Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr, dan
Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan
Ima-duddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo
(Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo,
Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512H/ 1118 M522H/1128M).

Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang
mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia
meninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang
menguasai utara Syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara Salib,
dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. Dalam
perkembangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas kekuasaannya, yang
membentang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepemimpinan keluarga
Imaduddin Zangi jatuh ketangan anaknya, Ismail.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembentukan dan Perkembangan Dinasti al-Ayyubiyah..
Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr, dan
Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan kekuasaan
Ima-duddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo
(Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo,
Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512H/ 1118 M522H/1128M).
Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang
mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia
meninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang
menguasai utara Syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara Salib,
dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. Dalam
perkembangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas kekuasaannya, yang
membentang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepemimpinan keluarga
Imaduddin Zangi jatuh ketangan anaknya, Ismail.
Tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama
Bahruz yang hidup di sebuah kota di Azerbaijan, dan kemudian berpindah ke Irak untuk
bekerja kepada Sultan Seljuk, Masud bin Giyatuddin. Bahruz diberikan kekuasaan
sebagai gubernur di wilayah Baghdad, dan diberikan iqta di kota Takrit. Dalam
mengelola iqta di kota itu, ia di bantu oleh seorang Kurdi yang bernama Syadi dan dua
anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ketika meninggal, Syadi digantikan
oleh Najmuddin sebagai gubernur di Takrit. Di kota inilah Salahuddin lahir dari
ayahnya, Najmuddin.
Pengaruh Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imaduddin Zangi, yang membantu
Sultan Masud dalam mengahadapi khalifah Abbasiyah, al-Mustarsid. Ketika
perlawanan itu gagal, Imaduddin mundur ke Tarkit. Di kota inilah ia mendapat
dukungan dari Najmuddin. Dalam aliansinya dengan kekuasaan Imaduddin,
Najmuddin berhasil memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk menjadi penguasa

Baalabek. Ketika Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan dikalangan keluarganya


untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin, salah seorang putra Imaduddin,
bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di
samping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara
Salib. Karena itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin
menyerang Mesir pada tahun 559H/1163M. Serangan ini berakhir dengan kegagalan
akibat campur tangan tentara Salib. Serangan kedua kemudian dilancarkan pada tahun
562 H/1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi
akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir.
Meskipun demikian, serangan ke tiga dilaksanakan pada atahun 564H/1168 M sebagai
jawaban atas permintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Ke-menangan
atas tentara Salib dalam pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin
sebagai wazir bagi khalifah Fatimiyah. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir
pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah
Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi
penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui
kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan penagkuan
Salahuddin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syiah dengan
Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Salahuddin mendapat pengakuan dari Khilafah
Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia
menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia
dan menjadikan para penguasa setempat sebagai pemimpinnya.
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan
untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M
Salahuddin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan.
Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan
perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. Dalam peperangan ini, pasukan
Perancis dapat dikalakan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya,
tepatnya pada bulan Oktber 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema kembali di
Mesjid Yerussalem.

Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk
menakkan kota-kota lainya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan
pada taun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an
beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib. Setelah
perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua
pasukan hidup dalam keadaan damai.Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian
damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan
bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman dikuasai oleh
kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap umat Kristen yang
akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat
dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19
Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia
55 tahun.
Dalam catatan sejarah, Salahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang
ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan
pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan,
seta mendirikan seklah dan masjid. Salah satu karya yang sangat monumental adalah
Qalah al-Jabal, sebuah benteng yang dibangun di Kairo pada tahun 1183.
Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan alKatib al-Isfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad
kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya. Setelah Salahuddin al-Ayyubi
meninggal, daerah kekuaannya yang terbentang dari sungai Tigris hingga sungai Nil
itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al-Malik al-Afdhal Ali, putera
Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di
Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab), dan al-Adil, adik Salahuddin,
memperoleh kekuasaan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199,
al-Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa
tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-Adil yeng bergelar Saifuddin itu
mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni
Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan
kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak
itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan
Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.
4

