Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah (al-Ayyūbīyūn) adalah sebuah dinasti Muslim

Sunni beretnis Kurdi. Kurdi adalah sebuah kelompok etnis di Timur Tengah, yang

sebagian besar menghuni di suatu daerah yang kemudian dikenal sebagai Kurdistan,

meliputi bagian yang berdekatan dari Iran, Irak, Suriah, dan Turki. Orang Kurdi adalah

orang-orang Iran dan berbicara dalam bahasa Kurdi, yang merupakan anggota bahasa Iran

cabang dari Indo-Eropa.

Sekarang, etnis Kurdi menyebar di banyak negara, di antaranya Mesir, Irak, Israel,
Yordania, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Turki dan
Yaman. Problema Kurdi kontemporer adalah kisah suku bangsa tanpa negara. Mereka
tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan
bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.
Di masa lalu, bangsa Kurdi pernah mengalami masa jaya. Tercatat beberapa dinasti
berbangsa Kurdi yang sempat menderikan kekuasaan pemerintahan sendiri. Di
antaranya, al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M), Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M),
serta yang paling signifikan kekuasaannya yaitu dinasti al- Ayyubiyyah, (564-648
H/1167-1254 M).4
Untuk dinasti al Barzuqani belum ada catatan yang cukup untuk menjelaskan
signifikansi kekuasaannya. Sementara Abu ‘Ali merupakan salah satu dari penguasa
Dinasty Ghurid yang memeluk Islam Sunni setelah sebelumnya menganut ajaran
Budhisme. Dinasti Ghurid memeluk Islam setelah ditaklukkan oleh Dinasti Ghaznawi
(1011 M). Kekuasaannya dilegitimasi oleh khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid.
Sebelum pertengahan abad ke-12, Ghurid telah terikat dengan Dinasti Ghaznawi dan
Seljuk selama sekitar 150 tahun. Wilayahnya mencakup meliputi Khorasan di barat dan
mencapai India utara.

sejauh Bengal di timur. Ibu kota pertama mereka adalah Firozkoh di Mandesh, Ghor,
2

yang kemudian digantikan oleh Herat, dan akhirnya Ghazna.


Dinasti Ayyubiyah adalah yang terbesar dari suku Kurdi yang memerintah di dunia
Islam. Umur dinasti ini tercatat selama 2 abad lebih, namun kekuasan efektifnya
hanya berlangsung selama 79 tahun (1175-1254 M) dengan kekuasaan efektif di
wilayah Mesir. Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun
1299, dan Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310,
sultan Mamluk an-Nasir Muhammad memberikan Hamat kepada salah satu anggota
Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, Abu al-Fida. Abu
al-Fida wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, al-Afdhal Muhammad.
Hubungan al-Afdhal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk,
sehingga ia dicabut dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi
dikuasai oleh Mamluk
Secara berturut ibukota Dinasti Ayyubiyah ini berpindah-pindah dari Kairo
(1171–1174 M), Damaskus (1174–1218 M), kembali ke Kairo (1218–1250 M),
terakhir di Aleppo (1250–1260). Dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah
Abbasiyah di Baghdad sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan
Suriah Tengah. Selanjutnya, kekuasaan Ayyubiah berkembang hingga ke Yaman,
Palestina dan Suriah.

1.2. Tujuan

a. Mengetahui sejarah dinasti ayyubiyah


3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Berdirinya Dinasti Ayyubiyah

Ayyubiyah dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadi dari suku Rawadiyah yang
beretnis Kurdi.6 Najmuddin Ayub adalah saudara Asasuddin Syirkuh. Meskipun
demikan, Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi pada tahun 1171 M
setelah menaklukkan al Adiid (1160-1171 M), khalifah terakhir Bani Fatimiyah.
Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Tikrit, Irak, pada tahun 532 H
(1136 M). Sebagaimana ayahnya yang menjadi pejabat bagi Imaduddin pada masa
Dinasti Zanki, Salahuddin juga mengikuti jejak ayahnya bersama pamannya Asaduddin
Syirkuh untuk mengabdi pada Nuruddin Zanki. Keluarga Salahuddin berjasa besar pada
keberhasilan Nuruddin dalam menggabungkan Damaskus ke wilayahnya. Pada saat
Syawar, wazir bagi Khalifah al-Adid dari Dinasti Fatimiyah memohon bantuan kepada
Nuruddin agar dapat menduduki jabatan wazir, maka Nuruddin mengirimkan Syirkuh
dan Salahuddin ke Mesir. Misi berhasil dilaksanakan dan bahkan Syirkuh kemudian
menggantikan Syawar sebagai wazir. Tapi, tidak seberapa lama, Syirkuh juga
meninggal. Sehingga, jabatan wazir diserahkan kepada Salahuddin.
Salahudin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan Mesir
dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric Kedudukannya cukup sulit
pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir
mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam
beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk
posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki
kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah Al-Adid
yang dinilai sebagai khalifah yang lemah.
Setelah al Adid wafat pada tahun 1171 M, kekuasaan Bani Fatimiyah dianggap selesai.
Salahuddin kemudian diangkat menjadi penguasa (Imam) mesir dengan status sebagai
wakil pemerintah Saljuk di Mesir. Setelah kematian Nuruddin Zanki pada tahun 1174
4

