikan perhatian seius pada dalam bidang politikdan mliter, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya ang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Erpa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antra umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para

pemimpin Koptik. Pada masa it kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah ada tahun 12401249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nl ditaklukan kembali oleh tentara alib ang dipimpin oleh Raja Louis IX ari Perancis. Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalakan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan sebagai bahan tebusan. Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia (Sutiah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghidari kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para Mamluk, amba sahaya yang dimiliki tuannya, yan tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun uransyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyataka dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedauoatan atau kekuasaan yang riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ). Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, beakhirlah masa pemerintahan dinasti alAyubiyah, dan kekuasaan beralih ke pmerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M) B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan al-Azhar Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima dinasti Fatimiyah bernama Jauhar al-Katib al-Siqili pada tahun 970 M. atas perintah khalifah al-Muiz Lidin illah, sebagai tempat ibadah (masjid) yang sekaligus tempat melakukan propaganda ajaran Syiah dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam. Sebelumnya, masjid al-Azhar bernama masjid al-Qahirah atau al-Jami al Qahirah, yang di zaman modern ini dikenal dengan al-Azhar. Pembangunan masjid ini di mulai pada tanggal 4 April 970M/24 Jumadi al-Ula tahun 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361H/22 Juni 972 M. dan pada tanggal itu pula diresmikan sebagai masjid yang dapat dipergunakan sebagai tempat peribadatan. Bentuk peresmian itu ditandai dengan pelaksanaan shalat Jumat bersama. Luas bangunan masjid ini menurut perkiraan para sejarawan sekitar 6356 kaki. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa masjid al-Qahirah dalam perjalanan sejarahnya berubah nama menjadi masjid al-Azhar. Menurut sebahagian para ahli, seperti Saniyah Quraah mengatakan bahwa penamaan tersebut berawal dari usulan Yakub Ibn Killis, seorang wazir khalifah al-Aziz billah, untuk merubah nama masjid tersebut. Penamaan yang diusulkan itu dinisbatkan dengan nama istana khalifah, al-Qhusur al-Zahirah, atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah al-Zahrah. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkan dengan nama sebuah planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Penamaan tersebut jelas mempunyai maksud tertentu yang diingini para pendiri dan pelindung masjid al-Azhar. Diharapkan masjid ini membawa sinar terang dan kejayaan umat Islam yang dapat menyinari dunia. Harapan itu dapat disaksikan dalam perjalaana sejarah masjid ini saat fungsinya digandakan, tidak lagi hanya sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syiah, tetapi berfungsi pula sebagai Madrasah Tinggi di Kairo, Mesir. Setelah al-Azhar resmi menjadi masjid negara, kegiatan ilmiah pertama kali dilakukan ketika para ilmuan yang terdiri dari para Fuqoha terkenal dan pejabat pemerintahan Fatimiyah berkumpul di al-Azhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) yang disampaikan oleh Abu al-Hasan Numan Ibn Muhammad al-Qirawaniy yang bergelar Hakim Agung (Qadi al-Qudat) dinasti Fatimiyah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober 975M/Shafar 365H. Dalam acara stadium generalle itu, al-Qirawaniy menguraikan tentang prinsip-prinsip fiqh