Kemudian al-Kamil Muhammad, putera alAdil, yang menguasai Mesir (615 635
H/12181238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk
melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan
Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayahnya.Tentara Salib
memang ampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan Italia.penaklukan
Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguaai jalur
peragangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November
1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir,
tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Sali untuk meningalkan Dimyati. Di samping
memberikan perhatian seius pada dalam bidang politikdan mliter, al-Kamil juga dikenal
sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam
negeri. Program pemerintahannya ang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi
dan membuka lahan-lahan pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan
Erpa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antra umat Islam
dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para
pemimpin Koptik.
Pada masa it kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib
sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah ada tahun
12401249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam.
Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nl ditaklukan kembali oleh tentara
alib ang dipimpin oleh Raja Louis IX ari Perancis. Ketika pasukan Salib hendak
menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan
dan akhirnya dapat dikalakan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX
dan beberapa bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan
kembali setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan
sejumlah bahan makanan sebagai bahan tebusan.
Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia
akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang
dari Mesopotamia (Sutiah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghidari
kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur.
Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai
5

para Mamluk, amba sahaya yang dimiliki tuannya, yan tidak menyenanginya. Belum
genap satu tahun uransyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas
perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur menyatakan dirinya
sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin
Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyataka dirinya sebagai sultan
Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedauoatan atau kekuasaan yang
riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada di tangan seorang mamluk bernama
Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ). Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa
meninggal pada 1252 M, beakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan
kekuasaan beralih ke pmerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M)
2.1 Kemunculan Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi
Jatuhnya kota Suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para
pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasainya selama lebih
500 tahun itu bisa terlepas dalam sekejap mata. Mereka sadar akan kesalahan mereka
karena terpecah belah. Para ulama telah berbincang dengan para Sultan, Amir dan
Khalifah agar mengambil keputusa/tindakan dalam masalah ini.
Usaha mereka berhasil. Setiap penguasa negara Islam itu bersedia bergabung tenaga
untuk merampas balik kota Suci tersebut. Di antara pemimpin yang paling gigih dalam
usaha menghalau tentara Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya
Amir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh.
Setelah hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin
Al-Ayyubi baru lahir ke dunia, yakni pada tahun 1138 Masehi. Keluarga Shalahuddin taat
beragama dan berjiwa pahlawan. Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang yang
termasyhur dan beliau pulalah yang memberikan pendidikan awal kepada Shalahuddin.
Selain itu, Shalahuddin juga mendapat pendidikan dari ayah saudaranya Asasuddin
Syirkuh seorang negarawan dan panglima perang Syria yang telah berhasil mengalahkan
tentara Salib baik di Syria ataupun di Mesir. Dalam setiap peperangan yang dipimpin oleh
panglima Asasuddin, Shalahuddin senantiasa ikut sebagai tentara pejuang sekalipun
usianya masih muda.
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut
dan menguasai Damaskus. Shalahuddin yang ketika itu baru berusia 16 tahun turut serta
sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163 Masehi, panglima Asasuddin membawa
Shalahuddin Al-Ayyubi yang ketika itu berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulat
Fatimiyah di Mesir yang diperintah oleh Aliran Syiah Ismailiyah yang semakin
lemah.Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa
oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besar
Shawar merasa cemburu melihat Syirkuh semakin populer di kalangan istana dan rakyat.