M, barulah Salahuddin Al Ayyubi mengumumkan berdirinya Dinasti Ayyubiyah di


Mesir sebagai pengganti Dinasti Fathimiyah yang sudah dihapuskan.
Selanjutnya, Salahuddin mulai menegakkan kekuasaannya di Mesir. Semua tampak
berlangsung dengan mudah, sebab ketika Salahuddin tiba di Mesir, semua rakyat merasa
mempunyai harapan besar kepadanya karena selama ini mereka merasa selalu dizalimi
para pemimpin sebelumnya. Karena itulah, kecintaan masyarakat Mesir begitu besar
kepadanya.

Secara umum, dunia Islam pada waktu itu sedang disibukkan dengan Perang Salib. Bani
Abbasiyah, Bani Fatimiyah serta berbagai dinasti yang terpisah dihadapkan pada satu
musuh bersama (common enemy) yaitu kekuatan Kristen Eropa. Tidak mengherankan,
nama Salahuddin al Ayyubi sangat dikenal di dunia Islam dan di negeri-negeri Eropa.

Dengan tegaknya Dinasti Ayyubiyyah, menandakan pengaruh Syiah berakhir dan


berganti dengan Sunni. Dengan ini, seluruh kelompok Sunni, termasuk yang ortodoks
turut mendukung segala langkahnya dalam menyatukan seluruh kekuatan Islam di bawah
kendali satu kekuasaan. Ia menyadari bahwa situasi sulit sedang dihadapi umat Islam.
Sebagaimana Nuruddin Zanki berupaya menyatukan dan menjalin hubungan dengan
dinasti-dinasti kecil untuk melawan kekuatan Salib, maka Salahauddin pun melakukan
hal yang sama. Di awal pemerintahannya, ia menyerang dinasti-dinasti kecil di
sekitarnya untuk kemudian diajak bergabung melawan tentara Salib.

Awalnya, ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, Dinasti Abbasiyah kembali tegak. Khalifah
Al Musthadi dari Abbasiyah meminta Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menjadi pemimpin
pasukan. Tetapi ia memilih menjadi sultan di Mesir dan mengakui kekuasaan Bani
Abbasiyah di Baghdad. Hal ini menunjukkan kesadaran Salahuddin akan pentingnya
kesatuan dalam menghadapi perang Salib. Ia menghindari konflik dengan Nuruddin
Zanki dan tetap menghormati posisi Khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai simbol
pemersatu umat Islam.

Sejak 1775 M Khalifah al-Mustadi dari Abbasiyah memberikan beberapa daerah seperti
Yaman, Palestina, Suriah Tengah, dan Magribi kepada Salahuddin. Dengan demikian, ia
pun mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah sebagai penguasa muslim di Mesir,
Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.
5

2.2. Pendukung Utama Dinasti Ayyubiyah

Birokrasi dan jabatan militer Dinasti Ayyubiyah pada umumnya diisi orang Kurdi, Turki,
dan orang-orang dari Kaukasus. Para prajurit Ayyubiyah, kebanyakan terdiri dari orang-
orang Kurdi dan Turki. Selain itu, terdapat pasukan berbangsa Arab, bekas satuan-satuan
Fatimiyah yang pernah dipimpin oleh Salahuddin ketika mengabdi sebagai panglima
Bani Fathimiyah, serta kontingen- kontingen pasukan Arab yang terpisah (khususnya
dari suku Kinaniya, yang biasanya ditugaskan untuk mempertahankan Mesir). Pasukan
Kurdi dan Turki kadang-kadang saling bersaing memperebutkan jabatan militer, dan
menjelang akhir kekuasaan Ayyubiyah, jumlah pasukan Turki jauh lebih besar daripada
Kurdi. Walaupun para sultan Ayyubiyah memiliki latar belakang Kurdi, mereka tetap
berlaku adil terhadap kedua kelompok tersebut.