Syiah yang terdapat di dalam kitab al-Ikhtishar. Kitab ini berisikan propaganda Syiah, tujuan dan sasarannya. Kegiatan kuliah umum ini merupakan awal proses terbentuknya Kuttab (tempat belajar) dan Halaqah (lingkaran study) di al-Azhar. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, al-Azhar terus difungsikan sebagai pusat kegiatan belajar, baik di Halaqah atau di Kuttab yang berada di al-Azhar itu. Para peng-ajarnya berasal dari Bani Numan yang mengajar di tempat tersebut sampai tahun 369M/979M, saat Halaqah itu berubah menjadi sebuah lembaga Tinggi yang memiliki sistem pendidikan tinggi, ketika Yakub ibn Killis menjadi wazir dan memimpin lembaga tersebut. Hal itu terjadi setelah Ibn Killis memberikan ceramah umum yang dihadiri oleh para ulama dan umara. Dalam kesempatan itu Ibn Killis melihat ada keseriusan mereka untuk terus mengkaji bidang-bidang ilmu seperti fiqh, sastra dan sebagainya. Untuk itu, Ibn Killis tahun 988 M/378H, memohon kepada khalifah alAziz bi Allah untuk memperhatikan 37 orang faqih yang melakukan kajian ilmiah di al-Azhar setelah shalat jumat hingga datang waktu ashar. Atas permintaan itu, al-Aziz membuatkan mereka tempat tinggal dekat al-Azhar. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, Yakub Ibn Killis memberikan sebagian uangnya untuk mereka. Para fuqoha ini merupakan guru-guru pertama yang mengajar di al-Azhar. Sejak saat itulah alAzhar tampak kelihatan karakteristikya sebagai sebuah lembaga ilmiah sebenarnya, yang memiliki cirri akademis. Hal itu semua terjadi karena perhatian serius dari khalifah al-Aziz dan wazirnya Ibn Killis, yang selalu memperhatikan kehidupan ilmu dan ilmuan. Peristiwa ini dinilai Hasan Langgulung sebagai suatu tindakan yang tepat dan bijaksana, karena tindakan itu merupakan bukti kepedulian penguasa terhadap perkembangan al-Azhar untuk menemukan ciriciri akademik dan ilmiah dengan sistem belajar klasikal secara umum dan metode diskusi, dan ini merupakan awal dari timbulnya sistem pendidikan tinggi di al-Azhar. Dengan demikian, al-Azhar dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubahan-perubahan sangat penting bagi pertumbuhan ilmu dan kemajuan hasil yang dicapainya, saat masjid itu mengalami penambahan fungsi, dari hanya sekedar tempat ibadah dan pusat propaganda ajaran Syiah, menjadi sebuah lembaga atau madrasah tinggi dengan sistem baru. Peristiwa itu terjadi pada masa kepemimpinan khalifah al-Aziz billah dan wazir Yakub Ibn Killis tahun 988M/399H. Kedatangan para ulama dan pencari ilmu untuk belajar di al-Azhar, karena tertarik dengan sistem yang digunakan Ibn Killis. Literatur yang dijadikan bahan kajian adalah kitab al-Iktishar, karya Abu Numan, yang berisi tentang doktrin dan propaganda Syiah. Kitab Daaim al-Islam fi alHakak wa al-Haram, karya Abu Numan dan Kitab al-Risalah al-Waziriah, karya Ibn Killis. Dua kitab yang disebut belakangan merupakan kitab yang menjadi bahan rujukan utama pada masa khalifah al-Zahir. Mereka yang memperlajari dan mengahapal kitab tersebut, di jamin biaya hidupnya oleh Khalifah. Kelompok-kelompok studi yang terdapat di al-Azhar pada masa dinasti Fathimiyah, menurut Dodge ada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang terdiri dari murid yang semata-mata mendengar, membaca dan menjelaskan al-Quran. Kedua, mereka yang duduk melingkar mengelilingi guru, dan guru duduk di lantai. Guru itu mendiktekan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan murid-murid (al-Mujawirin) mengenai pelajaran yang diberikan. Ketiga, kelompok yang sudah dianggap mampu untuk menjadi tenaga pengajar dan menjadi propagandis-propagandis. Hubungan antara guru dengan murid, terjalin begitu akrab. Guru sangat dihormati dan dimuliakan, tidak hanya oleh para murid, juga dihormati penguasa, karena kedudukan dan peranannya sebagai ilmuan. Oleh karena itu mereka sering disebut sebagai al-Janib al Syarif, alImami, al-Alimi, Umdat al-Muhaqqiqien, dan Facr al-Mudarrisin. Sebagai penghargaan khalifah Fatimiyah kepada para guru al-Azhar, mereka mendapat tunjangan rutin dari pemerintah, begitu juga para murid yang belajar di sana. Sistem ini berlangsung hingga pada masa al-Hafidz. Pada masa kekuasaan khalifah al-Hafidz li Dinillah (1130-1149M), al-Azhar mengalami pengembangan fisik. Pada masanya di bangun Maqsurat Fatimah (Serambi Fatimah). Akan tetapi, pada waktu al-Adid berkuasa (1160-1171 M), terjadi konflik intern. Syirkuh, salah seorang menteri yang ambisius yang bekerjasama dengan

Salahuddin al-Ayyubi, bersama-sama berusaha mengendalikan keadaan pemerintahan. Akan tetapi setelah al-Adid meninggal dunia, terjadi masa kekosongan kekuasaan (Vacum of Power). Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Salahuddin al-Ayyubi untuk mengambil kekuasaan. C. Al-Azhar Pada Masa Pemerintahan Dinasti al-Ayyubiyah. Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Salahuddin al-Ayyubi meng-hapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi ke Baghdad, yang Sunni. Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Salahuddin berkuas, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jumat dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syiah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni. Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafii. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jumat di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafii tidak boleh ada dua khutbah Jumat dalam satu kota yang sama. Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jumat dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Salahuddin berkuasa sampai khutbah Jumat dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir. Meskipun begitu, pentupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-Iz, al-Kulliyat al-Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat alFadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya. Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut. Keadaan demikain tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik alAziz Imaduddin Usman, putra Salahuddin al Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (alAzhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/ 589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan. Kedatangan al- Baghdadi menam-bah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara merka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al-Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-Ayan. Selain mengajar mantiq dan bayan, al-Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al-Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al-Baghdadi untuk memberikan informasi dan

sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran dan penyebaran ajaran mazhab Suni adalah al-Azhar.

Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang ... Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa ... orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, ... Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan ...

Latar belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi.[1] Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).

Salahuddin Al-Ayyubi Sultan Mesir dan Syria

Di sana, dia mewarisi peranan sulit mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada seorangpun menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak mengalami perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah panjang anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari prajurit asing Syria, dia juga tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui atau seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-Mustadi, kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika upacara sebelum Salat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis keturunan lama. Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal Khalifah dari Abbasid. Saladin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya, menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia menjadi pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum memulai beberapa tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.

Dengan kematian Nuruddin (1174) dia menerima gelar Sultan di Mesir. Disana dia memproklamasikan kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia terbukti sebagai penemu dari dinasti Ayyubid dan mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke sebelah barat di maghreb, dan ketika paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan beberapa pemberontakan dari bekas pendukung Fatimid, dia lalu melanjutkan ke Laut Merah untuk menaklukan Yaman. Dia juga disebut Waliullah yang artinya teman Allah bagi kaum muslim Sunni. Aun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamnnya meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi. Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah Khalifah Al-'Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi. Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan kekuasaan di antara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.

Naik ke kekuasaan
Di kemudian hari Saladin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup sulit

pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-Adid.

Timur Tengah (1190 M.). Wilayah kekuasaan Shalahuddin (warna merah); Wilayah yang direbut kembali dari pasukan salib 1187-1189 (warna merah muda). Warna hijau terang menandakan wilayah pasukan salib yang masih bertahan sampai meninggalnya Shalahuddin

Perang melawan Tentara Salib : Saladin dan Guy dari Lusignan setelah Pertempuran Hattin, pada tanggal 29 September, Shalahuddin menyeberangi sungai Yordan untuk menyerang Beisan yang ditemukan telah dikosongkan. Hari berikutnya ia memecat pasukannya kemudian membakar kota dan pindah ke barat. Mereka dicegat bala Tentara Salib dari Karak dan Shaubak sepanjang jalan Nablus dan mengambil sejumlah tahanan. Sementara itu, pasukan Tentara Salib utama di bawah pimpinan Guy dari Lusignan pindah dari Sepforis al-Fula. Saladin mengirimkan 500 penyusup untuk mengganggu pasukan mereka dan ia sendiri berjalan ke Ain Jalut. Ayyubiyah tiba-tiba bergerak ke dalam arus Ain Jalut. Setelah serangan-serangan Ayyubiyah termasuk beberapa di Zirin, Forbelet, dan Gunung Tabor-Tentara Salib masih tidak tergoda untuk menyerang kekuatan utama mereka, dan Shalahuddin memimpin anak buahnya kembali ke seberang sungai bersama seluruh perlengkapan perangnya dengan berlari kecil. Bagaimanapun juga serangan balik Tentara Salib direspon lebih lanjut oleh Salahuddin. Sebagai tanggapan, Saladin membangun sebuah armada 30 kapal untuk menyerang Beirut pada 1182. Raynald mengancam menyerang kota suci Mekkah dan Madinah, lalu dibalas oleh Salahuddin dengan dua kali mengepung Kerak (benteng Raynald di Oultrejordain) pada 1183 dan 1184. Raynald menanggapinya dengan menjarah karavan peziarah pada haji pada 1185. Menurut Keturunan Prancis dari William dari Tirus 13 abad kemudian, Raynald menangkap adik Saladin dalam serangan di karavan, meskipun klaim ini tidak dibuktikan dalam sumber-sumber kontemporer, muslim atau Frank, tidak menyatakan menyatakan bahwa Raynald telah menyerang sebuah karavan sebelumnya, dan Saladin mengatur penjaga untuk menjamin keamanan adiknya dan putranya. Menyusul kegagalan pengepungan Kerak, Saladin sementara mengalihkan perhatiannya kembali pada proyek jangka panjang dan melanjutkan serangan di wilayah Izz-Din (Masud bin Mawdud ibn Zangi), sekitar Mosul, yang telah dimulai dengan beberapa keberhasilan dalam 1182. Namun, sejak itu, Masud telah bersekutu dengan Gubernur kuat Azerbaijan dan Jibal, yang pada 1185 mulai bergerak pasukannya di Pegunungan Zagros, menyebabkan Saladin ragu-ragu dalam serangan itu. Para pembela Mosul sadar bahwa bantuan sedang dalam perjalanan maka mereka meningkatkan usaha , dan Salahuddin kemudian jatuh sakit, sehingga Maret 1186 perjanjian damai ditandatangani.