Dengan diam-diam dia pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib
untuk menghalau Syirkuh daripada berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh
King Almeric dari Yerusalem menerima baik ajakan itu. Maka terjadilah pertempuran
antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan
Asasuddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin
dan Shalahuddin dibenarkan palung ke Damaskus.
Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan
Amir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu
dipersiapkannya tentara yang besar yang tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan
Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric terburuburu menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar
kemaraan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih baik dan
berhasil membinasakan pasukan King Almeric dan menghalaunya dari bumi Mesir
dengan baib sekali.
Panglima Shirkuh dan Shalahuddin terus masuk ke ibu kota Kairo dan mendapat
tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan
sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah
terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh buat kali kedua.
Suatu hari panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di
Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin segera
menangkap Shawar, dibawa ke istana dan kemudian dihukum mati.
Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi Wazir Besar
menggantikan Shawar. Wazir Baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan pada
setiap institusi kerajaan secara berjenjang. Sementara anak saudaranya, panglima
Shalahuddin Al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan
di kota-kota sepanjang sungai Nil sehingga Assuan di sebelah utara dan bandar-bandar
lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah.
Dinasti ayyubiyah didirikan oleh Shalahudin Al-Ayyubi. Orang barat menyebutnya
dengan saladin. Shalahudin terkenal sebagai seorang ahli perang yang mampu
membendung arus serangan tentara salib. Pada mulanya shalahudin adalah seorang
panglima perang dari kerajaan syam di bawah pemerintahan Sultan Nuruddin Zauki. Atas
perintah Al-Zahir Nuruddin Zauki untuk mengirim pasukan di bawah pimpinan Syirkuh
dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk mengalahkan Pasukan Salib di Mesir. Syirkuh diangkat
sebagai Wazir oleh Fatimiyah (544 H), tiga bulan kemudian Syirkuh meniggal dan
digantikan oleh kemenakannya Shalahudin Al-Ayyubi. Pada tanggal 10 Muharram 567
H / 1171 M, Khlifah Al-Adid (Fatimiyah) wafat dan kekuasaannya berpindah ke tangan
Shalahudin Al-Ayyubi.
Al-ayyubi diakui sebagai khalifah Mesir oleh Al-Muhtadi, dinasti Bani Abbas pada tahun
1175 M, kemudian Al-Ayyubi berhasil menguasai Aleppo dan Mosul.
Untuk mengantisipasi pemberontakan dari pengikut Fatimiyah dan serangan dari Tentara
Salib, Al-Ayyubi membangun benteng bukit di Mukattam, pusat pemerintahan dan
Militer.

2.2 Perang Salib dan Konflik Internal


Sebagian waktu al-ayyubi dihabiskan untuk menghalau tentara salib, sehingga mereka
berhasil menguasai kota yerussalrem. Jatuhnya yerussalem ke tangan kaum muslim
sangat memukul perasaan tentara salib sehingga mereka merencakan serangan balasan.
Pasukan salib ini dipimpin oleh tiga raja, yaitu : Predrick Banbarossa, Raja Jerman,
Richart The Lion Hart, Raja Inggris, dan Philiph Augustus, Raja Perancis, pasukan ini
bergerak pada tahun 1189M yang mendapat tantangan berat dari Salah Al-Din, yang
berhasil merebut Akka yang dijadikan lbu kota Latin. Namun mereka tidak berhasil
memasuki Palelstina.
Pada tanggal 2 November 1192 M, dibuat perjanjian antara Salah Al-Din dengan Salib
yang disebut dengan Shulh Al-Ramlah isi perjanjian tersebut adalah :
1. Jerussalem tetap berada di tangan umat islam; dan umat Kristen diizinlkan untuk
menziarahinya.
2. Tentara salib akan tetap mempertahankan pantai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa
3. Umat islam akan mengembalikan relic Kristen kepada orang Kristen.
Pada tahun 1199 M, al-ayyubi meninggal di damaskus, dan digantikan oleh saudaranya,
sultan al-adil. Pada tahun 1218 M, al-adil meningga setelah kalah perang melawan
pasukan salib dan kota dimyath jatuh ke tangan tentara salib. Setelah meninggal al-adil
digantikan oleh oleh al-kamil.
Al-kamil melanjutkan perang melawan tentara salib. Akan tetapi, antara al-kamil dengan
saudaranya Al-mulk al-muazham (gubernur damaskus)terjadi konflik. Al-kamil merasa
bahwa al-muazham akan menyingkirkannya. Oleh karena itu, al-kamil mengirim duta
kepada Frederick barbarossa dengan menawarkan kerjasama dan jerussalem diijadikan
sebagai imbalan atas bantuan frderick. Pada tahun 1229, disebut perjanjian antara alkamil dengan Frederick. Isi perjanjian tersebut adalah :
1. Jerussalen dengan Bethlehem, nazaret, dan rute haji ke jaffa dan acre akan menjai
kekuasaan absolute kaisar, dengan pengecualian bahwa area masjit umar di
jerussalem tetap menjadi milik terbatas bagi umat islam.
2. Tawanan-tawanan Kristen dibebaskan
3. Kaisar harus melindungi sultan dari serangan-serangan musuh
4. Perjanjian ini berlaku selama dua tahun.
Stelah meninggal al-kamil digantikan oleh putranya, Abu Bakar dengan gelarnya Al-Adil
II (berlangsung selama tiga tahun). Kepemimpinan Abu Bakar ditolak oleh saudaranya,
Al-Malik Al-Shalih Najm Al-Din Ayyub. Budak-budak abu bakar besekongkol dengan
Al-Malik Al-Shalih sehingga berhasil menjatuhkan Abu Bakar dan mengangkat Al-Malik
Al-Shalih Najm Aldin Ayyub (1240-1249M) sebagai Sultan.
Selama Al-Malik Al-Shalih menjadi pemimpin, pamannya, Ismail bekerja sama dengan
pimpinan pasukan salib. Frank mengepung Damaskus. Al-Malik dapat mematahkan
konfras tersebut dan mengalahkan pasukan Frank di dekat Gaza.