Pusat pemerintahan Ayyubiyah dari masa pemerintahan Salahuddin pada dasawarsa


1170-an hingga akhir masa pemerintahan al Malik al-Adil pada tahun 1218 terletak di
kota Damaskus. Kota tersebut lebih strategis dalam upaya untuk mengalahkan tentara
Salib, dan juga memungkinkan sultan mengawasi bawahan- bawahannya yang cukup
ambisius di Syam dan al-Jazira. Kairo terlalu jauh untuk dijadikan pangkalan operasi,
tetapi kota tersebut merupakan landasan ekonomi Dinasti Ayyubiyah. Maka dari itu, kota
ini merupakan wilayah yang sangat penting. Dengan demikian terlihat jelas, bahwa
berdirinya Dinasti ini merupakan sebuah upaya mempersatukan negeri-negeri Islam
dalam satu isu melawan tentara Salib, lebih dari sekadar menyatukan wilayah kekuasaan
politik.

Daftar Sultan Pada Masa Dinasti Ayyubiyah

No. : Nama Sultan : Masa Pemerintahan


1 : Salahuddin Ayyubi : 1174–1193
2 : Al-Aziz ibn Salahuddin : 1193–1198
3 : Al-Mansur ibn al-Aziz : 1198–1200
4 : Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub : 1200–1218
5 : Al-Kamil : 1218–1238
6 : Al-Adil II : 1238–1240
7 : Malik Al-Shalih Ayyub : 1240–1249
8 : Mu’azzam Turansyah ibn al Shalih : 1249
9 : Syajarah al Dur (istri Malik al Shalih) : 1249
10 : Al-Asyraf ibn Yusuf : 1250–1254
6

2.3. Peradaban Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah

Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah diisi dengan kesibukan konsolidasi negeri-negeri


Islam yang yang terpecah-pecah. Masa ini dikenal dengan masa masa disintegrasi. Masa
disintegrasi berlangsung antara tahun 1000-1250 M.16 Penyebabnya antara lain pertama,
luasnya wilayah Islam tidak sebanding dengan kemampuan khalifah Abbasiyah dalam
mengelolanya. Kedua, persaingan antar bangsa membuat kesatuan politik dalam ikatan
daulah Islam terganggu, Ketiga, di daerah-daerah Islam muncul tokoh-tokoh kuat yang
memperoleh dukungan kuat dari masyarakatnya. Hal ini mendorong mereka untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Keempat, meskipun
terlihat lemah, namun patut dipertimbangkan, yaitu khalifah Abbasiyah sejak periode al
Ma’mun (786-833 M) lebih senang mengembangkan peradaban dibanding
mengembangkan sistem politik ketatanegaraan dan pembinaan wilayah.

Terkait dengan wilayah ini, agaknya benar apa yang ditulis William Muir, bahwa dalam
kenyataannya banyak daerah-daerah yang tidak benar-benar dikuasai oleh khlaifah.
Mungkin saja, ketundukan penduduk wilayah-wilayah tersebut kepada khalifah
disebabkan kesatuan agama dan mungkin saja doktrin keagamaan terkait dengan status
khalifah sebagai pemimpin umat Islam (amir al mukminin), bukan sebagai pemimpin
negara (amir al daulah).

Dalam situasi sosial politik seperti inilah Dinasti Ayyubiyah berkuasa dan
mengembangkan peradaban Islam. Di tengah keadaan yang sulit tersebut, Dinasti
Ayyubiah sempat mencapai masa keemasannya. Selain sosok Salahuddin al Ayyubi, Para
penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar dalam bidang
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tak heran jika kota-kota Islam yang
dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat pengembangan peradaban dunia pada masanya.
Beberapa kemajuan yang dapat dituliskan antara lain sebagai berikut:

1.Bidang Politik

Puncak kegemilangan politik Dinasti Ayyubiyah adalah ketika Salahuddin al Ayyubi


mengambil alih Yerusalem dari pasukan Salib pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Wilayah
7

ini dapat dipertahankan terus hingga akhir abad ke- 13 Keberhasilan ini melanjutkan
tradisi kemenangan atas pasukan Salib yang telah diperoleh sebelumnya oleh pendahulu
sekaligus tempat mengabdi Salahuddin sebelum menjadi Sultan. Imadudin Zangi (Zanki)
Amir Mosul dan Aleppo pada tahun 1144 juga berhasil memukul pasukan Salib dari
Armenia.Selain itu, beberapa kota penting seperti Aleppo, Suriah, Mesir dan Palestina
berhasil ia satukan dalam penguasaan Dinasti Ayyubiyah. Kota-kota ini berkembang
menjadi basis perlawananan melawan tentara Salib. Selain itu, kota-kota tersebut juga
dibangun menjadi pusat-pusat terpenting pengembangan ilmu dan peradaban Islam.

Sistem politik ketatanegaraan Dinasti Ayyubiyah tidak berupa kerajaan yang terpusat.
Sultan sebagai sebutan penguasa dinasti ini hanya mengendalikan wilayah-wilayah
semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti Ayyubiyah setia kepada sultan, mereka
memiliki kebebasan tersendiri di wilayahnya.

2.Bidang Keagamaan

Salah satu kebijakan yang diambil oleh Salahuddin di awal pemerintahnanya adalah
menetapkan mazhab Sunni sebagai mazhab resmi negara menggantikan mazhab Syi’ah
Ismailiyah yang sebelumnya dianut oleh Bani Fathimiyah. beberapa alasan mengganti
mazhab Syi’ah Islamailiyah menjadi mazhab Sunni adalah secara faktual syi’ah bukanlah
mazhab yang dianut oleh mayoritas rakyat Mesir. Selama pemerintahan Bani Fathimiyah
yang muncul justru sikap dualisme rakyat mesir terhadap mazhab syia’h yang dianut oleh
penguasa.21 Sementara, di tubuh dinasti Fathimiyah sendiri Syi’ah Ismailiyah
mengalami konflik internal yang tak kunjung usai sejak perempat pertama abad ke-12.
Dua kelompok Syi’ah Ismailiyah di bawah putra al Mustanshir yaitu Nizar (ekstrim) dan
al Musta’li (moderat) saling bertikai. Praktis, ketika khalifah dijabat oleh al Musta’li
yang moderat, gelora Syi’ah sudah mulai luntur.22 Sebab lainnya adalah perlawanan dari
pendukung Dinasti Fathimiyah. Tercatat beberapa perlawanan yang membuat Syi’ah
Ismailiyah tidak mendapat tempat dalam kebijakan keagamaan dinasti Ayyubiyah, di
antaranya pemberontakan pendukung Fathimiyah di Sudan yang berkekuatan 50.000
tentara. Pemberontakan ini baru berhasil dipadamkan oleh al Malik al ‘Adil saudara
Salahuddin pada tahun 1174 M. Berikutnya pemberontakan yang dipimpin oleh Imarah
al Yamani, yang berhasil dipadamkan pada 1173 M.
8

Sekilas, kebijakan ini terlihat pro Sunni dan mewakili pribadi Shalahudin yang notabene
pengikut Sunni. Namun, kebijakan ini justru penting karena faktanya muslim Mesir
justru hidup dalam dualisme mazhab yang pada taraf tertentu membawa kepada sikap
talfiq yang justru ditolak oleh mayoritas penganut Sunni. Implementasi kebijakan ini
semakin jelas terlihat ketika ia Qadhi yang bermazhab Syi’ah menjadi Sunni dan
mendirikan madrasah yang mengajarkan fikih Syafi’i seperti Madrasah Nasriyah,
Qamhiyah, Suyufiyah dan Salahiyah di Yerusalem dan Damaskus.

Sementara dalam bidang hubungan antar agama, Salahuddin dan para penerusnya
menempatkan diri menjadi pelindung bagi umat Nasrani dan Yahudi, terutama di
Yerusalem atau Baitul Maqdis, lokasi yang menjadi sumber persaingan selama Perang
Salib. Pada tahun 1192, Salahuddin dan Richard I, Raja Inggris yang bergelar si Hati
Singa (Lion Heart) membuat perjanjian, bahwa kaum muslimin tetap akan memiliki
Yerusalem, namun orang Islam akan melindungi tempat ibadah orang Kristen,
membiarkan orang Kristen hidup di kota itu menjalankan iman mereka tanpa gangguan
dan membiarkan para peziarah Kristen datang dan pergi sesuka mereka.25 Perjanjian ini
menjadi dasar kebijakannya dalam bidang hubungan antar agama. Kebijakan inilah yang
membuat Yerusalem dalam waktu yang lama berada dalam kekuasaan umat Islam,
hingga perang dunia I (1914).