Pada Juli 1187 Salahuddin merebut sebagian besar Kerajaan Yerusalem. Pada tanggal 4 Juli 1187, pada Pertempuran Hattin, dia menghadapi kekuatan gabungan dari Guy dari Lusignan, Raja Permaisuri Yerusalem dan Raymond III dari Tripoli. Dalam pertempuran ini tentara Salib sendiri sebagian besar dihancurkan oleh motivasi tentara Salahuddin. Ini adalah bencana besar

bagi Tentara Salib dan sebuah titik balik dalam sejarah Perang Salib. Salahuddin menangkap Raynald de Chtillon dan secara langsung bertanggung jawab pada eksekusinya, sebuah pembalasan atas menyerangnya terhadap kafilah Muslim. Para anggota kafilah ini sudah meminta pengampunan dengan menyatakan gencatan senjata antara Muslim dan Tentara Salib, tapi Raynald de Chtillon mengabaikan dan menghina Nabi Muhammad SAW sebelum dia membunuh dan menyiksa beberapa dari mereka. Pembebasan Yerusalem Saladin telah menangkap hampir semua Tentara Salib. Yerusalem menyerah kepada pasukannya pada tanggal 2 Oktober 1187 setelah pengepungan. Sebelum pengepungan, Salahuddin telah menawarkan untuk menyerah kepada tentara salib, namun ditolak. Salahauddin membebaskan sekitar 500 sandera muslim dan situs-situs suci umat islam dari ancaman kaum Frank di Yerusalem dengan membayar uang tebusan untuk setiap Frank di kota itu baik laki-laki, perempuan, atau anak. Setelah memenangkan Yerusalem, Salahuddin memanggil orang-orang Yahudi dan mengijinkan mereka untuk menetap di kota itu. Tirus, yang terletak di pantai Lebanon modern, adalah kota besar terakhir Tentara Salib yang tidak dikepung oleh pasukan Muslim (tempatnya sangat strategis dan sebenarnya akan lebih masuk akal bagi Salahuddin untuk membebaskan Tirus sebelum Yerusalem, namun Salahuddin memilih untuk membebaskan Yerusalem lebih dahulu karena pentingnya kota terbebut sebagai kota Islam). Kota Tirus kemudian dipimpin oleh Conrad dari Montferrat, yang memperkuat pertahanannya dan berhasil bertahan dua kali dari pengepungan oleh Salahuddin. Pada 1188, di Tortosa, Saladin membebaskan Guy dari Lusignan dan mengembalikannya pada istrinya, Ratu Sibylla dari Yerusalem. pada mulanya mereka pergi ke Tripoli, lalu ke Antiokhia. Pada 1189, mereka berusaha untuk merebut kembali Tirus kerajaan mereka, tapi ditolak masuk oleh Conrad, yang tidak mengakui Guy sebagai raja. Guy kemudian mulai mengepung Acre. Perang Salib Ketiga Kabar mengenai perang Hattin dan jatuhnya Yerusalem terdengar oleh kerajaan Inggris dan dikirimkanlah Prajurit Salib Ketiga didanai oleh kerajaan Inggris dengan misi khusus Salahuddin. Richard I dari Inggris (Richard The Lion Heart) memimpin langsung mengepung Acre, menaklukkan kota itu dan mengeksekusi 3.000 tahanan muslim termasuk wanita dan anakanak. Salahuddin membalas dengan membunuh semua kaum Frank yang diambil dari 28 Agustus-10 September. Bah ad-D n menulis, Kami berada di sana dan mereka membawa dua Franks kepada Sultan (Salahuddin) yang dijadikan tahanan dengan penjagaan ketat, mereka dipenggal di tempat.. Tentara Salahuddin terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Raja Richard pada pertempuran Arsuf pada tanggal 7 September 1191, di mana Salahuddin dikalahkan. Semua upaya yang dilakukan oleh Richard si Hati Singa untuk merebut Yerusalem menemui kegagalan, namun hubungan Salahuddin dengan Richard I adalah hubungan ksatria yang saling menghormati dalam persaingan militer. Dikisahkan, ketika Richard jatuh sakit dengan demam Salahuddin menawarkan layanan dari dokter pribadinya. Salahuddin juga mengirimnya buah-buah segar dengan salju, untuk mendinginkan minuman dan sebagai pengobatan. Di Arsuf, ketika Richard kehilangan kudanya, Salahuddin mengiriminya dua kuda pengganti. Richard mengusulkan untuk Salahuddin bahwa Palestina, Kristen dan Muslim, dapat bersatu melalui pernikahan adiknya Joan dari Inggris, Ratu Sisilia untuk saudara Saladin, dan bahwa Yerusalem dapat hadiah pernikahan mereka. Sayangnya, kedua orang tersebut belum pernah bertemu muka dan hanya berkomunikasi dengan tertulis atau melalui kurir.

Anda mungkin juga menyukai