2.4 Kemajuan Ilmu Pengetahuan


Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mendirikan tiga buah madrasah di kairo dan iskandariyah
untuk mengembangkan Mazhab Sunni.
Al-Kamil mendirikan sekolah Tinggi Al-Kamiliyah yang sejajar dengan perguruan tinggi
lainnya. Ibnu Khalikan menggambarkan bahwa Al-Kamil adalah pecinta Ilmu
Pengetahuan, pelindung para Ilmuan, dan Seorang Muslim yang Bijaksana.
2.5 Kemunduran dan Akhir Ayyubiyah
untuk mempertahankan kekuasaan, Al-Malik Al-Shalih mendatangkan budak-Budak dari
Turki dalam jumlah besar untuk dilatih kemiliteran yang ditempatkan di dekat sungai Nil
yang juga disebut Laut (Al-Bahr) seingga mereka disebut Mamluk Al-Bahr.
Setelah meninggal La-Malik Al-Shalih diganti oleh anaknya, Turansyah. Konflik terjadi
antara Turansyah dengan Mamluk Bahr, Turansyah dianggap mengabaikan peran Mamluk
Al-Bahr dan lebih mengutamakan tentara yang berasal dari Kurdi. Oleh karena itu
Mamluk Al-Bahr di bawah pimpinan Baybars dan Izzudin Aybak melakukan kudeta
terhadap Turansyah (1250 M). Turansyah pun terbunuh, maka berakhirlah dinasti
Ayyubiyah.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita mengambil kesimpulan, bahwasanya dinasti Ayyubiyah
adalah dinasti yang berdiri di atas puing-puing dinasti fatimiayah yang tidak mampu
menghalau kekuatan serangan tentara salib pada masa itu. Dinasti Ayyubiyah berkembang
menjadi ninasti yang besar dan tangguh di bawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Shalahuddin al-ayyubi dengan sekuat tenaga bersama pasukannya menghalau tentara
salib hingga kaum muslim menguasai kota Yerussalem.
Selain mempertahankan dan memperluas kekuasaan shalahuddin al-ayyubi juga
mendirikan sarana pendidikan untuk generasi penerus. Dan khalifah setelahnya pun ada
yang mendirikan perguruan tinggi.
Berakhirnya dinasti Ayyubiyah setelah terbunuhnya kahlifah terakhir karena adanya
konflik antara Turansyah dengan Mamluk Bahr.
Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan
aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan
tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masamasa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan
ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat
setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah
payung

khalifah

Abbasiyah

mereka

berusaha

sungguh-sungguh

menjalankan

kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang
dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran dan penyebaran ajaran mazhab Suni
adalah al-Azhar.

10

DAFTAR PUSTAKA

Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : Pustaka Bani Kuraisy

Salabi, Mahmud. 1993. Shalahuddin Al-Ayyubi. Solo : Cv. Pustaka Mantiq

4.

Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakrta : PT. Raja Grafindo Persada

5. http://www. mail-archive. com/ islamkristen @ yahoogroups. com/ msg41445. html

11

Anda mungkin juga menyukai