3.Ilmu Pengetahuan

Para penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan mereka mendukung
kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun di wilayah Ayyubiyah tidak
hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam Sunni. Kota
Damaskus pada masa pemerintahan Salahuddin memiliki 20 madrasah, 100 tempat
pemandian, serta biara-biara darwis Sufi dalam jumlah yang besar. Ia juga membangun
madrasah-madrasah di Aleppo, Yerusalem, Kairo, Iskandariyah, dan berbagai kota di
Hijaz. Banyak pula madrasah yang dibangun oleh para penerusnya. Bahkan istri para
penguasa Ayyubiyah, para panglima, dan para bangsawan juga ikut mendirikan dan
mendanai sejumlah lembaga pendidikan.

Meskipun para penguasa Ayyubiyah mengikuti mazhab Syafi'i, mereka juga membangun
madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum Bani Ayyubiyah berkuasa,
tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan Maliki di Syam, tetapi Bani Ayyubiyah
9

kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mazhab-mazhab tersebut. Pada


pertengahan abad ke-13, Ibnu Syaddad mendirikan 40 madrasah Syafi'i, 34 madrasah
Hanafi, 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah Maliki di Damaskus.

4.Kebudayaan

Meskipun Dinasti Ayyubiyah berbangsa Kurdi, namun para penguasa Ayyubiyah yang
memerintah pada abad ke-12 sudah jauh dari budaya Kurdi, tidak seperti para pendahulu
mereka di Seljuk dan para penerus mereka di Mamluk, para penguasa Ayyubiyah telah
"terarabisasi". Bahasa dan budaya Arab menjadi unsur utama dalam jati diri mereka alih-
alih bahasa dan budaya Kurdi.28 Mereka sendiri sudah cukup terasimilasi ke dalam
budaya Arab sebelum mereka mulai berkuasa, dan marga-marga Arab pun jauh lebih
lazim daripada marga-marga non Arab di kalangan penguasa Bani Ayyubiyah. Salah satu
sumbangan terpenting Dinasti Ayyubiyah adalah menjadikan bahasa Arab sebagai
bahasa tutur bangsa Mesir. Kebanyakan orang Mesir menuturkan bahasa Arab pada masa
Dinasti Ayyubiyah.

5. Arsitektur

Bangunan dan arsitektur merupakan salah satu sumber sejarah yang penting. Di antara
bangunan arsitektur yang dapat dijadikan sumber sejarah kejayaan dinansty Ayyubiyah
antara lain:

-Tembok Kota Aleppo yang dibangun Sultan Az-Zahir Ghazi pada tahun 1183. Tembo
kota tergolong arsitektur militer. Pembangunan ini telah mengubah wajah kota Aleppo
secara total.30

-Menara Masjid Agung Aleppo yang dibangun oleh Sultan Az-Zahir Ghazi pada 1214
M. Bangunan menara menjulang ke langit, terdiri atas lima tingkat dengan puncak
mahkota yang dikelilingi oleh beranda. Menara banyak dihiasi berbagai ornamen. Dalam
ilmu arsitektur menara ini digolongkan kepada arsitektur keagamaan.

-Tembok Ayyubiyah di Kairo yang ditemukan selama pembangunan Taman Al-Azhar,


Januari 2006.
10

-Madrasah Al-Firdaus didirikan pada tahun 1236 di kota Aleppo dengan dukungan dari
Dhaifa Khatun. Madrasah ini merupakan bukti peran wanita yang menjadi pendukung
proyek-proyek arsitektur keagamaan di masa Ayyubiyah.

2.4. Akhir Dinasti Ayyubiyah

Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor intern
juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah adanya
perselisiah di kalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan. Sedangkan
faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena kebangkitan Dinasti Mamluk yang
menyebabkan terbunuhnya Sultan al Ma’azzam Turansyah (1250 M) serta serangan
bangsa Mongol.

Anda mungkin juga menyukai